bab ii kajian pustaka, konsep, landasan teori dan … · disertasi ”pembertahanan tradisi ruwatan...

27
10 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka merupakan telaah terhadap pustaka, hasil-hasil penelitian sejenis yang digunakan sebagai referensi dan untuk menunjukkan orijinalitas penelitian ini. Beberapa kepustakaan yang dimaksud adalah sebagai berikut. Widyastuti dalam skripsinya yang berjudul ”Prosesi dan Fungsi Upacara Ngerebeg (Makotekan) di Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung” (2006) mengungkapkan bahwa upacara tradisi Makotek yang disebut sebagai Makotekan itu diyakini keramat oleh masyarakat di Desa Munggu. Dikatakan bahwa masyarakat di Desa Munggu melaksanakan tradisi Makotek untuk memohon keselamatan, penyembuhan penyakit, dan menolak bala bagi masyarakat yang bersangkutan. Penelitian yang dilakukan oleh Widyastuti dan disertasi ”Tradisi Makotek di Desa Munggu, Badung pada Era Global” ini memang sama-sama mengkaji tradisi Makotek di Desa Munggu. Namun, jika dicermati secara saksama, dapat dipahami bahwa tujuan, objek formal dan tahun pelaksanaan kedua penelitian tersebut berbeda. Widyastuti mengkaji awal mula muncul serta keterkaitan tradisi Makotek dengan upacara Ngerebeg, sementara disertasi ini mengkaji hal-hal yang melatari masyarakat di Desa Munggu tetap 10

Upload: dinhdan

Post on 02-Apr-2019

239 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL

PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan telaah terhadap pustaka, hasil-hasil

penelitian sejenis yang digunakan sebagai referensi dan untuk menunjukkan

orijinalitas penelitian ini. Beberapa kepustakaan yang dimaksud adalah

sebagai berikut.

Widyastuti dalam skripsinya yang berjudul ”Prosesi dan Fungsi Upacara

Ngerebeg (Makotekan) di Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten

Badung” (2006) mengungkapkan bahwa upacara tradisi Makotek yang disebut

sebagai Makotekan itu diyakini keramat oleh masyarakat di Desa Munggu.

Dikatakan bahwa masyarakat di Desa Munggu melaksanakan tradisi Makotek

untuk memohon keselamatan, penyembuhan penyakit, dan menolak bala bagi

masyarakat yang bersangkutan.

Penelitian yang dilakukan oleh Widyastuti dan disertasi ”Tradisi Makotek

di Desa Munggu, Badung pada Era Global” ini memang sama-sama

mengkaji tradisi Makotek di Desa Munggu. Namun, jika dicermati secara

saksama, dapat dipahami bahwa tujuan, objek formal dan tahun pelaksanaan

kedua penelitian tersebut berbeda. Widyastuti mengkaji awal mula muncul serta

keterkaitan tradisi Makotek dengan upacara Ngerebeg, sementara disertasi ini

mengkaji hal-hal yang melatari masyarakat di Desa Munggu tetap

10

11

melaksanakan tradisi Makotek hingga kini, bagaimana pelaksanaannya, dan apa

implikasinya bagi masyarakat yang bersangkutan pada era global ini. Widyastuti

melaksanakan penelitian pada tahun 2006, sementara penelitian disertasi ini

dilaksanakan pada tahun 2015.

Berdasarkan kajian pustaka tersebut dapat dipahami bahwa penelitian

Widyastuti dan penelitian disertasi ini memang sama-sama mengkaji ”Tradisi

Makotek di Desa Munggu”. Namun, jika diamati tujuan, fokus kajian dan

tahun pelaksanaan kedua penelitian tersebut tampak berbeda. Widyastuti

mengkaji tradisi Makotek secara monodisipliner, sementara disertasi ini

mengkaji tradisi Makotek secara interdisipliner. Perbedaan tersebut tentu juga

berimplikasi terhadap simpulan kedua penelitian tradisi lisan ini.

Wiryani dalam skripsinya “Tari Makotekan dalam Upacara Ngrebeg di

Desa Munggu Kabupaten Badung” (2011) mengatakan bahwa Makotekan adalah

sebuah tari tradisional masyarakat di Desa Munggu. Tradisi Makotek yang

dipandang sebagai sebuah tari oleh Wiryani dikatakan pentas di Desa Munggu

setiap hari raya Kuningan. Tradisi diawali dengan ritual penyucian di Pura

Desa Munggu, masyarakat setempat mementaskan tari Makotekan di Pura

Luhur Sapuh Jagat Desa Munggu. Tari Makotekan dikatakan memiliki ragam

gerak sederhana, menggunakan pakaian adat madya, dan diiringi gamelan

balaganjur.

Penelitian yang dilakukan oleh Wiryani dan disertasi ”Tradisi Makotek

di Desa Munggu, Badung pada Era Global” tampak sama-sama mengkaji

tradisi Makotek di Desa Munggu. Namun, jika dicermati secara saksama,

12

dapat dipahami bahwa tujuan penelitian, perspektif, objek formal dan tahun

pelaksanaan kedua penelitian berbeda.

Wiryani mengkaji tradisi Makotek dalam perspektif seni, secara

monodisipliner. Sementara disertasi ini mengkaji tradisi lisan dalam perspektif

kajian budaya secara interdisipliner. Wiryani mengkaji objek formal tentang

bentuk dan fungsi tari Makotek, sementara fokus kajian disertasi ini adalah

tentang hal-hal yang melatari masyarakat di Desa Munggu tetap

melaksanakan tradisi Makotek hingga kini, bagaimana pelaksanaannya, dan apa

implikasinya bagi masyarakat yang bersangkutan pada era global ini. Lokasi

penelitian Wiryani dan disertasi ini memang sama-sama di Desa Munggu, tetapi

jika dicermati pelaksanaannya, tampak bahwa Wiryani melaksanakan penelitian

pada tahun 2011, sementara penelitian disertasi ini dilakukan pada tahun 2015.

