bab ii kehidupan sosial budaya masyarakat di kota … · jembatan, selokan, pelapisan pinggiran...

27
15 BAB II KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI KOTA MAGELANG A. Perkembangan Kota Magelang masa Kolonial Sebuah kota tidak lahir dengan sendirinya, melainkan tumbuh melalui proses sejarah yang relatif panjang. Sepanjang sejarah kota tersebut, kota mengalami perkembangan dan perubahan, baik fisik maupun non fisik, yang pada tingkat tertentu menunjukkan adanya kesinambungan hingga sekarang. 1 Keberadaan sebuah kota selain tidak dapat dipisahkan dari masa lalunya, juga ditentukan oleh sejarahnya. Oleh karena itu, untuk dapat memahami dinamika, karakteristik, dan kecederungan sebuah kota perlu dikaji sejarahnya. 2 Proses pertumbuhan kota memiliki dua cara yaitu endogen dan eksogen. Proses ini diakibatkan karena adanya dorongan oleh kekuatan dari dalam masyarakat dan masuknya sistem sosio budaya luar yang lebih maju. Proses eksogen terdiri atas, 1. Imposisi kota, pertumbuhan pusat pemukiman kota yang terbentuk sebagai akibat dari pendudukan langsung oleh sistem sosio budaya lain diatas pusat pemukiman masyarakat yang ditaklukan. 2. Implantasi, munculnya pusat kehidupan kota sebagai akibat pendudukan tidak langsung dari sistem sosio budaya lain. 1 R. Bintarto, Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm.8. 2 Sartono Kartodirdjo, Masyarakat Kuno dan Kelompok Sosial, (Jakarta: Bharata Karya Aksara, 1977), hlm.1.

Upload: tranthuan

Post on 17-Aug-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI KOTA … · jembatan, selokan, pelapisan pinggiran jalan, parit, pematang, trotoar, sumur dan proyek lain; got-got, saluaran air dan saluran

15

BAB II

KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT

DI KOTA MAGELANG

A. Perkembangan Kota Magelang masa Kolonial

Sebuah kota tidak lahir dengan sendirinya, melainkan tumbuh melalui

proses sejarah yang relatif panjang. Sepanjang sejarah kota tersebut, kota

mengalami perkembangan dan perubahan, baik fisik maupun non fisik, yang pada

tingkat tertentu menunjukkan adanya kesinambungan hingga sekarang.1

Keberadaan sebuah kota selain tidak dapat dipisahkan dari masa lalunya, juga

ditentukan oleh sejarahnya. Oleh karena itu, untuk dapat memahami dinamika,

karakteristik, dan kecederungan sebuah kota perlu dikaji sejarahnya.2

Proses pertumbuhan kota memiliki dua cara yaitu endogen dan eksogen.

Proses ini diakibatkan karena adanya dorongan oleh kekuatan dari dalam

masyarakat dan masuknya sistem sosio budaya luar yang lebih maju. Proses

eksogen terdiri atas,

1. Imposisi kota, pertumbuhan pusat pemukiman kota yang terbentuk sebagai

akibat dari pendudukan langsung oleh sistem sosio budaya lain diatas

pusat pemukiman masyarakat yang ditaklukan.

2. Implantasi, munculnya pusat kehidupan kota sebagai akibat pendudukan

tidak langsung dari sistem sosio budaya lain.

1 R. Bintarto, Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya, (Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1983), hlm.8. 2 Sartono Kartodirdjo, Masyarakat Kuno dan Kelompok Sosial, (Jakarta:

Bharata Karya Aksara, 1977), hlm.1.

Page 2: BAB II KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI KOTA … · jembatan, selokan, pelapisan pinggiran jalan, parit, pematang, trotoar, sumur dan proyek lain; got-got, saluaran air dan saluran

16

Seperti halnya perkembangan kota-kota kolonial lainnya, perkembangan

kota Magelang pada masa kolonial merupakan perpaduan tiga arus kebudayaan

pokok, yaitu: Eropa (Belanda), Pribumi (Jawa), dan Timur Asing (Cina). Ketiga

tradisi kebudayaan ini berkembang sendiri-sendiri dengan pengarahan pemerintah

kolonial dan diatur dengan pengaturan tata letak kota.3

Pemerintah Belanda dalam membangun kota kolonialnya tetap

mempertahankan bentuk dan struktur dari tradisi pembangunan kota jawa.4 Usaha

untuk mengadaptasi ke dalam sejarah bangunan dan lingkungan lokal secara nyata

ditemukan pada bentuk-bentuk arsitektur dan bangunan di kota Magelang yang

memiliki perpaduan antara kolonial dan lokal.

Menurut Prof. Kevin Lynch, ada lima elemen pokok atau dasar pembentuk

sebuah kota, yaitu:5

1. Pathways, merupakan jalur-jalur sirkulasi yang digunakan oleh orang

untuk melakukan pergerakan.

2. District, adalah kota yang terdiri dari lingkungan-lingkungan

bagiannya: pusat kota, uptown, midtown, daerah perumahan, daerah

industri, sub-urban, dan sebagainya.

3. Edges, adalah akhir dari sebuah district. Beberapa district tidak

mempunyai edge yang jelas, tetapi sedikit demi sedikit berbaur dengan

3 B.N. Marbun, Kota Masa Depan: Prospek dan Permasalahan, (Jakarta:

Penerbit Erlangga, 1979), hlm.9. 4 Ronald Gilbert Gill, Kota Hindia di Jawa dan Madura: Sebuah

Penelitian Morfologi Tentang Perkembangannya, (Disertasi. Delf University,

1995), hlm.4. 5 Kevin Lynch, The Image Of The City, (Cambridge: The M.I.T.Press,

1960), hlm.46.

Page 3: BAB II KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI KOTA … · jembatan, selokan, pelapisan pinggiran jalan, parit, pematang, trotoar, sumur dan proyek lain; got-got, saluaran air dan saluran

17

district lain. Jika dihubungkan dalam sebuah edge maka akan

membentuk seam.

4. Landmarks, merupakan bentuk-bentuk visual yang menyolok dari

sebuah kota. Landmark adalah elemen-elemen penting dari bentuk

kota karena membantu untuk mengarahkan dan mengenal suatu kota.

5. Nodes, adalah pusat aktivitas yg merupakan sebuah tipe dari landmarks

tetapi berbeda fungsi. Landmarks adalah objek visual yang jelas

berbeda, sedangkan sebuah node adalah pusat aktivitas yang berbeda.

