bab ii kajian pustaka a. landasan teori 1....
TRANSCRIPT
21
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Pengaruh
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengaruh adalah daya
yang ada atau timbul dari sesuatu (orang, benda) yang ikut membentuk watak,
kepercayaan, atau perbuatan seseorang (KBBI, 2002: 849). Pengaruh merupakan
kekuatan yang ada atau yang timbul dari sesuatu, seperti orang, benda yang turut
membentuk watak, kepercayaan, atau perbuatan seseorang (Depdikbud, 1996:
747). Pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu, baik orang maupun
benda dan sebagainya yang berkuasa atau yang berkekuatan dan berpengaruh
terhadap orang lain (Poerwadaminta, 2003: 731). Sementara itu, Surakhmad
(1982: 7) menyatakan bahwa pengaruh adalah kekuatan yang muncul dari suatu
benda atau orang dan juga gejala yang dapat memberikan perubahan terhadap
sekelilingnya.Pengertian pengaruh menurut Badudu dan Zain (2001: 1031) yaitu
sebagai berikut:
“Pengaruh adalah (1) daya yang menyebabkan sesuatu yang
terjadi; (2) sesuatu yang dapat membentuk atau mengubah sesuatu
yang lain; (3) tunduk atau mengikuti karena kuasa atau kekuatan
orang lain”.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengaruh adalah
sebagai suatu daya yang ada atau timbul dari suatu hal yang memiliki akibat atau
hasil dan dampak yang ada.
22
Hal-hal yang mempengaruhi berhasil atau tidaknya proses pembelajaran
adalah sebagai berikut (Dalyono, 1997: 239) :
a. Faktor Intern (yang berasal dari dalam diri yang belajar)
1) Kesehatan, kesehatan jasmani dan rohani sangat besar pengaruhnya
terhadap kemampuan belajar. Bila seseorang yang tidak sehat dapat
mengakibatkan tidak bersemangat untuk belajar. Demikian pula
dengan kesehatan rohani (jiwa) yang kurang baik.
2) Integrasi dan Bakat, kedua aspek kejiwaan ini besar sekali
pengaruhnya terhadap kemampuan belajar. Seorang yang
mempunyai integrasi baik (IQ-nya tinggi) umumnya mudah belajar
dan hasilnya cenderung baik. Bakat juga besar pengaruhnya dalam
menentukan keberhasilan belajar. Jika seseorang mempunyai
intelegensi yang tinggi dan bakatnya ada dalam bidang yang
dipelajari, maka proses belajar akan lebih mudan dibandingkan
orang yang hanya memiliki intelegensi tinggi saja atau bakat saja.
3) Minat dan Motivasi, minat dapat timbul karena adanya daya tarik
dari luar dan juga datang dari sanubari. Timbulnya minat belajar
disebabkan beberapa hal, antara lain karena keinginan yang kuat
untuk menaikkan martabat atau memperoleh pekerjaan yang baik
serta ingin hidup senang atau bahagia. Begitu pula seseorang yang
belajar dengan motivasi yang kuat, akan melaksanakan kegiatan
belajarnya dengan sungguh-sungguh. Motivasi berbeda dengan
minat. Motivasi adalah daya penggerak atau pendorong.
4) Cara Belajar, cara belajar seseorang juga mempengaruhi pencapaian
hasil belajarnya. Belajar tanpa memperhatikan teknik dan faktor
fisiologis, psikologis, dan ilmu kesehatan akan memperoleh hasil
yang kurang.
b. Faktor Eksternal (yang berasal dari luar diri orang yang belajar)
1) Keluarga, faktor orang tua sangat besar pengaruhnya terhadap
keberhasilan dalam belajar, misalnya tinggi rendahnya pendidikan,
besar kecilnya penghasilan dan perhatian.
2) Sekolah, keadaan sekolah tempat belajar turut mempengaruhi tingkat
keberhasilan anak. Kualitas guru, metode mengajarnya, kesesuaian
kurikulum dengan kemampuan anak, keadaan fasilitas atau
perlengkapan di sekolah dan sebagainya.
3) Masyarakat, keadaan masyarakat juga menentukan hasil belajar. Bila
sekitar tempat tinggal keadaan masyarakatnya terdiri dari orang-
orang berpendidikan, terutama anak-anaknya, rata-rata bersekolah
tinggi dan moralnya baik, hal ini akan mendorong anak giat belajar.
4) Lingkungan Sekitar, keadaan lingkungan tempat tinggal, juga sangat
mempengaruhi hasil belajar. Keadaan lingkungan, bangunan rumah,
suasana sekitar, keadaan lalu lintas dan sebagainya. Semua ini akan
mempengaruhi kegairahan belajar.
23
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ada dua faktor yaitu
faktor intern dan ekstern yang mempengaruhi hasil belajar. Faktor intern meliputi:
kesehatan, integrasi dan bakat, minat dan motivasi, dan cara belajar. Faktor
ekstern meliputi: keluarga, sekolah, masyarakat, dan lingkungan sekitar.
2. Pembelajaran Matematika
Pembelajaran matematika terdiri dari dua kata yaitu “pembelajaran” dan
“matematika”. Kata dasar pembelajaran adalah belajar yang berarti perubahan
tingkah laku yang relatif mantap berkat latihan dan pengalaman (Hamalik, 2011:
154). Menurut Irham dan Novian (2013: 117), belajar merupakan suatu proses
yang dilakukan individu untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman baru
yang diwujudkan dalam bentuk perubahan tingkah laku yang relatif permanen dan
menetap disebabkan adanya interaksi individu dengan lingkungan belajarnya
(Irham dan Novian, 2013: 117). Belajar pada hakikatnya adalah proses interaksi
terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu (Rusman, 2012: 1).
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar (UU No 20 Tahun 2003). Belajar bukan
sekedar mengumpulkan pengetahuan. Belajar adalah proses mental yang terjadi
dalam diri seseorang, sehingga menyebabkan munculnya perubahan perilaku.
Aktivitas mental itu terjadi karena adanya interaksi individu dengan lingkungan
yang disadari (Sanjaya, 2006: 112). Selain itu, belajar adalah proses terus menerus
yang tidak pernah berhenti dan tidak terbatas pada dinding kelas (Sanjaya, 2006:
110).
24
Pembelajaran berdasarkan makna leksikal berarti proses, cara, perbuatan
mempelajari (Suprijono, 2009: 13). Pembelajaran adalah sesuatu yang dilakukan
oleh siswa, bukan untuk siswa. Pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya
pendidik untuk membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar.
Pembelajaran pada hakikatnya merupakan suatu proses interaksi antara guru dan
siswa, baik interaksi secara langsung seperti kegiatan tatap muka maupun secara
tidak langsung, yaitu dengan menggunakan berbagai media pembelajaran
(Rusman, 2012: 134). Tujuan pembelajaran adalah terwujudnya efisiensi dan
efektivitas kegiatan belajar yang dilakukan peserta didik (Isjoni, 2009: 14).
Pembelajaran adalah salah satu aspek dari kegiatan manusia secara kompleks
yang tidak sepenuhnya bisa dijelaskan atau dijabarkan. Secara lebih sederhana,
pembelajaran merupakan produk dari interaksi yang berkelanjutan antara
pengembangan dan pengalaman. Secara umum, pembelajaran ialah usaha yang
dilakukan secara sadar seorang pendidik untuk membelajarkan peserta didiknya
dengan memberikan arahan sesuai dengan sumber-sumber belajar lainnya untuk
mencapai sebuah tujuan yang diinginkan.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa, belajar
adalah suatu proses perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi sosial
dan lingkungan sekitar. Akan tetapi tidak semua perubahahan termasuk belajar,
misalnya perubahan fisik, mabuk, gila, dan sebagainya (Djamarah dan Zain, 2010:
38). Pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu proses yang mengandung
serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang
25
berlangsung dalam suasana edukatif untuk mencapai tujuan tertentu.
Pembelajaran mengandung dua hal yaitu siswa belajar dan guru mengajar.
Agar dicapai hasil yang lebih optimal dalam pembelajaran, perlu
diperhatikan beberapa prinsip-prinsip pembelajaran. Beberapa prinsip yang
dikemukakan oleh Gagne (Siregar dan Nara, 2011: 16-17), sebagai berikut:
a. Menarik perhatian (gainning attention).
b. Menyampaikan tujuan pembelajaran (informing learning of the
objectives).
c. Mengingatkan konsep/prinsip yang telah dipelajari (stimulating
recall or prior learning).
d. Menyampaikan materi pelajaran (presenting the stimulus).
e. Memberikan bimbingan belajar (providing lerner guidance).
f. Memperoleh kinerja/penampilan siswa (eliciting performance).
g. Memberikan balikan (providing feedback).
h. Menilai hasil belajar (assessing performance).
i. Memperkuat retensi dan transfer belajar (enhancing retention dan
transfer).
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan
teknologi modern dan mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan
memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi
informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di
bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang, dan diskrit. Untuk mengusai
dan menciptakan teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika
yang kuat sejak dini (Kurikulum 2006). Pengertian matematika sangat sulit
didefinisikan secara akurat (Ibrahim dan Suparni, 2008: 1). Matematika memiliki
pengertian yang bermacam-macam tergantung pada bagaimana cara
memandangnya. Beberapa pandangan tentang matematika itu diantaranya adalah:
26
a. Matematika sebagai ilmu deduktif, yaitu kebenaran ilmu
matematika harus bisa dibuktikan secara deduktif dan tidak
menerima generalisasi berdasarkan pada hasil observasi,
eksperimen, coba-coba seperti halnya ilmu pengetahuan lainnya.
b. Matematika sebagai ilmu tentang pola dan hubungan, yaitu karena
matematika memiliki konsep-konsep yang saling terkait yang
sering dicari keterurutan dan pola dari konsep-konsep itu dan
selanjutnya dibuat generalisasi yang dapat dibuktikan secara
deduktif.
c. Matematika sebagai bahasa, yaitu karena matematika terdiri dari
lambang-lambang, simbol, kalimat-kalimat yang disusun menurut
aturan tertentu yang digunakan sekelompok orang untuk
berkomunikasi.
d. Matematika sebagai ilmu tentang struktur yang terorganisasikan,
yaitu karena matematika berkembang mulai dari unsur yang tidak
didefinisikan ke unsur yang didefinisikan, ke postulat/aksioma, ke
teorema.
e. Matematika sebagai seni, yaitu karena dalam matematika terdapat
keteraturan, keterurutan dan konsisten.
f. Matematika sebagai aktifitas manusia, yaitu karena matematika
merupakan karya manusia yang bisa disebut sebagai suatu
kebudayaan manusia.
Pendidikan matematika dari mulai sekolah dasar hingga sekolah menengah
atas bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut (Ibrahim
dan Suparni, 2012: 36):
a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar
konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes,
akurat, efisien, dan tepat dalam memecahkan masalah.
b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat dalam membuat generalisasi,
menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan
matematika.
c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami
masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan
menafsirkan solusi yang diperoleh.
d. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau
media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
27
e. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam
kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat
dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri
dalam pemecahan masalah.
Berdasarkan uraian tentang pengertian pembelajaran dan matematika,
maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika adalah proses
komunikasi dan kerjasama antara guru dan siswa dalam memanfaatkan semua
potensi dan sumber belajar yang ada untuk mengembangkan kemampuan siswa
dalam menghitung, mengukur, menurunkan dan menggunakan rumus matematika
yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Problem Based Learning (PBL)
Problem Based Learning atau yang biasa disebut pembelajaran berbasis
masalah merupakan salah satu jenis pembelajaran yang menggunakan masalah
sebagai materi pembelajarannya. PBL (pembelajaran berbasis masalah) adalah
suatu tipe pengelolaan kelas yang diperlukan untuk mendukung pendekatan
konstruktivisme dalam pengajaran dan belajar (Warsono dan hariyanto, 2012:
149). Menurut Arens (Saefuddin, 2014: 53) PBL adalah model pembelajaran yang
berlandaskan paham konstruktivistik yang mengakomodasi keterlibatan siswa
dalam belajar dan pemecahan masalah autentik. PBL atau pembelajaran berbasis
masalah merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang menyajikan masalah
kontekstual sehingga merangsang peserta didik untuk belajar (Saefuddin, 2014:
53). Menurut Ibrahim dan Nur (Rusman, 2012: 241) pembelajaran berbasis
masalah merupakan salah satu pembelajaran yang digunakan untuk merangsang
berpikir tingkat tinggi siswa dalam situasi yang berorientasi pada masalah dunia
nyata, termasuk di dalamnya belajar bagaimana belajar. Menurut Tan
28
pembelajaran berbasis masalah merupakan penggunaan berbagai kecerdasan yang
diperlukan untuk melakukan konfrontasi terhadap tantangan dunia nyata,
kemampuan menghadapi segala sesuatu yang baru dan kompleksitas yang ada
(Rusman, 2012: 232).
Menurut Herman (2007: 49) tipe masalah yang digunakan dalam
pembelajaran berbasis masalah adalah masalah terbuka (open ended) dan masalah
terstruktur. Siswa dihadapkan pada masalah terbuka yang memiliki banyak
alternatif cara untuk menyelesaikannya dan memiliki banyak jawaban atau satu
jawaban yang benar, sedangkan pada masalah terstruktur siswa dihadapkan pada
sub masalah kemudian siswa menjawab beberapa sub-masalah tersebut sampai
memperoleh kesimpulan. Siswa yang belajar memecahkan suatu masalah, maka
mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha
mengetahui pengetahuan yang diperlukan, belajar dapat semakin bermakna dan
dapat diperluas ketika siswa berhadapan dengan situasi dimana konsep diterapkan
(Saefuddin, 2014: 55). Menurut Savoie dan Hughes (Wena, 2009: 91)
karakteristik pembelajaran berbasis masalah antara lain :
a. Belajar dimulai dengan suatu permasalahan.
b. Permasalahan yang diberikan harus berhubungan dengan dunia
nyata siswa.
c. Mengorganisasikan pembelajaran di seputar permasalahan, bukan
di seputar disiplin ilmu.
d. Memberikan tanggung jawab yang besar dalam membentuk dan
menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri.
e. Menggunakan kelompok kecil.
f. Menuntut siswa untuk mendemonstrasikan apa yang telah
dipelajarinya dalam bentuk produk dan kinerja.
29
Hal penting yang perlu diketahui untuk menggunakan pembelajaran
berbasis masalah adalah langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah.
Langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah menurut Arends (2008: 57)
adalah :
Tabel 2.1. Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Masalah
Fase Indikator Perilaku Guru
1 Memberikan orientasi
tentang
permasalahannya
kepada siswa.
Guru membahas tujuan pembelajaran,
mendeskripsikan berbagai kebutuhan logistik
penting, dan memotivasi siswa terlibat dalam
kegiatan mengatasi masalah.
2 Mengorganisasikan
siswa untuk meneliti.
Guru membantu siswa untuk mendefinisikan
dan mengorganisasikan tugas-tugas belajar
terkait dengan permasalahannya.
3 Membantu investigasi
mandiri dan
kelompok.
Guru mendorong siswa untuk mendapatkan
informasi yang tepat, melaksanakan
eksperimen, dan mencari penjelasan serta
solusi.
4 Mengembangkan dan
mempresentasikan
artefak dan exhibit.
Guru membantu siswa dalam merencanakan
dan menyiapkan artefak-artefak yang tepat
seperti laporan, rekaman video, dan model-
model, serta membantu mereka untuk
menyampaikan kepada orang lain.
5 Menganalisis dan
mengevaluasi proses
mengatasi masalah.
Guru membantu siswa untuk melakukan
refleksi terhadap investigasinya dan proses-
proses yang mereka gunakan.
Dalam PBL ada hal-hal yang perlu dielaborasi diantaranya adalah tujuan utama
pelajaran bukan untuk mempelajari sejumlah besar informasi baru, tetapi untuk
menginvestigasi berbagai permasalahan penting dan menjadi pembelajar yang
mandiri (Saefuddin, 2014: 53).
Pembelajaran berbasis masalah mempunyai tujuan belajar yaitu siswa harus
memecahkan suatu masalah spesifik dan memahami materi yang terkait dengan
30
pembelajaran tersebut, untuk membantu siswa dalam memenuhi tujuan tersebut,
pembelajaran berbasis masalah terjadi dalam empat fase yaitu (Paul dan Don,
2012: 311):
Tabel 2.2. Fase Pembelajaran Berbasis Masalah
Fase Deskripsi
Fase 1: Mereview dan Menyajikan
Masalah. Guru mereview
pengetahuan yang dibutuhkan untuk
memecahkan masalah dan memberi
siswa masalah spesifik dan konkret
untuk dipecahkan.
Guru menarik perhatian siswa dan
menarik mereka ke dalam pelajaran,
dan secara informal menilai
pengetahuan awal serta memberika
fokus konkret untuk pelajaran.
Fase 2: Menyusun Strategi. Siswa
menyusun strategi untuk
memecahkan masalah dan guru
memberi mereka umpan balik soal
strategi.
Guru memastikan sebisa mungkin
bahwa siswa menggunakan pendekatan
berguna untuk memecahkan masalah.
Fase 3: Menerapkan Strategi. Siswa
menerapkan strategi-strategi mereka
saat guru secara cermat memonitor
upaya mereka dan mmberikan umpan
balik.
Guru memberi siswa pengalaman untuk
memcahkan masalah.
Fase 4: Membahas dan Mengevaluasi
Hasil. Guru membimbing diskusi
tentang upaya siswa dan hasil yang
mereka dapatkan.
Guru memberi siswa umpan balik
tentang upaya mereka.
Kegiatan kelompok pada pembelajaran berbasis masalah memberikan
kesempatan kepada siswa untuk saling bekerjasama dalam menyelesaikan
masalah sehingga kemampuan pemecahan masalah pada setiap siswa dapat
berkembang melalui kegiatan diskusi. Pernyataan tersebut diperkuat oleh
Mudjiono (2002: 3) yang menyatakan bahwa diantara tujuan pembelajaran secara
kelompok adalah memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan
kemampuan memecahkan masalah secara rasional, mengembangkan sikap sosial
31
dan semangat gotong royong dalam kehidupan, dan mendinamiskan kegiatan
kelompok dalam belajar, sehingga setiap anggota merasa diri sebagai bagian
kelompok yang bertanggung jawab.
Setiap pembelajaran yang dilakukan tidak mungkin ada yang sempurna,
pasti ada kelebihan dan kelemahan meskipun porsi kelebihan dan kelemahan
masing-masing pembelajaran tersebut berbeda. Kelebihan dan kelemahan
pembelajaran berbasis masalah (Sanjaya, 2009: 220-221), yaitu :
a. Kelebihan
1) Menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk
menemukan pengetahuan baru bagi siswa.
2) Meningkatkan motivasi dan aktivitas pembelajaran siswa.
3) Membantu siswa dalam mentransfer pengetahuannya untuk memahami
masalah dunia nyata.
4) Membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan
bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. Selain itu,
pembelajaran berbasis masalah dapat mendorong siswa untuk melakukan
evaluasi sendiri baik terhadap hasil maupun proses belajarnya.
5) Mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan
mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan
pengetahuan baru.
6) Memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan
yang mereka miliki dalam dunia nyata.
32
7) Mengembangkan minat siswa untuk secara terus menerus belajar sekalipun
belajar pada pendidikan formal telah berakhir.
8) Memudahkan siswa dalam menguasai konsep-konsep yang dipelajari guna
memecahkan masalah dunia nyata.
b. Kelemahan
1) Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan
bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan
merasa enggan untuk mencobanya.
2) Sebagian siswa beranggapan bahwa tanpa pemahaman mengenai materi
yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah, mereka enggan berusaha
untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka akan
belajar apa yang mereka ingin pelajari.
Kelemahan dalam pembelajaran berbasis masalah harus dapat
diminimalisir, dalam penelitian ini cara meminimalkan kelemahan dari
pembelajaran berbasis masalah adalah dengan bantuan LAS (Lembar Aktivitas
Siswa) dengan pendekatan PBL, LAS tersebut akan mempermudah siswa dalam
menyelesaikan permasalahan dalam pembelajaran karena dilengkapi dengan cara-
cara yang mudah dibayangkan oleh siswa.
Berdasarkan uraian tentang pengertian PBL, maka dapat disimpulkan
bahwa PBL dalam penelitian ini adalah pendekatan pembelajaran yang
berbasiskan pada masalah-masalah dunia nyata yang dalam penyelidikannya
memungkinkan siswa untuk menginterpretasikan dan menjelaskan fenomena
dunia nyata dan membangun pemahamannya tentang fenomena tersebut.
