bab ii kajian teori a. zuhudetheses.iainkediri.ac.id/27/3/bab ii.pdf23 bab ii kajian teori a. zuhud...

23
23 BAB II KAJIAN TEORI A. Zuhud 1. Pengertian Zuhud Secara bahasa, lafazh zahida fiihi wa ‘anhu, zuhdan wa zahaadatan artinya berpaling dari sesuatu, meninggalkannya karena kehinaannya atau karena kekesalan kepadanya atau untuk membunuhnya. Lafazh zahuda fi asy-syai’i artinya tidak membutuhkannya. Apabila dikatakan zahida fi ad- dunyaa artinya meninggalkan hal-hal yang halal dari dunia karena takut hisabnya dan meninggalkan yang haram dari dunia karena takut siksaannya. 1 Adapun secara terminologis, Ibnul-Jauzy yang diringkas dari kitab Minhajul-Qaashidiin bahwa Az-Zuhd merupakan ungkapan tentang pengalihan keinginan dari sesuatu kepada sesuatu lain yang lebih baik darinya. Sehingga zuhud itu bukan sekedar meninggalkan harta dan mengeluarkannya dengan suka rela, ketika badan kuat dan ada kecenderungan hati padanya. Namun, zuhud ialah meninggalkan dunia karena didasarkan pengetahuan tentang kehinaannya jika dibandingkan dengan nilai akhirat. Yunus bin Maysarah bertutur: “Zuhud terhadap dunia itu bukanlah mengharamkan yang halal dan menolak harta, tetapi zuhud terhadap dunia 1 Imam Ahmad Bin Hambal, Zuhud ( Jakarta: Darul Falah, 2000), 1.

Upload: others

Post on 20-Feb-2020

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

23

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Zuhud

1. Pengertian Zuhud

Secara bahasa, lafazh zahida fiihi wa ‘anhu, zuhdan wa zahaadatan

artinya berpaling dari sesuatu, meninggalkannya karena kehinaannya atau

karena kekesalan kepadanya atau untuk membunuhnya. Lafazh zahuda fi

asy-syai’i artinya tidak membutuhkannya. Apabila dikatakan zahida fi ad-

dunyaa artinya meninggalkan hal-hal yang halal dari dunia karena takut

hisabnya dan meninggalkan yang haram dari dunia karena takut

siksaannya.1

Adapun secara terminologis, Ibnul-Jauzy yang diringkas dari kitab

Minhajul-Qaashidiin bahwa Az-Zuhd merupakan ungkapan tentang

pengalihan keinginan dari sesuatu kepada sesuatu lain yang lebih baik

darinya. Sehingga zuhud itu bukan sekedar meninggalkan harta dan

mengeluarkannya dengan suka rela, ketika badan kuat dan ada

kecenderungan hati padanya. Namun, zuhud ialah meninggalkan dunia

karena didasarkan pengetahuan tentang kehinaannya jika dibandingkan

dengan nilai akhirat.

Yunus bin Maysarah bertutur: “Zuhud terhadap dunia itu bukanlah

mengharamkan yang halal dan menolak harta, tetapi zuhud terhadap dunia

1 Imam Ahmad Bin Hambal, Zuhud ( Jakarta: Darul Falah, 2000), 1.

24

ialah engkau lebih yakin dan percaya terhadap apa yang ada di sisi Allah

daripada apa yang ada padamu dan keadaan serta sikapmu tidak berubah

baik sewaktu tertimpa musibah atau tidak. Zuhud terhadap dunia, apabila

pemuji dan pencacimu kau anggap sama haknya terhadapmu.” 2

Sebagian yang lain mengatakan, “zuhud terhadap perkara yang

haram ialah suatu kewajiban, sementara zuhud terhadap perkara yang halal

ialah suatu keutamaan. Apabila hamba yang berzuhud miskin, tetapi sabar

terhadap keadaannya, bersyukur serta merasa puas atas segala sesuatu

yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT kepadanya, maka hal tersebut

lebih baik daripada berusaha menimbun kekayaan berlimpah di dunia.”3

Syarat zuhud ialah tidak kembali kepada sesuatu yang dibencinya

karena sesuatu yang dibenci memiliki nilai tersendiri. Oleh karena itu,

melepaskan nilai harta sepenuhnya dapat menjaga hati dan semua anggota

tubuh dari segala sesuatu yang bertentangan dengan kezuhudannya.4

Imam Ahmad pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki harta,

apakah dia zuhud? Beliau menjawab: “Apabila hartanya bertambah dan ia

tidak bangga, dan jika berkurang (habis) ia tidak akan sedih, berarti ia

zuhud.”

2Ahmad Faridh, Pembersih Jiwa Imam Al-Ghozali, Imam Ibnu Rajab Al-Hambali, Ibnu Qayyim

Al-Jauziyah (Bandung: Pustaka, 1421 H – 2000M), 86. 3 Imam Al-Qusyairi an-Nasabury, Risalatul Qusyairiyah, Induk Ilmu Tasawuf (Surabaya: Risalah

Gusti, 1997), 110. 4 Imam Al-Ghozali, Mukhtashar Ihya’ ‘Ulumiddin (Cilacap, Depok: Keira Publising, 2014), 462.

