bab ii kerangka teori delegasi pengaturan kepada …

71
BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA PERATURAN GUBERNUR Pembahasan pada Bab ini diuraikan mengenai kerangka teori yang didiskripsikan mengenai teori-teori hukum, asas-asas hukum, konsep hukum, doktrin, pandangan para sarjana yang dipergunakan sebagai kajian dan pembenaran teoritik terhadap permasalahan yang akan diteliti. Kerangka teori memuat teori-teori dasar yang relevan terhadap fakta hukum dan hasil penelitian sebelumnya yang berasal dari pustaka mutahir memuat teori, proposisi, konsep yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan. 1 Teori berasal dari kata ”theoria” yang berarti ”perenungan” yang pada gilirannya berasal dari kata ”thea” dalam bahasa Yunani yan g secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut ” realitas”.Dalam literatur beberapa ahli menggunakan kata tersebut untuk menunjukkan kerangka berfikir yang tersusun secara sistematis, logis (rasional), empiris juga simbolis. 2 Fred N Kerlinger menyatakan teori adalah sperangkat konstruksi dan proposisi yang merinci hubungan antar variabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi setiap gejala. 3 Teori menurut Burhan Ashofa adalah serangkaian asusmsi, konsep, difinisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan 1 Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, h. 73. 2 H.R. Otje Salman dan Anton F Susanto, 2005, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali), Refika Aditama, Bandung, h. 21. 3 Fred N. Kerlinger, 1996, Asas-Asas Penelitian Behavioral, (Diterjemahkan oleh Landung R.Simatupang), Gajah Mada University Press, Yogyakrta, h. 14-15.

Upload: others

Post on 21-Oct-2021

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

BAB II

KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN

KEPADA PERATURAN GUBERNUR

Pembahasan pada Bab ini diuraikan mengenai kerangka teori yang didiskripsikan

mengenai teori-teori hukum, asas-asas hukum, konsep hukum, doktrin, pandangan para sarjana

yang dipergunakan sebagai kajian dan pembenaran teoritik terhadap permasalahan yang akan

diteliti. Kerangka teori memuat teori-teori dasar yang relevan terhadap fakta hukum dan hasil

penelitian sebelumnya yang berasal dari pustaka mutahir memuat teori, proposisi, konsep yang

berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan.1 Teori berasal dari kata ”theoria” yang

berarti ”perenungan” yang pada gilirannya berasal dari kata ”thea” dalam bahasa Yunani yang

secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut ”realitas”.Dalam literatur beberapa ahli

menggunakan kata tersebut untuk menunjukkan kerangka berfikir yang tersusun secara

sistematis, logis (rasional), empiris juga simbolis.2 Fred N Kerlinger menyatakan teori adalah

sperangkat konstruksi dan proposisi yang merinci hubungan antar variabel dengan tujuan

menjelaskan dan memprediksi setiap gejala.3

Teori menurut Burhan Ashofa adalah serangkaian asusmsi, konsep, difinisi dan proposisi

untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan

1 Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, h. 73.

2 H.R. Otje Salman dan Anton F Susanto, 2005, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka

Kembali), Refika Aditama, Bandung, h. 21.

3 Fred N. Kerlinger, 1996, Asas-Asas Penelitian Behavioral, (Diterjemahkan oleh Landung

R.Simatupang), Gajah Mada University Press, Yogyakrta, h. 14-15.

Page 2: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

antar konsep.4 Dalam bentuknya yang paling sederhana teori merupakan hubungan antar dua

variabel atau lebih yang telah teruji kebenarannya.5

Black Law Dictionary dikenal istilah ”theory of law yaitu the legal premise or set of

principles on which a case rest.6 dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah ”Leer” yang

berarti ajaran pokok, yaitu pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu

peristiwa atau kejadian, atau dapat pula berarti asas dan hukum umum yang menjadi dasar suatu

kesenian atau ilmu pengetahuan.7

Bardasarkan pendapat diatas maka kerangka teoritik dalam penelitian tentang Delegasi

Peraturan Perundang-undangan Kepada Peraturan Gubernur adalah Teori Negara Hukum, Asas-

Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Teori Penjenjangan Norma, Teori

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Teori Delegasi Peraturan Perundang-undangan,

Konsep Kemanfaatan dan Konsep Keadilan. Pemikiran terhadap teori tersebut dilengkapi pula

dengan pengkajian terhadap produk hukum seperti pengaturan dalam UUD NRI Tahun 1945,

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Daerah dan

Peraturan Gubernur. Kerangka teori dan kajian terhadap produk hukum berdasarkan atas teori-

teori hukum dan konsep yang mendukung dan kerangka berpikir penelitian ini duraikan sebagai

berikut :

2.1 Teori dan Konsep.

2.1.1.Teori Negara Hukum.

4 Burhan Ashofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h.19.

5 Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum , UI Pres, Jakarta, h. 126-127.

6Bryan A.Gadamer (ed), 1999, Blacks Law Dictionary, (St. Paul : West Publishing.Co.Min), h. 1517.

7 Marjane Termorshuisen, 2002, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Djambatan, Jakarta, h. 209.

Page 3: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

Pemikiran tentang negara hukum sudah ada sejak Jaman Yunani dari pemikiran Plato

yang mengatakan bahwa dalam negara ideal (politeia) penyelenggaraan negara yang baik tidak

cukup dilakukan oleh filsuf, melainkan juga harus berdasarkan pada hukum yang baik yang

disebut Nomoi.8 Pelopor Negara hukum liberal adalah Immanuel Kant yang melahirkan konsep

rechtstaats dan kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh F.J.Stahl,9 yang mengemukakan

unsur-unsur negara hukum adalah : 1) Pengakuan perlindungan HAM ; 2) Pemisahan atau

pembagian kekuasaan ; 3) Pemerintahan diselenggrakan berdasarkan undang-undang (wetmatig

bestuur); 4) Adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus melanggar

hukum oleh pemerintah.

Menurut Dicey di dalam negara dengan sistem Anglo Saxon konsep the rule of law,

unsur-unsur negara hukum adalah terdiri dari : 1) Supremasi hukum (supremacy of law); 2)

Persamaaan di hadapan hukum (equality before the law) ; dan 3) Konstitusi yang didasarkan

pada hak-hak perorangan (the constitution based on indifidual rights ).10

Urgensi dalam negara

hukum pada hakekatnya mengandung asas legalitas, asas pemisahan kekuasaan, dan kekuasaan

hakim yang merdeka yang semuanya ditujukan untuk mengendalikan negara dan pemerintah dari

kemungkinan tindakan kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan.11

Berdasarkan International Commision Of Jurist pada Konfrensi di bangkok Tahun 1965

merumuskan, ciri-ciri pemerintahan demokratis di bawah Rule Of Law sebagai berikut :

8 JH.Rapar, 1998, Filsafat Politik Plato, Rajawali Press, Jakarta, h. 90.

9 Niꞌmatul Huda, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo Persada Jakarta,h. 74.

10 Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busro, 1983, Asas-asas Hukum Tata Negara, Jakarta, Ghalia

Indonesia, h. 113-115.

11

S.W. Couwenberg, 1981, Modern Constituoneel Rechts en Emancipatue Van den Mens, Del, Ivan

Grocum, Assen, h. 41.

Page 4: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

1. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu, konstitusi

juga harus menentukan secara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-

hak yang dijamin.

2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.

3. Pemilu yang bebas.

4. kebebasan menyatakan pendapat

5. Kebebasan berserikat/ bergorganisasi dan beroposisi

6. Pendidikan kewarganegaraan.12

Negara hukum bukanlah sebuah bangunan yang sudah jadi dan tidak dapat mengalami

suatu perkembangan, namun legalitas tatanan hukum yang ada dapat terus mengalami

perkembangan hal tersebut dikemukakan oleh F. Budi Hardiman.13

Satjipto Raharjo memiliki

pemikiran yang sama dengan merujuk pada Brian Z. Tamanaha menolak bahwa konsep the rule

of law sudah final dan hanya ada satu konsep yang mutlak untuk dijadikan satu standar.

14Perkembangan mengenai negara hukum, adanya upaya untuk menghilangkan batasan

pengertian negara hukum antara Rechtsstaat dan The Rule of Law, seperti halnya berangkat dari

embrio pemikiran para penggagas negara hukum. Pentingnya pendekatan interpretasi dalam

negara hukum di lndonesia, yaitu pendekatan yang dianggap formalistis dan kurang

memperhatikan substansi keadilan. Satjipto Rahardjo, Budi Hardiman dan Marhaendra Wija

Atmaja, memaknai konsep negara hukum sebagai suatu pendekatan alternatif dan elementer

dalam melakukan pengkajian terhadap kebijakan negara yang termuat pada peraturan perundang-

12

Bangkok International Of Jurist, 1965, South East Asian And Pacific Of Jurist Conference, The Dinamic

Aspek Of The Rule Of Law in Modern Age, h. 39-50.

13

Budi Hardiman,, 2008, Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik Dalam

Teori Diskursus Jurgen Habermas, Kanisius Yogyakarta, h.111.

14

Satjipto Raharjo, 2009, Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum, Bayu Media, Malang, h. 60.

Page 5: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

undangan. Pendekatan alternatif merupakan model yang digunakan oleh Brian Z. Tamanaha dan

selanjutnya pendekatan elemen dipopulerkan oleh Adriaan Bedner.15

Brian Z. Tamanaha mencoba melakukan terobosan dengan memformulasikan sebuah

alternatif baru dalam konsep negara hukum, dimana Brian Z. Tamanaha menawarkan pemisahan

konsep The Rule of Law kedalam dua kategori dasar yaitu formal dan substantif, yang masing-

masing memiliki tiga cabang atau format yang berbeda-beda.16

Brian Z Tamanaha membagi

konsep „rule of law‟ dalam dua kategori, “formal and substantive”. Setiap kategori, yaitu “rule

of law” dalam arti formal dan “rule of law”dalam arti substantif ,17

sebagaimana dalam tabel di

bawah ini :

Tabel 2.1.

Konsep „Rule Of Law‟ dalam Dua Kategori, “Formal And Substantive”

Alternative Rule of Law Formulations

Thinner To Thicker

Formal Versions :

1.Rule by Law 2.Formal Legality 3.Democracy+

legality

- Law as

instrument of

government

action

- general,

prospective,

clear, certain

- consent

determines

content of law

Substantive Versions:

4.Individual

rights

5.Rights of dignity

and/or justice

6.Social welfare

- property,

contract,

privacy,

- autonomy

- Substantive

equality, welfare,

preservation of

community

15

Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2013, Teori Negara Hukum : Pendekatan Alternatif dan Elementer,

Makalah Diskusi internal Pada Pusat Perancangan Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar,

(Selanjutnya disebut Gede Marhaendra Wija Atmaja II), h. 1.

16

Brian Z. Tamanahan, 2004, On The Rule Of Law, History, Politics, Theory, Cambridge University Press,

United.Kingdom, h. 91.

17

Marjanne Termorshuizen-Atz, The Concept Rule Of Law, dalam JENTERA- Jurnal Hukum ; Rule Of

law, Edisi 3 – Tahun II, Nopember 2004, h.83-90.

Page 6: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

Konsep negara hukum atau “Rule of Law” itu sendiri mempunyai 6 bentuk sebagai

berikut:

1. Rule by Law (bukan rule of law), dimana hukum hanya

difungsikan sebagai“instrument of government action”. Hukum

hanya dipahami dan difungsikan sebagai alat kekuasaan belaka,

tetapi derajat kepastian dan prediktabilitasnya sangat tinggi,

serta sangat disukai oleh para penguasa sendiri, baik yang

menguasai modal maupun yang menguasai proses-proses

pengambilan keputusan politik.

2. Formal Legality, yang mencakup ciri-ciri yang bersifat (i)

prinsip prospektivitas (rule written in advance) dan tidak boleh

bersifat retroaktif, (ii) bersifat umum dalam artiberlaku untuk

semua orang, (iii) jelas (clear), (iv) public, dan (v) relative

stabil. Artinya, dalam bentuk yang „formal legality‟ itu,

diidealkan bahwa prediktabilitas hukum sangat diutamakan.

3. Democracy and Legality, demokrasi yang dinamis diimbangi

oleh hukum yang menjamin kepastian, tetapi menurut Brian Z.

Tamanaha sebagai “a procedural mode of legitimation”

demokrasi juga mengandung keterbatasan-keterbatasan yang

serupa dengan “formal legality”. Seperti dalam “formal

legality”, rezim demokrasi juga dapat menghasilkan hukum yang

buruk dan tidak adil. Karena itu, dalam suatu sistem demokrasi

yang berdasar atas hukum dalam arti formal atau rule of law

dalam arti formal sekali pun, tetap dapat juga timbul

ketidakpastian hukum. Jika nilai kepastian dan prediktabilitas

itulah yang diutamakan, maka praktek demokrasi itu dapat saja

dianggap menjadi lebih buruk dari pada rezmi otoriter yang lebih

menjamin stabilitas dan kepastian.

4. Substantive Views” yang menjamin “Individual Rights”.

5. Rights of Dignity and/or Justice

6. Social Welfare, substantive equality, welfare, preservation of

community.18

Adriaan Bedner dari Universitas Leiden juga mengembangkan kerangka kajian atau

pendekatan bagi kajian tentang negara hukum. Adriaan Bedner dalam tulisannya An Elementary

Approach to the Rule of Law menyebutkan tiga elemen yang harus diperhatikan dalam kajian

18

Victor Imanuel W Nalle, 2013, Konsep Uji Materiil ( Kajian Pembentukan dan Uji Materiil Peraturan

Kebijakan Di Indonesia), Setara Press Malang, h.13-15. Lihat juga dalam http://Meddy Pedrosa Kertapratama-

hukum.blogspot.com /2012/06/makalah-negara-hukum.html.

Page 7: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

terhadap negara hukum dengan mengklasifikasikan negara hukum dalam tiga elemen antara

lain19

:

1. Kategori pertama : Elemen procedural, yang terdiri dari : Pemerintahan dengan

hukum (rule by law), tindakan negara harus tunduk pada hukum, legalitas formal

(hukum harus jelas dan pasti muatannya, mudah diakses dan bisa diprediksi pokok

perkaranya, serta diterapkan pada semua orang) demokrasi (persetujuan menentukan

atau mempengaruhi muatan dan tindakan hukum)

2. Kategori kedua: Elemen-elemen substantive yang terdiri : dari subordinasi semua

hukum dan interpretasinya terhadap prinsip-prinsip fundarnental dari keadilan.

Perlindungan hak asasi dan kebebasan perorangan pemajuan hak asasi, social

ekonomis, perlindungan hak kelompok.

3. Kategori ketiga: Mekanisme control (lembaga-lembaga pengawal negara hukum)

terdiri dari, lembaga peradilan yang independen (terkadang diperluas menjadi

trias'politica), lembaga-lembaga lain yang memiliki tanggung jawab dalam menjaga

dan melindungi elemen-elemen negara hukum.20

Teori negara hukum digunakan untuk menyatakan bahwa Indoensia adalah negara hukum

yang menempatkan hukum sebagai acuan tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan

pemerintah.21

Delegasi Pengaturan Kepada Peraturan Gubernur mengkaji kekaburan norma

hukum dengan penerapan teori hukum Tamaha dan Adriaan Bedner, dengan menunjukkan

bahwa dalam negara hukum bukan saja menjadikan hukum sebagai instrumen pemerintah dalam

bertindak, melainkan tetap mendasarkan pada adanya faktor substansial yang mengarahkan

negara menuju negara kesejahteraan sosial dengan menempatkan kesetaraan substantif,

kesejahteraan dan pemeliharaan masyarakat sebagai indikator penentu. Formal Legality, yang

mencakup ciri-ciri yang bersifat (i) prinsip prospektivitas (rule written in advance) dan tidak

boleh bersifat retroaktif, (ii) bersifat umum dalam artiberlaku untuk semua orang, (iii) jelas

19

Yance Arizona, 2011, Negera Hukum Bernurani, Gagasan Satjipto Rahardjo Tentang Negara Hukum

Indonesia, HUMA- Jakarta, h.7. lihat juga dalam Krishna Djaya Darumurti, 2016, Diskresi Kajian Teori Hukum,

Genta Publishing, Yogyakarta, h.14.

20

Adriaan Bedner, 2011, Satjipto Rahardjo Dan Hukum Progresif Urgensi Dan Kritik, Epistema, HUMA,

Jakarta, h.139 -186.

21

Bagir Manan, 1994, Dasar-Dasar dan Sistem Ketatanegaraan Republik Indoensia Menurut UUD 1945,

Universitas Padjajaran, Bandung ( Selanjutnya disebut Bagir Manan II), h.18.

Page 8: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

(clear), (iv) public, dan (v) relative stabil. Artinya, dalam bentuk yang „formal legality‟ itu,

diidealkan bahwa prediktabilitas hukum sangat diutamakan. Dalam arti hukum dalam

pendekatan alternatif sebagai instrument pemerintahan tidak saja harus pasti (kepastian hukum)

dan dibuat secara demokratis, tapi juga harus menjamin keadilan dan kemanfaatan bagi

kesejahteraan rakyat.

