bab ii kerangka teoritik dan konseptual · 2018. 4. 10. · 12dahlan taib, 2011, teori dan hukum...
TRANSCRIPT
1
BAB II
KERANGKA TEORITIK DAN KONSEPTUAL
Dalam kajian bab II, akan memaparkan beberapa pengertian dan
peristilahan sebagai acuan dasar dan fundamen kajian disertasi, yaitu teori, asas,
dan doktrin. Teori dalam kamus besar bahasa Indonesia, diartikan sebagai
pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa, asas
hukum umum yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan, aturan,
cara dan pendapat untuk melakukan sesuatu. Teori adalah model atau kerangka
berfikir yang menjelaskan fenomena alami atau fenomena sosial tertentu, teori
dirumuskan, dikembangkan, dan dievaluasi menurut metode alamiah.1Adapun
teori, asas, doktrin, dan konsepsual pendapat para ahli, berikut:
1. Menurut Bruggink, teori ilmu dari hukum, intinya merupakan filsafat
sebagai metateori tentang teori dari dogmatika hukum. Dijelaskan bahwa
filsafat hukum tidak memiliki meta-teori, karena merupakan disiplin ilmu
yang tidak memiliki meta-disiplin- disiplin diatasnya.2
2. Doktrin dalam ilmu hukum menurut Peczenik,“The so-called doctrine is of
significant importance for legal reasoning. The word “doctrine” refers first
of all to the professional legal writing in legal dogmatics, whose task is to
systematise and interpret valid law”.3
3. Menurut Pattaro, Doktrin merupakan “expotition of the law”.4 Untuk
memulai dengan beberapa fakta mengenai doktrin (scientia iuris,
1A susanto, 2013, Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis,
dan Aksiologi, Remaja Rosdakarya, Jakarta, h.149 2Ibid, h. 39
3Aleksander Peczenik, 2008, On Law and Reason, Springer, Lund University, Sweden,
h. 295 4Enrico Pattaro et.al., 2005, A Treatise of Legal Philosophy and General Jurisprudence,
Vol.4: Scientia Juris, Legal Doctrine as Knowledge of Law and as Source ofLaw, Dordrecht, h, 1.
38
2
Rechtswissenschaft, Rechtsdogmatik, ``doctrine of law,'' legalogmatics)
bahwa: “Legal doctrine in Continental European law (scientiaiuris)
consists of professional legal writings, e.g., handbooks, monographs, etc.,
whose task is to systematize and interpret valid law.5
4. Paul Scholten, asas hukum sebagai pikiran dasar yang terdapat didalam
dan di belakang sistem hukum, dirumuskan dalam peraturan perundang-
undangan, putusan hakim, berkenaan dengannya ketentuan dan keputusan
individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.6
5. Konsep, secara gramatikal (1). rancangan atau buram surat; (2). ide atau
pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret satu istilah dapat
mengandung dua yang berbeda; (3). gambaran mental dari objek, proses
atau pun yang ada diluar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk
memahami hal-hal lain.7
Untuk membentuk kerangka teoritik dan konseptual, akan menjelaskan
keterkaitan beberapa teori, asas, doktrin, dan konseptual sebagai suatu rangkaian
untuk pemecahan permasalahan yang diajukan dalam Disertasi, yaitu: konstitusi,
sistem pemerintahan, negara hukum, pembagian kekuasaan, kewenangan, dan
kompetensi.
2.1. Konstitusi
2.1.1 Pengertian dan Istilah Konstitusi
Konstitusi berasal dari bahasa Perancis constituer, yang berarti membentuk.
Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksud adalah berkaitan dengan
pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu
5Ibid, h. 295
6Bruggink, 2015, Refleksi tentang Hukum Pengertian-pengertian Dasar dalam Teori
Hukum, (diterjemahkan; B. Arief Shidarta).PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h.120 7 Ibid. h.957
3
negara.
8Konstitusi dengan istilah lain constitution atau verfasung dibedakan dari
Undang-Undang Dasar atau groundgezetz. Herman Heller menyatakan bahwa
konstitusi mempunyai arti lebih luas dari Undang-Undang Dasar.9
Konstitusi memiliki dua pengertian yaitu konstitusi tertulis (Undang-
Undang Dasar) dan konstitusi tidak tertulis (konvensi).10
Bentuk Konstitusi itu
sebetulnya tidak ada keharusan tertulis maupun tidak tertulis. Bagi negara yang
menggunakan konstitusi yang tidak tertulis seperti Inggris dan Canada tetap
dianggap mempunyai dan menggunakan konstitusi.11
Konsep konstitusi
merupakan awal dari pembentukan negara, konstitusi tidak dapat terpisahkan dari
negara, oleh karena konstitusi sebagai pedoman bagi suatu negara.
Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan
(Undang-Undang Dasar), atau Undang-Undang Dasar suatu negara. Dengan kata
lain, sebagai tindakan atau perilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan
yang tidak didasarkan atau menyimpangi konstitusi, berarti tindakan (kebijakan)
tersebut adalah tidak konstitusional.12
Konstitusi merupakan norma tertinggi
negara, penyelenggara pemerintahan negara, harus sesuai aturan dalam konstitusi.
Konstitusi sebagai dasar fundamental negara, merupakan ciri negara modern
akhir abad ke-15, berkembang pada zaman aufklarung (renaisance atau abad
pertengahan) dan dipandang sebagai rumusan hukum dari cita-cita politik dan
8Nuruddin Hady, 2010, Teori Konstitusi dan Negara Demokrasi, Paham
Konstitusionalisme Demokrasi Pasca Amandemen UUD 1945, Setara Press, Malang, h. 1 9Moh. Kusnardi dan Harmaly Ibrahim, 1983, Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi
HTN, Jakarta, h. 64 - 65 10
M.Solly Lubis, 1978, Asas-Asas Hukum Tata Negara : Alumni, Bandung, h. 45 11
Mudakir Iskandar Syah, Pengantar Ilmu Hukum & Tata Hukum Indonesia, Sagung
Seto, Jakarta, h. 32 12
Dahlan Taib, 2011, Teori dan Hukum Konstitusi, Raja Grafindo, Jakarta, h. 1
4
ideologi yang dicapai melalui proses demokrasi, berdiri di atas semua golongan.
Konstitusi sebagai rumusan dari suatu cita-cita politik tertinggi dan merupakan
fundamen bagi penyelenggara negara dan sekaligus sebagai instrumen kontrol,
dimana pemerintah dapat dibatasi, diawasi, dan dikontrol.13
Seiring dengan hal itu,
menurut Struycken, bahwa konstitusi adalah hukum dasar sebagai konstitusi
tertulis, merupakan sebuah dokumen formal, berikut:
1) Hasil perjuangan politik bangsa diwaktu yang lampau,
2) Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketetanegaraan bangsa,
3) Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik yang untuk
waktu yang sekarang maupun untuk masa yang akan datang,
4) Suatu keinginan dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan
bangsa hendak dipimpin.14
Konstitusi adalah buatan manusia yang mencerminkan nilai, kaidah,
harapan, dan perkiraan dari the founding fathers tentang berbagai tatanan dan
kompromi antaranya. Selama para penyusun konstitusi itu berusaha menjadikan
konstitusi dapat tanggap terhadap kebutuhan dan kondisi setempat dan guna
menghindari konsekuensi negatif.
Hubungan antara konstitusi dan pelaksanaan demokrasi dapat
mencerminkan usaha awal. Selama konstitusi mewujudkan nilai yang dipegang
secara luas dalam suatu bangsa. Konstitusi dan pola pelaksanaan demokrasi bisa
merupakan produk dari kebudayaan politik, konfigurasi sikap dan keyakinan yang
dipegang oleh masyarakat dan kelompok elit dalam suatu masyarakat, bukan
13
K.C. Wheare, 1975, Moderns Constitutions, Oxford University Press, New York, h. 7 14
Sri Soemantri M, 1986, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung,
h. 2
5
konfigurasi yang menyebabkan konfigurasi lain. hubungan antara latar belakang
budaya dan nilai konstitusional atau pemerintahan adalah sangat erat. Sebab,
konstitusi mencerminkan norma dasar dan cara berpikir yuridik bangsa.
Dikaitkan dengan konstitusi Indonesia, Soekarno (1901-1970), adalah
Undang Undang Dasar Sementara, Undang Undang Dasar Kilat, Revolutie
Grondwe.,15
pidato Soekarno 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI, menyebutkan
negara Indonesia merdeka disusun berdasarkan kerangka philosofische grondslag
(Belanda), weltanschauung (Jerman), yaitu pancasila, lima asasnya termuat dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Lebih lanjut dikatakan Soekarno,
konstitusi adalah alat, arah, dinamika, sumber bagi semua undang-undang yang
dibentuk, menjamin keselamatan, dan kesejahteraan seluruh rakyat.16
Muhamad
Yamin, mengatakan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 merupakan percikan
pikiran sesuatu bangsa atau cetusan nasional yang menjadi hak milik dan berlaku
pada bangsa yang membuatnya.17
Ketentuan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (sebelum amandemen),
kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Oleh sebab itu,
MPR merupakan organ penjelmaan seluruh rakyat dan organ yang menggantikan
kedudukan rakyat dalam menyatakan kehendaknya (vertretungsorgan des willens
des staatsvolkes). Kata vertretung disini berarti penggantian atau
(plaatsvervanging, bukan perwakilan atau vertegenwoordiging). MPR merupakan
15
Muhamad Yamin, 1959, Naskah Persiapan Undang Undang Dasar 1945, Prapantja,
Jakarta, h. 411 16
J.C.T. Simorangkir, 1984, Penetapan UUD Dilihat Dari Segi Ilmu Hukum Tata Negara
Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, h. 95-97 17
Muhamad Yamin, 1956, Konstituante Indonesia Dalam Gelanggang Demokrasi,
Jambatan, Jakarta, h. 173
6
lembaga penjelmaan rakyat yang berkedaulatan, citoyen, citizen, burger. Maka,
apabila dikatakan Presiden adalah mandataris MPR, hal itu berarti bahwa Presiden
adalah mandataris rakyat yang memiliki kedaulatan.18
Secara fakta, tradisi demokrasi memiliki sumber asli dari bangsa Indonesia
sendiri, tetapi dalam praktik menggunakan teori barat dan retorika rule of law,
kendati Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disusun berdasarkan prinsip
rechtsstaat dan yurisprudensi, dipengaruhi oleh hukum Belanda dan Perancis.
Menurut Muhamad Yamin ketiga Undang-Undang Dasar Indonesia yang pernah
diberlakukan (Undang-Undang Dasar Tahun 1945, KRIS 1949, dan Undang-
Undang Dasar Sementara Tahun 1950) selalu disusun atas ajaran trias politika,
sehingga pembagian atas tiga cabang kekuasaan berlaku.19
Ismail Suny, Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 hanya mengenal pembagian kekuasaan (divison of
powers) bukan pemisahan kekuasaan (separation of powers).20
Sebenarnya,
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tidak menganut pembagian dan pemisahan
kekuasaan, tetapi percampuran kekuasaan yang merupakan penyimpangan dalam
sistem pemerintahan Presidensial, yang melahirkan lembaga-lembaga negara,
bukan rangka legislatif, eksekutif, dan yudisial.
Keterkaitan istilah dan konsep konstitusi, dengan penulisan ini. Dalam
sistim ketatanegaraan Indonesia menggunakan istilah Undang-Undang Dasar
sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan dan mengatur lembaga-lembaga
negara mengenai eksistensi kelembagaan, terkait letak dan kedudukan Mahkamah
18
A. Hamid S. Attamimi, 1995, Hubungan Pemerintah Dengan Perwakilan Rakyat
Menurut UUD 1945, dalam Selo Soemardjan (Ed) Hukum Kenegaraan , Grasindo, Jakarta, h. 78 19
Muhamad Yamin, Konstituante, op. Cit., h. 181 20
Ismail Suny, 1986, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, h. 16
7
Konstitusi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
2.1.2 Tujuan Konstitusi
Pada masa peralihan dari negara feodal-monarkhi atau oligarki dengan
kekuasaan mutlak penguasa ke negara nasional demokrasi, konstitusi
berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat dan penguasa yang
kemudian secara berangsur-angsur mempunyai fungsi sebagai alat rakyat dalam
perjuangan kekuasaan melawan golongan penguasa.
Setelah perjuangan dimenangkan oleh rakyat, konstitusi bergeser
kedudukan dan perannya dari sekedar penjaga keamanan dan kepentingan hidup
rakyat terhadap kezaliman golongan penguasa, menjadi senjata rakyat untuk
mengakhiri kekuasaan sepihak satu golongan dalam sistem monarkhi dan oligarki,
serta untuk membangun tata kehidupan baru atas dasar landasan kepentingan
bersama rakyat dengan menggunakan berbagai ideology seperti; individualism,
universalisme, demokrasi, dan sebagainya. Selanjutnya, kedudukan dan fungsi
konstitusi ditentukan oleh ideologi yang melandasi Negara.
Secara prinsip tujuan konstitusi adalah untuk membatasi kesewenangan
tindakan pemerintah, untuk menjamin hak-hak yang diperintah, dan merumuskan
pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat. Loewenstein bahwa; konstitusi itu suatu
sarana dasar untuk mengawasi proses-proses kekuasaan. Oleh karena itu, setiap
konstitusi mempunyai dua tujuan:21
21
Koerniatmanto Soetoprawiro, 1987, Konstitusi: Pengertian dan Perkembangannya, Pro
Justita, No. 2 Tahun V, Jakarta, h. 31
8
a) Untuk memberikan pembatasan dan pengawasan terhadap kekuasaan
politik,
b) Untuk membebaskan kekuasaan dari control mutlak para penguasa, serta
menetapkan bagi para penguasa batas-batas kekuasaan.
Kemudian dalam Teori Konstitusi (Constitutional Theory), oleh
Maarseven dan Tang mengemukakan adanya tiga level pengkajian,22
yaitu
a) National Theory, yaitu teori yang mengkaji Konstitusi suatu Negara
tertentu;
b) Comparative Constitusional Theory, yang kajiannya membandingkan
Konstitusi-konstitusi berbagai Negara;
c) General Constitutional Theory, yang kajiannya berkaitan dengan teori-
teori umum konstitusi.
Beranjak dari teori konstitusi, maka penulis menyederhanakan bahwa tujuan
konstitusi berdasarkan Comparative Constitusional Theory.
2.1.3 Fungsi Konstitusi
Berkenaan dengan fungsi konstitusi dalam suatu negara, sebagaimana
dikatakan oleh Maarseven dan Tang bahwa; bagi suatu negara, konstitusi,
khususnya konstitusi tertulis (Undang-Undang Dasar) merupakan suatu “politico-
legal document” yang secara substantive bermakna hukum dasar suatu negara,
kumpulan aturan-aturan dasar yang membentuk institusi pokok negara, mengatur
lembaga-lembaga negara yang paling penting kekuasaannya dan hubungannya
satu sama lain, mengatur hak dan kewajiban dasar warga negara, mengatur dan
22
Nuruddin Hady, op. cit., h. ix
9
membatasi kekuasaan negara beserta institusinya, dan menentukan hubungan
antara negara dan masyarakat. Dengan demikian, konstitusi bagi suatu negara
mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
a) Fungsi ideologis (ideological function), dalam hal ini konstitusi
memerlukan suatu komitmen terhadap suatu ideologi tertentu, misalnya di
Indonesia, Pancasila;
b) Fungsi Nasionalistis (nationalistic function), konstitusi berfungsi
memelihara nasionalisme negara, yakni rasa persatuan dan kesatuan
identitas nasional lewat bendera, lambang, dan lagu kebangsaan, maka
disebut juga “fungsi integrasi” dari konstitusi;
c) Fungsi struktur (structuring function), yaitu membangun harapan-harapan
politik dan bagaimana harapan-harapan tersebut akan diwujudkan, dalam
hal ini disebut juga “fungsi orientasi” dari konstitusi;
d) Fungsi publikatif (publicative function), yaitu sebagai bukti kelahiran
(birth sertivicate) suatu negara untuk menunjukkan eksistensinya dalam
komunitas internasional;
e) Fungsi rasionalisasi (rationalizing function), yaitu konstitusi
mengekspresikan tujuan-tujuan politik dalam terminologi dan formulasi
hukum;
f) Fungsi registrasi (registration function), dalam hal ini konstitusi merekam
berbagai perkembangan dan konflik politik yang terjadi di suatu negara;
g) Fungsi simbol (simbol function), yakni konstitusi berfungsi memberikan
inspirasi bagi masyarakatnya atas kebutuhan manusia akan hak asasi
manusia, keadilan, rule of law, demokrasi, dan sebagainya;
h) Fungsi pembatas (barrier function), yakni mencegah atau memberi batasan
agar perubahan-perubahan politik dan kenegaraan tidak berlangsung
secara anarkis.
Relevansinya fungsi konstitusi dalam suatu negara sebagai kerangka
negara dan konstitusi juga sebagai dasar ideologi dan arah dari politik suatu
negara. Kedudukan, fungsi dan tujuan konstitusi dalam suatu negara berubah dari
zaman ke zaman. Kemudian K.C. Wheare memandang fungsi konstitusi
mendiskripsikan seluruh sistem pemerintahan suatu negara. Tentunya memiliki
perbedaan dengan yang telah disebutkan sebelumnya. Pertama, sebagai dasar atau
pedoman penyelenggara pemerintahan negara secara umum.
10
Kedua, hukum tertinggi bagi pembentukan hukum-hukum lain, ketiga,
mengatur hubungan antara yang diperintah dan memerintah. Keempat, mengatur
hak-hak konstitusional warga negara.23
Terkait dengan penulisan, agar fungsi
konstitusi tetap eksis dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, memerlukan
lembaga yang memiliki kekuasaan judicial untuk menjaga dan melindunginya
kesaktiannya, sehingga penyelenggara negara tidak menyimpang dari amanat
yang ditetapkan.
2.1.4 Hakekat Konstitusi
Hakekat, makna, dan arti penting konstitusi suatu konstitusi, dapat dilihat
dari pendapat beberapa para ahli, berikut:
1. John Locke (1632-1704), menyebut konstitusi sebagai batas pemakaian
kekuasaan negara dan prasyarat keabsahan negara modern.24
2. Montesquieu (1689-1755) menjadikan konstitusi sebagai jimat.25
3. K.C. Wheare menyebut konstitusi sebagai instrumen dimana pemerintah
dapat diawasi.26
4. Hans Kelsen (1881-1973) menyebutnya konstitusi sebagai grundnorm.27
5. Amerika Serikat menyebutnya, konstitusi sebagai kitab suci negara,28
sebab, Konstitusi itu mutlak merupakan kata akhir dari perwujudan
legitimasi, melanggar konstitusi berarti melampaui batas mandat politik.29
2.2 Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan berasal dari gabungan dua kata “sistem” dan
“pemerintahan”. Sistem adalah suatu keseluruhan, terdiri dari beberapa bagian
yang mempunyai hubungan fungsional baik antara bagian-bagian maupun
23
K.C. Wheare, 1973, Modern Constitutions, edisi ke III, Oxford University Press, New
York, h.7 24
Franz Magnis Suseno, 1987, Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Negara
Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 223 25
Montesquieu, The Spirit, op. cit, h. xiv 26
K.C.Wheare, Modern , loc. cit 27
Ibrahim R, Sistem , loc. cit. 28
Earl R. Kruschke, 1968, An Introduction to The Constitution of The United State,
American Book Company, New York, h. 1 29
David E. Apter, 1996, Pengantar Analisis Politik, LP3ES, Jakarta, h. 140-142
11
hubungan fungsional terhadap keseluruhannya, sehingga hubungan itu
menimbulkan suatu ketergantungan antar bagian-bagian yang akibatnya jika salah
satu bagian tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi keseluruhannya
itu.30
Sistem adalah suatu keseluruhan, terdiri dari beberapa bagian yang memiliki
hubungan fungsional, baik antara bagian yang satu dengan bagian yang lain
maupun hubungan fungsional terhadap keseluruhan, sehingga hubungan itu dapat
menimbulkan suatu ketergantungan antara bagian yang satu dengan bagian yang
lainnya, akibat yang ditimbulkan jika salah satu bagian yang tidak bekerja dengan
baik maka akan mempengaruhi bagian-bagian yang lainnya.31
Pamudji menegaskan bahwa : “Sistem adalah suatu kebulatan atau
keseluruhan yang utuh, dimana didalamnya terdapat komponen-komponen yang
pada gilirannya merupakan sistem tertentu yang mempunyai fungsi masing-
masing, saling berhubungan satu dengan yang lain menurut pola, tata atau norma
tertentu dalam rangka mencapai satu tujuan”.32
Sistem merupakan hubungan
fungsial antara bagian-bagian yang terkait satu sama lain, apabila salah satu dari
bagian terkendala, maka secara tidak langsung dapat mempengaruhi keseluruhan
sistem dan menjadi tidak kestabilan.
Sedangkan konsep pemerintahan dalam arti luas adalah segala sesuatu
yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya
dan kepentingan negara sendiri ; jadi tidak diartikan sebagai pemerintahan yang
hanya menjalankan tugas eksekutif saja, melainkan juga meliputi tugas-tugas
30
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
cet. ke-5, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h. 171 31
Ibid, h. 66 32
Pamudji, 1985, Perbandingan Pemerintahan, Bina Aksara, Jakarta, h. 9
12
lainnya termasuk legislatif dan yudikatif, sehingga sistem pemerintahan adalah
pembagian kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga negara yang
menjalankan kekuasaan-kekuasaan negara itu, dalam rangka kepentingan rakyat,33
Dengan demikian antara kata sistem dan pemerintahan, digabungkan
memiliki pengertian sebagaimana dalam ilmu negara umum (algemeine
staatslehre) yang dimaksud sistem pemerintahan ialah sistem hukum
ketatanegaraan, baik yang berbentuk monarki maupun republik, yaitu mengenai
hubungan antar pemerintah dan badan yang mewakili rakyat. Ditambahkan
Mahfud MD, sistem pemerintahan dipahami sebagai sebuah sistem hubungan tata
kerja antar lembaga-lembaga negara.34
Senada dengan pendapat para ahli tersebut,
Jimly Asshiddiqie mengemukakan, sistem pemerintahan berkaitan dengan
pengertian regeringsdaad, yaitu penyelenggaraan pemerintahan oleh eksekutif
dalam hubungannya dengan fungsi legislatif.35
Berhubungan dengan berbagai penelusuran dari berbagai literatur hukum
tata negara dan ilmu politik, terdapat beberapa varian sistem pemerintahan oleh
C.F. Strong membagi sistem pemerintahan ke dalam kategori: parliamnetary
executive dan non-parliamnetary executive atau the fixed executive. Lebih
bervariasi lagi Giovanni Sartori membagi sistem pemerintahan menjadi tiga
kategori: Presidentialism, parliamnetary system, dan semi-Presidentialism. Jimly
Asshiddiqie dan Sri Soemantri juga mengemukakan tiga variasi sistem
pemerintahan, yaitu: sistem pemerintahan Presidensial (Presidential system),
33
Pamudji, loc.cit. 34
Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislatif : Menguatnya model Legislasi
Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, h. 23 35
Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi. Buana Ilmu, Jakarta, h. 311
13
sistem parlementer (parliamnetary system), dan sistem pemerintahan campuran
(mixed system atau hybrid system).36
2.2.1 Sistem Pemerintahan Parlementer
Sistem parlementer yang merupakan sistem pemerintahan dimana
hubungan antara eksekutif dan badan perwakilan (legislatif) sangat erat. Hal ini
disebabkan adanya pertanggungjawaban para menteri terhadap parlemen. Maka
setiap kabinet yang dibentuk harus memperoleh dukungan kepercayaan dengan
suara terbanyak di parlemen. Dengan demikian kebijakan pemerintah atau kabinet
tidak boleh menyimpang dari apa yang di kehendaki oleh parlemen.37
Sistem Parlementer dua partai, ketua partai politik yang memenangkan
pemilu sekaligus di tunjuk sebagai formatur kabinet, dan langsung sebagai
perdana menteri. Seluruh menteri dalam kabinet adalah mereka yang terpilih
sebagai anggota parlemen, dengan konsekuensi setelah diangkat mejadi menteri
harus non aktif dalam parlemen (kabinet parlementer). Karena partai politik yang
menguasai kabinet adalah sama dengan partai politik yang memegang mayoritas
di parlemen.
Sistem parlementer multi partai, parlemen tidak satupun dari partai politik
yang mampu menguasai kursi secara mayoritas, maka pembentukan kabinet di
sini sering tidak lancar. Kepala negara akan menunjuk tokoh politik tertentu untuk
bertindak sebagai pembentuk kabinet/formatur. Dalam hal ini formatur harus
mengingat pertimbangan kekuatan di parlemen, sehingga setiap kabinet dibentuk
merupakan bentuk kabinet koalisi (gabungan dari beberapa partai politik). Karena
36
Saldi Isra, Op.cit, h. 24 - 25 37
Titik Triwulan, 2006, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Prestasi Pustaka, Jakarta, h. 98
14
koalisi didasarkan pada kompromi, kadang-kadang terjadi setelah kabinet
berjalan, dukungan yang diberikan oleh salah satu partai politik ditarik kembali
dengan cara menarik menterinya (kabinet mengembalikan mandatnya kepada
kepala negara). Sehingga dalam sistem parlemen dengan multi partai sering terjadi
ketidakstabilan pemerintahan (sering penggantian kabinet). Misal, Republik
Indonesia Tahun 1950-1959, di mana terjadi 7 kali pergantian kabinet.38
2.2.2. Sistem Pemerintahan Presidensial
Pemerintahan sistem Presidensial suatu pemerintahan yang dimana
kedudukan eksekutif tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat,
dengan kata lain kedudukan eksekutif berada di luar pengawasan (langsung)
parlemen. Dalam sistem ini Presiden memiliki kekuasaan yang kuat, karena selain
sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan yang mengetahui kabinet
(dewan menteri).39
Oleh karena itu agar tidak menjurus kepada diktatorisme,
maka diperlukan check and balance antar lembaga negara.
Amerika Serikat merupakan tanah kelahiran dan contoh ideal sistem
pemerintahan Presidensial. Sistem pemerintahan ini lahir sebagai upaya Amerika
Serikat menentang dan melepaskan diri dari kolonial Inggris, dengan membentuk
sistem pemerintahan yang berbeda, yaitu pemisahan kekuasaan antara legislatif
dan eksekutif sebagaimana konsep Trias Politica-nya Montesquieu.40
Jimly
Asshiddiqie mengemukakan sembilan karakter pemerintahan Presidensial sebagai
berikut:
38
Ibid, h. 100 39
Ibid, h. 102 40
Saldi Isra, Op.cit., h. 31-32
15
a) Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan
eksekutif dan legislatif.
b) Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif Presiden tidak
terbagi dan yang ada hanya Presiden dan wakil Presiden saja.
c) Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya
kepala negara adalah sekaligus kepala pemerintahan.
d) Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau sebagai
bawahan yang bertanggung jawab kepadanya
e) Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan demikian
pula sebaliknya.
f) Presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa parlemen
g) Berlaku prinsip supremasi konstitusi, karena itu pemerintah eksekutif
bertanggung jawab kepada konstitusi
h) Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat
i) Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat.41
Salah satu karakter sistem pemerintahan Presidensial yang utama adalah
Presiden memegang fungsi ganda, yaitu sebagai kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan. Dalam kekuasaan eksekutif, sebagai kepala pemerintah, Presiden
memegang kekuasaan tunggal dan tertinggi. Presiden memilih dan mengangkat
menteri anggota kabinet dan berperan penting dalam pengambilan keputusan
didalam kabinet, tanpa bergantung kepada lembaga legislatif.
Karakter sistem Presidensial dapat juga dilihat dari pola hubungan antara
lembaga eksekutif (Presiden) dengan lembaga legislatif, dimana adanya pemilihan
umum yang terpisah untuk memilih Presiden dan anggota legislatif. Sistem
Presidensial membawa ciri yang kuat pada pemisahan kekuasaan, dimana badan
eksekutif dan badan legislatif bersifat independen satu sama lain.42
2.2.3 Sistem Pemerintahan Semi-Presidensial
Sistem pemerintahan campuran (mixed system atau hybrid system) adalah
sistem pemerintahan yang berupaya mencarikan titik temu antar sistem
41
Jimly Asshiddiqie, op.cit., h. 316. 42
Saldi Isra, op.cit., h. 40
16
pemerintahan Presidensial dan sistem pemerintahan parlementer. Fungsi ganda
Presiden sebagaimana dalam sistem pemerintahan Presidensial tetap
dipertahankan. Namun sebagai kepala pemerintahan, Presiden berbagi kekuasaan
dengan perdana menteri yang menimbulkan dual executive system.43
Maksudnya
dalam sistem pemerintahan semi Presidensial terdapat dua lembaga eksekutif
yaitu Presiden dan perdana menteri, namun dalam penyelenggaraan pemerintahan
berada pada perdana mentri dan dibantu oleh para mentri, sedangkan Presiden
hanya sebagai simbol pemersatu.
Berdasarkan pola hubungan antara Presiden dengan perdana menteri atau
lembaga legislatif, pengaturan dalam konstitusi dan situasi politik sebuah negara
mix sistem dapat menjadi sistem semi-Presidensial dan semi-parlementer. Jika
konstitusi atau situasi politik cenderung memberikan kekuasaan lebih besar bagi
Presiden, sistem pemerintahan campuran lebih sering disebut dengan sistem semi-
Presidensial. Sebaliknya jika perdana menteri dan badan legislatif mempunyai
kekuasaan lebih besar dari Presiden, sistem campuran lebih sering disebut dengan
sistem semi-parlementer.44
Demikian untuk mengkaji sistem pemerintahan, tidak bisa dilepaskan dari
demokrasi dan kedaulatan rakyat, yang akan mempengaruhi bagaimana sistem
pemerintahan parlementer, Presidensial, dan semi-Presidensial dilahirkan dan
dibangun sebagai suatu sistem pemerintahan suatu negara, termasuk negara
Indonesia.
43
Ibid, h. 48 44
Ibid, h. 45
17
Sistem pemerintahan Presidensial Indonesia dapat dilihat ketentuan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai berikut:
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negeri Republik Indonesia Tahun
1945, Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada
Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negeri Republik Indonesia Tahun
1945, setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negeri Republik Indonesia Tahun
1945, jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan
bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam
persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
Pasal 20 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, persidangan mengesahkan rancangan undang-undang yang
telah disetujui untuk menjadi undang-undang.
Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dalam rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari
semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-
undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Negara Indonesia menganut sistem pemerintahan Presidensial sebagai
pijakan meletakkan kedudukan Mahkamah Konstitusi, berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final : untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.
2.3 Negara Hukum
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, negara Indonesia adalah negara hukum, ketentuan tersebut, memunculkan
18
pertanyaan-pertanyaan, apa makna, hakekat, dan prinsip negara hukum Indonesia
tersebut, untuk menjawab pertanyaan tersebut, memerlukan pendekatan sejarah
ketatanegara Indonesia, acuan atau referensi di sidang BPUPKI yang kemudian
melahirkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan penjelasannya, dan kemudian
telah diamandemen untuk keempat kalinya ( Tahun 1999, Tahun 2000, Tahun
2001, Tahun 2002), diberi nama Undang-Undang Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Sejarah perkembangan pemikiran negara hukum mulai dari yang klasik
sampai modern. Negara hukum menurut Plato (427-347 SM), adalah nomokrasi
bahwa negara harus dipimpin orang bijak (the philosophers),dan membagi warga
negara menjadi tiga lapisan, yaitu: the perfect guardians (kaum filosof yang bijak
bestari), the auxiliary guardians (golongan pembantu seperti militer dan
teknokrat), dan the ordinary people (kaum petani dan pedagang).45
Rechtsstaat berkembang dalam suasana liberalisme dan kapitalisme abad
ke-18, dirumuskan oleh Immanuel Kant (1724-1804) untuk menjabarkan paham
laissezfaire laissez aller dan nachwachtersstaat, untuk menjamin kedudukan
hukum setiap individu,46
diinspirasi oleh ajaran pemisahan kekuasaan
Montesquieu (1689-1755), untuk menghindari pemusatan kekuasaan yang dapat
mendorong terjadinya kesewenang-wenangan dari setiap pemegang kekuasaan.
45
Jimly Asshiddiqie, 1998, Agenda Pembangunan Hukum Nasional Di Abad Globalisasi,
Balai Pustaka, Jakarta, h. 82-83 46
Ibid., h. 90
19
Perkembangan lebih lanjut rechtsstaat dari Immanuel Kant (1724-1804)
dan disempurnakan Friedrich J. Stahl (1802-1861),47
berikut:
1. Adanya jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia,
2. Adanya pemisahan kekuasaan negara berdasarkan trias politika,
3. Setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada undang-undang,
4. Adanya peradilan administrasi negara.
Ajaran rechtsstaat berbeda dengan the rule of law. Rule of law dimulai
dari Inggris dan juga berkembang di Amerika Serikat dalam government of
judiciary disebut the rule of law. Menurut W. Friedman, the rule of law punya dua
arti, yaitu formal dan materiil. Dalam arti formal adalah kekuasaan umum yang
terorganisasi (organized public power) dan setiap negara modern memiliki rezim
hukum sendiri-sendiri. Sedangkan, arti material adalah pemerintahan oleh hukum
berkeadilan (the rule of just law). Rule of law menurut A.V. Dicey (1835-1922),
memiliki tiga unsur,48
sebagai berikut:
1. supremacy of law,
2. equality before the law,
3. Constitution based on individual rights.
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, belum mencerminkan makna, hakikat, dan prinsip negara hukum yang
dikehendaki bangsa Indonesia, kecuali pemahamannya menggunakan pendekatan
sejarah, dari Penjelasan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 oleh Soepomo
memberikan makna negara hukum itu menjadi negara berdasarkan atas hukum
(rechtsstaat), kalau dilihat secara etimologi bahwa rechtsstaat diterjemahkan
47
Ibrahim R, Sistem, Op.Cit, h. 72 ; adalah unsur negara hukum dari Immanuel Kant,
yaitu unsur 1 dan 2, kemudian ditambah oleh Friedrich Stahl, unsur 3 dan 4 48
A.V. Dicey, 1971, An Introduction to the Study of the Law Constitution, English
Language Book Society, London, h. 184 - 204
20
menjadi negara hukum, kemudian pemikiran Soepomo tersebut direkonstruksikan
kembali oleh Ibrahim R,49
sebagai berikut:
1. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia,
2. Supremacy of law,
3. Equality before the law,
4. Adanya pembagian kekuasaan negara berdasarkan trias politika,
5. Setiap tindakan pemerintah berdasarkan atas undang-undang, dan
6. Adanya peradilan yang bebas dan merdeka.
Dalam kesempatan yang sama, Ibrahim R merekonseptualisasikan unsur
rechtsstaat dan rule of law sebagai teori negara hukum demokratis memiliki unsur
sebagai negara hukum demokratis,50
berikut:
1. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia berdasarkan ideologi,
2. Kedudukan yang sama dalam hukum bagi setiap warga negara,
3. Tindakan pemerintah berdasarkan konstitusi yang dilaksanakan dengan
undang-undang,
4. Pembagian kekuasaan berdasarkan trias politika,
5. Adanya peradilan yang bebas dan merdeka, dan
6. Adanya kode moral dan akhlak yang melahirkan karakteristik bangsa dan
negara.
