bab ii kajian pustaka, konsep, landasan teori, dan … aa gde... · pihak yang terlibat dalam upaya...
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
Bab ini terdiri dari empat sub-bab yakni sub-bab kajian pustaka, kerangka
berpikir dan konsep, landasan teori serta model penelitian. Kajian pustaka
menguraikan kajian terhadap penelitian mutakhir sebelunya yang relevan dengan
penelitian yang dilakukan, kerangka berpikir merupakan hasil abstraksi dan
sintesis dari teori yang dikaitkan dengan masalah penelitian, konsep memberikan
batasan terhadap terminologi teknis yang merupakan komponen dari kerangka
teori, landasan teori adalah landasan berpikir yang bersumber dari suatu teori yang
diperlukan untuk memecahkan permasalahan dan model penelitian merupakan
abstraksi dan sintesis antara teori dan permasalahan penelitian.
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka ini dilakukan terhadap hasil penelitian dari beberapa
peneliti diantaranya hasil penelitian dari Adhika (2011), Program Pascasarjana
Universitas Udayana dalam disertasi yang berjudul Komodifikasi Kawasan Suci
Pura Uluwatu di Kuta Selatan Kabupaten Badung dalam Era Globalisasi.
Penelitian ini membahas tentang bentuk, proses, dampak dan makna komodifikasi
kawasan suci Pura Uluwatu dengan tujuan untuk mengkaji dan memahami tentang
fenomena komodifikasi kawasan suci Pura Uluwatu dalam pengembangan
kawasan sebagai destinasi wisata dari bentuk, proses, dampak dan makna
komodifikasi. Penelitian ini dilakukan di kawasan suci Pura Uluwatu,
menggunakan metode kualitatif yang dibahas dengan teori komodifikasi, teori
hegemoni, teori diskursus kekuasaan/pengetahuan, dan teori komunikasi.
Hasil dari penelitian ini berupa: (1) bentuk komodifikasi berupa (a)
pemanfaatan religiusitas Pura Uluwatu dan lingkungannya telah
dikomodifikasikan untuk wisatawan, (b) distribusi kawasan suci berupa alih
kepemilikan yang dijadikan tempat pembangunan vila dan fasilitas penunjang
pariwisata, (c) kawasan dinikmati oleh wisatawan maupun masyarakat. (2) proses
komodifikasi diawali dengan (a) diskursus pembangunan pariwisata, (b) hegemoni
pemerintah Kabupaten Badung dalam pemanfaatan kawasan, (c) hegemoni
pemerintah Provinsi Bali dalam mempertahankan kawasan suci, serta (d)
hegemoni pemerintah Desa Pecatu terhadap masyarakatnya, dan hegemoni juga
telah menimbulkan kontra hegemoni yang dilakukan masyarakat Desa Pecatu
terhadap pemerintah.
Hasil penelitian ini juga menyampaikan bahwa komodifikasi berdampak
positif, seperti (1) kunjungan wisatawan meningkat, (2) infrastruktur diperbaiki,
(3) muncul kesenian, dan (4) tumbuh sektor informal. Sebaliknya terjadi dampak
negatif, berupa (1) konflik lahan, (2) petani penggarap tergusur, (3) hubungan
disharmonis berbagai pihak, (4) friksi internal, (5) timbul kekuasaan baru.
Disisi lain makna komodifikasi kawasan bagi (1) sebagian masyarakat
Desa Pecatu ketidakberdayaan mempertahankan asetnya karena kenaikan pajak
seiring nilai jual objek pajak (NJOP), (2) bagi sebagian masyarakat Desa Pecatu
dan pemerintah Kabupaten Badung adalah berkah ekonomi, (3) bagi pemerintah
Provinsi Bali adalah pembangkangan dan desakralisasi kawasan, dan (4)
keterbelengguan bagi pemangku kepentingan.
Penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh
penulis terkait pada konsep pendekatan berpikir dimana kondisi pemanfaatan
lahan dikawasan pura tentunya dapat berpengaruh secara langsung maupun tidak
langsung terhadap keberadaan pura dan kegiatan keagaaman yang dilaksanakan.
Namun demikian hal yang membedakan adalah lokasi penelitian yang dilakukan
oleh peneliti berbeda dengan yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Peneliti
sebelumnya melakukan penelitian pada Pura yang berstatus pura Sad Kahyangan
sedangkan peneliti melakukan penelitian pada Pura yang berstatus Pura Dang
Kahyangan. Perbedaan lokasi ini tentunya sangat menentukan perbedaan pada
perlakuan terhadap pura yang bersangkutan, dimana pada Pura Sad Kahyangan
diterapkan radius 5 (lima) kilometer sedangkan pada Pura Dang Kahyangan
diterapkan radius 2 (dua) kilometer.
