bab ii kajian teori a. zuhudetheses.iainkediri.ac.id/27/3/bab ii.pdf23 bab ii kajian teori a. zuhud...
TRANSCRIPT
23
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Zuhud
1. Pengertian Zuhud
Secara bahasa, lafazh zahida fiihi wa ‘anhu, zuhdan wa zahaadatan
artinya berpaling dari sesuatu, meninggalkannya karena kehinaannya atau
karena kekesalan kepadanya atau untuk membunuhnya. Lafazh zahuda fi
asy-syai’i artinya tidak membutuhkannya. Apabila dikatakan zahida fi ad-
dunyaa artinya meninggalkan hal-hal yang halal dari dunia karena takut
hisabnya dan meninggalkan yang haram dari dunia karena takut
siksaannya.1
Adapun secara terminologis, Ibnul-Jauzy yang diringkas dari kitab
Minhajul-Qaashidiin bahwa Az-Zuhd merupakan ungkapan tentang
pengalihan keinginan dari sesuatu kepada sesuatu lain yang lebih baik
darinya. Sehingga zuhud itu bukan sekedar meninggalkan harta dan
mengeluarkannya dengan suka rela, ketika badan kuat dan ada
kecenderungan hati padanya. Namun, zuhud ialah meninggalkan dunia
karena didasarkan pengetahuan tentang kehinaannya jika dibandingkan
dengan nilai akhirat.
Yunus bin Maysarah bertutur: “Zuhud terhadap dunia itu bukanlah
mengharamkan yang halal dan menolak harta, tetapi zuhud terhadap dunia
1 Imam Ahmad Bin Hambal, Zuhud ( Jakarta: Darul Falah, 2000), 1.
24
ialah engkau lebih yakin dan percaya terhadap apa yang ada di sisi Allah
daripada apa yang ada padamu dan keadaan serta sikapmu tidak berubah
baik sewaktu tertimpa musibah atau tidak. Zuhud terhadap dunia, apabila
pemuji dan pencacimu kau anggap sama haknya terhadapmu.” 2
Sebagian yang lain mengatakan, “zuhud terhadap perkara yang
haram ialah suatu kewajiban, sementara zuhud terhadap perkara yang halal
ialah suatu keutamaan. Apabila hamba yang berzuhud miskin, tetapi sabar
terhadap keadaannya, bersyukur serta merasa puas atas segala sesuatu
yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT kepadanya, maka hal tersebut
lebih baik daripada berusaha menimbun kekayaan berlimpah di dunia.”3
Syarat zuhud ialah tidak kembali kepada sesuatu yang dibencinya
karena sesuatu yang dibenci memiliki nilai tersendiri. Oleh karena itu,
melepaskan nilai harta sepenuhnya dapat menjaga hati dan semua anggota
tubuh dari segala sesuatu yang bertentangan dengan kezuhudannya.4
Imam Ahmad pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki harta,
apakah dia zuhud? Beliau menjawab: “Apabila hartanya bertambah dan ia
tidak bangga, dan jika berkurang (habis) ia tidak akan sedih, berarti ia
zuhud.”
2Ahmad Faridh, Pembersih Jiwa Imam Al-Ghozali, Imam Ibnu Rajab Al-Hambali, Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah (Bandung: Pustaka, 1421 H – 2000M), 86. 3 Imam Al-Qusyairi an-Nasabury, Risalatul Qusyairiyah, Induk Ilmu Tasawuf (Surabaya: Risalah
Gusti, 1997), 110. 4 Imam Al-Ghozali, Mukhtashar Ihya’ ‘Ulumiddin (Cilacap, Depok: Keira Publising, 2014), 462.
25
Menurut al-Ghozali bahwa hakikat zuhud adalah meninggalkan suatu
yang dikasihi dan berpaling darinya pada suatu yang lain yang terlebih
baik darinya karena menginginkan sesuatu di dalam akhirat.5
Riwayat At-Turmudzi menjelaskan bahwa berzuhud di dunia
bukanlah dengan cara mengharamkan segala yang halal atau menyia-
nyiakan harta kekayaan. Tetapi berzuhud di dunia artinya kamu
mengencangkan genggaman tangan terhadap apa-apa yang dikuasai Allah,
dan menjadikan balasan musibah jika kamu ditimpanya lebih kamu sukai,
sekalipun musibah itu datang terus menerus.6
Sufyan Ats-Tsauri dan beberapa ulama salaf menyatakan,
sesungguhnya zuhud ialah perbuatan hati yang dilakukan sesuai dengan
keridhaan Allah dan menutup sikap panjang angan-angan. Zuhud bukan
dilakukan dengan menyantap makanan buruk ataupun dengan memakai
jubah.7
Sebagai seorang sufi, Sufyan At-Tsauri juga sangat tekun
menjalankan kehidupan zuhud, seperti sikap gurunya. Kesungguhan
bekerja sangat menonjol untuk menghidupi diri dan keluarganya dengan
cara berdagang keliling, tetapi puasa dan ibadahnya di siang dan malam
tetap dijalankan. Beliau berdagang, beliau berusaha untuk tidak menerima
pemberian orang, sekalipun dari teman sendiri, lebih-lebih dari para
pejabat. Sebab, menurutnya, harta pejabat adalah harta negara, yang tentu
5 Tamami HAG, Psikologi Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), 175. 6 Syaikh Zainuddin Al-Malibary, Irsyadul ‘Ibad: Panduan Kejalan Kebenaran, terj. Muhammad
Zuhri, Ibnu Muchtar (Semarang: CV Asy-Syifa, TT), 155 . 7 Muhammad Fethullah Gulen, Tasawuf Untuk Semua, Menapaki Bukit-bukit Zamrud Kalbu
Melalui Istilah-istilah dalam Praktik Sufisme (Jakarta: Republika, 2014), 94.
