bab ii kerangka teori identitas urban dan hibriditas...bisa memiliki lebih dari satu identitas,...

29
17 BAB II KERANGKA TEORI IDENTITAS URBAN DAN HIBRIDITAS Merumuskan sebuah identitas perkotaan (urban) tak lepas dari karakteristik dan citra kota itu sendiri. Dalam hal ini, penulis hendak menguraikan identitas urban sebagai pintu masuk teori yang dapat membantu mejembatani penelitian ini. Di mana dalam merumuskan suatu identitas urban, terlebih kita perlu mencari citra suatu kota itu sendiri. Sehingga penulis pada bab II ini memulai merumuskan kerangka teori identitas urban dengan pendekatan teorinya Kevin Lynch dan beberapa tokoh yang memiliki kompetensi sama dalam teori ini. Kevin Lynch, sebagai peneliti kota, karya-karyanya banyak dijadikan sebagai referensi primer dalam sebuah penelitian perencanaan atau identitas kota. Pada bagian ini teori identitas Sheldon Stryker, Peter J. Burke, Chris Barker adalah teori-teori yang cukup mendukung dalam rumusan kerangka teori identitas urban ini. Di samping itu, sebagai upaya menelisik lahirnya proses persilangan budaya (hybrid culture) dalam masyarakat urban, maka hemat penulis penting menggunakan pendekatan teori hibriditasnya Hommi K. Bhabha yang juga hendak penulis jelaskan lebih mendalam pada bab ini.

Upload: others

Post on 11-Feb-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 17

    BAB II

    KERANGKA TEORI IDENTITAS URBAN DAN HIBRIDITAS

    Merumuskan sebuah identitas perkotaan (urban) tak lepas dari karakteristik

    dan citra kota itu sendiri. Dalam hal ini, penulis hendak menguraikan identitas urban

    sebagai pintu masuk teori yang dapat membantu mejembatani penelitian ini. Di

    mana dalam merumuskan suatu identitas urban, terlebih kita perlu mencari citra

    suatu kota itu sendiri. Sehingga penulis pada bab II ini memulai merumuskan

    kerangka teori identitas urban dengan pendekatan teorinya Kevin Lynch dan

    beberapa tokoh yang memiliki kompetensi sama dalam teori ini. Kevin Lynch,

    sebagai peneliti kota, karya-karyanya banyak dijadikan sebagai referensi primer

    dalam sebuah penelitian perencanaan atau identitas kota. Pada bagian ini teori

    identitas Sheldon Stryker, Peter J. Burke, Chris Barker adalah teori-teori yang cukup

    mendukung dalam rumusan kerangka teori identitas urban ini. Di samping itu,

    sebagai upaya menelisik lahirnya proses persilangan budaya (hybrid culture) dalam

    masyarakat urban, maka hemat penulis penting menggunakan pendekatan teori

    hibriditasnya Hommi K. Bhabha yang juga hendak penulis jelaskan lebih mendalam

    pada bab ini.

  • 18

    A. Tinjauan Teoritik Identitas Urban

    1. Identitas dan Perubahan Sosial

    Secara konseptual subyektivitas dan identitas memiliki hubungan erat,

    bahkan tidak bisa dipisahkan. Seperti yang dikemukakan Chris Barker, ia

    menegaskan bahwa identitas sepenuhnya merupakan suatu kontruksi sosial

    budaya. Identitas tidak serta merta dapat eksis di luar representasi atau akulturasi

    budaya.1 Istilah identitas berasal dari bahasa latin, idem, yang berarti kesamaan dan

    keberlangsungan. Istilah ini populer digunakan secara leksikal sejak abad-20, dan

    kerap digunakan dengan maksud; (a) kondisi menjadi sama atau identik; (b) kondisi

    menjadi orang atau sesuatu yang spesifik dan bukan yang lain; (c) karakter yang

    berbeda yang dimiliki oleh seorang individu. Identitas dalam kajian ilmiah dapat

    dimaknai secara sederhana sebagai konsep mengenai siapa seseorang atau

    kelompok orang dikenali oleh orang atau kelompok lain, atau juga mengenai

    seseornag dikenali dalam kelompoknya (Jenkin, 2004: 5). Dijelaskan juga dalam

    Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahwa Identitas merupakan ciri-ciri atau

    keadaan khusus seseorang.2

    Identitas secara umum dapat didefinisikan sebagai seperangkat makna

    yang disematkan pada diri seseorang baik sebagai pribadi, kelompok dan sosial.

    1 Barker, 2005: 170-171

    2 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, cetakan petama (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan balai pustaka, 1999).

  • 19

    Lebih lanjut, dalam teori identitas yang dipopulerkan oleh Sheldon Stryker (1980),

    identitas erat dengan saling mempengaruhi antara seseorang sebagai individu

    dengan struktur sosial yang lebih luas (masyarakat). Peter J. Burke, mengatakan

    bahwa identitas adalah bagaimana orang berperan dalam masyarakat untuk

    menemukan makna dirinya. Maka di sini identitas bisa menjadi kontrol dan

    panduan dalam setiap tindakan manusia. Manusia dalam memperoleh identitas

    bisa memiliki lebih dari satu identitas, menurut perannya yang berbeda dalam

    interaksi sosial. Dengan demikian, identitas dapat dimaknai diri sebagai ayah, ibu,

    rekan kerja, teman, dan sebagai salah satu dari sekian banyak kemungkinan peran

    sesuai yang bisa dimainkan seseorang.3

    Identitas dalam lingkup sosial memang mempunyai peran yang berbeda

    sesuai dengan konteks diri itu berada, tetapi identitas itu mempunyai kekhasan

    yang suatu saat tertentu berpotensi mengalami perubahan. Identitas dengan

    sendirinya merupakan satu unsur kunci dari kenyataan subyektif. Sebagaimana

    semua kenyataan subyektif berhubungan secara dialektif dengan masyarakat.

    Identitas dibentuk oleh proses-proses sosial. Begitu memperoleh wujudnya, ia

    dipelihara, dimodifikasi, bahkan dibentuk ulang oleh hubungan-hubungan sosial.

    Proses-proses sosial yang terlibat dalam membentuk dan mempertahankan

    identitas ditentukan oleh struktur sosial. Sebaliknya, identitas-identitas individu,

    3Jan Assmann dan John Czaplicka “Collective Memory and Cultural Identity” ini New

    German Critique, No.65.pp125-133.1995. NC: Duke University Press, 129.

