bab ii kajian pustaka dan hipotesis penelitian 2.1 ... ii.pdfpenghargaan dan wewenang untuk...

24
17 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan hubungan keagenan adalah hubungan kontraktual antara pemegang saham sebagai prinsipal yang memberi wewenang dan manajer sebagai agen yang menjalankan wewenang tersebut. Hubungan keagenan muncul ketika seorang individu atau lebih sebagai pemegang saham atau prinsipal mempekerjakan pihak lain, yaitu manajer (agen) untuk melaksanakan pekerjaan dan mendelegasikan wewenang pembuatan keputusan. Hak dan tanggung jawab prinsipal dan agen ditentukan dalam kontrak hubungan pekerjaan. Pemisahan dua fungsi antara kepemilikan dan pengelolaan pada perusahaan seringkali mengakibatkan terjadinya konflik karena perbedaan kepentingan antara prinsipal dan manajer. Masalah keagenan akan muncul ketika perilaku kerjasama yang bertujuan memaksimalkan kesejahteraan kelompok tidak konsisten dengan masing-masing keinginan individu. Hal ini didasarkan atas asumsi tentang sifat dasar manusia yang mendahulukan kepentingannya sendiri (self interest) untuk memaksimalkan utilitas. Pemegang saham dan manajer memiliki kepentingan yang berbeda dan masing-masing menginginkan kepentingan mereka terpenuhi. Utama (2002) dalam Piramita (2012) menyatakan bahwa kepentingan prinsipal adalah memaksimumkan kekayaannya dengan melihat nilai arus kas yang dihasilkan oleh investasi perusahaan yang nantinya dapat digunakan untuk

Upload: lylien

Post on 07-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

17

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Landasan Teori dan Konsep

2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory)

Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan hubungan keagenan adalah

hubungan kontraktual antara pemegang saham sebagai prinsipal yang memberi

wewenang dan manajer sebagai agen yang menjalankan wewenang tersebut.

Hubungan keagenan muncul ketika seorang individu atau lebih sebagai pemegang

saham atau prinsipal mempekerjakan pihak lain, yaitu manajer (agen) untuk

melaksanakan pekerjaan dan mendelegasikan wewenang pembuatan keputusan.

Hak dan tanggung jawab prinsipal dan agen ditentukan dalam kontrak hubungan

pekerjaan.

Pemisahan dua fungsi antara kepemilikan dan pengelolaan pada perusahaan

seringkali mengakibatkan terjadinya konflik karena perbedaan kepentingan antara

prinsipal dan manajer. Masalah keagenan akan muncul ketika perilaku kerjasama

yang bertujuan memaksimalkan kesejahteraan kelompok tidak konsisten dengan

masing-masing keinginan individu. Hal ini didasarkan atas asumsi tentang sifat

dasar manusia yang mendahulukan kepentingannya sendiri (self interest) untuk

memaksimalkan utilitas. Pemegang saham dan manajer memiliki kepentingan

yang berbeda dan masing-masing menginginkan kepentingan mereka terpenuhi.

Utama (2002) dalam Piramita (2012) menyatakan bahwa kepentingan

prinsipal adalah memaksimumkan kekayaannya dengan melihat nilai arus kas

yang dihasilkan oleh investasi perusahaan yang nantinya dapat digunakan untuk

18

pembagian dividen. Namun, tujuan manajer adalah berfokus pada pertumbuhan

dan ukuran perusahaan. Dengan adanya peningkatan pertumbuhan dan ukuran

perusahaan akan membuktikan produktifitas manajer sehingga akan memeroleh

penghargaan dan wewenang untuk menentukan pengeluaran serta memberikan

keamanan pekerjaan dan kompensasi yang besar untuknya. Berdasarkan

wewenangnya dalam perusahaan, manajer akan memiliki kesempatan

menggunakan sumber daya perusahaan untuk meningkatkan keuntungan pribadi.

Masalah keagenan tersebut dapat terjadi karena adanya asimetri informasi,

yaitu informasi yang tidak seimbang akibat distribusi informasi yang tidak sama

antara prinsipal dan manajer (Scott, 1997 dalam Piramita 2012). Prinsipal pastinya

akan selalu membutuhkan informasi tentang prospek perusahaan, dan informasi

tersebut diperoleh dari laporan yang dibuat oleh manajer, karena prinsipal tidak

dapat mengawasi kegiatan di dalam perusahaan secara langsung. Prisipal

seharusnya memeroleh informasi yang dibutuhkan untuk mengukur keberhasilan

manajemen, namun akibat adanya asimetri informasi membuat manajer tidak

menyajikan informasi yang sebenarnya. Hal ini menyebabkan prinsipal tidak

dapat mengukur kinerja manajer yang sesungguhnya dalam mengelola harta

kekayaan mereka.

Jensen dan Meckling (1976) menyatakan terdapat dua jenis permasalahan

yang ditimbulkan akibat adanya asimetri informasi, yaitu:

1) adverse selection, adalah keadaan dimana prinsipal (pemegang saham) tidak

dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh manajer sebagai

agen benar-benar didasarkan atas informasi yang diperolehnya, atau terjadi

sebagai sebuah kelalaian dalam tugas.