25

Menurut al-Ghozali bahwa hakikat zuhud adalah meninggalkan suatu

yang dikasihi dan berpaling darinya pada suatu yang lain yang terlebih

baik darinya karena menginginkan sesuatu di dalam akhirat.5

Riwayat At-Turmudzi menjelaskan bahwa berzuhud di dunia

bukanlah dengan cara mengharamkan segala yang halal atau menyia-

nyiakan harta kekayaan. Tetapi berzuhud di dunia artinya kamu

mengencangkan genggaman tangan terhadap apa-apa yang dikuasai Allah,

dan menjadikan balasan musibah jika kamu ditimpanya lebih kamu sukai,

sekalipun musibah itu datang terus menerus.6

Sufyan Ats-Tsauri dan beberapa ulama salaf menyatakan,

sesungguhnya zuhud ialah perbuatan hati yang dilakukan sesuai dengan

keridhaan Allah dan menutup sikap panjang angan-angan. Zuhud bukan

dilakukan dengan menyantap makanan buruk ataupun dengan memakai

jubah.7

Sebagai seorang sufi, Sufyan At-Tsauri juga sangat tekun

menjalankan kehidupan zuhud, seperti sikap gurunya. Kesungguhan

bekerja sangat menonjol untuk menghidupi diri dan keluarganya dengan

cara berdagang keliling, tetapi puasa dan ibadahnya di siang dan malam

tetap dijalankan. Beliau berdagang, beliau berusaha untuk tidak menerima

pemberian orang, sekalipun dari teman sendiri, lebih-lebih dari para

pejabat. Sebab, menurutnya, harta pejabat adalah harta negara, yang tentu

5 Tamami HAG, Psikologi Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), 175. 6 Syaikh Zainuddin Al-Malibary, Irsyadul ‘Ibad: Panduan Kejalan Kebenaran, terj. Muhammad

Zuhri, Ibnu Muchtar (Semarang: CV Asy-Syifa, TT), 155 . 7 Muhammad Fethullah Gulen, Tasawuf Untuk Semua, Menapaki Bukit-bukit Zamrud Kalbu

Melalui Istilah-istilah dalam Praktik Sufisme (Jakarta: Republika, 2014), 94.

26

saja juga merupakan harta rakyat, dan pemberian itu merupakan syubhat,

meragukan, belum jelas. Begitu juga kepedulian sosialnya sangat tinggi,

terbukti dengan selalu menyisihkan hasil dagangannya, untuk menghidupi

fakir-miskin dan orang-orang yang terlantar. Sikap zuhudnya terlukis

dalam kerendahan hatinya dan ketidak peduliannya terhadap kemewahan

duniawi, dia pernah melarikan diri dari khalifah Al-Mahdi ketika khalifah

itu hendak mengangkatnya sebagai Hakim Agung. Selain itu, iaj uga

seorang penyayang sesama makhluk.

Menurut Abû Hasan al-Syadzili (w.658 H/1258 M), meninggalkan

dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur, dan

berlebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman.

Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaiki-

baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya.8

Diceritakan pada suatu hari dalam sebuah pengajian Syekh Abu

Hasan Asy-Syadzili r.a. menerangkan tentang zuhud, dan di dalam majelis

terdapat seorang fakir yang berpakaian seadanya, sedang waktu itu Syekh

Abul Hasan Asy-Syadzili berpakaian serba bagus. Lalu dalam hati orang

fakir tadi berkata, “Bagaimana mungkin Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili

r.a. berbicara tentang zuhud sedang beliau sendiri pakaiannya bagus-bagus.

Yang bisa dikatakan lebih zuhud adalah aku karena pakaianku jelek-jelek”.

Kemudian Syekh Abu Hasan menoleh kepada orang itu dan berkata,

“Pakaianmu yang seperti itu adalah pakaian yang mengundang senang

8 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarak di Indonesia (Jakarta:

Prenada Media, 2005), 74.

27

dunia karena dengan pakaian itu kamu merasa dipandang orang sebagai

orang zuhud. Kalau pakaianku ini mengundang orang menamakanku orang

kaya dan orang tidak menganggap aku sebagai orang zuhud, karena zuhud

itu adalah maqam dan kedudukan yang tinggi”. Orang fakir tadi lalu

berdiri dan berkata, “Demi Allah, memang hatiku berkata aku adalah

orang yang zuhud. Aku sekarang minta ampun kepada Allah dan

bertaubat”.

Bukan pula yang dikatakan zahid ialah orang yang suka meminta-

minta karena malas bekerja. Seperti diutarakan di atas bahwa zahid tidak

meninggalkan kerja dan berusaha. Dengan demikian, zahid tidak ingin

menjadi “tangan di bawah” melainkan berusaha menjadi “tangan di atas”.9

Harta memiliki dua sisi, dimana yang satu pada sisi terpuji dan satu sisinya

pada sisi tercela. Sedangkan tujuan orang-orang yang pandai dan mulia

ialah kebahagiaan yang abadi. Harta adalah sarana atas hal tersebut. Harta

kadangkala dijadikan sebagai bekal untuk memperkuat diri dalam

melaksanakan ketakwaan dan ibadah, dan kadang dinafkahkan di jalan

akhirat, maka harta tersebut baik atau terpuji baginya. Barang siapa yang

mengambil harta untuk bersenang-senang atau dijadikannya sebagai sarana

menuju kemaksiatan dan hawa nafsunya, maka harta itu tercela baginya.10

Itulah pandangan dan pengertian zuhud menurut para pakar (pakar

tasawuf). Jadi, jelas hidup zuhud bukan berarti hidup miskin atau enggan

9 Ibid., 297. 10 Al-Ghozali, Mukhtashar Ihya’., 375.

28

bekerja, sehingga hidup melarat. Hidup zuhud harus dipahami secara benar

dan mendalam. Sehingga zuhud tidak melemahkan dalam melakukan

kehidupan sehari-hari.