  • 20

    dan struktur sosial bereaksi terhadap struktur sosial yang sudah diberikan,

    memeliharanya, memodifikasinya atau membentuknya kembali.4

    Identitas sosial merupakan bagian dari konsep diri individu yang bersumber

    dari pengetahuan mereka tentang keanggotaan dalam suatu kelompok sosial

    dengan beragam jenis nilai, norma, dan ikatan emosional yang berkembang dalam

    kelompok tersebut. Identitas tersebut merupakan identitas kolektif yang tidak

    mensyaratkan masing-masing anggota kelompok sosial tersebut untuk saling

    mengenal dan memiliki hubungan personal yang dekat. Dengan demikian, dapat

    disimpulkan bahwa identitas sosial adalah bagian dari konsep diri individu yang

    berasal dari pengetahuannya selama berada dalam kelompok sosial tertentu

    dengan disertai internalisasi nilai-nilai, emosi, partisipasi, rasa peduli dan bangga

    sebagai anggota kelompok tersebut.5

    Lebih lanjut identitas juga difahami sebagai keterkaitan identitas dengan

    batas-batas etnis. Sebagaimana yang dijelaskan Fredrik Barth, dalam tulisannya ia

    menjelaskan bahwa dalam interaksi antar etnis, batasan-batasan etnis

    dipertahankan dengan teguh karena batasan-batasan tersebut adalah juga batasan

    sosial. Bahkan dalam interaksi dengan yang kain, batasan-batasan etnis dikelola

    oleh komunitasnya sebagai identitas yang menunjuk keanggotaan. Karenanya

    4 Lihat juga Peter L Berger dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah

    tentang Sosiologi Pengetahuan (Jakarta: LP3ES, 1990), 235-236. 5 Lihat juga dalam Disertasinya M. Mukhsin Jamil, Dinamika Identitas dan Strategi Adaptasi

    Minoritas Syi’ah Jepara (Semarang: UIN Walisongo, 2011), 65-67.

  • 21

    intensitas interaksi yang terjadi antara orang berbeda etnis akan memperkecil

    perbedaan, tetapi kekhasan kultural akan kuat jika terus terimplikasi dalam

    perilaku. Dengan kata lain perbedaan kultural akan tetap menjadi unit yang

    signifikan, jika perbedaan yang ada tetap tercermin dalam perilaku.6

    Perubahan masyarakat tradisional (agraris) ke masyarakat industri

    (modern) akibat dari derasnya proses modernisasi dengan berbagai nilai dan

    teknologi yang ditawarkan (Munandar Soelaiman, 1998: 93).7 Hal ini karena

    modernisasi melibatkan perubahan pada hampir segala aspek tingkah laku sosial,

    termasuk didalamnya industrialisasi, urbanisasi, deferensiasi, sekulerisasi,

    sentralisasi, dan sebagainya. Bahkan modernisasi dianggap sebagai proses

    transformasi nilai. Artinya untuk mencapai status modern, struktur dan nilai-nilai

    tradisional secara total harus diganti dengan nseperangkat struktur dan nilai-nilai

    modern.8

    Masyarakat urban mula-mula barangkali dibagi dalam kotak-kotak rapat

    oleh struktur sosial ganda (plural), batas-batas interaksi antara kelompok-kelompok

    etnis telah memudar akibat bangunan-bangunan perkotaan dan penduduk yang

    kian padat. Dalam studinya tentang sebuah kota kecil di Jawa, Clifford Geertz

    menyayangkan tidak adanya integrasi antara berbagai kelompok etnis dan budaya

    6 Fredrik Barth, Ethnic Group and Boundaries, The Social Organization of Culture Difference

    (Oslo: Johansen&Nielsen Boktrykkeri, 1969), 15. 7 Munandar Soelaiman, Dinamika Masyarakat Transisi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993),

    93. 8 Suwarsono, Perubahan Sosial dan Pembangunan (Jakarta: LP3ES, 2006), 23.

  • 22

    di dalam kota. Geertz menggunakan istilah “hollow town) (kota kosong) untuk

    menggambarkan situasi di mana suatu masyarakat kota bukan merupakan struktur

    sosial yang terintegrasi namun lebih bersifat kombinsi daripada masyarakat-

    masyarakat kecil.9

    Melalui suatu proses yang digambarkan di atas, ada kesadaran yang

    semakin tumbuh tentang masalah-masalah bersama, suatu peningkatan rasa

    perkotaan. Penghuni kota menyadari bahwa mereka akan pindah keluar dari

    lingkungan wilayah tempat tinggal maupun dari pekerjaan mereka untuk

    menduduki posisi sosial dan pemukiman yang baru. Karena monopolisasi etnis

    pekerjaan yang tradisional sedang mengalami keruntuhan, maka kesempatan-

    kesempatan bekerja, dalam teori, terbuka untuk semua anggota kelompok etnis.10

    Sedangkan melihat dinamika kelompok masyarakat pedesaan, bahwa dalam

    perpaduan beberapa orang atau kelompok suku atau keturunan di pedesaan

    dilatarbelakangi oleh dorongan upaya untuk memenuhi kebutuhan yang sama dari

    sekumpulan individu. Situasi ini oleh Cooley11 disebut community atau masyarakat

    setempat (selanjutnya disebut komunitas). Menurut Cooley12, identitas sosial

    9Clifford Geertz, The Social History of an Indonesia Town (MIT Press, Cambridge 1965), 153-

    204. 10Hans-Dieter Evers, Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan

    Malaysia (Jakarta: LP3ES, 1982), 58. 11Charles Horton Cooley, Human Nature and the Social Order (New York: Scribners, 2005),

    5. 12Cooley populer dengan salah satu konsep dalam karyanya, “Concept of the Looking Glas

    Self”, bahwa konsep hubungan diri ini atau bagaimana seseorang memandang diri sendiri bukanlah fenomena tersendiri. Melainkan mencakup hal-hal lain. Ia mengatakan bahwa masyarakat dengan

  • 23

    komunitas adalah anggota-anggota kelompok secara fisik berdekatan satu sama lain

    jumlah anggotanya kecil, kelanggengan hubungan antar anggota kelompok dan

    keakraban relasi sosial.13

    2. Kontruksi Kultural Masyarakat Urban

    Masyarakat perkotaan sering diidentikan dengan masyarakat modern dan

    dipertentangkan dengan masyarakat pedesaan yang akrab dengan sebutan

    masyarakat tradisional, terutama dilihat dari aspek kulturnya. Masyarakat modern

    adalah masyarakat yang sebagian besar warganya mempunyai orientasi nilai

    budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban masa kini. Pada umumnya

    masyarakat modern tinggal di daerah perkotaan sehingga disebut masyarakat kota.

    Masyarakat modern sering dibedakan antara masyarakat pedesaan dengan

    masyarakat perkotaan. Tetapi perbedaan tersebut tidak mempunyai hubungan

    dengan pengertian masyarakat sederhana karena dalam masyarakat modern,

    seberapapun kecilnya desa, tentu ada pengaruh dari kota. Pembedaan antara

    masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, pada hakikatnya bersifat gradual.

