bab i pendahuluan -...

20
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Negara Indonesia adalah negara hukum.Sebuah deklarasi bahwa negara ini berdiri dan berjalan berdasar pada ketentuan hukum. Pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tersebut sekaligus menegaskan bahwa hukum adalah ujung tombak kemajuan dan perjalanan negara ini. Di bidang ketenagakerjaan, UUD 1945 telah memberikan pengaturan sebagaimana termuat pada Pasal 27 ayat (2) “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Bahwa hal ini berimplikasi pada sebuah kewajiban negara untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga negaranya. Serta peran aktif negara (legislatif) dalam menghasilkan suatu sumber hukum terlebih khusus yang mengatur dunia kerja dan ketenagakerjaan di Indonesia. Ketersediaan lapangan pekerjaan adalah suatu masalah yang sering dijumpai hampir di semua negara di dunia. Terlebih khusus negara-negara berkembang. Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang juga mengalami masalah ketersediaan lapangan pekerjaan. Pemerintah sebagai pelayan masyarakat memang menjadi pihak pertama yang bertanggung jawab dalam hal ini, sebagaimana telah diamanatkan dalam UUD. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan, bahkan dapat pula dikatakan bahwa pihak di luar pemerintahan mendapat bagian untuk menyediakan lapangan

Upload: vunga

Post on 07-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

“Negara Indonesia adalah negara hukum.” Sebuah deklarasi bahwa

negara ini berdiri dan berjalan berdasar pada ketentuan hukum. Pada Pasal

1 ayat (3) UUD 1945 tersebut sekaligus menegaskan bahwa hukum adalah

ujung tombak kemajuan dan perjalanan negara ini. Di bidang

ketenagakerjaan, UUD 1945 telah memberikan pengaturan sebagaimana

termuat pada Pasal 27 ayat (2) “Tiap-tiap warga negara berhak atas

pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Bahwa hal ini

berimplikasi pada sebuah kewajiban negara untuk menyediakan lapangan

pekerjaan bagi warga negaranya. Serta peran aktif negara (legislatif) dalam

menghasilkan suatu sumber hukum terlebih khusus yang mengatur dunia

kerja dan ketenagakerjaan di Indonesia.

Ketersediaan lapangan pekerjaan adalah suatu masalah yang sering

dijumpai hampir di semua negara di dunia. Terlebih khusus negara-negara

berkembang. Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang juga

mengalami masalah ketersediaan lapangan pekerjaan. Pemerintah sebagai

pelayan masyarakat memang menjadi pihak pertama yang bertanggung

jawab dalam hal ini, sebagaimana telah diamanatkan dalam UUD. Namun

hal ini tidak menutup kemungkinan, bahkan dapat pula dikatakan bahwa

pihak di luar pemerintahan mendapat bagian untuk menyediakan lapangan

2

pekerjaan. Pihak di luar pemerintah atau sering kita sebut swasta, dalam

perkembangannya juga sangat membantu dan merekalah yang menjadi

mitra pemerintah untuk menyediakan lapangan pekerjaan. Oleh karenanya,

masalah ketenagakerjaan menjadi hal yang sangat penting dan perlu

mendapat perhatian khusus dari Pemerintah, dalam hal ini juga Legislatif.

Peraturan perundang-undangan adalah solusi tepat untuk mengatur dan

membantu masyarakat dalam terciptanya sebuah kondisi ketenagakerjaan

yang baik dan teratur. Hal ini telah diwujudkan oleh Pemerintah Indonesia

dengan adanya berbagai macam peraturan perundang-undangan yang

mengatur tentang ketenagakerjaan.

Selain bertumpu pada peraturan perundang-undangan, para ahli

berpendapat ada beberapa sumber hukum ketenagakerjaan yang dapat

menjadi pemecah masalah ketenagakerjaan di Indonesia. Budiono

mengatakan bahwa sumber-sumber hukum ketenagakerjaan terdiri atas:1

1. Perundang-undangan;

2. Kebiasaan;

3. Keputusan;

4. Traktat; dan

5. Perjanjian.

1 Budiono, Abdul Racmad, Hukum Perburuhan di Indonesia, Cet. I, PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 1995.