Dari uraian dan kajian prinsip, makna dan hakikat negara hukum tersebut
di atas, yang dijadikan standar dan acuan, untuk mengkaji permasalahan disertasi,
adalah negara berdasarkan atas hukum menurut Soepomo,51
dan teori negara
hukum demokratis menurut Ibrahim R.52
Mengapa menggunakan kedua konstruksi
negara hukum ini sebagai kerangka pikir, sebab kedua konstruksi tersebut lebih
sempurna dan sesuai dengan kebutuhan teoritik pemecahan masalah.
49
Ibrahim R, 2015, Kebijakan Pemerintah dan Negara Hukum, Program Doktor Ilmu
Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 6 50
Ibrahim R, Sistem, loc. cit., Soepomo menggunakan istilah “negara berdasarkan atas
hukum (rechtstaat), sedangkan Ibrahim R, menggunakan istilah “negara hukum demokratis”,
perpaduan negara hukum dan demokrasi sebagai platform membangun negara modern di abad ke-
21. 51
R. Soepomo, salah satu the founding father bangsa Indonesia, anggota BPUPKI dan
PPKI 52
Ibrahim R, loc.cit., h. 6
21
2.4 Pembagian Kekuasaan Negara
Konstitusi atau Undang-Undang Dasar suatu negara salah satunya
pengaturan pembagian kekuasaan didalam suatu negara. Pembagian kekuasaan
menurut fungsinya menujukkan perbedaan antara fungsi-fungsi pemerintahan
yang bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang lebih dikenal sebagai trias
politika.53
Trias politika adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri atas tiga
macam kekuasaan : Pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat
undang undang (dalam peristilahan baru sering disebut rule making function);
kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (rule
application function) ; ketiga kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas
pelanggaran undang-undang (rule adjudication function). Trias politika adalah
suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan (function) ini sebaiknya tidak
diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan
oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian hak-hak asasi warga negara lebih
terjamin.54
Selanjutnya dikatakan oleh Ibrahim R, pembagian kekuasaan merupakan
salah satu usaha untuk membatasi kekuasaan pemerintah pada negara hukum
demokratis, dengan pembagian kekuasaan, melalui teori trias politika, teori
lembaga negara, yang akan melaksanakan tugas dan wewenang sesuai dengan
kewenangan attributie.55
Distribusi kekuasaan harus dilakukan menurut ketentuan
53
Ibid., h. 30 54
Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi, Cetakan Pertama,
Gramedia, Jakarta, h. 281-282 55
Ibrahim R, Sistem, op.cit.
22
Undang-Undang Dasar, didasarkan pada pilihan sistem pemerintahan dan
pembagian kekuasaan, sehingga, menjadi jelas kewenangan dari masing-masing
organ negara, lembaga negara dan sekaligus menjadi standar tolak ukur tanggung
jawab.
Standar tanggung jawab harus dimulai dari kewenangan yang asli, yaitu
attributie dari lembaga negara/organ negara, bermuara pada sistem pembagian
kekuasaan sebagai yang pertama dan utama mendapatkan kewenangan,
kewenangan attributie yang oorspronkelijk (bersifat asli artinya pertama dan
utama). Kewenangan asli yang diterima organ/lembaga negara, kemudian dapat
dilimpahkan oleh pemegang kewenangan asli dalam bentuk delegatie, sedangkan
kewenangan mandaat melekat dan ikut di dalamnya.56
Kemudian dalam mengkaji model atau sistem pembagian kekuasaan,
dikenal beberapa teori, yaitu : teori Goodnow, policy making dan policy
executing,57
Van Vollenhoven: legislatief, executief, yudikatief, dan politie.58
Teori
trias politika (legislatif, eksekutif, dan yudisial) dari Montesquieu (1689-
1755).59
Negara Indonesia, tidak menganut salah satu teori pembagian kekuasaan
tersebut di atas, negara Indonesia memperkenalkan lembaga-lembaga negara,
yaitu: MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, dan MK.
Pembagian kekuasaan itu sangat penting, supaya tidak terjadi penumpukan
kekuasaan pada satu tangan dan menghindari timbulnya kekuasaan yang absolut.
56
Ibrahim R, 2008, Status Hukum Internasional dan Perjanjian Internasional Dalam
Hukum Nasional: Permasalah Teoritik dan Praktek, Makalah Seminar Nasional Kersama Deplu
dan Fakultas Hukum Unair di Surabaya, 18 Oktober , h. 18-22 57
Padmo Wahyono, 1996, Ilmu Negara, Indo Hill Co, Jakarta, h. 171 58
Ibid., h. 175 59
Montesquieu, 1949, The Spirit of The Laws, (Translated by Tomas Nugent), Hafner
Press A Division of Macmillan Publishing, Ner York, h. xli
23
Negara Indonesia tidak menganut ajaran trias politika, karena menganut
pembagian kekuasaan negara dan melahirkan lembaga negara, yaitu: Mejelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK). Akan tetapi, logika
trias politika digunakan dan tercermin pada tugas dan wewenang lembaga negara
tertentu. Pembagian kekuasaan negara ini berguna untuk melihat letak dan
kedudukan Mahkamah Konstitusi yang diberi kompetensi dalam Pasal 24C
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.5 Teori Kewenangan
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata wewenang disamakan
dengan kata kewenangan, yang diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk
bertindak, kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan
tanggung jawab kepada orang dan badan lain.60
Ateng Syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian
kewenangan dan wewenang. Kita harus membedakan antara kewenangan
(authority, gezag) dengan wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan
adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan
yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu
“onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan
terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan
lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya
60
Kamal Hidjaz, 2010, Efektivitas Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Sistem
Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Pustaka Refleksi, Makasar, h. 35
24
meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi
wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta
distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan.61
Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan
oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.
Pengertian wewenang menurut H.D. Stoud, adalah:
Bevoegheid wet kan worden omscrevenals het geheel van bestuurechttelijke
bevoegdheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het
bestuurechttelijke rechtsverkeer. (wewenang dapat dijelaskan sebagai
keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan
penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dalam hukum
publik).62
Dengan demikian dari berbagai penjelasan tentang kewenangan (authority)
memiliki definisi yang berbeda dengan wewenang (competence). Kewenangan
merupakan kekuasaan formal, berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang
ialah suatu spesifikasi dari kewenangan, artinya barang siapa (subyek hukum)
yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka ia berwenang untuk
menggunakan kewenangan itu. Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi)
pemerintahan untuk melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan
atau mengeluarkan keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh
dari konstitusi secara atribusi, delegasi, maupun mandat.
61
Ateng Syafrudin, 2000, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih
dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Universitas Parahyangan, Bandung, h. 22 62
Indroharto, 1994, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie
Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik,, Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 65
25
Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi
(Undang-Undang Dasar). Pada kewenangan delegasi, harus ditegaskan suatu
pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain. Pada mandat tidak
terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang, akan tetapi, yang
diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat,
pejabat yang diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama
mandator (pemberi mandat).
Dikaitkan dengan Jabatan kenegaraan pada setiap sistem pemerintahan,
wajib dihubungkan dengan pembagian kekuasaan negara, untuk menentukan
pembagian tugas dan wewenang dan sekaligus sebagai batas tanggung jawab dari
masing-masing lembaga negara dan hubungan antara lembaga, sesuai dengan
prinsip dan hakikat pembagian kekuasaan. Prinsip dan hakekat pembagian
kekuasaan,63
sebagai berikut:
1. Setiap kekuasaan, wajib dipertanggungjawabkan.
2. Setiap pemberian kekuasaan, harus dipikirkan beban tangung jawab untuk
setiap penerima kekuasaan.
3. Kesediaan untuk melaksanakan tanggung jawab, harus secara inklusif
sudah diterima pada saat menerima kekuasaan.
4. Tiap kekuasaan ditentukan batas kewenangan dan beban tanggung jawab.
5. Kewenangan dan beban tanggung jawab, ditentukan oleh bentuk dan
struktur dalam pembagian kekuasaan negara.
Prinsip mengenai teori kewenangan, ditentukan cara kekuasaan itu
diperoleh, pertama-tama kekuasaan diperoleh melalui attributie (oorspronkelijk
dalam arti asli, setelah itu dilakukan pelimpahan (afgeleid) yang dilakukan
63
Ibrahim R, 2009, Refleksi Satu Dekade Reformasi Indonesia: Sektor Politik, Hukum,
Pemikiran dan Agenda Berikutnya, Makalah Seminar Nasional Dies Natalis ke-47 UNUD dan
Kerjasama dengan Deplu, 7-8 September 2009, h. 7-8
26
melalui delegatie, sedangkan mandaat mengikuti dan melekat pada attributie dan
delegatie.64
Kewenangan attributie diperoleh dan dimulai dari sistem pembagian
kekuasaan, pada sistem pemerintahan yang dianut suatu negara, diluar itu tidak
ada kewenangan attributie, ketentuan kewenangan dan beban tanggung jawab
ditetapkan dalam konstitusi, kecuali negara yang tidak mempunyai konstitusi,
seperti Inggris diatur dalam undang-undang. Delegatie dilakukan oleh pemegang
wewenang attributie dan dalam waktu tertentu, penerima bertindak atas nama diri
sendiri dan bertanggungjawab secara eksternal. Penerima kewenangan attributie,
tergantung pola sistem pembagian kekuasaan bernilai kedaulatan rakyat dan untuk
menghindari absolutisme. Pembentukan kekuasaan dinyatakan dalam konstitusi,
yang oleh Henc Van Maarseveen, disebutnya, bahwa setiap konstitusi sebagai
Reglement van Attributie.65
Banyak literatur yang membicarakan tentang teori
kewenangan, tetapi, terjadi kekeliruan dalam pemahaman dan penempatan tentang
kewenangan.
Kewenangan lembaga-lembaga negara, pada sistem pembagian kekuasaan
negara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, dapat digambarkan,66
sebagai berikut:
1. Lembaga negara yang mendapatkan kewenangan attributie, yaitu MPR,
DPR, DPD, PRESIDEN, BPK, MA, dan MK
2. Lembaga dan organ negara yang mendapatkan kewenangan delegatie,
yaitu Menteri, Pejabat Tinggi Negara Setingkat Menteri, dan Gubernur
3. Lembaga dan organ negara yang menerima kewenangan sub-delegatie,
yaitu eselon satu.
64
Ibrahim R, Status, loc.cit. 65
Henc Van Maarseveen dan Ger Van der Tang, 1978, Written Contitutions A
Computerrized Comparative Study, Oceana Publications Inc, Dobbs Ferry, New York, h. 11-12 66
Ibrahim R, 2015,Hukum Kebijakan, Op. Cit, h. 8
27
2.5.1 Sumber Kewenangan
Prinsip negara hukum dikenal asas legalitas yang menjadi pilar utamanya
dan merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar bagi para
penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum terutama
bagi negara-negara hukum dan sistem kontinental.67
Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa kewenangan diperoleh melalui
tiga sumber yaitu; atribusi, delegasi, mandat. Kewenangan atribusi lazimnya
digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh Undang-Undang Dasar,
kewenangan delegasi dan Mandat adalah kewenangan yang berasal dari
pelimpahan.68
Bedanya kewenangan delegasi terdapat adanya pemindahan atau
pengalihan kewenangan yang ada, atau dengan kata lain pemindahan kewenangan
atribusi kepada pejabat dibawahnya dengan dibarengi pemindahan tanggung
jawab.
Sedangkan pada kewenangan mandat yaitu dalam hal ini tidak ada sama
sekali pengakuan kewenangan atau pengalihtanganan kewenangan, yang ada
hanya janji-janji kerja intern antara penguasa dan pegawai (tidak adanya
pemindahan tanggung jawab atau tanggung jawab tetap pada yang memberi
mandat).69
Setiap kewenangan dibatasi oleh isi atau materi, wilayah dan waktu.
Cacat pada setiap aspek tersebut akan dapat menimbulkan cacat kewenangan
(onbevoegdheid) yang menyangkut cacat isi, cacat wilayah, dan cacat waktu.
2.5.2 Sifat Kewenangan
67
Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, 2002, Paradoksal Konflik dan otonomi Daerah,
Sketsa bayang-bayang Konflik Dalam Prospek Masa Depan Otonomi Daerah, h. 65 68
Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, op.cit., h. 112 69
Ibid, h. 67
28
Mengenai sifat kewenangan pemerintahan yaitu yang bersifat terikat,
fakultatif, dan bebas, terutama dalam kaitannya dalam kewenangan kewenangan
pembuatan dan penerbitan keputusan-keputusan (besluiten) dan ketetapan-
ketetapan (beschikkingan) oleh organ pemerintahan, sehingga dikenal ada
keputusan yang bersifat terikat dan bebas.
Menurut Indroharto; pertama, pada wewenang yang bersifat terikat, yakni
terjadi apabila peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan yang
bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan atau peraturan dasarnya sedikit
banyak menentukan tentang isi dan keputusan yang harus diambil, kedua,
wewenang fakultatif terjadi dalam hal badan atau pejabat tata usaha negara yang
bersangkutan tidak wajib menerapkan wewenangnya atau sedikit banyak masih
ada pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan dalm hal-hal atau keadaan
tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya:
Ketiga, wewenang bebas, yakni terjadi ketika peraturan dasarnya
memberikan kebebasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara untuk
menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkannya atau
peraturan dasarnya memberi ruang lingkup kebebasan kepada pejabat tata usaha
negara yang bersangkutan. Philipus mandiri Hadjon mengutip pendapat N. M.
Spelt dan Ten Berge, membagi kewenangan bebas dalam dua kategori yaitu
kebebasan kebijaksanaan (beleidsvrijheid) dan kebebasan penilaian
(beoordelingsverijheid) yang selanjutnya disimpulkan bahwa ada dua jenis
29
kekuasaan bebas yaitu : pertama kewenangan untuk memutuskan mandiri; kedua,
kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar (verge norm).70
2.6 Kerangka Konseptual
2.6.1 Kekuasaan Kehakiman
Meskipun lembaga pelaksana atau pelaku kekuasaan kehakiman ada dua,
yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi tetapi di samping keduanya
ada pula Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas martabat, kehormatan, dan
perilaku hakim. Keberadaan fungsi Komisi Yudisial ini bersifat penunjang
(auxiliary) terhadap cabang kekuasaan kehakiman dan bukanlah sebagai penegak
hukum tetapi merupakan lembaga penegak etika kehakiman.
Sejalan dengan pendapat Jimly. Zoelva kemudian menjelaskan pula jenis-
jenis organ negara dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Zoelva
menerangkan bahwa Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyebutkan paling
tidak 8 (delapan) organ negara yang menerima kewenangan konstitusional
langsung dari Undang-Undang Dasar, yaitu DPR, DPD, MPR, BPK, Presiden dan
Wakil Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial.
Selain itu, terdapat banyak institusi atau organ baik sebelum atau setelah
perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menjalankan fungsi negara
tetapi tidak disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 baik secara
ekspresif verbis maupun tidak. Institusi atau organ ini lahir atau dibentuk baik
berdasarkan undang-undang, peraturan pemerintah, maupun peraturan Presiden.71
70
Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya,
tanpa tahun, h. 112 71
Hamdan Zoelva, Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di
Indonesia, Jurnal Negarawan, Sekretariat Negara RI, November 2010, h. 65.
30
2.6.2 Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi merupakan suatu lembaga negara yang terbentuk
setelah dilakukannya amandemen ketiga terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945). Dalam amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Tahun
1945 dilakukan perubahan pada Bab IX mengenai kekuasaan kehakiman dengan
mengubah ketentuan Pasal 24 UUD Tahun 1945 sebelum perubahan dan
menambahkan tiga pasal baru dalam ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan mengenai Mahkamah
Konstitusi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
disebutkan dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia Mahkamah Konstitusi memiliki
fungsi untuk mengawal konstitusi, agar dilaksanakan dan dihormati baik
penyelenggara kekuasaan negara maupun warga negara. Mahkamah Konstitusi
menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Undang-Undang Mahkamah Konstitusi) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang perubahan
kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang berfungsi menangani perkara
tertentu di bidang ketatanegaraan dalam rangka menjaga konstitusi agar
dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita
demokrasi.
31
Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa dalam konteks ketatanegaraan,
Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang
berfungsi menegakkan keadilan konstitusional ditengah kehidupan masyarakat,
Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi
dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan
bertanggung jawab.72
2.6.3 Karakter Putusan Final dan Mengikat Mahkamah Konstitutisi
2.6.3.1 Karakter
Karakteristik adalah ciri-ciri khusus, mempunyai kekhususan, sesuatu
perwatakan tertentu.73
Karakter berasal dari bahasa Yunani “to mark” atau
menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam
bentuk tindakan atau tingkah laku.74
Istilah karakteristik diambil dari bahasa
Inggris yakni characteristic, yang artinya mengandung sifat khas, ia
mengungkapkan sifat-sifat yang khas dari sesuatu.75
Dengan demikian karakteristik merupakan sinonim dari kata karakter,
watak, dan sifat yang memiliki pengertian di antaranya: 1). Suatu kualitas atau
sifat yang tetap terus-menerus dan kekal yang dapat dijadikan ciri untuk
mengidentifikasikan seorang pribadi, suatu objek, suatu kejadian. 2).
Penggabungan dari sifat-sifat individual dalam bentuk suatu untas atau kesatuan.
3). Kepribadian seeorang, dipertimbangkan dari titik pandangan etis atau moral.
72
Maruar Siahaan, 2011, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, h. 12 73
http://glosarium.org/arti/k=karakteristik) 74
http://www.slideshare.net/Rapiika/ karakteristik-individu 75
Dalam kamus lengkap psikologi karya Chaplin http://fajaralfina2.blogspot.com/
2013/04/pengertian-karakteristik. h. l
32
2.6.3.2 Putusan
Putusan hakim merupakan sesuatu yang diinginkan oleh pihak-pihak yang
berperkara untuk meyelesaikan sengketa mereka dengan sebaik-baiknya sebab
dengan putusan pengadilan tersebut pihak-pihak yang bersengketa
mengharapkan adanya kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang
mereka hadapi. Untuk itu hakim harus benar-benar mengetahui duduk perkara
yang sebenarnya dan peraturan hukum yang akan diterapkan.
Maruar Siahaan berpendapat bahwa putusan hakim merupakan tindakan
negara yang kewenangannya dilimpahkan kepada hakim berdasarkan undang-
undang. Putusan hakim atau lazim disebut dengan istilah putusan pengadilan
merupakan sesuatu yang sangat diinginkan atau dinanti nanti oleh pihak yang
berperkara guna menyelesaikan sengketa diantara mereka dengan sebaik-
baiknya.76
Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan pada tingkat pertama
dan terakhir. Makna frasa pertama dan terakhir ini adalah tidak dapat
dilakukannya upaya hukum seperti banding atau kasasi, sebagaimana upaya
hukum yang dapat dilakukan pada Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final berarti memilki konsekwensi
bahwa putusan tersebut langsung mengikat sebagai hukum (legaly binding) sejak
diucapkan di dalam persidangan.
Setiap putusan yang dijatuhkan Mahkamah Konstitusi bersifat erga omnes,
artinya putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya mengikat para pihak yang
76
Maruar Siahaan, op.cit., h. 193
33
berperkara yang dirugikan hak konstitusionalnya (pihak pemohon), namun
mengikat secara publik. Putusan Mahkamah Konstitusi secara yuridis mengikat
dan harus dipatuhi oleh setiap warga negara di wilayah Indonesia.
Arsyad Sanusi menilai putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan
Mahkamah Agung yang bersifat inter partes, yaitu hanya mengikat para pihak
bersengketa. Putusan yang telah berkekuatan hukum mengikat belum tentu
bersifat final.77
Sedangkan putusan yang bersifat final telah tertutup segala
kemungkinan untuk menempuh upaya hukum dapat dipastikan telah mempunyai
daya hukum yang mengikat (inkracht van gewijdse)
2.6.3.3 Final
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final. Pengertian sifat final putusan Mahkamah
Konstitusi ini adalah tidak dapat dilakukan upaya hukum atau perlawanan hukum.
Sifat final (legaly binding) dalam putusan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan
bahwa putusan Mahkamah Konstitusi mengikat sebagai norma hukum sejak
diucapkan dalam persidangan.
Final berarti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi secara langsung
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum
yang dapat ditempuh. Putusan final ini langsung berlaku mengikat, yang juga
dapat diartikan bahwa semua pihak, baik itu orang, badan publik atau lembaga
negara wajib mematuhi dan melaksanakan putusan yang telah dijatuhkan. Sebuah
putusan apabila tidak ada upaya hukum yang dapat digunakan, berarti putusan
77
Arsyad Sanusi, op.cit., h. 54
34
tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan
memperoleh kekuatan mengikat (resjudicata pro veritate habetur).
Deny Indrayana berpendapat, putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk
umum. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang bersifat
declaratoir-constitutief. Declaratoir secara sederhana dapat diartikan sebagai
putusan hakim yang menjadi hukum.78
Hadjar, mengartikan Putusan Mahkamah
Konstitusi meniadakan satu keadaan hukum atau membentuk hukum baru.
Keadaan meniadakan atau membentuk hukum baru ini yang kemudian diartikan
bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator.79
78
Deny Indrayana, op.cit., h. 142 - 143 79
Hadjar, op.cit., h. 34.
35
BAB III
PEMIKIRAN –PEMIKIRAN YANG MENDASARI PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI YANG BERSIFAT FINAL
3.1 Sejarah Pemikiran Pembentukan Mahkamah Konstitusi
Berdasarkan teori konstitusi yang dipaparkan dalam bab II, konstitusi
merupakan norma fundamental suatu negara, yang dijadikan sebagai pedoman
penyelenggaraan pemerintahan, yang mengatur hubungan antar pejabat negara
dan warga negara dalam kehidupan ketatanegaraan, maka untuk menjaga dan
menjamin eksistensi serta kewibawannya, Mahkamah Konstitusi merupakan
jawaban yang tepat bagi negara-negara modern yang telah memasukannya
kedalam sistim ketatanegaraan masing-masing.
Secara filosofis pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga
penguji undang-undang dan perlindungan hak asasi manusia dalam mewujudkan
prinsip negara Hukum Konstitusional merupakan buah pemikiran pembentukan
atas berdirinya Mahkamah Konstitusi sebagai Special Triburial secara terpisah
dari MA, dengan mengemban tugas khusus.
Pembentukan lembaga Mahkamah Konstitusi merupakan konsepsi negara-
negara modern (modern nation state), yang pada dasarnya menguji keserasian
norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi.80
Maksudnya; dalam pengujian undang-undang oleh lembaga penguji undang-
undang bertujuan untuk menjamin keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum,
sebagaimana dikatakan oleh Radbruch; ia menjabarkan ide hukum dalam tiga
80
Maruarar Siahaan, 2006, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
Konstitusi Press, Jakarta, h. 5
72
36
aspek yakni kepastian hukum, kegunaan dan keadilan. Selanjutnya ia mengatakan
bahwa; nilai-nilai hukum bidak-bidak yang udah digeser seenak kita atau sekedar
menuruti dorongan hati kita; sebaliknya keberadaan mereka berkaitan satu dengan
yang lainnya. Nilai-nilai hukum tertutup bagi kesewenangan (seenak sendiri) dan
hal itu berlaku juga untuk hubungan diantara mereka orientasi pada ide hukum
dipandang sebagai kebebasaan ini akan kehilangan landasannya jika dapat
ditunjukkan bahwa manusia bukanlah mahkluk bebas.81
Selanjutnya kehadiran
Mahkamah Konstitusi pada intinya; mengemban tugas constitutional review.
Konsep Constitutional review itu sendiri sebenarnya dapat dilihat sebagai buah
perkembangan gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang
didasarkan atas ide-ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan
(oparation of powers) serta perlindungan dan kemajuan hak asasi manusia (the
protection of fundamental rights).82
Sistem constitutional review itu mencakup 2 (dua) tugas pokok, pertama
untuk menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan pertimbangan
peran atau inter play antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan lembaga
peradilan (judiciary) dengan perkataan lain constitutional review di maksudkan
untuk mencegah terjadinya pendayagunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan
yang sedemikian rupa dengan cabang kekuasaan lainnya; kedua, untuk
melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh
lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin
dalam konstitusi sejarah judicial review di Indonesia. Hans Kelsen, seorang
81
Meuwissen, 2007, tentang pengemban hukum, ilmu hukum, teori hukum dan filasafat
hukum diterjemahkan oleh B. Arif Shidarta, PT Refika Aditama, Bandung, h.20 - 21 82
Harbert Hausmaninger the Austrian Legal Sistem, Loc.cit
37
sarjana hukum yang sangat berpengaruh pada abad ke- 20 (1881-1973) juga pakar
konstitusi dan guru besar Hukum Publik dan Administrasi University of Vienna,
diminta untuk menyusun sebuah konstitusi bagi public Austria yang muncul dari
puing kekaisaran Austo-Hungarian Tahun 1919. Sama dengan Marshall, Kelsen
percaya bahwa konstitusi harus diperlukan sebagai seperangkap norma hukum
yang superior (lebih tinggi dari undang-undang biasa dan harus ditegakkan secara
demikian).83
Kelsen juga mengakui adanya ketidak percayaan yang luas terhadap badan
peradilan biasa untuk melaksanakan tugas penegakan konstitusi yang demikian,
sehingga dia merancang mahkamah khusus yang terpisah dari peradilan untuk
mengawasi undang-undang dan membatalkannya jika terjadi bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar. Meski Kelsen merancang model seperti ini untuk Austria,
yang mendirikan Mahkamah Konstitusi berdasar model ini untuk pertama kali
adalah Cecoslowakia pada bulan februari Tahun 1920.
Baru pada bulan Oktober Tahun 1920 rancangan Kelsen tersebut
diwujudkan di Austria. Setelah perang dunia ke dua, gagasan Mahkamah
Konstitusi dengan Judicial review menyebar keseluruh Eropa, dengan mendirikan
Mahkamah Konstitusi secara terpisah dari Mahkamah Agung. Akan tetapi,
Perancis mengadopsi konsepsi ini secara berbeda dengan membentuk
Constitutional Council (Conseil Constitutional) negara-negara bekas jajahan
Perancis mengikuti pola Perancis ini. Sehingga saat ini telah ada 78 negara yang
83
Ibid, h. 41
38
mengadopsi gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi dan Indonesia
merupakan negara ke 78 yang mengadopsikannya.84
3.2 Mahkamah Konstitusi Di Berbagai Negara
3.2.1 Austria
Republik Austria (bahasa Jerman: Republik Österreich) adalah sebuah
negara yang terkurung daratan di tengah-tengah Eropa Tengah. Berbatasan
dengan Jerman dan Ceko di utara, Slowakia dan Hongaria di timur, Slovenia dan
Italia di selatan, dan Swiss dan Liechtenstein di barat. Ibukotanya adalah Vienna.
Austria terkenal dengan musik klasiknya. Negara ini dahulu kala jauh lebih besar
dan merupakan bagian dari kekaisaran Austria-Hongaria. Austria adalah negara
dengan sistem demokrasi representatif parlementer yang terdiri dari sembilan
negara federal, dan menjadi salah satu dari dua negara Eropa yang
mendeklarasikan kenetralannya. Austria adalah negara anggota PBB (sejak
Tahun 1955) dan Uni Eropa (sejak Tahun 1995).
Wilayah Austria yang pada mulanya dikenal sebagai kerajaan Norikum
yang dipimpin oleh Puak Kelt, dan merupakan sekutu lama Romawi. Wilayah ini
didiami (dan bukan ditaklukkan) oleh para penduduk Romawi pada pemerintahan
Augustus dan dijadikan provinsi Norikum pada Tahun 16 SM. Kemudian
berturut-turut Austria ditaklukan oleh Hun, Lombardia, Ostrogoth, Bavaria, dan
Franka. Akhirnya setelah diperintah selama 48 Tahun oleh Hongaria ( dari Tahun
907 hingga Tahun 955), wilayah inti Austria dianugerahkan kepada Leopold dari
Babenberg pada Tahun 976. Setelah menjadi bagian dari Kekaisaran Romawi
84
Manuarar Siahaan, 2006, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
Konstitusi Press, Jakarta, h. 6
39
Suci, Babenberg mengambil alih pemerintahan dari abad ke-10 hingga abad ke-
13. Setelah pangeran Frederick II meninggal pada Tahun 1246 dan tidak memiliki
penerus, Rudolf I dari Wangsa Habsburg membagikan tanahnya kepada anak-
anak lelakinya dan seorang putrinya yang bernama Davieeranth untuk mengawali
masa pemerintahan Wangsa Habsburg sampai awal abad ke-20.85
Selepas kejatuhan kekaisaran Romawi Suci pada Tahun 1806, terbentuklah
Kekaisaran Austria. Setelah berlangsung persaingan dengan kerajaan Prusia untuk
mendominasi kerajaan-kerajaan bangsa Jerman selepas Perang Napoleon,
terbentuklah dwimonarki kekaisaran Austria-Hongaria pada Tahun 1867.
Kekaisaran ini terpecah belah menjadi banyak negara selepas keruntuhan Blok
Sentral pada Perang Dunia I, salah satunya adalah Republik Austria sebagai awal
dari negara Austria modern.86
Pada Tahun 1918, Austria menjadi sebuah negara republik sampai Tahun
1934 saat Engelbert Dollfuss mewujudkan sistem diktator. Austria dicaplok oleh
Jerman di bawah rezim Nazi pada Tahun 1938. Selepas kekalahan Jerman pada
perang dunia II, pihak Sekutu mengambil-alih administrasi Austria. Pada Tahun
1955 Austria dibebaskan dan menjadi sebuah negara republik yang merdeka
dengan syarat Austria mesti bersifat netral. Meskipun demikian, dalam
perkembangannya Austria semakin condong kepada kekuatan barat. Selepas
kejatuhan komunisme di Eropa Timur pada Tahun 1989, Austria menjadi semakin
aktif dalam urusan Eropa dan pada 1995 Austria bergabung dengan Uni Eropa dan
85
Http//www. Wikipedia Indonesia.com 86
Ibid,. http
40
mengadopsi Euro (menggantikan Schilling Austria) menjadi mata uang Austria
pada Tahun 199987
.
3.2.1.1 Sistem Pemerintahan Austria
Austria menjadi Republik federal, demokrasi parlementer melalui
Konstitusi Federal Tahun 1920. Diperkenalkan kembali pada Tahun 1945 kepada
9 negara bagian Republik Federal. Kepala Negara ialah Presiden Federal, yang
dipilih secara langsung. Ketua Pemerintahan Federal ialah Kanselir Federal, yang
diangkat Presiden. Pemerintahan bisa dihapus dari posisi oleh dekrit Presiden
maupun mosi tidak percaya di kamar parlemen yang lebih rendah, nationalrat.