    Sulit untuk memberikan batasan yang dimaksudkan dengan perkotaan karena

    adanya hubungan konsentrasi penduduk dengan gejala-gejala sosial yang

    dinamakan urbanisme.

    individu tidak menunjukkan fenomena yang dapat dipisahkan, namun hanya aspek kolektif dan distributif dari hal yang sama. Lebih lanjut Cooley juga menegaskan bahwa manusia memiliki kecenderungan yang melekat untuk menjangkau, berinteraksi, atau bersosialisasi dengan orang-orang atau benda-benda yang mengelilinginya.

    13Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafmdo Perada, 1982), 138.

  • 24

    Masyarakat perkotaan sering disebut juga urban community. Pengertian

    masyarakat kota lebih ditekankan pada sifat-sifat kehidupannya serta ciri-ciri

    kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Perhatian khusus

    masyarakat kota tidak terbatas pada aspek-aspek seperti pakaian, makanan dan

    perumahan. Tetapi mempunyai perhatian lebih luas lagi. Orang-orang perkotaan

    sudah memandang penggunaan kebutuhan hidup, artinya oleh hanya sekedarnya

    atau apa adanya. Hal ini disebabkan oleh pandangan warga kota sekitarnya. Kalau

    menghidangkan makanan misalnya, yang diutamakan adalah bahwa yang

    menghidangkannya mempunyai kedudukan sosial yang tinggi. Kehidupan

    keagamaan masyarakat perkotaan berkurang jika dibandingkan dengan kehidupan

    keagamaan di desa. Kegiatan-kegiatan keagamaan hanya berpusat pada tempat

    peribadatan, seperti Masjid, Gereja. Sedangkan di luar itu, kehidupan masyarakat

    berada dalam lingkungan ekonomi, perdagangan. Cara kehidupan demikian

    mempunyai kecenderungan ke arah keduniawian, jika dibandingkan dengan

    kehidupan masyarakat desa yang cenderung ke arah keagamaan yang ketat.14

    Masyarkat perkotaan pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa

    harus bergantung pada orang lain. Yang terpenting di sini adalah manusia

    perorangan atau individu. Jalan pikiran rasional yang pada umumnya dianut

    masyarakat perkotaan, menyebabkan bahwa interaksi-interaksi yang terjadi lebih

    14 Hans-Dieter Evers, Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan

    Malaysia (Jakarta: LP3ES, 1982), 7-8.

  • 25

    didasarkan pada faktor kepentingan daripada faktor pribadi. Perubahan-perubahan

    sosial tampak dengan nyata di kota-kota, sebab kota-kota biasanya terbuka dalam

    menerima pengaruh-pengaruh dari luar. Hal ini sering menimbulkan pertentangan

    antara golongan satu dengan golongan lainnya. Seperti dikatakan Daniel Lemer

    dalam teori modernisasinya yang terkenal, bahwa dengan adanya urbanisasi timbul

    struktur-struktur komunikasi, yang secara psikologi individual dinamakan “empati”,

    yaitu kemampuan psikologis seseorang membayangkan dirinya dalam peranan

    sosial lain yang ada di waktu itu.15

    Kota merupakan suatu masalah tersendiri. Kota bukan merupakan, seperti

    halnya desa, suatu struktur sosial yang kurang lebih homogen, yang unsur-unsurnya

    cenderung terulang-ulang seperti suatu corak kertas hiasan dinding (yang berjumbai

    di pinggir-pinggirnya) di sekuruh pedesaan. Kota lebih merupakan suatu gabungan,

    dan hanya tersusun secara kebetulan dari struktur-struktur sosial yang terpisah-

    pisah, dan yang paling penting adalah birokrasi pemerintahan, jaringan pasar, dan

    semacam versi terbalik dari sistem desa.16 Masyarakat perkotaan yang kita ketahui

    selalu identik dengan sifat yang individual, egois, materialistis, penuh kemewahan,

    dikelilingi gedung-gedung yang menjulang tinggi, perkantoran yang mewah, dan

    pabrik-pabrik yang besar. Asumsi dasar kita tentang kota adalah tempat kesuksesan

    seseorang. Kehidupan masyarakat kota, lebih melihat kota pada dua sisi, yaitu

    15 Daniel Lemer, The Passing of Traditional Society (New York: The Free Press, 1958). 16 Clifford Geertz, The Social History of an Indonesian Town (Cambridge: Massachussets,

    1965), 24.

  • 26

    aspek fisik dan aspek mental. Pertama aspek fisik, pada aspek fisik ini lebih melihat

    pada aspek struktur sosial kota yang dapat diperinci dalam beberapa gejala sebagai

    berikut:

    a. Heterogenitas sosial. Kehidupan penduduk mendorong terjadinya

    persaingan dalam pemanfaatan ruang. Orang dalam bertindak memilih-

    milih yang paling menguntungkan bagi dirinya sehingga tercapai

    spesialisasi.

    b. Hubungan sekunder, Jika hubungan antarpenduduk di desa disebut

    primer, hubungan atarpenduduk di kota disebut sekunder. Pengenalan

    dengan orang lain serba terbatas pada bidang hidup tertentu. Hal ini

    karena tempat tinggal juga cukup terpencar dan saling mengenal hanya

    menurut perhatian antarpihak. Pengawasan sekunder. Di kota orang

    tidak memedulikan perilaku pribadi sesamanya. Meskipun ada kontrol

    sosial, sifatnya nonpribadi. Selama tidak merugikan bagi umum,

    tindakan dapat ditoleransikan.

    c. Toleransi sosial. Orang-orang kota secara fisik berdekatan, tetapi secara

    sosial berjauhan.

    d. Mobilitas sosial. Di sini yang dimaksudkan adalah perubahan status

    sosial seseorang. Orang menginginkan kenaikan dalam jenjang

    kemasyarakatan. Dalam kehidupan kota, segalanya diprofesionalkan,

  • 27

    dan melalui profesinya orang dapat naik posisinya. Selain usaha dan

    perjuangan pribadi untuk berhasil, secara kelompok seprofesi juga ada

    solidaritas kelas. Ikatan sukarela. Secara sukarela orang

    menggabungkan diri ke dalam perkumpulan yang disukainya.

    Individualisasi. Ini merupakan akibat dari sejnis atomisasi. Orang dapat

    memutuskan hal-hal secara pribadi, menentukan kariernya tanpa

    desakan orang lain. Segregasi keruangan. Akibat kompetisi ruang

    terjadi pola sosial berdasarkan persebaran tempat tinggal sekaligus

    kegiatan sosial-ekonomis. Maka terjadilah semacam pemisahan

    berdasarkan ras. Misalnya ada wilayah kaum Cina, Arab, orang patuh

    beragama (kauman) dan lainnya.