Berdasarkan kajian pustaka tersebut dapat dipahami bahwa skripsi Wiryani

dan disertasi ini memang sama-sama mengkaji obyek material yang sama, yakni

”Makotek di Desa Munggu”. Namun, jika diamati dari tujuan, perspektif, fokus

kajian, dan tahun pelaksanaan kedua penelitian tersebut berbeda. Wiryani

mengkaji Makotek dalam perspektif seni, secara monodisipliner. Sementara

disertasi ini mengkaji Makotek dalam perspektif kajian budaya secara

interdisipliner. Dengan demikian, perbedaan tentu juga terdapat pada simpulan

kedua penelitian.

Relin dalam disertasinya yang berjudul ”Pembertahanan Tradisi

Ruwatan dalam Era Modernisasi dalam Masyarakat Jawa”, (2011)

mengatakan bahwa pelaksanaan ruwatan di Jawa diyakini oleh masyarakat

13

dapat menghilangkan kesialan hidup, menolak bala terutama menghindari

ancaman penderitaan dari Bhatara Kala. Ritual tersebut hingga kini masih

eksis, tetapi dikatakan bahwa pada pelaksanaan tradisi ruwatan tersebut terjadi

gejolak hiperspiritualitas terhadap Bhatara Kala. Melalui simbol-simbol,

Bhatara Kala dikatakan ada kaitannya dengan manusia dan Tuhan. Tuhan

diyakini sebagai sumber ketenteraman, kebahagiaan dan sumber perlindungan

yang dapat memediasi munculnya beragam makna sosial religius serta

multikultural baru dalam penguatan lokal jenius, fisiologis, ekonomi dan

sosial pada masyarakat Jawa.

Disertasi ”Pembertahanan Tradisi Ruwatan dalam Era Modernisasi

dalam Masyarakat Jawa”, yang ditulis oleh Relin tampak sama-sama

mengkaji tradisi lisan yang hingga era global ini masih tetap lestari. Kedua

penelitian sama-sama mengkaji kearifan lokal sebagai suatu potensi kekuatan

kultural dan kebanggaan masyarakat bersangkutan. Kedua penelitian memang

sama-sama mengkaji kearifan lokal yang bermakna sebagai ritus tolak bala.

Namun, jika dicermati kedua penelitian tersebut sesungguhnya mengkaji

materi, objek formal, lokasi dan tahun pelaksanaan yang berbeda.

Relin mengkaji ”Pembertahanan Tradisi Ruwatan pada Era Modernisasi

dalam Masyarakat Jawa”, sedangkan penelitian ini mengkaji ”Tradisi Makotek di

Desa Munggu, Badung pada Era Global”. Materi yang dikaji oleh Relin

adalah pelaksanaan ruwatan yang diyakini masyarakat di Jawa dapat

menghilangkan kesialan hidup, menolak bala terutama menghindari ancaman

dari Bhatara Kala. Di pihak lain disertasi ini mengkaji pelaksanaan, hal-hal yang

14

melatari dan implikasi pelaksanaan tradisi Makotek bagi masyarakat yang

bersangkutan. Relin melaksanakan penelitiannya di Jawa pada tahun 2011,

sementara penelitian ini dilaksanakan di Desa Munggu, Badung pada tahun

2015.

Renawati dalam disertasinya yang berjudul ”Mrateka Marana Hama

Tikus sebagai Praktik Sosial Budaya Petani di Desa Bedha, Tabanan” (2012)

mengungkapkan bahwa (1) praktik petani dalam penanggulangan hama tikus

di Desa Bedha dalam skala sosial secara ideologis berupa kepercayaan

tradisional, komunalisme, kesejahteraan bersama (sosial ekonomi); (2) bentuk

mrateka marana dilaksanakan dari penangkapan dan pengropyokan tikus secara

massal hingga diaben, ngroras atau memukur yang dirangkaikan dengan

pecaruan di Pura Puseh Bedha dan di Pantai Yeh Gangga. Seluruh rangkaian

upacara itu disebut ngelanus. Setelah upacara ngelanus, beberapa hari

kemudian dilakukan upacara nyalanan. Upacara nyalanan merupakan ritual

ungkapan rasa terima kasih kepada Tuhan. Upacara mrateka marana

dikatakan berbeda dibandingkan dengan upacara ngaben. Upacara ngaben yang

dilakukan untuk manusia Bali disebut ngaben, ngroras/memukur manusia,

atmanya (rohnya) ditempatkan pada pelinggih Dewa Hyang, sementara

mrateka marana, roh binatang tersebut dikembalikan ke laut; (3) mrateka

marana berdampak pada ekonomi, sosial dan psikologis. Sementara, makna

upacara mrateka marana hama tikus dikatakan terdiri atas makna teologi,

kelestarian, kesuburan alam, keselamatan, ketentraman hati, dan makna

hiperialitas.

15

Jika dibandingkan antara disertasi yang ditulis oleh Renawati dan

disertasi ”Tradisi Makotek di Desa Munggu, Badung pada Era Global” ini

tampak keduanya sama-sama mengkaji objek material sejenis. Sama-sama

mengkaji tradisi lisan yang hingga pada era global ini masih tetap lestari.

Namun, jika dicermati, tampak bahwa kedua penelitian memiliki perbedaan.

Perbedaan itu dapat dilihat pada materi, tujuan, objek formal, lokasi dan

tahun pelaksanaan kedua penelitian tersebut.

Renawati mengkaji ”Mrateka Marana Hama Tikus”, sementara

penelitian ini mengkaji ”Tradisi Makotek”. Objek formal penelitian Renawati

tentang kearifan praktik petani dalam penanggulangan hama tikus, sementara

penelitian ini mengkaji hal-hal yang melatari mengapa, bagaimana, dan

implikasi pelaksanaan tradisi Makotek itu bagi masyarakat yang

bersangkutan pada era global ini.

Objek material kedua penelitian tersebut tampak sangat berbeda.

