bab ii kajian pustaka, konsep, landasan teori, dan … · karangasem. perbedaan konteks waktu dan...

44
13 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Rekaman sejarah kasus sengketa tanah dan konflik pertanahan selalu muncul di Indonesia. Beberapa kasus tanah dari zaman pemerintah kolonial Belanda hingga rezim Orde Baru, mulai dari kasus Cilegon Banten (1888), Cimacan Bandung (1989), Jenggawah (1995), hingga Kalibakar Malang selatan (1997). Kasus tanah selalu menempatkan petani berhadapan dengan penguasa (pemerintah). Dalam posisi dikuasai perlawanan petani tidak bisa berbuat banyak karena ada dibawah tekanan. Kajian ini memberikan pemahaman terkait dengan hegemoni negara terhadap rakyatnya (Pratikto, 2000: 45). Dinamika perlawanan petani merupakan reaksi defensif sebagai akibat dari tidak terjaminnya kehidupan petani. Dengan tidak terjaminnya kehidupan petani, maka perlawanan petani tidak survival strategy dalam menghadapi ketidakpastian itu. Perilaku ini bukan saja menggambarkan tindakan pengingkaran petani terhadap pemegang kebijakan (negara), melainkan juga menjadi pertanda aksi dengan prinsip dahulukan selamat di tengah ketidakpastian dan terjaminnya kehidupan para petani, karena kebijakan negara yang bersifat hegemonik dan tidak pernah menguntungkan petani kecil (Mustain, 2007: 339). Manifestasi ketidakpuasan terhadap berbagai kebijakan negara seperti itulah yang umumnya melatari perlawanan petani. Mereka menganggap perlawanan (penolakan terhadap pelaksanaan program pemerintah) sebagai satu-

Upload: others

Post on 29-Dec-2019

18 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

13

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Rekaman sejarah kasus sengketa tanah dan konflik pertanahan selalu

muncul di Indonesia. Beberapa kasus tanah dari zaman pemerintah kolonial

Belanda hingga rezim Orde Baru, mulai dari kasus Cilegon Banten (1888),

Cimacan Bandung (1989), Jenggawah (1995), hingga Kalibakar Malang selatan

(1997). Kasus tanah selalu menempatkan petani berhadapan dengan penguasa

(pemerintah). Dalam posisi dikuasai perlawanan petani tidak bisa berbuat banyak

karena ada dibawah tekanan. Kajian ini memberikan pemahaman terkait dengan

hegemoni negara terhadap rakyatnya (Pratikto, 2000: 45).

Dinamika perlawanan petani merupakan reaksi defensif sebagai akibat

dari tidak terjaminnya kehidupan petani. Dengan tidak terjaminnya kehidupan

petani, maka perlawanan petani tidak survival strategy dalam menghadapi

ketidakpastian itu. Perilaku ini bukan saja menggambarkan tindakan

pengingkaran petani terhadap pemegang kebijakan (negara), melainkan juga

menjadi pertanda aksi dengan prinsip dahulukan selamat di tengah ketidakpastian

dan terjaminnya kehidupan para petani, karena kebijakan negara yang bersifat

hegemonik dan tidak pernah menguntungkan petani kecil (Mustain, 2007: 339).

Manifestasi ketidakpuasan terhadap berbagai kebijakan negara seperti

itulah yang umumnya melatari perlawanan petani. Mereka menganggap

perlawanan (penolakan terhadap pelaksanaan program pemerintah) sebagai satu-

14

satunya aksi politik yang tepat, efektif, konkrit, dan memiliki bargaining position

bagi perbaikan ekonomi dan penghidupan mereka di kemudian hari. Secara

politis, dinamika perlawanan muncul karena ingin menolak kebijakan negara

dalam masalah pertanian yang cenderung ekploitatif yang menganakemaskan

kaum kapitalis. Kesan semacam inilah yang mewarnai setiap aksi perlawanan

petani dari masa ke masa. Nasib petani di pedesaan semakin terpuruk ketika

ideologi developmentalis menjadi pilihan paradigma pembangunan rezim Orde

Baru. Ironisnya, konsep ini bukan sepenuhnya sebagai produk elite negara ketika

itu, melainkan hasil konstruksi kekuatan kapitalis global yang problematik bagi

petani.

Ketika tanah menjadi komoditas, investasi modal asing secara besar-

besaran melalui industrialisasi diperlukan ketersediaan tanah pertanian untuk

kepentingan operasionalnya. Akibatnya, tanah menjadi komoditas dan

memunculkan pasar tanah. Di Indonesia investor sering tertarik menanamkan

modalnya dalam bentuk tanah karena menguntungkan. Proses ini secara tidak

disadari telah mengintegrasikan petani dengan tanahnya ke dalam sistem

kapitalisme. Pemerintah melalui ekspansi pasar memfasilitasinya dengan

melakukan intervensi melalui kebijakan pemerintah/negara.

Sejarah radikalisasi gerakan petani di Indonesia bisa dibedakan menurut

masanya. Misalnya, masa kolonial, masa Orde Lama, masa Orde Baru, dan masa

reformasi yang memiliki karakteristik yang berlainan. Radikalisasi petani pada

era kolonial terjadi karena pengambilan tanah adat secara paksa oleh pemerintah

kolonial untuk kepentingan penguasaan tanah oleh negara untuk kepentingan

aktivitas usaha perkebunan negara atau swasta transnasional (Kartodirdjo, 1984;

15

Kuntowijoyo, 1997). Bentuk radikalisasi petani seperti digambarkan oleh

Kuntowijoyo dan Sartono Kartodirdjo berupa pemberontakan dalam sekala

mikro secara struktural yang dipimpin oleh seorang tokoh yang diidealiskan

sebagai Ratu Adil atau Imam Mahdi, yaitu seorang yang mengemban misi

membebaskan rakyat dari kesengsaraan dan akan memimpin secara bijaksana.

Radikalisasi petani pada era Orde Lama lebih diakibatkan oleh intervensi

partai politik dalam mem-blow-up masalah tanah sebagai isu kepentingan partai.

Berlainan dengan masa Orde Baru, karakteristik konflik pertanahan bersifat

vertikal antara pemegang hak dengan pengusaha yang berkolaborasi dengan

penguasa (birokrasi pemerintah). Paradigma Orde Baru mengedepankan program

pembangunan pertanian secara sentralistik melalui revolusi hijau, mengutamakan

pertumbuhan ekonomi, investasi asing dan komersialisasi tanah. Radikalisasi

petani pada masa reformasi lebih dilabeli dengan program otonomi daerah

sebagai akibat dari tidak jelasnya paradigma dalam penanganan sektor pertanian,

sehingga nasib petani tetap termarginalisasi oleh pemilik modal. Namun bedanya

lebih jelas, radikalisasi petani di pedesaan lebih rasional dengan tujuan lebih

jelas, yaitu kenaikan harga gabah dan tuntutan hak-hak atas tanah (Siahaan,

1996: 17-18).

Kajian tentang kehidupan petani dan perlawanan petani terhadap

pemerintah (penguasa) dan pengusaha (kapitalis) di Indonesia masih relatif

sedikit diteliti dan ditulis, baik oleh sarjana asing maupun sarjana Indonesia.

Beberapa studi gerakan petani pedesaan yang pernah dilakukan antara lain oleh

Hotman Siahaan tentang ”Pembangkangan Terselubung Petani dalam Program

Tebu Rakyat Intensifikasi sebagai Upaya Mempertahankan Subsistensi (1996)”.

16

Endang Suhendar dan Yohanda Budi W. (1998), meneliti tentang ”Kondisi dan

Kebijakan Agraria, Pola dan Level Konflik Petani, Aktor-Aktor yang Terlibat

dan Upaya Penyelesaian Konflik Petani.” Hasil kajian ini menunjukkan, sebagian

besar kasus konflik petani berhubungan dengan sistem politik yang berkembang,

dan konflik yang terjadi sepanjang sejarah, petani berada pada posisi paling

lemah, baik secara ekonomi maupun politik. Heri Yuswadi (1999) melalui

penelitiannya tentang ”Bentuk Resistensi Masyarakat Tani Terhadap Kebijakan

Pembangunan Pertanian”, menyatakan bahwa terdapat pengingkaran di kalangan

petani terhadap kebijakan dan instruksi negara. Analisis ini dapat digunakan

untuk membongkar dinamika perlawanan petani Subak Susuan Karangasem.

James J. Scott, seorang pakar politik yang banyak melakukan studi di

kawasan Asia Tenggara memandang model gerakan perlawanan kaum petani

sebagai model perlawanan ”Gaya Asia”. Model ini merupakan gerakan petani

miskin yang lemah dengan organisasi yang anonim, bersifat nonformal melalui

koordinasi asal sama tahu, perlawanan kecil-kecil dan sembunyi-sembunyi yang

dilakukan setiap hari dengan kesabaran dan kehati-hatian, mencuri barang kecil-

kecil, memperlambat kerja, berpura-pura sakit dan bodoh, di depan bilang ‟ya‟,

tetapi di belakang mengumpat (Scott, 1993: 275; Scott, 2000: 321; Rachman,

2017: 198-200).

Gaya perlawanan petani Asia tersebut digambarkan oleh Scott

melalui”hikayat” petani miskin di Sedaka, Malaysia pada saat berhadapan

dengan proses perubahan dengan efek marginalisasi yang menimpa mereka

dengan karya monumentalnya yang berjudul Weaponss of the Weak: Everyday

Forms of Peasant Resistance (1985). Para petani miskin terancam

17

kesejahtraannya dan status sosialnya akibat penetrasi kapital ke desanya.

Kebijakan pemerintah (dalam konteks kebijakan revolusi hijau) dinilai telah

memorakporandakan tatanan sosial budaya petani miskin, sehingga mereka

melampiaskan kemarahannya dengan melakukan gerakan perlawanan terhadap

orang-orang kaya dan negara.

Meluasnya peran negara dalam proses transformasi pedesaan

mengakibatkan; pertama, perubahan hubungan antara petani lapisan kaya dan

lapisan miskin, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.

Perubahan demikian melahirkan berbagai bentuk dinamika perlawanan kaum

lemah dalam menghadapi hegemoni kaum kaya maupun negara. Kedua,

munculnya realitas kaum miskin membentuk kesadaran untuk melakukan

perlawanan dalam berbagai bentuk yang merupakan pembelotan kultural. Ketiga,

terbangunnya senjata gerakan perlawanan menghadapi kaum kaya maupun

negara. Senjata yang digunakan dengan caranya sendiri, khas kaum lemah,

seperti; menghambat, pura-pura menurut, pura-pura tidak tahu, perusakan,

berlaku tidak jujur, mencopet, masa bodoh, membuat skandal, membakar,

memfitnah, sabotase, yang mengakhiri pertentangan secara kolektif (Scott,

1985:141)

Menururt Scott, tujuan sebagian besar perlawanan petani bukanlah secara

langsung mengubah sistem dominasi yang mapan, melainkan lebih dimaksudkan

sebagai upaya untuk tetap hidup dalam sistem itu. Perlawanan yang dimaksud

oleh Scott adalah sebagai berikut.