    Kedua, aspek mental lebih melihat pada aspek kejiwaan masyarakat

    kota. Adapun kejiwaan masyarakat kota dapat diperinci atas beberapa

    gejala. Atomisasi dan pembentukan massa, kepekaan terhadap

    rangsangan dan sikap masabodo, egalisasi dan sensasi, industri

    kesenangan dan pengisisan waktu luang.17

    Di samping karakteristik masyarakat urban yang telah dijelaskan di atas,

    dalam masyarakat urban beragam bentuk rumah adat yang kaya di Indonesia,

    menunjukkan hasil yang utuh dari usaha masyarakat mencakup tempat hunian bagi

    17 Daldjoeni, Seluk Beluk Masyarakat Kota (Bandung: Alumni, 1997), 51-57.

  • 28

    keluarganya. Perkembangan ini mengandung unsur tanggungjawab setiap keluarga

    mengupayakan pengadaan perumahannya sendiri, baik secara individual maupun

    kolektif. Proses perumahan dikembangkan atas dasar unit keluarga sebagai intinya,

    terintegrasi secara imbang dengan lingkungan sekitarnya. Ini adalah ciri pokok

    perkembangan rumah adat Indonesia yang sekaligus membuktikan bahwa

    perumahan berada dalam dua dominan berbeda yaitu: domein privat, yakni upaya

    merumahkan sendiri yang berlawanan dengan perumahan domein publik yang

    berupaya merumahkan warga secara formal. Pola perumahan yang diusahakan oleh

    masyarakat masih terus berlangsung, baik di kota maupun desa dalam keadaan dan

    proses yang berbeda, karena daya dukung lingkungan sudah amat terbatas dan

    kemampuan masyarakat umumnya rendah.18

    Kota adalah ruang domisili sekaligus arena sosialisasi dan praktik budaya

    para pemukimnya. Ekspresi kultural itu dapat diakomodasi secara selayaknya.

    Dinamika kehidupan masyarakat urban dalam mencari sebuah identitas baru

    sebagai eksistensi dalam sebuah kelompok atau komunitasnya tak lepas dari

    kontruksi lingkungan sosial, budaya dan tradisi. Lingkungan, bagi masyarakat urban

    mendorong untuk mengekspresikan diri dan terlibat dalam komunitas atau

    18 Lihat Freek Colombijn, Martine Barwegen, Purnawan Basundoro, Johny Alfian Khusyairi,

    (eds.), Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-Kota di Indonesia (Jakarta: Ombak, 2005), 3.

  • 29

    pengorganisasian sebuah pemukiman. Pada situasi inilah masyarakat urban akan

    menentukan identitasnya yang baru.19

    Studi-studi sosial secara definitif mengenal istilah pembedaan masyarakat

    dalam dua tipologi, yaitu masyarakat pedesaan dan perkotaan. Desa didefinisikan

    sebagai wilayah sosial dengan karakteristik khas masyarakatnya, seperti

    mengutamakan harmonisasi ketimbang konflik, mematuhi nilai tradisional, memiliki

    semangat kolektivitas, kekeluargaan, dan berbagai karakteristik sopan-santun atau

    ramah-tamah lainnya. Sedangkan kota digambarkan sebagai wilayah yang dihuni

    oleh masyarakat berkarakteristik individualis, egois, kompetitif, produktif, dan

    berbagai karakteristik manusia modern lainnya. Menilik pada tipologi tersebut,

    Durkheim menyatakan bahwa perubahan yang terjadi dalam masyarakat solidaritas

    mekanik ke masyarakat solidaritas organik.20

    Maka kedua tipologi masyarakat di atas dapat dipetakan bahwa Desa

    merupakan sebuah pengertian sosial atau konsep yang merujuk pada orang-orang

    atau sekumpulan individu, yang saling berhubungan antara satu sama lain dan

    tinggal di suatu tempat di luar daerah perkotaan. Hubungan sosial masyarakat

    pedesaan kerap didasarkan pada kekuatan ikatan tali persaudaraan, kolektifitas,

    kekeluargaan dan ikatan perasaan secara psikologis. Hubungan-hubungan sosial

    19Lebih lanjut bisa dilihat dalam karyanya Derya Oktay, “The quest for urban identity in the

    changing context of the city northern cyorus”, http://ww.webjournal.unior.it (www.elsevier.com/locate/cities), The International Journal of Urban Policy and Planning, Cities, Vol. 19, No. 4, pp. 261–271, 2002, 261.

    20Durkheim, The Division of Labour,,

    http://ww.webjournal.unior.it/http://www.elsevier.com/locate/cities

  • 30

    pedesaan mencerminkan kesatuan-kesatuan kelompok yang didasari hubungan

    kekerabatan atau garis keturunan.21

    3. Kerangka Konseptual tentang Identitas Urban

    Kota adalah produk fisik dari tautan berbagai macam jaringan yang saling

    bekerjasama, seperti jaringan ekonomi, budaya, sosial dan politik. Kota merupakan

    produk budaya yang beragam satu dengan lainnya, karena jaringan

    pembentukannya sangat beragam. Menurut Munford (1968), kota sangat spesifik

    terhadap budaya, tidak ada dua kota pun yang sama persis, meskipun memiliki latar

    belakang budaya yang serupa. Meskipun tiap kota sangat spesifik, tetapi Lynch

    percaya bahwa ada kesepakatan publik mengenai elemen-elemen yang dikenal

    pada suatu kota.22

    Identitifikasi citra kota dengan proses yang panjang dapat membentuk

    identitas baru sebuah kota. Kevin Lynch mendefinisikan identitas urban tidak dalam

    arti keserupaan suatu obyek dengan yang lain, tetapi justru mengacu kepada makna

    individualitas yang mencerminkan perbedaannya dengan obyek lain serta

    pengenalannya sebagai entitas tersendiri. Lynch menegaskan bahwa identitas kota

    adalah citra mental yang terbentuk dari ritme biologis tempat dan ruang tertentu

    21Durkheim, The Division of Labour,,, 22 Kevin Lynch , A Theory of Good City Form (M.I.T. Press, Cambridge, Massachusetts, 1981)