2.1.2. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

J.J.H. Bruggink memberikan batasan tentang asas hukum yaitu sejenis meta-kaidah

berkenaan dengan kaidah-kaidah perilaku. Asas hukum berfungsi sebagai pondasi dari sistem

hukum positif dan sebagai batu uji kritis terhadap sistem hukum positif.22

Sarjana lain yaitu Paul

Scolten memberikan difinisi tentang asas hukum adalah pokok-pokok pikiran yang terdapat

didalam dan dibelakang sistem hukum (norma).

A.Hamid.S.Attamimi membagi asas pembentukan perundang-undangan atas dua macam

yaitu asas formal dan asas materiil :

1. Asas formal terdiri dari : asas tujuan yang jelas, asas perlunya pengaturan, asas organ

atau lembaga yang tepat, asas materi muatan yang tepat, asas dapat dilaksanakan, asas

dapat dikenali ; dan

2. Asas materiil yaitu asas sesuai dengan cita hukum dan fundamental negara, asas sesuai

dengan hukum dasar negara, asas sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum, asas

sesuai denagan prinsip-prinsip pemerintahan yang berdasarkan konstitusi.23

Kategori asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut dari A.Hamid

S.Attamimi tersebut bertitik tolak pada pendapat Van der Vlies. Kategori dari Van der Vlies

sebagaimana diterangkan oleh A.Hamid S.Attamimi meliputi asas-asas formal dan asas-asas

material :

22

J.J.H. Bruggink, Op.cit, h. 123,132,133.

23

A.Hamid.S.Attamimi I, Op.cit, h. 346.

Page 9: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

1. Asas-asas formal yang meliputi : asas tujuan yang jelas, asas organ / lembaga yang

tepat, asas perlunya pengaturan, asas dapat dileksanakan dan asas consensus.

2. Asas material yang meliputi : asas tentang terminologi dan sistematika yang benar,

asas tentang dapat dikenali, asas perlakuan yang sama dalam hukum, asas kepastian

hukum, asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.24

Pertama, asas tujuan yang jelas. Asas ini mencakup tiga hal yaitu mengenai ketepatan

letak peraturan perundang-undangan dalam kerangka kebijakan umum pemerintahan, tujuan

khusus peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk dan tujuan dari bagian-bagian

peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk tersebut. Kedua, asas organ / lembaga yang

tepat. Latar belakang asas ini memberikan penegasan tentang perlunya kejelasan kewengan

organ/lembaga yang menetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Menurut

A.Hamid S.Attamimi, di Indonesia mengenai organ/lembaga yang tepat itu perlu dikaitkan

dengan materi muatan peraturan perundang-undangan itulah yang menyatu dengan kewenangan

masing-masing organ/lembaga yang membentuk jenis peraturan perundang-undangan yang

bersangkutan. Kewenangan masing-masing organ/lembaga tersebut menentukan materi muatan

peraturan perundang-undangan yang dibentuknya. Ketiga, asas perlunya pengaturan. Asas ini

tumbuh karena selalu untuk menyelesaikan suatu masalah pemerintahan selain dengan

membentuk peraturan perundang-undangan.Keempat, asas dapat dilaksanakan. Asas ini

mencakup dalam penegakan peraturan perundang-undangan. Kelima, asas konsensus. Asas ini

adalah menjadi dasar kesepakatan dari rakyat untuk melaksanakan kewajiban dan menanggung

akibat yang ditimbulkan peraturan perundang-undangan bersangkutan. Berdasarkan Pasal 5

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas

pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang meliputi:

a. kejelasan tujuan;

24

A.Hamid.S.Attamimi I, Op.cit, h. 330-343.

Page 10: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;

c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;

d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. kejelasan rumusan; dan

g.keterbukaan.

Ketentuan dalam Pasal 6 mengatur :

(1) Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:

a. pengayoman;

b. kemanusiaan;

c. kebangsaan;

d. kekeluargaan;

e. kenusantaraan;

f. bhinneka tunggal ika;

g. keadilan;

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

(2) Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan

Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum

Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.

Pembentukan peraturan gubernur harus didasarkan pada asas tujuan yang jelas, asas

organ/lembaga yang tepat, asas perlunya pengaturan adalah sangat relevan untuk mengkaji

delegasi pengaturan kepada peraturan gubernur. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-

undangan, terutama asas kelembagaan dan organ pembentuk yang tepat sangat penting dijadikan

dasar untuk mengkaji dalam pembentukan peraturan gubernur dengan penjabaran dalam konsep

delegasi.

2.1.3 Teori Penjenjangan Norma

Bruggink dalam bukunya Rechts Reflecties yang diterjemahkan kedalam bahasa

indonesia menjadi refleksi tentang hukum oleh Arief Sidharta, mendefinisikan teori hukum

sebagai “suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem

Page 11: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum dan sistem tersebut untuk sebagian

yang penting dipositifkan.”25

Menurut Bruggink teori hukum memiliki suatu pengertian ganda,

yaitu teori hukum sebagai produk atau hasil aktivitas dan teori hukum sebagai suatu proses atau

aktivitas. Teori hukum sebagai produk, berkaitan dengan keseluruhan hasil pernyataan yang

saling berkaitan sebagai suatu produk, hasil kegiatan teoritik bidang hukum. Pemahaman terkait

dengan proses, maka perhatiannya diarahkan kepada kegiatan penelitian teoritik bidang hukum

dan tidak pada hasil-hasil kegiatan.

Teori Hans Kelsen yang telah dikenal dalam ilmu hukum tersebut, seperti antara lain : (1)

Teori tentang Reine Rechchtslehre; (2) Teori tentang Grundnorm; dan (3) Teori tentang

Stuffenbau des Rechts. Penelitian dalam penulisan desertasi ini adalah teori tentang hierarki

norma hukum (Stufenbau Theory) dengan didukung dengan norma dasar (grundnorm).

Selanjutnya disebutkan Grundnorm voraussetzt, das heibt : “wie es dem subjektiven Sinn des

Verfassunggebenden Willensaktes, den Vorschriften des Verfassunggebers, entspricht.” oleh

Max Knight diterjemahkan menjadi :

“The basic norm that one ought to behave as the constitution prescribes, that is one

ought to behave in accordance with the subjective meaning of the constitution-creating

act of will-according to the prescriptions of the authority creating the constitution.”

(Norma dasar yang seseorang harus lakukan seperti yang dinyatakan oleh konstitusi

adalah seseorang harus bertindak berdasarkan makna subjektif dari tindakan

pembentukan konstitusi yang tertuang dalam pernyataan/preskrepsi otoritas pembentukan

konstitusi). 26

Teori stufenbau dikemukakan oleh Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa hierarkhi

norma hukum dan rantai validitas hubungan norma-norma hukum merupakan hubungan atas dan

25

Bruggink, Op.cit, h. 172.

26

Hans Kelsen, 1970, The Pure Theory of Law, (Transleted by Max Knight), Los Angeles : University of

California Press, h. 202

Page 12: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

bawahan atau pertingkatan, ada norma hukum yang lebih tinggi dan ada norma hukum yang

lebih rendah, sebagaimana diungkap Hans Kelsen.

Tata hukum, terutama tata hukum yang dipersonifikasikan dalam bentuk negara,

bukanlah sistem norma-norma satu sama lain dikoordinasikan semata, yang berdiri

sejajar atau sederajat, melainkan suatu tata urutan norma-norma dari tingkatan-tingkatan

berbeda. Kesatuan norma ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang

satu yakni norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi dan

bahwa regresus ini ( rangkaian proses pembentukan hukum) diakhiri oleh suatu norma

dasar tertinggi, yang karena menjadi dasar tertinggi dari validitas keseluruhan tata hukum

membentuk kesatuan tata hukum ini. 27

Berdasarkan pendapat Hans Kelsen sebagaimana dikemukakan di atas, maka Maria

Farida Soeprapto, menjelaskan pula bahwa :

Norma-norma yang ada dan berlaku mempunyai kaitan antara norma yang satu dengan

norma yang lainnya. Hal tersebut disebabkan karena norma yang terendah mempunyai

daya laku dan bersumber pada norma yang lebih tinggi dan norma yang lebih tinggi

mempunyai daya laku dan bersumber pada norma yang paling tinggi dan pada norma

yang paling tinggi itu tidak dapat ditelusuri lagi asal dan sumbernya oleh karena telah

ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat.28

Disisi lain Adolf Merkl menyatakan, norma juga memiliki dua wajah (das doppelte rechtsantlitz)

dalam arti norma hukum keatas bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya tetapi ke

bawah menjadi sumber bagi peraturan yang ada di bawahnya.29

Hans Nawiasky, salah seorang

murid Hans Kelsen mengembangkan teori gurunya tentang jenjang norma dalam kaitannya

dengan suatu negara. Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan

berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara juga berkelompok-kelompok dan

pengelompokkan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri dari empat kelompok besar yaitu :

27

Hans Kelsen, 1995, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu hukum

Empirik-Deskriptif, Alih Bahasa Soemardi, Rimbi Press (Selanjutnya disebut Hans Kelsen I), h. 126.

28

Maria Farida Indrati Soeprapto, 2004, Ilmu Perundang-undangan, Dasar-Dasar Pembentukannya,

Kanisius, Yogyakarta,( Selanjutnya disebut Maria Farida Indrati Soeprapto I), h. 9.

29

Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-undangan I, Jenis, Fungsi dan Materi Muatan,

Kanisius, Yogyakarta ( Selanjutnya disebut Maria Farida Indrati Soeprapto II), h.41-42.

Page 13: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

Kelompok I : Staatfundamentalnorm( Norma fundamental Negara)

Kelompok II : Staatgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara)

Kelompok III : Formell Gesetz ( Undang-undang formal )

Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung ( Aturan pelaksana & Aturan

Otomum).30

Kelompok norma hukum yang terakhir adalah peraturan pelaksanaan (Verordnung) dan

peraturan otonom (Autonome Satzung). Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom ini

merupakan peraturan-peraturan yang terletak di bawah undang-undang yang berfungsi

menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang. Peraturan pelaksanaan

bersumber dari kewenangan delegasi sedangkan peraturan otonom bersumber pada kewenangan

atribusi.

Berdasarkan teori stufenbau dalam kaitannya dengan penelitian ini, teori stufenbau

tersebut digunakan untuk melakukan analisis terhadap delegasi pengaturan kepada peraturan

gubernur dilihat dari hierarki peraturan perundang-undangan dan dari jenjang norma hukum.

Delegasi kewenangan pembentukan peraturan gubernur menempatkan norma hukum harus

bersumber pada peraturan daerah dan atas kuasa peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi.

Jhon Locke berpendapat peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga yang

berwenang dapat memberikan kebaikan kepada masyarakat atau dalam peraturan perundang-

undangan memuat unsur-unsur kepentingan umum.31

Pembentukan peraturan perundang-

undangan merupakan bagian dari ilmu perundang-undangan. Pembentukan peraturan perundang-

30

Hans Nawiasky, 1948, Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,

Einsieich/Zurich/Koln:Benziger.cet.2, h.31. 31

Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem

Presidensial Indoonesia, Rajawali Pres, Jakarta, h. 6 dalam Bayu Dwi Anggono, 2014, Perkembangan Pembentukan

Undang-Undang Di Indonesia, Konpress, h. 23.

Page 14: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

undangan menurut Burkhardt Krems, sebagaimana dikutip Maria Farida Indrati Soeprapto32

menyatakan bahwa Ilmu Pengetahuan perundang-undangan (Gesetzgebungs-wissenschaft)

merupakan ilmu yang interdisipliner yang berhubungan dengan ilmu politik dan sosiologi yang

secara garis besar dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian besar, yaitu :

a. Teori Perundang-undangan (Geetzgebungstheorie), yang berorientasi pada mencari

kejelasan dan kejernihan makna atau pengertian-pengertian yang bersifat kognitif.

b. Ilmu Perundang-undangan (Gesetzgebungslehre), yang berorientasi pada melakukan

perbuatan dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan yang bersifat

normatif. Selanjutnya menurut Krems33

, substansi ilmu perundang-undangan

(Gesezgebungslehre) dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) bagian, yaitu :

1. Proses Perundang-undangan (Gesetzgebungsverfahren);

2. Metode Perundang-undangan (Gesetzgebungs-methode); dan

3. Teknik Perundang-undangan (Gesetzgebungstechnik).

Perbedaan teori perundang-undangan dan ilmu perundang-undangan dapat dicermati dari

orientasi, substansi dan karakter, sebagaimana di dalam tabel di bawah ini :

Tabel 2.2.

Perbedaan Gezetgebungstheorie dan Gezetgebunglehre.

Gezetgebungswissenschaft

(Ilmu perundang-undangan)

Orientasi Subtansi/ Materi Karakter /Sifat

Gezetgebungstheorie

(Teori Perundang-undangan)

Menjelaskan

pemahaman

yang bersifat

dasar

Pemahaman

tentang peraturan

perundang-

undangan,

pembentukan,

Kognitif

(Berorientasi pada

usaha menjelaskan

pemahaman yang

bersifat dasar antara

32

Maria Farida Indrati Soeprapto I, Op.cit, h. 9; A.Hamid S Attamimi, 1987, Teori Perundang-undangan

dan Kepentingan Kognitifnya Bagi Pemahaman Sistem Perundang-undangan Indonesia, Makalah dalam Diskusi

Panel tentang Masalah Dalam perundang-undangan dan pemecahannya, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, h.

3.

33

A.Hamid.S. Attamimi I, Op.cit, h. 300.

Page 15: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

fungsi dan

sebagainya.

lain ppemhaman

tentang undang-

undang,

pembentukan

peraturan perundang-

undang, fungsi

peraturan perundang-

undangan

Gezetgebunglehre

(Ilmu Perundang-undangan)

Melakukan

perbuatan

pelaksanaan (ke

arah praktik)

Proses, metode

dan teknik

pembentukan

peraturan

perundang-

undangan

Normatif(berorientasi

kepada melakukan

perbuatan)

Pembentukan peraturan perundang-undangan oleh Burkhardt Krems disebut dengan ”staatsliche

rechtssetzung”, menyangkut:

1. isi peraturan (Inhalt der Regelung).

2. bentuk dan susunan peraturan (Form de Regeleung)

3. metode pembentukan peraturan (Methode der Ausarbeitung der

Regelung)

4. prosedur dan proses pembentukan peraturan (Verfahren de Ausarbeitung der

Regelung)34

Apabila menggunakan pemikiran Burkhardt Krems ini sebagai pendekatan, maka perlu

ditindaklanjuti mengenai perihal isi, bentuk dan susunan peraturan, metode pembentukan

peraturan, serta prosedur dan proses pembentukan peraturan ketika mendeskripsikan mengenai

”pembentukan peraturan perundang-undangan”. Perihal ”isi” identik dengan istilah ”materi

muatan”. Materi muatan menekankan pada isi dari ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hans Nawiasky, salah satu murid Hans Kelsen mengembangkan teori gurunya tentang

teori jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negera. Hans Nawisky juga berpendapat

bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu

juga berkelompok-kelompok dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara terdiri atas 4

(empat) kelompok besar antara lain :

34

A.Hamid.S.Attamimi I, Op.cit, h. 300.

Page 16: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

1. Kelompok I : Staatsfundamentalnorms (Norma fundamental negara),

2. Kelompok II : Staatsgrundgesetz (aturan dasar/pokok negara),

3. Kelompok III : Formell Gesetz (undang-undang formal) ; dan

4. Verordnung & Autonoe Satzung (Aturan pelaksana dan Aturan otonom).35

Perihal metode pembentukan peraturan (Methode der Ausarbeitung der Regelung)

terdapat beberapa metode salah satunya adalah ROCCIPI. Pendekatan ROCCIPI merupakan

akronim dari: Rule, Opportunity, Capacity, Comunication, Interest, Process, Ideology.

Pendekatan ini merupakan metode pemecahan masalah dalam merancang peraturan perundang-

undangan yang baik. Fungsi ROCCIPI dapat dipahami dari perspektif normatif dan perspektif

empiris, dengan pendekatan lain :

1. Rule (Peraturan).

Berkaitan dengan Rule (Peraturan) dapat diteliti antara lain : 1) Susunan kata dari

peraturan kurang jelas atau rancu; 2) Peraturan mungkin memberi peluang perilaku

masalah; 3) Tidak menangani penyebab-penyebab dari perilaku bermasalah; 4)

Memberi peluang pelaksanaan yang tidak transparan, tidak bertanggung jawab, dan

tidak partisipatif; dan 5) Memberikan kewenangan yang tidak perlu kepada pejabat.

2. Opportunity (Kesempatan).

Berkaitan dengan Opportunity (Kesempatan) dapat diteliti antara lain : 1) Apakah

lingkungan memungkinkan mereka berperilaku sebagaimana diperintahkan undang-

undang atau tidak? 2) Apakah lingkungan membuat perilaku yang sesuai tidak

mungkin terjadi. ?

3. Capacity (Kemampuan).

35

Tanto Lailam,2017, Teori& Hukum Perundang-undangan, Pustaka Pelajar Yogyakarta, h.26

Page 17: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

Berkaitan dengan dapat Capacity (Kemampuan) diteliti antara lain : 1) Apakah para

pelaku peran memiliki kemampuan berperilaku sebagaimana ditentukan oleh

peraturan yang ada ? 2) Berperilaku sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang

yang ada; 3) Penerapan dalam prakteknya, kesempatan dan kemampuan saling

bertumpang tindih.; 4) Kategori-kategori ini berhasil dalam tujuannya apabila berhasil

merangsang para pembuat rancangan undang-undang untuk mengidentifikasikan

penyebab dari perilaku bermasalah yang harus diubah oleh rancangan mereka.

