bab ii kajian pustaka - sinta.unud.ac.id 2.pdf · dengan ular di lingkungan persawahan dan saluran...
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Desa Singapadu
Desa Singapadu memiliki luas 345,93 ha dan secara topografi merupakan
dataran rendah dengan curah hujan sedang. Luas wilayah Desa Singapadu dibagi-
bagi menjadi area pemukiman seluas 53,19 ha, persawahan dengan luas 115,7 ha,
perkebunan 1,53 ha dan penggunaan lain-lain yang mencakup fasilitas umum seperti
area untuk pura, kuburan, jalan, lapangan, dan peruntukan umum lainnya seluas 4,47
ha. Desa Singapadu memiliki enam banjar, yaitu: Banjar Dinas Apuan, Banjar Dinas
Seseh, Banjar Dinas Mukti, Banjar Dinas Kebon, Banjar Dinas Sengguan dan Banjar
Dinas Bungsu. Sebagian besar penduduk di Desa Singapadu bekerja sehari-hari
sebagai petani (RPJM.DES., 2010-2015). Petani secara tidak langsung akan bertemu
dengan ular di lingkungan persawahan dan saluran irigasi, karena sawah merupakan
salah satu habitat yang baik untuk ular. Tiga petani digigit ular berbisa di Banjar
Dinas Apuan selama bulan September 2013, jenis ular yang menggigit adalah ular
hijau ekor merah atau ular mati ekor (Sutisna, kom.pri., 2013).
Desa Singapadu juga memiliki daerah yang dijadikan kebun binatang atau
lembaga konservasi. Lembaga konservasi tersebut yaitu Bali Bird Park, Rimba
Reptile Park dan Bali Zoo. Ketiga lembaga konservasi tersebut terletak di tepi sungai
dan area persawahan yang merupakan habitat yang baik untuk ular. Lembaga
4
konservasi Bali Bird Park adalah salah satu lembaga yang khusus memelihara satwa
burung. Burung merupakan mangsa utama dari kelompok ular. Tikus dan hewan
pengerat lainnya secara tidak langsung akan masuk ke area lembaga konservasi
untuk mencari sisa makanan burung dan membangun sarang untuk berkembangbiak
(Obs. Pri.). Banyaknya jumlah burung dan hewan pengerat dapat menarik ular untuk
mencari mangsa di area lembaga konservasi. Rimba Reptile Park merupakan
lembaga konservasi yang khusus memelihara satwa reptil. Kemungkinan beberapa
spesies ular atau anak-anak ular hasil breeding ada yang lepas dari kandangnya dan
hidup disekitar area lembaga konservasi.
Masyarakat Desa Singapadu masih cukup banyak yang memanfaatkan sungai
untuk tempat persembahyangan, mandi, mencuci, dan memancing. Beberapa spesies
ular arboreal dan terestrial memanfaatkan lingkungan sungai sebagai sumber air,
tempat membuat sarang, tempat beristirahat/sembunyi dan tempat berburu mangsa.
2.2 Habitat Ular
Ular merupakan kelompok hewan yang memiliki tingkat adaptasi tinggi. Ular
dapat ditemukan di seluruh benua dan pulau-pulau kecil di Bumi kecuali Antartika
dan New Zeland. Ular tersebar di daerah-daerah basah/lembab, hutan tropis, hutan
beriklim sedang, gurun pasir, padang rumput, persawahan, laut, pegunungan, daerah
pemukiman dan daerah pinggiran pemukiman (O’shea and Halliday, 2001).
Beberapa spesies ular yang ditemukan di area persawahan seperti jenis ular
sawah/indo-chinese rat snake (Ptyas korros). Ular koros aktif mencari makan pada
siang hari, terutama memangsa tikus, kodok, katak dan kadal. Ular koros dapat
dijumpai di daerah-daerah pertanian, perkebunan, pemukiman dan hutan muson (Cox
et al., 1998; Ahsan and Shayla, 2001; McKay, 2006). Ular jali belang/banded rat
snake (Ptyas mucosa) dapat ditemukan di habitat persawahan. Ular jali belang tidak
berbahaya dan tidak berbisa, ular ini memangsa burung, kodok, katak dan tikus. Ular
jali belang memiliki panjang tubuh mencapai 3,7 m dengan tubuh berbentuk bulat
silindris serta gerakan yang cepat ketika berburu dan menghindari predator (Boeadi
et al., 1998; Cox et al., 1998; McKay, 2006; Rajesh et al., 2013). Ular berbisa lemah
yang dapat ditemukan di pepohonan (arboreal) di area perkebunan/pertanian dan
dipinggir sungai adalah dari jenis ular pucuk/green vine snake (Ahaetulla prasina).
