bab ii kajian pustaka dan hipotesis penelitian 2.1 ... ii.pdfagent, (3) kerugian residual sebagai...
TRANSCRIPT
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori
Bab ini memuat uraian teori-teori yang mendukung penelitian ini. Teori-teori
yang digunakan sebagai acuan dalam memecahkan permasalahan ini adalah Teori
Agensi, Pengertian Pajak, Fungsi Pajak, Sistem Pemungutan Pajak, Asas Perpajakan,
Tarif Pajak, Penghindaran Pajak, Komisaris Independen, Komite Audit, Preferensi
Risiko Eksekutif dan Ukuran Perusahaan. Bab ini juga membahas tentang penelitian
sebelumnya untuk membangun rumusan hipotesis.
2.1.1 Teori Agensi
Teori agensi menyatakan hubungan kontrak antara agent (manajer perusahaan)
dan principal (pemilik perusahaan). Konsep teori agensi didasari pada hubungan
keagenan yang mengedepankan simetri informasi. Agent melakukan tugas-tugas
tertentu dari principal, kemudian principal mempunyai kewajiban untuk memberi
imbalan pada agent. Teori ini mengamsumsikan bahwa principal maupun agent
merupakan pelaku ekonomi yang berpikir rasional dan tindakannya semata-mata untuk
kepentingan pribadi, akan tetapi mereka menemukan kesulitan dalam membedakan
perbedaan atas preferensi, kepercayaan dan informasi (Mathiesen, 2004 dalam Ayu, R,
2008). Hubungan keagenan sebagai kontrak antara satu orang atau beberapa orang
yang memperkerjakan orang lain untuk melakukan sejumlah jasa dan memberikan
wewenang dalam pengambilan keputusan. Manajer sebagai pihak yang diberi
14
wewenang atas kegiatan perusahaan dan berkewajiban menyediakan laporan keuangan
cenderung akan melaporkan sesuatu yang memaksimalkan utilitasnya. Adanya
perbedaan kepentingan ini akan membawa potensi terjadinya konflik keagenan dan
juga memicu biaya-biaya yang seharusnya tidak perlu terjadi dalam perusahaan bila
dikelola oleh pemilik, disebut biaya keagenan. Biaya keagenan ini merupakan bentuk
mendasar sebagai indikator terjadinya masalah keagenan, baik dengan (1) biaya
monitoring yang dikeluarkan oleh principal, (2) biaya bonding yang dikeluarkan
agent, (3) kerugian residual sebagai pengurang kekayaan principal (Jansen dan
Meckling, 1976).
Hubungan agensi akan terus meningkat apabila pihak principal tidak dapat
mengawasi aktivitas agent sehari-hari untuk memastikan bahwa agent bekerja sesuai
dengan keinginan principal. Agent sendiri sebaliknya memiliki banyak informasi
penting mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja dan perusahaan secara keseluruhan.
Keadaan tersebut memicu timbulnya ketidakseimbangan informasi antara principal
dan agent yang dinamakan asimetri informasi. Adanya asimetri informasi tersebut
dapat mendorong agent untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak
diketahui principal untuk memaksimalkan keuntungan bagi agent (Ujiantho, 2007
dalam Hidayanti, 2013).
Eisenhardt (1989) menyatakan bahwa teori keagenan berkaitan dengan
penyelesaian dua masalah yang dapat terjadi dalam hubungan keagenan. Yang pertama
adalah masalah keagenan yang muncul ketika keinginan atau tujuan dari principal dan
agent berbeda, dan kesulitan principal dalam mengawasi apa yang dilakukan oleh
15
agent. Masalah kedua adalah pembagian risiko yang muncul ketika principal dan agent
memiliki pandangan yang berbeda terhadap risiko. Masalahnya di sini adalah bahwa
principal dan agent dapat memilih tindakan yang berbeda karena preferensi risiko yang
berbeda. Pihak principal maupun agent memiliki kepentingan dalam menjalankan
perannya masing-masing. Principal sebagai pemilik modal memiliki akses pada
informasi internal perusahaan sedangkan agent sebagai pelaku dalam praktik
operasional mempunyai informasi tentang operasi dan kinerja perusahaan secara riil
dan menyeluruh. Posisi, fungsi serta tujuan principal dan agent yang berbeda dan
bertolak belakang tersebut akan menimbulkan pertentangan dengan saling tarik
menarik kepentingan.
2.1.2 Pengertian Pajak
B. Ilyas dan Burton (2011:6) mengemukakan beberapa pendapat para pakar
tentang definisi pajak, beberapa diantaranya sebagai berikut:
1) N. J. Feldman
“Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh terutang kepada penguasa,
(menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya kontra-
prestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran
umum.”
2) M.J.H. Smeets
“Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma
umum, dan yang dapat dipaksakannya, tanpa kontra-prestasi yang dapat
16
ditunjukkan dalam hal yang individual; maksudnya adalah untuk membiayai
pengeluaran pemerintah.
3) Soeparman Soemahamidjaja
"Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa
berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang
dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.”
4) Rochmat Soemitro
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang
dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa-timbal (kontra-prestasi), yang
langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum.”
Dari empat pengertian pajak tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada lima unsur
yang melekat dalam pengertian pajak, yaitu:
a. Pembayaran pajak harus berdasarkan Undang-Undang;
b. Sifatnya dapat dipaksakan;
c. Tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar
pajak;
d. Pemungutan pajak dilakukan oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun
daerah (tidak boleh dipungut oleh swasta); dan
e. Pajak digunakan untuk membiayai berbagai pengeluaran pemerintah (rutin dan
pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum.
17
2.1.3 Fungsi Pajak
B. Ilyas dan Burton (2011:12) dalam bukunya mengemukakan fungsi pajak
sebagai berikut:
1) Fungsi Budgeter adalah fungsi yang terletak di sektor publik, yaitu fungsi untuk
mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan Undang-Undang
yang berlaku pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran negara, yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan dan
bila ada sisa (surplus) akan digunakan sebagai tabungan pemerintah untuk
investasi pemerintah.
2) Fungsi Regulerend adalah suatu fungsi bahwa pajak-pajak tersebut akan
digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang
letaknya diluar bidang keuangan.
2.1.4 Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak merupakan suatu sistem yang mengatur pihak yang
berwenang dalam menentukan dan memungut jumlah besarnya pajak. Terdapat
empat macam sistem pemungutan pajak menurut B. Ilyas dan Burton (2011:30),
yakni:
1) Official assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang
harus dibayar (pajak yang terutang) oleh wajib pajak.
