bab ii kajian pustaka, konsep, landasan teori, dan … ii.pdf · memiliki persamaan dengan...
TRANSCRIPT
20
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Subbab ini berisi paparan mengenai sejumlah tulisan berupa kajian atau hasil
penelitian tentang kebergeseran dan kebertahanan bahasa. Kajian pustaka ini
disusun berdasarkan konsep kronologis yang berkaitan dengan penelitian yang
akan dilakukan. Secara garis besar, kajian pustaka dalam penelitian ini dibagi atas
dua bagian, yaitu (1) hasil penelitian dan kajian terhadap kebergeseran dan
kebertahahan bahasa dan (2) hasil penelitian dan kajian tentang leksikon ruwatan,
terutama upacara ruwatan kampung. Dua hal tersebut merupakan hal yang penting
untuk diacu dalam penelitian ini.
Kajian pustaka itu berisi sejumlah tulisan atau kajian yang relevan dengan
topik kebergeseran dan kebertahanan bahasa. Secara kronologis suatu topik yang
membahas konsep penelitian dapat diamati di bawah ini.
Sumarsono (1990) menulis disertasi berjudul “Pemertahanan Bahasa
Melayu Loloan di Bali”. Dalam penelitain itu diuraikan bahwa konsentrasi
wilayah permukiman merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung
kelestarian sebuah bahasa. Wilayah permukiman merupakan faktor penting
dibandingkan dengan jumlah penduduk yang besar. Kelompok yang kecil
jumlahnya pun dapat lebih kuat mempertahankan bahasa jika konsentrasi wilayah
permukiman dapat dipertahankan sehingga terdapat keterpisahan secara fisik,
ekonomi, dan sosial budaya. Hasil penelitian itu menggambarkan bagaimana
20
21
upaya-upaya masyarakat dalam pemertahanan kelestarian sebuah bahasa masih
sangat kurang. Dalam penelitian itu digunakan kajian ekolinguistik. Penelitian itu
memiliki persamaan dengan penelitian ini, yaitu terletak pada objek penelitian di
masyarakat yang multietnik Jawa dan Bali serta berkurangnya entitas lingkungan
yang ada di sekitar masyarakat Loloan. Di pihak lain perbedaan terletak pada
kajian, yaitu dalam penelitian ini difokuskan pada masyarakat, bahasa, dan
lingkungan sehingga menggunakan sosiolinguistik, sedangkan penelitian
Sumarsono menggunakan kajian ekolinguistik. Perbedaan lainnya adalah
penelitian ini hanya mencakup leksikon RK, sedangkan dalam penelitian itu
Sumarsono menfokuskan bahasa Melayu Loloan secara umum.
Mbete dan Adisaputera (2009) dalam tulisannya yang berjudul “Penyusutan
Fungsi Sosioekologis Bahasa Melayu Langkat pada komunitas Remaja di Stabat,
Langkat” menunjukkan bahwa dari hasil pemahaman terungkap bahwa rata-rata
pemahaman remaja tentang leksikon bahasa Melayu Langkat (BML) tergolong
rendah. Rendahnya pemahaman itu dipicu oleh (1) kurangnya interaksi komunitas
remaja dengan entitas yang bercirikan ekologi Melayu, (2) langka bahkan
punahnya entitas sehingga tidak terkonsep dalam alam pikiran penutur, dan (3)
konsepsi leksikal penutur tentang entitas-entitas itu bukan dalam peranti BML,
melainkan dalam bahasa lain. Penyebab perubahan pada tingkat pemahaman
leksikon menjadi patokan pada penelitian itu.
Data pada penelitian itu didapatkan dengan mendokumentasian leksikon
BML terkait dengan lingkungann alamiah komunitas Melayu di Stabat. Dalam
penelitian itu ditemukan sebanyak 150 leksikon yang diujikan kepada responden.
22
Tujuan pengujian dalam penelitian itu adalah untuk melihat tingkat pemahaman
responden terhadap leksikon yang berhubungan dengan lingkungan alamiah yang
sebenarnya dalam bahasa yang digunakan. Dari hasil pengujian tersebut dapat
dijelaskan dengan memparafrasakan situasi pengguna leksikon tersebut yang
berkaitan dengan kondisi sosioekologis remaja secara nyata. Setiap leksikon
dideskripsikan sesuai dengan hasil survei lapangan tentang sosioekologis Melayu
di Stabat.
Penelitian Mbete dan Adisaputera sangat bermanfaat bagi penulis untuk
memahami penyebab hilangnya pemahaman masyarakat remaja, terutama pada
pemakaian bahasa keluarga masyarakat Menganti, yaitu BM. Fenomena antara
masyarakat Stabat dan Menganti memiliki masalah yang hampir sama, yaitu
kurangnya penutur muda yang menggunakan bahasa daerah dalam kehidupan
sehari-hari, khususnya dalam ranah keluarga. Hal tersebut dapat diketahui dari
tingkat pemahaman masyarakat kampung keturunan yang mulai melupakan
penggunaan BM dalam kehidupan sehari-hari. Perbedaan penelitian Mbete dan
Adisaputra terletak pada kajian yang digunakan. Pada penelitian itu digunakan
kajian sosioekologis, sedangkan dalam penelitian ini dibicarakan kebergeseran
dan kebertahanan leksikon ruwatan kampung dengan menggunakan kajian
sosiolinguistik. Kajian ini diharapkan dapat membantu untuk menjawab
permasalahan dalam penelitian yang berkaitan dengan kategoris kelas kata dan
tingkat pemahaman masyarakat terhadap leksikon-leksikon upacara ruwatan
kampung yang mengalami kebergeseran dan kebertahanan. Tingkat kebergeseran
dan kebertahanan leksikon ruwatan kampung terjadi dalam ranah masyarakat yang
23
multietnik dengan lingkungan penutur yang memiliki kedwibahasaan, multibahasa
(multilingual), campur kode, dan alih kode. Untuk melihat ranah tersebut, peneliti
menggunakan kajian sosiolinguistik. Perbedaan lain dalam penelitian ini terletak
pada kelompok usia responden yang digunakan. Pada penelitian ini menggunakan
kelompok masyarakat berdasarkan usia, yaitu kelompok usia muda (KUM),
kelompok usia dewasa (KUD), kelompok usia tua (KUT), dan kelompok usia
sangat tua (KUST). Di pihak lain pada penelitian yang dilakukan Mbete dan
Adisaputera hanya pada komunitas remaja. Penelitian pada komunitas pemuda
dan orang tua belum dikaji dalam penelitian itu. Untuk alasan tersebut perlu
adanya penelitian pada ranah kelompok di luar usia tersebut. Sehubungan dengan
itu, diperlukan penelitian pada komunitas yang lebih luas sehingga dihasilkan
penelitian yang lebih umum lagi. Sebaliknya, pada penelitian ini diujikan kepada
masyarakat berdasarkan usia para responden. Tingkat pemahaman masyarakat
terhadap leksikon ruwatan kampung dalam penelitian ini mencakup semua
kelompok yang ada di masyarakat.
Suparwa (2009) mengadakan penelitian berjudul “Ekologi Bahasa dan
Pengaruhnya dalam Dinamika Kehidupan Bahasa Melayu Loloan”. Peneliti
tersebut menitiberatkan pada dinamika kehidupan dan perkembangan bahasa
Melayu Loloan. Berdasarkan hasil temuannya dijelaskan bahwa terdapat tiga
faktor yang memengaruhi kehidupan dan perkembangan bahasa Melayu Loloan.
Secara terperinci ketiga faktor itu dipaparkan sebagai berikut.
(a) Hubungan antara penutur bahasa Melayu Loloan dan lingkungan alamnya.
Faktor yang pertama ini menunjukkan adanya hubungan antara penutur bahasa
24
Melayu Loloan dan lingkungan alamnya terkait dengan dua hal, yaitu tempat
tinggal dan pekerjaan masyarakat Melayu Loloan. Khusus mengenai tempat
tinggal, kelompok etnik ini pada umumnya bermukim di daerah pesisir dan
pinggiran Sungai Ijo Gading sehingga masyarakat Melayu Loloan rata-rata
bermata pencaharian sebagai nelayan. Tempat tinggal mereka bermukim akan
memengaruhi juga bentuk rumah masyarakat Melayu Loloan yang berupa
rumah panggung. Kedua hal ini membuat masyarakat Melayu Loloan banyak
mengenal dan mengakrabi berbagai bentuk leksikal yang berkaitan dengan
rumah panggung dan nelayan. Namun, belakangan ini pemakaian bahasa
Loloan sudah banyak mengalami kebergeseran karena penutur muda (generasi
muda) tidak mengenal lagi bentuk leksikal-leksikal tersebut. Keadaan seperti
ini akan memengaruhi kebergeseran suatu bahasa pada suatu tempat, terutama
pada penutur bahasa Melayu Loloan.
(b) Hubungan penutur bahasa Melayu Loloan dengan Sang Pencipta. Untuk faktor
ini adanya hubungan antara penutur bahasa Melayu Loloan dan Sang Pencipta,
yaitu masyarakat Loloan yang beragama Islam hidup berdampingan dengan
masyarakat Bali yang beragama Hindu. Agama Islam yang dianut oleh
masyarakat Loloan disebut dengan Islam Nusantara, yang ternyata memiliki
budaya yang sama dengan agama Hindu, yang terkenal dengan istilah desa
dan kala.