  • 31

    yang mencerminkan waktu (sense of time), yang ditumbuhkan dari dalam secara

    mengakar oleh sosial, ekonomi, budaya masyarakat kota itu sendiri.23

    Teori identitas urban ini dipengaruhi oleh teori yang diformulasikan Kevin

    Lynch, seorang tokoh peneliti kota. Risetnya yang cukup populer didasarkan pada

    citra mental jumlah penduduk dari kota tersebut. Dalam risetnya, ia menemukan

    bahwa betapa pentingnya citra mental karena citra jelas akan memberikan banyak

    kontribusi penting bagi masyarakatnya, seperti kemampuan untuk berorientasi

    dengan mudah dan cepat disertai perasaan nyaman, identitas yang kuat terhadap

    suatu tempat, dan keselarasan hubungan dengan tempat-tempat lain. Menurut

    Lynch, bahwa citra lingkungan merupakan proses dua arah antara pengamat

    dengan benda yang diamati, atau disebut juga sebagai kesan atau persepsi antara

    pengamat terhadap lingkungannya. “The creation of the environmental image is a

    two way process between observer and observed” Agrumentasi Lynch di atas

    menandakan bahwa dalam proses pembentukan sebuah identitas urban terbentuk

    melalui suatu pengamatan citra atas kota itu sendiri, hal ini dapat berkembang

    dengan waktu yang lama untuk menjadi sebuah identitas kolektif (masyarakat

    urban). Citra bukanlah identitas urban, melainkan sebuah identitas urban dapat

    dibentuk oleh proses pemaknaan citra kota.24

    23 Kevin Lynch, The Image of The City (M.I.T. Press, Cambridge, Massachusetts, 1960), 131. 24 Kevin Lynch, The Image of The City,,

  • 32

    Identitas sebagai seuatu ciri khas sebuah kota berarti sesuatu yang secara

    kuat menunjukkan kesamaan dan kesatuan, sehingga dapat dibedakan dari yang

    lainnya. Seperti yang dikemukakan oleh Kevin Lynch, ia beranggapan bahwa

    identitas kota adalah sesuatu hal unik yang membedakan dengan kota lainnya.

    Identitas sebuah kota memiliki peranan penting bagi masyarakat lokal maupun

    pengunjung dalam konteks berbeda, karena kota-kota secara bertahap berubah dan

    berevolusi ke dalam bentuk yang baru, dan identitas perkotaannya dibentuk melalui

    interaksi kompleks antara elemen-elemen alam, sosial, dan lingkungan yang

    terbagangun.25 Namun secara teknis, identitas perkotaan merupakan sesuatu yang

    secara tegas konstan dalam konteks perubahan tersebut. Lingkungan perkotaanpun

    harus dipertimbangkan dalam perspektif kesejarahan, tidak hanya sejarah dari

    arsitektur bangunan yang dibangun sebelumnya, melainkan keseluruhan kehidupan

    sosial ekonomi perkotaannya, dengan pertimbangan utama terhadap kehidupan

    manusiannya, bentuk bangunan dan alam.26

    Kota-kota terus berubah dan berkembang dalam bentuk baru, di mana

    identitas perkotaan diciptakan melalui interaksi yang kompleks dari unsur-unsur

    alam, sosial dan bangunan. Oleh karena itu, lingkungan perkotaan harus

    dipertimbangkan dari perspektif sejarah, bukan hanya dengan memahami

    25 Derya Oktay, “How Can Urban Context Maintain Urban Identity and Sustainability?:

    Evaluations od Taormina (Sicily) and Kyrenia” (North Cyprus). http://ww.webjournal.unior.it (www.elsevier.com/locate/cities)

    26Gede Budi Suprayoga, “Identitas Kota Sawahlunto Paska Kejayaan Pertambangan Batu Bara”, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 19 / No. 2 Agustus 2008, 2.

    http://ww.webjournal.unior.it/http://www.elsevier.com/locate/cities

  • 33

    signifikansi historis bangunan, namun melalui evaluasi perkotaan konteks lokal.

    Sehubungan dengan aktivitas manusia, bentuk bangunan dan alam. Tingkat yang

    paling dasar, kota-kota diidentifikasi dalam hal pengaturan geografis mereka;

    namun unsur-unsur yang dibangun adalah bentuk paling penting dalam

    mempengaruhi identitas kedua dengan cara yang positif dan negatif dalam waktu

    singkat. Hal ini juga penting dalam penciptaan “dalam arti tempat”, merupakan

    faktor penting guna mencapai identitas dan keberlanjutan pemukiman perkotaan

    seperti yang dinyatakan oleh banyak theoritis.27 Identitas perkotaan erat terkait

    dengan keberlanjutan perkotaan, faktor penting untuk meningkatkan kualitas

    kehidupan masyarakat urban di kota, mencakup aspek-aspek lingkungan, ekonomi

    dan sosial.

    Berdasarkan sudut demografis, kota dirumuskan sebagai pengelompokan

    orang atau penduduk dalam ukuran jumlah dan wilayah tertentu. Sebagai suatu

    prosedur yang umum, kota (urban) adalah tempat pemukiman yang mempunyai

    jumlah penduduk besar. Masyarakat perkotaan sering disebut juga urban

    community. Pengertian ini lebih ditekankan pada sifat-sifat kehidupan serta ciri-ciri

    kehidupan yang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Perhatian khusus

    masyarakat kota tidak terbatas pada aspek-aspek, seperti pakaian, makanan dan

    27 Lihat juga Derya Oktay, “How can urban context maintain urban identity and

    sustainability?: Evaluations of Taormina (Sicily) and Kyrenia (North Cyprus” (www.elsevier.com/locate/cities), The International Journal of Urban Policy and Planning, Cities, Vol. 19, No. 4, pp. 261–271, 2006, 1-4.

    http://www.elsevier.com/locate/cities

  • 34

    perumahan, tetapi lebih luas lagi.28 Dalam kajian kehidupan keberagamaan, banyak

    ahli menggunakan konsep Geertz tentang agama yang melihatnya sebagai pola

    bagi tindakan. Dalam hal ini agama merupakan pedoman yang dijadikan sebagai

    kerangka interpretasi tindakan manusia. Selain itu, agama juga merupakan pola

    dari tindakan, yaitu sesuatu yang hidup dalam diri manusia dan tampak dalam

    kehidupan kesehariannya. Di sini agama dianggap sebagai bagian dari sistem

    kebudayaan.29

    Pola bagi tindakan terkait dengan sistem nilai atau sistem evaluatif, dan

    pola dari tindakan terkait dengan sistem kognitif atau sistem pengetahuan

    manusia. Hubungan antara pola bagi dan pola dari tindakan itu terletak pada

    sistem simbol yang memungkinkan pemaknaan dilakukan.30 Maka Geertz juga

    menekankan bahwa kontruksi sosial terkait dengan sistem pengetahuan atau

    refleksi dan pengetahuan berkesadaran yang melibatkan seperangkat pengalaman

    manusia di dalam kaitannya dengan sosial kulturalnya.31 Tradisi lokal mengandung

    ambivalensi. Sebagai alat untuk menciptakan lokasi sosial dan membentuk

    solidaritas di suatu ruang yang terbatas, yang berada di atas segala perbedaan dan

    keberadaan dalam status sosial, prestise kultural, dan peluang-peluang ekonomi,

    28 Adon Nasrullah Jamaludin, Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat Kota dan

    Problematikanya (Bandung: Pustaka Setia, 2015), 35-44. 29 Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 8-9. 30Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LkiS, 2005), 1-2. 31 Lihat juga Mark R. Woodward dalam tulisannya Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus

    Kebatinan (Yogyakarta: LkiS, 2001), 366.

