bab ii kajian pustaka dan hipotesis penelitian 2.1 ... ii.pdfpemasok, pemodal, masyarakat, badan...

22
11 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Stakeholder Saat ini filosofi pengelolaan organisasi entitas bisnis yang didasarkan pada teori keagenan (agency theory) yaitu tanggung jawab perusahaan yang hanya berorientasi kepada pengelola (agent) dan pemilik (principle), mengalami perubahan kepada pandangan manajemen modern yang didasarkan pada teori stakeholder. Teori stakeholder menjelaskan terdapatnya perluasan tanggung jawab perusahaan dengan dasar pemikiran bahwa pencapaian tujuan perusahaan berhubungan erat dengan pola (setting) lingkungan sosial dimana perusahaan berada (Kholis dan Maksum, 2003). Stakeholder mengacu pada setiap individu atau kelompok yang mempertahankan andil/kepentingannya di sebuah organisasi sama seperti cara shareholder yang memiliki saham/obligasi di organisasi tersebut (Fassin, 2008). Setiap individu atau kelompok yang dimaksud termasuk karyawan, konsumen, pemasok, pemodal, masyarakat, badan pemerintah, asosiasi perdagangan, serikat buruh, bahkan pesaing bisa dianggap sebagai stakeholder dilihat dari kemampuan pesaing tersebut untuk mempengaruhi perusahaan. Teori Stakeholder mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat bagi stakeholdernya (Chariri, 2008). Menurut Wikipedia, Teori Stakeholder

Upload: lamkien

Post on 21-Apr-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Stakeholder

Saat ini filosofi pengelolaan organisasi entitas bisnis yang didasarkan pada

teori keagenan (agency theory) yaitu tanggung jawab perusahaan yang hanya

berorientasi kepada pengelola (agent) dan pemilik (principle), mengalami

perubahan kepada pandangan manajemen modern yang didasarkan pada teori

stakeholder. Teori stakeholder menjelaskan terdapatnya perluasan tanggung

jawab perusahaan dengan dasar pemikiran bahwa pencapaian tujuan perusahaan

berhubungan erat dengan pola (setting) lingkungan sosial dimana perusahaan

berada (Kholis dan Maksum, 2003).

Stakeholder mengacu pada setiap individu atau kelompok yang

mempertahankan andil/kepentingannya di sebuah organisasi sama seperti cara

shareholder yang memiliki saham/obligasi di organisasi tersebut (Fassin, 2008).

Setiap individu atau kelompok yang dimaksud termasuk karyawan, konsumen,

pemasok, pemodal, masyarakat, badan pemerintah, asosiasi perdagangan, serikat

buruh, bahkan pesaing bisa dianggap sebagai stakeholder dilihat dari kemampuan

pesaing tersebut untuk mempengaruhi perusahaan.

Teori Stakeholder mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang

hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat

bagi stakeholdernya (Chariri, 2008). Menurut Wikipedia, Teori Stakeholder

12

diartikan sebagai: “a theory of organizational management and business ethics

that addresses morals and values in managing an organization”, atau dengan kata

lain teori stakeholder adalah teori etika manajemen dan bisnis organisasi yang

membahas moral dan nilai-nilai dalam mengelola organisasi. Menurut teori

stakeholder, meningkatkan CSR membuat perusahaan lebih menarik bagi

konsumen karena itu CSR harus dilakukan oleh semua perusahaan (Cheers, 2011

dalam Yoehana, 2013).

2.1.2 Teori Legitimasi

Perusahaan semakin menyadari bahwa kelangsungan hidup perusahaan

juga tergantung dari hubungan perusahaan dengan masyarakat dan lingkungan

tempat perusahaan beroperasi. Hal ini sejalan dengan teori legitimasi yang

menyatakan bahwa perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk

melakukan kegiatannya berdasarkan nilai-nilai justice, dan bagaimana perusahaan

menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan

perusahaan. Teori legitimasi menyatakan bahwa organisasi harus secara terus-

menerus mencoba untuk meyakinkan bahwa mereka melakukan kegiatan sesuai

dengan batasan dan norma-norma masyarakat (Rustiarini, 2010).

Perusahaan perlu memiliki legitimasi atau pengakuan untuk bisa

menjalankan usahanya. Dowling dan Preffer (1975) dalam Chariri (2008)

menjelaskan bahwa terdapat dua aspek agar perusahaan memperoleh dukungan

legitimasi. Pertama, aktivitas organisasi harus sesuai dengan sistem nilai di

13

masyarakat, dan kedua, pelaporan aktivitas perusahaan juga hendaknya

mencerminkan nilai sosial.

