bab ii kerangka teori delegasi pengaturan kepada …
TRANSCRIPT
BAB II
KERANGKA TEORI DELEGASI PENGATURAN
KEPADA PERATURAN GUBERNUR
Pembahasan pada Bab ini diuraikan mengenai kerangka teori yang didiskripsikan
mengenai teori-teori hukum, asas-asas hukum, konsep hukum, doktrin, pandangan para sarjana
yang dipergunakan sebagai kajian dan pembenaran teoritik terhadap permasalahan yang akan
diteliti. Kerangka teori memuat teori-teori dasar yang relevan terhadap fakta hukum dan hasil
penelitian sebelumnya yang berasal dari pustaka mutahir memuat teori, proposisi, konsep yang
berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan.1 Teori berasal dari kata ”theoria” yang
berarti ”perenungan” yang pada gilirannya berasal dari kata ”thea” dalam bahasa Yunani yang
secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut ”realitas”.Dalam literatur beberapa ahli
menggunakan kata tersebut untuk menunjukkan kerangka berfikir yang tersusun secara
sistematis, logis (rasional), empiris juga simbolis.2 Fred N Kerlinger menyatakan teori adalah
sperangkat konstruksi dan proposisi yang merinci hubungan antar variabel dengan tujuan
menjelaskan dan memprediksi setiap gejala.3
Teori menurut Burhan Ashofa adalah serangkaian asusmsi, konsep, difinisi dan proposisi
untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan
1 Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, h. 73.
2 H.R. Otje Salman dan Anton F Susanto, 2005, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka
Kembali), Refika Aditama, Bandung, h. 21.
3 Fred N. Kerlinger, 1996, Asas-Asas Penelitian Behavioral, (Diterjemahkan oleh Landung
R.Simatupang), Gajah Mada University Press, Yogyakrta, h. 14-15.
antar konsep.4 Dalam bentuknya yang paling sederhana teori merupakan hubungan antar dua
variabel atau lebih yang telah teruji kebenarannya.5
Black Law Dictionary dikenal istilah ”theory of law yaitu the legal premise or set of
principles on which a case rest.6 dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah ”Leer” yang
berarti ajaran pokok, yaitu pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu
peristiwa atau kejadian, atau dapat pula berarti asas dan hukum umum yang menjadi dasar suatu
kesenian atau ilmu pengetahuan.7
Bardasarkan pendapat diatas maka kerangka teoritik dalam penelitian tentang Delegasi
Peraturan Perundang-undangan Kepada Peraturan Gubernur adalah Teori Negara Hukum, Asas-
Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Teori Penjenjangan Norma, Teori
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Teori Delegasi Peraturan Perundang-undangan,
Konsep Kemanfaatan dan Konsep Keadilan. Pemikiran terhadap teori tersebut dilengkapi pula
dengan pengkajian terhadap produk hukum seperti pengaturan dalam UUD NRI Tahun 1945,
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Daerah dan
Peraturan Gubernur. Kerangka teori dan kajian terhadap produk hukum berdasarkan atas teori-
teori hukum dan konsep yang mendukung dan kerangka berpikir penelitian ini duraikan sebagai
berikut :
2.1 Teori dan Konsep.
2.1.1.Teori Negara Hukum.
4 Burhan Ashofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h.19.
5 Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum , UI Pres, Jakarta, h. 126-127.
6Bryan A.Gadamer (ed), 1999, Blacks Law Dictionary, (St. Paul : West Publishing.Co.Min), h. 1517.
7 Marjane Termorshuisen, 2002, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Djambatan, Jakarta, h. 209.
Pemikiran tentang negara hukum sudah ada sejak Jaman Yunani dari pemikiran Plato
yang mengatakan bahwa dalam negara ideal (politeia) penyelenggaraan negara yang baik tidak
cukup dilakukan oleh filsuf, melainkan juga harus berdasarkan pada hukum yang baik yang
disebut Nomoi.8 Pelopor Negara hukum liberal adalah Immanuel Kant yang melahirkan konsep
rechtstaats dan kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh F.J.Stahl,9 yang mengemukakan
unsur-unsur negara hukum adalah : 1) Pengakuan perlindungan HAM ; 2) Pemisahan atau
pembagian kekuasaan ; 3) Pemerintahan diselenggrakan berdasarkan undang-undang (wetmatig
bestuur); 4) Adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus melanggar
hukum oleh pemerintah.
Menurut Dicey di dalam negara dengan sistem Anglo Saxon konsep the rule of law,
unsur-unsur negara hukum adalah terdiri dari : 1) Supremasi hukum (supremacy of law); 2)
Persamaaan di hadapan hukum (equality before the law) ; dan 3) Konstitusi yang didasarkan
pada hak-hak perorangan (the constitution based on indifidual rights ).10
Urgensi dalam negara
hukum pada hakekatnya mengandung asas legalitas, asas pemisahan kekuasaan, dan kekuasaan
hakim yang merdeka yang semuanya ditujukan untuk mengendalikan negara dan pemerintah dari
kemungkinan tindakan kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan.11
Berdasarkan International Commision Of Jurist pada Konfrensi di bangkok Tahun 1965
merumuskan, ciri-ciri pemerintahan demokratis di bawah Rule Of Law sebagai berikut :
8 JH.Rapar, 1998, Filsafat Politik Plato, Rajawali Press, Jakarta, h. 90.
9 Niꞌmatul Huda, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo Persada Jakarta,h. 74.
10 Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busro, 1983, Asas-asas Hukum Tata Negara, Jakarta, Ghalia
Indonesia, h. 113-115.
11
S.W. Couwenberg, 1981, Modern Constituoneel Rechts en Emancipatue Van den Mens, Del, Ivan
Grocum, Assen, h. 41.
1. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu, konstitusi
juga harus menentukan secara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-
hak yang dijamin.
2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
3. Pemilu yang bebas.
4. kebebasan menyatakan pendapat
5. Kebebasan berserikat/ bergorganisasi dan beroposisi
6. Pendidikan kewarganegaraan.12
Negara hukum bukanlah sebuah bangunan yang sudah jadi dan tidak dapat mengalami
suatu perkembangan, namun legalitas tatanan hukum yang ada dapat terus mengalami
perkembangan hal tersebut dikemukakan oleh F. Budi Hardiman.13
Satjipto Raharjo memiliki
pemikiran yang sama dengan merujuk pada Brian Z. Tamanaha menolak bahwa konsep the rule
of law sudah final dan hanya ada satu konsep yang mutlak untuk dijadikan satu standar.
14Perkembangan mengenai negara hukum, adanya upaya untuk menghilangkan batasan
pengertian negara hukum antara Rechtsstaat dan The Rule of Law, seperti halnya berangkat dari
embrio pemikiran para penggagas negara hukum. Pentingnya pendekatan interpretasi dalam
negara hukum di lndonesia, yaitu pendekatan yang dianggap formalistis dan kurang
memperhatikan substansi keadilan. Satjipto Rahardjo, Budi Hardiman dan Marhaendra Wija
Atmaja, memaknai konsep negara hukum sebagai suatu pendekatan alternatif dan elementer
dalam melakukan pengkajian terhadap kebijakan negara yang termuat pada peraturan perundang-
12
Bangkok International Of Jurist, 1965, South East Asian And Pacific Of Jurist Conference, The Dinamic
Aspek Of The Rule Of Law in Modern Age, h. 39-50.
13
Budi Hardiman,, 2008, Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik Dalam
Teori Diskursus Jurgen Habermas, Kanisius Yogyakarta, h.111.
14
Satjipto Raharjo, 2009, Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum, Bayu Media, Malang, h. 60.
undangan. Pendekatan alternatif merupakan model yang digunakan oleh Brian Z. Tamanaha dan
selanjutnya pendekatan elemen dipopulerkan oleh Adriaan Bedner.15
Brian Z. Tamanaha mencoba melakukan terobosan dengan memformulasikan sebuah
alternatif baru dalam konsep negara hukum, dimana Brian Z. Tamanaha menawarkan pemisahan
konsep The Rule of Law kedalam dua kategori dasar yaitu formal dan substantif, yang masing-
masing memiliki tiga cabang atau format yang berbeda-beda.16
Brian Z Tamanaha membagi
konsep „rule of law‟ dalam dua kategori, “formal and substantive”. Setiap kategori, yaitu “rule
of law” dalam arti formal dan “rule of law”dalam arti substantif ,17
sebagaimana dalam tabel di
bawah ini :
Tabel 2.1.
Konsep „Rule Of Law‟ dalam Dua Kategori, “Formal And Substantive”
Alternative Rule of Law Formulations
Thinner To Thicker
Formal Versions :
1.Rule by Law 2.Formal Legality 3.Democracy+
legality
- Law as
instrument of
government
action
- general,
prospective,
clear, certain
- consent
determines
content of law
Substantive Versions:
4.Individual
rights
5.Rights of dignity
and/or justice
6.Social welfare
- property,
contract,
privacy,
- autonomy
- Substantive
equality, welfare,
preservation of
community
15
Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2013, Teori Negara Hukum : Pendekatan Alternatif dan Elementer,
Makalah Diskusi internal Pada Pusat Perancangan Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar,
(Selanjutnya disebut Gede Marhaendra Wija Atmaja II), h. 1.
16
Brian Z. Tamanahan, 2004, On The Rule Of Law, History, Politics, Theory, Cambridge University Press,
United.Kingdom, h. 91.
17
Marjanne Termorshuizen-Atz, The Concept Rule Of Law, dalam JENTERA- Jurnal Hukum ; Rule Of
law, Edisi 3 – Tahun II, Nopember 2004, h.83-90.
Konsep negara hukum atau “Rule of Law” itu sendiri mempunyai 6 bentuk sebagai
berikut:
1. Rule by Law (bukan rule of law), dimana hukum hanya
difungsikan sebagai“instrument of government action”. Hukum
hanya dipahami dan difungsikan sebagai alat kekuasaan belaka,
tetapi derajat kepastian dan prediktabilitasnya sangat tinggi,
serta sangat disukai oleh para penguasa sendiri, baik yang
menguasai modal maupun yang menguasai proses-proses
pengambilan keputusan politik.
2. Formal Legality, yang mencakup ciri-ciri yang bersifat (i)
prinsip prospektivitas (rule written in advance) dan tidak boleh
bersifat retroaktif, (ii) bersifat umum dalam artiberlaku untuk
semua orang, (iii) jelas (clear), (iv) public, dan (v) relative
stabil. Artinya, dalam bentuk yang „formal legality‟ itu,
diidealkan bahwa prediktabilitas hukum sangat diutamakan.
3. Democracy and Legality, demokrasi yang dinamis diimbangi
oleh hukum yang menjamin kepastian, tetapi menurut Brian Z.
Tamanaha sebagai “a procedural mode of legitimation”
demokrasi juga mengandung keterbatasan-keterbatasan yang
serupa dengan “formal legality”. Seperti dalam “formal
legality”, rezim demokrasi juga dapat menghasilkan hukum yang
buruk dan tidak adil. Karena itu, dalam suatu sistem demokrasi
yang berdasar atas hukum dalam arti formal atau rule of law
dalam arti formal sekali pun, tetap dapat juga timbul
ketidakpastian hukum. Jika nilai kepastian dan prediktabilitas
itulah yang diutamakan, maka praktek demokrasi itu dapat saja
dianggap menjadi lebih buruk dari pada rezmi otoriter yang lebih
menjamin stabilitas dan kepastian.
4. Substantive Views” yang menjamin “Individual Rights”.
5. Rights of Dignity and/or Justice
6. Social Welfare, substantive equality, welfare, preservation of
community.18
Adriaan Bedner dari Universitas Leiden juga mengembangkan kerangka kajian atau
pendekatan bagi kajian tentang negara hukum. Adriaan Bedner dalam tulisannya An Elementary
Approach to the Rule of Law menyebutkan tiga elemen yang harus diperhatikan dalam kajian
18
Victor Imanuel W Nalle, 2013, Konsep Uji Materiil ( Kajian Pembentukan dan Uji Materiil Peraturan
Kebijakan Di Indonesia), Setara Press Malang, h.13-15. Lihat juga dalam http://Meddy Pedrosa Kertapratama-
hukum.blogspot.com /2012/06/makalah-negara-hukum.html.
terhadap negara hukum dengan mengklasifikasikan negara hukum dalam tiga elemen antara
lain19
:
1. Kategori pertama : Elemen procedural, yang terdiri dari : Pemerintahan dengan
hukum (rule by law), tindakan negara harus tunduk pada hukum, legalitas formal
(hukum harus jelas dan pasti muatannya, mudah diakses dan bisa diprediksi pokok
perkaranya, serta diterapkan pada semua orang) demokrasi (persetujuan menentukan
atau mempengaruhi muatan dan tindakan hukum)
2. Kategori kedua: Elemen-elemen substantive yang terdiri : dari subordinasi semua
hukum dan interpretasinya terhadap prinsip-prinsip fundarnental dari keadilan.
Perlindungan hak asasi dan kebebasan perorangan pemajuan hak asasi, social
ekonomis, perlindungan hak kelompok.
3. Kategori ketiga: Mekanisme control (lembaga-lembaga pengawal negara hukum)
terdiri dari, lembaga peradilan yang independen (terkadang diperluas menjadi
trias'politica), lembaga-lembaga lain yang memiliki tanggung jawab dalam menjaga
dan melindungi elemen-elemen negara hukum.20
Teori negara hukum digunakan untuk menyatakan bahwa Indoensia adalah negara hukum
yang menempatkan hukum sebagai acuan tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan
pemerintah.21
Delegasi Pengaturan Kepada Peraturan Gubernur mengkaji kekaburan norma
hukum dengan penerapan teori hukum Tamaha dan Adriaan Bedner, dengan menunjukkan
bahwa dalam negara hukum bukan saja menjadikan hukum sebagai instrumen pemerintah dalam
bertindak, melainkan tetap mendasarkan pada adanya faktor substansial yang mengarahkan
negara menuju negara kesejahteraan sosial dengan menempatkan kesetaraan substantif,
kesejahteraan dan pemeliharaan masyarakat sebagai indikator penentu. Formal Legality, yang
mencakup ciri-ciri yang bersifat (i) prinsip prospektivitas (rule written in advance) dan tidak
boleh bersifat retroaktif, (ii) bersifat umum dalam artiberlaku untuk semua orang, (iii) jelas
19
Yance Arizona, 2011, Negera Hukum Bernurani, Gagasan Satjipto Rahardjo Tentang Negara Hukum
Indonesia, HUMA- Jakarta, h.7. lihat juga dalam Krishna Djaya Darumurti, 2016, Diskresi Kajian Teori Hukum,
Genta Publishing, Yogyakarta, h.14.
20
Adriaan Bedner, 2011, Satjipto Rahardjo Dan Hukum Progresif Urgensi Dan Kritik, Epistema, HUMA,
Jakarta, h.139 -186.
21
Bagir Manan, 1994, Dasar-Dasar dan Sistem Ketatanegaraan Republik Indoensia Menurut UUD 1945,
Universitas Padjajaran, Bandung ( Selanjutnya disebut Bagir Manan II), h.18.
(clear), (iv) public, dan (v) relative stabil. Artinya, dalam bentuk yang „formal legality‟ itu,
diidealkan bahwa prediktabilitas hukum sangat diutamakan. Dalam arti hukum dalam
pendekatan alternatif sebagai instrument pemerintahan tidak saja harus pasti (kepastian hukum)
dan dibuat secara demokratis, tapi juga harus menjamin keadilan dan kemanfaatan bagi
kesejahteraan rakyat.
2.1.2. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
J.J.H. Bruggink memberikan batasan tentang asas hukum yaitu sejenis meta-kaidah
berkenaan dengan kaidah-kaidah perilaku. Asas hukum berfungsi sebagai pondasi dari sistem
hukum positif dan sebagai batu uji kritis terhadap sistem hukum positif.22
Sarjana lain yaitu Paul
Scolten memberikan difinisi tentang asas hukum adalah pokok-pokok pikiran yang terdapat
didalam dan dibelakang sistem hukum (norma).
A.Hamid.S.Attamimi membagi asas pembentukan perundang-undangan atas dua macam
yaitu asas formal dan asas materiil :
1. Asas formal terdiri dari : asas tujuan yang jelas, asas perlunya pengaturan, asas organ
atau lembaga yang tepat, asas materi muatan yang tepat, asas dapat dilaksanakan, asas
dapat dikenali ; dan
2. Asas materiil yaitu asas sesuai dengan cita hukum dan fundamental negara, asas sesuai
dengan hukum dasar negara, asas sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum, asas
sesuai denagan prinsip-prinsip pemerintahan yang berdasarkan konstitusi.23
Kategori asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut dari A.Hamid
S.Attamimi tersebut bertitik tolak pada pendapat Van der Vlies. Kategori dari Van der Vlies
sebagaimana diterangkan oleh A.Hamid S.Attamimi meliputi asas-asas formal dan asas-asas
material :
22
J.J.H. Bruggink, Op.cit, h. 123,132,133.