18
2) Semi self assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang pada fiskus dan wajib pajak untuk menentukan besarnya pajak
terutang seseorang.
3) Self assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan,
menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang.
4) With holding assessment sytem adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang pada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak
bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
2.1.5 Asas Perpajakan
Rosdiana dan Irianto (2011:35) dalam bukunya menyebutkan beberapa asas
dalam perpajakan antara lain:
1) Asas Certainty
Asas certainty (kepastian) menyatakan bahwa harus ada kepastian, baik bagi
petugas pajak maupun semua wajib pajak dan seluruh masyarakat. Asas kepastian
antara lain mencakup kepastian mengenai siapa yang harus dikenakan pajak, apa
saja yang dijadikan sebagai objek pajak, besarnya jumlah pajak yang harus
dibayar dan bagaimana jumlah pajak yang terutang itu harus dibayar. Artinya,
kepastian bukan hanya menyangkut kepastian mengenai subjek pajak (dan
pengecualiannya), objek pajak (dan pengecualiaanya), dasar pengenaan pajak
serta besarnya tarif pajak, tetapi juga mengenai prosedur pemenuhan
19
kewajibannya, yaitu prosedur pembayaran dan pelaporan serta pelaksanaan hak
perpajakannya. Tanpa adanya prosedur yang jelas maka wajib pajak akan sulit
untuk menjalankan kewajiban serta haknya, dan fiskus akan kesulitan untuk
mengawasi pelaksanaan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak
juga melayani hak wajib pajak.
2) Asas Convenience
Asas convenience (kemudahan/kenyamanan) menyatakan bahwa pembayaran
pajak hendaklah dimungkinkan pada saat yang menyenangkan/ memudahkan
wajib pajak. Misalnya, pada saat menerima gaji atau penghasilan lain seperti saat
menerima bunga deposito. Asas convenience bisa juga dilakukan dengan
membayar terlebih dahulu pajak yang terutang selama satu tahun pajak secara
berangsur-angsur setiap bulan (seperti PPh pasal 25).
3) Asas Effeciency
Asas efesien dapat dilihat dari dua sisi. Pertama adalah dari sisi fiskus,
pemungutan pajak dikatakan efisien jika biaya pemungutan pajak yang dilakukan
oleh kantor pajak (antara lain dalam rangka pengawasan kewajiban wajib pajak)
lebih kecil daripada jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan. Kedua adalah dari
sisi wajib pajak, sistem pemungutan pajak dikatakan efisien jika biaya yang harus
dikeluarkan oleh wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya bisa
seminimal mungkin.
20
2.1.6 Tarif Pajak
Menurut B. Ilyas dan Burton (2010:57) dalam bukunya menjelaskan bahwa
terdapat enam tarif pajak antara lain:
1) Tarif Progresif (Meningkat)
Tarif progresif adalah tarif pemungutan pajak yang presentasenya semakin besar
bila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak juga semakin besar.
2) Tarif Degresif (Menurun)
Tarif degresif adalah tarif pemungutan pajak yang presentasenya semakin kecil
bila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak semakin besar. Sekalipun
presentasenya kecil, tidak berarti jumlah pajak yang terutang menjadi kecil, tetapi
bisa menjadi besar karena jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak juga
semakin besar. Tarif ini tidak pernah digunakan dalam praktik perundang-
undangan perpajakan.
3) Tarif Proposional (Sebanding)
Tarif proposional adalah tarif pemungutan pajak yang menggunakan persentase
tetap tanpa memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak.
Dengan demikian, semakin besar jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak
akan semakin besar jumlah pajak terutang (yang harus dibayar).
4) Tarif Tetap
Tarif tetap adalah tarif pemungutan pajak yang besar nominalnya tetap tanpa
memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak.
5) Tarif Advalorem
21
Tarif advalorem adalah suatu tarif dengan presentase tertentu yang dikenakan/
ditetapkan pada harga atau nilai suatu barang.
6) Tarif Spesifik
Tarif spesifik adalah tarif dengan suatu jumlah tertentu atas suatu jenis barang
tertentu atau suatu satuan jenis barang tertentu.
2.1.7 Penghindaran Pajak
Penerimaan dari sektor pajak merupakan sumber terbesar negara bagi
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sehingga kejujuran dan
kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajibannya sangat diperlukan.
Apalagi di Indonesia menganut sistem pemungutan pajak self assessment, dimana
wajib pajak diberikan wewenang untuk menghitung, membayar dan melaporkan
sendiri pajaknya.
Adanya keinginan dari wajib pajak untuk tidak memenuhi peraturan
perpajakan membuat adanya perlawanan pajak yang mereka berikan. Perlawanan
terhadap pajak dapat dibedakan menjadi dua yaitu, perlawanan pasif dan perlawanan
aktif (Surbakti, 2012). Perlawanan pasif berupa hambatan yang mempersulit
pemungutan pajak dan mempunyai hubungan erat dengan struktur ekonomi.
Sedangkan perlawanan aktif adalah semua usaha dan perbuatan yang secara langsung
ditujukan kepada pemerintah (fiskus) dengan tujuan untuk menghindari pajak.
Persoalan penghindaran pajak ini menjadi cukup rumit karena disisi lain
diperbolehkan karena tidak melanggar hukum tapi disisi lain penerimaan negara akan
22
menjadi lebih sedikit dari yang seharusnya. Para otoritas pajak tampaknya telah
berusaha dengan semaksimal mungkin agar bisa menegakkan batas yang jelas antara
penghindaran pajak dan penggelapan pajak dalam upaya perencanaan pajak, tidak
hanya itu para otoritas pajak juga semaksimal mungkin mencegah agar wajib pajak
tidak masuk kedalam celah ambiguitas yang ditimbulkan oleh peraturan perpajakan
(Bovi, 2005).
Penghindaran pajak adalah usaha pengurangan pajak, namun tetap mematuhi
ketentuan peraturan perpajakan seperti memanfaatkan pengecualian dan potongan
yang diperkenankan maupun menunda pajak yang belum diatur dalam peraturan
perpajakan yang berlaku (Heru, 1997 dalam Budiman dan Sutiyono 2012). Senada
dengan penelitian sebelumnya Jacob (2014) juga mendefinisikan penghindaran pajak
sebagai suatu tindakan pengurangan atau meminimalkan kewajiban pajak dengan
hati-hati mengatur sedemikian rupa untuk mengambil keuntungan dari celah-celah
dalam ketentuan hukum pajak. Ini adalah tindakan yang sengaja dilakukan oleh wajib
pajak untuk membayar kurang dari jumlah yang seharusnya dibayarkan kepada
otoritas pajak.
