bab ii kajian pustaka, konsep dan kerangka teori … ii.pdf · murakami”. dalam penelitiannya,...
TRANSCRIPT
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN KERANGKA TEORI
1.1 Kajian pustaka
Pada kajian pustaka dicantumkan beberapa penelitian terdahulu yang
memiliki relevansi pada penelitian ini. Penelitian-penelitian tersebut
digunakan sebagai acuan, referensi perbandingan dan pertimbangan dalam
penelitian yang akan dilakukan.
Anggaraini (2014) dalam skripsinya yang berjudul “Bentuk dan
Perbedaan Makna Uchi ni, Aida ni, dan Kagiri yang Berfungsi sebagai
Setsuzokushi dalam Novel Ryoma ga Yuku Karya Ryoutarou Shiba”. Dalam
penelitiannya, Anggaraini menganalisis mengenai bentuk dan perbedaan
makna setsuzokushi uchi ni, aida ni dan kagiri. Metode yang digunakan
dalam menganalisis data-data tersebut adalah metode agih dan teknik ganti
dari Sudaryanto. Dalam menganalisis bentuk uchi ni, aida ni, dan kagiri
digunakan pendapat Makino dan Tsutsui (1989), sedangkan untuk
menganalisis perbedaan maknanya digunakan teori makna yang dikemukakan
oleh Pateda (2001).
Hasil dari penelitian Anggaraini menunjukan bahwa ditemukan
persamaan fungsi setsuzokushi uchi ni dan aida ni yaitu digunakan untuk
menyatakan adanya perubahan yang terjadi dari a ke b pada saat terjadinya
suatu situasi atau tindakan yang dilakukan dalam jangka waktu yang sama.
Perubahan yang dimaksud misalnya pada saat jangka waktu yang sama terjadi
10
pergerakan dari duduk ke berdiri. Namun perubahan tersebut tidak
terkandung dalam setsuzokushi kagiri. Perbedaan uchi ni, aida ni dan kagiri
adalah setsuzokushi uchi ni mengandung kesan “mumpung” yang menyatakan
kegiatan yang dilakukan secara bersamaan. Rentang waktu yang lama
maupun yang singkat dapat dinyatakan dengan setsuzokushi aida ni,
sedangkan uchi ni hanya digunakan untuk menyatakan rentang waktu yang
pendek. Setsuzokushi kagiri hanya dapat menekankan pada kesan adanya
suatu persyaratan dan tidak dapat menyatakan rentang waktu. Setsuzokushi
uchi ni dan aida ni dapat saling menggantikan dalam beberapa kalimat yang
menyatakan rentang waktu sedangkan kagiri tidak dapat menggantikan aida
ni dan uchi ni.
Persamaan antara penelitian Anggaraini dengan penelitian yang akan
dilakukan, yaitu dari segi teori dan metode analisis, menggunakan teori
makna yang dikemukakan oleh Pateda dan juga metode agih untuk
menganalisis data. Namun terdapat perbedaan pada permasalahan yang
dibahas. Penelitian Anggaraini hanya menganalisis bentuk dan perbedaan
makna setsuzokushi uchi ni, aida ni dan kagiri sedangkan penelitian yang
akan dilakukan ini tidak hanya menganalisis bentuk tetapi juga menganalisis
variasi struktur kalimat yang mengandung setsuzokushi uchi ni, aida ni,
kagiri dan ijo wa. Dalam penelitian Anggaraini, tidak dibahas mengenai
setsuzokushi ijo wa sehingga penelitian ini memiliki kelebihan dari penelitian
yang telah dilakukan oleh Anggaraini. Melalui penelitian yang telah
dilakukan oleh Anggaraini dapat dipahami mengenai cara menggunakan
11
metode dan teknik untuk menganalisis setsuzokushi, sehingga dapat
memberikan kontribusi terhadap penelitian yang akan dilakukan.