23
A.Hamid.S.Attamimi I, Op.cit, h. 346.
1. Asas-asas formal yang meliputi : asas tujuan yang jelas, asas organ / lembaga yang
tepat, asas perlunya pengaturan, asas dapat dileksanakan dan asas consensus.
2. Asas material yang meliputi : asas tentang terminologi dan sistematika yang benar,
asas tentang dapat dikenali, asas perlakuan yang sama dalam hukum, asas kepastian
hukum, asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.24
Pertama, asas tujuan yang jelas. Asas ini mencakup tiga hal yaitu mengenai ketepatan
letak peraturan perundang-undangan dalam kerangka kebijakan umum pemerintahan, tujuan
khusus peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk dan tujuan dari bagian-bagian
peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk tersebut. Kedua, asas organ / lembaga yang
tepat. Latar belakang asas ini memberikan penegasan tentang perlunya kejelasan kewengan
organ/lembaga yang menetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Menurut
A.Hamid S.Attamimi, di Indonesia mengenai organ/lembaga yang tepat itu perlu dikaitkan
dengan materi muatan peraturan perundang-undangan itulah yang menyatu dengan kewenangan
masing-masing organ/lembaga yang membentuk jenis peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan. Kewenangan masing-masing organ/lembaga tersebut menentukan materi muatan
peraturan perundang-undangan yang dibentuknya. Ketiga, asas perlunya pengaturan. Asas ini
tumbuh karena selalu untuk menyelesaikan suatu masalah pemerintahan selain dengan
membentuk peraturan perundang-undangan.Keempat, asas dapat dilaksanakan. Asas ini
mencakup dalam penegakan peraturan perundang-undangan. Kelima, asas konsensus. Asas ini
adalah menjadi dasar kesepakatan dari rakyat untuk melaksanakan kewajiban dan menanggung
akibat yang ditimbulkan peraturan perundang-undangan bersangkutan. Berdasarkan Pasal 5
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
24
A.Hamid.S.Attamimi I, Op.cit, h. 330-343.
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g.keterbukaan.
Ketentuan dalam Pasal 6 mengatur :
(1) Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
(2) Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan
Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum
Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
Pembentukan peraturan gubernur harus didasarkan pada asas tujuan yang jelas, asas
organ/lembaga yang tepat, asas perlunya pengaturan adalah sangat relevan untuk mengkaji
delegasi pengaturan kepada peraturan gubernur. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-
undangan, terutama asas kelembagaan dan organ pembentuk yang tepat sangat penting dijadikan
dasar untuk mengkaji dalam pembentukan peraturan gubernur dengan penjabaran dalam konsep
delegasi.
2.1.3 Teori Penjenjangan Norma
Bruggink dalam bukunya Rechts Reflecties yang diterjemahkan kedalam bahasa
indonesia menjadi refleksi tentang hukum oleh Arief Sidharta, mendefinisikan teori hukum
sebagai “suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem
konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum dan sistem tersebut untuk sebagian
yang penting dipositifkan.”25
Menurut Bruggink teori hukum memiliki suatu pengertian ganda,
yaitu teori hukum sebagai produk atau hasil aktivitas dan teori hukum sebagai suatu proses atau
aktivitas. Teori hukum sebagai produk, berkaitan dengan keseluruhan hasil pernyataan yang
saling berkaitan sebagai suatu produk, hasil kegiatan teoritik bidang hukum. Pemahaman terkait
dengan proses, maka perhatiannya diarahkan kepada kegiatan penelitian teoritik bidang hukum
dan tidak pada hasil-hasil kegiatan.
Teori Hans Kelsen yang telah dikenal dalam ilmu hukum tersebut, seperti antara lain : (1)
Teori tentang Reine Rechchtslehre; (2) Teori tentang Grundnorm; dan (3) Teori tentang
Stuffenbau des Rechts. Penelitian dalam penulisan desertasi ini adalah teori tentang hierarki
norma hukum (Stufenbau Theory) dengan didukung dengan norma dasar (grundnorm).
Selanjutnya disebutkan Grundnorm voraussetzt, das heibt : “wie es dem subjektiven Sinn des
Verfassunggebenden Willensaktes, den Vorschriften des Verfassunggebers, entspricht.” oleh
Max Knight diterjemahkan menjadi :
“The basic norm that one ought to behave as the constitution prescribes, that is one
ought to behave in accordance with the subjective meaning of the constitution-creating
act of will-according to the prescriptions of the authority creating the constitution.”
(Norma dasar yang seseorang harus lakukan seperti yang dinyatakan oleh konstitusi
adalah seseorang harus bertindak berdasarkan makna subjektif dari tindakan
pembentukan konstitusi yang tertuang dalam pernyataan/preskrepsi otoritas pembentukan
konstitusi). 26
Teori stufenbau dikemukakan oleh Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa hierarkhi
norma hukum dan rantai validitas hubungan norma-norma hukum merupakan hubungan atas dan
25
Bruggink, Op.cit, h. 172.
26
Hans Kelsen, 1970, The Pure Theory of Law, (Transleted by Max Knight), Los Angeles : University of
California Press, h. 202
bawahan atau pertingkatan, ada norma hukum yang lebih tinggi dan ada norma hukum yang
lebih rendah, sebagaimana diungkap Hans Kelsen.
Tata hukum, terutama tata hukum yang dipersonifikasikan dalam bentuk negara,
bukanlah sistem norma-norma satu sama lain dikoordinasikan semata, yang berdiri
sejajar atau sederajat, melainkan suatu tata urutan norma-norma dari tingkatan-tingkatan
berbeda. Kesatuan norma ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang
satu yakni norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi dan
bahwa regresus ini ( rangkaian proses pembentukan hukum) diakhiri oleh suatu norma
dasar tertinggi, yang karena menjadi dasar tertinggi dari validitas keseluruhan tata hukum
membentuk kesatuan tata hukum ini. 27
Berdasarkan pendapat Hans Kelsen sebagaimana dikemukakan di atas, maka Maria
Farida Soeprapto, menjelaskan pula bahwa :
Norma-norma yang ada dan berlaku mempunyai kaitan antara norma yang satu dengan
norma yang lainnya. Hal tersebut disebabkan karena norma yang terendah mempunyai
daya laku dan bersumber pada norma yang lebih tinggi dan norma yang lebih tinggi
mempunyai daya laku dan bersumber pada norma yang paling tinggi dan pada norma
yang paling tinggi itu tidak dapat ditelusuri lagi asal dan sumbernya oleh karena telah
ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat.28
Disisi lain Adolf Merkl menyatakan, norma juga memiliki dua wajah (das doppelte rechtsantlitz)
dalam arti norma hukum keatas bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya tetapi ke
bawah menjadi sumber bagi peraturan yang ada di bawahnya.29
Hans Nawiasky, salah seorang
murid Hans Kelsen mengembangkan teori gurunya tentang jenjang norma dalam kaitannya
dengan suatu negara. Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan
berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara juga berkelompok-kelompok dan
pengelompokkan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri dari empat kelompok besar yaitu :
27
Hans Kelsen, 1995, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu hukum
Empirik-Deskriptif, Alih Bahasa Soemardi, Rimbi Press (Selanjutnya disebut Hans Kelsen I), h. 126.
28
Maria Farida Indrati Soeprapto, 2004, Ilmu Perundang-undangan, Dasar-Dasar Pembentukannya,
Kanisius, Yogyakarta,( Selanjutnya disebut Maria Farida Indrati Soeprapto I), h. 9.
29
Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-undangan I, Jenis, Fungsi dan Materi Muatan,
Kanisius, Yogyakarta ( Selanjutnya disebut Maria Farida Indrati Soeprapto II), h.41-42.
Kelompok I : Staatfundamentalnorm( Norma fundamental Negara)
Kelompok II : Staatgrundgesetz (Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara)
Kelompok III : Formell Gesetz ( Undang-undang formal )
Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung ( Aturan pelaksana & Aturan
Otomum).30
Kelompok norma hukum yang terakhir adalah peraturan pelaksanaan (Verordnung) dan
peraturan otonom (Autonome Satzung). Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom ini
merupakan peraturan-peraturan yang terletak di bawah undang-undang yang berfungsi
menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang. Peraturan pelaksanaan
bersumber dari kewenangan delegasi sedangkan peraturan otonom bersumber pada kewenangan
atribusi.
Berdasarkan teori stufenbau dalam kaitannya dengan penelitian ini, teori stufenbau
tersebut digunakan untuk melakukan analisis terhadap delegasi pengaturan kepada peraturan
gubernur dilihat dari hierarki peraturan perundang-undangan dan dari jenjang norma hukum.
Delegasi kewenangan pembentukan peraturan gubernur menempatkan norma hukum harus
bersumber pada peraturan daerah dan atas kuasa peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
Jhon Locke berpendapat peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga yang
berwenang dapat memberikan kebaikan kepada masyarakat atau dalam peraturan perundang-
undangan memuat unsur-unsur kepentingan umum.31
Pembentukan peraturan perundang-
undangan merupakan bagian dari ilmu perundang-undangan. Pembentukan peraturan perundang-
30
Hans Nawiasky, 1948, Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,
Einsieich/Zurich/Koln:Benziger.cet.2, h.31. 31
Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem
Presidensial Indoonesia, Rajawali Pres, Jakarta, h. 6 dalam Bayu Dwi Anggono, 2014, Perkembangan Pembentukan
Undang-Undang Di Indonesia, Konpress, h. 23.
undangan menurut Burkhardt Krems, sebagaimana dikutip Maria Farida Indrati Soeprapto32
menyatakan bahwa Ilmu Pengetahuan perundang-undangan (Gesetzgebungs-wissenschaft)
merupakan ilmu yang interdisipliner yang berhubungan dengan ilmu politik dan sosiologi yang
secara garis besar dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian besar, yaitu :
a. Teori Perundang-undangan (Geetzgebungstheorie), yang berorientasi pada mencari
kejelasan dan kejernihan makna atau pengertian-pengertian yang bersifat kognitif.
b. Ilmu Perundang-undangan (Gesetzgebungslehre), yang berorientasi pada melakukan
perbuatan dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan yang bersifat
normatif. Selanjutnya menurut Krems33
, substansi ilmu perundang-undangan
(Gesezgebungslehre) dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) bagian, yaitu :
1. Proses Perundang-undangan (Gesetzgebungsverfahren);
2. Metode Perundang-undangan (Gesetzgebungs-methode); dan
3. Teknik Perundang-undangan (Gesetzgebungstechnik).
Perbedaan teori perundang-undangan dan ilmu perundang-undangan dapat dicermati dari
orientasi, substansi dan karakter, sebagaimana di dalam tabel di bawah ini :
Tabel 2.2.
Perbedaan Gezetgebungstheorie dan Gezetgebunglehre.
Gezetgebungswissenschaft
(Ilmu perundang-undangan)
Orientasi Subtansi/ Materi Karakter /Sifat
Gezetgebungstheorie
(Teori Perundang-undangan)
Menjelaskan
pemahaman
yang bersifat
dasar
Pemahaman
tentang peraturan
perundang-
undangan,
pembentukan,
Kognitif
(Berorientasi pada
usaha menjelaskan
pemahaman yang
bersifat dasar antara
32
Maria Farida Indrati Soeprapto I, Op.cit, h. 9; A.Hamid S Attamimi, 1987, Teori Perundang-undangan
dan Kepentingan Kognitifnya Bagi Pemahaman Sistem Perundang-undangan Indonesia, Makalah dalam Diskusi
Panel tentang Masalah Dalam perundang-undangan dan pemecahannya, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, h.
3.
33
A.Hamid.S. Attamimi I, Op.cit, h. 300.
fungsi dan
sebagainya.
lain ppemhaman
tentang undang-
undang,
pembentukan
peraturan perundang-
undang, fungsi
peraturan perundang-
undangan
Gezetgebunglehre
(Ilmu Perundang-undangan)
Melakukan
perbuatan
pelaksanaan (ke
arah praktik)
Proses, metode
dan teknik
pembentukan
peraturan
perundang-
undangan
Normatif(berorientasi
kepada melakukan
perbuatan)
Pembentukan peraturan perundang-undangan oleh Burkhardt Krems disebut dengan ”staatsliche
rechtssetzung”, menyangkut:
1. isi peraturan (Inhalt der Regelung).
2. bentuk dan susunan peraturan (Form de Regeleung)
3. metode pembentukan peraturan (Methode der Ausarbeitung der
Regelung)
4. prosedur dan proses pembentukan peraturan (Verfahren de Ausarbeitung der
Regelung)34
Apabila menggunakan pemikiran Burkhardt Krems ini sebagai pendekatan, maka perlu
ditindaklanjuti mengenai perihal isi, bentuk dan susunan peraturan, metode pembentukan
peraturan, serta prosedur dan proses pembentukan peraturan ketika mendeskripsikan mengenai
”pembentukan peraturan perundang-undangan”. Perihal ”isi” identik dengan istilah ”materi
muatan”. Materi muatan menekankan pada isi dari ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hans Nawiasky, salah satu murid Hans Kelsen mengembangkan teori gurunya tentang
teori jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negera. Hans Nawisky juga berpendapat
bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu
juga berkelompok-kelompok dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara terdiri atas 4
(empat) kelompok besar antara lain :
34
A.Hamid.S.Attamimi I, Op.cit, h. 300.
1. Kelompok I : Staatsfundamentalnorms (Norma fundamental negara),
2. Kelompok II : Staatsgrundgesetz (aturan dasar/pokok negara),
3. Kelompok III : Formell Gesetz (undang-undang formal) ; dan
4. Verordnung & Autonoe Satzung (Aturan pelaksana dan Aturan otonom).35
Perihal metode pembentukan peraturan (Methode der Ausarbeitung der Regelung)
terdapat beberapa metode salah satunya adalah ROCCIPI. Pendekatan ROCCIPI merupakan
akronim dari: Rule, Opportunity, Capacity, Comunication, Interest, Process, Ideology.
Pendekatan ini merupakan metode pemecahan masalah dalam merancang peraturan perundang-
undangan yang baik. Fungsi ROCCIPI dapat dipahami dari perspektif normatif dan perspektif
empiris, dengan pendekatan lain :
1. Rule (Peraturan).
Berkaitan dengan Rule (Peraturan) dapat diteliti antara lain : 1) Susunan kata dari
peraturan kurang jelas atau rancu; 2) Peraturan mungkin memberi peluang perilaku
masalah; 3) Tidak menangani penyebab-penyebab dari perilaku bermasalah; 4)
Memberi peluang pelaksanaan yang tidak transparan, tidak bertanggung jawab, dan
tidak partisipatif; dan 5) Memberikan kewenangan yang tidak perlu kepada pejabat.
2. Opportunity (Kesempatan).
Berkaitan dengan Opportunity (Kesempatan) dapat diteliti antara lain : 1) Apakah
lingkungan memungkinkan mereka berperilaku sebagaimana diperintahkan undang-
undang atau tidak? 2) Apakah lingkungan membuat perilaku yang sesuai tidak
mungkin terjadi. ?
3. Capacity (Kemampuan).
35
Tanto Lailam,2017, Teori& Hukum Perundang-undangan, Pustaka Pelajar Yogyakarta, h.26
Berkaitan dengan dapat Capacity (Kemampuan) diteliti antara lain : 1) Apakah para
pelaku peran memiliki kemampuan berperilaku sebagaimana ditentukan oleh
peraturan yang ada ? 2) Berperilaku sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang
yang ada; 3) Penerapan dalam prakteknya, kesempatan dan kemampuan saling
bertumpang tindih.; 4) Kategori-kategori ini berhasil dalam tujuannya apabila berhasil
merangsang para pembuat rancangan undang-undang untuk mengidentifikasikan
penyebab dari perilaku bermasalah yang harus diubah oleh rancangan mereka.
4. Communication (Komunikasi).
Berkaitan dengan Communication (Komunikasi) dapat diteliti misalnya ketidaktahuan
seorang pelaku peran tentang undang-undang mungkin dapat menjelaskan mengapa
dia berperilaku tidak sesuai.Apakah pihak yang berwenang telah mengambil langkah-
langkah yang memadai untuk mengomunikasikan peraturan-peraturan yang ada
kepada para pihak yang dituju?.
5. Interest (Kepentingan),
Berkaitan dengan Interest (Kepentingan) dapat diteliti apakah ada kepentingan
material atau non material (sosial) yang mempengaruhi pemegang peran dalam
bertindak sesuai atau tidak sesuai dengan aturan yang ada.?