Penghindaran pajak bukannya bebas dari biaya. Beberapa biaya yang harus
ditanggung yaitu pengorbanan waktu dan tenaga untuk melakukan penghindaran
pajak serta adanya risiko jika penghindaran pajak terungkap. Risiko ini mulai dari
kehilangan reputasi perusahaan yang berakibat buruk untuk kelangsungan usaha
jangka panjang perusahaan. Ada pula risiko penghindaran pajak yang lain yaitu
timbulnya masalah agensi. Masalah ini dapat timbul bila manajer memanfaatkan
23
posisinya untuk mengalihkan sumber daya perusahaan untuk pribadinya, dimana
manajer yang menggerakkan jalannya perusahaan termasuk menentukan tingkat
penghindaran pajak yang akan dilakukan perusahaan (Puspita, 2014).
Menurut Fadhilah (2014) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa komite
urusan fiskal dari Organization for Economic Cooperation and Development
(OECD) telah menyebutkan tiga karakter penghindaran pajak yaitu:
1) Adanya unsur artifisial dimana berbagai pengaturan seakan-akan terdapat di
dalamnya padahal tidak, dan ini dilakukan karena ketiadaan faktor pajak.
2) Memanfaatkan loopholes dari Undang-Undang atau menerapkan ketentuan -
ketentuan legal untuk berbagai tujuan, padahal bukan itu yang sebetulnya
dimaksudkan oleh pembuat Undang-Undang.
3) Para konsultan menunjukan alat atau cara untuk melakukan penghindaran pajak
dengan syarat wajib pajak
Menurut Merk (2007) dalam Maria dan Kurniasih (2013) mengungkapkan cara
perusahaan untuk melakukan penghindaran pajak adalah (1) memindahkan subjek
pajak dan/atau objek pajak ke negara yang memberikan perlakuan pajak khusus atau
keringanan pajak (tax haven country) atau suatu jenis penghasilan ( substanstive tax
planning), (2) mempertahankan substansi ekonomi dari transaksi melalui pemilihan
formal yang memberikan beban pajak yang paling rendah ( formal tax planning), (3)
ketentuan anti avoidance atas transaksi transfer pricing, thin capitalization, treaty
24
shopping dan controlled foreign coporation (Specific Anti Avoidance Rule); serta
transaksi yang tidak mempunyai substansi bisnis (General Anti Avoidance Rule).
2.1.8 Komisaris Independen
UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas menyebutkan bahwa
komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan
direksi, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta
bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat memengaruhi
kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi
kepentingan perusahaan. Komisaris independen harus memiliki kriteria sebagai
berikut:
1) Tidak memiliki hubungan afiliasi dengan pemegang saham pengendali perusahaan
dalam arti:
a. Tidak memiliki hubungan keluarga dengan pemegang saham pengendali.
b. Tidak bekerja rangkap sebagai direktur atau komisaris di perusahaan lainnya
yang terafiliasi dengan pemegang saham pengendali.
c. Tidak menjadi rekan (partner) atau direksi perusahaan konsultan yang
memberikan jasa pelayanan profesional pada perusahaan yang terafiliasi
dengan pemegang saham pengendali.
d. Bebas dari segala kepentingan dan kegiatan bisnis atau hubungan lain dengan
pemegang saham pengendali dan/atau perusahaan terafiliasi dengan pemegang
saham pengendali, yang dapat diintepretasikan akan menghalangi atau
25
mengurangi kemampuan komisaris independen untuk bertindak dan berpikir
independen demi kepentingan perusahaan.
2) Tidak memiliki hubungan afiliasi dengan anggota direksi dan komisaris
perusahaan dalam arti:
a. Tidak memiliki hubungan keluarga dengan anggota direksi dan/atau komisaris.
b. Tidak memiliki hubungan hutang piutang dengan anggota direksi dan/atau
komisaris.
3) Tidak memiliki hubungan afiliasi dengan perusahaan dalam arti :
a. Tidak bekerja rangkap sebagai direktur atau komisaris di perusahaan lainnya
yang terafiliasi dengan perusahaan.
b. Tidak menjadi rekan (partner) atau direksi perusahaan konsultan yang
memberikan jasa pelayanan profesional pada perusahaan yang terafiliasi
dengan perusahaan.
c. Bebas dari segala kepentingan dan kegiatan bisnis atau hubungan lain dengan
perusahaan yang dapat diintepretasikan akan menghalangi atau mengurangi
kemampuan komisaris independen untuk bertindak dan berpikir independen
demi kepentingan perusahaan.
d. Persyaratan lain sebagaimana diatur dalam undang-undang Perseroan Terbatas
dan ketentuan perundang-undangan lainnya.
Keberadaan komisaris independen berdasarkan peraturan Bursa Efek
Indonesia (BEI) Nomor Kep-305/BEJ/07-2004 mewajibkan perusahaan yang
26
tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk memiliki komisaris independen
sekurang-kurangnya 30 % dari seluruh jajaran anggota dewan komisaris.
Komisaris independen bersama dewan komisaris memiliki tugas-tugas utama
meliputi (Surya dan Yustiavandana, 2006 dalam Hanum, 2013):
1) Menilai dan mengarahkan strategi perusahaan, garis-garis besar rencana kerja,
kebijakan pengendalian risiko, anggaran tahunan dan rencana usaha,
menetapkan sasaran kerja, mengawasi pelaksanaan dan kinerja perusahaan,
memonitor penggunaan modal perusahaan, investasi dan penjualan aset. Tugas
ini terkait dengan tanggung jawab serta mendukung usaha untuk menjamin
penyeimbangan kepentingan manajemen (accountability).
2) Menilai sistem penetapan penggajian pejabat pada posisi kunci dan penggajian
anggota direksi, serta menjamin suatu proses pencalonan anggota dewan direksi
yang transparan (tranparancy) dan (fairness).
3) Memonitor dan mengatasi masalah benturan kepentingan pada tingkat
manajemen, anggota dewan direksi dan anggota dewan komisaris, termasuk
penyalahgunaan aset dan manipulasi transaksi perusahaan. Tugas ini
memberikan perlindungan terhadap hak para pemegang saham (fairness).
4) Memonitor pelaksanaan governance, dan melakukan perubahan jika diperlukan.