Hidayati dan Murni (2009) menyatakan bahwa untuk bisa

mempertahankan kelangsungan hidupnya, perusahaan harus mengupayakan

legitimasi atau pengakuan baik dari investor, kreditor, konsumen, pemerintah

maupun masyarakat sekitar. Peruhasaan dapat memperoleh legitimasi dari

investor dengan senantiasa meningkatkan return saham bagi investor. Perusahaan

dapat memperoleh legitimasi dari kreditor dengan meningkatkan kemampuannya

mengembalikan hutang. Perusahaan dapat memperoleh legitimasi dari konsumen

dengan senantiasa meningkatkan mutu produk dan layanan. Perusahaan dapat

memperoleh legitimasi dari pemerintah dengan mematuhi segala peraturan

perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah. Perusahaan dapat

memperoleh legitimasi dari masyarakat dengan melakukan aktivitas

pertanggungjawaban sosial. Cheers (2011) dalam Yoehana (2013) menambahkan

bahwa perusahaan besar akan memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada

perusahaan kecil.

2.1.3 Profitabilitas

Setiap perusahaan akan melihat kinerja perusahaan yang dijalankan oleh

manajemennya pada setiap akhir suatu periode. Salah satu cara yang terpenting

untuk melihat kinerja manajemen adalah dari laporan keuangan yang telah

disusun pada periode yang bersangkutan. Dalam laporan keuangan akan terlihat

aktivitas yang dilakukan perusahaan dalam suatu periode tertentu. Aktivitas yang

14

sudah dilakukan tersebut dituangkan dalam angka-angka, baik dalam bentuk mata

uang rupiah maupun mata uang asing. Angka-angka ini nantinya dapat

dibandingkan untuk memperoleh suatu rasio keuangan yang dapat digunakan

untuk menilai kinerja manajemen dalam periode tersebut.

Menurut James C. van Horne dalam Kasmir (2010:93), rasio keuangan

merupakan indeks yang menghubungkan dua angka akuntansi dan diperoleh

dengan membagi satu angka dengan angka lainnya. Rasio keuangan digunakan

untuk mengevaluasi kondisi keuangan dan kinerja perusahaan. Dari hasil rasio ini

akan terlihat kondisi kesehatan perusahaan yang bersangkutan.

Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan dalam memperoleh

keuntungan/laba (Wiagustini, 2010:76). Profitabilitas juga menunjukkan ukuran

efektifitas pengelolaan manajemen perusahaan. Kemampuan memperoleh laba

dapat diukur dari modal sendiri maupun dari seluruh dana yang diinvestasikan ke

dalam perusahaan. Rasio profitabilitas adalah rasio untuk mengukur kemampuan

perusahaan untuk menghasilkan laba. Terdapat beberapa jenis rasio profitabilitas

(Wiagustini, 2010:81), antara lain:

1) Profit Margin

Menurut Kasmir (2010:104), profit margin merupakan ukuran kemampuan

manajemen untuk mengendalikan biaya operasional dalam hubungannya

dengan penjualan. Rasio profit margin dapat pula menggambarkan

kemampuan perusahaan dalam menetapkan harga jual suatu produk, relatif

terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan produk tersebut.

15

2) Return On Assets/Return On Investment (ROA/ROI)

Menurut Kasmir (2010:107), ROA adalah rasio keuntungan bersih setelah

pajak terhadap jumlah asset secara keseluruhan. Rasio ini merupakan suatu

ukuran untuk menilai seberapa besar tingkat pengembalian (%) dari asset

yang dimiliki. Apabila rasio ini tinggi berarti menujukkan adanya efisiensi

yang dilakukan oleh pihak manejemen.

3) Return On Equity (ROE)

Menurut Kasmir (2010:112), ROE merupakan rasio untuk mengukur lalu

bersih sesudah pajak dengan modal sendiri. Rasio ini menunjukkan efisiensi

penggunaan modal sendiri. Semakin tinggi rasio ini, semaki baik. Artinya

posisi pemilik perusahaan semakin kuat, demikian pula sebaliknya.