(c) Hubungan sosial penutur bahasa Melayu Loloan dengan penutur lainnya,
khususnya penutur bahasa Bali. Untuk faktor ini terdapat hubungan sosial
penutur bahasa Melayu Loloan dengan penutur lainnya, dalam hal ini penutur
25
asli Bali. Kehidupan bahasa Melayu Loloan sangat dipengaruhi oleh
lingkungan sosial penuturnya. Lingkungan sosial masyarakat Bali sebagai
penduduk dan penutur mayoritas bahasa Bali di Kota Negara, Kabupaten
Jembrana, Bali sehingga membuat kontak sosial antara kedua masyarakat ini
tidak dapat dihindari. Kedua kelompok tersebut bisa hidup berdampingan
sejak lama.
Penelitian itu memiliki relevansi dengan penelitian yang sedang dilakukan ini.
Relevansinya terletak pada ranah bahasa penutur asli yang mulai mengalami
kebergeseran dan kebertahanan bahasa Melayu Loloan yang digunakan oleh
masyarakat Loloan, terutama para generasi muda yang lambat laun mengalami
ketidaktahuan tentang beberapa bahasa yang telah mengalami kebergeseran dalam
bentuk leksikon. Pada umumnya generasi muda mulai tidak mengenal,
mengetahui, dan belajar beberapa leksikon lagi dalam ranah rumah panggung dan
leksikon yang berkaitan dengan keadaan mata pencaharian masyarakat Loloan
sebagai nelayan. Di samping terdapat relevansinya, penelitian bahasa Melayu
Loloan itu memiliki perbedaan dengan penelitian ini. Penelitian bahasa Melayu
Loloan mencakup pemakaian bahasa secara umum yang dilakukan oleh
masyarakat guyub Loloan dari penutur tua kepada penutur muda, sedangkan
dalam penelitian ini dibicarakan ranah kebergeseran dan kebertahanan hanya pada
tataran leksikon ruwatan kampung, bukan bahasa Madura secara keseluruhan.
Usman (2010) meneliti “Penyusutan Tutur dalam Masyarakat Gayo:
Pendekatan Ekolinguistik”. Penelitian itu mendeskripsikan perkembangan tutur
dalam masyarakat Gayo. Penelitian tersebut mendeskripsikan bahwa tuturan
26
masyarakat Gayo tidak diajarkan lagi kepada generasi muda. Tuturan Gayo juga
tidak dipakai dan dipelajari lagi oleh masyarakat muda sehingga lambat laun
kemungkinan tuturan Gayo mengalami kebergeseran dan kepunahan. Hal itu
terjadi karena ada dua faktor penyebabnya. Pertama faktor internal, yaitu tuturan
tidak diajarkan lagi kepada masyarakat Gayo, bahkan masyarakat setempat tidak
ada keinginan untuk mempelajari tuturan itu, khususnya bagi generasi mudanya.
Kedua, eksternal, yaitu adanya perkawinan silang, pengaruh pemakaian bahasa
Indonesia di masyarakat, pengaruh media, pendidikan, dan pengaruh ilmu
pengetahuan dan teknologi. Di samping itu, adanya pengaruh dari luar sangat
memengaruhi penyusutan tuturan masyarakat Gayo ini. Kenyataan demikian di
masyarakat semakin memengaruhi penyusutan tuturan masyarakat pada suku
tersebut, terutama dalam hal ekologi sosial bahasa Gayo.
Penelitian tuturan Gayo dalam ranahnya menggunakan kajian ekolinguistik
untuk melihat sisi bahasa dan lingkungannya, sedangkan penelitian ini melihat
pada ranah leksikon ruwatan kampung dengan menggunakan kajian
sosiolinguistik. Masyarakat di kampung Menganti pada umumnya menggunakan
BM sebagai alat komunikasi antarmasyarakat. Mereka memakai BM sebagai
sarana dalam melestarikan budaya, adat istiadat, dan warisan leluhurnya.
Pemahaman pada tingkat masyarakat penutur BM tersebut untuk melihat
fenomena yang terjadi pada ranah sosial dan bahasa, serta hubungan masyarakat
dengan BM yang digunakan oleh masyarakat Menganti, yaitu salah satu
komunitas masyarakat yang beretnik Madura. Masyarakat keturunan Madura di
Kampung Menganti sudah menetap di Pulau Jawa sejak leluhur mereka
27
melakukan babat alas untuk membentuk pemukiman. Hal itu disebabkan oleh
nenek moyangnya berasal dari Pulau Madura. Hal tersebut terbukti dengan
masyarakat di Kampung Menganti menggunakan BM sebagai bahasa komunikasi
dalam kehidupan mereka. Kampung-kampung yang warganya merupakan
keturunan etnik orang Madura seperti terdapat di Kampung Bongso Wetan,
Kampung Sumur Geger, Kampung Dukuh, Kampung Pengalangan, Kampung
Songgat, dan Kampung Bongso Kulon.
Penelitian tuturan Gayo itu memiliki relevansinya dengan penelitian yang
dilakukan di Masyarakat Menganti, yaitu tentang kebergeseran dan kebertahanan
leksikon RK. Namun, dalam penelitian tuturan masyarakat Gayo itu memiliki
kelemahannya, di antaranya dalam hal masyarakat Gayo hanya mendeskripsikan
tuturan masyarakatnya secara umum saja dan tidak mendeskripsikan pada tataran
kedudukan bentuk leksikal, kata, kalimat, gramatikal, dan frasa dalam bahasa
Gayo. Di pihak lain penelitian ini mendeskripsikan kebergeseran dan
kebertahanan leksikon ruwatan kampung pada komunitas masyarakat keturunan
etnik Madura di Kampung Menganti.
Rasna (2010) meneliti “Pengetahuan dan Sikap Remaja terhadap Tanaman
Obat Tradisional di Kabupaten Buleleng dalam Rangka Pelestarian Lingkungan:
Sebuah Kajian Ekolinguistik”. Penelitian itu dilakukan di daerah Kabupaten
Buleleng, Bali dengan menggunakan 125 responden generasi muda. Dalam
penelitian ini, peneliti mengetes pengetahuan leksikal dan pemahaman manfaat
sebelas jenis tanaman obat-obatan yang diujikan kepada mereka. Peneliti
membandingkan pengetahuan leksikal dan pengetahuan manfaat antara remaja
28
desa dan kota dan tindakan masyarakat generasi muda terhadap tanaman obat
yang ada di kampungnya. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa pengetahuan
para remaja tentang tumbuhan tanaman obat ini masih kurang, baik para remaja
di kampung maupun di kota. Rendahnya pemahaman tentang obat ini
menunjukkan bahwa interaksi remaja dan lingkungan sekitar menjadi jarang,
bahkan mungkin sudah tidak pernah berinteraksi, baik dengan tumbuhan maupun
tanaman obat tersebut. Hal lain yang menyebabkan terjadinya fenomen tersebut
adalah adanya beberapa faktor, di antaranya (1) perubahan sosiokultural, (2)
perubahan sosioekologi, yaitu perubahan sosial lingkungan seperti penebangan
hutan, pembabatan sawah, dan sejenisnya yang turut menyumbang berkurangnya
tananam atau tumbuhan yang bermanfaat menjadi bangunan rumah, jalan, hotel,
dan sebagainya, dan (3) sosioekonomi, artinya masyarakat lebih berpikir praktis
terhadap cara pengobatan. Penelitian tersebut menghasilkan sebuah temuan yang
mengatakan bahwa 40% remaja tidak setuju dengan anggapan kampungan,
terbelakang, dan rendah pada pengguna tanaman dan tumbuhan sebagai obat.
Penelitian yang dilakukan oleh Rasna ada relevansinya dengan penelitian
ini, terutama pada objeknya, yaitu lingkungan masyarakat yang dipengaruhi
ideologis modern. Persamaan lain, yaitu objek respondennya menggunakan
responden para generasi muda dalam memahami objek yang ada di lingkungan
masyarakat desa. Persamaannya juga terletak pada faktor, di antaranya mulai
berkurangya lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi perumahan dan
bangunan lain. Hal itu mengakibatkan banyak leksikon mengalami kepunahan. Di
samping persamaan, penelitian ini juga mempunyai perbedaan, yaitu objek
29
penelitian khususnya para responden. Penelitian Rasna mengambil responden
hanya para generasi muda untuk memahami jenis tanaman obat-obatan,
sedangkan penelitian yang dilakukan ini menyangkut empat kelompok usia, yaitu
kelompok usia muda, dewasa, tua, dan sangat tua. Dengan demikian, cakupan
dalam penelitian lebih luas karena pemahaman dari semua lapisan masyarakat.