Renawati mengkaji ritual mrateka merana, sementara penelitian ini mengkaji

tradisi Makotek. Perbedaan itu juga tampak pada lokasi dan tahun pelaksanaan

penelitiannya. Renawati melaksanakan penelitian di desa Bedha, Tabanan

pada tahun 2012, sementara penelitian tradisi Makotek ini dilaksanakan di

Desa Munggu, Badung pada tahun 2015.

Gunayaksa dalam disertasinya yang berjudul ”Cepung Sasak : Tradisi

Lisan di Lombok Nusa Tenggara Barat” (2010) mengatakan bahwa Cepung Sasak

memiliki formula tersendiri (bentuk, tema, bunyi, gaya, dsb). Proses penciptaan

Cepung Sasak dilakukan di dalam dan di luar penceritaan. Fungsi

16

penceritaan Cepung Sasak adalah untuk mengingatkan pentingnya

genealogisitas historis etnik Sasak dalam konteks kekinian, pendidikan,

hiburan, solidaritas antaretnis, pengendalian sosial, protes sosial, dan religius.

Di pihak lain makna Cepung Sasak meliputi kasih sayang, ritual, sosial

legitimatif dan kesadaran kolektif.

Jika diamati antara disertasi ”Cepung Sasak di Lombok Nusa Tenggara

Barat”, yang ditulis oleh Gunayaksa dan disertasi ”Tradisi Makotek di Desa

Munggu” ini memang sama-sama mengkaji tradisi lisan sebagai suatu potensi

kekuatan kultural dan kebanggaan masyarakat yang bersangkutan. Namun, jika

diamati dari objek material, tujuan, objek formal, lokasi, dan tahun

pelaksanaan kedua penelitian tersebut berbeda.

Gunayaksa mengkaji tradisi lisan ”Cepung Sasak”, sedangkan penelitian

ini mengkaji tentang tradisi lisan ”Makotek”. Gunayaksa melaksanakan

penelitian di Lombok, Nusa Tenggara Barat pada tahun 2010, sementara

penelitian ini dilaksanakan di Desa Munggu, Badung pada tahun 2015.

2.2 Konsep

Konsep merupakan pengertian-pengertian dasar yang berlaku umum,

baik secara teoretis maupun praktis, terkait dengan objek material suatu

penelitian. Konsep menyangkut unit-unit analisis objek penelitian yang dikaji.

Konsep dalam penelitian perlu dideskripsikan, dijelaskan makna serta ruang

lingkupnya agar analisis, pembahasan terfokus sesuai dengan tujuan

penelitian. Dengan penjelasan yang diberikan maka pemahaman, penentuan

17

sumber dan jenis data dalam penelitian lebih mudah dilakukan. Untuk itu,

beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai

berikut.

2.2.1 Tradisi Makotek

Makotek merupakan sebuah tradisi lisan yang dimaknai sebagai ritual

tolak bala bagi masyarakat Desa Munggu, Badung. Tradisi ritual tolak bala

tersebut dilaksanakan setiap enam bulan sekali, tepatnya setiap hari raya

Kuningan. Tradisi Makotek merupakan manifestasi dari praktik budaya yang

telah melembaga pada masyarakat di Desa Munggu dalam kurun waktu yang

cukup lama. Tradisi tersebut diperkirakan telah berlangsung secara

berkelanjutan 2--3 generasi, kurang lebih seratus tahun. Lamanya tradisi tolak

bala tersebut melembaga di Desa Munggu tidak terlepas dari dukungan

masyarakatnya, berbagai komponen budaya Desa Munggu, seperti adat istiadat

yang terdapat pada sistem budaya kolektif masyarakat di desa tersebut.

Tradisi yang dimaknai sebagai ritual tolak bala tersebut melibatkan hampir

seluruh warga masyarakat di Desa Munggu. Sebagai sebuah praktik budaya,

Makotek identik dengan tradisi etnis warga masyarakat Hindu Bali yang

diteruskan secara tradisi lisan turun-temurun di Desa Munggu. Tradisi

Makotek bersifat sangat khas untuk memohon keselamatan. Semua warga

masyarakat laki-laki dewasa membawa kayu pulet berjalan beramai-ramai

mengelilingi wilayah Desa Munggu diiringi nyanyian kidung dan gamelan

balaganjur. Pada setiap pertigaan yang dilalui, mereka berkumpul kemudian

18

mengadupadankan tongkat kayu pulet yang dibawanya, berputar-putar hingga

berbunyi ‘tek..tek...tek..’, membentuk semacam piramida diiringi sorak-sorai

masyarakat dan riuhnya gamelan balaganjur.

Sebagai sebuah bentuk puji syukur, pelaksanaan tradisi Makotek yang

diiringi nyanyi-nyanyian kidung menyiratkan arti simbol kemenangan dan

kebanggaan kolektif atas keberhasilan para leluhur warga Desa Munggu

dalam menangkal musibah dan wabah penyakit pada masa lampau.

2.2.2 Era Global

Era global merupakan zaman yaitu kehidupan manusia di berbagai

belahan dunia seolah tanpa batas karena adanya kemajuan, kecanggihan

teknologi yang mampu membuat setiap orang dengan mudah dapat mengakses

segala informasi, pengetahuan di berbagai belahan dunia. Pada era global

ideologi difusi gaya baru itu seolah menjadikan dunia ini satu dimensi. Selain

itu, berpengaruh kuat terhadap perubahan, pelestarian hingga pembentukan

masyarakat melalui proses identifikasi diri dan pembedaan status antarorang.

Abdullah ( 2009) dan Appadurai (2006) mengatakan bahwa era global

dicirikan dengan adanya keadikuasaan tatanan global. Artinya, etos

kapitalistik menjadi kekuatan paling berpengaruh dalam menentukan,

mengarahkan, sampai dengan mengubah status. Bahkan, nilai-nilai budaya

luar bisa saja menjadi basis sub-sub unit kebudayaan lokal melalui globalisasi

yang melibatkan berbagai dimensi, antara lain etnoscape, ideoscape,

technoscape, mediascape, dan finanscape.