6. Process (Proses).
Berkaitan dengan Process (Proses) dapat diteliti kriteria dan prosedur apakah dengan
proses yang bagaimana-para pelaku peran memutuskan untuk mematuhi undang-
undang atau tidak?. Biasanya, apabila sekelompok pelaku peran terdiri dari
perorangan, kategori “proses” menghasilkan beberapa hipotesa yang berguna untuk
menjelaskan perilaku mereka. Orang-orang biasanya memutuskan sendiri apakah
akan mematuhi peraturan atau tidak.
7. Ideology (Idiologi). Apakah nilai-nilai, kebiasaan dan adat-istiadat yang ada cukup
mempengaruhi pemegang peran untuk bertindak sesuai atau bertentangan dengan
aturan yang ada.36
Berkaitan dengan delegasi pengaturan kepada peraturan gubernur tidak semuan akronim
dalam pendekatan ROCCIPI yaitu Rule, Opportunity, Capacity, Comunication, Interest,
Process, Ideology. Penerapan dalam delegasi pengaturan yang paling diutamakan adalah Rule
kemudian dikuti komponen yang lain sesuai dengan materi muatan yang akan didelegasikan.
Menurut A.Hamid.S.Attamimi, peraturan perundang-undangan (wettelijke regels) secara
harfiah dapat diartikan peraturan yang berkaitan dengan undang-undang baik peraturan itu
berupa undang-undang sendiri maupun peraturan lebih rendah.37
TJ Buys mengartikan peraturan
perunsang-undangan adalah peraturan yang mengikat secara umum (algemeen bindende
voorschriften). Pendapat tersebut oleh JHA Logemann ditambahkan dengan kata-kata ”naar
butien werkende voorschriften”, sehingga menururtnya peraturan perundang-undangan adalah
peraturan-peraturan yang mengikat secara umum dan berdaya laku keluar (algemeen bindende en
naar buiten werkende voorschriften).38
Pembentukan produk hukum atau law forming (bahasa inggris) atau rechtsvorming
(bahasa Belanda) adalah pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai peraturan tertulis
yang mengikat umum. Peraturan perundang-undangan disini dimaksudkan peraturan yang
36
Ann Seidman, Op.cit, h.117-120.
37
A.Hamid.S.Attamimi, 1993, Hukum Tentang Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Kebijakan,
PidatoPurna Bakti Guru Besar Tetap Universitas Indoensia, (Selanjutnya disebut A.Hamid.S.Attamimi II), h.5.
38
Ammiroeddin Syarif, Op.cit, h. 32-33.
dibentuk berdasarkan wewenang legislasi yang bersifat atribusi atau berdasarkan yang bersifat
delegasi. Wewenang regulasi dalam peraturan perundanng-undangan menurut doktrin hukum
disebut produk delegasi perundang-undangan atau delegated legislation yang dalam bahasa
Belanda disebut delegatie van wetgeving. Pembentukan peraturan perundang-undangan pada
hakekatnya ialah pembentukan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan yang bersifat
umum. Norma hukum berlaku keluar berarti berlaku baik bagi jajaran pemerintahan maupun
bagi rakyat.39
Menurut A.Hamid.S.Attamimi dalam kaitannya dengan pembentukan norma dalam
peraturan perundang-undangan mengandung 3 (tiga) unsur sebagai berikut :
1. norma hukum ( rechtsnirmen);
2. berlaku ke luar ( naar buiten werken); dan
3. berlaku keluar dalam arti luas (leemeenheid in ruinezin).40
Norma dalam peraturan perundang-undangan mengandung sifat antara lain : 1) perintah
(gebod); 2) laranan (verbod); 3) pengizinan (toestemming); 4) pembebasan (vrijstelling). Kriteria
yang lazim digunakan adalah dari subyek dan obyek. Dari segi subyek ditunjukkan dengan
melihat norma hukum dari segi alamat (addressat) atau untuk siapa norma hukum itu ditujukan
atau diperuntukkan. Apabila suatu norma hukum yang ditujukan adalah untuk orang banyak
(addressat umum) dan tidak tertentu disebut dengan norma hukum umum. Norma hukum yang
ditujukan untuk seseorang atau beberapa orang disebut norma hukum individual. Dari segi obyek
dalam arti hal yang diatur atau perbuatan tingkah lakunya yang diatur hal-hal yang tertentu
disebut norma hukum kongkrit sedangkan norma hukum mengenai hal-hal yang tidak tertentu
disebut norma hukum abstrak. Dari sifat-sifat norma hukum yang umum-individual dan norma
39
A.Hamid.S.Attamimi II, Op.cit, h. 315.
40
A.Hamid.S.Attamimi I, Op.cit, h. 314.
hukum yang abstrak-konkret, terdapat empat kombinasi yakni : norma hukum umum-abstrak,
norma hukum umum-konkrit, norma hukum individual-abstrak dan norma hukum individual-
konkrit.
Dari empat macam kombinasi norma dengan sifat-sifatnya yang umum-individual dan
abstrak-kongkrit peraturan perundang-undangan seyogyanya mengandung norma hukum yang
umum-abstrak atau sekurang-kurangnya umum-kongkrit. Norma lainnya yaitu yang individual
abstrak dan lebih-lebih lagi individual kongkrit lebih mendekati penetapan (beschiking) daripada
peraturan (regeling).
Keberlakuan suatu norma ditentukan oleh hubungan norma-norma hukum atas dan
bawahan atau pertingkatan, norma hukum yang lebih tinggi dan norma hukum yang lebih rendah
sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen :
Kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang satu-
yakni norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi, dan
regressus (rangkaian proses pembentukan hukum ) ini diakhiri oleh suatu norma dasar
tertinggi dari validitas keseluruhan tatanan hukum, membentuk suatu kesatuan tatanan
hukum ini.41
Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis juga
berkelompok-kelompok. Bila kelompok-kelompok tersebut dalam struktur tata hukum Indonesia
adalah :
1. Staatfundamentalnorm : Pancasila (Pembukaan UUD 1945) ;
2. Staatsgrundgezet : Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR;
3. Formell gezets: Undang-Undang ;
4. Verordnung en autonome satzung : Secara hirarkhis mulai dari Peraturan Pemerintah,
Gubernur dan Peraturan walikota / Bupati, hingga Peraturan Kepala Desa.42
41
Hans Kelsen, 2006, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Terjemahan dari Hans Kelsen General
Theory of Law and State ( New York ; Russel and Russel, 1971), Penerbit Nusamedia & penerbit Nuansa, Bandung
(Selanjutnya disebut Hans Kelsen II), h. 179.
42
Maria Farida Indrati Soeprapto I, Op.cit, h. 45-56.
Dengan mengutip Hans Nawiasky dan Carl Schmitt disebutkan bahwa melihat dari wujud norma
hukum, norma yang paling abstrak adalah Staatfundamentalnorm 43
. Norma yang lebih kongkrit
adalah norma hukum yang lebih rendah lagi adalah Formell gezets karena sudah dapat
dilengkapi ketentuan mengenai sanksi-sanksi bagi pelanggarnya. Jenis terakhir Verordnung en
autonome satzung berupa peraturan pelaksanaan atau peraturan otonomi yang bersifat kongkrit.
Apabila menggunakan pemikiran Burkhardt Krems ini sebagai pendekatan, maka perlu
ditindaklanjuti mengenai perihal isi, bentuk dan susunan peraturan, metode pembentukan
peraturan, serta prosedur dan proses pembentukan peraturan ketika mendeskripsikan mengenai
”pembentukan peraturan perundang-undangan”. Perihal ”isi” identik dengan istilah ”materi
muatan”. Materi muatan menekankan pada isi dari ketentuan peraturan perundang-undangan44
.
Pengertian pembentukan peraturan perundang-undangan dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
yang menentukan pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan
perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan dan pengundangan.
Pemahaman secara otentik tentang pembentukan peraturan perundang-undangan
berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur bahwa pembentukan peraturan
perundang-undangan mengandung unsur-unsur pengertian antara lain :
1. Prosess pembuatan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan bersifat umum ;
2. Dilakukan oleh atau pejabat yang berwenang ; dan
43
Darji Darmodiharja, 2004, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum
Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 224. 44
A.Hamid.S.Attamimi I, Op.cit, h. 318-319.
3. Pada dasarnya dimulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahaan atau
penetapan dan pengundangan.
Ketentuan pengaturan secara otentik terkait dengan Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan mengalami perubahan dari ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Perbedaan tersebut
nampak dalam tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaiman adalam tabel di
bawah ini :
Tabel 2.3.
Perbedaan Pengertian Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
adalah proses pembuatan Peraturan
Perundang- undangan yang pada dasarnya
dimulai dari
1. perencanaan;
2. persiapan;
3. teknik penyusunan;
4. perumusan;
5. pembahasan;
6. pengesaha;,
7. pengundangan, dan
penyebarluasan
pembentukan peraturan perundang-
undangan adalah pembuatan peraturan
perundang-undangan yang mencakup
tahapan
1. perencanaan;
2. penyusunan;
3. pembahasan;
4. pengesahan atau penetapan;
dan
5. pengundangan.
Perbedaan pengaturan terkait pembentukan peraturan perundang-undangan nampak pada
:
1. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 mengatur norma
tentang persiapan dan perumusan. Norma persiapan dan perumusan nampak tidak
dirumuskan kembali dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, namun perumusan norma
persiapan dan perumusan dimasukkan pada tahap penyusunan yaitu dalam Bab V
Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
2. Perumusan norma teknik penyusunan dalam Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak
dimuat lagi dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, namun dalam Bab VI Undang-Undang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur tentang teknik penyusunan
peraturan perundang-undangan.
3. Adanya perumusan norma pengesahan atau penetapan dalam Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Perumusan norma penngesahan tersebut dijabarkan di dalam batang tubuh
yaitu dalam Bab VII tentang Pembahasan dan Pengesahan Rancangan Undang-
Undang. Dalam Bab tersebut dijtunjukkan bahwa pengesahan ditujukan kepada
Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.
Perumusan norma penetapan mengandung makna ditujukan bagi peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-Undang.
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-undangan (Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan) norma tentang persipan
dan perumusan dimasukkan dalam tahap perencanaan. Berdasarkan naskah akademik dijelaskan
bahwa tahapan penyusunan terdapat beberapa kegiatan termasuk di dalamnya tahap persiapan
dan tahap perumusan, hal tersebut sebagaimana tampak dalam kutipan di bawah ini.
6.Penyusunan Peraturan Perundang-undangan
Tahap kedua dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah tahap
penyusunan. Dalam tahap penyusunan ini terdapat beberapa kegiatan penting yang
diatur dalam RUU ini, yaitu penyusunan Naskah Akademik. Naskah Akademik
memuat pemikiran-pemikiran akademik mengenai substansi dari peraturan perundang-
undangan yang dirumuskan. Naskah Akademik sangat membantu Anggota Dewan
atau siapa pun yang terlibat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
tersebut, karena semua data, informasi dan pemikiran akademik yang terkait dengan
substansi terkumpulkan dalam dokumen Naskah Akademik ini.45
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-undangan (Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan) juga menyebutkan bahwa
ketentuan dalam Pasal 1 dirubah. Perubahan yang dimaksud adalah perubahaan makna
pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Perubahaan makna
tersebut ditunjukkan dengan perubahan norma hukum dalam merumuskan pengertian dari
pembentukan peraturan perundangan pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang
mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan.
Terkait dengan pembentukan peraturan perundang-undangan Bagir Manan juga
memberikan pemahaman bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan terdapat
dua tahap antara lain ;
1. Tahap Penyusunan Naskah Akademik
Pada tahap ini dilakukan penelitian ilmiah terkait dengan dasar-dasar filosofis,
sosiologis dan yuridis,
2. Tahap Perancangan
Pada tahap ini mencakup aspek procedural dan penulisan rancangan dalam hal ini
aspek procedural terkait dengan prakarsa, pembentukan panitia antar departemen dan
lain sebagainya. Terkait dengan penulisan rancangan adalah menerjemahkan gagasan,
naskah akademik atau bahan-bahan lain ke dalam bahasa dan struktur yang
normatif.46
Pengaturan dalam Pasal 1 angka 19 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun
2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah mengatur bahwa produk hukum daerah
45
DPR-RI, 2010, Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-undangan, Badan Legislasi Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, h. 66. 46
Bagir Manan I, Op.cit, h. 18-19.
adalah produk hukum berbentuk peraturan meliputi perda atau nama lainnya, perkada, PB KDH,
peraturan DPRD dan berbentuk keputusan meliputi keputusan kepala daerah, keputusan DPRD,
keputusan pimpinan DPRD dan keputusan badan kehormatan DPRD. Peraturan perundang-
undangan daerah diartikan sebagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh
pemerintah daerah atau salah satu unsur pemerintah daerah yang berwenang membuat peraturan
perundang-undangan daerah. Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah mengatur bahwa produk hukum daerah berbentuk
peraturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a terdiri atas :
a. perda (Peraturan Daerah);
b. perkada (Peraturan Kepala Daerah);
c. PB KDH (Peraturan Bersama Kepala Daerah) ; dan
d. peraturan DPRD.
Perlu juga dicermati tidak semua peraturan perundang-perundangan dalam hierarkhi maupun di
luar hierarkhi melalui tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan karena tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan
menyesuaikan dengan jenis dan fungsi peraturan perundang-undangan. Begitu juga dalam
kaitannya dengan pembentukan Peraturan Gubernur apabila dilihat dari pengertian pembentukan
peraturan perundang-undangan tidak melalui seluruh tahapan yang diatur dalam Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Tidak dipenuhinya seluruh tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan didasarkan pada bentuk dan jenis peraturan perundang-undangan.
2.1.4 Teori Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Perkembangan pemikiran tentang peraturan perundang-undangan dimulai ada pada jaman
Yunani kuno, melalui pemikiran para filsuf antara lain Plato dalam bukunya berjudul Laws yang
melakukan perubahan pemikiran terhadap apa yang telah dipikirkan semula dalam karyanya
Politea.47
Sebelumnya ia menganggap bahwa cukup memberikan keleluasan/kebebasan kepada
seorang filsuf yang menjadi raja dalam memimpin negara, karena raja itu telah dianggap
memahami hakekat tujuan dari negara. Pada akhirnya, pemikiran itu beralih pada ide tidak bisa
penyelenggaraan negara dijalankan oleh raja-raja berlatar belakang filsuf untuk melaksanakan
semua kewenangan tanpa peraturan-peraturan tertulis. Kemudian, pendapat inilah yang
memunculkan pandangan bahwa keadilan itu tidak bisa hanya didapatkan dari pikiran-pikiran
melainkan harus dituangkan dalam peraturan tertulis. Plato mengatakan, hukum adalah pikiran
yang masuk akal (reason thought, logismos) yang dirumuskan dalam keputusan negara. Ia
menolak anggapan bahwa otoritas dari hukum semata-mata bertumpu pada kemauan dari
kekuatan yang memerintah (governing power). Uraian pemikiran Plato ini memberikan
gambaran bahwa hukum itu tidak boleh hanya sekedar kemauan penguasa.
Istilah peraturan perundang-undangan dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah
wettelijke regels atau wettelijke regeling, walaupun demikian istilah tersebut tidak mutlak
dipakai secara konsisten karena dalam konteks tertentu lebih tepat dipergunakan istilah
perundang-undangan dan dalam konteks lain dipergunakan istilah peraturan perundang-
undangan. Peristilahan terkait dengan peraturan perundang-undangan dapat juga berarti proses
dan produk. Penggunaan istilah peraturan perundang-undangan lebih berkaitan atau relevan
dengan pembicaraan mengenai jenis atau bentuk peraturan, pada bagian lain lebih tepat
dipergunakan perundang-undangan misalnya dalam istilah Ilmu Perundang-undangan, Teori
47
Max Boli Sabon, 1994, Ilmu Negara Panduan Mahasiswa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.40.
Perundang-undangan dan Dasar-Dasar Perundang-undangan.48
Pemahaman tersebut juga
berlaku terkait dengan peraturan perundang-undangan secara keseluruhan termasuk didalamnya
peraturan daerah.