Padmawati (2012) dalam skripsinya yang berjudul “Penggunaan
Setsuzokushi Shikashi dan Demo dalam novel Norwei no Mori Karya Haruki
Murakami”. Dalam penelitiannya, Padmawati menganalisis mengenai
perbedaan penggunaan setsuzokushi shikashi dan demo yang terdapat dalam
novel Norwei no Mori Karya Haruki Murakami. Data-data setsuzokushi
tersebut dianalisis dengan metode agih dan teknik dasar bagi unsur langsung
serta teknik lanjutan yaitu teknik baca markah. Untuk menganalisis perbedaan
penggunaan kedua setsuzokushi tersebut, Padmawati menggunakan teori
setsuzokushi shikashi dan teori setsuzokushi demo yang dikemukakan oleh
Yuriko dkk (1998).
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Padmawati menunjukan
bahwa terdapat perbedaan penggunaan antara setsuzokushi shikashi dan
demo. Shikashi digunakan pada saat menceritakan tokoh yang dianggap
penting dalam cerita dan digunakan dalam ragam bahasa tulis, sedangkan
demo digunakan untuk menyampaikan hal-hal atau pendapat yang bersifat
pribadi yang menyatakan perasaan pembicara secara pribadi. Demo tidak
dapat menggantikan shikashi ketika kedua kalimat yang dihubungkan oleh
shikashi merupakan bentuk {~de aru}.
Persamaan antara penelitian yang telah dilakukan oleh Padmawati
dengan penelitian ini yaitu terletak pada metode yang digunakan yaitu metode
agih dalam menganalisis data, sedangkan perbedaannya terletak pada teori
12
yang digunakan. Penelitian ini menggunakan teori sintaksis yang
dikemukakan oleh Verhaar (2012) yang dikaitkan dengan pendapat dari
Makino dan Tsutsui (1989) tentang struktur kalimat yang mengandung
setsuzokushi uchi ni, aida ni, kagiri dan ijo wa. Teori serta pendapat tersebut
dalam kaitannya digunakan untuk menganalisis penggunaan setsuzokushi
khususnya dalam menganalisis variasi struktur kalimat yang mengandung
(setsuzokushi) uchi ni, aida ni, kagiri dan ijo wa dalam novel Tobu ga Gotoku
karya Ryotaro Shiba. Melalui penelitian yang telah dilakukan oleh Padmawati
dapat dipahami cara menggunakan metode agih untuk menganalisis
penggunaan setsuzokushi, sehingga dapat dijadikan refrensi untuk penelitian
yang akan dilakukan.
Penelitian berikutnya mengenai analisis setsuzokushi telah dilakukan
oleh Dwita (2011) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Penggunaan
Setsuzokushi ga dan keredomo dalam Novel Kappa Karya Akutagawa
Ryunosuke”. Dalam penelitiannya, Dwita menganalisis mengenai perbedaan
fungsi dan makna yang terkandung dalam setsuzokushi ga dan keredomo
dengan metode agih dan teknik baca markah. Untuk menganalisis perbedaan
fungsi setsuzokushi ga dan keredomo mengacu pada pendapat dari beberapa
ahli yaitu Koizumi (1993), Takayuki (1993), Yuriko dkk (1998) serta
Katsumi dan Y. Shinichi (1998) tentang setsuzokushi ga dan keredomo.
Kemudian, untuk menganalisis perbedaan makna setsuzokushi ga dan
keredomo digunakan teori makna gramatikal yang dikemukakan oleh Abdul
Chaer.
13
Hasil penelitan yang telah dilakukan oleh Dwita menunjukan bahwa
setsuzokushi ga dan keredomo memiliki empat fungsi yang sama dan juga
beberapa fungsi yang berbeda. Persamaan fungsi setsuzokushi ga dan
keredomo yaitu digunakan untuk menggabungkan dua peristiwa yang
berlawanan, menggabungkan dan menjajarkan dua peristiwa, menyatakan
ekspresi dan menunjukan kalimat yang belum selesai. Keredomo memiliki
fungsi lain yang tidak dimiliki oleh ga yaitu menyatukan dua hal yang
berbeda. Kemudian perbedaan antara setsuzokushi ga dan keredomo adalah
ga lebih sering digunakan dalam bahasa tulisan dibandingkan keredomo, ga
dapat digunakan dalam bentuk biasa maupun hormat sedangkan keredomo
tidak dapat digunakan dalam bentuk baku atau bentuk hormat. Secara arti ga
dapat menggantikan keredomo dengan memperhatikan konteksnya sedangkan
keredomo tidak dapat menggantikan ga jika kedua kalimat yang dihubungkan
oleh ga merupakan bahasa hormat.