Parlemen Austria terdiri atas 2 kamar. Susunan nationalrat ditentukan tiap
4 Tahun oleh pemilu bebas yang mana tiap warga negara diizinkan memilih untuk
mengisi ke-183 kursinya. "Rintangan Empat Persen" mencegah perpecahan besar
pada kancah politik di nationalrat dengan menghadiahi kursi hanya kepada parpol
yang telah mendapat sedikitnya 4% permulaan pemilu, atau dengan pilihan lain,
telah memenangkan kursi langsung, atau direktmandat, di salah satu dari 43
distrik pemilihan regional. Nationalrat ialah kamar dominan dalam pembentukan
badan legislatif di Austria. Bagaimanapun, majelis parlemen atas, Bundesrat
memiliki hak veto terbatas. Konvensi, disebut Ö.88
Sterreich–Konvent diadakan pada 30 Juni Tahun 2003 untuk memutuskan
usulan mereformasi konstitusi, namun telah gagal mengajukan usulan yang akan
menerima dua pertiga suara di Nationalrat yang perlu untuk amendemen dan/atau
reformasi konstitusional. Bagaimanapun beberapa bagian penting laporan akhir
87
Ibid,. http 88
Http// www.Wikipedia Indonesia.com
41
umumnya disetujui dan tetap diharapkan untuk diwujudkan. Sebagai republik,
Austria dibagi menjadi sembilan negara bagian, (di Austria disebut negara bagian
Austria/ Bundesländ/er). Negara bagian ini kemudian dibagi lagi menjadi distrik
(Bezirk) dan kota (Stadt). Selanjutnya pada tingkat lebih rendah dibagi menjadi
Gemeinde.89
3.2.1.2 Mahkamah Konstitusi Austria
Perkembangan Mahkamah Konstitusi Austria tidak terlepas dari sejarah
ketatanegaraan yang beberapa kali melakukan perubahan terhadap konstitusi
Austria, pada Tahun 1848, ada dua yang di petik dari pengalaman ini; pertama;
berawal dari pemberontakan kaum bangsawan terhadap kekuasaan kekaisaran
Viena dan Habsburg yang menginginkan pembatasan kekuasan raja atau
hegemoni raja.90
Kedua; terbitnya keputusan kaisar yang menyetujui pembentukan
komisi konstitusi.91
Atas dasar persoalan ini, konstitusi Tahun 1848 dibentuk
dengan tujuan membatasi kekuasan raja, namun tidaklah demikian karena sistem
pemerintahan monarchy konstitusional Reichstag, raja tetap memiliki kewenangan
legislatif dan hak veto. Secara structural Reichstag adalah parlemen bicameral
terdiri dari senat yang komposisinya ditentukan oleh kaisar sendiri, disamping
keanggotaan house of representative yang dipilih secara langsung oleh rakyat.92
Terdapat dua hal dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Austria;
pertama terbentuknya senat yang dipilih oleh raja, kedua house representive
dipilih secara langsung oleh rakyat. Setelah itu konstitusi Tahun 1867
89
Austria,1920, Austria Press&information Service-washington, D.C. 90
Austria,. loc.cit. 91
Jimly Asshidique, 2006 , Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara, Mahkamah
Konstitusi RI, h. 269 92
Ibid., h. 271
42
diberlakukan secara paralel atas kekaisaran Austria dan Hungria, akibatnya
lahirlah kekaisaran Austro-Hungarian. Sistem kekaisaraan ini mengilustrasikan
model kerajan konstitusional ganda. Dalam dasawarsa ini konstitusi Tahun 1967
memuat hak asasi manusia. Kehadiran Mahkamah Konstitusi Austria dilatar
belakangi oleh terbentuk konstitusi Tahun 1920 yang dirancang oleh Hans Kelsen
adalah satu-satunya hukum dasar Austria yang paling memenuhi syarat. Karena
dalam konstitusi Austria tersebut, sistem demokrasi perwakilan, jaminan atas hak
asasi manusia dan berlakunya prinsip pemisahan kekuasaan memperoleh
kepastian. Melalui konstitusi Tahun 1920 itulah hubungan lembaga-lembaga
Negara dipetahkan secara jelas.
3.2.1.3 Hans Kelsen Membentuk Pengadilan Khusus Penguji Undang-
Undang
Pada hakekatnya kehadiran Mahkamah Konstitusi Austria adalah untuk
membatasi kekuasaan parlemen yang dinilai memiliki kekuasaan yang tak
tertandingi, hasil ini memicu tuntutan berbagai kalangan terutama ahli hukum tata
negara untuk mengajukan ide pengujian konstitusioanl atau pembentukan lembaga
khusus diluar Mahkamah Agung kepada pemerintah. Pengujian kostitusional ini
bertujuan untuk menguji produk legislastif yang bertentangan dengan konstitusi
Wina Tahun 1920 dan perlindugan hak-hak asasi manusia.
Sebagaimana ide pembentukan Mahkamah Konstitusi dan ide pengujian
konstitusioanl yang dimunculkan oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa
pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya
jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah
43
suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya
jika menurut organ ini produk hukum tersebut tidak konstitusional.
Kemudian untuk itu dapat diadakan organ khusus seperti pengadilan
khusus yang disebut Mahkamah Konstitusi (constitutional court), atau kontrol
terhadap konstitusionalitas undang-undang (judicial review) diberikan kepada
pengadilan biasa, khususnya Mahkamah Agung. Organ khusus yang mengontrol
tersebut dapat menghapuskan secara keseluruhan undang-undang yang tidak
konstitusional sehingga tidak dapat diaplikasikan oleh organ lain. Sedangkan jika
sebuah pengadilan biasa memiliki kompetensi menguji konstitusionalitas undang-
undang, mungkin hanya dalam bentuk menolak untuk menerapkannya dalam
kasus kongkrit ketika menyatakan bahwa undang-undang tersebut tidak
konstitusional sedangkan organ lain tetap diwajibkan menerapkannya.93
George Jellinek pada akhir abad ke-19 mengembangkan gagasan agar
kewenangan judicial review tersebut diterapkan di Austria, seperti yang telah
diterapkan oleh John Marshal di Amerika. Pada Tahun 1867, Mahkamah Agung
Austria mendapatkan kewenangan menangani sengketa yuridis terkait dengan
perlindungan hak-hak politik berhadapan dengan pemerintah.94
Pemikiran Kelsen
yang telah diungkapkan di atas, mendorong dibentuknya suatu lembaga yang
diberi nama Verfassungsgerichtshoft atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional
Court) yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung, sehingga model ini sering
disebut sebagai “The Kelsenian Model ”.
93
Hans Kelsen, 1961, General Theory of Law and State, (New York: Russell & Russell),
h. 157 94
Disebut juga dengan “the centralized sistem of judicial review”. Dalam Arend Lijphart,
Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, (New
Heaven and London: Yale University Press, 1999), h. 225.
44
Gagasan ini diajukan ketika Kelsen diangkat sebagai anggota lembaga
pembaharuan konstitusi Austria (Chancelery) pada Tahun 1919-1920 dan diterima
dalam konstitusi Tahun 1920. Inilah Mahkamah Konstitusi pertama di dunia.
Model ini menyangkut hubungan antara prinsip supremasi konstitusi (the
principle of the supremacy of the Constitution) dan prinsip supremasi parlemen
(the principle of the supremacy of the Parliament). Mahkamah Konstitusi ini
melakukan pengujian baik terhadap norma-norma yang bersifat abstrak (abstract
review) dan juga memungkinkan pengujian terhadap norma kongkrit (concrete
review). Pengujian biasanya dilakukan secara a posteriori, meskipun tidak
menutup kemungkinan dilakukan pengujian a priori.95
3.2.1.4 Kedudukan Mahkamah Konstitusi Austria
Terbentuknya Mahkamah Kontitusi Austria Tahun 1920, mensejajarkan
kedudukan lembaga-lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Austria.
Berkaitan dengan kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam sistem
ketatanegaraannya; berkedudukan di ibu kota Negara; Viena, sedangkan dalam
struktur ketatanegaraan memiliki kedudukan sejajar dengan lembaga lainnya 70
sebagaimana pada bab vii, Pasal 137 konstitusi Austria 1920 (setelah amandamen
pada Tahun 2013). Dari pasal ini jelas, dasar peletakan Mahkamah Konstitusi
Austria sebagai lembaga Negara yang berkedudukan sejajar dengan lembaga lain.
Demikian juga terdapat pengadilan federal yang disebut lander Mahkamah
Konstitusi Austria anggotanya terdiri dari Presiden, wakil Presiden dan dua belas
hakim anggota lainnya. Mahkamah Konstitusi Austria anggotanya terdiri dari
95
Jimly Asshiddiqie, 2005, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,
Konstitusi Press, Jakarta, h. 28, 29, 64 – 66, 108-109
45
Presiden, wakil Presiden dan dua belas hakim anggota lainnya. Disamping itu,
mahkamah juga memiliki tujuh orang hakim yang berstatus sebagai hakim
pengganti, seluruh hakim secara formal diangkat atas rekomendasi Presiden
federal. Presiden dan wakil Presiden Mahkamah Konstitusi, berserta tujuh hakim
anggota dan ditambah tiga hakim pengganti lainnya diangkat setelah memperoleh
rekomendasi dari pemerintahan federal.
Sedangkan tujuh anggota sisanya maupun tiga anggota pengganti diangkat
berdasarkan rekomendasi dari dua kamar dalam parlemen (tiga hakim tetap dan
dua hakim pengganti oleh majelis nasional), sedangkan dua hakim dan satu hakim
pengganti lainnya oleh Majelis Federal. Tiga hakim prospektif dipersiapkan untuk
mengisi kekosongan jabatan hakim apabila sewaktu-waktu jabatan tersebut tidak
ada yang menempati.
3.2.1.5 Kewenangan Mahkamah Konstitusi Austria
Autria negara yang tercatat sebagai negara pertama di dunia dalam
membentuk Mahkamah Konstitusi, dan menjadi role model bagi negara-negara di
dunia. Mahkamah Konstitusi Austria terdiri dari Presiden Mahkamah, Wakil
Presiden Mahkamah dan 12 anggota, sehingga kesemuanya jumlahnya 14 hakim.
Disamping ke 14 hakim itu, terdapat 7 hakim pengganti yang siap mengisi atau
menggantikan hakim yang sedang berhalangan, sehingga diharapkan persidangan
Mahkamah Konstitusi akan selalu dihadiri oleh 14 hakim secara lengkap (full
bench).96
96
Pasal 147 Konstitusi Austria.
46
Berdasarkan Konstitusi Austria, Mahkamah Konstitusi Austria memiliki
cukup banyak kewenangan yang jika dirangkum ialah sebagai berikut: 97
1. Pengujian Konstitusional yang meliputi:
a) Pengujian undang-undang, baik undang-undang federal maupun
undang-undang negara bagian terhadap Undang-Undang Dasar
(konstitusi);
b) Preventive review berdasarkan permohonan dari pemerintah federal
terhadap rancangan undang-undang negara bagian atau sebaliknya
(dari pemerintah negara bagian terhadap rancangan undang-undang
federal).
c) Pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang
terhadap undang-undang (biasanya merupakan limpahan dari
pengadilan umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara);
d) Pengujian perjanjian internasional (secara umum);
e) Pengujian formil konstitusi (terhadap hasil amandemen);
f) Pengujian konstitusi negara bagian terhadap konstitusi federal;
2. Memutus sengketa hasil pemilu parlemen dan Presiden;
3. Memutus sengketa kompetensi antara peradilan umum dan peradilan
administrasi serta seluruh jenis peradilan lainnya;
4. Memutus perkara impeachment terhadap pejabat tinggi negara; dan
5. Constitutional complaint (individual complaint) sejak Tahun 1975 (namun
tidak untuk menggugat putusan pengadilan).98
Pengujian konstitusional yang berlaku dalam sistem Austria ini cukup luas
jangkauannya, yakni meliputi; a priori review dan juga posteriori review. A
priori review atau biasa disebut juga dengan istilah preventive review ini berlaku
terhadap suatu RUU (undang-undang yang belum berlaku). Legal standing atau
pihak yang dapat mengajukan pengujian jenis ini terbatas hanya pada organ
pemerintahan federal dan pemerintahan negara bagian.99
Untuk jenis pengujian
97
Chapter VI tentang “Constitutional and Administrative Guarantees” Khususnya pada
Bagian D tentang “Constitutional Court” dari Pasal 137 sampai dengan Pasal 148. 98
Pasal 144 Konstitusi Austria. 99
Pasal 138 ayat (2) Konstitusi Austria, dalam Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal,
2012, Peradilan Konstitusi di 10 Negara, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h. 16.
47
yang tergolong dalam kategori posteriori review ( pengujian terhadap undang-
undang ; setelah disahkan dan resmi menjadi undang-undang ) hanya dapat
diajukan dalam kerangka concrete review. Artinya pengujian dapat diajukan
dalam hal terdapat kasus konkret yang dihadapi oleh pemohon. Permohonan juga
dapat diajukan atas inisiatif hakim yang sedang menghadapi persoalan
konstitusionalitas dari suatu norma hukum yang menjadi dasar dalam perkara
yang sedang ia tangani. Dalam hal yang demikian, maka hakim mengajukan
penyerahan/pelimpahan (judicial referral) perkara konstitusionalitas tersebut
kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dan disertai dengan penghentian atau
penundaan pemeriksaan terhadap perkara yang dimaksud sampai ada putusan
Mahkamah Konstitusi. Namun kenyataan menunjukkan bahwa perkara-perkara
yang berasal dari pelimpahan (referral) pengadilan itu mayoritas tidak diterima
oleh Mahkamah Konstitusi.100
Satu hal yang menarik dan unik dari sistem
pengujian konstitusional di Austria ini adalah dimungkinkannya pengujian
terhadap undang-undang secara aktif atas inisiatif mahkamah sendiri apabila
mahkamah menilai bahwa suatu undang-undang nyata-nyata bertentangan dengan
konstitusi dan keberadaannya tidak dapat ditolelir lagi.101
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, objek pengujian (objectum litis)
konstitusional di Austria ini terbilang cukup banyak apabila dibandingkan dengan
negara-negara lain, apalagi jika dibandingkan dengan Indonesia yang Mahkamah
Konstitusi hanya dapat menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
100
Herbert Hesmauninger, 2003, The Austrian Legal System, Manzsche Verlagsund
Universitat Buchhandlung, Wien, h. 157. 101
Pasal 140 ayat (3) Konstitusi Austria.
48
Jika dirangkum, maka objek atau norma hukum yang dapat diuji
konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi Austria ini meliputi:
a) Rancangan undang-undang federal dan rancangan undang-undang negara
bagian;
b) Undang-undang federal dan undang-undang negara bagian;
c) Undang-Undang Dasar negara bagian;
d) Perjanjian internasional;
e) Konstitusi hasil perubahan/amandemen yang dilihat dan diuji secara formil
(tata cara dan prosedur pembentukannya); dan
f) Peraturan dibawah undang-undang (secondary legislation).
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat umum (erga
omnes), artinya tidak dimungkinkan adanya perlawanan atau upaya hukum apa
pun terhadap putusan tersebut. Sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan
erga omnes ini memang merupakan sebuah kelaziman dalam peradilan konstitusi
di semua negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Dalam putusannya, terutama dalam perkara pengujian konstitusional,
Mahkamah Konstitusi Austria mengenal adanya dua kategori putusan, yakni
Putusan yang membatalkan sebagian isi undang-undang yang diuji (biasanya
dalam hal uji materiil) dan Putusan yang membatalkan suatu undang-undang
secara keseluruhan (biasanya dalam hal uji formil). Selain itu, salah satu ciri khas
dari Mahkamah Konstitusi Austria ialah kewenangannya untuk menunda akibat
hukum dari suatu putusan hingga jangka waktu lebih dari 18 bulan. Hal ini
dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada legislator untuk
memperbaiki undang-undang/norma hukum yang telah dibatalkan untuk
menghindari kekosongan hukum.102
Bahkan pembatalan tersebut dapat juga diikuti
pemberlakukan undang-undang lama yang pernah berlaku sebelumnya. Namun
102
Jimly Asshiddiqie, op. cit., h. 20 - 21
49
dalam kenyataannya yang terakhir ini selalu dihindari oleh Mahkamah
Konstitusi.103
Daya jangkau putusan Mahkamah Konstitusi Austria, sebagaimana
lazimnya Mahkamah-Mahkamah Konstitusi di negara lain, bersifat prospektif atau
berlaku kedepan (ex nunc). Tidak bersifat retroaktif atau berlaku surut (ex
tunc).104
Jadi intinya kewenangan pengujian undang-undang mempunyai batas
waktu tertentu untuk dapat memberikan kesempatan bagi legislatif
menyempurnakan produk legislasi yang tidak sesuai norma hukum dan
Mahkamah Konstitusi Austria tidak memberlakukan sifat retroatif.
3.2.2 Jerman
Negara Jerman sebagai salah satu negara yang berada di kawasan Eropa
Barat ini merupakan negara yang maju dan terkemuka di daratan Eropa. Secara
teritorial, negara Perancis juga merupakan negara yang maju di wilayah ini
memang memiliki luas wilayah yang jauh lebih besar di daerah Eropa Barat.
Namun, secara demografi maupun secara ekonomi negara Jerman lebih besar dan
maju. Berakhirnya, perang dunia kedua, menyebabkan negara Jerman menjadi
terbagi dua, yaitu Jerman Barat yang mengembangkan suatu paham demokrasi.
Sedangkan, Jerman Timur menganut aliran komunis. Akan tetapi, sejak hegemoni
komunis Uni Soviet telah berakhir, maka pengaruhnya juga berdampak pada
reformasi publik di negara–negara yang ada dalam pengaruh Uni Soviet di Eropa,
salah satunya Jerman Timur.105
3.2.2.1. Sistem Tata Negara Jerman
103
Herbert Hesmauninger, op. cit., h. 146 104
Daya jangkau putusan yang bersifat prospektif ini sangat berbeda dengan putusan
pengujian konstitusional di AS yang bersifat retroaktif. Lihat kembali bagian B tentang Pengujian
Konstitusional di Amerika Serikat 105
http//profil negara Jerman.com
50
Pada akhirnya, Jerman Barat dan Jerman Timur melakukan unifikasi atau
bersatu kembali. Unfikasi ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin. Tembok
Berlin ini merupakan simbol pemisah dua paham tersebut di kota Berlin.
Hancurnya tembok Berlin pada tanggal 9 November 1989 menjadi momentum
yang bersejarah bagi kedua wilayah negara Jerman. Hal tersebut disebabkan
menjadi bersatunya Jerman Barat dan Jerman Timur.
Kedua, wilayah ini yaitu Jerman Barat dan Jerman Timur telah
bermusuhan selama 40 Tahun. Kemudian, pada tanggal 30 Oktober 1990,
berdirilah negara Jerman bersatu dengan ibu kota Berlin. Pada saat ini, nama
resmi Jerman unifikasi yaitu Republik Federasi Jerman atau Bundes Republik
Deutscland. Kegagalan negara Jerman Timur dalam membangun
perekonomiannya sangat nyata. Hal tersebut disebabkan sistem komunisme yang
dijalankannya. Berbeda dengan negara Jerman Barat yang menerapkan sistem
ekonomi liberal. Sistem ekonomi tersebut mampu membuat negara Jerman Barat
mengalami keberhasilan. Ditunjukkan dengan kemajuan yang pesat, baik dalam
bidang ekonomi maupun dalam aspek-aspek yang lain.
Pada saat ini dalam unifikasi, negara Jerman berusaha mempertahankan
dan mengembangkan pencapaian yang telah diraih. Berkembangnya negara
Jerman menjadi negara yang maju, tidak terlepas dari kebudayaan yang dimiliki
dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kekayaan sumber daya alam
negara Jerman terutama barang tambang mendukung Jerman pada kemajuannya
pada saat ini. Pusat kekayaan sumber barang tambang negara Jerman berada di
daerah Ruhr. Daerah Ruhr ini terletak di salah satu lembah aliran sungai Rhein.
51
Pentingnya Ruhr menyebabkan berkembangnya kawasan yang berada di
sepanjang sungai Rhein. Ruhr merupakan suatu kawasan untuk pertambangan
batu bara yang terbesar di negara Jerman ini.
Di mana, kawasan Ruhr ini memiliki tingkat perkembangan yang sangat
pesat. Kondisi tersebut ditandai dengan berkembang pesatnya kota-kota di
sepanjang lembah ini. Kota ini menjadi wilayah metropolitan antara lain kota
Bonn, kota Koln, kota Frankfurt, kota Dusseldorf, kota Dortmund, dan kota
Essen. Negara Jerman merupakan negara yang penting bagi Uni Eropa dan
memiliki jumlah penduduk yang paling banyak. Selain itu, negara Jerman menjadi
salah satu negara anggota NATO dan G8.
Pemaparan di atas merupakan gambaran umum yang terjadi di negara
Jerman. Dimana semula negara Jerman terbagi menjadi dua wilayah, selanjutnya
disatukan menjadi unifikasi. Kemudian, bagaimana letak dan luas negara
Jerman.106
Negara Jerman merupakan salah satu negara yang berada di wilayah
Eropa Barat. Wilayah Jerman ini membentang mulai dari Laut Utara dan Laut
Balthik sampai pada perbatasan dengan Swiss dan Austria yang terletak di sebelah
selatan. Secara geografis, kondisi wilayah negara Jerman ini terletak antara 470
Lintang Utara (LU) sampai 550 Lintang Selatan (LS) dan antara 60 Bujur Timur
(BT) sampai 150 Bujur Timur (BT). Sedangkan luas wilayah negara Jerman
secara keseluruhan yaitu mencapai 356.910 km2.
Secara geografis negara Jerman memiliki batas-batas wilayah yaitu
sebagai berikut:
106
Ibid,. http
52
a) Sebelah utara negara Jerman berbatasan dengan Laut Utara dan Laut
Baltik.
b) Sebelah Timur negara Jerman berbatasan dengan negara Polandia,
Republik Ceko, dan Slovakia.
c) Sebelah Selatan negara Jerman berbatasan dengan Swiss dan Austria.
d) Sebelah Barat negara Jerman berbatasan dengan negara Perancis,
Luksemburg, Belgia, dan Belanda.
Berdasarkan letak geografinya, nampak bahwa negara Jerman tidak
seberuntung negara tetangganya di wilayah Eropa Barat, antara lain Perancis,
Belanda, dan Belgia. Di mana negara-negara tersebut memiliki akses ke laut
lepas. Negara Perancis bahkan memiliki akses yang luas, baik ke Samudra
Atlantik maupun ke Laut Tengah. Negara Jerman memiliki wilayah pantai yang
berada di kawasan Laut Utara. Namun, garis pantainya relatif pendek.
Meskipun ada wilayah pantai yang lebih panjang pada Laut Baltik, namun
perairan di laut ini cenderung membeku pada saat musim winter. Pada wilayah
darat terkesan terkunci, pada sisi Barat oleh Belanda dan Belgia. Kemudian, pada
sisi selatan, terbatasi oleh pegunungan Alpen. Sedangkan di bagian timur,
terbatasi oleh Polandia. Meskipun demikian, negara Jerman mampu mengatasi
hambatan atau faktor rintangan tersebut. Negara Jerman memiliki pelabuhan alam
yang baik, sungai dan saluran-saluran pedalamannya yang memiliki akses ke
pelabuhan tersebut. Selain itu, juga dapat dilayari oleh kapal-kapal berukuran
samudra, termasuk ke pelabuhan Rotterdam di negara tetangganya Belanda.
53
Sebaliknya, negara Perancis tidak memilikinya. Dengan letak astronomis dan
geografis yang demikian.107
3.2.2.2. Mahkamah Konstitusi Jerman
Negara Jerman membentuk Mahkamah Konstitusi pada Tahun 1949, di
Jerman telah dibentuk semacam peradilan negara (State Adjudication) pada era
Konfederasi Tahun 1815 yang fungsinya mirip dengan Mahkamah Konstitusi. Ide
pembentukan peradilan negara itu sendiri dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk
menangani sengketa kesewenangan antar negara bagian yang ada dibawah
Konfederasi Jerman 1815.108
Jadi kompetensi peradilan negara ini ialah
menyelenggarakan sengketa kewenangan antar negara bagian yang bernaung di
bawah Konfederasi Jerman yang ketika itu berjumlah 36 negara bagian.109
Peradilan inilah yang dapat dikatakan sebagai cikal bakal dari Mahkamah
Konstitusi Jerman yang kita kenal sekarang ini. Didalam perjalanannya, Peradilan
negara tidak berhasil menunjukkan eksistensi dan supremasinya. Hal tersebut
disebabkan karena pada waktu itu ide konstitusionalisme dan persoalan HAM
tidak mendapat perhatian serius di Jerman.110
Perkembangan ketatanegaraan
Jerman memasuki babak baru pada saat terbentuknya Konstitusi Weimar 11
Agustus 1919. Konstitusi yang dibuat seTahun setelah kekalahan Jerman pada
perang dunia I itu secara resmi mengganti bentuk pemerintahaan Jerman dari yang
semula berbentuk kekaisaran (sejak Tahun 1871-1918) menjadi republik (1919-
107
Ibid., http 108
Ibid 109
Perihal Negara-negara bagian yang menjadi anggota Konfederasi Jerman yang
dipersatukan melalui kongres Wina 1815 ini dapat dibaca lebih lanjut pada Wikipedia,
Konfederasi Jerman, di akses pada 15 mei 2016 110
Alfret Rinken dalam Jimly Asshiddiqie dan ahmad Syarizal, op.cit., h. 39
54
1933).
111Melalui konstitusi Weimar dibentuklah sebuah organ bernama
Staatsgerichtshof/ Reichgerichtshof. Organ ini disebut-sebut sebagai embrio dari
MK Jerman.112
Organ tersebut memiliki wewenang untuk menyelesaikan sengketa
antara pemerintah federal/ pusat dengan negara bagian serta sengketa yang terjadi
diantara negara-negara bagian itu sendiri.
Akan tetapi mekanisme perlindungan HAM dan judicial review pada
periode ini kurang berkembang karena dianggap bertentangan dengan teori
konstitusional yang berlaku pada saat itu, yakni teori supremasi parlemen.113
Pada
periode konstitusi Weimar (1919-1933) Reichgerichtshof dan lembaga judicial
review lebih banyak dilingkupi aneka kontroversi dari pada prestasi. Akibatnya
Reichgerichtshof oleh banyak kalangan (salah satunya Carl Schmitt), dinilai telah
gagal menjalankan tugas sebagai pengawal konstitusi (the guardion of the
constitutiona ).114
Harapan untuk membentuk peradilan konstitusi yang solid dan efektif
menemui titik terang seiring dengan berakhirnya perang dunia 2. Sesaat telah
berahirnya perang, maka para ahli hukum tata negara Jerman berusaha merancang
kembali bangunan peradilan (konstitusi) yang ideal sebagai bagian dari reformasi
111
Konstitusi Weimar ini lahir sebagai hasil dari dinamika kenegaraan yang berkembang
pada saat itu (tahun 1918-1919), dimana terjadi penurunan kepercayaan rakyat pada titik yang
paling nadir terhadap kekaisaran Jerman akibat kesalahan yang diderita Jerman dalam Perang
Dunia I. itulah sebabnya Konstitusi Weimar 1919 ini secara resmi membubarkan kekaisaran
Jerman dan menggantinya dengan Pemerintahan Republik. Lihat lebih lanjut mengenai hal ini
dalam Arthur Gunlicks, The Lander and German Federalism, Manchester University Press,
Manchester and New York, 2003, h. 29-33 112
Martin Borowski, 2003,`The Beginnings of germany`s Federal Constitusional
Court.``Journal Ratio Juris, Vol. 16, No. 2, Juni , (Malden, John Wiley & Sons Inc), h. 159-160. 113
Teori dan alam pemikiran yang berkembang pada saat itu adalah Supremasi Parlemen,
dimana parlemen dan segala produk yang dikeluarkannya dianggap sebagai yang paling tinggi atau
supreme sehingga tidak terpikirkan waktu itu untuk menguji produk-produk Parlemen (undang-
undang) yang diasumsikan sebagai perwujudan dan representasi dari rakyat yang berdaulat. 114
Alfred Rinken, dalam Jimly Asshiddie dan Ahmad Syahrizal, Op.Cit. h. 41
55
total di Jerman pasca Perang Dunia ke 2. Diantara ahli hukum itu terdapat tiga
nama penting yang besar pengaruhnya dalam menggagas pembentukan MK
Jerman sebagai istitusi peradilan yang mandiri dan terpisah dari MA. Mereka
adalah Richrad Thoma, Anschutz, dan Gustav Radbruch.
Menurut ketiganya bahwa; tugas dan kewajiban untuk menyelesaikan
perkara perdata konstitusional senyogianya dilaksanakan oleh MK, bukan
peradilan biasa yang berpuncak pada MA seperti model Amerika.115
Upaya
membentuk MK Jerman menjadi semakin kongkrit manakala diadakan rapat
dalam rangka menyusun konstitusi Jerman yang di kenal dengan istilah ``Rapat
Besar Konstitusi``pada Tahun 1948 di Herrenchiemdee.116
Semangat
pembentukan MK Jerman dalam rapat tersebut nampaknya sudah tidak
terbendung lagi. Rapat tersebut telah berhasil menetapkan substansi penting bagi
Konstitusi (Basic Law) yang akan disahkan dikemudian hari.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi Jerman (Bundesverfassung gericht)
Tahun 1949 merupakan bagian dari reformasi total pasca kehancuran negara
tersebut akibat perang dunia ke 2. Pembentukannya tidak bisa dilepaskan dari
latar belakang situasi yang ada pada saat itu dimana muncul keinginan yang kuat
dari rakyat Jerman untuk mendirikan negara demokratik konstitusional setelah
sebelumnya dibelenggu oleh rezim totalitre nazi. Tujuan ialah untuk memastikan
agar dimasa mendatang, tidak ada lagi pemerintahan totaliter atau fasis di Jerman
115
Ibid., h. 42 116
Forum tempat berlangsungnya pembahasan-pembahasan dalam rangka penyusunan
konstitusi Jerman dan puncaknya adalah dirampungkan dan disahkannya Konstitusi atau Basic
Law pada tanggal 23 Mei 1949. Basis 1949 ini dalam David P. Currie, The Constitutional of the
federal Republic of Germany. The University of Chicago and London, 1994, h. 1-8
56
seperti yang terjadi pada masa lalu dibawah pimpinan Adolf Hitler,
117 mengenai
hal ini Michaela Hailbronner mengatakan bahwa :
``The German Constitutional Court draws its considerable strength from the
reaction to the German Nazi past: Because the Nazis abused rights and had
been elected by the people, the argument runs, it was necessary to create a
strong Court to guard these rights in the future.118
Pembentukan MK Jerman dituangkan dalam Basic Law 1949
(Grundgesetz). Mahkamah Konstitusi Jerman berkedudukan di Kalsruhe, sebuah
kota yang disebut-sebut sebagai ibu kotanya hukum, karena di kota itulah
pengadilan-pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung Jerman berkedudukan.119
Salah satu substansi penting yang berhasil disepakati dalam rapat tersebut ialah
mengenai perlunya pembentukan Mahkamah Konstitusi Jerman, lengkap dengan
kewenangannya yang luas dan lebih kuat dari Staatgerichtshof pada masa yang
lalu. Sehingga lembaga tersebut diharapkan dapat menjadi garda terdepan dalam
menjamin tegaknya konstitusi dan perlindungan HAM Jerman.120
Tulisan Martin
Borowski yang salah satu bagiannya mengulas sejarah singkat penyusunan
konstitusi Jerman 1949, diceritakan bahwa :
The comference-whose participants `expertise is an established fact-
worked up a draft of a constitution as a guideline for the
deliberations that would follow. The succeeded in setting sown many
of the fundamentals of the forthcoming constitution. The draft of the
Herrenchiemsee Conference (HCHE) comprises, in section viii, arts.
97 to100, an independent section respecting the Federal
Constitutional Court,….the Herrenchiemsee Conference emphasizes
117
Anja Seibert, 2012, =Fahr, ``Judical Independence in Germany,`` dalam Anja Seibert-
Fahr (editor), Judicial Independence in Transition, Max Planck Institute for Comparative Public
Law and International Law, Heidelberg-Karlsruhe, h. 447-448 118
Mochaele Hailbronner, ``Rethinking the rise of the German Constitutional Court: from
anti-Nazism to value formalism, ``International Journal of Constitutional Law, Vol. 12, No. 3, Juli
2014, (Oxford : Oxford University Press), h. 626 119
Jimly Asshiddigie dan Ahmad Syarizal, 2012, Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara,
Sinar Grafika, Jakarta, h. 36 120
Ibid., h. 41
57
that the powers of the constitsutional court, by comparison with
those of the Staatsgerchtshof of trhe Weimar Constitutional, ought to
be enlarged. In this way, the new constitutional could become the
``real guardian of the constitutional``.121
Akhirnya, melalui pengesahan Basic Law pada tanggal 23 Mei 1949,
lahirlah sebuah instituti peradilan baru di Jerman yang dirancang untuk
menangani suatu perkara-perkara bersifat konstitusional yang bernama
``Bundesverfassungsgericht`` atau yang kita kenal dengan sebutan Mahkamah
Konstitusi Jerman. Demikian landasan pembentukan Mahkamah Konstitusi
Jerman didasari adanya tuntutan perubahan total dari masyarakat yang
menginginkan mendirikan Mahkamah Konstitusi sebagai alternatif untuk
menjawab persoalan kenegaraan sebelumnya.
3.2.2.3 Kedudukan Mahkamah Konstitusi Jerman
Pembicaraan tentang Mahkamah Konstitusi di dunia, MK Jerman
menempati kedudukan yang sangat terhormat. Hal ini disebabkan karena luasnya
kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh MK Jerman sebagai pengawal
konstitusi di negaranya (grundgesetz). Disamping itu, pada kenyataannya MK
Jerman juga mampu melaksanakan tugas dan kewenangannya yang luas itu
dengan sangat baik sehingga semakin mengukuhkan kedudukannya sebagai organ
federal yang sangat dihormati dan disegani, tidak hanya di Jerman melainkan juga
di dunia.
Luasnya kewenangan yang di miliki Mahkamah Konstitusi Jerman
bersumber dari konstitusi dan juga undang-undang yang mengatur tentang
Mahkamah Konstitusi Jerman. Salah satu faktor yang menyebabkan luas dan
121
Martin Borowski, op. cit., h. 158 dan 159
58
fleksibelnya kewenangan MK Jerman ialah karena Konstitusi Jerman, tepatnya
pasal 93 ayat (2), mengizinkan adanya penambahan kewenangan MK Jerman
melalui undang-undang (undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi). Hal
mana merupakan suatu ketentuan yang sangat bertolak belakang dengan rumusan
kewenangan Mahkamah Konstitusi Indonesia yang secara limitatif sudah
ditentukan dan dibatasi oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945, tepatnya oleh
Pasal 24 C.
Jerman sebagai sebuah negara federal, selain memiliki Mahkamah
Konstitusi di tingkat pusat (Bundesverfassungsgericht), tiap-tiap negara bagian di
Jerman yang jumlahnya 16, juga memiliki MK negara bagiannya masing-masing.
Meski antara satu Mahkamah Konstitusi negara bagian dengan Mahkamah
Konstitusi negara bagian lainnya memiliki kewenangan yang berbeda-beda,
namun secara umum dapat dikatakan bahwa fungsi Mahkamah Konstitusi negara
bagian itu ialah untuk menyelesaikan perkara-perkara konstitusional di level
regional/negara bagian dengan mengacu pada konstitusi negara bagiannya
masing-masing. Dengan kata lain, fungsi Mahkamah Konstitusi negara bagian ini
ialah untuk mempertahankan konstitusi negara bagiannya masing-masing dari
segala bentuk penyelenggara.