2.1.4 Corporate Social Responsibility (CSR)

Corporate Social Responsibility (CSR) pertama kali muncul sejak Howard

R. Bowen menerbitkan bukunya berjudul “Social Responsibilitity of the

Businessman” pada tahun 1953. Ide dasar CSR yang dikemukakan Bowen

mengacu pada kewajiban pelaku bisnis untuk menjalankan usahanya sejalan

dengan nilai-nilai dan tujuan yang hendak dicapai masyarakat di tempat

perusahaannya beroperasi (Susiloadi, 2008).

Sejak pertengahan tahun1990-an gagasan CSR telah dikaitkan dengan hal

'corporate citizenship', 'keberlanjutan perusahaan' dan 'triple bottom line'. Istilah

corporate citizenship menggambarkan keterlibatan perusahaan dengan

stakeholder daripada pemegang saham saja. Keberlanjutan perusahaan mengacu

16

pada perilaku perusahaan yang mungkin mempengaruhi perkembangan

berkelanjutan. Triple bottom line mengacu pada keseimbangan dan kenaikan yang

sama dalam kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan dari sebuah bisnis

(Bichta, 2003 dalam Yoehana, 2013).

Istilah triple bottom line dipopulerkan oleh John Elkington melalui

bukunya yang berjudul “Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of

Twentieth Century Bussiness” pada tahun 1997. Elkington mengembangkan

konsep triple bottom line dalam istilah economic prosperity, environmental

quality dan social justice. Elkington memberi pandangan bahwa perusahaan yang

ingin berkelanjutan haruslah memperhatikan “3P”. Selain mengejar profit,

perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat dalam pemenuhan

kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga

kelestarian lingkungan (planet) (Wibisono, 2007). Aspek-aspek dalam triple

bottom line antara lain sebagai berikut:

1) Profit (Laba)

Profit merupakan unsur terpenting dan menjadi tujuan utama dari setiap

kegiatan usaha. Tidak heran jika fokus utama dari seluruh kegiatan dalam

perusahaan adalah mengejar profit yang tinggi atau menaikkan harga saham

setinggi-tingginya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Profit

sendiri pada hakikatnya merupakan tambahan pendapatan yang dapat

digunakan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan. Aktivitas yang

dapat dilakukan untuk menaikkan profit antara lain dengan meningkatkan

produktivitas dan melakukan efisiensi biaya, sehingga perusahaan

17

mempunyai keunggulan kompetitif yang dapat memberikan nilai tambah

semaksimal mungkin.

2) People (Masyarakat)

Masyarakat sekitar perusahaan merupakan salah satu stakeholder penting

bagi perusahaan, karena dukungan masyakarat sekitar sangat diperlukan bagi

keberadaan, kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan. Perusahaan

sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan masyarakat dan lingkungan,

perlu berkomitmen untuk berupaya memberikan manfaat sebesar-besarnya

kepada masyarakat. Selain itu perlu juga disadari bahwa operasi perusahaan

berpotensi memberi dampak kepada masyarakat sekitar, maka perusahaan

perlu untuk melakukan berbagai kegiatan yang menyentuh kebutuhan

masyarakat. Jadi, jika keberlangsungan perusahaan ingin tetap terjaga

perusahaan harus melaksanakan tanggung jawab yang bersifat sosial.

3) Planet (Lingkungan)

Lingkungan adalah sesuatu yang terkait dengan seluruh bidang kehidupan,

tetapi sayangnya sebagian besar perusahaan masih kurang peduli pada

lingkungan sekitar. Hal ini disebabkan antara lain karena tidak ada

keuntungan langsung di dalamnya. Keuntungan merupakan inti dari dunia

bisnis dan itu adalah hal yang wajar, maka banyak pelaku industri yang hanya

mementingkan bagaimana menghasilkan laba yang tinggi tanpa melakukan

upaya untuk melestarikan lingkungan. Jika perusahaan melakukan upaya

untuk melestarikan lingkungan, perusahaan akan memperoleh keuntungan

18

yang lebih, terutama dari sisi kesehatan, kenyamanan, serta ketersediaan

sumber daya yang lebih terjamin kelangsungannya.

Beberapa faktor lain mempengaruhi perkembangan konsep CSR di era

tahun 1990-an hingga sekarang. Salah satu faktor tersebut adalah adanya

perubahan orientasi CSR dari suatu kegiatan bersifat sukarela untuk memenuhi

kewajiban perusahaan yang tidak memiliki kaitan dengan strategi dan pencapaian

tujuan jangka panjang, menjadi suatu kegiatan strategis yang memiliki keterkaitan

dengan pencapaian tujuan perusahaan dalam jangka panjang (Solihin, 2009:32).