Persamaan antara penelitian Dwita dengan penelitian yang dilakukan,
yaitu dari segi metode analisis data menggunakan metode agih, dari segi
permasalahan yang diambil menganalisis makna setsuzokushi. Namun
perbedaannya adalah terletak dari teori yang digunakan dalam menganalisis
makna. Dwita menggunakan teori makna gramatikal sedangkan penelitian ini
akan menggunakan teori makna kontekstual yang dikemukakan oleh Pateda
(2011). Melalui penelitian yang telah dilakukan oleh Dwita dapat dipahami
cara menggunakan metode agih, cara membandingkan setsuzokushi yang
14
memiliki padanan kata yang sama dengan menggunakan teori makna,
sehingga dapat dijadikan referensi dalam penelitian yang akan dilakukan.
1.2 Konsep
Berikut ini adalah beberapa konsep atau definisi dasar yang menjadi
acuan dalam penelitian. Pemaparan konsep-konsep bertujuan untuk
menyamakan persepsi dari istilah-istilah yang digunakan. Adapun beberapa
konsep yang digunakan yaitu:
2.2.1 Setsuzokushi
Setsuzokushi yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan konjungsi
atau kata sambung, merupakan kelas kata yang digunakan untuk
merangkaikan atau menghubungkan kalimat dengan kalimat atau
menghubungkan kalimat dengan bagian-bagian kalimat. Setsuzokushi tidak
dapat digunakan sebagai subjek, objek predikat atau adverbia (kata
keterangan) Nagayama dalam Sudjianto (1996: 101).
Setsuzokushi juga memiliki fungsi dalam penggunaannya. Nagayama
dalam Sudjianto (1996: 101-105) menyatakan setsuzokushi memiliki tiga
fungsi yaitu:
1. Digunakan untuk menjajarkan, merangkaikan atau mengumpulkan
beberapa kata. Contohnya : mata wa, narabi ni, oyobi dan lain-
lain.
15
2. Digunakan untuk menghubungkan dua klausa atau lebih dalam
sebuah kalimat serta menghubungkan induk kalimat dengan anak
kalimat. Contohnya: shikamo, mata, shikashi, dan lain-lain.
3. Digunakan untuk menghubungkan dua kalimat yang kalimat
pertamanya memiliki hubungan dengan kalimat berikutnya.
Contohnya: daga, soretemo, shikashi, uchi ni, aida ni, kagiri, ijou
wa dan lain-lain.
Berdasarkan ketiga fungsi setsuzokushi tersebut, setsuzokushi uchi ni,
aida ni, kagiri dan ijo wa termasuk pada fungsi setsuzokushi nomor tiga, yaitu
digunakan untuk menghubungkan dua kalimat yang kalimat pertamanya
memiliki hubungan dengan kalimat berikutnya. Berikut adalah definisi dasar
mengenai setsuzokushi uchi ni, aida ni, kagiri dan ijo wa:
2.2.1.1 Uchi ni
Makino dan Tsutsui (1989) menjelaskan mengenai uchi ni yaitu sebagai
berikut:
“(Uchi ni) is a conjuction which express during a period when a certain
situasion remains in effect. While; before; during”
“(Uchi ni) adalah konjungsi yang digunakan untuk menyatakan periode,
ketika suatu situasi sedang berlangsung. Ketika;selagi; sebelum;selama”
(ADBJG,1989:512)
Contoh:
1. 前田さんはアメリカにいるうちに英語が上手になった。
Maeda san wa Amerika ni iru uchi ni eigo ga jyouzu ni natta.
‘Selama tinggal di Amerika, Maeda menjadi pintar berbahasa Inggris
(ADBJG, 1989:512)
16
2.2.1.2 Aida ni
Makino dan Tsutsui (1986) menyatakan mengenai aida ni adalah sebagai
berikut :
“The space between two temporal or physical points. During (the time when);
while”
“Ruang antara dua keadaan membatasi antara titik awal dan titik akhir.
Selama (ketika); ketika”
(ADBJG, 1986:67)
Contoh:
2. 私が食べている間に山田さんが来ました。
Watashi ga tabete iru aida ni Yamada san ga kimashita.