Selain itu perbedaan juga terjadi pada tema penelitian oleh peneliti
sebelumnya membahas tentang bentuk, proses, dampak dan makna komodifikasi
kawasan suci Pura Uluwatu sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti
memfokuskan pada kegiatan pelanggaran yang dilakukan di sekitar kawasan pura,
penyebab terjadinya pelanggaran dan dampak yang ditimbulkan oleh pelanggaran
tersebut.
Penelitian kedua berjudul Pengaturan Kawasan Tempat Suci Pura Uluwatu
dengan Pendekatan Zoning Regulation oleh Kurniawan (2009), Fakultas Teknik
Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya. Penelitian
ini bermaksud untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antara masyarakat Desa
Adat Pecatu dengan Pemerintah Kabupaten Badung melalui pendekatan spasial.
Pendekatan yang digunakan berupa perumusan prinsip-prinsip peraturan zoning.
Tahap analisis yang dilakukan yaitu pertama dengan analisis stakeholder untuk
menentukan siapa saja pihak-pihak yang berkonflik kemudian dilanjutkan dengan
pemetaan konflik untuk menentukan posisi pihak yang berkonflik serta
kemungkinan ada pihak lain yang juga ikut terlibat. Setelah pihak yang berkonflik
telah diketahui, dilanjutkan dengan analisis Delphi untuk menentukan peraturan
zoning berdasarkan kesepakatan antar pihak yang berkonflik.
Berdasarkan hasil analisis diketahui pihak yang berkonflik adalah PHDI
Provinsi Bali, Masyarakat Desa Pecatu, Bappeda Kabupaten Badung serta Dinas
PU Cipta Karya dan Pemukiman Kabupaten Badung. Berdasarkan hasil analisis
dan kajian pustaka, zonasi wilayah penelitian dibagi menjadi 3 zona yaitu zona 1,
zona 2 dan zona 3 sesuai dengan SK Bupati Badung No. 79 Tahun 2000.
Berdasarkan hasil analisis dan kajian pustaka pengaturan zonasi wilayah
penelitian didasarkan pada 5 komponen yaitu: Jenis kegiatan dan penggunaan
lahan, intensitas pemanfaatan ruang, tata massa bangunan, prasarana minimum
dan aturan khusus. Berdasarkan hasil penelitian diketahui untuk zona 1 adalah
zona netral dari kegiatan dan penggunaan lahan, zona 2 hanya pemukiman, kios
dan rumah makan yang diijinkan berlangsung sedangkan untuk zona 3 hampir
seluruh kegiatan diijinkan kecuali yang berskala besar seperti hotel, villa,
supermarket, industri besar dan menengah.
Pada penelitian ini difokuskan untuk mengidentifikasi permasalahan
konflik yang terjadi antara pihak yang terkait dan merumuskan alternatif
penyelesaian permasalahan tersebut melalui pengaturan zonasi kawasan
sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah untuk mengidentifikasi
pelanggaran pemanfaatan ruang pada radius kesucian pura, penyebab pelanggaran
dan dampak yang ditimbulkan oleh pelanggaran tersebut.
Sucita (2011), Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Institut
Teknologi Bandung sebagai kajian pustaka ketiga dengan judul Alternatif Strategi
Manajemen Konflik Ruang Di Kawasan Pesisir Teluk Benoa, Provinsi Bali (Studi
Kasus: Pengembangan Pelabuhan Benoa Sebagai Pelabuhan Internasional).
Studi ini bertujuan memberikan usulan pengelolaan konflik bagi pihak-
pihak yang terlibat dalam upaya PT. Pelindo III mengembangkan Pelabuhan
Benoa sebagai pelabuhan internasional dan pelabuhan kapal pesiar. Tujuan dari
penelitian ini yaitu memberikan alternatif strategi pengelolaan konflik
pengembangan Pelabuhan Benoa sebagai pelabuhan internasional. Sedangkan
output penelitian ini yaitu dihasilkan usulan strategi tindakan pengelolaan konflik
pengembangan Pelabuhan Benoa sebagai pelabuhan internasional. Sasaran yang
ingin dicapai guna keberhasilan pencapaian tujuan penelitian terdiri atas:
mengidentifikasi kepentingan pihak yang terlibat konflik; mengidentifikasi siapa
saja pihak yang berkonflik; mengidentifikasi faktor penyebab konflik,
permasalahan inti konflik dan dampak konflik; dan mengusulkan strategi tindakan
pengelolaan konflik.