Widada (2013) meneliti “Pencegahan Kepunahan Bahasa Etnis: Studi
Kasus Bahasa Jawa di Yogyakarta”. Penelitian itu menemukan bahwa kepunahan
sebuah bahasa yang ada di Yogyakarta terletak pada pendeskripsian varian atau
ragam bahasa Jawa yang dijadikan materi ajar di sekolah. Di pihak lain bahasa
daerah, khususnya BJ tidak digunakan lagi pada ranah sekolah sehingga lama-
kelamaan para siswa akan mengalami kesulitan dalam menguasai kosakata,
leksikal, dan gramatikal dalam BJ. Sebuah bahasa akan cepat mengalami
kepunahan apabila fungsinya menurun akibat seleksi alam dan melalui tekanan
dari faktor-faktor, antara lain (1) tekanan media massa elektronik dan media cetak,
(2) tekanan bahasa-bahasa regional dalam wilayah daerah multibahasa, (3)
tekanan pemakaian bahasa Indonesia, (4) sikap generasi pelapis yang kurang
memedulikan bahasa etnisnya, (5) kondisi masyarakat multikultural yang lebih
mengutamakan bahasa lintas etnik, dan (6) tidak dibelajarkannya bahasa etnik
dalam lingkungan keluarga. Dari fenomena di atas dapat disimpulkan bahwa
sebuah bahasa akan mulai hilang apabila penutur asli tidak mau mengenali,
memahami, menjaga, menggunakan, dan melestarikan bahasa daerahnya.
Penelitian itu memiliki persamaan dengan penelitian yang sedang dilakukan ini
yaitu, pada tingkat pemahaman sebuah bahasa bagi generasi pemuda di
30
masyarakat Jawa yang mulai hilang pemakaiannya. Sebaliknya perbedaannya
terletak pada tingkat pemahaman bahasa tertentu saja. Dalam penelitian itu
dibicarakan kepunahan bahasa Jawa pada masyarakat muda secara umum,
sedangkan pada penelitian ini hanya dibicarakan leksikon ruwatan kampung
dalam bahasa Madura.
Renjaan (2014) meneliti “Pemahaman dan Kebertahanan Ekoleksikal
Kelautan Guyub Tutur Bahasa Kei: Kajian Ekolinguistik”. Hasil penelitian itu
menunjukkan bahwa dari hasil tes pemahaman masyarakat pada usia muda,
dewasa, dan tua diperoleh tingkat pemahaman yang berbeda. Penelitian Renjaan
itu mengambil objek penelitian pada ranah masyarakat Maluku Tenggara yang
ada di Kepulauan Kei. Objek yang dijadikan penelitian itu, di antaranya tentang
tingkat pemahaman ikan yang di laut, hewan di sekitar laut, tumbuhan di dasar
laut, tumbuhan di tepi laut, burung di sekitar laut, benda mati di tepi laut, dan
tingkat pemahaman tentang alat penangkap ikan tradisional di lingkungan laut.
Hasil penelitian itu menyatakan bahwa (1) pada satuan lingual bahasa Kei secara
morfologis berupa kata, yang terbagi menjadi kata monomorfemis, bentuk ulang,
dan kata majemuk, (2) tingkat pemahaman masyarakat cukup tinggi pada tiap-tiap
usia kelompok masyarakat yang dijadikan responden. Pemahaman leksikon
tersebut didukung oleh pengetahuan mereka tentang lokasi tempat referen
leksikon tersebut ditemukan.
Penelitian tersebut memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian
ini. Persamaan kedua penelitian terletak pada ranah leksikon-leksikon yang ada
pada lingkungan masyarakat. Perbedaan penelitian Renjaan dengan penelitian ini
31
terletak pada kajian yang digunakan. Kajian penelitian Renjaan menggunakan
ekolinguistik sedangkan penelitian ini menggunakan kajian sosiolinguistik. Objek
penelitian Renjaan pada ikan di laut, benda mati di tepi laut, hewan di sekitar laut,
tumbuhan di dasar laut, tumbuhan di tepi laut, burung di sekitar laut, benda mati
di tepi laut, dan alat penangkap ikan tradisional. Di pihak lain penelitian ini
meneliti leksikon ruwatan kampung yang mengalami kebergeseran dan
menggunakan kajian sosiolinguistik di Kampung Menganti.
Semua penelitian di atas memiliki relevansi dengan penelitian yang
dilakukan ini. Penelitian ini membicarakan kebergeseran dan kebertahanan
leksikon ruwatan kampung menggunakan bahasa Madura di kampung, Menganti
Kecamatan Gresik. Penelitian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan-
permasalahn yang kemudian menjadi tujuan pada penelitian ini, yaitu tentang
leksikon-leksikon RK pada kategoris kelas kata apa saja yang mengalami
kebergeseran dan kebertahanan kebertahanan di masyarakat Kampung Menganti,
dan sejauhmana tingkat pemahaman masyarakat tentang leksikon tersebut, serta
faktor yang memengaruhi kebergeseran dan kebertahanan leksikon RK. Upaya
melestarikan nilai budaya leluhur merupakan wujud menghargai kekayaan
leluhur, menjaga dan merawat warisan leluhur terutama Bahasa Madura, dan
merasa memiliki bahasa sebagai entitas masyarakat setempat secara turun-
temurun, khususnya masyarakat pada sekelompok komunitas masyarakat generasi
muda.
32
2.2 Konsep
Pada subbab ini dijelaskan beberapa konsep mencakup batasan mengenai
terminologi teknis yang digunakan dalam penelitian ini. Konsep itu dipaparkan
dengan tujuan untuk menyatukan sudut pandang dan pemahaman tentang
kebergeseran dan kebertahanan leksikon ruwatan kampung. Adapun konsep-
konsep yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
2.2.1 Kedwibahasaan
Kedwibahasaan adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian, dari
bahasa yang satu ke bahasa yang lain oleh seorang penutur (Mackey, 1970: 21).
Untuk penggunaan dua bahasa, diperlukan penguasaan kedua bahasa tersebut
dengan tingkat yang sama. Senada dengan Mackey, menurut Hakuta (dalam
Wilian, 2006: 32), kajian kedwibahasaan seharusnya tidak hanya berhubungan
dengan kedwibahasaan individu (bilingual individual), tetapi juga dengan
lingkungan yang memungkinkan terjadinya kedwibahasaan tersebut beserta
pemertahanan dan kebergeserannya. Masyarakat Menganti menggunakan BM
sebagai bahasa pertama (B1). Di samping itu, mereka juga menguasai bahasa
Jawa sebagai bahasa kedua (B2). Hal itu digunakan masyarakat penutur BM untuk
berkomunikasi dengan masyarakat lainnya yang berasal dari luar kampung.
Konsep kedwibahasaan ini diharapkan dapat menjawab permasalahan yang
berkaitan dengan bentuk-bentuk leksikon RK, tingkat pemahaman masyarakat
pada leksikon RK, serta pada ranah mengenai faktor-faktor yang menyebabkan
kebergeseran dan kebertahanannya pada ranah keluarga dan lingkungan.
33
Kehidupan sosial masyarakat yang multietnik mengakibatkan seseorang
harus bisa menguasai bahasa lain selain bahasa pertamanya (B1). Artinya, secara
otomatis masyarakat di tempat tersebut dimungkinkan melakukan bilingual atau
kedwibahasan. Pemilihan bahasa dalam berkomunikasi antarmasyarakat bertujuan
untuk mempermudah interaksi pada waktu tertentu. Kedwibahasaan merupakan
situasi masyarakat menggunakan dua bahasa dalam berkomunikasi dengan orang
lain. Masyarakat Menganti, khususnya Kampung Bongso Wetan selain menguasai
BM juga memiliki kemampuan untuk berbicara BJ.
Pemakaian dua bahasa atau lebih pada diri seseorang terjadi karena suatu
keharusan yang dipenuhi untuk mempermudah dalam berinteraksi dan
berkomunikasi. Semakin banyak bahasa yang dikuasai oleh seseorang maka orang
tersebut akan makin mudah melakukan komunikasi dengan orang lain.
Kemampuan seseorang menguasai dua bahasa maka orang tersebut
dwibahasawan. Seiring dengan perkembangan zaman dan mobilitas dari
masyarakat itu sendiri sehingga semakin banyak masyarakat di kota atau daerah
menggunakan bahasa berlainan. Di samping itu, biasanya juga terdapat orang-
orang yang memakai lebih dari satu bahasa. Suatu daerah atau masyarakat di
mana terdapat dua bahasa disebut daerah atau masyarakat yang berdwibahasaan
atau bilingual.
Pengertian kedwibahasaan selalu berkembang mulai dari pengertian yang
ketat sampai kepada pengertian yang longgar. Menurut Blommfield dalam
bukunya Language (1933: 56), kedwibahasaan sebagai gejala penguasaan bahasa
seperti penutur jati (native speaker). Batasan ini mengimplikasikan pengertian
34
bahwa seseorang dwibahasaan adalah orang yang menguasai dua bahasa dengan
sama baiknya. Menurut Haugen (1972), seorang penutur tidak perlu secara aktif
menggunakan kedua bahasa atau lebih, tetapi cukup kalau bisa memahaminya
saja. Dia berpendapat bahwa orang yang mempelajari bahasa kedua, apalagi
bahasa asing, tidak dengan sendirinya memengaruhi bahasa aslinya.