26
saja juga merupakan harta rakyat, dan pemberian itu merupakan syubhat,
meragukan, belum jelas. Begitu juga kepedulian sosialnya sangat tinggi,
terbukti dengan selalu menyisihkan hasil dagangannya, untuk menghidupi
fakir-miskin dan orang-orang yang terlantar. Sikap zuhudnya terlukis
dalam kerendahan hatinya dan ketidak peduliannya terhadap kemewahan
duniawi, dia pernah melarikan diri dari khalifah Al-Mahdi ketika khalifah
itu hendak mengangkatnya sebagai Hakim Agung. Selain itu, iaj uga
seorang penyayang sesama makhluk.
Menurut Abû Hasan al-Syadzili (w.658 H/1258 M), meninggalkan
dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur, dan
berlebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman.
Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaiki-
baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya.8
Diceritakan pada suatu hari dalam sebuah pengajian Syekh Abu
Hasan Asy-Syadzili r.a. menerangkan tentang zuhud, dan di dalam majelis
terdapat seorang fakir yang berpakaian seadanya, sedang waktu itu Syekh
Abul Hasan Asy-Syadzili berpakaian serba bagus. Lalu dalam hati orang
fakir tadi berkata, “Bagaimana mungkin Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili
r.a. berbicara tentang zuhud sedang beliau sendiri pakaiannya bagus-bagus.
Yang bisa dikatakan lebih zuhud adalah aku karena pakaianku jelek-jelek”.
Kemudian Syekh Abu Hasan menoleh kepada orang itu dan berkata,
“Pakaianmu yang seperti itu adalah pakaian yang mengundang senang
8 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarak di Indonesia (Jakarta:
Prenada Media, 2005), 74.
27
dunia karena dengan pakaian itu kamu merasa dipandang orang sebagai
orang zuhud. Kalau pakaianku ini mengundang orang menamakanku orang
kaya dan orang tidak menganggap aku sebagai orang zuhud, karena zuhud
itu adalah maqam dan kedudukan yang tinggi”. Orang fakir tadi lalu
berdiri dan berkata, “Demi Allah, memang hatiku berkata aku adalah
orang yang zuhud. Aku sekarang minta ampun kepada Allah dan
bertaubat”.
Bukan pula yang dikatakan zahid ialah orang yang suka meminta-
minta karena malas bekerja. Seperti diutarakan di atas bahwa zahid tidak
meninggalkan kerja dan berusaha. Dengan demikian, zahid tidak ingin
menjadi “tangan di bawah” melainkan berusaha menjadi “tangan di atas”.9
Harta memiliki dua sisi, dimana yang satu pada sisi terpuji dan satu sisinya
pada sisi tercela. Sedangkan tujuan orang-orang yang pandai dan mulia
ialah kebahagiaan yang abadi. Harta adalah sarana atas hal tersebut. Harta
kadangkala dijadikan sebagai bekal untuk memperkuat diri dalam
melaksanakan ketakwaan dan ibadah, dan kadang dinafkahkan di jalan
akhirat, maka harta tersebut baik atau terpuji baginya. Barang siapa yang
mengambil harta untuk bersenang-senang atau dijadikannya sebagai sarana
menuju kemaksiatan dan hawa nafsunya, maka harta itu tercela baginya.10
Itulah pandangan dan pengertian zuhud menurut para pakar (pakar
tasawuf). Jadi, jelas hidup zuhud bukan berarti hidup miskin atau enggan
9 Ibid., 297. 10 Al-Ghozali, Mukhtashar Ihya’., 375.
28
bekerja, sehingga hidup melarat. Hidup zuhud harus dipahami secara benar
dan mendalam. Sehingga zuhud tidak melemahkan dalam melakukan
kehidupan sehari-hari.
Dalam penelitian ini lebih memfokuskan pada pandangan Abu
Hasan Asy-Syadzili bahwa seorang zahid boleh saja kaya raya asalkan
hatinya tidak terlena dan tejerat oleh kemewahan dunia. Tegasnya, seorang
zahid baik itu dalam keadaan kaya atau dalam keadan miskin, hatinya tetap
terpaut kepada Allah, kekayaan ataupun kemiskinan tidak menjadi
halangan untuk tetap taat dan mengabdi pada Allah SWT.