4. Communication (Komunikasi).

Berkaitan dengan Communication (Komunikasi) dapat diteliti misalnya ketidaktahuan

seorang pelaku peran tentang undang-undang mungkin dapat menjelaskan mengapa

dia berperilaku tidak sesuai.Apakah pihak yang berwenang telah mengambil langkah-

langkah yang memadai untuk mengomunikasikan peraturan-peraturan yang ada

kepada para pihak yang dituju?.

5. Interest (Kepentingan),

Berkaitan dengan Interest (Kepentingan) dapat diteliti apakah ada kepentingan

material atau non material (sosial) yang mempengaruhi pemegang peran dalam

bertindak sesuai atau tidak sesuai dengan aturan yang ada.?

6. Process (Proses).

Berkaitan dengan Process (Proses) dapat diteliti kriteria dan prosedur apakah dengan

proses yang bagaimana-para pelaku peran memutuskan untuk mematuhi undang-

undang atau tidak?. Biasanya, apabila sekelompok pelaku peran terdiri dari

perorangan, kategori “proses” menghasilkan beberapa hipotesa yang berguna untuk

Page 18: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

menjelaskan perilaku mereka. Orang-orang biasanya memutuskan sendiri apakah

akan mematuhi peraturan atau tidak.

7. Ideology (Idiologi). Apakah nilai-nilai, kebiasaan dan adat-istiadat yang ada cukup

mempengaruhi pemegang peran untuk bertindak sesuai atau bertentangan dengan

aturan yang ada.36

Berkaitan dengan delegasi pengaturan kepada peraturan gubernur tidak semuan akronim

dalam pendekatan ROCCIPI yaitu Rule, Opportunity, Capacity, Comunication, Interest,

Process, Ideology. Penerapan dalam delegasi pengaturan yang paling diutamakan adalah Rule

kemudian dikuti komponen yang lain sesuai dengan materi muatan yang akan didelegasikan.

Menurut A.Hamid.S.Attamimi, peraturan perundang-undangan (wettelijke regels) secara

harfiah dapat diartikan peraturan yang berkaitan dengan undang-undang baik peraturan itu

berupa undang-undang sendiri maupun peraturan lebih rendah.37

TJ Buys mengartikan peraturan

perunsang-undangan adalah peraturan yang mengikat secara umum (algemeen bindende

voorschriften). Pendapat tersebut oleh JHA Logemann ditambahkan dengan kata-kata ”naar

butien werkende voorschriften”, sehingga menururtnya peraturan perundang-undangan adalah

peraturan-peraturan yang mengikat secara umum dan berdaya laku keluar (algemeen bindende en

naar buiten werkende voorschriften).38

Pembentukan produk hukum atau law forming (bahasa inggris) atau rechtsvorming

(bahasa Belanda) adalah pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai peraturan tertulis

yang mengikat umum. Peraturan perundang-undangan disini dimaksudkan peraturan yang

36

Ann Seidman, Op.cit, h.117-120.

37

A.Hamid.S.Attamimi, 1993, Hukum Tentang Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Kebijakan,

PidatoPurna Bakti Guru Besar Tetap Universitas Indoensia, (Selanjutnya disebut A.Hamid.S.Attamimi II), h.5.

38

Ammiroeddin Syarif, Op.cit, h. 32-33.

Page 19: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

dibentuk berdasarkan wewenang legislasi yang bersifat atribusi atau berdasarkan yang bersifat

delegasi. Wewenang regulasi dalam peraturan perundanng-undangan menurut doktrin hukum

disebut produk delegasi perundang-undangan atau delegated legislation yang dalam bahasa

Belanda disebut delegatie van wetgeving. Pembentukan peraturan perundang-undangan pada

hakekatnya ialah pembentukan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan yang bersifat

umum. Norma hukum berlaku keluar berarti berlaku baik bagi jajaran pemerintahan maupun

bagi rakyat.39

Menurut A.Hamid.S.Attamimi dalam kaitannya dengan pembentukan norma dalam

peraturan perundang-undangan mengandung 3 (tiga) unsur sebagai berikut :

1. norma hukum ( rechtsnirmen);

2. berlaku ke luar ( naar buiten werken); dan

3. berlaku keluar dalam arti luas (leemeenheid in ruinezin).40

Norma dalam peraturan perundang-undangan mengandung sifat antara lain : 1) perintah

(gebod); 2) laranan (verbod); 3) pengizinan (toestemming); 4) pembebasan (vrijstelling). Kriteria

yang lazim digunakan adalah dari subyek dan obyek. Dari segi subyek ditunjukkan dengan

melihat norma hukum dari segi alamat (addressat) atau untuk siapa norma hukum itu ditujukan

atau diperuntukkan. Apabila suatu norma hukum yang ditujukan adalah untuk orang banyak

(addressat umum) dan tidak tertentu disebut dengan norma hukum umum. Norma hukum yang

ditujukan untuk seseorang atau beberapa orang disebut norma hukum individual. Dari segi obyek

dalam arti hal yang diatur atau perbuatan tingkah lakunya yang diatur hal-hal yang tertentu

disebut norma hukum kongkrit sedangkan norma hukum mengenai hal-hal yang tidak tertentu

disebut norma hukum abstrak. Dari sifat-sifat norma hukum yang umum-individual dan norma

39

A.Hamid.S.Attamimi II, Op.cit, h. 315.

40

A.Hamid.S.Attamimi I, Op.cit, h. 314.

Page 20: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

hukum yang abstrak-konkret, terdapat empat kombinasi yakni : norma hukum umum-abstrak,

norma hukum umum-konkrit, norma hukum individual-abstrak dan norma hukum individual-

konkrit.

Dari empat macam kombinasi norma dengan sifat-sifatnya yang umum-individual dan

abstrak-kongkrit peraturan perundang-undangan seyogyanya mengandung norma hukum yang

umum-abstrak atau sekurang-kurangnya umum-kongkrit. Norma lainnya yaitu yang individual

abstrak dan lebih-lebih lagi individual kongkrit lebih mendekati penetapan (beschiking) daripada

peraturan (regeling).

Keberlakuan suatu norma ditentukan oleh hubungan norma-norma hukum atas dan

bawahan atau pertingkatan, norma hukum yang lebih tinggi dan norma hukum yang lebih rendah

sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen :

Kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang satu-

yakni norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi, dan

regressus (rangkaian proses pembentukan hukum ) ini diakhiri oleh suatu norma dasar

tertinggi dari validitas keseluruhan tatanan hukum, membentuk suatu kesatuan tatanan

hukum ini.41

Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis juga

berkelompok-kelompok. Bila kelompok-kelompok tersebut dalam struktur tata hukum Indonesia

adalah :

1. Staatfundamentalnorm : Pancasila (Pembukaan UUD 1945) ;

2. Staatsgrundgezet : Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR;

3. Formell gezets: Undang-Undang ;

4. Verordnung en autonome satzung : Secara hirarkhis mulai dari Peraturan Pemerintah,

Gubernur dan Peraturan walikota / Bupati, hingga Peraturan Kepala Desa.42

41

Hans Kelsen, 2006, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Terjemahan dari Hans Kelsen General

Theory of Law and State ( New York ; Russel and Russel, 1971), Penerbit Nusamedia & penerbit Nuansa, Bandung

(Selanjutnya disebut Hans Kelsen II), h. 179.

42

Maria Farida Indrati Soeprapto I, Op.cit, h. 45-56.

Page 21: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

Dengan mengutip Hans Nawiasky dan Carl Schmitt disebutkan bahwa melihat dari wujud norma

hukum, norma yang paling abstrak adalah Staatfundamentalnorm 43

. Norma yang lebih kongkrit

adalah norma hukum yang lebih rendah lagi adalah Formell gezets karena sudah dapat

dilengkapi ketentuan mengenai sanksi-sanksi bagi pelanggarnya. Jenis terakhir Verordnung en

autonome satzung berupa peraturan pelaksanaan atau peraturan otonomi yang bersifat kongkrit.

Apabila menggunakan pemikiran Burkhardt Krems ini sebagai pendekatan, maka perlu

ditindaklanjuti mengenai perihal isi, bentuk dan susunan peraturan, metode pembentukan

peraturan, serta prosedur dan proses pembentukan peraturan ketika mendeskripsikan mengenai

”pembentukan peraturan perundang-undangan”. Perihal ”isi” identik dengan istilah ”materi

muatan”. Materi muatan menekankan pada isi dari ketentuan peraturan perundang-undangan44

.

Pengertian pembentukan peraturan perundang-undangan dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 1

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,

yang menentukan pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan

perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan,

pengesahan atau penetapan dan pengundangan.

Pemahaman secara otentik tentang pembentukan peraturan perundang-undangan

berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur bahwa pembentukan peraturan

perundang-undangan mengandung unsur-unsur pengertian antara lain :

1. Prosess pembuatan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan bersifat umum ;

2. Dilakukan oleh atau pejabat yang berwenang ; dan

43

Darji Darmodiharja, 2004, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum

Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 224. 44

A.Hamid.S.Attamimi I, Op.cit, h. 318-319.

Page 22: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

3. Pada dasarnya dimulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahaan atau

penetapan dan pengundangan.

Ketentuan pengaturan secara otentik terkait dengan Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan mengalami perubahan dari ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Perbedaan tersebut

nampak dalam tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaiman adalam tabel di

bawah ini :

Tabel 2.3.

Perbedaan Pengertian Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2004

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

adalah proses pembuatan Peraturan

Perundang- undangan yang pada dasarnya

dimulai dari

1. perencanaan;

2. persiapan;

3. teknik penyusunan;

4. perumusan;

5. pembahasan;

6. pengesaha;,

7. pengundangan, dan

penyebarluasan

pembentukan peraturan perundang-

undangan adalah pembuatan peraturan

perundang-undangan yang mencakup

tahapan

1. perencanaan;

2. penyusunan;

3. pembahasan;

4. pengesahan atau penetapan;

dan

5. pengundangan.

Perbedaan pengaturan terkait pembentukan peraturan perundang-undangan nampak pada

:

1. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 mengatur norma

tentang persiapan dan perumusan. Norma persiapan dan perumusan nampak tidak

dirumuskan kembali dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, namun perumusan norma

Page 23: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

persiapan dan perumusan dimasukkan pada tahap penyusunan yaitu dalam Bab V

Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

2. Perumusan norma teknik penyusunan dalam Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak

dimuat lagi dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, namun dalam Bab VI Undang-Undang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur tentang teknik penyusunan

peraturan perundang-undangan.

3. Adanya perumusan norma pengesahan atau penetapan dalam Pasal 1 angka 1

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan. Perumusan norma penngesahan tersebut dijabarkan di dalam batang tubuh

yaitu dalam Bab VII tentang Pembahasan dan Pengesahan Rancangan Undang-

Undang. Dalam Bab tersebut dijtunjukkan bahwa pengesahan ditujukan kepada

Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.

Perumusan norma penetapan mengandung makna ditujukan bagi peraturan

perundang-undangan di bawah Undang-Undang.

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-undangan (Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan) norma tentang persipan

dan perumusan dimasukkan dalam tahap perencanaan. Berdasarkan naskah akademik dijelaskan

bahwa tahapan penyusunan terdapat beberapa kegiatan termasuk di dalamnya tahap persiapan

dan tahap perumusan, hal tersebut sebagaimana tampak dalam kutipan di bawah ini.

6.Penyusunan Peraturan Perundang-undangan

Tahap kedua dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah tahap

penyusunan. Dalam tahap penyusunan ini terdapat beberapa kegiatan penting yang

diatur dalam RUU ini, yaitu penyusunan Naskah Akademik. Naskah Akademik

Page 24: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

memuat pemikiran-pemikiran akademik mengenai substansi dari peraturan perundang-

undangan yang dirumuskan. Naskah Akademik sangat membantu Anggota Dewan

atau siapa pun yang terlibat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan

tersebut, karena semua data, informasi dan pemikiran akademik yang terkait dengan

substansi terkumpulkan dalam dokumen Naskah Akademik ini.45

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-undangan (Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan) juga menyebutkan bahwa

ketentuan dalam Pasal 1 dirubah. Perubahan yang dimaksud adalah perubahaan makna

pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor

10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Perubahaan makna

tersebut ditunjukkan dengan perubahan norma hukum dalam merumuskan pengertian dari

pembentukan peraturan perundangan pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang

mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan

pengundangan.

Terkait dengan pembentukan peraturan perundang-undangan Bagir Manan juga

memberikan pemahaman bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan terdapat

dua tahap antara lain ;

1. Tahap Penyusunan Naskah Akademik

Pada tahap ini dilakukan penelitian ilmiah terkait dengan dasar-dasar filosofis,

sosiologis dan yuridis,

2. Tahap Perancangan

Pada tahap ini mencakup aspek procedural dan penulisan rancangan dalam hal ini

aspek procedural terkait dengan prakarsa, pembentukan panitia antar departemen dan

lain sebagainya. Terkait dengan penulisan rancangan adalah menerjemahkan gagasan,

naskah akademik atau bahan-bahan lain ke dalam bahasa dan struktur yang

normatif.46

Pengaturan dalam Pasal 1 angka 19 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun

2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah mengatur bahwa produk hukum daerah

45

DPR-RI, 2010, Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-undangan, Badan Legislasi Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, h. 66. 46

Bagir Manan I, Op.cit, h. 18-19.

Page 25: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

adalah produk hukum berbentuk peraturan meliputi perda atau nama lainnya, perkada, PB KDH,

peraturan DPRD dan berbentuk keputusan meliputi keputusan kepala daerah, keputusan DPRD,

keputusan pimpinan DPRD dan keputusan badan kehormatan DPRD. Peraturan perundang-

undangan daerah diartikan sebagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh

pemerintah daerah atau salah satu unsur pemerintah daerah yang berwenang membuat peraturan

perundang-undangan daerah. Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015

tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah mengatur bahwa produk hukum daerah berbentuk

peraturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a terdiri atas :

a. perda (Peraturan Daerah);

b. perkada (Peraturan Kepala Daerah);

c. PB KDH (Peraturan Bersama Kepala Daerah) ; dan

d. peraturan DPRD.

Perlu juga dicermati tidak semua peraturan perundang-perundangan dalam hierarkhi maupun di

luar hierarkhi melalui tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau

penetapan, dan pengundangan karena tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan

menyesuaikan dengan jenis dan fungsi peraturan perundang-undangan. Begitu juga dalam

kaitannya dengan pembentukan Peraturan Gubernur apabila dilihat dari pengertian pembentukan

peraturan perundang-undangan tidak melalui seluruh tahapan yang diatur dalam Pasal 1 angka 1

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Tidak dipenuhinya seluruh tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau

penetapan, dan pengundangan didasarkan pada bentuk dan jenis peraturan perundang-undangan.

2.1.4 Teori Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Page 26: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

Perkembangan pemikiran tentang peraturan perundang-undangan dimulai ada pada jaman

Yunani kuno, melalui pemikiran para filsuf antara lain Plato dalam bukunya berjudul Laws yang

melakukan perubahan pemikiran terhadap apa yang telah dipikirkan semula dalam karyanya

Politea.47

Sebelumnya ia menganggap bahwa cukup memberikan keleluasan/kebebasan kepada

seorang filsuf yang menjadi raja dalam memimpin negara, karena raja itu telah dianggap

memahami hakekat tujuan dari negara. Pada akhirnya, pemikiran itu beralih pada ide tidak bisa

penyelenggaraan negara dijalankan oleh raja-raja berlatar belakang filsuf untuk melaksanakan

semua kewenangan tanpa peraturan-peraturan tertulis. Kemudian, pendapat inilah yang

memunculkan pandangan bahwa keadilan itu tidak bisa hanya didapatkan dari pikiran-pikiran

melainkan harus dituangkan dalam peraturan tertulis. Plato mengatakan, hukum adalah pikiran

yang masuk akal (reason thought, logismos) yang dirumuskan dalam keputusan negara. Ia

menolak anggapan bahwa otoritas dari hukum semata-mata bertumpu pada kemauan dari

kekuatan yang memerintah (governing power). Uraian pemikiran Plato ini memberikan

gambaran bahwa hukum itu tidak boleh hanya sekedar kemauan penguasa.

Istilah peraturan perundang-undangan dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah

wettelijke regels atau wettelijke regeling, walaupun demikian istilah tersebut tidak mutlak

dipakai secara konsisten karena dalam konteks tertentu lebih tepat dipergunakan istilah

perundang-undangan dan dalam konteks lain dipergunakan istilah peraturan perundang-

undangan. Peristilahan terkait dengan peraturan perundang-undangan dapat juga berarti proses

dan produk. Penggunaan istilah peraturan perundang-undangan lebih berkaitan atau relevan

dengan pembicaraan mengenai jenis atau bentuk peraturan, pada bagian lain lebih tepat

dipergunakan perundang-undangan misalnya dalam istilah Ilmu Perundang-undangan, Teori

47

Max Boli Sabon, 1994, Ilmu Negara Panduan Mahasiswa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.40.