19

2) moral hazard, yaitu permasalahan yang muncul jika manajer tidak

melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja dan

cenderung bertindak oportunis.

Manajer dan prinsipal akan berusaha untuk memaksimalkan ulititasnya

masing-masing melalui informasi yang dimiliki. Tetapi, manajer sebagai agen

lebih banyak memiliki informasi internal perusahaan dibandingkan dengan

prinsipal, sehingga mengakibatkan agen akan memanfaatkan adanya asimetri

informasi untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui

prinsipal. Asimetri informasi dan konflik kepentingan yang terjadi antara prinsipal

dan agen mendorong agen untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya

kepada prinsipal, terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran

kinerja agen. Hal ini memicu agen untuk memikirkan bagaimana angka akuntansi

dapat digunakan sebagai sarana untuk memaksimalkan kepentingannya dengan

melakukan tindakan manajemen laba (Richardson, 1998).

2.1.2 Manajemen Laba

Scott (2011:423) mendefinisikan manajemen laba sebagai suatu keputusan

dari manajer untuk memilih kebijakan akuntansi tertentu yang dianggap bisa

mencapai tujuan yang diinginkan, baik itu untuk meningkatkan laba atau

mengurangi tingkat kerugian yang dilaporkan. Pemahaman atas manajemen laba

dibagi menjadi dua, yaitu (1) perspektif perilaku oportunis manajer (opportunistic

earnings management) karena manajer selalu berusaha memaksimumkan

utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang, dan biaya

politik dan (2) perspektif efficient contracting (effecient earnings management)

20

karena manajemen laba memberikan manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi

diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak

terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan

demikian manajer dapat memengaruhi nilai pasar saham perusahaannya melalui

manajemen laba (Scott, 2011:369).

Menurut Sulistyanto (2008) manajemen laba (earnings management)

dilakukan dengan mempermainkan komponen-komponen akrual dalam laporan

keuangan, sebab komponen akrual merupakan komponen yang mudah untuk

dipermainkan sesuai dengan keinginan pihak yang melakukan pencatatan

transaksi dan menyusun laporan keuangan. Alasannya, komponen akrual

merupakan komponen yang tidak memerlukan bukti kas secara fisik sehingga

upaya mempermainkan besar kecilnya komponen akrual tidak harus disertai

dengan kas yang diterima atau dikeluarkan perusahaan.

Akrual terdiri dari dua macam, yaitu nondiscretionary accrual dan

discretionary accrual. Scott (2000) dalam Tresnaningsih (2008) menyatakan

nondiscretionary accrual adalah nilai akrual yang diperoleh secara alamiah oleh

perusahaan akibat penggunaan metode akuntansi tanpa campur tangan dari

manajer. Selanjutnya, discretionary accrual adalah nilai akrual yang dipengaruhi

oleh komponen-komponen akrual yang diatur oleh kebijakan manajer, contohnya

seperti mengubah metode depresiasi, mengakui pendapatan yang belum diterima,

mengubah umur piutang, mengubah nilai cadangan pitang tak tertagih, mengubah

jumlah persediaan yang dihapus, mengubah nilai aktiva serta umur aktiva untuk

memperkecil beban depresiasi dan lain sebagainya. Akrual diskresioner sering

21

digunakan sebagai ukuran atau proksi dari manajemen laba yang bersifat

oportunis karena dipengaruhi oleh kebijakan manajemen.

Ada beberapa motivasi yang mendorong manajemen melakukan manajemen

laba (Sulistyanto, 2008), diantaranya sebagai berikut.

a) Motivasi Bonus

Bonus plan hypothesis menegaskan bahwa manajer perusahaan cenderung

untuk memilih prosedur-prosedur akuntansi yang menggeser laba yang

dilaporkan dari periode masa depan ke periode sekarang. Manajer melakukan

manajemen laba untuk kepentingan bonusnya. Laba sering dijadikan sebagai

indiktor penilaian kinerja manajer. Manajer perusahaan dengan rencana bonus

lebih mungkin menggunakan metode-metode akuntansi untuk meningkatkan

laba (income maximization) yang dilaporkan pada periode berjalan sehingga

dapat memaksimalkan bonus mereka berdasarkan program kompensasi

perusahaan.

b) Motivasi Kontraktual Lainnya

Hipotesis debt/equity menjelaskan suatu perusahaan dengan rasio debt/equity

besar akan cenderung memilih prosedur-prosedur akuntansi yang menggeser

laba yang dilaporkan dari periode masa depan ke periode sekarang.

Manajemen melakukan manajemen laba untuk memenuhi perjanjian-

perjanjian utangnya agar meloloskan perusahaan dari kesulitan keuangan.

c) Motivasi Politik

Perusahaan besar cenderung menggunakan metode akuntansi yang dapat

menggurangi laba periodiknya dibanding perusahaan yang kecil. Hal ini

dilakukan untuk memeroleh kemudahan dan fasilitas dari pemerintah.

