bab ii landasan teori dan tinjauan pustaka 2.1 landasan

48
21 BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Kualitas Layanan Menurut Lovelock dan Wright (2005: 5), layanan adalah tindakan atau kinerja yang menciptakan manfaat bagi pelanggan dengan mewujudkan perubahan yang diinginkan dalam diri penerima layanan. Menurut Kotler dan Armstrong (2003: 337), layanan adalah berbagai kegiatan atau manfaat yang dapat ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud, dan tidak menghasilkan perpindahan kepemilikan. Dari dua pengertian layanan ini dapat dipahami layanan merupakan tindakan atau kinerja yang ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lainnya. Kinerja layanan pada dasarnya tidak nyata dan biasanya tidak menghasilkan kepemilikian atas faktor-faktor produksi. Layanan juga dipahami sebagai kegiatan ekonomi yang menciptakan dan memberikan manfaat bagi pelanggan pada waktu dan tempat tertentu, sebagai hasil dari tindakan mewujudkan perubahan yang diinginkan dalam diri penerima layanan tersebut. Layanan (service) merupakan suatu peristiwa yang sangat kompleks. Kata service” dapat memiliki makna yang berbeda, yaitu service sebagai layanan seseorang (personal service) dan service sebagai suatu produk. Hal yang terpenting dari layanan adalah bagaimana kualitas layanan dipersepsikan oleh pelanggan. Layanan biasanya dirasakan secara subjektif oleh pelanggan dengan melibatkan berbagai macam ekspresi yang terkait dengan pengalaman,

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

21

BAB II

LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Kualitas Layanan

Menurut Lovelock dan Wright (2005: 5), layanan adalah tindakan atau

kinerja yang menciptakan manfaat bagi pelanggan dengan mewujudkan

perubahan yang diinginkan dalam diri penerima layanan. Menurut Kotler dan

Armstrong (2003: 337), layanan adalah berbagai kegiatan atau manfaat yang dapat

ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud,

dan tidak menghasilkan perpindahan kepemilikan. Dari dua pengertian layanan ini

dapat dipahami layanan merupakan tindakan atau kinerja yang ditawarkan oleh

suatu pihak kepada pihak lainnya. Kinerja layanan pada dasarnya tidak nyata dan

biasanya tidak menghasilkan kepemilikian atas faktor-faktor produksi. Layanan

juga dipahami sebagai kegiatan ekonomi yang menciptakan dan memberikan

manfaat bagi pelanggan pada waktu dan tempat tertentu, sebagai hasil dari

tindakan mewujudkan perubahan yang diinginkan dalam diri penerima layanan

tersebut.

Layanan (service) merupakan suatu peristiwa yang sangat kompleks. Kata

“service” dapat memiliki makna yang berbeda, yaitu service sebagai layanan

seseorang (personal service) dan service sebagai suatu produk. Hal yang

terpenting dari layanan adalah bagaimana kualitas layanan dipersepsikan oleh

pelanggan. Layanan biasanya dirasakan secara subjektif oleh pelanggan dengan

melibatkan berbagai macam ekspresi yang terkait dengan pengalaman,

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

22

kepercayaan, perasaan, dan kenyaman pelanggan. Menurut Gronroos (1998),

layanan memiliki empat karakteristik dasar, yaitu: (1) bersifat tidak berwujud

(intangibles), (2) merupakan serangkaian aktivitas, (3) proses produksi dan

konsumsi dilakukan secara bersamaan, dan (4) adanya partisipasi konsumen

dalam proses produksi. Menurut Kotler dan Armstrong (2003; p.368), layanan

memiliki karakteristik yang terdiri atas: (1) tidak berwujud, (2) tidak terpisahkan

(inseparable), (3) berubah-ubah, dan (4) tidak tahan lama. Menurut Lovelock dan

Wright (2007), layanan merupakan serangkaian kegiatan yang memiliki

karakteristik: (1) tidak berwujud (intangible), (2) mudah rusak (perishable), (3)

sangat beragam (variability), (4) diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan

(inseparable), serta (5) pelanggan berpartisipasi aktif dalam proses produksinya.

Dari ketiga pendapat tersebut dapat dipahami bahwa layanan memiliki

karakteristik tidak berwujud (intangible), diproduksi dan dikonsumsi secara

bersamaan (inseparable), berubah-ubah/sangat beragam (variability), mudah

rusak (perishable), dan pelanggan berpartisipasi aktif dalam proses produksinya,

serta tidak menghasilkan kepemilikian bagi konsumen atas faktor-faktor produksi

layanan (lack of ownership).

Karakteristik tidak berwujud (intangibles) menyebabkan layanan tidak

dapat dilihat, dirasakan, diraba, didengar, atau dicium sebelum dibeli.

Karakteristik ini menyebabkan layanan berbeda dengan barang. Layanan

merupakan suatu perbuatan, tindakan, pengalaman, proses, kinerja, atau usaha.

Hal ini menyebabkan konsumen mengalami ketidakpastian dalam pembelian

layanan karena terbatasnya karakteristik fisik yang dapat dievaluasi konsumen

sebelum melakukan pembelian. Bagi konsumen kualitas apa dan bagaimana

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

23

layanan akan diterimanya, secara umum tidak dapat diketahui sebelum layanan

tersebut dikonsumsi. Dengan demikian konsumen akan merasakan resiko yang

besar pada saat awal pembelian layanan, sehingga dalam memutuskan untuk

membeli suatu layanan konsumen akan lebih banyak dipengaruhi oleh sumber

informasi yang bersifat personal (word of mouth – WOM) dan juga mencari

petunjuk fisik (tangibles clues), seperti penampilan fisik fasilitas layanan,

penampilan karyawan, atau harga yang ditetapkan untuk menilai kualitas layanan.

Karakteristik ketidak-berpisahan (inseparable) antara proses produksi dan

konsumsi menyebabkan layanan diproduksi dan dikonsumsi pada saat yang

bersamaan dan tidak dapat dipisahkan dari penyedianya, baik penyedianya berupa

manusia atau mesin. Layanan secara umum dijual terlebih dahulu, baru kemudian

diproduksi dan dikonsumsi pada waktu dan tempat yang sama. Bagi layanan yang

memiliki tingkat kontak dengan pelanggan yang tinggi, penyedia layanan dan

pelanggan harus sama-sama hadir, dan interaksi di antara mereka merupakan

faktor penting yang menentukan kepuasan konsumen terhadap layanan tersebut.

Peranan karyawan pada lini depan sangat penting dalam menyampaikan atau

merealisasikan layanan kepada konsumen, dan bila konsumen menyukai

karyawan tersebut kemungkinan mereka akan puas dengan layanan yang

diberikan. Dengan demikian, karyawan lini depan menjadi representasi layanan

atau perusahaan penyedia layanan di mata konsumen. Selain itu, karakteristik ini

membawa implikasi pada kehadiran konsumen lainnya yang dapat mempengaruhi

kepuasan konsumen terhadap layanan yang disampaikan.

Karakteristik layanan yang berubah-ubah/sangat beragam (variability)

merupakan output layanan yang non-standardized, sehingga banyak variasi

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

24

bentuk dan kualitas dalam layanan yang tergantung kepada siapa, kapan, dan di

mana layanan tersebut diproduksi. Variasi ini terjadi karena layanan melibatkan

unsur manusia dalam proses produksi dan konsumsinya yang tidak dapat

diprediksi dan cenderung tidak konsisten dalam hal sikap dan perilaku. Adanya

variasi dalam layanan yang diperankan oleh unsur manusia tergantung pada

kerjasama/partisipasi konsumen selama penyampaian layanan, moral/motivasi

karyawan dalam melayani konsumen, dan beban kerja perusahaan. Variasi ini

dapat diminimalkan dengan cara memilih karyawan yang tepat dan melakukan

service customization yaitu meningkatkan interaksi antara penyedia layanan dan

konsumen sedmikian rupa sehingga layanan dapat disesuaikan dengan kebutuhan

dan keinginan individual setiap konsumen.

Karakteristik layanan yang mudah rusak (perishable) menunjukkan

layanan tidak tahan lama dan tidak dapat disimpan. Karakteristik ini membawa

implikasi pada permintaan layanan yang berfluktuatif mengikuti musim sepi,

ramai, atau musim puncak. Kegagalan dalam memenuhi permintaan pada musim

puncak (peak season) akan menyebabkan ketidakpuasan konsumen, dan

sebaliknya bila perusahaan menyediakan kapasitas yang sesuai dengan peak

seasons akan mengalami masalah pada saat low seasons, karena banyak kapasitas

yang menganggur. Dilema ini mengharuskan perusahaan penyedia layanan harus

mengelola permintaan dan penawaran yang efesien sesuai dengan kebutuhan.

Mengelola permintaan dapat dilakukan dengan cara menerapkan harga yang

berbeda pada saat peak season dan low season, serta melakukan sistim pemesanan

(reservation) dan sistim antrean. Mengelola penawaran dapat dilakukan dengan

cara menggunakan karyawan paruh waktu pada periode sibuk sehingga

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

25

perusahaan dapat melayani permintaan konsumen dengan optimal, menyewa

fasilitas, menerapkan pelatihan silang kepada karyawan sehingga memiliki

karyawan yang multiskill, dan meningkatkan partisipasi konsumen dalam layanan.

Karakteristik lack of ownership merupakan perbedaan dasar antara layanan

dan barang. Pada pembelian barang konsumen memiliki hak penuh atas

penggunaan dan manfaat produk yang dimilikinya, yaitu mereka dapat

mengkonsumsi, menyimpan, dan menjualnya kembali. Pada pembelian layanan,

konsumen hanya memiliki akses personal atas suatu layanan untuk jangka waktu

yang terbatas. Pembayaran ditujukan hanya untuk pemakaian, akses, penyewaan

item-item tertentu yang berkaitan dengan layanan yang ditawarkan.