Diantara beragam kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing
Mahkamah Konstitusi negara bagian itu, kewenangan pengujian konstitusional
(abstract dan concrete review) dan kewenangan penyelesaian sengketa pemilu (di
tingkat negara bagian) merupakan dua kewenangan yang paling umum dan
dimiliki oleh semua Mahkamah Konstitusi negara bagian di Jerman. Ruang
59
lingkup kekuasaan atau kompetensi relatif dari Mahkamah Konstitusi negara
bagaian tentu saja terbatas hanya pada wilayah negara bagiannya saja.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik Federal Jerman
(Bundesverfassunggericht) merupakan satu proses perjalanan panjang dalam
upaya menegakan negara demokratik konstitusional. Jerman diadopsi bersamaan
dengan ditetapkannya Basic Law 1949. Jerman berkedudukan di alsruhe, sebuah
kota yang disebut sebagai ibukotanya hukum. Mahkamah Konstitusi federal
Jerman memiliki dua senat, yang bekerja secara independen dalam organisasi
Mahkamah Konstitusi dan memiliki hubungan sederajat. Kemudian dalam
perekrutan hakim-hakim Mahkamah Konstitusi, untuk mengisi 16 jabatan hakim,
yang diatur dalam Pasal 94 ayat (1) konstitusi Jerman sebagai berikut;
a) Delapan hakim mengisi panel pertama atau senat (1) panel dipilih oleh
Bunsdetag dan Bundesrat,
b) Delapan hakim mengisi panel kedua atau senat (2) dari pemerintah federal
dan Mahkamah Agung Federal.
Dengan demikian metode rekrutment dan komposisi hakim Mahkamah
Konstitusi Jerman telah ditegaskan dalam konstitusi Jerman, namun pembagian
secara jelas hakim yang dipilih oleh lembaga-lembaga tidak dijelaskan, hal ini
berbeda dengan sistem rekrutment oleh Mahkamah Konstitusi Indonesia dan
Mahkamah Konstitusi Austria
3.2.2.4 Kewenangan Mahkamah Konstitusi Jerman
60
Berkaitan dengan kompetensi Mahkamah Konstitusi Federal Jerman di
atur dalam Pasal 93 basic law 1949,122
menyatakan bahwa:
a) Perselisihan lembaga tinggi negara
b) Pengujian norma hukum abstrak dan konkrit
c) Hak mengajukan petisi yang dimiliki secara perorangan atau kelompok
d) Menyelesaikan sengketa pemilihan umum
e) Perselisihan konstitusional (“Constitutional Dispute”)
Tidak terdapat prosedur yang secara institusional membatasi penyelesaian
sengketa konstitusional. Untuk itu pihak yang bersengketa dapat langsung
mengajukan ke Mahkamah Konstitusi.
122
Pasal 93 basic law 1949 setelah diamandamen 2012, menyatakan bahwa;
The Federal Constitutional Court shall rule: 1. on the interpretation of this Basic Law in
the event of disputes concerning the extent of the rights and duties of a supreme federal body or of
other parties vested with rights of their own by this Basic Law or by the rules of procedure of a
supreme federal body; 2. in the event of disagreements or doubts concerning the formal or
substantive compatibility of federal law or Land law with this Basic Law, or the compatibility of
Land law with other federal law, on application of the Federal Government, of a Land
government, or of one fourth of the Members of the Bundestag; 2a. in the event of disagreements
whether a law meets the requirements of paragraph (2) of Article 72, on application of the
Bundesrat or of the government or legislature of a Land; . in the event of disagreements
concerning the rights and duties of the Federation and the Länder, especially in the execution of
federal law by the Länder and in the exercise of federal oversight; 4. on other disputes involving
public law between the Federation and the Länder, between different Länder, or within a Land,
unless there is recourse to another court; 4a. on constitutional complaints, which may be filed by
any person alleging thatone of his basic rights or one of his rights under paragraph (4) of Article
20 or under Article 33, 38, 101, 103 or 104 has been infringed by public authority; 4b. on
constitutional complaints filed by municipalities or associations of municipalities on the ground
that their right to self-government under Article 28 has been infringed by a law; in the case of
infringement by a Land law, however, only if the law cannot be challenged in the constitutional
court of the Land; 4c. on constitutional complaints filed by associations concerning their non-
recognition as political parties for an election to the Bundestag; 5. in the other instances provided
for in this Basic Law.
2. At the request of the Bundesrat, a Land government or the parliamentary assembly of a
Land, the Federal Constitutional Court shall also rule whether in cases falling under paragraph
(4) of Article 72 the need for a regulation by federal law does not exist any longer or whether in
the cases referred to in clause 1 of paragraph (2) of Article 125a federal law could not be enacted
any longer. The Court's determination that the need has ceased to exist or that federal law could
no longer be enacted substitutes a federal law according to paragraph (4) of Article 72 or clause 2
of paragraph (2) of Article 125a. A request under the first sentence is admissible only if a bill
falling under paragraph (4) of Article 72 or the second sentence of paragraph (2) of Article 125a
has beenrejected by the German Bundestag or if it has not been considered and determined upon
within one year, or if a similar bill has been rejected by the Bundesrat.
3. The Federal Constitutional Court shall also rule on such other matters as shall be
assigned to it by a federal law
61
Pengendalian norma abstrak (“Abstraktes Normenkontrolverfahren”)
adalah mekanisme preventif bagi masa depan produk legislasi yang diprediksi
tidak konstitusional. Pengendalian norma konkrit (konkretes Normenkontrol
verfahren); model pengujian ini dapat dilaksanakan pada saat terdapat penyerahan
dari peradilan umum, penyerahan dikarenakan adanya keragu-raguan hakim atas
makna konstitusionalitas suatu undang-undang, peraturan perundang-undangan,
peraturan pemerintah maupun putusan peradilan umum. Gugatan perorangan
(“Constitutional Complaint”); gugatan perorangan dapat dilakukan apabila
terdapat kerugian oleh pemohon terkait pelanggaran hak asasi manusia. Namun
tindakan hukum itu sebelumnya tidak melakukan upaya hukum di peradilan
umum. Namun apabila terdapat kerugian yang sungguh-sungguh, maka dapat
diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
3.2.3. Perancis
Perancis, merupakan sebuah negara yang teritori metropolitannya terletak
di Eropa Barat dan juga memiliki berbagai pulau dan teritori seberang laut yang
terletak di benua lain. Perancis metropolitan memanjang dari laut Mediterania
hingga selat Inggris dan laut utara, dan dari Rhine ke samudera atlantik. Orang
Perancis sering menyebut Perancis Metropolitan sebagai “L‟Hexagone”
(“Heksagon“) karena bentuk geometris teritorinya.
Perancis adalah sebuah republik kesatuan semi-Presidensial yang tidak
punya Presiden. Ideologi utamanya tercantum dalam deklarasi hak asasi manusia
dan warga negara. Perancis, merupakan salah satu negara yang memiliki teritori
metropolitannya terletak di Eropa Barat dan juga memiliki berbagai pulau dan
62
teritori seberang laut yang terletak di benua lain. Perancis metropolitan
mempunyai karakter geografis yang memanjang dari laut Mediterania hingga selat
Inggris dan laut utara, dan dari Rhine ke samudera atlantik. Orang Perancis sering
menyebut Perancis metropolitan sebagai “L‟Hexagone” (“Heksagon“) karena
bentuk geometris teritorinya. Perancis adalah sebuah republik kesatuan semi-
Presidensial yang tidak punya Presiden. Ideologi utamanya tercantum
dalam deklarasi hak asasi manusia dan warga negara.123
Total luas tanah Perancis, dengan departemen dan teritori seberang lautnya
(tak termasuk daratan Adélie), adalah 674.843 kilometer persegi (260.558 sq mi),
0.45% dari luas bumi. Tetapi, Perancis memiliki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
terbesar kedua di dunia, dengan 11.035.000 kilometer persegi (4.260.000 sq mi),
sekitar 8% dari total permukaan semua ZEE dunia, setelah Amerika Serikat
(11.351.000 km²/ 4.383.000 sq mi) dan sebelum Australia (8.232.000 km² /
3.178.000 sq mi).124
Modern Perancis adalah keturunan bangsa Celtic, Iberia,
Ligurians dan Yunani di selatan Perancis, dicampur dengan bangsa Jerman tiba di
akhir Kekaisaran Romawi seperti Frank dan Burgundi, beberapa Moor dan
Saracen, dan beberapa Viking yang dicampur dengan Normandia dan menetap
terutama di Normandia pada abad 9. Sejak awal Republik Ketiga (1871-1940),
negara tidak dikategorikan orang menurut dugaan asal-usul etnis mereka.
Oleh karena itu, kontras dengan sensus Amerika Serikat, orang Perancis
tidak diminta untuk mendefinisikan appartenance etnis mereka, mana mungkin.
Penggunaan kategorisasi etnis dan rasial dihindari untuk mencegah kasus
123
Http//www. Negara Perancis.com 124
Ibid., http
63
diskriminasi, peraturan yang sama berlaku untuk data keanggotaan keagamaan
yang tidak dapat dikompilasi di bawah sensus Perancis. Ini Perancis klasik
republik non-esensialis konsepsi kebangsaan adalah officialized oleh konstitusi
Perancis, menurut yang “Perancis” adalah kebangsaan, dan bukan etnis tertentu.125
Penduduk negara Perancis berjumlah 60.424.210 jiwa dengan laju
pertumbuhan penduduknya 0,3% setiap Tahunnya, dan kepadatan penduduk 111
jiwa/km2. Penduduk asli negara Perancis adalah orang Perancis. Kelompok etnis
lain yang terdapat di Perancis berasal dari kaum imigran yang sebagian besar
datang dari negara Portugis, Maroko, Italia, dan Tunisia. Bahasa persatuan
penduduk negara Perancis adalah bahasa Perancis.126
Perancis sebuah negara sekuler karena kebebasan beragama salah satu hak
konstitusional, meskipun beberapa organisasi religius seperti Scientology,
Children of God, Unification Church, dan Order of the Solar Temple dianggap
sebagai pemujaan. Menurut jajak pendapat Januari 2007 oleh Catholic World
News: 51% orang Perancis beragama Katolik, 31% agnostik atau ateis. (Jajak
pendapat lainnya memberikan ateis persentase 27%), 10% dari agama lain atau
tanpa pendapat, 4% Muslim, 3% Protesan, 1% Yahudi. Menurut Eurobarometer
Poll terbaru 2005, 34% warga Perancis merespon bahwa “mereka mempercayai
adanya Tuhan”, sementara 27% menjawab “mereka percaya terdapat suatu jenis
ruh atau kekuatan hidup” dan 33% menyatakan “mereka tidak percaya adanya
suatu jenis ruh, Tuhan, atau kekuatan hidup”.
125
Ibid 126
Ibid., http
64
Satu survei lain menyatakan 32% penduduk di Perancis ateis, dan 32%
lainnya “meragukan adanya Tuhan tapi bukan ateis”. Jumlah komunitas Yahudi di
Perancis mencapai 600.000 menurut World Jewish Congress dan merupakan yang
terbesar di Eropa. Perkiraan jumlah muslim di Perancis selalu bermacam. Menurut
sensus Perancis 1999, terdapat 3.7 juta orang dengan “kemungkinan kepercayaan
muslim” di Perancis (6.3% dari total populasi). Tahun 2003, kementerian dalam
negeri Perancis memperkirakan jumlah muslim mencapai 5-6 juta. Konsep laïcité
ada di Perancis dan karena ini, sejak 1905, pemerintah Perancis secara legal
menolak pengakuan agama apapun (kecuali peraturan seperti ulama militer dan
Alsace-Moselle).
Sementara itu, Perancis mengakui organisasi religius, sesuai kriteria
hukum formal yang tidak menggunakan doktrin keagamaan. Sebaliknya,
organisasi religius harus mengulang dari intervensi dalam pembuatan kebijakan.
Ketegangan sering terjadi mengenai diskriminasi tuduhan terhadap kaum
minoritas, khususnya terhadap muslim (lihat Islam di Perancis).127
Di Perancis
Kebanyakan orang Perancis berbicara dalam bahasa Perancis sebagai mereka
bahasa ibu, namun bahasa tertentu seperti Norman, Occitan, Corsica, Basque,
Perancis Flemish dan Breton tetap digunakan di daerah tertentu. Ada juga telah
periode sejarah ketika mayoritas orang Perancis memiliki bahasa pertama lainnya
(bahasa lokal seperti Occitan, Katalan, Alsatian, Flemish Barat, Lorraine
Franconian, Gallo, Picard atau Ch‟timi dan Arpitan ). Hari ini, banyak imigran
berbicara lain lidah di rumah.
127
Http//www. Negara Perancis.com
65
Menurut sejarawan Eric Hobsbawm, “bahasa Perancis telah penting untuk
konsep „Perancis'”, meskipun pada Tahun 1789, 50 persen orang Perancis tidak
berbicara sama sekali, dan hanya 12 sampai 13 persen berbicara dengan cukup
baik; bahkan dalam bahasa minyak zona, itu biasanya tidak digunakan kecuali di
kota-kota, dan bahkan tidak selalu ada di kabupaten terpencil. Luar negeri, bahasa
Perancis dituturkan di berbagai negara khususnya mantan jajahan Perancis.
Namun demikian, berbicara dalam bahasa Perancis berbeda dari menjadi warga
negara Perancis. Jadi, Francophonie, atau berbicara tentang Perancis, tidak harus
bingung dengan kewarganegaraan Perancis atau etnis. Sebagai contoh, speaker
Perancis di Swiss tidak “warga negara Perancis”.
Asli berbahasa Inggris kulit hitam di pulau Saint-Martin memiliki
kewarganegaraan Perancis meskipun mereka tidak bisa bahasa Perancis sebagai
bahasa pertama, sementara tetangga mereka berbahasa Perancis imigran Haiti
Creole Perancis berbicara namun tetap asing. Sejumlah besar orang-orang
keturunan Perancis di luar Eropa pertama berbicara bahasa lain, khususnya
Inggris, seluruh sebagian besar Amerika Utara (kecuali Perancis, Kanada),
Spanyol atau Portugis di selatan Amerika Selatan, dan Afrika di Afrika Selatan.
Kata sifat “Perancis” dapat digunakan untuk berarti “warga negara Perancis” atau
“Perancis-speaker”, dan penggunaan bervariasi tergantung pada konteks, dengan
mantan yang umum di Perancis. Makna yang terakhir ini kadang-kadang
digunakan di Kanada, ketika membahas masalah internal ke Kanada.
3.2.3.1. Sistem Pemerintahan Perancis
66
Perancis terbagi menjadi 26 region administratif. 22 terletak di Perancis
metropolitan (21 berada di wilayah kontinental atau Perancis metropolitan; satu
adalah jajahan teritorial Corsica), dan empat adalah region seberang laut. Region
itu kemudian dibagi lagi menjadi 100 departemen yang diberi nomor (umumnya
huruf). Nomor ini digunakan di kode pos dan plat nomor kendaraan di antara yang
lain. Empat dari departemen tersebut terletak di region seberang laut dan secara
langsung region seberang laut dan departemen seberang laut adalah bagian
integral Perancis (dan Uni Eropa) dan menikmati status yang sama dengan
departemen metropolitan. Ke-100 departemen terbagi menjadi 341 arondisemen
yang kemudian, dibagi lagi menjadi 4.032 kanton. Kanton-kanton tersebut dibagi
menjadi 36.680 komune, yang merupakan kotamadya dengan dewan kotamadya
terpilih. Juga ditetapkan 2.588 entitas antarkomune yang mengumpulkan 33.414
dari 36.680 komune (91.1% dari seluruh komune). Tiga komune, Paris, Lyon dan
Marseille dibagi menjadi 45 arondisemen kotamadya.
Region, departemen dan komune dikenal sebagai jajahan teritorial, berarti
mereka memiliki majelis lokal juga eksekutif. Arondisemen dan kanton adalah
pembagian administratif. Tetapi, tidak selalu menjadi masalah. Hingga 1940,
arondisemen adalah jajahan teritorial dengan majelis terpilih, tapi dibatalkan oleh
rezim Vichy dan dihapus oleh Republik Keempat Tahun 1946. Secara sejarah,
kanton juga jajahan teritorial dengan majelis terpilih.
Selain 26 region dan 100 departemen, republik Perancis juga memiliki
enam jajahan seberang laut, satu jajahan sui generis (Kaledonia Baru), dan satu
teritori seberang laut. Jajahan dan teritori seberang laut membentuk bagian dari
67
republik Perancis, tapi tidak membentuk bagian dari Uni Eropa atau wilayah
keuangannya. Teritori pasifik terus menggunakan Franc pasifik yang nilainya
dihubungkan dengan euro. Secara kontras, empat region seberang laut sebelumnya
menggunakan franc Perancis dan sekarang menggunakan euro. Perancis juga
mempertahankan kontrol terhadap sejumlah pulau berpenghuni non-permanen
kecil di samudera hindia dan samudera pasifik: Bassas da India, pulau Clipperton,
pulau Europa, kepulauan Glorioso, pulau Juan de Nova, pulau Tromelin.128
3.2.3.2 Dewan Konstitusi Perancis
Revolusi Perancis ini memiliki semboyan “kemerdekaan, persamaan, dan
persaudaraan” yang menjadikan istilah Mari-Anne sebagai symbol kebebasan
yang merupakan pergantian bentuk pemerintahan dari monarki menjadi republik.
Tidak diketahui siapa itu Mari-Anne. Tapi istilah tersebut sangat umum diucapkan
saat abad ke-18. Sehingga saat terjadi revolusi besar-besaran kekuasaan mutlak
raja tumbang dan pemerintahan negara diserahkan kepada sebuah assemble
nationale yang berkuasa penuh dan mula-mula tersusun menurut sistem
unicameral, karena tujuan revolusi ini sesungguhnya adalah membebaskan rakyat
dari raja dan para pembantunya yakni kaum bangsawan dan gereja.
Kemudian dibentuk badan perwakilan rakyat dipusat dan daerah. Jadi,
sistem demokrasi di Perancis, sifatnya politis atau sekedar perwakilan saja, sudut
lain kemasyarakatan kurang diperhatikan, sehingga dilapangan sosial ekonomi
kekuasaan masih ditangan golongan kecil yang sejak dulu berkuasa. Republik
Perancis yang sekarang ini merupakan Republik Kelima. Penamaan ini didasarkan
128
Ibid., http
68
pada adanya konstitusi baru. Pemikiran perubahan konstitusi baru di Perancis
dimulai sejak Jenderal Charles de Guelle menjadi perdana menteri di Perancis
tanggal 1 Juni 1948. Oleh karena inisiatif perubahan konstitusi republik Perancis
kelima berasal dari de Guelle, maka konstitusinya lebih dikenal dengan konstitusi
de Guelle. Pengaturan tentang dewan konstitusi (The Constitutional Council)
dalam Konstitusi Perancis terdapat dalam Titel VII yang terangkum dalam 8
(delapan) Pasal (Pasal 56 sampai dengan Pasal 63). Dewan Konstitusi Perancis
bukan merupakan lembaga yudikatif tetapi merupakan lembaga politik. Tujuan
dari dewan ini adalah memberikan perlindungan masyarakat dari kediktatoran
yang lahir dari sistem pemilihan. Legal standingnya adalah Presiden dan perdana
menteri (konstitusi 1958) serta parlemen (sejak konstitusi 1974).
Dewan konstitusi di Perancis bertindak sebagai dewan yang mengkaji
undang-undang, peraturan-peraturan tata tertib, dan perjanjian internasional.
Pemeriksaan dan penilaian yang dilakukan oleh Dewan Konstitusi dilakukan
secara preventif, artinya dilakukan sebelum satu undang-undang diundangkan,
atau sebelum peraturan tata tertib diberlakukan dan sebelum perjanjian
internasional diratifikasi. Undang-undang organik sebelum diundangkan oleh
Perdana Menteri Perancis wajib dahulu diserahkan kepada Dewan Konstitusi
untuk dikaji. Jika undang-undang peraturan tata tertib dan perjanjian internasional
menurut pendapat Dewan Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
maka tidak dapat diundangkan dan diberlakukan, kecuali Undang-Undang
Dasarnya diubah.
3.2.3.3 Pemikiran Dibentuknya Dewan Konstitusi
69
Setelah terbentuknya Dewan Konstitusi Perancis berdasarkan konstitusi ke
lima Republik Perancis 1958. Ide ini didesain untuk melucuti kekuasaan
parlemen. Maksudnya, membatasi kekuasaan parlemen yang dianggap terlalu
mendominasi, sebab pada era sebelum dibentuk konstitusi 1958, parlemen
dipandang sebagai instabilitas politik.129
Oleh karena itu organ ini tersendiri
bernama Dewan Konstitusional dibentuk guna menjamin distribusi kekuasaan
yang baru mengalami rekturisasi secara menyeluruh.
Dalam Konstitusi kelima langkah memperkuat peran eksekutif justru
memperoleh jaminan dari dewan konstitusi, Jhon Bell dalam bukunya French
Constitutional law, berkenan dengan persoalan itu mengatakan; “the creation of
the conceil constitutionnel was originally intended as an additional mechanism to
ensure executive by keeping Parliament within constitutional”130
Jika dicermati pandangan Bell ini terlihat dengan jelas bahwa Dewan
Konstitusi dibentuk untuk mengendalikan kekuasaan parlemen yang
diselenggarakan berdasarkan ikatan-ikatan konstitusi Tahun 1958. Oleh karena
itu, regresi atas sistem kedaulatan parlemen, serta merta telah menggiring otoritas
eksekutif kedalam pusat pengendalian keputusan yang berlaku dibawah sistem
Konstitusional Republik Kelima.131
Dari pandangan ada tiga hal yakni; pertama;
kekuasaan parlemen dibatasi, kedua; peralihan sebagian kewenangan yang di
miliki oleh parlemen ke eksekutif, ketiga; keterlibatan eksekutif dalam
pengambilan keputusan.
129
Jimly Asshiddiqie & Ahmad Syahrisal, 2012, Peradilan Konstitusi di 10 negara, Sinar
Grafika, Jakarta, h. 136 130
Ibid, h.149 131
Ibid
70
3.2.3.4. Pembentukan Dewan Konstitusi Perancis
Undang-Undang Dasar Perancis Tahun 1958 menentukan adanya lembaga
baru yang disebut „Conseil Constitutionnel‟, melengkapi lembaga peradilan
tertinggi di bidang hukum administrasi yang sudah ada sejak sebelumnya, yaitu
“Conseil d‟Etat”. Sejak dibentuk, lembaga inilah yang sering dikaitkan dengan
„Mahkamah Konstitusi‟ Perancis,132
meskipun sebutannya adalah „dewan‟
(conseil), bukan „mahkamah‟ (cour). Namun, seperti dikemukakan oleh Mauro
Cappelletti, sejak putusan yang dikenal sebagai „landmark decision‟ “Conseil
d‟Etat” pada Tahun 1959 dalam kasus terkenal “Syndicat General des
Ingenieurs-Conseils”, Dewan Negara (Conseil d‟Etat) inilah yang biasa
digambarkan sebagai “a true (pen: French) Constitutional Court”133
.
Model „Constitutional Review‟ di Perancis ini berbeda dari tradisi negara-
negara Eropah Kontinental lainnya. Model ini didasarkan atas bentuk
kelembagaan Dewan Konstitusi (Conseil Constitutionnel) untuk menjalankan
fungsi pengujian konstitusionalitas. Pada mulanya, Perancis termasuk bersama-
sama dengan Inggris dan Belanda dikenal sebagai penentang keras gagasan
memberikan kewenangan kepada hakim atau pengadilan untuk melakukan
pengujian konstitusionalitas atas undang-undang. Namun dalam perkembangan di
kemudian hari, ide pengujian konstitusionalitas itu sendiri di terima, tetapi sebagai
alternatifnya, sistem pengujian itu tidak dilakukan oleh hakim atau lembaga
peradilan, melainkan oleh lembaga non-peradilan. Karena itu, yang dirumuskan
132
Alec Stone, 1992, The Birth of Judicial Politics in France: The Constitutional Council
in Comparative Perspective, Oxford University Press, New York 133
Mauro Cappelletti, op.cit., h. 155 (… after the Syndicat General decision, the Conseil
d‟Etat was described as a true „Constitutional Court‟)
71
dalam Konstitusi Perancis bukan „cour‟ (pengadilan), melainkan „conseil‟
(dewan), sehingga dibentuk lembaga „Conseil Constitutionnel‟, bukan „Cour
Constitutionnel‟.
Sistem hukum dan konstitusi Perancis sampai sekarang, pengujian
konstitusionalitas tersebut pada umumnya memang dilakukan oleh „Conseil
Constitutionnel‟ ini. Akan tetapi, dalam perkembangannya, di samping oleh
„Conseil Constitutionnel‟, pengujian konstitusionalitas juga dilakukan oleh kamar
khusus (special chambers) dari Mahkamah Agung secara terkonsentrasi
(concentrated constitutional review) di dalam perkara-perkara khusus (special
proceedings atau principaliter). Hanya saja, pengujian konstitusionalitas yang
dimaksudkan itu terbatas hanya untuk pengujian bersifat preventif (a priori
review) ataupun pengujian yang bersifat konsultatif. Meskipun demikian, dalam
bidang-bidang tertentu, khususnya yang berhubungan dengan pemilihan umum,
sifat pengujian konstitusionalitas oleh „special chamber‟ di Mahkamah Agung itu
dapat pula bersifat represif (a posteriori review).
Sistem yang diterapkan di Perancis ini berpengaruh luas juga di banyak
negara, terutama di negara-negara yang pernah dijajah oleh Perancis. Karena
pengaruh sistem hukum Perancis yang juga sangat luas di banyak negara, maka
tentu saja pola atau model Perancis inipun diadopsikan dan di ikuti oleh banyak
negara pula. Semua negara seperti di benua Afrika dan Asia yang menamakan
lembaga pengawal konstitusinya dengan istilah „Dewan Konstitusi‟ dapat
dikaitkan dengan pengaruh „Constitutional Review‟ Model Perancis ini.
3.2.3.5 Kedudukan Dewan Konstitusi Perancis
72
Kedudukan Dewan Konstitusi Perancis dalam sistem ketatanegaraannya
berada sejajar dengan lembaga negara lain, dalam Pasal 67 konstitusi 1958. Jelas
tercantum ketentuan mengenai „Cour de‟Cassation‟ yang terpisah keberadaannya
dari „Conseil Constitutionnel‟. „Cour de‟Cassation‟ adalah Mahkamah Agung,
lembaga peradilan; sedangkan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 56 konstitusi
1958.
Karena itu sebutannya bukan „cour‟ (pengadilan) tetapi „conseil‟ (dewan).
Perbedaan karakter politik atau hukum dari kedua lembaga ini jelas terlihat pula
dalam pola susunan keanggotaan keduanya. Jika di Mahkamah Agung, seluruh
anggotanya adalah ahli hukum dan berprofesi sebagai hakim, maka dalam susunan
keanggotaan „Conseil Constitutionnel‟ tidak demikian. Anggotanya dapat berasal
dari partai politik atau birokrat dan sebagainya, meskipun sebagian terbesar di
antaranya selalu para ahli hukum. Memang pada hakikatnya fungsi-fungsi yang
dijalankan oleh lembaga pengawal konstitusi ini bukanlah fungsi-fungsi peradilan
dalam arti yang lazim. Dalam sistem konstitusi Perancis, lembaga ini lebih
bersifat semi-peradilan.
Di pihak lain, fungsi pengujian yang dilakukan Dewan Konstitusi inipun
berbeda dari pengujian konstitusionalitas (constitutional review) di dalam pola
Austria, tidak bersifat „a poteriori‟, melainkan bersifat „a priori‟ atau preventif.
Adapun diuji oleh dewan ini adalah rancangan undang-undang yang telah di
sahkan atau telah mendapat persetujuan di Parlemen, tetapi belum diundangkan
sebagaimana mestinya, apabila muncul persoalan konstitusionalitas di dalamnya,
73
maka Dewan Konstitusilah yang harus memutuskannya bertentangan atau tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
Setelah suatu undang-undang telah diundangkan sebagaimana mestinya,
maka dewan ini tidak boleh lagi melakukan pengujian. Mekanisme demikian
inilah yang disebut sebagai „preventive constitutional review‟ atau „a priori
constitutional review‟, yang oleh sementara sarjana lebih cenderung di sebut
sebagai „constitutional preview‟, daripada „constitutional review‟. Mengapa di
anggap lebih tepat disebut „preview‟ daripada „review‟, karena pengujian yang
dilakukan itu bersifat „a priori‟ dan „preventif‟ sebelum rancangan undang-
undang yang bersangkutan resmi menjadi undang-undang (legislative act) yang
mengikat untuk umum.
Dengan begitu berarti bahwa pengujian itu dilakukan terhadap produk
hukum yang belum resmi di sahkan menjadi undang-undang. Setelah suatu
rancangan undang-undang di‟preview‟ dan di nyatakan tidak bertentangan dengan
konstitusi, barulah rancangan itu dapat di undangkan sebagaimana mestinya
sehingga dapat berlaku mengikat untuk umum. Komposisi dewan konstitusi telah
diatur dalam Pasal 56 Konstitusi Perancis Tahun 1958, komposisi anggota Dewan
Konstitusi Perancis ditentukan oleh tiga institusi kenegaraan, yaitu;
1) Tiga orang diangkat oleh Presiden
2) Tiga orang diangkat oleh ketua majelis nasional dan
3) Tiga orang diangkat oleh ketua senat
Kewenangan untuk mengangkat ketua dan anggota Dewan Konstitusi
berada pada tiga institusi yang berbeda. Keanggotan mantan Presiden dalam
74
dewan konstitusi adalah seumur hidup, sedangkan masa jabatan sembilan anggota
dewan konstitusional tidak boleh lebih dari sembilan Tahun, artinya anggota
dewan tidak dapat diangkat kembali, jadi hanya untuk sekali masa jabatan.
Namun, pemberhentian atau berakhirnya masa jabatan sembilan anggota dewan
tidak dilakukan secara serempak pada waktu yang bersamaan, melainkan
sepertiga dari anggota berhenti setiap tiga Tahun sekali, artinya tiap tiga Tahun
akan ada tiga anggota baru yang menggantikan anggota yang berhenti.
Disamping adanya Dewan Konstitusi Perancis, demikian juga dalam
konstitusi Perancis 1958 telah mengatur sistem Yudikatif Perancis terdiri dari dua
cabang, dimana pada masing-masing cabang terdapat semacam hierarki
Mahkamah Agung. Cabang yang pertama (pengadilan administratif) mengurusi
masalah yang berkaitan dengan peraturan pemerintah atau sengketa antar
lembaga-lembaga publik. Cabang yang kedua (pengadilan umum) mengurusi
kasus-kasus sipil dan kriminalitas warga Perancis. Dalam pengadilan umum atau
pengadilan yudisial terdapat dua jenis pengadilan. Yaitu pengadilan sipil dan
pengadilan kasus kriminalitas. Pengadilan sipil bertugas untuk menangani kasus
antar perseorangan atau perseorangan dengan korporasi. Sedangkan pengadilan
kriminal menangani kasus pelanggaran ringan dan atau kasus pembunuhan.
Berdasarkan pemaparan diatas, kedudukan Dewan Konstitusi memang di
letakan dalam konstitusi Perancis 1958, sebagai penguji produk legilatif sebelum
diundangkan, namun dewan ini bukan bagian dari sistem peradilan Perancis,
sebab dewan ini dibentuk untuk membatasi kekuasaan parlemen pada masa
75
sebelumnya, dapat dikatakan dewan merupakan dewan politik untuk menunjang
dan mendukung kekuasaan eksekutif semata.
3.2.3.6 Kewenangan Dewan Konstitusi Perancis
Berkaitan dengan kewenangan Dewan Konstitusi Perancis, secara
konstitusi terbagi dalam beberapa pasal antara lain; kewenangan Dewan
Konstitusi diatur dalam Pasal 54 konstitusi Perancis setelah perubahan Tahun
1974134
menyatakan bahwa: Disamping pengujian juga dapat meratifikasi
perjanjian internasional. Dan putusan Dewan Konstitusi bersifat final dan
mengikat terhadap seluruh kekuasaan publik, kewenangan administrative maupun
badan peradilan umum lainnya. Kemudian kewenangan menguji “A Priori
Abstract Review” yang diatur dalam pasal 61 dan 62 konstitusi Perancis setelah
perubahan 1974, menyatakan bahwa: Tugas utama Dewan Konstitusi Perancis
adalah menyelenggarakan pengujian konstitusional atas rancangan legislasi yang
dapat ditetapkan oleh parlemen. Secara konstitusional dewan bukanlah satu-
satunya organ penjamin konstitusi, Presiden juga ditugasi sebagai menegakkan
dan menghormati konstitusi. Rancangan undang-undang yang dinyatakan
bertentangan dengan konstitusi maka dianggap tidak berlaku, dan memiliki
kekuatan hukum mengikat terhadap seluruh kewenangan administrative dan organ
peradilan umum. 135
134
Pasal 54 setelah perubahan tahun 1974, menyatakan bahwa; If the Constitutional
Council, on a referral from the President of the Republic, from the Prime Minister, from the
President of one or the other Houses, or from sixty Members of the National Assembly or sixty
Senators, has held that an international undertaking contains a clause contrary to the
Constitution, authorization to ratify or approve the international undertaking involved may be
given only after amending the Constitution. 135
Article 61 konstitusi 1958 setelah perubahan tahun 1974, menyatakan bahwa;
Institutional Acts, before their promulgation, Private Members' Bills mentioned in article 11
before they are submitted to referendum, and the rules of procedure of the Houses of Parliament
76
Pada tahap awal perkara yang teregister kemudian diadakan penunjukan
oleh Presiden terhadap Repporteur. Tanggung jawab dari repporteur adalah 1.
mengumpulkan sejumlah data yang terkait dengan perkara, 2. menyiapkan draf
putusan, 3. mengadakan pleno. Dalam mendesain putusan dapat kemudian Dewan
Konstitusi dapat secara objective mendasari masing-masing putusannya. Dewan
memberikan alasan-alasan esensial terhadap putusan yang diputuskan. Hal itu
berakibat terhadap dikotonomi putusan yang sudah sejak lama diselenggarakan
oleh Mahkamah Konstitusi Austria dan Jerman sebagai grand design yang
mempengaruhi bentuk putusan Mahkamah Konstitusi negara-negara lain.