Page 27: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

Perundang-undangan dan Dasar-Dasar Perundang-undangan.48

Pemahaman tersebut juga

berlaku terkait dengan peraturan perundang-undangan secara keseluruhan termasuk didalamnya

peraturan daerah.

Kepustakaan Belanda dikenal pemahaman tentang wet yang formal dan yang meterial

(het formele en het materiele wetsbegrip). Perbedaan dari kedua pemahaman tersebut bersumber

pada siapa yang bertugas sebagai pembentuk wet de wetgever. Menurut Wirjono Projodikoro

pengertian undang-undang adalah suatu peraturan hukum yang bersifat istimewa.49

Sebagai suatu

peraturan hukum, maka isi dari undang-undang adalah untuk mengatur berbagai kepentingan

dalam masyarakat...dst, kemudian ia mengemukakan : ”undang-undang dalam arti formil ialah

segala aturan yang terbentuk secara persetujuan antara pemerintah (presiden) dan dewan

perwakilan rakyat dengan tidak memperdulikan isi dari peraturan itu”.50

Berdasarkan uraian tersebut menururt A.Hamid S.Attamimi, ada tiga hal yang dapat

dicermati antara lain : Pertama, ia mengikuti negara-negara Jerman dan Belanda yang

mengadakan pembedaan antara undang-undang dalam arti formal atau wet in formele zin dan

undang-undang dalam arti material atau wet in materiele zin yang menurut A.Hamid S.Attamimi

selain tidak perlu juga menimbulkan kerancuan. Kedua, ia mendifinisikan undang-undang

dengan peraturan hukum. Ketiga, ia merumuskan pelaksanaan kekuasaan pembentukan undang-

undang sebagai persetujuan antara pemerintah (presiden) dan DPR. Terhadap kerancuan

pendapat Wirjono Projodikoro yang pertama yakni bahwa di Indonesia juga ada undang-undang

dalam arti formal dan undang-undang dalam arti material A.Hamid S.Attamimi menanggapi

bahwa istilah wet in formele zin atau formele wet dan wet in materele zin atau materiele wet di

48

Rosjidi Ranggawidjaja, Op.cit , h.17.

49

Wirjono Projodikoro, 1977, Azas-azas Hukum Tata Negara, Dian Rakjat, Jakarta, h. 71-72.

50

A.Hamid.S.Attamimi I, Op.cit, h. 159-160.

Page 28: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

Jerman Gesets in formellen sinne atau formell Gesets dan Gesetz in materiellen Sinne atau

materiell Gestz sudah lama berakar dalam masyarakat. Yang pertama berarti keputusan dalam

bentuk wet (besluit in wetsvorm) yang ditetapkan oleh pemerintah (regering) keputusan dan

lembaga yang disebut staten general. Sedangkan yang kedua berarti peraturan hukum yang

berlaku umum dan mengikat rakyat, biasanya disertai dengan sanksi yang dibuat oleh lembaga-

lembaga tertentu dan melelui prosedur tertentu pula.51

Permasalahan jika undang-undang

diartikan pada semua aturan hukum yang dibentuk oleh semua tingkat lembaga akan

memperoleh nama undang-undang dalam arti material. Hal tersebut adalah tidak benar dan

sebaiknya digunakan istilah lain misalnya peraturan perundang-undangan sehingga menimbulkan

kerancuan istilah dalam bahasa Indonesia undang-undang dalam arti formal dan undang-undang

dalam arti material yang menimbulkan kerancuan seperti pendapat Wirjono Prodjodikoro di atas.

Menurut A.Hamid.S.Attamimi tidak tepat apabila kata-kata wet in formale zin

diterjemahkan undang-undang dalam arti formal ataupun kata-kata wet in material zin dengan

undang-undang dalam arti material, sebab kata undang-undang dalam bahasa Indonesia tidak

dapat dilepaskan kaitannya dengan dari konteks pengertian ketatanegaraan Indonesia menurut

UUD NRI 1945. Apabila dilepaskan dari konteks pengertian tersebut maka akan timbul

kerancuan mengenai pemahamannya. Berikut diuraikan undang-undang dalam pengertian teknis

ketatanegaraan Indonesia adalah produk hukum yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan

bersama Presiden. Wet in materiele zin memang memang dapat dipersamakan dengan undang-

undang, karena secara formal wet merupakan hasil bentukan pembentukan wet yang di negara

Belanda terdiri dari Pemerintan (regering) dan Staten General bersama-sama, sedangkan

undang-undang di negara Indonesia dibentuk oleh DPR dengan persetujuan Presiden. Wet di

negeri Belanda memiliki arti lain ia berisi peraturan tetapi tidak selalu merupakan hasil bentukan

51

A.Hamid.S.Attamimi I, Op.cit, h. 161.

Page 29: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

Regering dan Staten General bersama-sama melainkan dapat juga produk pembentuk peraturan

(regelvelver) yang lebih rendah seperti Raja, Menteri, Provinsi, Kotamadya dan lainnya. Agar

tidak terjadi kerancuan A.Hamid.S.Attamimi menyarankan agar kata-kata wet in formele zin

dterjemahkan dengan undang-undang sedang wet in materiele zin dengan peraturan perundang-

undangan.52

Berdasarkan uraian A.Hamid.S.Attamimi tersebut dua hal yang dapat dicermati yaitu :

1. pengertian peraturan perundang-undangan sebagai terjemahan wet in materiele zin

atau materiele wet adalah peraturan hukum yang berlaku umum dan mengikat rakyat

biasanya disertai sanksi yang dibuat oleh lembaga-lembaga tertentu dan menurut

prosedur tertentu pula.

2. keberatan A.Hamid.S.Attamimi atas terjemahan wet in materiele zin menjadi

undang-undang dalam arti material karena wet in materiele zin di negeri Belanda

memiliki arti yang khusus yakni meski berisi peraturan tetapi tidak selalu merupakan

hasil bentukan Regering dan Staten General bersama-sama, melainkan dapat juga

merupakan produk pembentuk peraturan (regelgever) yang lebih rendah yang lebih

rendah seperti Raja, Menteri, Provinsi, Kotamadya dan lainnya. Hal yang sama terjadi

juga di Indonesia makna undang-undang dalam arti material tiak selalu peraturan

hasil bentukan DPR dengan persetujuan presiden, melainkan dapat juga produk

presiden (tanpa persetujuan DPR), Provinsi dan Kabupaten/Kota. Oleh karena itu

tidak ada alasan menolak alih bahasa wet in materiele zin menjadi undang-undang

dalam arti materiel, sebagaimana lazim digunakan kepustakaan hukum.53

52

A.Hamid.S.Attamimi I, h.199-200. 53

Terkait dengan istilah undang-undang dalam arti materiil secara otentik digunakan istilah peraturan

perundang-undangan sebagaimana dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Page 30: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

Berpedoman pada P.J.P. Tak, Bagir Manan mengartikan undang-undang dalam arti

materiil adalah setiap keputusan tertulis yang dituangkan oleh pejabat yang berwenang yang

berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum. Inilah yang dimaksud

dengan peraturan perundang-undangan. Dari uraian ini lanjut Bagir Manan tidaklah begitu salah

kalau orang awam mengatakan bahwa setiap aturan aturan tertulis yang dibuat atau dikeluarkan

pejabat yang berwenang adalah undang-undang. Hanya undang-undang disini dalam arti meterial

bukan dalam arti formal.54

Pengertian peraturan perundang-undangan adalah semua aturan hukum yang dibentuk

oleh semua tingkat lembaga dalam bentuk tertentu dengan prosedur tertentu, biasanya disertai

sanksi dan berlaku umum serta mengikat rakyat. Berdasarkan dari pengertian tersebut

menggunakan unsur-unsur sebagai berikut :

1. peraturan hukum;

2. yang dibuat oleh lembaga-lembaga yang bersumber pada kekuasaan legislatif

(berdasar kewenangan atribusi ataupun kewenangan delegasi dari undang-undang);

3. yang berlaku umum dan mengikat rakyat;

4. biasanya disertai sanksi; dan

5. menurut prosedur tertentu pula.

Menurut Bagir Manan pengertian peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut :

1. Setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan jabatan yang

berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat umum.

2. Merupakan aturan-aturan tingkah laku yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai hak,

kewajiban, fungsi status atau suatu tatanan

Usaha Negara diubah dengan Undang-Undang No 9 Tahun 2000. Lihat pula dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan.

54

Bagir Manan I, Op.cit, h.3.

Page 31: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

3. Merupakan peraturan yang mempunyai ciri-ciri umum-abstrak atau abstrak-umum,

artinya tidak mengatur atau tidak ditujukan pada obyek peristiwa atau gejala konkret

tertentu.

4. Dengan mengambil pemahaman dalam kepustkaan belanda, peraturan perundang-

undangan lazim disebut dengan wet in materiele zin.55

Pemahaman tentang peraturan perundang-undangan menurut PJP Tak dalam bukunya

Rechtsvorming In Nederlands mengartikan peraturan perundang-undangan adalah setiap

keputusan tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku

yang bersifat dan mengikat secara umum.56

Disisi lain Bagir Manan dan Kuntana Magnar

memberikan pengertian peraturan perundang-undangan adalah setiap putusan tertulis yang

dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan oleh lembaga dan atau pejabat yang mempunyai atau

menjalankan fungsi legislatif sesuai dengan cara yang berlaku.57

Pendapat tersebut oleh JHA Logemann ditambahkan dengan kata-kata naar butien

werkende voorschriften58

sehingga menurutnya peraturan perundang-undangan adalah

peraturan-peraturan yang mengikat secara umum dan berdaya laku keluar (algemeen bindende en

naar buiten werkende voorschriften). Pemahaman tersebut menunjukkan bahwa peraturan

perundang-undangan dibentuk tidak hanya mengikat bagi pembentuknya. Pendapat terkait

dengan pengertian peraturan perundang-undangan menurut TJ Buys mengartikan peraturan

perundang-undangan adalah peraturan yang mengikat secara umum (algemeen bindende

voorschriften) dalam arti mengikat setiap subyek hukum yang diatur dalam peraturan tersebut.

55

Bagir Manan, 1994, Ketentuan-Ketentuan tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Dalam

Pembangunan Hukum Nasonal , LPND, Jakarta ( Selanjutnya disebut Bagir Manan III), h. 1-3.

56

PJP Tak dalam Bagir Manan I, Op.cit, h. 2-3.

57

Bagir Manan & Kuntana Magnar, 1987, Peranan Peraturan Perundang-undangan Dalam Pembinaan

Hukum Nasional, Armico, Bandung (Selanjutnya disebut Bagir Manan IV), h.3.

58

Ammiroeddin Syarif, 1987, Peraturan Perundang-undangan : Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya,

Bina Aksara, Jakarta. h. 32-33.

Page 32: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

Berdasarkan pada pendapat A.Hamid.S.Attamimi, Bagir Manan, TJ Buys dan Logeman

dapat disimpulkan peraturan perundang-undangan adalah semua aturan hukum yang dibentuk

oleh semua tingkat lembaga yang berwenang dalam bentuk tertentu dengan prosedur tertentu dan

biasanya disertai sanksi dan berlaku umum.

DWP Ruiter menyatakan peraturan perundang-undangan mengandung tiga unsur antara

lain :

1) Norma hukum (rechtsnorm),

2) norma berlaku keluar

3) norma bersifat umum dalam arti luas.59

Norma hukum sifat norma hukum dapat berupa perintah (gebod), larangan (verbod), pengizinn

(toestemming) dan pembebasan (vrijstelling). Norma berlaku keluar berarti norma ditujukan

kepada rakyat maupun pemerintah. Norma bersifat umum dalam arti luas, berdasarkan pada

adressat (alamat) yang dituju norma dibedakan atas norma hukum umum (ditujukan kepada

setiap orang) dan norma hukum individual (ditujukan kepada orang tertentu). Jika dilihat dari hal

yang diatur norma dibedakan atas norma yang abstrak (abstract) untuk peristiwa tertentu dan

yang kongket (concreet) untuk peristiwa yang tidak tertentu. Menurut Algra & Duyyendijk

beberapa kelebihan dari perundang-undangan dibandingkan dengan norma lain sebagai berikut :

1. Tingkat predikbilitas yang besar. Hal ini berhubungan dengan sifat prosfektif dari

perundang-undangan, yaitu yang pengaturannya ditunjukkan ke masa depan, oleh

karena itu pula ia harus dapat memenuhi syarat agar orang-orang mengetahui apa atau

tingkah laku apa yang diharapkan dari mereka pada waktu yang akan datang dan

bukan yang sudah lewat. Dengan demikian peraturan perundag-undangan senantiasa

dituntut untuk memberitahu secara pasti terlebih dahulu hal-hal yang diharapkan

untuk dilakukan atau tidak dilakukan oleh anggota masyarakat. Asas-asas hukum,

seperti “ asas tidak berlaku surut” memberikan jaminan, bahwa kelebihan yang

demikian itu dapat dilaksanakan secara seksama.

2. Kecuali kepastian yang lebih mengarah kepada bentuk formal diatas, perundang-

undangan juga memberikan kepastian mengenai nilai yang dipertaruhkan. Sekali

59

Maria Farida Indrati Soeprapto II, h.35-36.

Page 33: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

suatu peraturan dibuat, maka menjadi pasti pulalh nilai yang hendak dilindungi oleh

peraturan tersebut. Oleh karena itu orang tidak perlu lagi memperdebatkan apakah

nilai itu bisa diterima atau tidak.60

Menurut Buys undang-undang dalam arti meteriil adalah :

setiap keputusan pemerintah (para penguasa overheid) yang menurut isinya(atau dengan

kata lain : menurut materi(=isi)-nya), mengikat langsung terus setiap penduduk (suatu

daerah). Anggapan tersebut dikenal dengan undang-undang dalam arti meteriil menurut

Buys begrip wet in materrele zin volgen.61

Bilamana suatu keputusan pemerintah dalam bentuk peraturan perundang-undangan

dapat dilihat dari isi keputusan yang bersangkutan, apabila keputusan itu mengikat langsung

secara umum kepada semua penduduk maka keputusan tersebut dalam bentuk peraturan

perundang-undangan.

Karakter mengikat secara umum merupakan suatu kebalikan dari karakter mengikat

secara kongkrit, mengikat umum dapat juga dimaknai dari isi atau materi yang bermakna

umum.62

Seturut dengan pandangan tersebut R. Bohtlink juga memiliki pandangan yang sama

terkait dengan norma hukum beraku secara umum.Norma-norma hukum berlaku umum menururt

F.R. Bohtlink mengandung beberapa konsekuensi antara lain :

a. ”umum”itu dapat berhubungan dengan lingkup ruang berlakunya (ruimtelijk

geldingsgebeid ruimtegebied) dalam arti berlaku dimana-mana;

b. “umum” itu dapat berhubungan dengan lingkup waktu (tijdsgebeid) dalam arti

berlaku terus menerus tanpa maksud terlebih dahulu akan mengubah atau

menariknya;

c. “umum” itu berhubungan dengan subyek hukum yang terkena norma hukum tersebut

yakni tidak boleh bersifat individual karena kebenaran demikian juga UU berlaku

untuk semua orang;

61 E. Utrecht I, Op.cit, h.90-91.

62

NE.Algra, Van Duyvendijk, JCT Simorangkair & Boerhanoedin Soetan Batoeh, 1983, Mula Hukum

Beberapa Bab Mengenai Hukum dan Ilmu Hukum Untuk Pendidikan Hukum Dalam Pengantar Ilmu

Hukum,Binacipta, Jakarta, h. 28-29.

Page 34: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

d. “umum” itu akhirnya berhubungan dengan fakta hukum (rechtsfeit) dari hukum

tersebut harus merupakan fakta yang selalu ada dimana-mana dapat terulang.63

Pandangan lain terkait mengikat secara umum suatu peraturan perundang-undangan

menurut Van der Vlies karakter mengikat secara umum antara lain :

1. bersifat umum menurut tempat, sifat umum diartikan untuk menentukan wilayah

hukum dari keberlakuan suatu peraturan perundang-undangan.

2. keumuman menurut waktu, perundang-undangan tidak dapat ditentukan batas waktu

minimum bertait dengan berkunya, segera setelah suatu peraturan perundang-

undangan mulai berjalan otomatis berlaku. Tidak ada kriterium seperti menurut

tempat.

3. peristiwa hukum yang dapat diulang, syarat dari suatu peraturan perundang-undangan

berisikan suatu peristiwa hukum yang dapat diulang mengandung pengertian bahwa

tidak boleh ditujukan pada suatu peristiwa kongkrit.

4. keumuman menurut subyek, yang terdiri dari :

a. tidak untuk semua subyek, yang berarti hanya mereka yang menjadi sasaran

pengaturan oleh pembentuk peraturan perundang-undangan

b. kasus antara, yang berarti peraturan perundang-undangan yang ditujukan kepada

kelompok yang dapat ditentukan dan peraturan yang ditujukan kepada pengurus.

c. peraturan umum dengan pengecualian, peraturan umum yang ditujukan kepada

subyek hukum selalu berkaitan dengan suatu tindakan tertentu. Tindakan tertentu

iut dapat berupa norma perintah ataupun norma larangan.64

Suatu peraturan perundang-undangan memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

63

F.R. Bohtlink dalam Padmo Wahjono 1984, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Gahalia

Indonesia, Jakarta ( Selanjutnya disebut Padmo Wahyono I), h. 135. 64

Van der Vlies, Op.cit, h.151-165.