Kedwibahasaan merupakan pemakaian dua buah bahasa atau bahasa asli dan
bahasa yang ditirukan dalam mengontrol dua bahasa (Chin, 2007: 1). Penutur
pada situasi kedwibahasaan cenderung memiliki kemampuan yang lebih dari satu
bahasa. Hal itu didukung oleh keadaan masyarakat yang multietnik. Para penutur
bilingual merupakan bagian dari kelompok masyarakat yang lebih dari satu etnik.
Menurut Grosjen (1982: 170), kedwibahasaan adalah peristiwa penggunaan dua
bahasa atau lebih dalam masyarakat yang plural serta kejadian itu merupakan
gejala yang alami. Kedwibahasaan merupakan kemampuan menggunakan
sekurang-kurangya B1 dan B2 meskipun kemampuan dalam B2 hanya sampai
batas minimal. Ini berarti bahwa seorang dwibahasawan tidak perlu menguasai B2
secara aktif produktif sebagaimana dituntut oleh Blommfield, tetapi cukup
memiliki kemampuan reseptif B2. Penguasaan bahasa kedua seperti di atas juga
terjadi pada masyarakat keturunan Madura di Kampung Menganti.
Menurut Weinreich (1968) kedwibahasaan adalah praktik penggunaan dua
bahasa secara bergantian. Batasan yang sama juga dikemukakan oleh Mackey
(1972: 5), yakni praktik penggunaan dua bahasa atau lebih secara bergantian oleh
penutur yang sama. Sementara itu, Fishman (1971) menganjurkan bahwa dalam
mengkaji masyarakat dwibahasa atau multibahasa hendaknya diperhatikan
35
kaitannya dengan ada tidaknya diglosia. Fishman juga mengatakan bahwa diglosia
tidak hanya terdapat pada masyarakat yang mengenal satu bahasa dengan dua
ragam bahasa semata-mata; tetapi diglosia juga dapat ditemukan pada masyarakat
yang mengenal lebih dari dua bahasa, bahkan juga dapat dikenakan pada bahasa
yang sama sekali tidak serumpun. Lebih lanjut dikatakan pula bahwa ketepatan
pemilihan variasi bahasa dalam hubungan sosial banyak ditentukan oleh
kesadaran penutur terhadap kapan dan di mana tuturan itu diungkapkan. Landasan
teori ini diharapkan dapat membantu untuk menjawab permasalahan tentang
alasan terjadinya kebergeseran dan kebertahanan leksikon ruwatan kampung serta
faktor-faktornya di masyarakat Menganti.
2.2.2 Pilihan Bahasa
Pilihan bahasa adalah situasi yang tidak sesederhana yang dibayangkan,
yakni memilih sebuah bahasa secara keseluruhan (whole language) dalam suatu
peristiwa komunikasi (Fasold, 1984: 180). Seseorang yang menguasai dua bahasa
atau lebih harus memilih bahasa mana yang akan digunakan. Pilihan bahasa pada
keadaan yang demikian tentunya mempermudah komunikasi antarindividu dalam
berinteraksi satu dengan yang lain. Secara umum, pilihan bahasa meliputi tiga
kategori pilihan. Pertama memilih satu variasi dari bahasa yang sama (intra
language variation). Misalnya suatu keadaan penutur masyarakat keturunan etnik
Madura yang telah lama menetap secara turun-temurun di Kampung Menganti,
seperti Kampung Bongso Wetan, Kampung Sumur Geger, Kampung Dukuh,
Kampung Pengalangan, Kampung Songgat, dan Kampung Bongso Kulon.
36
Masyarakat di kampung tersebut menggunakan BM sebagai bahasa sehari-hari. Di
samping itu, mereka memiliki kemampuan untuk menggunakan bahasa Jawa dan
bahasa Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat. Akan tetapi, BM digunakan
sebagai bahasa yang mewadahi semua kegiatan upacara ritual, seperti RK ini.
Masyarakat kampung menggunakan BM dalam kegiatan upacara ritual karena
mereka merupakan warga keturunan etnik Madura. Kedua, melakukan alih kode,
artinya menggunakan satu bahasa pada satu keperluan dan menggunakan bahasa
yang lain pada keperluan lain dalam satu peristiwa komunikasi. Ketiga,
melakukan campur kode, artinya menggunakan satu bahasa tertentu dengan
bercampur serpihan-serpihan dari bahasa lain. Tujuan melakukan campur kode
adalah untuk mempermudah komunikasi yang sedang dilakukan penutur dan
lawan tutur.
Pilihan pemakaian bahasa pada masyarakat keturunan etnik Madura di
Kampung Menganti juga dipengaruhi oleh lawan bicara. Masyarakat Kampung
Menganti hidup berdampingan dengan masyarakat etnik lain, yaitu Jawa, seperti
masyarakat di Kota Surabaya. Di samping itu, letak Kampung Menganti dekat
dengan Kota Surabaya, khususnya Kampung Bongso Wetan, Sumur Geger,
Dukuh, dan Kampung Pengalangan merupakan kampung yang memiliki
perbatasan dengan Kota Surabaya. Hal tersebut memengaruhi pemilihan bahasa di
luar bahasa Madura sebagai bahasa pertama, yaitu dipengaruhi oleh bahasa Jawa.
Pemilihan suatu bahasa juga diakibatkan oleh situasi yang memungkinkan
menggunakan bahasa yang lainnya.
37
Kehidupan masyarakat selalu memiliki hubungan yang sangat erat antara
satu dengan yang lain sehingga manusia dikatakan makhluk sosial. Hubungan
masyarakat dan bahasa dipelajari dalam ilmu sosilinguistik. Secara umum,
sosiolinguistik mengkaji masyarakat dwibahasa atau multibahasa (Edwards, 1994;
25). Pilihan bahasa oleh masyarakat pada umumnya dikaitkan dengan alasan
tertentu untuk menanggapi kehidupan masyarakat yang multietnik. Keadaan
lingkungan masyarakat akan memiliki pengaruh besar pada keberadaan leksikon,
terutama lingkungan persawahan. Fenomena bahasa dan lingkungan tidak bisa
dilepaskan dalam konsep memahami suatu objek kajian.
2.2.3 Leksikon
Leksikon adalah komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang
makna dan pemakaian kata dalam bahasa (Kridalaksana, 2008: 142). Pemakaian
kata dalam sebuah bahasa merepresentasikan pada objek yang dimaksud. Objek-
objek yang ada pada tataran tersebut merupakan kekayaan kata yang dimiliki
seseorang pada suatu tempat. Komponen di dalam leksikon dinamakan leksem.
Leksem adalah satuan terkecil dari leksikon. Leksem merupakan bahan dasar yang
setelah mengalami pengolahan gramatikal menjadi kata dalam subsistem
gramatikal. Pengertian leksem tersebut terbatas pada satuan yang diwujudkan
dalam gramatikal dalam bentuk morfem dasar atau kata.
Leksikon dapat diartikan sebagai kekayaan kata yang dimiliki oleh seseorang
pembicara, penulis, atau suatu bahasa. Kekayaan tersebut terekam dalam benak
pikiran seseorang dalam menguasai sebuah bahasa. Kemampuan merekam data
38
dalam pikiran akan mampu memunculkan gagasan dan pemahaman berupa
leksikon-leksikon yang dipahaminya. Tingkat pemahaman leksikon masyarakat
dapat diketahui sejauh mana seseorang menggunakan bahasa pada lingkungan
keluarga dan masyarakat. Penguasaan kata-kata diimplementasikan pada tataran
pemakaian bahasa yang mampu menghasilkan perbendaharaan kata dalam bahasa
Madura. Perbendaharaan kata atau leksem yang dimaksud pada konsep ini
mengenai leksikon-leksikon ruwatan kampung di Menganti. Leksikon-leksikon
tersebut merupakan entitas masyarakat Menganti yang merupakan keturunan etnik
Madura. Leksikon dipakai pada ranah upacara ruwatan kampung. Upacara
kampung merupakan salah satu adat istiadat dan budaya masyarakat Jawa, tetapi
masyarakat keturunan etnik Madura secara turun-temurun telah menetap di
Menganti masih melaksanakan upacara tradisi Jawa, termasuk upacara ruwatan
kampung. Masyarakat kampung melaksanakan upacara ruwatan kampung sebagai
salah upaya untuk melestarikan tradisi leluhurnya. Pelestarian tradisi berupa
upacara ruwatan kampung masih dilaksanakan sampai sekarang di kampung-
kampung Menganti, seperti Kampung Bongso Wetan. Bahasa yang dipakai untuk
mewadahi dalam upacara ruwatan tersebut, yaitu Bahasa Madura.
2.2.4 Kelas Kata
Kelas kata adalah golongan kata yang mempunyai kesamaan dalam perilaku
formalnya atau klasifikasi atas nomina, adjektiva, dsb (Kridalaksana, 2008: 116).
Kelas kata diperlukan untuk membuat pengungkapan kaidah gramatikal secara
lebih sederhana. Kelas kata sebagai inti tata bahasa, dalam linguistik modern
39
klasifikasi kata atau kategorisasi kata hanyalah dianggap sebagai salah satu aspek
tata bahasa, sejajar dengan aspek-aspek lain yang harus mendapat perlakuan yang
seimbang, bila akan mendeskripsikan tata bahasa secara mewadai. Secara
keseluruhan tata bahasa atau gramatikal mempunyai komponen-komponen,
seperti struktur gramatikal, sistem gramatikal, kategori gramatikal, fungsi
gramatikal, dan peran gramatikal (Kridalaksana, 1990: 6).