Ular pucuk aktif pada siang hari memangsa kadal, kodok, katak, burung, dan ular-
ular kecil lainnya, sedangkan pada malam hari ular ini beristirahat di atas pohon
dengan melingkarkan tubuhnya pada ranting pohon (Cox et al., 1998; McKay, 2006).
Kemampuan adaptasi ular yang tinggi tidak selalu diimbangi dengan
peningkatan populasi individu yang konstan. Hal ini diakibatkan karena lebih banyak
masyarakat memilih untuk membunuh ular atau mengganggu sarang ular yang
ditemukan di area pemukiman. Beberapa spesies ular ada yang jumlahnya melimpah,
tetapi banyak spesies jumlahnya semakin menurun sehingga perlu dilindungi dengan
cara konservasi ex-situ ataupun in-situ. Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) adalah dokumen yang dapat
digunakan sebagai acuan untuk mengetahui spesies ular endemik Indonesia yang
dilindungi. Spesies ular di Indonesia yang masuk ke dalam dokumen CITES adalah
ular sanca bodo/burmese python (Python molurus-bivitatus), ular sanca hijau/green
tree python (Chondropython viridis) dan ular sanca timor (Python timorensis).
2.3 Klasifikasi Ular
Klasifikasi ular dalam taksonomi menurut O’Shea (1996) dengan contoh dari
beberapa genus dan spesiesnya adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Reptilia
Ordo : Squamata
Subordo : Serpentes
Famili : Typhlopidae, Pythonidae, Colubridae, Elapidae, Viperidae
Genus : Ramphotyphlops, Python, Ptyas, Naja, Trimeresurus
Spesies : Ramphotyphlops braminus, Python reticulatus, Ptyas
korros, Naja sputatrix, Trimeresurus insularis.
Ular memiliki sisik seperti kadal dan sama-sama digolongkan ke dalam Kelas
Reptilia bersisik Ordo: Squamata. Ular dibedakan dari reptil lainnya karena semua
ular tidak memiliki kaki sebagai alat pergerakan. Perbedaan ular dengan kadal adalah
kadal pada umumnya berkaki, walaupun beberapa spesies kakinya mereduksi seperti
pada amphisbaenians atau worm lizards. Kadal memiliki lubang telinga dan kelopak
mata yang dapat dibuka dan ditutup. Ular merupakan salah satu reptil yang paling
sukses berkembang di dunia. Ular semakin jarang ditemukan di tempat-tempat yang
dingin, seperti di puncak-puncak gunung, Irlandia, Selandia baru dan daerah daerah
kutub (Taylor and O’Shea, 2004).
Beberapa contoh ular dengan berbagai cirinya seperti dijelaskan berikut ini.
Ular koros berukuran sedang dan agak ramping, biasanya berwarna coklat dengan
warna sisik berpinggiran hitam. Bagian ventral tubuhnya berwarna putih atau agak
kekuning-kuningan, memiliki mata yang besar dengan pupil yang bulat. Sisiknya
halus dan sedikit berlunas, dalam 15 baris di bagian tengah tubuhnya. Terdapat 187
sisik ventral, 146 pasang sisik subkaudal, 7 sisik bibir atas dengan sisik anus
terbelah. Ular ini tidak memiliki bisa, sehingga tidak berbahaya bagi manusia (Cox
et al., 1998; McKay, 2006).