33
4. Think Pair Share (TPS)
Think Pair Share adalah suatu model pembelajaran kooperatif yang
memberi siswa waktu untuk berpikir dan merespon serta saling bantu sama lain
(Shoimin, 2014: 208). Menurut Lie (2002: 57), model pembelajaran kooperatif
tipe TPS adalah salah satu tipe model pembelajaran kooperatif yang memberi
kesempatan kepada setiap peserta didik untuk menunjukkan partisipasi kepada
orang lain. Pembelajaran kooperatif TPS relatif lebih sederhana karena tidak
menyita waktu yang lama untuk mengatur tempat duduk ataupun
mengelompokkan siswa. TPS adalah sebuah model yang dikembangkan oleh
Frank Lyman dari University of Maryland. Model ini dirancang untuk
mempengaruhi pola interaksi siswa sebagai alternatif struktur kelas tradisional
(Slavin, 2008: 257).
Keterampilan sosial dalam proses pembelajaran TPS antara lain
(Shoimin, 2014: 209-210):
a. Keterampilan sosial siswa dalam berkomunikasi meliputi dua aspek.
1) Aspek bertanya
Aspek bertanya meliputi keterampilan sosial siswa dalam hal bertanya
kepada teman dalam satu kelompoknya ketika ada materi yang kurang
dimengerti serta bertanya kepada diskusi kelas.
2) Aspek menyampaikan ide atau pendapat
Meliputi keterampilan siswa menyampaikan pendapat saat diskusi
kelompok serta berpendapat (memberikan tanggapan atau sanggahan) saat
kelompok lain presentasi.
34
b. Keterampilan sosial aspek kerjasama
Keterampilan sosial siswa pada aspek yang bekerjasama meliputi
keterampilan sosial siswa dalam hal bekerja sama dengan teman satu kelompok
untuk menyelesaikan soal yang diberikan oleh guru.
c. Keterampilan sosial aspek menjadi pendengar yang baik
Keterampilan sosial pada aspek menjadi pendengar yang baik, yaitu
keterampilan dalam hal mendengarkan guru, teman dari kelompok lain saat
sedang presentasi maupun saat teman dari kelompok lain berpendapat.
d. Komponen pembelajaran kooperatif tipe TPS
Pembelajaran TPS mempunyai beberapa komponen :
1) Think (Berpikir)
Pelaksanaan pembelajaran diawali dari berpikir sendiri mengenai
pemecahan suatu masalah. Tahap berpikir menuntut siswa untuk lebih
tekun dalam belajar dan aktif mencari referensi agar lebih mudah dalam
memecahkan masalah atau soal yang diberikan oleh guru.
2) Pair (Berpasangan)
Setelah diawali dengan berpikir, siswa kemudian diminta untuk
mendiskusikan hasil pemikirannya secara berpasangan. Tahap diskusi
merupakan tahap menyatukan pendapat masing-masing siswa guna
memperdalam pengetahuan mereka. Diskusi dapat mendorong siswa untuk
aktif menyampaikan pendapat dan mendengarkan pendapat orang lain
dalam kelompok serta mampu bekerja sama dengan orang lain.
35
3) Share (Berbagi)
Setelah mendiskusikan hasil pemikirannya, pasangan-pasangan siswa yang
ada diminta untuk berbagi hasil pemikiran yang telah dibicarakan bersama
pasangannya masing-masing kepada seluruh kelas. Tahap berbagi
menuntut siswa untuk mampu mengungkapkan pendapatnya secara
bertanggungjawab, serta mampu mempertahankan pendapat yang telah
disampaikannya.
Menurut Shoimin (2014: 211-212) kelebihan dan kekurangan model
pembelajaran kooperatif tipe TPS adalah sebagai berikut:
a. Kelebihan
1) Think Pair Share mudah diterapkan di berbagai jenjang pendidikan dan
dalam setiap kesempatan.
2) Menyediakan waktu berpikir untuk meningkatkan kualitas respon siswa.
3) Siswa menjadi lebih aktif dalam berpikir mengenai konsep dalam mata
pelajaran.
4) Siswa lebih memahami tentang konsep topik pelajaran selama diskusi.
5) Siswa dapat belajar dari siswa lain.
6) Setiap siswa dalam kelompoknya mempunyai kesempatan untuk berbagi
atau menyampaikan idenya.
b. Kekurangan
1) Banyak kelompok yang melapor dan perlu dimonitor.
2) Lebih sedikit ide yang mucul.
3) Jika ada perselisihan, tidak ada penengah.
36
5. Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional merupakan suatu proses pembelajaran yang
sering digunakan oleh guru-guru sebagai metode alternatif yang efektif untuk
menyampaikan materi dan efisien terhadap waktu yang digunakan. Pada
pembelajaran konvensional, biasanya guru menyampaikan materi menggunakan
metode ceramah dan penugasan.
Menurut Djamarah dan Zain (2010: 97) metode ceramah adalah metode
yang dikatakan tradisional, karena sejak dulu metode ini telah dipergunakan
sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan anak didik dalam proses belajar
mengajar. Metode ceramah merupakan metode yang paling lama digunakan dan
dapat menyangkut banyak materi atau ide-ide yang akan dikemukakan oleh guru
atau penceramah (Poedjiadi, 2010: 89). Setiap metode memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing, begitu pula dengan metode ceramah. Berikut ini
adalah kelebihan dan kekurangan metode ceramah (Ibrahim dan Suparni, 2008:
107):
a. Kelebihan Metode Ceramah
1) Isi silabus dapat disampaikan sesuai jadwal.
2) Metode ini dapat menampung kelas besar.
3) Konsep yang disampaikan guru dapat urut.
4) Guru dapat menekankan hal-hal penting untuk dipelajari.
b. Kekurangan Metode Ceramah
1) Penerimaan dan ingatan kepada konsep atau informasi bukan tujuan utama
dari belajar matematika, tapi mengutamakan proses berfikir.
37
2) Siswa menjadi pasif karena tidak mempunyai kesempatan untuk
menemukan sendiri.
3) Guru tidak dapat memberikan bimbingan individual anak.
4) Ketidakpahaman siswa pada satu konsep karena padatnya materi yang
diberikan, membuat siswa tidak paham pada materi berikutnya.
5) Pelajaran berjalan membosankan.
6) Materi yang diberikan menjadi mudah dilupakan.
Menurut Sanjaya (2006: 148-149) keunggulan metode ceramah dan
kelemahannya adalah sebagai berikut:
a. Keunggulan:
1) Metode yang “murah” dan “mudah” untuk dilakukan.
2) Menyajikan materi pelajaran yang luas.
3) Memberikan pokok-pokok materi yang perlu ditonjolkan.
4) Mudah mengontrol keadaan kelas.
5) Organisasi kelas dapat diatur menjadi lebih sederhana.
b. Kelemahan:
1) Materi yang dikuasai siswa akan terbatas dengan apa yang dikuasai guru.
2) Dapat mengakibatkan terjadinya verbalisme.
3) Sering dianggap sebagai metode yang membosankan.
4) Sulit mengetahui apakah siswa sudah mengerti apa yang dijelaskan atau
belum.
Dalam proses pembelajaran, siswa lebih bersifat pasif yaitu hanya
memperhatikan penyampaian materi dari guru, mencatat, dan mengerjakan latihan
38
soal yang diberikan oleh guru. Siswa juga tidak bebas dalam mengemukakan
pendapatnya, mereka merasa takut akan disalahkan ketika mengemukakan
pendapat atau jawaban, sehingga sulit untuk mengembangkan potensi-potensi
yang dimiliki oleh siswa.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
konvensional yang digunakan dalam penelitian ini adalah pembelajaran yang
biasa digunakan oleh guru matematika di sekolah dalam menyampaikan materi
kepada siswa yaitu pendekatan saintific berupa metode ceramah dan penugasan.
6. Pemecahan Masalah
Masalah merupakan hal yang melekat dengan kehidupan manusia. Masalah
adalah gap atau kesenjangan antara situasi nyata dengan kondisi yang diharapkan,
atau antara kenyataan yang terjadi dengan apa yang diharapkan (Sanjaya 2008:
216). Masalah merupakan bagian dari kehidupan manusia baik bersumber dari
dalam diri maupun lingkungan sekitar (Hartono, 2014: 1). Masalah merupakan
pertanyaan yang harus dijawab atau direspon tetapi tidak semua pertanyaan
merupakan masalah. Menurut Charles dan Lester masalah dalam matematika
dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu (Zakaria, 2007: 113) :
a. Masalah rutin merupakan masalah berbentuk latihan yang
berulang-ulang dan melibatkan langkah-langkah dalam
penyelesaiannya.
b. Masalah tidak rutin ada dua yaitu :
1) Masalah proses yaitu masalah yang memerlukan
perkembangan strategi untuk memahami suatu masalah dan
menilai langkah penyelesaian tersebut.
2) Masalah yang berbentuk teka-teki yaitu masalah yang
memberikan peluang kepada siswa untuk melibatkan diri
dalam pemecahan masalah tersebut.
39
Pertanyaan yang merupakan masalah adalah pertanyaan yang merupakan
tantangan dan tidak dapat diselesaikan dengan prosedur rutin (Al.Krismanto,
2003: 5). Masalah atau problem merupakan pertanyaan yang harus direspon siswa
(Setiawan, 2010: 28). Menurut Cooney et al (Shadiq, 2009: 8)
“…for question to be a problem, it must present a challenge that
cannot be resolved by some routine procedure known to be
student.” Jika diterjemahkan “Suatu soal akan menjadi masalah
hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan
(Challenge) yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur
rutin (routine procedure) yang sudah diketahui siswa”.
Problem solving adalah belajar memecahkan masalah. Pada tingkat ini para
peserta didik belajar merumuskan memecahkan masalah, memberikan respon
terhadap rangsangan yang menggambarkan atau membangkitkan situasi
problematik, yang mempergunakan beberapa kaidah yang telah dikuasainya
(Djamarah dan Zain, 2010: 18).
Menurut Mayer (Wena, 2009: 87) terdapat tiga karakteristik pemecahan
masalah, yaitu:
a. Pemecahan masalah merupakan aktivitas kognitif, tetapi dipengaruhi oleh
perilaku.
b. Hasil-hasil pemecahan masalah dapat dilihat dari tindakan/perilaku dalam
mencari pemecahan masalah.
c. Pemecahan masalah adalah suatu proses tindakan manipulasi dari
pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
Jadi, pemecahan masalah adalah aktivitas kognitif yang merupakan proses
menggunakan kemampuan berpikir dan bernalar dari pengetahuan matematika
yang dimiliki sebelumnya untuk menyelesaikan masalah.
40
Pada hakikatnya program pembelajaran tidak hanya bertujuan untuk
memahami dan menguasai apa dan bagaimana sesuatu terjadi, tetapi juga memberi
pemahaman dan penguasaan tentang mengapa hal itu terjadi. Kemampuan
pemecahan masalah sangat penting artinya bagi siswa dan masa depannya (Wena,
2009: 53). Menurut Suharsono kemampuan pemecahan masalah dalam batas-
batas tertentu, dapat dibentuk melalui bidang studi dan disiplin ilmu yang
diajarkan. Persoalan tentang bagaimana mengajarkan pemecahan masalah tidak
akan pernah terselesaikan tanpa memperhatikan jenis masalah yang ingin
dipecahkan, saran dan bentuk program yang disiapkan untuk mengajarkannya,
serta variabel-variabel pembawaan siswa (Wena, 2009: 53).
Kegiatan belajar memecahkan masalah merupakan tipe kegiatan belajar
dalam usaha mengembangkan kemampuan berpikir. Berpikir adalah aktivitas
kognitif tingkat tinggi yang melibatkan asimilasi dan akomodasi berbagai
pengetahuan dan struktur kognitif atau skema kognitif yang dimiliki peserta didik
untuk memecahkan masalah (Suprijono, 2009: 10). Keterampilan serta
kemampuan berpikir yang diperoleh ketika siswa memecahkan masalah diyakini
dapat ditransfer atau digunakan siswa tersebut ketika menghadapi masalah di
dalam kehidupan sehari-hari.
Pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang
sangat penting karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaian masalah,
siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta
keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada soal pemecahan masalah
yang bersifat tidak rutin. Istilah pembelajaran pemecahan masalah atau belajar
41
memecahkan masalah dijelaskan Cooney et al (Shadiq, 2009: 4) sebagai berikut:
”the action by which a teacher encourages student to accept a challenging
question and guides them in their resolution”. Hal ini menunjukkan bahwa
pembelajaran pemecahan masalah adalah suatu tindakan (action) yang dilakukan
guru agar para siswanya termotivasi untuk menerima tantangan yang ada pada
pertanyaan (soal) dan mengarahkan para siswa dalam proses pemecahannya.
Menurut Polya (Dewanti, 2010: 125) terdapat empat fase dalam
pemecahan masalah, yaitu:
a. Memahami Masalah
Siswa dapat mengidentifikasi kelengkapan data termasuk mengungkap data
yang masih samar-samar yang berguna dalam penyelesaian.
b. Menyusun Rencana
Siswa dapat membuat beberapa alternatif jalan penyelesaian untuk menuju
jawaban.
c. Melakukan Rencana
Siswa dapat melaksanakan langkah b dan mencoba melakukan semua
kemungkinan yang dapat dilakukan.
d. Memeriksa Kembali Kebenaran Jawaban
Siswa dapat melengkapi langkah-langkah yang telah dibuatnya ataupun
membuat alternatif jawaban lain.
Berdasarkan penjelasan pemecahan masalah di atas, kemampuan pemecahan
masalah matematika merupakan kemampuan dalam aktivitas kognitif yang
merupakan proses menggunakan kemampuan berpikir dan bernalar dari
42
pengetahuan matematika yang dimiliki sebelumnya untuk menyelesaikan
masalah.
Indikator kemampuan memecahkan masalah matematika siswa yang
digunakan dalam penelitian adalah yang mengacu pada pendapat Polya karena
telah mencakup keseluruhan dari pendapat-pendapat yang lain, indikator menurut
Polya yaitu: 1) memahami masalah; 2) menyusun rencana; 3) melakukan rencana;
dan 4) memeriksa kembali kebenaran jawaban. Hal tersebut untuk mengetahui
kemampuan pemecahan masalah siswa secara bertahap.
7. Self Confidence
Self confidence berarti kepercayaan diri. Kepercayaan diri siswa merupakan
keyakinan dalam diri siswa akan kemampuannya dalam menyelesaikan masalah.
Sejalan dengan itu Marsa (2014: 13) menyatakan bahwa self confidence adalah
kemampuan dan keyakinan diri sendiri untuk membentuk pemahaman dan
keyakinan siswa tentang kemampuannya dalam menyelesaikan suatu
permasalahan. Kepercayaan diri bukan merupakan bakat (bawaan), melainkan
kualitas mental artinya kepercayaan diri merupakan pencapaian yang dihasilkan
dari proses pendidikan atau pemberdayaan. Menurut Hakim (2002: 6) percaya diri
merupakan keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang
dimilikinya dan keyakinan tersebut membuatnya merasa mampu untuk bias
mencapai berbagai tujuan hidupnya. Rasa percaya diri merupakan suatu
keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang ada pada dirinya dan
diwujudkan dalam tingkah lakunya sehari-hari (Hakim, 2002: 6).
43
Kepercayaan diri diartikan sebagai dimensi evaluatif yang menyeluruh dari
diri (Santrock, 2007: 231). Kepercayaan diri atau keyakinan diri diartikan sebagai
suatu kepercayaan terhadap diri sendiri yang dimiliki setiap individu dalam
kehidupannya, serta bagaimana individu tersebut memandang dirinya secara utuh
dengan mengacu pada konsep diri (Rakhmat, 2000: 21). Orang yang memiliki
kepercayaan diri akan memiliki keyakinan terhadap segala aspek kelebihan
dirinya sehingga mampu mengatasi ketakutan dan kecemasan dirinya. Menurut
Bandura, sebagaimana dikutip oleh Winataputra (2008: 17), perilaku seseorang
yang mempunyai keyakinan akan kemampuan diri adalah mereka akan
menghindari situasi-situasi yang diyakini akan melampaui kemampuannya dalam
mengatasi situasi tersebut dan akan melibatkan diri dalam situasi yang
diyakininya mampu ditanganinya. Rasa percaya diri atau Self-confidence
merupakan suatu sikap mental positif dari seorang individu yang memposisikan
atau mengkondisikan dirinya dapat mengevaluasi tentang diri sendiri dan
lingkungannya sehingga merasa nyaman untuk melakukan kegiatan dalam upaya
mencapai tujuan yang direncanakan (Suhendri, 2012: 398-399).
Sedangkan menurut Willis (Ghufron & Risnawita, S., 2012: 34) self
confidence adalah keyakinan bahwa seseorang mampu menanggulangi suatu
masalah dengan situasi terbaik dan dapat memberikan sesuatu yang
menyenangkan bagi orang lain. Pendapat ini menunjukkan bahwa self confidence
merupakan suatu keyakinan. Self confidence merupakan anggapan seseorang
mengenai kesanggupan-kesanggupannya dalam menghadapi berbagai hal. Terkait
matematika, McLeod mengungkapkan bahwa rasa percaya diri merupakan
44
keyakinan tentang kompetensi diri dalam matematika dan kemampuan seseorang
dalam matematika yang merupakan hasil dari proses belajar dan berlatih
mengerjakan soal-soal matematika (Margono, 2005: 47).
Menurut Jacinta F. Rini (Ismawati, 2009: 47), kepribadian yang percaya diri
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Tidak terdorong untuk menunjukan sikap konfromis demi diterima orang lain
atau kelompok
b. Berani menerima dan menghadapi penolakan dari orang lain (berani menjadi
diri sendiri)
c. Punya pengendalian yang baik (tidak moody dan emosinya stabil)
d. Memiliki internal locus of control (memandang keberhasilan atau kegagalan
tergantung dari usaha diri sendiri dan tidak mudah menyerah pada nasib atau
keadaan serta tidak tergantung/mengharapkan bantuan orang lain)
e. Mempunyai cara pandang yang positif terhadap diri sendiri, orang lain dan
situasi di luar dirinya
Ada 5 aspek pembangun self confidence yaitu: self awareness, intention,
thinking, imagination, dan acting ‘as if’ (Preston, 2001: 14). Margono (2005: 48-
49) mengungkapkan bahwa self-confidence siswa dalam belajar matematika dapat
dibagi dalam tiga aspek yaitu: (1) kepercayaan terhadap pemahaman dan
kesadaran diri terhadap kemampuan matematikanya, (2) kemampuan untuk
menentukan secara realistik sasaran yang ingin dicapai dan menyusun rencana
aksi sebagai usaha meraih sasaran, serta (3) kepercayaan terhadap matematika itu
sendiri.
45
Margono (2005: 48) membagi rasa percaya diri seseorang terhadap
matematika menjadi tiga komponen. Pertama, kepercayaan terhadap pemahaman
dan kesadaran diri terhadap kemampuan matematikanya, yaitu dalam menghadapi
kegagalan atau keberhasilan dan dalam bersaing dan dibandingkan dengan teman-
temannya. Kedua, kemampuan untuk menentukan secara realistik sasaran yang
ingin dicapai dan menyusun rencana aksi sebagai usaha untuk meraih sasaran
yang telah ditentukan, yaitu tahu keterbatasan diri dalam menghadapi persaingan
dengan teman-temannya dan tahu keterbatasan diri dalam menghadapi
matematika. Ketiga, kepercayaan terhadap matematika itu sendiri, yaitu
matematika sebagai sesuatu yang abstrak, matematika sebagai sesuatu yang sangat
berguna, matematika sebagai suatu seni, intuisi, analisis, dan rasional, serta
matematika sebagai kemampuan bawaan. Self confidence dalam matematika
sangatlah penting, sebab dengan self confidence yang baik siswa mendapat
dorongan untuk lebih aktif dan membantu siswa mengambil keputusan dalam
penyelesaian masalah. Pentingnya self confidence siswa dalam pembelajaran
matematika juga diungkapkan Margono (2005: 48-49) dalam tiga aspek yang
harus dimiliki siswa yaitu: (1) kepercayaan terhadap pemahaman dan kesadaran
diri terhadap kemampuan matematikanya, (2) kemampuan untuk menentukan
secara realistik sasaran yang ingin dicapai dan menyusun rencana aksi sebagai
usaha meraih sasaran, serta (3) kepercayaan terhadap matematika itu sendiri.