2. Dasar-dasar Zuhud
a. Al-Qur’an
Secara eksplisit, kata zuhud hanya disebut sekali dalam al-Qur’an,
yaitu dalam surat Yusuf ayat 20:
وشروه بثمن بخس دراهم معدودة وكانوا فيه من
اهدين ٢٠-الز
Dan mereka menjualnya (Yusuf) dengan harga rendah, yaitu
beberapa dirham saja, sebab mereka tidak tertarik kepadanya.11
Adapun penjelasan ayat-ayat yang lain didalam al-Qur’an tentang
zuhud. Firman Allah dalam surat Asy-Syura ayat 20:
11 QS. Yusuf [12]: 20, Depag RI, al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: Departemen Agama
Republik Indonesia, 2004), 237.
29
من كان يريد حرث الخرة نزد له في حرثه ومن كان
يريد حرث الدنيا نؤته منها وما له في الخرة من
٢٠-نصيب
Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami
tambahkan keuntungan itu baginya, dan barangsiapa
menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya
sebagian darinya (keuntungan dunia), tetapi dia tidak akan
mendapat bagian di akhirat.12
Diterangkan juga bahwa urusan akhirat lebih baik, dan lebih
kekal. Hal ini banyak tidak dimengerti oleh yang tidak mampu atas
meninggalkan dunia. Siapa yang langgeng kelalainnya, maka besarlah
kerugian dan penyesalannya di akhirat. Sebagaimana Firman Allah:
قل متاع الدنيا قليل والخرة خير ل من اتقى وال تظلمون
٧٧-فتيال
Katakanlah, “Kesenangan di dunia ini hanya sedikit dan akhirat
itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa (mendapat pahala
turut berperang) dan kamu tidak akan dizalimi sedikit pun.13
b. Hadits
12 QS. Asy-Syura [42]: 20, Depag RI, al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: Departemen Agama
Republik Indonesia, 2004), 485. 13 QS. An-Nisa[4]: 77, Depag RI, al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: Departemen Agama
Republik Indonesia, 2004), 90.
30
‘Abbas Sahl bin Sa’ad Assa’idy ra bercerita: “Telah datang
datang kepada Rasulullah seorang laki-laki dan berkata: “Wahai
Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amal yang apabila aku
mengamalkannya, aku dicintai oleh Allah dan oleh manusia.”
Rasulullah menjawab: “Zuhudlah engkau terhadap dunia, niscaya Allah
mencintaimu. Dan zuhudlah engkau terhadap apa yang dimiliki orang,
niscaya mereka akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah)14
Hadits ini menunjukkan bahwa Allah mencintai orang-orang yang
zuhud terhadap dunia. Mereka berkata: “Apabila mahabbah Allah
adalah kedudukan yang paling tinggi, maka zuhud terhadap dunia
adalah hal yang paling utama.”
Meskipun dilihat dari segi sanadnya diperselisihkan, namun dapat
dikuatkan dengan hadist lain, antara lain hadist yang menganjurkan
agar umat Islam menjadikan akhirat sebagai pusat perhatiannya yakni,
Nabi SAW menyatakan: Barang siapa yang perhatiannya tertuju
kepada dunia, maka Allah akan memisahkan persoalannya dan
menjadikan kefakiran dipelupuk matanya, seseorang tidak
diberinya (dunia) kecuali apa yang telah ditentukan baginya. Dan
barang siapa yang niatnya tertuju ke akhirat, maka Allah akan
mengumpulkan untuknya segala urusannya, menjadikan
kecukupan di hatinya, dan diberi dunia yang hina.” (HR. Ibnu
Majah)15
Kandungan hadist tersebut dapat dilihat dari segi psikologis,
sebab menurut Islam, kaya dan miskin tidak ditentukan semata-mata
oleh ada atau tidak adanya, sedikit atau banyaknya materi dan harta
14 Ahmad Faridh, Pembersih Jiwa., 85. 15 M. Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar , 1997), 28-29.
31
kekayaan yang dimiliki seseorang, namun bagaimana seseorang itu
menyikapi materi tersebut. Hal ini dapat diperhatikan melalui beberapa
hadist Nabi SAW: “...Bukanlah yang dikatakan kaya itu terdapatnya
banyak materi, akan tetapi kaya ialah merasa cukupnya hati
seseorang.”(HR. Ibnu Majah)
Selain itu, hadits riwayat Muslim, Tirmidzi, dan Nasa’i dari
Abdullah bin Asy-Syikhir r.a. ia berkata, “Aku mendatangi Rasulullah
SAW yang sedang membaca surah At-Takatsur, lalu ia bersabda, ‘Ibnu
Adam berseru, hartaku, hartaku. Wahai Ibnu Adam, kamu tidak
memiliki harta apapun, kecuali yang telah kamu makan, lalu
membusuk, atau yang kamu pakai lalu ia pun rusak, atau yang kamu
sedekahkan lalu ia pun lenyap.” Artinya sebagian besar harta yang kita
miliki, kita pergunakan untuk makan dan membeli baju. Padahal,
keduanya pasti akan musnah. Adapun yang abadi ialah harta yang kita
sedekahkan.16
3. Macam-macam Zuhud
Menurut Ibnu Qayyim, zuhud itu ada beberapa macam, yaitu:
a. Zuhud dalam hal yang haram, yang hukumnya fardhu ‘ain.
b. Zuhud dalam hal yang syubhat, tergantung kepada tingkatan-tingkatan
syubhat. Apabila syubhat itu lebih kuat, ia lebih dicondongkan kepada
hukum wajib, dan jika lemah, maka ia dicondongkan kepada sunnah.