Pada awal abad ke-19, pada masa ini Magelang merupakan sebuah desa

yang dikuasai Inggris, dan kemudian Magelang dijadikan sebagai pusat

pemerintahan setingkat kabupaten dan mengangkat Mas Ngabehi Danoekromo

sebagai Bupati yang pertama. Mas Ngabehi Danoekromo inilah yang merintis

berdirinya kota Magelang dengan membuat alin-alun, membangun rumah Bupati,

dan membangun Masjid. Bupati ini bahkan diakui oleh pemerintah Belanda dan

mendapatkan gelar Tumenggung Danoeningrat.6

Pemerintah Inggris sangat sedikit memperhatikan perkembangan kota

sehingga masih banyak yang harus dibenahi. Setelah Jawa diambil alih lagi oleh

Belanda, perkembangan kota Magelang semakin diperhatikan. Bisa dikatakan

bahwa kota Magelang memulai perkembangannya dari desa ke kota pada tahun

1817 ketika pemerintah Hindia-Belanda menjadikan kedu sebagai Karesidenan

tersendiri dengan residen sendiri (sebelumnya wilayah ini digabungkan dengan

6 Staadsgemeente Magelang. Magelang : Bouwerordening Ordonantie

1936. Magelang : Het Bestuur der Staadsgemeente, 1937. hlm.17-18.

Page 4: BAB II KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI KOTA … · jembatan, selokan, pelapisan pinggiran jalan, parit, pematang, trotoar, sumur dan proyek lain; got-got, saluaran air dan saluran

18

Karesidenan Pekalongan), melalui keputusan Komisaris Jenderal No. 24 tanggal

14 Maret 1817.7

Letak geografis kota Magelang yang sangat strategis membuat kota

Magelang dipilih menjadi Ibukota Karisidenan Kedu pada tahun 1818. Setelah itu

mulai banyak dibangun bangunan baru dengan model Eropa yang dibangun bagi

para pejabat Eropa. Bangunan-bangunan ini terletak di daerah utama yaitu di

sekitar alun-alun dan sepanjang jalan utama kota.

Setelah tahun 1830 kota Magelang mulai meningkatkan infrastruktur dan

sarana komunikasi antara lain berupa pembangunan jalan kereta api, jalan raya,

pembuatan saluran irigasi untuk kepentingan industri gula, pabrik, jembatan dan

sebagainya. Disamping itu juga dibangun lintasan trem yang menghubungkan

kota Magelang dengan kota-kota sekitarnya. Di dalam kota sendiri mulai

dibangun berbagai sarana dan prasarana pendidikan, pelayanan kesehatan,

perdagangan, perkantoran, hiburan dan rekreasi derta pemukiman yang sudah

tentu harus dilihat dari sudut kepentingan kolonial dimana Magelang merupakan

pusat pengumpulan hasil perkebunan yang harus dihubungkan dengan Semarang

sebagai kota pelabuhan yang berfungsi sebagai daerah distribusi hasil perkebunan

didaerah pedalaman.

Pada tahun1892 menurut laporan dari Dinas Pengukuran tanah, sebagian

besar bangunan yang ada berupa rumah papan dan bambu. Hanya terdapat

bangunan rumah yang terbuat dari batu yaitu kediaman Residen, rumah Bupati

Magelang, rumah Bupati Menoreh, rumah dokter ahli bedah, dan rumah mantri

7 Staadsgemeente Magelang, op.cit, hlm 19.

Page 5: BAB II KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI KOTA … · jembatan, selokan, pelapisan pinggiran jalan, parit, pematang, trotoar, sumur dan proyek lain; got-got, saluaran air dan saluran

19

cacar. Rumah-rumah orang Eropa yang lain dan Cina umumnya terbuat dari

bambu atau papan.

Beberapa proyek besar yang penting bagi perkembangan wilayah Kedu

dan bagi kota Magelang, proyek tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tahun 1833 jalan raya dari Yogyakarta ke Magelang diteruskan ke

Pringsurat. Pada saat itu hubungan ke Semarang masih melalui Grabag

dan Salatiga.

2. Tahun 1842 jalan raya lewat Pingit diteruskan ke Ambarawa sehingga

hubungan langsung Yogya-Magelang-Ambarawa-Semarang muncul.

3. Tahun 1842 jalan Magelang-Salaman dijadikan jalan raya pos.

4. Tahun 1843 dibangun berbagai jembatan besar dijalan raya Yogya-

Semarang dan jalan raya Magelang-Bagelen.

5. Tahun 1851 jalan Salaman-Purworejo dibuka.

6. Tahun 1857 saluran kota yang dikenal dengan nama kali Manggis dibuka.

Saluran ini merupakan cabang dari sungai Elo. Panjangnya 12 kilometer

dan mengairi 625 bau sawah.

7. Tahun 1862 jalan-jalan yang bisa melalui kedu dibuat.

8. Tahun 1870 jalan-jalan tersebut diperbaiki sehingga menjadi jalan utama.

Jalan raya Secang-Temanggung-Parakan-Wonosobo-ditingkatkan menjadi

jalan raya utama.

9. Tahun 1873 dibuka jalan kereta api yang menghubungkan Magelang

dengan Semarang dan Yogya. Dibangun pula lintasan trem yang

menghubungkan Magelang dengan kota-kota di sekitarnya. Pada akhir

abad ke-19 NIS masih membuka sambungan kereta api Yogya-Magelang-

Page 6: BAB II KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI KOTA … · jembatan, selokan, pelapisan pinggiran jalan, parit, pematang, trotoar, sumur dan proyek lain; got-got, saluaran air dan saluran

20

Willem I (Ambarawa) dan Secan-Parakan, dimana posisi Magelang

semakin diperkuat.8

Pada tahun 1859 didirikan Nederlandsch Gereformerde

Zendingsvereninging dan pada tahun 1875, Sekolah Pendidikan Guru atau

Kweekschool yang ada di Surakarta dipindahkan ke Magelang. Pada tahun 1878

didirikan Sekolah Raja atau Hoofdenschool, sekolah ini pada tahun 1900 diberi

nama Opleiding School voor Inlandsch Ambtenaren atau OSVIA yang kemudian

ditingkatkan statusnya menjadi sekolah menengah dengan nama Middlebare

OSVIA (MOSVIA).

Hoofden School (cikal bakal OSVIA) tersebar di Jawa, masing-masing

berada di Bandung, Magelang, dan Probolinggo. Pada tahun 1900 sekolah-sekolah

ini mengalami reorganisasi dan diberi nama baru, yakni OSVIA. Di Bandung,

sebagian muridnya berasal dari Jawa Barat. OSVIA Magelang, menarik siswa-

siswa dari Jawa Tengah, sedangkan OSVIA Probolinggo bagi siswa dari Jawa

Timur.

Pada tahun 1900, OSVIA membuka cabang lagi di tiga tempat, yakni

Serang, Madiun, dan Blitar. Pembukaan cabang itu dilakukan karena jumlah

murid OSVIA meningkat dua kali lipat.

Pada tahun 1927 seluruh cabang OSVIA digabungkan menjadi MOSVIA

(Middelbare Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren) yang berpusat di

Magelang. Salah atu tokoh pergerakan nasional, KH. Ahmad Dahlan pernah

menjadi pengajar Agama Islam di OSVIA Magelang.

8 Staadsgemeente Magelang, op.cit., hlm.21-22.

Page 7: BAB II KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI KOTA … · jembatan, selokan, pelapisan pinggiran jalan, parit, pematang, trotoar, sumur dan proyek lain; got-got, saluaran air dan saluran

21

Salah satu alumni MOSVIA Magelang adalah Bapak Sosiologi Indonesia Prof.

Dr. Selo Soemardjan, yang menempuh pendidikannya di MOSVIA Magelang

tahun 1931-1934.