Kepustakaan Belanda dikenal pemahaman tentang wet yang formal dan yang meterial
(het formele en het materiele wetsbegrip). Perbedaan dari kedua pemahaman tersebut bersumber
pada siapa yang bertugas sebagai pembentuk wet de wetgever. Menurut Wirjono Projodikoro
pengertian undang-undang adalah suatu peraturan hukum yang bersifat istimewa.49
Sebagai suatu
peraturan hukum, maka isi dari undang-undang adalah untuk mengatur berbagai kepentingan
dalam masyarakat...dst, kemudian ia mengemukakan : ”undang-undang dalam arti formil ialah
segala aturan yang terbentuk secara persetujuan antara pemerintah (presiden) dan dewan
perwakilan rakyat dengan tidak memperdulikan isi dari peraturan itu”.50
Berdasarkan uraian tersebut menururt A.Hamid S.Attamimi, ada tiga hal yang dapat
dicermati antara lain : Pertama, ia mengikuti negara-negara Jerman dan Belanda yang
mengadakan pembedaan antara undang-undang dalam arti formal atau wet in formele zin dan
undang-undang dalam arti material atau wet in materiele zin yang menurut A.Hamid S.Attamimi
selain tidak perlu juga menimbulkan kerancuan. Kedua, ia mendifinisikan undang-undang
dengan peraturan hukum. Ketiga, ia merumuskan pelaksanaan kekuasaan pembentukan undang-
undang sebagai persetujuan antara pemerintah (presiden) dan DPR. Terhadap kerancuan
pendapat Wirjono Projodikoro yang pertama yakni bahwa di Indonesia juga ada undang-undang
dalam arti formal dan undang-undang dalam arti material A.Hamid S.Attamimi menanggapi
bahwa istilah wet in formele zin atau formele wet dan wet in materele zin atau materiele wet di
48
Rosjidi Ranggawidjaja, Op.cit , h.17.
49
Wirjono Projodikoro, 1977, Azas-azas Hukum Tata Negara, Dian Rakjat, Jakarta, h. 71-72.
50
A.Hamid.S.Attamimi I, Op.cit, h. 159-160.
Jerman Gesets in formellen sinne atau formell Gesets dan Gesetz in materiellen Sinne atau
materiell Gestz sudah lama berakar dalam masyarakat. Yang pertama berarti keputusan dalam
bentuk wet (besluit in wetsvorm) yang ditetapkan oleh pemerintah (regering) keputusan dan
lembaga yang disebut staten general. Sedangkan yang kedua berarti peraturan hukum yang
berlaku umum dan mengikat rakyat, biasanya disertai dengan sanksi yang dibuat oleh lembaga-
lembaga tertentu dan melelui prosedur tertentu pula.51
Permasalahan jika undang-undang
diartikan pada semua aturan hukum yang dibentuk oleh semua tingkat lembaga akan
memperoleh nama undang-undang dalam arti material. Hal tersebut adalah tidak benar dan
sebaiknya digunakan istilah lain misalnya peraturan perundang-undangan sehingga menimbulkan
kerancuan istilah dalam bahasa Indonesia undang-undang dalam arti formal dan undang-undang
dalam arti material yang menimbulkan kerancuan seperti pendapat Wirjono Prodjodikoro di atas.
Menurut A.Hamid.S.Attamimi tidak tepat apabila kata-kata wet in formale zin
diterjemahkan undang-undang dalam arti formal ataupun kata-kata wet in material zin dengan
undang-undang dalam arti material, sebab kata undang-undang dalam bahasa Indonesia tidak
dapat dilepaskan kaitannya dengan dari konteks pengertian ketatanegaraan Indonesia menurut
UUD NRI 1945. Apabila dilepaskan dari konteks pengertian tersebut maka akan timbul
kerancuan mengenai pemahamannya. Berikut diuraikan undang-undang dalam pengertian teknis
ketatanegaraan Indonesia adalah produk hukum yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan
bersama Presiden. Wet in materiele zin memang memang dapat dipersamakan dengan undang-
undang, karena secara formal wet merupakan hasil bentukan pembentukan wet yang di negara
Belanda terdiri dari Pemerintan (regering) dan Staten General bersama-sama, sedangkan
undang-undang di negara Indonesia dibentuk oleh DPR dengan persetujuan Presiden. Wet di
negeri Belanda memiliki arti lain ia berisi peraturan tetapi tidak selalu merupakan hasil bentukan
51
A.Hamid.S.Attamimi I, Op.cit, h. 161.
Regering dan Staten General bersama-sama melainkan dapat juga produk pembentuk peraturan
(regelvelver) yang lebih rendah seperti Raja, Menteri, Provinsi, Kotamadya dan lainnya. Agar
tidak terjadi kerancuan A.Hamid.S.Attamimi menyarankan agar kata-kata wet in formele zin
dterjemahkan dengan undang-undang sedang wet in materiele zin dengan peraturan perundang-
undangan.52
Berdasarkan uraian A.Hamid.S.Attamimi tersebut dua hal yang dapat dicermati yaitu :
1. pengertian peraturan perundang-undangan sebagai terjemahan wet in materiele zin
atau materiele wet adalah peraturan hukum yang berlaku umum dan mengikat rakyat
biasanya disertai sanksi yang dibuat oleh lembaga-lembaga tertentu dan menurut
prosedur tertentu pula.
2. keberatan A.Hamid.S.Attamimi atas terjemahan wet in materiele zin menjadi
undang-undang dalam arti material karena wet in materiele zin di negeri Belanda
memiliki arti yang khusus yakni meski berisi peraturan tetapi tidak selalu merupakan
hasil bentukan Regering dan Staten General bersama-sama, melainkan dapat juga
merupakan produk pembentuk peraturan (regelgever) yang lebih rendah yang lebih
rendah seperti Raja, Menteri, Provinsi, Kotamadya dan lainnya. Hal yang sama terjadi
juga di Indonesia makna undang-undang dalam arti material tiak selalu peraturan
hasil bentukan DPR dengan persetujuan presiden, melainkan dapat juga produk
presiden (tanpa persetujuan DPR), Provinsi dan Kabupaten/Kota. Oleh karena itu
tidak ada alasan menolak alih bahasa wet in materiele zin menjadi undang-undang
dalam arti materiel, sebagaimana lazim digunakan kepustakaan hukum.53
52
A.Hamid.S.Attamimi I, h.199-200. 53
Terkait dengan istilah undang-undang dalam arti materiil secara otentik digunakan istilah peraturan
perundang-undangan sebagaimana dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Berpedoman pada P.J.P. Tak, Bagir Manan mengartikan undang-undang dalam arti
materiil adalah setiap keputusan tertulis yang dituangkan oleh pejabat yang berwenang yang
berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum. Inilah yang dimaksud
dengan peraturan perundang-undangan. Dari uraian ini lanjut Bagir Manan tidaklah begitu salah
kalau orang awam mengatakan bahwa setiap aturan aturan tertulis yang dibuat atau dikeluarkan
pejabat yang berwenang adalah undang-undang. Hanya undang-undang disini dalam arti meterial
bukan dalam arti formal.54
Pengertian peraturan perundang-undangan adalah semua aturan hukum yang dibentuk
oleh semua tingkat lembaga dalam bentuk tertentu dengan prosedur tertentu, biasanya disertai
sanksi dan berlaku umum serta mengikat rakyat. Berdasarkan dari pengertian tersebut
menggunakan unsur-unsur sebagai berikut :
1. peraturan hukum;
2. yang dibuat oleh lembaga-lembaga yang bersumber pada kekuasaan legislatif
(berdasar kewenangan atribusi ataupun kewenangan delegasi dari undang-undang);
3. yang berlaku umum dan mengikat rakyat;
4. biasanya disertai sanksi; dan
5. menurut prosedur tertentu pula.
Menurut Bagir Manan pengertian peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut :
1. Setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan jabatan yang
berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat umum.
2. Merupakan aturan-aturan tingkah laku yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai hak,
kewajiban, fungsi status atau suatu tatanan
Usaha Negara diubah dengan Undang-Undang No 9 Tahun 2000. Lihat pula dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan.
54
Bagir Manan I, Op.cit, h.3.
3. Merupakan peraturan yang mempunyai ciri-ciri umum-abstrak atau abstrak-umum,
artinya tidak mengatur atau tidak ditujukan pada obyek peristiwa atau gejala konkret
tertentu.
4. Dengan mengambil pemahaman dalam kepustkaan belanda, peraturan perundang-
undangan lazim disebut dengan wet in materiele zin.55
Pemahaman tentang peraturan perundang-undangan menurut PJP Tak dalam bukunya
Rechtsvorming In Nederlands mengartikan peraturan perundang-undangan adalah setiap
keputusan tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku
yang bersifat dan mengikat secara umum.56
Disisi lain Bagir Manan dan Kuntana Magnar
memberikan pengertian peraturan perundang-undangan adalah setiap putusan tertulis yang
dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan oleh lembaga dan atau pejabat yang mempunyai atau
menjalankan fungsi legislatif sesuai dengan cara yang berlaku.57
Pendapat tersebut oleh JHA Logemann ditambahkan dengan kata-kata naar butien
werkende voorschriften58
sehingga menurutnya peraturan perundang-undangan adalah
peraturan-peraturan yang mengikat secara umum dan berdaya laku keluar (algemeen bindende en
naar buiten werkende voorschriften). Pemahaman tersebut menunjukkan bahwa peraturan
perundang-undangan dibentuk tidak hanya mengikat bagi pembentuknya. Pendapat terkait
dengan pengertian peraturan perundang-undangan menurut TJ Buys mengartikan peraturan
perundang-undangan adalah peraturan yang mengikat secara umum (algemeen bindende
voorschriften) dalam arti mengikat setiap subyek hukum yang diatur dalam peraturan tersebut.
55
Bagir Manan, 1994, Ketentuan-Ketentuan tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Dalam
Pembangunan Hukum Nasonal , LPND, Jakarta ( Selanjutnya disebut Bagir Manan III), h. 1-3.
56
PJP Tak dalam Bagir Manan I, Op.cit, h. 2-3.
57
Bagir Manan & Kuntana Magnar, 1987, Peranan Peraturan Perundang-undangan Dalam Pembinaan
Hukum Nasional, Armico, Bandung (Selanjutnya disebut Bagir Manan IV), h.3.
58
Ammiroeddin Syarif, 1987, Peraturan Perundang-undangan : Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya,
Bina Aksara, Jakarta. h. 32-33.
Berdasarkan pada pendapat A.Hamid.S.Attamimi, Bagir Manan, TJ Buys dan Logeman
dapat disimpulkan peraturan perundang-undangan adalah semua aturan hukum yang dibentuk
oleh semua tingkat lembaga yang berwenang dalam bentuk tertentu dengan prosedur tertentu dan
biasanya disertai sanksi dan berlaku umum.
DWP Ruiter menyatakan peraturan perundang-undangan mengandung tiga unsur antara
lain :
1) Norma hukum (rechtsnorm),
2) norma berlaku keluar
3) norma bersifat umum dalam arti luas.59
Norma hukum sifat norma hukum dapat berupa perintah (gebod), larangan (verbod), pengizinn
(toestemming) dan pembebasan (vrijstelling). Norma berlaku keluar berarti norma ditujukan
kepada rakyat maupun pemerintah. Norma bersifat umum dalam arti luas, berdasarkan pada
adressat (alamat) yang dituju norma dibedakan atas norma hukum umum (ditujukan kepada
setiap orang) dan norma hukum individual (ditujukan kepada orang tertentu). Jika dilihat dari hal
yang diatur norma dibedakan atas norma yang abstrak (abstract) untuk peristiwa tertentu dan
yang kongket (concreet) untuk peristiwa yang tidak tertentu. Menurut Algra & Duyyendijk
beberapa kelebihan dari perundang-undangan dibandingkan dengan norma lain sebagai berikut :
1. Tingkat predikbilitas yang besar. Hal ini berhubungan dengan sifat prosfektif dari
perundang-undangan, yaitu yang pengaturannya ditunjukkan ke masa depan, oleh
karena itu pula ia harus dapat memenuhi syarat agar orang-orang mengetahui apa atau
tingkah laku apa yang diharapkan dari mereka pada waktu yang akan datang dan
bukan yang sudah lewat. Dengan demikian peraturan perundag-undangan senantiasa
dituntut untuk memberitahu secara pasti terlebih dahulu hal-hal yang diharapkan
untuk dilakukan atau tidak dilakukan oleh anggota masyarakat. Asas-asas hukum,
seperti “ asas tidak berlaku surut” memberikan jaminan, bahwa kelebihan yang
demikian itu dapat dilaksanakan secara seksama.
2. Kecuali kepastian yang lebih mengarah kepada bentuk formal diatas, perundang-
undangan juga memberikan kepastian mengenai nilai yang dipertaruhkan. Sekali
59
Maria Farida Indrati Soeprapto II, h.35-36.
suatu peraturan dibuat, maka menjadi pasti pulalh nilai yang hendak dilindungi oleh
peraturan tersebut. Oleh karena itu orang tidak perlu lagi memperdebatkan apakah
nilai itu bisa diterima atau tidak.60
Menurut Buys undang-undang dalam arti meteriil adalah :
setiap keputusan pemerintah (para penguasa overheid) yang menurut isinya(atau dengan
kata lain : menurut materi(=isi)-nya), mengikat langsung terus setiap penduduk (suatu
daerah). Anggapan tersebut dikenal dengan undang-undang dalam arti meteriil menurut
Buys begrip wet in materrele zin volgen.61
Bilamana suatu keputusan pemerintah dalam bentuk peraturan perundang-undangan
dapat dilihat dari isi keputusan yang bersangkutan, apabila keputusan itu mengikat langsung
secara umum kepada semua penduduk maka keputusan tersebut dalam bentuk peraturan
perundang-undangan.
Karakter mengikat secara umum merupakan suatu kebalikan dari karakter mengikat
secara kongkrit, mengikat umum dapat juga dimaknai dari isi atau materi yang bermakna
umum.62
Seturut dengan pandangan tersebut R. Bohtlink juga memiliki pandangan yang sama
terkait dengan norma hukum beraku secara umum.Norma-norma hukum berlaku umum menururt
F.R. Bohtlink mengandung beberapa konsekuensi antara lain :
a. ”umum”itu dapat berhubungan dengan lingkup ruang berlakunya (ruimtelijk
geldingsgebeid ruimtegebied) dalam arti berlaku dimana-mana;
b. “umum” itu dapat berhubungan dengan lingkup waktu (tijdsgebeid) dalam arti
berlaku terus menerus tanpa maksud terlebih dahulu akan mengubah atau
menariknya;
c. “umum” itu berhubungan dengan subyek hukum yang terkena norma hukum tersebut
yakni tidak boleh bersifat individual karena kebenaran demikian juga UU berlaku
untuk semua orang;
61 E. Utrecht I, Op.cit, h.90-91.
62
NE.Algra, Van Duyvendijk, JCT Simorangkair & Boerhanoedin Soetan Batoeh, 1983, Mula Hukum
Beberapa Bab Mengenai Hukum dan Ilmu Hukum Untuk Pendidikan Hukum Dalam Pengantar Ilmu
Hukum,Binacipta, Jakarta, h. 28-29.
d. “umum” itu akhirnya berhubungan dengan fakta hukum (rechtsfeit) dari hukum
tersebut harus merupakan fakta yang selalu ada dimana-mana dapat terulang.63
Pandangan lain terkait mengikat secara umum suatu peraturan perundang-undangan
menurut Van der Vlies karakter mengikat secara umum antara lain :
1. bersifat umum menurut tempat, sifat umum diartikan untuk menentukan wilayah
hukum dari keberlakuan suatu peraturan perundang-undangan.
2. keumuman menurut waktu, perundang-undangan tidak dapat ditentukan batas waktu
minimum bertait dengan berkunya, segera setelah suatu peraturan perundang-
undangan mulai berjalan otomatis berlaku. Tidak ada kriterium seperti menurut
tempat.
3. peristiwa hukum yang dapat diulang, syarat dari suatu peraturan perundang-undangan
berisikan suatu peristiwa hukum yang dapat diulang mengandung pengertian bahwa
tidak boleh ditujukan pada suatu peristiwa kongkrit.
4. keumuman menurut subyek, yang terdiri dari :
a. tidak untuk semua subyek, yang berarti hanya mereka yang menjadi sasaran
pengaturan oleh pembentuk peraturan perundang-undangan
b. kasus antara, yang berarti peraturan perundang-undangan yang ditujukan kepada
kelompok yang dapat ditentukan dan peraturan yang ditujukan kepada pengurus.
c. peraturan umum dengan pengecualian, peraturan umum yang ditujukan kepada
subyek hukum selalu berkaitan dengan suatu tindakan tertentu. Tindakan tertentu
iut dapat berupa norma perintah ataupun norma larangan.64
Suatu peraturan perundang-undangan memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
63
F.R. Bohtlink dalam Padmo Wahjono 1984, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Gahalia
Indonesia, Jakarta ( Selanjutnya disebut Padmo Wahyono I), h. 135. 64
Van der Vlies, Op.cit, h.151-165.
1. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari
sifat-sifat yang khusus dan terbatas.