Ular jali belang memiliki bentuk tubuh dan warna yang hampir sama dengan
ular koros. Ular jali belang berukuran besar dan dapat mencapai panjang hingga 3,7
m dengan diameter badan 5 – 10 cm. Ular jali belang berwarna coklat dengan garis-
garis tebal berwarna hitam dari perut sampai ekor. Sisik-sisik pada bibir berpinggiran
hitam dan seringkali terdapat garis-garis tebal berwarna agak kuning dari kepala
sampai perut, terutama pada ular muda. Sisik-sisik dari perut sampai ekor kadang-
kadang berpinggiran hitam. Tubuh bagian ventral agak kuning atau putih dengan 17
sisik halus pada bagian dorsal tengah tubuh. Terdapat 213 sisik ventral, 146 pasang
sisik subkaudal dan 9 sisik bibir atas dengan sisik anus terbelah (McKay, 2006). Ular
pucuk memiliki tubuh ramping dan panjang, tubuh berwarna hijau dengan garis-garis
putih yang putus-putus. Ular pucuk memiliki 15 baris sisik halus di bagian tengah
tubuh, jumlah sisik ventral 189, sisik subkaudal 141, sisik bibir atas 8 dan sisik anus
terbelah. Panjang total rata-rata adalah 1,3 m dan ukuran maksimal dapat mencapai 2
m. Memiliki bisa lemah dan tidak berbahaya bagi manusia (Cox et al., 1998; McKay,
2006).
Ular membunuh mangsanya dengan kekuatan lilitan seperti yang dilakukan
oleh ular Python dan beberapa spesies ular membunuh mangsanya dengan bisa yang
dimiliki. Tidak semua ular berbisa dapat membunuh manusia dengan bisanya. Ular-
ular yang berbisa kebanyakan termasuk famili Colubridae, tetapi pada umumnya
memiliki kekuatan bisa yang lemah. Ular-ular yang berbisa kuat di Indonesia
termasuk ke dalam famili Elapidae seperti ular king cobra (Ophiophagus hannah),
ular sendok (Naja sputatrix), ular weling (Bungarus candidus) dan ular cabai kecil
(Calliophis intestinalis). Ular berbisa mematikan yang termasuk dalam famili
Hydrophiidae adalah kelompok ular laut seperti ular laut berbibir kuning/yellow-
lipped sea krait (Laticauda colubrina). Kelompok ular berbisa mematikan lainnya
yang hidup terestrial adalah dari famili Viperidae seperti ular tanah (Calloselasma
rhodostoma) dan ular bidudak (Daboia siamensis). Ular berbisa kuat yang arboreal
adalah ular mati ekor (Trimeresurus insularis) (Cox et al., 1998; Das, 2012; Marlon,
2014).
2.4 Identifikasi Ular
Identifikasi ular dilakukan dengan cara mengidentifikasi ciri-ciri morfologi,
seperti bentuk tubuh, pola warna tubuh, panjang total tubuh, dan bentuk kepala.
Setelah mengamati ciri-ciri morfologi ular, dilanjutkan dengan mengamati ciri-ciri
morfometri seperti menghitung panjang tubuh ular dan ciri meristik atau
penghitungan jumlah susunan sisik labial atas (supralabial) dan labial bawah
(infralabial), jumlah sisik dorsal tengah, jumlah sisik ventral, jumlah sisik subkaudal
dan tipe taring (Gambar 1) (Cox et al., 1998; McKay, 2006).
Gambar 1. a. susunan sisik kepala bagian atas, b. susunan sisik supralabial dan
infralabial, c. cara menghitung sisik dorsal tengah tubuh, d. sisik anal
dan subkaudal (McKay, 2006; Lang and Vogel, 2005)
Sisik ventral
Sisik anal terbelah
Sisik subkaudal tunggal
Pasang sisik subkaudal
a b
c d
Sub-ordo Serpentes terdiri dari beberapa famili ular yang dapat ditemukan di
daerah tropis (Indonesia), misalnya dari famili Typhlopidae, Pythonidae, Colubridae,
Elapidae dan Viperidae (McKay, 2006).
2.5.1 Famili Typhlopidae
Typhlopidae adalah famili dari anggota spesies ular kawat/ular buta (blind
snake) yang berukuran kecil (12 cm – 18 cm) dan bentuknya seperti cacing tanah.
Tubuhnya berwarna hitam, abu-abu kehitaman, kecoklatan atau abu-abu kebiruan,
umumnya lebih gelap di bagian dorsal dan lebih terang di bagian ventral. Ular kawat
memiliki ekor pendek dengan ujung ekor meruncing seperti duri. Matanya
tersembunyi dan hanya terlihat seperti bintik gelap samar-samar di balik sisik kepala.