Menurut Lauster (Rondonuvu, 2013: 16), ciri-ciri orang yang mempunyai
kepercayaan diri adalah sebagai berikut:
a. Percaya pada kemampuan sendiri
46
Suatu keyakinan atas diri sendiri terhadap segala fenomena yang terjadi,
yang berhubungan dengan kemampuan individu untuk mengevaluasi serta
mengatasi fenomena yang terjadi. Kemampuan adalah potensi yang dimiliki
seseorang untuk meraih atau dapat diartikan sebagai bakat, kreativitas,
kepandaian, prestasi, kepemimpinan dan lain-lain yang dipakai untuk
mengerjakan sesuatu. Kepercayaan atau keyakinan pada kemampuan yang ada
pada diri seseorang adalah salah satu sifat orang yang percaya diri. Apabila
orang yang percaya diri telah meyakini kemampuan dirinya dan sanggup untuk
mengembangkannya, rasa percaya diri akan timbul bila seseorang melakukan
kegiatan yang bisa dia lakukan. Artinya keyakinan dan rasa percaya diri itu
timbul pada saat seseorang mengerjakan sesuatu dengan kemampuan yang ada
pada dirinya.
b. Bertindak mandiri dalam mengambil keputusan
Bertindak dalam mengambil keputusan terhadap diri yang dilakukan secara
mandiri atau tanpa adanya keterlibatan orang lain, dan mampu untuk meyakini
tindakan yang diambil. Individu terbiasa menentukan sendiri tujuan yang bisa
dicapai, tidak selalu harus bergantung pada orang lain untuk menyelesaikan
masalah yang ia hadapi. Serta mempunyai banyak energi dan semangat karena
mempunyai motivasi yang tinggi untuk bertindak mandiri dalam mengambil
keputusan seperti yang ia inginkan dan butuhkan.
c. Memiliki rasa positif terhadap diri sendiri
Adanya penilaian yang baik dari dalam diri sendiri, baik dari pandangan
maupun tindakan yang dilakukan yang menimbulkan rasa positif terhadap diri
47
sendiri. Sikap menerima diri apa adanya itu, akhirnya dapat tumbuh
berkembang sehingga orang percaya diri dan dapat menghargai orang lain
dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Seseorang yang memiliki
kepercayaan diri, jika mendapat kegagalan biasanya mereka tetap dapat
meninjau kembali sisi positif dari kegagalan itu. Setiap orang pasti pernah
mengalami kegagalan baik kebutuhan, harapan dan cita-cita. Untuk menyikapi
kegagalan dengan bijak diperlukan sebuah keteguhan hati dan semangat untuk
bersikap positif.
d. Berani mengungkapkan pendapat
Adanya suatu sikap untuk mampu mengutarakan sesuatu dalam diri, yang
ingin diungkapkan kepada orang lain tanpa adanya paksaan atau rasa yang
dapat menghambat pengungkapan tersebut. Individu dapat berbicara di depan
umum tanpa adanya rasa takut, berbicara dengan memakai nalar dan secara
fasih, dapat berbincang-bincang dengan orang dari segala usia dan segala jenis
latar belakang. Menyatakan kebutuhan secara langsung, terbuka, berani
mengeluh jika merasa tidak nyaman dan dapat berkampanye di depan orang
banyak.
Berdasarkan penjelasan self confidence di atas, pada penelitian ini
menggunakan indikator self confidence menurut Lauster untuk mengetahui self
confidence siswa, yaitu indikator: 1) Percaya pada kemampuan sendiri; 2)
Bertindak mandiri dalam mengambil keputusan; 3) Memiliki rasa positif terhadap
diri sendiri; dan 4) Berani mengungkapkan pendapat. Hal tersebut untuk
mengetahui self confidence siswa secara bertahap.
48
B. Penelitian yang Relevan
Dalam penelitian yang akan dilakukan ini, penelitian yang relevan adalah:
1. Penelitian Endah Tri Septiana, penelitiannya mengenai efektivitas
pembelajaran matematika menggunakan pendekatan PBL dipadukan dengan
metode TPS terhadap pemahaman relasional siswa. penelitian tersebut relevan
karena variabel bebasnya sama akan tetapi variabel terikatnya berbeda. hal
tersebut menjadi inovasi bagi peneliti yaitu dari variabel terikat pemahaman
relasional menjadi kemampuan pemecahan masalah dan self confidence. hasilnya
adalah bahwa pembelajaran dengan menggunakan pendekatan PBL yang
dipadukan dengan metode TPS lebih efektif daripada model pembelajaran
konvensional terhadap pemahaman relasional siswa.
2. Penelitian Erni Astutiningsih Dwi Santoso, penelitiannya mengenai
efektivitas PBL dipadukan dengan pembelajaran two stay two stray terhadap
peningkatan kemampuan memecahkan masalah matematika dan motivasi belajar
siswa sma. Penelitian tersebut relevan karena salah satu variabel bebasnya sama
yaitu PBL dan sama variabel terikatnya juga sama yaitu kemampuan pemecahan
masalah. Hasil dari penelitian ini adalah PBL dipadukan dengan pembelajaran
TSTS lebih efektif dibandingkan dengan PBL dan pembelajaran konvensional
terhadap peningkatan kemampuan memecahkan masalah matematika, PBL lebih
efektif dibandingkan dengan pembelajaran konvensional terhadap peningkatan
kemampuan memecahkan masalah dan PBL tidak lebih efektif dibandingkan
dengan pembelajaran konvensional terhadap kemampuan memecahkan masalah
matematika.
49
3. Penelitian Silvi Erawati Sintia, penelitiannya mengenai efektivitas model
pembelajaran kooperatif tipe TSTS dan TPS berbantu LKS berbasis PMRI
terhadap kemampuan pemecahan masalah dan keaktifan belajar matematika
siswa. Penelitian tersebut relevan karena sama variabel bebasnya yaitu TPS dan
juga variabel terikatnya sama yaitu kemampuan pemecahan masalah. Hasil
penelitiannya adalah model pembelajaran TSTS dan TPS lebih efektif
dibandingkan model pembelajaran konvensional terhadap pemecahan masalah,
tetapi model pembelajaran TSTS dan TPS tidak lebih efektif dibandingkan model
pembelajaran konvensional terhadap keaktifan belajar matematika siswa, model
pembelajaran TSTS lebih efektif dibandingkan model pembelajaran TPS terhadap
kemampuan pemecahan masalah, serta model pembelajaran TSTS tidak lebih
efektif dibandingkan model pembelajaran TPS terhadap keaktifan belajar
matematika siswa.
4. Penelitian Siti Surasni Widiarti, penelitiannya mengenai efektivitas
pendekatan PBL dikolaborasikan dengan metode NHT terhadap pemahaman
konsep dan kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik kelas VII
SMP Negeri 2 Bambanglipuro. Penelitian tersebut relevan karena sama variabel
bebasnya yaitu Problem Based Learning dan sama variabel terikatnya yaitu
kemampuan pemecahan masalah. Hasil penelitiannya adalah pendekatan PBL
dengan metode NHT lebih efektif dibandingkan pembelajaran konvensional
terhadap kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan pemahaman konsep,
pendekatan PBL dengan metode NHT tidak lebih efektif dibandingkan
pendekatan PBL terhadap pemahaman konsep, pendekatan PBL dengan metode
50
NHT lebih efektif dibandingkan pendekatan PBL terhadap kemampuan
pemecahan masalah, pendekatan PBL dibandingkan pembelajaran konvensional
lebih efektif terhadap pemahaman konsep dan tidak lebih efektif terhadap
pemecahan masalah.
Tabel 3.3. Penelitian Relevan
Endah
Ern
i
Sil
vi
Sit
i
Sugia
rti
Variabel
Terikat
Kemampuan Pemecahan
Masalah - √ √ √ √
Self Confidence - - - - √
Variabel
Bebas
Problem Based Learning √ √ - √ √
Metode Think Pair Share √ - √ - √
C. Kerangka Berpikir
Berdasarkan hasil penelusuran dan penelaahan terhadap masalah yang
terjadi tentang rendahnya kemampuan pemecahan masalah siswa dan self
confidence, terhadap teori-teori serta penelitian yang relevan, peneliti mempunyai
dugaan bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan PBL dipadukan
dengan model pembelajaran kooperatif tipe TPS dapat meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah dan self confidence. Melalui model yang digunakan siswa
diberi kesempatan untuk menggali dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan
mereka untuk memecahkan masalah yang terdapat di dalam materi dan soal,
kemudian siswa diberi kesempatan untuk bekerjasama untuk mendiskusikan cara
memecahkan masalah dan kemudian siswa diberi kesempatan untuk
mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas.
51
PBL yang merupakan metode intruksional yang menantang peserta didik
agar belajar untuk belajar bekerjasama dalam kelompok untuk mencari solusi bagi
masalah yang nyata. Pendekatan ini melatih siswa untuk memecahkan masalah
dengan pengetahuan yang dimilikinya. Masalah digunakan untuk mengaitkan rasa
keingintahuan, kemampuan analitis dan inisiatif siswa terhadap materi pelajaran.
TPS sebagai metode yang menjadikan siswa berpikir dalam memecahkan masalah
secara individu kemudian secara berkelompok atau diskusi juga meningkatkan
self confidence siswa serta dalam menyampaikan pendapatnya saat berdiskusi
serta dalam mempresentasikannya di depan kelas juga meningkatkan self
confidence siswa.
Gambar 2.1. Hubungan antar Variabel
52
Berdasarkan pemaparan tersebut, peneliti terdorong untuk mengetahui
peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan self confidence siswa melalui
pembelajaran matematika menggunakan pendekatan PBL dengan model
pembelajaran kooperatif tipe TPS. Pembelajaran matematika dengan
menggunakan pendekatan TPS dengan model pembelajaran kooperatif tipe TPS
diharapkan berpengaruh paling baik terhadap peningkatan kemampuan
pemecahan masalah dan self confidence.
D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah dugaan sementara yang perlu diuji lebih dulu kebenarannya.
Hipotesis dalam penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model pembelajaran
kooperatif tipe TPS paling berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan
pemecahan masalah matematika.
2. Pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model pembelajaran
kooperatif tipe TPS paling berpengaruh terhadap peningkatan self confidence.
53
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang berjudul “Pengaruh Penerapan Pendekatan Problem
Based Learning (PBL) dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair
Share (TPS) terhadap Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
dan Self Confidence” ini merupakan penelitian quasi eksperimen. Penelitian ini
menggunakan desain kelompok kontrol non ekuivalen (nonequivalent control
group design). Desain ini hampir sama dengan pretest control group design,
hanya pada desain ini kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol tidak
dipilih secara random (Sugiyono, 2010: 79), dengan ilustrasi sebagai berikut:
Tabel 3.1. Nonequivalent Control Group Design
Kelompok Pretest Treatment Posttest
Kelas Eksperimen 1 O1 X1 O2
Kelas Eksperimen 2 O1 X2 O2
Kelas Kontrol O1 O2
Keterangan:
O1 = pretest/prescale
O2 = posttest/postscale
X1 = treatment 1 (Pembelajaran dengan pendekatan PBL)
X2 = treatment 2 (Pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan
model pembelajaran koopertaif tipe TPS)
B. Variabel Penelitian
Pada penelitian yang akan dilaksanakan ini terdapat dua variabel sebagai
berikut:
54
1. Variabel Bebas
Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi
sebab perubahannya atau timbulnya variabel terikat (Sugiyono, 2010: 61).
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pendekatan PBL dan model
pembelajaran kooperatif tipe TPS.
2. Variabel Terikat
Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat,
karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2010: 61). Variabel terikat dalam
penelitian ini adalah kemampuan pemecahan masalah dan self confidence.
C. Faktor yang Dikontrol
Faktor yang dikontrol pada penelitian ini adalah :
1. Materi pelajaran yang diberikan sama untuk ketiga kelas.
2. Pelaksanaan proses pembelajaran di kelas tersebut dilaksanakan oleh guru
yang sama.
D. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 9 Yogyakarta pada semester genap
tahun ajaran 2016/2017.
E. Populasi dan Sampel
Kelompok besar dan wilayah yang menjadi lingkup penelitian kita disebut
populasi (Sukmadinata, 2005: 250). Populasi dalam penelitian ini adalah kelas VII
SMP Negeri 9 Yogyakarta tahun ajaran 2016/2017 yang digambarkan dalam tabel
berikut:
55
Tabel 3.2. Populasi Penelitian
Kelas Banyak Siswa
VII A 34
VII B 34
VII C 34
VII D 34
VII E 34
VII F 34
Jumlah 204
Apabila populasi besar dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang
ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka
peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Populasi
adalah keseluruhan subyek penelitian sedangkan sampel adalah sebagian atau
wakil populasi yang akan diteliti (Arikunto, 2006: 115-117). Apa yang dipelajari
pada sampel itu, kesimpulannya akan dapat diberlakukan untuk populasi. Untuk
itu sampel yang diambil dari populasi harus benar-benar representatif (mewakili).
Random selection (pemilihan sampel dari populasi) sulit dilakukan dalam
penelitian eksperimental untuk pendidikan matematika, demikian juga random
assigment (pemilihan kelas kontrol dan eksperimen), karena siswa sudah
berkelompok dalam kelas yang terbentuk. Oleh karena itu yang terpenting adalah
dipenuhinya esensi keterwakilan sampel serta kesetaraan dua kelompok sampel
dapat dipenuhi (“mendekati dipenuhi”). Pernyataan tersebut dipertegas oleh
Sarwono (2006: 76) yang menyatakan bahwa untuk mendapatkan hasil
eksperimen yang baik, peneliti perlu memilih anggota kelompok pengontrol yang
mempunyai kemiripan karakteristik dengan kelompok eksperimen (Sarwono,
2006: 76). Random selection dalam penelitian ini menyerupai dengan apa yang
dinyatakan oleh beberapa buku yang disebut cluster random sampling, dimana
56
pemilihan sampel mengacu pada kelompok bukan pada individu. Sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII C, kelas VII D dan kelas
VII E SMP Negeri 9 Yogyakarta tahun ajaran 2016/2017.
Kelas VII C, VII D dan kelas VII E memiliki karakteristik dan kemampuan
matematika yang hampir sama. Hal tersebut juga didukung dengan data rerata
nilai ulangan harian semester ganjil, kelas VII C , kelas VII D dan kelas VII E
memiliki rerata nilai ulangan harian yang hampir sama (setara) sehingga cukup
untuk mewakili populasi. Kesamaan tersebut dibuktikan dengan uji normalitas
dan uji homogenitas serta uji kesetaraan rata-rata pada nilai ulangan akhir
semester ganjil.
Berdasarkan rekomendasi dari sekolah dikatakan bahwa kepercayaan diri dan
kenakalan siswa merata di semua kelas, tidak ada kelas unggulan baik dalam hal
kemampuan matematika maupun dalam hal lain seperti kepercayaan diri. Kelas
VII C, kelas VII D, dan kelas VII E dapat dikatakan memiliki self confidence yang
hampir sama setiap kelasnya sehingga cukup untuk mewakili populasi.
Penentuan kelas eksperimen dan kelas kontrol dilakukan dengan pemilihan
pada lipatan kertas. Terdapat tiga lipatan kertas masing-maisng bertuliskan kelas
VII A, kelas VII B, VII C, kelas VII D, kelas VII E dan kelas VII E. Sebelumnya,
lipatan kertas yang pertama diambil oleh guru disepakati sebagai kelas kontrol
kemudian lipatan kertas yang diambil kedua disepakati sebagai kelas eksperimen
1 sedangkan sisanya sebagai kelas eksperimen 2. Berdasarkan pengacakan
tersebut terpilih bahwa kelas VII C sebagai kelas kontrol, kelas VII D sebagai
kelas eksperimen 1 dan kelas VII E sebagai kelas eksperimen 2.
57
F. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data berupa tes dan non tes. Tes
yang digunakan adalah tes kemampuan pemecahan masalah yang terdiri dari
empat butir soal. Non tes berupa skala self confidence yang terdiri dari 20
pernyataan. Tes dan non tes diberikan sebelum pembelajaran (pretest) dan setelah
pembelajaran (posttest) pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.
G. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti
untuk mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih
baik, dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah diolah
(Arikunto, 2006: 151). Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
meliputi instrumen pengumpulan data dan instrumen pembelajaran.
1. Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen pengumpulan data merupakan suatu alat yang digunakan oleh
peneliti untuk mengumpulkan data-data terkait dengan kemampuan pemecahan
masalah siswa dan self confidence. Adapun instrumen tersebut adalah
a. Soal Pretest Posttest Pemecahan Masalah.
Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian
ini adalah soal pretest posttest kemampuan pemecahan masalah. Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah tes. Tes adalah serentetan
pertanyaan atau latihan serta alat lain yang digunakan untuk mengukur
keterampilan, pengetahuan intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki
58
oleh individu atau kelompok (Arikunto, 2006: 193). Ada dua jenis tes, yaitu
tes tertulis dan tes lisan. Dalam penelitian ini digunakan tes tertulis dengan
bentuk soal uraian. Soal pretest dan posttest disusun dengan kalimat dan
tampilan yang berbeda dengan indikator yang berbeda pula, akan tetapi masih
dalam satu lingkup yaitu geometri.Tujuan penyusunan soal tersebut dibuat
dengan indikator berbeda untuk menghindari bias karena bisa jadi
kemampuan pemecahan masalah matematika rendah karena siswa belum
pernah mendapat materi.
Langkah-langkah pengembangan soal pretest dan posttest pemecahan
masalah adalah
1) Membuat kisi-kisi soal berdasarkan indikator tahap-tahap pemecahan
masalah serta kompetensi dasar yang harus dicapai.
2) Menyusun soal tes pemecahan masalah berdasarkan kisi-kisi soal yang
telah disusun.
3) Menyusun alternatif jawaban berdasarkan indikator tahap-tahap
pemecahan masalah.
4) Dilanjutkan menyusun pedoman penskoran.
5) Uji validitas instrumen kepada ahli.
6) Menentukan tingkat kesukaran, daya beda dan reliabilitas instrumen.
b. Skala Sikap Self Confidence
Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini
adalah prescale postscale self confidence. Skala berbeda dengan tes, kalau tes
ada jawaban salah atau benar, sedangkan skala tidak ada jawaban salah-benar,
59
tetapi jawaban atau respon responden terletak dalam satu rentang (skala)
(Sukmadinata, 2005: 225). Skala sikap digunakan untuk mengetahui sikap
self confidence. Skala sikap self confidence ini terdiri atas pernyataan yang
bersifat favourable (+) yang menunjukkan indikasi sesuai dengan teori, serta
pernyataan yang bersifat unfovourable (-) yang menunjukkan indikasi tidak
mendukung teori (Azwar, 2010). Pernyataan-pernyataan dalam skala self
confidence terdapat empat pilihan jawaban, yaitu: STS (Sangat Tidak Setuju),
TS (Tidak Setuju), S (Setuju), dan SS (Sangat Setuju). Langkah-langkah
pengembangan skala sikap meliputi :
1) Menyusun spesifikasi skala.
2) Menulis pernyataan skala.
3) Menelaah pernyataan skala meliputi :
a) Memperhatikan dan menimbang validitas isi dan konstruk yang
dilakukan oleh ahli bidang matematika dan psikologi.
b) Melakukan perbaikan atas dasar saran para ahli jika diperlukan.
4) Uji coba skala sikap dilakukan dengan alokasi waktu 7 menit dengan
jumlah pernyataan sebanyak 30.
5) Kuantifikasi data kualitatif ordinal menggunakan Successive Interval
Methods (SIM) dari hasil uji coba. Kemudian diuji reliabilitasnya.
6) Perakitan skala sikap bentuk akhir.
c. Catatan Lapangan
Catatan lapangan tidak memiliki bentuk yang baku sehingga tidak ada
aturan yang harus diterapkan dalam pembuatannya. Catatan lapangan
60
digunakan untuk mencatat kejadian-kejadian yang mendukung hasil analisis.
Catatan lapangan dibuat oleh peneliti selama pembelajaran berlangsung.
2. Instrumen Pembelajaran
Adapun instrumen pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini
adalah rencana pelaksanaan pembelajaran.
a) Lembar Observasi
Lembar observasi digunakan untuk menuliskan hasil dari observasi/
pengamatan. Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi
terstruktur. Observasi terstruktur dilakukan karena peneliti telah mengetahui
dengan pasti tentang variabel apa yang akan diamati (Sugiyono, 2012: 205).