3

Sedangkan Shamad berpendapat bahwa sumber hukum ketenagakerjaan

terdiri atas:

1. Peraturan perundang-undangan (undang-undang dalam arti materiil

dan formil);

2. Adat dan kebiasaan;

3. Keputusan pejabat atau badan pemerintah;

4. Traktat;

5. Peraturan kerja (yang dimaksud adalah peraturan perusahaan); dan

6. Perjanjian kerja, perjanjian perburuhan, atau kesepakatan kerja

bersama (KKB).

Disamping kedua pendapat diatas, Prinst juga berpendapat bahwa sumber

hukum ketenagakerjaan terdiri atas:

1. Undang-undang;

2. Adat atau kebiasaan;

3. Yurisprudensi;

4. Doktrin; dan

5. Agama.

Selain itu Abdul Hakim juga berpendapat, sumber hukum ketenagakerjaan

adalah:

1. Undang-undang;

2. Adat dan kebiasaan;

3. Agama;

4. Keputusan pejabat/badan pemerintah atau lembaga ketenagakerjaan;

4

5. Doktrin;

6. Traktat;

7. Perjanjian kerja; dan

8. Peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Dengan adanya pengaturan dan sumber hukum yang jelas, maka

segala macam permasalahan dalam bidang ketenagakerjaan diharapkan

dapat terselesaikan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Sehingga hak

warga negara untuk mendapatkan penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan dapat terwujud dan terjamin. Berdasarkan pada sumber

hukum ketenagakerjaan yang telah disebutkan, di mana semua ahli setuju

bahwa sumber hukum utama dalam ketenagakerjaan adalah undang-

undang. Hal ini sejalan dengan sistem hukum yang dianut Indonesia.

Mengingat Indonesia bekas jajahan Belanda, sebagaimana negara-negara

Eropa Kontinental lainnya dan bekas jajahannya, Indonesia merupakan

penganut civil law system. Tidak seperti Amerika Serikat dan negara-

negara penganut common law lainnya, bahan-bahan hukum primer yang

terutama bukanlah putusan pengadilan atau yurisprudensi, melainkan

perundang-undangan. Untuk bahan hukum primer yang berupa perundang-

undangan, yang memiliki otoritas tertinggi adalah Undang-Undang Dasar

karena semua peraturan di bawahnya baik isi ataupun jiwanya tidak boleh

bertentangan UUD tersebut. Bahan hukum primer selanjutnya ialah

undang-undang. Undang-undang merupakan kesepakatan antara

5

pemerintah dan rakyat, sehingga mempunyai kekuatan mengikat untuk

penyelenggaraan kehidupan bernegara.2

Dalam kaitannya dengan dunia ketenagakerjaan di Indonesia,

undang-undang yang mengatur salah satunya adalah Undang-undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (dan untuk selanjutnya

disingkat UU Ketenagakerjaan), yang mengatur tentang bagaimana

terjadinya hubungan antara pencari kerja dan pemberi kerja. Dalam Pasal 1

angka 14 “Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan

pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan

kewajiban para pihak.” Pada angka 15 “Hubungan kerja adalah hubungan

antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang

mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.” Dan angka 16

“Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara

para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari

unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada

nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.” Perhatian khusus dalam Pasal 1 angka 14 sampai

dengan 16 ini ialah para pihak yang terdapat di dalamnya. Dalam

perjanjian kerja, pihaknya adalah pekerja/buruh dengan pengusaha atau

pemberi kerja. Dalam hubungan kerja, pihaknya adalah pengusaha dengan

pekerja/buruh. Sedangkan dalam hubungan industrial, pihaknya adalah

pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah. Dari penjabaran para pihak di

atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dapat disebut sebagai

2 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Pertama, Cetakan Ke-2, Jakarta :

Kencana, 2006

6

perselisihan hubungan industial adalah jika perselisihan terjadi di antara

para pihak tersebut.