19

Tradisi Makotek merupakan salah satu jenis lokal jenius Bali yang

menarik untuk dikaji. Pelaksanaan tradisi Makotek melibatkan seluruh warga

masyarakat Desa Munggu masih tetap lestari hingga pada era global.

2.2.3 Masyarakat Desa Munggu

Masyarakat Desa Munggu merupakan kolektif sosial yang bertempat

tinggal di salah satu wilayah Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali.

Kehidupan kolektif masyarakat tersebut tampak sangat religius. Hal itu dapat

diamati dari perilaku mereka dalam menyikapi kehidupannya sehari-hari.

Pada umumnya mereka selalu melaksanakan upacara persembahan,

baik secara personal maupun kolektif, ketika akan memulai atau mengakhiri

suatu kegiatan. Secara individual, mereka pada umumnya melakukan

persembahyangan di rumahnya masing-masing. Sementara secara kolektif, pada

umumnya mereka melakukan persembahyangan secara bersama-sama di balai

banjar, di pura khayangan tiga, dan sebagainya. Agar dapat melakukan kegiatan

ritus secara kolektif, mereka bahkan rela meninggalkan kegiatannya sejenak agar

dapat berkumpul, melakukan perembahyangan bersama. Padahal, mereka

memiliki profesi yang heterogen. Namun, dalam menjalankan kehidupannya

sehari-hari mereka tampak sangat kompak melakukan kegiatan-kegiatan upacara

secara kolektif.

Salah satu kegiatan ritus upacara berskala besar yang hingga kini

secara rutin mereka laksanakan adalah Makotek. Tradisi Makotek merupakan

salah satu tradisi lisan yang dimaknai masyarakat Desa Munggu sebagai ritual

20

tolak bala. Tradisi tersebut telah diteruskan secara tradisi lisan, turun-temurun

oleh masyarakat di Desa Munggu. Tradisi budaya tersebut secara kolektif

dimaknai sebagai penyucian terhadap alam lingkungan tempat tinggal mereka

yang hingga kini masih tetap dilaksanakan secara rutin.

Tradisi Makotek sangat khas dan terwariskan sebagai sebuah tradisi

budaya Hindu Bali di Desa Munggu. Setiap enam bulan sekali, tepatnya setiap

hari raya Kuningan warga desa Munggu melaksanakan tradisi tersebut.

Masyarakat Desa Munggu yang dominan sebagai petani sejak dahulu

melakukan tradisi Makotek untuk menjaga kesucian alam lingkungan tempat

tinggal mereka. Mereka yakin bahwa di sekitar mereka ada kekuatan gaib yang

dapat memengaruhi kehidupan manusia. Jika mereka rajin melaksanakan

kewajibannya, yaitu mempersembahkan sesaji sebagai salah satu bentuk

penghormatan ataupun puji syukur atas berkah yang telah dinikmati selama ini.

Untuk itu, secara kolektif masyarakat Desa Munggu tidak berani meninggalkan

tradisi Makotek hingga kini. Walaupun mereka telah memiliki kehidupan yang

heterogen. Bahkan, banyak dari mereka telah bertempat tinggal di luar wilayah

Desa Munggu.

Karakteristik budaya masyarakat Desa Munggu yang religius tersebut

secara simbolik direpresentasikan dalam bentuk lambang Desa Munggu, yang

ditandai dengan lingkaran padma ngelayang berhuruf Bali ‘ongkara’ dan di

bawahnya terdapat sebuah pita bertuliskan moto “Manggeh Jayeng Rat”.

Simbol tersebut dimaknai masyarakatnya sebagai harapan keberhasilan mereka

dalam hidup bermasyarakat melalui jalan dharma dan budi yang luhur.

21

2.3 Landasan Teori

Teori merupakan instrumen logika untuk menjelaskan, memberikan

gambaran tentang objek yang dikaji melalui mekanisme prediksi dan

deskripsi. Konstruksi teori berupa narasi-narasi untuk membedakan,

menerangkan ciri-ciri umum sampai dengan mendefinisikan (Barker, 2005: 525).

Terkait dengan hal itu, dalam penelitian ini digunakan beberapa teori yang

relevan untuk menjelaskan permasalahan yang telah dirumuskan, yaitu sebagai

berikut.

2.3.1 Teori Dekonstruksi

Dekonstruksi secara umum dapat dipahami sebagai pembongkaran

teks tatanan sosial yang telah terkonstruksi (Barker, 2005:102). Pembongkaran

teks secara dekonstruktif didasari oleh asumsi-asumsi teks tersebut. Teori

dekonstruksi digunakan untuk membongkar, membahas, dan mengkaji

permasalahan tradisi Makotek yang hingga kini tetap dilaksanakan oleh warga

masyarakat Desa Munggu. Sehubungan dengan itu, mekanisme dekonstruksi

dapat diartikan sebagai cara pengurangan terhadap daya intensitas atau

konstruksi berdasarkan susunan baku bahkan universal. Terdapat tiga prinsip

dasar pemikiran dekonstruksi Derrida yaitu (1) berawal dari konstruksi oposisi

biner, Derrida berupaya menunda pembenaran pusat terhadap ordinat untuk

menyimak realita ordinat; (2) Derrida mengkritik dominasi struktur yang paling

benar sehingga dekonstruksi mengandung arti lain sebagai upaya menolak

sentralisasi kekuasaan; dan (3) Derrida mengajukan tawaran dalam rangka

22

membendung konsep metafisika dari logosentrisme Barat. Dari ketiga prinsip

dasar ini, Derrida berpendapat bahwa pusat-pusat kebenaran tidak boleh

terbungkam begitu saja atau terlalu bergantung pada subjek tertentu, tetapi

membiarkan terurai dalam pemaknaan tiada henti untuk dapat lebih memahami

realita sesungguhnya.