2. Bersifat universal, yang diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan
datang yang belum jelas bentuk kongkritnya. Oleh karena itu ia tidak dapat
dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja.
3. Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Adalah
lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan klausul yang memuat kemungkinan
dilakukan peninjauan kembali.
Pemahaman terkait dengan karakter mengikat secara umum suatu peraturan perundang-undangan
selalu nampak dari tahap pembentukan hingga tahap pengujian peraturan perundang-undangan.
Berkaitan dengan tahap pengujian juga nampak dalam beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi
antara lain :
Tabel 2.4.
Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Membahas Tentang Karakter Peraturan Peraturan
Perundang-Undangan Sebagai Norma Umum.
No Putusan Perihal 1 Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor Perkara Nomor
003/PUU-III/2005 tentang
permohonan Hak Uji Materiil
dan Formil atas Undang-
undang Nomor 19 Tahun 2004
tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang
Kehutananan menjadi
Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945
Dalam perkara pengujian tersebut para pemohomon
mendalilkan bahwa materi muatan norma yang
terkandung dalam UU No. 19 Tahun 2004 tidak
layak sebagai suatu undang-undang, karena materi
muatan undang-undang a quo bukan merupakan
norma yang bersifat umum abstrak, tetapi hanya
merupakan norma yang bersifat individual konkrit
dan eenmalig berupa penetapan (beschikking)
perizinan. Dalam pertimbangan Mahkamah
menyatakan:
bahwa materi muatan Pasal 83A merupakan norma
umum abstrak yang termasuk norma ketentuan
peralihan, bukan norma individual konkrit berupa
penetapan sebagaimana didalilkan oleh para
Pemohon. Demikian pula Pasal 83B, materi
muatannya merupakan norma umum abstrak yang
termasuk dalam ketentuan penutup yang sifatnya
menjalankan (eksekutif), yaitu penunjukan pejabat
tertentu, dalam hal ini Presiden, yang diberi
kewenangan untuk memberikan izin dengan
Keputusan Presiden.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor Perkara Nomor
50/PUU-VIII/2010
Pengujian Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial
Nasional terhadap Undang-
Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun
1945Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional terhadap Undang-
Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun
1945
Pemohon berpendapat bahwa :
Pasal 17 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU SJSN
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28I ayat (2), ayat (4),
ayat (5) serta Pasal 34 UUD Tahun 1945. Pendapat
Mahkamah dalam putusan provisi Menurut
Mahkamah, permohonan putusan provisi para
Pemohon tersebut tidak
tepat menurut hukum karena tidak terkait langsung
dengan pokok permohonan a quo dengan alasan:
Pengujian Undang-Undang (judicial review),
putusan Mahkamah hanya menguji norma umum
abstrak, tidak mengadili kasus konkret seperti
menghentikan sementara proses pembahasan
rancangan Undang- Undang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
3. Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor Perkara Nomor
57/PUU-XII/2014 tentang
permohonan Hak Uji Materiil
dan Formil atas Undang-
undang Nomor 36 Tahun 2008
tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1993 tentang
Perubahan keempat atas
Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1993 tentang Pajak
Penghasilan terhadap Undang-
Undang Dasar Negara
Republik Indoensia Tahun
1945
Pemohon berpendapat adanya ketidak adilan dalam
“akar rumputnya” yaitu pada pasal 4 ayat (2) huruf e
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang sangat
berpotensi multi tafsir dari norma dalam Pasal
tersebut dan pengurangan hak konstitusional
pemohon. Dalam keterangan presiden menyatakan :
Lembaga pembentuk peraturan perundang-
undangan, memiliki kewenangan untuk membentuk
peraturan yang mengikat secara umum jika
diperintahkan atau diberikan kewenangan untuk itu.
Norma umum dibentuk oleh organ legislative dan
lembaga lainnya sepanjang mengatur masyarakat
secara umum.
Dari ketiga putusan mahkamah konstitusi tersebut menunjukkan bahwa adanya
pemahaman tentang karakter mengikat secara umum dapat dilihat dari subyek dan obyek yang
terkena pengaturan dalam peraturan perundang-undangan.
Pengertian peraturan perundang-undangan secara otentik dapat ditemukan dalam
Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pengaturan dalam Pasal 1 angka
2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
menentukan bahwa peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma
hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau
pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-
undangan. Unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian sebagai berikut :
1) peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum;
2) dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang ; dan
3) melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
Pengaturan secara normatif terkait dengan peraturan perundang-undangan dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Peraturan Perundang-
undangan dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Perkembangan pengaturan tentang peraturan perundang-
undangan nampak dalam tabel di bawah ini :
Tabel 2.5.
Perbedaan Pengertian Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 1 angka 2
Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004
Pasal 1 angka 2
Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011
Peraturan Peraturan Perundang-undangan
adalah :
a. peraturan tertulis;
b. yang dibentuk oleh lembaga
negara atau pejabat yang
berwenang; dan
c. mengikat secara umum
Peraturan Peraturan Perundang-undangan
adalah
a. peraturan tertulis;
b. yang memuat norma hukum;
c. yang mengikat secara umum;
d. dibentuk atau ditetapkan oleh
lembaga negara atau pejabat yang
berwenang ; dan
e. melalui prosedur yang ditetapkan
dalam Peraturan Perundang-
undangan
Berdasarkan tabel nampak adanya perkembangan pemahaman terkait dengan pengertian
peraturan perundang-undangan. Perkembangan tersebut nampak pada perumusan norma
“melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan”. Perumusan norma
tersebut menunjukkan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan berorientasi pada
melakukan pelaksanaan dan terbagi atas proses pembentukan peraturan perundang-undangan,
metode pembentukan peraturan perundang-undangan teknik penyusunan peraturan perundang-
undangan dan prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Pemaknaan
terkait dengan “dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang”
dapat dikaji dengan melihat pengaturan dalam UUD NRI 1945. Norma “dibentuk atau
ditetapkan” memiliki karakter norma yang berbeda hal, tersebut nampak dalam UUD NRI 1945
antara lain:
1. Pasal 5 ayat (2) mengatur Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk
menjalankan Undang-undang sebagaimana mestinya;
2. Pasal 18 ayat (6) mengatur Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah
dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
3. Pasal 20 ayat (1) mengatur Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk Undang-undang.
Berdasarkan ketentuan dalam angka 1 dan angka 2 menunjukkan “menetapkan” hanya
digunakan untuk pembentukan peraturan perundang-undangan yang berada di bawah dari
undang-undang dilihat dari hierarkhi peraturan perundang-undangan. Ketentuan dalam angka 3
menunjukkan bahwa perumusan “membentuk” hanya ditujukan untuk pembentukan undang-
undang.
Pengertian peraturan perundang-undangan juga dapat ditemukan dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, diuraikan bahwa yang dimaksud
dengan :
peraturan perundang-undangan dalam undang-undang ini adalah semua peraturan yang
bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama
pemerintah baik tingkat pusat maupun tingkat daerah, serta semua Keputusan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang juga
bersifat mengikat secara umum.
Pengertian tersebut menujukkan bahwa yang diakui sebagai peraturan perundang-
undangan mencakup dan mengandung unsur-unsur :
1. a. Peraturan yang bersifat mengikat secara umum ;
b. Dibentuk oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik tingkat pusat
maupun tingkat daerah ; serta
2. a. Keputusan yang bersifat mengikat secara umum ;
b. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di tingkat pusat
maupun di daerah.
Ulasan Indroharto menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, pengertian peraturan perundang-undangan itu mencakup
pengertian undang-undang dalam arti materiil serta KTUN yang mengandung pengaturan yang
bersifat umum. Produk dari original legislator maupun hasil dari delegated legislator serta
KTUN merupakan pengaturan yang bersifat umum.65
Unsur yang termuat dalam angka 1.b dan
2.b tersebut menunjukkan unsur wewenang. Dikaitkan dengan pemahaman teoritik tentang
sumber wewenang pembentukan peraturan perundang-undangan, maka dalam angka 1 huruf b
memuat atribusi wewenang dan dalam angka 2 huruf b memuat delegasi wewenang.
Pemahaman tersebut dapat digunakan untuk memaknai pengertian peraturan perundang-
65
Indroharto, 1996, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I (
Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara ), Sinar Harapan Jakarta h. 104-105. Lihat juga Pasal 100
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur :
Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan
pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-
Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang- Undang ini.
undangan menurut Pasal 1 angka Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, yakni:
a. peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum;
b. dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang ; dan
c. melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan
Pemaknaan peraturan perundang-undangan dalam kaitannya penyusunan peraturan
gubernur nampak dalam ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) diatur
sebagai berikut :
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank
Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk
dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan.
Berdasarkan ketentuan pada ayat (2) menunjukkan bahwa jenis peraturan perundang-
undangan pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan.
Landasan yuridis dan dikaitkan dengan pemahaman secara teoritik bahwa peraturan
gubernur merupakan peraturan perundang-undangan. Karakter peraturan gubernur sebagai
peraturan perundang-undangan nampak dari karakter peraturan gubernur merupakan :
1. peraturan tertulis;
2. mengikat secara umum (karena ditujukan kepada umum) artinya tidak ditujukan
kepada sesorang atau individu tertentu (tidak bersifat individual)
3. ditetapkan oleh pejabat yang berwenang (yang dimaksud dengan pejabat yang
berwenang adalah pejabat yang ditetapkan berdasarkan ketentuan yang berlaku)
berdasarkan delegasi.
4. berisi aturan pola tingkah laku dalam arti peraturan gubernur adalah peraturan
perundang-undangan yang bersifat mengatur (regulerend) dan tidak bersifat sekali
jalan (einmahlig).
A. Hamid S Attamimi membedakan antara teori perundang-undangan dan ilmu
perundang-undangan.66
Ilmu pengetahuan perundang-undangan dalam arti luas
(gezetgebungswissenschaft) terdiri atas dua cabang yaitu gezetgebungstheorie (teori perundang-
undangan) dan gezetgebunglehre (ilmu perundang-undangan). Gezetgebungstheorie adalah
menjelaskan dan menjernihkan pemahaman dan bersifat kognitif. Gezetgebunglehre berorientasi
pada perbuatan / tindakan yaitu membentuk peraturan perundang-undangan dan bersifat
normative yang meliputi proses, metode dan teknik.67
Ilmu pengetahuan perundang-undangan
dalam arti luas (gezetgebungswissenschaft) memerlukan bantuan ilmu-ilmu lain seperti ilmu
politik dan sosiologi hukum sehingga dengan pengkajian secara interdisipliner diharapkan
peraturan perundang-undangan yang dibentuk memperoleh penerimaan dan pengakuan
masyarakat.68
66
Rosjidi Ranggawidjaja, Op.cit, h. 14-15.
67
Ibid, h.15.
68
I Nyoman Suyatna, Op.cit, h.165.
Istilah Tata Pengaturan pertama kali digunakan oleh A. Hamid S. Attamimi di dalam
pidato purna bakti yang berjudul Hukum Tentang Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan
Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan). Tata berarti aturan, peraturan, susunan, cara, sistem.69
Pengaturan berarti proses, cara, perbuatan mengatur. Maka dapat disimpulkan pengertian tata
pengaturan adalah suatu aturan atau kaidah tentang perbuatan mengatur yang pengaturannya
(regeling) dapat dijumpai pada peraturan perundang-undangan (algemeen verbindende
voorschriften) peraturan intern yang berlaku ke dalam (interne regelingen) dan peraturan
kebijakan (beleidregel).70
Dalam kaitannya dengan penelitian tentang delegasi pengaturan
kepada peraturan gubernur menunjukkan karakter peraturan gubernur sebagai peraturan
perundang-undangan yang dibentuk berdasarkan kewenangan perundang-undangan baik bersifat
atribusi maupun delegasi, suatu peraturan perundang-undangan merupakan peraturan yang
mengikat umum (algemeen bindende voorschriften).
Pendekatan ROCCIPI (Rule, Oportunity, Capacity, Comication, Interest, Proses,
Ideology) yang merupakan metodologi pemecahan masalah dalam merancang peraturan
perundang-undangan yang baik.71
Fungsi ROCCIPI yaitu dari perspektif normatif dan perspektif
empiris. Dari perspektif normatif ROCCIPI berfungsi sebagai jastifikasi teoritik-konseptual,
jastifikasi konstitusional, jastifikasi yuridis, pendekatan adalah deduktif. Jastifikasi teoritik
konseptual artinya sebelum rancangan peratuan perundang-undangan dilakukan terlebih dahulu
dilakukan penelusuran teori-teori, asas-asas hukum umum yang dipergunakan sebagai dasar
pembenar. Jastifikasi konstitusional yuridis dalam kaitannya dengan fungsi ROCCIPI yaitu
69
WJS. Poerwadarminta, 2003, Kamus Hukum Bahasan Indonesia, Edisi III, Balai Pustaka Jakarta, h.
1024.
70
A.Hamid.S.Attamimi II, Op.cit, h. 5.
71
Ann Seidman, et.all, 2001, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Masyarakat Yang
Demokratis, Terjemahan ELIPS Jakarta, h. 135.
untuk menghindari kemungkinan terjadi kekaburan norma hukum antara peraturan perundang-
undangan yang dibuat dengan UUD NRI 1945 maupun secara horizontal dengan peraturan
perundang-undangan lainnya.72
Peraturan perundang-undangan mengandung tiga unsur yaitu : norma hukum
(rechtsnormen),berlaku keluar ( neer buiten werken); bersifat umum dalam arti luas
(algemeinhead in ruinezin). Pembentukan peraturan perundang-undangan pada hakekatnya ialah
norma-norma hukum yang berlaku keluar dan yang bersifat umum dalam arti yang luas73
. Terkait
dengan delegasi pengaturan kepada Peraturan Gubernur perlu dilihat mekanisme pembentukan
dengan tetap memperhatikan adanya pelimpahan kewenangan untuk membentuk Peraturan
Gubernur dengan mendasarkan pada teori perundang-undangan dan ilmu perundang-undangan
untuk mencapai kemanfaatan dan keadilan.
2.1.5.Teori Delegasi Pengaturan
Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu kegiatan
pembentukan hukum. Menurut sifat pembentukan hukum dapat dibagi menjadi dua yaitu :
1. Pembentukan hukum yang tertulis berupa traktat, putusan hakim dan peraturan
perundang-undangan.
2. Pembentukan hukum yang tidak tertulis berupa hukum adat dan hukum kebiasaan.74
Menurut Burkhardt pembentukan peraturan perundang-undangan menyangkut :
1. isi peraturan (inhalt der regelung);
2. bentuk dan susun peraturan (form der regelung);
3. metode pembentukan peraturan (method der ausarbeitung der regelun); dan
72
J.J.H. Bruggink, Op.cit, h. 8. 73
A.Hamid.S.Attamimi I, Op.cit, h.314.
74
Usep Ranawijaya, 1983, Hukum Tata Negara : Dasar-Dasar, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.22.
4. prosedur dan proses pembentukan peraturan (verfahren der ausarbeitung der
regelung).75
Berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan sangat penting untuk diperhatikan agar dapat memahami ruang
lingkup dan tujuan pembentukan .peraturan perundang-undangan Ron Jue mengemukakan asas-
asa hukum adalah nilai yang melandasi kaedah hukum.76
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa asas-asas hukum bukan
peraturan (een rechtsbeginselen is niet een rechtregel). Namun tidak ada hukum bisa dipahami
tanpa mengetahui asas-asas hukum yang melandasai (het recht is niet te begrijpen zonder die
beginselen). Pemahaman tersebut menunjukkan untuk memahami hukum tidak hanya melihat
pada aturannya tetapi juga harus memahami asas-asas yang melandasi. Asas-asas hukum harus
tampak sebagai pengarah dalam pembentukan dan penegakan hukum.
Berkaitan dengan sumber kewenangan dalam pandangan Philipus M Hadjon dari segi
cara memperoleh kewenang atas dua cara utama yaitu a) atribusi ; b) delegasi dan kadang-
kadang mandat.77
Sumber kewenangan menurut Philipus M Hadjon sebagai berikut :
1. Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan ( Pasal 1 angka 6
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menyebutnya : wewenang yang ada pada
badan atau pejabat tata usaha negara yang dilawankan dengan wewenang yang
dilimpahkan)
2. Delegasi adalah pemindahan/pengalihan suatu kewenangan yang ada.
3. Mandat tidak ada sama sekali pengakuan kewenangan atau pengalihtangan
kewenangan.
75
Burkhardt Krems dalam A.Hamid.S.Attamimi I, Op.cit, 300.
76
B Arief Sidharta, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 121.
77
Philipus M.Hadjon, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Introduction The Indonesian
Administrative Law), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 130.