Tujuan pengelompokkan atau pengkategorisasian kelas kata pada penelitian
ini dimaksudkan untuk mempermudah mengolah data berdasarkan masalahan.
Data yang ditemukan di lapangan berupa kelas kata. Pengelompokkan kelas kata
tersebut mempermudah untuk mengetahui jenis-jenis leksikon yang ditemukan.
Kategori kelas kata yang ditemukan dikelompokkan ke dalam enam kategori kelas
kata, yaitu (1) nomina, (2) verba, (3) adjektiva, (4) numeralia, (5) adverbia, dan
(6) pronomina. Pengelompokkan kelas kata tersebut dilakukan untuk
mempermudah dalam menganalisis data. Pengelompokan kategori kelas kata ini
tidak mengikuti semua konsep kajian dari para ahli bahasa. Pengelompokkan
kelas kata ini didasarkan pada penemuan data di lapangan selama melakukan
penelitian.
Pengelompokkan kelas kata berdasarkan para ahli memiliki variasi yang
berbeda-beda. Samsuri (1985) mengelompokkan kelas kata menjadi dua bagian,
yaitu 1) kata utama, yang meliputi (a) kategori nomina, (b) kategori verba, (c)
kategori adjektiva, dan (d) kategori numeralia dan 2) kata sarana, yang terbagi
atas (a) kata sarana nomina, (b) kata sarana verba, (c) kata sarana adjektiva, dan
(d) kata sarana numeralia. Sedangkankan Ramlan (1985) membagi kelas kata ke
40
dalam duabelas kategori, seperti (1) kelas kara verba, (2) kelas kata nomina, (3)
kelas kata keterangan, (4) kelas kata tambah, (5) kelas kata bilangan, (6) kelas
kata penyukat, (7) kelas kata sandang, (8) kelas kata tanya, (9) kelas kata suruh,
(10) kelas kata penghubung, (11) kelas kata depan, dan (12) kelas kata seruan.
2.2.5 Ekologi
Ekologi adalah studi tentang hubungan timbal balik yang bersifat fungsional
(Muhlhausler, 2001). Dalam ilmu ekologi mempelajari dukungan pelbagai sistem
bahasa yang diperlukan bagi kelangsungan mahkluk hidup bahasa, seperti halnya
dengan faktor-faktor lingkungan fisik dan psikis yang memengaruhi kediaman
(tempat) bahasa-bahasa tersebut berada. Lingkungan bahasa pada sebuah
komunitas masyarakat tentunya akan memengaruhi pola aktivitas masyarakat
dalam menjalankan kegiatan ritual, seperti pada upacara ruwatan kampung di
Menganti. Upacara ritual ruwatan kampung di Menganti terkait dengan
lingkungan sawah dan punden. Kedua unsur tersebut terkait dengan leksikon-
leksikon upacara ruwatan kampung. Leksikon-leksikon ruwatan kampung tersebut
telah mengalami kebergeseran dan pemahamannya di masyarakat kampung,
khususnya Bongso Wetan. Hal itu dapat diketahui berdasarkan hasil kuesioner
yang diperoleh dalam penelitian. Parameter tersebut dihubungkan dengan tingkat
pemahaman masyarakat kampung, khususnya antara bahasa, khususnya bahasa
Madura dan lingkungannya. Lingkungan yang ada disekitar masyarakat kampung
Menganti, berupa persawahan dan lingkungan sekitar punden.
41
Menurut Haugen, ekologi bahasa atau ekolinguistik mempelajari interaksi
antara bahasa dengan lingkungannya. Pandangan Haugen inilah yang melahirkan
tiga komponen penting dalam ilmu ekolinguistik. Adapun ketiga pandangan
tersebut, diantaranya (1) ideologi, (2) psikologis, dan (3) sosiologis. Komponen-
komponen tersebut juga memiliki keterkaitan dengan penelitian ini, yaitu
mengenai tingkat pemahaman masyarakat terhadap kebergeseran dan
kebertahanan leksikon ruwatan kampung di Kampung Menganti.
2.2.6 Pemahaman
Pemahaman adalah kemahiran dasar berbahasa berupa kemampuan untuk
mendengarkan dan memahami bahasa lisan atau kemampuan untuk membaca dan
memahami bahasa tulisan. Pemahaman juga dapat diartikan sebagai proses
mental, yaitu pendengar menyerap bunyi yang diujarkan pembicara dan
memakainya untuk membangun suatu penafsiran tentang apa yang dimaksud oleh
pembicara (Kridalaksana. 2008: 177). Pemahaman tentang leksikon ruwatan
kampung dapat diperoleh melalui indikator-indikator yang ditetapkan lebih
dahulu, baik dengan sejumlah jenis leksikon upacara ruwatan kampung maupun
berupa tuturan teks. Pemahaman leksikon yang terdapat pada tataran ruwatan
kampung mencakup leksikon-leksikon yang telah mengalami kebergeseran dan
kebertahanan pada kelas kata, seperti nomina, verba, adjektiva, numeralia,
pronomina, dan adverbia.
42
2.2.7 Kebergeseran
Kebergeseran bahasa dan pemertahahan bahasa sebenarnya seperti dua sisi
mata uang. Bahasa menggeser bahasa yang lain atau bahasa yang tak bergeser
oleh bahasa. Bahasa tergeser adalah bahasa yang tidak mampu mempertahankan
diri untuk bersaing dengan bahasa lain. Bahasa mengalami kebergeseran apabila
pada kondisi yang menunjukkan penutur asli bahasa tersebut tidak
menggunakannya lagi terutama pada ranah keluarga. Kedua kondisi itu
merupakan akibat dari pilihan bahasa dalam jangka panjang (paling tidak tiga
generasi) dan bersifat kolektif (dilakukan oleh warga guyub). Pergeseran berarti
bahwa suatu guyub (komunitas) meninggalkan suatu bahasa sepenuhnya untuk
memakai bahasa lain. Bila pergeseran sudah terjadi, para guyub itu secara kolektif
memilih bahasa baru (Sumarsono. 2002: 231). Sebuah bahasa akan mengalami
kebergeseran pada komunitas masyarakat yang minoritas. Kebergeseran bahasa
lambat laun mengakibatkan bahasa tersebut mati. Sebuah bahasa dikatakan mati
pada komunitas tertentu apabila (a) penutur aslinya meninggal secara keseluruhan
dan (b) perubahan budaya pada masyarakat penutur asli (Drystal, 2003: 70--76).
Pergeseran sebuah bahasa diakibatkan oleh kedwibahasaan masyarakat
yang hidup pada keberagaman suku dan bahasa. Kedwibahasaan bukanlah satu-
satunya kondisi kebergeseran walaupun mungkin diperlukan. Hampir semua
kasus pergeseran bahasa terjadi melalui alih generasi (intergenerasi), menyangkut
lebih dari satu generasi. Dengan kata lain, jarang terjadi sejumlah besar individu
dalam suatu masyarakat menanggalkan bahasa dan mengganti dengan bahasa lain
dalam kurun hidupnya. Dalam berbagai contoh kasus permasalahan selalu ada
43
satu generasi yang lebih dulu mengalami kedwibahasaan, misalnya B1-nya bahasa
X dan B2-nya bahasa Y. Generasi ini tidak mengalihkan bahasa X kepada
generasi berikutnya (yaitu anak-anak mereka), tetapi menggunakan bahasa Y.
Generasi kedua ini mungkin saja masih “memahami” (secara pasif) bahasa X
karena masih sering mendengar orang tua mereka berbicara dalam bahasa itu.
Generasi kedua ini tentu lebih tidak berminat lagi mengalihkan bahasa X kepada
anak-anak mereka kelak, lebih-lebih karena mereka sendiri tidak menguasai
bahasa itu. Sehingga kemampuan kedwibahasaan mempunyai risiko bahwa bahasa
yang satu kadang-kadang hilang.
Pemahaman mengenai pergeseran dan kebertahanan sebuah bahasa dapat
diketahui melalui indikator-indikator yang merupakan penanda bahasa itu
mengalami kebergeseran dan kebertahanan. Penanda kebertahanan dan
kebergeseran bahasa adalah ranah (domain) penggunaan bahasa (language in use).
Sebuah bahasa dikatakan bergeser dan bertahan disebabkan oleh faktor-faktor
yang menyebabkan perubahan hilangnya bahasa tersebut. Hilangnya sebuah
bahasa dalam masyarakat dapat berupa leksikon-leksikon atau kata-kata. Di antara
faktor penting yang dikemukakan dalam berbagai kajian pergeseran dan
pemertahanan bahasa, Romaine (1995: 40) merekomendasikan sepuluh faktor
yang mengidentifikasikan alasan kebergeseran dan kebertahanan sebuah bahasa.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan bahasa mengalami kebergeseran dan
kebertahanan adalah (1) kekuatan secara kuantitatif antara kelompok mayoritas
dan kelompok minoritas, (2) kelas sosial, (3) latar belakang agama dan
pendidikan, (4) pola perkampungan/kemasyarakatan, (5) kesetiaan terhadap tanah
44
air atau tanah kelahiran, (6) derajat kesamaan antara bahasa mayoritas dan bahasa
minoritas, (7) luas perkawinan campuran, (8) sikap mayoritas dan minoritas, (9)
kebijakan pemerintah terhadap pengawasan bahasa dan pendidikan minoritas, dan
(10) pola-pola penggunaan bahasa. Selanjutnya, Holmes (2001: 51) mengatakan
bahwa faktor-faktor pergeseran bahasa dalam sebuah komunitas masyarakat, yaitu
(1) faktor ekonomi, sosial, dan politik, (2) faktor demografis, dan (3) faktor sikap
dan nilai.