”...tiap (semua) tindakan oleh (para) anggota kelas itu dengan maksud

untuk melunakkan atau menolak tuntutan-tuntutan (misalnya sewa, pajak,

dan penghormatan) yang dikenakan pada kelas itu oleh kelas-kelas yang

lebih atas (misalnya tuan tanah, negara, pemilik mesin, pemberi pinjaman

18

uang) atau untuk mengajukan tuntutan-tuntutan sendiri (misalnya

pekerjaan, lahan, kemurahan hati, penghargaan) terhadap kelas-kelas

atasan ini (Scott, 1993: 302)

Berdasarkan definisi Scott di atas, ada tiga hal yang perlu dijelaskan.

Pertama, tidak ada keharusan bagi perlawanan untuk mengambil bentuk aksi

bersama. Kedua, perlawanan merupakan masalah yang pelik. Ketiga, definisi ini

mengakui apa yang dapat dinamakan perlawanan simbolis atau ideologis

(misalnya; gosip, fitnah, penolakan terhadap kategori-kategori yang dipaksakan,

penarikan kembali sikap hormat) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari

perlawanan berdasarkan kelas.

Melalui buku Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia

Tenggara (1994), James C. Scott mengungkapkan bahwa kehidupan petani

ditandai oleh hubungan moral sehingga melahirkan ekonomi moral yang lebih

mengutamakan ”dahulukan selamat” dan menjauhkan garis bahaya. Moralitas

mendahulukan keselamatan inilah yang dijadikan kunci oleh pendekatan

ekonomi moral dalam menjelaskan gerakan perlawanan petani. Berdasar hasil

penelitiannya di Malaysia, Scott menunjukkan bahwa everyday forms of

resistence merupakan bentuk perlawanan terselubung bagi petani sebagai reaksi

terhadap everyday forms of repression yang dilakukan oleh para tuan tanah,

sebagai musuh bersama mereka dan perlawanan terhadap dampak revolusi hijau

yang mengancam kelangsungan hidupnya. Prinsip mendahulukan keselamatan

merupakan sumber kekuatan moral yang memungkinkan para petani menolak

perubahan dan siap melakukan perlawanan apabila mereka dihadapkan kepada

kenyataan yang tidak memberikan pilihan lain.

19

Scott menggambarkan tentang kondisi petani di Asia Tenggara, setidak-

tidaknya dalam konteks situasi tertentu, masih bisa digunakan untuk menjelaskan

dan menggambarkan kondisi petani Subak Susuan Karangasem pada masa pra

revolusi hijau berkembang. Scott menggambarkan, ada daerah-daerah yang

posisi penduduk pedesaan ibarat orang yang selamanya berdiri terendam dalam

air sampai ke leher, sehingga ombak yang kecil sekali pun dapat

menenggelamkannya.

Meskipun kajian Scott penuh dengan nilai dan nuansa lokal dan lokality

Sedaka Malaysia, marginalisasi yang dialami petani Malaysia tidak jauh berbeda

dengan marginalisasi petani Indonesia, terutama petani Subak Susuan

Karangasem. Perbedaan konteks waktu dan tempat mungkin mempengaruhi dan

mewarnai perlawanan, namun substansinya tidak jauh berbeda. Misalnya, ketika

pada dekade tahun 1970-an lebih dominan perlawanan-perlawanan model ”di

balik punggung”. Pada abad ke-21 coraknya lebih frontal dan ekspresif. Namun,

perbedaan corak perlawanan itu tetap mencuat dari akar yang sama, yaitu

marginalisasi, penghinaan kultural, dan perampasan kesejahtraan petani miskin.

Jika posisi negara masih begitu kuat dan represif, seperti ketika era

Belanda dan Orde Baru, pola dan strategi perlawanan petani Subak Susuan

Karangasem tak jauh berbeda seperti apa yang digambarkan oleh Scott. Akan

tetapi, bentuk dan strategi perlawanan model Scottian telah mulai ditinggalkan

oleh para petani di Subak Susuan Karangasem. Pilihan strategi perlawanan petani

Subak Susuan Karangasem di era Orde Baru bukan lagi perlawanan diam-diam,

dahulukan selamat, dan terselubung (sebagaimana hasil studi Hotman Siahaan,

20

1996, terhadap petani tebu di Kediri), melainkan perlawanan petani sudah

terbuka, ekspresif, eksplosif, demonstratif, massal, dan ekspansif.

Dalam situasi transisional menuju perubahan sosial, seorang pemimpin

gerakan berpeluang mendayagunakan sejumlah potensi nilai-nilai lokal untuk

memobilisasi perlawanan. Dalam proses ini, institusi, organisasi, dan asosiasi-

asosiasi lokal yang ada digunakan untuk memobilisasi gerakan perlawanan.

Namun, upaya memobilisasi struktur dalam nilai-nilai lokal masih harus

memperhatikan ada tidaknya kesempatan dan ancaman atau situasi lingkungan

yang ada. McAdam cs menyebut dengan the repertoire of contention, suatu jalan

yang secara budaya menandakan pada saat orang-orang berinteraksi dalam

pertikaian politik. Pentingnya memperhatikan faktor kekuatan dan tekanan

negara seperti ini juga dikemukakan oleh Ecsktein (1989) pada saat mengkritik

Popkin dengan teori rasionalitasnya. Demikian juga adanya kesempatan

(repression and facilities factors), sebagaimana dinyatakan oleh Tilly (1978) dan

Wolf (1969) bahwa perlawanan tidak akan pernah terjadi jika situasinya benar-

benar tidak mendukung.

Scott juga beranggapan bahwa petani menganut gaya hidup kolektif.

Sikap ini disebabkan oleh struktur kehidupan yang terjepit dan harus

menyelamatkan diri. Selain itu, para petani juga menganut azas pemerataan,

dengan pengertian membagikan secara sama rata apa yang terdapat di desa,

karena mereka percaya kepada hak moral para petani untuk dapat hidup layak.

Oleh karena itu, dikenakan sistem bagi hasil, selamatan yang dilakukan oleh

petani sebagai tanda membagi rezeki dengan komunitas desa. Sementara itu,

21

intensifikasi pertanian dan komersialisasi hasil agraria dianggap sebagai

ancaman oleh para petani.

Konsep lain yang digunakan oleh Scott dalam menjelaskan perlawanan

petani adalah konsep kepemimpinan, struktur sosial, dan relasi sosial ekonomi

yang ada dalam masyarakat prakapitalis. Stuktur sosial yang terdapat pada

masyarakat ini secara horizontal ditandai oleh homogenitas yang tinggi dan

secara vertikal ditandai oleh struktur berbentuk kerucut. Dalam struktur kerucut

ini, posisi puncak strata sosial diduduki oleh kaum elite yang berjumlah sedikit,

struktur bawah yang jumlahnya cukup banyak diduduki oleh para petani. Dalam

struktur masyarakat seperti ini faktor kepemimpinan memegang peranan penting

dalam dinamika perlawanan petani di Subak Susuan Karangasem.

Berbeda dengan Scott yang melihat perlawanan petani dari peran revolusi

hijau, Samuel L.Popkin (1979:249) dalam bukunya The Rational Peasant: The

Political Economy of Rural Society in Vietnam menjelaskan bahwa gerakan

perlawanan petani karena faktor-faktor determinan individu, bukannya

kelompok. Bagi Popkin, revolusi hijau sebagai program pembangunan negara

adalah positif bagi dinamika dan semangat individu, petani, sebagai manusia,

seperti manusia lain yang juga ingin kaya, karena itu, rasional. Semua bentuk

perlawanan petani untuk menentang kekuasaan elite desa dan petani kaya yang

mengatasnamakan komunitas tradisionalnya demi mempertahankan institusi

yang lebih menguntungkannya dan cenderung mengimpit kehidupan petani

miskin, bukan untuk menentang revolusi hijau atau menolak perubahan.

Tampaknya Olson (1971) dan Ecsktein (1989) tidak sependapat dengan

semua penjelasan rasionalitas seperti yang dikemukakan oleh Popkin di atas.

22

Sikap rasionalitas individual, kata Olson tidak selalu mendorong perlawanan

petani. Ecsktein menyatakan, teori rasionalitas Popkin melupakan kuatnya

tekanan negara dalam menggagalkan bentuk perlawanan terbuka. Ketika terjadi

aksi perlawanan yang dianggap melawan hukum, para petani bisa melakukan

berbagai tindakan untuk menentangnya secara bersama-sama yang tidak dapat

dijelaskan pada tingkat individual, tempat teori pilihan rasional bertumpu.

Bates (1981) dan Popkin (1979) dalam perspektif ekonomi-politik

menyatakan, bahwa penyebab atas terjadinya perlawanan para petani tradisional

datang dari penetrasi kapitalisme ke kawasan pedesaan yang dalam banyak kasus

melahirkan eksploitasi terhadap para petani oleh para tuan tanah, negara, dan

kaum kapitalis. Konsep ini bisa digunakan untuk menjelaskan fenomena yang

terjadi di Subak Susuam Karangasem pada masa Orde Baru hingga sekarang,

hanya gayanya yang berbeda seperti kasus bibit padi Super Toy yang digandeng

oleh partai politik tertentu.

Robert Ted Gurr (1970), dalam bukunya Why Men Rebel?, menjelaskan

penyebab terjadinya perlawanan petani dari perspektif psikologi sosial. Ia

menjelaskan gerakan sosial melalui konsep motivasi psikologis petani untuk

melibatkan diri ke dalam kekerasan politik atau bergabung ke dalam gerakan

oposisi. Ketimpangan sosial menyebabkan posisi rakyat miskin tidak mempunyai

cukup ruang untuk mengaktualisasikan diri, sehingga mereka melakukan

perlawanan. Oleh karena itu, sifat memberontak kelompok miskin bukanlah

sesuatu yang ”given” dalam kemiskinannya, melainkan lebih sebagai akibat dari

ketakberdayaannya dalam tekanan struktur sosial dan politik yang timpang.

23

Sebaliknya, kelompok strata atas karena secara struktural menguasai akses yang

memadai sehingga dengan mudah dapat mengendalikan kelompok miskin.