3.2.4 Sejarah Kesatuan Republik Indonesia
Kata "Indonesia" berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu Indus yang
merujuk kepada sungai Indus di India dan nesos yang berarti "pulau". Jadi, kata
shall, before coming into force, be referred to the Constitutional Council, which shall rule on their
conformity with the Constitution.
To the same end, Acts of Parliament may be referred to the Constitutional Council, before
their promulgation, by the President of the Republic, the Prime Minister, the President of the
National Assembly, the President of the Senate, sixty Members of the National Assembly or sixty
Senators.In the cases provided for in the two foregoing paragraphs, the Constitutional Council
must deliver its ruling within one month. However, at the request of the Government, in cases of
urgency, this period shall be reduced to eight days.In these same cases, referral to the
Constitutional Council shall suspend the time allotted for promulgation.
Article 61-1
If, during proceedings in progress before a court of law, it is claimed that a legislative
provision infringes the rights and freedoms guaranteed by the Constitution, the matter may be
referred by the Conseil d'État or by the Cour de Cassation to the Constitutional Council which
shall rule within a determined period.
An Institutional Act shall determine the conditions for the application of the present
article.
Article 62
A provision declared unconstitutional on the basis of article 61 shall be neither
promulgated nor implemented.
A provision declared unconstitutional on the basis of article 61-1 shall be repealed as of
the publication of the said decision of the Constitutional Council or as of a subsequent date
determined by said decision. The Constitutional Council shall determine the conditions and the
limits according to which the effects produced by the provision shall be liable to challenge.
No appeal shall lie from the decisions of the Constitutional Council. They shall be
binding on public authorities and on all administrative authorities and all courts.
77
Indonesia berarti wilayah "kepulauan India", atau kepulauan yang berada di
wilayah Hindia, ini merujuk kepada persamaan antara dua bangsa tersebut (India
dan Indonesia). Pada Tahun 1850, George Windsor Earl, seorang etnolog
berkebangsaan Inggris, awalnya mengusulkan istilah Indunesia dan Malayunesia
untuk penduduk "Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu". Murid dari Earl,
James Richardson Logan, menggunakan kata Indonesia sebagai sinonim dari
Kepulauan India. Namun, penulisan akademik Belanda di media Hindia Belanda
tidak menggunakan kata Indonesia, tetapi istilah Kepulauan Melayu (Maleische
Archipel); Hindia Timur Belanda (Nederlandsch Oost Indië), atau Hindia (Indië);
Timur (de Oost); dan bahkan Insulinde (istilah ini diperkenalkan Tahun 1860
dalam novel Max Havelaar (1859), ditulis oleh Multatuli, mengenai kritik
terhadap kolonialisme Belanda).
Sejak Tahun 1900, nama Indonesia menjadi lebih umum pada lingkungan
akademik di luar Belanda, dan golongan nasionalis Indonesia menggunakannya
untuk ekspresi politik. Adolf Bastian dari Universitas Berlin memasyarakatkan
nama ini melalui buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipels,
1884–1894. Pelajar Indonesia pertama yang menggunakannya ialah Suwardi
Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), yaitu ketika ia mendirikan kantor berita di
Belanda yang bernama Indonesisch Pers Bureau pada Tahun 1913.136
Peninggalan fosil-fosil Homo erectus, yang oleh antropolog juga dijuluki
"Manusia Jawa", menimbulkan dugaan bahwa kepulauan Indonesia telah mulai
136
Http//.www.sejarah Indonesia wikipedia.com.
78
berpenghuni pada antara dua juta sampai 500.000 Tahun yang lalu.
137 Bangsa
Austronesia, yang membentuk mayoritas penduduk pada saat ini, bermigrasi ke
Asia Tenggara dari Taiwan. Mereka tiba di sekitar 2000 SM, dan menyebabkan
bangsa Melanesia yang telah ada lebih dahulu di sana terdesak ke wilayah-
wilayah yang jauh di timur kepulauan. Kondisi tempat yang ideal bagi pertanian,
dan penguasaan atas cara bercocok tanam padi setidaknya sejak abad ke-8 SM,
menyebabkan banyak perkampungan, kota, dan kerajaan-kerajaan kecil tumbuh
berkembang dengan baik pada abad pertama masehi. Selain itu, Indonesia yang
terletak di jalur perdagangan laut internasional dan antar pulau, telah menjadi jalur
pelayaran antara India dan Tiongkok selama beberapa abad. Sejarah Indonesia
selanjutnya mengalami banyak sekali pengaruh dari kegiatan perdagangan
tersebut.
Sejak abad ke-1 kapal dagang Indonesia telah berlayar jauh, bahkan
sampai ke Afrika. Sebuah bagian dari relief kapal di candi Borobudur, k. 800 M.
Di bawah pengaruh agama Hindu dan Budha, beberapa kerajaan terbentuk di
pulau Kalimantan, Sumatera, dan Jawa sejak abad ke-4 hingga abad ke-14. Kutai,
merupakan kerajaan tertua di Nusantara yang berdiri pada abad ke-4 di hulu
sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Di wilayah barat pulau Jawa, pada abad ke-
4 hingga abad ke-7 M berdiri kerajaan Tarumanegara. Pemerintahan
Tarumanagara dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda dari Tahun 669 M sampai 1579
M. Pada abad ke-7 muncul kerajaan Malayu yang berpusat di Jambi, Sumatera.
Sriwijaya mengalahkan Malayu dan muncul sebagai kerajaan maritim yang paling
137
Ibid
79
perkasa di Nusantara. Wilayah kekuasaannya meliputi Sumatera, Jawa,
semenanjung Melayu, sekaligus mengontrol perdagangan di Selat Malaka, Selat
Sunda, dan Laut Tiongkok Selatan. Di bawah pengaruh Sriwijaya, antara abad ke-
8 dan ke-10 wangsa Syailendra dan Sanjaya berhasil mengembangkan kerajaan-
kerajaan berbasis agrikultur di Jawa, dengan peninggalan bersejarahnya seperti
candi Borobudur dan candi Prambanan. Di akhir abad ke-13, Majapahit berdiri di
bagian timur pulau Jawa. Di bawah pimpinan Mahapatih Gajah Mada,
kekuasaannya meluas sampai hampir meliputi wilayah Indonesia kini; dan sering
disebut "Zaman Keemasan" dalam sejarah Indonesia.138
Kedatangan pedagang-pedagang Arab dan Persia melalui Gujarat, India,
kemudian membawa agama Islam. Selain itu pelaut-pelaut Tiongkok yang
dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho (Zheng He) yang beragama Islam, juga
pernah menyinggahi wilayah ini pada awal abad ke-15. Para pedagang-pedagang
ini juga menyebarkan agama Islam di beberapa wilayah nusantara. Samudera
Pasai yang berdiri pada Tahun 1267, merupakan kerajaan Islam pertama di
Indonesia.
Peta Indonesia berkisar Tahun 1674-1745 oleh Katip Çelebi seorang
geografer asal Turki Utsmani. Johannes van den Bosch, pencetus Cultuurstelsel.
Lukisan kekaisaran Belanda yang menggambarkan Hindia Belanda sebagai
"Permata kami yang paling berharga". (1916) Indonesia juga merupakan negara
yang dijajah oleh banyak negara Eropa dan juga Asia, karena sejak zaman dahulu
Indonesia merupakan negara yang kaya akan hasil alamnya yang berlimpah,
138
Ibid., Http
80
hingga membuat negara-negara Eropa tergiur untuk menjajah dan bermaksud
menguasai sumber daya alam untuk pemasukan bagi negaranya, Negara-negara
yang pernah menjajah Indonesia antara lain:
1. Portugis pada Tahun 1509, hanya Maluku, lalu berhasil diusir pada pada
Tahun 1595
2. Spanyol pada Tahun 1521, hanya Sulawesi Utara, tetapi berhasil diusir
pada Tahun 1692.
3. Belanda pada Tahun 1602, sebagian besar wilayah Indonesia.
4. Perancis (1795-1811). Perancis menaklukan Republik Belanda pada 1795
dalam Perang Revolusi Perancis, dan Perancis mendirikan Republik
Batavia (1795-1806) dan Kerajaan Hollandia (1806-1810) yang berstatus
sebagai negara bawahan Perancis.
Dengan demikian, secara tidak langsung Perancis adalah penguasa
tertinggi Hindia Belanda. Pada Tahun 1810 kerajaan Hollandia dileburkan dalam
kekaisaran pertama Perancis, sehingga wilayah Hindia Belanda menjadi jajahan
Perancis secara langsung. Meskipun demikian pemerintahan dan pertahanan tetap
dipegang oleh warga Belanda (termasuk Herman Willem Daendels yang berkuasa
Tahun 1908-1811 dan dikenal pro-Perancis) Kekuasaan Perancis berakhir pada
Tahun 1811 ketika Britania mengalahkan kekuatan Belanda-Perancis di pulau
Jawa.
1. Britania Raya pada Tahun 1811, sejak ditandatanganinya Kapitulasi
Tuntang yang salah satunya berisi penyerahan Pulau Jawa dari Belanda
kepada Britania, Pada Tahun 1814 dilakukanlah konvensi London yang
isinya pemerintah Belanda berkuasa kembali atas wilayah jajahan Britania
di Indonesia. Lalu baru pada Tahun 1816, pemerintahan Britania di
Indonesia secara resmi berakhir.
2. Jepang pada Tahun 1942 dan berakhir pada Tahun 1945, oleh karena
kekalahan Jepang kepada pasukan Sekutu.139
Ketika orang-orang Eropa datang pada awal abad ke-16, menemukan
beberapa kerajaan yang dengan mudah dapat mereka kuasai demi mendominasi
139
Ibid., http
81
perdagangan rempah-rempah. Portugis pertama kali mendarat di dua pelabuhan
Kerajaan Sunda yaitu Banten dan Sunda Kelapa, tetapi dapat diusir dan bergerak
ke arah timur dan menguasai Maluku. Pada abad ke-17, Belanda muncul sebagai
yang terkuat di antara negara-negara Eropa lainnya, mengalahkan Britania Raya
dan Portugal (kecuali untuk koloni mereka, Timor Portugis). Pada masa itulah
agama Kristen masuk ke Indonesia sebagai salah satu misi imperialisme lama
yang dikenal sebagai 3G, yaitu Gold, Glory, and Gospel.140
Belanda menguasai Indonesia sebagai koloni hingga Perang Dunia II,
awalnya melalui VOC, dan kemudian langsung oleh pemerintah Belanda sejak
awal abad ke-19. Di bawah sistem Cultuurstelsel (Sistem Penanaman) pada abad
ke-19, perkebunan besar dan penanaman paksa dilaksanakan di Jawa, akhirnya
menghasilkan keuntungan bagi Belanda yang tidak dapat dihasilkan VOC. Pada
masa pemerintahan kolonial yang lebih bebas setelah 1870, sistem ini dihapus.
Setelah 1901 pihak Belanda memperkenalkan Kebijakan Beretika, yang termasuk
reformasi politik yang terbatas dan investasi yang lebih besar di Hindia
Belanda.141
Pada masa Perang Dunia II, sewaktu Belanda dijajah oleh Jerman, Jepang
menguasai Indonesia. Setelah mendapatkan Indonesia pada Tahun 1942, Jepang
melihat bahwa para pejuang Indonesia merupakan rekan perdagangan yang
kooperatif dan bersedia mengerahkan prajurit bila diperlukan. Soekarno,
Mohammad Hatta, KH. Mas Mansur, dan Ki Hajar Dewantara diberikan
penghargaan oleh Kaisar Jepang pada Tahun 1943.
140
Ibid., http 141
Http, loc.Cit.
82
1.2.4.1. Sistem Pemerintahan Indonesia.
Pada Maret 1945 Jepang membentuk sebuah komite untuk kemerdekaan
Indonesia. Setelah Perang Pasifik berakhir pada Tahun 1945, di bawah tekanan
organisasi pemuda, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945 yang pada saat itu sedang bulan Ramadhan. Setelah
kemerdekaan, tiga pendiri bangsa yakni Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sutan
Sjahrir masing-masing menjabat sebagai Presiden, wakil Presiden, dan perdana
menteri. Dalam usaha untuk menguasai kembali Indonesia, Belanda mengirimkan
pasukan mereka.
Usaha-usaha berdarah untuk meredam pergerakan kemerdekaan ini
kemudian dikenal oleh orang Belanda sebagai 'aksi kepolisian' (politionele actie),
atau dikenal oleh orang Indonesia sebagai Agresi Militer. Belanda akhirnya
menerima hak Indonesia untuk merdeka pada 27 Desember 1949 sebagai negara
federal yang disebut Republik Indonesia Serikat setelah mendapat tekanan yang
kuat dari kalangan internasional, terutama Amerika Serikat. Mosi Integral Natsir
pada tanggal 17 Agustus 1950, menyerukan kembalinya negara kesatuan Republik
Indonesia dan membubarkan Republik Indonesia Serikat. Soekarno kembali
menjadi Presiden dengan Mohammad Hatta sebagai wakil Presiden dan
Mohammad Natsir sebagai perdana menteri.142
Pada Tahun 1950-an dan 1960-an, pemerintahan Soekarno mulai
mengikuti sekaligus merintis gerakan non-blok pada awalnya, kemudian menjadi
lebih dekat dengan blok sosialis, misalnya Republik Rakyat Tiongkok dan
142
Http, loc,cit.
83
Yugoslavia. Tahun 1960-an menjadi saksi terjadinya konfrontasi militer terhadap
negara tetangga, Malaysia ("Konfrontasi"), dan ketidakpuasan terhadap kesulitan
ekonomi yang semakin besar. Selanjutnya pada Tahun 1965 meletus kejadian
G30S yang menyebabkan kematian 6 orang jenderal dan sejumlah perwira
menengah lainnya. Muncul kekuatan baru yang menyebut dirinya Orde Baru yang
segera menuduh Partai Komunis Indonesia sebagai otak di belakang kejadian ini
dan bermaksud menggulingkan pemerintahan yang sah serta mengganti ideologi
nasional menjadi berdasarkan paham sosialis-komunis. Tuduhan ini sekaligus
dijadikan alasan untuk menggantikan pemerintahan lama di bawah Presiden
Soekarno. (Hatta, Sukarno, dan Sjahrir, tiga pendiri Indonesia).143
Jenderal Soeharto menjadi Pejabat Presiden pada Tahun 1967 dengan
alasan untuk mengamankan negara dari ancaman komunisme. Sementara itu
kondisi fisik Soekarno sendiri semakin melemah. Setelah Soeharto berkuasa,
ratusan ribu warga Indonesia yang dicurigai terlibat pihak komunis dibunuh,
sementara masih banyak lagi warga Indonesia yang sedang berada di luar negeri,
tidak berani kembali ke tanah air, dan akhirnya dicabut kewarganegaraannya. Tiga
puluh dua Tahun masa kekuasaan Soeharto dinamakan Orde Baru, sementara
masa pemerintahan Soekarno disebut Orde Lama.
Soeharto menerapkan ekonomi neoliberal dan berhasil mendatangkan
investasi luar negeri yang besar untuk masuk ke Indonesia dan menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang besar, meski tidak merata. Pada awal rezim Orde
Baru kebijakan ekomomi Indonesia disusun oleh sekelompok ekonom lulusan
143
Http, loc.cit
84
Departemen Ekonomi Universitas California, Berkeley, yang dipanggil "Mafia
Berkeley". Namun, Soeharto menambah kekayaannya dan keluarganya melalui
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang meluas dan dia akhirnya dipaksa
turun dari jabatannya setelah aksi demonstrasi besar-besaran dan kondisi ekonomi
negara yang memburuk pada Tahun 1998.
Masa Peralihan Orde Reformasi atau Era Reformasi berlangsung dari
Tahun 1998 hingga 2001, ketika terdapat tiga masa Presiden: Bacharuddin Jusuf
(BJ) Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri. Pada Tahun
2004, diselenggarakan Pemilihan Umum satu hari terbesar di dunia yang
dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai Presiden terpilih secara
langsung oleh rakyat, yang menjabat selama dua periode (2004-2009 dan 2009-
2014). Indonesia kini sedang mengalami masalah-masalah ekonomi, politik dan
pertikaian bernuansa agama di dalam negeri, dan beberapa daerah berusaha untuk
melepaskan diri dari naungan NKRI, terutama Papua. Timor Timur secara resmi
memisahkan diri pada Tahun 1999 setelah 24 Tahun bersatu dengan Indonesia dan
3 Tahun di bawah administrasi PBB menjadi negara Timor Leste.
Pada Desember 2004 dan Maret 2005, Aceh dan Nias dilanda dua gempa
bumi besar yang totalnya menewaskan ratusan ribu jiwa. (Lihat gempa bumi
Samudra Hindia 2004 dan gempa bumi Sumatra Maret 2005.) Kejadian ini disusul
oleh gempa bumi di Yogyakarta dan tsunami yang menghantam Pantai
Pangandaran dan sekitarnya, serta banjir lumpur di Sidoarjo pada 2006 yang tidak
kunjung terpecahkan.144
144
Http. loc.cit
85
Indonesia menjalankan pemerintahan republik Presidensial multipartai
yang demokratis. Seperti juga di negara-negara demokrasi lainnya, sistem politik
di Indonesia didasarkan pada Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif
dan yudikatif. Kekuasaan legislatif dipegang oleh sebuah lembaga bernama
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR pernah menjadi lembaga tertinggi
negara Unikameral, namun setelah amendemen ke-4 MPR bukanlah lembaga
tertinggi lagi, dan komposisi keanggotaannya juga berubah. MPR setelah
amendemen UUD 1945, yaitu sejak 2004 menjelma menjadi lembaga bikameral
yang terdiri dari 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang merupakan
wakil rakyat melalui Partai Politik, ditambah dengan 132 anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan wakil provinsi dari jalur independen.
Anggota DPR dan DPD dipilih melalui pemilu dan dilantik untuk masa jabatan
lima Tahun. Sebelumnya, anggota MPR adalah seluruh anggota DPR ditambah
utusan golongan dan TNI/Polri. MPR saat ini diketuai oleh Zulkifli Hasan. DPR
saat ini diketuai oleh Bambang Soesatyo, sedangkan DPD saat ini diketuai oleh
Oesman Sapta Odang.
Lembaga eksekutif berpusat pada Presiden, wakil Presiden, dan kabinet.
Kabinet di Indonesia adalah Kabinet Presidensial sehingga para menteri
bertanggung jawab kepada Presiden dan tidak mewakili partai politik yang ada di
parlemen. Meskipun demikian, Presiden saat ini yakni Joko Widodo yang diusung
oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan juga menunjuk sejumlah pemimpin
partai politik untuk duduk di kabinetnya. Tujuannya untuk menjaga stabilitas
pemerintahan mengingat kuatnya posisi lembaga legislatif di Indonesia. Namun
86
pos-pos penting dan strategis umumnya diisi oleh menteri tanpa portofolio partai
(berasal dari seseorang yang dianggap ahli dalam bidangnya). Lembaga Yudikatif
sejak masa reformasi dan adanya amendemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945
dijalankan oleh Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi,
termasuk pengaturan administrasi para hakim. Meskipun demikian keberadaan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tetap dipertahankan.145
Mantan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dengan Barack
Obama, Mantan Presiden Amerika Serikat, dalam sebuah acara penyambutan
tamu negara di Istana Merdeka di Jakarta, pada tanggal 9 Nopember 2010. Obama
terkenal di Indonesia, karena menghabiskan masa kecilnya di Jakarta. Berlawanan
dengan Sukarno yang anti-Imperialisme, antipati terhadap kekuatan barat, dan
bersitegang dengan Malaysia, hubungan luar negeri sejak "Orde baru"-nya
Suharto didasarkan pada ekonomi dan kerja sama politik dengan negara-negara
barat. Indonesia menjaga hubungan baik dengan tetangga-tetangganya di Asia,
dan Indonesia adalah pendiri ASEAN dan East Asia Summit.
Indonesia menjalin hubungan kembali dengan Republik Rakyat Tiongkok
pada Tahun 1990, padahal sebelumnya melakukan pembekuan hubungan
sehubungan dengan gejolak anti-komunis di awal kepemerintahan Suharto.
Indonesia menjadi anggota perserikatan bangsa-bangsa sejak Tahun 1950, dan
pendiri Gerakan Non Blok dan Organisasi Kelompok Islam yang sekarang telah
menjadi Organisasi Kerjasama Islam. Indonesia telah menandatangani perjanjian
ASEAN Free Trade Area, Cairns Group, dan World Trade Organization, dan
145
Http, loc.cit
87
pernah menjadi anggota OPEC, meskipun Indonesia menarik diri pada Tahun
2008 sehubungan Indonesia bukan lagi pengekspor minyak mentah bersih.
Indonesia telah menerima bantuan kemanusiaan dan pembangunan sejak Tahun
1966, terutama dari Amerika Serikat, negara-negara Eropa Barat, Australia dan
Jepang.
Pemerintah Indonesia telah bekerja sama dengan dunia international
sehubungan dengan pengeboman yang dilakukan oleh militan Islam dan Al-
Qaeda. Pemboman besar menimbulkan korban 202 orang tewas (termasuk 164
turis mancanegara) di Kuta, Bali pada Tahun 2012. Serangan tersebut dan
peringatan perjalanan (travel warnings) yang dikeluarkan oleh negara-negara lain,
menimbulkan dampak yang berat bagi industri jasa perjalanan/turis dan juga
prospek investasi asing.Tetapi beruntung ekonomi Indonesia secara keseluruhan
tidak terlalu dipengaruhi oleh hal-hal tersebut di atas, karena Indonesia adalah
negara yang ekonomi domestiknya cukup kuat dan dominan.
Tentara Nasional Indonesia terdiri dari TNI–AD, TNI-AL (termasuk
Marinir) dan TNI-AU. Berkekuatan 400.000 prajurit aktif, memiliki anggaran 4%
dari GDP pada Tahun 2006, tetapi terdapat kontroversi bahwa ada sumber-sumber
dana dari kepentingan-kepentingan komersial dan yayasan-yayasan yang
dilindungi oleh militer. Satu hal baik dari reformasi sejalan dengan mundurnya
Suharto adalah mundurnya TNI dari parlemen setelah bubarnya Dwi Fungsi
ABRI, walaupun pengaruh militer dalam bernegara masih tetap kuat.
Gerakan separatis di sebagian daerah Aceh dan Papua telah menimbulkan
konflik bersenjata, dan terjadi pelanggaran HAM serta kebrutalan yang dilakukan
88
oleh keduabelah pihak. Setelah 30 Tahun perseteruan sporadis antara Gerakan
Aceh Merdeka dan militer Indonesia, maka persetujuan gencatan senjata terjadi
pada Tahun 2005. Di Papua, telah terjadi kemajuan yang mencolok, walaupun
masih terjadi kekurangan-kekurangan, dengan diterapkannya otonomi, dengan
akibat berkurangannya pelanggaran HAM.146
Indonesia saat ini secara de facto terdiri dari 34 provinsi, lima di antaranya
memiliki status yang berbeda (Aceh, Daerah Istimewa Yogyakarta, Papua Barat,
Papua, dan DKI Jakarta). Provinsi dibagi menjadi 416 kabupaten dan 98 kota atau
7024 daerah setingkat kecamatan atau 81626 daerah setingkat desa. Terdapat
berbagai istilah lokal untuk suatu daerah di Indonesia misal: kelurahan, desa,
gampong, kampung, nagari, pekon, atau istilah lain yang diakomodasi oleh
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Tiap provinsi memiliki DPRD Provinsi dan gubernur; sementara
kabupaten memiliki DPRD Kabupaten dan bupati; kemudian kota memiliki
DPRD Kota dan wali kota; semuanya dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu
dan Pilkada. Bagaimanapun di Jakarta tidak terdapat DPR Kabupaten atau Kota,
karena Kabupaten Administrasi dan Kota Administrasi di Jakarta bukanlah daerah
otonom.147
Provinsi Aceh, Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Papua Barat, dan
Papua memiliki hak istimewa legislatur yang lebih besar dan tingkat otonomi
yang lebih tinggi dibandingkan provinsi lainnya. Contohnya, Aceh berhak
146
Http, loc.cit 147
Ibid, http
89
membentuk sistem legal sendiri; pada Tahun 2003, Aceh mulai menetapkan
hukum Syariah.
Yogyakarta mendapatkan status Daerah Istimewa sebagai pengakuan
terhadap peran penting Yogyakarta dalam mendukung Indonesia selama Revolusi.
Provinsi Papua, sebelumnya disebut Irian Jaya, mendapat status otonomi khusus
Tahun 2001. DKI Jakarta, adalah daerah khusus ibukota negara. Timor Portugis
digabungkan ke dalam wilayah Indonesia dan menjadi provinsi Timor Timur pada
Tahun 1976–1999, yang kemudian memisahkan diri melalui referendum menjadi
Negara Timor Leste.
Indonesia adalah negara kepulauan di Asia Tenggara yang memiliki
17.504 pulau besar dan kecil, sekitar 6.000 di antaranya tidak berpenghuni, yang
menyebar disekitar khatulistiwa, yang memberikan cuaca tropis. Posisi Indonesia
terletak pada koordinat 6°LU-11°08'LS dan dari 95°'BT - 141°45'BT serta terletak
di antara dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia/Oseania. Wilayah
Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil di antara Samudra Hindia dan Samudra
Pasifik.
Luas daratan Indonesia adalah 1.922.570 km² dan luas perairannya
3.257.483 km². Pulau terpadat penduduknya adalah pulau Jawa, di mana setengah
populasi Indonesia bermukim. Indonesia terdiri dari 5 pulau besar, yaitu: Jawa
dengan luas 132.107 km², Sumatera dengan luas 473.606 km², Kalimantan dengan
luas 539.460 km², Sulawesi dengan luas 189.216 km², dan Papua dengan luas
421.981 km². Batas wilayah Indonesia diukur dari kepulauan dengan
90
menggunakan territorial laut: 12 mil laut serta zona ekonomi eksklusif: 200 mil
laut, searah penjuru mata angin, yaitu:
Sumber daya alam Indonesia berupa minyak bumi, timah, gas alam, nikel,
kayu, bauksit, tanah subur, batu bara, emas, dan perak dengan pembagian lahan
terdiri dari tanah pertanian sebesar 10%, perkebunan sebesar 7%, padang rumput
sebesar 7%, hutan dan daerah berhutan sebesar 62%, dan lainnya sebesar 14%
dengan lahan irigasi seluas 45.970 km
3.2.4.2. Mahkamah Konstitusi Indonesia
Secara umum landasan pembentukan Mahkamah Konstitusi diberbagai
Negara pada intinya menjaga dan melindungi konstitusi, agar tetap konsisten dan
dijunjung tinggi bagi penyelenggara negara, meminjam pendapat Jimly
Asshidieqie demikian dari pandangan ini, terlihat jelas, negara-negara modern
menggunakan fungsi konstitusi sebagai dasar untuk membentuk lembaga-lembaga
baru salah satunya lembaga penguji undang-undang atau Mahkamah Konstitusi,
pengaturan ini dilakukan agar dapat menjawab tuntutan masyarakat terhadap
negara, yang dalam menyelenggarakan pemerintahan negara sesuai prinsip negara
hukum sebagaimana pendapat Brian L Tamanha, dengan demikian
penyelenggaraan pemerintahan dari berbagai negara menempatkan konstitusi
sebagai norma tertinggi dalam sistem ketatanegaraannya.
Pada hakekatnya pembentukan Mahkamah Konstitusi memiliki dua hal
yaitu menjaga dan melindungi konstitusi agar tetap ditaati dan menjunjung tinggi
prinsip negara hukum, oleh karena itu negara-negara modern ( Indonesia, Austria,
Jerman dan Perancis, telah berhasil mendudukkan lembaga penguji Undang-
91
Undang dalam sistem ketatanegaraan masing-masing walaupun dengan nama
yang berbeda dan pengalaman sejarah ketatanegaraan yang berbeda, hal inilah
yang membuat penulis berkeinginan menelusuri pembentukan lembaga penguji
undang-undang dari negara-negara yang disebutkan dan melakukan perbandingan
mengenai landasaan pembentukan dan kedudukan lembaga penguji undang-
undang dalam sistem ketatanegaraannya.
3.2.4.2.1 Ide Constitusional Review Oleh The Funding Father
Tahun 1945
Proses pembentukan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 terjadi
perdebatan tentang usulan Moh. Yamin menggagas lembaga yang berwenang
menyelesaikan sengketa konstitusi, lazim disebut Constitutionaleele geschil atau
constitutional disputes. Diawali dengan Gagasan Moh. Yamin perlunya
diberlakukan suatu materieele toetsingrecht (uji materil) terhadap undang-undang.
Moh. Yamin mengusulkan perlunya Mahkamah Agung diberi wewenang
``membanding`` undang-undang. Namum usulan Yamin disanggah Soepomo
dengan empat alasan bahwa; (i). Konsep dasar yang dianut dalam Undang-
Undang Dasar yang tengah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan
(separation of power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of
power), selain itu, (ii) tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan
menguji undang-undang, (iii). Kewenangan hakim untuk melakukan pengujian
undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan
Rakyat, dan (iv). Sebagai negara yang baru merdeka belum memiliki ahli-ahli
mengenai hal tersebut serta pengalaman mengenai judician review.
92
Akhirnya, ide itu urung diadapsi dalam Undang-Undang Dasar Tahun
1945. Agar Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan yudikatif diberi
kewenangan menilai apakah suatu peraturan perundangan sesuai dengan
konstitusi. Soepomo tidak sependapat dengan Muh. Yamin, karena menurutnya
kekuasaaan demikian terdapat pada negara yang menganut sistem pemisahan
kekuasaan (konsep trias politica). Sementara Rancangan Undang-Undang Dasar
tidak, dan kekuasaan yudikatif tidak mengontrol kekuasaan legislatif sebagai
pembentuk undang-undang. Menurut Supomo, di negara-negara lain seperti
Austria, Ceko Slowakia dan Jerman, kewenangan tersebut dilaksanakan oleh suatu
pengadilan yang memang khusus menangani masalah konstitusi. Akhirnya
BPUPKI dan PPKI menolak usul tersebut dan tidak memasukkannya ke dalam
Undang-Undang Dasar sebagai bagian wewenang yudikatif MA.
3.2.4.2.2. Konstitusi RIS
Konstitusi RIS yang diundangkan pada Tahun 1949 disebutkan bahwa,
kewenangan untuk menilai apakah suatu undang-undang negara bagian
bertentangan atau tidak dengan undang-undang federal dan konstitusi RIS
diberikan kepada MA. Untuk merespon perkembangan, di sekitar Tahun 1956–
1959 IKAHI dan MA mengusulkan bahwa MA seharusnya memiliki kewenangan
untuk menyatakan suatu peraturan perundangan bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar. Kemudian dalam pembahasan konstitusi bidang peradilan,
Konstituante memutuskan untuk memuat pembentukan peradilan khusus yang
terdiri dari Hakim Agung yang berwenang menilai peraturan perundangan.
Namun, dengan Dekrit 1959, Presiden membubarkan Parlemen.
93
3.2.4.2.3. Gagasan Pengujian Undang-Undang Tahun 1970-1985
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia dalam rangka
tuntutan untuk memberdayakan Mahkamah Agung. Diawali pada Tahun 1970-an
dengan perjuangan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yang memperjuangkan agar
Mahkamah Agung Indonesia diberi kewenangan untuk menguji undang-undang
terhadap Undang Undang Dasar. Tuntutan ini tidak pernah ditanggapi karena
dilatarbelakangi oleh suasana dan paradigma kehidupan ketatanegaraan dan
kehidupan politik yang monolitik waktu itu. Juga tidak diperkenankannya adanya
perubahan konstitusi, bahkan Undang-Undang Dasar cenderung disakralkan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan
Kehakiman memberikan kewenangan kepada MA untuk menilai kesesuaian suatu
peraturan dengan peraturan yang lebih tinggi (judical review). Namun
kewenangan itu, terbatas pada peraturan yang tingkatnya lebih rendah dari
undang-undang dan tidak mengatur penilaian undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar. Undang-Undang Nomor. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung juga menyebutkan hal yang kurang lebih sama. Tahun 1993 diterbitkan
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 1993 Tentang Hak Uji
Materiil tertanggal 15 Juni 1993 sebagai reaksi terhadap permohonan judicial
review yang diajukan harian Prioritas kepada MA terhadap Peraturan Menteri
Penerangan No. 01/Per/Menpen/1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers
(SIUPP) sekitar 7 bulan sebelumnya. Tahun 1999 MA mengeluarkan Surat
Edaran MA No. 1 Tahun 1999 tentang Judicial review dalam rangka
memperbaharui teknis pelaksanaan judicial review yang sebelumnya diatur dalam
94
PERMA No. 1 Tahun 1993. Perbedaan prinsipil dengan aturan sebelumnya adalah
permohonan judicial review dapat juga diajukan terpisah dari suatu perkara
(permohonan).
Pada bulan Nopember 1997 F-PDI mengusulkan untuk memberi MA
kewenangan melakukan judicial review terhadap undang-undang, namun PAH II
BP MPR menolak, dengan alasan MA tidak berhak untuk melakukan judicial
review terhadap ketentuan hasil lembaga tinggi negara. F-KP, F-UD, F-PP, F-
ABRI menyatakan bahwa yang berhak melakukan judicial review terhadap
undang-undang adalah lembaga yang menghasilkan undang-undang tersebut,
yaitu pemerintah dan DPR.