Perbedaan besar yang dapat dilihat dari layanan terletak pada apa yang

diprosesnya. Dalam layanan, manusia, benda fisik, dan data dapat diproses, serta

sifat dari proses tersebut dapat terlihat atau tidak terlihat. Menurut Lovelock dan

Wirtz (2011: 19) layanan dapat diklasifikasikan berdasarkan siapa atau apa yang

menjadi penerima langsung dari layanan, serta sifat dan tindakan layanan.

Layanan dapat diklasifikasikan menjadi empat, yaitu: pemrosesan manusia,

pemrosesan kepemilikan, pemrosesan stimulus mental, dan pemrosesan informasi.

Pemrosesan manusia adalah layanan yang ditujukan pada tubuh seseorang

yang tindakannya dapat terlihat, diantaranya penumpang transportasi, perhotelan,

dan layanan kesehatan. Pemrosesan kepemilikian merupakan layanan yang

ditujukan pada benda fisik yang dimiliki dan tindakannya dapat terlihat, seperti

transportasi kargo, perbaikan dan perawatan benda, binatu, dan dry cleaning.

Pemrosesan stimulus mental adalah layanan yang ditujukan pada pikiran

seseorang dan tindakannya tidak dapat dilihat, seperti pendidikan, iklan/hubungan

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

26

masyarakat, dan psikoterapi. Pemrosesan informasi merupakan layanan yang

ditujukan kepada aset-aset tidak berwujud yang tindakannya tidak dapat dilihat,

yaitu akuntansi, perbankan, dan jasa hukum.

Layanan juga dapat diklasifikasikan berdasarkan keterlibatan karyawan

dan interaksi pelanggan dalam layanan. Menurut Olorunniwo et al. (2006),

layanan dapat diklasifikasikan menjadi empat kuadran, yaitu service factory,

service shop, mass service, dan professional service. Service factory merupakan

layanan yang intensitas keterlibatan karyawan rendah dan interaksi pelanggan

juga rendah, yaitu layanan pada airlines, trucking, hotel, resorts, dan recreations.

Service shop merupakan layanan yang intensitas keterlibatan karyawan rendah

dan interaksi pelanggan yang tinggi, yaitu hospitals, retoran, autoservice, dan

layanan perbaikan lainnya. Mass service adalah layanan dengan intensitas

keterlibatan karyawan tinggi dan interaksi pelanggan rendah, yaitu commercial

banking, retailing, sekolah, dan wholeselling. Professional service adalah layanan

yang intensitas keterlibatan karyawan tinggi dan interaksi pelanggan tinggi, yaitu

law firms, accounting firms, dan medical clinics.

Pada literatur tentang kualitas layanan terdapat perdebatan tentang aspek

yang dievaluasi oleh pelanggan berkaitan dengan layanan. Perdebatan itu

menyangkut dimensi dasar tentang kualitas layanan, serta dimensi-dimensi yang

bersifat umum dan khusus yang meliputi berbagai jenis jasa. Pemahaman tentang

kualitas layanan dapat dimulai dari makna kualitas. Pengertian kualitas adalah apa

yang dirasakan oleh pelanggan (Gronroos, 1988). Kualitas layanan merupakan

suatu fenomena yang kompleks yang memerlukan banyak model untuk

menjelaskannya. Layanan adalah sebagian besar tidak berwujud (intangibles)

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

27

yang secara subyektif proses produksi dan konsumsi dialami secara simultan. Ada

layanan yang frekuensi interaksi antara pelanggan dan penyedia layanan sangat

tinggi, sehingga segala sesuatu yang terjadi pada interaksi ini berdampak pada

layanan yang dirasakan. Hal yang terpenting dari layanan adalah bagaimana

kualitas layanan dapat dipersepsikan oleh pelanggan, dan biasanya layanan secara

subjektif dirasakan oleh pelanggan dengan melibatkan berbagai macam ekspresi

berdasarkan pengalaman, kepercayaan, perasaan, dan kenyaman pelanggan.

Dalam literatur pemasaran, kualitas layanan pertama kali diperkenalkan

oleh Gronroos pada tahun 1982 dengan konsep perceived service quality dan

model total service quality (Gronroos, 1988). Dalam konsep perceived service

quality dan model total service quality, kualitas layanan yang dirasakan oleh

pelanggan memiliki dua dimensi, yaitu (1) dimensi teknis (outcome), dan (2)

dimensi fungsional (berhubungan dengan proses). Dimensi teknis (technical

quality) merupakan apa yang diterima oleh pelanggan dalam interaksinya dengan

perusahaan penyedia jasa, atau hasil proses produksi layanan yang secara teknis

berperan sebagai solusi dalam mengatasi suatu masalah. Dimensi fungsional

(functional quality) adalah menyangkut cara penyampaian layanan yang

merupakan proses mentransfer layanan kepada pelanggan. Dimensi ini sangat erat

hubungannya dengan interaksi pembeli-penjual, dan bagaimana fungsi mereka.

Dimensi functional quality tidak dapat dievaluasi secara obyektif seperti halnya

dimensi technical quality, sehingga functional quality sering diterima secara

subyektif. Dengan demikian dimensi kualitas layanan harus mampu menjawab

kata “what” dan “how”.

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

28

Dalam aplikasinya, dua dimensi kualitas layanan yang dikemukakan oleh

Gronroos (1988) dijabarkan ke dalam enam kriteria kualitas layanan, yaitu :

1. Professionalism and skills, adalah pelanggan menyadari bahwa penyedia

jasa, karyawan, sistem operasional, dan sumberdaya fisik memiliki

pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mengatasi masalah

mereka dengan cara yang professional (kriteria yang berhubungan dengan

outcome – technical quality dimensions).

2. Attitude and behavior, adalah pelanggan merasakan bahwa contact person

memperhatikan mereka dan secara genuine tertarik dalam mengatasi

masalah mereka dengan spontan dan ramah (kriteria yang berhubungan

dengan proses – functional quality dimensions).

3. Accessibility and flexibility, adalah pelanggan merasakan bahwa penyedia

jasa, lokasinya, jam kerja, karyawan, dan sistem operasional dirancang dan

beroperasi sedemikian rupa sehingga dapat dicapai dengan mudah dan

fleksibel terhadap permintaan (kriteria yang berhubungan dengan proses –

functional quality dimensions).

4. Reliability and trustworthiness, adalah pelanggan mengetahui bahwa

apapun yang telah disepakati, mereka dapat mempercayai penyedia jasa,

karyawan, dan sistem untuk menepati janji-janji dan berkinerja dengan

niat yang terbaik di hati pelanggan (kriteria yang berhubungan dengan

proses – functional quality dimensions).

5. Recovery, adalah pelanggan menyadari bahwa ketika terjadi sesuatu yang

salah atau tidak dapat diprediksi dan diharapkan, penyedia jasa dengan

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

29

segera dan aktif mengambil tindakan korektif (kriteria yang berhubungan

dengan proses – functional quality dimensions).

6. Reputation and credibility, adalah pelanggan percaya bahwa operasi dari

penyedia jasa dapat dipercaya dan memberikan kinerja dan nilai yang baik

bagi mereka (kriteria yang berhubungan dengan image – filtering

function).

Menurut Parasuraman, et al. (1991), kualitas layanan memiliki lima

dimensi yang disebut “servqual”, terdiri atas: (1) bukti fisik (tangibles), (2)

empati (empathy), (3) daya tanggap (responsiveness), (4) reliabilitas (reliability),

dan (5) jaminan (assurance). Dimensi bukti fisik (tangibles) meliputi fasilitas

fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi. Dimensi empati (empathy)

meliputi kemudahan dalam menjalin relasi, komunikasi yang baik, perhatian

pribadi, dan pemahaman atas kebutuhan individual pelanggan. Dimensi daya

tanggap (responsiveness) merupakan keinginan para staf untuk membantu para

pelanggan dan memberikan layanan dengan tanggap. Dimensi reliabilitas

(reliability) merupakan kemampuan memberikan layanan yang dijanjikan dengan

segera, akurat, dan memuaskan. Dimensi jaminan (assurance) mencakup

pengetahuan, kompetensi, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para

staf, bebas dari bahaya, risiko atau keraguan.

Cronin dan Taylor (1992), mengemukakan bahwa skala pengukuran

kualitas layanan dalam satu industri dimungkinkan untuk memiliki perbedaan

dengan industri jasa lainnya. Jasa dengan keterlibatan pelanggan yang tinggi,

seperti jasa kesehatan atau jasa keuangan memiliki perbedaan pengertian tentang

kualitas layanan daripada jasa dengan keterlibatan pelanggan yang rendah, seperti

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

30

jasa makanan cepat saji dan dry cleaning. Para pengelola jasa harus mengetahui

dimensi secara individual kualitas layanan dari masing-masing usaha jasa ketika

membuat perbandingan di antara jenis jasa. Pengelola jasa juga harus dapat

menyesuaikan strategi pemasarannya secara lebih efektif sesuai dengan dimensi

dari masing-masing jenis jasa yang dikelolanya.

Menurut McDougall dan Levesque (2000), secara empiris dan teoritis

terdapat dua dimensi dalam kualitas layanan, yaitu (1) kualitas layanan inti (core

service quality), dan (2) kualitas layanan relasional (relational service quality).