Dalam penelitian ini lebih memfokuskan pada pandangan Abu

Hasan Asy-Syadzili bahwa seorang zahid boleh saja kaya raya asalkan

hatinya tidak terlena dan tejerat oleh kemewahan dunia. Tegasnya, seorang

zahid baik itu dalam keadaan kaya atau dalam keadan miskin, hatinya tetap

terpaut kepada Allah, kekayaan ataupun kemiskinan tidak menjadi

halangan untuk tetap taat dan mengabdi pada Allah SWT.

2. Dasar-dasar Zuhud

a. Al-Qur’an

Secara eksplisit, kata zuhud hanya disebut sekali dalam al-Qur’an,

yaitu dalam surat Yusuf ayat 20:

وشروه بثمن بخس دراهم معدودة وكانوا فيه من

اهدين ٢٠-الز

Dan mereka menjualnya (Yusuf) dengan harga rendah, yaitu

beberapa dirham saja, sebab mereka tidak tertarik kepadanya.11

Adapun penjelasan ayat-ayat yang lain didalam al-Qur’an tentang

zuhud. Firman Allah dalam surat Asy-Syura ayat 20:

11 QS. Yusuf [12]: 20, Depag RI, al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: Departemen Agama

Republik Indonesia, 2004), 237.

29

من كان يريد حرث الخرة نزد له في حرثه ومن كان

يريد حرث الدنيا نؤته منها وما له في الخرة من

٢٠-نصيب

Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami

tambahkan keuntungan itu baginya, dan barangsiapa

menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya

sebagian darinya (keuntungan dunia), tetapi dia tidak akan

mendapat bagian di akhirat.12

Diterangkan juga bahwa urusan akhirat lebih baik, dan lebih

kekal. Hal ini banyak tidak dimengerti oleh yang tidak mampu atas

meninggalkan dunia. Siapa yang langgeng kelalainnya, maka besarlah

kerugian dan penyesalannya di akhirat. Sebagaimana Firman Allah:

قل متاع الدنيا قليل والخرة خير ل من اتقى وال تظلمون

٧٧-فتيال

Katakanlah, “Kesenangan di dunia ini hanya sedikit dan akhirat

itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa (mendapat pahala

turut berperang) dan kamu tidak akan dizalimi sedikit pun.13

b. Hadits

12 QS. Asy-Syura [42]: 20, Depag RI, al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: Departemen Agama

Republik Indonesia, 2004), 485. 13 QS. An-Nisa[4]: 77, Depag RI, al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: Departemen Agama

Republik Indonesia, 2004), 90.

30

‘Abbas Sahl bin Sa’ad Assa’idy ra bercerita: “Telah datang

datang kepada Rasulullah seorang laki-laki dan berkata: “Wahai

Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amal yang apabila aku

mengamalkannya, aku dicintai oleh Allah dan oleh manusia.”

Rasulullah menjawab: “Zuhudlah engkau terhadap dunia, niscaya Allah

mencintaimu. Dan zuhudlah engkau terhadap apa yang dimiliki orang,

niscaya mereka akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah)14

Hadits ini menunjukkan bahwa Allah mencintai orang-orang yang

zuhud terhadap dunia. Mereka berkata: “Apabila mahabbah Allah

adalah kedudukan yang paling tinggi, maka zuhud terhadap dunia

adalah hal yang paling utama.”

Meskipun dilihat dari segi sanadnya diperselisihkan, namun dapat

dikuatkan dengan hadist lain, antara lain hadist yang menganjurkan

agar umat Islam menjadikan akhirat sebagai pusat perhatiannya yakni,

Nabi SAW menyatakan: Barang siapa yang perhatiannya tertuju

kepada dunia, maka Allah akan memisahkan persoalannya dan

menjadikan kefakiran dipelupuk matanya, seseorang tidak

diberinya (dunia) kecuali apa yang telah ditentukan baginya. Dan

barang siapa yang niatnya tertuju ke akhirat, maka Allah akan

mengumpulkan untuknya segala urusannya, menjadikan

kecukupan di hatinya, dan diberi dunia yang hina.” (HR. Ibnu

Majah)15

Kandungan hadist tersebut dapat dilihat dari segi psikologis,

sebab menurut Islam, kaya dan miskin tidak ditentukan semata-mata

oleh ada atau tidak adanya, sedikit atau banyaknya materi dan harta

14 Ahmad Faridh, Pembersih Jiwa., 85. 15 M. Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar , 1997), 28-29.

31

kekayaan yang dimiliki seseorang, namun bagaimana seseorang itu

menyikapi materi tersebut. Hal ini dapat diperhatikan melalui beberapa

hadist Nabi SAW: “...Bukanlah yang dikatakan kaya itu terdapatnya

banyak materi, akan tetapi kaya ialah merasa cukupnya hati

seseorang.”(HR. Ibnu Majah)