3.2.4.3.4 Pembentukan Mahkamah Konstitusi Indonesia
Pembentukan Mahkamah Konsitusi Indonesia tidak terlepas dari tuntutan
amandemen terhadap Undang-Undang 1945 yang terjadi pada Tahun 1999,
namun dalam amadamen ini ide untuk memasukkan lembaga Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga peradilan tidaklah terlaksana. Pada saat itu pasal-pasal
yang diamandamen ini meliputi;
9 Pasal, 16 ayat yang ditetapkan pada tanggal 19-Oktober-1999, yaitu:
Pasal 7: tentang pembatasan masa jabatan Presiden dan wakil Presiden.
Pasal 13 ayat (2) dan (3): tentang penempatan dan pengangkatan duta.
Pasal 5 ayat (1): tentang hak Presiden untuk mengajukan RUU kepada
DPR.
Pasal 14 ayat (1): tentang pemberian grasi dan rehabilitasi.
Pasal 15: tentang pemberian tanda jasa, gelar, serta kehormatan lain.
Pasal 9 ayat (1) dan (2): tentang sumpah Presiden dan wakil Presiden.
Pasal 21: tentang hak DPR untuk mengajukan RUU.
Pasal 14 ayat (2): tentang pemberian abolisi dan amnesty.
Pasal 20 ayat (1-4): tentang DPR.
Pasal 17 ayat (2) dan (3): tentang pengangkatan menteri.
95
Dengan demikian perubahan pertama Undang-Undang 1945, ide
membentuk Mahkamah Konstitusi memang telah ada, namun untuk
merealisasikannya, nanti pada tahap amandamen kedua Undang-Undang Dasar
Tahun 1945. Gagasan membentuk Mahkamah Konstitusi mengemukakan pada
sidang kedua Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI (PAH I BP MPR), pada
Maret-April Tahun 2000. Mulanya, MK akan ditempatkan dalam lingkungan MA,
dengan kewenangan melakukan uji materil atas undang-undang, memberikan
putusan atas pertentangan antar undang-undang serta kewenangan lain yang
diberikan undang-undang. Usulan lainnya, MK diberi kewenangan memberikan
putusan atas persengketaan kewenangan antar lembaga negara, antar pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah. Dan setelah
melewati perdebatan panjang, pembahasan mendalam, serta dengan mengkaji
lembaga pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta
mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara,
rumusan mengenai pembentukan Mahkamah Konstitusi diakomodir dalam
Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Pada bulan Juli 2000 dalam Pembahasan Amandemen Kedua Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 oleh PAH I BP MPR Tim ahli mengusulkan untuk
segera dibentuk MK. Usul itu diterima dalam rapat pleno ke-26. Dalam Pasal
25B, Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman dan Penegakan Hukum dalam
Rancangan Amandemen Kedua Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang
disiapkan oleh PAH BP MPR, Mahkamah Konstitusi direncanakan untuk
mempunyai 3 kewenangan: (i) menguji secara materiil atas undang-undang dan
96
Undang-Undang Dasar; (ii) memutus atas pertentangan antar undang-undang; (iii)
memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, antara pemerintah pusat
dengan daerah, antar pemerintah daerah.
Dalam kesepakatan finalisasi PAH I BP MPR, 22 Juli 2000, PAH I
menyepakati MK berada dalam lingkungan MA. Pada bulan Agustus Tahun 2000
dalam Sidang Tahunan I MPR Bab ini dibahas dalam ST I MPR, namun tidak
dicapai kesepakatan. Oleh karena itu, MPR menerbitkan TAP III/2000, yang
menegaskan kembali bahwa judicial review atas undang-undang dan Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 serta TAP MPR ada di tangan MPR, sedang MA
hanya berwenang untuk menguji peraturan di bawah undang-undang. Pada bulan
September 2001 dalam Pembahasan Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar
Tahun 1945, seluruh fraksi dalam PAH I BP MPR setuju untuk memasukkan
aturan tentang MK dalam Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar Tahun
1945. Idealnya kewenangan pengujian materi peraturan perundang-undangan
diintegrasikan saja menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Sayangnya,
perumus kebijakan konstitusional negara kita tidak berpendapat demikian. Dalam
perubahan terhadap rumusan pasal 24 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 hasil
Perubahan Ketiga yang disahkan pada bulan November 2001, kewenangan uji
materil oleh Mahkamah Konstitusi dibatasi hanya sampai tingkat undang-undang.
Sedangkan peraturan di bawahnya tetap ditentukan sebagai kewenangan
Mahkamah Agung. Dalam Pasal 24 A ayat (1) Perubahan Ketiga Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 dinyatakan: “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada
tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
97
terhadap undang-undang, dan mempunyai kewenangan lainnya yang diberikan
oleh undang-undang”. Sedangkan Pasal 24 C ayat (1) menyatakan: “Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”
PAH II BP MPR pada bulan Mei 2002 menyusun rancangan perubahan
peraturan tata tertib MPR dimana jika disetujui dalam ST 2001, BP MPR akan
memiliki kewenangan melakukan uji materil atas undang-undang, TAP MPR, dan
Undang-Undang Dasar. Walaupun mengakui MK yang seharusnya berwenang,
sebelum terbentuk BP sesuai TAP MPR III/2000, BP MPR yang
melaksanakannya. Kalaupun pandangan ini dapat dibenarkan, maka pengujian
oleh lembaga MPR ini tidaklah dapat dikategorikan sebagai „judicial review‟,
karena sama sekali tidak dilakukan oleh hakim, melainkan oleh „legislator‟.
Namun demikian, ketentuan demikian ini sangatlah keliru karena memberikan
wewenang kepada lembaga yang tidak tepat. Sri Soemantri menyatakan, bahwa
prosedur serta sistem perubahan Undang-Undang Dasar 1945 seharusnya
merupakan perwujudan dua hal, yaitu menjamin kelangsungan hidup bangsa
Indonesia dan memungkinkan adanya perubahan. Merujuk pada pendapat ini,
terjadinya perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sejak Perubahan
98
Pertama sampai Perubahan Keempat, tentunya harus mempengaruhi sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia.148
Terjadinya perubahan yang mendasar terhadap sistem ketatanegaraan
Indonesia terutama mengenai lembaga Negara. Dengan demikian, pengujian
terhadap materi peraturan oleh Mahkamah Konstitusi hanya dibatasi menyangkut
konstitusionalitas undang-undang saja, dan penyelesaian sengketa antara pusat
dan daerah ataupun antar pemerintah daerah tidak ditentukan sebagai kewenangan
Mahkamah Konstitusi. Penyelesaian sengketa yang diputus oleh Mahkamah
Konstitusi dibatasi hanya menyangkut sengketa kewenangan antar lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Sebelum
hakim Mahkamah Konstitusi itu ada, kewenangan melakukan pengujian itu
dilimpahkan kepada Mahkamah Agung.
3.2.4.3.5. Lahirnya Mahkamah Konstitusi Indonesia
Pembentukan Mahkamah Konsitusi Indonesia tidak terlepas dari tuntutan
amandemen terhadap Undang-Undang Tahun 1945 yang terjadi pada Tahun 1999,
namun dalam amadamen ini ide untuk memasukkan lembaga Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga peradilan tidaklah terlaksana. Pada saat itu pasal-pasal
yang diamandamen ini meliputi;
a) 9 Pasal, 16 ayat yang ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999, yaitu:
Pasal 7: tentang pembatasan masa jabatan Presiden dan wakil Presiden.
Pasal 13 ayat (2) dan (3): tentang penempatan dan pengangkatan duta.
Pasal 5 ayat (1): tentang hak Presiden untuk mengajukan RUU kepada
DPR.
Pasal 14 ayat (1): tentang pemberian grasi dan rehabilitasi.
Pasal 15: tentang pemberian tanda jasa, gelar, serta kehormatan lain.
Pasal 9 ayat (1) dan (2): tentang sumpah Presiden dan wakil Presiden.
148
Loc.Cit. Http//.www.sejarah Indonesia wikipedia.com
99
Pasal 21: tentang hak DPR untuk mengajukan RUU.
Pasal 14 ayat (2): tentang pemberian abolisi dan amnesty.
Pasal 20 ayat (1-4): tentang DPR.
Pasal 17 ayat (2) dan (3): tentang pengangkatan menteri.
Dengan demikian dalam perubahan pertama Undang-Undang Dasar 1945,
ide pembentukan Mahkamah Konstitusi memang telah ada sebelumnya, namun
untuk merealisasikannya, nanti pada tahap amandamen kedua Undang-Undang
Dasar Tahun 1945. Gagasan membentuk Mahkamah Konstitusi mengemukakan
pada sidang kedua panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI (PAH I BP MPR),
pada Maret-April Tahun 2000. Mulanya, MK akan ditempatkan dalam lingkungan
MA, dengan adanya kewenangan melakukan uji materil atas undang-undang,
memberikan putusan atas pertentangan antar undang-undang serta kewenangan
lain yang diberikan undang-undang. Usulan lainnya, MK diberi kewenangan
memberikan putusan atas persengketaan kewenangan antar lembaga negara, antar
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah.
Dan setelah melewati perdebatan panjang, pembahasan mendalam, serta
dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang di berbagai
negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum
tata negara, rumusan mengenai pembentukan Mahkamah Konstitusi diakomodir
dalam Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pada bulan Juli
2000 dalam pembahasan amandemen kedua Undang-Undang Dasar Tahun 1945
oleh PAH I BP MPR tim ahli mengusulkan untuk segera dibentuk MK. Usul itu
diterima dalam rapat pleno ke-26. Dalam Pasal 25B, bab IX tentang kekuasaan
kehakiman dan penegakan hukum dalam rancangan amandemen kedua Undang-
Undang Dasar Tahun 1945, yang disiapkan oleh PAH BP MPR, Mahkamah
100
Konstitusi direncanakan untuk mempunyai 3 kewenangan: (i) menguji secara
materiil atas undang-undang dan Undang-Undang Dasar; (ii) memutus atas
pertentangan antar undang-undang; (iii) memutus sengketa kewenangan antar
lembaga negara, antara pemerintah pusat dengan daerah, antar pemerintah daerah.
Dalam kesepakatan finalisasi PAH I BP MPR, 22 Juli 2000, PAH I
menyepakati MK berada dalam lingkungan MA. Pada bulan Agustus Tahun 2000
dalam Sidang Tahunan I MPR bab ini dibahas dalam ST I MPR, namun tidak
dicapai kesepakatan. Oleh karena itu, MPR menerbitkan TAP III/2000, yang
menegaskan kembali bahwa judicial review atas undang-undang dan Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 serta TAP MPR ada di tangan MPR, sedang MA
hanya berwenang untuk menguji peraturan di bawah undang-undang.
Pada bulan September 2001 dalam pembahasan amandemen ketiga
Undang-Undang Dasar Tahun 1945, seluruh fraksi dalam PAH I BP MPR setuju
untuk memasukkan aturan tentang MK dalam amandemen ketiga Undang-Undang
Dasar Tahun 1945. Idealnya kewenangan pengujian materi peraturan perundang-
undangan diintegrasikan saja menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Sayangnya, perumus kebijakan konstitusional negara kita tidak berpendapat
demikian.
Dalam perubahan terhadap rumusan Pasal 24 Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 hasil perubahan ketiga yang disahkan pada bulan November 2001,
kewenangan uji materil oleh Mahkamah Konstitusi dibatasi hanya sampai tingkat
undang-undang, sedangkan peraturan di bawahnya tetap ditentukan sebagai
kewenangan Mahkamah Agung. Dalam Pasal 24 A ayat (1) perubahan ketiga
101
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dinyatakan: “Mahkamah Agung berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai kewenangan lainnya
yang diberikan oleh undang-undang”.
Sedangkan Pasal 24 C ayat (1) menyatakan: “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum”
PAH II BP MPR pada bulan Mei 2002 menyusun rancangan perubahan
peraturan tata tertib MPR dimana jika disetujui dalam ST 2001, BP MPR akan
memiliki kewenangan melakukan uji materiil atas undang-undang, TAP MPR,
dan Undang-Undang Dasar. Walaupun mengakui MK yang seharusnya
berwenang, sebelum terbentuk BP sesuai TAP MPR III/2000, BP MPR yang
melaksanakannya. Kalaupun pandangan ini dapat dibenarkan, maka pengujian
oleh lembaga MPR ini tidaklah dapat dikategorikan sebagai „judicial review‟,
karena sama sekali tidak dilakukan oleh hakim, melainkan oleh „legislator‟.
Namun demikian, ketentuan demikian ini sangatlah keliru karena memberikan
wewenang kepada lembaga yang tidak tepat.
Sri Soemantri menyatakan, bahwa prosedur serta sistem perubahan
Undang-Undang Dasar 1945 seharusnya merupakan perwujudan dua hal, yaitu
menjamin kelangsungan hidup bangsa Indonesia dan memungkinkan adanya
102
perubahan. Merujuk pada pendapat ini, terjadinya perubahan Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 sejak perubahan pertama sampai perubahan keempat, tentunya
harus mempengaruhi sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. 149
Terjadinya perubahan yang mendasar terhadap sistem ketatanegaraan
Indonesia terutama mengenai lembaga negara. Dengan demikian, pengujian
terhadap materi peraturan oleh Mahkamah Konstitusi hanya dibatasi menyangkut
konstitusionalitas undang-undang saja, dan penyelesaian sengketa antara pusat
dan daerah ataupun antar pemerintah daerah tidak ditentukan sebagai kewenangan
Mahkamah Konstitusi. Penyelesaian sengketa yang diputus oleh Mahkamah
Konstitusi dibatasi hanya menyangkut sengketa kewenangan antar lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Sebelum
hakim Mahkamah Konstitusi itu ada, kewenangan melakukan pengujian itu
dilimpahkan kepada Mahkamah Agung.
1.2.4.3.6. Lembaga Negara Sebelum Amandamen Undang-Undang
Dasar Tahun 1945
Sebelum adanya amandemen Undang-Undang Dasar 1945, lembaga-
lembaga negara sesuai Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai berikut:
1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
2) Presiden dan Wakil Presiden
3) Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
4) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
5) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
6) Mahkamah Agung (MA)
149
Mochamad Isnaeni Ramdhan, 2006, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi,: PT.
Alumni Bandung, h. 273
103
Pertama; tugas dan wewenang MPR sebelum perubahan Undang- Undang
Dasar Tahun 1945 ada didalam Pasal 3 dan Pasal 6 Undang-Undang Dasar Tahun
1945 serta Pasal 3 Ketetapan MPR No. 1/MPR/ 1983, dan dinyatakan sebagai
berikut: menetapkan Undang-Undang Dasar menetapkan Garis-Garis Besar
Haluan Negara, memilih (dan mengangkat) Presiden dan wakil Presiden.
a) MPR
Sebagai Lembaga Tertinggi Negara diberi kekuasaan tak terbatas (super
power) karena “kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya
oleh MPR” dan MPR adalah “penjelmaan dari seluruh rakyat yang
berwenang:menetapkan Undang-Undang Dasar, menetapkan GBHN,
mengangkat Presiden dan wakil Presiden.
Susunan keanggotaannya terdiri dari anggota DPR dan utusan daerah serta
utusan golongan yang diangkat.
Dalam praktek ketatanegaraan, MPR pernah menetapkan antara lain:
Presiden, sebagai Presiden seumur hidup.
Presiden yang dipilih secara terus menerus sampai 7 (tujuh) kali berturut
turut.
Memberhentikan sebagai pejabat Presiden.
Meminta Presiden untuk mundur dari jabatannya.
Tidak memperpanjang masa jabatan sebagai Presiden.
Lembaga negara yang paling mungkin menandingi MPR adalah Presiden,
yaitu dengan memanfaatkan kekuatan partai politik yang paling banyak
menduduki kursi di MPR.
b) Presiden / Wapres
Presiden memegang posisi sentral dan dominan sebagai mandataris MPR,
meskipun kedudukannya tidak “neben” akan tetapi “untergeordnet”.
Presiden menjalankan kekuasaan pemerintahan negara tertinggi
(consentration of power and responsiblity upon the President).
Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga
memegang kekuasaan legislative (legislative power) dan kekuasaan
yudikatif (judicative power).
Presiden mempunyai hak prerogatif yang sangat besar.
Tidak ada aturan mengenai batasan periode seseorang dapat menjabat
sebagai Presiden serta mekanisme pemberhentian Presiden dalam masa
jabatannya.
c) DPR
Memberikan persetujuan atas RUU yang diusulkan Presiden.
Memberikan persetujuan atas PERPU.
104
Memberikan persetujuan atas Anggaran.
Meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta
pertanggungjawaban Presiden.
d) DPA DAN BPK
Disamping itu, Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tidak banyak
mengintrodusir lembaga-lembaga negara lain seperti DPA dan BPK dengan
memberikan kewenangan yang sangat minim.
e) MA
Merupakan lembaga tinggi negara dari peradilan Tata Usaha Negara, PN,
PA, dan PM. Dengan demikian sebelum adanya amandamen Undang-Undang
Dasar Tahun 1945, pertama, kedudukan lembaga negara tidak sederajat, sebab
Majelis Permusyarataan Rakyat (MPR) memiliki kedudukan lebih tinggi dari
keempat lembaga negara yang ada, ini disebabkan karena menganut pembagian
kekuasaan/division of power. Kedua menganut sistem pemerintahan yang
diktaktor, ketiga sistem demokrasi yang terselenggara sebagaimana mestinya.
3.2.4.3.7 Lembaga Negara Sesudah Amandamen Undang-Undang
Dasar Tahun 1945
Setelah mengalami tahapan perubahan yang ke-emapat kalinya, secara
signifikan telah terjadi perubahan struktural bagi lembaga-lembaga negara dengan
ditambahkannya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara dan bagian dari
kekuasaan kehakiman, hasil amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945:
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Perubahan mendasar akibat amandemen Undang-Undang Dasar Tahun
1945 ialah adanya perubahan kedudukan, tugas dan kewenangan Majelis
105
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Yang sebelum amandemen, MPR merupakan
lembaga tertinggi negara bahkan kedudukan Presiden sebagai mandataris MPR.
Sebelum amandemen, MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Namun setelah
amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945, kedudukan MPR menjadi sejajar
atau setingkat dengan lembaga-lembaga tinggi lainnya. Dengan demikian, MPR
bersifat saling melengkapi dengan lembaga negara yang lain. Berdasarkan Pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa: anggota MPR
terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilu secara
langsung untuk masa jabatan selama lima Tahun.
Keanggotaan, MPR menggunakan sistem bicameral atau dua kamar. Hal
ini mengingat keanggotaan MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD, sehingga
sidangnyapun disebut sebagai joint session antara kedua lembaga tersebut.
Ketentuan tentang keanggotaan MPR ini diatur dalam Undang-Undang No. 23
Tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Masa
jabatan anggota MPR dalam satu periode adalah lima Tahun dan melaksanakan
sidang sedikitnya sekali dalam lima Tahun tersebut di ibu kota negara.
1) Tugas dan Wewenang MPR
Berkenan dengan tugas dan wewenang MPR diatur dalam Pasal 3 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 hasil amandemen, MPR mempunyai tugas
dan wewenang sebagai berikut:
a) Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
b) Melantik Presiden dan/wakil Presiden berdasarkan hasil pemilu dalam
sidang paripurna MPR.
106
c) Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi
untuk memberhentikan Presiden atau wakil Presiden dalam masa
jabatannya setelah Presiden dan/atau wakil Presiden diberi kesempatan
untuk menyampaikan penjelasan dalam sidang paripurna MPR.
2. DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)
Dewan perwakilan rakyat (DPR) merupakan tempat bergabungnya wakil-
wakil rakyat dan mengemban amanat seluruh rakyat untuk mengawasi jalannya
pemerintahan. Kedudukan DPR sebagai lembaga negara diatur dalam bab VII
Pasal 19 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 hasil amandemen. Keanggotaan
DPR berasal dari partai politik yang dipilih melalui pemilu setiap lima Tahun
sekali. DPR menjadi sarana penting, karena melalui lembaga negara ini rakyat
dapat menyalurkan segala aspirasi dan kehendak rakyat.
Lembaga ini tidak hanya sebagai penampung aspirasi rakyat, tetapi juga
sebagai penjelmaan dari kedaulatan rakyat dalam kehidupan bernegara. Selain
DPR, ada pula DPRD. DPR berkedudukan di tingkat pusat, sedangkan yang
berada di tingkat provinsi disebut DPRD provinsi dan yang berada di kabupaten
atau kota disebut DPRD kabupaten atau kota. Berdasarkan Undang-Undang
pemilu Nomor 10 Tahun 2008 ditetapkan sebagai berikut:
a) Jumlah anggota DPR sebanyak 560 orang.
b) Jumlah anggota DPRD provinsi sekurang-kurangnya 35 orang dan sebanyak-
banyak 100 orang;
c) Jumlah anggota DPRD kabupaten/kota sedikitnya 20 orang dan sebanyak-
banyaknya 50 orang.
107
A. Tugas dan Wewenang DPR
DPR adalah lembaga yang memegang kekuasaan legislatif. Artinya
lembaga ini sebagai pemegang kekuasaan membuat undang-undang (Pasal 20 A
Undang-Undang Dasar Tahun 1945). Dalam sistem pemerintahan, DPR
dilengkapi 3 fungsi penting sebagai berikut. (1). Fungsi legislasi, yaitu kekuasaan
dalam membuat undang-undang yang kemudian dijadikan pedoman oleh
pemerintah dalam penyelenggaraan sistem pemeritahan. DPR membuat undang-
undang bersama Presiden. (2). Fungsi anggaran, yaitu DPR sebagai pemegang
kekuasaan mengesahkan rancangan APBN (Anggaran Pendapatan Belanja
Negara) yang diajukan Presiden. Jika RAPBN ini tidak disetujui oleh DPR maka
yang diberlakukan adalah APBN Tahun sebelumnya. (3). Fungsi pengawasan,
yaitu DPR berkewajiban dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Jika diketahui
adanya pelanggaran undang-undang yang dilakukan pemerintah dalam hal ini
Presiden, maka DPR berhak mengajukannya kepada Mahkamah Konstitusi.
Sebagaimana Pasal 20A Undang-Undang Dasar Tahun 1945 DPR mempunyai
hak-hak, menyatakan bahwa:
a) Hak Interpelasi, adalah hak untuk meminta keterangan kepada
Presiden.
b) Hak Angket, adalah hak untuk mengadakan penyelidikan atas suatu
kebijakan pemerintah/Presiden.
c) Hak Inisiatif, adalah hak untuk mengajukan rancangan undang-undang
kepada pemerintah/Presiden.
d) Hak amandemen, adalah hak untuk menilai atau mengadakan
perubahan atas RUU (Rancangan Undang-Undang).
e) Hak budget, adalah hak untuk mengajukan RAPBN (Rencana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).
f) Hak petisi, adalah hak untuk mengajukan pertanyaan atas kebijakan
pemerintah/Presiden.
g) Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan
pendapat terhadap kebijakan pemerintah mengenai kejadian yang luar
108
biasa yang terdapat di dalam negeri disertai dengan rekomendasi
penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi
dan hak angket. Untuk memudahkan tugas anggota DPR maka
dibentuk komisi-komisi yang bekerja sama dengan pemerintah sebagai
mitra kerja.
B. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
DPD merupakan salah satu lembaga negara yang kedudukannya ada di
setiap provinsi. Keanggotan DPD ditentukan empat orang untuk tiap-tiap provinsi
yang dipilih melalui pemilihan umum. Anggota DPD secara langsung juga
menjadi anggota MPR. DPD merupakan lembaga negara yang baru dibentuk
setelah adanya amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Masa jabatan
anggota DPD adalah lima Tahun. Menurut Pasal 22 D Undang-Undang Dasar
Tahun 1945, DPD memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut.
1) Mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan,
pemekaran, serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam
atau sumber ekonomi lainnya, juga yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat daerah.
2) Memberi pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang
APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama.
3) Melakukan pengawasan yang berkaitan dengan pelaksanaan undang-
undang otonomi daerah serta menyampaikan hasil pengawasannya kepada
DPR untuk ditindak lanjuti.
3. Presiden dan Wakil Presiden
Indonesia menganut sistem pemerintahan Presidensial, oleh karena itu
Presiden juga memegang peranan yang sangat penting dalam
pemerintahan. Fungsi yang dijalankan oleh Presiden antara lain sebagai
berikut.
109
a) Legislatif yaitu wewenang dalam mengajukan Rancangan Undang-Undang
bersama-sama dengan DPR.
b) Eksekutif yaitu memegang kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan
yang dibantu oleh wakil Presiden dan para menteri. Menurut (Pasal 7
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 hasil amendemen), masa jabatan
Presiden dan wakil Presiden adalah lima Tahun, selanjutnya dapat dipilih
kembali untuk jabatan yang sama dalam satu masa jabatan. Dalam
menjalankan pemerintahan, Presiden memiliki dua kedudukan yaitu
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
A. Presiden Sebagai Kepala Negara
Sebagai seorang kepala negara, menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden mempunyai wewenang sebagai berikut:
1) Presiden merupakan panglima tertinggi angkatan perang. Presiden
memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan
Angkatan Udara (Pasal 10 Undang-Undang Dasar Tahun 1945).
2) Menyatakan perang, membuat perjanjian dan perdamaian dengan negara
lain dengan persetujuan DPR (Pasal 11 Undang-Undang Dasar Tahun
1945).
3) Menyatakan negara dalam keadaan bahaya (Pasal 12 Undang-Undang
Dasar Tahun 1945).
4) Mengangkat duta dan konsul.
5) Memberi grasi, rehabilitasi, amnesti, dan abolisi. Grasi adalah
pengampunan yang diberikan oleh kepala negara kepada orang yang
dijatuhi hukuman. Rehabilitasi adalah pemulihan nama baik atau
kehormatan seseorang yang telah dituduh secara tidak sah atau dilanggar
kehormatannya. Grasi dan rehabilitasi diberikan dengan memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung. Amnesti adalah pengampunan atau
pengurangan hukuman yang diberikan oleh negara kepada para tahanan,
terutama tahanan politik. Sedangkan abolisi adalah pembatalan tuntutan
pidana. Amnesti dan abolisi diberikan dengan memperhatikan
pertimbangan DPR.
6) Memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain sebagai tanda kehormatan.
B. Presiden Sebagai Kepala Pemerintahan
110
Sebagai seorang kepala pemerintahan, Presiden mempunyai kekuasaan
tertinggi untuk menyelenggarakan pemerintahan. Wewenang, hak dan kewajiban
Presiden sebagai kepala pemerintahan sebagai berikut.
Memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar
(UUD).
Mengajukan RUU (Rancangan undang-undang) kepada DPR.
Menetapkan PP (Peraturan Pemerintah) untuk menjalankan undang-
undang.
Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri.
Berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan, Presiden dibantu oleh
wakil Presiden dan beberapa menteri yang tergabung dalam kekuasaan. Menteri-
menteri tersebut merupakan implementasi dari hak prerogatif Presiden, sehingga
yang berhak mengangkat dan memberhentikannya juga Presiden. Menteri-menteri
tersebut harus mempertanggung jawabkan tugasnya kepada Presiden.
4. BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)
BPK merupakan lembaga pemeriksa keuangan yang bersifat bebas dan
mandiri. Badan ini sekaligus berperan sebagai lembaga audit keuangan negara.
Tugas BPK adalah memeriksa dan mengawasi penggunaan keuangan negara.
Hasil kerja dari BPK kemudian diserahkan kepada DPR/DPRD, atau DPD sesuai
dengan kewenangannya. Badan ini berdomisili di ibu kota negara, dan memiliki
perwakilan di setiap provinsi. Lembaga ini juga dikenal sebagai lembaga
eksaminatif. Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan pertimbangan-pertimbangan
dari DPD dan ditetapkan oleh Presiden.
5 MA (Mahkamah Agung)
Mahkamah Agung merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan
kehakiman. MA diketuai oleh seorang Hakim Agung dan dibantu oleh Hakim-
111
hakim Agung. Jumlah Hakim Agung paling banyak 60 orang. Hakim Agung
merupakan pejabat tinggi negara setingkat menteri negara yang diangkat oleh
Presiden atas usul DPR. Hakim Agung yang diusulkan oleh DPR berasal dari
usulan Komisi Yudisial.
a) Tugas dan Wewenang MA
Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
undang-undang.
Mengajukan tiga orang anggota hakim konstitusi;
Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden memberi grasi dan
rehabilitasi.
6 MK (Mahkamah Konstitusi)
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara yang baru dibentuk
setelah amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi
beranggotakan sembilan hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden. Yang
mana, tiga orang diajukan oleh MA, tiga orang diajukan oleh DPR, dan tiga orang
lagi diajukan oleh Presiden.
A. Tugas dan Wewenang MK
Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 24C ayat (1) dan
ayat (2) , yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang
sebagai berikut;
1) Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
112
2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar.
3) Memutus perselisihan hasil pemilu
4) Membubarkan partai politik
5) Memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang baru dibentuk setelah
adanya amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Lembaga ini dibentuk
untuk mengawasi perilaku para hakim. Selain itu lembaga ini dibentuk untuk
mengawasi praktik kotor dalam penyelenggaraan atau proses peradilan. Dalam
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 hasil amandemen, kedudukan Komisi
Yudisial diatur dalam Pasal 24 B. Lembaga ini bersifat mandiri.
Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
dengan persetujuan DPR. Anggota Komisi Yudisial terdiri atas seorang ketua
merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan tujuh orang
anggota. Masa jabatan anggota Komisi Yudisial adalah lima Tahun. Keanggotaan
yang ada dalam Komisi Yudisial dipilih guna mencapai tujuan lembaga ini yaitu :
1) Mendukung terwujudnya kekuasaan kehakiman yang mandiri untuk
menegakkan hukum dan keadilan.
2) Meningkatkan integritas, kapasitas, dan professionalitas hakim dalam
menjalankan kewenangan dan tugasnya.
Demikian sebagai salah satu lembaga mempunyai komisi yudisial
mempunyai tugas dan wewenang yang ditegaskan dalam Pasal 24B Undang-
Undang Dasar Tahun 1945, "Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam
113
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim".
Beranjak dari penjelasan diatas, sesudah amandemen Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 kedudukan lembaga-lembaga negara berkedudukan sejajar atau
sederajat dan menganut prinsip check and balance. Dan dibentuknya lembaga
penguji undang-undang yaitu Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga
Negara yang berfungsi sebagai penyelenggara kekuasaan Kehakiman yang diatur
dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
3.2.4.3.8 Mahkamah Konstitusi Hasil Amandamen Undang-Undang
Dasar Tahun 1945
Paradigma susunan kelembagaan negara mengalami perubahan drastis
sejak reformasi konstitusi mulai 1999 sampai dengan 2002. Karena berbagai
alasan dan kebutuhan, lembaga-lembaga negara baru dibentuk, meskipun ada juga
lembaga yang dihapuskan. Salah satu lembaga yang dibentuk adalah Mahkamah
Konstitusi (MK). Mahkamah Konstitusi didesain menjadi pengawal dan sekaligus
penafsir terhadap Undang-Undang Dasar melalui putusan-putusannya.
Dalam menyelenggarakan tugas konstitusionalnya, MK berupaya
mewujudkan visi kelembagaannya, yaitu tegaknya konstitusi dalam rangka
mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan berbangsa dan
bernegara yang bermartabat. Visi tersebut menjadi pedoman bagi MK dalam
menjalankan kekuasaan kehakiman secara merdeka dan bertanggung jawab sesuai
amanat konstitusi.150
Kiprah MK sejak kehadirannya enam Tahun silam banyak
150
Janedjri M. Gaffar, Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
114
dinilai cukup signifikan terutama dalam kontribusi menjaga hukum dan
mengembangkan demokrasi. Namun usianya yang masih belia, membuat
Mahkamah Konstitusi belum begitu dikenal oleh khalayak luas. Berbagai hal,
istilah dan konsep yang terkait dengan Mahkamah Konstitusi dan segenap
kewenangannya belum begitu dipahami oleh masyarakat.
Sejalan dengan misi Mahkamah Konstitusi untuk membangun
konstitusionalitas Indonesia serta budaya sadar berkonstitusi maka upaya
memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai kedudukan, fungsi dan
peran MK terus menerus dilakukan.151
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 (sesudah perubahan): Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Secara kedudukan lembaga negara
horizontal-fungsional:
1. Tidak ada lagi pengelompokan lembaga tertinggi negara dan lembaga
tinggi negara.
2. Kedudukan setiap lembaga negara ditentukan oleh fungsi dan
wewenangnya yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar.
3. Masing-masing lembaga negara saling mengawasi dan saling
mengimbangi (checks and balances).
Struktur Kelembagaan Mahkamah Konstitusi152
151
Kiprah MK dalam ketatanegaraan Indonesia dimulai sejak 13 Agustus 2003,seusai
Presiden menandatangani RUU Mahkamah Konstitusi yang kemudianmenjadi UU Nomor 24
tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Disusul kemudian pada 16 Agustus 2003, Presiden
mengambil sumpah sembilan orang hakim konstitusi yang telah ditunjuk oleh DPR, MA dan
Presiden 152
www. Mahkamah konstitusi. com
115
3.2.4.3.9 Hakim Mahkamah Konstitusi
Pengertian hakim dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah
hakim1/ha·kim/ n (1). orang yang mengadili perkara (dalam pengadilan atau
mahkamah): keputusan tidak dapat diganggu gugat; (2). pengadilan: perkaranya
sudah diserahkan kepada 3 juri; penilai (dalam perlombaan dan sebagainya);
main-sendiri (menjadi-sendiri), ki berbuat sewenang-wenang terhadap orang yang
dianggap bersalah;153
berikut:
Istilah hakim dalam bahasa Inggris”judge” memiliki dua pengertian sebagai
berikut: pertama. public officer appointed to decide cases in a law court.