‘Ketika saya makan, Tuan Yamada datang’
(ADBJG,1986:68)
2.2.1.3 Kagiri
Makino dan Tsutsui (1995) menjelaskan mengenai kagiri dengan menyatakan
bahwa:
“A conjunction which expresses the idea “as long as” (a certain condition is
met) or “as long as” (= to the extent)”
“(Kagiri) merupakan konjungsi (kata penghubung) yang mengekspresikan ide
yang memiliki arti “selama” (untuk keadaan yang pasti) atau “selama”
(batasan)”
(ADIJG, 1995:82)
Contoh:
3. 私がここにいる限り心配は無用です。
Watashi ga koko ni iru kagiri shinpai wa muyou desu.
‘Selama saya di sini kamu tidak perlu khawatir’
(ADIJG, 1995:82)
17
2.2.1.4 Ijo wa
Makino dan Tsutsui (1995) menjelaskan mengenai ijo wa dengan menyatakan
bahwa:
“A conjunction indicating the speaker’s/ writer’s strong feeling that there
should be a very strong logical/ natural connection between what precedes
the conjunction and what follow it. Since; now that; once; if~ at all; as long
as”
“(Ijo wa) merupakan sebuah kata penghubung yang menunjukan perasaan
yang kuat milik pembicara atau penulis yang harus logis atau alami antara apa
yang mendahului kata penghubung tersebut dan apa yang mengikutinya. Ijo
wa memiliki arti sejak; selama”
(ADIJG, 1995: 65)
Contoh :
4. 日本語を始めた以上、良く話して、聞けて、読めて、書けるよう
になるまで頑張ります。
Nihongo wo hajimeta ijou, yoku hanashite, kikete, yomete, kakeru youni
naru made ganbarimasu.
‘Sejak saya mulai belajar bahasa Jepang, saya akan semangat sampai
bisa berbicara, mendengar, membaca dan menulis dengan baik’
(ADIJG, 1995:65)
5. 体を良く動かしている以上は、人間の体は衰えないらしい。
Karada wo yoku ugokashite iru ijou wa ningen no karada wa otoroenai
rashii.
‘Selama kamu bergerak , tubuhmu akan kuat’
(ADIJG, 1995:65)
2.2.2 Makna
Kridalaksana (2001:132) mengartikan makna (meaning, linguistic
meaning, sense) sebagai: 1) maksud pembicara; 2) pengaruh satuan bahasa
dalam pemahaman persepsi atau prilaku manusia atau kelompok manusia; 3)
hubungan, dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antar bahasa dan
18
alam di luar bahasa, atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya;
4) cara menggunakan lambang-lambang bahasa.
Pateda (2001:82) menyatakan bahwa terdapat tiga istilah ketika
seseorang mengatakan sesuatu, istilah tersebut antara lain : name, sense dan
thing. Soal makna terdapat dalam sense, dan ada hubungan timbal balik
antara name dengan pengertian sense. Apabila seseorang mendengar kata-
kata tertentu, ia akan dapat membayangkan bendanya atau sesuatu yang diacu,
apabila seseorang membayangkan sesuatu, ia akan segera dapat mengatakan
pengertiannya tersebut. Hubungan antara nama dengan pengertian itulah yang
disebut dengan makna.
Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
makna adalah hubungan kesepadanan antara bahasa atau kata yang diucapkan
dengan pengertiannya.
2.3 Kerangka Teori
Dalam melakukan suatu penelitian harus dilandasi dengan teori.
Dalam menganalisis variasi struktur kalimat yang mengandung setsuzokushi
uchi ni, aida ni, kagiri dan ijo wa digunakan teori sintaksis yang
dikemukakan oleh Verhaar (2012). Kemudian untuk menganalisis makna
kalimat yang mengandung setsuzokushi uchi ni, aida ni, kagiri dan ijo wa
digunakan teori makna kontekstual yang dikemukakan oleh Pateda (2001).
2.3.1 Teori Sintaksis
Dalam menganalisis struktur kalimat digunakan teori sintaksis.