Dekonstruksi bermakna pembongkaran atas oposisi biner hierarkis yang

berkontribusi terhadap terciptanya kebenaran atas penafikan pasangan yang

lebih inferior dalam tiap-tiap oposisi dalam paham modernisme (Barker,

2005:102). Pembongkaran teks berdasarkan asumsi-asumsi teks tersebut

merupakan ciri khas dari dekonstruksi. Teori dekonstruksi dalam penelitian ini

digunakan untuk mengungkap permasalahan tradisi Makotek yang meliputi

pandangan masyarakat, pelaksanaan, dan implikasinya bagi masyarakat yang

bersangkutan pada era global.

2.3.2 Teori Praktik

Teori praktik merupakan kerangka pikir tentang hal-hal terkait dengan

praktik, yang kebenarannya telah teruji. Bourdieu dalam Harker (2009)

mengusulkan sebuah pemetaan hubungan kuasa dalam masyarakat dengan

mendasarkan pada logika posisi kepemilikan sumber daya. Pemetaan ini lebih

berupa suatu lingkungan pembedaan modal dan komponen modal-modal

tersebut. Harker mengungkapkan bahwa modal secara konseptual merupakan

sumber tinjauan Bourdieu untuk menjelaskan hubungan-hubungan kekuasaan di

tengah masyarakat.

23

Bourdieu menggolongkan modal menjadi tiga jenis, yaitu modal

ekonomi, modal sosial, dan modal budaya sebagai basis keberadaan struktur

sosial. Sehubungan dengan itu, Makotek merupakan praktik ritual masyarakat

Desa Munggu yang telah mentradisi dan unsur kekhasannya menunjukan

nilai lebih dari modal budaya dalam kesatuan masyarakat tersebut.

Hingga kini, kearifan tradisi Makotek masih lestari di tengah

diferensiasi sosial ekonomi masyarakat Desa Munggu menunjukkan formulasi

pemetaan sumber daya khusus dalam transmisinya. Secara fungsional,

tindakan massa di tengah diferensiasi tersebut sulit untuk direalisasikan, apalagi

konsisten dalam dinamika masyarakat dengan mobilitas tinggi (Beaner dan

Veaner, 2008). Untuk itu teori praktik dipandang relevan digunakan untuk

mengkaji tradisi Makotek, yang tentunya tidak terlepas dari relasi potensi

atau modal dan orientasi budaya masyarakat Desa Munggu pada ranah

kehidupan, terutama pada ranah budaya desa tersebut yang menunjukkan

konfiguratifnya dalam praktik budaya religi setiap hari raya Kuningan.

2.3.3 Teori Simbol

Teori Simbol merupakan kerangka pikir tentang hal-hal yang terkait

dengan simbol, diungkapkan manusia melalui tanda yang telah disepakati

dengan makna tertentu. Manifestasi dan karakteristik simbol tidak terbatas pada

isyarat fisik, tetapi dapat berwujud penggunaan kata-kata yakni simbol suara

yang mengandung arti bersama serta bersifat standar. Triguna (2000: 7)

mengatakan bahwa simbol dapat memimpin pemahaman subjek kepada objek.

24

Artinya, pada makna tertentu, simbol sering memiliki makna mendalam,

paling bernilai dalam kehidupan suatu masyarakat.

De Saussure (1996) menyatakan bahwa ada tiga komponen pokok

dalam simbol. Pertama, adanya tanda yang diwujudkan dalam bentuk

peristiwa, yang dalam penelitian ini adalah pelaksanaan tradisi Makotek.

Kedua, adanya masyarakat di Desa Munggu sebagai penerima tanda/pesan

yang disampaikan oleh para pelaku. Ketiga, adanya media/perantara kedua

belah pihak yang dalam konteks ini adalah ritual upacara tolak bala yang

dilaksanakan masyarakat di Desa Munggu. Prosesnya diawali dengan

mempersembahkan sesaji kepada para dewata sebagai penguasa alam,

kemudian ditutup dengan pelaksanaan tradisi Makotek. Masyarakat di Desa

Munggu, Badung menerima pesan, tanda dan makna yang disampaikan oleh

pelaksanaan tradisi Makotek sebagai sebuah simbol penyucian terhadap alam

lingkungan di Desa Munggu agar mereka terhindar dari malapetaka dan

memperoleh kedamaian dalam menjalankan kehidupannya.

Tradisi tersebut sangat bermakna bagi kedamaian hidup masyarakat di

Desa Munggu. Dengan demikian, hingga saat ini mereka tidak berani untuk

tidak melaksanakan upacara tolak bala yang diakhiri dengan rangkaian prosesi

Makotek mengelilingi wilayah di Desa Munggu. Selain menjaga kontinuitas

pelaksanaan tradisi Makotek, mereka juga tampak sangat kuat menjaga dan

menghormati simbol-simbol yang terdapat dalam tradisi Makotek tersebut.

Walaupun orang lain menilai bahwa pelaksanaan tradisi Makotek

tersebut sebagai sebuah tindakan yang tidak masuk akal karena tradisi Makotek

25

dianggap memiliki makna penting bagi kehidupannya, maka mereka pun

sangat menghargai dan menjaga baik kesakralan peralatan maupun

pelaksanaan tradisi tersebut. Hal itu dapat dilihat dari sikap mereka yang sangat

antusias dan bersungguh-sungguh dalam mempersiapkan, melaksanakan

tradisi Makotek. Masyarakat Desa Munggu menganggap bahwa dengan

melaksanakan tradisi tolak bala yang disimbolkan sebagai proses penyucian

alam dapat menghindari kehidupannya dari mara bahaya (Cassirer, 1987:36--

40).

Pelaksanaan tradisi Makotek oleh kaum laki-laki di desa tersebut

menimbulkan keyakinan bahwa para anak-anak dan kaum perempuan di desa

tersebut telah memperoleh perlindungan dari kaum laki-laki. Mereka

berkeyakinan bahwa kaum laki-laki harus mampu memberikan perlindungan,

baik kepada anggota masyarakat maupun keluarganya dari hal-hal yang tidak

diinginkan. Oleh sebab itu, sesulit apa pun kondisi kehidupan mereka, warga

masyarakat Desa Munggu selalu melaksanakan upacara ritual tolak bala yang

dilengkapi prosesi Makotek. Mereka meyakini bahwa tradisi Makotek dapat

membersihkan segala macam penyakit yang ada di lingkungan Desa Munggu.