„he is due to appear before a judge and jury on Monday‟ „a High Court
Judge‟ (1) A person who decides the results of a competition. „a
distinguished panel of judges select the winning design‟ (2) A person able
or qualified to give an opinion on something. „she was a good judge of
character‟, kedua; A leader having temporary authority in ancient Israel in
the period between Joshua and the kings.154
Meminjam pendapat Ahmad Kamil yang menjelaskan tentang hakim salah
satu elemen dasar dalam sistem peradilan selain jaksa dan penyidik (kehakiman
dan kepolisian), sebagai subyek yang melakukan tindakan keputusan atas suatu
perkara didalam suatu pengadilan. Hakim yang merupakan personifikasi atas
hukum harus menjamin rasa keadilan bagi setiap orang yang mencari keadilan
melalui proses hukum negara, dan untuk menjamin rasa keadilan itu maka seorang
hakim dibatasi oleh rambu-rambu.155
Dari konsep terdapat beberapa makna,
pertama, hakim merupakan elemen penting dalam sistem peradilan, kedua,
sebagai personfikasi dalam menegakkan keadilan, ketiga, dalam menegakkan
153
Https://Www.Kbbi.Web.Id/Hakim di download pada tanggal 18 November 2017 154
Https://Www.Oxford.Dictionary.Web.Id/judge di download pada tanggal 18 November
2017 155
Ahmad Kamil, 2012, Filsafat Kebebasan Hakim, PT Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, h.167
116
keadilan hakim harus dibatasi oleh rambu-rambu artinya, hakim dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya harus sesuai hukum.
Hakim adalah Hakim pada Mahkamah Agung dan pada badan peradilan
yang berada dibawah dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
Agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan
hakim pada pengadilan yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.156
Kemudian juga diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
menyatakan bahwa; hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang
melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang,157
Kaitannya dengan hakim konstitusi yang memiliki kedudukan sebagai
pejabat negara diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003158
jadi pada intinya hakim konstitusi memiliki perbedaan dengan hakim-hakim
peradilan umum, sebab dalam undang-undang kekuasaan kehakiman tidak
menjelaskan hakim peradilan sebagai pejabat negara, namun hakim sebagai
pejabat jelas diatur oleh undang-undang Mahkamah Konstitusi. Berpijak dari
pemaparan diatas maka hakim konstitusi berbeda dengan hakim-hakim lainnya
oleh karena disebut sebagai pejabat negara159
yang menyelenggarakan tugas dan
fungsi kenegaraan.
3.2.4.3.10 Komposisi dan Rekrutment Hakim Mahkamah Kostitusi
156
Pasal 1 ayat (1), Undang-Undang Nomor 48 Tahun 1999 157
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman 158
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, menyatakan bahwa; hakim konstitusi
adalah pejabat negara. 159
http//.www. KBBI. Oline. Com, mengartikan kata jabat, pejabat, pejabat negara
adalah jabat; memegang, pejabat, memiliki dua makan; (1) n pegawai pemerintah yang memegang
jabatan penting (unsur pimpinan): ia seorang ~ yang amat jujur dalam melaksanakan tugasnya (2)
n kl kantor; markas; jawatan dan pejabat negara adalah orang yang memegang jabatan penting
dalam pemerintahan
117
Mahkamah Konstitusi Indonesia yang dibentuk pada Tahun 2003 dan
melalui perdebatan cukup lama dan alot, oleh karena itu untuk mengisi posisi
hakim-hakim yang akan mengemban tugas dan fungsi sebagai hakim Mahkamah
Konstitusi, sesuai Pasal 18 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, yang
menetapkan sembilan orang hakim konstitusi diisi oleh calon yang dipilih oleh 3
lembaga, yaitu 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, 3 (tiga) orang oleh
Presiden, dan 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung. Jika terdapat lowongan
jabatan, maka lembaga yang akan mengisi lowongan tersebut adalah lembaga
darimana pencalonan hakim sebelumnya berasal. Misalnya, hakim “A” meninggal
dunia atau diberhentikan, maka apabila pengusulan pencalonannya sebelumnya
berasal dari Pemerintah, berarti Presidenlah yang berwenang menentukan calon
pengganti hakim yang meninggal tersebut. Jika pencalonannya sebelumnya
berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat, maka pengisian jabatan penggantinya juga
harus diajukan oleh DPR setelah melalui proses pemilihan sebagaimana
seharusnya. Dengan kata lain, dalam rekruitmen hakim konstitusi, Mahkamah
Konstitusi berhubungan erat dengan 3 (tiga) lembaga negara yang sederajat, yaitu:
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Mahkamah Agung.
Prasyarat Menjadi Hakim Mahkamah Konstitusi
Berkenaan dengan komposisi hakim yang di uraikan sebelumnya, melalui
perekrutan hakim harus memenuhi syarat sebagai hakim sebagaimana dalam Pasal
15 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 setelah perubahan. Pasal 15 ayat (1)
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 setelah perubahan,menyatakan bahwa;
1. Hakim Konstitusi harus memenuhi syarat sebagai berikut : a). Memiliki Integritas dan
kepribadian yang tidak tercela. b). Adil dan c). Negarawan yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan. 2. Untuk dapat diangkat menjadi hakim Konstitusi, selain harus memenuhi syarat
118
huruf (a,b,c), maksudnya mempunyai rasa kebangsaan dalam berbangsa dan
bernegara, kepribadian yang luhur dan sifat terpuji, serta arif dan bijaksana dalam
menyelenggarakan dan memikul tugas dan tanggung jawabnya. Demikian juga
memiliki sifat negarawan yang menguasai konstitusi dan bidang pemerintahan dan
ketatanegaraan. Dan Pasal 15 ayat (2) huruf ( a, b, c, d, e, f, g, h, ) maksudnya
personality bagi calon hakim Mahkamah Konstitusi. Demikian secara filosofis
prasyarat untuk menjadi hakim Mahkamah Konstitusi harus memiliki martabat
dan berwibawa dalam berbangsa dan bernegara sehingga pada saat
menyelenggarakan tugas dan fungsinya sebagai hakim tidak menyimpang dari apa
yang telah digariskan.
Kewajiban Hakim Konstitusi
Berdasarkan Pasal 27B UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003.Jadi dalam menyelenggarakan tugas dan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),seseorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat : a).
Warga Negara Indonesia, b). Berijazah DR dan Magister dengan dasar sarjana yang
berlatarbelakang pendidikan tinggi hukum; c). Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berakhlak mulia; d). Berusia paling rendah 47 tahun ( empat puluh tujuh tahun ) dan paling tinggi
65 tahun ( enam puluh lima ) tahun pada saat pengangkatan. e). Mampu secara jasmani dan rohani
dalam menjalankan tugas dan kewajiban f). tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. g). tidak sedang dinyatakan pailit
berdasarkan putusan pengadilan. h). mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit
15 (lima belas) tahun dan/atau pernah menjadi pejabat negara.
Pasal 27B UU Nomor 8 tahun 2011 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 24 tahun
2003, menyatakan bahwa: (1). Mahkamah Konstitusi wajib menyusun Kode Etikdan Pedoman
Perilaku Hakim Konstitusi yang berisi norma yang harus dipatuhi oleh setiap hakim konstitusi
dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
dan negarawan, (2). hakim konstitusi wajib: a.mentaati peraturan perundang-undangan; b.
menghadiri persidangan; c. menjalankan hukum acara sebagaimana mestinya; d. menaati Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi; e. memperlakukan para pihak yang berperkara
dengan adil, tidak diskriminatif, dan tidakmemihak; dan f. menjatuhkan putusan secara objektif
didasarkan pada fakta dan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
119
fungsinya hakim konstitusi, harus berpedoman pada kode etik hakim konstitusi,
dan juga pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.2.4.3.11. Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Ketatanegaraan
Indonesia
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga (tinggi) negara
yang baru yang sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah
Agung (MA). Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 pasca perubahan keempat (tahun 2002), dalam struktur
kelembagaan Republik Indonesia terdapat (setidaknya) 9 (sembilan) buah organ
negara yang secara langsung menerima kewenangan langsung dari Undang-
Undang Dasar.
Karena itu, dapat dibedakan dengan tegas antara kewenangan organ
negara berdasarkan perintah Undang-Undang Dasar (constitutionally entrusted
power), dan kewenangan organ negara yang hanya berdasarkan perintah undang-
undang (legislatively entrusted power), dan bahkan dalam kenyataan ada pula
lembaga atau organ yang kewenangannya berasal dari atau bersumber dari
Keputusan Presiden belaka. Contoh yang terakhir ini misalnya adalah
pembentukan Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional, dan
sebagainya. Sedangkan contoh lembaga-lembaga yang kewenangannya diberikan
oleh undang-undang, misalnya, adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,
Komisi Penyiaran Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisa Traksaksi Keuangan
(PPATK).
120
Dari uraian di atas, Mahkamah Konstitusi dapat dikatakan mempunyai
kedudukan yang sederajat dan sama tinggi dengan Mahkamah Agung. Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung sama-sama merupakan pelaksana cabang
kekuasaan kehakiman (judiciary) yang merdeka dan terpisah dari cabang-cabang
kekuasaan lain, yaitu pemerintah (executive) dan lembaga permusyawaratan-
perwakilan (legislature).
Kedua; Mahkamah ini sama-sama berkedudukan hukum di Jakarta sebagai
ibukota Negara Republik Indonesia. Hanya struktur kedua organ kekuasaan
kehakiman ini terpisah dan berbeda sama sekali satu sama lain. Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir tidak
mempunyai struktur organisasi sebesar Mahkamah Agung yang merupakan
puncak sistem peradilan yang strukturnya bertingkat secara vertikal dan secara
horizontal mencakup lima lingkungan peradilan, yaitu lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan tata usaha negara, lingkungan peradilan agama, dan
lingkungan peradilan militer.
Lembaga Negara
Istilah organ negara atau lembaga negara dapat dibedakan dari perkataan
organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat, atau yang biasa disebut Ornop
atau organisasi non-pemerintahan yang dalam bahasa Inggris disebut Non-
Government Organization atau Non-Governmental Organization (NGO‟s).
Lembaga negara itu dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif, yudikatif,
121
ataupun yang bersifat campuran.
160Istilah yang terkait dengan penulisan ini adalah
organ atau lembaga negara.
Lebih lanjut konsepsi tentang lembaga negara ini dalam bahasa Belanda
biasa disebut staatsorgaan. 161
Dalam bahasa Indonesia hal itu identik dengan
lembaga negara, badan negara, atau disebut dengan organ negara. Dalam kamus
besar bahasa Indonesia, kata “lembaga” diartikan sebagai : (i) asal mula atau
bakal (yang akan menjadi sesuatu); (ii) bentuk asli (rupa, wujud); (iii) acuan,
ikatan; (iv) badan atau organisasi yang bertujuan melakukan penyelidikan
keilmuan atau melakukan suatu usaha; dan (v) pola perilaku yang mapan yang
terdiri atas interaksi sosial yang berstruktur.162
Lebih lanjut kamus hukum
Fockema Andreae yang diterjemahkan oleh Saleh Adiwinata dkk, kata organ
juga diartikan sebagai perlengkapan.163
Penulis dapat jelaskan lembaga negara baik
dilihat dari arti bahasa maupun istilah mempunyai makna legislatif, eksekutif
maupun yudikatif.
Dikaitkan dengan pendapat Natabaya bahwa; penyusunan Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 sebelum adanya perubahan, cenderung konsisten
menggunakan istilah badan negara, bukan lembaga negara atau organ negara.
Sedangkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 setelah perubahan keempat
(Tahun 2002), melanjutkan kebiasaan MPR sebelum masa reformasi dengan
160
Jimly Asshiddiqie, 2010, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Amandemen, Sinar Grafika, Jakarta, h. 27. 161
Kamus Hukum Belanda-Indonesia, kata staatsorgaan itu diterjemahkan sebagai alat
perlengkapan negara. 162
Jimly Asshiddiqie, 2004, Menjaga Denyut Nadi Konstitusi: Refleksi Satu Tahun
Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta), (Editor Refly Harun, dkk), h. 60 - 61 163
Jimly Asshiddiqie, op.cit h. 28.
122
tidak konsisten menggunakan peristilahan lembaga negara, organ negara, dan
badan negara.164
Peristilahan mengenai lembaga negara atau organ negara sesungguhnya
mengandung makna leksikal sebagaimana dikatakan oleh I Dewa Gede Atmadja
bahwa; definisi leksikal diawal “ kamus umum, kamus hukum” dan definisi pakar
berdasarkan kronologi, dimensi waktu dikemukakan pemikiran tersebut. Perlu
dicatat definisi leksikal paling mudah, ditemukan dalam “kamus” biasanya dengan
urutan alpabetis (abjad), tetap kelemahan definisi leksikal arti yang diberikan
lebih dari satu sehingga kurang menjamin kepastian makna dan menimbulkan
multi tafsir, multi pemahaman.165
Dengan demikian istilah lembaga negara atau
organ negara harus dikembalikan pada posisi aslinya sebelum amandamen
Undang-Undang Dasar Tahun 1945, hal ini bertujuan untuk menghindari multi
tafsir dalam pemahaman bagi masyarakat.
Kemudian secara teoritis, sebagaimana telah dijelaskan dalam bab II
mengenai Trias Politika oleh Montesquieu, bahwa; Ketiga; fungsi kekuasaan
negara itu terdiri atas (i) fungsi legislatif; (ii) fungsi eksekutif; dan (iii) fungsi
yudisial. Menurut Montesquieu, disetiap negara selalu terdapat tiga cabang
kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam struktur pemerintahan yaitu kekuasaan
legislatif, dan kekuasaan eksekutif yang berhubungan dengan pembentukan
hukum atau undang-undang negara dan cabang kekuasaan eksekutif yang
berhubungan dengan penerapan hukum sipil.
164
Jimly Asshidiqie, loc. cit 165
I Dewa Gede Atmadja, 2012, Hukum Konstitusi, Problematika Konstitusi Indonesia
sesudah perubahan Undang-undang 1945, Setara press, Malang, h.22
123
Konsepsi trias politica yang diidealkan oleh Montesquieu ini jelas tidak
relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa
ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secaara eksklusif dengan salah satu
dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa
hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan dan
bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain
sesuai dengan prinsip check and balances.166
Berdasarkan konsepsi trias politika dikaitkan dengan lembaga-lembaga
negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 terdapat sembilan
organ tersebut adalah (i) Dewan Perwakilan Rakyat, (ii) Dewan Perwakilan
Daerah, (iii) Majelis Permusyawaratan Rakyat, (iv) Badan Pemeriksa Keuangan,
(v) Presiden, (vi) Wakil Presiden, (vii) Mahkamah Agung, (viii) Mahkamah
Konstitusi, dan (ix) Komisi Yudisial. Di samping kesembilan lembaga tersebut.
Lembaga negara yang terkadang juga disebut dengan istilah lembaga
pemerintahan, lembaga pemerintahan non departemen, atau lembaga negara saja,
ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh Undang-
Undang Dasar, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari
undang-undang, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan
Keputusan Presiden.167
Jimly Asshiddiqie, selain lembaga-lembaga negara yang
secara eksplisit disebut dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, ada pula
lembaga-lembaga negara yang memliki constitutional importance yang sama
dengan lembaga negara yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun
166
Ibid., h. 29 167
I Dewa Gede Atmadja, loc.cit
124
1945, meskipun keberadaannya hanya diatur dengan atau dalam undang-undang.
Baik yang diatur dalam Undang-Undang Dasar maupun yang hanya diatur
dengan atau dalam undang-undang asalkan sama-sama memiliki constitusional
importance dapat dikategorikan sebagai lembaga negara yang memiliki derajat
konstitusional yang serupa, tetapi tidak dapat disebut sebagai lembaga tinggi
negara. Hierarki atau ranking kedudukannya tentu saja tergantung pada derajat
pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.168
Pendapat diatas mengandung beberapa makna; pertama; lembaga negara
yang diatur oleh Undang-Undang Dasar, kedua; lembaga negara yang memilki
constitional importance yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar walaupun
kedudukannya diatur oleh undang-undang, dikaitan dengan lembaga negara yang
memberikan dukungan kepada lembaga-lembaga negara utama dalam
menyelenggarakan fungsi dan kewenangannya ada beberapa lembaga atau
institusi yang diatur kewenangannya dalam Undang-Undang Dasar, yaitu: (a).
Tentara Nasional Indonesia, (b). Kepolisian Negara Republik Indonesia, (c)
Pemerintah Daerah, (d) Partai Politik.
Kedua; ada pula lembaga yang tidak disebut namanya, tetapi disebut
fungsinya, namun kewenangan dinyatakan akan diatur dengan undang-undang,
yaitu: (i) Bank Central yang tidak disebut namanya “Bank Indonesia”, dan (ii)
komisi pemilihan umum yang juga bukan nama karena ditulis dengan huruf kecil.
Baik Bank Indonesia maupun Komisi Pemilihan Umum yang sekarang
168
Ibid h. 37.
125
menyelenggarakan kegiatan pemilihan umum merupakan lembaga-lembaga
independen yang mendapatkan kewenangannya dari undang-undang.
Senada dengan pendapat Ni‟matul Huda yang mengatakan bahwa‟
lembaga negara seperti Komisi Yudisial, TNI dan Kepolisian Negara meskipun
kewenangannya langsung diberikan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, lembaga
tersebut tidak tepat disebut sebagai lembaga tinggi negara. Hal ini dikarenakan
(1). fungsinya hanya bersifat supporting atau auxiliary terhadap fungsi utama,
seperti Komisi Yudisial (KY) yang menunjang terhadap fungsi kekuasaan
kehakiman (2). Pemberian kewenangan konstitusional ekplisit hanya
dimaksudkan untuk menegaskan kedudukan konstitusionalnya yang independen,
meskipun tetap berada dalam ranah atau domain urusan pemerintahan, seperti TNI
dan Kepolisian Negara. (3). Penentuan kewenangan pokoknya dalam Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 hanya bersifat by implication, bukan dirumuskan
secara tegas (strict sence), seperti kewenangan penyelenggara pemilihan umum
yang dikaitkan dengan komisi pemilihan umum. Bahkan namanya tidak disebut
secara tegas dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945; (4). Karena keberadaan
kelembagaannya atau kewenangannya tidak tegas ditentukan dalam Undang-
Undang Dasar Tahun 1945, melainkan hanya disebut akan diatur atau ditentukan
dengan undang-undang, seperti keberadaan bank sentral. Tetapi dalam Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 ditentukan bahwa kewenangan bank sentral harus
bersifat independen. Maksudnya by implication kewenangan bank sentral itu
126
diatur juga dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, meskipun bukan
substansinya, melainkan hanya kualitas atau sifatnya.169
3.3. Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Bersifat Final dan Mengikat
3.3.1 Landasan Filosofis
Landasan filosofis pembentukan Mahkamah Konstitusi pada dasarnya
untuk melakukan judicial review dan memberikan jaminan hak-hak asasi manusia
merupakan tuntutan negara-negara modern yang menempatkan hukum sebagai
panglima atau supremasi hukum. Walaupun dalam sejarah ketatanegaraan negara-
negara yang telah mengadopsi Mahkamah Konstitusi berbeda-beda, namun
intinya sama. Sebagaimana Indonesia dalam sejarah ketatanegaraannya,
Mahkamah Konstitusi telah eksis selama 15 tahun, dan telah berhasil menetapkan
putusan dari berbagai persoalan konstitusional.
Demikian sebagai salah salah satu lembaga penyelenggara kekekuasaan
kehakiman yang memiliki kewenangan khusus untuk menetapkan putusan yang
bersifat final dan mengikat, sebagaimana diatur dalam pasal 24C ayat (1) Undang-
Undang Dasar Tahun 1945, akan tetapi putusan-putusan Mahkamah Konstitusi
acapkali mengandung kontroversial dari berbagai kalangan mayarakat. Oleh
karena itu untuk mengetahui putusan-putusan yang kontroversi tersebut, penulis
mencoba menelusuri dasar putusan MK, berdasarkan Landasan filosofis negara
Indonesia Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai landasan untuk menguji
udang-undang, namun menurut penulis sesungguhnya dalam pengujian UU secara
materiil (ayat, pasal, dll) mengacu pada Pancasila, alasannya, karena pancasila
169
Ni‟matul Huda, 2007, Lembaga Negara dalam masa Transisi Demokrasi, UII Press,
Yogyakarta, h. 91
127
adalah norma fundamental negara yang merupakan norma tertinggi dalam suatu
negara ini merupakan norma yang tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih
tinggi lagi, tetapi bersifat “ pre-supposed‟‟ atau ditetapkan terlebih dahulu” oleh
masyarakat dalam suatu negara dan merupakan norma yang menjadi tempat
bergantungnya norma-norma hukum dibawahnya. Norma yang tertinggi ini tidak
dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, oleh karena jika norma yang tertinggi
itu dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi maka ia bukan merupakan norma
yang tertinggi.
Menurut Hans Nawiasky, isi Staatsfundamentalnorm ialah norma yang
merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar dari
suatu negara. Staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu
konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Ia ada terlebih dulu sebelum adanya
konstitusi atau Undang-Undang Dasar.170
Konstitusi menurut Carl Schmitt
merupakan keputusan atau konsensus bersama tentang sifat dan bentuk suatu
kesatuan politik (eine Gesammtentscheidung Uber Art und Form einer politischen
Einheit) yang disepakati oleh suatu bangsa.171
Pendapat ini disederhanakan oleh
penulis, bahwa sebuah konstitusi memiliki kedudukan norma yang tinggi, yang
mengatur pembentukan norma-norma lain dibawahnya. Dikaitkan dengan
landasan filosofis bangsa Indonesia yaitu pancasila sebagai landasan bagi hakim
Mahkamah Konstitusi untuk menguji peraturan perundang-undangan yang
normanya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
170
Ibid, h. 48-49 171
A.Hamid S Attamimi, 2007, Ilmu Perundang-undangan, jenis, Fungsi, dan Materi
Muatan, PT Kanisius, Yogjakarta, h. 46
128
Alasan lain pancasila sebagai landasan pengujian undang-undang,
pertama, peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga legislatif
atau DPR dan Eksekutif atau Presiden (sebagai kepala negara dan pemerintahan,
yang memiliki kewenangan membuat undang-undang), acapkali melangar atau
tidak sesuai dengan tatanan kehidupan dan kebudayaan masyarakat Indonesia,
yang mana telah terakumulasi dalam pancansila. Dengan demikian, dasar hukum
final putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang adalah
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pertama; Pancasila sebagai idiologi dan dasar negara yang merupakan
nilai-nilai luhur yang terangkum dalam lima sila. Dalam pertumbuhan dan
perkembangan kebangsaan Indonesia, dinamika rumusan kepentingan hidup
bersama di wilayah nusantara diuji dan didewasakan sejak dimulainya sejarah
kebangsaan Indonesia. Pendewasaan kebangsaan memuncak ketika mulai dijajah
dan dihadapkan pada perbedaan kepentingan ideologi (awal Abad XIX) antara
liberalisme, nasionalisme, yang diakhiri secara yuridis ketatanegaraan tanggal 18
Agustus 1945 bertepatan dengan ditetapkannya pancasila oleh PPKI sebagai
Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 alinea keempat terdapat rumusan pancasila sebagai dasar negara
Indonesia. Rumusan pancasila itulah dalam hukum positif Indonesia secara
yuridis-konstitusional sah, berlaku, dan mengikat seluruh lembaga negara,
lembaga masyarakat, dan setiap warga negara, tanpa kecuali. Rumusan pancasila
secara imperatif harus dilaksanakan oleh rakyat Indonesia dalam kehidupan
129
berbangsa dan bernegara. Setiap sila pancasila merupakan satu kesatuan yang
integral, yang saling mengandaikan dan saling mengunci. Ketuhanan dijunjung
tinggi dalam kehidupan bernegara, tetapi diletakkan dalam konteks negara
kekeluargaan yang egaliter, yang mengatasi paham perseorangan dan golongan:
selaras dengan visi kemanusiaan yang adil dan beradap, persatuan kebangsaan,
demokrasi permusyawaratan yang menekankan konsensus, serta keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.172
Jadi landasan epistimologi (metode) pengujian
undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi adalah pancasila.
Kedua; Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai aturan dasar negara
atau aturan pokok negara (staatsgrundgezets) merupakan kelompok norma
fundamental negara. Norma-norma dari aturan dasar negara/aturan pokok negara
ini merupakan aturan-aturan yang masih bersifat pokok dan merupakan aturan-
aturan umum yang masih bersifat garis besar, sehingga masih merupakan norma
hukum tunggal.
Hans Nwasky, suatu aturan dasar negara/aturan pokok negara dapat
dituangkan didalam suatu dokumen negara yang disebut staatsverfassung, atau
dapat juga dituangkan dalam beberapa dokumen negara yang tersebar-sebar yang
disebut dengan istilah staatsgrundgezets. Didalam setiap aturan dasar
negara/aturan pokok negara biasanya diatur hal-hal mengenai pembagian negara
dipuncak pemerintahan, dan selain itu mengatur juga hubungan antar lembaga-
lembaga negara, serta mengatur hubungan antara negara dengan warga negaranya.
172
Sekjen MPR, 2016, Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, 2016, h. 87 - 88
130
Demikian Undang-Undang Dasar Tahun 1945 merupakan aturan pokok
bagi penyelenggaraan pemeritahan negara, oleh karena itu Undang-Undang Dasar
bukanlah epistemologi bagi pengujian undang-undang yang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar, sebagaimana selama didengungkan oleh ahli hukum tata
negara. Namun Undang-Undang Dasar Tahun 1945 digunakan sebagai
epistimologi dalam menguji pertentangan norma antar undang-undang satu
dengan lainnya.
1) Ontologi Uji materill
Berkaitan dengan ontologi uji materiiil undang-undang tidak terlepas
ontologi dari aliran positivime hukum yaitu norma-norma peraturan perundang
suatu negara (sebagaimana telah diuraikan sebelumnya), demikian pengujian
undang-undang secara materiil oleh Mahkamah Konstitusi adalah norma-norma
dalan suatu undang-undang, pengujian yang dilakukan untuk memberikan penilian
atas ayat, pasal, sub-bagian bab-bab atau keseluruhan suatu undang-undang
sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (3) Huruf-b Undang-Undang MK,
pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, atas dasar pengajuan
perhomonan dari pihak yang merasa suatu undang-undang ( ayat, atau pasal )
telah secara tidak langsung menyinggung perasan hukum atau hak-hak pemohon,
hak konstitusional mengajukan permohonan pengujian undang-undang diatur
dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Menurut Jimly
Asshiddiqie, ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya kedudukan hukum
(legal standing) pemohon dalam perkara pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 di Mahkamah Konstitusi .
131
1. Keempat pihak atau subyek hukum tersebut (perorangan WNI), Kesatuan
Masyarakat Adat (KMA), Badan Hukum Publik atau Privat (BDHP), dan
Lembaga Negara (LN), haruslah terlebih dahulu membuktikan identitas
dirinya memang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
2. Pihak-pihak yang bersangkutan haruslah membuktikan bahwa dirinya
memang mempunyai hak-hak tertentu yang dijamin atau kewenangan-
kewenangan tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Tahun
1945.
3. Hak-hak atau kewenangan konstitusional dimaksud memang terbukti telah
dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang bersangkutan.173
Dengan demikian ontologi dari pengujian undang-undang secara materiil
oleh MK adalah norma-norma (ayat, pasal, sub dll) yang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
2) Epistemologi Uji Materiil
Berkenaan dengan hal epistemologi pengujian undang-undang, terkait
dengan epistimologi dari ilmu hukum (sebagaimana telah dipaparkan
sebelumnya), maka metode pengujian undang-undang atau prosedur pengujian
undang-undang yang diatur Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tahapan-tahapan pengujian undang-
undang yang dimaksud sebagai berikut;
173
Marwan Mas, op.cit,. h. 145 Pasal 10 ayat (10) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, bahwa; Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
132
Pengajuan permohonan oleh legal standing yang diatur dalam Pasal 29
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
Pembentukan Panel Hakim yang diatur dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-
Undang Mahkamah Konstitusi
Pemeriksaan Pendahuluan, dalam Pasal 34 Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi
Pemeriksaan Persidangan, dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi174
Relevansi epistimologi pengujian undang-undang oleh Mahkamah
Konstitusi, merupakan suatu metode atau cara, atau prosedur pengujian yang
ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
3) Aksiologi Uji Materiil
Terkait dengan aksiologi pengujian undang-undang, dikaitkan dengan
aksiologi ilmu hukum yaitu; nilai-nilai atau cita hukum yang telah diuraikan
sebelumnya), nilai-nilai hukum merupakan tujuan dari hukum yaitu nilai
kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum, sehingga dalam pengujian undang-
undang antar norma hukum yang bertentangan atau dengan Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 yang diajukan oleh pemohon adalah untuk mencari keadilan
atas haknya sebagai warga negara, kepastian atas suatu norma yang memang tidak
secara/telah melanggar hak konstitusionalnya, dan nilai kemanfaatan hukum dari
pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi bagi para pemohon.
174
R. iriyanti, A. Baso Ence, op.cit., h. 143-146
133
1.3.2. Landasan Sosiologis
Kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Pasal 24C ayat ( 1)
dan (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang meliputi satu subyek dan empat
obyek kewenangan yaitu:
a) Obyek
Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar.
Memutus pembubaran partai politik
Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
b) Subyek
Mahkamah Konstitusi, DPR, MPR, Presiden dan Wakil Presiden
Berdasarkan subyek dan objek kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam
menyelesaikan dan menetapkan putusan yang sifatnya final dan mengikat secara
umum bagi seluruh masyarakat (organ negara, individu dan warga negara). Diatur
dalam Pasal 45 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Mengacu
pada rumusan kedua pasal diatas, pengujian penyelesaian sengketa lembaga
negara oleh Mahkamah Konstitusi, oleh karena adanya perselisihan atau tumpah
tindih kewenangan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga negara, maka salah satu
lembaga yang merasa kewenangannya telah dilanggar oleh lembaga lain
mengajukan permohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk diuji keabsahan
kewenangan yang telah digunakan oleh lembaga lain, dikaitkan dengan teori
pembagian dan teori kewenangan kekuasaan (telah dijelaskan dalam bab II),
secara konstitusional kewenangan lembaga-negara dalam menyelenggarakan
fungsi pemerintahan harus sesuai prinpris-prinsip yang telah diatur dalam
Undang-Undang Dasar dan undang-undang.
134
Sebelum menguraikan kewenangan penyelesaian sengketa lembaga
negara, penulis terlebih dahulu mengartikan kata sengketa: dalam KBBI (1).
Sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran, perbantahan. (2).
pertikaian, perselisihan. (3). Perkara (dipengadilan).175
Pengertian sengketa
kewenangan adalah perselisihan atau perbedaan pendapat yang berkaitan dengan
pelaksanaan kewenangan antara dua atau lebih lembaga negara.176
Jadi, ada
kewenangan yang dipersengketakan, yang berupa perselisihan atau perbedaan
pendapat mengenai pelaksanaannya oleh dua atau lebih lembaga negara.177
Selanjutnya pengaturan mengenai pemohon sengketa kewenangan
lembaga negara diatur dalam Pasal 61 ayat (1) UU MK adalah lembaga negara
yang kewenangannnya diberikan oleh UUD negara Republik Indonesia 1945 yang
mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.
Pasal 1 angka 7 (tujuh) PMK No. 8 /2006 yang dimaksud dengan sengketa adalah
perselisihan atau perbedaan pendapat yang berkaitan dengan pelaksanaan
kewenangan antar dua atau lebih lembaga negara, sesuai Pasal 2 ayat (1) PMK
No.8/2006 menyebutkan bahwa lembaga negara yang dapat menjadi pemohon dan
termohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara
adalah DPR, DPD, MPR, Presiden, BPK: Pemda atau lembaga negara lain yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Kemudian
dalam Pasal 2 ayat (2) ditegaskan, kewenangan yang dipersengketakan adalah
175
KBBI, ibid., h. 1037 176
Ibid,. h.158. 177
A.Muktie Fadjar, 2008, Sang Penggembala Perjalanan Hidup dan Pemikiran
,Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MK, jakarta, h. 123.
135
kewenangan yang diberikan atau ditentukan oleh Undang-Undang Dasar Tahun
1945.
A. Mukthie Fadjar, lembaga-lembaga negara yang kewenangannya diatur
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan ada
yang diatur dalam undang-undang. Lembaga-lembaga negara yang
kewenangannya disebut/tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, ada 13 lembaga negara, yakni; MPR, Presiden,
DPR, DPD, MA, BPK, Pemerintahan daerah, KPU, KY, MK, Bank Central, TNI,
dan POLRI. Apabila ditafsirkan secara luas dari 13 lembaga negara yang disebut
dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, hanya bank sentral yang
kewenangannya masih akan diatur dengan undang-undang sedangkan 12 lembaga
negara lainnya mempunyai kewenangan konstitusional. Berdasarkan penafsiran
luas ini yang bisa menjadi subyek sengketa kewenangan konstitutional lembaga
negara ada 10 (setelah dikurangi MA dan MK), yaitu, MPR, Presiden, DPR, DPD,
KPU, Pemerintahan Daerah, KY, BPK, TNI dan POLRI atau sebelas lembaga
negara jika bank sentral dimasukan.178
Dan apabila ditafsirkan secara moderat, maka hanya MPR, Presiden, DPR,
DPD, BPK, MA, dan MK yang disebut sebagai lembaga negara yang memiliki
kewenangan konstitusional sehingga yang bisa menjadi subyek sengketa setelah
dikurangi MA (vide Pasal 65 UU MK) dan MK (sebagai lembaga peradilan yang
memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa) hanyalah MPR, Presiden,
DPR, DPD, dan BPK. Apabila ditafsirkan sempit subyek hukum sengketa
178
A.Muktie Fadjar, op.cit., h. 191-192
136
hanyalah DPR, DPD, dan Presiden (tafsiran dari Pasal 67 Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi).179
Dari apa yang terurai diatas Penulis memiliki pandangan berbeda;
pertama; yang disebut lembaga negara, mempunyai kedudukan sederajat secara
vertikal dan horizontal dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yakni, MPR,
Presiden, DPR, DPD, KY,BPK, MA Dan MK sedangkan lembaga yang secara
horisontal, fungsinya mendukung penyelenggaraan pemerintahan negara atau
sebagai lembaga pendukung bagi lembaga negara yang telah disebut diatas,
lembaga-lembaga pendukung, yang kewenangannya tidak diberikan oleh Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 yakni; Bank Sental, pemerintah daerah, KPU, TNI dan
POLRI, Dewan Penasehat Presiden, lembaga-lembaga ini memiliki kewenangan
konstitusional, hanya MA dan MK yang diberikan kewenangan untuk
menyelesaikan sengketa lembaga negara sesuai Pasal 24 Undang-Undang Dasar
Tahun 1945.