22

d) Motivasi Pajak

Manajer termotivasi melakukan manajemen laba karena income taxation.

Semakin tinggi laba yang dihasilkan maka semakin besar pajak yang

dikenakan, sehingga manajer melakukan manajemen laba untuk mengurangi

pajak tersebut. Dalam hal ini manajemen laba dapat dilakukan dengan

menarik biaya pada periode yang akan datang menjadi biaya pada periode

berjalan, dan sebaliknya mengakui pendapatan periode berjalan menjadi

pendapatan periode yang akan datang.

e) Pergantian CEO

Motivasi manajemen laba ada di sekitar pergantian CEO. Hipotesis rencana

bonus menjelaskan bahwa CEO yang akan diganti melakukan pendekatan

srategi untuk memaksimalisasi laba agar menaikkan bonusnya.

f) Motivasi Pasar Modal

Motivasi ini muncul karena informasi akuntansi digunakan secara luas oleh

investor dan para analis keuangan untuk menilai saham. Dengan begitu,

kondisi ini menciptakan kesempatan bagi manajer untuk mengatur laba

dengan cara memengaruhi performa harga saham jangka pendek.

Menurut Scott (2011:383) terdapat empat pola manajemen laba yang dapat

dilakukan oleh manajer.

1) Taking a Bath

Pola ini dilakukan dalam periode di mana terjadi organizational stress atau

reorganisasi, termasuk pengangkatan CEO baru dengan melaporkan kerugian

dalam jumlah besar. Tindakan ini diharapkan dapat meningkatkan laba di

masa mendatang.

23

2) Income Minimazation

Pola ini biasanya dilakukan pada saat perusahaan memeroleh laba yang tinggi

dengan maksud untuk mengurangi kemungkinan munculnya biaya politis.

Aktivitas manajemen laba dilakukan dengan menjadikan laba periode

berjalan lebih rendah dari laba sesungguhnya. Jika laba periode mendatang

diperkirakan turun drastis maka dapat diatasi dengan mengambil laba periode

sebelumnya.

3) Income Maximization

Pola ini dilakukan pada saat terjadi penurunan laba dengan cara melaporkan

laba berjalan lebih tinggi dari laba sesungguhnya. Tindakan atas income

maximization bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk

tujuan bonus yang lebih besar, meningkatkan keuntungan serta untuk

menghindari pelanggaran atas kontrak hutang jangka panjang.

4) Income Smoothing

Pola ini dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan

sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada

umumnya investor menyukai laba yang relatif stabil.

2.1.3 Arus Kas Bebas (Free Cash Flow)

Arus kas bebas adalah kas yang tersisa dari pendanaan seluruh proyek yang

menghasilkan net present value (NPV) positif (Jensen, 1986). Kieso (2007:219)

mendefinisikan arus kas bebas sebagai jumlah arus kas diskresioner perusahaan

untuk membeli investasi tambahan, melunasi utang, membeli saham treasury, atau

24

hanya untuk menambah likuiditas perusahaan. Ross et al. (2000) menyatakan

bahwa arus kas bebas sebagai kas perusahaan yang dapat didistribusi kepada

kreditur atau pemegang saham yang tidak digunakan untuk modal kerja atau

investasi pada aset tetap. Jadi, arus kas bebas dapat disimpulkan sebagai sisa kas

yang dimiliki perusahaan setelah perusahaan membiayai semua investasi dan

modal kerja untuk kegiatan operasionalnya dalam rangka pengembangan usaha.

Perusahaan dengan arus kas bebas tinggi akan memiliki kinerja yang lebih

baik dibandingkan perusahaan lainnya karena mereka dapat memeroleh

keuntungan atas berbagai kesempatan yang mungkin tidak dapat diperoleh

perusahaan lain. Selain itu, dengan aliran kas bebas tinggi perusahaan diduga

lebih survive dalam situasi yang buruk, sedangkan aliran kas bebas negatif berarti

sumber dana internal tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan investasi

perusahaan, sehingga memerlukan tambahan dana eksternal baik dalam bentuk

hutang maupun penerbitan saham baru (Rosdini, 2009).

Jensen (1986) menyatakan bahwa keinginan manajer untuk meningkatkan

kekuasaannya melalui pengendalian atas sumber daya yang semakin besar, telah

mendorong manajer untuk selalu berinvestasi dalam upaya memperbesar

perusahaan. Oleh karena itu, adanya arus kas bebas akan memberi kesempatan

dan dorongan bagi manajer untuk berinvestasi.