Kualitas layanan inti merupakan aspek inti atau hasil (bersifat kontraktual) dari

layanan, sedangkan kualitas layanan relasional menekankan pada aspek relasional

atau proses dari layanan yang lebih banyak mengekspresikan hubungan antara

karyawan dan pelanggan. Kualitas layanan inti mengungkapkan apa yang

disampaikan kepada pelanggan dan kualitas layanan relasional mengungkapkan

bagaimana layanan disampaikan kepada pelanggan, serta keduanya merupakan

elemen dasar bagi hampir semua jenis jasa. Kedua elemen dasar ini diyakini

memiliki hubungan dengan kepuasan pelanggan, khususnya pada studi yang

berfokus dalam menentukan dimensi kualitas layanan terhadap kepuasan

pelanggan.

Menurut Juwaheer (2004), kualitas layanan hotel yang dipersepsikan oleh

tamu hotel terdiri atas: (1) faktor reliabilitas (reliability), (2) prospek dan

ketelitian karyawan (staff outlook and accuracy), (3) daya tarik dan dekorasi

kamar (room attractiveness and decor), dan (4) norma lingkungan di sekitar hotel

(hotels surrounding and environmental norms). Faktor reliabilitas (reliability)

meliputi karyawan hotel yang memberikan saran membantu kepada tamu, tidak

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

31

terlalu sibuk dalam merespon permintaan tamu, menunjukkan kesopanan secara

konsisten sepanjang waktu, hotel memberikan solusi yang efektif atas masalah

tamu, memenuhi janji secara tuntas kepada tamu, dan kinerja yang benar sejak

tahap awal layanan. Faktor prospek dan ketelitian karyawan (staff outlook and

accuracy) meliputi kerapihan karyawan dan penanganan pembayaran tamu yang

bebas dari kesalahan. Faktor daya tarik dan dekorasi kamar (room attractiveness

and decor) meliputi kebersihan, daya tarik, kebersihan kamar tidur, dekorasi,

kebersihan dan kenyamanan di kamar mandi dan kebersihan pantai. Faktor norma

lingkungan di sekitar hotel (hotels surrounding and environmental norms)

mencakup kondisi lingkungan di sekitar hotel.

Menurut Olorunniwo et al. (2006), terdapat empat dimensi yang

mendominasi pembentukan kualitas layanan pada service factory (hotel dan

retoran), yaitu: (1) bukti fisik (tangibles), (2) pemulihan layanan (recovery), (3)

daya tanggap (responsiveness), dan (4) pengetahuan (knowledge). Dimensi bukti

fisik (tangibles) meliputi fasilitas fisik, peralatan, dan penampilan personel.

Dimensi pemulihan layanan (recovery) merupakan tingkatan penyedia layanan

yang secara aktif mengambil tindakan perbaikan ketika terjadi kesalahan atau

sesuatu yang tidak diharapkan. Dimensi daya tanggap (responsiveness)

merupakan keinginan atau kesediaan karyawan atau para professional untuk

menyediakan layanan. Dimensi pengetahuan (knowledge) merupakan pengetahuan

atau kompetensi penyedia layanan, khususnya pengetahuan para karyawan dalam

layanan.

Menurut WTO, 2003 (dalam Eraqi, 2006) kualitas layanan dalam bidang

pariwisata (Tourism Service Quality-TourServQual) terdiri atas: (1) keselamatan

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

32

dan keamanan (safety and security), (2) kebersihan (hygiene), (3) akses

(accessibility), (4) transparansi (transparency), (5) orisinalitas (authenticity), dan

(6) harmoni (harmony). Faktor keselamatan dan keamanan (safety and security)

menjelaskan produk atau jasa pariwisata tidak boleh membahayakan kehidupan,

kesehatan, dan kepentingan vital lainnya (termasuk wisata petualangan). Faktor

kebersihan (hygiene) meliputi kebersihan seluruh failitas akomodasi serta

kebersihan yang terkait dengan makanan dan minuman. Faktor akses

(accessibility) meliputi akses untuk memperoleh layanan pariwisata bagi semua

orang tanpa diskriminasi dan terlepas dari perbedaan, termasuk penyandang cacat.

Faktor transparansi (transparency) merupakan legitimasi harapan dan

perlindungan konsumen. Hal ini terkait dengan penyediaan informasi yang jujur

mengenai karakteristik dan cakupan produk dan harganya. Faktor orisinalitas

(authenticity) adalah keaslian budaya yang membuat produk secara nyata berbeda

dari produk sejenis lainnya. Faktor harmoni (harmony) merupakan keselarasan

manusia dengan lingkungan alam yang berkaitan dengan keberlanjutan. Menjaga

keberlanjutan pariwisata memerlukan pengelolaan dampak lingkungan dan sosial-

ekonomi, membangun indikator lingkungan dan menjaga kualitas produk wisata

dan pasar wisata.

Menurut Reisinger dan Turner (1999), dimensi kualitas layanan suatu

destinasi wisata terdiri atas: (1) kesopanan dan daya tanggap (courtesy and

responsiveness), (2) kompetensi (competence), (3) interaksi (interactions),

idealisme (idealism), dan (4) komunikasi (communication). Dimensi kesopanan

dan daya tanggap (courtesy and responsiveness) merupakan kemampuan penyedia

jasa untuk merespon kebutuhan wisatawan seperti sikap membantu, akurat, cepat,

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

33

hormat, dapat dipercaya, percaya diri, dan sopan. Dimensi ini termasuk

kemampuan untuk memecahkan masalah, melakukan layanan yang diperlukan,

menjawab semua pertanyaan, dan berperilaku dengan cara yang menunjukkan

bahwa wisatawan diperlakukan sebagai tamu. Dimensi kompetensi (competence)

merefleksikan isyarat yang terkait dengan prestasi seperti cara berpikir yang logis,

intelektual, mandiri, ceria, dan harga diri, serta menyiratkan kemampuan penyedia

jasa untuk berpikir dan berperilaku secara profesional. Dimensi interaksi

(interactions) merupakan preferensi untuk bentuk-bentuk interaksi sosial seperti

memiliki hubungan pribadi, berbagi makanan, berolahraga bersama, mengundang

ke rumah, dan bertukar hadiah. Dimensi idealisme (idealism) meliputi

ketenangan, kebahagiaan dan keindahan. Dimensi komunikasi (communication)

menjelaskan kemampuan penyedia jasa untuk menjaga informasi wisatawan,

memberikan penjelasan yang memadai, mendengarkan wisatawan dan peduli

dengan kesejahteraan wisatawan.

Menurut Narayan et al. (2008), kualitas layanan suatu destinasi wisata

tergantung pada dimensi kualitas layanan yang meliputi: (1) keramahtamahan

(hospitality), (2) makanan (food), (3) logistik (logistics), (4) keamanan (security),

(5) nilai uang (value for money), (6) fasilitas (amenities), (7) pengalaman inti-

pariwisata (core-tourism experience), (8) kebersihan (hygiene), (9) harga yang

adil (fairness of price), (10) pusat informasi (information centers), (11) budaya

(culture), (12) gangguan (distractions), (13) informasi secara personal (personal

information), dan (14) hiburan malam (pubs). Keramahtamahan (hospitality)

mengacu pada kesopanan dan keramahan dari petugas imigrasi di pelabuhan, tour

operator, karyawan hotel, dan penduduk lokal. Ada wisatawan yang melakukan

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

34

perjalanan ke destinasi untuk memahami dan mengalami masakan lokal dan ada

pula sejumlah wisatawan yang ingin dilayani dengan jenis makanan dari negara

asal mereka, sehingga rasa makanan lokal dan ketersediaan pangan bagi

wisatawan menjadi indikasi dimensi makanan (food). Wisatawan sangat peduli

dengan transportasi dan logistik yang ada pada destinasi. Aksesibilitas tempat-

tempat wisata serta kondisi infrastruktur sangat penting bagi wisatawan dan

kemacetan lalu lintas dapat menjadi elemen yang tidak diinginkan, sehingga

logistik (logistics) menjadi dimensi dalam kualitas layanan suatu destinasi wisata.

Keamanan (security) merupakan dimensi yang menjelaskan keinginan wisatawan

untuk merasa aman di hotel tempat mereka tinggal dan obyek wisata yang

dikunjungi, terutama terbebas dari serangan teroris. Nilai uang (value for money)

merupakan dimensi kualitas layanan yang terkait dengan keinginan wisatawan

akan nilai uang sehubungan dengan paket wisata, akomodasi, penerbangan

domestik, makanan di restoran, pengangkutan lokal, dan juga saat berbelanja.

Dimensi fasilitas (amenities), meliputi internet, layanan telekomunikasi

dan fasilitas penukaran uang pada titik-titik kritis yang penting bagi wisatawan.

Wisatawan juga memerlukan akses ke bantuan medis dalam situasi darurat.