  • 35

    tradisi lokal memang dapat menegakkan integrasi sosial. Tetapi pada saat yang

    sama menyebabkan terciptanya batas-batas dan garis pemisah baru. 32 Solidaritas

    sosial masyarakat urban dalam merepresentasikan religositasnya dapat dielaborasi

    melalui serangkaian interaksi masyarakat dengan sistem ruang. Ruang sebagai

    kelengkapan yang terdiri dari kekuatan simbolisme dalam membangun jaringan

    bangunan terjadi dominasi dan subordinasi. Ruang juga membentuk solidaritas dan

    kerjasama antar manusia.33

    Ruang sosial memiliki keragaman objek, alam dan sosial, termasuk

    didalamnya jaringan dan jalur yang mampu memfasilitasi pertukaran suatu barang

    dan informasi. Pada prinsipnya, ruang sosial tidak selalu jaringan pertukaran barang

    saja tetapi juga relasi yang terbangun. Ruang dapat mengkontruksi masyarakat

    secara alami tanpa selalu mempengaruhi secara materialitas.34

    Social space contains a great diversity of objects, both natural and social, including the networks and pathways which facilitate the exchange of material things and information. Such 'objects' are thus not only things but also relations. As objects, they possess discernible peculiarities, contour and form. Social labour transforms them, rearranging their positions within spatia-temporal configurations without necessarily affecting their materiality, their natural state.

    32 Hans Dieter Evers dan Rudigrff, Urbanisme di Asia Tenggara; Makna dan Kekuasaan

    dalam Ruang-Ruang Sosial (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002), 168. 33 Peter Conoly (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama (Yogyakarta: LKiS, 2002), 36. 34 Henri Lefebvre, The Production of Space (Oxford, OX, UK: Cambridge, Massachusets,

    USA: Blackwell, 1991), 76-77.

  • 36

    B. Teori Hibriditas atau Liminalitas Hommi K. Bhabha

    Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan “integrasi” sebagai

    pembauran hingga menjadi kesatuan. Kata kesatuan mengisyaratkan berbagai

    macam elemen yang berbeda satu sama lain mengalami proses pembauran. Jika

    pembauran telah mencapai suatu perhimpunan, maka gejala perubahan ini dinamai

    integrasi. Dalam bahasa inggris, integrasi (integration) antara lain bermakna

    keseluruhan atau kesempurnaan.35 Homi K. Bhabha adalah seorang doktor filsafat

    dari Oxford University yang lahir dalam masyarakat Paris Bombay, India. Bhabha

    juga seorang pengajar di beberapa universitas, antara lain Princeton, Pennylvania,

    juga School of Cristism and Theory di Darmouth Coledge. Kajian pascakolonial

    Bhabha cukup dipengaruhi oleh para pemikir post-strukturalis seperti Jacques

    Derrida, Jacques Lacan, dan Michel Foucault. Bagi Bhabha antara teori dengan

    praktek tidak dapat dipilih salah satu saja untuk dikritik. Teori dan praktek berada

    bersebelahan. Teori adalah wahana ideologi dan dalam mewujudkannya, teori

    menciptakan situasi politis. Dengan menyandingkan teori dan praktek, Bhabha

    berusaha menemukan pertalian dan ketegangan antara keduanya yang melahirkan

    hibriditas. Bhabha melukiskan bagaimana budaya-budaya itu bergerak keluar masuk

    ruang ketiga dengan indahnya.36

    35 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (Jakarta: Balai Pustaka, 1998). 36 36Homy K Bhabha, The Location of Culture (London and New York: Routletge, 1994), 36.

  • 37

    Sistem budaya sebagai identitas kultural merupakan representasi

    masyarakat hibrid, dan beragam kultur membuka ruang kontruksi suatu

    kebudayaan dalam masyarakat dengan pemaknaan baru yang terus berkembang.

    Seperti kata Hommi K. Bhaba, budaya dan sistem budaya terbentuk dalam ruang

    ketiga. Independensi itu mengambil wajah dalam hibriditas. Di mana, hibriditas

    identitas memunculkan diri dalam budaya, bahasa, ras dan sebagainya. Menurut

    Benhabib (2000), budaya adalah konteks di mana kita perlu menempatkan diri,

    untuk itu hanya berdasarkan interpretasi, orientasi dan nilai-nilai yang diberikan

    oleh budaya bahwa kita dapat merumuskan identitas kita untuk mengatakan, ‘siapa

    kita’ dan ‘darimana kita berasal’.37

    Berdasarkan pandangan Bhabha, maka cultural studies memaknai identitas

    sebagai sebuah entitas yang dapat diubah menurut sejarah, waktu dan ruang

    tertentu. Identitas bukanlah sesuatu yang melekat begitu saja, tetapi merupakan

    serangkaian proses yang terus berkembang menjadi seperti yang tercitrakan.

    Mereka membuat dan mendefinisikan dirinya dalam sebuah kontruksi yang ideal

    tentang diri mereka. Sebagai konsekuensinya mereka akan tergabung dalam sebuah

    solidaritas kebersamaan atas dasar gagasan yang serupa. Dengan demikian, proses

    identifikasi seseorang dari pengaruh lngkungan sosial sehingga melahirkan sebuah

    identitas baru sangat dimungkinkan. Sebagimana Canclini yang mengintrodusir

    37 Culture is the context within which we need to situate the self, for it is only by virtue of

    the interpretations, orientations and values provided by culture that we can formulate our identities, say ‘who we are’, and ‘where we are coming from

  • 38

    kecenderungan persentuhan budaya antar kultur ini sebagai budaya hibrida atau

    hybrid culture (budaya hybrid).38

    Upaya mewujudkan identitas sosial dapat dijembatani oleh Homi K Bhabha

    dalam karyanya “The Location of Culture”, ia menyatakan bahwa keterikatan

    multikultural merupakan hasil dari kesadaran bersama atas apa yang dirasakan

    bersama oleh masyarakat tradisional yang lahir sepanjang sejarah itu terjadi.