Hipotesis free cash flow (Jensen, 1986) berdasarkan pada adanya argumen

konflik kepentingan antara manajer dan prinsipal berkaitan dengan penggunaan

arus kas bebas perusahaan. Konflik kepentingan antara prinsipal dengan manajer

dapat timbul jika manajer bertindak untuk mengejar kepentingannya sendiri demi

mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memerhatikan kepentingan

25

pemegang saham. Manajer cenderung mempunyai keinginan menahan sumber

daya (termasuk aliran kas bebas) agar mereka tetap memiliki kendali terhadap

penggunaan sumber daya tersebut. Di lain pihak, pemegang saham ingin agar

dana yang tersedia dibagikan dalam bentuk dividen. Manajer beranggapan bahwa

pembagian dividen akan mengurangi sumber daya yang ada di bawah

kekuasaannya, hal ini berarti bahwa kekuatan manajer akan berkurang.

Manajer memiliki insentif untuk memperbesar perusahaan melebihi ukuran

optimalnya sehingga mereka tetap melakukan investasi meskipun memberikan

NPV negatif (Jensen, 1986). Semakin besar ukuran perusahaan, semakin besar

sumber daya perusahaan yang ada di bawah kendali manajer, sehingga semakin

besar kemungkinan manajer dapat menyalahgunakan sumber daya perusahaan

untuk kepentingan pribadinya. Overinvestment dengan menggunakan arus kas

bebas dilakukan untuk menghindari pengawasan yang berhubungan dengan

penambahan modal dari luar perusahaan (Rosdini, 2009).

Pemegang saham menganggap bahwa investasi pada proyek-proyek dengan

NPV negatif merupakan suatu bentuk inefisiensi sekaligus merupakan penundaan

kesejahteraan mereka. Sesuai dengan teori keagenan, apabila perusahaan

mempunyai arus arus kas bebas, manajer perusahaan akan mendapat tekanan dari

pemegang saham untuk membagikannya dalam bentuk dividen. Hal ini dilakukan

sebagai upaya mencegah pihak manajemen menggunakan arus kas bebas untuk

hal-hal yang tidak sesuai dengan tujuan perusahaan dan cenderung merugikan

para pemegang saham (Zurohtun, 2013).

2.1.4 Capital Adequacy Ratio

26

CAR merupakan rasio kinerja bank untuk mengukur kecukupan modal yang

dimiliki bank dalam menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan

risiko, misalnya kredit yang diberikan (Dendawijaya, 2005:121). CAR

menunjukkan kemampuan bank dalam mempertahankan modal yang mencukupi

dan kemampuan manajemen bank dalam mengidentifikasi, mengawasi dan

mengontrol risiko-risiko yang timbul dan dapat berpengaruh terhadap besarnya

modal. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013, bank

dinyatakan sehat jika memiliki CAR minimum sebesar 8 persen.

Kondisi permodalan (yang diukur dengan capital ratio) adalah berkaitan

dengan penyediaan modal sendiri yang diperlukan untuk menutupi risiko kerugian

yang mungkin timbul dari penanaman dana dalam aktiva produktif yang

mengandung risiko (Hapsari, 2010). Modal berfungsi untuk membiayai operasi,

sebagai instrumen untuk mengantisipasi risiko dan sebagai alat untuk ekspansi

usaha. CAR juga menjadi modal dasar yang harus dipenuhi oleh bank. Modal ini

digunakan untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap kinerja bank

(Nurhafita, 2010).

Dalam formula CAR dibandingkan antara modal dengan semua jenis aktiva

yang dianggap mengandung risiko atau yang sering disebut aktiva tertimbang

menurut risiko (ATMR). CAR menunjukkan sejauh mana penurunan aset bank

masih dapat ditutup oleh ekuitas bank yang tersedia, semakin tinggi CAR semakin

baik kondisi sebuah bank. Nilai minimum CAR merupakan salah satu peraturan

Bank Indonesia yang harus dipenuhi oleh bank sebagai syarat untuk memenuhi

rasio kecukupan modal bank yang layak beroperasi. Manajemen laba akan

semakin intensif dilakukan oleh bank jika nilai CAR lebih rendah dari ketentuan

27

minimum BI (Zahara dan Veronica, 2009). Rasio CAR yang tidak memenuhi

ketentuan minimum pada periode sebelumnya akan memotivasi manajemen untuk

melakukan manajemen laba agar mendapatkan nilai rasio CAR yang mencukupi

standar kesehatan bank pada periode saat ini sebagai sinyal bahwa bank tersebut

termasuk dalam kategori sehat.

2.1.5 Good Corporate Governance

Good corporate governance (GCG) merupakan seperangkat peraturan yang

mengatur hubungan antara pemegang saham, manajer, kreditur, pemerintah,

karyawan dan stakeholders lainnya agar seimbang hak dan kewajibannya (FCGI,

2006). GCG adalah struktur, sistem dan proses yang digunakan oleh organ-organ

perusahaan sebagai upaya untuk memberi nilai tambah perusahaan secara

berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan tetap memerhatikan

kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan moral, etika, budaya dan aturan

berlaku lainnya.

Komite Nasional Kebijakan Governance atau KNKG (2006) menyatakan

bahwa setiap perusahaan harus memastikan bahwa prinsip-prinsip pokok GCG

diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di semua jajaran perusahaan. Prinsip-

prinsip pokok tersebut sebagai berikut.