Tujuan penggunaan lembar observasi adalah untuk mengamati proses
pembelajaran yang berlangsung dengan instrumen pembelajaran yang dibuat
sehingga dapat memperkuat terlaksananya instrumen pembelajaran dengan
pendekatan PBL dengan model pembelajaran kooperatif tipe TPS.
b) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
RPP merupakan suatu perkiraan atau proyeksi guru mengenai seluruh
kegiatan yang akan dilakukan baik oleh guru maupun peserta didik, terutama
dalam kaitannya dengan pembentukan kompetensi dan pencapaian tujuan
pembelajaran (Mulyasa, 2008: 155). Menurut Kunandar (2007: 240) rencana
pelaksanaan pembelajaran adalah rencana yang menggambarkan prosedur dan
pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar yang
ditetapkan dalam standar isi dan dijabarkan dalam silabus. komponen RPP
mencakup : 1) data sekolah, mata pelajaran, dan kelas/semester; 2) materi
61
pokok; 3) alokasi waktu; 4) tujuan pembelajaran; 5) materi pembelajaran; 6)
media, alat dan sumber belajar; 7) langkah-langkah kegiatan pembelajaran; 8)
penilaian. RPP yang digunakan terdiri dari tiga jenis, yaitu RPP Pembelajaran
dengan pendekatan PBL, RPP Pembelajaran dengan pendekatan PBL
dipadukan dengan metode TPS dan RPP Pembelajaran Konvensional.
c) Lembar Aktivitas Siswa (LAS)
Bahan ajar yang digunakan dalam penelitian ini adalah Lembar Aktivitas
Siswa (LAS) yang digunakan untuk kelas eksperimen. Lembar Aktivitas
Siswa (LAS) adalah lembaran-lembaran berisi tugas yang harus dikerjakan
oleh siswa. Lembar tersebut berisi petunjuk dan langkah-langkah untuk
menyelesaikan tugas yang diberikan guru kepada siswa. Struktur lembar kerja
siswa terdiri dari judul lembar kegiatan siswa, mata pelajaran, semester,
tempat, petunjuk belajar, kompetensi yang akan dicapai, indikator yang akan
dicapai, informasi pendukung, tugas, langkah-langkah, dan penilaian
(Widyantini, 2013: 3). LAS tersebut adalah LAS yang dikembangkan dengan
pendekatan PBL. LAS yang digunakan dikembangkan oleh peneliti sebelum
dilakukan penelitian. Tahap-tahap penyusunan LAS yaitu :
1) Membuat indikator yang digunakan dan disesuaikan dengan Kompetensi
Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD);
2) Mengembangkan LAS dengan pendekatan PBL;
3) Mengkonsultasikan LAS kepada Dosen Pembimbing;
4) Melakukan revisi sesuai perbaikan;
5) Menggandakan LAS
62
H. Teknik Analisis Instrumen
Instrumen yang baik harus memenuhi dua persyaratan penting yaitu
valid dan reliabel (Arikunto, 1990: 57). Sebuah instrumen dikatakan valid apabila
mampu mengukur apa yang seharusnya diukur, serta dapat mengungkap dari
variabel yang diteliti secara tepat. Reliabilitas menunjuk pada suatu pengertian
bahwa suatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat
pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik.
1. Validitas
a. Uji Validitas Pretest-Posttest dan Skala Sikap
Validitas dilakukan dengan validitas isi dan konstruk. Validitas isi
(content value), berkenaan dengan isi dan format dari instrumen
(Sukmadinata, 2005: 229). Validitas isi menjawab pertanyaan bahwa
instrumen benar-benar tepat mengukur apa yang akan diukur dengan setiap
butir pertanyaan mewakili aspek-aspek yang akan diukur. Menurut Azwar
(1999: 52) validasi isi terbagi menjadi dua tipe yaitu validitas muka dan
validitas logik. Validitas muka untuk mengukur ketepatan format dan konteks
soal. Validitas logik menunjuk pada sejauh mana isi tes merupakan wakil dari
ciri-ciri atribut yang hendak diukur sebagaimana telah ditetapkan dalam
domain ukurnya. Prosedur validitas konstruk diawali dari suatu idenfitikasi
dan batasan mengenai variabel yang hendak diukur yang dinyatakan sebagai
suatu bentuk konstruk logis berdasarkan teori mengenai variabel tersebut
(Azwar, 1999: 53).
63
Secara teknis pengujian validitas isi dan validitas konstruk dapat
dibantu dengan menggunakan kisi-kisi instrumen (Sugiyono, 2012: 182).
Validitas isi dan konstruk ini dilakukan dengan pertimbangan para ahli
sehingga penggunaan kisi-kisi instrumen mempermudah para ahli dalam
memberi pertimbangan terhadap isntrumen yang dibuat. Ahli dalam
penelitian ini berlatar belakang pendidikan S1 dan S2. Proses validasi
difasilitasi dengan lembar validasi yang dapat dilihat di Lampiran 4.1.
Hasil pertimbangan para ahli diuji dengan menggunakan Contain
Validity Ratio (CVR) yang dicetuskan oleh Lawshe. Lawshe (1975: 563-557)
menjelaskan langkah-langkah validitas dari para ahli sebagai berikut :
1) Menentukan kriteria penilaian tanggapan para ahli
Data tanggapan ahli yang diperoleh berupa ceklis. Berikut adalah kriteria
penilaian setiap butir :
Tabel 3.3. Kriteria Penilaian Butir Dari Lawshe
Kriteria Esensial Berguna tidak Esensial Tidak Perlu
Bobot 1 0 0
2) Menghitung nilai CVR
( )
Dimana ne adalah jumlah ahli yang menyatakan esensial (penting), n
adalah jumlah ahli. CVR akan terentang dari -1 sampai dengan 1.
a) Butir dikatakan valid apabila
b) Butir dikatakan tidak valid apabila
Butir yang memiliki nilai selanjutnya dievaluasi
secara kualitatif berdasar masukan ahli dan diubah menjadi butir
berdasar masukan tersebut.
64
1) Hasil Validasi Pretest dan Postest
Pada instrumen pretest-posttest dipilih 3 ahli dalam bidang
matematika, terdiri dari 1 dosen pendidikan matematika dan 2 guru
matematika. 4 butir soal uraian pada insrumen pretest dan 6 butir soal
uraian pada instrumen posttest dinyatakan valid dari hasil validasi para
ahli. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4.2.
Secara umum saran dari para ahli terhadap soal pretest adalah
sebagai berikut.
a) Sebaiknya soal tidak terlalu panjang
b) Memperbaiki kalimat tanya dari kalimat “pak Sardi mengalami
kerugian” menjadi “untung atau rugikah yang dialami pak Sardi”
c) Ditambah keterangan bahwa berat plastik bungkus diabaikan
Saran dari para ahli terhadap soal posttest adalah sebagai berikut.
a) Menyesuaikan dengan harga barang pada umumnya.
b) Sebaiknya soal tidak terlalu panjang, agar siswa tidak bingung
memahami soal.
Saran tersebut menjadi dasar perbaikan instrumen agar menjadi lebih baik
lagi.
2) Hasil Validasi Skala Sikap
Pada instrumen skala sikap dipilih 3 ahli yang terdiri dari 2 ahli
bidang psikologi dan 1 ahli bidang matematika. Hasil validasi dari para
ahli (validator) dengan perhitungan CVR menunjukkan bahwa semua
65
pernyataan valid. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran
4.3. Secara umum saran dari para ahli adalah sebagai berikut:
a) Jangan mengulang kata tidak dalam satu pernyataan
b) Tulis pedoman penskoran jika tidak menjawab atau jawaban lebih dari
satu
c) Pernyataan dengan indikator yang sama jangan berurutan (lebih
memperhatikan lagi metode pengacakan soal)
b. Uji Validitas Instrumen Pembelajaran: RPP dan LAS
Uji validitas secara kualitatif dilakukan dengan penilaian dari ahli
bidang matematika yang tertuang dalam lembar validasi. Kemudian penilaian
dan saran dari ahli dijadikan pedoman untuk memperbaiki kualitas instrumen.
2. Analisis Hasil Uji Coba Pretest-Posttest dan Skala Sikap
a. Reliabilitas
Suatu instrumen memiliki tingkat reliabilitas yang memadai, bila
instrumen tersebut digunakan mengukur aspek yang diukur beberapa kali
asilna sama atau relatif sama (Sukmadinata, 2005: 229-230). Reliabilitas
instrumen dalam penelitian ini diukur dengan cara membandingkan nilai
Alpha Cronbach dengan r tabel. Reliabilitas tes dalam bentuk soal uraian
dihitung dengan rumus Cronbach’s Alpha (Arikunto, 1990: 109), yaitu:
(
∑
)
Keterangan :
= reliabilitas yang dicari
= banyaknya soal
∑ = jumlah varians skor tiap-tiap soal
= variansi total
66
Hasil uji reliabilitas dapat juga ditentukan dengan menggunakan
formula Alpha Croncbach dengan sofware SPSS 15.0.
1) Reliabilitas Pretest
Adapun hasil uji reliabilitas instrumen pretest menggunakan software
SPSS dengan formula Alpha Cronbach = 0,46. Kemudian dibandingkan
dengan r tabel, apabila Alpha Cronbach > r tabel maka instrumen pretest
reliabel. Jika n = 27 dan taraf signifikansi 0,05 maka diperoleh r tabel
sebesar 0,32. Sehingga diperoleh kesimpulan bahwa Alpha Cronbach > r
tabel sehingga instrumen pretest reliabel. Selengkapnya dapat dilihat
pada Lampiran 4.4.4.
2) Reliabilitas Posttest
Adapun hasil uji reliabilitas instrumen posttest menggunakan software
SPSS dengan formula Alpha Cronbach = 0,61. Kemudian dibandingkan
dengan r tabel, apabila Alpha Cronbach > r tabel maka instrumen posttest
reliabel. Jika n = 27 dan taraf signifikansi 0,05 maka diperoleh r tabel
sebesar 0,32. Diperoleh kesimpulan bahwa Alpha Cronbach > r tabel
sehingga instrumen posttest reliabel. Selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 4.4.4.
3) Reliabilitas Skala Sikap Self Confidence
Adapun hasil uji reliabilitas instrumen Skala Sikap Self Confidence
menggunakan software SPSS dengan formula Alpha Cronbach = 0,77.
Kemudian dibandingkan dengan r tabel, apabila Alpha Cronbach > r
tabel maka instrumen Skala Sikap Self Confidence reliabel. Jika n = 27
67
dan taraf signifikansi 0,05 maka diperoleh r tabel sebesar 0,32. Diperoleh
kesimpulan bahwa Alpha Cronbach > r tabel sehingga instrumen Skala
Sikap Self Confidence reliabel. Selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 4.5.4.
b. Daya Beda Skala Sikap Self Confidence
Daya beda adalah pengukuran sejauh mana suatu butir soal mampu
membedakan siswa yang sudah menguasai kompetensi dengan siswa yang
kurang atau belum menguasai kompetensi berdasarkan kriteria tertentu
(Arifin, 2009: 273).
Pengujian daya beda butir dilakukan dengan cara menghitung
korelasi antara distribusi skor butir dengan distribusi skor skala itu sendiri
dengan menggunakan rumus pearson product moment corelation.
Adapun rumus tersebut adalah sebagai berikut:
∑ ∑ ∑
( ∑ (∑ ) )( ∑ (∑ ) )
Keterangan:
= koefisien korelasi antara variabel X dengan variabel Y
X = skor soal atau butir
Y = Skor Total
N = Jumlah soal
Azwar (1999: 65) menyatakan bahwa penyusun tes boleh
menentukan sendiri batasan daya diskriminasi butirnya dengan
mempertimbangkan isi dan tujuan penggunaan hasil ukur tes dan
komposisi indikator atau komponen-komponen yang dicakup oleh
kawasan ukur yang harus ada pada tes. Jadi apabila daya beda masuk
kategori jelek, peneliti tetap dapat menggunakan butir soal dengan
68
pertimbangan tujuan dan indikator instrumen. Dalam software SPSS 15,
daya beda dapat diuji dengan Pearson Correlation. Kategori daya
pembeda menurut Arikunto (1990: 218) adalah sebagai berikut:
Tabel 3.4. Interpretasi Besarnya Koefisien Korelasi Butir Soal
Koefisien Korelasi Kriteria
0,70 < < 1,00 Baik Sekali
0,40 < < 0,69 Baik
0,20 < < 0,39 Cukup
0,00 < < 0,19 Jelek
(negatif) Sangat Tidak Baik
1) Daya Beda Pretest Posttest
Berdasarkan perhitungan menggunakan software SPSS, diperoleh
koefisien korelasi butir soal sebagai berikut. Berdasarkan tabel 3.5.
Ditunjukkan bahwa tidak terdapat butir soal dengan daya beda yang
jelek, sehingga seluruh butir soal dapat dipergunakan. Perhitungan
selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4.4.2.
Tabel 3.5. Hasil Perhitungan Daya Beda Butir Pretest
Butir Soal Pearson Correlation (r) Kategori
1 0,48* Baik
2 0,60** Baik
3 0,81** Baik Sekali
4 0,57** Baik
**Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
*Correlations is significant at the 0.05 level (2-tailed)
Berdasarkan tabel 3.6. Ditunjukkan bahwa tidak terdapat butir soal
dengan daya beda yang jelek, sehingga seluruh butir soal dapat
dipergunakan. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran
4.4.3.
69
Tabel 3.6. Hasil Perhitungan Daya Beda Butir Posttest
Butir Soal Pearson Correlation (r) Kategori
1 0,49** Baik
2 0,79** Baik Sekali
3 0,46** Baik
4 0,63** Baik
5 0,78** Baik Sekali
6 0,36 Cukup
**Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
*Correlations is significant at the 0.05 level (2-tailed)
2) Daya Beda Skala Sikap
Sebelum melakukan perhitungan daya beda, terlebih dahulu
melakukan penskalaan setiap butir pernyataan terhadap respon siswa.
Respon siswa terhadap skala sikap diubah dari data kualitatif ordinal
menjadi kuantitatif ordinal menggunakan Succesive Interval Methods
(SIM). Tahapan dari SIM adalah sebagai berikut (Soleh, 2005: 284-
285) :
1) Urutkan pengaruh setiap kategori jawaban dari kecil ke
besar berdasarkan besarnya nilai skor yang diharapkan.
Tempatkan kategori jawaban yang pengaruhnya paling kecil
atau dengan kata lain yang skornya paling rendah di sebelah
kiri dalam tabel SIM.
2) Cata banyak data pengamatan untuk setiap kategori jawaban
(simbol : n)
3) Hitung nilai peluang dari setiap kategori jawaban (simbol :
p)
4) Hitung nilai kumulatif dari nilai peluang untuk setiap
kategori jawaban (simbol : F)
5) Selanjutnya dengan memasukan nilai kumulatif ke dalam
tabel normal baku (tabel Z) akan tentukan nilai dari z-skor
(simbol : z)
6) Hitung nilai densitas dari setiap nilai z-skor (simbol : f(z))
melalui rumusan berikut ini dan simpan hasil
perhitungannya pada kolom di sebelah kanan kategori
tersebut.
70
( )
√ (
)
Dimana dan e = 2,7183
7) Hitung nilai scala-value untuk setiap kategori melalui
rumus:
( ) ( )
8) Akhirnya, hitung nilai skor kuantifikasi dari setiap peubah
melalui rumus
| ( )|
SIM pada penelitian ini dapat diperoleh dengan Ms. Excel pada
toolbar Add-Ins, tanpa melalui perhitungan manual. Kelebihan
penggunaan SIM adalah tidak adanya eror apabila ada jawaban yang
kosong atau tidak ada responden yang menjawab pilihan jawaban
tertentu. Sebelum melakukan SIM, diberikan kategori angka terhadap
respon pertanyaan sebagai berikut:
Tabel 3.7. Kategori Angka terhadap terhadap Respon
Respon Kategori
Pernyataan Positif Pernyataan Negatif
SS 4 1
S 3 2
TS 2 3
STS 1 4
Lainnya 0 0
Lainnya yang dimaksud adalah ketika siswa tidak menjawab skala
sikap atau ketika siswa menjawab satu pernyataan dengan jawaban
lebih dari satu. Jadi skor SS, S, TS dan STS pada setiap butir
pertanyaan berbeda tergantung pada respon yang diberikan siswa saat
uji coba. Penskalaan setiap butir dapat dilihat selengkapnya pada
Lampiran 4.5.3.
71
Setelah memperoleh skor setiap butir, dilakukan perhitungan daya
beda menggunakan bantuan software SPSS 15 dengan hasil sebagai
berikut:
Tabel 3.8. Hasil Perhitungan Daya Beda Skala Sikap
Butir Aitem Person Correlation (r) Kategori
1 0,52** Baik
2 0,24 Cukup
3 0,32 Cukup
4 0,30 Cukup
5 0,46* Baik
6 0,25 Cukup
7 0,54* Baik
8 0,28 Cukup
9 0,41* Baik
10 0,637* Baik
11 0,15 Jelek
12 0,36 Cukup
13 0,36 Cukup
14 0,32 Cukup
15 0,62** Baik
16 0,36 Cukup
17 0,41* Baik
18 0,48** Baik
19 0,39* Cukup
20 0,65** Baik
21 0,16 Jelek
22 0,21 Cukup
23 0,43* Baik
24 0,43* Baik
25 0,61** Baik
26 0,10 Jelek
27 0,47* Baik
28 0,31 Cukup
29 0,09 Jelek
30 0,41* Baik
**Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
*Correlations is significant at the 0.05 level (2-tailed)
Butir pernyataan yang memiliki kategori jelek, tetap diikutsertakan
dalam instrumen skala sikap dengan pertimbangan butir tersebut
72
mewakili satu indikator sikap self confidence yang apabila dihilangkan
menyebabkan tujuan dari pengukuran tidak tersampaikan. Perhitungan
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4.5.3.
c. Tingkat Kesukaran Pretest Posttest
Tingkat kesukaran pada soal uraian dihitung dengan rumus berikut
(Surapranata, 2004: 12):
∑
Keterangan :
= proporsi menjawab benar atau tingkat kesukaran ∑ = jumlah skor tiap item
= skor maksimum
= jumlah peserta tes
Tingkat kesukaran soal tes dalam penelitian ini dilihat dari hasil klasifikasi
tingkat kesukaran tes Surapranata (2004: 21). Tabel berikut menyajikan
kategori tingkat kesukaran tes.
Tabel 3.9. Klasifikasi Tingkat Kesukaran Tes
Nilai Kategori
0 Sukar
Sedang
0 Mudah
Hasil perhitungan tingkat kesukaran pretest disajikan dalam tabel
3.10. Berdasarkan tabel 3.10. diketahui bahwa tingkat kesukaran instrumen
pretest tergolong sedang. Hasil perhitungan tingkat kesukaran postest
disajikan dalam tabel 3.11. Berdasarkan tabel 3.11. diketahui bahwa tingkat
kesukaran instrumen posttest tergolong sedang. Pada penelitian ini daya beda
dan tingkat kesukaran bukan penentu sebuah instrumen layak digunakan atau
tidak, karena tes posttest merupakan tes penguasaan yang mengukur
73
ketercapaian indikator kemampuan pemecahan masalah. Menurut Nara dan
Siregar (2010: 157), tes penguasaan tidak mementingkan daya beda dan
tingkat kesukaran, tes disebut baik apabila valid dan reliabel.
Tabel 3.10. Hasil Perhitungan Tingkat Kesukaran Pretest
Nomor Soal Perhitungan Kategori
1 0,60 Sedang
2 0,64 Sedang
3 0,57 Sedang
4 0,42 Sedang
Tabel 3.11. Hasil Perhitungan Tingkat Kesukaran Posttest
Nomor Soal Perhitungan Kategori
1 0,69 Sedang
2 0,68 Sedang
3 0,69 Sedang
4 0,51 Sedang
5 0,43 Sedang
6 0,49 Sedang
I. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah prosedur
penelitian eksperimen yang meliputi tiga tahap, yaitu :
1. Tahap Pra-penelitian
a. Menyusun tema penelitian
Tahap awal pra-penelitian adalah menyusun tema. Setelah tema penelitian
disetujui langkah selanjutnya adalah mempersiapkan hal-hal yang diperlukan
dalam pengumpulan data ketika proses identifikasi lapangan.
b. Identifikasi Lapangan
Identifikasi lapangan dilakukan untuk mengetahui kondisi pembelajaran
matematika baik di sekolah maupun di kelas. Identifikasi lapangan berupa
observasi yang dilakukan ketika proses belajar mengajar dan wawancara
74
dengan guru terkait pemecahan masalah. Selain itu, dilakukan pula analisis
tentang kemampuan siswa dalam mengerjakan soal-soal pemecahan masalah
siswa. Prosedur pelaksanaan identifikasi lapangan di sekolah adalah meminta
ijin dengan kepala sekolah kemudian berkomunikasi tentang penelitian yang
akan dilaksanakan, materi pelajaran yang digunakan pada penelitian, dan
sampel dari populasi dengan guru matematika yang ditunjuk oleh kepala
sekolah.
2. Menyusun Proposal Penelitian
Proposal penelitian memuat gambaran umum penelitian yang akan
dilaksanakan. Proposal yang telah disetujui oleh dosen pembimbing selanjutnya
diseminarkan untuk keperluan izin penelitian.
3. Menyusun Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian disusun setelah ditetapkan pokok bahasan yang akan
digunakan untuk penelitian. Instrumen yang digunakan adalah instrumen tes dan
non tes. Instrumen tes berupa soal pretest dan soal posttest untuk mengukur
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Instrumen non tes berupa
kuesioner prescale dan postscale untuk mengukur self confidence siswa. Setelah
instrumen tersebut disusun kemudian dilakukan validasi
4. Tahap Penelitian
a. Pemberian prescale self confidence
Prescale diberikan pada kelas kontrol dan kelas eksperimen. Prescale ini
bertujuan untuk mengetahui self confidence siswa sebelum diberi treatment
atau perlakuan.