Heal (2004) mengemukakan CSR adalah bagian penting dalam strategi

perusahaan dimana terjadi ketidakkonsitenan antara keuntungan perusahaan dan

tujuan sosial. CSR merupakan suatu bentuk kepedulian sosial sebuah perusahaan

untuk melayani kepentingan organisasi eksternal dan publik. Kondisi dunia yang

tidak menentu seperti terjadinya global warming, kemiskinan yang semakin

meningkat serta memburuknya kesehatan masyarakat memicu perusahaan untuk

melakukan tanggung jawabnya. CSR juga dapat diartikan sebagai komitmen

perusahaan untuk mempertanggungjawabkan dampak operasi dalam dimensi

sosial, ekonomi serta lingkungan.

Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 pasal 1 ayat 3

menyatakan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen

perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna

meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi

perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.

Pengungkapan CSR telah diatur dalam undang-undang di Indonesia, oleh

19

karenanya banyak perusahaan yang melakukan pengungkapan mengenai CSR

dalam laporan tahunan walaupun tidak diwajibkan.

Kini dunia usaha tidak lagi hanya memperhatikan catatan keuangan

perusahaan semata, melainkan sudah meliputi keuangan, sosial, dan aspek

lingkungan. Sinergi tiga elemen ini merupakan kunci dari konsep pembangunan

berkelanjutan (Siregar, 2007 dalam Yoehana, 2013). Implementasi CSR

merupakan perwujudan komitmen yang dibangun oleh perusahaan untuk

memberikan kontribusi pada peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.

Ada banyak penafsiran tentang CSR. Menurut Baker (2003), CSR adalah

tentang bagaimana perusahaan mengelola proses bisnis untuk menghasilkan

dampak positif secara keseluruhan pada masyarakat. Sementara CSR menurut

Wikipedia Indonesia adalah “suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (bukan

hanya) perusahaan adalah memiliki tanggung jawab terhadap konsumen,

karyawan, pemegang saham, komunitas, dan lingkunagn dalam segala aspek

operasional.”

Menurut Wibisono (2007), ada 10 keuntungan yang dapat diperoleh dalam

melakukan CSR, yaitu: mempertahankan dan mendongkrak reputasi dan image

perusahaan, layak mendapatkan social license to operate, mereduksi resiko bisnis

perusahaan, melebarkan akses sumber daya, membentangkan akses menuju pasar,

mereduksi biaya, memperbaiki hubungan dengan stakeholder, memperbaiki

hubungan dengan pemerintah, meningkatkan semangat dan produktivitas

karyawan, serta peluang mendapatkan penghargaan.

20

2.1.5 Pengungkapan CSR (Corporate Social Responsibility Disclosure)

Pengungkapan CSR adalah bentuk pengungkapan tanggung jawab

perusahaan terhadap lingkungan sosial masyarakat tempat perusahaan tersebut

berada dan beroperasi, yang dilakukan secara transparan dan terbuka dengan

memperhatikan nilai-nilai moral yang berlaku. Menurut Pradnyadari (2015),

pengungkapan atau disclosure diartikan sebagai sebuah informasi yang dapat

diberikan kepada pihak-pihak yang memerlukan informasi tersebut dan informasi

tersebut harus bermanfaat, jika tidak bermanfaat tujuan dari pengungkapan

tersebut tidak akan tercapai.

Menurut Mathews (1995) dalam Yoehana (2013), pengungkapan CSR

yang sering disebut sebagai social disclosure, corporate social reporting, atau

social accounting, merupakan proses mengkomunikasikan dampak sosial dan

lingkungan dari kegiatan ekonomi organisasi terhadap kelompok khusus yang

berkepentingan dan terhadap masyarakat secara keseluruhan. Pengungkapan CSR

perusahaan melalui berbagai macam media dilakukan sebagai bentuk

pertanggungjawaban kepada para stakeholder dan juga untuk menjaga reputasi

perusahaan. Dengan mengomunikasikan tanggung jawab sosial perusahaan, maka

semakin banyak masyarakat yang mengetahui investasi sosial perusahaan,

sehingga tingkat risiko perusahaan menghadapi gejolak sosial akan menurun.

Chariri (2008) menyatakan bahwa ada berbagai motivasi yang mendorong

manajer secara sukarela mengungkapkan informasi sosial dan lingkungan.