Perilaku masyarakat di Desa Munggu sesuai dengan apa yang

diungkapkan oleh Tunner (1970) dan Brown (1979) bahwa ketika manusia tidak

mampu mengatasi permasalahan hidupnya dengan akal sehat, mereka cenderung

melakukan tindakan yang kurang rasional, antara lain melakukan upacara dan

ritus. Sebagaimana tradisi Makotek yang hingga kini tetap dilaksanakan

masyarakat di Desa Munggu untuk menghilangkan rasa gelisah dan rasa takut

26

terhadap serangan wabah penyakit yang dikhawatirkan menimpa kenyamanan

hidupnya.

Hendropuspito (1983: 41) mengatakan bahwa suatu upacara yang

dilakukan secara rutin dan berkelanjutan bisa saja berkembang menjadi tradisi.

Artinya, perilaku religi yang diyakini dapat menyelesaikan permasalahan hidup

dapat saja terus dilakukan oleh masyarakat yang bersangkutan. Hal itu

disebabkan oleh mereka karena yakin akan kekuatan magis tradisi ritual

tersebut. Sebagaimana tradisi Makotek yang hingga kini secara rutin tetap

dilaksanakan oleh masyarakat Desa Munggu untuk menyikapi masalah penyucian

alam dari mara bahaya segala penyakit.

Tradisi Makotek di Desa Munggu merupakan ekspresi budaya masyarakat

yang religius. Artinya, tradisi Makotek yang dilaksanakan masyarakat Desa

Munggu merupakan simbol religiusitas masyarakat tersebut. Sebagaimana

diungkapkan oleh Kusmayati (1990:2-3) bahwa suatu ritual dilakukan sesuai

dengan konteksnya. Hal itu dapat dipahami dari tanda, pesan dan simbol-simbol

yang diungkapkan oleh para pelakunya. Oleh sebab itu, teori simbol dipandang

relevan digunakan untuk mengkaji pelaksanaan tradisi Makotek yang penuh

dengan simbol bermakna religius.

2.3.4 Teori Religi

Teori religi adalah suatu kerangka pikir tentang hal-hal yang terkait

dengan keyakinan, kepercayaan suatu masyarakat, yang telah teruji kebenarannya

27

oleh banyak pihak. Kepercayaan pada ritual atau ritus dan upacara merupakan

prinsip penting dalam sistem religi (Donder, 2005).

Dojosantoso (1986:2-3) mengatakan bahwa untuk memperoleh

ketenteraman, manusia menerima ikatan Tuhan sebagai pelindung utama.

Artinya, manusia menganggap bahwa melalui pelaksanakan berbagai ritual

mereka akan memperoleh kebahagiaan hidup, baik batin maupun lahir.

Eliade (2002:13--22) mengatakan bahwa ada dua hal penting yang dapat

dilakukan untuk memahami aktivitas religius, yaitu sakral dan profan. Sakral

berkaitan dengan hal-hal yang suci, keramat, sementara profan adalah

sebaliknya. Dalam kehidupan suatu masyarakat selalu ada nilai-nilai yang

disakralkan atau disucikan.

Dhavamony (1995: 90--93) dan Sutrisno (2005: 89--96) mengatakan

bahwa sesuatu yang sakral dapat diwujudkan melalui simbol-simbol yang

diyakini masyarakatnya. Artinya, simbol-simbol yang bernilai sakral sering

digunakan masyarakat untuk menjaga keutuhan ikatan sosial warga dalam

hidup bermasyarakat. Sebagaimana masyarakat di Desa Munggu yang hingga

kini menggunakan berbagai simbol dalam Makotek sebagai aktivitas upacara

ritual tolak bala untuk mempererat ikatan sosial antarmereka.

Sejarah menunjukkan bahwa manusia sudah mengenal kepercayaan

terhadap leluhur atau nenek moyang, keyakinan terhadap kekuatan-kekuatan

alam, kekuatan gaib yang dapat memengaruhi kehidupannya. Kepercayaan

terhadap kekuatan-kekuatan gaib merupakan naluri manusia yang kemudian

digunakan sebagai landasan hidup beragama (Cundamani, 1987:12--13). Terlebih,

28

jika agama suatu masyarakat tersebut masih primitif, akan selalu terkait

dengan mitos, makhluk-makhluk spiritual, nenek moyang mereka dalam

kehidupannya. Bahkan, gunung, batu, pohon besar dan laut pun diyakini memiliki

kekuatan gaib.

Dhurkeim dalam Sanderson (1993:517--527) mengemukakan bahwa

masyarakat umumnya lebih mengutamakan pelaksanaan ritual karena tindakan

religius itu dianggap dapat menjaga keselamatan hidupnya. Sebagaimana

masyarakat di Desa Munggu, Badung yang hingga kini secara rutin

melaksanakan upacara tolak bala yang diakhiri dengan pelaksanaan Makotek

mengelilingi wilayah Desa Munggu. Mereka melaksanakan tradisi Makotek

sebagai aktivitas ritual untuk menjaga keselamatan hidup mereka dari hal-hal

yang tidak diinginkannya.

Masyarakat Desa Munggu percaya bahwa melalui sistem kepercayaan

yang diyakini itu mereka akan memperoleh keselamatan. Aktivitas seperti itu

oleh Peursen (1988:18) sering dikatakan sebagai budaya mitis. Dalam alam

pikiran mitis berkembang mitos yang diwujudkan melalui cerita, sebagai

pedoman hidup bagi masyarakat yang bersangkutan. Sistem kepercayaan itu

berkembang sesuai dengan tingkat sosial ekonomi dan budaya masyarakatnya.

Semakin baik ekonomi masyarakatnya maka semakin besar upacara yang

dipersembahkan.