Pengalaman inti-pariwisata (core-tourism experience) mengacu pada esensi utama

dari tur, yang meliputi keindahan alam, iklim yang baik, kekayaan warisan

budaya, kedekatan dengan alam, sight seeing, privasi, dan suasana yang

memungkinkan waktu bersantai. Kebersihan (hygiene), merupakan dimensi yang

terkait dengan kebersihan dan kesehatan di bandara, tempat tinggal, tempat-

tempat wisata dan restoran, kebersihan jalan-jalan, serta tingkat kebersihan

makanan yang tersedia di destinasi wisata yang dapat menjadi masalah yang

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

35

memprihatinkan bagi wisatawan. Di banyak negara tujuan, wisatawan umumnya

mengalami diferensial harga yang merugikan mereka tidak hanya pada tempat-

tempat wisata, tetapi juga di toko-toko dan alat angkut lokal. Sistem ini dirasakan

tidak adil pada saat menjadi bagian dari model penghasil pendapatan bagi

destinasi wisata, karena menimbulkan berbagai tingkat ketidakpuasan bagi

wisatawan, sehingga harga yang adil (fairness of price) menjadi salah satu

dimensi dalam kualitas layanan destinasi. Pusat informasi (information centers)

merupakan dimensi kualitas layanan yang terkait dengan informasi tentang

destinasi yang tersedia di bandara, tempat tinggal, tempat-tempat wisata, layanan

pemandu wisata, serta kemudahan berkomunikasi dalam bahasa yang umum

(misalnya bahasa Inggris). Dimensi budaya (culture) merujuk pada kekayaan

warisan budaya dan interaksi budaya dengan masyarakat setempat. Dimensi

gangguan (distractions) merujuk pada gangguan dan suasana yang tidak

menyenangkan pada destinasi seperti gangguan yang dibuat oleh pengemis dan

pedagang asongan. Dimensi informasi secara personal (personal information)

merupakan kemudahan setiap wisatawan untuk mengakses informasi secara

personal. Kehidupan malam juga merupakan aspek yang cukup penting bagi

banyak wisatawan. Terlepas dari ketersediaan pub, jam operasi pub juga mungkin

penting bagi beberapa orang. Beberapa wisatawan mungkin ingin pub yang buka

sampai larut malam sehingga hiburan malam (pubs) menjadi salah satu dimensi

dari kualitas layanan suatu destinasi wisata.

World Tourism Organization (WTO), 2003 (dalam Eraqi, 2006) telah

menetapkan standar kualitas produk atau layanan dalam bidang pariwisata,

(Tourism Service Quality-TourServQual), diantaranya (1) orisinalitas

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

36

(authenticity), dan (2) harmoni (harmony). Faktor orisinalitas (authenticity) dan

harmoni (harmony) merupakan faktor yang terkait dengan budaya dan kearifan

lokal. Dalam konteks bisnis pariwisata, orisinalitas (authenticity) merupakan

faktor penentu yang paling krusial dalam pemasaran dan persaingan bisnis.

Orisinalitas secara budaya dapat menjadikan suatu layanan kepada wisatawan

menjadi berbeda dengan layanan sejenis yang ditemukan pada destinasi wisata

lain. Secara prinsip, pengembangan pariwisata pada setiap destinasi sebaiknya

dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip kesinambungan. Pariwisata

yang berkualitas menurut WTO adalah pariwisata yang tidak merusak budaya dan

kearifan lokal yang ada pada destinasi, tetapi pariwisata dapat melestarikan

keberadaan budaya dan kearifan lokal dengan menjaga hubungan yang harmonis

antara wisatawan dan penduduk lokal, serta lingkungan sekitarnya. Dengan

demikian layanan yang berkualitas dalam bidang pariwisata adalah layanan yang

memperhatikan keberadaan unsur-unsur yang terkait dengan budaya dan kearifan

lokal.

Produksi dan distribusi layanan di bidang pariwisata internasional pada

dasarnya melibatkan sejumlah pengalaman lintas-budaya dan pengalaman tersebut

terpusat pada kedua pihak, yaitu wisatawan dan penyedia layanan di bidang

pariwisata. Menurut Weiermair (2000), rantai nilai suatu destinasi yang berbasis

pada nilai-nilai budaya dapat berpengaruh pada perilaku wisatawan. Konstruk

budaya yang komprehensif dapat meramalkan perilaku wisatawan dan penilaian

wisatawan atas kualitas layanan destinasi. Norma-norma budaya berdampak pada

harapan dan persepsi wisatawan terhadap kualitas layanan yang dirasakan.

Wisatawan sebagai konsumen di bidang pariwisata biasanya membeli dan

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

37

mengkonsumsi berbagai macam layanan, yang secara bersamaan akan membentuk

pengalaman dalam liburan. Dengan demikian, wisatawan cenderung untuk

mendasarkan penilaian mereka pada kualitas layanan dan kepuasan atas

pengalaman liburan pada seluruh komponen dari sistem pariwisata yang

kompleks. Komponen-komponen merupakan rantai nilai pariwisata yang

mendasari produksi dan konsumsi pengalaman liburan. Salah satu komponen

dalam rantai nilai pariwisata adalah budaya lokal pada destinasi wisata yang

menjadi basis dalam kualitas layanan destinasi secara keseluruhan. Kualitas

layanan destinasi yang tinggi akan memberikan pengalaman liburan yang

menyenangkan bagi wisatawan.

Menurut Reisinger dan Turner (1999), faktor budaya dapat mempengaruhi

pengalaman liburan wisatawan Jepang di Australia, terutama persepsi layanan dan

hubungan interpersonal dengan host. Ciri budaya dalam persepsi kualitas layanan

bagi wisatawan Jepang terdiri atas: (1) kesopanan dan daya tanggap (courtesy and

responsiveness), (2) kompetensi (competence), (3) interaksi (interactions),

idealisme (idealism), dan (4) komunikasi (communication). Di antara dimensi-

dimensi budaya ini, dimensi yang dominan membentuk persepsi wisatawan

Jepang adalah (1) kesopanan dan daya tanggap (courtesy and responsiveness), (2)

kompetensi (competence), dan (3) interaksi (interactions). Dimensi kesopanan dan

daya tanggap (courtesy and responsiveness) menjelaskan kemampuan penyedia

jasa untuk merespon kebutuhan wisatawan seperti sikap membantu, akurat, cepat,

hormat, dapat dipercaya, percaya diri, dan sopan. Variabel ini termasuk

kemampuan untuk memecahkan masalah, melakukan layanan yang diperlukan,

menjawab semua pertanyaan, dan berperilaku dengan cara yang menunjukkan

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

38

bahwa wisatawan diperlakukan sebagai tamu. Dimensi kompetensi (competence)

menjelaskan isyarat terkait dengan prestasi seperti berpikir logis, intelektual,

mandiri, ceria, dan harga diri, serta menyiratkan kemampuan penyedia jasa untuk

berpikir dan berperilaku secara profesional. Dimensi interaksi (interactions)

menggambarkan preferensi untuk bentuk-bentuk interaksi sosial seperti memiliki

hubungan pribadi, berbagi makanan, berolahraga bersama, mengundang ke

rumah, dan bertukar hadiah. Dimensi idealisme (idealism) merupakan variabel

yang terkait dengan kebutuhan untuk ketenangan, kebahagiaan dan keindahan.

Dimensi komunikasi (communication) mencerminkan kebutuhan untuk

komunikasi yang memadai antara penyedia jasa dan wisatawan, yaitu,

kemampuan penyedia jasa untuk menjaga informasi wisatawan, memberikan

penjelasan yang memadai, mendengarkan wisatawan dan peduli dengan

kesejahteraan wisatawan.

2.1.2 Teori Kepuasan

Kepuasan pelanggan merupakan konsep sentral dalam bisnis, serta

dipandang sebagai salah satu dimensi kinerja bisnis (Gaskill dan Winzar, 2013).

Peningkatan kepuasan pelanggan dapat berpotansi mengarah kepada pertumbuhan

penjualan dalam jangka panjang dan jangka pendek, serta pangsa pasar sebagai

hasil dari loyalitas pelanggan. Sebaliknya, ketidakpuasan pelanggan dapat

menyebabkan sejumlah risiko dalam bisnis, seperti keluhan pelanggan dan

berpindahnya pelanggan ke perusahaan lain.

Dalam literatur bisnis, konsep kepuasan pelanggan memiliki pengertian

yang beragam. Menurut Oliver (1980), kepuasan dapat dilihat sebagai fungsi dari

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

39

tingkat harapan (adaptasi) dan persepsi diskonfirmasi. Pengertian kepuasan ini

menggambarkan upaya pemenuhan harapan seseorang yang diturunkan dari

adaptation-level theory. Teori ini dikemukakan oleh Helsen pada tahun 1964 yang

menjelaskan bahwa individu hanya akan mempersepsikan stimuli berdasarkan

standar yang diadaptasinya (Tjiptono dan Chandra, 2012). Standar tersebut

tergantung pada persepsi individu terhadap stimulus, konteks, serta karakteristik

psikologis dan fisiologis organisme. Apabila tingkat adaptasi (adaptation level)

individu sudah terbentuk, maka tingkat adapatasi tersebut akan menentukan

evaluasi berikutnya, serta memastikan bahwa setiap penyimpangan positif dan

negatif akan tetap berada dalam rentang posisi orisinal individu yang

bersangkutan. Hanya pengaruh kekuatan besar terhadap adaptation level yang

mampu mengubah evaluasi akhir seseorang. Fenomena adaptation level dalam

proses kepuasan pelanggan dapat dijelaskan dengan beberapa konsep, seperti

ekspektasi, kinerja, dan diskonfirmasi. Ekspektasi pelanggan berperan sebagai

standar pembanding (adaptation level) bagi kinerja produk, sedangkan

diskonfirmasi berperan sebagai kekuatan prinsip yang menyebabkan

penyimpangan positif atau negatif dari adaptation level.

Menurut Kotler dan Armstrong (2003: 10), kepuasan pelanggan adalah

tingkatan di mana anggapan kinerja (perceived performance) suatu produk sesuai

dengan harapan pelanggan. Kepuasan pelanggan tergantung pada anggapan

kinerja suatu produk dalam memberikan nilai relatif terhadap harapan pelanggan.

Pengertian kepuasan ini merujuk pada cognitive dissonance theory yang

dikemukakan oleh Leon Festinger tahun 1957 (Gbadamosi, 2009). Teori ini

berfokus pada keselarasan antara dua elemen kognitif, jika salah satu elemen tidak

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

40

sesuai atau selaras dengan elemen lainnya maka tercipta situasi dissonance.