16 Wahbah Az-Zuhaili, Ensiklopedia Akhlak Muslim, Berakhlak terhadap Sesama dan Alam
Semesta ( Jakarta: PT Mizan Publika, 2014), 448-449.
32
c. Zuhud dalam hal-hal yang berlebih, zuhud dalam hal-hal yang tidak
dibutuhkan, berupa perkataan, pertanyaan, pertemuan, zuhud di tengah
manusia, zuhud terhadap diri sendiri, sehingga dia menganggap diri
sendiri hina karena Allah SWT.
d. Zuhud yang menghimpun semua itu, yaitu zuhud dalam perkara selain
Allah. Zuhud yang paling baik ialah menyembunyikan zuhud itu sendiri
dan zuhud yang paling berat ialah zuhud dalam perkara yang menjadi
bagian diri sendiri. 17
Barang siapa yang menjual dunia dengan akhirat, berarti ia zuhud
terhadap dunia. Dan barang siapa yang menjual akhirat dengan dunia
berarti ia pun zuhud, namun zuhud terhadap akhirat.
4. Tingkatan-tingkatan Zuhud
Adapun tingkatan-tingkatan zuhud, yakni:
a. Seseorang yang zuhud terhadap dunia, meskipun dia menginginkannya
dan hatinya condong kepadanya, dia menahan dan memerangi perasaan
tersebut. Inilah yang dinamakan mutazahhid (orang yang berusaha
zuhud).
b. Orang yang meninggalkan dunia dengan kemauan sendiri (tanpa
berperang dengan perasaan cinta dunia, pent.) karena dunia
dianggapnya lebih hina dibandingkan dengan sesuatu yang ia inginkan.
Ia zuhud terhadap dunia, karena melihat akhirat seperti seseorang yang
17 Hambal, Zuhud., 3.
33
meninggalkan keuntungan satu dirham demi memperoleh yang dua
dirham.
c. Orang yang zuhud (meninggalkan) dunia atas kemauan (pilihannya)
sendiri, dan ia tidak menganggap dirinya telah meninggalkan sesuatu
yang berharga. Dia ialah seperti orang yang meninggalkan tembikar
untuk mendapatkan mutiara. 18
Menurut Ibnu Qayyim dalam kitab Thariiqul-Hijratain bahwa zuhud
ada tiga jenis, yakni: pertama, hukumnya wajib atas setiap orang Muslim
(zuhud dalam hal yang haram); kedua, zuhud mustajab atau sunnat; dan
ketiga zuhud, orang-orang yang masuk ke dunia zuhud ini ialah mereka
yang benar-benar tekun dalam melakukan perjalanan kepada Allah.19
Mereka ada dua golongan:
1. Orang yang zuhud di dunia secara keseluruhan. Maksudnya bukan
melepaskan dunia ini dari tangan sama sekali dan duduk berdiam diri,
namun maksudnya mengeluarkan dunia itu secara keseluruhan dari
hatinya, tidak menengoknya dan tidak membiarkannya mengendap di
dalam hati, meskipun sebagian dunia itu terpegang di tangannya. Sebab
zuhud itu bukan berarti engkau melepaskan dunia, namun ia
bersemayam di dalam hatimu. Adapun yang dimaksud zuhud ialah jika
engkau meninggalkan dunia dari hatimu meskipun ia ada di kedua
tanganmu. Hal ini sesuai yang terjadi pada sahabat Al-Khulafa’ur
18 Faridh, Pembersih Jiwa., 94. 19 Hambal, Zuhud.,4-5.
34
rasyidun dan Umar bin Abdul Aziz, yang menjadi sosok orang zuhud,
meskipun simpanan-simpanan harta dunia ada di bawah kekuasaannya.
2. Zuhud terhadap diri sendiri, dan ini merupakan zuhud yang paling berat
serta paling sulit.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa zuhud berarti mementingkan
kehidupan akhirat yang kekal dan bernilai daripada kehidupan dunia yang
fana dan hina. Dengan seperti itu, manusia mampu mengambil bagian
darinya, seukuran bekal seseorang pengembara, dengan mereguk sedikit
kesenangannya, tidak terperdaya oleh keindahannya, bertawakal kepada
Allah, takut dan berharap kepadaNya, untuk mendapatkan pahala di sisi
Allah SWT. Selain itu, zuhud berlaku dalam sesuatu yang ada, disertai
kemampuan dan kesempatan mendapatkannya.
Orang miskin tidak dapat dikatakan berzuhud dalam harta dan
menganggapnya sedikit, karena memang dia tidak mendapatkan harta itu.
Begitu pula orang yang tidak mampu melakukan hal yang diharamkan
karena beberapa sebab, yang tidak dapat disebut orang yang zuhud dalam
hal yang diharamkan. Tapi, yang disebut orang zuhud ialah yang
menjauhinya, sementara dia memiliki kemampuan untuk melakukannya.