5) Memantau proses keterbukaan dan efektivitas komunikasi dalam perusahaan
untuk menyediakan informasi yang tepat waktu dan jelas.
27
2.1.9 Komite Audit
Komite audit yang dibentuk oleh suatu perusahaan berfungsi untuk
memberikan pandangan mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan
kebijakan keuangan, akuntansi dan pengendalian intern. Keberadaan komite audit
juga berfungsi untuk membantu dewan komisaris dalam mengawasi pihak
manajemen dalam menyusun laporan keuangan (Guna dan Herawaty, 2010).
Tujuan dari keberadaan komite audit di perusahaan adalah (1) memberikan
kepastian bahwa laporan keuangan yang dikeluarkan oleh manajemen perusahaan
telah sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum serta disajikan secara
wajar dan tidak menyesatkan; (2) memberikan kepastian pengendalian internal
perusahaan telah memadai; (3) melakukan pengawasan dan menindaklanjuti
kemungkinan penyimpangan material dalam bidang keuangan dan implikasi
hukumnya; (4) memberikan rekomendasi dalam pemilihan auditor eksternal yang
akan melakukan audit di perusahaan (Susiana dan Herawaty, 2007 dalam Guna dan
Herawaty, 2010).
Menurut Effendi (2003:33) dalam bukunya menyatakan bahwa kehadiran
komite audit di perusahaan publik telah mendapat respons yang cukup positif dari
berbagai pihak, antara lain pemerintah, Bapepam-LK, Bursa Efek Indonesia, para
investor, profesi penasihat hukum (advokat), profesi akuntan, serta perusahaan
penilai independen. Surat edaran dari Direksi PT Bursa Efek Jakarta No. SE-
008/BEJ/12-2001 Tanggal 7 Desember 2001 perihal keanggotaan komite audit
disebutkan bahwa:
28
a. Komite audit sekurang-kurangnya terdiri atas 3 orang, termasuk ketua komite
audit.
b. Anggota komite audit yang berasal dari komisaris maksimum hanya 1 orang.
Anggota komite audit yang berasal dari komisaris tersebut harus merupakan
komisaris independen perusahaan tercatat yang sekaligus menjabat sebagai ketua
komite.
c. Anggota komite audit lainnya berasal dari pihak eksternal yang independen. Pihak
eksternal yang dimaksud adalah pihak di luar perusahaan tercatat bukan
merupakan komisaris, direksi maupun karyawan dari perusahaan tercatat tersebut.
Sedangkan yang dimaksud dengan pihak independen adalah pihak diluar
perusahaan tercatat yang tidak memiliki hubungan usaha dan hubungan afiliasi
dengan perusahaan tercatat tersebut maupun dengan komisaris, direksi, serta
pemegang saham utamanya, serta mampu memberikan pendapat professional
secara bebas sesuai dengan etika profesionalnya dengan tidak memihak kepada
kepentingan siapapun.
Komite audit juga memegang peranan yang cukup penting dalam mewujudkan
Good Corporate Governance (GCG) karena merupakan “mata” dan “telinga” dewan
komisaris dalam rangka mengawasi jalannya peusahaan. Keberadaan komite audit
yang efektif merupakan salah satu aspek penilaian dalam implementasi GCG. Untuk
mewujudkan prinsip GCG di suatu perusahaan publik, maka prinsip independesi
(independency), transparansi dan pengungkapan (transparency and disclosure),
akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), serta kewajaran
29
(fairness) harus menjadi landasan utama bagi aktivitas komite audit (Effendi
2003:35).
Pelaksanaan prinsip-prinsip GCG dalam aktivitas komite audit akan dijelaskan
lebih lanjut dalam bagian berikut.
1) Prinsip Independensi
Komite audit diharapkan dapat bersikap independen terhadap kepentingan saham
mayoritas maupun minoritas. Selain itu, anggota komite audit seharusnya tidak
memiliki hubungan kekeluargaan dengan anggota direksi dan komisaris
perusahaan, sehingga terhindar dari benturan kepentingan. Oleh karena itu, nama-
nama anggota komite audit utama di perusahaan publik hendaknya diumumkan di
masyarakat dan publik sebagai wujud akuntabilitas terhadap sikap independensi
mereka. Hal ini penting agar masyarakat dapat melakukan kontrol sosial dan
penilaian terhadap para anggota audit perusahaan tersebut.
2) Prinsip Transparansi
Prinsip ini ditunjukkan melalui piagam komite (audit committee charter), program
kerja tahunan dan rapat komite audit secara periodik yang didokumentasikan
dalam notulen rapat. Komite audit hendaknya membuat laporan secara berkala
kepada komisaris tentang pencapaian kinerjanya sebagai wujud pengungkapan
(disclosure). Diharapkan agar laporan tersebut dituangkan dalam laporan tahunan
(annual report) perusahaan yang dipublikasikan kepada publik.
30
3) Prinsip Akuntabilitas
Prinsip ini ditunjukkan oleh frekuensi pertemuan dan tingkat kehadiran anggota
komite audit. Selain itu, komite audit seharusnya memiliki kapabilitas, kompetensi
dan pengalaman di bidang audit serta proses bisnis perusahaan agar dapat bekerja
secara professional.
4) Prinsip Pertanggungjawaban
Prinsip ini ditunjukkan oleh aktivitas komite audit yang dijalankan sesuai dengan
peraturan atau ketentuan yang berlaku. Selain itu, kinerja komite audit hendaknya
dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada publik, selain dengan dewan
komisaris.
5) Prinsip Kewajaran
Prinsip ini ditunjukkan oleh sikap komite audit dalam pengambilan keputusan
yang didasarkan atas sikap adil (fair) dan objektif terhadap semua pihak.
2.1.10 Preferensi Risiko Eksekutif
Preferensi risiko eksekutif merupakan konsekuensi yang akan dimiliki
eksekutif sebagai akibat tindakan yang diambilnya. Tindakan eksekutif sebagai
penentu keputusan akan mempertimbangkan berbagai aspek. Dampak dari tindakan
tersebut juga dianalisis secara akurat oleh eksekutif supaya keputusan yang diambil
merupakan keputusan terbaik yang memiliki dampak negatif yang paling kecil
(Hanafi dan Harto, 2014).