Demikian potensi terjadi sengketa lembaga negara, ke tujuh (7) lembaga
negara dalam hal perselisihan kewenangan dan fungsi pembentukan undang-
undang, kemudian secara fungsional dapat terjadi antara lembaga-lembaga
pendukung penyelenggaraan pemerintahan, (TNI, POLRI, Dewan Penasehat
Presiden, Pemerintah Daerah, Bank Central). Mengacu kepada pembedaan
lembaga negara sebagai organ konstitusi yang memperoleh wewenang dari
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan yang bukan, sumber kewenangan
merupakan tolak ukur atau ukuran untuk menentukan lembaga Negara yang
179
Ibid., h. 191-192
137
menyangkut kewenangannya. Berdasarkan Pasal 1 angka 6 (enam) PMK
No.8/2006, Mahkamah Konstitusi memberikan pengertian mengenai kewenangan
konstitusional lembaga negara adalah kewenangan yang dapat berupa wewenang
atau hak dan tugas atau kewajiban lembaga negara yang diberikan oleh Undang-
Undang Dasar Tahun 1945.
Dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara jelas harus disebut
dalam permohonan pemohon tentang kepentingan langsung pemohon dan
lembaga negara mana yang menjadi termohon yang merugikan kewenangannya
yang diperoleh dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Perkara ini tentu berhubungan erat dengan adanya duplikasi atau tumpang
tindih kewenangan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnya.
Tetapi juga dapat terjadi bahwa kewenangan satu lembaga negara sebagaimana
diperoleh dari Undang-Undang Dasar Tahun 1945 telah diabaikan oleh lembaga
negara lain baik dalam suatu keputusan atau kebijakan negara.180
Adapun yang menjadi obyek sengketa lembaga adalah persengketaan
mengenai kewenangan konstitusioanl antar lembaga negara. Isu pokoknya bukan
pada kelembagaan lembaga negaranya, melainkan pada soal kewenangan
konstitusionalnya, apabila timbul sengketa penafsiran antara satu sama
Pasal 3 PMK nomor 08/2006; bahwa; pemohon adalah lembaga negara yang
menganggap kewenangan konstitutionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, dan/atau dirugikan
lembaga negara yang lain; pemohon mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang
dipersengketakan; dan termohon adalah lembaga negara yang dianggap telah mengambil,
mengurangi, menghalangi, mengabaikan dan/atau merugikan pemohon. 180
Maruar Siahaan, op.cit. h.162-163.
138
lain.
181Contoh; putusan mahkamah nomor 004/SKLN-IV/2006. Bahan yang
diperoleh dari diklat Mahkamah Konstitusi. 182
3.3.2.1 Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Lembaga
Negara
Pasal 24 C ayat (1) menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang
untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir dimana putusannya bersifat
181
Jimly Asshiddiqie, op.cit., h. 49-58 182
Jendri M. Gaffar, Diklat, Mahkamah Konstitusi yang diadakan pada tanggal 30-01
November 2017
139
final. Demikian dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah sebuah
forum khusus (forum privilege) untuk melakukan kewenangannya. Dalam
menjalankan fungsi, tugas dan kewenanganya sebagai lembaga negara penjaga
konstitusi (the Guardian of Constitutions) dan penafsiran konstitusi (Constitution
interpretationi),183
maka Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia diberi
kewenangan yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun
1945 yang kemudian dipertegas dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi yang menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili: a). Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar Tahun 1945, b). Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945, c).
Memutus pembubaran partai politik, d). Memutus perselisihan tentang hasil
pemilu, e). Memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa
Presiden dan/ atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela, dan atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Tahun 1945.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi untuk melakukan uji undang-undang
adalah untuk menjaga/ menegakkan konstitusi bilamana terjadi pelanggaran
konstitusi oleh undang-undang. Dengan mekanisme ini, jelas bahwa peranan
Mahkamah Konstitusi dalam ketatanegaraan Indonesia adalah untuk menjaga
183
Jimly Asshiddiqie, 2005, Sengketa Antara Lembaga Negara, Konstitusi Press, Jakarta,
h.12
140
jangan sampai terjadi pelanggaran konstitusi oleh lembaga negara. Jadi untuk
mengetahui filosofis kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan
sengketa lembaga negara, penulis memaparkan secara filsafat hukum.
Pertama, dimensi ontologi, istilah ontologi (ontologi,ontologia), berarti
ajaran mengenai yang ada atau segala sesuatu yang ada. Istilah ini dijabarkan dari
dua istilah yakni onta yang berarti segala sesuatu yang ada dan logia yang berarti
ajaran atau ilmu pengetahuan. Selain istilah ontologi, ada pula istilah metafisika.
Keduanya mengkaji tentang ada namun memiliki perbedaan yakni, ontologi
adalah ilmu pengetahuan yang ada yang bisa diserap, sedangkan metafisika adalah
ilmu pengetahuan mengenai hal-hal yang tidak dapat diserap. Jadi ukuran
perbedaan adalah pada obyeknya yakni obyek yang dapat diserap dan tidak dapat
diserap dengan menggunakan panca indera.184
Maka kajian ontologis, yang ingin
dibahas adalah mengenai hal-hal apa saja yang dikaji oleh suatu ilmu, dengan
kata lain, apa yang merupakan kajian objek dari ilmu tersebut dan apa saja ruang
lingkupnya.
Dikaitkan dengan kajian ontologi ilmu hukum adalah hukum itu sendiri,
sebagaiman dikemukakan oleh Van Apeldoorn, hukum sebagai gejala dalam
masyarakat, maka keseluruhan kebiasaan-kebiasaan hukum yang berlaku dalam
masyarakat adalah objek dari ilmu hukum. Ilmu hukum menurut Van Apeldoorn
hanya meliputi tiga cabang, yaitu Sosiologi Hukum, Sejarah Hukum dan
Perbandingan Hukum.185
Kemudian ontologi ilmu hukum atau disiplin Hukum
184
Nengah Bawa Atmaja dan Anantawikarma Tungga atmaja, 2014, Filsafat ilmu
pengetahuan Prespektif Proses dan Produk, Pustaka Larasan, Denpasar Bali, h.140. 185
L.J.Van Apeldoorn, 1958, Pengantar Ilmu Hukum, penerjemah Mr. Oetarid
Sadino, Noordhoff Kolff, Jakarta, h. 320
141
pada umumnya terikat pada suatu pertanyaan utama yakni apa hakikat hukum
yang dipertegas oleh Soetandyo Wignyo Soebroto, sebagai berikut:
a. Asas-asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku
universal (Aliran Hukum Alam).
b. Norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan suatu negara
(Aliran Positivisme Hukum).
c. Putusan hakim in konkreto, yang tersistimatisasi sebagai judge-metlaw
(Aliran Sosiological Jurisprudensi).
d. Pola-pola prilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai sosial yang
empirik (Aliran Sejarah Hukum dan Kebudayaan).
e. Manifestasi makna makna simbolik para pelaku sosial sebagaimana
tampak dalam interaksi diantara mereka (aliran realisme hukum).186
f. Norma-norma positif yang diimplementasikan ke dalam peraturan
perundang-undangan (aliran utilitarianisme).187
Demikian kajian ontologi ilmu hukum adalah hukum sebagaimana aliran
positivisme, ontologinya yaitu norma-norma positif dalam sistem perundang-
undangan suatu negara. Maka ontologi dari kewenangan Mahkamah Konstitusi
dalam penyelesaian sengketa lembaga negara dalam Pasal 61 sampai Pasal 67
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan peraturan Mahkamah Konstitusi No.8
Tahun 2006 sangat jelas kewenangan Mahkamah Konstitusi yang tersistimatis
dalam perundang-undangan oleh karena itu hakekat kewenangan MK adalah
untuk menetapkan putusan dan ketetapan. Kedua, dimensi epistemologi, secara
etimologi, epistemologi merupakan kata gabungan yang diangkat dari dua kata
dalam bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. “Episteme” artinya pengetahuan,
sedangkan “logos” lazim dipakai untuk menunjukkan adanya pengetahuan
sistematik.188
186
Shidarta, 2013, Hukum penalaran dan Penalaran Hukum, Genta Publising, Jogjakarta,
h. 146-147. 187
I Dewa Gede Atmadja, 2013, Filsafat Hkum Dimensi Tematis danHhistoris, Setara
Press, Malang, h. 13. 188
C. A Van Peurson., 1980, Orientasi di Alam Filsafat, PT Gramedia. Jakarta, h 19
142
Senada dengan pendapat di atas Simon Blackburn menjelaskan bahwa
epistemologi, (dari bahasa Yunaniepisteme (pengetahuan) dan logos (kata/
pembicaraan/ ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat,
karakter dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling
sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat. Misalnya tentang apa
itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya
dengan kebenaran dan keyakinan.189
Dengan demikian epistemologi dapat
diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Webster Third
New International Dictionary mengartikan epistemologi sebagai;
“The Study of method and ground of knowledge, especially
with reference to its limits and validity”.Paul Edwards, dalam The
Encyclopedia of Philosophy, menjelaskan bahwa epistemologi
adalah “the theory of knowledge” Pada tempat yang sama ia
menerangkan bahwa epistemologi merupakan “the branch of
philosophy which concerned with the nature and scope of
knowledge, its presuppositions and basis, and the general
reliability of claims to knowledge.”190
Karena membahas tentang kebenaran, epistemologi juga disebut
logika,191
yaitu ilmu tentang pikiran atau ilmu tentang metode (cara) berpikir.
Tetapi, logika dibedakan menjadi dua, yaitu logika minor dan logika mayor.
Logika minor mempelajari struktur berpikir dan dalil-dalilnya seperti silogisme.
Logika mayor mempelajari hal pengetahuan, kebenaran, dan kepastian yang sama
dengan lingkup epistemolo.192
Intinya penggunaan logika sebagai salah prosedur
mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
189
Simon Blackburn, 2013, Kamus Filsafat, , Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h, 286 190
Simon Blackburn, loc.cit 191
Simon Blackburn, loc.cit 192
Ibid., http://astaqauliyah.com/2007/05/
143
Dari pendapat dikaitkan dengan epistemologi ilmu hukum terdapat dua
pandangan besar, penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. dari
dua penelitian tersebut, fokus kajian penelitian ini adalah metode penelitian
hukum doktrinal-deduktif (legal research) disebut juga penelitian hukum normatif,
merupakan epitemologi hukum dari aliran hukum alam/ kodrat dan aliran
positivisme hukum. perbedaannya pada landasan epistemologinya, disatu pihak
hukum alam/ kodrat, memandang dunia hukum adalah kodrat (deus sive natura).
Dengan demikian dimana pun berlaku prinsip yang immoral merupakan tidak adil
dan melanggar hukum.
Terkait dengan penyelesaian kewenangan sengketa lembaga negara oleh
Mahkamah Konstitusi, epistemologi yang digunakan adalah penelitian normatif
dan metode interpretasi hukum oleh Curzon, interpretasi atau penafsiran diartikan
memberikan makna yang tepat arti kata suatu pasal undang-undang; konstruksi
merujuk pada mengatasi ambiguitas atau multi-tafsir, kekaburaan dan
ketidakpastian norma hukum pasal undang-undang yang intinya pada prosedur
pembentukan putusan dan ketetapan oleh hakim Mahkamah Konstitusi.193
Dengan demikian epistimologi dari penyelesaian sengketa kewenangan
antar lembaga negara adalah metode atau Prosedur yang dilakukan oleh hakim
untuk menetapkan putusan dan ketetapan.
Ketiga, dimensi aksiologi, istilah aksiologi berasal dari kata axio dan
logos, axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, dan logos artinya akal, teori,
axiologi artinya teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat, kriteria dan status
193
Ibid, h.19
144
metafisik dari nilai.
194Aksiologi sebagai cabang filsafat ialah ilmu pengetahuan
yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan
kefilsafatan.195
Terdapat banyak pendapat tentang pengertian aksiologi. Menurut Jujun S.
Suriasumantri aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
ilmu pengetahuan yang diperoleh. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, aksiologi
adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-
nilai khususnya etika.196
Menurut Wibisono aksiologi adalah nilai-nilai sebagai
tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan
penggalian, serta penerapan ilmu.197
Menurut Jujun S Suriasumantri maka ditinjau dari aspek axiologi
membahas dan menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: “Untuk apa
pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara
penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek
yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik
prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma
moral/referisonal”.198
Konkritnya, axiologi ilmu hukum akan berkolaborasi
terhadap kegunaan dari ilmu hukum itu sendiri. Sebagaimana diketahui
194
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, 2001, Filsafat Ilmu,: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
h. 26 195
Soejono Soe Margono. 1986, Pengantar Filsafat Louis O.Kattsoff,: Tiara Wacana
Yogya, Yogyakarta, h. 327 196
Ibid, h.19 197
Bakhtiar, Amsal. 2010. Filsafat Ilmu. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 23 198
Jujun S. Suriamantri, 1996, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, h. 33
145
bahwasanya ilmu hukum bersifat dinamis yang mempunyai pengaruh dan fungsi
khas dibanding dengan disiplin ilmu yang lain.
Kaitan axiologi hukum yang tidak terlepas dari nilai dan tujuan hukum
yaitu kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum (telah diuraikan pada bab iii),
dari fokus kajian penyelesaian kewenangan sengketa kewenangan lembaga negara
oleh Mahkamah Konstitusi, yang menjadi persoalannya mengenai nilai dari
putusan Mahkamah Konstitusi atas sengketa kewenangan yang terjadi yaitu; nilai
keadilan bagi pemohon (lembaga negara) yang mengajukan sengketa kewenangan
antara lembaga, sehingga Mahkamah Konsitusi dapat menilai dan memeriksa
sesuai alat bukti-bukti (diatur dalam undang-undang Mahkamah Konstitusi) serta
dalam pengambilan putusan, Mahkamah Konstitusi dapat mempertimbangkan
nilai keadilan sesuai alat bukti.
Selanjutnya nilai kepastian (mengenai amar atau isi putusan dan
ketetapan), bagi pemohon maupun tergugat, tidak menimbulkan multitafsir, dan
dapat diaplikasikan oleh kedua pihak yang bersengketa. Terakhir kemanfaatan,
putusan Mahkamah Konstitusi atas sengketa kewenangan lembaga negara dapat
memberikan implikasi bagi pihak yang bersengketa, sehingga tidak lagi
menggunakan kekuasaan atau kewenangannya sesuai amanat peraturan
perundang-perundangan. Setelah mengkaji kewenangan Mahkamah Konstitusi
dalam penyelesaian sengketa lembaga negara, penulis menganalisis putusan-
putusan Mahkamah Konstitusi tentang sengketa lembaga negara dari Tahun 2003
hingga Tahun 2015,199
data putusan Mahkamah Konstitusi.
199
Ni‟matul Huda, op.cit, h.174-178
146
No Para pihak yang bersengketa Putusan MK Tanggal Keterangan
1 DPD dengan Presiden mengenai
pemilihan anggota BPK
Putusan perkara
no.068/SKLN-II/2004
10 november 2004 Permohonan ditolak untu
seluruhnya
2 Gubernur Provinsi Lampung
dengan DPRD Provinsi Lampung
Ketetapan Perkara
No.025/SKLN-III/2005
5 januari 2006 Mengabulkan Pemohon
menarik kembali
permohonan
3 Badrul Kamal dan Syihabudin
(pasangan calon Walikota Depok)
dengan KPUD Depok
Putusan perkara no.
002/SKLN-IV/2006
25 Januari 2006 Diterima(niet ontvanklijk
verklaard/NO)
4 Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten
dengan Presiden RI, Mentri dalam
Negari dan DPRD
Putusan perkara no.
004/SKLN-IV/2006
12 Juli 2006 Permohonan pemohonan
tidak dapat diterima(NO)
5 Ketua dan Wakil Ketua DPRD Poso
Provinsi Sulewesi Tengah dengan
Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah
Putusan perkara no.
027/SKLN-IV/2006
12 Maret 2007 Permohonan pemohonan
tidak dapat diterima(NO)
6 Komisi penyiaran Indonesia dengan
Mentri Komunikasi dan Informatika
Putusan perkara
no.030/SKLN-IV/2006
17 April 2007 Permohonan pemohonan
tidak dapat diterima(NO)
7 Komisi Independen Pemilu Tingkat
Kabupaten Aceh Tenggara dan DPRD
Kabupaten Aceh Tenggara
Putusan perkara no.
026/SKLN-V/2008
11 Maret 2008 Permohonan pemohonan
tidak dapat diterima(NO)
8 KPUD Provinsi Maluku Utara dengan
KPU
Ketetapan Perkara No.
032/SKLN-V/2007
21 Januari 2008 Mengabulkan Pemohon
menarik kembali
permohonan
9 Panitia Pengawas Pemilihan Bupati dan
Wakil Bupati Kabupaten Morowali
dengan KPU Kabupaten Morowali
Putusan perkara
no.01/SKLN-VI/2008
28 Maret 2008 Permohonan pemohonan
tidak dapat diterima(NO)
10 Bank Indonesia dengan Komisi
Pemberantasan Korupsi
Ketetapan Perkara
no.07/SKLN-VI/2008
18 Maret 2008 Mengabulkan Pemohon
menarik kembali
permohonan
11 KPUD Provinsi Maluku Utara dengan
Presiden RI
Putusan Perkara No.
27/SKLN-VI/2008
10 Febuari 2009 Permohonan pemohonan
tidak dapat diterima(NO)
12 Bupati Maluku Tengah dan Ketua
DPRD Kabupaten Maluku Tengah
dengan Menteri dalam Negeri
Putusan Perkara No.
01/SKLN-VIII/2010
11 Maret 2011 Permohonan pemohonan
tidak dapat diterima(NO)
13 Bupati Sorong dengan Walikota Sorong Putusan Perkara No.
01/SKLN-IX/2011
20 Juni 2011 Permohonan pemohonan
tidak dapat diterima(NO)
14 Bupati Penajam Paser Utara dan Ketua
DPRD Penajam Paser Utara dengan
Mentri Kehutanan RI
Putusan Perkara
No.02/SKLN-XI/2011
20 September 2011 Permohonan pemohonan
tidak dapat diterima(NO)
15 Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai
Timur, Provinsi Kalimantan Timur
dengan Presiden RI casu quo Menteri
Energi dan Sumber Daya Alam
Putusan Perkara No.
02/SKLN-IX/2011
17 Januari 2012 Permohonan pemohonan
tidak dapat diterima(NO)
16 Gerakan Nasional Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi(GN-PK)
dengan Kementrian Agama
Putusan Perkara
No.04/SKLN-IX/2011
24 November 2012 Permohonan pemohonan
tidak dapat diterima(NO)
17 Komite Kerja Advokat
Indonesia(KKAI) dengan Mahkamah
Agung RI
Putusan Perkara No.
05/SKLN-IX/2011
1 Febuari 2011 Permohonan pemohonan
tidak dapat diterima(NO)
18 Pemerintahan Daerah (DPR Aceh)
terhadap KPU dan Kommisi
Independen Pemilihan (KIP) Aceh
Ketetapan Nomor
6/SKLN-IX/2011
4 Januari 2012 Mengabulkan
Permohonan Pemohon
menarik kembali
permohonan
19 Menteri Dalam Negeri dengan KPU
Pusat dan KIP Aceh
Putusan Perkara
No.1/SKLN-X/2012
27 Januari 2012 Permohonan pemohonan
tidak dapat diterima(NO)
20 Presiden dengan DPR DAN BPK
dalam Kasus diversi 7% saham PT
Newmon Nusa Tenggara
Putusan Perkara No.
02/SKLN-X/2012
31 Juli 2012 Permohonan Pemohon
terhadap termohon II
tidak dapat di terima,
serta menolak
147
permohonan pemohon
terhadap termohon I
untuk seharusnya
21 KPU dengan DPR Papua dan Gubernur
Papua
Putusan Perkara No.
03/SKLN-X/2012
19 September 2012 Mengabulkan
permohonan Pemohon
22 Advokat dengan Kementrian Hukum
dan HAM in casu Badan Pembinaan
Hukum Nasional
Putusan Perkara No.
01/SKLN-XI/2013
28 Mei 2013 Permohonan pemohonan
tidak dapat diterima(NO)
23 Panitia Pengawas Pemilihan Umum
Provinsi Sumatera Utara dengan
Bawaslu dan Komisi Pemilihan Umum
Putusan Perkara No.
02/SKLN-XI/2013
28 Agustus 2013 Permohonan pemohonan
tidak dapat diterima(NO)
24 Bawaslu dengan DPRD
Nanggroe Aceh Darussalam dan
Gubernur Nanggroe Aceh Darusalam
Putusan Perkara
No.3/SKLN-XI/2013
16 Januari 2014 Permohonan Pemohon
tidak dapat diterima (NO)
25 KPU Kabupaten Labuhanbatu Selatan
dengan KPU Provinsi Sumatera Utara
Ketetapan Perkara
No.)1/SKLN-XIII/2015
13 Oktober 2015 Mengabulkan Pemohon
menarik kembali
permohonan
Berkenaan dengan rekapitulasi yang dikutip diatas, penulis, menilai dari
tahun 2003 hingga tahun 2015, terdapat 25 kasus sengketa kewenangan lembaga
yang terjadi, baik antara lembaga-lembaga negara utama, maupun lembaga-
lembaga negara yang mendukung penyelenggaraan pemerintahan negara, jumlah
sengketa yang terjadi sebanyak 25 sengketa. Kemudian Mahkamah Konstitusi
berhasil menyelesaikannya dan membuat putusan konstitusional sebanyak 20
sengketa kewenangan sengketa lembaga negara dan lima (5) ketetapan
konstitusional mengenai penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara.
Hemat penulis, terdapat 2 hal penting yang dapat dikaji pertama; putusan
sengketa kewenangan lembaga negara, hakim Mahkamah Konstitusi menetapkan
20 putusan menolak, yang kedua 5 ketetapan sengketa kewenangan lembaga
negara, persoalannya apabila berpijak pada Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor. 24 Tahun 2003 secara substansi
menegaskan mengenai putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan
mengikat. Namun dalam menyelenggarakan tugas dan kewenangannya
148
mengeluarkan suatu ketetapan (besschiking), sebelum adanya putusan sengketa
kewenangan lembaga negara, sesuai Pasal 63 Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi Nomor 24 Tahun 2003.200
Ada dua makna kata; frase “putusan”
(diuraikan bab V), dan frase “ketetapan” oleh karena itu penulis mencoba
menelusuri konsep ketetapan dalam kajian hukum administrasi negara.
Berkaitan dengan hukum adminsitrasi negara, Beschiking atau ketetapan
pertama kali” diperkenalkan di negeri Belanda oleh Van der Pot dan Van
Vollenhoven dan masuk ke Indonesia melalui Prins. Istilah beschiking ini di
negeri Perancis terkenal dengan nama Acte Administratif. Kemudian pengertian
acte Administratif tersebut dimasukkan kedalam ilmu hukum Jerman oleh Otto
Meyer dengan diberi nama “Verwaltungsangkt”.201
Perkataan ini di Indonesia ada
yang menyalin dengan istilah “ ketetapan”. Menurut Kuntjoro Purbopranoto,
karena istilah “ketetapan” itu sekarang sudah mempunyai arti yang yuridis teknis
yaitu sebagai keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang berlaku
umum (keluar maupun kedalam), maka seyogyanya kita mempergunakan istilah
yang masih mulus (neutral) guna beschiking itu misalnya: “keputusan”.202
Prins
mengartikan beschiking adalah suatu tindak hukum sepihak dibidang
pemerintahan, dilakukan oleh alat penguasa berdasarkan kewenangan khusus.203
Utrecht menjelaskan bahwa beschiking merupakan suatu perbuatan
berdasarkan hukum publik yang bersegi satu adalah yang dilakukan oleh alat-alat
200
Pasal 63 UU MK; Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang
memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan
kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi 201
Kranenburg-Vegtig, 1978, dalam Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa catatan Hukum
Tata Pemerintahan dan Peradilan Adiministrasi Negara, cet. 2, Alumni, Bandung, h. 45 202
Kuntjoro Purbopranoto, loc.cit 203
Ibid., h. 46
149
pemerintahan berdasarkan suatu kekuasaan istimewa. Kemudian Van Poelje,
beschiking sebagai pernyataan tertulis kehendak suatu alat pemerintahan dari
penguasa pusat yang sifatnya sepihak dan ditujukan keluar, berdasarkan
kewenangan atas dasar satu peraturan hukum tata negara atau hukum tata
pemerintahan dan yang tujuannya ialah perubahan atau pembatalan sesuatu
hubungan hukum yang ada atau penetapan sesuatu hubungan hukum yang baru
ataupun yang memuat sesuatu penolakan pemerintah penguasa terhadap hal-hal
tersebut.204
Menurut A.M. Donner, penetapan adalah tindakan pemerintahan dalam
jabatan yang secara sepihak dan disengaja dalam suatu ikhwal tertentu,
menetapkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang sedang berjalan
atau menimbulkan suatu hubungan hukum baru atau menolak salah satu yang
dimaksud.205
Demikian ketetapan merupakan bagian dari kewenangan Mahkamah
Konstitusi guna menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara, sebelum
pengambilan putusan dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
Selanjutnya penulis melakukan penulusuran dari data yang terhimpun dari
Mahkamah Konstitusi yang sudah tercatat secara terinci didalam (website
Mahkamah Konstitusi) dalam menyelenggarakan fungsi dan kewenangannya
selama tahun 2016 sampai dengan tahun 2017, telah berhasil melakukan
pengujian terhadap undang-undang dan sengketa pemilu yang terjadi serta
menetapkan berbagai jenis putusan. Namun selama tahun itu pun perkara sengketa
kewenangan tidak terjadi dan memang tidak ada pengajuan dari lembaga-lembaga
204
Kuntjoro Purbopranoto, loc.cit 205
A.M.Donner, op.cit., h. 47-48
150
negara. Demikian pula selama awal tahun 2017 hingga akhir Desember 2017 tidak
ada pengajuan perkara sengketa kewenangan yang diajukan dari lembaga-lembaga
negara. Dan dalam tahun tersebut yang diputuskan Mahkamah Konstitusi hanya
perkara pengujian undang-undang dan yang terkait dengan sengketa hasil pemilu
baik yang diajukan oleh sekelompok maupun individu.
3.3.3 Landasan Yuridis
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Tahun
1945, merupakan landasan kewenangan bagi Mahkamah Konstitusi untuk
menyelesaikan persoalan-persolaan konstitusional, kemudian dijabarkan lebih
lanjut dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 dan perubahannya Nomor 8
Tahun 2011, akan tetapi terdapat norma (subtansi) yang sama antara Pasal 10 (1)
dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003.
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, menyatakan bahwa:
MK berwenang mewakili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusan
bersifat final untuk:………..
Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, menyatakan bahwa:”
putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan
dalam sidang pleno terbuka untuk umum”.
Dari kedua rumusan pasal diatas, secara gramatikal Pasal 10 ayat (1)
merupakan replika dari Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945
sedangkan Pasal 47 ayat (1) sebagai penjabaran pelaksanaan kewenangan
Mahkamah Konstitusi dalam menangani perkara-perkara konstitusional dari Pasal
24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003, namun menimbulkan pertanyaan apakah dalam
satu undang-undang harus menetapkan kalimat berbeda makna, namun secara
teologis atau kata makna yang sama mengenai kewenangan Mahkamah
151
Konstitusi, dikaitkan dengan teori jenjang norma hukum (telah dijelaskan
sebelumnya) maka norma yang tertera dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003, kedudukannya tidak sesuai menurut hierarki peraturan-
perundang-undangan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011. Dalam Hermeneutika atau metode memahami atau metode
interpretasi dilakukan terhadap teks secara holistik dalam bingkai keterkaitan
anatara teks, konteks, dan kontekstualisasi. Memahami suatu adalah
menginterpretasi sesuatu agar memahaminya. Dalam hubungan ini Gadamer
mengatakan, seperti dikutip oleh Arief Sidharta, ilmu hukum adalah sebuah
eksemplar Hermeneutika in optima forma, yang diaplikasikan pada aspek
kehidupan bermasyarakat. Sebab, dalam menerapkan ilmu hukum ketika
menghadapi kasus hukum, maka kegiatan interpretasi tidak hanya dilakukan
terhadap teks yuridis, tetapi terhadap kenyataan.
3.4 Sengketa Lembaga Negara di Berbagai Negara
Kewenangan memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara telah
diadopsi dalam praktek sistem ketatanegeraan diberbagai negara. Kewenangan
memutus sengketa kewenangan lembaga ini ada yang diberikan kepada lembaga
Mahkamah Agung (supreme court) sebagaimana berlaku di Amerika Serikat ada
juga yang memberikannya kepada Lembaga Mahkamah Konstitusi sebagaimana
berlaku di Jerman. Dengan demikian, ada dua model pemilik kewenangan
memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yaitu model Amerika
serikat dan model Jerman.206
Pada hakekatnya negara Amerika Serikat dan Jerman
206
Ni‟matul Huda, op.cit, h. 151-152
152
sebagai negara yang mencetuskan ide penyelesaian sengketa kewenangan
lembaga negara dan diselesaikan pada lembaga yang memiliki kewenangan
konstitutisional.
Di Amerika Serikat kewenangan supreme court memutus sengketa
kewenangan antar lembaga negara bertolak dari ketentuan dalam di United State
Constitution pada article 3 tentang the judicial branch section 2 clause 1. Dalam
ketentuan itu disebutkan sebagai berikut;207
“
the judicial power shall extend to all case, in law and quaty, arising under
this constitutions, the laws of united state, and treaties made or which shall
be made, under there authority; -to all cases affecting ambassador, all there
public ministers and consuls; -to all cases admiralty and maritims
juridiction;-to controversias to which united state shall be a party;- to
controversias between two or more states;- between a state and Citizensof
another state;-between Citizens of different states;- between Citizens of the
some states claiming lands under grants of different states, and between a
state, or the citizens there of and foregin state, Citizens or subjects”.
Di Jerman, Kewenangan memutus sengketa kewenangan antar lembaga
negara oleh Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 93 ayat (3) Konstitusi
Federal Jerman. Disebutkan bahwa; the Federal Constittutional Court, berwenang
memutus:208
“ in case of differences of opinion on the rights and duties of the Federation
and the states ( Lander), particularly in the execution of federal law by the
states ( lander) and in the exercise of federal supervision: on other disputes
involving public law, between the Federation and the states ( lander),
between different states (Lander) or withina staes ( lander), unless recourse
to another court exist.”
Hal ini dipertegas lagi dalam undang-undang Mahkamah Konstitusi
Jerman Pasal 13 ayat (5) mengenai sengketa kewenangan antar Lembaga Negara
207
Ni‟matul Huda, loc.cit 208
Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan hukum administrasi Negara Indonesia,
Jakarta, h.337.
153
Federal Jerman dan dalam Pasal 13 (7) mengenai sengketa kewenangan antar
lembaga pemerintah federal dengan dan atau antar lembaga pemerintah negara
bagian terutama yang berkaitan dengan penerapan pembagian kekuasaan Federal.
Undang-undang Mahkamah Konstitusi Jerman mengatur yang berhak untuk
menjadi tergugat dan penggugat dalam perkara sengketa kewenangan adalah
presiden bundestag, bundesrat, pemerintah federal, serta bagian bagian lembaga
yang memiliki kewenangan tersendiri sesuai dengan konstitusi, atau peraturan tata
tertib bundestag atau bundesrat.
Disampinng itu, pemerintah federal dalam kasus sengketa kewenangan
antar lembaga negara federasi, dan pemerintah negara bagian dalam kasus
sengketa kewenangan antara lembaga negara bagian berhak menjadi penggugat
dan tergugat dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara.209
Jadi
pembagian sengketa lembaga negara Jerman jelas tertuang dalam konstitusi
federal Jerman, dan lebih lanjut diatur dalam UU MK Jerman dimana terdapat
dua pembagian sengketa kewenangan yang dapat terjadi; pertama; sengketa
kewenangan yang lahir antar lembaga negara federal Jerman, kedua sengketa
kewenangan yang tercipta antara lembaga negara federal dengan lembaga negara
bagian, yang satu dapat menjadi tergugat ataupun penggugat maupun sebaliknya.
Relevansinya dengan penulisan ini, pertama, penyelesaian sengketa
kewenangan lembaga negara yang diadopsi oleh negara-negara di dunia
merupakan warisan dari negara Amerika Serikat dan Jerman, selanjutnya, negara
Indonesia mengikuti jejak ini, setelah amandamen UUD 1945 pada tahapan ke 3
209
Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan hukum administrasi Negara Indonesia,
op.cit, h.6
154
yang telah diuraikan sebelumnya dalam bab III, salah satu kewenangan
penyelesaian sengketa kewenangan dimasukan sebagai kewanangan Mahkamah
Konstitusi Indonesia yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan
ditegaskan dalam Pasal 61 sampai Pasal 67 Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi dan diperkuat dengan mekanisme pelaksanaannya diatur dalam
peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006, tentang pedoman
beracara dalam sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara.
Dari uraian bab III ini penulis dapat memaknai, bahwa yang mendasari
putusan final Mahkamah Konstitusi berpijak pada nilai-nilai dasar hukum dan
tujuan hukum (keadilan, kepastian dan kemanfaatan) untuk menegakkan Negara
hukum.