Pandangan Gurr bahwa kekerasan politik terjadi ketika banyak anggota

masyarakat menjadi marah, khususnya jika kondisi praktis dan budaya yang ada

merangsang terjadinya agresi terhadap sasaran-sasaran politik. Orang akan marah

apabila ada jurang pemisah antara barang berharga dengan kesempatan yang

mereka anggap sebagai haknya, yang dikenal sebagai ”deprivasi relatif”. Gurr

menawarkan model khusus untuk menjelaskan berbagai bentuk kekerasan politik

yang utama. Ia membedakan antara kekacauan, persekongkolan, dan perang

saudara sebagai bentuk utama. Kajian terhadap buku ini dapat memberikan

inspirasi yang mendalam untuk menganalisis sebab-sebab terjadinya dinamika

perlawanan petani di Subak Susuan Karangasem.

Sartono Kartodirdjo (1984) dalam penelitiannya mengenai

Pemberontakan Petani Banten tahun 1888, memberikan perspektif baru dalam

melakukan pengkajian terhadap sejarah struktural pada lapisan bawah. Buku ini

merupakan kritik terhadap pendekatan konvensional sejarah kolonial yang

mengenyampingkan peran rakyat dan petani. Gerakan sosial tidak hanya

bertujuan mentransmisikan informasi aktual mengenai pemberontakan Banten

tahun 1888, namun berupaya untuk menjelaskan proses sosial di Indonesia pada

abad ke-19. Pemberontakan ini merupakan salah satu dari serangkaian

pemberontakan yang terjadi di Banten dan sekaligus sebagai contoh timbulnya

ledakan sosial yang melanda seluruh pulau Jawa. Hampir semua pemberontakan

memiliki karakteristik sama, yaitu bersifat tradisional, lokal, tidak ada relasi satu

dengan yang lainnya dan berumur pendek. Pemberontakan petani mengandung

24

arti sebagai wujud manifestasi dari pergolakan agraris arus bawah dari

mainstream perkembangan politik Pax Neerlandica. Pemicu timbulnya

pemberontakan sebagai akibat dari akumulasi berbagai ketidakpuasan,

ketidaksenangan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan keagamaan.

Biasanya pemimpin pemberontakan berasal dari elit agama di desa (kyai).

Mengingat begitu pentingnya faktor pemimpin dalam gerakan perlawanan petani,

maka diasumsikan bahwa tidak akan terjadi perlawanan apabila tidak ada

pemimpin yang menggerakkannya (Kartodirdjo, 1974:7-8; Landberger, 1973:47-

49). Buku ini banyak memberikan konsep dan teori yang berkaitan dengan

perlawanan petani dan tampaknya dapat diaplikasikan dalam menganalisis latar

belakang (secara struktural, bukan kritis) munculnya perlawanan petani di Subak

Susuan Karangasem.

Hasil laporan penelitian I Gde Parimartha dkk. (1989), skripsi S1 I Ketut

Suastika (1991) serta hasil penelitian berupa thesis (S2) Ida Bagus Ketut Astina

(2002) merupakan studi awal mengenai gerakan protes masyarakat petani Subak

Susuan Karangasem yang muncul tahun 1976. Semua hasil penelitian ini

menyimpulkan ketidakberhasilan pemerintah dalam menerapkan program

inovasi pertanian, berupa pengenalan bibit padi unggul kepada petani Subak

Susuan Karangasem. Semua penelitian ini kajiannya terfokus pada saat peristiwa

itu terjadi. Disamping itu, kajian Ida Bagus Ketut Astina lebih mengarah pada

kajian historis, sedang dalam kajian ini disoroti dari perspektif cultural studies,

sebagai suatu usaha untuk mengadakan pembelaan kepada masyarakat petani

Subak Susuan Karangasem yang termarginalkan. Penelitian-penelitian seperti di

25

atas banyak memberikan kontribusi dalam kajian ini, khususnya mengenai data-

data yang telah dikumpulkan dalam memperkaya penelitian ini.

Teori yang diajukan bukanlah sebagai jawaban terhadap fenomena yang

diangkat melainkan sebagai perspektif. Oleh karena itu, teori yang ditawarkan

semula bisa saja berubah atau diganti dengan teori lainnya yang lebih relevan

ketika fakta atau temuan di lapangan mengisyaratkan hal itu. Dengan kata lain,

suatu teori yang direncanakan dipakai sebelumnya tidak bisa dipaksakan untuk

terus dipertahankan ketika sulit menemukan relevansinya dengan temuan-

temuan lapangan, mengingat penelitian cultural studies yang menggunakan

pendekatan kualiatif tunduk pada realitas di lapangan (bersifat emik) dan

kontemporer. Dengan demikian, kajian Ida Bagus Ketut Astina masih memiliki

benang merah dengan kajian ini, hanya saja implikasinya akan dilihat dalam

kehidupan masyarakat petani di Subak Susuan Karangasem.

Penolakan petani Subak Susuan Karangasem terhadap program inovasi

khususnya dalam bidang pertanian yang dicanangkan oleh pemerintah pusat,

menimbulkan sikap agresivitas aparat pemerintah secara kasar yang menurut

Althuser disebut sebagai represif state aparatus. Sikap pemerintah yang kurang

bersahabat, merupakan pemicu terjadinya perlawanan struktual dan kultural

petani Subak Susuan Karangasem dan menuntut keadilan kepada pemerintah.

Tampaknya usaha petani Subak Susuan Karangasem mengalami kebuntuan,

karena para pemimpin dan tokoh perlawanannya ditangkap dan diadili melalui

proses panjang (Bali Post, 18 Februari 1977, hal. 3, kol. 4-5).

26

2.2 Konsep

Konsep merupakan ide atau pengertian yang diabstraksikan dari peristiwa

konkret atau merupakan gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang

ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami realitas di

masyarakat. Konsep penting dan dibutuhkan dalam penelitian ilmiah. Beberapa

konsep yang perlu dipertegas dalam penelitian ini adalah; konsep dinamika,

perlawanan petani, Subak Susuan, dan revolusi hijau.

2.2.1 Dinamika

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, (2005:265), dinamika

mengandung arti gerak dari dalam, tenaga yang menggerakkan, semangat

(jengah). Secara operasional dinamika perlawanan petani terhadap revolusi hijau

di Subak Susuan Karangasem berarti gerak perlawanan petani yang

menimbulkan perubahan dalam tatanan sistem pertanian yang sedang mengalami

goncangan, sebagai akibat dari adanya program revolusi hijau yang diberlakukan

di Subak Susuan Karangasem.

2.2.2 Perlawanan Petani

Hery Santoso (2004), dalam bukunya Perlawanan di Simpang Jalan

memperdebatkan makna kosa kata “perlawanan” yang terdapat dalam teks yang

merupakan representasi dari sejumlah studi perlawanan yang ada. Fokus

kajiannya lebih diarahkan kepada adanya perbedaan pandangan mengenai ciri-

ciri gerakan perlawanan menurut Mullin dan Genovese (1972) dan James C.

Scott (1973). Mullin dan Genovese meyakini bahwa sebuah perlawanan harus

bersifat organik, sistemik, berprinsip, tidak mementingkan diri sendiri, dan

mencakup gagasan atau maksud-maksud yang meniadakan basis dominasi.

27

Mullin beranggapan bahwa aksi kecil-kecilan yang dilakukan oleh para budak

bukan merupakan perlawanan, melainkan pemberontakan terbatas, bahkan

pelampiasan kesenangan belaka. Menurutnya, hanya aksi-aksi yang terorganisir

dan sistemik saja yang dapat digolongkan sebagai perlawanan (Gerald W.

Mullin, 1972).

Sementara itu, menurut James C.Scott (1973) aksi kecil-kecilan atau yang

sering disebut sebagai perlawanan sehari-hari kerap menunjukkan ciri-ciri yang

bertolak belakang dengan ciri-ciri di atas, yakni tidak teratur, tidak sistematis,

individual, oportunistik, dan mengakomodasi sistem dominan. Dalam hal ini

Santoso lebih berpihak kepada pendapat Scott, karena menurutnya Scott telah

dengan gigih dan konsisten menyuarakan pentingya apresiasi terhadap gerakan-

gerakan kecil para petani. Selanjutnya, dinyatakan pula bahwa pemaknaan

perlawanan tidak bisa lepas begitu saja dari konteks sosialnya. Gerakan

perlawanan kaum tani atau perlawanan masyarakat desa misalnya, tidak akan

pernah dikenal kalau yang dimaksud dengan perlawanan adalah aksi-aksi

terorganisasi semacam demonstrasi para mahasiswa. Menurut Santoso, karya-

karya Scott sesungguhnya telah memberikan landasan yang kokoh bagi

perspektif baru perlawanan, khususnya yang dilakukan oleh kaum tani dan

orang-orang miskin lainnya.

Hal yang perlu diperhatikan bagi setiap analisis aksi kecil-kecilan adalah

pandangan Scott berkenaan dengan maksud dan konsekuensi perlawanan. Dari

berbagai fenomena perlawanan yang diamati selama ini tersirat pengertian

mendalam bahwa:

“...apa yang dimaksud sebagai perlawanan lebih ditujukan oleh maksud

daripada konsekuensi, karena siapa pun tahu, tak ada jaminan sebuah aksi

28

akan menuai keberhasilan. Maka ketika aksi kecil-kecilan yang dilakukan

oleh orang-orang miskin gagal menciptakan perubahan, tidak otomatis

kita bisa mengatakan bahwa itu bukan perlawanan. Dari sekian banyak

perlawanan terorganisir yang pernah ada, rasanya juga hanya sedikit yang

menuai keberhasilan, sebagian besar kandas di tengah jalan. Itulah

mengapa, sebaiknya kita tak lagi menyandarkan pada premis

konsekuensi, untuk menentukan apakah sebuah aksi dinamakan

perlawanan atau bukan. Dan sebagai gantinya, kita perlu lebih

memfokuskan analisis pada hal-hal yang terkait dengan maksud. Dimana

sebuah aksi diikuti dengan maksud,di sana ada sinyal kuat sebuah

perlawanan sedang dilakukan” (Santoso, 2004:310).

Basrowi dan Sukidin (2003) bertumpu pada asumsi bahwa realitas sosial

selalu menimbulkan ketidakpuasan, terutama akibat ketidakadilan tatanan yang

ada, menganggap gerakan perlawanan berasosiasi dengan berbagai tindakan yang

dilakukan untuk memberikan respons terhadap realitas sosial. Pada umumnya,

gerakan perlawanan ditentukan oleh dinamika dan konfigurasi kekuasaan atau

tarik- menarik antara kekuatan yang menghendaki perubahan dan kekuatan yang

tidak menghendaki perubahan. Sementara, Chris Barker (2005: 520)

mendefinisikan perlawanan sebagai sebuah kategori penilaian normatif tentang

suatu tindakan. Resistensi muncul dari hubungan-hubungan kekuasaan dan

subordinasi dalam bentuk tantangan dan negosiasi terhadap tatanan yang mapan,

resistensi bersifat relasional dan konjungtural.