Selain itu, hadits riwayat Muslim, Tirmidzi, dan Nasa’i dari

Abdullah bin Asy-Syikhir r.a. ia berkata, “Aku mendatangi Rasulullah

SAW yang sedang membaca surah At-Takatsur, lalu ia bersabda, ‘Ibnu

Adam berseru, hartaku, hartaku. Wahai Ibnu Adam, kamu tidak

memiliki harta apapun, kecuali yang telah kamu makan, lalu

membusuk, atau yang kamu pakai lalu ia pun rusak, atau yang kamu

sedekahkan lalu ia pun lenyap.” Artinya sebagian besar harta yang kita

miliki, kita pergunakan untuk makan dan membeli baju. Padahal,

keduanya pasti akan musnah. Adapun yang abadi ialah harta yang kita

sedekahkan.16

3. Macam-macam Zuhud

Menurut Ibnu Qayyim, zuhud itu ada beberapa macam, yaitu:

a. Zuhud dalam hal yang haram, yang hukumnya fardhu ‘ain.

b. Zuhud dalam hal yang syubhat, tergantung kepada tingkatan-tingkatan

syubhat. Apabila syubhat itu lebih kuat, ia lebih dicondongkan kepada

hukum wajib, dan jika lemah, maka ia dicondongkan kepada sunnah.

16 Wahbah Az-Zuhaili, Ensiklopedia Akhlak Muslim, Berakhlak terhadap Sesama dan Alam

Semesta ( Jakarta: PT Mizan Publika, 2014), 448-449.

32

c. Zuhud dalam hal-hal yang berlebih, zuhud dalam hal-hal yang tidak

dibutuhkan, berupa perkataan, pertanyaan, pertemuan, zuhud di tengah

manusia, zuhud terhadap diri sendiri, sehingga dia menganggap diri

sendiri hina karena Allah SWT.

d. Zuhud yang menghimpun semua itu, yaitu zuhud dalam perkara selain

Allah. Zuhud yang paling baik ialah menyembunyikan zuhud itu sendiri

dan zuhud yang paling berat ialah zuhud dalam perkara yang menjadi

bagian diri sendiri. 17

Barang siapa yang menjual dunia dengan akhirat, berarti ia zuhud

terhadap dunia. Dan barang siapa yang menjual akhirat dengan dunia

berarti ia pun zuhud, namun zuhud terhadap akhirat.

4. Tingkatan-tingkatan Zuhud

Adapun tingkatan-tingkatan zuhud, yakni:

a. Seseorang yang zuhud terhadap dunia, meskipun dia menginginkannya

dan hatinya condong kepadanya, dia menahan dan memerangi perasaan

tersebut. Inilah yang dinamakan mutazahhid (orang yang berusaha

zuhud).

b. Orang yang meninggalkan dunia dengan kemauan sendiri (tanpa

berperang dengan perasaan cinta dunia, pent.) karena dunia

dianggapnya lebih hina dibandingkan dengan sesuatu yang ia inginkan.

Ia zuhud terhadap dunia, karena melihat akhirat seperti seseorang yang

17 Hambal, Zuhud., 3.

33

meninggalkan keuntungan satu dirham demi memperoleh yang dua

dirham.

c. Orang yang zuhud (meninggalkan) dunia atas kemauan (pilihannya)

sendiri, dan ia tidak menganggap dirinya telah meninggalkan sesuatu

yang berharga. Dia ialah seperti orang yang meninggalkan tembikar

untuk mendapatkan mutiara. 18

Menurut Ibnu Qayyim dalam kitab Thariiqul-Hijratain bahwa zuhud

ada tiga jenis, yakni: pertama, hukumnya wajib atas setiap orang Muslim

(zuhud dalam hal yang haram); kedua, zuhud mustajab atau sunnat; dan

ketiga zuhud, orang-orang yang masuk ke dunia zuhud ini ialah mereka

yang benar-benar tekun dalam melakukan perjalanan kepada Allah.19

Mereka ada dua golongan:

1. Orang yang zuhud di dunia secara keseluruhan. Maksudnya bukan

melepaskan dunia ini dari tangan sama sekali dan duduk berdiam diri,

namun maksudnya mengeluarkan dunia itu secara keseluruhan dari

hatinya, tidak menengoknya dan tidak membiarkannya mengendap di

dalam hati, meskipun sebagian dunia itu terpegang di tangannya. Sebab

zuhud itu bukan berarti engkau melepaskan dunia, namun ia

bersemayam di dalam hatimu. Adapun yang dimaksud zuhud ialah jika

engkau meninggalkan dunia dari hatimu meskipun ia ada di kedua

tanganmu. Hal ini sesuai yang terjadi pada sahabat Al-Khulafa’ur

18 Faridh, Pembersih Jiwa., 94. 19 Hambal, Zuhud.,4-5.

34

rasyidun dan Umar bin Abdul Aziz, yang menjadi sosok orang zuhud,

meskipun simpanan-simpanan harta dunia ada di bawah kekuasaannya.

2. Zuhud terhadap diri sendiri, dan ini merupakan zuhud yang paling berat

serta paling sulit.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa zuhud berarti mementingkan

kehidupan akhirat yang kekal dan bernilai daripada kehidupan dunia yang

fana dan hina. Dengan seperti itu, manusia mampu mengambil bagian

darinya, seukuran bekal seseorang pengembara, dengan mereguk sedikit

kesenangannya, tidak terperdaya oleh keindahannya, bertawakal kepada

Allah, takut dan berharap kepadaNya, untuk mendapatkan pahala di sisi

Allah SWT. Selain itu, zuhud berlaku dalam sesuatu yang ada, disertai

kemampuan dan kesempatan mendapatkannya.