B. Wilayah Kota Magelang

Pada tahun 1903 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Undang-

undang Desentralisasi (Decentralisatiewet) dengan tujuan memberikan hak

otonom dan membentuk daerah pada setiap Karesidenan (Gewest) dan kota-kota

besar (Gemeente). Maksud utama dari undang-undang ini adalah memberikan

pemerintahan sendiri pada wilayah Karesidenan dan Kabupaten (Afdeling).

Daerah-daerah ini akan di perintah oleh Dewan Wilayah yang di ketuai oleh

Residen dan Dewan Kota (Gemeenteraad) yang di ketuai oleh Asisiten Residen,

yang selanjutnya di jabat oleh seorang walikota/Burgemeester.

Pada tahun 1905 dikeluarkanlah Decentralisatie Besluit dengan Staatsblad

No. 137 tahun 1905 yang bertujuan membentuk kota-kota otonom di Indonesia9.

Pembentukan kota otonom tersebut di mulai dengan Batavia pada tanggal 1 April

1905, Bandung tahun 1906, Surabaya tahun 1906 dan Semarang tahun 1907.

Dewan Kota ini pada mulanya di bentuk di kota-kota besar yang berpenduduk

lebih dari 120.000 orang, namun kemudian di susul dengan kota-kota yang lebih

kecil. Magelang sendiri di tetapkan menjadi kota otonom pada tanggal 1 April

1906 berdasarkan Staatsblad nomor 125 tahun 1906.10

Adapun yang di tunjuk sebagai kota otonom adalah kota besar yang

mempunyai banyak penduduk Eropa dan di sekitar kota tersebut banyak

9 Staatsblad van Nederlansch Indie 1905 nomor 137

10 Staatsblad van Nederlansch Indie 1906 nomor 125

Page 8: BAB II KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI KOTA … · jembatan, selokan, pelapisan pinggiran jalan, parit, pematang, trotoar, sumur dan proyek lain; got-got, saluaran air dan saluran

22

Onderneming perkebunan tebu, kopi dan sebagainya. Selain otonomi yang di

berikan masih terbatas untuk menangani pertumbuhan kota dan pemeliharaan

fasilitas umum. Untuk kota Magelang wewenang yang di berikan adalah sebagai

berikut : perbaikan dan perawatan jalan umum, jalan, lapangan dan taman,

jembatan, selokan, pelapisan pinggiran jalan, parit, pematang, trotoar, sumur dan

proyek lain; got-got, saluaran air dan saluran pembuangan umum, air minum dan

air untuk mencuci, air untuk mandi dan los-los pasar. Merawat dan memperbaiki

saluran pembuangan kota, jembatan di atas Sungai Progo dan Elo. Kebersihan dan

pembuangan sampah, pemadam kebakaran dan pembukaan area pemakaman.

Karena luasnya wewenang yang di berikan kepada Dewan Kota

(Gemeenteraad) tersebut maka pranata-pranata kota modern di terapkan di kota

Magelang. Dengan rencana pengembangan kota yang teratur dan pranata politik

pembentukan Dewan Kota, kota sebagai suatu pemukiman yang memiliki jalinan

sosial ekonomi kompleksa mulai di kelola secara professional. Sehingga dengan

demikian dapat di katakan sejak tahun 1906 kota Magelang mengalami

perkembangan yang sangat pesat.

Dengan keluarnya Surat Edaran Komisaris Pemerintah untuk

Desentralisasi tanggal 20 Mei 1904 No. 112 yang berisi rencana untuk

membentuk sebuah dewan Kotapraja di Ibukota Magelang, maka dipandang perlu

untuk merubah batas-batas yang ditetapkan dalam Lembaran Negara 1887 No. 8

dan sebanyak mungkin menerima batas-batas alami. Usulan tersebut diajukan

melalui surat tanggal 29 November 1904 No. 12074. Usulan tersebut disetujui dan

Page 9: BAB II KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI KOTA … · jembatan, selokan, pelapisan pinggiran jalan, parit, pematang, trotoar, sumur dan proyek lain; got-got, saluaran air dan saluran

23

ditetapkan dengan surat keputusan tanggal 20 Januari 1905 No.22. dengan

keluarnya surat keputusan tersebut maka batas-batas kota Magelang yaitu:11

Utara : batasan antara Onderdistrict Magelang dan Secang dari Distrik

Magelang, aliran kanan Sungai Elo sampai aliran kiri Sungai Progo.

Barat : aliran kiri sungai Progo dari titik potongnya dengan batas

Onderdistrict Magelang dan Secang, ke selatan sampai titik potong dengan batas

antara Onderdistrict Magelang dan Mertoyudan.

Selatan : batas antara Onderdistrict Magelang dan Mertoyudan, aliran kiri

Sungai Progo sampai aliran kanan Sungai Elo.

Timur : aliran kanan Sungai Elo dari titik potong dengan batas antara

Onderdistrict Magelang dan Mertoyudan, ke utara sampai titik potong dengan

batas antara Onderdistrict Magelang Secang.

Dalam rapat umum Dewan Kotapraja Magelang yang diadakan pada hari

Selasa tanggal 17 Maret 1925, dibahas surat ketua dewan tanggal 5 Maret 1925

No.233/57 tentang perluasan bata-batas Kotapraja.12

Rapat ini menghasilkan

keputusan 6 suara setuju perluasan dan 2 suara menolak. Hasil dari rapat ini

diajukan kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda oleh Ketua Dewan Kotapraja

Magelang melalui suratnya tanggal 5 Juni 1925 No. 772/57. Surat ini berisi

permintaan kepada Gubernur Jenderal untuk mengijinkan perubahan batas-batas

Kotapraja Magelang yang ditetapkan melalui Peraturan 20 Januari 1905 No.2213

bagi Ibukota Magelang dan dalam Staadsblad 1906 No. 125 dinyatakan berlaku

11

Besluit 20 Januari 1905 No. 22 12

Uittreksel uit de notulen van de Openbare Vorgadering van den

Gemeenterad van Magelang, gehouden op DINSDAG, 17 Maret 1925 des

namiddags ten 6,30 une in Raadhuis. 13

Staatsblad Van Nederelansch Indie 1905 No.70

Page 10: BAB II KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI KOTA … · jembatan, selokan, pelapisan pinggiran jalan, parit, pematang, trotoar, sumur dan proyek lain; got-got, saluaran air dan saluran

24

bagi Kotapraja Magelang. Usulan ini disetujui oleh Residen Kedu yang

dinyatakan dalam suratnya tanggal 24 Juni 1925 No. 490/44 yang ditujukan

kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda.

Setelah melalui usulan yang panjang, usulan perubahan batas wilayah

Kotapraja Magelang akhirnya disetujui dan ditetapkan melalui Surat Keputusan

No. 25 tanggal 3 Januari 1927. Dengan keputusan ini, maka wilayah Ibukota

Magelang menjadi14

:

Utara : batas antara desa Kramat dan Sambungrejo sejauh terletak antara Kali

Progo dan lahan milik lembaga rumah sakit jiwa Kramat. Kemudian ke arah utara

dan timur mengikuti batas tanah yang dipetakan dari lembaga tersebut sampai ssi

timur jalan raya dari Secang ke Magelang. Kemudian jalan ini ke selatan sampai

batas antara Onderdistrict Magelang dan Secang, mengikuuti batas samapi Kali

Elo.