Metode yang digunakan adalah menggunakan metode analisis deskriptif
kualitatif dengan menggunakan teknik analisis bawang bombay untuk
memperjelas kepentingan-kepentingan pihak yang berkonflik dan teknik analisis
pohon konflik untuk mengetahui sumber konflik. Pada penelitian ini difokuskan
untuk merumuskan usulan pengelolaan konflik bagi pihak-pihak yang terlibat
dalam upaya PT. Pelindo III mengembangkan Pelabuhan Benoa sebagai
pelabuhan internasional dan pelabuhan kapal pesiar sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh peneliti adalah mengidentifikasi pelanggaran pemanfaatan ruang
pada radius kesucian pura, penyebab pelanggaran dan dampak yang ditimbulkan
oleh pelanggaran tersebut sehingga paling tidak dapat dirumuskan upaya untuk
mengantisipasi ataupun meminimalisir permasalahan yang mungkin akan terjadi.
Berdasarkan ketiga penelitian terdahulu, peneliti memfokuskan penelitian
pada penerapan Bhisama kesucian pura sebagaimana diatur dalam Perda Provinsi
Bali No. 16 Tahun 2009 tentang RTRWP Bali yang mengisyaratkan batasan
pemanfaatan ruang dalam radius tertentu untuk Pura Dang Kahyangan, penyebab
terjadinya pelanggaran serta dampak pelanggaran Bhisama kesucian pura ditinjau
dari aspek fisik, ekonomi maupun sosial budaya di sekitar Pura Dang Kahyangan
di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung.
2.2 Konsep
Sebagai batasan yang dimaksud dengan konsep adalah terminologi teknis
yang merupakan komponen-komponen dari kerangka teori. Dalam penelitian ini
ada dua konsep utama yang dipergunakan yakni konsep terkait Pura Dang
Kahyangan dan Bhisama Kesucian Pura.
2.2.1. Pura Dang Kahyangan
Pura pada awalnya di Bali bukan untuk menyatakan tempat suci sebagai
tempat pemujaan pada Tuhan. Istilah pura di Bali berasal dari bahasa Sansekerta
yang artinya tempat yang dikelilingi tembok pembatas (Wiana, 2009). Perubahan
penyebutan kata pura untuk tempat persembahyangan dan puri untuk tempat
kediaman raja dimulai dari kedatangan Mpu Dang Hyang Dwijendra sebagai
bhagawanta kerajaan mendampingi Raja Dalem Waturenggong dibidang
keagamaan. Pengertian tentang pura sebagaimana diungkapkan dalam Keputusan
Seminar Kesatuan Tafsir terhadap aspek-aspek Agama Hindu dimaksud adalah
tempat suci untuk memuja Hyang Widhi Wasa dalam segala Prabhawa
(manifestasi-Nya) dan atma sidha dewata (roh suci leluhur). Disamping
dipergunakan istilah pura untuk menyebut tempat suci atau tempat pemujaan,
dipergunakan juga istilah kahyangan atau parahyangan yang berarti suci dalam
bahasa Jawa Kuna.
Pura kahyangan jagat sebagai pemujaan publik sangat banyak sekali
bertebaran di Bali, namun eksistensi pura kahyangan jagat digolongkan ke dalam
tiga konsepsi sebagaimana diuraikan dalam seminar kesatuan tafsir terhadap
aspek-aspek Agama Hindu. Ketiga konsepsi dimaksud yaitu (1) konsepsi
Rwabhineda (Pura Besakih berstatus sebagai Purusa dan pura Batur berstatus
sebagai Pradhana, (2) konsepsi Catur Lokapala (pura Lempuyang Luhur di timur
sebagai sthana Dewa Iswara, pura Andakasa di selatan sebagai sthana Dewa
Brahma, pura Batukaru di barat sebagai sthana Dewa Mahadewa, pura Pucak
Mangu di utara sebagai sthana Dewa Wisnu), (3) konsepsi Sad Winayaka (Pura
Besakih, Pura Lempuyang Luhur, Pura Goa Lawah, Pura Uluwatu, Pura Batukaru,
dan Pura Puser Tasik/Pura Pusering Jagat).
Pura dang kahyangan sebagai bagian dari pura kahyangan jagat, sangat
sedikit sekali ditemukan bahan tulisan tentang pura tersebut. Namun demikian
berdasarkan pendapat dari PHDI Badung dan pengamat sosial budaya, Wastawa
(2007) bahwa pura dang kahyangan adalah pura yang didirikan atas pengaruh
orang suci yang berasal dari luar Pulau Bali. Seperti Dang Hyang Dwijendra
maupun orang suci lainnya yang telah diakui keterlibatannya dalam menyebarkan
ajaran agama Hindu.
2.2.2. Bhisama Kesucian Pura
Bhisama kesucian pura merupakan hasil musyawarah para anggota
Pesamuhan Sulinggih dan Pesamuhan Walaka yang didasari adanya kekhawatiran
akan pelaksanaan pembangunan yang mengganggu kesucian pura. Pemahaman
tentang Bhisama kesucian terkait dengan konsep arsitektur Bali dan penafsiran
akan kesucian itu sendiri didasarkan pada hasil Keputusan Parisada Hindu
Dharma Indonesia Pusat tahun 1994, No. 11/Kep./1/PHDIP/1994 tentang
Bhisama Kesucian Pura pada tanggal 25 Januari 1994.