Motivasi tersebut antara lain, keinginan untuk mematuhi persyaratan yang ada

dalam undang-undang, pertimbangan rasionalitas ekonomi (economic rationality),

21

keyakinan dalam proses akuntabilitas untuk melaporkan, keinginan untuk

mematuhi persyaratan peminjaman, untuk mematuhi harapan masayarakat dalam

“kontrak sosial”, sebagai konsekuensi dari ancaman terhadap legitimasi

perusahaan, untuk memanajemen kelompok stakeholder tertentu yang mempunyai

kekuatan, untuk menarik dana investasi, untuk mematuhi persyaratan tertentu,

serta untuk memenangkan penghargaan pelaporan tertentu dengan harapan

memperbaiki image perusahaan.

Pelaksanaan dan pengungkapan CSR sudah mulai dilakukan di Indonesia

seiring telah disahkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang

Perseroann Terbatas dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang

Penanaman Modal. Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, berbunyi

sebagai berikut:

1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan

dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan

Lingkungan.

2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan

sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan

memperhatikan kepatutan dan kewajaran.

3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

22

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan

diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Selanjutnya pasal 25 (b) Undang-Undang Penanaman Modal menyatakan

bahwa setiap penanam modal wajib melaksanakan tanggung jawab sosial

perusahaan.

Terdapat beberapa standar pelaporan untuk pengimplementasian dan

pengungkapan CSR yang dikenal di dunia, salah satunya adalah G3 Global

Reporting yang merupakan guidelines yang paling banyak dipakai saat ini. Global

Reporting Initiatives (GRI) yang berdiri tahun 1997 adalah inisiatif antara

Coalition for Environmentally Responsible Economics (CERES) dengan United

Nation Environment Progamme (UNEP). G3 diterbitkan pada tahun 2006 dan

merupakan pengembangan dari G2. G3 guidelines memberikan petunjuk yang

universal mengenai laporan yang berkelanjutan. G3 guidelines dapat diterapkan

baik di perusahaan kecil, menengah, maupun besar serta dapat diterapkan di

sektor umum. G3 guidelines terdiri dari 6 aspek, yang terdiri dari 84 komponen.

Aspek tersebut diantaranya adalah economic, environmental, labor practices,

human right, society, dan product responsibility. Komponen dari masing-masing

aspek dapat dilihat pada Lampiran 1.

2.1.6 Pajak Penghasilan

Pajak Penghasilan (PPh) yang diatur oleh Undang-Undang PPh, yaitu

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, dikenakan terhadap subjek pajak

berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun

23

pajak. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dalam

Undang-Undang PPh disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak atas

penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat

pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban

pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak (Undang-Undang No.

36, 2008).

Objek pajak dalam Pajak Penghasilan adalah penghasilan, yaitu setiap

tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak,

baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai

untuk kegiatan konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang

bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk penghasilan dari

pekerjaan, penghasilan dari usaha atau kegiatan, penghasilan dari modal atau

penggunaan harta, dan penghasilan lainnya (Undang-Undang No. 36, 2008).

2.1.7 Wajib Pajak Badan

Sesuai dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 yang sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 dan Undang-Undang No. 28

Tahun 2007 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan (KUP) pasal 1 ayat

(1), yang dimaksud dengan Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi

pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan

kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan. Dengan demikian, wajib pajak dapat dibedakan menjadi dua yaitu

Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan.

24

Pengertian “Badan” menurut Undang-Undang KUP pasal 1 ayat (3),

adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang

melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan

terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau

badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi,

koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,

organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan

lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

2.1.8 Agresivitas Pajak

Pembayaran pajak perusahaan seharusnya memiliki implikasi bagi

masyarakat dan sosial karena membentuk fungsi yang penting dalam membantu

mendanai penyediaan barang publik dalam masyarakat, termasuk hal-hal seperti

pendidikan, pertahanan nasional, kesehatan masyarakat, transportasi umum, dan

penegakan hukum (Friese, et al. 2008 dalam Lanis dan Richardson, 2012). Namun

perusahaan umumnya menganggap pajak sebagai sebuah tambahan beban biaya

yang dapat mengurangi keuntungan perusahaan, oleh karena itu perusahaan

diprediksi melakukan tindakan yang dapat mengurangi beban pajak perusahaan.