Timur : dari titik potong batas utara dengan Kali Elo, aliran kanan sungai ini

mengikuti sampai titik potong dengan jalan desa yang membentang sepanjang

dusun Salahan dan Soka.

Selatan : jalan desa tersebut dari Kali Elo sampai titik silang dengan jalan raya

menuju Yogyakarta, selanjutnya sisi barat jalan raya ini ke arah selatan sampai

kali Soko, mengikuti aliran kali ini sampai saluran Tangsi selanjutnya aliran

kanan saluran ini sdan parit yang mengalir sepanjang batas utara dari Dusun

Senmeng sampai Kali Bening untuk kemudian mengikuti aliran kiri Kali Bening

sampai titik potong dengan batas antara desa Bulurejo dan Jurangombo,

mengikuti batas desa ini sampai Kali Progo.

14

Besluit 3 Januari 1927 No. 25

Page 11: BAB II KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI KOTA … · jembatan, selokan, pelapisan pinggiran jalan, parit, pematang, trotoar, sumur dan proyek lain; got-got, saluaran air dan saluran

25

Barat : aliran kiri kali Progo dari titik potong dengan batas selatan sampai titik

dimana batas utara di mulai.

C. Kehidupan Sosial Masyarakat di Kota Magelang

Kehadiran bangsa Belanda sebagai penguasa di pulau jawa menyebabkan

pertemuan dua kebudayaan, yaitu Barat dan Timur. Kebudayaan Barat (Belanda)

dan Kebudayaan Timur (Jawa), yang masing-masing didukung oleh etnis berbeda

dan mempunyai struktur sosial yang berbeda pula. Akibat percampuran

kebudayaan tersebut, kebudayaan bangsa pribumi diperkaya dengan kebudayaan

Barat. Karena demikian besarnya pengaruh kebudayaan Eropa tersebut terhadap

kebudayaan Jawa, ketujuh universal budaya utama (seven cultural universals)15

yang dimiliki suku jawa sepenuhnya terpengaruhi olehnya.

Budaya Indis pada awalnya didukung oleh kebiasaan hidup membujang

para pejabat Belanda. Adanya larangan membawa istri (kecuali pejabat tinggi) dan

mendatangkan wanita Belanda ke Hindia-Belanda mengakibatkan terjadinya

percampuran darah yang melahirkan anak-anak campuran dan menumbuhkan

budaya dan gaya hidup Belanda-pribumi yang disebut gaya Indis.16

Pada awal abad ke-20 perkembangan masyarakat kolonial telah

mengalami perubahan yang signifikan. Hal ini merupakan dampak dari mobilitas

kaum pribumi yang digerakkan oleh perluasan pengajaran. Di masa ini terciptalah

15

Clyde Kluckhohn, Universal Categories of Culture, di dalam A,L.

Kroeber,Anthropology Today, (Chicago: The University of Chicago Press, 1952),

hlm 507. 16

Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis Dan Gaya Hidup Masyarakat

Pendukungnya Di Jawa (Abad XVIII-Medio Abad XX). (Yogyakarta: Yayasan

Bentang Budaya, 2000), hlm 8.

Page 12: BAB II KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI KOTA … · jembatan, selokan, pelapisan pinggiran jalan, parit, pematang, trotoar, sumur dan proyek lain; got-got, saluaran air dan saluran

26

golongan profesional sebagai golongan sosial baru. Mereka biasanya bekerja

sebagai seorang elit birokrat atau administrasi di pemerintahan.

Elit administrasi atau birokrasi di kota-kota kabupaten merupakan

golongan yang berprestise, berkedudukan ekonomi baik, serta memiliki kekuasaan.

Inti dari golongan ini ialah para pejabat pangreh praja (Binnenland Bestuur)

dengan bupati pada puncak hierarki birokrasi, disusul oleh patih, wedana, asisten

wedana, mantri-mantri, juru tulis. Sudah tentu tingat kepangkatan serta

pendapatan memungkinkan penghayatan kehidupan menurut gaya tertentu,

misalnya rumah dan halamannya, perabot, pakaian, makanan, rumah tangga dan

pembantu-pembantunya, serta lambang-lambang status lainnya.17

Inti dari perubahan pada awal abad 20 adalah pendidikan gaya barat,

semakin tinggi pendidikannya maka orang tersebut semakin dekat dengan pusat-

pusat kota dunia kolonial. Dengan demikian, kesempatan untuk mendapatkan

pekerjaan semakin terbuka, namun mereka akan semakin terhisap ke dalam dunia

kolonial Belanda, makin modern orang tersebut ia semakin jauh dari cara hidup

yang dijalani generasi orang tuanya.

Sejak awal abad ke 18 sampai awal abad 20 muncul golongan sosial baru

sebagai pendukung kuat kebudayaan campuran (Belanda-Jawa) di daerah jajahan

Hindia Belanda. Hal itu disebabkan oleh besarnya pengaruh kebudayaan Belanda

di Pulau Jawa. Burger menyebutkan ada lima golongan masyarakat baru18

yaitu,

a. Golongan Pamong Praja bangsa Belanda

b. Golongan Pegawai Indonesia baru

17

Sartono Kartodirjo, Sejarah Pergerakan Nasional. Jilid II, (Jakarta:

Gramedia), hlm 82. 18

D.H. Burger, Perubahan-perubahan Struktur dalam Masyarakat Jawa,

(Jakarta: Bharata, 1983), hlm 65.

Page 13: BAB II KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI KOTA … · jembatan, selokan, pelapisan pinggiran jalan, parit, pematang, trotoar, sumur dan proyek lain; got-got, saluaran air dan saluran

27

c. Golongan Pengusaha Partikelir Eropa

d. Golongan yang terdiri dari akademisi Indonesia (sarjana hukum,

insinyur, dokter, guru, ahli pertanian, dan lain-lain).

e. Golongan menengah Indonesia (pengusaha Indonesia yang mempunyai

usaha di bidang perdagangan dan kerajinan).

Pada masa penjajahan Belanda, untuk menetapkan suatu daerah menjadi

Staadsgemeente, ada tiga macam pertimbangan yaitu:

1. Personen (penduduk)

2. Omstandigheden (keadaan setempat)

3. Geld (keuangan)

Personen atau penduduk yang dimaksud disini adalah penduduk kulit putih

(orang Eropa) dan paling tidak harus mencapai jumlah 10 persen dari jumlah

penduduk daerah tersebut.19

Berdasarkan dengan pengertian menurut peraturan perundang-undangan

Pemerintah Hindia-Belanda tanggal 31 Desember 1906, Staadsblad 1907 nomor

205 yang menyatakan bahwa semua orang yang bertempat tinggal di Indonesia

sebelum tanggal 1 Januari 1920 termasuk golongan Eropa atau yang

dipersamakan dengan Eropa, dan sesudah tanggal tersebut tetap tunduk pada

ketentuan-ketentuan untuk orang Eropa.20

19

Van Der Zee, Het Indische Gemeentewezen,(„s-Gravenhage: Martinus

Nijhoff, 1920), hlm. 20. 20

R. Supomo, Sistem Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Noordoff-KolffNV,

1960), hal.12.