Dalam konteks kepuasan pelanggan, kedua elemen kognitif dapat

direpresentasikan dengan harapan terhadap produk sebelum pemakaian atau

konsumsi, dan kinerja produk. Dissonance merupakan kesenjangan atau

perbedaan antara harapan dan kinerja produk. Apabila kinerja produk lebih buruk

daripada harapan pelanggan, maka situasinya adalah negative disconfirmation.

Jika kinerja produk lebih baik daripada harapan pelanggan, maka situasinya

adalah positive disconfirmation. Sedangkan, jika kinerja produk sama atau sesuai

dengan harapan, situasinya disebut simple confirmation. Apabila diskonfirmasi

terjadi, pelanggan akan berusaha menekan atau mengasimilasinya dengan jalan

mengubah persepsinya terhadap produk agar lebih konsisten dengan

ekspektasinya.

Pelanggan mengalami berbagai tingkat kepuasan atau ketidakpuasan

setelah mengkonsumsi produk atau mengalami layanan sesuai dengan sejauh

mana harapan mereka terpenuhi atau terlampaui. Menurut Lovelock dan Wright

(2007: 5), kepuasan adalah keadaan emosional pelanggan yang merupakan reaksi

pasca pembelian produk yang dapat berupa kemarahan, kesedihan, ketidakpuasan,

kejengkelan, netralitas, kegembiraan, atau kesenangan. Pelanggan yang marah

atau tidak puas akan menimbulkan masalah bagi perusahaan, karena mereka dapat

berpindah ke perusahaan lain dan menyebarkan berita negatif dari mulut ke mulut.

Pelanggan yang sedikit puas atau netral dapat direbut oleh pesaing, namun

pelanggan yang senang akan tetap loyal walaupun ada tawaran yang menarik dari

pesaing. Kepuasan pelanggan memainkan peran yang sangat penting dalam

industri yang sedang bersaing, karena terdapat perbedaan yang sangat besar dalam

Page 21: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

41

loyalitas antara pelanggan yang sekedar puas dan yang benar-benar puas atau

senang.

Menurut Parker dan Mathews (2001), kepuasan merupakan perasaan yang

dihasilkan dari proses mengevaluasi suatu produk, yaitu apa yang diterima

terhadap apa yang diharapkan dalam upaya pemenuhan kebutuhan/keinginan

seseorang. Pada pengertian ini kepuasan dipahami sebagai suatu hasil dan proses

mengkonsumsi suatu produk. Sebagai suatu hasil, kepuasan difokuskan pada

akibat yang ditimbulkan oleh kepuasan dan merupakan respon afektif dari

pengalaman mengkonsumsi produk, sedangkan sebagai suatu proses, kepuasan

difokuskan pada penyebab dari kepuasan, sehingga pengertian kepuasan

diarahkan pada proses kognitif. Menurut Espejel et al. (2007), pemahaman

terhadap kepuasan tergantung pada perbedaan antara kualitas yang dipersepsikan

dan kualitas yang dialami oleh pelanggan dari suatu produk dan layanan. Dalam

hal ini, kepuasan diakui sebagai suatu respon dengan dimensi ganda, yaitu

emosional dan kognitif. Secara khusus respon emosional muncul sebagai suatu

hasil dari perasaan pelanggan terhadap produk, dan respon kognitif muncul ketika

pelanggan membuat evaluasi obyektif dari harapan tertentu dan penerimaan akhir

dari produk dan layanan. Kedua pendapat ini searah dengan pengertian kepuasan

yang dikemukakan oleh Kotler dan Keller (2009: 177), yaitu kepuasan merupakan

perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan

kinerja produk yang dipikirkan terhadap kinerja yang diharapkan.

Dari beberapa pendapat di atas dapat diketahui bahwa kepuasan pelanggan

merupakan konsep yang beragam. Dalam konteks layanan, Hellier et al. (2003)

mendifinisikan kepuasan secara keseluruhan (overall satisfaction) sebagai tingkat

Page 22: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

42

kesenangan atau rasa puas secara keseluruhan yang dirasakan oleh pelanggan

yang dihasilkan dari kemampuan layanan untuk memenuhi keinginan, harapan

dan kebutuhan pelanggan dalam kaitannya dengan layanan. Pada pengertian ini,

kepuasan secara keseluruhan dapat dipahami sebagai tingkat kesenangan

pelanggan secara keseluruhan dari kinerja layanan dalam pemenuhan harapan

pelanggan.

Dari uraian di atas, makna kepuasan dapat dipahami dengan dua

pengertian, yaitu pemahaman kepuasan secara kognitif dan kepuasan secara

afektif. Pemahaman kepuasan secara kognitif difokuskan pada penyebab dari

kepuasan, yaitu apa yang diterima terhadap apa yang diharapkan dalam upaya

pemenuhan kebutuhan/keinginan seseorang, sedangkan pemahaman secara afektif

menyangkut perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah

membandingkan kinerja produk yang dipikirkan terhadap kinerja yang

diharapkan. Dalam perkembangannya, kepuasan juga dipahami secara

keseluruhan yang merupakan tingkat kesenangan atau rasa puas secara

keseluruhan yang dirasakan oleh pelanggan yang dihasilkan dari kemampuan

produk dalam memenuhi harapan pelanggan.

2.1.3 Theory of Reasoned Action Dan Niat Perilaku Pelanggan

Menurut Taylor et al. (2009: 204), niat perilaku (behavioral intentions)

merupakan niat sadar untuk menjalankan suatu tindakan. Dengan merujuk pada

teori tindakan yang beralasan (theory of reasoned action) yang dikemukakan oleh

Fishbein dan Ajzen (1975), dikemukakan bahwa perilaku nyata individu dapat

didasarkan pada niat perilaku individu. Dalam model yang menjelaskan teori ini,

Page 23: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

43

diuraikan bahwa niat perilaku dapat ditentukan oleh dua variabel, yaitu sikap

seseorang terhadap perilaku (attitude) dan norma sosial subyektif (subjective

norms). Sikap seseorang terhadap perilakunya sendiri diprediksi oleh keyakinan

sikap (attitudinal belief) yang merupakan kerangka ekspektasi nilai dan keinginan

untuk mencapai suatu hasil yang akan dipertimbangkan berdasarkan kemungkinan

akan terwujudnya hasil tersebut. Norma sosial (subjective norms) merupakan

ekspektasi tentang bagaimana pemikiran atau perilaku anggota kelompok sosial,

dan norma sosial dapat diprediksi oleh keyakinan normatif individu (normative

belief), yaitu ekspektasi terhadap pertimbangan orang lain dengan motivasi untuk

menyesuaikan diri dengan ekspektasi itu. Secara ringkas model dalam theory

reasoned action ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1

Theory of Reasoned Action - Fishbein dan Adzen (1975)

Dalam konteks bisnis pariwisata, model dalam theory of reasoned action

dapat dijadikan rujukan untuk menjelaskan niat perilaku loyal wisatawan terhadap

produk layanan yang ditujukan kepada wisatawan, seperti layanan suatu hotel.

Niat perilaku loyal wisatawan dapat diartikan sebagai niat sadar wisatawan untuk

Page 24: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

44

setia terhadap layanan suatu hotel. Jika seorang wisatawan mengatakan bahwa

dirinya berniat loyal terhadap layanan suatu hotel, maka dia kemungkinan besar

akan melakukannya daripada wisatawan yang tidak berniat loyal. Dengan

demikian, model tindakan beralasan ini dapat dijadikan rujukan untuk

menjelaskan niat perilaku loyal wisatawan yang dipengaruhi oleh kualitas layanan

dan kepuasan wisatawan.

2.2 Tinjauan Pustaka

2.2.1 Kearifan Lokal Pembentuk Karakteristik Orang Bali

Karakter dapat diartikan sebagai tabiat; watak; sifat-sifat kejiwaan, ahlak,

atau budi pekerti (W.J.S. Poerwadarminta). Makna kata “tabiat” merujuk pada

peringai, watak, dan juga budi pekerti. Kata “watak” sebagai akar kata dari

karakter merupakan sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan

perbuatannya; juga berarti tabiat dan budi pekerti. Selain itu, juga dipaparkan

tentang pendidikan watak, yaitu pendidikan yang bermaksud membentuk watak

orang.

Dari makna kata karakter di atas dapat diketahui bahwa karakteristik setiap

orang sangat dipengaruhi oleh lingkungan di mana mereka hidup dan

berkembang. Demikian pula halnya dengan karakteristik orang Bali tidak hanya

dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan

spiritual yang telah menjadi kearifan lokal yang sangat kuat dalam membentuk

karakteristik orang Bali seutuhnya. Untuk mengetahui dan meneliti sifat

karakteristik masyarakat di suatu daerah, dapat dinilai dari cara bersosialisasi dan

kebiasaan–kebiasaan yang ada dalam masyarakat tersebut. Kearifan lokal (local

Page 25: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

45

genius/local wisdom) merupakan pengetahuan lokal yang tercipta dari hasil

adaptasi suatu komunitas yang berasal dari pengalaman hidup yang

dikomunikasikan dari generasi ke generasi (Restu Gunawan, 2008 dalam

Wisnumurti, 2010). Masing-masing daerah, suku, atau komunitas dalam suatu

wilayah memiliki pengetahuan tradisional yang secara empiris merupakan nilai-

nilai yang diyakini oleh komunitasnya sebagai pengetahuan bersama dalam

menjalin hubungan antara sesama dan lingkungannya. Dengan demikian kearifan

lokal merupakan pengetahuan lokal yang digunakan oleh masyarakat lokal untuk

bertahan hidup dalam lingkungannya yang menyatu dengan sistem kepercayaan,

norma, budaya, serta diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam

jangka waktu lama. Di Bali, proses regenerasi kearifan lokal ini biasanya dapat

dilakukan melalui tradisi lisan (cerita rakyat) dan karya-karya sastra, seperti

babad, suluk, tembang, hikayat, lontar, dan lain-lain.