Sisik-sisik yang menutupi bagian tengah tubuh tersusun dari 20 deret sisik yang
halus dengan bentuk sama baik di bagian dorsal maupun ventral (McKay, 2006; Das,
2012).
Ular kawat ini mirip dengan cacing tanah, baik ukuran tubuh maupun
perilakunya. Ular kawat dapat ditemukan di bawah peralatan rumah tangga, di balik
pot-pot tanaman di halaman rumah, di bawah batu, di bawah serasah daun, dan kayu-
kayu busuk. Jika diamati dengan seksama, spesies ini terlihat memiliki sisik yang
berkilau dan kulit tidak berlendir. Mulut ular kawat sangat kecil, memangsa telur-
telur semut, rayap dan berbagai serangga kecil lainnya. Ular kawat hidup di bawah
tanah (fossorial), ukurannya yang kecil dan kemampuan reproduksi dengan cara
partenogenesis sangat membantu dalam penyebaran jenis ular ini. Populasi ular
kawat dapat terbentuk dari satu spesimen ular yang terbawa dalam tanah pada pot
tanaman (Kamosawa and Ota, 1996).
2.5.2 Famili Pythonidae
Keseluruhan anggota dari familia Pythonidae merupakan ular yang tidak
berbisa. Pythonidae dibedakan dari Boidae karena adanya gigi di bagian premaxilla,
seperti tungkai kecil di bagian paling depan dan tengah dari rahang atas. Pythonidae
umumnya lebih banyak hidup di daerah hutan hujan tropis dan merupakan ular
terpanjang di dunia yang mampu mencapai ukuran panjang 10 m seperti misalnya
ular sanca batik (Python reticulatus). Ular sanca memiliki lebih dari 30 sisik pada
lingkar tubuh tengahnya. Python membunuh mangsanya dengan cara membelitkan
tubuhnya yang berotot hingga mangsanya mati kehabisan nafas (Ario, 2010; Das,
2012).
Beberapa spesies menunjukkan adanya tulang pelvis dan tungkai belakang
(vestigial) seperti taji di kanan dan kiri kloaka. Taji ini lebih besar pada yang jantan
dan berguna untuk merangsang pasangannya pada saat kopulasi. Ular python betina
bertelur sampai 100 butir dan betinanya mengerami telur tersebut dengan cara
melingkari tumpukan telur tersebut selama 90 hari. Cara Python bertelur dan
merawat telurnya membedakannya dengan spesies ular famili Boidae (Boa). Familia
ini terdiri dari tiga genus (Python, Morelia, dan Aspidites) dengan lebih dari 30
spesies, habitatnya meliputi Afrika dan Indo-australia. Ular famili Pythonidae
memiliki tipe gigi aglypha, dimana hampir seluruh giginya teratur dengan jumlah
yang banyak (Zug, 1993; Lang and Vogel, 2005).
2.5.3 Famili Colubridae
Ciri famili Colubridae yang dapat membedakannya dengan famili lain adalah
sisik ventralnya berkembang dengan baik, melebar sesuai dengan lebar perut. Kepala
pada umumnya berbentuk oval dengan sisik-sisik yang tersusun secara sistematis dan
memiliki ekor silindris meruncing. Panjang tubuh Colubridae bervariasi setiap
spesiesnya, antara 1 – 3,5 m. Jumlah sisik lingkar tengahnya kurang dari 30. Famili
ini merupakan keluarga ular terbesar di dunia, meliputi hampir 2/3 dari spesies ular
di dunia. Kebanyakan anggota famili Colubridae tidak berbisa dengan tipe gigi
aglypha. Colubridae yang memiliki bisa biasanya memiliki tipe gigi opistoglypha
(tipe gigi berbisa lemah). Gigi taring opistoglypha kecil dan susah dibedakan dengan
gigi-gigi lainnya dan terletak infralabial bagian tengah/belakang. Colubridae terdiri
dari 320 genus dengan jumlah spesies lebih dari 1.700 dan tersebar luas di seluruh
dunia (Pough et al., 1998; Fry et al., 2009).