Verhaar (2012:161) mendefinisikan sintaksis sebagai ilmu yang membahas
19
hubungan antar kata dalam tuturan. Hubungan antar kata tersebut meliputi
satuan gramatikal yang meliputi frasa, klausa dan kalimat. Terdapat tiga poin
penting dalam menganalisis klausa secara sintaksis yaitu dengan menganalisis
fungsi. Fungsi tersebut meliputi subjek, predikat dan objek yang terkandung
dalam sebuah kalimat, kemudian menganalisis kategori-kategori. Kategori
tersebut adalah nomina, verba dan preposisi.
Contoh :
Ayah membeli beras ketan untuk saya
Fungsinya adalah Ayah sebagai (subjek), membeli (predikat) beras ketan
(objek), saya (keterangan). Kata keterangan bukan merupakan fungsi.
Kategorinya adalah Ayah dan beras ketan merupakan (nomina), membeli
(verba), untuk (preposisi), saya (pronomina) (Verhaar, 2012: 163). Fungsi-
fungsi dalam sebuah kalimat diisi dengan berbagai kelas kata, salah satunya
yang paling sering digunakan dalam sebuah kalimat adalah kata penghubung.
Dalam bahasa Jepang kata penghubung atau konjungsi disebut dengan istilah
setsuzokushi. Nagayama dalam Sudjianto (1996: 100) menjelaskan bahwa
setsuzokushi adalah kelas kata yang digunakan untuk merangkaikan atau
menghubungkan kalimat dengan kalimat atau menghubungkan kalimat dengan
bagian-bagian kalimat. Teori sintaksis ini akan digunakan untuk menganalisis
variasi struktur kalimat yang mengandung setsuzokushi uchi ni, aida ni, kagiri
dan ijo wa dalam novel Tobu ga Gotoku karya Ryotaro Shiba yang mengacu
pada pendapat Makino dan Tsutsui (1989).
20
2.3.1.1 Uchi ni
Makino dan Tsutsui (1989) mengemukakan pendapat mengenai struktur uchi
ni:
a. Kata kerja bentuk kamus + uchi ni
Contoh :
6. アメリカにいるうちに
Amerika ni iru uchi ni
‘Selama berada di Amerika’
(ADBJG, 1989:513)
b. Kata sifat -i + uchi ni
Contoh :
7. 若いうちに
Wakai uchi ni
‘Selagi muda’
(ADBJG, 1989:513)
c. Kata sifat –na + uchi ni
Contoh :
8. 花がきれいなうちに
Hana ga kirei na uchi ni
‘Selagi bunga-bunga masih cantik’
(ADBJG, 1989:513)
d. Kata benda + no + uchi ni
Contoh :
9. やすみのうちに
Yasumi no uchi ni
‘Selagi liburan ’
(ADBJG, 1989:513)
21
2.3.1.2 Aida ni
Makino dan Tsutsui (1989) mengemukakan pendapat mengenai struktur aida
ni :
a. Kata kerja bentuk kamus + aida ni
Contoh :
10. 話している間に
Hanashite iru aida ni
‘Ketika sedang berbicara’
(ADBJG, 1989:68)
b. Kata sifat –i + aida ni
Contoh:
11. 高い間に
Takai aida ni
‘Ketika masih mahal’
(ADBJG, 1989:68)
c. Kata sifat –na + aida ni
Contoh :
12. 静かな間に
Shizuka na aida ni
‘Ketika sedang sepi’
(ADBJG, 1989:69)
d. Kata benda + no + aida ni
Contoh :
13. 夏休みの間に
Natsu yasumi no aida ni
‘Selama liburan musim panas’
(ADBJG, 1989:69)
22
2.3.1.3 Kagiri
Makino dan Tsutsui (1995) mengemukakan pendapat mengenai struktur kagiri:
a. Kata kerja + kagiri
Contoh:
14. 調べた限り
Shirabeta kagiri
‘Selama memeriksa’
(ADIJG,1995:83)
b. Kata benda+ de aru + kagiri
Contoh:
15. 学生である限り
Gakusei de aru kagiri
‘Selama menjadi siswa’
(ADIJG, 1995:83)
2.3.1.4 Ijo wa
Makino dan Tsutsui (1989) mengemukakan pendapat mengenai struktur ijo
wa :
a. Kata kerja + ijo wa
Contoh :
16. はなす/話した以上は
Hanasu / hanashita ijo wa
‘Sejak berbicara’
(ADIJG, 1995: 64)
b. Kata benda + de aru + ijo wa
Contoh :
17. 先生である以上は
Sensei de aru ijo wa
‘Selama menjadi guru’
(ADIJG, 1995: 64)
23
2.3.2 Makna Kontekstual
Makna yang dianalisis dalam penelitian ini adalah makna kontekstual.