Sumber kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan pembentukan
peraturan perundang-undangan dibedakan sebagaimana dikemukakan oleh A Hamid S Attamimi,
Bagir Manan dan I.c Van Der Vlies terdiri atas kewenangan atribusi dan kewenangan delegasi.78
Berkaitan dengan cara memperoleh kewenangan menurut A Hamid S Attamimi
dibedakan atas kewenangan atribusi dan kewenangan delegasi. Pemahaman terkait dengan
kewenangan tersebut antara lain :
1. Kewenangan atribusi adalah pencitaan kewenangan (baru) oleh konstitusi/gronwet
atau oleh pembentuk wet yang diberikan kepada suatu organ negara, baik yang
sudahada ataupun yang dibentuk baru untuk itu.
2. Kewenangan delegasi adalah penyerahan kewenangan untuk membentuk peraturan
perundang-undangan dari delegans ( pemegang kewenangan asal yang member
delegasi) kepada delegataris (yang menerima delegasi) atas tanggung jawab sendiri.79
Atribusi dan delegasi kewenangan menurut Bagir Manan dibedakan sebagai berikut :
1. Atribusi terdapat apabila UUD atau UU (dalam arti formal) memberikan kepada suatu
badan dengan kekuasaan sendiri dan tanggung jawab sendiri (mandiri) wewenang
membuat / membentuk peraturan perundang-undangan.
2. Delegasi terdapat apabila suatu badan yang mempunyai wewenang atributif
(wewenang secara mandiri membuat peraturan perundang-undangan) menyerahkan
kepada badan lainnya wewenang untukmembentuk peraturan perundang-undangan
atas tanggung jawab sendiri.80
Pemahaman akan pengertian atribusi dan delegasi menurut Ic. Van Der Vlies adalah sebagai
berikut :
1. Atribusi adalah penciptaaan kewenangan dan pemberiannya kepada suatu organ.
2. Delegasi dipahami orang sebagai pelimpahan suatu kewenangan sehingga pihak yang
mendapatkan kewenangan (delegataris) akan melaksanakannya dengan tanggung
jawab sendiri81
78
Bagir Manan, 2000, Wewenang Provinsi Kabupaten dan Kota Dalam Rangka Otonomi Daerah,
,Makalah Pada Seminar Nasional FH Unpad (Selajutnya disebut Bagir Manan V), Op.cit, h. 206-214,
A.Hamid.S.Attamimi II,Op.cit, h. 347-352, Ic. Van Der Vlies, Op.cit, h. 78-79.
79
A Hamid S Attamimi I, Op.cit, h. 347. 80
Bagir Manan IV, Op.cit, h.209-210.
81
Ic. Van Der Vlies, Op.cit, h. 78-79.
Menurut kamus istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia, kata atribusi ( Belanda =
attributie ) mengandung arti :
Pembagian kekuasaan ; dalam kata attributtie van rechtsmacht : pembagian kekuasaan
kepada berbagai instansi (absolute competentie / kompetensi mutlak), sebagai lawan dari
distributie van rechtsmacht .Juga membagikan suatu perkara kepada kekuasaan yudikatif
atau kekuasaan eksekutif. Conflicten van attributie, konflik pembagian kekuasaan.
Sedangkan kata delegasi ( Belanda = delegatie ) mengandung arti :
Penyerahan wewenang dari pejabat yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah :
penyerahan lebih tinggi kepada yang rendah : penyerahan yang demikian dianggap tidak
dapat dibenarkan selain dengan atau berdasarkan kekuatan hukum, misalnya Dewan
Perwakilan Daerah Kota Praja memerintahkan kepada Majelis Walikota dan pembantu
Walikota untuk mengadakan peraturan-peraturan tertentu.
Berikutnya Mandat ( Belanda = Mandat ) mengandung arti :
Mandat pada umumnya : Opdravht, perintah; - imperatief mandaat. Di dalam pergaulan
hukum, baik pemberian kuasa (lastgeving) maupun
kuasa penuh (volmach ).82
Pemahaman terkait atribusi, delegasi dan mandat juga dapat dipahami dari kamus Blackꞌs
Law Dictionary yang dimaksud sebagai berikut :
Tabel 2.6.
Perbedaan Atribusi, Delegasi Dan Mandat dalam Blackꞌs Law Dictionary
Atribusi Delegasi Mandat
attribution rights constitute
one aspect of the moral
rights recognized primarily
in civil law countries.
(terjemahan bebas :
Pengaturan tentang atribusi
adalah pemberian
kewenangan oleh konstitusi
dalam dalam bentuk
kewenangan asli
dalamnegara yang menganut
sistem hukum civil law)
Contitutional law.the principle
(based on the separatin-of-power
concept) limiting congressꞌs ability
to transfer its legislative power to
another governmental branch, eps.
the executive branch. delegtion is
permitted only if congress
prescribes an intelligible principle
to guide an executive agency in
making polic (terjemahan bebas :
Konsep inti dalam delegasi adalah
pelimpahan kekuasaan dari
An order from an appellate
court directing a lower court
to take a
specifiedaction.83
(terjemahan
bebas : pemberian perintah
dari atasan kepada bawahan
untuk melakukan suatu
tindakan tertentu)
82
MR.NE.Algra, Mr.H.R.W.Gokkel Saleh Adiwinata, Boerhanoedin St.Batoeh 1983, Kamus Istilah
Hukum Fockema Andrea Belanda, Bina Cipta, Bandung, h. 36, h. 91 dan hal 286.
83
Bryan A. Garner, 2009, Blackꞌs Law Dictionary (Ninth Edition) , Thomson Reuters Registered In Us
Patent And Trademark Office, Printed in the United States of America, h.148, h.491 dan ha. 148
legisltaif kepada eksekutif
membentuk peraturan perundang-
undangan misalnya : eksekutif
hanya berhak untuk melaksanakan
kewenangan delegasi apabila
legislatif melimpahkan kewenangan
delegasi agar eksekutif dapat
melaksanakan kewenangan delegasi
Pengertian atribusi, delegasi dan mandat menurut Philipus M Hadjon, A Hamid S
Attamimi, Bagir Manan, I.c Van Der Vlies, dalam Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae
Belanda-Indonesia dan Blackꞌs Law Dictionary dapat ditarik kesimpulan bahwa pada atribusi
diciptakan suatu wewenang, pada delegasi diserahkan suatu wewenang sedangkan pada mandat
tidak ada penciptaan ataupun penyerahan wewenang.
Berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan pengertian atribusi
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan memuat unsur-unsur :
1. Penciptaan wewenang (baru) untuk membuat peraturan perundang-undangan;
2. Wewenang tersebut diberikan oleh pembentuk Undang-undang Dasar atau pembentuk
undang-undang kepada suatu lembaga ;
3. Lembaga yang menerima wewenang bertanggung jawab atas pelaksanaan wewenang
tersebut.
Delegasi pembentukan peraturan perundang-undangan memuat unsur-unsur berikut ini :
1. Penyerahan wewenang untuk membuat peraturan perundang- undangan ;
2. Wewenang itu diserahkan oleh pemegang wewenang atributif (delegans) kepada
lembaga lainnya ( delegataris) ;
3. Lembaga yang menerima wewenang (delegataris) bertanggung jawaban atas
pelaksanaan wewenang tersebut.
Berdasarkan hal tersebut diatas, atribusi dan delegasi terdapat persamaaan dan perbedaan.
Persamaannya adalah lembaga yang menerima wewenang bertanggungjawaban atas pelaksanaan
wewenang itu. Perbedaannya adalah :
1. Pada delegasi selalu didahului oleh adanya atribusi, sedangkan dalam atribusi tidak
ada yang mendahului ;
2. Pada atribusi terjadi pembentukan wewenang sedangkan pada delegasi terjadi
penyerahan wewenang.
Penyelenggaraan kewenagan dalam bidang eksekutif selain dikenal atribusi dan delegasi
juga dikenal mandat yang ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk memperoleh wewenang.
Perbedaan delegasi dan mandat dijelaskan oleh R.J.H.M. Huisman dan Philipus M. Hadjon
sebagai berikut :
Tabel 2.7.
Perbedaan Mandat dan Delegasi Menurut R.J.H.M. Huisman
Delegasi Mandat
1. overdracht van bevoegdheid
( pelimpahan wewenang ).
1.opdracht tot uitoveoning (perintah untuk
melaksanakan ).
2.bevoegheid kan door het oorspronkelijk
bevoegde organ niet incidenteel uitgoefend
worden.
(kewenangan tidak dapat dijalankan secara
incidental oleh organ yang memiliki
wewenang asli).
2. bevoegheid kan door mandaat gever nog incidenteel
uitgoefend worden (kewenangan dapat sewaktu-waktu
dilaksanakan oleh mandans ).
3.overgang van verant woordelijkheid
(terjadi peralihan tanggungjawab).
3. behooud van verantwoordelijkheid
(tidak terjadi peralihan tanggungjawab).
4.wettelijke basis vereist ( harus berdasarkan
undang-undang).
4.geen wettelijke basis vereist (tidak harus berdasarkan
undang-undang).84
Berdasarkan atas tabel diatas dapat dilihat perbedaan delegasi dan mandat bahwa
delegasi, merupakan pelimpahan wewenang (overdracht van bevoegdheid); kewenangan tidak
dapat dijalankan secara insidental oleh organ yang memiliki wewenang asli (bevoegdheid kan
84
R.J.H.M Huisman, 1998, Algemean Bestuursrecht, Een Ineideng, Kobra Amsterdam, h. 7.
door hetoorsprokenlijk bevoegde orgaan niet incidenteel uitgoefend worden); terjadi peralihan
tanggung jawab (overgang van verantwoordelijkheid); harus berdasarkan UU (wetelijk basis
vereist); harus tertulis (moet schriftelijk).
Sedangkan Mandat menurut Huisman, merupakan perintah untuk melaksanakan
(opdracht tot uitvoering) kewenangan dapat sewaktu-waktu dilaksanakan oleh mandans
(bevoeghdheid kan door mandaatgever nog incidenteel uitgeofend worden) tidak terjadi
peralihan tanggung jawab (behooud van verantwoordelijkheid) tidak harus berdasarkan UU
(geen wetelijke basis vereist) dapat tertulis dan dapat pula secara lisan.
Tabel 2.8.
Perbedaan Mandat dan Delegasi Menurut Philipus M. Hadjon 85
Hal Delegasi Mandat
1.prosedur
pelimpahan.
1.dari satu organ
pemerintahan kepada organ lain :
dengan peraturan perundang-
undangan.
1.dalam hubungan rutin
atasan bawahan ; hal biasa, kecuali
dilarang secara tegas.
2.tanggung jawab dan
tanggung gugat.
2.tanggungjawab dan tanggung
gugat beralih kepada
delegataris.
2.tetap pada pemberi mandat.
3.kemungkinan si
pemberi
menggunakan
wewenang itu lagi.
3.tidak dapat menggunakan
wewenang itu lagi, kecuali
setelah ada pencabutan dengan
berpegang pada asas “ contrario
actus”.
3.setiap saat saat dapat menggunakan
sendiri wewenang yang dilimpahkan
itu.
Berdasarkan atas tabel diatas dapat dilihat perbedaan delegasi dan mandat sebagai berikut
: 1) Dari prosedur; dalam delegasi terjadi dari satu organ pemerintahan kepada organ lain
dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan mandat terjadi dalam hubungan rutin atasan
bawahan ; hal biasa, kecuali dilarang secara tegas. 2) Dari tanggung jawab dan tanggung gugat ;
dalam delegasi tanggungjawab dan tanggung gugat beralih kepada delegataris sedangkan dalam
mandat tetap pada pemberi mandate. 3) Dari kemungkinan si pemberi menggunakan wewenang
85
Philipus M Hadjon, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan Pemerintahan yang
Bersih, makalah yang disampaikan pada orasi Guru Besar Ilmu Hukum FH Unair, Surabaya, tanggal 10 Oktober
1994, h. 8.
itu lagi; dalam delegasi tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi, kecuali setelah ada
pencabutan dengan berpegang pada asas “ contrario actus” sedangkan dalam mandat setiap saat
dapat menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan itu.
Pengaturan secara otentik terkait dengan atribusi, delegasi dan mandat diatur dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Masing-masing
memiliki perbedaan karakter sebagai beerikut :
Tabel 2.9.
Perbedaan Atribusi, Delegasi dan Mandat dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Atribusi Delegasi Mandat
Atribusi adalah pemberian
Kewenangan kepada Badan
dan/atau Pejabat
Pemerintahan oleh Undang-
Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun
1945 atau Undang-Undang.
(Dalam Pasal 1 angka 22)
Delegasi adalah
pelimpahan
Kewenangan dari Badan
dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang lebih
tinggi kepada Badan
dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang lebih
rendah dengan tanggung
jawab dan tanggung
gugat beralih
sepenuhnya kepada
penerima delegasi.
(Dalam Pasal 1 angka
23)
Mandat adalah
pelimpahanKewenangan dari
Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang lebih
tinggi kepada Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan yang
lebih rendah dengan tanggung
jawab dan tanggung gugat
tetap berada pada pemberi
mandat. (Dalam Pasal 1 angka
24)
Berdasarkan tabel di atas terdapat perbedaan atribusi, delegasi dan mandat. Atribusi
merupakan pemberian kewenangan kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan oleh UUD NRI
1945 atau Undang-Undang. Delegasi adalah pelimpahan kewenangan dari badan dan/atau
pejabat pemerintahan yang lebih tinggi kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih
rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima
delegasi. Mandat adalah pelimpahan kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan
tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat.
Ketentuan dalam Naskah Akademik Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintah menunjukkan adanya dasar kewenangan pejabat dengan menekankan
pada adanya implikasi yuridis yaitu terkait dengan tanggung jawab, tanggung gugat dan
kompetensi wewenang pemerintahan dapat dibedakan kedudukannya menjadi:
a. Original legislator, yaitu MPR sebagai penyusun konstitusi, Pemerintah bersama-
sama DPR dalam penyusunan UU dan Pemerintah Daerah bersama DPRD dalam
menyusun Peraturan Daerah.
b. Delegated legislator, misalnya Presiden yang berdasar ketentuan suatu UU memiliki
wewenang mengeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai penjabaran UU yang di
dalamnya terdapat penciptaan kewenangan bagi instansi administrasi negara yang ada
dibawahnya, berbeda dalam atribusi, delegasi sebagai suatu sumber kewenangan,
merupakan pelimpahan wewenang dari suatu instarisi atau pejabat administrasi
negara yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada
instansi atau pejabat administrasi negara yang lain.
c. Selain kedua bentuk diatas, ada satu bentuk lagi yang juga dikenal dalam administrasi
negara yang terkait dengan pendistribusian wewenang yaitu mandat. Dalam mandat,
suatu wewenang pemerintahan dilaksanakan oleh seorang mandataris atas nama dan
tanggungjawab dari si pemberi mandat.86
Bertolak dari perbedaan delegasi dan mandat sebagaimana dipaparkan tersebut oleh
Philipus M Hadjon, R.J.H.M. Huisman dan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan dapat dikemukakan perbandingan sebagai berikut :
pendapat Philipus M Hadjon melihat perbedaan delegasi dan mandat dari prosedur pelimpahan,
tanggung jawab dan tanggung gugat dan kemungkinan pemberi menggunakan wewenang itu
lagi, sedangkan R.J.H.M. Huisman melihat dari sudut pandang teoritis terkait dengan
pelimpahan dan peralihan tanggung jawab. Pengaturan dalam ketentaun Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan membedakan atribusi, delegasi dan
mandat dengan melihat pada sumber kewenangan, tanggung jawab dan tanggung gugat.
Pemaknaan atas pendapat tersebut diatas nampak adanya perbedaan karakter dalam sumber
kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan sumber kewenangan
86
Kementrian Pendayaan Aparatur Negara, 2013, Naskah Akademik Undang-Undang Administrasi
Pemerintah, Jakarta, h.30.
pemerintah. Sumber kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan terdiri atas
atribusi dan delegasi sedangkan pada wewenang pemerintahan terdiri atas atribusi, delegasi dan
mandat. Wewenang pemerintahan lebih menekankan pada aspek tanggung gugat dan tanggung
jawab sebagai implikasi dari pelaksanaan kewenangan. Seturut dengan itu Indroharto juga
memberikan pemahaman bahwa pemberian atribusi dan delegasi yang menyangkut wewenang
pembuatan peraturan berlaku ketentuan yang berbeda dengan
wewenang pemerintahan.87
F.A.M. Stroink dan J.E.Steenbeek, mengatakan bahwa Het begrip bevoegdheid is dan
ook een kernbegrip in het staats-en administratief recht.88
(Terjemahan bebas : kewenangan
sebagai konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum administrasi negara).