Kondisi kebahasaan masyarakat dikatakan mengalami kebergeseran, yaitu
bahasa yang aman, terancam punah, tidak digunakan lagi, dan punah. Untuk
menentukan bahwa sebuah bahasa berada dalam tingkat yang terancam punah
sangat sulit. Terancamnya sebuah bahasa ditentukan oleh penutur asli bahasa
tersebut. Selama bahasa yang dimaksud itu mulai tidak digunakan dalam
lingkungan keluarga, maka bahasa itu bisa dikatakan mengalami kepunahan. Hal
terancamnya sebuah bahasa itu kemungkinan disebabkan oleh adanya ragam
bahasa pada situasi masyarakat yang berbeda dalam tingkat kondisi masyarakat
pada komunitas yang minoritas. Semakin berkurangnya pemakaian bahasa pada
ranah masyarakat, khususnya di lingkungan keluarga, dapat dikatakan bahwa
bahasa tersebut akan hilang secara perlahan-lahan pada tingkat regenerasi
berikutnya. Pertanda lain bahwa bahasa itu mengalami kebergeseran adalah
karena keengganan penutur untuk menggunakannya lagi. Kondisi seperti itu
ditemukan pada masyarakat di Menganti, khususnya generasi muda pada
kelompok usia muda dan dewasa.
45
Pergeseran bahasa cenderung lambat terjadi dalam masyarakat bahasa
minoritas yang sangat menghargai bahasanya. Selama bahasa itu dipandang bukan
simbol lagi dalam lingkup sekelompok masyarakat maka bahasa tersebut lama-
kelamaan akan tergeser. Namun, selama bahasa tersebut dipandang sebagai
simbol identitas etnis dalam masyarakat tersebut, maka bahasa itu akan tetap
dihargai dan digunakan oleh masyarakat pada tempat tersebut.
Kehidupan masyarakat pada situasi keberagaman kebudayaan, adat istiadat,
dan lingkungan sosial yang berbeda akan menimbulkan berbagai pergeseran
sebuah bahasa. Pergeseran bahasa itu akan terjadi apabila keberadaan masyarakat
penutur mulai tersisih untuk tetap mempertahankan entitas bahasa itu sendiri.
Foley (1997: 383--384) mengungkapkan bahwa perubahan linguistik umumnya
merupakan “baling-baling cuaca” dari perubahan budaya. Pilihan bentuk-bentuk
linguistik yang merujuk ke alih kode, campur kode, dan diglosia. Unsur-unsur
tersebut mengacu pada makna budaya, keadaan masyarakat, serta keadaan posisi
seseorang dan orang lain di dalamnya.
Menurut Weinreich (dalam Dittmar, 1976: 119), pergeseran bahasa secara
keseluruhan bersifat struktural ekstra karena struktur linguistik dua bahasa yang
bersentuhan tidak menentukan bahasa apa menguasai bahasa yang mana.
Pergeseran bahasa bergantung pula pada nilai sosial dan prestise bahasa yang
terlibat. Kepunahan suatu bahasa bergantung pada beberapa faktor. Pertama,
faktor pendidikan. Kedua, faktor ekonomi. Maksudnya, ketika bahasa daerah tidak
menghasilkan keuntungan dari sisi ekonomi dan bahasa menghasilkan
keuntungan, maka bahasa daerah cenderung akan ditinggalkan dan memakai
46
bahasa lain yang mendatangkan keuntungan ekonomi itu. Ketiga, faktor politik.
Artinya, ketika pemegang kekuasaan melarang penggunaan bahasa tertentu, maka
bahasa itu cenderung ditinggalkan pendukungnya. Pergeseran terjadi manakala
bahasa yang lebih besar menginvasi bahasa yang minoritas atau bahasa yang lebih
kecil.
2.2.8 Kebertahanan
Kebertahanan bahasa dalam sebuah daerah dipengaruhi oleh lingkungan
alam dan lingkungan sosial. Kebertahanan suatu bahasa khususnya kebertahahan
kosakata terjadi apabila kosakata itu digunakan oleh pendukungnya secara terus-
menerus dalam berbagai ranah kehidupan sosial dan adat istiadat. Oleh karena itu,
jika suatu bahasa tidak digunakan dalam ranah-ranah penting, khususnya dalam
kehidupan keluarga dan sosioreligi, tidak akan terjadi kebertahanan (Crawford,
1995: 65).
Kebertahanan bahasa diartikan pula sebagai keadaan yang menunjukkan
bahwa masyarakat secara bersama-sama memutuskan untuk melanjutkan
menggunakan bahasanya di suatu daerah. Menurut Sumarsono (1990: 231)
pemertahanan bahasa terjadi dalam jangka panjang (paling tidak tiga generasi)
dan bersifat kolektif (dilakukan oleh seluruh warga guyub). Sikap positif
mendukung usaha untuk menggunakan bahasa minoritas dalam berbagai ranah.
Hal ini membantu menahan tekanan dari kelompok mayoritas untuk beralih
menggunakan bahasa mereka (Holmes, 2001: 61). Sebuah bahasa tetap bertahan
apabila penutur asli dan keturunannya masih tetap menggunakan bahasa tersebut
47
dalam lingkungan keluarga. Sebaliknya, apabila di dalam keluarga bahasa pertama
(B1) mulai tidak digunakan lagi, maka bahasa itu lambat laun akan hilang karena
tidak dipakai lagi dan tergeser oleh bahasa lain.
2.2.9 Ruwatan Kampung
Ruwatan pada dasarnya membuang sukerta (pembersih diri dari kotoran)
dalam pelaksanaan pertunjukan pakeliran pada umumnya yang ada di Pulau Jawa.
Istilah ruwat mempunyai arti pelihara atau rawat. Dalam bahasa Jawa, kata
diruwat mempunyai arti dipelihara atau dirawat. Istilah memelihara atau merawat,
dalam bahasa Jawa disebut ngruwat, ngrawat, angruwat, angrawat, hangruwat,
atau hangrawat. Pelaksanaan kegiatannya, dalam bahasa Jawa disebut ruwatan
atau rawatan (Hodijah, 2010: 16). Dengan demikian, jelaslah bahwa upacara
ritual adat ruwatan bertujuan memberikan petunjuk bagaimana cara memelihara
atau merawat hal sehingga kondisinya menjadi lebih baik atau sekurang-
kurangnya kondisi tetap terpelihara dengan baik. Pengertian tersebut dimaksudkan
adalah dengan suatu hal, yaitu kehidupan manusia itu sendiri.
Ruwatan kampung merupakan salah satu upacara tradisional masyarakat
Jawa, yaitu upacara adat yang telah terjadi secara turun-temurun di Pulau Jawa.
Upacara tradisional Jawa dalam makna filosofinya tentu menghadirkan
serangkaian tindakan dan tuturan yang tidak dirahasiakan oleh para pelakunya
(masyarakat setempat). Semua pelaku upacara dapat mengungkapkan tujuannya
secara terbuka. Pada umumnya setiap upacara ruwatan tidak lepas dengan
persembahan yang perlu dipersiapkan dalam melaksanakan ruwatan kampung.
48
Penyucian tempat tinggal masyarakat kampung dilakukan dengan cara meruwat
agar masyarakat kampung dalam keadaan aman, sejahtera, dan hasil panen
meningkat. Setiap penyucian tempat tinggal, khususnya punden di kampung,
kadang kala disertai dengan penyucian atau ngruwat benda-benda suci lainnya
menurut kepercayaan masyarakat Jawa. Bentuk pusaka budaya ini tidak semata-
mata merupakan salah satu cara berkomunikasi yang dikukuhkan oleh para pelaku
dan pendukungnya, tetapi melalui tradisi ini diharapkan juga terjadinya hubungan
lain, yang terbangun dari bahasa dan tindakan yang dijadikan mediumnya.
Upacara ruwatan kampung merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan
YME atas segala yang diperoleh dari hasil bumi. Tujuannya sebagai ungkapan
rasa syukur kepada Yang Mahakuasa, juga sebagai tolak bala serta ungkapan
penghormatan kepada leluhur (Hodijah. 2010: 11).
Upacara ruwatan kampung merupakan upacara yang telah dilakukan oleh
masyarakat secara turun-temurun sejak ratusan tahun lalu. Ruwatan kampung
sebagai upacara adat di suatu daerah dan merupakan hasil perkembangan dari
salah satu unsur kebudayaan, yaitu unsur religi. Unsur-unsur religi tersebut
dikembangkan oleh manusia dengan tujuan mengatasi keterbatasan yang dimiliki
dan untuk mencapai ketenangan jiwa atau kebahagiaan. Di samping itu, upacara
ruwatan kampung bertujuan untuk mendapatkan berkah, terhindar dari bala
bencana, terlepas dari sukerta, dan sebagai ucapan syukur kepada Tuhan.