Teori yang digunakan ialah mengacu pada pendapat Pateda (2001: 116) yang
menyatakan bahwa makna kontekstual adalah salah satu jenis makna yang
ada dalam kajian ilmu semantik yang muncul sebagai akibat hubungan antara
ujaran dan konteks. Konteks kesamaan bahasa memengaruhi makna secara
keseluruhan. Konteks yang dimaksud antara lain sebagai berikut.
1. Konteks orangan adalah konteks yang berkaitan dengan jenis kelamin,
kedudukan pembicara, usia pendengar atau pembicara, latar belakang
sosial atau ekonomi pembicara atau pendengar. Dalam konteks orangan,
seseorang dipaksa menggunakan kata-kata yang maknanya dipahami oleh
lawan bicara sesuai dengan usia, jenis kelamin, latar belakang sosial
ekonomi dan latar belakang pendidikan.
2. Konteks situasi, misalnya situasi ribut, situasi aman (kondusif) atau
berbahaya. Seseorang akan mencari kata-kata yang maknanya berkaitan
dengan situasi misalnya menggunakan kata-kata yang maknanya ikut
bersedih, kasihan, sayang dan lain sebagainya.
3. Konteks tujuan, misalnya meminta atau mengharapkan sesuatu misalnya
tujuan untuk meminta, maka seseorang akan mencari kata-kata yang
maknanya meminta.
4. Konteks formal atau tidaknya suatu pembicaraan, memaksa seseorang
mencari kata-kata yang sesuai dengan formal atau tidaknya pembicaraan.
24
5. Konteks suasana hati pembicara atau pendengar, memaksa seseorang
mencari kata-kata yang maknanya menyatakan suasana hati pembicara
atau pendengar, misalnya takut, gembira atau jengkel.
6. Konteks waktu, misalnya siang atau malam hari (waktu akan beristirahat).
Jika seseorang bertamu pada waktu orang akan beristirahat maka orang
yang diajak bicara akan merasa kesal. Hal tersebut dapat dilihat dari
makna kata-kata yang digunakan seseorang.
7. Konteks tempat, misalnya di bioskop atau di pasar, konteks tempat sangat
mempengaruhi kata yang digunakan. Di tempat- tempat tersebut orang
akan mencari kata-kata yang bermakna biasa-biasa saja misalnya makna
yang berhubungan dengan informasi.
8. Konteks objek yaitu hal yang menjadi fokus dalam pembicaraan. Misalnya
fokus pembicara adalah tentang ekonomi, maka orang akan mencari kata-
kata yang berkaitan dengan ekonomi.
9. Konteks alat kelengkapan pembicara atau pendengar pada pembicara atau
pendengar. misalnya orang yang tidak normal alat bicaranya ketika sedang
melafalkan suatu kata namun kata tersebut tidak dapat dilafalkan dengan
baik, sehingga orang yang mendengar tidak dapat memahami apa isi
kalimat dan menyebabkan salah pengertian.
10. Konteks kebahasaan yaitu memenuhi atau tidak kaedah kebahasaan antara
pembicara dan lawan bicara. Misalnya dalam tulis -menulis hal yang
diperhatikan adalah tanda baca dan diksi, sedangkan dalam bahasa lisan
25
yang perlu diperhatikan adalah tekanan suara, panjang-pendek dan getaran
suara yang menunjukan emosi tertentu.
11. Konteks bahasa yaitu bahasa yang digunakan. Hal ini menandakan bahwa
suatu kata atau simbol ujaran tidak akan memiliki makna jika terlepas dari
konteks kalimat tersebut.
Berdasarkan kesebelas konteks makna yang dikemukakan oleh Pateda (2011:116),
akan dianalisis makna kalimat yang mengandung setsuzokushi uchi ni, aida ni,
kagiri dan ijo wa dalam novel Tobu ga Gotoku karya Ryoutarou Shiba sesuai
dengan kesebelas konteks makna tersebut.