Mitos dalam suatu masyarakat ada yang dituturkan, dan ada pula yang

diungkapkan melalui berbagai ekspresi karya seni. Sebagaimana mitos grubug

(wabah) di Desa Munggu yang dikaitkan dengan keharusan masyarakat

29

setempat melaksanakan upacara tolak bala diakhiri dengan pelaksanaan

rangkaian prosesi Makotek.

Secara mitologis, masyarakat di Desa Munggu meyakini bahwa di pura

kahyangan tiga bersemayam Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa yang diyakini

memiliki kuasa atas kehidupan. Oleh sebab itu, hingga kini masyarakat di Desa

Munggu selalu melaksanakan tradisi Makotek sebagai ritual tolak bala diawali

dengan mempersembahkan sesaji terlebih dahulu. Mitos seperti itu tampak

masih kuat di Desa Munggu, Badung.

Teori religi dalam penelitian ini dianggap sangat relevan digunakan

untuk mengkaji awal mula munculnya dan eksistensi tradisi Makotek pada

era global di Desa Munggu, Badung. Kerangka teori religi itu juga digunakan

untuk menjelaskan keyakinan masyarakat Desa Munggu terhadap mitos

terjadinya musibah jika mereka tidak melaksanakan upacara tolak bala

tersebut pada era global.

Untuk mengkaji asas dari tahapan Makotek digunakan teori religi

Preusz. Preusz menganggap bahwa ritus atau upacara religi akan bersifat kosong

dan tidak bermakna apabila tingkah laku manusia di dalamnya di dasarkan pada

logika dan akal rasional. Akan tetapi, kekokohan itu ditunjang secara naluri

manusia yang memiliki suatu emosi mistikal untuk berbakti kepada pemilik

kekuatan tertinggi yang tampak konkret dalam keteraturan dari alam, proses

pergantian musim dan kedashyatan alam dalam hubungannya dengan masalah

kualitas kehidupan dan maut (Koentjaraningrat, 1987). Demikian pula tradisi

30

Makotek diselenggarakan secara rutin untuk menanggulangi masalah kualitas

kehidupan dan maut.

Preusz dalam Koentjaraningrat (1987) berpendapat bahwa pusat dari

sistem religi adalah ritus dan upacara. Wujud religi tertua merupakan tindakan

manusia untuk mewujudkan keperluan kehidupan yang tidak tercapai dengan

akal dan kemampuan biasa. Sebagaimana pada masyarakat Munggu bahwa

tradisi Makotek merupakan ritual tolak bala yang menjadi sentral pada

perayaan hari raya Kuningan khas setempat.

2.3.5 Teori Kuasa Pengetahuan

Foucault mengemukakan bahwa hampir tidak mungkin sebuah

kekuasaan tidak ditopang, baik oleh suatu ekonomi maupun politik

pembenaran. Kuasa dapat memproduksi pengetahuan. Sebaliknya, pengetahuan

sangat diperlukan bagi kuasa. Kekuasaan selalu terartikulasi lewat

pengetahuan, sehingga pengetahuan selalu mempunyai efek kuasa.

Sebagaimana para tetua yang berhasil memproduksi pengetahuan bagi

keberlangsungan tradisi Makotek. Hal itu dapat memberikan efek bagi basis

kekuasaannya.

Foucault menyebutkan bahwa tidak ada kuasa tanpa pengetahuan dan

tidak ada pengetahuan tanpa kuasa. Dalam arti tersebut, suatu konstruksi

pengetahuan dianggap telah berada di dalam relasi kuasa. Demikian pula, pada

penyelenggaraan tradisi Makotek tampak melibatkan konstruksi pengetahuan

yang samar-samar bahkan irasional. Apabila disimak lebih jauh, konstruksi

31

pengetahuan telah berada dalam relasi kuasa yang telah terbangun dan bekerja

dengan baik dalam pembenaran lintas generasi dan menopang kesinambungan

penyelenggaraan tradisi Makotek.

Foucault memaknai kuasa tidak berada dalam term kepemilikan. Pada

suatu term kepemilikan, seseorang sangat jelas mempunyai sumber kekuasaan

tertentu. Baginya, kuasa tidak dimiliki, tetapi dipraktikkan dalam suatu ruang

lingkup yang secara strategis melibatkan posisi satu dengan lainnya. Demikian

pula masyarakat di Desa Munggu memaknai tradisi Makotek dapat

diselenggarakan pada era global bukanlah karena jasa seorang tokoh, bahkan

dilakukan masih secara anonim menunjukkan ketidakjelasan dalam

pengelolaan sumber kekuasaan. Namun, di sisi lain tradisi Makotek selalu

dipraktikan oleh umat Hindu di Desa Munggu bertepatan dengan hari raya

Kuningan merepresentasikan tatanan kuasa secara sistematik. Oleh karena

itu, teori kuasa pengetahuan dipandang sangat relevan digunakan untuk

mengkaji implikasi pelaksanaan tradisi Makotek bagi kehidupan masyarakat

Desa Munggu pada era global.

2.4 Model Penelitian

Model penelitian merupakan sebagian realitas fenomena budaya yang

merepresentasikan alur pemikiran dalam sebuah penelitian. Adapun model

penelitian tradisi Makotek di Desa Munggu dapat disimak sebagai berikut.

32

Keterangan Tanda Panah :

: Hubungan Berdampak Sepihak

: Hubungan Timbal Balik

Penjelasan :

Masyarakat di Desa Munggu memiliki karakter khas yang mentradisi

dari generasi ke generasi. Tradisi Makotek merupakan ritual rutin yang

diselenggarakan masyarakat di Desa Munggu berkaitan dengan perayaan hari

33

raya Kuningan. Karakteristik tradisi ritual tersebut tampak khas yang

dipengaruhi oleh modal budaya dan modal sosial masyarakat di Desa Munggu

sebagai basisnya. Hal itu dapat dipahami terjadi karena pada dasarnya soliditas

modal budaya dan modal sosial yang dimilikinya tidak terlepas dari mata

pencaharian hidup masyarakat bersangkutan. Bilamana semakin tertata modal

budayanya, maka representasi modal sosial sebagai basis produksinya akan

terkonsentrasi kekuatannya menjadi budaya yang mentradisi dari masa ke masa.