    Bahkan suatu perbedaan dalam lintas budaya tidak bukanlah sesuatu penghalang

    atas kesedaran dimana mereka menempati ruang yang sama. Pemahaman atas

    hibriditas ini bukan sekedar nalar final atau sebuah realitas, tetapi bagaimana kita

    menuju artikulasi aktivitas manusia yang memberi nilai rasionalitas yang ia

    rasakan.39 Rumusan tentang hybrid culture bukanlah sesuatu yang baru di

    Indonesia, sebagaimana Soekarno pada pidatonya menjawab permintaan BPUPKI

    tentang dasar negara Indonesia yang segera berdiri dengan sangat sadar memilih

    pandangan yang khas dianut oleh Barat, yakni mendasarkan negara pada

    38Bagi Canclini, dijelaskan dalam bukunya Hybrid Cultures: Strategies for Entering and

    Leaving Modernity (Minneapolis London: University of Minnesota Press, 1995), xxiii. Bahwa studi tentang hibriditas telah mengubah bicara tentang identitas, budaya, perbedaan, ketidaksetaraan, multi budaya, dan tentang pasangan konseptual yang digunakan untuk mengatur konflik dalam ilmu sosial. Yakni tradisi atau modernitas, lokalitas atau global. Mengapa isu hibriditas begitu penting, bagi Canclini istilah hibriditas secara khusus untuk mengidentifikasi merupakan hasil dari karakterisasi konsekuensi sejak awal modernitas, bahasa elit dan populer pasca terjadinya ekspansi Eropa ke Amerika. Canclini berpendapat bahwa inti dari gagasan budaya hibrid adalah gagasan antropologi yang berfokus pada tradisi dan sosiologi dengan berkonsentrasi pada modernitas. Di samping itu juga studi hibriditas ini merupakan disiplin dalam mempelajari produksi ketidaksetaraan melalui segmentasi pasar tenaga kerja di mana perbedaan dalam pekerjaan, gaji, dan status beralih ke kelompok yang berada berdasarkan faktor-faktor kelas, jenis kelamin, dan ras.

    39Homy K Bhabha, The Location of Culture (London and New York: Routletge, 1994), 245-247.

  • 39

    kebangsaan, bukan pada etnis, agama, atau pandangan politik. Dengan demikian,

    identitas Indonesia akan terus berada dalam ruang tarik-ulur yang bergerak, yakni

    ruang ketiga, ruang ambang.40

    Berkembangnya perayaan ritual keagamaan yang dibingkai model

    kebudayaan lokal secara kolektif, Canclini dalam argumentasinya cukup meyakinkan,

    bahwa identias bukanlah sesuatu yang melekat begitu saja. Tetapi merupakan

    serangkaian proses yang terus menerus berkembang menjadi seperti yang

    tercitrakan (dalam hal ini simbol-simbol ritual sosial kegamaan dan kebudayaan).

    Sebagaimana Canclini yang mengintrodusir kecenderungan persentuhan budaya

    antar kultur ini sebagai hybrid culture (Canclini, 1995). Maka, ruang-ruang bersama

    dalam tradisi kultural keagamaan masyarakat urban merupakan jalan yang kuat

    untuk menjadi identitas kolektif. Tradisi ini sebagai strategi adaptasi masyarakat

    muslim dalam menghadapi dinamika zaman. Secara lebih luas, pemaknaan terhadap

    tradisi sebagai bentuk konstruksi simbol komunal yang mengikat bersama. Maka

    konstruksi dimaksudkan di atas sebagai bentuk penempelan simbol-simbol kultural

    yang kemudian menjadi identitas pribadi atau kolektif. Kontruksi kultural seperti

    yang dijelaskan Homi K. Bhaba di atas, mengembangkan hibriditas dalam wacana

    antara asli dan campur dengan konteks kekuasaan politik kultural penjajah di mana

    ia merumuskannya bahwa hibriditas merupakan produk kontruksi kultural kolonial

    40 Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed), Hermeneutika Pascakolonial (Yogyakarta:

    Kanisius, 2004), 152.

  • 40

    yang mau tetap membagi strata identitas murni asli penjajah dengan ketinggian

    kultur yang didiskriminasikan dengan kaum campuran.

    Hybridity is the sign of productivity og colonial power, its shifting forces and fixities: it is the name for the strategic reversal of the process of domination through disavowl (that is, the production of discriminatory identities that scure the pure an original identity of authority). Hybridity is the revolution of the assumption of colonial identity through the repetition of discriminatory identity effects.41

    Bhabha membangun pemikiran tentang hibriditas di atas fondasi pemikiran

    Edward Said dan Fanon. Bhabha belajar dari Said melalui karyanya yang klasik,

    Orientalisme bahwa kecenderungan studi orang Eropa terhadap Asia bersifat Eropa

    centris dan oposisi biner. Menurut Said, studi orientalisme adalah upaya untuk

    menjinakkan orang Asia dan memandang mereka sebagai subyek yang diam, di

    bawah kuasa Eropa. Hasilnya, gambaran tentang Timur adalah gambaran yang

    homogen, baku dan merendahkan.42 Dari Fanon, yang mengkaji mereka yang

    terjajah dalam buku Black Skin White Masks, Bhabha belajar bahwa dari sisi orang

    yang dijajah ada hasrat untuk menjadi sama sekaligus takut terhadap penjajah.43

    Proses elaborasi pemikiran di atas, Bhabha mengintegrasikan keduanya. Bagi

    Bhabha, relasi penjajah dan pihak terjajah bukan oposisi biner. Dalam relasi tersebut

    ada timbal balik di antara mereka, si penjajah tidak pernah bisa sepenuhnya

    41 Homi K. Bhabha, “Sign Taken for Wonders” in H.L. Gates Jr. (ed.), Chicago: Yniversity of

    Chicago Press, 1985. 42 Homy K Bhabha, The Location,, 43 Fanon, Black Skin White Masks, 1986.

  • 41

    menguasai si terjajah. Si terjajah tidak pernah sepenuhnya takluk kepada penjajah.

    Keadaan inilah yang membuka ruang negosiasi antara mereka.

    Kelompok esensialisme meyakini, identitas adalah sesuatu yang alami.

    Argumentasinya bahwa seseorang atau sekelompok orang, secara alami terlahir

    sebagai orang beretnis tertentu. Secara natral, orang Jawa misalnya, memiliki

    karakteristik fisik dan budaya tertentu, yang membedakannya dengan etnik yang

    lain. Berbeda dengan kelompok anti esensialisme, yang beranggapan bahwa

    identitas sepenuhnya dibangun secara sosial. Karena itu tidak ada yang disebut

    identitas baku. Ien Ang dalam bukunya On Not Speaking Chinese44, menjelaskan

    bahwa Hibriditas merupakan cara pandang yang berada di luar pemahaman

    essensialisme dan anti essensialisme. Hibriditas mempermasalahkan segala bentuk

    identitas yang bersifat kaku. Dalam essensialisme, kekakuan dan kebakuan itu

    adalah etnik yang alami. Dalam anti essensialisme kekakuan itu adalah pilihan bebas.