Abu Yazid20 berkata kepada Abu Musa Abdurrahim, “Apa yang
sedang engkau bicarakan?” Dia menjawab, “Tentang zuhud”. Dia bertanya
kembali, “Tentang apa?” Dia menjawab, “Tentang menjauhkan diri dari
dunia”. Kemudian Abu Yazid mengibaskan tangannya sambil berkata,
20 Salah seorang ahli zuhud, Dikutip dari Imam Al-Ghozali, Mukhtashar Ihya’ ‘Ulumiddin
(Cilacap, Depok: Keira Publising, 2014), 464.
35
“Aku mengira dia berbicara tentang sesuatu, sementara dunia tidak ada
artinya. Bagaimana dia bersikap zuhud di dunia?”
Perumpamaan orang yang menjauhkan diri dari harta demi
kehidupan akhirat bagai orang yang mencapai makrifat dan yang melihat
melalui mata hati, seperti orang yang dihalangi oleh anjing untuk
memasuki pintu raja. Oleh karena itu, setan seperti anjing yang
menghadang di depan pintu Allah SWT yang mencegah manusia untuk
memasukinya, meski pintu tersebut terbuka dan hijabnya tersingkap.
Sementara itu, dunia layaknya sepotong roti. Jika kita memakannya, maka
kelezatannya hanya ada ketika roti itu dikunyah. Namun, kelezatan akan
hilang setelah ditelan. Lalu makanan itu akan membebani perut kita dan
akhirnya menjadi kotoran yang harus dikeluarkan. Orang yang
membuangnya supaya bisa menghadap raja, tidak mungkin
mempertimbangkannya lagi.
Perbandingan kekayaan dunia beserta semua yang didapatkan setiap
orang di dunia dengan kenikmatan akhirat, lebih tidak berimbang daripada
sepotong roti dengan raja di dunia. Hal itu karena sesuatu yang terbatas
(dunia) tidak dapat dibandingkan dengan sesuatu yang tidak terbatas
(akhirat). Oleh karena itu, tingkatan zuhud yang paling tinggi ialah zuhud
dari segala sesuatu selain Allah SWT, tanpa memperdulikan pengorbanan
dan kenikmatan yang didapat. Seorang hamba sebaiknya tidak mencari
36
makanan, pakaian, tempat tinggal, dan semacamnya kecuali berdasarkan
kebutuhan hidupnya. Inilah zuhud yang sebenarnya.21
5. Perilaku Zuhud
Seorang zahid (orang yang zuhud) bukanlah suatu pribadi yang
lemah yang hidup dibawah perintah para penyembah dunia dan terkadang
mengharapkan sisa-sisa makan mereka. Namun, yang dimaksud disini
ialah orang yang memiliki derajat di atas para penyembah dunia,
mempunyai tingkatan ilmu dan pemikiran yang lebih tinggi dari mereka.22
Mereka sama sekali tidak merasa takut apabila berpisah dengan
dunia. Mereka tidak terpengaruh dengan berkurang dan bertambahnya
dunia. Sehingga mereka ialah orang yang dipenuhi sifat berani, bebas, dan
merdeka, seorang yang bertakwa dan menjaga kehormatan. Bahkan
mereka juga seorang yang sanggup berkorban.
Nabi SAW membuat perbandingan antara dunia dengan akhirat,
antara lain dinyatakan bahwa perbandingan antara keduanya bagaikan
seseorang yang mencelupkan jari-jarinya ke dalam lautan, maka (dunia
bagaikan air) yang melekat pada jari-jarinya tersebut. Namun, Beliau tidak
menganjurkan untuk meninggalkan dunia sekali. Karena yang disebut
zuhud bukan berarti menghalalkan yang haram dan meremehkan harta,
21 Al-Ghozali, Mukhtashar Ihya’., 465. 22 Muthahhari, Jejak-Jejak Ruhani., 63.
37
akan tetapi zuhud mempunyai arti tebalnya kepercayaan kepada Allah
SWT daripada apa yang telah ada di tangannya.23
Apabila kita memperhatikan syariat Islam, maka diantara pengertian
zuhud yang membenci dunia, tidak melakukan apapun di dunia, atau
bahkan menjauhi dunia itu ada yang tidak tepat. Islam tidak mengharuskan
manusia menolak kesenangan sama sekali dan tidak mengharuskan hidup
menderita. Apabila nikmat tersebut diberikan Allah, maka hendaklah kita
terima dengan segala kesyukuran, tidak rakus dan tidak meremehkan.24
Nikmat-nikmat Allah hendaklah kita terima dengan mengarahkannya
kepada taqarrub. Kehidupan dunia mempunyai nilai khas yang patut
disyukuri dan bagai ladang mempersiapkan bekal untuk alam baqa.