Pajak adalah faktor pendorong dalam banyak pengambilan keputusan

perusahaan, karena itu tindakan manajerial yang dirancang semata-mata untuk

meminimalkan kewajiban pajak perusahaan diduga menjadi fitur yang semakin

penting dari aktivitas perusahaan (Desai dan Dharmapala, 2005). Tax planning

adalah suatu peralatan dan sebagai tahap awal dari manajemen pajak (tax

25

management) untuk mengurangi beban pajak (Pohan, 2011:3). Secara definitif tax

management memiliki ruang lingkup yang lebih luas dari sekedar tax planning.

Tax planning atau tax management memiliki banyak pengertian menurut para

ahli, diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Lyons Susan M. dalam bukunya Internasional Tax Glossary mengutarakan

bahwa, perencanaan pajak (tax planning) adalah pengaturan yang dilakukan

oleh barang siapa yang melakukan usaha perseorangan atau bisnis, yang

tujuannya untuk meminimalisir kewajiban pajaknya.

2) Dr. Mohammad Zain dalam bukunya yang berjudul Manajemen Perpajakan

mendefinisikan bahwa, secara garis besar perencanaan pajak adalah proses

mengorganisasi usaha wajib pajak atau kelompok wajib pajak sedemikian

rupa sehingga utang pajaknya, baik pajak penghasilan maupun pajak-pajak

lainnya, berada dalam posisi yang paling minimal, sepanjang hal itu

dimungkinkan baik oleh ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakkan maupun secara komersial.

3) Sophar Lumbantoruan dalam bukunya yang berjudul Akuntansi Pajak

mengemukakan secara umum bahwa, manajemen pajak (tax management)

adalah strategi untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi

jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk

memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan.

4) John Hutagaol dalam bukunya yang berjudul Perpajakan Isu-Isu Kontemporer

mengartikan bahwa, manajemen pajak adalah proses perencanaan,

26

implementasi serta pengendalian kewajiban dan hak di bidang perpajakan

sehingga pemenuhannya dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa,

manajemen pajak (tax management) adalah upaya menyeluruh yang dilakukan

oleh wajib pajak orang pribadi maupun badan usaha melalui proses perencanaan,

pelaksanaan dan pengendalian kewajiban dan hak perpajakannya agar hal-hal

yang berhubungan dengan perpajakan dari orang pribadi, perusahaan atau

organisasi tersebut dapat dikelola dengan baik, efisien dan efektif, sehingga dapat

memberikan kontribusi yang maksimum bagi perusahaan dalam artian

peningkatan laba. Perencanaan pajak (tax planning) adalah proses mengorganisasi

usaha wajib pajak orang pribadi maupun badan usaha sedemikian rupa dengan

memanfaatkan berbagai kemungkinan yang dapat ditempuh oleh perusahaan

dalam koridor ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku, agar perusahaan

dapat membayar pajak dalam jumlah minimum (Pohan, 2011:4).

Selain perencanaan pajak, wajib pajak juga dapat melakukan perlawanan

pajak. Menurut R. Santoso Brotodiharjo dalam Pohan (2011:13), pada dasarnya

terdapat dua bentuk perlawanan pajak yang dilakukan, yakni perlawanan aktif dan

perlawanan pasif. Dalam kaitannya dengan perlawanan aktif, ada beberapa modus

yang biasanya digunakan wajib pajak untuk menghindari pajak yaitu:

1) Tax avoidance (penghindaran pajak) adalah upaya penghindaran pajak yang

dilakukan secara legal dan aman bagi wajib pajak tanpa bertentangan dengan

ketentuan perpajakan yang berlaku dimana metode dan teknik yang

digunakan cenderung memanfaatkan kelemahan-kelemahan (grey area) yang

27

terdapat dalam Undang-Undang dan Peraturan Perpajakan itu sendiri untuk

memperkecil jumlah pajak yang terutang.

2) Tax evasion (penggelapan/penyelundupan pajak) adalah upaya penghindaran

pajak yang dilakukan secara illegal dengan cara menyembunyikan keadaan

yang sebenarnya, dimana metode dan teknik yang digunakan tidak dalam

koridor Undang-Undang dan Peraturan Perpajakan, sehingga tidak aman bagi

wajib pajak.