Perlawanan petani atau dalam kajian budaya sering disebut resistensi

petani, protes atau radikalisasi petani terhadap kekuasaan negara pada umumnya

berlangsung dalam konteks interaksi antara pemerintah dengan petani. Mengenai

definisi formal istilah ‟petani‟ tampaknya sulit merumuskannya, karena masing-

masing peneliti mempunyai pengertian sendiri. Landsberger (1981:8-9)

menyatakan bahwa tak mungkinlah mendefinisikan perkataan ‟petani‟ dengan

tepat, karena batasnya memang kabur pada ujung kenyataan sosial itu sendiri.

29

Penduduk secara eksistensial terlibat dalam cocok-tanam dan membuat

keputusan yang otonom tentang proses cocok-tanam. Kategori itu mencakup

penggarapan atau penerima bagi hasil maupun pemilik-penggarap selama mereka

ini berada pada posisi pembuat keputusan yang relevan tentang pertumbuhan

tanaman mereka. Namun, itu tidak memasukkan nelayan atau buruh tani tidak

bertanah (Wolf, 1970: xiv).

Dalam catatan sejarah, setiap kebijakan pemerintah yang merugikan

petani sering menimbulkan resistensi atau gerakan aksi dengan berbagai bentuk

kekerasan, baik dalam sekala besar maupun kecil. Resistensi petani adalah setiap

aksi yang dilakukan oleh petani dengan sasaran mengurangi atau menolak

berbagai tuntutan dari penguasa terhadap yang dikuasai. Sementara itu,

Landsberger (1981:24) menjelaskan bahwa gerakan petani adalah setiap reaksi

kolektif terhadap subordinasi dan marginalisasi status petani. Wolf (1983)

mengatakan bahwa gerakan petani adalah koalisi berupa kelompok-kelompok

yang tidak stabil dan berubah-ubah mencakup kesatuan yang otonom, saling

bertentangan, dan persatuannya bersifat sementara. Perlawanan yang dilakukan

oleh petani merupakan rerspons terhadap berbagai persoalan lokal dan sebagai

reaksi yang sempit terhadap perubahan sosial. Perlawanan petani muncul dari

kelompok organisasi yang merasa tidak puas serta diperlakukan secara tidak adil

(Kartodirdjo, 1971: 38; Landsberger, 1981: 24).

Resistensi petani lahir sebagai bentuk keprihatinan terhadap

penghancuran lingkungan pedesaan yang bermuara pada kehancuran kehidupan

petani dari habitatnya. Latar belakang munculnya resistensi bertolak dari

konsepsi hegemoni Gramsci yang dielaborasikan dengan pendekatan semiotika

30

struktural. Gambaran mengenai resistensi sebagaimana disebutkan di atas, dapat

memberikan landasan pengertian terhadap konsep resistensi yang dimaksudkan

untuk membingkai arah kajian dalam penelitian ini. Resistensi adalah sikap

perlawanan yang dijiwai oleh ketidakpuasan dalam suasana ketidakberdayaan

akibat dominasi, sehingga cenderung melahirkan representasi dalam perubahan

perilaku budaya dari suatu masyarakat.

Mengacu pada beberapa batasan pengertian mengenai perlawanan yang

telah dipaparkan di atas, maka konsep perlawanan yang digunakan dalam kajian

ini dibangun dengan mensintesakan konsep-konsep perlawanan yang diajukan

oleh Scott, Basrowi, Sukidin, serta definisi yang diajukan oleh Chris Barker

dengan mereduksi beberapa bagian yang tidak relevan dengan konteks kajian ini.

Dengan demikian, perlawanan yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah

berbagai aksi yang dilakukan oleh individu maupun kelompok yang dilakukan

secara terorganisir, sistematis, teratur, ataupun tidak, sebagai ekspresi

ketidakpuasan terhadap hubungan kekuasaan dan subordinasi dalam bentuk

tantangan dan negosiasi terhadap tatanan yang mapan.

2.2.3 Revolusi Hijau

Revolusi hijau merupakan istilah yang mulai dikenal di Indonesia sejak

tahun 1960-an, yang mengacu pada program intensifikasi pertanian tanaman

pangan. Program ini telah mengantarkan beberapa teknologi baru dalam teknik

pertanian (agronomi). Sejak tahun 1960-an ditetapkan secara meluas diberbagai

negara yang sedang berkembang, khususnya di benua Amerika Latin dan di

benua Asia. Sejak awal, tujuan program di bawah nama yang berbeda bermaksud

31

untuk meningkatkan produksi tanaman pangan dan peningkatan tersebut dapat

diusahakan tanpa mengubah struktur sosial pedesaan. Dengan kata lain, golongan

petani mana yang memanfaatkan dan menikmati program tersebut tidak terlalu

dirisaukan. Pikiran dasarnya adalah produksi harus naik, soal pembagian hasil,

akan diatur oleh kekuatan atau mekanisme pasar.

”Revolusi” adalah istilah yang mengacu kepada perubahan yang dalam

waktu relatif singkat menyangkut ledakan inovasi yang secara meluas diadopsi

yang menyangkut bukan saja peningkatan secara kuantitas produksi pertanian,

tetapi juga kualitatif sistem produksi, hubungan produksi, dan perdagangan.

Tanpa hal itu, peningkatan produksi tidak dapat dipertahankan. Artinya

”Revolusi Pertanian” cenderung membawa seperangkat hubungan baru antara

masyarakat dengan alam, antara unsur-unsur dalam masyarakat pedesaan, dan

antara masyarakat pedesaan dengan jaringan yang lebih luas, yaitu; bangsa,

negara, bahkan peradaban (Wiradi, 1989:3-4; Tjondronegoro, 1989:1-2).

Secara konseptual bahwa revolusi hijau adalah suatu gerakan peningkatan

pengadaan pangan yang mampu mentransformasikan struktur sosial-ekonomi

daerah pertanian melalui pemanfaatan revolusi biologi berupa bibit padi varietas

unggul, pemanfaatan revolusi kimiawi berupa macam-macam pupuk buatan serta

obat-obatan anti hama (Wahono, 1994:3-4).

2.2.4 Subak Susuan Karangasem

Subak adalah sebuah organisasi atau lembaga sosial yang berfungsi

mengatur sistem pengairan di Bali yang merupakan salah satu keunggulan local

genius dan identitas budaya yang dapat ditampilkan sebagai kajian budaya.

32

Sistem subak telah menunjukkan keunggulan dengan konsep budaya pertanian

berdimensi tri hita karana, yakni; keselarasan, keharmonisan hubungan antara

manusia (pawongan), alam (palemahan), dan pencipta (parhyangan).

Geertz (2000) menyebutkan bahwa subak adalah sebuah unit produksi

bersifat otonom dalam mengatur rumah tangganya sendiri, khususnya yang

berkaitan dengan pengaturan saluran air irigasi dari bendungan yang menjadi

milik beberapa subak. Subak adalah lembaga sosial yang merupakan satu

kesatuan pemilik atas penggarapan sawah yang memperoleh bagian air irigasi

dari bendungan tertentu dengan aktivitas kerja dibidang pertanian (Rivai,

1980:55).

Sutawan mendifinisikan subak sebagai organisasi petani lahan basah

untuk memperoleh air irigasi dari suatu sumber bersama, memiliki satu atau

lebih tempat pemujaan (pura Bedugul sebagai tempat memuja Dewi Sri yang

merupakan manifestasi dari dewi kesuburan) serta memiliki kebebasan dalam

mengatur rumah tangganya sendiri maupun dalam berhubungan dengan pihak

luar. Jadi, secara fisik subak merupakan hamparan persawahan dengan fasilitas

irigasinya dan secara sosial subak merupakan organisasi petani yang bersifat

otonom (Pitana, 1997:2).

Sejalan dengan akselerasi teknologi dan perkembangan ilmu

pengetahuan, dampaknya inheren memasuki sebagian besar kehidupan manusia,

baik dalam domain ekonomi, politik, sosial maupun budaya termasuk pertanian.

Sifat otonomi subak tidak sepenuhnya dapat dipertahankan lagi, karena

intervensi pemerintah telah masuk dalam organisasi subak. Pada era Orde Baru

dengan kebijakan politik pertanian guna menghasilkan swasembada beras telah

33

mendorong intervensi pemerintah ke dalam berbagai sistem irigasi termasuk

aktivitas pola tanam petani dari bibit sampai purna jual hasil panen (Windia,

1977:115). Jadi, yang dimaksud Subak Susuan dalam kajian ini adalah organisasi

sosial religius petani baik pemilik atau penggarap sawah yang berada di

lingkungan Subak Susuan Karangasem.

2.3 Landasan Teori

Teori pada dasarnya merupakan azas, konsep dasar atau pernyataan yang

telah menjadi hukum umum yang dapat digunakan untuk membedah suatu

fenomena dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena kehidupan masyarakat pada

saat ini semakin kompleks, maka penggunaan monodisiplin sebagai alat analisis

kurang memadai, karena itu pendekatan multidimensional dan interdisipliner

sangat dibutuhkan (Kartodirdjo, 1992:124; Barker, 2005:6). Berdasarkan

identifikasi dan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang diajukan, maka beberapa

teori yang dipakai untuk membedah beberapa permasalahan dalam penelitian ini

adalah: teori hegemoni, teori diskursus kuasa/ pengetahuan, dan teori tindakan

komunikatif.

2.3.1 Teori Hegemoni

Teori hegemoni Gramsci merupakan salah satu teori politik yang penting

pada abad XX. Teori ini dibangun di atas premis betapa pentingnya ide dan tidak

mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial-politik. Kajian ini

mengacu pada pemahaman Gramsci mengenai hegemoni sebagai sarana kultural

maupun ideologis, dengan kelompok-kelompok yang dominan dalam masyarakat

34

dan melestarikan dominasinya melalui konsensus terhadap kelompok-kelompok

subordinat. Dengan demikian, budaya yang ada pada suatu masyarakat dapat

diinterpretasi sebagai hasil atau perwujudan hegemoni, perwujudan dari

penerimaan konsesual oleh kelompok-kelompok gagasan subordinat, nilai-nilai

dan kepemimpinan kelompok-kelompok dominan.

Gramsci tidak mempertentangkan hegemoni dengan paksaan dan

kekuatan. Teori Gramsci mengemukakan bahwa kelompok-kelompok subordinat

menerima gagasan, nilai-nilai, maupun kepemimpinan kelompok dominan bukan

karena paksaan secara fisik atau mental. Mereka dibujuk untuk melakukannya,

juga bukan karena diindoktrinasi secara ideologis, tetapi karena mereka punya

alasan. Menurut Gramsci, hegemoni diamankan karena konsesi dibuat oleh

kelompok dominan terhadap subordinat. Kebudayaan yang dibangun dengan

hegemoni ini mengekspresikan kepentingan kelompok-kelompok subordinat.