75
b. Pemberian pretest atau tes awal
pretest diberikan pada kelas kontrol dan kelas eksperimen. Pretest ini
bertujuan untuk mengetahui tingkat kemampuan pemecahan masalah siswa
sebelum diberi treatment atau perlakuan.
c. Pemberian treatment atau perlakuan
Pada tahap ini kelas eksperimen 1 diberi treatment dengan pendekatan PBL
dan kelas eksperimen 2 diberi treatment dengan pendekatan PBL dengan
model pembelajaran kooperatif tipe TPS serta kelas kontrol diberi treatment
dengan pembelajaran konvensional.
d. Pemberian postest atau tes akhir
Posttest diberikan pada kelas kontrol dan kelas eksperimen. Posttest ini
bertujuan untuk mengetahui tingkat kemampuan pemecahan masalah siswa
sesudah diberi treatment atau perlakuan.
e. Pemberian postscale self confidence
Postscale diberikan pada kelas kontrol dan kelas eksperimen. Postscale ini
bertujuan untuk mengetahui tingkat self confidence siswa sesudah diberi
treatment atau perlakuan.
5. Tahap Pasca Penelitian
a. Analisis Data Hasil Tes
b. Menyusun Hasil Penelitian
J. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses yang dilakukan untuk mencari dan mengolah data
yang didapatkan. Analisis data merupakan tahap yang penting dalam suatu
76
penelitian dimana data yang didapatkan kemudian dianalisis untuk menjawab
rumusan masalah serta hipotesis yang sudah disusun. Analisis data dalam
penelitian kuantitatif sering disebut dengan analisis sistematik. Teknik analisis
data dalam penelitian ini meliputi data hasil tes dan data hasil skala sikap. Data
hasil tes untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah siswa, sedangkan data
skala sikap digunakan untuk mengukur self confidence siswa. Analisis data
dilakukan dengan bantuan software SPSS 15.0 for Windows Evaluation dan
Microsoft Excel untuk mempermudah dalam perhitungannya. Adapun uraian
mengenai teknik analisis data tersebut adalah sebagai berikut:
1. Analisis Data Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah
Teknik analisis data kemampuan pemecahan masalah yang pertama yaitu uji
korelasi antara nilai pretest dan posttest. Uji korelasi bertujuan untuk menentukan
data beserta uji analisis yang akan digunakan dalam proses analisis data. Statistik
inferensial mempunyai asumsi yang harus terpenuhi, yaitu data yang berasal dari
populasi berdistribusi normal dan homogen sebagai uji prasyarat. Apabila uji
prasyarat tidak terpenuhi maka dilakukan uji statistik non parametrik, apabila
tersedia.
Sebelum melakukan uji korelasi, perlu dilakukan uji prasyarat analisis data.
Adapun Uji prasyarat analisis data meliputi uji normalitas dan uji homogenitas.
a. Uji Normalitas
Salah satu teknik dalam menganalisis normalitas data dapat menggunakan
chi kuadrat. Langkah-langkah pengujian normalitas dengan chi kuadrat
menurut Sugiyono (2013: 79-81) adalah sebagai berikut :
77
1) Merangkum data seluruh variabel yang akan diuji normalitasnya.
2) Menentukan jumlah kelas interval.
3) Menentukan panjang kelas, yaitu pembagian antara selisih data terbesar
dan data terkecil dengan jumlah kelas interval.
( )
( )
4) Menyusun ke dalam tabel distribusi frekuensi, yang sekaligus merupakan
tabel penolong untuk menghitung harga Chi-Kuadrat.
5) Menghitung frekuensi harapan ( ), dengan cara mengalikan persentase
luas tiap bidang kurva normal dengan jumlah anggota sampel.
6) Memasukkan harga-harga ke dalam tabel kolom , sekaligus
menghitung harga ( ) dan ( )
dan menjumlahkannya,
7) harga( )
merupakan harga Chi-Kuadrat (
) hitung.
8)
( )
Keterangan:
= Chi-Kuadrat hitung
= frekuensi
= frekuensi harapan
Kemudian membandingkan harga Chi Kuadrat hitung dengan Chi Kuadrat
tabel. Bila Chi Kuadrat hitung lebih kecil atau sama dengan Chi Kuadrat
tabel (
) maka distribusi data dapat dikatakan normal, atau data
berdistribusi normal, begitu pula sebaliknya, jika nilai chi kuadrat hitung
lebih besar daripada Chi Kuadrat tabel (
), maka data tidak
berdistribusi normal.
78
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui homogenitas (kesamaan
variansi (σ2)) antara data hasil tes serta data gain antara kelas eksperimen 1,
kelas eksperimen 2, dan kelas kontrol. Uji homogenitas pada penelitian ini
menggunakan uji F (Sugiyono, 2011: 140) dan uji Levene’s Test dengan
tingkat kepercayaan 95% (M. Farhan, 2013: 34).
1) Uji F
Statistik uji F yang digunakan dalam uji homogenitas adalah (Sugiyono,
2011 : 140) :
Langkah-langkah dalam pengujian homogenitas adalah :
a) Menentukan hipotesis pengujian, dengan :
H0 : variansi (σ2) antar kelompok homogen.
H1 : variansi (σ2) antar kelompok tidak homogen.
b) Menentukan derajat kepercayaan atau nilai signifikansi.
Dalam penelitian ini nilai signifikansi yang digunakan adalah
0,05 ( ).
c) Menentukan statistik uji.
Dalam penelitian ini menurut Sugiyono (2011:140) statistik uji yang
digunakan dalam uji homogenitas adalah:
79
d) Menentukan kriteria keputusan.
Dimana jika maka hasil yang didapatkan adalah ho
diterima sehingga varians (σ2) antar kelompok homogen begitu pula
sebaliknya, jika maka hasil yang didapatkan adalah
ho ditolak sehingga varians (σ2) antar kelompok tidak homogen.
2) Uji Levene’s Test
∑
(∑ )
( )
Keterangan :
X = Nilai
N = Jumlah sampel
Untuk mempermudah hitungan, dapat juga menggunakan bantuan
software SPSS 15.0 for Windows Evaluation dan Microsoft Excel dengan
tingkat kepercayaan 95%. Nilai yang didapatkan kemudian dibandingkan
dengan taraf signifikansi, yaitu jika , maka dapat dikatakan
bahwa data memiliki variansi (σ2) kelompok (populasi) yang sama.
Dalam penelitian ini, semua data berdistribusi normal serta merupakan data
yang berasal dari populasi yang memiliki varians (σ2) yang homogen. Sehingga
dalam penelitian ini pengujian korelasi antara nilai pretest dan posttest
menggunakan Pearson Correlation dalam software SPSS 15.
Rumus uji korelasi adalah sebagai berikut:
∑ (∑ )(∑ )
√* ∑ (∑ )
+* ∑ (∑ ) +
80
Keterangan:
r = besarnya korelasi pretest dan posttest
= jumlah siswa
= nilai pretest
= nilai posttest
Setelah diketahui nilai korelasi maka untuk menentukan uji analisis yang akan
digunakan sesuai dengan aturan sebagai berikut (M. Ali, 2011: 292):
a. Apabila nilai pretest dan posttest berkorelasi sekurang-
kurangnya 0,60 ( ), analisis data menggunakan
analisis kovariansi (ANACOVA).
b. Apabila korelasi antara nilai pretest dan posttest itu antara 0,40
sampai kurang 0,60 ( ), maka analisis data
dapat dilakukan dengan metode statistika uji signifikansi rata-
rata dengan uji-t atau analisis variansi (σ2) dengan terlebih
dahulu melakukan pengelompokkan data berdasarkan hasil
pretest.
c. Apabila korelasi antara nilai pretest da posttest di bawah 0,40
( ), maka dicari nilai gain dari masing-masing subyek,
yakni nilai posttest dikurangi nilai pretest, dan dilakukan uji
signifikansi rata-rata nilai gain dengan uji-t atau analisis variansi
(σ2).
Dalam penelitian ini, hasil uji korelasi antara nilai pretest dan posttest
adalah 0,258 ( ) sehingga uji analisis data hasil tes kemampuan
pemecahan masalah dalam penelitian ini adalah analisis variansi (σ2), sedangkan
data yang akan digunakan adalah data nilai gain dengan menggunakan rumus:
Analisis data hasil tes kemampuan pemecahan masalah dilakukan dengan
uji One Way Anova. Uji statistik One Way Anova digunakan untuk mengetahui
perbedaan pengaruh antara pembelajaran pendekatan PBL dengan model
pembelajaran tipe TPS, pembelajaran pendekatan PBL, pembelajaran
konvensional terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika.
81
Apabila pada uji statistik One Way Anova diperoleh hasil terdapat perbedaan
maka perlu dilakukan uji lanjutan dengan statistik uji Tukey untuk melihat
perbedaan pengaruh antar kelas.
Uji hipotesis digunakan untuk menjawab rumusan masalah serta hipotesis
yang telah dibuat, sehingga hasil yang diperoleh dapat dibuat suatu kesimpulan.
Diawali dengan melakukan analisis statistik deskriptif, yaitu dengan menghitung
rata-rata dan simpangan baku dari masing-masing kelompok data, disertai
beberapa tabel sehingga diperoleh suatu gambaran umum.
Langkah-langkah uji One Way Anova adalah sebagai berikut:
a. Menentukan hipotesis
H0 : μi = μj dengan i, j = 1, 2, 3. Rata-rata hasil pada tiga kelas sampel sama
H1 : μi ≠ μj dengan i, j = 1, 2, 3 atau ada salah satu yang ≠. Rata-rata hasil
pada tiga kelas sampel tidak sama
b. Menentukan α, dalam penelitian ini α = 0.05
c. Menentukan kriteria penerimaan hipotesis H0. Proses pengambilan keputusan
menggunakan nilai sig. Apabila nilai sig ≥ 0.05 maka H0 diterima. Artinya
data yang dianalisis mempunyai variansi (σ2) homogen. Sebaliknya, apabila
nilai sig < 0.05 maka H0 ditolak.
d. Melakukan analisis
Apabila H0 diterima artinya model pembelajaran tidak berpengaruh terhadap
peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.
Apabila H0 ditolak artinya model pembelajaran berpengaruh terhadap
peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa
82
e. Menentukan kesimpulan.
Uji Tukey digunakan untuk uji lanjut setelah uji One Way Anova yang
membandingkan kelompok-kelompok dengan jumlah sampel yang sama besar.
Pengujian dilakukan dengan membandingkan antara beda mean dengan beda
kritik. Langkah-langkah uji Tukey adalah sebagai berikut:
a. Menghitung Beda Kritik
1) Beda kritik mencari harga Studenlized Range (SR)
( )( )( )
dengan:
SR = Studenlized Range
α = Taraf nyata
k = Banyaknya perlakuan
N = Banyaknya jumlah dari semua data
2) Mencari beda kritik dengan rumus (Agus Irianto, 2009: 233):
√
dengan:
BK = Beda kritik
SR = Harga studentized range
= Kudrat Tengah Galat
n = Jumlah sampel satu kelompok
3) Cari perbedaan antar kelompok dan untuk mempermudah dalam
menginterpretasikan perlu disusun dalam satu tabel khusus.
4) Interpretasikan nilai BK yaitu dengan jalan membandingkan perbedaan
rata-rata antar kelompok dengan hasil perhitungan BK.
83
Apabila perbedaan rata-rata antar kelompok itu lebih dari nilai BK, maka
perbedaan tersebut dapat dikatakan signifikan, dan apabila perbedaan
rata-rata antar kelompok kurang dari BK maka perbedaan tersebut
dikatakan tidak signifikan.
2. Analisis Data Skala Sikap Self Confidence Siswa
Data yang diperoleh dari skala sikap Self Confidence siswa adalah data
ordinal sehingga untuk mengubah ke interval menggunakan Successive Interval
Methods (SIM). SIM pada penelitian ini dapat diperoleh dengan Ms. Excel pada
toolbar Add-Ins, tanpa melalui perhitungan manual. Setelah menjadi data interval
kemudian dilanjutkan uji analisis data. Teknik analisis data self confidence sama
dengan langkah analisis data kemampuan pemecahan masalah matematika.
Adapun semua rumusan masalah dapat dilihat dengan uji One Way Anova dan
uji lanjutan Tukey yaitu melihat manakah yang paling berpengaruh antara
pembelajaran pendekatan PBL dengan model pembelajaran tipe TPS,
pembelajaran pendekatan PBL, pembelajaran konvensional terhadap peningkatan
kemampuan pemecahan masalah dan self confidence.
84
Gambar 3.1. Bagan Analisis Data
85
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Hasil penelitian yang akan dibahas pada bab ini adalah analisis data
berupa nilai pretest, posttest, dan gain kemampuan pemecahan masalah serta nilai
prescale, postscale, dan gain self confidence. Data tersebut dianalisis
menggunakan bantuan software SPSS 15. Nilai pretest dan prescale merupakan
hasil tes kemampuan siswa sebelum diberi perlakuan, nilai postest dan postscale
adalah hasil yang diperoleh siswa setelah diberikan perlakuan. Sedangkan nilai
gain adalah selisih antara nilai pretest dan postest serta selisih antara nilai
prescale dan postscale. Adapun berdasarkan uji korelasi pretest dan posttest data
dan analisis data yang digunakan adalah data gain menggunakan uji One Way
Anova, analisis data untuk menjawab rumusan masalah tentang pembelajaran
yang paling berpengaruh antara pembelajaran menggunakan pendekatan PBL
dengan model pembelajaran tipe TPS, pembelajaran dengan pendekatan PBL,
pembelajaran konvensional terhadap peningkatan kemampuan pemecahan
masalah matematika dan self confidence. Sedangkan uji lanjutan Tukey dilakukan
jika hasil uji One Way Anova menghasilkan adanya perbedaan pengaruh.
Analisis data kemampuan pemecahan masalah siswa disajikan secara
terpisah. Berikut ini akan dipaparkan hasil penelitian tentang kemampuan
pemecahan masalah dan self confidence siswa.
86
1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa
Data tentang pembebelajaran yang paling berpengaruh antara
pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model pembelajaran tipe
TPS, pembelajaran dengan pendekatan PBL, pembelajaran konvensional terhadap
peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika. Analisis didasarkan
dari deskripsi data kemudian dilanjutkan dengan hasil uji hipotesis .
Berikut ini akan dibahas satu per satu tentang analisis data kemampuan
pemecahan masalah siswa. Analisis deskripsi data dilakukan dengan bantuan
software SPSS 15. Tujuan dari dilakukannya analisis data deskripsi adalah untuk
mengetahui gambaran umum tentang pembelajaran yang paling berpengaruh
antara pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model pembelajaran
tipe TPS, pembelajaran dengan pendekatan PBL, pembelajaran konvensional
terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika. Berikut ini
disajikan tabel tentang rangkuman data kemampuan pemecahan masalah siswa.
Tabel 4.1. Deskripsi Data Pretest dan Posttest Kemampuan Pemecahan
Masalah Siswa
Pembelajaran N Rata-Rata Simpangan Baku
Pretest Posttest Pretest Posttest
PBL TPS 34 44,56 72,08 6,97 5,34
PBL 34 46,98 66,07 7,30 5,47
Konvensional 31 45,40 57,77 6,09 5,39
Total 99 45,66 65,31 6,79 5,40
Tabel 4.1. di atas menyajikan data pretest dan posttest kemampuan
pemecahan masalah siswa kelas eksperimen 2 dengan pembelajaran menggunakan
pendekatan PBL dengan model pembelajaran kooperatif tipe TPS, kelas
eksperimen 1 dengan pembelajaran menggunakan pendekatan PBL, dan kelas
87
kontrol dengan pembelajaran konvensional. Rata-rata nilai pretest pada masing-
masing kelas tidak jauh dengan rata-rata keseluruhan dan bisa dikatakan bahwa
rata-rata pretest ketiga kelas hampir sama. Simpangan baku tertinggi pada nilai
pretest kemampuan pemecahan masalah siswa pada ketiga kelas adalah
simpangan baku kelas eksperimen 2 artinya bahwa penyebaran nilai pretest
terbesar yaitu pada kelas eksperimen 2 sedangkan yang selanjutnya adalah kelas
kontrol kemudian yang terkecil adalah kelas eksperimen 1.
Berbeda dengan rata-rata nilai pretest yang hampir sama antara kelas
eksperimen 2, kelas eksperimen 1, dan kelas kontrol, rata-rata nilai posttest dari
ketiga kelas berbeda. Rata-rata nilai posttest paling tinggi berasal dari rata-rata
siswa di kelas yang memperoleh pembelajaran pendekatan PBL dengan model
pembelajaran kooperatif tipe TPS, kemudian disusul dengan rata-rata nilai posttest
siswa di kelas yang memperoleh pembelajaran pendekatan PBL dan rata-rata
paling rendah adalah rata-rata siswa di kelas dengan pembelajaran konvensional.
Simpangan baku tertinggi pada nilai posttest kemampuan pemecahan masalah
siswa pada ketiga kelas adalah simpangan baku kelas eksperimen 2 artinya bahwa
penyebaran nilai posttest terbesar yaitu pada kelas eksperimen 2 sedangkan yang
selanjutnya adalah kelas kontrol kemudian yang terkecil adalah kelas eksperimen
1.
Sebelum dilakukan uji korelasi perlu dilakukan uji prasyarat yaitu uji
normalitas dan homogenitas. Uji normalitas menggunakan Kolmogorov Smirnov
dan uji F (Based of Mean). Hipotesis untuk uji normalitas dan uji homogenitas
tersebut adalah :
88
a) Hipotesis Uji Normalitas
H0 : data berasal dari populasi yang berdistribusi normal;
H1 : data berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal;
b) Hipotesis Uji Homogenitas
H0 : kelompok-kelompok data yang diuji mempunyai variansi (σ2) yang
homogen;
H1 : kelompok-kelompok data yang diuji tidak mempunyai variansi (σ2) yang
homogen.
Berikut ini disajikan tabel rangkuman hasil uji prasyarat data pretest dan
posttest kemampuan pemecahan masalah siswa.
Tabel 4.2. Hasil Uji Prasyarat Data Pretest Posttest Kemampuan Pemecahan
Masalah Siswa
Pembelajaran Nilai sig. Uji Normalitas Nilai sig. Uji Homogenitas
Pretest Posttest Pretest Posttest
PBL TPS 0,09 0,17
0,66 0,74 PBL 0,06 0,14
Konvensional 0,13 0,09
Berdasarkan tabel 4.2. di atas terlihat bahwa nilai sig pada uji normalitas masing-
masing kelompok berdasarkan pembelajaran memiliki nilai ≥ 0,05 yang
mengakibatkan H0 diterima, artinya adalah seluruh pretest dan posttest
kemampuan pemecahan masalah siswa yang dikelompokkan berdasarkan
pembelajaran berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Kolom keempat
pada tabel menunjukkan nilai signifikan uji homogenitas dari ketiga kelompok.
Nilai sig ≥ 0,05 akibatnya H0 diterima, dengan kata lain kelompok-kelompok
pembelajaran tersebut memiliki variansi (σ2) yang sama atau homogen.
89
Setelah melakukan uji prasyarat, dan hasil kedua uji prasyarat terpenuhi,
maka langkah selanjutnya adalah melakukan uji korelasi antara nilai pretest dan
nilai posttest. Hal tersebut dilakukan untuk menentukan data dan analisis yang
akan digunakan dalam analisis data.
Berdasarkan tabel Correlations terlihat bahwa koefisien korelasi antara
nilai pretest dan posttest sebesar 0,26, maka koefisien korelasi < 0,4 sehingga data
yang digunakan adalah data gain menggunakan analisis data one way anova.
Adapun rinciannya bisa dilihat pada Lampiran 5.5.
Uji yang selanjutnya adalah uji prasyarat untuk nilai gain yang akan
digunakan dalam analisis one way anova. Uji normalitas menggunakan
Kolmogorov Smirnov dan uji F (Based of Mean). Hipotesis untuk uji normalitas
dan uji homogenitas tersebut adalah :
a) Hipotesis Uji Normalitas
H0 : data berasal dari populasi yang berdistribusi normal;
H1 : data berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal;
b) Hipotesis Uji Homogenitas
H0 : kelompok-kelompok data yang diuji mempunyai variansi (σ2) yang
homogen;
H1 : kelompok-kelompok data yang diuji tidak mempunyai variansi (σ2) yang
homogen;
Berikut ini disajikan tabel rangkuman hasil uji prasyarat uji anova satu
jalur data gain kemampuan pemecahan masalah siswa.
90
Tabel 4.3. Hasil Uji Prasyarat Uji Anova Satu Jalur Data gain Kemampuan
Pemecahan Masalah Siswa
Data Pembelajaran Nilai sig.