Masyarakat Bali dengan mayoritas beragama Hindu memiliki nilai-nilai

kearifan lokal sebagai pengetahuan yang dipergunakan dalam mengatur tata

kehidupan sehari-hari, di mana nilai-nilai tersebut sangat erat kaitannya dengan

ajaran Agama Hindu. Nilai-nilai yang telah teruji dan terbukti dalam mengatasi

berbagai problematika kehidupan telah berkembang dan diyakini sebagai

pengetahuan yang dapat menjadi acuan dalam kehidupan masyarakat di Bali.

Salah satu kearifan lokal yang memberikan pengaruh kuat dalam kehidupan

masyarakat Bali adalah Tri Hita Karana, yang mengandung pengertian tiga

penyebab kesejahteraan dengan bersumber pada keharmonisan hubungan antara

manusia dengan Tuhannya, manusia dengan alam lingkungannya, dan manusia

dengan sesamanya yang saling terkait satu sama lain (Peters dan Wardana, 2013).

Page 26: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

46

Dalam kearifan lokal ini, setiap hubungan yang tercipta memiliki pedoman hidup

yang menghargai sesama aspek sekelilingnya dan dilaksanakan secara seimbang

serta selaras antara satu dan lainnya. Apabila keseimbangan tercapai, manusia

akan hidup dengan menghindari segala tindakan buruk, sehingga hidupnya akan

seimbang, tenteram, dan damai. Tri Hita Karana menjadi falsafah hidup yang

sangat kuat bagi orang Bali, yaitu orang Bali selalu menghargai Tuhan dengan

cara mengingatNya kapanpun dan dimanapun, menghargai alam dengan tidak

merusaknya dan tidak menyalahi aturan yang sudah ada, serta menghargai sesama

manusia dengan menjaga perasaan dan bersikap empati agar selalu rukun dan

damai.

Dalam konteks bisnis pariwisata, di antara ketiga hubungan yang diajarkan

dalam filosofi Tri Hita Karana, hubungan manusia dengan manusia adalah

merupakan pengetahuan lokal yang sangat terkait dalam layanan kebutuhan dan

keinginan wisatawan sebagai konsumen dalam bisnis pariwisata. Beberapa ajaran

lokal yang terkait dengan hubungan antar manusia telah berkembang dari generasi

ke generasi melalui ajaran Agama Hindu dan kehidupan budaya di Bali,

diantaranya Tri Kaya Parisuda, Tatwam Asi, Salunglung Sabayantaka, Paras

Paros Sarpanaya, Bhineka Tunggal Ika, dan nilai kearifan lokal Menyama Braya

(Wisnumurti, 2010). Semua nilai-nilai kerafian lokal tersebut sangat bermakna

bagi kehidupan sosial orang Bali, dan dijadikan rujukan serta bahan acuan dalam

menjaga dan menciptakan relasi sosial yang harmonis. Sistem pengetahuan lokal

ini merupakan sistem pengetahuan yang dinamis dan berkembang terus secara

kontekstual sejalan dengan tuntutan kebutuhan manusia yang semakin heterogen

dan kompleks. Secara empiris nilai kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang

Page 27: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

47

pada masyarakat Bali telah teruji keampuhannya dalam mengatasi konflik-konflik

sosial, masalah ekonomi, dan politik sehingga Bali dikenal sebagai daerah yang

relatif aman di antara daerah-daerah lainnya di Indonesia. Kearifan lokal pada

masyarakat Bali dan kondisi keamanan yang kondusif serta keindahan alam dan

kualitas budaya yang tinggi telah menjadi faktor-faktor pendorong dalam bisnis

pariwisata di Bali.

Pada penelusuran berbagai literatur Agama Hindu dan tradisional,

diketahui bahwa nilai kearifan lokal Tri Kaya Parisuda, merupakan wujud

keseimbangan dalam membangun karakter dan jati diri manusia dengan

menyatukan unsur pikiran, perkataan, dan perbuatan. Tertanamnya nilai kearifan

ini dapat membentuk manusia yang berkarakter, memiliki konsistensi, dan

akuntabilitas dalam menjalankan kewajiban sosial. Nilai kearifan lokal Tatwam

Asi, mengajarkan pemahaman bahwa semua manusia adalah sama, dengan slogan

“kamu adalah aku dan aku adalah kamu”, memberikan fibrasi bagi sikap dan

perilaku manusia untuk mengakui eksistensi dan menghormati orang lain,

sebagaimana menghormati diri sendiri. Nilai Salunglung Sabayantaka, Paras

Paros Sarpanaya, adalah sutu nilai sosial tentang perlunya kebersamaan dan

kerjasama yang setara antara satu dengan yang lainnya sebagai satu kesatuan

sosial yang saling menghargai dan menghormati. Nilai Bhineka Tunggal Ika,

mengajarkan sikap sosial yang menyadari akan kebersamaan di tengah-tengah

perbedaan, dan perbedaan dalam kebersamaan. Semangat ini sangat penting untuk

diaktualisasikan dalam tatanan kehidupan sosial yang multikultural. Nilai kearifan

lokal Menyama Braya, mengandung makna persamaan dan persaudaraan serta

pengakuan sosial bahwa kita adalah bersaudara. Sebagai satu kesatuan sosial

Page 28: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

48

dalam persaudaraan, maka sikap dan prilaku diatur agar dapat memandang orang

lain sebagai saudara yang patut diajak bersama dalam suka dan duka.

Seluruh nilai-nilai kerafian lokal tersebut telah memberikan makna bagi

kehidupan sosial pada masyarakat Bali, dan menjadi rujukan serta bahan acuan

dalam menjaga dan menciptakahn relasi sosial yang harmonis. Sistem pengetahuan

lokal ini dipahami sebagai sistem pengetahuan yang dinamis dan berkembang terus

secara kontekstual sejalan dengan tuntutan kebutuhan manusia yang semakin

heterogen dan kompleks. Nilai kearifan lokal akan memiliki makna apabila tetap

menjadi rujukan dalam mengatasi setiap dinamika kehidupan sosial, lebih-lebih lagi

dalam menyikapi berbagai perbedaan yang rentan menimbulkan konflik.

Ajaran Agama Hindu telah menjadi pedoman dalam kehidupan mayoritas

masyarakat di Bali dan dipelajari dalam tiga bagian, yaitu filsafat, tata susila,

serta upakara (Mantra, 1989). Ketiga bagian ini tidak dapat dipisahkan satu

dengan lainnya dan diyakini dapat saling mengisi kehidupan masyarakat Bali

sehari-hari. Dalam hubungan antar manusia, tata susila memainkan peranan yang

sangat penting bagi pembentukan karakter orang Bali. Tata susila merupakan

peraturan tingkah laku yang baik dan mulia yang harus dijadikan pedoman hidup

manusia. Tujuan tata susila menurut ajaran Agama Hindu adalah untuk membina

hubungan yang selaras antara seseorang (jiwatma) dengan makhluk yang hidup di

sekitarnya, hubungan yang selaras antara keluarga yang membentuk masyarakat

dengan masyarakat itu sendiri, antara satu bangsa dengan bangsa yang lain, dan

antara manusia dengan alam sekitarnya. Semua hubungan yang diajarkan dalam

tata susila ini telah menjadi keyakinan masyarakat Bali sebagai faktor penyebab

kehidupan yang aman dan sejahtera. Suatu keluarga masyarakat bangsa atau

Page 29: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

49

manusia yang anggota-anggotanya tidak hidup rukun atau tidak selaras maka

masyarakat dapat menjadi runtuh. Hubungan yang selaras ini diyakini merupakan

cara untuk menuju kebahagiaan, dan sebaliknya hubungan yang tidak selaras akan

menyebabkan malapetaka.

Tata susila membina watak manusia untuk menjadi anggota keluarga,

masyarakat, dan manusia yang memiliki kepribadian mulia, serta membimbing

mereka untuk mencapai kebahagiaan. Selain itu tata susila juga menuntun

seseorang untuk mempersatukan dirinya dengan makhluk sesamanya, dan pada

akhirnya tata susila dapat menuntun manusia untuk mencapai kesatuan jiwatma

(roh) dengan Paramatma (Hyang Widhi Wasa atau Brahma). Kebahagiaan yang

mutlak dan abadi, hanya dapat dicapai bila jiwatma dapat menyatu dengan

Paramatma, yang meliputi perasaan tenang dan tenteram karena murninya roh

(atma) yang disebut Sanskrit Ananda (Bhagawad Gita VI, 20, 21, 22).

Agama merupakan dasar tata susila yang kuat dalam membentuk pribadi

manusia (Mantra, 1989). Tata susila yang berdasarkan ajaran-ajaran agama

terungkap dalam kitab suci Upanisad (wedanta), tattwa-tattwa (tutur-tutur), mulai

dari dalil (axioma) yang mengakui tunggalnya jiwatma (roh) semua mahkluk

dengan Brahma (Paramatma atau Parama Ciwa, Hyang Widhi Wasa). Dalam

kitab suci Upanisad dijelaskan bahwa menyatunya semua jiwatma makhluk

dengan Brahma, menyebabkan jiwatma suatu makhluk menyatu juga dengan

semua jiwatma. Hal ini menimbulkan kesadaran bagi manusia secara individu

bahwa manusia sebenarnya menyatu dan sama dengan manusia dan makhluk lain

(Mascaro dan Harshananda, 2010). Perbuatan seseorang yang baik dan tidak baik

kepada orang lain berarti juga berbuat baik atau tidak baik kepada dirinya sendiri.