Teori hegemoni Gramsci mensyaratkan penggunaan kekuatan koersif hanyalah

sebagai pilihan terakhir ketika kesadaran sepontan menemui kegagalan (Gramsci,

1971:12). Kecenderungan kelompok yang berkuasa menggunakan kekuatan

koersif justru menunjukkan kelemahan ideologi yang diberlakukan. Hubungan

hegemonik ditegakkan ketika kelompok yang berkuasa berhasil mendapatkan

persetujuan kelompok subordinat atas subordinasi mereka. Dengan kata lain

kelompok-kelompok subordinat menerima ide-ide dan kepentingan politik

kelompok berkuasa seperti layaknya milik mereka sendiri. Dengan demikian,

legitimasi kekuasaan kelompok berkuasa tidak ditentang karena ideologi, kultur,

nilai-nilai, norma dan politiknya sudah diinternalisasi sebagai kepunyaan mereka

sendiri oleh kelompok-kelompok subordinat. Ketika konsensus telah tercapai,

35

ideologi, kultur, dan nilai-nilai, norma politik akan semakin terlihat wajar dan

ligitimit. Ini berarti penggunaan kekuasaan koersif oleh negara menjadi tidak

penting lagi. Stephen Gill dan David Law menyatakan sebagai berikut.

Penggunaan kekuasaan koersif menjadi kurang penting ketika konsensus

dibangun pada basis nilai-nilai, ide-ide dan kepentingan material yang

sama-sama dianut kelas berkuasa maupun kelas subordinat. Yang penting

dalam proses ini adalah ide-ide dan institusi semacam itu dipandang

sebagai hal yang wajar dan ligitimit, keduanya tertanam kokoh dalam

kerangka pikir masyarakat yang signifikan secara politis dan ekonomi

(Gill dan Law,1989:480).

Menurut Gramsci, untuk mengukuhkan hegemoni diperlukan kaum

intelektual yang disebutnya “intelektual organik”, yaitu para intelektual yang

secara terus menerus menyokong, mengembangkan, dan menyebarluaskan

ideologi hegemoni penguasa (Gramsci, 1971:12). Namun demikian, meskipun

hegemoni mengimplikasikan tingkat konsensus yang tinggi, namun hal tersebut

bukanlah berarti masyarakat tidak sedang berada pada situasi tanpa konflik.

Hegemoni adalah membatasi konflik dan menyalurkannya pada saluran yang

secara ideologis aman (Storey, 2004:173).

Teori hegemoni yang diajukan oleh Gramsci di atas digunakan sebagai

landasan dalam menjelaskan bentuk hegemoni revolusi hijau sebagai sebuah

ideologi pembangunan dalam bidang pertanian yang telah lama menghegemoni

kehidupan masyarakat petani di Subak Susuan Karangasem. Dalam konteks ini,

ideologi revolusi hijau pada dasarnya merupakan ekspresi dari gagasan, nilai-

nilai dari pemerintah yang berkolaborasi dengan pengusaha untuk mewujudkan

program revolusi hijau pada masyarakat petani di Subak Susuan Karangasem.

Kaplan dan Manners (2002:154) menggunakan istilah “ideologi” untuk mengacu

kepada kawasan ideasional dalam suatu budaya yang meliputi nilai, norma,

36

falsafah, kepercayaan religius, sentimen, kaidah etis, pengetahuan tentang dunia,

etos, dan lainnya.

Kesesuaian penggunaan teori ini telah terbukti ketika kekuasaan

pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru (1966-1998) terlalu hegemonik dan

dominatif. Teori hegemoni ini cocok digunakan untuk mengkaji dan membedah

permasalahan yang menyangkut kekuasaan, khususnya kekuasaan pemerintah

Indonesia ketika melaksanakan program revolusi hijau pada masyarakat petani.

Bocock (1986:33) menyatakan bahwa hegemoni terkait dengan tiga bidang,

yaitu; ekonomi (economic), negara (state), dan masyarakat (civil society).

Hegemoni menyangkut sarana kultural dan ideologis yang di dalamnya

penguasa atau pihak-pihak yang dominan menjalankan dan melestarikan

kekuasaannya dalam masyarakat melalui konsensus (kesepakatan) terhadap

kelompok-kelompok yang dikuasai atau pihak-pihak yang didominasi. Melalui

pemahaman seperti ini, kebudayaan dan masyarakat merupakan perwujudan

upaya-upaya hegemoni yang justru diterima secara konsensual oleh mereka yang

terhegemoni. Gramsci (1971:57) menggunakan istilah hegemoni untuk mengacu

kepada cara kelompok dominan dalam suatu masyarakat mendapatkan dukungan

dari kelompok-kelompok subordinasi melalui proses kepemimpinan, intelektual,

dan moral. Terkait dengan hal ini, Simon (1999: 9) menyatakan bahwa hegemoni

bukan hubungan dominasi dengan memakai kekuasaan, tetapi hubungan

persetujuan dengan memakai kepemimpinan politik dan ideologi. Hegemoni

adalah organisasi konsensus yang telah diakui melalui kesepakatan bersama.

Hegemoni merupakan kekuasaan yang didasarkan atas konsensus atau

persetujuan yang memengaruhi struktur kognitif dan afektif yang dikuasai.

37

Semakin canggih hegemoni, semakin tidak kelihatan kekuasaan yang dijalankan.

Hal ini karena yang dikuasai sudah masuk dalam pola berpikir, berkata, dan

bertindak seiring dengan yang menguasai. Pihak-pihak yang dihegemoni

menerima gagasan-gagasan, nilai-nilai, dan kepemimpinan kelompok

penghegemoni tidak karena dipaksa secara fisik ataupun karena dibujuk untuk

melakukannya, tetapi mereka sendiri memiliki alasan tersendiri untuk

menerimanya. Dalam hegemoni, konsensus dibuat oleh para penghegemoni,

tetapi konsensus dibuat berdasarkan kepentingan-kepentingan yang terhegemoni.

Dengan demikian, hegemoni tampaknya mengekpresikan apa yang menjadi

keinginan yang terhegemoni.

Hubungan antara masyarakat dengan negara selalu berjalan secara

integral. Untuk menjamin kondisi ini, negara mengeluarkan kebijakan

(peraturan) dan masyarakat melaksanakannya. Agar kebijakan itu dilaksanakan

oleh masyarakat, negara menggunakan dua strategi, yaitu dengan jalan dominasi

atau koersif, dan melalui kepemimpinan moral dan intelektual. Cara pendekatan

yang kedua ini oleh Gramsci disebut dengan teori hegemoni (Wibowo,2000:9).

Agar yang dikuasai taat pada penguasa, maka yang dikuasai harus mampu

menginternalisasi nilai-nilai dan norma penguasa di samping harus memberikan

persetujuan atas subordinasi mereka. Kelompok yang menghegemoni

memperjuangkan legitimasi kekuasaannya dari massa, sedangkan massa rakyat

dapat menerima prinsip norma dan ide sebagai miliknya. Hegemoni suatu

kelompok terhadap kelompok lain tidak didasarkan atas unsur paksaan, akan

tetapi melalui konsensus (Gramsci, 2001:213; Sugiono, 1993:32). Gramsci juga

mengatakan bahwa secara substansial hegemoni bukanlah hubungan dominasi

38

dengan memakai kekuasaan, tetapi terjadi relasi kesepahaman negara dan

masyarakat dengan memakai politik dan ideologi. Dalam teori hegemoni

Gramsci tidak ada dominasi satu kelompok terhadap kelompok lain, tetapi lebih

ditentukan oleh adanya relasi kesepahaman antara kelompok yang

menghegemoni dengan yang terhegemoni.

Tampaknya, teori hegemoni Gramsci tepat dipakai untuk menganalisis

bentuk hegemoni negara dalam pelaksanaan program revolusi hijau yang

dilaksanakan di Subak Susuan Karangasem. Menurut Gramsci bahwa hegemoni

kultural bukan hanya terjadi dalam relasi antar negara, namun bisa terjadi dalam

hubungan antar berbagai kelas sosial yang ada dalam satu negara. Hal ini

membuktikan bahwa hegemoni bisa terjadi di dalam satu negara, dalam hal ini

kelompok yang mewakili terhadap kelompok masyarakat lainnya. Pola interaksi

semacam ini merupakan bentuk hegemoni negara yang terlaksana dalam relasi

antara pelaksana petugas lapangan penyuluhan pertanian dengan anggota Subak

Susuan Karangasem.

Untuk menganalisis faktor-faktor yang mendorong terjadinya hegemoni

negara serta alasan-alasan penolakan terhadap pelaksanaan program revolusi

hijau, juga digunakan teorinya Gramsci ini, sebab ideologi sangat penting dalam

memengaruhi, mengarahkan dan membentuk pola pikir masyarakat.

Pelaksanaan teori hegemoni di negara berkembang, khususnya di

Indonesia pada masa Orde Baru bertitik tolak dari ideologi pembangunan

(developmentalism). Pembangunan merupakan pertumbuhan ekonomi yang

wajib memperoleh dukungan melalui pendirian industri yang bermodal

kapitalisme internasional dengan difasilitasi dan dijamin penuh oleh kekuatan

39

negara. Akselerasi pembangunan yang bernuansa meningkatkan pembangunan

tidak boleh memperoleh gangguan atas resistensi masyarakat. Oleh karena itu,

diperlukan kekuasaan yang mampu melayani dan menyediakan kekuatan represif

ke seluruh wilayah Indonesia.

Kebijakan pembangunan pertanian selama Orde Baru menggunakan dua

strategi, yaitu: (1) strategi birokrasi lembaga-lembaga sosial desa dan; (2)

melalui strategi kapitalisasi sistem ekonomi produksi pertanian. Hubungan

negara dan petani secara khusus ditekankan pada pengendalian yang kuat dari

pemerintah terhadap petani untuk meningkatkan produksi pertanian, sekaligus

memutus relasi petani dengan organisasi-organisasi politik di tingkat supradesa.

Pemerintah berusaha mengontrol perilaku petani agar meningkatkan produksi

beras secara masif tanpa dipengaruhi oleh kekuatan sosial politik yang

berpengaruh terhadap resistensi dan menentang kekuasaan negara (Trijono,

1994:78).

Perpsektif teori ini digunakan untuk membahas persoalan kedua, maka

fungsi resistensi petani sebagai counter hegemony terhadap bentuk intervensi dan

dominasi pemerintah, khususnya pemerintah Kabupaten Karangasem yang

merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat. Pemerintah dengan kebijakan

pembangunan telah banyak menggusur, memarjinalkan, dan memasung budaya

tradisional, sehingga sering muncul konflik politik dan kultural.

2.3.2 Teori Diskursus Kuasa/Pengetahuan

Teori diskursus yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada relasi

antara kekuasaan dan pengetahuan pemikiran Michael Foucault (1926-1984).