McKay (2006) mengatakan bahwa beberapa spesies anggota dari famili
Colubridae di Bali memiliki bisa lemah (tidak berbahaya bagi manusia). Ular dari
famili Colubridae yang memiliki bisa lemah di Bali adalah: ular pucuk/greend vine
snake (Ahaetulla prasina), ular blidah/dog-toothed cat snake (Boiga cynodon), ular
tambak/dog-faced water snake (Cerberus rynchops), ular pohon surga/paradise tree
snake (Chrysopelea paradisi), dan ular sampi/spotted keelback (Rhabdophis
chrysargos).
Ular dari famili Colubridae yang berbisa memiliki tipe gigi opistoglypha
dengan jenis bisa hemotoksin. Jika tergigit ular ini, dalam waktu singkat mungkin
tidak akan beresiko terkena racunya, karena ular dengan gigi opistoglypha harus
memasukkan lebih dalam taringnya agar dapat menyuntikkan bisa yang lebih
banyak. Ular bergigi opistoglypha masih tergolong berbisa lemah, dengan efek yang
ditimbulkan hanya pembengkakan sekitar area gigitan (Fry et al., 2009).
2.5.4 Famili Elapidae
Merupakan famili yang spesiesnya kebanyakan ular berbisa mematikan dan
banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis. Panjang tubuh Elapidae bervariasi,
mulai dari 30 cm – 600 cm. Sisik lingkar tubuh tengahnya antara 15 – 23 sisik.
Famili Elapidae terdiri dari 62 genus dengan 280 spesies, dibagi menjadi dua sub-
famili yaitu Elapinae dan Hydrophiinae. Pupil mata membulat karena kebanyakan
merupakan hewan diurnal. Famili ini dapat mencapai ukuran panjang 6 m yaitu dari
spesies king cobra (Ophiophagus hannah) dan biasanya ovipar namun adapula yang
ovovivipar. Khusus pada spesies ular sendok (Naja sputatrix), memiliki kemampuan
untuk menyemprotkan bisanya sejauh 2 m dan tepat mengenai mata musuh atau
predatornya (Pough et al., 1998).
Famili Elapidae adalah ular yang paling berbahaya karena sangat agresif.
Ular ini memiliki gigi taring tipe proteroglypha yang terletak di bagian depan
infralabial dengan bisa neurotoksin. Selain bisa neurotoksin, ular kobra dan ular laut
juga memiliki tipe bisa hemotoksin dan kardiotoksin (Ario, 2010). Tipe gigi
proteroglypha kaku tidak dapat digerakkan dan dibagian depan taring terdapat
lubang saluran yang berfungsi untuk menyemprotkan bisa seperti pada Spitting
cobra. Ular bertipe gigi seperti ini tergolong sangat mematikan meskipun ukuran
taringnya tidak sepanjang taring solenoglypha yang dimiliki oleh ular viper, namun
kemampuan menyuntikkan bisanya sangat kuat. Penelitian sebelumnya di Australia
menyatakan bahwa spesies ular dari famili Elapidae adalah spesies ular berbisa
terkuat dengan jumlah terbanyak hingga 90 spesies (57,7%) dari 156 spesies ular
terestrial yang terdapat di benua Australia (Wilson and Swan, 2003; Williams et al.,
2006).
2.5.5 Famili Viperidae
Ular-ular dari familia ini memiliki gigi taring tipe solenoglypha dengan jenis
bisa hemotoksin (Ario, 2010). Tipe gigi ini sangat spesial dari tipe gigi ular lainnya.
Sepasang taring panjang yang terdapat di bagian depan infralabial dapat dilipat dan
disembunyikan ke bagian atas rahang. Taringnya tidak hanya berfungsi sebagai
penyuntik bisa, sepasang taring ini dapat digunakan untuk membantu mendorong
mangsanya masuk ke dalam perut. Famili ini kebanyakan merupakan ular yang
hidup di gurun, namun ada pula yang hidup di daerah tropis, tersebar hampir di
seluruh dunia kecuali di Antartika, Australia, Selandia Baru, Irlandia, Madagaskar,
Hawai, berbagai pulau kecil lainnya dan Artik. Sisik biasanya termodifikasi menjadi
lapisan tanduk tebal dengan pergerakan menyamping. Viperidae memiliki facial pit
yang berfungsi sebagai thermosensor/sensor panas. Kebanyakan anggota familinya
merupakan hewan yang ovovivipar dan beberapa ada yang ovipar. Sub-famili yang
ada di Indonesia adalah Crotalinae yang terdiri dari 18 genus dan 151 spesies (Pough
et al., 1998).