Page 14: BAB II KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI KOTA … · jembatan, selokan, pelapisan pinggiran jalan, parit, pematang, trotoar, sumur dan proyek lain; got-got, saluaran air dan saluran

28

Jumlah Penduduk Magelang pada tahun 1905 adalah 68.625 orang dengan

perincian sebagai berikut:21

Orang Eropa : 800

Vreemde-Oosterlingen (Timur Asing) : 2.825

Orang Indonesia (pribumi) : 65.000

Jumlah : 68.625

Data tersebut menunjukkan bahwa penduduk kulit putih yang tinggal di

Magelang berjumlah 3.625 orang atau 5,28% dari jumlah penduduk Magelang.

Hubungan sosial pada jaman Kolonial Belanda, kebanyakan didasarkan

pada sistem kelas yang disesuaikan dengan struktur sosial pada masa itu. Struktur

sosial masyarakat pada umumnya terbagi atas tiga golongan, yaitu golongan orang

Eropa (Belanda), golongan Timur Asing, dan golongan Pribumi. Pengaruh

diskriminasi ras ini dilihat dari struktur jabatan kepegawaian pemerintahan jelas

sekali perbedaan yang mencolok antara pegawai kebangsaan Eropa dengan

penduduk Bumiputera. Jabatan-jabatan tertentu di bidang pemerintahan diangkat

dari penduduk Bumiputera sampai pada jabatan tingkat menengah sedangkan

untuk jabatan kepegawaian yang lebih tinggi sebagian diisi oleh orang-orang

Eropa atau Indo-Eropa. Pembagian struktur ini dapat digambarkan sebagai

berikut :

21

Encyclopedie van Nederlandsch Indie, Tweede Deel H-M, s‟-

Gravenhage-Leiden : Martinus Nijhoff – NV, 1918

Page 15: BAB II KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI KOTA … · jembatan, selokan, pelapisan pinggiran jalan, parit, pematang, trotoar, sumur dan proyek lain; got-got, saluaran air dan saluran

29

Berdasarkan diagram menunjukkan bahwa orang Belanda dan Eropa

mempunyai kedudukan sosial yang lebih tinggi dan mereka mendapat perlakuan

yang istimewa. Golongan Indo dan Timur Asing merupakan Golongan yang

menempati posisi kedua, dengan kedudukan dan hak yang hampir sama dengan

orang Belanda. Sedangkan golongan pribumi berada dalam strata sosial yang

paling rendah dengan kedudukan dan hak yang terbatas.

Sementara itu Sartono Kartodirdjo membagi masyarakat Hindia Belanda

berdasarkan pendidikannya. Perkembangan pendidikan dan pengajaran

menumbuhkan golongan sosial baru yang mempunyai fungsi dan status baru.

Stratifikasi tersebut yaitu,22

1. Elite birokrasi yang terdiri atas Pangreh Praja Eropa dan Pangreh

Praja Pribumi.

2. Priyayi birokrasi termasuk priyayi ningrat.

3. Priyayi profesional (priyayi gedhe dan priyayi cilik)

22

Sumijati Umosudiro dkk (editor), 2001, Jawa Tengah: Sebuah Potret

Warisan Budaya. Suaka Peninggalan Sejarah Dan Purbakala Propinsi Jawa

Tengah Dan Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya UGM, hlm 14

Orang Belanda dan Eropa

Golongan Indo dan Timur Asing

Golongan Pribumi

Page 16: BAB II KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI KOTA … · jembatan, selokan, pelapisan pinggiran jalan, parit, pematang, trotoar, sumur dan proyek lain; got-got, saluaran air dan saluran

30

4. Golongan Belanda dan golongan Indo yang secara formal masuk

status Eropa dan mempunyai tendensi kuat untuk

mengidentifikasikan diri dengan pihak Eropa.

5. Orang kecil (wong cilik) yang tinggal di Kampung.

Adanya keanekaragaman penduduk yang ada di kota Magelang, maka

berdampak pada pola kehidupan dan budaya yang berkembang pada saat itu. Dari

keanekaragaman penduduk tersebut, maka untuk mengetahui budaya dari

masyarakat itu perlu diketahui karakteristik dari masing-masing penduduk.

1. Orang-orang Belanda

Orang-orang Eropa di Magelang adalah orang Belanda dan keturunan

Belanda-Indo yang menurut hukum termasuk kategori European. Kota Magelang

setelah dikuasai oleh pemerintah Belanda, masyarakat keturunan Belanda

menempati kedudukan paling penting dan tinggi dalam sistem pemerintahan.

Suatu daerah yang dikuasai oleh Belanda dikenal dengan adanya diskriminasi ras

yang ditanamkan oleh konsentrasi unsur-unsur Bumiputera pada jabatan-jabatan

rendah dan lapisan atas yang terdiri atas golongan Eropa dan penduduk

Bumiputera pada bagian yang paling bawah.23

Ciri sosial lainnya yaitu

pembatasan dalam pergaulan sosial antara ras-ras tersebut. Orang Jawa dilarang

memasuki perkumpulan-perkumpulan, lapangan olahraga, sekolah, tempat umum

dan daerah tempat kediaman bangsa Belanda.

Pada tahun 1900 kurang lebih ada 70.000 orang Eropa di Jawa. Mereka

sebagian kecil adalah Eropa totok lahir di negaranya dan datang ke Jawa yang

23

Sartono Kartodirjo, Lembaran Sejarah No. IV. hlm 47.

Page 17: BAB II KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI KOTA … · jembatan, selokan, pelapisan pinggiran jalan, parit, pematang, trotoar, sumur dan proyek lain; got-got, saluaran air dan saluran

31

mata pencahariannya sebagai pedagang dan pengusaha. Penduduk Eropa di Jawa

kurang lebih berjumlah 75% yang terdiri dari masyarakat Indo-Eropa atau

Eurasian. Tidak mengherankan apabila orang-orang Eropa mempunyai taraf

pendidikan yang lebih baik karena ayah mereka memberi perhatian lebih sehingga

mendapat pendidikan. Mereka bekerja dan menjadi tenaga teknis pada kantor-

kantor pemerintah dan departemen-departemen atau menjadi tenaga ahli dan

tukang di pusat-pusat kota.

Pada dasarnya orang-orang Belanda itu adalah kelompok golongan Indo-

Eropa sebagai keturunan dari perkawinan campuran antara Belanda totok dengan

wanita pribumi yang biasanya berstatus Nyai atau Gundhik dalam hal ini tidak

sebagai istri resmi.24

Perkawinan ini terjadi dikarenakan jumlah wanita totok di

Indonesia tidak terlalu banyak. Di kalangan masyarakat Belanda ada diskriminasi

ras antara golongan totok dan Indo yang tidak hanya didasarkan pada daerahnya

tetapi juga karena perbedaan status sosialnya.