Page 35: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

1. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari

sifat-sifat yang khusus dan terbatas.

2. Bersifat universal, yang diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan

datang yang belum jelas bentuk kongkritnya. Oleh karena itu ia tidak dapat

dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja.

3. Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Adalah

lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan klausul yang memuat kemungkinan

dilakukan peninjauan kembali.

Pemahaman terkait dengan karakter mengikat secara umum suatu peraturan perundang-undangan

selalu nampak dari tahap pembentukan hingga tahap pengujian peraturan perundang-undangan.

Berkaitan dengan tahap pengujian juga nampak dalam beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi

antara lain :

Tabel 2.4.

Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Membahas Tentang Karakter Peraturan Peraturan

Perundang-Undangan Sebagai Norma Umum.

No Putusan Perihal 1 Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor Perkara Nomor

003/PUU-III/2005 tentang

permohonan Hak Uji Materiil

dan Formil atas Undang-

undang Nomor 19 Tahun 2004

tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Nomor 1 Tahun

2004 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 41

Tahun 1999 tentang

Kehutananan menjadi

Undang-Undang terhadap

Undang-Undang Dasar 1945

Dalam perkara pengujian tersebut para pemohomon

mendalilkan bahwa materi muatan norma yang

terkandung dalam UU No. 19 Tahun 2004 tidak

layak sebagai suatu undang-undang, karena materi

muatan undang-undang a quo bukan merupakan

norma yang bersifat umum abstrak, tetapi hanya

merupakan norma yang bersifat individual konkrit

dan eenmalig berupa penetapan (beschikking)

perizinan. Dalam pertimbangan Mahkamah

menyatakan:

bahwa materi muatan Pasal 83A merupakan norma

umum abstrak yang termasuk norma ketentuan

peralihan, bukan norma individual konkrit berupa

penetapan sebagaimana didalilkan oleh para

Pemohon. Demikian pula Pasal 83B, materi

muatannya merupakan norma umum abstrak yang

termasuk dalam ketentuan penutup yang sifatnya

menjalankan (eksekutif), yaitu penunjukan pejabat

tertentu, dalam hal ini Presiden, yang diberi

kewenangan untuk memberikan izin dengan

Keputusan Presiden.

Page 36: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

2. Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor Perkara Nomor

50/PUU-VIII/2010

Pengujian Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 2004 tentang

Sistem Jaminan Sosial

Nasional terhadap Undang-

Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun

1945Nomor 40 Tahun 2004

tentang Sistem Jaminan Sosial

Nasional terhadap Undang-

Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun

1945

Pemohon berpendapat bahwa :

Pasal 17 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU SJSN

bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H

ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28I ayat (2), ayat (4),

ayat (5) serta Pasal 34 UUD Tahun 1945. Pendapat

Mahkamah dalam putusan provisi Menurut

Mahkamah, permohonan putusan provisi para

Pemohon tersebut tidak

tepat menurut hukum karena tidak terkait langsung

dengan pokok permohonan a quo dengan alasan:

Pengujian Undang-Undang (judicial review),

putusan Mahkamah hanya menguji norma umum

abstrak, tidak mengadili kasus konkret seperti

menghentikan sementara proses pembahasan

rancangan Undang- Undang Badan Penyelenggara

Jaminan Sosial oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

3. Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor Perkara Nomor

57/PUU-XII/2014 tentang

permohonan Hak Uji Materiil

dan Formil atas Undang-

undang Nomor 36 Tahun 2008

tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1993 tentang

Perubahan keempat atas

Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1993 tentang Pajak

Penghasilan terhadap Undang-

Undang Dasar Negara

Republik Indoensia Tahun

1945

Pemohon berpendapat adanya ketidak adilan dalam

“akar rumputnya” yaitu pada pasal 4 ayat (2) huruf e

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang sangat

berpotensi multi tafsir dari norma dalam Pasal

tersebut dan pengurangan hak konstitusional

pemohon. Dalam keterangan presiden menyatakan :

Lembaga pembentuk peraturan perundang-

undangan, memiliki kewenangan untuk membentuk

peraturan yang mengikat secara umum jika

diperintahkan atau diberikan kewenangan untuk itu.

Norma umum dibentuk oleh organ legislative dan

lembaga lainnya sepanjang mengatur masyarakat

secara umum.

Dari ketiga putusan mahkamah konstitusi tersebut menunjukkan bahwa adanya

pemahaman tentang karakter mengikat secara umum dapat dilihat dari subyek dan obyek yang

terkena pengaturan dalam peraturan perundang-undangan.

Pengertian peraturan perundang-undangan secara otentik dapat ditemukan dalam

Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pengaturan dalam Pasal 1 angka

2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,

menentukan bahwa peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma

hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau

Page 37: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-

undangan. Unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian sebagai berikut :

1) peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum;

2) dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang ; dan

3) melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.

Pengaturan secara normatif terkait dengan peraturan perundang-undangan dalam

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Peraturan Perundang-

undangan dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan. Perkembangan pengaturan tentang peraturan perundang-

undangan nampak dalam tabel di bawah ini :

Tabel 2.5.

Perbedaan Pengertian Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 1 angka 2

Undang-Undang Nomor

10 Tahun 2004

Pasal 1 angka 2

Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011

Peraturan Peraturan Perundang-undangan

adalah :

a. peraturan tertulis;

b. yang dibentuk oleh lembaga

negara atau pejabat yang

berwenang; dan

c. mengikat secara umum

Peraturan Peraturan Perundang-undangan

adalah

a. peraturan tertulis;

b. yang memuat norma hukum;

c. yang mengikat secara umum;

d. dibentuk atau ditetapkan oleh

lembaga negara atau pejabat yang

berwenang ; dan

e. melalui prosedur yang ditetapkan

dalam Peraturan Perundang-

undangan

Berdasarkan tabel nampak adanya perkembangan pemahaman terkait dengan pengertian

peraturan perundang-undangan. Perkembangan tersebut nampak pada perumusan norma

“melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan”. Perumusan norma

tersebut menunjukkan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan berorientasi pada

melakukan pelaksanaan dan terbagi atas proses pembentukan peraturan perundang-undangan,

Page 38: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

metode pembentukan peraturan perundang-undangan teknik penyusunan peraturan perundang-

undangan dan prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Pemaknaan

terkait dengan “dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang”

dapat dikaji dengan melihat pengaturan dalam UUD NRI 1945. Norma “dibentuk atau

ditetapkan” memiliki karakter norma yang berbeda hal, tersebut nampak dalam UUD NRI 1945

antara lain:

1. Pasal 5 ayat (2) mengatur Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk

menjalankan Undang-undang sebagaimana mestinya;

2. Pasal 18 ayat (6) mengatur Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah

dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

3. Pasal 20 ayat (1) mengatur Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan

membentuk Undang-undang.

Berdasarkan ketentuan dalam angka 1 dan angka 2 menunjukkan “menetapkan” hanya

digunakan untuk pembentukan peraturan perundang-undangan yang berada di bawah dari

undang-undang dilihat dari hierarkhi peraturan perundang-undangan. Ketentuan dalam angka 3

menunjukkan bahwa perumusan “membentuk” hanya ditujukan untuk pembentukan undang-

undang.

Pengertian peraturan perundang-undangan juga dapat ditemukan dalam Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah dengan

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, diuraikan bahwa yang dimaksud

dengan :

Page 39: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

peraturan perundang-undangan dalam undang-undang ini adalah semua peraturan yang

bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama

pemerintah baik tingkat pusat maupun tingkat daerah, serta semua Keputusan Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang juga

bersifat mengikat secara umum.

Pengertian tersebut menujukkan bahwa yang diakui sebagai peraturan perundang-

undangan mencakup dan mengandung unsur-unsur :

1. a. Peraturan yang bersifat mengikat secara umum ;

b. Dibentuk oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik tingkat pusat

maupun tingkat daerah ; serta

2. a. Keputusan yang bersifat mengikat secara umum ;

b. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di tingkat pusat

maupun di daerah.

Ulasan Indroharto menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara, pengertian peraturan perundang-undangan itu mencakup

pengertian undang-undang dalam arti materiil serta KTUN yang mengandung pengaturan yang

bersifat umum. Produk dari original legislator maupun hasil dari delegated legislator serta

KTUN merupakan pengaturan yang bersifat umum.65

Unsur yang termuat dalam angka 1.b dan

2.b tersebut menunjukkan unsur wewenang. Dikaitkan dengan pemahaman teoritik tentang

sumber wewenang pembentukan peraturan perundang-undangan, maka dalam angka 1 huruf b

memuat atribusi wewenang dan dalam angka 2 huruf b memuat delegasi wewenang.

Pemahaman tersebut dapat digunakan untuk memaknai pengertian peraturan perundang-

65

Indroharto, 1996, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I (

Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara ), Sinar Harapan Jakarta h. 104-105. Lihat juga Pasal 100

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur :

Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan

pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-

Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang- Undang ini.

Page 40: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

undangan menurut Pasal 1 angka Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, yakni:

a. peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum;

b. dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang ; dan

c. melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan

Pemaknaan peraturan perundang-undangan dalam kaitannya penyusunan peraturan

gubernur nampak dalam ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) diatur

sebagai berikut :

(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7

ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,

Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank

Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk

dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui

keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan

oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan

kewenangan.

Berdasarkan ketentuan pada ayat (2) menunjukkan bahwa jenis peraturan perundang-

undangan pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat

sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk

berdasarkan kewenangan.

Landasan yuridis dan dikaitkan dengan pemahaman secara teoritik bahwa peraturan

gubernur merupakan peraturan perundang-undangan. Karakter peraturan gubernur sebagai

peraturan perundang-undangan nampak dari karakter peraturan gubernur merupakan :

1. peraturan tertulis;

Page 41: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

2. mengikat secara umum (karena ditujukan kepada umum) artinya tidak ditujukan

kepada sesorang atau individu tertentu (tidak bersifat individual)

3. ditetapkan oleh pejabat yang berwenang (yang dimaksud dengan pejabat yang

berwenang adalah pejabat yang ditetapkan berdasarkan ketentuan yang berlaku)

berdasarkan delegasi.

4. berisi aturan pola tingkah laku dalam arti peraturan gubernur adalah peraturan

perundang-undangan yang bersifat mengatur (regulerend) dan tidak bersifat sekali

jalan (einmahlig).

A. Hamid S Attamimi membedakan antara teori perundang-undangan dan ilmu

perundang-undangan.66

Ilmu pengetahuan perundang-undangan dalam arti luas

(gezetgebungswissenschaft) terdiri atas dua cabang yaitu gezetgebungstheorie (teori perundang-

undangan) dan gezetgebunglehre (ilmu perundang-undangan). Gezetgebungstheorie adalah

menjelaskan dan menjernihkan pemahaman dan bersifat kognitif. Gezetgebunglehre berorientasi

pada perbuatan / tindakan yaitu membentuk peraturan perundang-undangan dan bersifat

normative yang meliputi proses, metode dan teknik.67

Ilmu pengetahuan perundang-undangan

dalam arti luas (gezetgebungswissenschaft) memerlukan bantuan ilmu-ilmu lain seperti ilmu

politik dan sosiologi hukum sehingga dengan pengkajian secara interdisipliner diharapkan

peraturan perundang-undangan yang dibentuk memperoleh penerimaan dan pengakuan

masyarakat.68

66

Rosjidi Ranggawidjaja, Op.cit, h. 14-15.

67

Ibid, h.15.

68

I Nyoman Suyatna, Op.cit, h.165.

Page 42: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

Istilah Tata Pengaturan pertama kali digunakan oleh A. Hamid S. Attamimi di dalam

pidato purna bakti yang berjudul Hukum Tentang Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan

Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan). Tata berarti aturan, peraturan, susunan, cara, sistem.69

Pengaturan berarti proses, cara, perbuatan mengatur. Maka dapat disimpulkan pengertian tata

pengaturan adalah suatu aturan atau kaidah tentang perbuatan mengatur yang pengaturannya

(regeling) dapat dijumpai pada peraturan perundang-undangan (algemeen verbindende

voorschriften) peraturan intern yang berlaku ke dalam (interne regelingen) dan peraturan

kebijakan (beleidregel).70

Dalam kaitannya dengan penelitian tentang delegasi pengaturan

kepada peraturan gubernur menunjukkan karakter peraturan gubernur sebagai peraturan

perundang-undangan yang dibentuk berdasarkan kewenangan perundang-undangan baik bersifat

atribusi maupun delegasi, suatu peraturan perundang-undangan merupakan peraturan yang

mengikat umum (algemeen bindende voorschriften).

Pendekatan ROCCIPI (Rule, Oportunity, Capacity, Comication, Interest, Proses,

Ideology) yang merupakan metodologi pemecahan masalah dalam merancang peraturan

perundang-undangan yang baik.71

Fungsi ROCCIPI yaitu dari perspektif normatif dan perspektif

empiris. Dari perspektif normatif ROCCIPI berfungsi sebagai jastifikasi teoritik-konseptual,

jastifikasi konstitusional, jastifikasi yuridis, pendekatan adalah deduktif. Jastifikasi teoritik

konseptual artinya sebelum rancangan peratuan perundang-undangan dilakukan terlebih dahulu

dilakukan penelusuran teori-teori, asas-asas hukum umum yang dipergunakan sebagai dasar

pembenar. Jastifikasi konstitusional yuridis dalam kaitannya dengan fungsi ROCCIPI yaitu

69

WJS. Poerwadarminta, 2003, Kamus Hukum Bahasan Indonesia, Edisi III, Balai Pustaka Jakarta, h.

1024.

70

A.Hamid.S.Attamimi II, Op.cit, h. 5.

71

Ann Seidman, et.all, 2001, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Masyarakat Yang

Demokratis, Terjemahan ELIPS Jakarta, h. 135.

Page 43: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

untuk menghindari kemungkinan terjadi kekaburan norma hukum antara peraturan perundang-

undangan yang dibuat dengan UUD NRI 1945 maupun secara horizontal dengan peraturan

perundang-undangan lainnya.72

Peraturan perundang-undangan mengandung tiga unsur yaitu : norma hukum

(rechtsnormen),berlaku keluar ( neer buiten werken); bersifat umum dalam arti luas

(algemeinhead in ruinezin). Pembentukan peraturan perundang-undangan pada hakekatnya ialah

norma-norma hukum yang berlaku keluar dan yang bersifat umum dalam arti yang luas73

. Terkait

dengan delegasi pengaturan kepada Peraturan Gubernur perlu dilihat mekanisme pembentukan

dengan tetap memperhatikan adanya pelimpahan kewenangan untuk membentuk Peraturan

Gubernur dengan mendasarkan pada teori perundang-undangan dan ilmu perundang-undangan

untuk mencapai kemanfaatan dan keadilan.

2.1.5.Teori Delegasi Pengaturan

Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu kegiatan

pembentukan hukum. Menurut sifat pembentukan hukum dapat dibagi menjadi dua yaitu :

1. Pembentukan hukum yang tertulis berupa traktat, putusan hakim dan peraturan

perundang-undangan.

2. Pembentukan hukum yang tidak tertulis berupa hukum adat dan hukum kebiasaan.74

Menurut Burkhardt pembentukan peraturan perundang-undangan menyangkut :

1. isi peraturan (inhalt der regelung);

2. bentuk dan susun peraturan (form der regelung);

3. metode pembentukan peraturan (method der ausarbeitung der regelun); dan

72

J.J.H. Bruggink, Op.cit, h. 8. 73

A.Hamid.S.Attamimi I, Op.cit, h.314.

74

Usep Ranawijaya, 1983, Hukum Tata Negara : Dasar-Dasar, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.22.

Page 44: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

4. prosedur dan proses pembentukan peraturan (verfahren der ausarbeitung der

regelung).75

Berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan asas-asas pembentukan

peraturan perundang-undangan sangat penting untuk diperhatikan agar dapat memahami ruang

lingkup dan tujuan pembentukan .peraturan perundang-undangan Ron Jue mengemukakan asas-

asa hukum adalah nilai yang melandasi kaedah hukum.76

Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa asas-asas hukum bukan

peraturan (een rechtsbeginselen is niet een rechtregel). Namun tidak ada hukum bisa dipahami

tanpa mengetahui asas-asas hukum yang melandasai (het recht is niet te begrijpen zonder die

beginselen). Pemahaman tersebut menunjukkan untuk memahami hukum tidak hanya melihat

pada aturannya tetapi juga harus memahami asas-asas yang melandasi. Asas-asas hukum harus

tampak sebagai pengarah dalam pembentukan dan penegakan hukum.

Berkaitan dengan sumber kewenangan dalam pandangan Philipus M Hadjon dari segi

cara memperoleh kewenang atas dua cara utama yaitu a) atribusi ; b) delegasi dan kadang-

kadang mandat.77

Sumber kewenangan menurut Philipus M Hadjon sebagai berikut :

1. Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan ( Pasal 1 angka 6

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menyebutnya : wewenang yang ada pada

badan atau pejabat tata usaha negara yang dilawankan dengan wewenang yang

dilimpahkan)

2. Delegasi adalah pemindahan/pengalihan suatu kewenangan yang ada.

3. Mandat tidak ada sama sekali pengakuan kewenangan atau pengalihtangan

kewenangan.