49
2.3 Landasan Teori
Teori merupakan asas atau hukum-hukum umum yang menjadi dasar
(pijakan, pedoman, tuntutan) suatu ilmu pengetahuan. Menurut Snelbeker (dalam
Moleong, 2008: 57), teori berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan
menjelaskan fenomena yang diamati. Dengan kata lain, teori merupakan landasan
fundamental ilmiah sebagai argumentasi dasar untuk menjelaskan atau
memberikan jawaban rasional terhadap masalah yang digarap (Atmadilaga dalam
Gurning, 2004: 9). Teori yang digunakan untuk menganalisis rumusan masalah
dalam penelitian ini secara umum berpijak pada perspekstif sosiolinguistik yang
meliputi aspek sosial masyarakat dan bahasa.
Untuk mendukung penelitian ini, digunakan beberapa teori yang dianggap
relevan, yang diharapkan dapat mendukung temuan di lapangan mengenai tingkat
kebergeseran dan kebertahanan sebuah bahasa sehingga dapat memperkuat teori
dan keakuratan data. Teori-teori tersebut adalah sosiolinguistik, pengkategorisasi
kelas kata, dan ekolinguistik. Landasan teori tersebut digunakan untuk
menganalisis data berdasarkan pada masalah dalam penelitian, seperti bentuk-
bentuk leksikon ruwatan kampung pada ketegoti apa saja yang mengalami
kebergeseran dan kebertahanan, sejauh mana tingkat pemahaman masyarakat
terhadap lekskikon ruwatan kampung, serta faktor-faktor yang memengaruhinya.
Untuk lebih jelasnya teori tersebut disajikan dalam uraian berikut.
50
2.3.1 Teori Sosiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan salah satu cabang ilmu bahasa yang mempelajari
atau membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan-
perbedaan atau variasi yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-
faktor masyarakat. Sosiolinguistik juga mengkaji hubungan bahasa dan
masyarakat yang mengaitkan dua bidang yang dapat dikaji secara terpisah, yaitu
struktur formal bahasa oleh linguistik dan struktur masyarakat oleh sosiologi
(Wardhaugh 1984: 4; Holmes 1993: 1). Hubungan masyarakat dan bahasa pada
komunitas tertentu akan memengaruhi pemakaian bahasa dan kehidupan
masyarakat penutur bahasa tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Di samping itu, sosiolinguistik juga mengkaji tentang hubungan bahasa dan
masyarakat yang multi etnik pada komunitas tertentu, khususnya masyarakat
keturunan etnik Madura.
Menurut Nababan (1984: 2) sosiolinguistik terdiri ata dua unsur, yaitu sosio
dan linguistik. Artinya ilmu linguistik itu membicarakan bahasa, khususnya
unsur-unsur bahasa dan hubungan antara unsur-unsur itu (struktur), termasuk
hakekat dan pembentukan unsur-unsurnya. Unsur sosio, adalah seakar dengan
sosial, yaitu hubungan dengan masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat, dan
fungsi-fungsi kemasyarakatan. Masyarakat yang multietnik pada suatu komunitas
tentunya beragam bahasa dan budayanya seperti masyarakat yang berada di
Kampung Menganti. Masyarakat di Kampung Menganti mayoritas keturunan
Madura yang menetap lama secara turun-temurun. Kehidupan masyarakat
keturunan yang telah berlangsung cukup lama akan memengaruhi keterkaitan
51
dalam hal budaya dan adat istiadat Madura. Hubungan keterkaitan bahasa dengan
lingkungan masyarakat yang multi etnik tentunya memunculkan suatu ragam
bahasa pada masyarakat di Kampung Menganti, seperti bahasa Madura, bahasa
Jawa, dan bahasa Indonesia.
Pemakaian bahasa pada komunitas etnik Madura yang menetap di Pulau
Jawa secara otomatis akan mengikuti tradisi, adat istiadat, dan budaya Jawa.
Hubungan antarmasyarakat dengan lingkungan, dan bahasa pada ranah tertentu
akan memengaruhi pemakaian bahasa dari para penutur. Hymes (1989)
mengatakan bahwa sosiolinguistik dapat mengacu kepada pemakaian data
kebahasaan dan menganalisis ke dalam ilmu-ilmu lain yang menyangkut
kehidupan sosial, dan sebaliknya, mengacu kepada data kemasyarakatan dan
menganalisis ke dalam ilmu linguistik.
Unsur-unsur bahasa, masyarakat, dan sosial dalam ilmu sosiolinguistik juga
memengaruhi pemakaian bahasa para penutur asli. Unsur-unsur dalam linguistik
tersebut yang digunakan peneliti untuk membantu dalam menjawab
permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini, seperti untuk mengetahui
bentuk-bentuk leksikon ruwatan kampung pada kategori kelas kata apa saja yang
yang mengalami kebergeseran dan untuk sejauh mana tingkat pemahaman
masyarakat terhadap leksikon tersebut, dan faktor-faktor yang memengaruhinya.
Masyarakat dan bahasa memiliki hubungan yang sangat erat dalam kajian
sosiolinguistik. Ilmu sosiolinguistik membicarakan hubungan masyarakt sosial
dengan bahasa dari masyarakat tersebut. Di dalam ilmu sosiolinguistik juga
mempelajari unsur-unsur, seperti kedwibahasaan, pilihan bahasa, multibahasa,
52
alih kode, campur kode, dan diglosi. Unsur-unsur tersebut diharapkan dapat
membantu untuk memaparkan permasalah-permasalahan dalam penelitian ini.
Begitu pula keterkaitan masyarakat Menganti yang memiliki kemampuan dalam
kedwibahasaan atau multibahasa, di samping mereka menggunakan bahasa
Madura sebagai bahasa sehari-hari. Keterkaitan-keterkaitan pemakaian bahasa
Madura pada masyarakat Menganti tersebut memiliki peran penting untuk
mengetahui bentuk-bentuk leksikon ruwatan kampung dan untuk mengetahui
tingkat pemahaman penutur bahasa, apakah bahasa itu mulai bergeser atau masih
bertahan. Apabila komunitas tertentu (penutur asli) masih menggunakan Bahasa
Madura sebagai alat komunikasi setiap hari, maka bahasa itu mengalami
kebertahanan. Begitu pula sebaliknya, apabila penutur asli Bahasa Madura tidak
menggunakan pada kehidupan sehari-hari, khususnya pada lingkungan keluarga,
maka Bahasa Madura itu lambat laun akan bergeser dan pada akhirnya pundah.
Kebergeseran dan kebertahanan sebuah bahasa pada komunitas tertentu terjadi
pada kelompok minoritas. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan teori
sosiolinguistik.
Sosiolinguistik juga berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan atau
faktor sosial. Masalah utama yang dibahas atau dikaji dalam sosiolinguistik
adalah bahasa dalam konteks sosial dan kebudayaan yang menghubungkan faktor-
faktor kebahasaan, ciri-ciri bahasa, ragam bahasa, situasi, faktor-faktor sosial dan
budaya. Di samping itu, juga dikaji fungsi sosial dan penggunaan bahasa dalam
masyarakat. Dalam teori ini juga dibicarakan aspek-aspek lainnya, seperti
monolingual (Nababan, 1986: 15), kedwibahasaan (Kridalaksana, 2008: 36), multi
53
bahasa (Crystal, 1992: 147), dan variasi bahasa (Fishman, 1972). Aspek-aspek
tersebut dijadikan pedoman untuk membantu menjawab dan mendeskripskan
permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini.
2.3.2 Teori Kategorisasi
Kategorisasi atau lebih umum dikenal dengan pengklasifikasian kata.
Kategorisasi adalah proses dan hasil pengelompokkan unsur-unsur bahasa dan
bagian-bagian pengalaman manusia yang digambarkan ke dalam kategori-kategori
atau cara untuk mengungkapkan makna dengan pelbagai potensi yang ada dalam
bahasa (Kridalaksana, 2008: 113).
Secara umum pendekatan-pendekatan terhadap kategorisasi kelas kata dapat
digolongkan ke dalam atas tiga bagian, yaitu 1) tradisionalisme, 2) universalisme,
dan 3) deskriptivisme. Pendekatan tradisionalisme dianut oleh N. Chomsky dalam
bukunya Aspects of the Theory of Syntax (1965). Pendekatan universalisme dianut
oleh O. Jespersen dalam bukunya The Philosophy of Grammar (1924), dan
pendekatan deskriptivisme dipelopori oleh E. Sapir dalam bukunya Language
(1921). Pendekatan-pendekatan kelas kata tersebut di atas dijadikan sebagai bahan
acuan dalam penelitian ini, khususnya pada pengkategorian deskritivisme yang
dipelopori oleh E. Sapir. Menurut E. Sapir beranggapan bahwa karena tiap bahasa
mempunyai skema sendiri, maka tiap bahasa mempunyai sistem kelas kata
sendiri. Hal itu yang mendasari kategorisasi kelas kata dalam penelitian ini yang
menggunakan Bahasa Madura. Sistem kelas kata Bahasa Madura tentu berbeda
dengan system kelas kata secara gramatikalnya. Namun dalam penelitian ini tidak
54
membicarakan secara keseluruhan mengenai tata Bahasa Madura dalam
pengelompokkannya. Penelitian ini hanya membicarakan tingkat pemahaman
masyarakat keturunan etnik Madura terhadap leksikon ruwatan kampung yang
menetap di Pulau Jawa, khususnya di Kecamatan Menganti. Teori kategorisasi ini
digunakan untuk membantu dalam menganalisis kelas kata berdasarkan data dan
masalah yang ditemukan dilapangan.