Page 30: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

50

Pemahaman ini menghasilkan konsep Tat Twam Asi, yang merupakan salah satu

ajaran tata susila yang pada prinsipnya mencegah seseorang untuk menyakiti

orang lain dan mkhluk lainnya.

Kata “susila” dalam ajaran tata susila, terdiri atas kata “su” dan “sila”.

Kata “su” berarti baik, indah, harmonis. Kata “sila” berarti dasar, perilaku, tata

laku. Dengan demikian “susila” berdekatan dengan pengertian etika, yang

mengandung makna sopan santun, kaidah, norma yang baik (Putra dkk., 2013).

Susila merupakan tingkah laku manusia yang baik dalam berinteraksi dengan

lingkungannya, di mana realitas hidup manusia tidak dapat terlepas dari hubungan

dengan lingkungannya, dengan sesama, atau dengan alam. Dalam konteks ini,

susila memegang peranan penting dalam membangun watak dan tingkah laku

manusia sehingga dapat menjadi anggota keluarga atau masyarakat yang

berkepribadian mulia untuk mencapai kebahagiaan. Susila dalam ajaran Agama

Hindu mengajarkan tuntunan kesusilaan untuk mencapai kebahagiaan,

keharmonisan, dan kesempurnaan hidup jasmani dan rohani.

Pada dasarnya, susila dipengaruhi oleh dua kategori, yaitu perbuatan baik

yang harus dijalankan dan perbuatan buruk yang harus dihindari. Dalam kitab

Sasamuccaya, diungkapkan bahwa susila adalah hal yang paling utama pada

titisan sebagai manusia. Apabila perilaku sebagai titisan manusia tidak baik dalam

hidup, kekuasaan, atau perbuatannya maka semua akan sia-sia. Susila sesuai

dengan artinya adalah tingkah laku yang baik dalam hubungan timbal balik yang

selaras, harmonis antara manusia dengan alam semesta berdasarkan kasih sayang

dan yajna. Prinsip-prinsip dasar yang melandasi pola hubungan ini adalah konsep

Tat Twam Asi, yang memiliki makna “Aku adalah Engkau, Engkau adalah Aku”.

Page 31: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

51

Konsep ini menekankan pemahaman bahwa hidup segala makhluk adalah sama.

Pemberian bantuan kepada orang lain berarti juga membantu diri sendiri.

Demikian pula sebaliknya dengan menyakitti orang lain berarti menyakiti diri

sendiri. Konsep kesadaran sosial seperti ini dilandasi filsafat bahwa atma adalah

percikan kecil dari Hyang Widhi (Mascaro dan Harshananda, 2010). Atman adalah

Brahman atau Hyang Widhi pada diri manusia, sehingga rumusan ini

membimbing setiap manusia untuk wajib mengasihi orang lain sebagaimana

menyayangi dirinya sendiri. Hal ini merupakan jalan utama menuju masyarakat

yang santi, yaitu masyarakat yang hidup damai dan harmonis. Konsep Tat Twam

Asi dalam pergaulan sosial pada masyarakat terdiri atas cinta kasih, bhakti, dan

yajna (Putra dkk., 2013). Cinta kasih ditandai dengan kecintaan pada kebenaran

dan kebaikan sehingga menjadi kewajiban masyarakat Bali yang beragama Hindu

untuk berbuat baik dan benar. Bhakti merupakan hati nurani yang tulus ikhlas

yang ditujukan kepada Hyang Widhi, orang tua, guru, dan negara. Yajna,

merupakan persembahan yang tulus kepada Hyang Widhi, bangsa, dan negara

dalam bentuk Panca Yajna atau dalam bentuk Swayajna.

Konsep lainnya dalam tata susila adalah Tri Kaya Parisudha, yang berasal

dari kata “tri” berarti tiga, “kaya” berarti perbuatan, dan “parisudha” berarti

sekitar perbuatan yang harus disucikan (Putra dkk., 2013). Tri Kaya Parisudha

adalah tiga perbuatan yang baik, yang terdiri atas manacika (berpikir yang baik),

wacika (berkata yang baik), dan kayika (bertingkah laku yang baik). Tingkah laku,

pikiran, dan perkataan yang baik dapat dicapai dengan pengendalian diri (karma

patha). Dengan akal yang dikaruniai Tuhan, manusia harus mampu

mengendalikan tingkah laku dan perkataan melalui analisa logis tentang yang baik

Page 32: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

52

dan buruk. Kemampuan untuk membedakan hal yang baik dan buruk merupakan

kelebihan manusia daripada makhluk lainnya. Tri Kaya Parisudha mengandung

nilai-nilai universal yang selaras dengan pemikiran moderen, di mana berpikir,

berkata, dan berbuat yang baik dapat diterima oleh semua orang dari berbagai

bangsa dan negara, karena secara filosofi manusia dibedakan berdasarkan

perbuatan (kaya), ucapan (wak), dan pikiran (manah). Pengendalian hawa nafsu

(karma patha) dalam ajaran Tri Kaya Parisudha, terdiri atas :

1. Pengendalian diri melalui tingkah laku, yaitu tidak melakukan penyiksaan

atau pembunuhan terhadap makhluk yang tidak bersalah (himsa karma),

tidak curang terhadap harta benda atau mencuri, dan tidak berzinah.

2. Pengendalian diri melalui perkataan, yaitu tidak mencaci maki orang lain,

tidak berkata-kata kasar terhadap orang lain, tidak menfitnah, dan tidak

ingkar terhadap janji.

3. Pengendalian diri melalui pikiran, yaitu tidak menginginkan sesuatu yang

tidak halal, tidak berfikir buruk terhadap orang lain, dan tidak mengingkari

hukum karmaphala. Hukum karmaphala mengungkapkan bahwa semua

perbuatan akan berakibat sesuai dengan perbuatan tersebut.

Pengendalian diri berdasarkan tata susila juga dapat ditemukan dalam

konsep Dasa Yama Brata dan Dasa Nyama Brata. Konsep Dasa Yama Brata

adalah sepuluh jenis pengekangan diri berdasarkan upaya individu untuk menjauhi

larangan agama sebagai norma kehidupan (Putra dkk., 2013). Dasa Yama Brata

terdiri atas tidak egois (anresangsya), suka mengampuni dan tahan uji

menghadapi pasang surutnya kehidupan (ksama), jujur dan setia (satya), kasih

kepada makhluk lain (ahimsa), dapat menasehati diri sendiri dalam

Page 33: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

53

mengendalikan nafsunya (dama), berpegang teguh pada kebenaran (arjawa), cinta

dan kasih sayang kepada sesama makhluk hidup (priti), berpikir dan berhati suci

tanpa pamrih (prasada), ramah tamah dan sopan santun (madurya), dan rendah

hati tidak sombong (mardharwa). Konsep Dasa Nyama Brata adalah sepuluh

jenis pengekangan hawa nafsu yang harus dilakukan oleh setiap orang dalam

menjalankan kehidupan secara individu maupun sosial kemasyarakatan agar

tercapainya kebahagiaan lahir dan bathin. Dasa Nyama Brata terdiri atas rela

memberikan sumbangan atau dana punia (dhana), hormat kepada leluhur dan

orang tua (ijya), melatih diri agar dapat mencapai ketenangan hati (tapa), tekun

memusatkan diri kepada Hyang Widhi (dhyana), mengendalikan hawa nafsu

(uphasthanigraha), mengekang diri pada makanan dan minuman atau taat kepada

sumpah dan janji (brata), melakukan puasa untuk mendekatkan diri dengan Hyang

Widhi (upawasa), membatasi perkataan dan tidak berbuat seenaknya (mona),

tekun mempelajari kitab suci dan pengetahuan lainnya yang berguna bagi

kehidupan dan kebudayaan (swadhayaya), dan tekun melakukan penyucian diri

setiap hari dengan jalan mandi dan sembahyang (snana).

Semua konsep-konsep tata susila dalam ajaran Agama Hindu tersebut

telah dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat Bali yang diregenerasi dalam

waktu yang panjang, sehingga menjadi nilai-nilai kerafian lokal yang membentuk

karakter orang Bali. Adapun sifat-sifat khas dan unggul orang Bali tersebut adalah

polos, cucud, jemet, tresna, asih (Wardana, 2014). Polos dimaknai sebagai

kejujuran yang sebenar-benarnya. Orang Bali pantang berbohong dan hampir

tidak bisa berbohong, sehingga orang Bali kentara kalau dia berbohong. Orang

Bali tak pernah berlatih berbohong, dia akan merasa tersiksa jika disuruh

Page 34: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

54

berbohong. Orang Bali lebih suka terus terang agar merasa ringan, walaupun ada

resiko dengan berterus terang. Inilah yang menjadi salah satu karakteristiknya

orang Bali. Cucud dimaknai sebagai sifat bertanggung jawab. Tanggung jawab itu

adalah terkait dengan tanggung jawab karma, di mana orang Bali akan

bertanggung jawab atas segala pekerjaan dan perbuatannya, tidak suka

menghindar dari masalah, sangat kesatria, dan orang Bali percaya kepada Hukum

Karma (Karma Phala). Orang Bali percaya bahwa karma tidak bisa dihindari, dan

hukum energi ini kekal dan sempurna adanya. Dengan demikian, orang Bali

disebut cucud yang dalam perilakunya orang Bali pasti akan membayar sesangi

atau janji sekalipun saat dia berjanji tak ada yang tahu. Sifat yang percaya dan

astiti bhakti kepada Hyang Widhi (Tuhan) inilah yang melahirkan salah satu unsur

Tri Hita Karana yaitu Parhyangan. Jemet diartikan sebagai kreatif dan suka

bekerja berdasarkan kreatifitas. Orang Bali akan senang dan sangat rajin serta

antusias, jika diberikan ruang dan waktu untuk mengembangkan kreativitasnya.