75

Burkhardt Krems dalam A.Hamid.S.Attamimi I, Op.cit, 300.

76

B Arief Sidharta, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 121.

77

Philipus M.Hadjon, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Introduction The Indonesian

Administrative Law), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 130.

Page 45: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

Sumber kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan pembentukan

peraturan perundang-undangan dibedakan sebagaimana dikemukakan oleh A Hamid S Attamimi,

Bagir Manan dan I.c Van Der Vlies terdiri atas kewenangan atribusi dan kewenangan delegasi.78

Berkaitan dengan cara memperoleh kewenangan menurut A Hamid S Attamimi

dibedakan atas kewenangan atribusi dan kewenangan delegasi. Pemahaman terkait dengan

kewenangan tersebut antara lain :

1. Kewenangan atribusi adalah pencitaan kewenangan (baru) oleh konstitusi/gronwet

atau oleh pembentuk wet yang diberikan kepada suatu organ negara, baik yang

sudahada ataupun yang dibentuk baru untuk itu.

2. Kewenangan delegasi adalah penyerahan kewenangan untuk membentuk peraturan

perundang-undangan dari delegans ( pemegang kewenangan asal yang member

delegasi) kepada delegataris (yang menerima delegasi) atas tanggung jawab sendiri.79

Atribusi dan delegasi kewenangan menurut Bagir Manan dibedakan sebagai berikut :

1. Atribusi terdapat apabila UUD atau UU (dalam arti formal) memberikan kepada suatu

badan dengan kekuasaan sendiri dan tanggung jawab sendiri (mandiri) wewenang

membuat / membentuk peraturan perundang-undangan.

2. Delegasi terdapat apabila suatu badan yang mempunyai wewenang atributif

(wewenang secara mandiri membuat peraturan perundang-undangan) menyerahkan

kepada badan lainnya wewenang untukmembentuk peraturan perundang-undangan

atas tanggung jawab sendiri.80

Pemahaman akan pengertian atribusi dan delegasi menurut Ic. Van Der Vlies adalah sebagai

berikut :

1. Atribusi adalah penciptaaan kewenangan dan pemberiannya kepada suatu organ.

2. Delegasi dipahami orang sebagai pelimpahan suatu kewenangan sehingga pihak yang

mendapatkan kewenangan (delegataris) akan melaksanakannya dengan tanggung

jawab sendiri81

78

Bagir Manan, 2000, Wewenang Provinsi Kabupaten dan Kota Dalam Rangka Otonomi Daerah,

,Makalah Pada Seminar Nasional FH Unpad (Selajutnya disebut Bagir Manan V), Op.cit, h. 206-214,

A.Hamid.S.Attamimi II,Op.cit, h. 347-352, Ic. Van Der Vlies, Op.cit, h. 78-79.

79

A Hamid S Attamimi I, Op.cit, h. 347. 80

Bagir Manan IV, Op.cit, h.209-210.

81

Ic. Van Der Vlies, Op.cit, h. 78-79.

Page 46: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

Menurut kamus istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia, kata atribusi ( Belanda =

attributie ) mengandung arti :

Pembagian kekuasaan ; dalam kata attributtie van rechtsmacht : pembagian kekuasaan

kepada berbagai instansi (absolute competentie / kompetensi mutlak), sebagai lawan dari

distributie van rechtsmacht .Juga membagikan suatu perkara kepada kekuasaan yudikatif

atau kekuasaan eksekutif. Conflicten van attributie, konflik pembagian kekuasaan.

Sedangkan kata delegasi ( Belanda = delegatie ) mengandung arti :

Penyerahan wewenang dari pejabat yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah :

penyerahan lebih tinggi kepada yang rendah : penyerahan yang demikian dianggap tidak

dapat dibenarkan selain dengan atau berdasarkan kekuatan hukum, misalnya Dewan

Perwakilan Daerah Kota Praja memerintahkan kepada Majelis Walikota dan pembantu

Walikota untuk mengadakan peraturan-peraturan tertentu.

Berikutnya Mandat ( Belanda = Mandat ) mengandung arti :

Mandat pada umumnya : Opdravht, perintah; - imperatief mandaat. Di dalam pergaulan

hukum, baik pemberian kuasa (lastgeving) maupun

kuasa penuh (volmach ).82

Pemahaman terkait atribusi, delegasi dan mandat juga dapat dipahami dari kamus Blackꞌs

Law Dictionary yang dimaksud sebagai berikut :

Tabel 2.6.

Perbedaan Atribusi, Delegasi Dan Mandat dalam Blackꞌs Law Dictionary

Atribusi Delegasi Mandat

attribution rights constitute

one aspect of the moral

rights recognized primarily

in civil law countries.

(terjemahan bebas :

Pengaturan tentang atribusi

adalah pemberian

kewenangan oleh konstitusi

dalam dalam bentuk

kewenangan asli

dalamnegara yang menganut

sistem hukum civil law)

Contitutional law.the principle

(based on the separatin-of-power

concept) limiting congressꞌs ability

to transfer its legislative power to

another governmental branch, eps.

the executive branch. delegtion is

permitted only if congress

prescribes an intelligible principle

to guide an executive agency in

making polic (terjemahan bebas :

Konsep inti dalam delegasi adalah

pelimpahan kekuasaan dari

An order from an appellate

court directing a lower court

to take a

specifiedaction.83

(terjemahan

bebas : pemberian perintah

dari atasan kepada bawahan

untuk melakukan suatu

tindakan tertentu)

82

MR.NE.Algra, Mr.H.R.W.Gokkel Saleh Adiwinata, Boerhanoedin St.Batoeh 1983, Kamus Istilah

Hukum Fockema Andrea Belanda, Bina Cipta, Bandung, h. 36, h. 91 dan hal 286.

83

Bryan A. Garner, 2009, Blackꞌs Law Dictionary (Ninth Edition) , Thomson Reuters Registered In Us

Patent And Trademark Office, Printed in the United States of America, h.148, h.491 dan ha. 148

Page 47: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

legisltaif kepada eksekutif

membentuk peraturan perundang-

undangan misalnya : eksekutif

hanya berhak untuk melaksanakan

kewenangan delegasi apabila

legislatif melimpahkan kewenangan

delegasi agar eksekutif dapat

melaksanakan kewenangan delegasi

Pengertian atribusi, delegasi dan mandat menurut Philipus M Hadjon, A Hamid S

Attamimi, Bagir Manan, I.c Van Der Vlies, dalam Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae

Belanda-Indonesia dan Blackꞌs Law Dictionary dapat ditarik kesimpulan bahwa pada atribusi

diciptakan suatu wewenang, pada delegasi diserahkan suatu wewenang sedangkan pada mandat

tidak ada penciptaan ataupun penyerahan wewenang.

Berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan pengertian atribusi

dalam pembentukan peraturan perundang-undangan memuat unsur-unsur :

1. Penciptaan wewenang (baru) untuk membuat peraturan perundang-undangan;

2. Wewenang tersebut diberikan oleh pembentuk Undang-undang Dasar atau pembentuk

undang-undang kepada suatu lembaga ;

3. Lembaga yang menerima wewenang bertanggung jawab atas pelaksanaan wewenang

tersebut.

Delegasi pembentukan peraturan perundang-undangan memuat unsur-unsur berikut ini :

1. Penyerahan wewenang untuk membuat peraturan perundang- undangan ;

2. Wewenang itu diserahkan oleh pemegang wewenang atributif (delegans) kepada

lembaga lainnya ( delegataris) ;

3. Lembaga yang menerima wewenang (delegataris) bertanggung jawaban atas

pelaksanaan wewenang tersebut.

Page 48: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

Berdasarkan hal tersebut diatas, atribusi dan delegasi terdapat persamaaan dan perbedaan.

Persamaannya adalah lembaga yang menerima wewenang bertanggungjawaban atas pelaksanaan

wewenang itu. Perbedaannya adalah :

1. Pada delegasi selalu didahului oleh adanya atribusi, sedangkan dalam atribusi tidak

ada yang mendahului ;

2. Pada atribusi terjadi pembentukan wewenang sedangkan pada delegasi terjadi

penyerahan wewenang.

Penyelenggaraan kewenagan dalam bidang eksekutif selain dikenal atribusi dan delegasi

juga dikenal mandat yang ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk memperoleh wewenang.

Perbedaan delegasi dan mandat dijelaskan oleh R.J.H.M. Huisman dan Philipus M. Hadjon

sebagai berikut :

Tabel 2.7.

Perbedaan Mandat dan Delegasi Menurut R.J.H.M. Huisman

Delegasi Mandat

1. overdracht van bevoegdheid

( pelimpahan wewenang ).

1.opdracht tot uitoveoning (perintah untuk

melaksanakan ).

2.bevoegheid kan door het oorspronkelijk

bevoegde organ niet incidenteel uitgoefend

worden.

(kewenangan tidak dapat dijalankan secara

incidental oleh organ yang memiliki

wewenang asli).

2. bevoegheid kan door mandaat gever nog incidenteel

uitgoefend worden (kewenangan dapat sewaktu-waktu

dilaksanakan oleh mandans ).

3.overgang van verant woordelijkheid

(terjadi peralihan tanggungjawab).

3. behooud van verantwoordelijkheid

(tidak terjadi peralihan tanggungjawab).

4.wettelijke basis vereist ( harus berdasarkan

undang-undang).

4.geen wettelijke basis vereist (tidak harus berdasarkan

undang-undang).84

Berdasarkan atas tabel diatas dapat dilihat perbedaan delegasi dan mandat bahwa

delegasi, merupakan pelimpahan wewenang (overdracht van bevoegdheid); kewenangan tidak

dapat dijalankan secara insidental oleh organ yang memiliki wewenang asli (bevoegdheid kan

84

R.J.H.M Huisman, 1998, Algemean Bestuursrecht, Een Ineideng, Kobra Amsterdam, h. 7.

Page 49: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

door hetoorsprokenlijk bevoegde orgaan niet incidenteel uitgoefend worden); terjadi peralihan

tanggung jawab (overgang van verantwoordelijkheid); harus berdasarkan UU (wetelijk basis

vereist); harus tertulis (moet schriftelijk).

Sedangkan Mandat menurut Huisman, merupakan perintah untuk melaksanakan

(opdracht tot uitvoering) kewenangan dapat sewaktu-waktu dilaksanakan oleh mandans

(bevoeghdheid kan door mandaatgever nog incidenteel uitgeofend worden) tidak terjadi

peralihan tanggung jawab (behooud van verantwoordelijkheid) tidak harus berdasarkan UU

(geen wetelijke basis vereist) dapat tertulis dan dapat pula secara lisan.

Tabel 2.8.

Perbedaan Mandat dan Delegasi Menurut Philipus M. Hadjon 85

Hal Delegasi Mandat

1.prosedur

pelimpahan.

1.dari satu organ

pemerintahan kepada organ lain :

dengan peraturan perundang-

undangan.

1.dalam hubungan rutin

atasan bawahan ; hal biasa, kecuali

dilarang secara tegas.

2.tanggung jawab dan

tanggung gugat.

2.tanggungjawab dan tanggung

gugat beralih kepada

delegataris.

2.tetap pada pemberi mandat.

3.kemungkinan si

pemberi

menggunakan

wewenang itu lagi.

3.tidak dapat menggunakan

wewenang itu lagi, kecuali

setelah ada pencabutan dengan

berpegang pada asas “ contrario

actus”.

3.setiap saat saat dapat menggunakan

sendiri wewenang yang dilimpahkan

itu.

Berdasarkan atas tabel diatas dapat dilihat perbedaan delegasi dan mandat sebagai berikut

: 1) Dari prosedur; dalam delegasi terjadi dari satu organ pemerintahan kepada organ lain

dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan mandat terjadi dalam hubungan rutin atasan

bawahan ; hal biasa, kecuali dilarang secara tegas. 2) Dari tanggung jawab dan tanggung gugat ;

dalam delegasi tanggungjawab dan tanggung gugat beralih kepada delegataris sedangkan dalam

mandat tetap pada pemberi mandate. 3) Dari kemungkinan si pemberi menggunakan wewenang

85

Philipus M Hadjon, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan Pemerintahan yang

Bersih, makalah yang disampaikan pada orasi Guru Besar Ilmu Hukum FH Unair, Surabaya, tanggal 10 Oktober

1994, h. 8.

Page 50: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

itu lagi; dalam delegasi tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi, kecuali setelah ada

pencabutan dengan berpegang pada asas “ contrario actus” sedangkan dalam mandat setiap saat

dapat menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan itu.

Pengaturan secara otentik terkait dengan atribusi, delegasi dan mandat diatur dalam

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Masing-masing

memiliki perbedaan karakter sebagai beerikut :

Tabel 2.9.

Perbedaan Atribusi, Delegasi dan Mandat dalam

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

Atribusi Delegasi Mandat

Atribusi adalah pemberian

Kewenangan kepada Badan

dan/atau Pejabat

Pemerintahan oleh Undang-

Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun

1945 atau Undang-Undang.

(Dalam Pasal 1 angka 22)

Delegasi adalah

pelimpahan

Kewenangan dari Badan

dan/atau Pejabat

Pemerintahan yang lebih

tinggi kepada Badan

dan/atau Pejabat

Pemerintahan yang lebih

rendah dengan tanggung

jawab dan tanggung

gugat beralih

sepenuhnya kepada

penerima delegasi.

(Dalam Pasal 1 angka

23)

Mandat adalah

pelimpahanKewenangan dari

Badan dan/atau Pejabat

Pemerintahan yang lebih

tinggi kepada Badan dan/atau

Pejabat Pemerintahan yang

lebih rendah dengan tanggung

jawab dan tanggung gugat

tetap berada pada pemberi

mandat. (Dalam Pasal 1 angka

24)

Berdasarkan tabel di atas terdapat perbedaan atribusi, delegasi dan mandat. Atribusi

merupakan pemberian kewenangan kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan oleh UUD NRI

1945 atau Undang-Undang. Delegasi adalah pelimpahan kewenangan dari badan dan/atau

pejabat pemerintahan yang lebih tinggi kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih

rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima

delegasi. Mandat adalah pelimpahan kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan

yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan

tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat.

Page 51: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

Ketentuan dalam Naskah Akademik Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintah menunjukkan adanya dasar kewenangan pejabat dengan menekankan

pada adanya implikasi yuridis yaitu terkait dengan tanggung jawab, tanggung gugat dan

kompetensi wewenang pemerintahan dapat dibedakan kedudukannya menjadi:

a. Original legislator, yaitu MPR sebagai penyusun konstitusi, Pemerintah bersama-

sama DPR dalam penyusunan UU dan Pemerintah Daerah bersama DPRD dalam

menyusun Peraturan Daerah.

b. Delegated legislator, misalnya Presiden yang berdasar ketentuan suatu UU memiliki

wewenang mengeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai penjabaran UU yang di

dalamnya terdapat penciptaan kewenangan bagi instansi administrasi negara yang ada

dibawahnya, berbeda dalam atribusi, delegasi sebagai suatu sumber kewenangan,

merupakan pelimpahan wewenang dari suatu instarisi atau pejabat administrasi

negara yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada

instansi atau pejabat administrasi negara yang lain.

c. Selain kedua bentuk diatas, ada satu bentuk lagi yang juga dikenal dalam administrasi

negara yang terkait dengan pendistribusian wewenang yaitu mandat. Dalam mandat,

suatu wewenang pemerintahan dilaksanakan oleh seorang mandataris atas nama dan

tanggungjawab dari si pemberi mandat.86

Bertolak dari perbedaan delegasi dan mandat sebagaimana dipaparkan tersebut oleh

Philipus M Hadjon, R.J.H.M. Huisman dan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2014 tentang Administrasi Pemerintahan dapat dikemukakan perbandingan sebagai berikut :

pendapat Philipus M Hadjon melihat perbedaan delegasi dan mandat dari prosedur pelimpahan,

tanggung jawab dan tanggung gugat dan kemungkinan pemberi menggunakan wewenang itu

lagi, sedangkan R.J.H.M. Huisman melihat dari sudut pandang teoritis terkait dengan

pelimpahan dan peralihan tanggung jawab. Pengaturan dalam ketentaun Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan membedakan atribusi, delegasi dan

mandat dengan melihat pada sumber kewenangan, tanggung jawab dan tanggung gugat.

Pemaknaan atas pendapat tersebut diatas nampak adanya perbedaan karakter dalam sumber

kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan sumber kewenangan

86

Kementrian Pendayaan Aparatur Negara, 2013, Naskah Akademik Undang-Undang Administrasi

Pemerintah, Jakarta, h.30.