Golongan Indo secara formal masuk status Eropa yang mempunyai

tendensi kuat untuk mengidentifikasikan diri dengan pihak Eropa dengan

masyarakat pribumi padahal golongan totok sendiri tidak ingin disamakan dengan

golongan Indo. Menurut pandangan masyarakat pribumi, peradaban Barat tidak

pernah dipandang tinggi dan hanya beberapa unsur yang dihargai antara lain

pengajaran Barat, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Golongan Indo kurang berperan dalam memainkan peranan kepemimpinan

karena kekuasaan, kekayaan dan status tidak ada padanya. Minoritas golongan

24

Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah

Pergerakan Nasional. Jakarta: PT Gramedia, 1993, hlm 97.

Page 18: BAB II KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI KOTA … · jembatan, selokan, pelapisan pinggiran jalan, parit, pematang, trotoar, sumur dan proyek lain; got-got, saluaran air dan saluran

32

Indo untuk mengatasi rasa kurang percaya diri adalah dengan menunjukkan

loyalitas kepada penguasa kolonial dan identitas ke-Eropaan, dengan dasar

tersebut golongan Indo berusaha berpegang pada establishment kolonial sehingga

menjauhkan mereka dari golongan pribumi.

Perkembangan penduduk Eropa yang begitu cepat di Magelang

menyebabkan pemukiman orang Eropa semakin menjauhi pusat kota (alun-alun).

Sepanjang jalan kereta api (groote weg), Bottonweg, Badaan, Karesidenanweg,

dan sepanjang Tidar Bajemanweg berkembang dengan cepat hal ini

mengakibatkan semakin terdesaknya kaum pribumi yang membuat kurangnya

permukiman dan memburuknya kondisi lingkungan. Sanitasi yang buruk

menyebabkan wabah penyakit yang menular dan kelaparan.

Sekitar tahun 1920 Pemerintah Kolonial Belanda memberikan perhatian

pada kasus ini dengan menjalankan program perbaikan kampung (Kampong

Verbetering) dengan memperbaiki jalan-jalan, gang-gang, selokan dan

membangun fasilitas mandi dan kakus umum. Serta membangun perumahan

murah.

Pemerintah Kotapraja sesuai dengan rencana tata kota yang dikembangkan

oleh Ir. Thomas Karsten membagi tata kota menjadi zona-zona yang berbeda

berdasarkan kelas ekonomi dan kepentingan tertentu, tidak lagi berdasarkan ras

atau golongan.

Salah satu pemukiman yang direncanakan oleh Karsten adalah kawasan

Kwarasan. Kawasan ini dibangun untuk mengatasi masalah kesehatan dan

pemukiman yang tidak teratur di daerah tersebut. Karsten merencanakan

pembangunan perumahan murah yang waktu itu dikenal dengan “Perumahan

Page 19: BAB II KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI KOTA … · jembatan, selokan, pelapisan pinggiran jalan, parit, pematang, trotoar, sumur dan proyek lain; got-got, saluaran air dan saluran

33

Rakyat” dalam rangka penyediaan kebutuhan rumah yang layak dan sehat yang

terletak di bagian Selatan-Barat Kota Magelang yang kemudian dikenal sampai

saat ini dengan “Kwarasan”.

Nama Kwarasan ini berasal dari kata “waras” yang dalam bahasa Jawa

berarti “sehat”. Kata “sehat” tersebut bisa diartikan sebagai upaya untuk menuju

rumah yang sehat atau dengan kata lain kawasan yang sehat dan bisa juga kata

tersebut diambil dari adanya Rumah Sakit Paru-Paru yang didirikan tak lama

kemudian untuk kebutuhan kesehatan masyarakat kota dan sekitarnya.

Adanya ketinggian atau kontur tanah membuat permukiman tersebut pada

saat direncanakan sampai sekarang terbagi menjadi 3 tipe, yaitu :

1. tipe paling besar, terletak di sebelah Timur lapangan, pada tanah yang lebih

tinggi dan menghadap ke jalan besar

2. tipe sedang, terletak di sebelah Utara, pada ketinggian yang menghadap ke jalan

besar sekeliling lapangan dan sebelah Barat di sekeliling lapangan tapi tidak

memiliki ketinggian

3. tipe kecil, terletak di sekeliling tipe besar dan sedang dan tidak berhadapan

langsung dengan lapangan

Di dalam kawasan permukiman terdapat lapangan yang terletak di tengah

agak ke Utara yang lebih dikenal dengan “Alun-Alun Kecil” (alun-alun besar

adalah alun-alun kota Magelang yang terletak di pusat kota). Lapangan ini

berfungsi sebagai pusat kawasan dan ruang terbuka kawasan tersebut dilengkapi

dengan adanya pohon besar yang merupakan simbol alun-alun Jawa dan beberapa

pohon lainnya. Terdapat rumah milik seseorang yang dianggap tinggi dan sebagai

ketua di permukiman tersebut (replica dalem kadipaten) yang mempunyai

Page 20: BAB II KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI KOTA … · jembatan, selokan, pelapisan pinggiran jalan, parit, pematang, trotoar, sumur dan proyek lain; got-got, saluaran air dan saluran

34

hubungan langsung dengan pihak Karesidenan (dibuktikan dengan adanya pintu

penghubung yang berbentuk gua yang menghubungkan rumah tersebut dengan

rumah Residen Karesidenan Kedu yang terletak tidak jauh dari lokasi tersebut).

2. Orang-orang Timur Asing

Golongan Timur Asing menempati urutan kedua setelah golongan

masyarakat Belanda, yang mempunyai daya dagang yang sangat besar

pengaruhnya terhadap perkembangan kota. Di dalam sistem hukum Belanda ada

perbedaan yang nyata antara penduduk Timur Asing dengan penduduk pribumi.

Perbedaan ini pada akhirnya menyebabkan semakin lebarnya jurang pemisah

antara kedua golongan sosial tersebut. Orang Timur Asing digolongkan dalam

Vreemde Oosterlingen dan orang Jawa termasuk dalam Inlanders atau pribumi.

Penduduk yang termasuk dalam masyarakat Timur Asing antara lain orang

Tionghoa, Arab, Cina dan bangsa lainnya. Pada dasarnya orang-orang Timur

Asing juga meliputi dua golongan yaitu orang peranakan, bukan hanya orang

Timur Asing yang lahir di Indonesia hasil perkawinan campuran dengan orang

Indonesia, sedangkan orang totok bukan hanya orang Timur Asing yang lahir di

negeri asalnya.25

Golongan Timur Asing (Cina, India dan Arab), mereka ini sangat sedikit

sekali yang bekerja di lembaga-lembaga pemerintahan kolonial. Mereka

umumnya sebagai pedagang dengan status dan hak istimewa, terutama

kemudahan-kemudahan dalam menjalankan profesi, misalnya, hak monopoli

untuk mendatangkan barang-barang yang dibutuhkan orang Belanda dan

25

Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. (Jakarta:

Djambatan, 1971) hlm 347.

Page 21: BAB II KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI KOTA … · jembatan, selokan, pelapisan pinggiran jalan, parit, pematang, trotoar, sumur dan proyek lain; got-got, saluaran air dan saluran

35

masyarakat, hak mendirikan sebuah badan usaha berupa pabrik, jasa dan

perdagangan. Bagi bumiputra atau pribumi hak istimewa tersebut tidak didapatkan,

karena Pemerintah Kolonial menginginkan anak jajahan berada dalam kemiskinan

dan kebodohan agar mereka tidak menyadari sebagai orang yang berada di

bawah penekanan dan penindasan bangsa lain.