Teori diskursus sebenarnya bukan hanya dikembangkan oleh Foucault, tetapi ada

40

sejumlah pemikir relasi kuasa, mulai dari Althusser, Hindess Hirst hingga

Michael Foucault seperti yang pernah diketengahkan dalam buku Macdonell,

Theories of Discourses: An Introduction (1986). Francois Bacon pun,

sebagaimana yang dikutip oleh Foucault dalam bukunya Power/ Knowledge

(2002), menyatakan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan (science is a power).

Menurut Edward W. Said (dalam Storey, 2003:135) menunjukkan

diskursus Barat tentang Timur disebut orientalisme, bisa dijadikan contoh suatu

konstruksi pengetahuan tentang Timur yang diciptakan oleh Barat dan suatu

bentuk hubungan antara kekuasaan-pengetahuan yang diartikulasikan untuk

kepentingan kekuasaan Barat. Edward Said bahkan mengutip pernyataan

Foucault bahwa kebenaran suatu diskursus bergantung dari apa yang dikatakan,

terutama siapa yang mengatakan, kapan dan dimana menyatakannya atau dengan

kata lain suatu kebenaran tergantung pada konteks.

Teori diskursus kuasa/pengetahuan digolongkan ke dalam teori

postsrukturalisme. Teori ini merupakan salah satu poin penting dalam kajian

budaya. Poststukturalisme secara sederhana melawan strukturalisme yang telah

lama mempengaruhi pengetahuan sebelum munculnya teori-teori

poststukturalisme. Foucault (2002:13) menggolongkan teori diskursus ke dalam

teori poststrukturalisme yang merupakan teori penting dalam kajian budaya.

Postrukturalisme adalah gerakan filsafat yang merupakan reaksi terhadap

strukturalisme yang membongkar setiap klaim terhadap oposisi pasangan,

hirarki, validitas kebenaran universal dan menjunjung tinggi permainan bebas

serta ketidakstabilan makna dan kategorisasi intelektual.

41

Wacana dalam linguistik merupakan bentuk ujaran verbal yang biasanya

lebih luas dari kalimat. Wacana dalam kajian ini sebagai diskursus dan jauh lebih

luas dari sekadar teks, bahkan diskursus tidak harus bersifat tekstual. Analisis

terhadap wacana bukan sekadar teori linguistik, tetapi sebagai teori sosial, yaitu

teori tentang produksi kenyataan yang tidak terpisahkan dari yang lazim

dipandang sebagai kenyataan sosial. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan

Foucault (2002:9), bahwa discourse tidak lain merupakan cara menghasilkan

pengetahuan, beserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk subyektivitas

yang terbentuk darinya, relasi kuasa yang ada di balik pengetahuan dan praktek

sosial tersebut, serta saling keterkaitan di antara semua komponen tersebut.

Penggunaan praktik bahasa secara umum lebih dilihat sebagai hal yang

bersifat ”dialogis” yang rawan konflik, ketika suatu mode penggunaan bahasa

berhadapan dengan penggunaan bahasa yang lain maupun teks dan praktik

budaya yang lain. Sehubungan dengan ini, wacana tidak dapat dipisahkan dari

kekuasaan. Wacana adalah suatu situasi untuk memperoleh kekuasaan dan

kekuasaannya akan melalui proses definisi dan eksklusi. Maksudnya, wacana

atau formasi diskursif tertenttu memiliki otoritas untuk mendefinisikan apa yang

boleh dan tidak boleh dilakukan orang sebagai suatu topik. Suatu formasi

diskursif terdiri atas sekelompok aturan tidak tertulis yang berusaha mengatur

dan membatasi apa yang dapat atau tidak dapat ditulis, dipikirkan, dan dilakukan

pada suatu bidang pembahasan tertentu (Storey, 2003: 132-133).

Relasi kuasa dengan pengetahuan menurut Foucault (1977:27-28), adalah

sebagai berikut.

Kekuasaan menciptakan pengetahuan..... kekuasaan dan pengetahuan

saling menghasilkan.... Tidak ada kekuasaan tanpa hubungan dengan

42

pengetahuan tertentu.. Tidak ada pengetahuan yang tidak memuat

hubungan kekuasaan. Hubungan kekuasaan-pengetahuan ini harus

diteliti..... bukan berdasarkan seorang peneliti yang bebas atau tidak dari

kekuasaan. Sebaliknya, subyek yang mengetahui, obyek yang diketahui,

dan bahan-bahan pengetahuan harus dipandang sebagai dampak implikasi

dari hubungan kekuasaan-pengetahuan dan perubahan-perubahannya

dalam sejarah. Singkatnya, bukanlah tindakan subyek yang menghasilkan

pengetahuan, tetapi kekuasaan-pengetahuan, proses pergulatan yang

mewarnai dan menciptakannya, serta menentukan bentuk dan bidang

pengetahuan yang mungkin.

Menurut Storey (2003:132), analisis genealogi berkaitan dengan

hubungan antara kekuasaan (power) dan pengetahuan (knowledge) dan

bagaimana hubungan tersebut beroperasi dalam formasi-formasi diskursif, yaitu

kerangka konseptual yang mengajukan sejumlah cara (model) berpikir dan

menolak cara-cara berpikir lainnya.

Strategi kuasa berlangsung di mana-mana, seperti halnya kebenaran

memiliki efek kuasa. Eriyanton (2001:67) menyatakan bahwa setiap kekuasaan

selalu berpretensi menghasilkan rezim kebenaran tertentu yang disebarkan

melalui wacana yang berbentuk kekuasaan. Foucault (dalam Fakih, 1997:169)

menyatakan bahwa wacana adalah kerangka kerja yang ditentukan oleh penguasa

yang ditetapkan melalui hubungan kekuasaan yang mendasarinya. Dengan

demikian, setiap wacana tentang kebudayaan tidak terlepas dari ”kepentingan”

dan ”kekuasaan”. Dalam masyarakat dapat dijumpai berbagai wacana tentang

kebudayaan masyarakat yang bersangkutan yang saling bertentangan. Namun,

dukungan kekuasaan, wacana tertentu akan menjadi wacana dominan karena

kebenaran merupakan konstruksi dari kekuasaan.

Michael Foucault sebagai seorang postsrukturalis, sosiolog, sejarawan

dan tokoh cultural studies dari Prancis, teori diskursusnya tersebar dan dapat

ditemui di beberapa bukunya, seperti; The Archaelogy of Knowledge (1972),

43

Discipline and Punish: The Birth of the Prison (1977), Seks dan Kekuasaan

(1977a), dan terutama Power/ Knowledge (1980). Mengingat Foucault adalah

seorang filsuf postsrukturalis pada awalnya membingungkan banyak kalangan.

Pandangan tentang teori relasi kuasanya jauh lebih banyak ditemukan dan lebih

mudah dipahami di buku-buku yang dituliskan oleh orang lain, khususnya ahli-

ahli yang mengkaji pemikirannya.

Karya-karya Foucault dapat ditelusuri dari kekagumannya dengan

pemikiran-pemikiran Friedrich Nietszche. Bagi Nietszche, pengetahuan bukanlah

sekumpulan informasi teoretis tentang dunia, melainkan suatu instrumen yang

didesain dan dibatasi oleh kepuasan terhadap kebutuhan-kebutuhan manusia.

Analisis genealogi Foucault, yang diadopsi dari Nietzche, membahas hubungan

antara kekuasaan dengan pengetahuan yang terjalin dalam formasi diskursif,

yaitu sebuah kerangka kerja konseptual yang memungkinkan diterimanya

beberapa model pemikiran dan ditolaknya model pemikiran lainnya. Apabila

strukturalis memfokuskan kajiannya pada sistem Bahasa --sistem lain yang

analog dengan bahasa-- dalam menentukan hakikat linguistik dan ekspresi

budaya. Postsrukturalis Foucault lebih tertarik pada bagaimana bahasa digunakan

dan bagaimana penggunaan bahasa diartikulasikan dalam suatu praktik budaya

dan praktik sosial. Penggunaan bahasa dan praktik bahasa secara umum lebih

dilihat sebagai hal yang bersifat dialogis yang rawan konflik ketika suatu model

penggunaan bahasa berhadapan dengan penggunaan bahasa lain atau pun teks

dan praktik budaya lainnya (Surbhakti, 2008:69).

Teori relasi kuasa pengetahuan dalam penelitian ini agar tidak tidak

menimbulkan salahpengertian, diskursus dibedakan dengan wacana. Dalam

44

linguistik wacana secara umum adalah ujaran-ujaran verbal yang besarnya lebih

luas dari kalimat. Ungkapan bahasa Indonesia “sekadar wacana” misalnya berarti

sekadar pernyataan (baik kata-kata lisan maupun tulisan), yang tidak bisa

disamakan dengan diskursus karena diskursus mengandung praksis sedangkan

wacana tidak. Dengan kata lain, diskursus mengandung wacana, sehingga

wacana hanya sebagian kecil dari diskursus karena diskursus mencakup

pernyataan, praksis, dan berbagai hal lainnya. Berhubungan dengan pembedaan

tersebut, mengacu pada James Paul Gee dalam Hamad (2004:34-35), “discourse”

(d-kecil) berbeda dengan “Discouese” (D- besar).

Yang pertama („discourse‟) menjadi perhatian para ahli bahasa (linguis

atau sosiolinguis) yang melihat bagaimana bahasa digunakan pada

tempatnya („on site‟) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan

identitas. Maksudnya, penggunaan bahasa dilakukan atas dasar-dasar

linguistik. Sedangkan yang kedua („Discourse‟) merangkaikan unsur

linguistik tadi („discourse‟ dengan d- kecil) bersama-sama unsur non-

linguistik (non-language „stuff) untuk memerankan kegiatan, pandangan,

dan identitas. Non-language „stuff‟ tadi adalah cara beraksi, interaksi,

perasaan, kepercayaan, penilaian, untuk mengenali atau mengakui diri

sendiri dan orang lain yang bermakna dan penuh arti dengan cara-cara

tertentu. Jadi, Discourse (D- besar) melihat pemakaian bahasa dalam

sebuah sistem sosial (sosio-linguistik).

Dari pernyataan Gee tersebut, yang dimaksud “discourse” (d- kecil) sama

dengan “wacana”, sedangkan “Discourse” (D- besar) sama dengan “diskursus”

dalam penelitian ini. Akibatnya, wacana hanya terkait dengan gejala kebahasaan,

sedangkan diskursus menyangkut hubungan antara gejala Bahasa dengan

persoalan-persoalan di luar bahasa. Di samping lebih luas dari wacana, diskursus

(discourse) juga lebih luas dari teks (text), sehingga diskursus tidak harus bersifat

tekstual.