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial (dan selanjutnya disingkat UU PPHI3)

pada Pasal 1 angka 1 menyebutkan: “Perselisihan Hubungan Industrial

adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara

pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat

pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak,

perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan

perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.”

Jelas bahwa pihak dalam perselisihan hubungan industrial adalah

pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat

pekerja/serikat buruh. Pejabat atau badan tata usaha negara tidak disebut

sebagai pihak. Jika perselisihan terjadi di mana di dalamnya tidak terdapat

perjanjian kerja atau tidak ada hubungan kerja atau tidak memenuhi unsur

dalam Pasal 1 angka 1 tersebut di atas, tidak dapat dibawa atau diajukan

untuk diadili di PHI4. Hal ini didasarkan pula pada Pasal 1 angka 17 UU

Ketenagakerjaan yang demikian: “Pengadilan Hubungan Industrial adalah

pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang

berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap

perselisihan hubungan industrial.” Bertitik tolak dari pemahaman Pasal 1

angka 17 ini penulis menemukan sebuah kasus yang dinilai dapat diteliti

3 UU PPHI ialah Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial 4 PHI adalah Pengadilan Hubungan Industrial

7

terkait dengan kewenangan mengadili Pengadilan Hubungan Industrial,

seperti yang termuat pada putusan dengan Nomor

02/Pdt.Sus.PHI/2015/PN.Yyk antara Dr. Endi Haryono, M.Si (sebagai

PENGGUGAT) dengan Yayasan Kesejahteraan Pendidikan Dan

Perumahan (YKPP) (sebagai Tergugat I) dan Rektor Universitas

Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta (sebagai TERGUGAT

II).

Latar belakang kasus ini bermula dari diangkatnya Penggugat oleh

Tergugat I menjadi Dosen Tetap pada Jurusan Ilmu Hubungan

Internasional - Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di institusi Tergugat

II (Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta) yang

antara lain berdasarkan Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Nomor :

Skep / 031 / V / 1997 Tanggal 2 Mei 1997 tentang Pengangkatan Sebagai

Pegawai Edukatif Tetap. Dengan demikian Penggugat adalah Pegawai

Edukatif Tetap yang bekerja di bawah Tergugat I yaitu YKPP.

Tergugat II (Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran

Yogyakarta) memiliki hubungan kerjasama dengan lembaga pendidikan

tinggi lain. Salah satunya ialah Universitas Utara Malaya Malaysia baik

dalam bentuk seminar, penelitian dan visiting lecturer. Pada Bulan Mei

2010, Penggugat mengikuti program visiting lecturer di Universitas Utara

Malaya Malaysia, yang keturutsertaan Penggugat dalam program tersebut

sudah dilaporkan dan atas sepengetahuan Tergugat II. Namun Tergugat II

menganggap bahwa keturutsertaan Penggugat dalam program visiting

lecturer adalah tanpa izin tertulis dari Tergugat II. Sehingga Tergugat II

8

menerbitkan Surat Perintah Rektor Nomor: Sprint/29-0/III/2011 yang pada

pokoknya memerintahkan untuk menghentikan gaji sementara Penggugat

terhitung mulai tanggal 01 April 2011 dan menghentikan tunjangan

fungsional terhitung mulai tanggal 01 Juni 2010.

Pada bulan Februari 2012, Tergugat II meminta Penggugat untuk

kembali dari Malaysia dan mengajar lagi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik - Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta.

Selanjutnya pada Bulan Februari 2012 itu pula Penggugat telah memenuhi

panggilan dan amanat dari Tergugat II tersebut. Untuk kepentingan

administrasi Penggugat untuk mengajar mata kuliah tertentu, beban SKS,

honorarium dan sebagainya maka Tergugat II pun menerbitkan Surat

Keputusan Nomor: SKEP/18/II/2012 tanggal 02 Februari 2012 yang pada

pokoknya berisi pengangkatan sebagai dosen UPN Veteran Yogyakarta

Semester Genap TA 20011/2012. Dengan demikian Penggugat telah

menjalankan tugas secara aktif kembali sebagai dosen pada Jurusan Ilmu

Hubungan Internasional - Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta.