Page 52: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

pemerintah. Sumber kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan terdiri atas

atribusi dan delegasi sedangkan pada wewenang pemerintahan terdiri atas atribusi, delegasi dan

mandat. Wewenang pemerintahan lebih menekankan pada aspek tanggung gugat dan tanggung

jawab sebagai implikasi dari pelaksanaan kewenangan. Seturut dengan itu Indroharto juga

memberikan pemahaman bahwa pemberian atribusi dan delegasi yang menyangkut wewenang

pembuatan peraturan berlaku ketentuan yang berbeda dengan

wewenang pemerintahan.87

F.A.M. Stroink dan J.E.Steenbeek, mengatakan bahwa Het begrip bevoegdheid is dan

ook een kernbegrip in het staats-en administratief recht.88

(Terjemahan bebas : kewenangan

sebagai konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum administrasi negara).

P.Nicolai memberikan definisi kewenangan adalah :

Het Vermogen tot het verrichten van bepaalde rechtshandelingen (handelingen die op

rechtsgevolgen onstaan of teniet gaan ) Een recht houdt in de ( rechtens gegeven )

vrijheid om een bepaalde feitelijke handelingen te verrichten van een handeling door een

ander. Een plict impliceert een veerplictig om een bepaalde handeling te verrichten of na

laten.89

(kewenangan adalah kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu yaitu

tindakan-tindakan yang dimaksud untuk menimbulkan akibat hukum dan mencakup

mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum tertentu. Hak berisi kebebasan untuk

melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk

melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban menuntut keharusan untuk melakukan

atau tidak melakukan tindakan tertentu )

87

Indroharto, 1996, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I (

Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara), Sinar Harapan Jakarta, h. 68. Perlu juga dipahami

pendapat Suwoto Mulyosudarmo, (bevoegdheidverkrijging) dibedakan menjadi dua yaitu kekuasaan yang bersifat

atributif dan kekuasaan yang bersifat derivatif. Atributif adalah pembentukan kekuasaan dari kekuasaan. derivatif

(afgeleid) kekuasaan yang diderivasi kepada pihak lain. Suwoto Mulyosudarmo, 1990, Kekuasaan Dan Tanggung

Jawab Presiden Republik Indoensia, Suatu Penelitian Segi-Segu Teoritik dan Yuridis, Disertasi Program

Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya, h. 79.

88

Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta h. 71-72.

89

P.Nicolai, 1994, Bestuursrecht, Amsterdam, h. 4.

Page 53: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

Norma-norma hukum yang bersifat dasar biasanya dituangkan dalam undang-undang

dasar atau hukum yang tertinggi di bawah undang-undang dasar ada undang-undang sebagai

bentuk peraturan yang ditetapkan oleh legislatif. Namun karena materi yang diatur dalam

undang-undang itu hanya terbatas pada soal-soal umum, diperlukan pula bentuk-bentuk

peraturan yang lebih rendah sebagai peraturan pelaksana undang-undang yang bersangkutan.

Lagi pula sebagai produk lembaga politik seringkali undang-undang hanya dapat menampung

materi-materi kebijakan yang bersifat umum. Forum legislatif bukanlah forum teknis melainkan

forum politik, A.V.Dicey menyetujui adanya pendelegasian kewenangan ;

The cumbersomeness and prolixity of English statute is due in no small measure to

futile endeavoursof Parliament to work out the details of large legislative changes…

the substance no less than the form of law would,it is probable, be a good deal

improved if the executive government of England could, ike that of France , by means

of decrees, ordinances, or proclamations having yhe force of law, work out the detailed

application of the general principles embodied in the acts of the legislature.90

(Kesulitan dalam penggunaan dan bertele-telenya Undang-undang di Inggris adalah

dikarenakan tidak adanya ukuran untuk melakukan usaha yang sia-sia dari parlemen

untuk menyelesaikan pekerjaan perubahan legislative yang besar secara

terperinci…persoalan bentuk hukum yang diinginkan, dimana hal tersebut

memungkinkan, akan merupakan peningkatan persetujuan yang baik apabila

pemerintah eksekutif di Inggris bisa seperti di Prancis, yang diartikan sebagai dekrit,

peraturan, atau proklamasi yang memiliki tekanan akan hukum, menyelesaikan rincian

penerapan dari prinsip secara umum yang diwujudkan dalam undang-undang dari

badan pembuat undang-undang .

Heinrich Triepel memberi makna pendelegasian (delegation) adalah:

Under delegation im Sinne des offenliche Rachtverstehe ich den Rechsakt, durch dender

Inhaber einer staatlichen order gemeindliehen Zustandigkeit, also der Staat, die

gemeinde selbst order einen der Staats, der Gemeindeorgane seine Komptetenz ganz

orderzum teil auf ein anderes subject ubertgt.91

(terjemahan bebas : dengan pendelegasian dalam pengertian hukum publik

dimaksudkan tindakan hukum pemangku sesuatu wewenang kenegaraan , jadi negara

atau kotapraja menyerahkan kompetensinya, seluruhnya atau sebagaian kepada subyek

hukum lain).

90

Hilaire Barnett, Op.cit, h. 485.

91

Mustamin, Abdul Latiet, et .all , 2004, Mandat, Delegasi Attrribusi Dan Implementasinya Di Indonesia,

UII Press Yogyakarta h. 63.

Page 54: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

Pemahaman terkait dengan pendelegasian kewenangan juga dikemukakan oleh Jimly

Asshiddiqie, dengan menyebutkan pendelegasian kewenangan adalah kewenangan untuk

mengatur lebih lanjut secara tegas didelegasikan oleh legislator utama (primary legislator)

kepada legislator sekunder (secondary legislator), proses pendelegasian kewenangan regulalasi

inilah yang disebut dengan pendelegasian kewenangan.92

Berdasarkan prinsip pendelegasian

norma hukum yang bersifat pelaksanaan dianggap tidak sah apabila dibentuk tanpa didasarkan

atas delegasi kewenangan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kewenangan

untuk membentuk peraturan perundang-undangan harus dimuat dengan tegas dalam peraturan

perundang-undangan sebagai ketentuan pendelegasian.

Berdasarkan pemahaman tersebut pendelegasian berarti pergeseran kompetensi dan

bahkan mencakup setelitinya, pelepasan dan penerimaan sesuatu wewenang, yang keduanya atas

kehendak pihak yang menyerahkan wewenang itu. Pihak yang mendelegasikan harus

mempunyai suatu wewenang yang sekarang tidak digunakan sedangkan penerima pendelegasian

juga mempunyai kewenangan dan diperluas dengan apa yang didelegasikan. Dasar kewenangan

lembaga pembentuk dan materi muatan merupakan tolak ukur dalam suatu pendelegasian dalam

arti tidak semua materi muatan harus diatur secara formal dalam undang-undang, tetapi dapat

juga undang-undang yang bersangkutan mendelegasikan pengaturannya kepada peraturan

perundang-undangan yang lebih rendah (delegated legislation). Namun bukan berarti

pendelegasian tidak ada batasnya, Bagir Manan dan Kuntana Magnar membatasi pendelegasian

yaitu :

a. Peraturan delegasi suatu materi muatan undang-undang hanya dapat ditetapkan

berdasarkan undang-undang ;

92

Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press Jakarta (Selanjtnya disebut Jimly

Asshiddiqie I), h. 147-148.

Page 55: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

b. Kadang-kandang berlaku prinsip, tidak boleh ada subdelegasi atas peraturan delegasi

( delagatus non potest delegare );

c. Materi muatan tertentu tidak boleh didelegasikan oleh undang-undang seperti

undang-undang organik ;

d. Materi muatan peraturan delegasi hanya dapat mengatur hal yang didelegasikan dan

tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain yang lebih

tinggi tingkatannya. Karena itu dalam undang-undang yang mendelegasikan harus

diatur secara tegas, bentuk peraturan delegasi dan ruang lingkup peraturan delegasi.

Kalau suatu peraturan delegasi melampaui materi muatan delegasi, maka peraturan

itu batal demi hukum ( van rechtswegw nietig, void), karena ditetapkan oleh pejabat

atau badan yang tidak berwenang.93

Menurut P.P.Craig dalam bukunya yang berjudul Administrative Law, regulasi

merupakan salah satu bentuk dari delegasi pengaturan di samping apa yang disebut “There is a

bewildering variety of terminology through which to express delegated legislation Orders in

Council, rules, regulations, bylaws dan direction”.94

P.P.Craig menyatakan regulasi dan

peraturan dipergunakan dalam situasi yang sangat beragam untuk menunjukkan kekuasaan

subordinasi pembentukan hukum,”Regulations and rules are ued in a wide variety of situations

to denote subordinate law-making power”95

. P.P.Craig menyatakan pembentukan regulasi

biasanya kekuasaan berada di tangan menteri, tetapi untuk regulasi dan peraturan atau perintah

dapat juga dikeluarkan oleh perwakilan pemerintah dan badan yang berwenang di daerah “The

Power will be normally be conferred upon a minister of the crown, but regulations, rules or

orders may also be passed by agencies and local authorities”.96

Delegasi kewenangan mengatur dimana sumber kewenangan pokoknya ada ditangan

legislator maka pemberian kewenangan untuk mengatur lebih lanjut itu kepada lembaga

eksekutif atau lembaga pelaksana haruslah dinyatakan dengan tegas dalam undang-undang yang

93

Bagir Manan IV, Op.cit, h. 150.

94

P.P.Craig, 1994, Administrative Law, London Sweet and Maxwell, h.246.

95

Loc.cit.

96

Loc.cit.

Page 56: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

akan dilaksanakan hal inilah biasanya dinamakan legislative delegation of rule making power.97

Berdasarkan prinsip pendelegasian ini norma hukum yang bersifat pelaksanaan dianggap tidak

sah apabila dibentuk tanpa di dasarkan atas delegasi kewenangan dari peraturan perundang-

undangan. Menurut Bagir Manan pembatasan dalam delegasi pengaturan sebagai berikut :

1. Tidak boleh ada delegasi pengaturan mengenai hal-hal yang secara tegas atau yang

karena sifatnya harus diatur dalam peraturan perundang-undangan tertentu, misalnya

UUD, Tap MPR atau undang-undang.

2. Tidak boleh ada delegasi pengaturan yang bersifat umum. Setiap delegasi pengaturan

harus menyebut dengan tegas pokok-pokok yang akan diatur dalam peraturan

perundang-undangan delegasi. Misalnya disebutkan mengenai pengaturan susunan

organisasi, tata kerja dan sebagainya. Dalam ketentuan delegasitentang tidak cukup

kalau hanya menyebutkan. Misalnya “hal-hal yang belundiatur cukup diatur dalam

undang-undang ini kan diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan.

3. Setiap delegasi pengaturan harus menyebut dengan tegas bentuk peraturan

perundang-undangan delegasi. Misalnya Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri

dn sebagainya. Tidak boleh dalam delegasi hanya menyebutkan, misalnya “

penetapan tempat-tempat penahanan bukan RUTAN diatur lebih lanjut dengan

peraturan perundang-undangan“.98

Pembahasan dalam Risalah Rapat Pembahasan Undang-Undang Pembentukan Peraturan

Perundang undangan, Masa Persidangan Ke III Rabu 23 Februari 2011 dengan pimpinan rapat

H.T.B Soenmandjaja S dari Fraksi PKS menyampaikan bahwa terkait dengan pendelegasian

sedapat mungkin undang-undang itu tidak memerintahkan adanya peraturan lain yang harus

menggerakan, menjalankan undang-undang selama masih bisa dilaksanakan oleh undang-

undang, tetapi ketika memerlukan pendelegasian dia sebetulnya harus sangat terbatas dan tidak

boleh ada interpretasi lain.99

Pemaknaan dari risalah pembasan tersebut adalah tidak

diperkenankan adanya pendelegasian yang tidak jelas.

97

Jimly Asshiddiqie I, Op.cit, h. 194.

98

Bagir Manan I, Op.cit, h. 45-46.

99

DPR RI, 2011, Risalah Rapat Pembahasan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan, (Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ) Masa

Persidangan Ke III Rabu 23 Februari 2011, Jakarta h. 16.

Page 57: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

Naskah Akademik Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan memuat bahwa dalam kewenangan delegasi, suatu undang-

undang dapat menentukan pengaturan lebih lanjut materi tertentu dengan peraturan

perundangundangan yang tidak terdapat dalam hirarki struktural100

Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan dalam Bab II Hal-hal khusus, Sub Bab A Pendelegasian Kewenangan pada

angka 198 mengatur bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dapat

mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan yang

lebih rendah. Dalam angka 200 Pendelegasian kewenangan mengatur, harus memuat dengan

tegas :

a. Ruang lingkup materi yang diatur ; dan

b. Jenis Peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan pemaparan apabila dikaitkan dengan permasalahan yang dibahas dapat

dipahami bahwa dalam pendelegasian perlu diperhatikan :

1. Tidak boleh ada pendelegasi pengaturan yang bersifat umum. Setiap delegasi

pengaturan harus menyebut secara tegas pokok-pokok yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan delegasi. Misalnya disebutkan mengenai pengaturan susunan

organisasi tata kerja dan sebagainya. Dalam ketentuan tentang delegasi kalau hanya

menyebutkan misalnya, hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini

akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan. (Peraturan Pemerintah,

Peraturan Presiden, Peraturan Gubernur dan sebagainya).

2. Setiap ketentuann delegasi pengaturan harus menyebut dengan tegas bentuk

peraturan perundang-undangan delegasi.

100

DPR RI, 2010, Op.cit, h. 64.

Page 58: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

Angka-angka berikutnya dalam Lampiran II Bab II Hal-hal khusus, Sub Bab A Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,

Pendelegasian Kewenangan terdapat pola-pola pendelegasian kewenangan mengatur. Pola-pola

ini dilihat dari sudut materi yang didelegasikan dalam pendelegasian lebih lanjut (subdelegasi).

Pola pertama, jika materi yang didelegasikan sebagian sudah diatur pokok-pokoknya di

dalam peraturan perundang-undangan yang mendelegasikan tetapi materi itu harus diatur hanya

di dalam peraturan perundang-undangan yang didelegasikan dan tidak boleh didelegasikan lebih

lanjut ke peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (sub delegasi), gunakan kalimat :

Ketentuan lebih lanjut mengenai …diatur dengan …(angka 201 Lampiran II Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Misalnya sebagai

contoh pola pendelegasian kewenangan mengatur yang diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi

Bali Nomor 11 Tahun 2015 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran

2016.

Contah lain pola pendelegasian kewenangan mengatur yang diatur dalam Peraturan

Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah.

Pasal 8

Ketentuan lebih lanjut mengenai Penjabaran Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diatur dengan

Peraturan Gubernur.(garis bawah penulis)

Page 59: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

Pola kedua, jika pengaturan materi tersebut ( materi yang didelegasikan sebagian sudah

diatur pokok-pokoknya di dalam peraturan perundang-undangan yang mendelegasikan )

dibolehkan didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi) digunakan kalimat : Ketentuan lebih lanjut

mengenai … diatur dengan atau berdasarkan… (angka 202 Lampiran II Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).

Pola ketiga, jika materi yang didelegasiakan sama sekali belum diatur pokok-pokoknya di

dalam peraturan perundang-undangan yang mendelegasikan dan materi itu harus diatur di dalam

peraturan perundang-undangan yang diberi delegasi dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke

peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (sub delegasi), gunakan kalimat : Ketentuan

mengenai … diatur dengan … (angka 203 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).

Pola keempat, jika materi tersebut (materi yang didelegasikan sama sekali belum diatur

pokok-pokoknya di dalam peraturan perundang-undangan yang mendelegasikan) dibolehkan di

delegasikan lebih lanjut (subdelegasi) digunakan kalimat : Ketentuan mengenai … diatur dengan

atau berdasarkan … (angka 204 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).

Pengaturan dengan rumusan “diatur dengan atau berdasarkan …” menunjukkan bahwa

pembuat undang-undang memberikan keleluasaan kepada organ lebih rendah utuk menyerahkan

Pasal 72

(1) Piutang pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk

melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.

(2) Gubernur menetapkan keputusan piutang pajak yang sudah

kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang

yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Gubernur.(garis

bawah penulis)

Page 60: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

pembuatan peraturan lebih rendah kepada organ lebih rendah lagi, sub delegasi dibolehkan. Jadi

undang-undang dapat, misalnya menentukan bahwa pengaturan mengenai syarat, tata cara dan

lingkup suatu perizinan tertentu diatur di dalam peraturan pemerintah atau dapat juga peraturan

pemerintah itu dibolehkan untuk menyerahkan pengaturan mengenai hal itu kepada Menteri.

Pengunaan rumusan “diatur dengan …” menyatakan bahwa pembentuk undang-undang

tidak membolehkan organ lebih rendah penerima delegasi untuk mendelegasikan lagi kepada

organ lebih rendah kewenangannnya untuk itu membuat peraturan mengenai suatu hal tertentu,

artinya organ penerima delegasi harus mengatur sendiri semua materi di dalam peraturan yang

dibuatnya (larangan sub delegasi).