1) Keterbukaan (transparancy)

Untuk menjaga objektifitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus

menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah

diakses serta dapat dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus

mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang

28

diisyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting

untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku

kepentingan lainnya.

2) Akuntabilitas (accountability)

Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara

transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar,

terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap

memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan

lainnya.

3) Pertanggungjawaban (responsibility)

Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta

melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga

dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat

pengakuan sebagai good corporate citizen.

4) Kewajaran (fairness)

Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa

memerhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan

lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.

5) Independensi (independency)

Untuk melancarkan pelaksaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara

independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling

mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.

Sistem corporate governance dibagi menjadi dua bagian yaitu mekanisme

internal governance dan mekanisme external governance (Jensen dan Meckling,

29

1976). Mekanisme internal governance meliputi struktur dewan direksi,

kepemilikan manajerial dan kompensasi eksekutif. Sedangkan mekanisme

external governance terdiri dari kepemilikan institusional, pasar untuk kontrol

perusahaan dan tingkat pendanaan dengan hutang.

2.1.6 Dewan Komisaris Independen

Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi

dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya, dan pemegang saham

pengendali serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat

memengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-

mata demi kepentingan perusahaan (POJK, 2014). Berdasarkan teori keagenan,

dewan komisaris dianggap sebagai mekanisme pengendalian internal tertinggi,

yang bertanggung jawab untuk memonitor tindakan manajemen puncak. Ukuran

dewan komisaris diyakini sebagai aspek dasar dari pengambilan keputusan yang

efektif (Anindyah, 2013).

Keberadaan komisaris independen sangat diperlukan dalam mendorong

diterapkannya prinsip dan praktek tata kelola yang baik pada perusahaan. Fama

dan Jensen (1983) dalam Aji (2012) menyatakan bahwa komisaris independen

dapat bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi diantara para

manajer internal dan mengawasi kebijakan manajemen serta memberikan nasihat

kepada manajemen. Komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk

melaksanakan fungsi monitoring agar terciptanya perusahaan yang good

corporate governance.

30

Menurut FCGI (2006), dewan komisaris memegang peranan yang sangat

penting dalam perusahaan, terutama dalam pelaksanaan GCG. Dewan komisaris

merupakan inti dari corporte governance yang ditugaskan untuk menjamin

pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola

perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Pada intinya, dewan

komisaris merupakan suatu mekanisme pengawasan dan mekanisme untuk

memberikan petunjuk dan arahan pada pengelolaan perusahaan. Lebih lanjut

tugas-tugas utama dewan komisaris dalam FCGI sebagai berikut.

1) Menilai dan mengarahkan strategi perusahaan, garis-garis besar rencana

kerja, kebijakan pengendalian risiko, anggaran tahunan dan rencana usaha;

menetapkan sasaran kerja; mengawasi pelaksanaan dan kinerja perusahaan;

serta memonitor penggunaan modal perusahaan, investasi dan penjualan aset.

2) Menilai sistem penetapan penggajian pejabat pada posisi kunci dan

penggajian anggota dewan direksi, serta menjamin suatu proses pencalonan

anggota dewan direksi yang transparan dan adil.

3) Memonitor dan mengatasi masalah benturan kepentingan pada tingkat

manajemen, anggota dewan direksi dan anggota dewan komisaris, termasuk

penyalahgunaan aset perusahaan dan manipulasi transaksi perusahaan.

4) Memonitor pelaksaan corporate governance, dan mengadakan perubahan di

mana perlu.

5) Memantau proses keterbukaan dan efektivitas komunikasi dalam perusahaan.

2.1.7 Komite Audit

31

Komite audit adalah komite yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada

dewan komisaris untuk membantu dewan komisaris dalam memantau dan

memastikan efektivitas sistem pengendalian internal dan pelaksanaan tugas

auditor internal dan auditor independen (POJK, 2014). Komite audit merupakan

pihak yang bertanggung jawab melakukan pengawasan dan pengendalian untuk

menciptakan keadilan, transparansi, akuntabilitas dan responsibilitas. Keempat

faktor inilah yang membuat laporan keuangan menjadi lebih berkualitas

(Sulistyanto, 2008:156).

Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (2014) komite audit bertugas

membantu dewan komisaris dalam:

1) memastikan pengendalian internal dilaksanakan dengan baik;

2) memastikan pelaksanaan audit internal maupun audit independen

dilaksanakan sesuai dengan standar auditing yang berlaku;

3) memastikan pelaksanaan tindak lanjut oleh direksi atas hasil temuan satuan

kerja internal, auditor independen, dan hasil pengawasan Otoritas Jasa

Keuangan;

4) memberikan rekomendasi penunjukkan calon auditor independen;

5) memastikan kesesuaian laporan keuangan dengan standar akuntansi yang

berlaku.