Kajian kategorisasi ini diharapkan dapat membantu dalam menganalisis
kelas kata dalam pemahaman leksikon ruwatan kampung terhadap masyarakat
Kampung Menganti. Tujuan pengelompokkan kelas kata terhadap leksikon-
leksikon ruwatan kampung dalam penelitian ini untuk mempermudah
menganalisis data sehingga data yang diperoleh berupa leksikon dapat
dikelompokkan berdasarkan kelas kata dan permasalahannya. Teori ini juga
diharapkan dapat membantu untuk tingkat pemahaman masyarakat terhadap
leksikon-leksikon upacara ruwatan kampung di Kampung Menganti.
2.3.3 Teori Ekolinguistik
Ekolinguistik merupakan bidang linguistik yang mengkaji interaksi bahasa
dengan ekologinya. Mackey (dalam Fill dan Muhlhausler, 2001: 67) dalam
bukunya yang berjudul “The Ecology of Language Shift” menjelaskan pada
dasarnya ekologi merupakan kajian saling ketergantungan dalam suatu sistem.
Dalam ekologi bahasa, konsep ekologi memadukan lingkungan, konservasi,
interaksi, dan sistem dalam bahasa (Fill, 2001: 43).
55
Lingkungan bahasa dalam ekolinguisti meliputi lingkungan ragawi dan
sosial (Sapir dalam Fill dan Muhlhausler (2001: 14). Leksikon suatu bahasa dapat
dipandang sebagai suatu inventaris yang kompleks. Di dalamnya terkandung
berbagai pemikiran, minat, dan hal-hal lain yang menjadi pusat perhatian dalam
komunikasi bahasa tersebut. Leksikon juga memiliki fungsi sebagai keterangan
yang membantu menggambarkan ciri-ciri lingkungan fisik dan lingkungan budaya
penutur bahasa tersebut. Leksikon-leksikon tersebut menunjukkan adanya
hubungan simbolik secara verba antara masyarakat setempat dan bahasa yang
digunakan oleh masyarakat Menganti, yaitu bahasa Madura. Peneliti ini tidak
membicarakan kajian ekolinguistik terlalu mendalam untuk membedah objek dan
aspek yang sedang diteliti, hanya saja digunakan untuk membantu menjawab
permasalahan dalam penelitian ini.
Lebih jauh lagi, Lindo dan Steffensen (2000: 10--11) mengatakan bahwa (1)
bahasa yang hidup adalah bahasa yang digunakan untuk menggambarkan dan
merepresentasikan realitas di lingkungan, baik lingkungan sosial maupun
lingkungan alam, serta (2) dinamika dan perubahan yang terjadi pada tataran
leksikon dipengaruhi oleh ketiga dimensi, yaitu dimensi ideologis, dimensi
sosiologis, dan dimensi biologis. Seiring dengan dinamika yang seperti itu,
permasalahan juga dihadapi oleh masyarakat keturunan etnik Madura di Kampung
Menganti, yaitu mulai berkurangnya tingkat pemahaman leksikon, khususnya
ruwatan kampung karena adanya perubahan lingkungan. Di samping itu, tidak
adanya kesadaran masyarakat golongan muda dan peran orang tua untuk
menggunakan bahasa Madura pada ranah keluarga dan bermasyarakat.
56
Pemakaian bahasa Madura pada komunitas masyarakat Menganti yang
berada di Pulau Jawa tentu memiliki pengaruh terhadap bahasa yang digunakan.
Hal terjadi karena bahasa yang hidup digunakan untuk menggambarkan,
mewakili, melukiskan (merepresentasikan secara simbolik verbal) realitas di
masyarakat sosial di Menganti. Di samping lingkungan sosial, juga termasuk
lingkungan ragawi dan lingkungan buatan manusia (lingkungan sosial budaya).
Setiap leksikon (kosakata) dengan jelas mencerminkan atau menggambarkan
lingkungan psikis dan lingkungan sosial penutur suatu bahasa. Setiap kosakata
atau leksikon merupakan suatu inventaris bahasa yang diturunkan secara turun-
temurun dari leluhur sebelumnya, baik inventaris itu secara lisan atau tulis.
Leksikon-leksikon tersebut juga mengimplementasikan bahwa bahasa mengalami
perubahan seiring dengan perubahan lingkungan alamiah dan lingkungan
sosialnya (Mbete, 2009: 7).
Perubahan-perubahan lingkungan pasti akan memengaruhi keberlangsungan
kehidupan ekosistem di lingkungan sawah dan sekitar puden. Perubahan
lingkungan berdampak bagi leksikon-leksikon yang sebelumnya pernah ada, akan
tetapi sekarang mulai tidak dikenal lagi. Apabila kondisi ekosistem dan ekologi
berubah, maka sejumlah entitas pun akan mengalami perubahan, penyusutan, atau
hilang sama sekali. Akibatnya, lama kelamaan tingkat pemahaman masyarakat
mengenai sejumlah leksikon-leksikon ruwatan kampung akan hilang. Keadaan
seperti itu terjadi pula di masyarakat Menganti pada ranah pemahaman tentang
leksikon-leksikon ruwatan kampung.
57
Perubahan sejumlah leksikon yang menjadi penyebab hilang dan
bertahannya leksikon di lingkungan persawahan dan sekitar punden. Dengan
demikian, permasalahan mengenai faktor kebergeseran dan kebertahanan dapat
dikaji dengan menggunakan teori ekolinguistik. Kajian ini berkaitan dengan
sejumlah leksikon-leksikon yang mulai hilang, tidak dipahami, tidak dikenal, dan
tidak diketahui dengan baik oleh masyarakat kampung Menganti.
Penelitian ini menggunakan teori ekolinguistik sebagai pendukung teori
sosiolinguistik. Alasan pemilihan teori ekolinguistik karena dalam penelitian ini
ada kaitannya dengan sejumlah leksikon-leksikon RK yang telah mengalami
kebergeseran. Di samping itu, teori ekolinguistik ini digunakan untuk menjawab
permasalah yang ketiga pada penelitian ini, yaitu faktor-faktor yang memengaruhi
kebergeseran dan kebertahanan leksikon ruwatan kampung. Teori ekolinguistik ini
juga diharapkan dapat mendeskripsikan dan membedah permasalahan lingkungan
mengenai faktor yang menyebakan hilangnya leksikon-leksikon ruwatan
kampung. Meskipun pada ranah ini tidak banyak ditemukan leksikon-leksikon
yang berasal dari lingkungan sawah, akan tetapi bentuk-bentuk persembahan
(sesajen) dalam upacara ruwatan kampung yang di bawa ke punden itu berasal
dari hasil panen (bumi) masyarakat petani di Kampung Menganti. Di lihat dari
kehidupan masyarakat Kampung Menganti yang mayoritas sebagai petani, segala
kebutuhan masyarakat kampung berasal dari sawah. Melihat fenomena demikian
tidak menutup kemungkinan adanya keterkaitan hubungan erat antara manusia
dengan lingkungannya
58
2.4 Model Penelitian
Model adalah sistem postulat, data, dan inferensi yang disajikan sebagai
deskripsi bahasa atau bagian lain struktur bahasa (Kridalaksana, 2008: 155).
Model penelitian adalah suatu gambaran, deskripsi, dan pedoman kerja bagi
peneliti agar alur berpikir peneliti tetap terfokus pada permasalahan dan teori yang
mendukung untuk mencapai hasil penelitian yang dimaksud. Penelitian ini juga
memberikan batasan kepada peneliti agar jangkauan dan batasan yang ada dalam
masalah tetap sesuai dengan tujuan dan prosedur yang ada. Adapun model
penelitian ini sebagai berikut.
59
Model Penelitian
Bagan 1 Model Penelitian
Keterangan
RK : ruwatan kampung
: hubungan langsung
: yang digunakan
: saling berhubungan
Bahasa Madura
Ruwatan Kampung
Teks Tuturan Leksikon RK
Faktor-faktor yang
Memengaruhi
Pemahaman Kebergeseran dan
Kebertahanan RK
Kategorisasi Kelas
Kata Leksikon RK
Teori Ekolinguistik
Fill, Muhlhausler (2001)
Metode Kualitatif
Kuantitatif
Teori Sosiolinguistik
(Nababan, Wardhaugh, 1984),
(Hymes, 1989), (Holmes,
1993), dan Snelbeker (2008).
Hasil Temuan
Teori Kategorisasi
(E. Sapir, 1921) dan
(Kridalaksana, 1990)