Apabila harta tidak ada, maka seseorang harus qana’ah dan apabila harta
ada, maka dia harus mengutamakan orang lain, bersikap dermawan, dan
menjauhkan diri dari kebakhilan. Rasulullah SAW bersabda:
“Kedermawanan merupakan satu pohon di antara pohon-pohon surga yang
dahannya menjulur ke bumi. Barang siapa yang mengambil satu dahan
darinya, maka itu akan menuntunnya menuju surga”.25
Dalam hubungan ini, Rasulullah SAW bersabda:
Zuhud di dunia tidak dengan mengharamkan yang halal dan tidak
membuang harta, namun zuhud di dunia ialah bahwa engkau lebih
percaya kepada apa yang ada di pegangan Allah daripada apa yang
ada di tanganmu. Dan apabila engkau kena bahaya dunia, engkau
lebih senang dia kekal padamu supaya engkau dapat ganjarannya.26
23 Syukur, Zuhud., 30. 24 Hamzah Ya’kub, Tasawuf & Taqarrub: Tingkat Ketenangan & Kebahagiaan Mukmin
(Bandung: Pustaka Madya, 1987), 287. 25 Al-Ghozali, Mukhtashar Ihya’., 377. 26 Ibid., 288
38
Keimanan seorang hamba terkadang diuji oleh Allah dengan
mengambil harta dan kenimatan lainnya yang telah diberikan oleh-Nya.
Hal ini mengajarkan kepada kita agar ikhlas ketika semua titipan atau harta
kekayaan yang sementara tersebut diambil kembali oleh-Nya. Dikatakan
kepada Sahal27, “Apa yang paling berat bagi nafsu?” Dia berkata,
“Keikhlasan. Didalam keikhlasan tidak ada bagian bagi nafsu.”
Kehidupan zuhud yang ditunjukkan Rasulullah SAW bukanlah
manifestasi daripada kemalasan dan pengangguran. Beliau rajin bekerja
namun pekerjaan tersebut tidak dinikmatinya sendiri, melainkan hanya
diambil seperlunya saja dan selainnya didistribusikan bagi kepentingan
ummat, sesuai dengan prinsip beliau:
Andaikan saya mempunyai emas sebesar uhud, niscaya saya lebih
senang kalau emas itu tidak lebih dari tiga hari di tangan saya,
kecuali jika saya meninggalkan sisa untuk membayar hutang”. (HR.
Bukhori dan Muslim)
Menurut riwayat Muslim, Nabi pernah kemukakan pula bahwa Nabi
Zakariya a.s dalam pekerjaannya menjadi tukang kayu. Dalam keterangan
ini menjelaskan bahwa perilaku zuhud itu tidak melepaskan diri dari
pekerjaan dan kesibukan berusaha. Bahwasanya kerajinan orang-orang
yang zahid itu bekerja bukan untuk menikmati sendiri seperti orang-orang
kapitalis dan individualis, bukan dimotivasi oleh sifat rakus dan tama’
kepada harta benda. Kerajinan yang dikehendaki dalam zuhud dan
berproduksi semaksimal mungkin ialah untuk memenuhi kebutuhan primer
27 Dia adalah Sahal bin Abdullah bin Yunus, Abu Muhammad as-Tustari, seorang sufi yang zahid,
Dikutip dari Imam Al-Ghozali, Mukhtashar Ihya’ ‘Ulumiddin (Cilacap, Depok: Keira Publising,
2014), 524.
39
dan sarana amal shaleh untuk bertaqarrub kepada Allah SWT. Mencari
dunia dengan penuh semangat diperbolehkan, namun dengan pengecualian
yakni di manfaatkan untuk taqarrub kepada Allah SWT. Sehingga harta
yang diperoleh untuk membantu dan menyenangkan orang lain karena
harta bukanlah kebahagiaan yang hakiki, sebagaimana ahli hikmah
mengatakan: “Kurangilah kesenanganmu dengan dunia, supaya berkurang
juga kedukaanmu dengan dunia”.28
Bukan pula yang dikatakan zahid ialah orang yang suka meminta-
minta karena malas bekerja. Seperti diutarakan di atas bahwa zahid tidak
meninggalkan kerja dan berusaha. Dengan demikian, zahid tidak ingin
menjadi “tangan di bawah” melainkan berusaha menjadi “tangan di
atas”.29 Timbulnya orang-orang yang menyalahgunakan kehidupan ialah
dari rasa takut dan duka cita khususnya tentang harta. Penyakit takut itu
timbul dikarenakan hilangnya rasa keyakinan pada diri seseorang itu
karena terlalu dingin atau beku hawa badannya, sehingga hilanglah rasa
ghairah yang ada pada dirinya, maka timbullah rasa takut tersebut. Takut
miskin karena menyangka ada bahaya akan kurangnya harta ketika
sedekah, atau perkara yang tidak diingini akan menimpa dirinya dan apa
yang dimilikinya. Sebab biasanya yang ditakutkan bukanlah perkara yang
telah berlalu, namun sesuatu yang berlaku, baik adanya perkara itu berat
atau kecil. Karena yang ditakuti oleh seseorang dalam hidupnya ialah
melarat dan kadang kala perkara yang ditakuti akan menimpa itu tidak
28 M Zairullah Azhar, Kaya dengan Jalan Sufi (Jogjakarta: Penerbir PS, 2013), 16. 29 Ibid., 297.
40
seberat yang disangkanya. Sehingga timbullah prasangka buruk kepada
Allah, yang pada akhirnya kurang mensyukuri dengan apa yang telah
diberikan oleh-Nya.30
Zuhud yang sebagai sikap sederhana dalam kehidupan berdasarkan
motif agama dapat menanggulangi sifat-sifat tercela.31 Imam Hambal
menyebutkan ada tiga tahap zuhud. Pertama, zuhud dalam arti
meninggalkan yang haram, ini ialah zuhud orang awam. Kedua, zuhud
dalam arti meninggalkan hal-hal yang berlebihan dalam perkara yang
halal, ini zuhudnya orang khawas (istimewa). Dan ketiga, zuhud dalam arti
meninggalkan apa saja yang memalingkan diri dari Allah, ini zuhudnya
orang ‘arif (orang yang mengenal Tuhan).