Tugas komite audit berhubungan dengan kualitas laporan keuangan, karena

komite audit diharapkan dapat membantu dewan komisaris dalam pelaksanaan

tugas yaitu mengawasi proses pelaporan keuangan oleh manajemen dan tujuan

utamanya adalah untuk meningkatkan kredibilitas laporan keuangan yang diaudit.

Dalam kapasitas ini, komite audit bertindak sebagai perantara antara manajemen

32

dan auditor eksternal (Mashayekhi dan Noravesh, 2007). Peran komite audit

sangat penting karena memengaruhi kualitas laporan keuangan perusahaan yang

merupakan salah satu informasi penting yang tersedia untuk publik dan dapat

digunakan investor untuk menilai perusahaan.

Investor sebagai pihak luar perusahaan tidak dapat mengamati secara langsung

kualitas sistem informasi perusahaan sehingga persepsi mengenai kinerja komite

audit akan memengaruhi penilaian investor terhadap kualitas laba perusahaan.

Dengan demikian berdasarkan tujuan dibentuknya, komite audit diharapkan dapat

meminimalkan adanya masalah keagenan seperti adanya tindakan manajemen

laba yang dapat dilakukan berkaitan dengan adanya arus kas bebas. Keberadaan

komite audit bermanfaat dalam menjamin transparansi, keterbukaan laporan

keuangan, keadilan bagi stakeholder, dan pengungkapan informasi yang

dilakukan oleh manajemen.

2.1.8 Kepemilikan Manajerial

Kepemilikan manajerial adalah jumlah dari saham yang dimiliki oleh manajer

perusahaan (insider board) baik itu dewan direksi maupun komisaris dalam suatu

perusahaan diluar saham yang dimiliki oleh para prinsipal, masyarakat dan

institusional (Warfield, 1995 dalam Anggana dan Prastiwi, 2013). Dari sudut

pandang teori akuntansi, manajemen laba sangat ditentukan oleh motivasi manajer

perusahaan. Motivasi yang berbeda akan menghasilkan besaran manajemen laba

yang berbeda, seperti antara manajer yang juga sekaligus sebagai pemegang

saham dan manajer yang tidak sebagai pemegang saham. Dua hal tersebut akan

memengaruhi manajemen laba, karena kepemilikan seorang manajer akan ikut

33

menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan terhadap metode akuntansi

yang diterapkan pada perusahaan yang mereka kelola (Boediono, 2005).

Kepemilikan saham manajerial dapat mensejajarkan antara kepentingan

pemegang saham dengan manajer, karena manajer ikut merasakan langsung

manfaat dari keputusan yang diambil dan manajer juga ikut menanggung risiko

apabila ada kerugian yang timbul sebagai konsekuensi dari pengambilan

keputusan yang salah. Hal tersebut menyatakan bahwa semakin besar proporsi

kepemilikan manajemen pada perusahaan akan dapat menyatukan kepentingan

antara manajer dengan pemegang saham, sehingga dapat mengatasi konflik

kepentingan diantara keduanya dan kinerja perusahaan juga akan semakin bagus

(Jensen, 1986).

Secara teoritis, pihak manajemen yang memiliki persentase yang tinggi dalam

kepemilikan saham akan bertindak layaknya seseorang yang memegang

kepentingan dalam perusahaan (Mahariana dan Ramantha, 2014). Dengan

demikian, manajemen akan termotivasi untuk mempersiapkan laporan keuangan

yang berkualitas sehingga dapat menekan pemanfaatan akrual diskresioner

(manajemen laba) oleh pihak manajemen.

2.1.9 Kepemilikan Institusional

Kepemilikan institusional adalah bagian dari saham perusahaaan yang dimiliki

oleh investor institusi, seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan

perusahaan lainnya yang terkait dengan kategori tersebut (Yang et al., 2009).

Mayoritas bentuk institusi adalah Perseroan Terbatas (PT). Kepemilikan

institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen

34

melalui proses monitoring secara efektif sehingga dapat mengurangi manajemen

laba. Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh institusi dapat memengaruhi

proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat

akrualisasi sesuai kepentingan pihak manajemen (Boediono, 2005).

Pemegang saham institusi dengan kepemilikan saham yang besar akan intensif

untuk memantau pengambilan keputusan perusahaan (Barnea dan Rubin, 2005).

Semakin besar kepemilikan institusi maka semakin besar pula kekuatan suara

(votting) dan dorongan untuk memonitor manajemen sehingga akan dapat

mengoptimalkan nilai perusahaan.

Cornett et al. (2009) menyimpulkan bahwa tindakan pengawasan perusahaan

oleh pihak investor institusional dapat mendorong manajer untuk lebih

memfokuskan perhatiannya terhadap kinerja perusahaan, sehingga akan

mengurangi perilaku oportunistik atau mementingkan diri sendiri. Kepemilikan

institusional mempunyai pengaruh negatif terhadap praktik manajemen laba,

semakin besar persentase kepemilikan institusional maka semakin kecil

kecenderungan pihak manajer dalam mengambil kebijakan akuntansi tertentu

untuk merekayasa pelaporan laba (Widyastuti, 2009).