Di sepanjang abad yang berikutnya kelompok-kelompok masyarakat Cina

terus memainkan peranan yang sangat penting artinya di dalam kehidupan

ekonomi dan sosial di negara-negara Jawa (kerajaan) yang terletak di daerah

pedalaman.26

Pemerintah kolonial pada umumnya menginginkan penduduk Timur

Asing (Tionghoa) untuk ditempatkan di suatu tempat tersendiri. Hal ini dilakukan

guna menghindari terjadinya percampuran penduduk antara golongan pribumi dan

masyarakat Tionghoa yang terjadi di kota Magelang. Masyarakat Tionghoa

bertempat tinggal di suatu daerah yang disebut sebagai daerah Pecinan.

Keberadaan masyarakat Tionghoa di Magelang tidak diketahui secara pasti

kapan pertama kali datang ke kota ini. tidak ada literatur atau catatan resmi yang

bisa mengungkapkan hal ini. Hanya sebuah tulisan yang tertempel pada pintu

masuk gerbang dari Kelenteng Liong Hok Bio yang ada di tenggara Alunn-alun

Kota Magelang yang barangkali bisa di jadikan acuan. Tulisan yang tertulis

tersebut menyebutkan bahwa Kelenteng Liong Hok Bio berdiri pada tanggal 8 Juli

1864. Bisa diartikan pula bahwa sebelum tahun tersebut mayarakat Tionghoa

sudah bertempat tinggal di Magelang.

Pada jaman kolonial Belanda, pemerintah saat itu menempatkan

masyarakat ini ke suatu kawasan tertentu. Dengan tujuan pemerintah Belanda

26

Peter Carey, Orang Jawa dan Masyarakat Cina 1755-1825. (Jakarta:

Pustaka Azet 1984) hlm 16.

Page 22: BAB II KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI KOTA … · jembatan, selokan, pelapisan pinggiran jalan, parit, pematang, trotoar, sumur dan proyek lain; got-got, saluaran air dan saluran

36

lebih mudah mengawasi dan mengontrolnya. Kawasan tertentu tersebut biasa

dikenal dengan nama Pecinan. Pecinan yang ada di Kota Magelang ini berada di

Jalan Pemuda.

3. Orang-orang Pribumi

Dari jumlah penduduk yang semakin bertambah tersebut, penduduk

pribumi menempati jumlah yang paling besar. Golongan ini mempunyai struktur

masyarakat sendiri. Masyarakat pribumi terbagi dalam dua golongan sosial yang

besar yaitu golongan atas yang terdiri dari bangsawan dan priyayi, serta golongan

yang terdiri dari para petani, pedagang, tukang, pengrajin dan sebagainya.

Golongan bangsawan atau priyayi mempunyai etiket dan etika dalam

kehidupan sehari-hari.27

Golongan atas atau priyayi mempunyai gaya hidup yang

sangat berbeda dengan masyarakat golongan bawah (wong cilik). Golongan ini

menunjukkan gaya aristokrat dengan kebebasan, makanan dan pakaian, serta

simbol-simbol yang menunjukkan bahwa mereka adalah golongan elit. Di lain

pihak golongan bawah yang biasa disebut sebagai wong cilik menunjukkan sifat

yang sungguh berbeda karena golongan ini mempunyai kebiasaan polos, terbuka

dan kasar.28

Ada beberapa faktor yang menentukan kepriyayian seseorang, menurut

Palmier priyayi dibagi menjadi dua golongan, yaitu priyayi luhur dan priyayi kecil.

Priyayi luhur yaitu priyayi yang sebenarnya atau murni, dapat dilihat dari garis

27

Sartono Kartodirjo, Perkembangan Peradaban Priyayi. Yogyakarta:

Gajah Mada University Press, 1987, hlm 76 28

Suhartono, Apanage Dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan

Surakarta 1830-1920. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991, hlm 32-35.

Page 23: BAB II KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI KOTA … · jembatan, selokan, pelapisan pinggiran jalan, parit, pematang, trotoar, sumur dan proyek lain; got-got, saluaran air dan saluran

37

keturunan orang tua baik ayah maupun ibu. Priyayi kecil adalah priyayi yang

status sosialnya dikarenakan pendidikan, jabatan pada administrasi pemerintahan.

Kedudukan tinggi dalam hierarki kepegawaian Indonesia diberikan atas

dasar keturunan dan politik kolonial yang baru membuat pendidikan sebagai

supplement pada asal keturunan dan dalam ukuran waktu dan keadaan tertentu

pendidikan dijadikan sebagai ukuran utama. Hal ini didorong dengan munculnya

elit profesional. Pada awal abad ke-20, perluasan pola kepemimpinan masyarakat

Indonesia hampir merupakan suatu perkembangan khusus di kalangan kelompok

priyayi sendiri dan jarak sosial tetap merupakan suatu kekuatan yang ampuh di

kalangan elit.

Pendidikan gaya Barat yang modern telah membuat golongan pribumi

terserap dalam kehidupan orang Eropa, misalnya dengan penggunaan kata-kata

Belanda dalam pembicaraan bahasa daerah mereka, mengenakan pakaian dan

sepatu gaya Barat, kebiasaan mengunjungi restoran dan minum limun, menonton

film, dan hal-hal yang berbau Barat lainnya.29

Di dalam struktur lapisan

masyarakat, golongan tersebut tetap dianggap sebagai golongan pribumi

meskipun pendidikannya tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya stratifikasi rasial

yang diciptakan oleh pemerintah Belanda. Adanya golongan pribumi yang

mempunyai kedudukan dalam pemerintahan Belanda (ambtenaren), tetap saja

posisinya berada di bawah orang-orang Eropa.

Sementara itu situasi pemerintahan kolonial mengharuskan penguasa

bergaya hidup, berbudaya, serta membangun gedung dan rumah tempat

tinggalnya berbeda dengan rumah pribumi. Ciri khas ini dipergunkan untuk

29

Takhashi Shiraishi, op.cit, hlm 40.

Page 24: BAB II KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI KOTA … · jembatan, selokan, pelapisan pinggiran jalan, parit, pematang, trotoar, sumur dan proyek lain; got-got, saluaran air dan saluran

38

menunjukkan jati diri mereka sebagai anggota kelompok golongan yang berkuasa

dan untuk membedakan dengan rakyat pribumi. Mereka tinggal berkelompok di

bagian wilayah kota yang dianggap terbaik.

Priyayi semula hanya mengacu pada golongan bangsawan yang turun

temurun, kemudian oleh penjajah Belanda mereka telah dilepas dari ikatan

kerajaan dan dijadikan pegawai pemerintah yang diangkat dan digaji. Golongan

ini tetap mempertahankan dan memelihara tradisi keraton yang halus, kesenian,

dan mistik Hindu-Budha. Priyayi ini dibedakan dari rakyat biasa karena memiliki

gelar-gelar kehormatan dan dalam arti tertentu gelar tersebut berlaku secara turun-

temurun.30

Golongan ini sebelum tahun 1900 masih kuat dalam mempertahankan

hubungan darah atau keturunan, namun menjelang tahun 1900 pembatasan ini

mulai luntur sehingga sebutan priyayi bukan lagi berdasarkan keturunan tetapi

dipandang dari fungsi sosial mereka.