Bhisama kesucian pura ini dikeluarkan dipicu oleh adanya permasalahan
pembangunan Bali Nirwana Resort (BNR) di kawasan daya tarik wisata Tanah
Lot. Selanjutnya oleh Pemerintah Provinsi Bali Bhisama ini dituangkan dalam
Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Provinsi Bali.
2.2.2.1. Kesucian dan Kawasan suci
Suci adalah suatu keadaan yang diyakini dan dipercaya oleh umat Hindu
baik terhadap tempat, wilayah, benda, ruang, waktu yang memberikan rasa aman,
tentram, rasa tenang, rasa hening dan telah mendapat upacara secara Agama
Hindu sehingga tercapainya keseimbangan, keselarasan dan ketentraman hidup
(Dalem, 2007). Sedangkan benda-benda yang dianggap suci sebagaimana
dituangkan dalam Seminar kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek Agama Hindu
adalah benda-benda yang memang disucikan dengan suatu upacara pensucian
tertentu, yang fungsi dan penggunaannya semata-mata untuk tujuan suci dan
ditempatkan pada tempat-tempat yang dipandang suci. Hal ini sesuai dengan jiwa
yang termuat dalam Bhisama PHDIP 1994.
Ukuran dari suatu kesucian sebagaimana diuraikan dalam Perda Provinsi
Bali No. 16 Tahun 2009 tentang RTRWP Bali adalah sangat relatif dan sulit
ditentukan, tetapi untuk adanya suatu kebersamaan sikap, prilaku dalam
menghayati sesuatu perlu adanya keyakinan terhadap apa yang dipercaya di dalam
pelaksanaan Agama Hindu.
Bhisama PHDIP 1994 menguraikan tentang apa yang disebut dengan
tempat-tempat suci dan kawasan suci. Gunung, danau, campuhan (pertemuan dua
sungai), pantai, laut dan sebagainya diyakini memiliki nilai-nilai kesucian. Oleh
karena itu pura dan tempat-tempat suci umumnya didirikan di tempat tersebut. Di
tempat itulah orang suci dan umat Hindu mendapatkan pikiran-pikiran suci
(wahyu). Tempat-tempat suci tersebut telah menjadi pusat-pusat bersejarah yang
melahirkan karya-karya besar dan abadi lewat tangan orang suci dan para
pujangga untuk kedamaian dan kesejahteraan umat manusia, maka didirikanlah
Pura Sad Kahyangan, Dang Kahyangan, Kahyangan Tiga dan lain-lain.
Kawasan Suci sebagaimana diuraikan dalam Ketentuan Umum Perda
Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang RTRWP Bali adalah suatu wilayah yang
melengkapi bangunan suci maupun wilayah pendukung kegiatan pada bangunan
suci tersebut yang telah mendapatkan upacara “bhumi Sudha” yaitu upacara untuk
menarik kekuatan Ida Sanghyang Widhi dan menghilangkan segala kekotoran
secara spiritual terhadap wilayah/kawasan suci tersebut, seperti ; danau, hutan,
laba pura, mata air suci (beji), sungai, jurang, ngarai atau campuhan (pertemuan
sungai), pantai, setra dan perempatan agung.
2.2.2.2. Penerapan Bhisama kesucian pura.
Bhisama Kesucian pura merupakan hasil musyawarah para anggota
pesamuhan Sulinggih dan Pesamuhan Walaka serta Pengurus Harian Parisada
Hindu Dharma Indonesia Pusat yang diselenggarakan pada tanggal 25 Januari
1994 di Universitas Hindu Indonesia dengan acara membahas Kesucian Pura bagi
umat Hindu. Bhisama Kesucian Pura adalah norma agama yang ditetapkan oleh
Sabha Pandita PHDI Pusat, sebagai pedoman pengamalan ajaran Agama Hindu
tentang kawasan kesucian pura yang belum dijelaskan secara lengkap dalam kitab
suci Weda.
Bhisama Parisadha Hindu Dharma Indonesia Pusat (PHDIP) mengenai
Kesucian Pura No. 11/Kep/I/PHDI/1994 tertanggal 25 Januari 1994, menyatakan
bahwa tempat-tempat suci tersebut memiliki radius kesucian yang disebut daerah
Kekeran, dengan ukuran apeneleng, apenimpug, dan apenyengker. Apeneleng
adalah wilayah yang bisa diteleng (dilihat) dari pura. Ini mengandung pengertian
dalam batas mana kita bisa memandang dari pura sehingga yang dipandang bisa
kita ketahui wujudnya. Apenimpug adalah wilayah yang bisa diukur sejauh
seseorang bisa melemparkan sesuatu dari pura. Apenyengker merupakan ukuran
yang paling jelas yakni sampai batas terluar tembok pura.