Pada bulan Februari 2013 Penggugat tidak diperbolehkan

mengajar. Namun tidak dalam status diberhentikan dan tidak pula

memperoleh hak sebagai pegawai. Karena merasa statusnya tidak menentu

maka Penggugat menghadap Tergugat I dan disaksikan oleh BPH UPN

Veteran Yogyakarta dalam penyelesaian permasalah tersebut. Dari

pertemuan tersebut Tergugat I menawarkan 2 (dua) pilihan, yakni:

Pertama, tetap melanjutkan karir sebagai dosen di bawah Tergugat I

9

dengan pindah tugas sebagai dosen di UPN Jakarta atau Kedua,

mengajukan pilihan penyelesaian yang Penggugat inginkan dengan

bertumpu pada prinsip win-win solution dan kekeluargaan. Karena

memilih pilihan yang kedua, maka berdasar pada prinsip win-win solution

dan kekeluargaan tersebut Penggugat mengajukan permohonan

pengunduran diri sebagai dosen (pegawai) kepada Tergugat I, serta

meminta pembayaran upah yang belum dibayarkan dan hak-hak lain yang

sah sebagai pegawai seperti pengembalian dana asuransi pensiun dan

tabungan hari tua pada Bank Pembangunan Daerah Yogyakarta yang

dipotong setiap bulannya dari upah Pekerja, serta hak-hak normatif lainnya

akibat putusnya hubungan kerja. Selanjutnya Penggugat membuat surat

pernyataan kesediaan dan penerimaan untuk diberhentikan sebagai

pegawai tetap oleh Tergugat I.

Menanggapi surat pernyataan dari Penggugat, Tergugat I

menerbitkan Surat Keputusan Nomor: SKEP/06/YKPP/II/2014 tanggal 20

Februari 2014 tentang Pemberhentian Pegawai di Lingkungan UPN

Veteran Yogyakarta yang pada pokoknya memberhentikan Penggugat

sebagai Pegawai Edukatif Tetap UPN Veteran Yogyakarta. Karena

Penggugat merasa hak-haknya belum dipenuhi oleh Para Tergugat maka

Penggugat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial

pada Pengadilan Negeri Yogyakarta. Gugatan diajukan dengan beberapa

pokok gugatan, yakni:

10

1. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk

seluruhnya.

2. Menghukum Para Tergugat untuk membayar hak-hak normatif

Penggugat sebesar Rp 123.500.000,- (seratus duapuluh tiga juta

lima ratus ribu rupiah) yang terdiri sebagai berikut:

a. Upah + Tunjangan Fungsional sebesarRp 101.400.000,-

b. Tabungan Hari Tua sebesar Rp Rp 22.100.000,-

Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak

putusan berkekuatan hukum tetap.

3. Menghukum Para Tergugat untuk mengembalikan Dana

Asuransi Pensiun Penggugat pada PT. Asuransi Jiwa Manulife

Indonesia Cabang Yogyakarta kepada Penggugat selambat-

lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan

berkekuatan hukum tetap.

4. Menghukum Para Tergugat untuk melakukan

Perubahan/Pencabutan Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN)

atas nama Dr. Endi Haryono, M.Si. (Penggugat) sebagai dosen

UPN Veteran Yogyakarta sebagaimana tercatat pada

KOPERTIS wilayah Yogyakarta selambat-lambatnya 14

(empat belas) hari kerja sejak putusan berkekuatan hukum

tetap.

11

5. Menghukum Tergugat untuk menyerahkan dokumen-dokumen

milik Penggugat dan surat keterangan bekerja selambat-

lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan

berkekuatan hukum tetap.