Menurut Budiman dan Sutiyono (2012) menjelaskan bahwa preferensi risiko
dapat dibedakan menjadi risk taker dan risk averse dengan cara mengukur risiko
31
perusahaan yang dipimpinnya. Preferensi risiko akan berpengaruh dalam
pelaksanaan tugas eksekutif. Berdasarkan teori tindakan beralasan, eksekutif
menentukan keputusan berdasarkan informasi yang ada. Selain itu, adanya alternatif
pilihan serta kendali yang dimiliki eksekutif dalam proses pengambilan keputusan
membuat teori tindakan beralasan semakin menjelaskan alasan preferensi risiko
eksekutif (Hanafi dan Harto, 2014).
Eksekutif yang memiliki preferensi risk taker adalah eksekutif yang lebih
berani dalam mengambil keputusan bisnis dan biasanya memiliki dorongan kuat
untuk memiliki penghasilan, posisi, kesejahteraan dan kewenangan yang lebih
tinggi. Eksekutif yang memiliki preferensi risk taker tidak ragu-ragu untuk
melakukan pembiayaan dari hutang dan hal ini dilakukan supaya perusahaan tumbuh
lebih cepat. Berbeda dengan eksekutif yang memiliki preferensi risk taker, eksekutif
yang memiliki preferensi risk averse adalah eksekutif yang cenderung tidak
menyukai risiko sehingga kurang berani dalam mengambil keputusan bisnis (Low,
2006 dalam Budiman dan Sutiyono, 2012). Eksekutif risk averse biasanya juga
memiliki usia yang lebih tua, sudah lama memegang jabatan dan memiliki
ketergantungan dengan perusahaan (Maccrimon dan Wehrung, 1990 dalam Budiman
dan Sutiyono, 2012). Eksekutif yang memiliki preferensi risk taker juga cenderung
lebih berani untuk melakukan penghindaran pajak yang lebih agresif dibandingkan
eksekutif yang memiliki preferensi risk averse dimana eksekutif dengan preferensi
risk averse akan cenderung lebih berhati-hati walaupun tidak melanggar undang-
32
undang pembebanan biaya yang tidak wajar dapat menimbulkan peluang
dilakukannya pemeriksaan pajak (Carolina, dkk., 2014).
2.1.11 Ukuran Perusahaan
Perusahaan-perusahaan yang go public dan listed di Bursa Efek Indonesia
tentunya memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Salah satu
perbedaannya tersebut adalah dari segi ukuran perusahaan. Ukuran perusahaan
adalah suatu skala dimana besar kecilnya perusahaan dapat diklasifikasikan dalam
berbagai cara, seperti log total aktiva, log total penjualan, kapitalisasi pasar, dan lain-
lain (Handayani dan Wulandari, 2014). Menurut Mochfoedz (1994) dalam
Permatasari (2012) menjelaskan bahwa ukuran perusahaan dapat diklasifikasikan
menjadi tiga yaitu:
1) Perusahaan Besar (Large Firm)
Perusahaan yang dikategorikan besar biasanya merupakan perusahaan yang
memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp 10 Milyar termasuk tanah dan
bangunan. Perusahaan besar juga memiliki penjualan lebih dari Rp 50
Milyar/tahun dan telah go publik di pasar modal.
2) Perusahaan Menengah (Medium Firm)
Perusahaan yang dikategorikan menengah merupakan perusahaan yang memiliki
kekayaan bersih Rp 1 sampai 10 Milyar termasuk tanah dan bangunan. Perusahaan
memiliki hasil penjualan lebih besar dari Rp 1 Milyar dan kurang dari Rp 50
Milyar.
33
3) Perusahaan Kecil (Small Firm)
Perusahaan yang dikategorikan kecil merupakan perusahaan yang memiliki
kekayaan bersih paling banyak Rp 200 juta tidak termasuk tanah dan bangunan
dan memiliki hasil penjualan minimal Rp 1 Milyar/tahun.
2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya
Darmawan dan Sukartha (2014) meneliti mengenai pengaruh penerapan
corporate governance diukur menggunakan penilaian dalam CGPI, leverage, return on
assets dan ukuran perusahaan pada penghindaran pajak. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa corporate governance, return on assets dan ukuran perusahaan
memiliki pengaruh pada penghindaran pajak sedangkan leverage tidak memiliki
pengaruh pada penghindaran pajak.
Hanafi dan Harto (2014) meneliti analisis faktor-faktor yang dapat
memengaruhi penghindaran pajak perusahaan dengan variabel independennya
kompensasi eksekutif, kepemilikan saham eksekutif dan preferensi risiko eksekutif.
Hasil penelitiannya ditemukan bahwa secara kompensasi eksekutif, kepemilikan saham
eksekutif dan preferensi risiko eksekutif memiliki pengaruh positif dan signifikan
terhadap penghindaran pajak.
Maria dan Kurniasih (2014) meneliti tentang pengaruh return on assets,
leverage, corporate governance (diproksikan dengan komposisi komisaris independen
dan keberadaan komite audit), ukuran perusahaan dan kompensasi rugi fiskal pada tax
avoidance. Hasil penelitianya menunjukkan bahwa return on assets, ukuran
34
perusahaan dan kompensasi rugi fiskal berpengaruh signifikan secara simultan, namun
secara parsial leverage dan corporate governance tidak berpengaruh signifikan.
Ardyansah dan Zulaikha (2014) melakukan penelitian mengenai faktor -faktor
yang memengaruhi effective tax rate (ETR). Berdasarkan dari hasil pengujian hipotesis
yang dilakukan diketahui bahwa size, leverage dan komisaris independen memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap effective tax rate (ETR) sedangkan profitability dan
capital intensity ratio tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap effective tax
rate (ETR).
Dewi dan Jati (2014) meneliti mengenai pengaruh karakter eksekutif,
karakteristik perusahaan, dan dimensi tata kelola perusahaan yang baik (diproksikan
dengan kepemilikan institusional, proporsi dewan komisaris independen, kualitas audit
dan komite audit) pada tax avoidance di Bursa Efek Indonesia. Hasil penelitiannya
menunjukkan karakteristik perusahaan tidak memiliki pengaruh terhadap tax
avoidance sedangkan dimensi tata kelola perusahaan memiliki pengaruh terhadap tax
avoidance.
Swingly dan Sukartha (2015) meneliti mengenai pengaruh karakteristik
eksekutif, komite audit, ukuran perusahaan, leverage dan sales growth pada tax
avoidance. Hasil penelitannya menunjukkan bahwa karakteristik eksekutif dan ukuran
perusahaan memiliki pengaruh positif pada tax avoidance, leverage memiliki pengaruh
negatif pada tax avoidance dan sales growth tidak memiliki pengaruh pada tax
avoidance.