3) Tax saving (penghematan pajak) adalah upaya wajib pajak mengelakkan

utang pajaknya dengan jalan menahan diri untuk tidak membeli produk-

produk yang ada pajak pertambahan nilainya atau dengan sengaja mengurangi

jam kerja atau pekerjaan yang dapat dilakukannya sehingga penghasilannya

menjadi kecil dan dengan demikian terhindar dari pengenaan pajak

penghasilan yang besar.

Menurut Frank, et al. (2009) tindakan yang dilakukan perusahaan untuk

mengurangi pendapatan kena pajak melalui perencanaan pajak (tax planning) baik

secara legal (tax avoidance) maupun ilegal (tax evasion) disebut dengan

agresivitas pajak perusahaan. Walaupun tidak semua tindakan perencanaan pajak

melanggar hukum, akan tetapi semakin banyak celah yang digunakan maka

perusahaan tersebut dianggap semakin agresif.

Sedikit berbeda dengan pendapat Frank, et al. (2009), Guenther, et al.

(2013) mendefinisikan agresivitas pajak sebagai sejauh mana perusahaan

mengambil posisi pajak yang mungkin tidak akan ditentang oleh pemerintah.

Penghindaran pajak berbeda dari agresivitas pajak dimana perusahaan dapat

28

menurunkan pembayaran pajak mereka saat masih mengambil posisi pajak

tersebut. Misalnya, dengan membuka anak perusahaan di negara yang tarif

pajaknya rendah atau mengambil keuntungan dari pemotongan depresiasi yang

dipercepat, akan memungkinkan perusahaan untuk menghindari membayar pajak

penghasilan dengan cara yang umumnya tidak akan ditentang oleh pemerintah.

Hal itu tidak akan membuat perusahaan berada di posisi dimana perusahaan

agresif terhadap pajak. Di sisi lain, jika perusahaan mengurangi pembayaran pajak

mereka dengan terlibat dalam kegiatan yang tidak mungkin untuk dibenarkan,

mereka menunjukkan agresivitas pajak.

Hlaing (2012) mendefinisikan agresivitas pajak sebagai semua kegiatan

perencanaan pajak perusahaan yang terlibat dalam usaha mengurangi tingkat

pajak yang efektif. Slemrod (2004) berpendapat bahwa agresivitas pajak

merupakan kegiatan yang lebih spesifik, yaitu mencakup transaksi yang tujuan

utamanya adalah untuk menurunkan kewajiban pajak perusahaan. Balakrishnan,

et. al. (2012) menyatakan bahwa perusahaan yang agresif terhadap pajak ditandai

dengan transparansi yang lebih rendah.

Beberapa peneliti seperti Balakrishnan, et al. (2012), serta Lanis dan

Richardson (2012) menggunakan Effective Tax Rate (ETR) untuk mengukur

agresivitas pajak. Proksi ETR adalah proksi yang paling banyak digunakan dalam

literatur, dan nilai yang rendah dari ETR dapat menjadi indikator adanya

agresivitas pajak. Secara keseluruhan, perusahaan-perusahaan yang menghindari

pajak perusahaan dengan mengurangi penghasilan kena pajak mereka dengan

tetap menjaga laba akuntansi keuangan memiliki nilai ETR yang lebih rendah.

29

Jadi, apabila suatu perusahaan memiliki agresivitas pajak yang tinggi maka

perusahaan tersebut akan memiliki nilai ETR yang rendah. Dengan demikian, ETR

digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur agresivitas pajak.

2.2 Hipotesis Penelitian

2.2.1 Pengaruh Profitabilitas Terhadap Agresivitas Pajak Penghasilan

Wajib Pajak Badan

Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan dalam memperoleh

keuntungan/laba (Wiagustini, 2010:76). Kemampuan perusahaan dalam

memperoleh laba sangat dipengaruhi oleh konsumen. Jika konsumen tidak

memiliki minat terhadap produk yang diproduksi perusahaan, perusahaan akan

mendapat laba yang kecil atau bahkan merugi. Perusahaan tidak hanya perlu

meningkatkan kualitas produk untuk bisa menarik minat konsumen, tetapi juga

perlu untuk meningkatkan kualitas pelayanan terhadap konsumen. Hal ini sesuai

dengan teori stakeholder yang menyatakan bahwa perusahaan hendaknya

mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang terkena dampak dari aktivitas

perusahaan dalam menjalankan usahanya.

Sama halnya dengan tanggung jawab perusahaan dalam membayar pajak.