6. Membebankan biaya perkara kepada Tergugat.

Dari gugatan tersebut Pengadilan pun menjatuhkan putusan

sebagai berikut, yakni:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian.

2. Menghukum para Tergugat untuk membayar hak upah dan

tunjangan fungsional sebesar: Rp.4.225.000,00 x 20 bulan =

Rp.84.500.000,00 (delapan puluh empat juta lima ratus ribu

rupiah) selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak

putusan berkekuatan hukum tetap.

3. Menghukum Tergugat II untuk memberikan surat keterangan

kerja selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak

putusan berkekuatan hukum tetap.

4. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.

5. Membebankan biaya perkara ini kepada negara.

12

Menanggapi gugatan tersebut Tergugat II memberikan eksepsi

berdasarkan beberapa hal. Berikut ini adalah beberapa hal dalam eksepsi

yang menjadi fokus penilitian penulis. Pertama, Pengadilan Hubungan

Industrial secara absolut tidak berwenang dalam memeriksa, mengadili,

dan memutus perkara aquo (absolute competence). Hal ini karena pokok

perkara aquo bukanlah mengenai perselisihan kepentingan, perselisihan

hak, perselisihan antar serikat pekerja, maupun perselisihan pemutusan

hubungan kerja. Hubungan hukum antara Penggugat in person dengan

UPN Veteran Yogyakarta adalah hubungan kepegawaian, dimana

Penggugat merupakan dosen tetap berdasarkan Surat Keputusan Nomor :

Skep/031/V/1997 tentang Pengangkatan Pegawai tanggal 2 Mei 1997 yang

secara jelas disebutkan bahwa status Penggugat adalah pegawai yang

ditugaskan pada Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIP UPN Veteran

Yogyakarta. Sebagai pegawai yang berstatus dosen di UPN Veteran

Yogyakarta, Penggugat tunduk pada ketentuan perundang-undangan yang

mengatur tentang pegawai dan dosen. Kedudukan hukum Penggugat

sebagai seorang dosen tidak dapat dipersamakan dengan pekerja atau

tenaga kerja sebagaimana halnya buruh, karena dosen tidak wajib tunduk

pada hukum ketenagakerjaan namun wajib tunduk pada keberadaan

hukum publik yang mengaturnya seperti Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor

14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan peraturan-peraturan internal

yang khusus diberlakukan di lingkungan UPN Veteran Yogyakarta, yang

13

mana hal demikian juga berlaku bagi Tergugat II. Oleh karena itu,

Tergugat II selaku Rektor tidak ada hubungan hukum ketenagakerjaan

dengan Penggugat karena Rektor bukan pengusaha melainkan pejabat tata

usaha negara.

Perkara aquo berkaitan dengan tuntutan hak normatif pegawai

berkaitan dengan pemberhentian status Penggugat sebagai pegawai yang

diberhentikan berdasarkan Surat Keputusan Yayasan Kesejahteraan

Pendidikan dan Perumahan (YKPP) Nomor : SKEP/06/YKPP/II/2014

tanggal 20 Februari 2014 tentang Pemberhentian Pegawai Di Lingkungan

UPN Veteran Yogyakarta. Surat Keputusan YKPP Nomor :

SKEP/06/YKPP/II/2014 tanggal 20 Februari 2014 tentang Pemberhentian

Pegawai Di Lingkungan UPN Veteran Yogyakarta merupakan keputusan

tata usaha negara (beschikking), karena memenuhi kriteria sebagai surat

keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat atau badan tata usaha negara

yang bersifat individual, final, dan konkrit sebagaimana dimaksud Pasal 1

angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata

Usaha negara. Tergugat II diangkat sebagai Rektor UPN Veteran

Yogyakarta berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan Republik Indonesia Nomor : 221/MPK.A4/KP/2014 tanggal

13 Oktober 2014. Dengan demikian Tergugat II jelas merupakan pejabat

tata usaha negara. Di samping itu, Tergugat I juga merupakan badan dan/

atau pejabat tata usaha negara dengan alasan menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta peraturan

14

pelaksana lainnya, menyatakan lembaga pendidikan tinggi swasta yang

menjalankan salah satu dari urusan di bidang pemerintahan khususnya di

bidang pendidikan merupakan badan tata usaha negara.