35
Annisa dan Kurniasih (2012) melakukan penelitian mengenai pengaruh
corporate governance (diproksikan dengan kepemilikan institusional, komposisi
komisaris independen, struktur dewan komisaris, komite audit dan kualitas audit)
terhadap tax avoidance. Berdasarkan hasil analisis dan pengujian yang dilakukan
menemukan bahwa kepemilikan institusional, komposisi komisaris independen,
struktur dewan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tax avoidance
sedangkan komite audit dan kualitas audit memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
tax avoidance.
Fadhilah (2014) meneliti mengenai pengaruh good corporate governance
(diproksikan dengan kepemilikan institusional, presentase dewan komisaris
independen, jumlah komite audit dan kualitas audit) terhadap tax avoidance. Hasil
penelitiannya menemukan bahwa kepemilikan institusional dan proporsi komisaris
independen tidak berpengaruh terhadap tax avoidance. Komite audit berpengaruh
positif terhadap tax avoidance dan kualitas audit berpengaruh negatif terhadap tax
avoidance.
Sari (2014) meneliti mengenai pengaruh corporate governance (diproksikan
dengan komisaris independen dan komite audit), ukuran perusahaan, kompensasi rugi
fiskal dan struktur kepemilikan terhadap tax avoidance. Berdasarkan hasil dari
pengujian yang telah dilakukan ditemukan bahwa komisaris independen dan ukuran
perusahaan memiliki pengaruh signifikan negatif terhadap tax avoidance sedangkan
komite audit, kompensasi rugi fiskal, dan struktur kepemilikan tidak memiliki
pengaruh signifikan terhadap tax avoidance.
36
Meiza (2013) melakukan penelitian yang mengenai pengaruh karakteristik
good corporate governance (diproksikan dengan kepemilikan institusional dan struktur
komisaris independen) dan deferred tax expense terhadap tax avoidance. Hasil
penelitiannya menemukan bahwa kepemilikan institusional dan deferred tax expense
tidak memiliki pengaruh signifikan negatif terhadap tax avoidance sedangkan struktur
komisaris independen tidak memiliki pengaruh signifikan positif terhadap tax
avoidance.
Maharani dan Suardana (2014) meneliti mengenai pengaruh corporate
governance dan profitabilitas serta karakteristik eksekutif pada tax avoidance
perusahaan manufaktur. Berdasarkan dari hasil pengujian hipotesis dan analisis
menemukan bahwa proporsi komisaris independen, kualitas audit, komite audit dan
profitabilitas berpengaruh negatif terhadap tax avoidance sedangkan karakteristik
eksekutif perusahaan berpengaruh positif terhadap tax avoidance.
Berdasarkan hasil uraian diatas dapat disimpulkan bahwa telah dilakukan
penelitian oleh berbagai peneliti dengan bentuk dan hasil penelitian yang berbeda.
Berikut adalah ringkasan hasil penelitian sebelumnya pada Tabel 2.1.
37
Tabel. 2.1
Ringkasan Hasil Penelitian Sebelumnya
No Nama Peneliti
dan Tahun
Judul Teknik Analisis
Data
Hasil Penelitian
1 Darmawan dan
Sukartha
(2014)
Pengaruh Penerapan
Corporate Governance,
Leverage, Return On
Assets dan Ukuran
Perusahaan Pada
Penghindaran Pajak
Analisis Regresi
Linear Berganda
Corporate Governance
berpengaruh terhadap
penghindaran pajak, Leverage
tidak berpengaruh terhadap
penghindaran pajak, ROA
berpengaruh terhadap
penghindaran pajak, dan ukuran
perusahaan berpengaruh terhadap
penghindaran pajak.
2 Hanafi dan Harto
(2014)
Analisis Pengaruh
Kompensasi Eksekutif,
Kepemilikan Saham
Eksekutif dan Preferensi
Risiko Eksekutif Terhadap
Penghindaran Pajak
Perusahaan
Analisis Regresi
Linear Berganda
Kompensasi Eksekutif
berpengaruh terhadap
penghindaran pajak,
Kepemilikan Saham Eksekutif
berpengaruh terhadap
penghindaran pajak dan
Preferensi Risiko Eksekutif
berpengaruh terhadap
penghindaran pajak.
3 Maria dan
Kurniasih (2014)
Pengaruh Return On
Assets, Leverage,
Corporate Governance,
Ukuran Perusahaan dan
Kompensasi Rugi Fiskal
Pada Tax Avoidance
Analisis Regresi
Linear Berganda
Melalui Model
Ordinary Least
Square (OLS)
Return On Assets, Ukuran
Perusahaan dan Kompensasi
Rugi Fiskal berpengaruh
signifikan secara simultan,
namun secara parsial Leverage
dan Corporate Governance tidak
berpengaruh signifikan.
4 Ardyansah dan
Zulaikha
(2014)
Pengaruh Size, Leverage,
Profitability, Capital
Intensity Ratio dan
Komisaris Independen
Terhadap Effective Tax
Rate (ETR)
Analisis
Multivariate
dengan
Menggunakan
Regresi Berganda
Size memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap effective tax
rate (ETR), Leverage tidak
memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap effective tax
rate (ETR), Profitability tidak
memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap effective tax
rate (ETR), Capital Intensity
Ratio tidak memiliki pengaruh
yang signifikan
38
Tabel. 2.1
Ringkasan Hasil Penelitian Sebelumnya
terhadap effective tax rate (ETR),
Komisaris Independen memiliki
pengaruh yang signifikan
terhadap effective tax rate (ETR).
5 Dewi dan Jati
(2014)
Pengaruh Karakter
Eksekutif, Karakteristik
Perusahaan, dan Dimensi
Tata Kelola Perusahaan
yang Baik Pada Tax
Avoidance Di Bursa Efek
Indonesia
Uji Analisis
Regresi Linear
Berganda
Risiko Perusahaan, Kualitas
Audit, dan Komite Audit
berpengaruh terhadap Tindakan
Eksekutif. Sedangkan sisanya
yaitu Ukuran Perusahaan,
Multinational Company,
Kepemilikan Institusional, dan
Proporsi Dewan Komisaris tidak
memiliki pengaruh terhadap
tindakan Tax Avoidance yang
dilakukan perusahaan.