    Hibriditas mampu melampaui batas etnis, tetapi tidak menghapuskannya secara

    total. Hibriditas mengaburkan batas sekaligus mengafirmasi batas identitas dalam

    pengertian yang cair. Dengan demikian, disini hibriditas menolak pemahaman

    essensialis yang melihat identitas sebagai sesuatu yang baku, kaku, dan alami. Ia

    juga menolak pandangan anti essensialisme yang memutlakkan pilihan bebas

    manusia dalam menentukan identitasnya. Hibriditas meyakini tidak ada satu

    44 Ien Ang, On Not Speaking Chinese: Living Between Asia and the West (London:

    Routledge, 2001)

  • 42

    kategori identitas yang murni. Bahkan, Ieng Ang juga menolak pemahaman akan

    identitas yang tidak punya batas sama sekali.45

    Keberagaman kebudayaan dalam masyarakat multikultural melahirkan

    tradisi dan identitas lokal masyarakat beragama. William James mengatakan untuk

    mencapai kondisi kehidupan mereka dengan penyerahan diri dan menahan hawa

    nafsu guna memperoleh kebahagiaan yang penuh gairah, sesuai dengan kebutuhan

    mereka. Di sini pula agama menurut James telah memberikan kepada anggota-

    anggota dari setiap kelompok, itu suatu ikatan yang kuat untuk kepercayaan

    tradisional yang dihayati bersama tentang eksistensi kebudayaan mereka. 46

    Berbagai sumber, bentuk dan ekspresi suatu kebudayaan dimanapun berada

    merupakan perpaduan elemen tradisi lokal dengan keragaman budaya dan tradisi

    lokal yang lain. Pada perkembangan berikutnya perpaduan budaya yang terjadi

    bukan hanya berlangsung secara lokal atau antar etnis tetapi lebih luas lagi, bahkan

    merupakan sebuah langkah atau proses persilangan budaya universal yang

    berlangsung melalui interaksi sosial dan komunikasi budaya dengan berbagai

    bangsa dan media, diantaranya melalui medium kesenian, pergaulan sehari-hari,

    bahkan medium “tuker-tambah” budaya dengan unsur-unsurnya yang spesifik.

    (Adipurnomo, 2013:26). Proses ini menciptakan sebuah kolase atau mosaik budaya

    45 Darwin Darmawan, Identitas Hibrid Orang Cina (Yogyakarta: Gading Publishing, 2014),

    24-26. 46 Harold R. Issacs, Pemujaan Terhadap Kelompok Etnis: Kelompok dan Perubahan Politik

    (Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 1993), 198.

  • 43

    baru, antara lain perpaduan antar dua unsur budaya atau lebih, utamanya melalui

    cara-cara tradisional yang diikuti terbentuknya entitas budaya baru. Dalam kajian

    Homy K Bhabha, salah satu tokoh dalam kajian poskolonial, hibriditas merupakan

    salah satu konsep yang penting.47

    Seperti yang dikemukakan oleh Berger dan Luckmann, pergulatan yang

    terjadi dalam pembentukan identitas merupakan proses dialektika yang terjadi

    terus menerus dalam kehidupan manusia dengan lingkungan sosialnya. Dialektika

    tersebut terjadi dua arah, yaitu ke luar (antara individu dengan lingkungan

    sosialnya) dan ke dalam (antara kebutuhan individu dengan identitas yang

    terbentuk karena pengaruh lingkungan dan interaksi sosial). Sementara Burke dan

    Stets menyatakan, identitas terbentuk karena posisi interaksi dan negosiasi terus-

    menerus antara agensi atau pelaku dan struktur sosial.48

    Gagasan tentang identitas masyarakat urban telah banyak ditelitian.

    Sebagaimana hasil riset beberapa karya yang didapat penulis, setidaknya ada

    beberapa contoh hasil penelitian, diantaranya: “The quest for urban identity in the

    changing context of the city northern cyorus”, salah satu karya Derya Oktay,

    pengajar di Eastern Mediterranean University. Derya Oktay, dalam karyanya

    berupaya menjelaskan dinamika masyarakat urban dalam mencari sebuah identitas

    baru melalui sebuah komunitas. Dalam hal ini Derya menawarkan sebuah teori

    47 Homy K Bhabha, The Location of Culture (New York: Routletge, 1994), 122. 48Benny Baskara, Islam Bajo Agama Orang Laut (Banten: Javanica, 2016), 220-221.

  • 44

    identitas urban sebagai hasil studi kasus di konteks pemukiman Cipriot.49 Identitas

    masyarakat urban terus mengalami perubahan seiring perkembangan sosial

    budaya yang ada. Berbicara pada wilayah identitas kolektif, seperti Dolores Hayden

    menegaskan bahwa identitas erat dengan memori (Haydn, 1997:9). Hal itu hadir

    melalui suatu memori dan rasa antara masa lalu, sekarang dan masa depan secara

    kontinuitas. Membangun makna identitas memerlukan sebuah kontinuitas narasi.50

    Jika berbagai macam elemen yang berada satu sama lain merujuk pada

    kemajemukan sosial yang telah pula mencapai suatu kehidupan bermasyarakat,

    maka proses ini dinamai integrasi sosial. Dalam disiplin sosiologi51, integrasi sosial

    berarti proses penyesuaian unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan

    masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memiliki

    keserasian fungsi. Dengan demikian, ada dua unsur pokok integrasi sosial. Pertama,

    pembauran atau penyesuaian, sedangkan unsur kedua adalah unsur fungsional. Jika

    kemajemukan sosial gagal mencapai pembauran atau penyesuaian satu sama lain

    maka kemajemukan sosial berarti disintegrasi sosial. Dengan kata lain,

    kemajemukan gagal membentuk (disfungsional) masyarakat.52

    49Lebih lanjut bisa dilihat dalam karyanya Derya Oktay, “The quest for urban identity in the

    changing context of the city northern cyorus”, (www.elsevier.com/locate/cities), The International Journal of Urban Policy and Planning, Cities, Vol. 19, No. 4, pp. 261–271, 2002, 261.

    50 William J.V Neill, Urban Planning and Cultural Identity (New York: Routledge, 2004), 10. 51Emile Durkheim, The Division of Labour in Society (New York: The Free Press a Dvision of

    Macmillan, 1984), 158-160 52Muhammad, Semarangan Lintas,,

    http://www.elsevier.com/locate/cities

  • 45

    Integrasi sosial di atas menjadi substansi daripada proses identifikasi

    identitas masyarakat urban. Identitas bukanlah sesuatu yang alami, dapat

    dikontruksi dan tidak tunggal. Jankis mengatakan bahwa identitas dan identifikasi

    mengindikasikan bahwa keduanya memiliki jalinan yang kuat. Kontribusi teori ini

    penekannannya mengenai pentingnya identifikasi sebagai rujukan identitas, karena

    tanpa tahapan identifikasi tidak akan memahami siapa adalah siapa atau apa adalah

    apa.53

    53 Richard Jankins, Social Identity (London and New York: Routledge Taylor&Francis Group,

    2004), 1-3.