Uji Normalitas Uji Homogenitas
gain PBL TPS 0,06
0,09 PBL 0,20
Konvensional 0,20
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa nilai sig pada uji normalitas
masing-masing kelompok berdasarkan pembelajaran memiliki nilai ≥ 0,05 yang
mengakibatkan H0 diterima, artinya adalah seluruh gain kemampuan pemecahan
masalah siswa yang dikelompokkan berdasarkan pembelajaran berasal dari
populasi yang berdistribusi normal. Kolom keempat pada tabel menunjukkan nilai
signifikan uji homogenitas dari ketiga kelompok. Nilai sig ≥ 0,05 akibatnya H0
diterima, dengan kata lain kelompok-kelompok pembelajaran tersebut memiliki
variansi (σ2) yang sama atau homogen.
Hipotesis uji one way anova data data gain kemampuan pemecahan
masalah siswa adalah :
H0 : μi = μj dengan i, j = 1, 2, 3 (Tidak terdapat perbedaan rata-rata data gain
kemampuan pemecahan masalah siswa yang memperoleh pembelajaran
menggunakan pendekatan PBL dengan model TPS, pembelajaran dengan
pendekatan PBL, dan pembelajaran konvensional).
H1 : μi ≠ μj dengan i, j = 1, 2, 3 (Terdapat perbedaan rata-rata data gain
kemampuan pemecahan masalah siswa yang memperoleh pembelajaran
menggunakan pendekatan PBL dengan model pembelajaran kooperatif tipe
TPS, pembelajaran dengan pendekatan PBL, dan pembelajaran
konvensional).
91
Berdasarkan tabel ANOVA besar nilai Sig = 0,00’, nilai Sig < 0,05
sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan rata-rata data gain
kemampuan pemecahan masalah siswa yang memperoleh pembelajaran
menggunakan pendekatan PBL dengan model kooperatif tipe TPS, pembelajaran
dengan pendekatan PBL, dan pembelajaran konvensional. Untuk mengetahui letak
perbedaan rata-rata dari ketiga pembelajaran kemudian dilakukan uji tukey.
Adapun riciannya dapat dilihat pada Lampiran 5.6.1.
Hipotesis Uji lanjutan yaitu uji Tukey :
a) Hipotesis antara kelompok eksperimen 1 dengan kelompok kontrol
H0 : μ1 = μ2 (Rata-rata data gain kemampuan pemecahan masalah siswa yang
memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PBL sama dengan rata-rata
data gain kemampuan pemecahan masalah siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional).
H1 : μ1 ≠ μ2 (Rata-rata data gain kemampuan pemecahan masalah siswa yang
memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PBL berbeda dengan rata-
rata data gain kemampuan pemecahan masalah siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional).
b) Hipotesis antara kelompok eksperimen 2 dengan kelompok kontrol
H0 : μ1 = μ3 (Rata-rata data gain kemampuan pemecahan masalah siswa yang
memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model
kooperatif tipe TPS sama dengan rata-rata data gain kemampuan
pemecahan masalah siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional).
92
H1 : μ1 ≠ μ3 (Rata-rata data gain kemampuan pemecahan masalah siswa yang
memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model
pembelajaran kooperatif tipe TPS berbeda dengan rata-rata data gain
kemampuan pemecahan masalah siswa yang memperoleh pembelajaran
konvensional).
c) Hipotesis antara kelompok eksperimen 2 dengan kelompok eksperimen 1
H0 : μ2 = μ3 (Rata-rata data gain kemampuan pemecahan masalah siswa yang
memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model
pembelajaran kooperatif tipe TPS sama dengan rata-rata data gain
kemampuan pemecahan masalah siswa yang memperoleh pembelajaran
dengan pendekatan PBL).
H1 : μ2 ≠ μ3 (Rata-rata data gain kemampuan pemecahan masalah siswa yang
memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model
pembelajaran kooperatif tipe TPS lebih tinggi dibandingkan rata-rata data
gain kemampuan pemecahan masalah siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan pendekatan PBL).
Tabel Multiple Comparisons merupakan rangkuman hasil uji Tukey data
gain kemampuan pemecahan masalah siswa untuk mengetahui perbedaan rata-rata
gain kemampuan pemecahan masalah dari kelas yang memperoleh pembelajaran
menggunakan pendekatan PBL dengan model kooperatif tipe TPS, pembelajaran
dengan pendekatan PBL, dan pembelajaran konvensional. Berdasarkan tabel
Multiple Comparisons tanda bintang terletak pada semua nilai mean difference.
Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rata-rata data gain
93
kemampuan pemecahan masalah antara siswa yang memperoleh pembelajaran
menggunakan pendekatan PBL dengan model kooperatif tipe TPS dengan rata-
rata data gain kemampuan pemecahan masalah siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional, terdapat perbedaan rata-rata data gain kemampuan
pemecahan masalah antara siswa yang memperoleh pembelajaran menggunakan
pendekatan PBL dengan model kooperatif tipe TPS dengan rata-rata data gain
kemampuan pemecahan masalah siswa yang memperoleh pembelajaran dengan
pendekatan PBL, terdapat perbedaan rata-rata data gain kemampuan pemecahan
masalah antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PBL
dengan rata-rata data gain kemampuan pemecahan masalah siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional. Adapun rincianyya bisa dilihat pada
Lampiran 5.6.2.
Tabel 4.4. menunjukkan nilai rata-rata data gain kemampuan pemecahan
masalah siswa antara kelompok yang memperoleh pembelajaran menggunakan
pendekatan PBL dengan model kooperatif tipe TPS, pembelajaran dengan
pendekatan PBL, dan pembelajaran konvensional. Tabel 4.4. telah menunjukkan
hasil bahwa rata-rata data gain kemampuan pemecahan masalah siswa dari ketiga
kelas berbeda. Tabel 4.4. menunjukkan rata-rata gain pada pembelajaran
menggunakan pendekatan PBL dengan model kooperatif tipe TPS merupakan
nilai yang paling tinggi disusul dengan rata-rata pada pembelajaran dengan
pendekatan PBL. Rata-rata yang paling rendah adalah pada pembelajaran
konvensional.
94
Tabel 4.4. Nilai Hasil Uji Tukey Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa
Dari uraian hasil uji tukey tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
menggunakan pendekatan PBL dengan model kooperatif tipe TPS berpengaruh
lebih baik daripada pembelajaran pembelajaran dengan pendekatan PBL dan
pembelajaran konvensional terhadap kemampuan pemecahan masalah serta
pembelajaran dengan pendekatan PBL berpengaruh lebih baik daripada
pembelajaran konvensional terhadap kemampuan pemecahan masalah.
2. Self Confidence Siswa
Data yang diperoleh dari skala sikap Self Confidence siswa adalah data
ordinal sehingga untuk mengubah ke interval menggunakan Successive Interval
Methods (SIM). SIM pada penelitian ini dapat diperoleh dengan Ms. Excel pada
toolbar Add-Ins, tanpa melalui perhitungan manual. Setelah menjadi data interval
kemudian dilanjutkan uji analisis data menggunakan uji statistik. Data tentang
pembelajaran yang paling berpengaruh antara pembelajaran menggunakan
pendekatan PBL dengan model pembelajaran tipe TPS, pembelajaran dengan
pendekatan PBL, pembelajaran konvensional terhadap peningkatan self
confidence matematika. Analisis didasarkan dari deskripsi data kemudian
dilanjutkan dengan hasil uji hipotesis.
gain
Tukey HSDa,b
31 12,3710
34 19,0838
34 27,5206
1,000 1,000 1,000
kelaskelas kontrol
kelas eksperimen 1
kelas eksperimen 2
Sig.
N 1 2 3
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 32,938.a.
The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group
sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
b.
95
Berikut ini akan dibahas satu per satu tentang analisis self confidence
siswa. Analisis deskripsi data dilakukan dengan bantuan software SPSS 15.
Tujuan dari dilakukannya analisis data deskripsi adalah untuk mengetahui
gambaran umum tentang pembelajaran yang paling berpengaruh antara
pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model pembelajaran tipe
TPS, pembelajaran dengan pendekatan PBL, pembelajaran konvensional terhadap
peningkatan self confidence siswa. Berikut ini disajikan tabel tentang rangkuman
data self confidence siswa.
Tabel 4.5. di bawah menyajikan data prescale dan postscale self
confidence kelas eksperimen 2 dengan pembelajaran menggunakan pendekatan
PBL dengan model pembelajaran kooperatif tipe TPS, kelas eksperimen 1 dengan
pembelajaran dengan pendekatan PBL, dan kelas kontrol dengan pembelajaran
konvensional. Rata-rata nilai prescale pada masing-masing kelas tidak jauh
dengan rata-rata keseluruhan dan bisa dikatakan bahwa rata-rata prescale ketiga
kelas hampir sama. Simpangan baku tertinggi pada nilai prescale self confidence
siswa pada ketiga kelas adalah simpangan baku kelas eksperimen 1 artinya bahwa
penyebaran nilai prescale terbesar yaitu pada kelas eksperimen 1 sedangkan yang
selanjutnya adalah kelas kontrol kemudian yang terkecil adalah kelas eksperimen
2.
Tabel 4.5. Deskripsi data Prescale dan Postscale Self Confidence Siswa
Pembelajaran N Rata-Rata Simpangan Baku
Prescale Postscale Prescale Postscale
PBL TPS 34 60,68 77,31 3,14 3,38
PBL 34 63,28 73,48 4,61 4,94
Konvensional 31 59,46 68,08 4,19 4,39
Total 99 61,14 72,96 3,98 4,24
96
Berbeda dengan rata-rata nilai prescale yang hampir sama antara kelas
eksperimen 2, kelas eksperimen 1, dan kelas kontrol, rata-rata nilai postscale dari
ketiga kelas berbeda. Rata-rata nilai postscale paling tinggi berasal dari rata-rata
siswa di kelas yang memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan PBL
dengan model pembelajaran kooperatif tipe TPS, kemudian disusul dengan rata-
rata nilai postscale siswa di kelas yang memperoleh pembelajaran dengan
pendekatan PBL dan rata-rata paling rendah adalah rata-rata siswa di kelas dengan
pembelajaran konvensional. Simpangan baku tertinggi pada nilai postscale self
confidence siswa pada ketiga kelas adalah simpangan baku kelas eksperimen 1
artinya bahwa penyebaran nilai postscale terbesar yaitu pada kelas eksperimen 1
sedangkan yang selanjutnya adalah kelas kontrol kemudian yang terkecil adalah
kelas eksperimen 2. Sebelum dilakukan uji korelasi perlu dilakukan uji prasyarat
yaitu uji normalitas dan homogenitas. Uji normalitas menggunakan Kolmogorov
Smirnov dan uji F (Based of Mean). Hipotesis untuk uji normalitas dan uji
homogenitas tersebut adalah :
a) Hipotesis Uji Normalitas
H0 : data berasal dari populasi yang berdistribusi normal;
H1 : data berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal;
b) Hipotesis Uji Homogenitas
H0 : kelompok-kelompok data yang diuji mempunyai variansi (σ2) yang
homogen;
H1 : kelompok-kelompok data yang diuji tidak mempunyai variansi (σ2) yang
homogen.
97
Berikut ini disajikan tabel rangkuman hasil uji prasyarat data prescale
dan postscale self confidence siswa.
Tabel 4.6. Hasil Uji Prasyarat Data Prescale dan Postscale Self Confidence
Siswa
Pembelajaran Nilai sig. Uji Normalitas Nilai sig. Uji Homogenitas
Prescale Postscale Prescale Postscale
PBL TPS 0,20 0,20
0,05 0,09 PBL 0,20 0,20
Konvensional 0,20 0,20
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa nilai sig pada uji normalitas masing-
masing kelompok berdasarkan pembelajaran memiliki nilai ≥ 0,05 yang
mengakibatkan H0 diterima, artinya adalah seluruh prescale dan postscale
kemampuan pemecahan masalah siswa yang dikelompokkan berdasarkan
pembelajaran berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Kolom keempat
pada tabel menunjukkan nilai signifikan uji homogenitas dari ketiga kelompok.
Nilai sig ≥ 0,05 akibatnya H0 diterima, dengan kata lain kelompok-kelompok
memiliki variansi (σ2) yang sama atau homogen.
Setelah melakukan uji prasyarat, dan hasil kedua uji prasyarat terpenuhi,
maka langkah selanjutnya adalah melakukan uji korelasi antara nilai prescale dan
nilai postscale. Hal tersebut dilakukan untuk menentukan data dan analsisis yang
akan digunakan dalam analisis data. Berdasarkan tabel Correlations terlihat
bahwa koefisien korelasi antara nilai prescale dan postscale sebesar 0,39,
koefisien korelasi < 0,4 sehingga data yang digunakan dalam analisis one way
anova adalah data gain. Adapun rinciannya dapat dilihat pada Lampiran 5.12.
Uji yang selanjutnya adalah uji prasyarat untuk nilai gain yang akan
digunakan dalam analisis one way anova. Uji normalitas menggunakan
98
Kolmogorov Smirnov dan uji F (Based of Mean). Hipotesis untuk uji normalitas
dan uji homogenitas tersebut adalah :
a) Hipotesis Uji Normalitas
H0 : data berasal dari populasi yang berdistribusi normal;
H1 : data berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal;
b) Hipotesis Uji Homogenitas
H0 : kelompok-kelompok data yang diuji mempunyai variansi (σ2) yang
homogen;
H1 : kelompok-kelompok data yang diuji tidak mempunyai variansi (σ2)
yang homogen.
Berikut ini disajikan tabel rangkuman hasil uji prasyarat uji anova satu
jalur data gain kemampuan pemecahan masalah siswa.
Tabel 4.7. Hasil Uji Prasyarat Uji Anova Satu Jalur Data gain Self
Confidence Siswa
Data Pembelajaran Nilai sig.
Uji Normalitas Uji Homogenitas
Gain PBL TPS 0,20
0,83 PBL 0,20
Konvensional 0,20
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa nilai sig pada uji normalitas masing-
masing kelompok berdasarkan pembelajaran memiliki nilai ≥ 0,05 yang
mengakibatkan H0 diterima, artinya adalah seluruh gain Self Confidence siswa
yang dikelompokkan berdasarkan pembelajaran berasal dari populasi yang
berdistribusi normal. Kolom keempat pada tabel menunjukkan nilai signifikan uji
homogenitas dari ketiga kelompok. Nilai sig ≥ 0,05 akibatnya H0 diterima, dengan
99
kata lain kelompok-kelompok tersebut memiliki variansi (σ2) yang sama atau
homogen.
Hipotesis uji one way anova data data gain Self Confidence siswa adalah :
H0 : μi = μj dengan i, j = 1, 2, 3 (Tidak terdapat perbedaan rata-rata data gain
Self Confidence siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan
PBL dengan model TPS, pembelajaran dengan pendekatan PBL, dan
pembelajaran konvensional).
H1 : μi ≠ μj dengan i, j = 1, 2, 3 (Terdapat perbedaan rata-rata data gain Self
Confidence siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PBL
dengan model pembelajaran kooperatif tipe TPS, pembelajaran dengan
pendekatan PBL, dan pembelajaran konvensional).
Berdasarkan tabel ANOVA terlihat bahwa nilai sig = 0,00’, nilai sig <
0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan rata-rata data gain self
confidence siswa yang memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan PBL
dengan model kooperatif tipe TPS, pembelajaran dengan pendekatan PBL, dan
pembelajaran konvensional. Untuk mengetahui letak perbedaan rata-rata dari
ketiga pembelajaran kemudian dilakukan uji tukey. Adapun rinciannya dapat
dilihat pada Lampiran 5.13.1.
Hipotesis Uji lanjutan yaitu uji Tukey :
a) Hipotesis antara kelompok eksperimen 1 dengan kelompok kontrol
H0 : μ1 = μ2 (Rata-rata data gain self confidence siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan pendekatan PBL sama dengan rata-rata data gain self
confidence siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional).
100
H1 : μ1 ≠ μ2 (Rata-rata data gain self confidence siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan pendekatan PBL lebih tinggi dibandingkan rata-rata
data gain self confidence siswa yang memperoleh pembelajaran
konvensional).
b) Hipotesis antara kelompok eksperimen 2 dengan kelompok kontrol
H0 : μ1 = μ3 (Rata-rata data gain self confidence siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan pendekatan PBL dengan model kooperatif tipe TPS
sama dengan rata-rata data gain self confidence siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional).
H1 : μ1 ≠ μ3 (Rata-rata data gain self confidence siswa yang memperoleh
pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model pembelajaran
kooperatif tipe TPS lebih tinggi dibandingkan rata-rata data gain self
confidence siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional).
c) Hipotesis antara kelompok eksperimen 2 dengan kelompok eksperimen 1
H0 : μ2 = μ3 (Rata-rata data gain self confidence siswa yang memperoleh
pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model pembelajaran
kooperatif tipe TPS sama dengan rata-rata data gain self confidence siswa
yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PBL).
H1 : μ2 ≠ μ3 (Rata-rata data gain self confidence siswa yang memperoleh
pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model pembelajaran
kooperatif tipe TPS lebih tinggi dibandingkan rata-rata data gain self
confidence siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan
PBL).
101
Tabel Multiple Comparisons merupakan rangkuman hasil uji Tukey
data gain self confidence siswa untuk mengetahui perbedaan rata-rata gain self
confidence dari kelas yang memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan
PBL dengan model kooperatif tipe TPS, pembelajaran pendekatan PBL, dan
pembelajaran konvensional. Berdasarkan tabel Multiple Comparisons tanda
bintang terletak pada semua nilai mean difference kecuali pada nilai mean
difference kelas kontrol dan kelas eksperimen 1. Hal tersebut menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan rata-rata data gain self confidence antara siswa yang
memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model
kooperatif tipe TPS dengan rata-rata data gain self confidence siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional, terdapat perbedaan rata-rata data gain
self confidence antara siswa yang memperoleh pembelajaran menggunakan
pendekatan PBL dengan model kooperatif tipe TPS dengan rata-rata data gain self
confidence siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PBL, akan
tetapi tidak terdapat perbedaan rata-rata data gain self confidence antara siswa
yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PBL dengan rata-rata data
gain self confidence. Adapun rinciannya dapat dilihat pada Lampiran 5.13.2.
Tabel 4.8. menunjukkan nilai rata-rata data gain self confidence siswa
antara kelompok yang memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan PBL
dengan model kooperatif tipe TPS, pembelajaran dengan pendekatan PBL, dan
pembelajaran konvensional. Tabel 4.8. telah menunjukkan hasil bahwa rata-rata
data gain self confidence siswa dari ketiga kelas berbeda. Tabel 4.8. menunjukkan
rata-rata gain pada pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model
102
kooperatif tipe TPS merupakan nilai yang paling tinggi disusul dengan rata-rata
pada pembelajaran dengan pendekatan PBL. Rata-rata yang paling rendah adalah
pada pembelajaran konvensional. Uraian hasil uji tukey tersebut dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model
kooperatif tipe TPS berpengaruh lebih tinggi daripada pembelajaran pembelajaran
dengan pendekatan PBL dan pembelajaran konvensional terhadap self confidence
serta pembelajaran pendekatan PBL berpengaruh lebih baik daripada
pembelajaran konvensional terhadap self confidence.
Tabel 4.8. Nilai Hasil Uji Tukey Self Confidence Siswa
B. Pembahasan
1. Pelaksanaan Pembelajaran
Pembelajaran yang dilaksanakan pada penelitian ini meliputi pembelajaran
dengan pendekatan PBL, pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan
model pembelajaran kooperatif tipe TPS, dan pembelajaran konvensional.
Pembelajaran dilaksanakan 10 jam pelajaran. Materi yang diajarkan sama yaitu
gain
Tukey HSDa,b
31 8,6174
34 10,2038
34 16,6266
,317 1,000
kelas
kelas kontrol
kelas eksperimen 1
kelas eksperimen 2
Sig.
N 1 2
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 32,938.a.
The group sizes are unequal. The harmonic mean
of the group sizes is used. Type I error levels are
not guaranteed.
b.
103
keliling dan luas segiempat. Berikut ini akan dipaparkan tentang implementasi
masing-masing pembelajaran dan kondisi siswa ketika proses pembelajaran.
a. Implementasi Pembelajaran dengan Pendekatan PBL
Pembelajaran dengan pendekatan PBL dilaksanakan oleh peneliti di kelas
eksperimen 1 (kelas VII D). Pembelajaran dengan pendekatan PBL meliputi
beberapa tahap yaitu memberikan orientasi tentang permasalahannya kepada
siswa, mengorganisasikan siswa untuk meneliti, membantu investigasi mandiri
dan kelompok, mengembangkan dan mempresentasikan artefak dan exhibit,
menganalisis serta mengevaluasi proses mengatasi masalah. Pembelajaran di kelas
eksperimen 1 (VII D) dilaksanakan 4 kali pertemuan. Berikut ini disajikan tabel
kegiatan pembelajaran kelas dengan pembelajaran pendekatan PBL di kelas
eksperimen 1 (kelas VII D).