Orang miskin tidak dapat dikatakan berzuhud dalam harta dan

menganggapnya sedikit, karena memang dia tidak mendapatkan harta itu.

Begitu pula orang yang tidak mampu melakukan hal yang diharamkan

karena beberapa sebab, yang tidak dapat disebut orang yang zuhud dalam

hal yang diharamkan. Tapi, yang disebut orang zuhud ialah yang

menjauhinya, sementara dia memiliki kemampuan untuk melakukannya.

Abu Yazid20 berkata kepada Abu Musa Abdurrahim, “Apa yang

sedang engkau bicarakan?” Dia menjawab, “Tentang zuhud”. Dia bertanya

kembali, “Tentang apa?” Dia menjawab, “Tentang menjauhkan diri dari

dunia”. Kemudian Abu Yazid mengibaskan tangannya sambil berkata,

20 Salah seorang ahli zuhud, Dikutip dari Imam Al-Ghozali, Mukhtashar Ihya’ ‘Ulumiddin

(Cilacap, Depok: Keira Publising, 2014), 464.

35

“Aku mengira dia berbicara tentang sesuatu, sementara dunia tidak ada

artinya. Bagaimana dia bersikap zuhud di dunia?”

Perumpamaan orang yang menjauhkan diri dari harta demi

kehidupan akhirat bagai orang yang mencapai makrifat dan yang melihat

melalui mata hati, seperti orang yang dihalangi oleh anjing untuk

memasuki pintu raja. Oleh karena itu, setan seperti anjing yang

menghadang di depan pintu Allah SWT yang mencegah manusia untuk

memasukinya, meski pintu tersebut terbuka dan hijabnya tersingkap.

Sementara itu, dunia layaknya sepotong roti. Jika kita memakannya, maka

kelezatannya hanya ada ketika roti itu dikunyah. Namun, kelezatan akan

hilang setelah ditelan. Lalu makanan itu akan membebani perut kita dan

akhirnya menjadi kotoran yang harus dikeluarkan. Orang yang

membuangnya supaya bisa menghadap raja, tidak mungkin

mempertimbangkannya lagi.

Perbandingan kekayaan dunia beserta semua yang didapatkan setiap

orang di dunia dengan kenikmatan akhirat, lebih tidak berimbang daripada

sepotong roti dengan raja di dunia. Hal itu karena sesuatu yang terbatas

(dunia) tidak dapat dibandingkan dengan sesuatu yang tidak terbatas

(akhirat). Oleh karena itu, tingkatan zuhud yang paling tinggi ialah zuhud

dari segala sesuatu selain Allah SWT, tanpa memperdulikan pengorbanan

dan kenikmatan yang didapat. Seorang hamba sebaiknya tidak mencari

36

makanan, pakaian, tempat tinggal, dan semacamnya kecuali berdasarkan

kebutuhan hidupnya. Inilah zuhud yang sebenarnya.21

5. Perilaku Zuhud

Seorang zahid (orang yang zuhud) bukanlah suatu pribadi yang

lemah yang hidup dibawah perintah para penyembah dunia dan terkadang

mengharapkan sisa-sisa makan mereka. Namun, yang dimaksud disini

ialah orang yang memiliki derajat di atas para penyembah dunia,

mempunyai tingkatan ilmu dan pemikiran yang lebih tinggi dari mereka.22

Mereka sama sekali tidak merasa takut apabila berpisah dengan

dunia. Mereka tidak terpengaruh dengan berkurang dan bertambahnya

dunia. Sehingga mereka ialah orang yang dipenuhi sifat berani, bebas, dan

merdeka, seorang yang bertakwa dan menjaga kehormatan. Bahkan

mereka juga seorang yang sanggup berkorban.

Nabi SAW membuat perbandingan antara dunia dengan akhirat,

antara lain dinyatakan bahwa perbandingan antara keduanya bagaikan

seseorang yang mencelupkan jari-jarinya ke dalam lautan, maka (dunia

bagaikan air) yang melekat pada jari-jarinya tersebut. Namun, Beliau tidak

menganjurkan untuk meninggalkan dunia sekali. Karena yang disebut

zuhud bukan berarti menghalalkan yang haram dan meremehkan harta,

21 Al-Ghozali, Mukhtashar Ihya’., 465. 22 Muthahhari, Jejak-Jejak Ruhani., 63.

37

akan tetapi zuhud mempunyai arti tebalnya kepercayaan kepada Allah

SWT daripada apa yang telah ada di tangannya.23

Apabila kita memperhatikan syariat Islam, maka diantara pengertian

zuhud yang membenci dunia, tidak melakukan apapun di dunia, atau

bahkan menjauhi dunia itu ada yang tidak tepat. Islam tidak mengharuskan

manusia menolak kesenangan sama sekali dan tidak mengharuskan hidup

menderita. Apabila nikmat tersebut diberikan Allah, maka hendaklah kita

terima dengan segala kesyukuran, tidak rakus dan tidak meremehkan.24

Nikmat-nikmat Allah hendaklah kita terima dengan mengarahkannya

kepada taqarrub. Kehidupan dunia mempunyai nilai khas yang patut

disyukuri dan bagai ladang mempersiapkan bekal untuk alam baqa.

Apabila harta tidak ada, maka seseorang harus qana’ah dan apabila harta

ada, maka dia harus mengutamakan orang lain, bersikap dermawan, dan

menjauhkan diri dari kebakhilan. Rasulullah SAW bersabda:

“Kedermawanan merupakan satu pohon di antara pohon-pohon surga yang

dahannya menjulur ke bumi. Barang siapa yang mengambil satu dahan

darinya, maka itu akan menuntunnya menuju surga”.25

Dalam hubungan ini, Rasulullah SAW bersabda:

Zuhud di dunia tidak dengan mengharamkan yang halal dan tidak

membuang harta, namun zuhud di dunia ialah bahwa engkau lebih

percaya kepada apa yang ada di pegangan Allah daripada apa yang

ada di tanganmu. Dan apabila engkau kena bahaya dunia, engkau

lebih senang dia kekal padamu supaya engkau dapat ganjarannya.26

23 Syukur, Zuhud., 30. 24 Hamzah Ya’kub, Tasawuf & Taqarrub: Tingkat Ketenangan & Kebahagiaan Mukmin

(Bandung: Pustaka Madya, 1987), 287. 25 Al-Ghozali, Mukhtashar Ihya’., 377. 26 Ibid., 288

38

Keimanan seorang hamba terkadang diuji oleh Allah dengan

mengambil harta dan kenimatan lainnya yang telah diberikan oleh-Nya.

Hal ini mengajarkan kepada kita agar ikhlas ketika semua titipan atau harta

kekayaan yang sementara tersebut diambil kembali oleh-Nya. Dikatakan

kepada Sahal27, “Apa yang paling berat bagi nafsu?” Dia berkata,

“Keikhlasan. Didalam keikhlasan tidak ada bagian bagi nafsu.”

Kehidupan zuhud yang ditunjukkan Rasulullah SAW bukanlah

manifestasi daripada kemalasan dan pengangguran. Beliau rajin bekerja

namun pekerjaan tersebut tidak dinikmatinya sendiri, melainkan hanya

diambil seperlunya saja dan selainnya didistribusikan bagi kepentingan

ummat, sesuai dengan prinsip beliau:

Andaikan saya mempunyai emas sebesar uhud, niscaya saya lebih

senang kalau emas itu tidak lebih dari tiga hari di tangan saya,

kecuali jika saya meninggalkan sisa untuk membayar hutang”. (HR.

Bukhori dan Muslim)

Menurut riwayat Muslim, Nabi pernah kemukakan pula bahwa Nabi

Zakariya a.s dalam pekerjaannya menjadi tukang kayu. Dalam keterangan

ini menjelaskan bahwa perilaku zuhud itu tidak melepaskan diri dari

pekerjaan dan kesibukan berusaha. Bahwasanya kerajinan orang-orang

yang zahid itu bekerja bukan untuk menikmati sendiri seperti orang-orang

kapitalis dan individualis, bukan dimotivasi oleh sifat rakus dan tama’

kepada harta benda. Kerajinan yang dikehendaki dalam zuhud dan

berproduksi semaksimal mungkin ialah untuk memenuhi kebutuhan primer

27 Dia adalah Sahal bin Abdullah bin Yunus, Abu Muhammad as-Tustari, seorang sufi yang zahid,

Dikutip dari Imam Al-Ghozali, Mukhtashar Ihya’ ‘Ulumiddin (Cilacap, Depok: Keira Publising,

2014), 524.

39

dan sarana amal shaleh untuk bertaqarrub kepada Allah SWT. Mencari

dunia dengan penuh semangat diperbolehkan, namun dengan pengecualian

yakni di manfaatkan untuk taqarrub kepada Allah SWT. Sehingga harta

yang diperoleh untuk membantu dan menyenangkan orang lain karena

harta bukanlah kebahagiaan yang hakiki, sebagaimana ahli hikmah

mengatakan: “Kurangilah kesenanganmu dengan dunia, supaya berkurang

juga kedukaanmu dengan dunia”.28

Bukan pula yang dikatakan zahid ialah orang yang suka meminta-

minta karena malas bekerja. Seperti diutarakan di atas bahwa zahid tidak

meninggalkan kerja dan berusaha. Dengan demikian, zahid tidak ingin

menjadi “tangan di bawah” melainkan berusaha menjadi “tangan di

atas”.29 Timbulnya orang-orang yang menyalahgunakan kehidupan ialah

dari rasa takut dan duka cita khususnya tentang harta. Penyakit takut itu

timbul dikarenakan hilangnya rasa keyakinan pada diri seseorang itu

karena terlalu dingin atau beku hawa badannya, sehingga hilanglah rasa

ghairah yang ada pada dirinya, maka timbullah rasa takut tersebut. Takut

miskin karena menyangka ada bahaya akan kurangnya harta ketika

sedekah, atau perkara yang tidak diingini akan menimpa dirinya dan apa

yang dimilikinya. Sebab biasanya yang ditakutkan bukanlah perkara yang

telah berlalu, namun sesuatu yang berlaku, baik adanya perkara itu berat

atau kecil. Karena yang ditakuti oleh seseorang dalam hidupnya ialah

melarat dan kadang kala perkara yang ditakuti akan menimpa itu tidak

28 M Zairullah Azhar, Kaya dengan Jalan Sufi (Jogjakarta: Penerbir PS, 2013), 16. 29 Ibid., 297.

40

seberat yang disangkanya. Sehingga timbullah prasangka buruk kepada

Allah, yang pada akhirnya kurang mensyukuri dengan apa yang telah

diberikan oleh-Nya.30

Zuhud yang sebagai sikap sederhana dalam kehidupan berdasarkan

motif agama dapat menanggulangi sifat-sifat tercela.31 Imam Hambal

menyebutkan ada tiga tahap zuhud. Pertama, zuhud dalam arti

meninggalkan yang haram, ini ialah zuhud orang awam. Kedua, zuhud

dalam arti meninggalkan hal-hal yang berlebihan dalam perkara yang

halal, ini zuhudnya orang khawas (istimewa). Dan ketiga, zuhud dalam arti

meninggalkan apa saja yang memalingkan diri dari Allah, ini zuhudnya

orang ‘arif (orang yang mengenal Tuhan).

Ada tiga ciri-ciri yang kuat untuk mengukur kezuhudan, yakni:

Pertama: tidak merasa gembira dengan kepemilikan dan tidak bersedih

dengan kehilangan. Dijelaskan dalam QS. Al-Haddid [57]: 23 :

ال يحب لكيال تأسوا على ما فاتكم وال تفرحوا بما آتاكم وللا

كل مختال فخور

Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu,

dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang Diberikan-Nya

kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong

dan membanggakan diri.32

Kedua, memandang sama antara orang yang memujinya dan orang

yang mencelanya. Ketiga, kerinduannya hanya kepada Allah SWT dan

30 Ibid., 141-142. 31 Tamami HAG, Psikologi Tasawuf ., 137. 32 QS.Al-Haddid [57]: 23, Depag RI, al-Qur’an Dan Terjemahnya (Bandung: Departemen

Agama Republik Indonesia, 2004), 540.

41

mendominasi hatinya ialah manis ketaatan. Karena hati tidak pernah

kosong dari manis cinta, baik cinta dunia maupun cinta Allah.33

Zuhud melahirkan sikap menahan diri dari memanfaatkan harta

untuk kepentingan produktif. Zuhud mendorong untuk mengubah harta

tidak saja asset ilahiah yang mempunyai nilai ekonomis, namun juga

sebagai asset social dan mempunyai tanggung jawab pengawasan aktif

terhadap pemanfaatan harta dalam masyarakat social.

Zuhud dapat dijadikan benteng untuk membangun diri dari dalam

diri sendiri, terutama dalam menghadapi gemerlapnya materi. Dengan

zuhud, akan tampil sifat positif lainnya, seperti: qana’ah (menerima apa

yang telah ada), tawakal (pasrah kepada Allah SWT), wara’ yakni

menjaga diri agar tidak memakan sesuatu yang meragukan (syubhat),

sabar yakni tabah menerima keadaan dirinya, baik keadaan itu

menyenangkan ataupun yang menyusahkan, syukur yakni menerima

nikmat dengan hati lapang dan memepergunakan sesuai dengan fungsi dan

proporsinya.34 Seperti yang telah diungkapkan oleh Syekh Abu Hasan

Asy-Syadzili bahwa:

Tidak ada dosa yang lebih besar dari dua perkara ini : pertama,

senang dunia dan memilih dunia mengalahkan akhirat. Kedua,

ridha menetapi kebodohan tidak mau meningkatkan ilmunya.

Sebab-sebab sempit dan susah fikiran itu ada tiga : pertama,

karena berbuat dosa dan untuk mengatasinya dengan bertaubat

dan beristiqhfar. Kedua, karena kehilangan dunia, maka

kembalikanlah kepada Allah SWT. Sadarlah bahwa itu bukan

kepunyaanmu dan hanya titipan dan akan ditarik kembali oleh

Allah SWT. Ketiga, disakiti orang lain, kalau karena dianiaya

33 Syekh Yahya Ibn Hamzah Al-Yamani, Pelatihan Lengkap Tazkiyatun Nafs (Jakarta: Zaman,

2012), 446. 34 Tamami HAG, Psikologi., 138.

42

oleh orang lain maka bersabarlah dan sadarlah bahwa semua itu

yang membikin Allah SWT untuk mengujimu.35

Dengan demikian, cara hidup sesuai dengan dengan garis agama

itulah yang mengantarkan kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, yakni

kehidupan yang ditegakkan di atas prinsip-prinsip iman, takwa dan wara’,

rajin bekerja, tidak rakus dan tidak tama’, suka berderma dan penuh

kesibukan mempersiapkan bekal akhirat.

B. Penanaman Nilai Tasawuf dan Zuhud di Pondok Pesantren

Mengkaitkan pesantren dengan tasawuf bukan suatu hal yang sulit.

Pada lembaga pesantren mengajarkan agama Islam sebagai pedoman hidup

atau sering juga disebut tafaqquh fi ad-din dengan menekankan kehidupan

moral dalam masyarakat. Karena memiliki usia yang cukup tua dan lama,

pesantren sering disebut lembaga pendidikan Islam tradisional. Dari

ketradisionalan ini sering dihubung-hubungkan dengan kenyataan bahwa

pesantren masih sangat terkait dengan pola pemikiran ulama-ulama salaf

seperti ulama ahli fiqih, tafsir, hadist, tauhid, dan tasawuf yang tentunya

menekankan pentingnya karakter/akhlak keagamaan sebagai pedoman

perilaku sehari-hari.

Sedangkan pondok pesantren, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab

Islam klasik dan kiai adalah merupakan elemen dasar dari pondok pesantren.

Adapun kiai merupakan unsur yang paling penting dari suatu pesantren,

35 Daris Rajih, “Perjalanan Sufi Syakh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a”,

https://darisrajih.wordpress.com/2008/02/18/perjalanan-sufi-syekh-abul-hasan-asy-syadzili-ra/.

Diakses pada tanggal 02 Februari 2017.

43

bahkan seringkali merupakan pendirinya. Nampak ada kesamaan dalam hal

orientasi antara pesantren dan tasawuf, yakni sama-sama berorientasi

keakhiratan. Sedangkan kepentingan dunia adalah sekunder, sehingga segala

urusan di dunia diorientasikan untuk mendekatkan diri dan menemukan

Tuhan yang berarti menemukan kebenaran atau istilah dalam tasawuf ialah

Haqiqah.

Dalam prakteknya, tidak semua pesantren mengajarkan tasawuf.

Namun, jika dilihat dari segi orientasi, pengelolaan, interaksi di dalamnya,

kepemimpinan dan sebagainya, terlihat jelas ajaran tasawuf sangat terrefleksi

dalam pesantren. Sistem pendidikan yang menyeluruh, dimana santri harus

bisa dan selalu berusaha untuk menerapkan segala yang dipelajari di

pesantren dalam bentuk perilaku, jelas mengindikasikan ini. Semangat

kebersamaan, pengembangan rasa ikhlas, qona’ah, jujur dan sebagainya, serta

semangat ke-Tuhanan yang demikian tinggi menjadikan dirinya sulit untuk

memisahkan diri dari tasawuf. Di pesantren, tasawuf menemukan tempat

untuk bersemi, sampai keluar lingkungan pesantren, sehingga terjadi interaksi

antara nilai-nilai tasawuf dengan nilai-nilai budaya lokal.

Dengan demikian, pesantren juga menjadi medium terbentuknya Islam

kultural di Jawa khususnya, dan Indonesia umumnya. Posisi yang sentral

demikian ini, pada tataran tertentu telah menjadikan pesantren sebagai

pembentuk kultur Islam di Indonesia.36

36 Subhan Murtado, “Implementasi Nilai-Nilai Tasawuf Di Pondok Pesantren Dalam Upaya

Menghadapi Era-Globalisasi (Studi Kasus Di Pondok Pesantren Al-Fatah Temboro Magetan)”,

Central Library Of Maulana Malik Ibrahim StateIslamic University Of Malang,

http://Etheses.Uin-Malang.Ac.Id/5082/1/11110055.Pdf, diakses tanggal 26 Februari 2017.

44

Dalam konsep zuhud sebagai maqam, dunia dan Tuhan dipandang

sebagai dua hal yang dikotomis. Contoh yang jelas adalah ketika Hasan Al-

Bashri mengingatkan kepada khalifah Umar Ibn Abd.Aziz: “Waspadalah

terhadap dunia. Ia bagaikan ular yang lembut sentuhannya namun mematikan

bisanya. Berpalinglah dari pesonanya, karena sedikit saja terpesona, anda

akan terjerat olehnya.”37

Zuhud adalah masalah jiwa, bukan masalah fisik. Pekerjaan fisik itu

adalah masalah aktivitas anggota badan, sedangkan zuhud merupakan

pekejaan ruhani atau hati. Dengan demikian, zuhud tidak boleh mengurangi

aktivitas fisik. Begitu pula aktivitas fisik tidak boleh mengurangi zuhud.

Orang yang sedang bekerja atau melakukan aktivitas yang berhubungan

dengan dunia, tidak berarti dia tidak zuhud. Begitu pula orang yang tidak

bekerja dan hanya berdiam diri, tidak berarti ia orang zuhud. Ada atau

tidaknya aktivitas fisik, tidak menandakan ada atau tidak adanya zuhud dalam

hati.38

Penanaman jiwa kesederhanaan juga diajarkan di pesantren, sederhana

bukan bermakna miskin, bukan bermakna tidak punya harta. Sederhana itu

sikap yang wajar terhadap harta, sesuai kebutuhan dan tidak berlebih-lebihan.

Sederhana di sini bukan bermakna pasif atau nrimo, juga bukan bermakna

miskin dan melarat. Justru dalam jiwa kesederhanan terdapat nilai-nilai

kekuatan, ketabahan, kesanggupan, dan penguasaan diri dalam menghadapi

37 Amin Syukur, Tasawuf Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 14. 38 Hasyim Muhamad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002),

40-41.

45

permasalahan hidup. Di balik kesederhanaan ini terpancar jiwa besar, berani

maju, dalam menjalani hidup tanpa pantang mundur dalam segala situasi,

bahkan akan menumbuhkan mental yang kuat dan karakter yang Islami.

Sehingga, petumbuhan dan kemajuan pondok pesantren tergantung kepada

gaya kepemimpinan kiai atau pengasuhnya sebagai tokoh kunci yang

memberikan pengajaran, kebijakan, arahan, dan aktifitas di dalam kehidupan

pondok pesantren.