6
Swingly dan
Sukartha
(2015)
Pengaruh Karakteristik
Eksekutif, Komite Audit,
Ukuran Perusahaan,
Leverage dan Sales
Growth pada Tax
Avoidance
Uji Analisis
Regresi Linear
Berganda
Karakter Eksekutif dan Ukuran
Perusahaan berpengaruh positif
pada Tax Avoidance sedangkan
Leverage berpengaruh negatif
pada Tax Avoidance. Variabel
Komite Audit dan Sales Growth
tidak berpengaruh pada Tax
Avoidance.
7 Annisa dan
Kurniasih
(2012)
Pengaruh Corporate
Governance Terhadap Tax
Avoidance
Uji Analisis
Regresi Linear
Berganda
Corporate Governance diukur
dengan proksi Kepemilikan
Intitusional dan Dewan
Komisaris berpengaruh
signifikan terhadap tax avoidance
sedangkan Kualitas Audit dan
Komite Audit tidak memiliki
pengaruh signifikan terhadap tax
avoidance.
8 Fadhilah (2014) Pengaruh Good Corporate
Governance Terhadap Tax
Uji Analisis
Regresi Linear
Berganda
Kepemilikan Institusional dan
Proporsi Komisaris Independen
tidak berpengaruh terhadap Tax
Avoidance. Komite Audit
berpengaruh
39
Tabel. 2.1
Ringkasan Hasil Penelitian Sebelumnya
Avoidance (Studi Empiris
pada Perusahaan
Manufaktur yang
Terdaftar di BEI 2009 -
2011)
positif terhadap Tax Avoidance.
Kualitas Audit berpengaruh
negatif terhadap Tax Avoidance.
9 Sari (2014) Pengaruh Corporate
Governance, Ukuran
Perusahaan, Kompensasi
Rugi Fiskal dan Struktur
Kepemilikan Terhadap
Tax Avoidance
Uji Analisis
Regresi Linear
Berganda
Komisaris Independen memiliki
pengaruh signifikan negatif
terhadap tax avoidance. Komite
Audit tidak berpengaruh
signifikan terhadap Tax
Avoidance. Ukuran perusahaan
memiliki pengaruh signifikan
negatif terhadap Tax Avoidance.
Kompensasi Rugi Fiskal tidak
berpengaruh signifikan terhadap
Tax Avoidance. Struktur
Kepemilikan tidak berpengaruh
signifikan terhadap Tax
Avoidance.
10 Meiza (2013) Pengaruh Karakteristik
Good Corporate
Governance dan Deferred
Tax Expense Terhadap Tax
Avoidance
Uji Analisis
Regresi Linear
Berganda
Kepemilikan Institusional tidak
berpengaruh signifikan negatif
terhadap Tax Avoidance. Struktur
Komisaris Independen tidak
berpengaruh signifikan positif
terhadap Tax Avoidance.
Deferred Tax Expense
berpengaruh negatif signifikan
terhadap Tax Avoidance.
11 Maharani dan
Suardana (2014)
Pengaruh Corporate
Governance, Profitabilitas
dan Karakteristik
Eksekutif pada Tax
Avoidance Perusahaan
Manufaktur
Uji Analisis
Regresi Linear
Berganda
Proporsi Komisaris Independen,
Kualitas Audit, Komite Audit dan
ROA berpengaruh negatif
terhadap Tax Avoidance. Risiko
Perusahaan berpengaruh positif
terhadap Tax Avoidance.
Sumber: data diolah, 2015
40
2.3 Hipotesis Penelitian
2.3.1 Pengaruh Proporsi Komisaris Independen pada Penghindaran Pajak
UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa
komisaris diangkat berdasarkan RUPS dari pihak yang tidak terafiliasi dengan
pemegang saham utama, anggota direksi atau dewan komisaris lainnya. Komisaris
independen menjadi penengah antara manajemen perusahaan dan pemilik
perusahaan dalam mengambil kebijakan agar tidak melanggar hukum termasuk
strategi yang terkait dengan pajak. Penelitian yang dilakukan oleh Hanum dan
Zulaikha (2013) yang menyatakan terdapat hubungan positif antara komisaris
independen dengan effective tax rate (ETR) dengan menunjukkan bahwa
pengawasan yang dilakukan oleh komisaris independen dilakukan agar tidak terjadi
asimetri informasi yang terjadi antara manajemen perusahaan dengan para
stakeholder. Adanya komisaris independen didalam perusahaan akan membuat
setiap perumusan strategi perusahaan yang dilakukan oleh dewan komisaris beserta
manajemen perusahaan dan para stakeholder akan memberikan jaminan hasil yang
efektif dan efsisen termasuk pada kebijakan mengenai besaran tarif pajak efektif
perusahaan. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ardyansah dan
Zulaikha (2014) menemukan hasil komisaris independen berpengaruh signifikan
positif terhadap effective tax rate (ETR) dan menyatakan bahwa proporsi komisaris
independen yang semakin besar dapat berpengaruh pada beban pembayaran pajak
yang lebih tinggi karena perusahaan cenderung akan melaporkan jumlah pajak sesuai
dengan tarif pajak yang berlaku terhadap keuntungan yang diperoleh perusahaan.
41
Kehadiran komisaris independen dalam dewan komisaris mampu
meningkatkan pengawasan kinerja direksi dimana dengan semakin banyaknya
komisaris independen maka pengawasan dari manajemen akan semakin ketat.
Pengawasan yang semakin ketat akan membuat manajemen bertindak lebih berhati -
hati dalam mengambil keputusan dan transparan dalam menjalankan perusahaan
sehingga tax avoidance dapat diminimalkan. Secara aktif komisaris independen
dapat mendorong manajemen untuk mematuhi peraturan perundangan pajak yang
berlaku dan mengurangi risiko seperti rendahnya kepercayaan investor dan
menurunnya reputasi perusahaan. Prakosa (2014) dalam penelitiannya juga
menunjukkan bahwa proporsi komisaris independen berpengaruh negatif terhadap
praktik penghindaran pajak dimana jika komisaris independen mengalami
peningkatan maka praktik penghindaran pajak akan mengalami penurunan sehingga
proporsi komisaris yang besar dalam perusahaan dapat mencegah praktik
penghindaran pajak.
Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang dapat dirumuskan dalam
penelitian ini adalah:
H1: Proporsi komisaris independen berpengaruh negatif pada
penghindaran pajak.