Pada pembelajaran ini digunakan Lembar Aktivitas Siswa (LAS). LAS
digunakan sebagai bukti bahwa tahapan-tahapan PBL telah dilaksanakan. Selain
menggunakan LAS peneliti juga menggunakan lembar observasi keterlaksanaan
pembelajaran untuk menjamin keterlaksanaan PBL dengan tepat.
Kegiatan pembelajaran dimulai dengan memberikan informasi kepada siswa
tentang materi yang akan dipelajari. Tahap pertama kegiatan pembelajaran adalah
guru memberikan orientasi permasalahan kepada siswa, pada tahap ini guru
melakukan tanya jawab mengenai masalah yang akan diselesaikan. Namun hanya
beberapa siswa yang menanggapi pertanyaan dari guru. Berdasarkan tanya jawab
yang dilakukan guru, beberapa siswa telah mengetahui cara untuk menyelesaikan
permasalahan. Pada setiap pertemuan tahap memberikan orientasi permasalahan
104
terlaksana semua. Hal ini dibuktikan dengan lembar observasi keterlaksanaan
pembelajaran pada lampiran 2.12.
Tabel 4.9. Rangkuman Rencana Kegiatan Pembelajaran dengan Pendekatan
PBL
No Kegiatan Siswa Kegiatan Guru
1. Siswa dalam kelompok mengamati
permasalahan mengenai luas dan keliling
segiempat yang terdapat di LAS dan
mengumpulkan informasi yang sesuai untuk
memecahkan permasalahan yang ada di LAS.
Memberikan orientasi
tentang permasalahan
terkait keliling dan
luas segiempat kepada
siswa.
2. siswa memahami masalah, menyusun strategi
pemecahan masalah, menyelesaikan
pemecahan masalah dan menarik kesimpulan
sementara dari permasalahan yang ada di
LAS.
Mengorganisasikan
siswa untuk meneliti;
3. siswa mendiskusikan tentang solusi yang
tepat untuk permasalahan yang diamati
tentang permasalahan yang berkaitan luas
dan keliling segiempat yang terdapat di
dalam LAS
Membantu investigasi
mandiri dan
kelompok;
4. setiap kelompok untuk menuliskan jawaban
yang akan dipresentasikan hasil diskusi oleh
perwakilan dari kelompok
Mengembangkan dan
mempresentasikan
artefak dan exhibit;
5. Siswa mengerjakan soal evaluasi yang
diberikan oleh guru.
Menganalisis dan
mengevaluasi proses
mengatasi masalah;
Tahap yang kedua adalah tahap mengorganisasikan siswa untuk meneliti. Pada
tahap ini guru meminta siswa untuk membaca permasalahan yang terdapat pada
LAS bersama dengan kelompok diskusi masing-masing. Dalam kegiatan ini
diharapkan bagi siswa yang tidak mendengarkan ketika guru memberikan
orientasi permasalahan dapat mengetahui permasalahan yang akan diselesaikan.
Berikut adalah bagian LAS yang menunjukkan tahap tersebut.
105
Gambar 4.1. Langkah Kedua Pembelajaran PBL
Tahap mengorganisasikan siswa untuk meneliti terlaksana pada setiap
pertemuan. Hal ini dibuktikan dengan lembar observasi keterlaksanaan
pembelajaran pada lampiran 2.12. Kegiatan diskusi dalam kegiatan pembelajaran
memicu siswa untuk saling tukar menukar ide dengan teman anggota
kelompoknya, hal tersebut sejalan dengan pendapat Mudjiono (2002: 3) yang
menyatakan bahwa diantara tujuan pembelajaran secara kelompok adalah
memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan
memecahkan masalah secara rasional, mengembangkan sikap sosial dan
semangat gotong royong dalam kehidupan, serta mendinamiskan kegiatan
kelompok dalam belajar, sehingga setiap anggota merasa diri sebagai bagian
kelompok yang bertanggung jawab.
Tahap yang ketiga adalah membantu investigasi mandiri dan kelompok, pada
tahap ini guru membantu siswa melakukan investigasi dengan menyampaikan
beberapa pertanyaan secara lisan untuk mempermudah siswa menemukan konsep.
Siswa mendiskusikan tentang solusi yang tepat untuk permasalahan yang diamati
tentang permasalahan yang terdapat di dalam LAS. Siswa melakukan investigasi
kelompok secara bersama-sama dan dilakukan tahap demi tahap secara berurutan.
106
Guru memastikan bahwa siswa melakukan kegiatan secara bersama-sama sesuai
dengan urutan (tidak boleh melakukan pembagian tugas). Berikut adalah bagian
LAS yang menunjukan tahap tersebut. Hal ini bertujuan agar semua siswa dapat
memahami setiap proses menyelesaikan masalah untuk menemukan konsep.
Selain itu apabila permasalahan dikerjakan bersama-sama maka solusi yang
diperoleh merupakan kesepakatan yang telah dikerjakan bersama-sama sehingga
anggota kelompok akan lebih mudah menerima dan memahami penyelesaian dari
permasalahan, alasan tersebut sejalan dengan pendapat Nasution (2000: 34) yang
mengemukakan bahwa salah satu manfaat dari kerja kelompok adalah keputusan
kelompok lebih mudah diterima setiap anggota, bila mereka turut memikirkan dan
memutuskan bersama-sama.
Permasalahan yang digunakan untuk menemukan konsep menggunakan
pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya. Guru berkeliling untuk
mengamati proses diskusi siswa serta mendorong siswa agar dapat menemukan
konsep keliling dan luas persegi dan persegi panjang dengan tepat.
Gambar 4.2. Langkah Ketiga Pembelajaran dengan Pendekatan PBL
107
Kendala yang dialami siswa pada kegiatan ini adalah siswa merasa bingung
untuk menemukan konsep selama beberapa menit. Tindakan yang dilakukan guru
adalah memberikan petunjuk-petunjuk kepada siswa agar siswa mampu
menemukan konsep keliling dan luas segiempat dengan menggunakan
pengetahuan yang dimiliki siswa sebelumnya melalui proses diskusi.
Setelah siswa dapat memahami perintah dan petunjuk maka siswa berdiskusi
dengan teman sekelompoknya. Kegiatan diskusi tersebut berjalan dengan lancar
karena semua kelompok siswa dapat menemukan konsep dengan benar dan cepat.
Penemuan tersebut sejalan dengan pendapat Stahl dalam Isjoni (2009: 15) yang
menyatakan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan belajar siswa lebih baik
dan meningkatkan sikap saling tolong-menolong dalam perilaku sosial.
Tahap pembelajaran selanjutnya adalah mengembangkan dan
mempresentasikan artefak dan exhibit. Pada tahap ini guru menyampaikan kepada
siswa secara lisan agar mempersiapkan hasil diskusi mereka untuk
dipresentasikan. Setiap kelompok untuk menuliskan jawaban yang akan
dipresentasikan hasil diskusi oleh perwakilan dari kelompok Siswa
mempersiapkan hasil diskusi untuk dipresentasikan. Guru meminta perwakilan
siswa untuk mempresentasikan hasil diskusinya. Beberapa siswa maju dan
mempresentasikan hasil diskusinya kemudian siswa yang lain menaggapi hasil
diskusi. Tanggapan yang diberikan oleh siswa yang lain menunjukkan bahwa
siswa memiliki rasa percaya diri untuk mengemukakan pendapatnya. Temuan ini
selaras dengan pendapat Nasution (2000: 34) yang mengemukakan bahwa salah
satu manfaat dari kerja kelompok adalah meningkatkan rasa percaya diri anggota
108
kelompok. Kendala yang dialami pada langkah pembelajaran ini adalah tidak ada
yang mau maju ke depan kelas untuk mempresentasikan hasil diskusi, sehingga
tindakan yang dilakukan peneliti adalah menunjuk secara acak berdasarkan
tanggal di hari tersebut kemudian siswa yang telah maju wajib menunjuk teman
kelompok lain untuk maju selanjutnya.
Selanjutnya, guru memberikan konfirmasi terhadap hasil presentasi siswa.
Guru dan siswa bersama-sama menyimpulkan hasil diskusi dan presentasi siswa.
Guru memberikan tambahan pengetahuan kepada siswa sesuai dengan peran guru
sebagai sumber belajar menurut Wrightman dalam Wina Sanjaya (2011: 21) yang
menyatakan bahwa guru berperan sebagai sumber belajar sehingga dalam proses
pembelajaran guru dituntut untuk memiliki bahan materi yang lebih banyak
dibandingkan siswa.
Gambar 4.3. Langkah Kelima Pembelajaran dengan Pendekatan PBL
Selanjutnya guru memberikan latihan soal kepada siswa berupa soal-soal
pemecahan masalah. Guru membimbing siswa untuk menyelesaikan soal latihan,
kemudian guru mempersilakan kepada perwakilan kelompok untuk menjelaskan
hasil diskusinya di depan kelas. Pada tahap ini, siswa tidak ada yang maju
kemudian guru menunjuk beberapa siswa untuk menjelaskan di depan sementara
siswa yang lain memperhatikan. Setelah pemaparan hasil pekerjaan oleh
perwakilan siswa selesai, siswa yang lain dipersilakan untuk menanggapi.
109
Tanggapan dari siswa adalah jawaban yang dipresentasikan siswa di depan sudah
benar dan sama dengan hasil yang telah mereka kerjakan.
Kendala yang dialami adalah waktu diskusi awal terlalu lama sehingga untuk
mengantisipasi agar seluruh tahap-tahap pembelajaran dengan pendekatan PBL
dapat tetap dilaksanakan maka guru mengambil tindakan untuk mengurangi soal-
soal latihan, namun soal latihan yang lain tetap dibagikan kepada siswa untuk
dikerjakan dirumah. Tindakan yang dilakukan oleh guru sesuai dengan peran guru
sebagai pengelola menurut Wrightman dalam Wina Sanjaya (2011: 21) yang
menyatakan bahwa guru berperan dalam menciptakan iklim belajar yang
memungkinkan siswa dapat belajar secara nyaman. Pada setiap pertemuan tahap
pembelajaran dengan pendekatan PBL terlaksana semua. Hal ini dibuktikan
dengan lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran pada lampiran 2.12
b. Implementasi Pembelajaran Menggunakan Pendekatan PBL dengan
Model Kooperatif Tipe TPS
Pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model kooperatif tipe
TPS pada kelas eksperimen 2 (Kelas VII E) yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah suatu pembelajaran berdassarkan masalah yang dalam pelaksanaannya
dipadukan dengan metode TPS. Pada pembelajaran ini menginginkan siswa untuk
menyelesaikan permasalahan secara mandiri dan bekerja sama secara kelompok.
Siswa dapat mengaitkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki untuk
memecahkan masalah sehingga konstruksi pengetahuan siswa bisa lebih baik dan
pengetahuan siswa menjadi lebih kompleks. Kebermaknaan belajar siswapun
relatif tinggi. Hal ini sejalan dengan teori Ausubel bahwa untuk mencapai belajar
110
yang bermakna, siswa harus menghubungkan pengetahuan baru (konsep-konsep
dan proposisi-proposisi) kepada pengetahuan yang telah diketahuinya (Ibrahim
dan Suparni, 2008: 69).
Penelitian yang dilakukan di kelas eksperimen 2 dengan pembelajaran
menggunakan pendekatan PBL dengan model kooperatif tipe TPS dilaksanakan 4
kali pertemuan. Berikut ini disajikan tabel kegiatan pembelajaran kelas dengan
menggunakan pendekatan PBL dengan model kooperatif tipe TPS di kelas
eksperimen 2 (kelas VII E).
Tabel 4.10. Rangkuman Rencana Kegiatan Pembelajaran
Menggunakan Pendekatan PBL dengan Model Kooperatif Tipe TPS
No Kegiatan Siswa Kegiatan Guru
1. Siswa mengamati permasalahan
mengenai keliling dan luas segiempat
yang terdapat di LAS dan
mengumpulkan informasi yang sesuai
dengan solusi secara individu; (Think)
Memberikan orientasi
tentang permasalahan
terkait keliling dan luas
segiempat kepada siswa;
2. Setelah selesai mengerjakan
permasalahan mengenai keliling dan luas
segiempat yang terdapat di LAS secara
individu guru meminta siswa untuk
berkelompok (setiap kelompok
beranggotakan 2 siswa/ teman satu
meja); (Pair)
Mengorganisasikan siswa
untuk meneliti
permasalahan yang
disajikan dalam bentuk
LAS tentang keliling dan
luas segiempat;
3. siswa mendiskusikan tentang solusi yang
tepat untuk permasalahan yang diamati
tentang permasalahan yang berkaitan
dengan keliling dan luas segiempat yang
terdapat di dalam LAS;
Membantu investigasi
mandiri dan kelompok;
4. Siswa secara bergantian
mempresentasikan hasil diskusinya
didepan kelas dan kelompok lain
memberi tanggapan (Share);
Mengembangkan dan
mempresentasikan artefak
dan exhibit;
5. Siswa melakukan refleksi tentang
kegiatan menemukan konsep yang telah
dilakukan sesuai dengan petunjuk pada
LAS;
Menganalisis dan
mengevaluasi proses
mengatasi masalah
menggunakan LAS;
111
Langkah pertama pada pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan
model kooperatif tipe TPS adalah memberikan orientasi tentang permasalahan
kepada siswa, pada tahap ini. Siswa mengamati permasalahan mengenai
segiempat yang terdapat di LAS dan mengumpulkan informasi yang sesuai
dengan solusi secara individu. Siswa diminta memikirkan secara individu
penyelesaian masalah yang terdapat di dalam LAS. Berikut bagian LAS yang
merupakan tahap pertama PBL dan tahap “Think”.
Gambar 4.4. Langkah Pertama PBL dan “Think”
Langkah kedua adalah mengorganisasikan siswa untuk meneliti. Pada tahap ini
juga merupakan tahap “Pair” yaitu setelah siswa selesai mengerjakan
permasalahan yang terdapat di LAS secara individu guru meminta siswa untuk
berkelompok (setiap kelompok beranggotakan 2 siswa/ teman satu meja).
Gambar 4.3. Langkah Ketiga Pembelajaran PBL TPS
112
Langkah selanjutnya adalah investigasi kelompok. Permasalahan yang pertama
adalah permasalahan untuk menemukan konsep keliling dan luas segiempat.
Siswa mendiskusikan tentang solusi yang tepat untuk permasalahan yang diamati
tentang permasalahan yang berkaitan tentang segiempat yang terdapat di dalam
LAS. Berdasarkan pengamatan guru, LAS tersebut membantu siswa dalam proses
pembelajaran, hal ini sejalan dengan pendapat Isnaningsih & Bimo (2013) bahwa
LAS dapat membantu siswa pada saat proses belajar sehingga pembelajarannya
menjadi lebih baik dan bermakna.
Langkah yang keempat adalah mengembangkan dan mempresentasikan hasil
diskusi. Pada tahap ini guru membantu siswa dalam merencanakan dan
menyiapkan hasil diskusi untuk dipresentasikan dan membantu mereka untuk
menyampaikan kepada siswa lain. Semua kelompok siswa menyusun hasil
diskusi. Siswa secara bergantian mempresentasikan hasil diskusinya didepan kelas
dan kelompok lain memberi tanggapan
Presentasi dapat melatih siswa agar dapat mengkomunikasikan suatu hal
dengan baik kepada orang lain. Proses tersebut dapat mengasah pemahaman siswa
agar lebih dalam lagi. Selain itu, melalui presentasi siswa juga dituntut untuk
dapat mempertanggung jawabkan idenya sehingga siswa akan lebih serius dalam
pembelajaran. Pada tahap ini guru menunjuk perwakilan kelompok secara acak
untuk mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas kemudian meminta siswa
yang lain untuk menanggapi presentasi dari perwakilan siswa, guru menegaskan
kembali kesimpulan yang telah dipaparkan ketika presentasi perwakilan siswa
bersama-sama dengan siswa yang lain. Pembelajaran di kelas eksperimen 2
113
berjalan dengan baik, hal ini karena siswa dapat berperan aktif dan bersedia
melakukan kegiatan-kegiatan sesuai yang telah direncanakan.
Guru memastikan bahwa semua siswa berdiskusi dalam mengerjakan setiap
soal (siswa tidak membagi-bagi dalam mengerjakan soal) sehingga setiap siswa
dapat memahami proses dalam mengerjakan semua soal. Satu per satu soal
dikerjakan kemudian perwakilan siswa diberikan kesempatan untuk menuliskan
hasil diskusinya ke depan. Selanjutnya, guru memberikan konfirmasi, apabila ada
jawaban yang kurang lengkap atau belum tepat siswa lain dapat melengkapi atau
membenarkan.
Pada awalnya, siswa enggan untuk maju menuliskan jawaban di depan kelas,
kendala tersebut kemudian diatasi dengan cara guru membuat suasana lebih santai
dan bersedia membantu siswa apabila di depan kelas siswa merasa kesulitan atau
terdapat hal-hal yang belum tepat. Setelah ada siswa yang bersedia maju maka
untuk soal-soal selanjutnya siswa lain bersedia maju tanpa ditunjuk. Pada soal
pertama siswa belum terbiasa mengerjakan soal-soal pemecahan masalah. Setelah
siswa mampu mengerjakan 1 soal dengan baik pada soal-soal selanjutnya siswa
mampu terbiasa mengerjakan soal pemecahan masalah dengan sistematis, temuan
ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Thorndike dalam Erna Suwangsih
(3.4) tentang hukum latihan yang menyatakan bahwa apabila seseorang siswa
dihadapkan pada suatu persoalan yang sering ditemuinya maka akan segera
melakukan tanggapan secara cepat sesuai dengan pengalaman pada waktu
sebelumnya.
114
2. Kemampuan Pemecahan Masalah
Kemampuan pemecahan masalah yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah kemampuan dalam mengidentifikasi masalah, menentukan strategi yang
digunakan untuk memecahkan masalah, menggunakan strategi yang telah dipilih
untuk menyelesaikan masalah, dan memeriksa kembali kebenaran jawaban
sehingga memperoleh solusi yang tepat dari suatu permasalahan.
a. Pengaruh Penerapan Pembelajaran menggunakan Pendekatan PBL
dengan Model Kooperatif Tipe TPS, Pembelajaran dengan Pendekatan
PBL, Pembelajaran Konvensional terhadap Peningkatan Kemampuan
Pemecahan Masalah Siswa
Berdasarkan hasil uji hipotesis menggunakan anova satu jalur diperoleh
hasil bahwa pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model
kooperatif tipe TPS, pembelajaran dengan pendekatan PBL, dan pembelajaran
konvensional berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan kemampuan
pemecahan masalah siswa. Lebih jelasnya bahwa terdapat perbedaan rata-rata
gain kemampuan pemecahan masalah siswa yang memperoleh pembelajaran
menggunakan pendekatan PBL dengan model kooperatif tipe TPS,
pembelajaran dengan pendekatan PBL, dan pembelajaran konvensional.
Pada bagian ini akan dibahas tentang pengaruh pembelajaran dengan
pendekatan PBL terhadap kemampuan pemecahan masalah siswa jika
dibandingkan dengan pembelajaran konvensional, pengaruh pembelajaran
menggunakan pendekatan PBL dengan model kooperatif tipe TPS terhadap
kemampuan pemecahan masalah siswa jika dibandingkan dengan pembelajaran
konvensional, dan pengaruh pembelajaran menggunakan pendekatan PBL
115
dengan model kooperatif tipe TPS terhadap kemampuan pemecahan masalah
siswa jika dibandingkan dengan pembelajaran dengan pendekatan PBL.
1) Pengaruh Penerapan Pembelajaran dengan Pendekatan PBL terhadap
Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa Dibandingkan dengan
Pembelajaran Konvensional
Berdasarkan uji hipotesis menggunakan anova satu jalur dan uji tukey
dengan bantuan software SPSS 15 tentang perbedaan rata-rata data gain
siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PBL
dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional
maka diperoleh hasil bahwa nilai signifikansinya 0,00 < 0,05 (alfa) yang
mengakibatkan H0 ditolak dan H1 diterima. Artinya terdapat perbedaan rata-
rata data gain siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan
PBL dibandingkan pembelajaran konvensional.
Di sisi lain, apabila ditinjau dari rata-rata gain kemampuan pemecahan
masalah kelas eksperimen 1 adalah 19,08 sedangkan rata-rata gain
kemampuan pemecahan masalah kelas kontrol adalah 12,37. Berdasarkan
hasil uji hipotesis menggunakan anova satu jalur dan uji tukey dengan
bantuan software SPSS 15 tentang perbedaan rata-rata data gain siswa yang
memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PBL dengan siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional dan meninjau rata-rata maka dapat
disimpulkan bahwa rata-rata skor gain siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan pendekatan PBL lebih besar secara signifikan
terhadap kemampuan pemecahan masalah dibandingkan rata-rata gain siswa
yang memperoleh pembelajaran konvensional. Berdasarkan definisi
116
operasional pembelajaran dikatakan terdapat perbedaan pengaruh apabila
nilai Sig < 0,05.