2.2 Hipotesis Penelitian

2.2.1 Pengaruh Arus Kas Bebas pada Manajemen Laba

Jensen (1986) menyatakan bahwa keinginan manajer untuk meningkatkan

kekuasaannya melalui pengendalian atas sumber daya yang semakin besar, telah

mendorong manajer untuk selalu berinvestasi dalam upaya memperbesar

perusahaan. Oleh karena itu, adanya arus kas bebas akan memberi kesempatan

35

dan dorongan bagi manajer untuk berinvestasi meskipun investasi tesebut

memberikan NPV negatif (overinvesment). Overinvesment dalam jangka panjang

akan menyebabkan penurunan kinerja atau penurunan laba, sehingga dalam upaya

untuk mencegahnya, manajer akan termotivasi untuk melakukan manajemen laba

dengan menerapkan prosedur akuntansi yang meningkatkan laba (income

maximization) untuk menyembunyikan dampak negatif yang ditimbulkan (Chung

et al., 2005).

Berbeda dengan hipotesis free cash flow (Jensen, 1986) dan hasil penelitian

Chung et al. (2005), hasil penelitian Agustia (2013) serta Kono dan Yuyetta

(2013) menunjukkan bahwa arus kas bebas memiliki hubungan negatif terhadap

manajemen laba. Dengan arus kas bebas yang tinggi dan tanpa adanya manajemen

laba, perusahaan sudah mampu meningkatkan harga sahammnya karena investor

melihat bahwa perusahaan tersebut memiliki kas lebih untuk pembagian deviden.

Keberadaan arus kas bebas dalam perusahaan justru akan meningkatkan peluang

investasi yang akan menghasilkan nilai lebih bagi perusahaan. Perusahaan akan

lebih mampu bertahan dalam situasi yang buruk karena memiliki kesempatan

untuk melakukan investasi dan belanja modal dalam rangka mempertahankan

operasi yang sedang berjalan (Wang, 2010). Berdasarkan penjelasan tersebut

maka hipotesis pertama yaitu:

H1: arus kas bebas berpengaruh negatif pada manajemen laba.

2.2.2 Pengaruh Capital Adequacy Ratio pada Manajemen Laba

Nilai minimum CAR merupakan salah satu peraturan Bank Indonesia yang

harus dipenuhi oleh bank sebagai syarat untuk memenuhi rasio kecukupan modal

36

bank yang layak beroperasi. Manajemen laba akan semakin intensif dilakukan

oleh bank jika nilai CAR lebih rendah dari ketentuan minimum BI (Zahara dan

Veronica, 2009). CAR yang tidak memenuhi ketentuan minimum pada periode

sebelumnya akan memotivasi manajemen untuk melakukan manajemen laba agar

mendapatkan nilai CAR yang mencukupi standar kesehatan bank pada periode

saat ini, sebagai sinyal bahwa bank tersebut termasuk dalam kategori sehat.

Ketika bank tidak dapat menunjukkan kinerja yang baik maka bank tersebut tidak

dipercaya lagi oleh investor dan masyarakat yang menggunakan jasa bank

tersebut, dan akhirnya menyebabkan dilikuidasinya bank tersebut.

Nilai CAR yang meningkat akan menghasilkan laba yang mengalami

peningkatan. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah pada modal

sendiri sehingga modal sendiri tersebut dapat digunakan untuk mengelola aktiva

yang ada dan perputaran aktiva tersebut dapat meningkatkan kinerja perusahaan

yang secara tidak langsung juga akan meningkatkan laba (Cahyono, 2008 dalam

Arriela, 2013). Hasil penelitian Indriani (2010) tentang pengaruh kinerja

keuangan terhadap manajemen laba menunjukkan bahwa rasio kecukupan modal

(CAR) berpengaruh negatif signifikan terhadap manajemen laba, hasil ini juga

didukung oleh penelitian Firdaus (2013). Berdasarkan Berdasarkan penjelasan

tersebut maka hipotesis kedua yaitu:

H2: capital adequacy ratio berpengaruh negatif pada manajemen laba.

2.2.3 Pengaruh Dewan Komisaris Independen pada Manajemen Laba

Fama dan Jensen (1983) dalam Aji (2012) menyatakan bahwa komisaris

independen dapat bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi

37

diantara para manajer internal dan mengawasi kebijakan manajemen serta

memberikan nasihat kepada manajemen. Dewan komisaris independen memiliki

pengawasan yang lebih baik terhadap manajer sehingga mampu memengaruhi

kemungkinan penyimpangan yang dilakukan manajer. Hal ini sesuai dengan

pendapat Jensen dan Meckling (1976) yang menyebutkan teori agensi mendukung

pernyataan bahwa untuk meningkatkan independensi dewan, maka dewan harus

didominasi oleh pihak yang berasal dari luar perusahaan (outsider).