42
2.3.2 Pengaruh Keberadaan Komite Audit pada Penghindaran Pajak
Komite audit adalah komite tambahan yang bertugas membantu dewan
komisaris melakukan pengawasan terhadap manajemen perusahaan. Komite audit
berfungsi memberikan pandangan mengenai masalah yang berhubungan dengan
kebijakan keuangan, akuntansi dan pengendalian internal perusahaan. Komite audit
merupakan bagian dari manajemen perusahaan yang berpengaruh signifikan dalam
penentuan kebijakan perusahaan. Anggota komite audit dengan keahlian akuntansi
atau keuangan lebih mengerti celah dalam peraturan perpajakan dan cara yang dapat
menghindari risiko deteksi, sehingga dapat memberikan saran yang berguna untuk
melakukan penghindaran pajak (Puspita, 2014).
Penelitian yang dilakukan oleh Hanum dan Zulaikha (2013) menemukan hasil
yang positif antara komite audit dengan effective tax rate (ETR) dimana komite audit
berdasarkan fungsinya membantu dewan komisaris agar tidak terjadi asimetri
informasi dengan melakukan pengawasan serta memberikan rekomendasi kepada
manajemen dan dewan komisaris terhadap pengendalian yang telah berjalan di dalam
perusahaan. Semakin ketatnya pengawasan yang dilakukan terhadap suatu
manajemen perusahaan maka akan menghasilkan suatu informasi yang berkualitas
dan kinerja yang efektif. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah anggota
komite audit dalam suatu perusahaan akan meningkatkan kinerja suatu perusahaan
agar lebih efektif termasuk juga dalam penetapan kebijakan yang berkaitan dengan
besaran tarif pajak efektif dimana komite audit berperan dalam memilih metode
akuntansi yang efektif dan tepat bagi perusahaan.
43
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi dan Jati
(2014) yang juga membuktikan adanya pengaruh negatif antara komite audit dengan
penghindaran pajak. Semakin tinggi keberadaan komite audit dalam perusahaan
maka akan meningkatkan kualitas good corporate governane di dalam perusahaan
sehingga akan memperkecil kemungkinan praktik penghindaran pajak yang akan
dilakukan perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki
komite audit akan lebih bertanggung jawab dan terbuka dalam menyajikan laporan
keuangan karena komite audit akan memonitor segala kegiatan yang berlangsung di
dalam perusahaan. Penelitian terkait juga dilakukan oleh Winata (2014) yang
menyatakan bahwa jumlah komite audit yang berpengaruh signifikan terhadap tax
avoidance dengan menunjukkan bahwa semakin banyaknya jumlah komite audit
yang ada pada sebuah perusahaan dapat membuat praktik tax avoidance yang
dilakukan pada perusahaan tersebut dapat diminimalisir.
Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang dapat dirumuskan dalam
penelitian ini adalah:
H2: Keberadaan komite audit berpengaruh negatif pada penghindaran
pajak.
44
2.3.3 Pengaruh Preferensi Risiko Eksekutif pada Penghindaran Pajak
Menurut Budiman dan Sutiyono (2012) menjelaskan bahwa preferensi risiko
dapat dibedakan menjadi risk taker dan risk averse dengan cara mengukur risiko
perusahaan yang dipimpinnya. Preferensi risiko akan berpengaruh dalam
pelaksanaan tugas eksekutif. Berdasarkan teori tindakan beralasan, eksekutif
menentukan keputusan berdasarkan informasi yang ada. Eksekutif sebagai penentu
keputusan akan mempertimbangkan berbagai aspek sebelum bertindak. Dampak dari
suatu tindakan juga akan dianalisis dengan tujuan untuk mendapatkan keputusan
terbaik, termasuk dalam menentukan keputusan penghindaran pajak perusahaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Hanafi dan Harto (2014) menunjukkan hasil
yang positif antara preferensi risiko eksekutif dengan penghindaran pajak. Hasil
tersebut dimungkinkan karena eksekutif perusahaan cenderung memiliki preferensi
risk taker dengan keberanian lebih dalam menentukan suatu kebijakan meskipun
risikonya tinggi. Namun, risk taker dengan keberaniannya juga dituntut untuk
menghasilkan cash flow yang tinggi. Hal ini dilakukan untuk menyeimbangkan
risiko yang timbul atas keberaniannya mengambil tindakan atau keputusan termasuk
kebijakan pajak.
Sejalan dengan penelitian Dewi dan Jati (2014) menyatakan juga perusahaan
yang memiliki eksekutif dengan preferensi risk taker akan cenderung lebih berani
dalam mengambil keputusan walaupun keputusan tersebut berisiko tinggi termasuk
keputusan untuk melakukan penghindaran pajak.
45
Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang dapat dirumuskan dalam
penelitian ini adalah:
H3: Preferensi risiko eksekutif berpengaruh positif pada penghindaran
pajak.
2.3.4 Pengaruh Ukuran Perusahaan pada Penghindaran Pajak
Ukuran perusahaan dapat menentukan besar kecilnya aset yang dimiliki
perusahaan dimana semakin besar aset yang dimiliki maka semakin meningkat pula
jumlah produktifitas perusahaan tersebut. Hal itu akan menghasilkan laba yang
semakin meningkat dan memengaruhi tingkat pembayaran pajak. Perusahaan besar
cenderung memiliki ruang yang lebih besar untuk perencanaan pajak yang baik dan
mengadopsi praktek akuntansi yang efektif untuk menurunkan effective tax rate
perusahaan (Ardyansah dan Zulaikha, 2014).
Penelitian yang dilakukan oleh Rego dan Wilson (2009) menyatakan bahwa
semakin besar perusahaan maka transaksi yang dilakukan akan semakin kompleks.
Hal itu memungkinkan perusahaan untuk memanfaatkan celah-celah yang ada untuk
melakukan tindakan penghindaran pajak dari setiap transaksinya. Hasil ini sesuai
dengan penelitian Sari (2014) yang menemukan pengaruh signifikan positif terhadap
tax avoidance dengan menunjukkan bahwa perusahaan dengan ukuran besar lebih
stabil dan mampu dalam menghasilkan laba dan membayar kewajibannya dibanding
perusahaan dengan total aktiva yang kecil.
Perusahaan yang termasuk dalam skala perusahaan besar akan mempunyai
sumber daya yang berlimpah yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan
46
tertentu. Berdasarkan teori agensi, sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan dapat
digunakan oleh agent untuk memaksimalkan kompensasi kinerja agent, yaitu dengan
cara menekan beban pajak perusahaan untuk memaksimalkan kinerja perusahaan
(Darmawan dan Sukartha, 2014).
Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang dapat dirumuskan dalam
penelitian ini adalah:
H4: Ukuran perusahaan berpengaruh positif pada penghindaran pajak.