Rinciannya adalah (1) untuk Pura Sad Kahyangan dipakai ukuran apeneleng
agung (minimal 5 km dari Pura), (2) untuk Pura Dang Kahyangan dipakai ukuran
apeneleng alit (minimal 2 km dari Pura), (3) untuk Pura Kahyangan Tiga dan lain-
lain dipakai ukuran apenimpug atau apenyengker (tanpa menyebut jarak minimal
dari Pura)
Gambar 2.1 Skema Radius Kesucian Pura
Sumber: diolah dari Keputusan Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat
No. 11/Kep./1/PHDIP/1994 tentang Bhisama Kesucian Pura
Selanjutnya Bhisama Kesucian Pura juga mengatur zonasi pemanfaatan
ruang di sekitar pura yang berbunyi:
Berkenaan dengan terjadinya perkembangan pembangunan yang sangat
pesat, maka pembangunan harus dilaksanakan sesuai dengan aturan yang telah
ditetapkan. Di daerah radius kesucian pura (daerah Kekeran) hanya boleh ada
bangunan yang terkait dengan kehidupan keagamaan Hindu, misalnya didirikan
darmasala, pasraman dan lain-lain, bagi kemudahan umat Hindu melakukan
kegiatan keagamaan (misalnya tirtayatra, dharmawacana, dharmagitha dan lain-
lain).
Pengertian terkait Bhisama Kesucian Pura sebagaimana diungkapkan
Gelebet dalam harian Bali Post tangggal 19 Mei 2008, sebagai berikut:
Bhisama adalah Sumpah Pemastu, diuraikan lebih rinci dalam Sabha Pandita
PHDI Pusat yakni norma agama yang ditetapkan sebagai pedoman
pengamalan ajaran Agama Hindu tentang kawasan kesucian pura. Bhisama ini dikeluarkan mengingat belum dijelaskan secara lengkap dalam kitab suci.
Apenyengker
Apeneleng Alit (2 kilometer)
Apeneleng Agung
(5 kilometer)
2 km 5 km
Terkait dengan pengertian tersebut, maka Bhisama Kesucian Pura dapat
diartikan sebagai sebuah janji suci umat Hindu kepada Bali, bahwa dalam radius
kesucian pura yang telah ditetapkan telah diatur penggunaannya sesuai arahan
peraturan zonasi di atas. Arahan peraturan zonasi di atas bila diterjemahkan dalam
fungsi ruang mempunyai pengertian bahwa dalam radius kesucian pura hanya
diperbolehkan untuk pembangunan fasilitas keagamaan, dan ruang terbuka yang
dapat berupa ruang terbuka hijau maupun budidaya pertanian.
Zonasi pemanfaatan ruang di sekitar pura diatur secara gamblang dalam
Peraturan Daerah No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Bali pada Pasal 108 ayat a, b, c dan d yakni: (a) zona inti adalah zona
utama karang kekeran sesuai dengan konsep maha wana; (b) zona penyangga
adalah zona madya karang kekeran yang sesuai konsep tapa wana; (c) zona
pemanfaatan adalah zona nista karang kekeran yang sesuai konsep sri wana.
Pemanfaatan dari masing-masing zona tersebut yakni: (a) zona inti
diperuntukkan sebagai hutan lindung, ruang terbuka hijau, kawasan pertanian dan
bangunan penunjang kegiatan keagamaan; (b) zona penyangga diperuntukkan
sebagai kawasan hutan, ruang terbuka hijau, kawasan budidaya pertanian, fasilitas
darmasala, pasraman, dan bangunan fasilitas umum penunjang kegiatan
keagamaan; (c) zona pemanfaatan diperuntukkan sebagai kawasan budidaya
pertanian, bangunan permukiman bagi pengempon, penyungsung dan penyiwi
pura, bangunan fasilitas umum penunjang kehidupan sehari-hari masyarakat
setempat serta melarang semua jenis kegiatan usaha dan/atau kegiatan yang dapat
menurunkan kualitas lingkungan hidup dan nilai-nilai kesucian tempat suci.
Penentuan batas-batas terluar tiap zona radius kawasan tempat suci
didasarkan atas batas-batas fisik yang tegas berupa batas alami atau batas buatan,
disesuaikan dengan kondisi geografis masing-masing kawasan. Selain batas fisik
juga harus dipertimbangkan panjang radius antara garis lingkaran terluar zona
pemanfaatan dan titik pusat lingkaran sekurang-kurangnya sama dengan radius
kawasan tempat suci sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, ayat (2).