Berdasarkan hasil uji hipotesis, meninjau rata-rata gain siswa, dan definisi
operasional tentang perbedaan pengaruh maka dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran dengan pendekatan PBL berpengaruh lebih baik terhadap
kemampuan pemecahan masalah siswa dibandingkan dengan pembelajaran
konvensional. Selanjutnya akan dibahas tentang hasil pretest dan posttest
kemampuan pemecahan masalah siswa pada pembelajaran dengan
pendekatan PBL dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.
Hal tersebut sejalan dengan penjelasan pada bagian 1) bahwa aktivitas
dalam pembelajaran dengan pendekatan PBL adalah menyelesaikan masalah
dan berpikir secara ilmiah. Selanjutnya, berdasarkan hukum latihan yang
dikemukakan oleh Thorndike (dalam Ibrahim & Suparni, 2008: 67)
menyatakan bahwa semakin sering suatu pengetahuan yang telah terbentuk
akibat terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon dilatih (digunakan)
maka asosiasi tersebut semakin kuat. Berdasarkan paparan tersebut siswa di
kelas eksperimen 1 terbiasa mengerjakan soal-soal pemecahan masalah
sehingga akan lebih mampu menyelesaikan soal pemecahan masalah
daripada siswa di kelas kontrol, hal tersebut menyebabkan pembelajaran
dengan pendekatan PBL berpengaruh lebih baik dibandingkan pembelajaran
konvensional terhadap kemampuan pemecahan masalah siswa.
Temuan ini berbeda dengan temuan Santosa (2015) yang menyatakan
bahwa PBL tidak terdapat perbedaan pengaruh dengan pembelajaran
117
konvensional terhadap kemampuan memecahkan masalah matematika,
namun sejalan dengan temuan Salamah (2011) yang menyatakan bahwa
pembelajaran pendekatan PBL dengan peta konsep efektif terhadap
pemecahan masalah siswa.
2) Pengaruh Penerapan Pembelajaran Pendekatan menggunakan PBL
dengan Model Kooperatif Tipe TPS terhadap Kemampuan Pemecahan
Masalah Siswa Dibandingkan dengan Pembelajaran Konvensional
Berdasarkan uji hipotesis menggunakan anova satu jalur dan uji tukey
dengan bantuan software SPSS 15 tentang perbedaan rata-rata data gain
siswa yang memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan PBL
dengan model kooperatif tipe TPS dibandingkan dengan siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional maka diperoleh hasil bahwa nilai
signifikansinya 0,00 < 0,05 (alfa) yang mengakibatkan H0 ditolak dan H1
diterima. Artinya terdapat perbedaan rata-rata data gain siswa yang
memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model
kooperatif tipe TPS dibandingkan pembelajaran konvensional.
Di sisi lain, apabila ditinjau dari rata-rata gain kemampuan pemecahan
masalah kelas eksperimen 2 adalah 27,52 sedangkan rata-rata gain
kemampuan pemecahan masalah kelas kontrol adalah 12,37. Berdasarkan
hasil uji hipotesis menggunakan anova satu jalur dan uji tukey dengan
bantuan software SPSS 15 tentang perbedaan rata-rata data gain siswa yang
memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model
kooperatif tipe TPS dengan siswa yang memperoleh pembelajaran
konvensional dan meninjau rata-rata maka dapat disimpulkan bahwa rata-
118
rata skor gain siswa yang memperoleh pembelajaran pendekatan PBL
dengan model kooperatif tipe TPS lebih besar secara signifikan terhadap
kemampuan pemecahan masalah dibandingkan rata-rata gain siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional. Berdasarkan definisi operasional
pembelajaran dikatakan terdapat perbedaan pengaruh apabila nilai Sig <
0,05.
Berdasarkan hasil uji hipotesis, meninjau rata-rata gain siswa, dan
definisi operasional tentang perbedaan pengaruh maka dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model
kooperatif tipe TPS berpengaruh lebih baik terhadap kemampuan
pemecahan masalah siswa dibandingkan dengan pembelajaran
konvensional. Selanjutnya akan dibahas tentang hasil pretest dan posttest
kemampuan pemecahan masalah siswa pada pembelajaran menggunakan
pendekatan PBL dengan model kooperatif tipe TPS dibandingkan dengan
pembelajaran konvensional.
Hal tersebut sejalan dengan penjelasan pada bagian 1) bahwa aktivitas
dalam pembelajaran dengan pendekatan PBL adalah menyelesaikan masalah
dan berpikir secara ilmiah. Selanjutnya, berdasarkan hukum latihan yang
dikemukakan oleh Thorndike (dalam Ibrahim & Suparni, 2008: 67)
menyatakan bahwa semakin sering suatu pengetahuan yang telah terbentuk
akibat terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon dilatih (digunakan)
maka asosiasi tersebut semakin kuat. Berdasarkan paparan tersebut siswa di
kelas eksperimen 2 terbiasa mengerjakan soal-soal pemecahan masalah
119
sehingga akan lebih mampu menyelesaikan soal pemecahan masalah
daripada siswa di kelas kontrol, hal tersebut menyebabkan pembelajaran
menggunakan pendekatan PBL dengan model kooperatif tipe TPS
berpengaruh lebih baik dibandingkan pembelajaran konvensional terhadap
kemampuan pemecahan masalah siswa.
Temuan ini berbeda dengan temuan Santosa (2015) yang menyatakan
bahwa PBL tidak terdapat perbedaan pengaruh dengan pembelajaran
konvensional terhadap kemampuan memecahkan masalah matematika,
namun sejalan dengan temuan Salamah (2011) yang menyatakan bahwa
pembelajaran dengan pendekatan PBL dengan peta konsep efektif terhadap
pemecahan masalah siswa.
3) Pengaruh Penerapan Pembelajaran Menggunakan Pendekatan PBL
dengan Model Kooperatif Tipe TPS terhadap Kemampuan Pemecahan
Masalah Siswa Dibandingkan dengan Pembelajaran Pendekatan PBL
Berdasarkan uji hipotesis menggunakan anova satu jalur dan uji tukey
dengan bantuan software SPSS 15 tentang perbedaan rata-rata data gain
siswa yang memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan PBL
dengan model kooperatif tipe TPS dengan siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan pendekatan PBL maka diperoleh hasil bahwa nilai
signifikansinya 0,00 < 0,05 (alfa) yang mengakibatkan H0 ditolak dan H1
diterima. Artinya terdapat perbedaan rata-rata data gain siswa yang
memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model
kooperatif tipe TPS dibandingkan pembelajaran dengan pendekatan PBL.
120
Di sisi lain, apabila ditinjau dari rata-rata yaitu rata skor gain
kemampuan pemecahan masalah kelas eksperimen 2 adalah 27,52
sedangkan rata-rata gain kemampuan pemecahan masalah kelas eksperimen
1 adalah 19,08. Berdasarkan hasil uji hipotesis menggunakan anova satu
jalur dan uji tukey dengan bantuan software SPSS 15 tentang perbedaan
rata-rata data gain siswa yang memperoleh pembelajaran menggunakan
pendekatan PBL dengan model kooperatif tipe TPS dengan siswa yang
memperoleh pembelajaran pendekatan PBL dan meninjau rata-rata maka
dapat disimpulkan bahwa rata-rata skor gain siswa yang memperoleh
pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model kooperatif tipe
TPS berpengaruh lebih besar secara signifikan terhadap kemampuan
pemecahan masalah dibandingkan rata-rata gain siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan pendekatan PBL. Berdasarkan definisi operasional
pembelajaran dikatakan terdapat perbedaan pengaruh apabila nilai Sig <
0,05.
Berdasarkan hasil uji hipotesis, meninjau rata-rata data gain siswa, dan
definisi operasional tentang perbedaan pengaruh pembelajaran maka dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan
model kooperatif tipe TPS berpengaruh lebih besar terhadap kemampuan
pemecahan masalah siswa dibandingkan dengan pembelajaran dengan
pendekatan PBL.
Hasil menunjukkan bahwa pembelajaran meggunakan pendekatan PBL
dengan model kooperatif tipe TPS berpengaruh lebih besar dibandingkan
121
pembelajaran dengan pendekatan PBL terhadap kemampuan pemecahan
masalah siswa, sehingga diduga penggunaan model pembelajaran kooperatif
tipe TPS yang menyebabkan perbedaan pengaruh pembelajaran di kelas
eksperimen 2 dibandingkan pembelajaran di kelas eksperimen 1 terhadap
kemampuan pemecahan masalah siswa.
Temuan tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Hariyanto (2015) yang menyatakan bahwa Kemampuan pemecahan masalah
fisika secara kreatif yang belajar dengan model PBL berbantuan Mind Map
lebih tinggi dibandingkan pembelajaran PBL. Persamaan penelitian
Hariyanto dengan penelitian ini adalah menggunakan pembelajaran
pendekatan PBL. Perbedaannya adalah, pada penelitian yang dilakukan oleh
Hariyanto pembelajaran yang dilakukan berbantuan Mind Map sedangkan
pada penelitian ini pembelajaran yang digunakan model kooperatif tipe
TPS.
Berdasarkan kesimpulan 1) yaitu pembelajaran dengan pendekatan PBL
berpengaruh lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional terhadap
kemampuan pemecahan masalah siswa, kesimpulan 2) yaitu pembelajaran
menggunakan pendekatan PBL dengan model kooperatif tipe TPS berpengaruh
lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional terhadap kemampuan
pemecahan masalah siswa, dan kesimpulan 3) yaitu pembelajaran menggunakan
pendekatan PBL dengan model kooperatif tipe TPS berpengaruh lebih baik
dibandingkan dengan pembelajaran dengan pendekatan PBL terhadap
kemampuan pemecahan masalah siswa, maka dapat ditarik kesimpulan secara
122
umum bahwa pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model
kooperatif tipe TPS berpengaruh paling baik terhadap kemampuan pemecahan
masalah dibandingkan pembelajaran dengan pendekatan PBL dan pembelajaran
konvensional, serta pembelajaran dengan pendekatan PBL berpengaruh lebih baik
terhadap kemampuan pemecahan masalah dibandingkan pembelajaran
konvensional. Kesimpulan tersebut diperkuat oleh Ibrahim dan Suparni (2008:
35), bahwa selama Matematika diajarkan dengan menekankan pada yang sifatnya
hafalan apalagi secara parsial maka kemungkinan siswa untuk memiliki
kemampuan matematis tingkat tinggi peluangnya kecil.
3. Self Confidence
Self Confidence yang dimaksud dalam penelitian ini adalah evaluasi diri
seseorang sehingga dapat meyakini kemampuannya dalam melakukan tindakan
untuk mencapai kebahagiaan dirinya. Kepercayaan diri merupakan dasar dari
motivasi diri untuk berhasil.
a. Pengaruh Penerapan Pembelajaran Menggunakan Pendekatan PBL
dengan Model Kooperatif Tipe TPS, Pembelajaran dengan Pendekatan
PBL, Pembelajaran Konvensional terhadap Peningkatan Self Confidence
Siswa.
Berdasarkan hasil uji hipotesis menggunakan anova satu jalur diperoleh
hasil bahwa pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model
kooperatif tipe TPS, pembelajaran dengan pendekatan PBL, dan pembelajaran
konvensional berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan self
confidence siswa. Lebih jelasnya bahwa terdapat perbedaan rata-rata gain self
123
confidence siswa yang memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan
PBL dengan model kooperatif tipe TPS, pembelajaran dengan pendekatan
PBL, dan pembelajaran konvensional.
Pada bagian ini akan dibahas tentang pengaruh pembelajaran dengan
pendekatan PBL terhadap self confidence siswa jika dibandingkan dengan
pembelajaran konvensional, pengaruh pembelajaran menggunakan pendekatan
PBL dengan model kooperatif tipe TPS terhadap self confidence siswa jika
dibandingkan dengan pembelajaran konvensional, dan pengaruh pembelajaran
menggunakan pendekatan PBL dengan model kooperatif tipe TPS terhadap self
confidence siswa jika dibandingkan dengan pembelajaran dengan pendekatan
PBL.
1) Perbedaan Pengaruh Pembelajaran dengan Pendekatan PBL
terhadap Self Confidence Siswa Dibandingkan dengan Pembelajaran
Konvensional.
Berdasarkan uji hipotesis menggunakan anova satu jalur dan uji tukey
dengan bantuan software SPSS 15 tentang perbedaan rata-rata data gain
siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PBL
dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional
maka diperoleh hasil bahwa nilai signifikansinya 0,32 > 0,05 (alfa) yang
mengakibatkan H1 ditolak dan H0 diterima. Artinya tidak terdapat
perbedaan rata-rata data gain siswa yang memperoleh pembelajaran
dengan pendekatan PBL dibandingkan pembelajaran konvensional.
Di sisi lain, apabila ditinjau dari rata-rata ain kemampuan pemecahan
masalah kelas eksperimen 1 adalah 10,20 sedangkan rata-rata gain self
124
confidence kelas kontrol adalah 8,61. Berdasarkan hasil uji hipotesis
menggunakan anova satu jalur dan uji tukey dengan bantuan software
SPSS 15 tentang perbedaan rata-rata data gain siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan pendekatan PBL dengan siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional dan meninjau rata-rata maka dapat
disimpulkan bahwa rata-rata skor gain siswa yang memperoleh
pembelajaran dengan pendekatan PBL lebih besar secara signifikan
terhadap self confidence dibandingkan rata-rata gain siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional. Berdasarkan definisi operasional
pembelajaran dikatakan terdapat perbedaan rata-rata apabila nilai Sig <
0,05.
Berdasarkan hasil uji hipotesis, meninjau rata-rata gain siswa, dan
definisi operasional tentang pengaruh maka dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran dengan pendekatan PBL berpengaruh sama terhadap self
confidence siswa dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Hal
tersebut bisa terjadi diduga karena siswa dalam pembelajaran kurang
memanfaatkan kegiatan diskusi untuk melatih mengungkapkan pendapat
dan hanya beberapa siswa saja yang dominan dalam kelompok sehingga
belum tercapai secara optimal. Kemudian, kurangnya kesempatan untuk
siswa maju ke depan mempresentasikan hasil diskusi didepan teman-
temannya serta setiap kelompok hampir tidak ada yang maju dengan
kemauan sendiri, dan harus ditunjuk terlebih dahulu.
125
2) Pengaruh Penerapan Pembelajaran menggunakan Pendekatan PBL
dengan Model Kooperatif Tipe TPS terhadap Self Confidence Siswa
Dibandingkan dengan Pembelajaran Konvensional.
Berdasarkan uji hipotesis menggunakan anova satu jalur dan uji tukey
dengan bantuan software SPSS 15 tentang perbedaan rata-rata data gain
siswa yang memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan PBL
dengan model kooperatif tipe TPS dibandingkan dengan siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional maka diperoleh hasil bahwa nilai
signifikansinya 0,00 < 0,05 (alfa) yang mengakibatkan H0 ditolak dan H1
diterima. Artinya terdapat perbedaan rata-rata data gain siswa yang
memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model
kooperatif tipe TPS dibandingkan pembelajaran konvensional.
Di sisi lain, apabila ditinjau dari rata-rata gain self confidence kelas
eksperimen 2 adalah 16,63 sedangkan rata-rata gain self confidence kelas
kontrol adalah 8,62. Berdasarkan hasil uji hipotesis menggunakan anova
satu jalur dan uji tukey dengan bantuan software SPSS 15 tentang
perbedaan rata-rata data gain siswa yang memperoleh pembelajaran
menggunakan pendekatan PBL dengan model kooperatif tipe TPS dengan
siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional dan meninjau rata-
rata maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata skor gain siswa yang
memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model
kooperatif tipe TPS lebih besar secara signifikan terhadap self confidence
dibandingkan rata-rata gain siswa yang memperoleh pembelajaran
126
konvensional. Berdasarkan definisi operasional pembelajaran dikatakan
terdapat pengaruh apabila nilai Sig < 0,05.
Berdasarkan hasil uji hipotesis, meninjau rata-rata gain siswa, dan
definisi operasional tentang pengaruh maka dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model kooperatif
tipe TPS berpengaruh lebih baik terhadap self confidence siswa
dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Selanjutnya akan
dibahas tentang hasil prescale dan postscale self confidence siswa pada
pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model kooperatif
tipe TPS dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.
Selanjutnya, berdasarkan hukum latihan yang dikemukakan oleh
Thorndike (dalam Ibrahim & Suparni : 2008 : 67) menyatakan bahwa
semakin sering suatu pengetahuan yang telah terbentuk akibat terjadinya
asosiasi antara stimulus dan respon dilatih (digunakan) maka asosiasi
tersebut semakin kuat. Berdasarkan paparan tersebut siswa di kelas
eksperimen 2 terbiasa berlatih tentang kepercayaan diri yaitu pada tahap
Pair dimana siswa dilatih untuk mempertahankan pendapatnya serta tahap
Share dimana siswa dilatih menyampaikan ide didepan orang lain
sehingga akan lebih percaya diri dibandingkan kelas kontrol, hal tersebut
menyebabkan pembelajaran pendekatan PBL dengan model kooperatif
tipe TPS berpengaruh lebih baik dibandingkan pembelajaran konvensional
terhadap self confidence.
127
3) Pengaruh Penerapan Pembelajaran menggunakan Pendekatan PBL
dengan Model Kooperatif Tipe TPS terhadap Self Confidence Siswa
Dibandingkan dengan Pembelajaran dengan Pendekatan PBL
Berdasarkan uji hipotesis menggunakan anova satu jalur dan uji tukey
dengan bantuan software SPSS 15 tentang perbedaan rata-rata data gain
siswa yang memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan PBL
dengan model kooperatif tipe TPS dengan siswa yang memperoleh
pembelajaran pendekatan PBL maka diperoleh hasil bahwa nilai
signifikansinya 0,00 < 0,05 (alfa) yang mengakibatkan H0 ditolak dan H1
diterima. Artinya terdapat perbedaan rata-rata data gain siswa yang
memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model
kooperatif tipe TPS dibandingkan pembelajaran dengan pendekatan PBL.
Di sisi lain, apabila ditinjau dari rata-rata yaitu rata skor gain self
confidence kelas eksperimen 2 adalah 16,62 sedangkan rata-rata gain self
confidence kelas eksperimen 1 adalah 10,20. Berdasarkan hasil uji
hipotesis menggunakan anova satu jalur dan uji tukey dengan bantuan
software SPSS 15 tentang perbedaan rata-rata data gain siswa yang
memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model
kooperatif tipe TPS dengan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan
pendekatan PBL dan meninjau rata-rata maka dapat disimpulkan bahwa
rata-rata skor gain siswa yang memperoleh pembelajaran menggunakan
pendekatan PBL dengan model kooperatif tipe TPS berpengaruh lebih baik
secara signifikan terhadap self confidence dibandingkan rata-rata gain
siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PBL.
128
Berdasarkan definisi operasional pembelajaran dikatakan terdapat
pengaruh apabila nilai Sig < 0,05. Berdasarkan hasil uji hipotesis,
meninjau rata-rata data gain siswa, dan definisi operasional tentang
perbedaan pengaruh pembelajaran maka dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model kooperatif
tipe TPS berpengaruh lebih besar terhadap self confidence siswa
dibandingkan pembelajaran dengan pendekatan PBL. Hasil menunjukkan
bahwa pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model
kooperatif tipe TPS berpengaruh lebih besar dibandingkan pembelajaran
dengan pendekatan PBL terhadap self confidence siswa, sehingga diduga
penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TPS yang menyebabkan
pembelajaran di kelas eksperimen 2 dibandingkan pembelajaran di kelas
eksperimen 1 terhadap self confidence siswa.
Berdasarkan kesimpulan 1) yaitu pembelajaran pendekatan PBL
berpengaruh sama dibandingkan dengan pembelajaran konvensional terhadap self
confidence siswa, kesimpulan 2) yaitu pembelajaran menggunakan pendekatan
PBL dengan model kooperatif tipe TPS berpengaruh lebih baik dibandingkan
dengan pembelajaran konvensional terhadap self confidence siswa, dan
kesimpulan 3) yaitu pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model
kooperatif tipe TPS lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran dengan
pendekatan PBL terhadap self confidence siswa, maka dapat ditarik kesimpulan
secara umum bahwa pembelajaran menggunakan pendekatan PBL dengan model
kooperatif tipe TPS berpengaruh paling baik terhadap self confidence
129
dibandingkan pembelajaran dengan pendekatan PBL dan pembelajaran
konvensional, serta pembelajaran dengan pendekatan PBL berpengaruh lebih baik
terhadap self confidence dibandingkan pembelajaran konvensional.