P.Nicolai memberikan definisi kewenangan adalah :
Het Vermogen tot het verrichten van bepaalde rechtshandelingen (handelingen die op
rechtsgevolgen onstaan of teniet gaan ) Een recht houdt in de ( rechtens gegeven )
vrijheid om een bepaalde feitelijke handelingen te verrichten van een handeling door een
ander. Een plict impliceert een veerplictig om een bepaalde handeling te verrichten of na
laten.89
(kewenangan adalah kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu yaitu
tindakan-tindakan yang dimaksud untuk menimbulkan akibat hukum dan mencakup
mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum tertentu. Hak berisi kebebasan untuk
melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk
melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban menuntut keharusan untuk melakukan
atau tidak melakukan tindakan tertentu )
87
Indroharto, 1996, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I (
Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara), Sinar Harapan Jakarta, h. 68. Perlu juga dipahami
pendapat Suwoto Mulyosudarmo, (bevoegdheidverkrijging) dibedakan menjadi dua yaitu kekuasaan yang bersifat
atributif dan kekuasaan yang bersifat derivatif. Atributif adalah pembentukan kekuasaan dari kekuasaan. derivatif
(afgeleid) kekuasaan yang diderivasi kepada pihak lain. Suwoto Mulyosudarmo, 1990, Kekuasaan Dan Tanggung
Jawab Presiden Republik Indoensia, Suatu Penelitian Segi-Segu Teoritik dan Yuridis, Disertasi Program
Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya, h. 79.
88
Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta h. 71-72.
89
P.Nicolai, 1994, Bestuursrecht, Amsterdam, h. 4.
Norma-norma hukum yang bersifat dasar biasanya dituangkan dalam undang-undang
dasar atau hukum yang tertinggi di bawah undang-undang dasar ada undang-undang sebagai
bentuk peraturan yang ditetapkan oleh legislatif. Namun karena materi yang diatur dalam
undang-undang itu hanya terbatas pada soal-soal umum, diperlukan pula bentuk-bentuk
peraturan yang lebih rendah sebagai peraturan pelaksana undang-undang yang bersangkutan.
Lagi pula sebagai produk lembaga politik seringkali undang-undang hanya dapat menampung
materi-materi kebijakan yang bersifat umum. Forum legislatif bukanlah forum teknis melainkan
forum politik, A.V.Dicey menyetujui adanya pendelegasian kewenangan ;
The cumbersomeness and prolixity of English statute is due in no small measure to
futile endeavoursof Parliament to work out the details of large legislative changes…
the substance no less than the form of law would,it is probable, be a good deal
improved if the executive government of England could, ike that of France , by means
of decrees, ordinances, or proclamations having yhe force of law, work out the detailed
application of the general principles embodied in the acts of the legislature.90
(Kesulitan dalam penggunaan dan bertele-telenya Undang-undang di Inggris adalah
dikarenakan tidak adanya ukuran untuk melakukan usaha yang sia-sia dari parlemen
untuk menyelesaikan pekerjaan perubahan legislative yang besar secara
terperinci…persoalan bentuk hukum yang diinginkan, dimana hal tersebut
memungkinkan, akan merupakan peningkatan persetujuan yang baik apabila
pemerintah eksekutif di Inggris bisa seperti di Prancis, yang diartikan sebagai dekrit,
peraturan, atau proklamasi yang memiliki tekanan akan hukum, menyelesaikan rincian
penerapan dari prinsip secara umum yang diwujudkan dalam undang-undang dari
badan pembuat undang-undang .
Heinrich Triepel memberi makna pendelegasian (delegation) adalah:
Under delegation im Sinne des offenliche Rachtverstehe ich den Rechsakt, durch dender
Inhaber einer staatlichen order gemeindliehen Zustandigkeit, also der Staat, die
gemeinde selbst order einen der Staats, der Gemeindeorgane seine Komptetenz ganz
orderzum teil auf ein anderes subject ubertgt.91
(terjemahan bebas : dengan pendelegasian dalam pengertian hukum publik
dimaksudkan tindakan hukum pemangku sesuatu wewenang kenegaraan , jadi negara
atau kotapraja menyerahkan kompetensinya, seluruhnya atau sebagaian kepada subyek
hukum lain).
90
Hilaire Barnett, Op.cit, h. 485.
91
Mustamin, Abdul Latiet, et .all , 2004, Mandat, Delegasi Attrribusi Dan Implementasinya Di Indonesia,
UII Press Yogyakarta h. 63.
Pemahaman terkait dengan pendelegasian kewenangan juga dikemukakan oleh Jimly
Asshiddiqie, dengan menyebutkan pendelegasian kewenangan adalah kewenangan untuk
mengatur lebih lanjut secara tegas didelegasikan oleh legislator utama (primary legislator)
kepada legislator sekunder (secondary legislator), proses pendelegasian kewenangan regulalasi
inilah yang disebut dengan pendelegasian kewenangan.92
Berdasarkan prinsip pendelegasian
norma hukum yang bersifat pelaksanaan dianggap tidak sah apabila dibentuk tanpa didasarkan
atas delegasi kewenangan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kewenangan
untuk membentuk peraturan perundang-undangan harus dimuat dengan tegas dalam peraturan
perundang-undangan sebagai ketentuan pendelegasian.
Berdasarkan pemahaman tersebut pendelegasian berarti pergeseran kompetensi dan
bahkan mencakup setelitinya, pelepasan dan penerimaan sesuatu wewenang, yang keduanya atas
kehendak pihak yang menyerahkan wewenang itu. Pihak yang mendelegasikan harus
mempunyai suatu wewenang yang sekarang tidak digunakan sedangkan penerima pendelegasian
juga mempunyai kewenangan dan diperluas dengan apa yang didelegasikan. Dasar kewenangan
lembaga pembentuk dan materi muatan merupakan tolak ukur dalam suatu pendelegasian dalam
arti tidak semua materi muatan harus diatur secara formal dalam undang-undang, tetapi dapat
juga undang-undang yang bersangkutan mendelegasikan pengaturannya kepada peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah (delegated legislation). Namun bukan berarti
pendelegasian tidak ada batasnya, Bagir Manan dan Kuntana Magnar membatasi pendelegasian
yaitu :
a. Peraturan delegasi suatu materi muatan undang-undang hanya dapat ditetapkan
berdasarkan undang-undang ;
92
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press Jakarta (Selanjtnya disebut Jimly
Asshiddiqie I), h. 147-148.
b. Kadang-kandang berlaku prinsip, tidak boleh ada subdelegasi atas peraturan delegasi
( delagatus non potest delegare );
c. Materi muatan tertentu tidak boleh didelegasikan oleh undang-undang seperti
undang-undang organik ;
d. Materi muatan peraturan delegasi hanya dapat mengatur hal yang didelegasikan dan
tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain yang lebih
tinggi tingkatannya. Karena itu dalam undang-undang yang mendelegasikan harus
diatur secara tegas, bentuk peraturan delegasi dan ruang lingkup peraturan delegasi.
Kalau suatu peraturan delegasi melampaui materi muatan delegasi, maka peraturan
itu batal demi hukum ( van rechtswegw nietig, void), karena ditetapkan oleh pejabat
atau badan yang tidak berwenang.93
Menurut P.P.Craig dalam bukunya yang berjudul Administrative Law, regulasi
merupakan salah satu bentuk dari delegasi pengaturan di samping apa yang disebut “There is a
bewildering variety of terminology through which to express delegated legislation Orders in
Council, rules, regulations, bylaws dan direction”.94
P.P.Craig menyatakan regulasi dan
peraturan dipergunakan dalam situasi yang sangat beragam untuk menunjukkan kekuasaan
subordinasi pembentukan hukum,”Regulations and rules are ued in a wide variety of situations
to denote subordinate law-making power”95
. P.P.Craig menyatakan pembentukan regulasi
biasanya kekuasaan berada di tangan menteri, tetapi untuk regulasi dan peraturan atau perintah
dapat juga dikeluarkan oleh perwakilan pemerintah dan badan yang berwenang di daerah “The
Power will be normally be conferred upon a minister of the crown, but regulations, rules or
orders may also be passed by agencies and local authorities”.96
Delegasi kewenangan mengatur dimana sumber kewenangan pokoknya ada ditangan
legislator maka pemberian kewenangan untuk mengatur lebih lanjut itu kepada lembaga
eksekutif atau lembaga pelaksana haruslah dinyatakan dengan tegas dalam undang-undang yang
93
Bagir Manan IV, Op.cit, h. 150.
94
P.P.Craig, 1994, Administrative Law, London Sweet and Maxwell, h.246.
95
Loc.cit.
96
Loc.cit.
akan dilaksanakan hal inilah biasanya dinamakan legislative delegation of rule making power.97
Berdasarkan prinsip pendelegasian ini norma hukum yang bersifat pelaksanaan dianggap tidak
sah apabila dibentuk tanpa di dasarkan atas delegasi kewenangan dari peraturan perundang-
undangan. Menurut Bagir Manan pembatasan dalam delegasi pengaturan sebagai berikut :
1. Tidak boleh ada delegasi pengaturan mengenai hal-hal yang secara tegas atau yang
karena sifatnya harus diatur dalam peraturan perundang-undangan tertentu, misalnya
UUD, Tap MPR atau undang-undang.
2. Tidak boleh ada delegasi pengaturan yang bersifat umum. Setiap delegasi pengaturan
harus menyebut dengan tegas pokok-pokok yang akan diatur dalam peraturan
perundang-undangan delegasi. Misalnya disebutkan mengenai pengaturan susunan
organisasi, tata kerja dan sebagainya. Dalam ketentuan delegasitentang tidak cukup
kalau hanya menyebutkan. Misalnya “hal-hal yang belundiatur cukup diatur dalam
undang-undang ini kan diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan.
3. Setiap delegasi pengaturan harus menyebut dengan tegas bentuk peraturan
perundang-undangan delegasi. Misalnya Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri
dn sebagainya. Tidak boleh dalam delegasi hanya menyebutkan, misalnya “
penetapan tempat-tempat penahanan bukan RUTAN diatur lebih lanjut dengan
peraturan perundang-undangan“.98
Pembahasan dalam Risalah Rapat Pembahasan Undang-Undang Pembentukan Peraturan
Perundang undangan, Masa Persidangan Ke III Rabu 23 Februari 2011 dengan pimpinan rapat
H.T.B Soenmandjaja S dari Fraksi PKS menyampaikan bahwa terkait dengan pendelegasian
sedapat mungkin undang-undang itu tidak memerintahkan adanya peraturan lain yang harus
menggerakan, menjalankan undang-undang selama masih bisa dilaksanakan oleh undang-
undang, tetapi ketika memerlukan pendelegasian dia sebetulnya harus sangat terbatas dan tidak
boleh ada interpretasi lain.99
Pemaknaan dari risalah pembasan tersebut adalah tidak
diperkenankan adanya pendelegasian yang tidak jelas.
97
Jimly Asshiddiqie I, Op.cit, h. 194.
98
Bagir Manan I, Op.cit, h. 45-46.
99
DPR RI, 2011, Risalah Rapat Pembahasan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, (Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ) Masa
Persidangan Ke III Rabu 23 Februari 2011, Jakarta h. 16.
Naskah Akademik Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan memuat bahwa dalam kewenangan delegasi, suatu undang-
undang dapat menentukan pengaturan lebih lanjut materi tertentu dengan peraturan
perundangundangan yang tidak terdapat dalam hirarki struktural100
Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dalam Bab II Hal-hal khusus, Sub Bab A Pendelegasian Kewenangan pada
angka 198 mengatur bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dapat
mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah. Dalam angka 200 Pendelegasian kewenangan mengatur, harus memuat dengan
tegas :
a. Ruang lingkup materi yang diatur ; dan
b. Jenis Peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan pemaparan apabila dikaitkan dengan permasalahan yang dibahas dapat
dipahami bahwa dalam pendelegasian perlu diperhatikan :
1. Tidak boleh ada pendelegasi pengaturan yang bersifat umum. Setiap delegasi
pengaturan harus menyebut secara tegas pokok-pokok yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan delegasi. Misalnya disebutkan mengenai pengaturan susunan
organisasi tata kerja dan sebagainya. Dalam ketentuan tentang delegasi kalau hanya
menyebutkan misalnya, hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini
akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan. (Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, Peraturan Gubernur dan sebagainya).
2. Setiap ketentuann delegasi pengaturan harus menyebut dengan tegas bentuk
peraturan perundang-undangan delegasi.
100
DPR RI, 2010, Op.cit, h. 64.
Angka-angka berikutnya dalam Lampiran II Bab II Hal-hal khusus, Sub Bab A Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
Pendelegasian Kewenangan terdapat pola-pola pendelegasian kewenangan mengatur. Pola-pola
ini dilihat dari sudut materi yang didelegasikan dalam pendelegasian lebih lanjut (subdelegasi).
Pola pertama, jika materi yang didelegasikan sebagian sudah diatur pokok-pokoknya di
dalam peraturan perundang-undangan yang mendelegasikan tetapi materi itu harus diatur hanya
di dalam peraturan perundang-undangan yang didelegasikan dan tidak boleh didelegasikan lebih
lanjut ke peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (sub delegasi), gunakan kalimat :
Ketentuan lebih lanjut mengenai …diatur dengan …(angka 201 Lampiran II Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Misalnya sebagai
contoh pola pendelegasian kewenangan mengatur yang diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi
Bali Nomor 11 Tahun 2015 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran
2016.
Contah lain pola pendelegasian kewenangan mengatur yang diatur dalam Peraturan
Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah.
Pasal 8
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penjabaran Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diatur dengan
Peraturan Gubernur.(garis bawah penulis)
Pola kedua, jika pengaturan materi tersebut ( materi yang didelegasikan sebagian sudah
diatur pokok-pokoknya di dalam peraturan perundang-undangan yang mendelegasikan )
dibolehkan didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi) digunakan kalimat : Ketentuan lebih lanjut
mengenai … diatur dengan atau berdasarkan… (angka 202 Lampiran II Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).
Pola ketiga, jika materi yang didelegasiakan sama sekali belum diatur pokok-pokoknya di
dalam peraturan perundang-undangan yang mendelegasikan dan materi itu harus diatur di dalam
peraturan perundang-undangan yang diberi delegasi dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (sub delegasi), gunakan kalimat : Ketentuan
mengenai … diatur dengan … (angka 203 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).
Pola keempat, jika materi tersebut (materi yang didelegasikan sama sekali belum diatur
pokok-pokoknya di dalam peraturan perundang-undangan yang mendelegasikan) dibolehkan di
delegasikan lebih lanjut (subdelegasi) digunakan kalimat : Ketentuan mengenai … diatur dengan
atau berdasarkan … (angka 204 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).
Pengaturan dengan rumusan “diatur dengan atau berdasarkan …” menunjukkan bahwa
pembuat undang-undang memberikan keleluasaan kepada organ lebih rendah utuk menyerahkan
Pasal 72
(1) Piutang pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk
melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
(2) Gubernur menetapkan keputusan piutang pajak yang sudah
kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang
yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Gubernur.(garis
bawah penulis)
pembuatan peraturan lebih rendah kepada organ lebih rendah lagi, sub delegasi dibolehkan. Jadi
undang-undang dapat, misalnya menentukan bahwa pengaturan mengenai syarat, tata cara dan
lingkup suatu perizinan tertentu diatur di dalam peraturan pemerintah atau dapat juga peraturan
pemerintah itu dibolehkan untuk menyerahkan pengaturan mengenai hal itu kepada Menteri.
Pengunaan rumusan “diatur dengan …” menyatakan bahwa pembentuk undang-undang
tidak membolehkan organ lebih rendah penerima delegasi untuk mendelegasikan lagi kepada
organ lebih rendah kewenangannnya untuk itu membuat peraturan mengenai suatu hal tertentu,
artinya organ penerima delegasi harus mengatur sendiri semua materi di dalam peraturan yang
dibuatnya (larangan sub delegasi).