Catherine Belsey dalam Piliang (1988:243) mengatakan discourse

sebagai satu domain dari penggunaan bahasa, yakni satu cara tertentu dalam

45

berbicara (menulis dan berpikir). Foucault yang membawa istilah discourse

sebagai satu kata kunci dalam filsafat postsrukturalisme, melihat ketidakpastian

antara discourse dan pembentukan subjektivitas serta beroperasinya berbagai

bentuk kekuasaan di dalamnya. Bagi Foucault, kekuasaan dan pengetahuan (dan

cara tertentu penggunaan bahasa) saling terjalin satu dengan yang lainnya.

Penggunaan ruang sebagai satu fenomena bahasa dalam satu discourse, tidak

terlepas dari bentuk-bentuk kekuasaan yang beroperasi di baliknya (Surbhakti,

2008:72).

Keberadaan subjektivitas berbeda dengan diskursus, teks merupakan

penurunan secara verbal yang lepas dari posisi penuturnya (Alam, 199:7-8).

Begitu sebuah teks diluncurkan, tidak memiliki hubungan apa pun dengan

pembuatnya. Pembuat teks melepaskan teks begitu saja dari dirinya. Hal ini

berarti, dalam pembicaraan diskursus, antara penutur dan diskursus dari posisi

penuturnya adalah karena pembuatnya memiliki kepentingan tertentu atas

diskursusnya. Menurut Foucault (1980) diskursus adalah suatu bentuk penuturan

verbal yang berkaitan dengan kepentingan penuturnya, sehingga dapat berbentuk

suatu akumulasi konsep ideologis yang didukung oleh tradisi, kekuasaan,

lembaga, dan berbagai modus penyebaran pengetahuan.

Pada prinsipnya, diskursus tidak bisa lepas dari bahasa. Menurut Escobar

(1999:60) seorang postsrukturalisme yang fokus mengkaji peran bahasa dalam

mengkonstruksi kenyataan sosial. Menyatakan bahwa bahasa bukan cermin

melainkan unsur konstituitif kenyataan. Itulah sebabnya menurut Escobar bahwa

diskursus (dipergunakan dalam penelitian ini) dapat diartikan sebagai artikulasi

pengetahuan dan kuasa, dan kenampakan yang terekpresikan.

46

Diskursus memiliki unsur-unsur tertentu yang terlibat di dalamnya,

seperti; pernyataan, aturan, subjek, proses, praktik, dan gagasan. Menurut Barker

(2005:106), diskursus menyediakan cara-cara membincangkan suatu topik

tertentu secara sama, dengan motif atau bongkahan-bongkahan ide, praktik-

praktik, dan bentuk-bentuk pengetahuan yang diulang-ulang di beberapa ranah

aktivitas. Sebagai contoh, mengacu kepada studi Foucault dalam The Birth of the

Clinic (1973) diskursus tentang kegilaan mencakup pernyataan-pernyataan

tentang kegilaan yang memberi pengetahuan mengenai: (a) aturan-aturan yang

membentuk apa yang dapat diucapkan atau dipikirkan tentang kegilaan; (b)

subjek-subjek yang merupakan personalitas kegilaan alias si ”orang gila”; (c)

proses bagaimana diskursus tentang kegilaan memperoleh kewenangan atau

status kebenaran pada suatu kurun sejarah tertentu; (d) praktik-praktik dalam

suatu institusi menangani kegilaan; dan (e) gagasan bahwa diskursus yang

berbeda tentang kegilaan akan muncul pada kurun sejarah yang akan datang,

sehingga akan memunculkan pengetahuan diskursus baru (Surbhakti, 2008:74).

Syarat utama suatu diskursus adalah dialog dan percakapan serta

penulisan yang bersifat sosial. Artinya, bahwa pernyataan yang dibuat serta kata

dan makna kata yang digunakan tergantung dari tempat dan kegunaan (di daerah

mana dan apa pernyataan tersebut dibuat). Diskursus berbeda dengan pranata-

pranata dan praktik-praktik sosial semacam itu dalam menentukan situasi posisi

mereka yang berbicara dan pada siapa pembicaraan itu disampaikan, diskursus

tidak bersifat homogen (Mc Donnell, 2005: xvii-xviii).

Teori politik kontemporer sebagaian besar dipengaruhi oleh karya

Foucault yang membuat konsep negara sebagai sebuah potongan kekuasaan

47

dalam bagian-bagian masyarakat. Kekuasaan, sebagaimana ditunjukkannya

bukan merupakan fenomena top down, tetapi meresap dalam masyarakat secara

keseluruhan, sehingga kekuasaan ada dimana-mana di dalam masyarakat.

Foucault berargumen bahwa kekuasaan negara sama sekali tidak komplit,

sedangkan penduduk dalam fungsi kehidupan sehari-hari sesuai dengan strukur

kekuasaan lokal dan peraturan-peraturan mikro sosial, dengan berbagai instansi

melawan peraturan dan batasan sikap yang dominan dalam masyarakat tersebut.

Hal ini menghadirkan konsep primer dalam pertanyaan politik yang digunakan

dalam wilayah masyarakat sipil (Chandoke, 2001: 25-26).

Foucault mengatakan bahwa diskursus adalah kerangka kerja yang

ditentukan oleh yang berkuasa dan ditetapkan melalui hubungan-hubungan

kekuasaan yang mendasarinya (Fakih, 1977:169). Setiap diskursus tentang

kebudayaan tidak terlepas dari kepentingan dan kekuasaan. Dalam suatu

masyarakat dapat dijumpai berbagai diskursus tentang kebudayaan masyarakat

bersangkutan yang saling bertentangan. Namun, dengan dukungan kekuasaan,

diskursus tertentu akan menjadi diskursus dominan. Terkait dengan penelitian

ini, maka teori diskursus kuasa/pengetahuan relevan digunakan untuk membedah

hubungan penguasa dan pengusaha yang dapat memarjinalkan para petani di

Subak Susuan Krangasem. Hal ini disebabkan oleh relasi kuasa dan pengetahuan

sangat dominan berpengaruh pada masyarakat petani, khususnya ketika

melaksanakan program revolusi hijau, Oleh karena kekuasaan menyebar, maka

reaksi masyarakat Subak Susuan Karangasem merupakan formulasi kuasa lokal

dalam melakukan aksi penentangan, sehingga dapat dipahami kuasa, bentuk, dan

ideologi perlawanan petani di Subak Susuan Karangasem.

48

2.3.3 Teori Tindakan Komunikatif

Perspektif teori tindakan komunikatif digunakan untuk memperoleh

pemahaman dalam menganalisis permasalahan ketiga. Teori tindakan

komunikatif untuk menelaah implikasi kultural dari „dalam‟, analisisnya bersifat

idiografik. Teori tindakan komunikatif (teori kritis) ini mengambil sikap kritis

baik terhadap analisis yang menggunakan ilmu-ilmu sosial struktural fungsional

maupun teori konflik dalam menganalisis kenyataan sosial yang dilukiskannya.

Teori tindakan komunikatif bersifat kritis terhadap masyarakat maju sejauh orang

tidak sepenuhnya memanfaatkan kemampuan belajar tentang kajian budaya yang

tersedia, melainkan membenamkan diri ke dalam pertumbuhan kompleksitas

yang tidak terkendali. Teori ini juga kritis terhadap pendekatan ilmiah yang tidak

mampu menjelaskan paradoks-paradoks rasionalisasi kemasyarakatan karena

pendekatan-pendekatan itu membuat sistem-sistem sosial yang kompleks sebagai

objek mereka hanya dari salah satu sudut pandang teori, tanpa memperhitungkan

asal-usul historis bidang objek yang dikaji (Hardiman, 1993: xiv-xv).

Hebermas melalui analisis kritis memperlihatkan bahwa modernisasi,

sejauh didominasi oleh sistem kapitalisme, mengandung cacat yang mendasar.

Dengan mengutamakan segi-segi teknis dan instrumental dari pengetahuan dan

tindakan birokratis, modernitas kapitalis mengikis segi-segi hakiki kehidupan

sosial yang pada dasarnya bersifat komunikatif. Habermas tidak hanya

mengkritik paham kebebasan nilai ilmu, teknokratisme, dan depolitisasi massa,

tetapi juga mendiagnosis adanya krisis legitimasi dalam masyarakat, membuka

diskusi dengan pemikiran postmodern. Modernitas dalam perpektif Hebermas

49

adalah proyek yang belum selesai dan cacatnya harus diatasi dengan pencerahan

lebih lanjut melalui ”rasio tindakan komunikatif”.

Habermas memusatkan perhatian pada pengembangan piranti teori

komunikasi dengan mengintegrasikan linguistic-analysis dalam teori kritisnya.

Teori kritis Habermas kemudian diperkenalkan dengan nama The Theory of

Communicative Action. Teori tindakan komunikatif yang digagasnya, menandai

usaha cerdas untuk mendialogkan teori kritisnya dengan tradisi besar dalam

ilmu-ilmu sosial modern.

Dasar teori tindakan komunikatif adalah distingsi tentang praksis. Praksis

tidak hanya dipahami sebagai arbeit melainkan juga sebagai komunikasi. Praksis

dilandasi oleh kesadaran rasional, dengan rasio yang tidak hanya tampak dalam

kegiatan penaklukkan alam dengan kerja, melainkan juga dalam interaksi

intersubjektif dengan bahasa keseharian. Praksis bukanlah tingkah laku yang

hanya berdasarkan naluri belaka, melainkan tindakan dasar manusia sebagai

makhluk sosial. Praksis merupakan hal yang tidak terpisahkan dari teori yang

dimiliki oleh seorang dalam melakukan tindakan, sehingga pembahasan praksis

dalam teori Habermas merupakan upaya untuk menautkan teori dengan praktik.

Keterkaitan ini telah dipisahkan oleh bangunan teori yang bersifat positivistik

dengan mengatasnamakan beberapa hal, seperti: (a) pemurnian pengetahuan, (b)

paham kebebasan nilai ilmu-ilmu sosial, dan (c) sebagai efek dari pertarungan

peradaban antara ilmu (logos) dan mitos.

Roh dari teori tindakan komunikatif Habermas berupa cita suci

pencapaian konsensus melalui komunikasi bebas dominatif. Pelaku komunikasi

berada pada ruang subjek dan memposisikan apa yang dikomunikasikan sebagai

50

objek. Pelaku komunikasi harus berada pada titik kesetaraan sebagai hal yang

niscaya, sebab makna teks harus dipahami tanpa paksaan.