2.3 Landasan Teori
Untuk menjawab tiga pertanyaan penelitian yang sudah dirumuskan maka
dipergunakan beberapa teori yang terkait yakni teori tentang teritori, penataan
ruang, konflik dan pengendalian pemanfaatan ruang. Selain itu juga dipergunakan
beberapa teori terkait lainnya sebagai pendukung analisis. Berikut diuraikan teori
utama yang dipergunakan sebagai acuan.
2.3.1. Teritori
Konsepsi mengenai teritori sangat penting dalam studi arsitektur
lingkungan dan perilaku sebagaimana diuraikan Haryadi dan Setiawan (2010)
karena disamping menyangkut tuntutan akan suatu daerah secara spasial dan fisik
juga menyangkut perceived environment serta imaginary environment. Hal ini
menunjukkan bahwa teritori lebih dari sekadar tuntutan atas suatu area untuk
memenuhi kebutuhan fisik saja tetapi juga kebutuhan emosional dan kultural.
Berkaitan dengan kebutuhan emosional, konsep teritori berkaitan dengan isu-isu
mengenai ruang privat (personal space) dan ruang umum/publik (public) serta
konsep mengenai privasi. Sementara itu berkaitan dengan aspek kultur, konsep
teritori menyangkut isu-isu mengenai areal sakral (suci) dan profan (umum).
Ruang Sakral pada umumnya adalah tempat yang digunakan untuk kegiatan
pemujaan terhadap Tuhan atau benda dan manusia yang dianggap suci (Eliade,
2002). Sedangkan ruang profan berada di luar ruang sakral.
Selanjutnya Eliade (2002) membagi teritori menjadi tiga kategori yakni
primary, secondary dan public territory. Teritori utama (primary) adalah suatu
area yang dimiliki, digunakan secara ekslusif, disadari oleh orang lain,
dikendalikan secara permanen, serta menjadi bagian utama dalam kehidupan
sehari-hari penghuninya, sedangkan teritori sekunder (secondary) adalah suatu
area yang tidak terlalu digunakan secara eksklusif oleh seseorang atau
sekelompok orang, mempunyai cakupan area yang relatif luas, dikendalikan
secara berkala oleh kelompok yang menuntutnya. Dan teritori publik adalah suatu
area/kawasan yang dapat digunakan atau dimasuki oleh siapapun, tetapi ia harus
mematuhi norma-norma serta aturan yang berlaku di area tersebut.
Dalam kamus penataan ruang yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal
Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum (2009) menguraikan definisi zona
yang memiliki pemahaman senada dengan teritori. Diuraikan bahwa kawasan
dengan peruntukan khusus yang memiliki batasan ukuran atau standar tertentu,
dan pembagian lingkungan/kawasan ke dalam zona-zona tertentu disebut dengan
zoning. Pengaturan tentang kawasan/zona disebut Peraturan Zonasi (zoning
regulation) yang mengatur ketentuan tentang klasifikasi zona, pengaturan lebih
rinci mengenai pemanfaatan lahan dan prosedur pelaksanaan pembangunan.
Teori ini akan dipergunakan untuk menelusuri ruang/zona dari masing-
masing fungsi kegiatan sebagai tuntutan atas suatu area untuk memenuhi
kebutuhan fisik kegiatan baik sebagai kebutuhan emosional maupun kebutuhan
kultural pengguna ruang tersebut. Sehingga batasan ruang yang dibutuhkan oleh
suatu kegiatan akan dapat digambarkan secara geometrik dengan aturan
pemanfaatan dan pengendalian ruang yang spesifik.
2.3.2. Penataan Ruang
Ruang berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
penataan ruang, adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan di dalam wilayah,
tempat manusia dan mahluk lain hidup, melakukan kegiatan dan memelihara
kelangsungan hidup. Adisasmita (2010) mendefinisikan ruang berdasarkan aspek
geografi umum dan geografi regional. Menurut aspek geografi umum, ruang
(space) adalah permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfera, tempat hidup
tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. Berdasarkan geografi regional, ruang
yang merupakan suatu wilayah yang mempunyai batas geografi, yaitu batas
menurut keadaan fisik, sosial atau pemerintahan yang terjadi dari sebagian
permukaan bumi dan lapisan tanah di bawahnya serta udara di atasnya.
Tarigan (2008) mendefinisikan ruang adalah tempat untuk suatu
benda/kegiatan atau apabila kosong bisa diisi dengan suatu benda/kegiatan. Dalam
hal ini kata tempat adalah berdimensi tiga dan kata benda/kegiatan berarti
benda/kegiatan apa saja tanpa batas. Disamping itu, Tarigan memberikan definisi
lain tentang ruang yaitu ruang adalah permukaan bumi, baik yang ada di atasnya
maupun di bawahnya sepanjang manusia masih bisa menjangkaunya.