Masyarakat yang berkerja dalam kegiatan negara seperti pegawai

administrasi Bumiputera telah mengembangkan golongan ini. Mereka semua

mempunyai satu kesamaan yang umum yaitu pendidikan yang bergaya barat.

Pendidikan tersebut membuka jalan bagi mereka pada dunia kolonial. Pada masa

politik etis, modernitas menunjukkan sebuah kemajuan. Hal-hal yang berbau

Barat sudah menjadi bagian dalam gaya hidup mereka. Percakapan mereka juga

menunjukkan bahwa budaya Belanda kedudukannya lebih dominan, hal ini

dikarenakan bangsa Belanda sebagai penguasa memiliki peranan yang sangat

30

Clifford Geertz, Abangan, santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa.

(Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hlm 307.

Page 25: BAB II KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI KOTA … · jembatan, selokan, pelapisan pinggiran jalan, parit, pematang, trotoar, sumur dan proyek lain; got-got, saluaran air dan saluran

39

dominan sementara itu masyarakat pribumi hanya sebagai bangsa terjajah serta

menyesuaikan diri dengan aparat.31

Khususnya kaum muda yang telah mendapatkan pendidikan Barat

melakukan hal-hal yang berbau modern dan berbau Belanda. Mereka

menggunakan kata-kata Belanda dalam pembicaraan bahasa daerah mereka,

mengenakan pakaian dan sepatu gaya Barat, kebiasaan mengunjungi restoran dan

minum limun, menonton film dan hal-hal yang berbau Barat lainnya. Kegiatan ini

sering dilakukan oleh golongan priyayi termasuk mereka yang tinggal di kota-kota

kecil.32

Di awal abad ke-20 hal-hal yang berbau Eropa (Belanda) ternyata sudah

masuk dalam keseharian keluarga priyayi, salah satunya adalah kebiasaan makan

sehari-hari. Seperti layaknya orang-orang Belanda, para ambtenaren pribumi

banyak yang meniru kebiasaan makan orang-orang Belanda. Golongan

bangsawan lebih banyak lagi menyerap kebiasaan dan gaya hidup Belanda.

Di awal abad 20 ini mereka sering mengadakan pesta-pesta pernikahan

yang dikhususkan bagi mereka para pejabat Belanda bahkan ada yang

menyelenggarakan lebih dari satu kali pesta untuk mereka. Pada pesta perjamuan,

baik yang merupakan perjamuan makan malam biasa atau perjamuan yang lebih

besar seperti pesta pernikahan didahului dengan toast minuman anggur. Hal yang

tidak pernah ditemui dalam kebiasaan dan gaya hidup tradisional Jawa.

Adanya pesta perjamuan makan maupun pesta didorong oleh adanya

perkumpulan para priyayi atau warga keturunan yang sering berkumpul di satu

31

Djoko Soekiman, op.cit, hlm 39-40. 32

Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa. (Jakarta: Balai pustaka, 1994),

hlm 286.

Page 26: BAB II KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI KOTA … · jembatan, selokan, pelapisan pinggiran jalan, parit, pematang, trotoar, sumur dan proyek lain; got-got, saluaran air dan saluran

40

tempat pertemuan. Di kota-kota kecil tempat pertemuan ini terkenal dengan nama

soos, yang diambil dari bahasa Belanda societeit yaitu tempat pertemuan bangsa

Belanda yang eksekutif. Di samping untuk keperluan rapat, soos juga menjadi

tempat pertemuan publik yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti

kegiatan rekreasi, pementasan sandiwara, pesta sekolah dan lain sebagainya.33

Pada awalnya kegiatan seperti tersebut dilakukan oleh orang-orang

Belanda, namun pada perkembangannya banyak masyarakat pribumi yang

melakukan kegiatan tersebut. Berawal dari sini, bisa dikatakan bahwa golongan

intelektual ini merupakan golongan pendukung kebudayaaan Indis yang baru.

Golongan pribumi yang diangkat menjadi pejabat pemerintahan

disarankan untuk memperkenalkan dan mendidik keluarganya dengan kebiasaan

dan gaya barat dalam kehidupan sehari-hari.

Kebudayaan Indis bila disamakan dengan budaya “priyayi baru” atau

priyayi bukan bangsawan memiliki ciri gaya hidup sebagai suatu golongan

masyarakat yaitu memiliki kompleksitas simbolis yang menunjukkan karakteristik

priyayi. Akibat pertemuan dan percampuran peradaban Jawa dan Eropa (Belanda)

melahirkan gaya budaya campuran (bazar cultuur) yang terasa aneh bagi bangsa

Eropa sendiri maupun masyarakat Jawa.34

Ekspansi kekuasaan kolonial yang dimulai pada abad ke-19, merupakan

gerakan kolonialisme yang membawa dampak perubahan bukan hanya pada

bidang politik dan sosial saja, namun juga memberi dampak pada kebudayaan di

negara koloni mereka. Pengusaha perkebunan di tanah jajahan melahirkan kondisi

33

Sartono Kartodirjo, A. Sudewa, Suhardjo Harmosuprobo, op.cit, hlm

109. 34

Djoko Soekiman, op.cit, hlm 37

Page 27: BAB II KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI KOTA … · jembatan, selokan, pelapisan pinggiran jalan, parit, pematang, trotoar, sumur dan proyek lain; got-got, saluaran air dan saluran

41

lingkungan yang berbeda. Bentuk dan orientasi lingkungan perkebunan lebih

tertuju ke dunia luar menjadikan perkebunan seolah-olah terpisah sendiri dengan

lingkungan agraris setempat. Dari latar belakang inilah pada mulanya kebudayaan

Indis berkembang. Seiring dengan perkembangan abad 20, modernisasi dan hal-

hal yang berbau Eropa telah mulai masuk dan menyatu dalam kehidupan sehari-

hari masyarakat, bergesernya gaya hidup masyarakat serta kebudayaan Indis

berkembang dengan subur. Serta didukung oleh golongan priyayi dan pedagang.

Kota Magelang dalam kedudukan sebagai suatu Staadsgemeente

merupakan suatu daerah enclave, yaitu adanya suatu pemerintahan berdasarkan

hukum Barat yang diberlakukan di tengah suatu hukum adat. Artinya bahwa hak

istimewa yang dimiliki orang-orang Eropa itu berlangsung dan menempati di

sekitar pemerintahan bumi putera yang telah ada. Dengan latar belakang tersebut

kota Magelang dikenal sebagai Het Central Park van Java. Sebutan ini muncul

karena adanya perpaduan antara Kebudayaan Barat dengan kebudayaan dan

lingkungan kota yang memiliki fungsi yang penting dan kondisi lingkungan alam

kota yang sangat indah dan memiliki kelebihan-kelebihan tertentu.35

35

Soekimin Adwiratmoko, Magelang Indah Dulu dan Sekarang,

(Magelang: tanpa penerbit, tanpa tahun), hlm 9.