2.5.6 Kandungan Bisa Ular
Bali memiliki spesies ular yang berbisa kuat atau mematikan dan berbisa
lemah atau tidak berbahaya bagi manusia (Tabel 2.1). Bisa ular merupakan hasil
sekresi khusus kelenjar mulut yang menyerupai kelenjar saliva. Setiap spesies ular
menghasilkan komponen dan kandungan bahan toksik atau non toksik yang berbeda
- beda. Salah satu contoh ular yang terkenal memiliki bisa kuat dan berbahaya bagi
manusia adalah ular kobra. Jenis bisa ular kobra (Elapidae) adalah neurotoksin dan
sedikit hemotoksin. Gejala yang diakibatkan oleh gigitannya yaitu pembengkakan,
pendarahan, fibrinolitik dan kerusakan jaringan pada lokasi gigitan. Bisa ular
sebagaian besar adalah protein, kandungan protein dalam bisa ular disebut Thrombin
Like Enzyme karena mempengaruhi proses pembekuan darah. Thrombine like enzyme
ini termasuk protease serin dan metaloprotease yang menyerupai trombin dalam
fungsinya mempengaruhi pembekuan benang-benang fibrinogen (Selistre and Giglio,
1987; Chanhome et al., 2003).
Susunan kimia dari bisa ular sangat kompleks sekitar 90% tersusun atas
protein yang sebagian besar adalah enzim, serta mengandung polipeptida. Enzim
utama bisa ular antara lain proteolitik, hialurinidase, asam amino oksidase,
kolinesterase, fosfolipase A, ribonuklease, deoksiribonuklease, fosfomonoeterase,
fosfodiesterase, nukleotidase, ATPase dan DPNase. Dalam kandungan bisa ular juga
terdapat logam yaitu: magnesium (Mg), zink (Zn) dan mangan (Mn) dengan
konsentrasi yang bervariasi. Logam-logam ini sangat mempengaruhi kerja enzim,
misalnya ion kalsium merupakan komponen penting untuk mempertahankan struktur
tersier proteinase yang mempengaruhi aktivitas pendarahan (Brown, 1973; Fry,
1999).
Tabel 2.1 Ular-ular berbisa di Bali, kandungan bisa dan kekuatan bisa (McKay,
2006).
No Famili Spesies Nama lokal Kandungan
Bisa
Kekuatan
Bisa
1 Elapidae Ophiophagus hannah King Kobra Neurotoksin Mematikan
Naja sputatrix Ular Sendok Neurotoksin &
Hemotoksin
Mematikan
Bungarus candidus Ular Weling Neurotoksin Mematikan
2 Viperidae Trimeresurus insularis Ular mati ekor Hemotoksin Mematikan
3 Colubridae Ahaetulla prasina Ular pucuk Hemotoksin Lemah
Boiga cynodon Ular blidah Hemotoksin Lemah
Hemotoksin adalah kandungan racun yang menyerang sistem sirkulasi darah, dalam
kandungan racun hemotoksin terdapat enzim pemecah protein (proteolytic). Racun
hemotoksin mengakibatkan sel-sel darah akan rusak dan terjadi penggumpalan
darah. Reaksi racun sangat cepat seiring dengan pembengkakan di daerah sekitar
luka gigitan, beberapa menit setelah gigitan korban akan sangat kesakitan dan terasa
panas di area gigitan. Racun yang bersifat hemotoksin akan mengakibatkan gejala
hemolisis. Hemolisis adalah rusaknya jaringan darah akibat lepasnya hemoglobin
dari setoma eritrosit (sel darah merah). Enzim penyebab hemolisis adalah enzim
lipase seperti fosfolipase. Enzim fosfolipase ditemukan pada semua bisa ular dalam
beberapa bentuk dan variasi. Pada bisa ular famili Elapidae dan Viperidae ditemukan
4 jenis fosfolipase, yaitu A1, (lesitinase A2), C dan D yang diklasifikasikan
berdasarkan bagian mana dari ikatan ester 3-sn fosfogliserida yang di hidrolisis (Fry,
1999; Fry et al., 2012).