Ruang adalah wujud fisik wilayah dalam dimensi geografis dan geometris
yang merupakan wadah bagi manusia dalam melaksanakan kegiatan
kehidupannya dalam suatu kualitas hidup yang layak (Budiharjo, 1997). Dari
beberapa teori tentang definisi ruang, dapat dirumuskan bahwa ruang adalah
tempat hidup manusia dan mahluk lainnya dalam melakukan kegiatan dan
kelangsungan hidupnya. Namun dalam hal ini yang ingin dibahas adalah ruang
sebagai wilayah/kawasan.
Selanjutnya Adisasmita (2010), menjelaskan tata ruang adalah wujud
struktur dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan maupun tidak
direncanakan. Tata ruang perlu direncanakan dengan maksud agar lebih mudah
menampung kelanjutan perkembangan kawasan yang bersangkutan. Berdasarkan
Undang – Undang No. 26 Tahun 2007, penataan ruang merupakan suatu sistem
proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan
ruang. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur dan
pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang,
pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola
ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan
program beserta pembiayaannya. Sedangkan pengendalian pemanfaatan ruang
adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. Skema penataan ruang dapat
digambarkan dalam Gambar 2.2 berikut.
Diagram 2.2. Proses Penataan Ruang
Sumber: UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Berdasarkan pemahaman tersebut, teori ini akan dipergunakan untuk
menelusuri rencana pemanfaatan ruang yang digariskan oleh pemerintah daerah,
pemanfaatan ruang yang ada disekitar kawasan radius kesucian pura, serta bentuk-
bentuk pengendalian pemanfaatan ruang yang ada dalam menjaga keseimbangan
masing-masing fungsi kegiatan sehingga dapat mengendalikan dan mengantisipasi
dampak negatif yang kemungkinan akan muncul dari masing-masing jenis
pemanfaatan ruang yang ada.
2.3.3. Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Berdasarkan Undang–Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, diuraikan bahwa penataan ruang merupakan suatu sistem proses
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur dan pola
ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Pemanfaatan
ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai
dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta
pembiayaannya. Sedangkan pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk
mewujudkan tertib tata ruang.
Untuk dapat mewujudkan tertib tata ruang sebagaimana diuraikan
Sulistyawati (1995) dibutuhkan adanya peraturan/regulasi yang sesuai dengan
perencanaan yang ada, sesuai dengan pengembangan yang diijinkan, memiliki
hukum legal formal yang kuat, tepat dan terjangkau/dapat diterima dalam semua
aspek kehidupan. Terkait dengan adanya peraturan yang harus terjangkau atau
dapat diterima dalam semua aspek kehidupan lebih lanjut diuraikan selaras
dengan konsep penerapan peraturan arsitektur Bali yang juga harus
memperhatikan konsep desa, kala, patra yakni memperhatikan tempat, kondisi
dan waktu penerapannya.
Pengendalian pemanfaatan ruang dalam upaya mewujudkan tertib tata
ruang dilaksanakan melalui Peraturan Zonasi (Undang–Undang No. 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang). Peraturan Zonasi ini merupakan pedoman aturan
pemanfaatan ruang yang bersifat operasional teknis yang mencakup gabungan
definisi hukum, standar, kebijakan, dan prosedur untuk memandu aparat daerah
dan pemilik lahan dalam pengembangan dan pertumbuhan kota. Peraturan zonasi
terdiri atas zoning map dan zoning text. Zoning map berupa rencana geometrik
pemanfaatan ruang perkotaan, berisi pembagian blok peruntukan (zona). Zoning
text/statement/legal text berupa aturan pemanfaatan dan pengendalian ruang
(regulation) untuk tiap blok peruntukan tersebut.
Terkait dengan upaya pengaturan bangunan melalui undang-
undang/peraturan, Wright (1983) dalam Sulistyawati (1995) mengemukakan tiga
komponen bagi semua tipe sistem yang secara bersama membentuk kelengkapan
pengaturan. Ketiganya diwujudkan dalam beberapa bentuk, namun dengan
penekanan dan penyeimbangan yang berbeda, yakni:
(1) The first component is the expression of will of the public by means of the
enactment of law, (2)the second component is the statement of regulations,
rules, or criteria to which buildings must conform, (3) the third component is
the function of enforcement, the process of checking that teh rules or
regulations have been, or are being, complied with.
Bahwa komponen yang pertama merupakan ungkapan keinginan publik yang
diatur melalui penetapan hukum/perundang-undangan, komponen kedua yaitu
kebijakan atau peraturan yang dibuat berdasarkan kriteria acuan yang jelas dan
komponen ketiga yakni fungsi pelaksana tugas, dimana proses pengendalian telah
dilaksanakan dengan tepat. Lebih lanjut Wright juga menegaskan bahwa peraturan
perundangan tentang bangunan menyatakan:
... the purposes of control... how the (regulations) should be administered,
and how the constraints dan penalties should work.