Bagi Habermas, teori kritis merupakan metodologi yang berdiri pada

perdebatan dialektis antara filsafat dengan ilmu pengetahuan. Teori kritis hendak

menembus ralitas sosial sebagai fakta sosiologis untuk menemukan kondisi yang

bersifat transendental yang melampaui data empiris. Dengan demikian, teori

ktitis merupakan dialektika antara pengetahuan yang bersifat transendental

dengan yang bersifat empiris. Hal ini sekaligus sebagai penegasan tentang negasi

ahistoris ilmu pengetahuan yang dilancarkan oleh saintisme atau positivisme

sebagai serangan terhadap teori kritis. Ilmu pengetahuan yang dipahaminya tidak

menafikan data empiris. Teori kritis bermaksud membebaskan pengetahuan

manusia, apabila terjatuh (membeku) pada salah satu ranah, entah transendental

atau empirisme.

Wacana (discourse) dalam praktik sosial sering dianggap sebagai sesuatu

yang sederhana, namun pada kenyataannya bersifat kompleks. Walaupun wacana

merupakan ranah kajian bahasa, namun dalam realitasnya sering berkaitan

langsung dengan praktik sosial dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk praktik

wacana sering berkaitan dengan ‟sejarah‟ dan ‟waktu‟. Wacana berkaitan dengan

penggunaan bahasa di dalam zaman, waktu dan tempat tertentu.

‟Poststrukturalisme‟ melihat ‟sejarah‟ dan ‟waktu‟ di dalam perbincangan

tentang praktik wacana dalam bahasa. Hal ini tentu bertentangan dengan

pandangan strukturalisme yang menolaknya karena lebih mementingkan

pemahaman ‟struktur‟ yang melampaui wacana sejarah.

51

Menurut Habermas, praksis komunikasi sesungguhnya telah diangkat

oleh Marx muda dalam konsep dialektika teori-praxis. Akan tetapi, yang terjadi

kemudian adalah Marx terjebak dalam paham saintifik, sehingga tidak

mengintegrasikan teori komunikasi ke dalam teorinya. Ini terjadi karena analisis

perkembangan masyarakat menurut Karl Marx semata-mata terfokus pada

bidang produksi (ekonomi). Kritik Habermas tentu tidak dimiliki oleh para

pendahulunya, yaitu Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, dan Herbert

Marcuse. Akibatnya, di tangan ketiga pemikir itu proyek teori kritis dinyatakan

gagal.

Habermas memandang kegagalan teori kritis generasi pertama karena

paradigma yang dianut masih paradigma Marxis yang bertumpu kepada kerja

sebagai pembentukan eksistensi manusia. Cara seperti itu menunjukkan

hubungan manusia dimaknai hanya sebatas hubungan kerja, sehingga

kepentingan emansipasi teori kritis generasi pertama adalah mencipakan sistem

yang menjamin hubungan kerja dengan produksi, sehingga menjadi teralienasi

oleh hasil kerjanya. Habermas telah membedakan antara kerja dengan

komunikasi. Kerja adalah ”tindakan instrumental”, yaitu tindakan yang bertujuan

sebagai sarana untuk mencapai hasil tertentu. Tujuan komunikasi adalah saling

pengertian di antaranya. Habermas mengungkapkan bahwa dalam paradigma

komunikasi distingsi subjek-objek dihindarkan.

Tindakan komunikatif mengandaikan dua hal. Pertama, komonikator dan

komonikan, yaitu manusia berhadapan satu dengan yang lain sebagai dua pihak

yang sejajar dan berdaulat. Kedua, adanya ruang kebebasan dalam menangkap

makna suatu komunikasi, sama sekali tidak dapat dipaksakan. Habermas sebagai

52

pembaharu teori kritis menimba pemikirannya dari warisan berbagai pemikiran

filsuf sebelumnya. Teorinya tentang rasionalitas komunikatif dan rasionalitas

instrumental dapat ditelusuri pada gagasan Aristoteles tentang prudence dan

techne atau praksis dan poesis. Dalam mencita-citakan masyarakat yang

komunikatif, Habermas mengkritik rasionalitas instrumental seperti tampak

dalam ilmu pengetahuan yang analitis-empiris dan ideologis yang

menyembunyikan maksud dan kepentingan tertentu. Teori tindakan komunikatif

mendasarkan kepada rasionalitas komunikatif yang bersifat memahami, kritis

dan emansipatoris (Hardiman, 1993:viii).

Teori tindakan komunikatif Habermas dengan rasionalitas

komunikatifnya, dapat digunakan sebagai titik tolak dialog antarkomponen

masyarakat, seperti antara petani Subak Susuan Karangasem dengan penguasa

(pemerintah daerah). Diharapkan dapat mencairkan kebekuan yang terjadi dalam

proses pelaksanaan program revolusi hijau. Berbagai aspek dan gagasan yang

terkandung dalam tindakan komunikatif Habermas bisa menjadi kerangka atau

titik tolak bagi terselenggaranya dialog antarpetani Subak Susuan Karangasem

dengan pemerintah daerah yang komunikatif, bebas dari dominasi dan kritis

terhadap maksud tersembunyi yang secara tidak sadar terdapat pada pelaku

dialog. Dengan demikian, di dalam konflik yang terjadi antara pemerintah

(penguasa) dengan masyarakat petani Subak Susuan Karangasem dapat dipahami

dengan baik dan diharapkan dapat dicairkan.

Teori konflik telah banyak diulas dan dikembangkan oleh para sosiolog,

seperti: Marx, Simmel, dan Coser (Edgar and Sedgwick, 1999:77). Konflik

terjadi karena didasarkan pada kekecewaannya pada sistem ekonomi kapitalis

53

yang dianggapnya mengeksploitasi kaum buruh atau petani. Bagi Marx, dalam

masyarakat terdapat dua kekuatan yang saling berhadapan, yaitu kaum borjuis

yang menguasai sarana produksi ekonomi dan kaum proletar atau buruh yang

dikendalikan oleh kelompok borjuis. Di antara kedua kelompok ini senantiasa

terjadi konflik kepentingan secara berkepanjangan.

Konflik sering memperkuat serta mempertegas batas kelompok dan

meningkatkan penggalangan solidaritas internal kelompok. Konflik

antarkelompok merupakan penghadapan antara in-group dan out-group. Pada

saat konflik, masing-masing anggota dalam suatu kelompok meningkatkan

kesadarannya sebagai sebuah kelompok (in-group), untuk berhadapan dengan

kelompok lain (out-group) yang berkonflik.

Poloma (2003:107) beranggapan bahwa pembentukan konflik merupakan

proses yang bersifat instrumental untuk penyatuan dan pemeliharaan struktur

sosial. Konflik dapat menetapkan serta menjaga garis batas di antara dua atau

lebih kelompok. Poloma (2003:110) membedakan konflik yang realistis dan

yang tidak realistis. Konflik realistis berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan

khusus yang terjadi dalam hubungan yang dibangun dan dari kemungkinan

keuntungan para partisipan yang ditujukan oleh objek yang dianggap

mengecewakan. Konflik yang tidak realistis adalah konflik yang bukan berasal

dari tujuan saingan yang antagonistik, tetapi berasal dari kebutuhan untuk

meredakan ketegangan.

Dari paparan beberapa landasan teori di atas, dapat dipahami bahwa

perspektif teori dapat memberikan berbagai kemudahan dalam memahami objek

yang diteliti. Pengintegrasian substansi konsep dengan teori, mampu

54

menghasilkan satu sinergi yang dapat digunakan sebagai strategi untuk

memecahkan masalah penelitian.

2.4 Model Penelitian

Model bisa dipahami sebagai rekonstruksi teori dari suatu kenyataan

dalam upaya memahami masalah yang dirumuskan. Oleh karena masalah yang

kompleks, maka diperlukan penyederhanaan agar mudah dipahami dan dianalisis

oleh peneliti (Steger, 2006:28; Laeyendecker, 1983:69-70). Dengan demikian,

suatu model penelitian lahir dari sebuah kajian teori dan kajian pustaka terkait

dengan masalah yang dibahas. Model menjadi sebuah alur berfikir yang dapat

dijadikan dasar penyelusuran dan menjawab permasalahan yang dirumuskan,

sesuai dengan topik dan judul penelitian. Untuk itu, model penelitian ini dapat

digambarkan sebagai berikut.

55

Gambar 2.1

Model Penelitian

Dinamika Perlawanan Petani Terhadap Revolusi Hijau di Subak Susuan,

Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem Provinsi Bali.

Keterangan:

: Hubungan satu arah

: Hubungan timbal balik

: Harapan

Penjelasan Model

Terjadi perlawanan petani Subak Susuan Karangasen dengan kearifan

lokal dan sistem subak yang sudah menyejarah dan diakui oleh dunia bahwa

Masyarakat Petani

Subak/ Komunitas

Lokal

Bentuk-bentuk

Perlawanan Petani

Subak Susuan

Implikasi

Perlawanan Petani

Subak Susuan

1.Globalisasi

2.Modernisasi

3. Kapitalisme

4.Ideologi Pasar

1. Budaya Agraris

2. Sistem Subak

3. Kosmologi/ Waktu

(Kertha Masa)

Pembangunan

Berbasis Masyarakat

(Petani Subak)

Ideologi Perlawanan

Petani Subak Susuan

Pemerintah

(Penguasa)

Dinamika

Perlawanan Petani

Subak Susuan

Karangasem Bali

56

sistem subak merupakan warisan yang sarat dengan kearifan lokal, berhadapan

dengan kebijakan pemerintah (revolusi hijau di Kabupaten Karangasem).

Politik pemerintah dengan pengaruh ideologi gobal, kapitalistik, ekonomi pasar,

modernitas, mencanangkan revlusi hijau. Di sisi lain, petani Subak Susuan

dengan kearifan lokalnya, yaitu: budaya yang terkait dengan budaya pertanian,

kearifan kosmologi, waktu (kertha masa bertani), pembagian air, ritual yang

terkait dengan subak. Untuk kepentingan ini, pemerintah melakukan hegemonik

terhadap petani, sedangkan petani melakukan perlawanan di bawah tekanan

kekuasaan lokal yang mengatasnamakan pemerintahan pusat yang sentralistik.

Bentuk perlawanan petani subak mengalami dinamika karena pertarungan

antara ideologi pasar yang kapitalistik dengan ideologi kearifan lokal/tradisional

yang ramah lingkungan dan sudah menyejarah, teruji dan tahan banting, bahkan

dunia modern mengakui daya tahan subak di Bali, termasuk subak petani Susuan

Karangasem. Perlawanan petani memiliki implikasi secara dinamis sesuai

dengan perkembangan zaman, dan kuat lemahnya tekanan pemerintah daerah

yang sangat hegemonik.

Resistensi petani jarang ditemukan dengan melakukan gerakan secara

frontal, tetapi gerakannya bersifat pasif, berdinamika mengikuti situasi dan

kondisi yang dihadapinya. Respons keras dilakukan karena tekanannya sudah

melewati batas-batas yang tidak dapat dinegosiasikan (devrivasi relatif). Tekanan

berlebihan dari penguasa memunculkan implikasi secara dinamis, baik bagi

petani maupun pemerintah.