Ada tiga ciri-ciri yang kuat untuk mengukur kezuhudan, yakni:
Pertama: tidak merasa gembira dengan kepemilikan dan tidak bersedih
dengan kehilangan. Dijelaskan dalam QS. Al-Haddid [57]: 23 :
ال يحب لكيال تأسوا على ما فاتكم وال تفرحوا بما آتاكم وللا
كل مختال فخور
Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu,
dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang Diberikan-Nya
kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong
dan membanggakan diri.32
Kedua, memandang sama antara orang yang memujinya dan orang
yang mencelanya. Ketiga, kerinduannya hanya kepada Allah SWT dan
30 Ibid., 141-142. 31 Tamami HAG, Psikologi Tasawuf ., 137. 32 QS.Al-Haddid [57]: 23, Depag RI, al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: Departemen
Agama Republik Indonesia, 2004), 540.
41
mendominasi hatinya ialah manis ketaatan. Karena hati tidak pernah
kosong dari manis cinta, baik cinta dunia maupun cinta Allah.33
Zuhud melahirkan sikap menahan diri dari memanfaatkan harta
untuk kepentingan produktif. Zuhud mendorong untuk mengubah harta
tidak saja asset ilahiah yang mempunyai nilai ekonomis, namun juga
sebagai asset social dan mempunyai tanggung jawab pengawasan aktif
terhadap pemanfaatan harta dalam masyarakat social.
Zuhud dapat dijadikan benteng untuk membangun diri dari dalam
diri sendiri, terutama dalam menghadapi gemerlapnya materi. Dengan
zuhud, akan tampil sifat positif lainnya, seperti: qana’ah (menerima apa
yang telah ada), tawakal (pasrah kepada Allah SWT), wara’ yakni
menjaga diri agar tidak memakan sesuatu yang meragukan (syubhat),
sabar yakni tabah menerima keadaan dirinya, baik keadaan itu
menyenangkan ataupun yang menyusahkan, syukur yakni menerima
nikmat dengan hati lapang dan memepergunakan sesuai dengan fungsi dan
proporsinya.34 Seperti yang telah diungkapkan oleh Syekh Abu Hasan
Asy-Syadzili bahwa:
Tidak ada dosa yang lebih besar dari dua perkara ini : pertama,
senang dunia dan memilih dunia mengalahkan akhirat. Kedua,
ridha menetapi kebodohan tidak mau meningkatkan ilmunya.
Sebab-sebab sempit dan susah fikiran itu ada tiga : pertama,
karena berbuat dosa dan untuk mengatasinya dengan bertaubat
dan beristiqhfar. Kedua, karena kehilangan dunia, maka
kembalikanlah kepada Allah SWT. Sadarlah bahwa itu bukan
kepunyaanmu dan hanya titipan dan akan ditarik kembali oleh
Allah SWT. Ketiga, disakiti orang lain, kalau karena dianiaya
33 Syekh Yahya Ibn Hamzah Al-Yamani, Pelatihan Lengkap Tazkiyatun Nafs (Jakarta: Zaman,
2012), 446. 34 Tamami HAG, Psikologi., 138.
42
oleh orang lain maka bersabarlah dan sadarlah bahwa semua itu
yang membikin Allah SWT untuk mengujimu.35
Dengan demikian, cara hidup sesuai dengan dengan garis agama
itulah yang mengantarkan kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, yakni
kehidupan yang ditegakkan di atas prinsip-prinsip iman, takwa dan wara’,
rajin bekerja, tidak rakus dan tidak tama’, suka berderma dan penuh
kesibukan mempersiapkan bekal akhirat.
B. Penanaman Nilai Tasawuf dan Zuhud di Pondok Pesantren
Mengkaitkan pesantren dengan tasawuf bukan suatu hal yang sulit.
Pada lembaga pesantren mengajarkan agama Islam sebagai pedoman hidup
atau sering juga disebut tafaqquh fi ad-din dengan menekankan kehidupan
moral dalam masyarakat. Karena memiliki usia yang cukup tua dan lama,
pesantren sering disebut lembaga pendidikan Islam tradisional. Dari
ketradisionalan ini sering dihubung-hubungkan dengan kenyataan bahwa
pesantren masih sangat terkait dengan pola pemikiran ulama-ulama salaf
seperti ulama ahli fiqih, tafsir, hadist, tauhid, dan tasawuf yang tentunya
menekankan pentingnya karakter/akhlak keagamaan sebagai pedoman
perilaku sehari-hari.