Kedua, gugatan Penggugat adalah gugatan yang error in persona.

Terhitung sejak tanggal 6 Oktober 2014 sesuai dengan Peraturan Presiden

Nomor 121 Tahun 2014 tentang Pendirian Universitas Pembangunan

Nasional Veteran Yogyakarta, UPN Veteran Yogyakarta menjadi

perguruan tinggi negeri dengan segala konsekuensi hukumnya, khususnya

yang menyangkut tentang perpindahan aset kekayaan, organisasi, sumber

daya manusia, mahasiswa, pegawai, serta hak dan kewajiban UPN Veteran

Yogyakarta. Maka sejak saat itu, UPN Veteran Yogyakarta sudah tidak

berada di bawah naungan YKPP. gugatan Penggugat adalah gugatan yang

error in persona atau salah menentukan dan menerapkan subyek

Tergugatnya. Bahwa dijadikannya YKPP sebagai Tergugat I merupakan

kesalahan fatal karena YKPP sudah tidak lagi membawahi UPN Veteran

Yogyakarta berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2014

tentang Pendirian Universitas Pembangunan Nasional Veteran

Yogyakarta. Dalam gugatan Penggugat tersebut pula, yang meletakkan

Rektor UPN Veteran Yogyakarta selaku Tergugat II adalah gugatan yang

juga dikualifikasikan sebagai gugatan yang error in persona atau salah

menentukan atau meletakkan subyek Tergugatnya. Dikarenakan dalam

penerbitan Surat Keputusan YKPP Nomor : SKEP/06/YKPP/II/2014

tanggal 20 Februari 2014 tentang Pemberhentian Pegawai Di Lingkungan

Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta sama sekali tidak

15

terlibat atau melibatkan pihak Tergugat II. Dengan demikian, meletakkan

Tergugat II sebagai subyek dalam perkara aquo tidak memiliki dasar

hukum yang jelas, sehingga dengan demikian gugatan Penggugat

dikualifikasikan sebagai gugatan error in persona atau salah menentukan

subyek Tergugatnya.

Ketiga, gugatan Penggugat adalah gugatan yang kabur, tidak jelas,

dan tidak pasti (obscuur libel). Oleh karena gugatan Penggugat tidak dapat

menjelaskan mengenai kewenangan, hubungan, dan keterkaitan hukum

antara Tergugat I dan Tergugat II dalam kaitannya dengan kewajiban

pemenuhan hak yang harus ditanggung oleh Tergugat II, maka gugatan

Penggugat dikualifikasikan sebagai gugatan yang kabur, tidak jelas, dan

tidak pasti (obscuur libel).

Terhadap eksepsi dari Tergugat II hakim menyatakan bahwa

gugatan Penggugat diajukan ke PHI sudah tepat. Dengan pemahaman

bahwa hubungan kerja terjadi pertama kali antara Penggugat dengan

Tergugat I sejak tahun 1997 sampai dengan keluarnya Perarutan Presiden

No. 121 Tahun 2014 tentang Pendirian Universitas Pembangunan

Nasional Veteran Yogyakarta tertanggal 6 Oktober 2014. Hakim juga

beranggapan bahwa yang menjadi objek persengketaan antara kedua belah

pihak adalah mengenai perselisihan hak yaitu upah yang belum dibayar,

tabungan hari tua, dana pensiun serta perubahan/Pencabutan Nomor Induk

Dosen Nasional atas nama Penggugat di KOPERTIS Wilayah Yogyakarta,

surat keterangan kerja Penggugat dan dokumen-dokumen milik Penggugat

16

lainnya akibat pemutusan hubungan kerja oleh Tergugat I yang telah

disepakati oleh Penggugat.