Peran dewan komisaris independen diharapkan dapat memengaruhi pihak

manajemen dalam penyusunan laporan keuangan sehingga dapat diperoleh suatu

laporan laba yang berkualitas (Boediono, 2005). Penelitian Kouki et al. (2011),

Anggraeni dan Hadiprajitno (2013) serta Anggana dan Prastiwi (2013)

menyatakan bahwa dewan komisaris independen berpengaruh negatif dan pada

manajemen laba. Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesis ketiga yaitu:

H3: dewan komisaris independen berpengaruh negatif pada manajemen laba.

2.2.4 Pengaruh Komite Audit pada Manajemen Laba

Tugas komite audit berhubungan dengan kualitas laporan keuangan, karena

komite audit diharapkan dapat membantu dewan komisaris dalam pelaksanaan

tugas yaitu mengawasi proses pelaporan keuangan oleh manajemen untuk

meningkatkan kredibilitas laporan keuangan (Suaryana, 2005). Investor sebagai

pihak luar perusahaan tidak dapat mengamati secara langsung kualitas sistem

informasi perusahaan sehingga persepsi mengenai kinerja komite audit akan

memengaruhi penilaian investor terhadap kualitas laba perusahaan. Dengan

demikian berdasarkan tujuan dibentuknya, komite audit diharapkan dapat

38

meminimalkan adanya masalah keagenan seperti adanya tindakan manajemen

laba.

Peranan komite audit yang tinggi diharapkan mampu mengurangi praktik

manajemen laba. Hal ini didukung oleh penelitian Panggabean (2011) serta

Anggraeni dan Hadiprajitno (2013) yang menyatakan terdapat pengaruh negatif

antara komite audit terhadap manajemen laba. Hasil penelitian oleh Lin et al.

(2006) dan Alves (2011) juga mengungkapkan kesimpulan yang sama. Selain itu,

penelitian Bukit dan Iskandar (2009) memberikan hasil bahwa komite audit dapat

memoderasi hubungan antara surplus arus kas bebas dan manajemen laba, dimana

dengan adanya komite audit yang independen dapat mengurangi tindakan

manajemen laba yang meningkatkan laba. Berdasarkan penjelasan tersebut maka

hipotesis keempat yaitu:

H4: komite audit berpengaruh negatif pada manajemen laba.

2.2.5 Pengaruh Kepemilikan Manajerial pada Manajemen Laba

Kepemilikan saham manajerial dapat mensejajarkan antara kepentingan

pemegang saham dengan manajer, karena manajer ikut merasakan langsung

manfaat dari keputusan yang diambil dan manajer juga ikut menanggung risiko

apabila ada kerugian yang timbul sebagai konsekuensi dari pengambilan

keputusan yang salah (Anggraeni dan Hadiprajitno, 2013). Secara teoritis, pihak

manajemen yang memiliki persentase yang tinggi dalam kepemilikan saham akan

bertindak layaknya seseorang yang memegang kepentingan dalam perusahaan

(Mahariana dan Ramantha, 2014). Dengan demikian, manajer akan termotivasi

untuk mempersiapkan laporan keuangan yang berkualitas sehingga dapat

39

menekan pemanfaatan akrual diskresioner (manajemen laba) oleh pihak

manajemen.

Hasil penelitian Mahariana dan Ramantha (2014) membuktikan bahwa

kepemilikan manajerial yang tinggi berpengaruh negatif terhadap akrual

diskresioner perusahaan, hal ini didukung oleh hasil penelitian terdahulu yang

dilakukan oleh Chtourou et al. (2001) serta Midiastuty dan Machfoeds (2003).

Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesis kelima yaitu:

H5: kepemilikan manajerial berpengaruh negatif pada manajemen laba.

2.2.6 Pengaruh Kepemilikan Institusional pada Manajemen Laba

Tindakan pengawasan perusahaan oleh pihak investor institusional dapat

mendorong manajer untuk lebih memfokuskan perhatiannya terhadap kinerja

perusahaan sehingga akan mengurangi perilaku oportunistik atau mementingkan

diri sendiri (Cornett et al., 2009). Kepemilikan institusional memiliki kemampuan

untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif

sehingga dapat mengurangi manajemen laba. Persentase saham tertentu yang

dimiliki oleh institusi dapat memengaruhi proses penyusunan laporan keuangan

yang tidak menutup kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai kepentingan pihak

manajemen (Boediono, 2005).

Kepemilikan institusional mempunyai pengaruh negatif terhadap praktik

manajemen laba, semakin besar persentase kepemilikan institusional maka

semakin kecil kecenderungan pihak manajer dalam mengambil kebijakan

akuntansi tertentu untuk merekayasa pelaporan laba (Widyastuti, 2009). Hasil

penelitian Indriastuti (2012) menyatakan bahwa kepemilikan institusional

40

berpengaruh negatif signifikan terhadap discretionary accrual sehingga

kepemilikan saham oleh investor institusional dapat menjadi kendala bagi

perilaku oportunistik manajemen. Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesis

keenam yaitu:

H6: kepemilikan institusional berpengaruh negatif pada manajemen laba.