Bahwa fungsi pengaturan, bagaimana peraturan perundangan tersebut
harus dijalankan secara administratif dan bagaimana sanksinya harus dijalankan
dengan tegas. Lebih lanjut Wright dalam Sulistyawati (1995) mengemukakan
setiap persyaratan dalam peraturan perundangan harus dinyatakan secara jelas,
detail, tanpa pemaknaan ganda sehingga maknanya jelas dan tidak menimbulkan
keraguan. Semua peraturan perundangan tersebut harus dirangkai dalam satu cara
sehingga dapat dilaksanakan secara praktis dalam kompetensi metode terpilih, dan
bahwa harus memungkinkan bagi pelaksana peraturan perundangan untuk
menjalankan secara tepat dan dengan cara yang praktis dan ekonomis. Hal ini
diungkapkan sebagai berikut:
Every requirement of the regulation must be stated clearly, directly and
without ambiquity, so that its meaning is uneuivocal and never in doubt.
All regulations should be framed in a way that makes enforcement
practicable within the competence of the chosen methods or surveillance..
that is should be possible for compliance with a regulation to be checked
properly and in a practical and economic way.
Pengendalian pemanfaatan ruang dapat diuraikan sebagai upaya mengatur
kegiatan pembangunan yang meliputi pelaksanaan kegiatan pendirian bangunan,
mengadakan perubahan penggunaan pada bangunan atau lahan tertentu,
pertambangan maupun kegiatan sejenis lainnya. Dalam hal ini pengendalian
pemanfaatan lahan merupakan mekanisme untuk memastikan rencana tata ruang
dan pelaksanaanya telah berlangsung sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan
(Zulkaidi, 2011).
2.3.4. Dampak Pembangunan
Dampak sebagaimana dituliskan Soemarwoto (2001) didefinisikan sebagai
perubahan yang terjadi akibat adanya kegiatan pada lingkungan tertentu. Dampak
dapat dilihat dari sisi positif dan negatif. Sisi positif atau hal yang menguntungkan
atau sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan dan dampak negatif
adalah akibat yang tidak menguntungkan atau tidak sejalan dengan tujuan
pembangunan berkelanjutan.
Pengelolaan lingkungan yang baik tentunya akan dapat meminimalisasi
dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh suatu kegiatan. Dalam
perkembangan pembangunan di Bali, pariwisata adalah kegiatan yang memiliki
dampak ekonomi, budaya dan lingkungan (Anom, 2010). Peran pariwisata cukup
besar dalam pembangunan ekonomi (Amalia,2007), namun tidak berarti ada
pembenaran untuk mengeksploitasi sumber daya lokal hanya semata-mata untuk
mengejar keberhasilan pembangunan ekonomi. Dalam beberapa kasus terkait
permasalahan lingkungan khususnya yang berada di sekitar pura, kegiatan
pariwisata seringkali menjadi penyebab permasalahan tersebut.
Untuk itu, mengingat pelanggaran pada radius kesucian pura cenderung
lebih banyak disebabkan oleh kegiatan pariwisata (Mulyadi, 2011) maka
pembahasan dampak penerapan Bhisama Kesucian Pura di sekitar Pura Dang
Kahyangan akan dibahas berdasarkan dampak positif dan dampak negatif yang
ditimbulkannya dikaji berdasarkan aspek lingkungan yang ada di sekitar pura.
2.4 Model Penelitian
Model penelitian merupakan abstraksi dan sintesis antara teori dan
permasalahan penelitian yang digambarkan dalam bentuk gambar (bagan, grafik
dan lain-lain). Pada Diagram 2.3 berikut digambarkan model penelitian yang akan
dilakukan.
Diagram 2.3 Model Penelitian
Pelanggaran Bhisama Kesucian Pura
di sekitar Pura Dang Kahyangan
di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung
Kondisi Internal
Kebutuhan ekonomi
masyarakat bali
Potensi pengembangan
Bhisama kesucian pura
Kondisi Eksternal
Kebutuhan akomodasi wisata
Serbuan Investor/Penanam
Modal
Kebijakan pemerintah
Tipologi pelanggaran
pada radius
kesucian pura
Dampak pelanggaran Bhisama
Kesucian Pura di sekitar
Pura Dang Kahyangan
Metode Analisis Kualitatif
Temuan dan Rekomendasi
Faktor penyebab
pelanggaran pada
radius kesucian pura
Jenis kegiatan
Jenis pemanfaatan
lahan
Kebijakan/peraturan
Sosial Budaya
Ekonomi
Positif
Negatif
Teritori
Penataan ruang
Pengendalian
pemanfaatan ruang Dampak pembangunan