Pola-pola pendelegasian kewenangan yang diatur ada beberapa hal yang dapat diberikan
catatan berkaitan dengan penelitian yang dilakukan sebagai berikut :101
1. Pola-pola pendelegasian tersebut merupakan sarana untuk mengontrol pengaturan
materi muatan yang terdapat dalam peraturan pelaksanaan ;
2. Pola kedua dan pola keempat merupakan penerapan dari asas delegates non potest
delegari (delegate potestas non potestdelegari) yang berarti penerima delegasi tidak
berwenang mendelegasikan lagi tanpa persetujuan pemberi delegasi. Pendelegasian
dalam pola kedua dan pola keempat menunjukkkan telah adanya persetujuan dari
pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan;
3. Pola-pola pendelegasian tersebut sekaligus juga menunjukkan bahwa pendelegasian
kewenangan mengatur harus ditentukan secara tegas dalam Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi. Tanpa adanya ketegasan tersebut, maka tidak ada
101
Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2007, Pendelegasian Kewenangan Mengatur : Penyusunan Rancangan
Peraturan gubernur Untuk Melaksanakan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2006, Makalah
disampaikan dalam dalam Persiapan untuk KPA Bali Provisi Bali No. 3 tahun 2006 tentang penanggulanagan
HIV/AIDS, Senin 3 September 2007 ( Selanjutnya disebut Marhaendra Wija Atmaja III), h. 10.
gunanya merumuskan pola-pola pendelegasian tersebut. Pola-pola pendelegasian
tersebut ada karena adanya ketentuan secara tegas mengenai pendelegasian
kewenangan mengatur di dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Ketentuan yang menegaskan tidak boleh adanya delegasi blangko diatur la dalam angka 210
Lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
2.1.6 Konsep Kemanfaatan
Aspek finalitas atau isi hukum adalah sesuatu yang menumbuhkan nilai kebaikan dan
manfaat di antara orang. Nilai ini menurut Gustav Radbruch sebagai suatu nilai etis dan nilai ini
mendapat bentuknya dalam sikap masyarakat menurut kewajiban dan memberikan manfaat
dalam hidup.102
Kemanfaatan berkembang pada penganut aliran Utilitarianisme pertama kali
dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1831). Persoalan yang di hadapi oleh Bentham pada
zaman itu adalah bagaimana menilai baik buruknya suatu kebijakan sosial politik, ekonomi dan
legal secara moral. Bentham menemukan bahwa dasar yang paling objektif adalah dengan
melihat apakah suatu kebijakan atau tindakan tertentu membawa manfaat atau hasil yang
berguna atau, sebaliknya kerugian bagi orang-orang yang terkait.103
Menururt Jeremy Bentham
kemanfaatan harus direalisasikan dalam perundang-undangan dengan pandangan sebagai berikut
:
1. Kebaikan umum hendaknya menjadi tujuan legislator; manfaat umum menjadi
landasan penalaran, mengetahui kebaikan sejati masyarakat adalah hal yang
102
Theo Huijbers I, Op.cit,, h.163. 103
Sonny Keraf, 1998, Op.cit, h. 93.
membentuk ilmu legislasi; ilmu tersebut tercapai dengan menemukan cara untuk
merealisasikan kebaikan tersebut.
2. Manfaat adalah suatu istilah abstrak. Istilah ini mengungkapkan sifat atau
kecendrungan sesuatu untuk mencegah kejahatan atau memperoleh kebaikan.
Kejahatan adalah penderitaan atau penyebab penderitaan kebaikan adalah kesenangan
atau penyebab kesenangan.
3. Yang paling sesuasi dengan manfaat atau kepentingan seorang individu adalah
cenderung memperbanyak jumlah kebahagiaan.
4. Yang paling sesuai dengan manfaat atau kepentingan masyarakat adalah yang
cenderung memperbesar jumlah kebahagiaan individu yang membentuk masyarakat.
5. Kebahagiaan seseorang individu bertambah sebanding dengan semakin berkurang
atau semakin ringannya penderitaan dan semakin banyak kesenangan.104
Berdasarkan pemikiran Jeremy Bentham delegasi pengaturan akan nampak pada baik buruknya
hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu. Suatu
ketentuan hukum baru bisa di nilai baik, jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya
adalah kebaikan, kebahagiaan sebesar-besarnya, dan berkurangnya penderitaan. Sebaliknya
dinilai buruk jika penerapannya menghasilkan akibat-akibat yang tidak adil, kerugian, dan hanya
memperbesar penderitaan. Tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi
sebagian terbesar rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan
akibat-akibat yang dihasilkan dari proses penerapan hukum. Berdasarkan orientasi itu, maka isi
hukum adalah ketentuan tentang pengaturan penciptaan kesejahteraan negara.
104
Jeremy Bentham, Op.cit, h. 25,26 dan 124.
2.1.7 Konsep Keadilan.
Berangkat dari pemikiran yang menjadi issue para pencari keadilan terhadap problema
yang paling sering menjadi diskursus adalah mengenai persoalan keadilan dalam kaitannya
dengan hukum. Hal ini dikarenakan hukum atau suatu bentuk peraturan perundang-undangan
yang diterapkan dan diterimanya dengan pandangan yang berbeda, pandangan yang menganggap
hukum itu telah adil dan sebaliknya hukum itu tidak adil.
Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak
diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan
proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh
kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk
mengaktualisasikannya.
Orang dapat menggangap keadilan sebagai suatu hasrat naluri yang diharapkan
bermanfaat bagi dirinya. Realitas keadilan absolut diasumsikan sebagai suatu masalah universal
yang berlaku untuk semua manusia, alam, dan lingkungan, tidak boleh ada monopoli yang
dilakukan oleh segelintir orang atau sekelompok orang. Atau orang mengganggap keadilan
sebagai pandangan individu yang menjunjung tinggi kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi
dirinya.
Pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan dalam karyanya nichomachean
ethics, politics, dan rethoric. Spesifik dilihat dalam buku nicomachean ethics, buku itu
sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang berdasarkan filsafat hukum Aristoteles, mesti
dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam
kaitannya dengan keadilan”.105
105
David Miller, 1999, Principle Of social Justice, London, Harvard University Press, h.1.
Keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam dua macam keadilan, keadilan
“distributief” dan keadilan “commutatief”. Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan
kepada tiap orang porsi menurut prestasinya. Keadilan kommutatif memberikan sama banyaknya
kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan peranan
tukar menukar barang dan jasa.106
Delegasi pengaturan dikaitkan dengan pandangan Aristoteles keadilan sebagai suatu
pemberian hak persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles membedakan hak persamaanya
sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak dipandangan manusia sebagai suatu unit atau
wadah yang sama. Inilah yang dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap warga negara
dihadapan hukum sama. Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya
sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukannya.
Frans Magnis Suseno membedakan keadilan ke dalam dua pengertian yakni keadilan
dalam arti formal dan keadilan dalam arti materiil. Perbedaan kedua makna keadilan tersebut
yaitu :
1. Keadilan dalam arti formal : asas yang berlaku umum dalam artian berlaku untuk
semua orang dalam siatuasi yang sama.
2. Keadilan dalam arti materiil : isu hukum harus adil yakni hukum sesuai dengan cita-
cita keadilan dalam masyarakat.Agar hukum sesuai dengan apa yang dianggap adil
dalam masyarakat, maka dalam sistuasi kongkret dan social diperhatikan.107
106
Jhon Chrisman, 2000, Social and Political Philosophy : A Contemporary Introduction, London, :
Routledge, h.90.
107
Frans Magnis Suseno, 1987, Etika Politik : Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern ,
Gramedia Jakarta, h.81-83.
Makna situasi kongkret dalam kaitannya dengan delegasi pengaturan menunjukkan
bahwa dalam pengaturan harus dirumuskan secar luwes. Dari segi delegasi pengaturan maka
keadilan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan tercapai apabila perumusannya
secara luwes dan memiliki daya laku dan daya guna.
Anthony DꞌAmato dengan pendekatan regognation injustice lebih mudah menemukan
ketidakadilan dari pada mengatakan apa itu keadilan dalam pemahaman untuk menemukan
makna adil bukan pertanyaan apa itu keadilan tetapi siapa yang menderita karena
ketidakadilan.108
Anthony D‟Amato menyatakan: We can all agree on what is unjust, whereas
we find it hard to say what justice is.”109
Hukum harus mewujudkan keadilan karena
ketidakadilan tidak dikehendaki.
Beberapa konsep keadilan yang dikemukakan oleh Filsuf Amerika di akhir abad ke-20,
John Rawls, seperi A Theory of justice, Politcal Liberalism, Dissent dan The Law of Peoples,
yang memberikan pengaruh pemikiran cukup besar terhadap diskursus nilai-nilai keadilan.110
John Rawls yang dipandang sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social justice”,
berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial
(social institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat
mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa
108
Philipus M Hadjon & Tatiek Sri Djatmiati, 2014, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press,
h. 96. Lihat juga Putusan Mahkamah Konstitusi No.61/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor
39 Tahun 2004 tentang penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri terhadap Undang- Undang
Dasar Negara Republik Indonesia h.39.
109
Anthony D‟Amato, 1995, Analytic Jurisprudence Anthology (Anderson Publishing Co. h.251.
110
Joe Mandle, 1999, Rawls Theory Of Justice an Introductionꞌ, New York Campridge University Press,
h.6-7.
keadilan. Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan.111
John Rawls berpendapat bahwa
keadilan itu merupakan fokus utama dari sistem hukum dan keadilan tidak dapat dikorbankan
karena ada dua prinsip jika lihat bukunya, pertama; each person is to have and equal right to the
most extensive basic liberty compatible with a smiliar liberty for others. Kedua; social and
economic inequalities are to be arranged so they are both a, reasonably expected to be everyone
advantage and, b. attached to positons and offices open to all. Secara spesifik, John Rawls
mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya
konsep ciptaanya yang dikenal dengan “posisi asli” (original position) dan “selubung
ketidaktahuan” (veil of ignorance). Pandangan Rawls John Rawls dua prinsip keadilan sebagai
berikut :
1. memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas
kebebasan yang sama bagi setiap orang.
2. mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat
memberi keuntungan yang bersifat timbal balik.112
Berdasarkan pemikiran John Rawls, dikaitkan dengan delegasi pengaturan nampak
mengedepankan prinsip perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian
rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas
diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan
sosial harus diperjuangkan untuk dua hal:
111
John Rawls, 1971, A Theory of Justice, Cambridge, Massachusetts, USA: Harvad University Press, , h.
60.
112
John Rawls, A Theory of Justice, London: Oxford University press, 1973, yang sudah diterjemahkan
dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo,2006, Teori Keadilan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
h. 72
1. melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum
lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang
memberdayakan.
2. setiap aturan harus meposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan
kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah
2.2 Kerangka Berfikir.
Berdasarkan kajian pustaka dapat digambarkan kerangka berfikir dibawah ini
Masalah
3
Teori Negara
Hukum
Asas-Asas
Pembentukan
Peraturan
Perundang-
undangan
Teori
Penjen
jangan
Norma
Hukum
Teori
Pembentu
kan
Perundang-
undangan
Metode.
penelitian
dalam kajian
ini
mempergun
akan
penelitian
hukum
normatif
Latar
Belakang
Masalah
1
Kajian
Masalah
2
Teori
Delegasi
Perundang-
undangan Kesimpulan
Penjabaran dari kerangka berfikir didasarkan atas beberapa kajian teori yaitu : 1) teori negara
hukum; 2) asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan; 3) teori penjenjangan norma
hukum; 4) teori pembentukan perundang-undangan; 5) teori delegasi perundang-undangan; 6)
konsep kemanfaatan dan 7) konsep keadilan. Pemanfaatan teori tersebut sebagai landasan
pembahasan ketiga masalah dapat digambarkan dalam Desain hubungan rumusan masalah,
rencana pembahasan dan teori yang dipergunakan untuk menganalisis.
Tabel 2.10.
Desain Hubungan Rumusan Masalah Pembahasan dan Teori Latar Belakang
Masalah Pembahasan Teori
Rumusan Masalah 1 :
Landasan filosofis
pemikiran perlunya
delegasi perundang-
undangan
Landasan Filosofis
Delegasi Peraturan
Perundang-undangan,
yang rinciannya meliputi
:
(1) Landasan Delegasi
pengaturan
(2) Landasan Delegasi
Peraturan Perundang-
undangan Sudut
Pandang Negara
Hukum
Teori yang
dipergunakan untuk
menganalisis :
(1) teori negara hukum;
(2) teori penjenjangan
norma hukum;
(3) teori pembentukan
perundang-
undangan; dan
(4) teori
delegasiperundang-
undangan.
Rumusan Masalah 2 :
Bagaimanakah arah
pengaturan delegasi
Pengaturan Delegasi
Pengaturan Kepada Peraturan Gubernur
yang rinciannya meliputi
Teori yang
dipergunakan untuk menganalisis :
teori negara hukum;
Konsep
Keman
faatan
Konsep
Keadilan
peraturan perundang-undangan kepada
peraturan gubernur
dalam Undang-
Undang Pemerintahan
Daerah, peraturan
daerah dan peraturan
perundang-undangan
yang lebih tinggi ?
: (1) Arah Pengaturan
Delegasi Pengaturan
Kepada Peraturan
Gubernur Dalam
Undang-Undang
Pemerintahan Daerah
(2) Arah Pengaturan
Delegasi Pengaturan
Kepada Peraturan
Gubernur Dalam
Peraturan Daerah
(3) Arah Pengaturan
Delegasi Pengaturan
Kepada Peraturan
Gubernur Dalam
Peraturan Perundang-
Undangan Yang
Lebih Tinggi
(1) Asas-asas pembentukan
peraturan
perundang-
undangan; dan
(2) Teori
delegasiperunda
ng-undangan;
Rumusan Masalah 3 :
Bagaimanakah proses
pembentukan
peraturan gubernur
yang didasarkan atas
delegasi perundang -
undangan ?
Pembentukan Peraturan
Gubernur Yang
Didasarkan Atas
Delegasi Perundang -
Undangan Menjamin
Kemanfaatan dan
Keadilan yang rinciannya
meliputi :
(1) Pengaturan Delegasi
Kepada Peraturan
Gubernur.
(2) Pengaturan Delegasi
Kepada Peraturan
Gubernur Ditafsirkan
Dan Dilaksanakan
Oleh Gubernur
Melalui Pembentukan
Peraturan Gubernur.
Teori yang
dipergunakan untuk
menganalisis :
(1) teori negara hukum;
(2) asas-asas
pembentukan
peraturan
perundang-
undangan;
(3) teori penjenjangan
norma hukum;
(4) teori pembentukan
perundang-
undangan; dan
(5) teori delegasi
perundang-
undangan;
(6) konsep
kemanfaatan;
(7) konsep keadilan.
Berdasarkan pada pembahasan yang telah dilakukan terhadap ketiga pokok permasalahan dalam
proposal ini, maka dapat dijelaskan kerangka berfikir sebagai berikut :
1. Kajian terkait dengan yang menjadi landasan pemikiran perlunya delegasi pengaturan
kepada peraturan gubernur berdasarkan kajian filosofis dan kajian teoritis tentang delegasi
kewenangan mengatur kepada peraturan gubernur adalah pelimpahan kewenangan
membentuk peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
2. Arah pengaturan dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan delegasi pengaturan
dalam pembentukan peraturan gubernur diatur dalam Pasal 246 ayat (1) Undang-Undang
Pemerintahan Daerah, yang mengatur bahwa untuk melaksanakan Perda atau atas kuasa
peraturan perundang-undangan, kepala daerah menetapkan Perkada. Makna
“melaksanakan“ dan “atas kuasa“ dapat diartikan adanya perintah tegas untuk membuat
peraturan pelaksanaan atau tanpa perintah tegas namun substansi memerlukan peraturan
pelaksanaan. Dalam konteks pembentukan peraturan gubernur di dasarkan untuk
“melaksanakan peraturan daerah” apabila di dalam peraturan daerah yang bersangkutan
diperintahkan adanya peraturan gubernur atau ditentukan secara tegas adanya delegasi
kepada peraturan gubernur. Makna “ atas kuasa “ peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi apabila di dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang
bersangkutan diperintahkan adanya peraturan gubernur dan tidak ditentukan secara tegas
adanya pendelegasian kewenangan mengatur kepada peraturan gubernur. Ketentuan
tentang “ ditentukan secara tegas” adalah sesuai Lampiran II angka 200 Undang-Undang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah harus menyebutkan secara tegas :
a. ruang lingkup materi yang diatur ; dan
b. jenis Peraturan Perundang-undangan, dalam hal ini adalah peraturan gubernur (untuk
melaksanakan peraturan daerah provinsi), peraturan bupati (untuk melaksanakan
peraturan kepala daerah kabupaten), peraturan walikota (untuk melaksanakan
peraturan daerah kota).
3. Peraturan gubernur sebagai bentuk pelaksanaan dari peraturan daerah dan atas kuasa
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dengan adanya perintah yang
ditentukan secara tegas adanya delegasi kewenangan mengatur kepada peraturan
gubernur. Delegasi pengaturan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 64 Undang-Undang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur bahwa, ketentuan mengenai
teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-
Undang ini. Delegasi kewenangan mengatur dirumuskan dalam Lampiran II, Bab II
tentang Hal-hal Hal-Hal Khusus Huruf A Pendelegasian Kewenangan dalam angka 198
sampai dengan angka 216 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.