Perusahaan yang membayar pajak dengan jujur sesuai dengan besarnya laba

perusahaan, secara tidak langsung telah berkontribusi terhadap kepentingan

umum. Hal ini dapat meningkatkan image perusahaan di mata para stakeholder,

sehingga pada akhirnya mampu membantu meningkatkan kemampuan perusahaan

dalam memperoleh laba atau profitabilitas perusahaan. Hal ini juga sejalan dengan

teori legitimasi yang menyatakan bahwa perusahaan hendaknya senantiasa selalu

30

mempertimbangkan nilai-nilai kebenaran dalam melakukan aktivitasnya, sehingga

mampu mempertahankan legitimasi perusahaan dari konsumen, pemerintah,

maupun para pemangku kepentingan lainnya.

Mustikasari (2007) membuktikan dalam penelitiannya bahwa profitabilitas

mempengaruhi agresivitas pajak perusahaan. Perusahaan dengan profitabilitas

tinggi cenderung melaporkan pajaknya dengan jujur daripada perusahaan yang

mempunyai profitabilitas rendah. Hasil yang sama juga diperoleh Noor (2010)

dan Agusti (2014), yang dalam penelitiannya membuktikan bahwa terdapat

hubungan yang negatif antara kemampuan menghasilkan laba perusahaan dengan

tindakan agresif perusahaan terhadap pajak. Perusahaan yang mampu

menghasilkan laba yang tinggi, cenderung tidak melakukan tindakan agresivitas

pajak. Hal ini disebabkan oleh perusahaan yang tidak melakukan tindakan

efisiensi dalam pembayaran pajaknya.

H1 : Profitabilitas berpengaruh terhadap agresivitas Pajak Penghasilan Wajib

Pajak Badan.

2.2.2 Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR)

Terhadap Agresivitas Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan

Lingkungan dan masyarakat cukup mempengaruhi kinerja suatu

perusahaan. Salah satu bentuk hubungan komunikasi antara lingkungan

masyarakat dengan perusahaan adalah melalui tanggung jawab sosial perusahaan

atau CSR, sesuai dengan teori legitimasi (Pradnyadari, 2015). Legitimasi

menuntut agar perusahaan mampu memenuhi harapan masyarakat melalui

pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan serta pengungkapannya.

31

Salah satu bentuk kewajiban sosial perusahaan adalah membayar pajak.

Dengan membayar pajak, perusahaan turut serta berkontribusi dalam melakukan

pembangunan nasional. Namun apabila perusahaan menghindari pembayaran

pajak yang seharusnya, maka perusahaan dapat dikenakan sanksi. Pembayaran

pajak merupakan salah satu bentuk penerapan teori legitimasi untuk mendapatkan

simpati masyarakat dan untuk menumbuhkan image positif bahwa perusahaan

telah melakukan tanggung jawab sosialnya dengan baik (Pradnyadari, 2015).

Teori stakeholder menyatakan bahwa perusahaan dalam melakukan

kegiatan operasinya harus mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang

terlibat dalam aktivitas perusahaan. Kepentingan semua pihak yang dimaksud

disini termasuk kepentingan masyarakat, pemerintah, konsumen, pemasok, dan

lain sebagainya. Tindakan penghindaran pajak pada dasarnya tidak sesuai dengan

harapan masyarakat dan memiliki dampak negatif terhadap masyarakat karena

mempengaruhi kemampuan pemerintah dalam menyediakan barang publik (Lanis

dan Richardson, 2012). Watson (2011) menambahkan bahwa dampak buruk yang

diperoleh perusahaan karena melanggar norma sosial adalah jumlah penjualan

yang turun karena masyarakat yang memahami pentingnya CSR memboikot

produk perusahaan dan cenderung enggan untuk membeli produk tersebut.

Yoehana (2013) menunjukkan dalam hasil penelitiannya bahwa

pengungkapan CSR memiliki hubungan negatif terhadap agresivitas pajak, dimana

semakin luas pengungkapan CSR suatu perusahaan maka perusahaan tersebut

tidak agresif terhadap pajak. Hasil serupa juga ditunjukkan dalam penelitian

Pradnyadari (2015) dan Purwanggono (2015), yang menunjukkan bahwa

32

pengungkapan CSR berpengaruh negatif dan signifikan terhadap agresivitas pajak.

Perusahaan dengan agresivitas pajak yang rendah, akan mengungkapkan CSR

yang lebih luas.

H2 : Pengungkapan CSR berpengaruh terhadap agresivitas Pajak Penghasilan

Wajib Pajak Badan.