Berdasarkan uraian kasus di atas, penulis tertarik untuk

mengangkatnya dalam penelitian skripsi yang berjudul “Pertimbangan

Hakim tentang Kewenangan Mengadili Pengadilan Hubungan

Industrial dalam Putusan Nomor 02/Pdt.Sus.PHI/2015/PN/Yyk antara

Dr. Endi Haryono, M.Si., dan YKPP dan Rektor UPN Veteran

Yogyakarta.”

17

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian pada Latar Belakang diajukan permasalahan

sebagai berikut: “Apakah pertimbangan hakim tentang kewenangan

mengadili Pengadilan Hubungan Industrial sudah tepat dalam perkara

antara Dr. Endi Haryono M.Si., dengan YKPP dan Rektor UPN

Yogyakarta?”

C. TUJUAN PENELITIAN

Untuk menganalisis apakah pertimbangan hakim tentang

kewenangan mengadili Pengadilan Hubungan Industrial sudah tepat dalam

perkara antara Dr. Endi Haryono M.Si., dengan YKPP dan Rektor UPN

Yogyakarta.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Penelitian ini bermanfaat untuk membantu menganalisis serta

menentukan kewenangan mengadili Pengadilan Hubungan Industrial

dan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam mengadili permasalahan

hukum di Indonesia. Terlebih khusus dalam bidang Hukum

Ketenagakerjaan.

2. Selain itu penelitian ini juga bermanfaat untuk melengkapi referensi

karya ilmiah dalam bidang Hukum Ketenagakerjaan.

18

E. METODE PENELITIAN

1. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis

normatif. Karena yang diteliti adalah ketepatan pertimbangan hakim

terhadap kewenangan mengadili dari Pengadilan Hubungan Industrial.

2. Jenis dan Teknik Pengambilan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder

berupa :

a. Bahan Hukum Primer : Undang-Undang Dasar 1945

Amandemen ke-4, Peraturan Perundang-undangan, UU Nomor

13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU Nomor 2 Tahun

2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,

UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU

Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,

UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan

Presiden Nomor 121 Tahun 2014 tentang Pendirian Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, Putusan Nomor

02/Pdt.Sus.PHI/2015/PN/Yyk.

b. Bahan Hukum Sekunder : Buku Hukum (legal textbooks)

dalam bidang Ketenagakerjaan;

c. Bahan Hukum Tersier : Artikel Hukum, Jurnal Hukum,

Doktrin-doktrin dan Pendapat Ahli Hukum.

19

Sedangkan Teknik Pengambilan Datanya ialah dengan studi

pustaka.

3. Unit Amatan dan Analisis

Unit Amatan dalam penelitian ini yaitu:

a. UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

b. UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial;

c. UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU

Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;

d. UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

e. Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2014 tentang Pendirian

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta;

f. Putusan Nomor 02/Pdt.Sus.PHI/2015/PN/Yyk.

Sedangkan Unit Analisisnya yaitu kewenangan mengadili

Pengadilan Hubungan Industrial.

20

F. SISTEMATIKA PENULISAN

BAB I PENDAHULUAN. Berisi tentang Latar Belakang Masalah,

Permasalahan, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan Metode

Penelitian

BAB II KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN

HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PENGADILAN TATA USAHA

NEGARA DALAM TEORI DAN PRAKTIK. Berisi tentang Prinsip-

prinsip Kewenangan Mengadili Pengadilan Hubungan Industrial dan

Pengadilan Tata Usaha Negara, Kasus Posisi Perkara Nomor

02/Pdt.Sus.PHI/2015/PN/Yyk, dan Analisis terhadap Kewenangan

Mengadili Pengadilan Hubungan Industrial setelah berlakunya Peraturan

Presiden No. 121 Tahun 2014 tentang Pendirian Universitas Pembangunan

Nasional “Veteran” Yogyakarta.

BAB III PENUTUP. Berisi tentang Kesimpulan Dan Saran.