Sedangkan pondok pesantren, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab
Islam klasik dan kiai adalah merupakan elemen dasar dari pondok pesantren.
Adapun kiai merupakan unsur yang paling penting dari suatu pesantren,
35 Daris Rajih, “Perjalanan Sufi Syakh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a”,
https://darisrajih.wordpress.com/2008/02/18/perjalanan-sufi-syekh-abul-hasan-asy-syadzili-ra/.
Diakses pada tanggal 02 Februari 2017.
43
bahkan seringkali merupakan pendirinya. Nampak ada kesamaan dalam hal
orientasi antara pesantren dan tasawuf, yakni sama-sama berorientasi
keakhiratan. Sedangkan kepentingan dunia adalah sekunder, sehingga segala
urusan di dunia diorientasikan untuk mendekatkan diri dan menemukan
Tuhan yang berarti menemukan kebenaran atau istilah dalam tasawuf ialah
Haqiqah.
Dalam prakteknya, tidak semua pesantren mengajarkan tasawuf.
Namun, jika dilihat dari segi orientasi, pengelolaan, interaksi di dalamnya,
kepemimpinan dan sebagainya, terlihat jelas ajaran tasawuf sangat terrefleksi
dalam pesantren. Sistem pendidikan yang menyeluruh, dimana santri harus
bisa dan selalu berusaha untuk menerapkan segala yang dipelajari di
pesantren dalam bentuk perilaku, jelas mengindikasikan ini. Semangat
kebersamaan, pengembangan rasa ikhlas, qona’ah, jujur dan sebagainya, serta
semangat ke-Tuhanan yang demikian tinggi menjadikan dirinya sulit untuk
memisahkan diri dari tasawuf. Di pesantren, tasawuf menemukan tempat
untuk bersemi, sampai keluar lingkungan pesantren, sehingga terjadi interaksi
antara nilai-nilai tasawuf dengan nilai-nilai budaya lokal.
Dengan demikian, pesantren juga menjadi medium terbentuknya Islam
kultural di Jawa khususnya, dan Indonesia umumnya. Posisi yang sentral
demikian ini, pada tataran tertentu telah menjadikan pesantren sebagai
pembentuk kultur Islam di Indonesia.36
36 Subhan Murtado, “Implementasi Nilai-Nilai Tasawuf Di Pondok Pesantren Dalam Upaya
Menghadapi Era-Globalisasi (Studi Kasus Di Pondok Pesantren Al-Fatah Temboro Magetan)”,
Central Library Of Maulana Malik Ibrahim StateIslamic University Of Malang,
http://Etheses.Uin-Malang.Ac.Id/5082/1/11110055.Pdf, diakses tanggal 26 Februari 2017.
44
Dalam konsep zuhud sebagai maqam, dunia dan Tuhan dipandang
sebagai dua hal yang dikotomis. Contoh yang jelas adalah ketika Hasan Al-
Bashri mengingatkan kepada khalifah Umar Ibn Abd.Aziz: “Waspadalah
terhadap dunia. Ia bagaikan ular yang lembut sentuhannya namun mematikan
bisanya. Berpalinglah dari pesonanya, karena sedikit saja terpesona, anda
akan terjerat olehnya.”37
Zuhud adalah masalah jiwa, bukan masalah fisik. Pekerjaan fisik itu
adalah masalah aktivitas anggota badan, sedangkan zuhud merupakan
pekejaan ruhani atau hati. Dengan demikian, zuhud tidak boleh mengurangi
aktivitas fisik. Begitu pula aktivitas fisik tidak boleh mengurangi zuhud.
Orang yang sedang bekerja atau melakukan aktivitas yang berhubungan
dengan dunia, tidak berarti dia tidak zuhud. Begitu pula orang yang tidak
bekerja dan hanya berdiam diri, tidak berarti ia orang zuhud. Ada atau
tidaknya aktivitas fisik, tidak menandakan ada atau tidak adanya zuhud dalam
hati.38
Penanaman jiwa kesederhanaan juga diajarkan di pesantren, sederhana
bukan bermakna miskin, bukan bermakna tidak punya harta. Sederhana itu
sikap yang wajar terhadap harta, sesuai kebutuhan dan tidak berlebih-lebihan.
Sederhana di sini bukan bermakna pasif atau nrimo, juga bukan bermakna
miskin dan melarat. Justru dalam jiwa kesederhanan terdapat nilai-nilai
kekuatan, ketabahan, kesanggupan, dan penguasaan diri dalam menghadapi
37 Amin Syukur, Tasawuf Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 14. 38 Hasyim Muhamad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002),
40-41.
45
permasalahan hidup. Di balik kesederhanaan ini terpancar jiwa besar, berani
maju, dalam menjalani hidup tanpa pantang mundur dalam segala situasi,
bahkan akan menumbuhkan mental yang kuat dan karakter yang Islami.
Sehingga, petumbuhan dan kemajuan pondok pesantren tergantung kepada
gaya kepemimpinan kiai atau pengasuhnya sebagai tokoh kunci yang
memberikan pengajaran, kebijakan, arahan, dan aktifitas di dalam kehidupan
pondok pesantren.