Pola-pola pendelegasian kewenangan yang diatur ada beberapa hal yang dapat diberikan

catatan berkaitan dengan penelitian yang dilakukan sebagai berikut :101

1. Pola-pola pendelegasian tersebut merupakan sarana untuk mengontrol pengaturan

materi muatan yang terdapat dalam peraturan pelaksanaan ;

2. Pola kedua dan pola keempat merupakan penerapan dari asas delegates non potest

delegari (delegate potestas non potestdelegari) yang berarti penerima delegasi tidak

berwenang mendelegasikan lagi tanpa persetujuan pemberi delegasi. Pendelegasian

dalam pola kedua dan pola keempat menunjukkkan telah adanya persetujuan dari

pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan;

3. Pola-pola pendelegasian tersebut sekaligus juga menunjukkan bahwa pendelegasian

kewenangan mengatur harus ditentukan secara tegas dalam Peraturan Perundang-

undangan yang lebih tinggi. Tanpa adanya ketegasan tersebut, maka tidak ada

101

Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2007, Pendelegasian Kewenangan Mengatur : Penyusunan Rancangan

Peraturan gubernur Untuk Melaksanakan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2006, Makalah

disampaikan dalam dalam Persiapan untuk KPA Bali Provisi Bali No. 3 tahun 2006 tentang penanggulanagan

HIV/AIDS, Senin 3 September 2007 ( Selanjutnya disebut Marhaendra Wija Atmaja III), h. 10.

Page 61: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

gunanya merumuskan pola-pola pendelegasian tersebut. Pola-pola pendelegasian

tersebut ada karena adanya ketentuan secara tegas mengenai pendelegasian

kewenangan mengatur di dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Ketentuan yang menegaskan tidak boleh adanya delegasi blangko diatur la dalam angka 210

Lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan.

2.1.6 Konsep Kemanfaatan

Aspek finalitas atau isi hukum adalah sesuatu yang menumbuhkan nilai kebaikan dan

manfaat di antara orang. Nilai ini menurut Gustav Radbruch sebagai suatu nilai etis dan nilai ini

mendapat bentuknya dalam sikap masyarakat menurut kewajiban dan memberikan manfaat

dalam hidup.102

Kemanfaatan berkembang pada penganut aliran Utilitarianisme pertama kali

dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1831). Persoalan yang di hadapi oleh Bentham pada

zaman itu adalah bagaimana menilai baik buruknya suatu kebijakan sosial politik, ekonomi dan

legal secara moral. Bentham menemukan bahwa dasar yang paling objektif adalah dengan

melihat apakah suatu kebijakan atau tindakan tertentu membawa manfaat atau hasil yang

berguna atau, sebaliknya kerugian bagi orang-orang yang terkait.103

Menururt Jeremy Bentham

kemanfaatan harus direalisasikan dalam perundang-undangan dengan pandangan sebagai berikut

:

1. Kebaikan umum hendaknya menjadi tujuan legislator; manfaat umum menjadi

landasan penalaran, mengetahui kebaikan sejati masyarakat adalah hal yang

102

Theo Huijbers I, Op.cit,, h.163. 103

Sonny Keraf, 1998, Op.cit, h. 93.

Page 62: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

membentuk ilmu legislasi; ilmu tersebut tercapai dengan menemukan cara untuk

merealisasikan kebaikan tersebut.

2. Manfaat adalah suatu istilah abstrak. Istilah ini mengungkapkan sifat atau

kecendrungan sesuatu untuk mencegah kejahatan atau memperoleh kebaikan.

Kejahatan adalah penderitaan atau penyebab penderitaan kebaikan adalah kesenangan

atau penyebab kesenangan.

3. Yang paling sesuasi dengan manfaat atau kepentingan seorang individu adalah

cenderung memperbanyak jumlah kebahagiaan.

4. Yang paling sesuai dengan manfaat atau kepentingan masyarakat adalah yang

cenderung memperbesar jumlah kebahagiaan individu yang membentuk masyarakat.

5. Kebahagiaan seseorang individu bertambah sebanding dengan semakin berkurang

atau semakin ringannya penderitaan dan semakin banyak kesenangan.104

Berdasarkan pemikiran Jeremy Bentham delegasi pengaturan akan nampak pada baik buruknya

hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu. Suatu

ketentuan hukum baru bisa di nilai baik, jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya

adalah kebaikan, kebahagiaan sebesar-besarnya, dan berkurangnya penderitaan. Sebaliknya

dinilai buruk jika penerapannya menghasilkan akibat-akibat yang tidak adil, kerugian, dan hanya

memperbesar penderitaan. Tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi

sebagian terbesar rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan

akibat-akibat yang dihasilkan dari proses penerapan hukum. Berdasarkan orientasi itu, maka isi

hukum adalah ketentuan tentang pengaturan penciptaan kesejahteraan negara.

104

Jeremy Bentham, Op.cit, h. 25,26 dan 124.

Page 63: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

2.1.7 Konsep Keadilan.

Berangkat dari pemikiran yang menjadi issue para pencari keadilan terhadap problema

yang paling sering menjadi diskursus adalah mengenai persoalan keadilan dalam kaitannya

dengan hukum. Hal ini dikarenakan hukum atau suatu bentuk peraturan perundang-undangan

yang diterapkan dan diterimanya dengan pandangan yang berbeda, pandangan yang menganggap

hukum itu telah adil dan sebaliknya hukum itu tidak adil.

Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak

diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan

proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh

kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk

mengaktualisasikannya.

Orang dapat menggangap keadilan sebagai suatu hasrat naluri yang diharapkan

bermanfaat bagi dirinya. Realitas keadilan absolut diasumsikan sebagai suatu masalah universal

yang berlaku untuk semua manusia, alam, dan lingkungan, tidak boleh ada monopoli yang

dilakukan oleh segelintir orang atau sekelompok orang. Atau orang mengganggap keadilan

sebagai pandangan individu yang menjunjung tinggi kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi

dirinya.

Pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan dalam karyanya nichomachean

ethics, politics, dan rethoric. Spesifik dilihat dalam buku nicomachean ethics, buku itu

sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang berdasarkan filsafat hukum Aristoteles, mesti

dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam

kaitannya dengan keadilan”.105

105

David Miller, 1999, Principle Of social Justice, London, Harvard University Press, h.1.

Page 64: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

Keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam dua macam keadilan, keadilan

“distributief” dan keadilan “commutatief”. Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan

kepada tiap orang porsi menurut prestasinya. Keadilan kommutatif memberikan sama banyaknya

kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan peranan

tukar menukar barang dan jasa.106

Delegasi pengaturan dikaitkan dengan pandangan Aristoteles keadilan sebagai suatu

pemberian hak persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles membedakan hak persamaanya

sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak dipandangan manusia sebagai suatu unit atau

wadah yang sama. Inilah yang dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap warga negara

dihadapan hukum sama. Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya

sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukannya.

Frans Magnis Suseno membedakan keadilan ke dalam dua pengertian yakni keadilan

dalam arti formal dan keadilan dalam arti materiil. Perbedaan kedua makna keadilan tersebut

yaitu :

1. Keadilan dalam arti formal : asas yang berlaku umum dalam artian berlaku untuk

semua orang dalam siatuasi yang sama.

2. Keadilan dalam arti materiil : isu hukum harus adil yakni hukum sesuai dengan cita-

cita keadilan dalam masyarakat.Agar hukum sesuai dengan apa yang dianggap adil

dalam masyarakat, maka dalam sistuasi kongkret dan social diperhatikan.107

106

Jhon Chrisman, 2000, Social and Political Philosophy : A Contemporary Introduction, London, :

Routledge, h.90.

107

Frans Magnis Suseno, 1987, Etika Politik : Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern ,

Gramedia Jakarta, h.81-83.

Page 65: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

Makna situasi kongkret dalam kaitannya dengan delegasi pengaturan menunjukkan

bahwa dalam pengaturan harus dirumuskan secar luwes. Dari segi delegasi pengaturan maka

keadilan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan tercapai apabila perumusannya

secara luwes dan memiliki daya laku dan daya guna.

Anthony DꞌAmato dengan pendekatan regognation injustice lebih mudah menemukan

ketidakadilan dari pada mengatakan apa itu keadilan dalam pemahaman untuk menemukan

makna adil bukan pertanyaan apa itu keadilan tetapi siapa yang menderita karena

ketidakadilan.108

Anthony D‟Amato menyatakan: We can all agree on what is unjust, whereas

we find it hard to say what justice is.”109

Hukum harus mewujudkan keadilan karena

ketidakadilan tidak dikehendaki.

Beberapa konsep keadilan yang dikemukakan oleh Filsuf Amerika di akhir abad ke-20,

John Rawls, seperi A Theory of justice, Politcal Liberalism, Dissent dan The Law of Peoples,

yang memberikan pengaruh pemikiran cukup besar terhadap diskursus nilai-nilai keadilan.110

John Rawls yang dipandang sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social justice”,

berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial

(social institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat

mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa

108

Philipus M Hadjon & Tatiek Sri Djatmiati, 2014, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press,

h. 96. Lihat juga Putusan Mahkamah Konstitusi No.61/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor

39 Tahun 2004 tentang penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri terhadap Undang- Undang

Dasar Negara Republik Indonesia h.39.

109

Anthony D‟Amato, 1995, Analytic Jurisprudence Anthology (Anderson Publishing Co. h.251.

110

Joe Mandle, 1999, Rawls Theory Of Justice an Introductionꞌ, New York Campridge University Press,

h.6-7.

Page 66: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

keadilan. Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan.111

John Rawls berpendapat bahwa

keadilan itu merupakan fokus utama dari sistem hukum dan keadilan tidak dapat dikorbankan

karena ada dua prinsip jika lihat bukunya, pertama; each person is to have and equal right to the

most extensive basic liberty compatible with a smiliar liberty for others. Kedua; social and

economic inequalities are to be arranged so they are both a, reasonably expected to be everyone

advantage and, b. attached to positons and offices open to all. Secara spesifik, John Rawls

mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya

konsep ciptaanya yang dikenal dengan “posisi asli” (original position) dan “selubung

ketidaktahuan” (veil of ignorance). Pandangan Rawls John Rawls dua prinsip keadilan sebagai

berikut :

1. memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas

kebebasan yang sama bagi setiap orang.

2. mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat

memberi keuntungan yang bersifat timbal balik.112

Berdasarkan pemikiran John Rawls, dikaitkan dengan delegasi pengaturan nampak

mengedepankan prinsip perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian

rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas

diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan

sosial harus diperjuangkan untuk dua hal:

111

John Rawls, 1971, A Theory of Justice, Cambridge, Massachusetts, USA: Harvad University Press, , h.

60.

112

John Rawls, A Theory of Justice, London: Oxford University press, 1973, yang sudah diterjemahkan

dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo,2006, Teori Keadilan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,

h. 72

Page 67: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

1. melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum

lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang

memberdayakan.

2. setiap aturan harus meposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan

kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah

2.2 Kerangka Berfikir.

Berdasarkan kajian pustaka dapat digambarkan kerangka berfikir dibawah ini

Masalah

3

Teori Negara

Hukum

Asas-Asas

Pembentukan

Peraturan

Perundang-

undangan

Teori

Penjen

jangan

Norma

Hukum

Teori

Pembentu

kan

Perundang-

undangan

Metode.

penelitian

dalam kajian

ini

mempergun

akan

penelitian

hukum

normatif

Latar

Belakang

Masalah

1

Kajian

Masalah

2

Teori

Delegasi

Perundang-

undangan Kesimpulan

Page 68: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

Penjabaran dari kerangka berfikir didasarkan atas beberapa kajian teori yaitu : 1) teori negara

hukum; 2) asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan; 3) teori penjenjangan norma

hukum; 4) teori pembentukan perundang-undangan; 5) teori delegasi perundang-undangan; 6)

konsep kemanfaatan dan 7) konsep keadilan. Pemanfaatan teori tersebut sebagai landasan

pembahasan ketiga masalah dapat digambarkan dalam Desain hubungan rumusan masalah,

rencana pembahasan dan teori yang dipergunakan untuk menganalisis.

Tabel 2.10.

Desain Hubungan Rumusan Masalah Pembahasan dan Teori Latar Belakang

Masalah Pembahasan Teori

Rumusan Masalah 1 :

Landasan filosofis

pemikiran perlunya

delegasi perundang-

undangan

Landasan Filosofis

Delegasi Peraturan

Perundang-undangan,

yang rinciannya meliputi

:

(1) Landasan Delegasi

pengaturan

(2) Landasan Delegasi

Peraturan Perundang-

undangan Sudut

Pandang Negara

Hukum

Teori yang

dipergunakan untuk

menganalisis :

(1) teori negara hukum;

(2) teori penjenjangan

norma hukum;

(3) teori pembentukan

perundang-

undangan; dan

(4) teori

delegasiperundang-

undangan.

Rumusan Masalah 2 :

Bagaimanakah arah

pengaturan delegasi

Pengaturan Delegasi

Pengaturan Kepada Peraturan Gubernur

yang rinciannya meliputi

Teori yang

dipergunakan untuk menganalisis :

teori negara hukum;

Konsep

Keman

faatan

Konsep

Keadilan

Page 69: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

peraturan perundang-undangan kepada

peraturan gubernur

dalam Undang-

Undang Pemerintahan

Daerah, peraturan

daerah dan peraturan

perundang-undangan

yang lebih tinggi ?

: (1) Arah Pengaturan

Delegasi Pengaturan

Kepada Peraturan

Gubernur Dalam

Undang-Undang

Pemerintahan Daerah

(2) Arah Pengaturan

Delegasi Pengaturan

Kepada Peraturan

Gubernur Dalam

Peraturan Daerah

(3) Arah Pengaturan

Delegasi Pengaturan

Kepada Peraturan

Gubernur Dalam

Peraturan Perundang-

Undangan Yang

Lebih Tinggi

(1) Asas-asas pembentukan

peraturan

perundang-

undangan; dan

(2) Teori

delegasiperunda

ng-undangan;

Rumusan Masalah 3 :

Bagaimanakah proses

pembentukan

peraturan gubernur

yang didasarkan atas

delegasi perundang -

undangan ?

Pembentukan Peraturan

Gubernur Yang

Didasarkan Atas

Delegasi Perundang -

Undangan Menjamin

Kemanfaatan dan

Keadilan yang rinciannya

meliputi :

(1) Pengaturan Delegasi

Kepada Peraturan

Gubernur.

(2) Pengaturan Delegasi

Kepada Peraturan

Gubernur Ditafsirkan

Dan Dilaksanakan

Oleh Gubernur

Melalui Pembentukan

Peraturan Gubernur.

Teori yang

dipergunakan untuk

menganalisis :

(1) teori negara hukum;

(2) asas-asas

pembentukan

peraturan

perundang-

undangan;

(3) teori penjenjangan

norma hukum;

(4) teori pembentukan

perundang-

undangan; dan

(5) teori delegasi

perundang-

undangan;

(6) konsep

kemanfaatan;

(7) konsep keadilan.

Berdasarkan pada pembahasan yang telah dilakukan terhadap ketiga pokok permasalahan dalam

proposal ini, maka dapat dijelaskan kerangka berfikir sebagai berikut :

Page 70: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

1. Kajian terkait dengan yang menjadi landasan pemikiran perlunya delegasi pengaturan

kepada peraturan gubernur berdasarkan kajian filosofis dan kajian teoritis tentang delegasi

kewenangan mengatur kepada peraturan gubernur adalah pelimpahan kewenangan

membentuk peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.

2. Arah pengaturan dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan delegasi pengaturan

dalam pembentukan peraturan gubernur diatur dalam Pasal 246 ayat (1) Undang-Undang

Pemerintahan Daerah, yang mengatur bahwa untuk melaksanakan Perda atau atas kuasa

peraturan perundang-undangan, kepala daerah menetapkan Perkada. Makna

“melaksanakan“ dan “atas kuasa“ dapat diartikan adanya perintah tegas untuk membuat

peraturan pelaksanaan atau tanpa perintah tegas namun substansi memerlukan peraturan

pelaksanaan. Dalam konteks pembentukan peraturan gubernur di dasarkan untuk

“melaksanakan peraturan daerah” apabila di dalam peraturan daerah yang bersangkutan

diperintahkan adanya peraturan gubernur atau ditentukan secara tegas adanya delegasi

kepada peraturan gubernur. Makna “ atas kuasa “ peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi apabila di dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang

bersangkutan diperintahkan adanya peraturan gubernur dan tidak ditentukan secara tegas

adanya pendelegasian kewenangan mengatur kepada peraturan gubernur. Ketentuan

tentang “ ditentukan secara tegas” adalah sesuai Lampiran II angka 200 Undang-Undang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah harus menyebutkan secara tegas :

a. ruang lingkup materi yang diatur ; dan

b. jenis Peraturan Perundang-undangan, dalam hal ini adalah peraturan gubernur (untuk

melaksanakan peraturan daerah provinsi), peraturan bupati (untuk melaksanakan

Page 71: BAB II KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN KEPADA …

peraturan kepala daerah kabupaten), peraturan walikota (untuk melaksanakan

peraturan daerah kota).

3. Peraturan gubernur sebagai bentuk pelaksanaan dari peraturan daerah dan atas kuasa

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dengan adanya perintah yang

ditentukan secara tegas adanya delegasi kewenangan mengatur kepada peraturan

gubernur. Delegasi pengaturan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 64 Undang-Undang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur bahwa, ketentuan mengenai

teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-

Undang ini. Delegasi kewenangan mengatur dirumuskan dalam Lampiran II, Bab II

tentang Hal-hal Hal-Hal Khusus Huruf A Pendelegasian Kewenangan dalam angka 198

sampai dengan angka 216 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan.