bab ii kajian teoretis 2.1 kajian yang relevan...

19
8 BAB II KAJIAN TEORETIS 2.1 Kajian yang Relevan Sebelumnya Kajian yang berhubungan dengan penelitian ini, khususnya puisi lisan Umapos sepengetahuan penulis belum pernah diteliti sebelumnya. Berdasarkan hasil penelusuran, penulis belum menemukan penelitian yang relevan dengan penelitian ini. 2.2 Hakikat Sastra Lisan 2.2.1 Pengertian Sastra Lisan Sastra daerah lisan atau disebut juga sastra lisan. Istilah „sastra lisan‟ di dalam bahasa Indonesia, merupakan terjemahan bahasa Inggris oral literature. Yang dinamakan „sastra lisan‟, menurut Hutomo (dalam Didipu, 2011:43), sebenarnya adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan secara lisan (dari mulut ke mulut). Sastra lisan juga merupakan pencerminan situasi, kondisi, dan adat istiadat suatu masyarakat tertentu. Eksistensi sastra lisan merupakan fenomena budaya masyarakat. Endraswara (2008: 151) mengatakan bahwa sastra lisan adalah karya yang penyebarannya dari mulut ke mulut secara turun-temurun. Dalam sastra lisan akan didapatkan berbagai gambaran keadaan pola hidup masyarkat zaman dulu karena di mana pun sastra diciptakan akan selalu merefleksikan pola hidup masyarakatnya.

Upload: haque

Post on 03-Mar-2019

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

8

BAB II

KAJIAN TEORETIS

2.1 Kajian yang Relevan Sebelumnya

Kajian yang berhubungan dengan penelitian ini, khususnya puisi lisan Umapos

sepengetahuan penulis belum pernah diteliti sebelumnya. Berdasarkan hasil

penelusuran, penulis belum menemukan penelitian yang relevan dengan penelitian

ini.

2.2 Hakikat Sastra Lisan

2.2.1 Pengertian Sastra Lisan

Sastra daerah lisan atau disebut juga sastra lisan. Istilah „sastra lisan‟ di dalam

bahasa Indonesia, merupakan terjemahan bahasa Inggris oral literature. Yang

dinamakan „sastra lisan‟, menurut Hutomo (dalam Didipu, 2011:43), sebenarnya

adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan

yang disebarkan dan diturunkan secara lisan (dari mulut ke mulut). Sastra lisan juga

merupakan pencerminan situasi, kondisi, dan adat istiadat suatu masyarakat tertentu.

Eksistensi sastra lisan merupakan fenomena budaya masyarakat.

Endraswara (2008: 151) mengatakan bahwa sastra lisan adalah karya yang

penyebarannya dari mulut ke mulut secara turun-temurun. Dalam sastra lisan akan

didapatkan berbagai gambaran keadaan pola hidup masyarkat zaman dulu karena di

mana pun sastra diciptakan akan selalu merefleksikan pola hidup masyarakatnya.

9

Melalui karya sastra, dapat dilihat gambaran kehidupan masyarakat pada saat sastra

itu diciptakan. Oleh sebab itu lebih tepat jika sastra itu dikatakan sebagai rekaman

yang selalu mencerminkan kehidupan masyarakatnya (Zaidan, 2002:26). Hal ini

senada dengan pernyataan Zaimar (dalam Yundiafi, dkk, 2000:1) bahwa dalam suatu

karya sastra terpancar pemikiran, kehidupan, dan tradisi suatu masyarakat.

Dalam pembicaraan berikut yang dipermasalahkan adalah dua istilah terakhir,

yaitu tradisi dan sastra lisan. Secara definitif tradisi lisan adalah berbagai kebiasaan

dalam masyarakat yang hidup secara lisan, sedangkan sastra lisan (oral literature)

adalah berbagai bentuk sastra yang dikemukakan secara lisan. Jadi, tradisi lisan

membicarakan masalah tradisinya, sedangkan sastra lisan masalah sastranya.

Mekipun demikian, dalam masyarakat lama sangat sulit untuk membedakan ciri-ciri

di antara keduanya. Oleh karena itulah, sesuai hirarki di atas, UNESCO (United

Nations Educational, Scintific, and Cultural Organization) memasukkan sastra lisan

sebagai bagian tradisi lisan. Menurut UNESCO (dalam Tuloli, 2000:103), tradisi

lisan meliputi antara lain:

a. Sastra lisan,

b. Teknologi tradisional,

c. Pengetahuan masyarakat di luar istana dan kota metropolitan,

d. Struktur religi dan kepercayaan masyarakat di luar batas formal agama-

agama besar,

e. Kesenian masyrakat di luar pusat istana dan kota metropolitan, dan

10

f. Berbagai bentuk peraturan, norma, dan hokum yang berfungsi untuk

mengikat tradisi tersebut.

2.2.2 Ragam Sastra Lisan

Penentuan ragam sastra lisan berhubungan erat dengan ciri yang melekat pada

bentuk dan isinya atau ciri teksturalnya dan temanya. Selain itu fungsi dan manfaat

sastra lisan dalam kehidupan sosial budaya menentukan penjenisan sastra lisan.

Sastra lisan diwujudkan dalam ragam-ragam. Setiap teks sastra lisan dapat

dimasukkan pada ragam tertentu. Ragam itu terikat erat pada budaya, dan setiap

budaya mempunyai seperangkat ragam. Jason (dalam Tuloli, 2000:97)

mengemukakan bahwa suatu kekeliruan jika memindahkan secara langsung ragam

sastra lisan dari satu budaya ke budaya lain.

Finnegan (dalam Tuloli, 2000:98) mengemukakan bahwa untuk mengetahui

ragam sastra lisan diperlukan pengetahuan tentang keseluruhan latar belakang, sosio-

budaya meliputi pula berbagai hal tentang penampilan, audiens, dan konteks.

Hal yang sama dikemukakan oleh Fowler (dalam Tuloli, 2000:98) bahwa

apabila kita ingin menemukan ragam suatu karya sastra, kita harus lebih dahulu

menentukan makna dan artinya. Dalam menentukan hakikat sastra lisan. Dapat dilihat

dari segi kesatuan pandangan masyarakat, kedudukan tukang cerita, fungsinya dalam

budaya, cara penciptaan, dan perbandingan dengan ragam lain

.

11

2.2.3 Ciri-ciri Sastra Lisan

Sebagai salah satu bentuk sastra daerah, sastra lisan mempunyai ciri yang tidak

jauh berbeda dengan ciri sastra daerah. Menurut Vansina (dalam Didipu, 2011:32)

bahwa sastra daerah mempunyai kesejajaran yang kurang lebih sama dalam hal

cirinya dengan sastra lisan, tradisi lisan, foklor dan filologi. Semuanya bertemu dalam

objek kajian, yaitu puisi, dongeng, legenda, mite, epik, maupun lirik. Ciri-ciri tersebut

seperti tampak pada uraian berikut ini.

1) Milik bersama seluruh masyarakat.

2) Diturunkan dari satu generasi lain melalui penuturan.

3) Berfungsi dalam kehidupan, dan kepercayaan masyrakat.

4) Bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk tingkah laku dan hasil kerja.

5) Diciptakan dalam variasi banyak sepanjang masa.

6) Bersifat anonim.

7) Mengandalkan formula, kiasan, symbol, gaya bahasa, dan berbagai gejala

kebahasaan lain dalam penampilan atau penceritaannya atau komposisinya.

Hutomo (dalam Didipu, 2011:33-34) mengemukakan sastra lisan memiliki ciri,

antara lain.

1) Penyebaranya melalui mulut, maksudnya ekspresi budaya yang disebarkan

baik dari segi waktu maupun ruang memalui mulut.

2) Lahir dari masyarakat yang masih bercorak desa, masyarakat di luar kota,

atau masyarakat yang belum mengenal huruf.

12

3) Menggambarkan ciri-ciri budaya satu masyarakat. Sebab sastra lisan adalah

warisan budaya yang menggambarkan masa lampau, tetapi menyebut pula

hal-hal baru (sesuai dengan persoalan sosial), karena itu sastra lisan disebut

juga fosil hidup.

4) Tidak diketahui siapa pengarangnya, dan karena itu menjadi milik

masyarakat.

5) Bercorak puitis, teratur dan terulang-ulang maksudnya, (a) untuk

menguatkan ingatan, (b) untuk menjaga keaslian sastra daerah agar tidak

cepat berubah.

6) Terdiri berbagai versi.

7) Tidak mementingkan fakta atau kebenaran, lebih menekankan pada aspek

khayalan, fantasi yang tidak diterima oleh masyarakat modern, tetapi

memumyai fungsi di masyarakat, dan

8) Menggunakan bahasa lisan setiap hari.

2.2.4 Struktur Sastra Lisan

Struktur sastra lisan disesuaikan dengan genre sastra lisan itu sendiri. Oleh

karena jenis sastra lisan yang diteliti berbentuk puisi, maka bahasan struktur

disesuaikan dengan struktur intrinsik puisi. Waluyo (1987: 72-134) membagi struktur

menjadi 2 (dua) macam, yakni struktur fisik dan struktur batin.

13

2.2.4.1 Struktur Fisik

Lima bagian terpenting dalam sturktur fisik yaitu: diksi (diction); imaji

(imagery); kata nyata; majas (figurative language); dan rimte dan rima (rhythm

and aime).

1) Diksi (diction)

Penyair sangat cermat dalam memilih kata-kata sebab kata-kata yang ditulis

harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama,

kedudukan kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam

keseluruhan puisi itu. Oleh sebab itu, di samping memilih kata yang tepat,

penyair juga mempertimbangkan urutan katanya dan kekuatan atau daya

magis dari kata-kata tersebut.

2) Pengimajian

Ada hubungan erat antara diksi, pengimajian, dan kata konkret. Diksi yang

dipilih harus menghasilkan pengimajian karena itu kata-kata menjadi lebih

konkret seperti kita hayati melalui penglihatan, pendengaran, atau cita rasa.

3) Kata Kongkret

Untuk membangkitkan imaji (daya bayang) pembaca, maka kata-kata harus

diperkonkret. Maksudnya ialah bahwa kata-kata itu dapat menyaran kepada

arti yang menyeluruh.

14

4) Majas

Penyair menggunakan bahasa yang bersusun-susun atau berpigura sehingga

disebut bahasa figuratif. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi

prismastis artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna.

5) Ritme dan Rima

Bunyi dalam puisi menghasilkan rima dan ritma. Ritma adalah pengulangan

bunyi dalam bahasa. Digunakan kata rima untuk mengganti istilah persajakan

pada sistem lama karena diharapkan penempatan bunyi dan pengulangannya

tidak hanya pada akhir setiap baris, namun juga untuk keseluruhan baris dan

bait.

2.2.4.2 Struktur Batin

Struktur batin puisi meliputi; tema (sense); rasa (feeling); nada (tone);

amanat (intention).

1) Tema (sense)

Tema merupakan gagasan pokok atau subjek yang dikemukakan oleh penyair.

Pokok pikiran atau pokok persoalan itu begitu kuat mendesak dalam jiwa

penyair, sehingga menjadi landasan utama pengucapannya.

2) Perasaan (feeling)

Dalam menciptakan puisi, suasana perasaan penyair ikut diekspresikan dan

harus dapat dihayati oleh pembaca. Untuk mengungkapkan tema yang sama,

15

penyair yang satu dengan perasaan yang berbeda dari penyair lainnya,

sehingga hasil puisi yang diciptakan berbeda pula.

3) Nada (tone)

Dalam menganalisis puisi, penyair mempunyai sikap tertentu teradap

pembaca, apakah dia ingin bersikap menggurui, menasihati, mengejek,

menyindir, atau bersikap luas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca.

Sikap penyair kepada pembaca ini disebut nada puisi.

4) Amanat (intention)

Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair dapat ditelaah setelah kita

memahami tema, rasa, dan nada puisi itu. Tujuan atau amanat merupakan hal

yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya.

2.3 Hakikat Nilai Budaya

2.3.1 Hakikat Budaya

Kata kebudayaan berasal dari kata “buddhaya” (Sansekerta), sebagai bentuk

jamak dari “buddhy” yang berarti “akal” diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan

dengan budi dan akal manusia. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh bersifat

kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku

komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan

sosial manusia.

Secara tata bahasa, pengertian kebudayaan diturunkan dari kata budaya yang

cenderung menunjuk pada pola pikir manusia. Kebudayaan sendiri diartikan sebagai

16

segala hal yang berkaitan dengan akal atau pikiran manusia, sehingga dapat

menunjuk pada pola pikir, perilaku serta karya fisik sekelompok manusia.

Budaya dan kebudayaan telah ada sejak manusia berpikir, berkreasi dan

berkarya sekaligus menunjukkan bagaimana pola berpikir dan interpretasi manusia

terhadap lingkungannya. Dalam kebudayaaan terdapat nilai-nilai yang dianut

masyarakat setempat dan hal itu memaksa manusia berperilaku sesuai budayanya.

Antara kebudayaan satu dengan yang lain terdapat perbedaan dalam menentukan

nilai-nilai hidup sebagai tradisi atau adat istiadat yang dihormati. Adat istiadat yang

berbeda tersebut, antara satu dengan lainnya tidak bisa dikatakan benar atau salah,

karena penilaiannya selalu terikat pada kebudayaan tertentu.

Dengan demikian, manusia dan kebudayaan adalah dua hal yang saling

berkaitan. Manusia dengan kemampuan akalnya membentuk budaya, dan budaya

dengan nilai-nilainya menjadi landasan moral dalam kehidupan manusia. Seseorang

yang berperilaku sesuai nilai-nilai budaya, khususnya nilai etika dan moral, akan

disebut sebagai manusia yang berbudaya. Selanjutnya, perkembangan diri manusia

juga tidak dapat lepas dari nilai­nilai budaya yang berlaku.

2.3.2 Hakikat Nilai Budaya

Nilai atau dalam bahasa Inggris disebut value berarti harga, penghargaan, atau

tafsiran. Artinya, harga atau penghargaan yang melekat pada sebuah objek. Objek

yang dimaksud adalah berbentuk benda, barang, keadaan, perbuatan, atau perilaku.

Nilai adalah sesuatu yang abstrak, bukan konkret. Nilai hanya bisa dipikirkan,

dipahami, dan dihayati. Nilai juga berkaitan dengan cita-cita, harapan, keyakinan, dan

17

hal-hal yang bersifat batiniah. Menilai berarti menimbang, yaitu kegiatan manusia

yang menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk mengambil suatu

keputusan.

Dari uraian nilai di atas jika dihubungkan dengan nilai budaya itu sudah

meresap dalam jiwa masyarakat sehingga sulit diubah dalam waktu yang relatif

singkat. Sistem nilai budaya memiliki fungsi sebagai padanan dan para meter bagi

perilaku manusia.

2.4 Hubungan antara Sastra dan Kebudayaan

Sastra adalah perwujudan pikiran dalam bentuk tulisan. Tulisan adalah media

pemikiran yang tercurah melalui bahasa, bahasa yang bisa direpresentasikan dalam

bentuk tulisan. Menurut Teeuw (1988: 23), sastra berasal dari akar kata sas

(Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, member petunjuk, dan intruksi. Akhiran

tra berarti alat, sarana. Jadi, secara leksikal sastra berarti kumpulan alat untuk

mengajar, buku pentunjuk atau buka pengajaran yang baik, seperti silpasastra (buku

petunjuk arsitektur), kamasastra (buku petunjuk percintaan). Dalam perkembangan

berikut kata sastra sering dikombinasikan dengan awalan ‘su’, sehingga menjadi

susastra, yang diartikan sebagai hasil ciptaan yang baik dan indah. Dalam teori

kontemporer sastra dikaitkan dengan ciri-ciri imajinasi dan kreativitas, yang

selanjutnya merupakan satu-satunya ciri khas kesusastraan.

Terdapat banyak definisi mengenai kebudayaan yang dikemukakan para ahli.

Definisi yang paling tua sekaligus paling luas berasal dari E.B Tylor (dalam Ratna,

18

2007:5) yang dikemukakan dalam bukunya yang berjudul Primitive Culture (1871).

Menurut Tylor, kebudayaan adalah keseluruhan aktivitas manusia, termasuk

pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kebiasaan-

kebiasaan lain. Jadi, sastra dan kebudayaan berbagai wilayah yang sama, yaitu

aktivitas manusia tetapi dengan cara yang berbeda, sastra melalui kemampuan

imajinasi dan kreativitas, sebagai kemampuan emosionalitas, kebudayaan lebih

banyak melalui kemampuan akal, sebagai kemampuan intelektualitas.

Sastra dan kebudayaan, seperti telah dijelaskan di atas, baik secara definitif

etimologis maupun secara praktis pragmatis, berhubungan erat. Kedua istilah ini

berasal dalam kelompok kata yang memberikan perhatian pada aspek-aspek rohaniah,

sebagai pencerahan akal budi manusia. Apabila dalam perkembangan berikut sastra

perlu diberikan definisi yang lebih sempit, yaitu aktivitas manusia dalam bentuk yang

lain, lebih khusus lagi bentuk dengan memanfaatkan bahasa, baik lisan maupun

tulisan, tidak demikian halnya terhadap kebudayaan. Artinya, kebudayaan tetap

memiliki ruang lingkup yang lebih luas, bahkan cenderung diberikan peluang untuk

bertambah luas sebab aktivitas manusia bertambah luas dan beragam.

Mengingat luasnya bidang kebudayaan, untuk menjelaskan hubungan antara

sastra dan kebudayaan perlu dibedakan antara kebudayaan, peradaban, dan ilmu

pengetahuan. Secara garis besar Koentjaraningrat (dalam Ratna, 2007: 7)

membedakan tiga wujud kebudayaan, yaitu:

1) Kebudayaan sebagai kompleks ide, gagasan, nilai, norma, dan peraturan,

19

2) Kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola manusia dalam

masyarakat, dan

3) Kebudayaa sebagai benda-benda hasil karya manusia. Dalam kaitannya dengan

peradaban.

Sebagai disiplin yang berbeda, sastra dan kebudayaan memiliki objek yang

sama, yaitu manusia dalam masyarakat, manusia sebagai fakta sosial, manusia

sebagai makhluk kultural. Dikaitkan dengan fungsinya, sebagai aktivitas literer dan

aktivitas cultural, keduanya juga berfungsi untuk mengantarkan manusia untuk

mencapai jenjang kehidupan yang lebih tinggi.

Sebagai sebuah produk budaya, eksistensi sastra daerah tidak dapat dilepaskan

dari konteks kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional. Dalam konteks

kebudayaan daerah, sastra daerah dijadikan sebagai wahana ekpresi budaya daerah

Zaidan (dalam Didipu, 2011: 27-28). Dengan demikian, substansi sastra daerah tidak

lain merupakan corak kebudayaan suatu daerah tertentu. Untuk itu, sastra daerah

perlu dilestarikan dan dipertahankan agar tidak punah. Hal ini penting karena jika

produk sastra di suatu daerah tempat dia tumbuh telah punah, maka hakikatnya

kebudayaan daerah itu sendiri telah ikut punah.

Jika sastra daerah punah, hakikatnya kebudayaan suatu daerah pun ikut punah,

yang pada gilirannya berimplikasi pada eksistensi kebudayaan nasional. Oleh sebab

itu, menurut Soedirdja (dalam Didipu, 2011: 29) bahwa produk sastra di setiap daerah

di Indonesia perlu terus dipertahankan untuk memperkaya khasanah kebudayaan

20

nasional, karena hakikatnya sastra suatu bangsa merupakan pencerminan kebudayaan

bangsa itu (Darma dalam Didipu, 2011:29).

2.5 Puisi Lisan Umapos

Di daerah Kabupaten Banggai ada banyak jenis adat istiadat. Salah satunya

adalah puisi lisan Umapos. Puisi lisan Umapos biasanya dikatakan sebagai upacara

penyambutan tamu, baik penyambutan Tomundo, Bupati, Perkawinan dan acara adat

lainnya. Menurut penutur (pemangku adat) bahwa Umapos ialah upacara yang

mempersatukan masyarakat. Puisi lisan Umapos ini dilantunkan oleh pemangku adat

dengan berpakaian adat saluan, dengan audiensnya berpakaian biasa saja. Di

Kabupaten Banggai puisi lisan ini kurang diminati oleh kalangan masyarakat, mereka

hanya bisa mendengarkan syairnya tetapi tidak mengetahui makna dari puisi tersebut.

Puisi lisan Umapos di atas memiliki makna pengharapan kepada pemerintah

dan merupakan suatu penghormatan tertinggi kepada pemerintah, dalam hal ini

adalah Bupati. Pengharapan kepada Bupati agar menjaga daerah Banggai dari

kekacauan dan kekerasan serta menjaga amanat sebagai pemimpin.

Dari hal di atas timbullah pernyataan bahwa puisi lisan Umapos ini masih

merupakan suatu hal yang kurang dimengerti dan dipahami oleh masyarakat di

kabupaten Banggai. Hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran dan sedikitnya

penutur puisi lisan Umapos ini, sehingganya generasi penerus yang menuturkan puisi

ini semakin hari semakin akan mengalami kepunahan dan jenis sastra lisan ini

bukannya berkembang dan terjaga, malah akan punah. Sebagian orang menganggap

21

puisi lisan ini tidaklah wajib untuk dipelajari, tapi sekedar di dengar begitu saja.

Maka dari itu, timbul rasa ketidak pedulian dari hati setiap masyarakat terhadap puisi

lisan ini.

2.6 Pendekatan Strukturalisme-Genetik

Strukturalisme-genetik merupakan gabungan antara strukturalisme dengan

marxisme. Strukturalisme-genetik memahami segala sesuatu di dalam dunia ini,

termasuk karya sastra, sebagai sebuah struktur. Faruk (2012: 159). Karena itu, usaha

strukturalisme-genetik untuk memahami karya sastra secara niscaya terarah pada

usaha untuk menemukan struktur karya itu. Abrams (dalam Tuloli, 2000:41)

menjelaskan bahwa strukturalisme dimasukkan pada pendekatan objektif, yang

menitikberatkan pada karya sastra. Kajian sastra difokuskan pada struktur karya

sastra yang terdiri atas struktur-strukturnya. Strukturalisme merupakan suatu sistem

yang melihat suatu struktur lengkap dan saling menentukan dalam dirinya, di mana

struktur-strukturnya saling berhubungan secara timbal-balik. Pada intinya

strukturalisme yang diprakarsai oleh Sausure dapat didasarkan pada tiga ciri.

Pertama, tidak mementingkan subjek sebagai pengguna tanda yang telah tersedia.

Kedua, tidak berdasarkan hukum kausal (sebab-akibat), tetapi didasarkan pada kajian

relasi struktur. Ketiga, tidak mementingkan analisis diakronik, tetapi lebih

mengutamakan analisis sinkronik (suatu waktu tertentu).

Goldmann (dalam Faruk, 2010:56) menyebutkan teorinya sebagai

strukturalisme-genetik. Artinya, ia percaya bahwa karya sastra merupakan sebuah

22

struktur. Akan tetapi, struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan

produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan

destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat karya sastra yang

bersangkutan. Sebagai sebuah teori, strukturalisme-genetik merupakan sebuah

pernyataan yang dianggap sahih mengenai kenyataan. Pernyataan itu dikatakan sahih

jika di dalamnya terkandung gambaran mengenai tata kehidupan yang bersistem dan

terpadu, yang didasarkan pada sebuah landasan ontologis yang berupa kodrat

keberadaan kenyataan itu dan pada landasan epistemologi yang berupa seperangkat

gagasan yang sistematik mengenai cara memahami atau mengetahui kenyataan yang

bersangkutan. Keseluruhan persyaratan di atas tercakup beberapa konsep dasar yang

membangun teori termaksud, yaitu fakta kemanusiaan, subjek kolektif, pandangan

dunia, pemahaman dan penjelasan.

a. Fakta Kemanusiaan

Fakta kemanusiaan merupakan landasan ontologis dari strukturalisme-genetik.

Adapun yang dimaksudkan dengan fakta tersebut adalah segala aktivitas atau perilaku

manusia baik yang verbal maupun yang fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu

pengetahuan (Faruk, 2010:57). Fakta itu dapat berwujud aktivitas sosial tertentu

seperti sumbangan bencana alam, aktivitas politik tertentu seperti Pemilu, maupun

kreasi cultural seperti filsafat, seni rupa, seni musik, seni patung, dan seni sastra.

Aktivitas atau perilaku manusia harus menyesuaikan kehidupan dengan

lingkungan sekitar. Individu-individu berkumpul membentuk suatu kelompok

23

masyarakat. Dengan kelompok masyarakat manusia dapat memenuhi kebutuhan

untuk beradabtasi dengan lingkungan.

Goldmann (dalam Faruk, 2010:57) menganggap semua fakta kemanusiaan

merupakan suatu struktur yang berarti. Yang dimasudkannya adalah bahwa fakta-

fakta itu sekaligus mempunyai struktur tertentu dan arti tertentu. Oleh karena itu,

pemahaman mengenai fakta-fakta kemanusiaan harus mempertimbangkan struktur

dan artinya. Dengan meminjam teori psikologi Pioget, Goldmann (dalam Faruk,

2010:58), menganggap bahwa manusia dan lingkungan sekitarnya selalu berada

dalam proses strukturasi timbal balik yang saling bertentangan tetapi yang sekaligus

saling isi-mengisi. Oleh karena itu, fakta kemanusiaan merupakan struktur yang

bermakna.

b. Subjek Kolektif

Subjek kolektif merupakan bagian dari fakta kemanusiaan selain subjek

individual. Fakta kemanusiaan muncul karena aktivitas manusia sebagai subjek.

Pengarang adalah subjek yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Oleh karenanya di

dalam masyarakat terdapat fakta kemanusiaan. Dalam hal ini perlu diperhatikan

perbedaan antara subjek individual dan subjek kolektif. Perbedaan itu sesuai dengan

perbedaan jenis fakta kemanusiaan. Subjek individual merupakan subjek fakta

individual (libidinal), sedangkan subjek kolektif merupakan subjek fakta sosial

(historis).

Subjek kolektif adalah kumpulan individu-individu yang membentuk satu

kesatuan beserta aktivitasnya. Goldmann (dalam Faruk, 2010:63)

24

menspesifikasikannya sebagai kelas sosial dalam pengertian marxis, sebab baginya

kelompok itulah yang terbukti dalam sejarah sebagai kelompok yang telah

menciptakan suatu pandangan yang lengkap dan menyeluruh mengenai kehidupan

dan yang telah mempengaruhi perkembangan sejarah umat manusia.

c. Pandangan Dunia

Konsep pandangan dunia merupakan konsep yang menghubungkan karya

sastra dengan masyarakat di sekelilingnya. Karya sastra merupakan sarana pengarang

untuk menghubungkan dirinya dengan dunia luar melalui serangkaian sajak yang

pengarang tuliskan dalam tiap baitnya.

Konsep mengenai pandangan dunia yang dapat terwujud dalam karya sastra

dan filsafat. Struktur kategoris yang merupakan kompleks menyeluruh dari gagasan,

aspirasi, dan perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota

suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompok-

kelompok sosial yang lain. Dengan demikian, pandangan dunia, bagi strukturalisme-

genetik, tidak hanya seperangkat gagasan abstrak dari satu kelas dengan anggota yang

lain dalam kelas yang sama dan membedakannya dari anggota-anggota dari kelas

sosial yang lain Goldmann (dalam Faruk, 2010:65-66).

d. Dialektika Pemahaman dan Penjelasan

Untuk mendapatkan pengetahuan mengenai karya sastra dengan kodrat

keberadaan (ontologi) semacam itu Goldmann kemudian mengembangkan sebuah

metode yang disebutkannya sebagai metode dialektik. Menurut Goldmann (dalam

25

Faruk, 2010: 77), metode itu merupakan metode yang khas yang berbeda dari metode

positivistik, metode intuitif, dan metode biografis yang psikologis.

Dari segi titik awal dan titik akhirnya, metode dialektik sama dengan metode

positivistic. Keduanya sama-sama bermula dan berakhir pada teks sastra. Hanya saja,

kalau metode positivistik tidak mempertimbangkan persoalan koherensi structural,

metode dialektik memperhitungkannya.

Prinsip dasar dari metode dialketik yang membuatnya berhubungan dengan

masalah koherensi di atas adalah pengetahuannya mengenai fakta-fakta kemanusiaan

yang tetap abstrak apabila tidak dibuat konkret dengan mengintegrasikannya ke

dalam keseluruhan. Setiap fakta dan gagasan individual mempunyai arti hanya jika

ditempatkan dalam keseluruhan. Sebaliknya keseluruhan hanya dapat dipahami

dengan pengetahuan yang bertambah mengenai fakta-fakta parsial atau yang tidak

menyeluruh yang membangun keseluruhan itu.

Seperti telah dikemukakan di atas, Goldmann (dalam Faruk, 2010:78)

memandang karya sastra sebagai produk strukturasi pandangan dunia sehingga

cenderung mempunyai struktur yang koheren. Sebagai struktur yang koheren karya

sastra merupakan satuan yang dibangun dari bagian-bagian yang lebih kecil. Oleh

karena itu, pemahaman terhadapnya dapat dilakukan dengan konsep “keseluruhan-

bagian” di atas.

Akan tetapi, teks sastra itu sendiri merupakan bagian dari keseluruhan yang

lebih besar, yang membuatnya menjadi struktur yang berarti. Dalam pengertian ini

pemahaman mengenai teks sastra sebagai keseluruhan tersebut harus dilanjutkan

26

dengan usaha menjelaskannya dengan menempatkannya dalan keseluruhan yang

lebih besar.