Terlepas dari kebenaran formulatif yang terdapat dalam tradisi, sebagai pedoman

yang telah membantu dalam melegitimasi sampai menanggulangi persoalan hidup

masyarakat tersebut maka mereka tentu akan melaksanakan tradisi upacara itu

secara berkelanjutan.

Globalisasi yang telah merambah kehidupan masyarakat di Desa Munggu,

tampak tidak terpengaruh dalam menyikapi persoalan hidupnya tentang wabah

penyakit. Walaupun mereka telah hidup pada era global yang membuat

seseorang berpikir secara logika, hingga kini mereka tampak tetap melaksanakan

tradisi Makotek sebagai solusi untuk menghindari dirinya dari bencana wabah

penyakit. Representasi tradisi religius itu tentu tidak terlepas dari sistem sosial

khususnya peran serta pemerintah daerah setempat dalam menyikapi pergulatan

nilai-nilai budaya lokal di tengah arus globalisasi.

Globalisasi merupakan proses global yang mengakomodasi perjuangan

lokal menjadi global. Hal itu dapat mendorong terjadinya pergulatan yang

mendalam antara grobal dan glokal. Grobalisasi dapat megakibatkan terjadinya

peningkatan pertumbuhan, penjualan, dan keuntungan, sehingga mendorong

34

berbagai organisasi negara untuk melakukan ekspansi secara lebih luas. Oleh

sebab itu, grobalisasi menimbulkan banyak dampak yang negatif bagi

kebertahanan suatu tradisi. Ardika (2007) dan Atmadja (2010) mengatakan

bahwa globalisasi sulit dihindari karena eksistensinya tidak luput dari

pengaruh global yang tersubstitusi melalui mediascape, ethnoscape,

technoscape, finanscape dan ideoscape. Salah satu komponen grobalisasi yang

paling berpengaruh terhadap konstruksi keadilan sosial pada suatu masyarakat

adalah pelembagaan agama pasar dari dimensi finanscape (Maguire, 2004).

Agama pasar berpadu dengan pembangunanisme yang menjanjikan peningkatan

terhadap kualitas hidup, khususnya bagi peningkatan kesejahteraan hidup

masyarakat yang bersangkutan. Sebagaimana diungkapkan oleh Evers

(1997:80) bahwa agama pasar dapat meningkatan kualitas hidup seseorang.

Pada umumnya tradisi budaya suatu masyarakat tidak terlepas dari

sistem religi masyarakatnya. Hal itu juga diungkapkan oleh Piliang (1998) bahwa

agama pasar banyak mengeksplorasi hasrat dan keinginan masyarakat mulai

dari yang bersifat karnal sampai dengan libidinal. Oleh sebab itu, banyak

terdapat tradisi budaya lokal termarginalkan bahkan tersingkirkan karena

tidak sesuai dengan etos agama pasar. Etos agama pasar berkaitan erat dengan

pembangunanisme.

Fakih (2004: 29--30) mengatakan bahwa dalam pembangunanisme

terdapat stigma ”tradisi merupakan bagian dari persoalan hidup yang mesti

segera diubah”. Pembangunanisme yang berpadu dengan agama pasar sering

membawa model gerakan detradisionalisasi yang bersifat mengancam,

35

mereduksi, dan melemahkan sistem keyakinan masyarakat konvensional.

Begitu pula halnya dengan keberadaan tradisi Makotek di Desa Munggu pada

era global masih eksis dan bertumpu pada sistem keyakinan dan sistem adat

masyarakat yang bersangkutan.

Pemarginalan yang mengarah kepada pelenyapan praktik budaya

dianggap mengganggu pembangunan (Rich, 1999:276). Praktik budaya

merupakan ciri pembangunanisme yang dinamis rasional. Kondisi tersebut tentu

dapat menjadi masalah krusial karena tidak semua modal budaya bersifat

menghambat pembangunan dan tidak semua kelompok masyarakat

menginginkan pembangunanisme untuk perubahan nasib dan peningkatan

modal ekonominya (Dove, 1985). Berkaitan dengan hal tersebut, perubahan

sosial yang radikal bisa saja dapat meluluhlantakkan modal budaya lokal

seperti tradisi Makotek yang mengandung nilai-nilai budaya adiluhung

masyarakat Desa Munggu yang diteruskan secara lisan. Hal itu juga

diungkapkan Piliang (2004a: 102--103) bahwa kearifan lokal yang tersirat

dalam tradisi budaya suatu masyarakat secara ideologis pada umumnya

dijadikan pedoman bagi masyarakat bersangkutan untuk melestarikan tradisi

budaya daerahnya secara lintas generasi.

Giddens (2005) mengungkapkan bahwa refleksivitas tradisi budaya

ditunjukkan warga melalui praktik budaya oleh segenap anggota masyarakat

yang bersangkutan. Reflektivitas sosial itu termediasi dalam ruang sosial

religius sebagaimana praktik tradisi Makotek di Desa Munggu yang hingga

kini tetap berlangsung secara berkelanjutan.

36

Reflektivitas merupakan bagian penelaahan sistem pengetahuan

berbasis praktik budaya. Sehubungan dengan itu, tidak akan mungkin terjadi

pelenyapan suatu praktik tradisi ritual oleh masyarakat pendukungnya sendiri

hanya karena janji terhadap peningkatan kualitas kenikmatan hidup semata.

Berkaitan dengan hal itu, terdapat sangat banyak permasalahan menarik untuk

dikaji menyangkut fenomena tradisi Makotek di Desa Munggu yang hingga

pada era global masih berkelanjutan. Akan tetapi, mengingat keterbatasan

kemampuan, waktu, dan sebagainya maka dalam penelitian ini dirumuskan

permasalahan yang dikaji yaitu bagaimana pandangan masyarakat Desa

Munggu, bagaimana pelaksanaan, serta apa implikasinya bagi masyarakat

Desa Munggu pada era global ini.