Orang Bali pada dasarnya semua seniman, sehingga memiliki perasaan yang peka

dan halus. Tresne adalah sikap saling menghormati yaitu suatu sikap yang

demokratis. Sikap inilah yang melahirkan salah satu roh (spirit) dalam Tri Hita

Karana yaitu Pawongan. Sikap menghormati orang lain ini menyebabkan Bali

terkenal dengan keramah tamahannya. Orang Bali kalau berbicara jarang dengan

muka seram dan serius. Orang Bali lebih suka tersenyum dengan siapa saja, baik

itu sesama orang Bali, maupun orang dari suku lainnya termasuk orang asing dari

negara yang berbeda. Asih diartikan sebagai sifat menyayangi. Rasa sayang ini

tergambar bagaimana orang Bali membangun tata bangunan, tata desa, dan tata

adat. Semua terkesan seolah - olah penuh dengan sentuhan kasih sayang. Orang

Page 35: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

55

Bali jarang membuat bangunan yang kaku, sombong, angkuh dan tak bersahabat.

Bangunan orang Bali begitu humanis. Sifat inilah yang menghidupi roh orang

Bali. Palemahan, sebagai salah satu unsur Tri Hita Karana mengemukakan orang

Bali tak suka menebang pohon sembarangan dan menyemblih hewan

sembarangan. Semua itu haruslah untuk suatu persembahan yadnya, persembahan

kepada Tuhan dan alam semesta.

Nilai-nilai kearifan lokal yang bersumber dari ajaran Agama Hindu telah

menjadi rujukan dan bahan acuan dalam menjaga dan menciptakan relasi sosial

yang harmonis pada masyarakat Bali. Komitmen kebersamaan dalam perbedaan

dan perbedaan dalam kebersamaan sebagaimana nilai Bineka Tunggal Ika, dengan

dilandasi semangat menyama braya, tidak saja diterapkan pada situasi dan kondisi

konflik, tetapi lebih jauh dari itu dapat menjadi pendoman hidup sehari-hari dalam

mengatasi problem sosial, ekonomi, dan politik yang kerap muncul ditengah-

tengah dinamika kehidupan sosial. Rasa selunglung sabayantaka, yaitu di mana

bumi dipijak di sana langit dijunjung menjadi landasan berpikir bagi setiap orang

Bali untuk selalu menghormati nilai-nilai kearifan lokal dan menjadikannya

pedoman bersama dalam kehidupan sosial. Semua nilai-nilai yang terkandung

dalam kearifan lokal ini menyebabkan Bali tampil sebagai daerah yang damai dan

dikenal secara nasional dan internasional.

2.2.2 Penelitian Tentang Dampak Kualitas Layanan Terhadap Kinerja Bisnis

Penelitian tentang kualitas layanan telah banyak dilakukan dalam berbagai

bisnis jasa yang menunjukkan pengaruh kualitas layanan terhadap kepuasan dan

niat perilaku pelanggan sebagai tujuan bisnis. Pada umumnya pengukuran kualitas

Page 36: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

56

layanan menggunakan pendekatan servqual yang dikemukakan oleh Parasuraman

et al (1988) dengan lima dimensi, yaitu (1) tangibles, (2) reliability, (3)

responsiveness, (4) assurance, dan (5) empathy. Pengukuran kualitas layanan

dengan dimensi yang berbeda masih jarang dilakukan dan pengukuran kelima

dimensi servqual tidak selalu dapat diterapkan pada setiap bidang jasa. Dengan

demikian penelitian tentang kualitas layanan dengan dimensi yang berbeda

dengan servqual sangat diperlukan untuk memperluas pengukuran kualitas

layanan pada jenis layanan yang memiliki latar belakang budaya lokal.

Penelitian kualitas layanan pada umumnya bertujuan untuk mengetahui

variabel-variabel yang membentuk kualitas layanan dan dipakai sebagai dasar

dalam menyusun strategi pemasaran produk layanan yang bersangkutan. Beberapa

penelitian mengenai pengukuran kualitas layanan dalam bisnis hospitaliti

disajikan sebagai berikut :

1. Penelitian Parasuraman et al. (1991) yang berjudul “Refinement and

Reassessment of the SERVQUAL Scale” menunjukkan lima dimensi

kualitas layanan dalam jasa reparasi telephone, bank, dan asuransi. Kelima

dimensi kualitas layanan ini dikenal dengan konsep SERVQUAL, yang

terdiri atas (1) fisik (tangibles), (2) reliabilitas (reliability), (3) daya

tanggap (responsiveness), (4) jaminan (assurance), dan (5) empati

(empathy).

2. Penelitian Cronin dan Taylor (1992) yang berjudul “Measuring Service

Quality: A Reexamination and Extension” menunjukkan kualitas layanan

sebagai variabel yang berpengaruh terhadap kepuasan dan niat perilaku

pelanggan dalam empat jenis layanan, yaitu bank, pest control, dry

Page 37: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

57

cleaning, dan fast food di Amerika Serikat. Dalam penelitian ini

menggunakan lima dimensi pengukuran kualitas layanan berdasarkan

konsep servqual yang dikemukakan oleh Parasuraman et al (1988), terdiri

atas (1) fisik (tangibles), (2) reliabilitas (reliability), (3) daya tanggap

(responsiveness), (4) jaminan (assurance), dan (5) empati (empathy).

Cronin dan Taylor (1992) menyimpulkan bahwa kualitas layanan yang

terdiri atas lima dimensi tersebut berpengaruh kuat dan signifikan

terhadap kepuasan dan niat pembelian pelanggan pada keempat jenis jasa

yang diteliti.

3. Penelitian Youssef et al., (1996) yang berjudul “Health Care Quality in

NHS Hospitals” menunjukkan pengukuran kualitas layanan pada rumah

sakit di West Midland dengan menggunakan pendekatan servqual yang

dikemukakan oleh Parasuraman et al (1988), terdiri atas (1) fisik

(tangibles), (2) reliabilitas (reliability), (3) daya tanggap (responsiveness),

(4) jaminan (assurance), dan (5) empati (empathy). Hasil analisis tingkat

ekspektasi pelanggan tertinggi adalah dimensi reliability, disusul oleh

empathy, responsiveness, assurance, dan tingkat ekspektasi pelanggan

paling rendah adalah dimensi tangibles.

4. Penelitian McDougall dan Levesque (2000) yang berjudul “Customer

Satisfaction with Services: Putting Perceived Value into the Equation”

menunjukkan kualitas layanan sebagai variabel penentu kepuasan

pelanggan dan membawa dampak pada niat beralih dan niat loyalitas

pelanggan pada empat jenis jasa, yaitu dentist, auto service, restaurant,

and hairstylist di Canada. Dalam penelitian ini kualitas layanan terdiri atas

Page 38: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

58

dua dimensi, yaitu kualitas layanan inti (core quality) dan kualitas layanan

relasional (relational quality), di mana kualitas layanan inti dilaporkan

memiliki pengaruh yang lebih kuat terhadap kepuasan pelanggan

dibandingkan dengan kualitas layanan relasional.

5. Penelitian Curry dan Sinclair (2002) yang berjudul “Assessing the Quality

of Physiotherapy Services Using Servqual” menunjukkan pengukuran

kualitas layanan pada jasa physiotherapy di Scotland dilakukan dengan

menggunakan pendekatan servqual yang dikemukakan oleh Parasuraman

et al (1988), terdiri atas (1) fisik (tangibles), (2) reliabilitas (reliability),

(3) daya tanggap (responsiveness), (4) jaminan (assurance), dan (5)

empati (empathy). Hasil analisis menunjukkan tingkat ekspektasi

pelanggan yang tertinggi dari dimensi servqual adalah dimensi assurance,

disusul oleh reliability, empathy, responsiveness, dan tingkat ekspektasi

paling rendah adalah dimensi tangibles. Pada tingkat persepsi pelanggan

ditemukan tingkat tertinggi pada dimensi assurance, disusul oleh dimensi

reliability, responsiveness, accessibility, dan tingkat persepsi paling

rendah adalah dimensi tangibles.

6. Penelitian Jabnoun dan Chaker (2003) yang berjudul “Comparing the

Quality of Private and Public Hospitals” menunjukkan pengukuran

kualitas layanan pada rumah sakit pemerintah dan swasta dengan

menggunakan dimensi yang terdiri atas: (1) empathy, (2) tangibles, (3)

reliability, (4) administrative responsiveness, dan (5) supporting skill.

Dari kelima dimensi tersebut, hanya tiga dimensi yang menunjukkan

perbedaan yang signifikan antara layanan pada rumah sakit pemerintah

Page 39: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

59

dan swasta di UEA, yaitu: (1) empathy, (2) administrative responsiveness,

dan (3) supporting skill.

7. Penelitian Chumpitaz dan Paparoidamis (2004) yang berjudul “Service

Quality and Marketing Performance in Business-to-Business Markets:

Exploring the Mediating Role of Client Satisfaction” menunjukkan

dimensi-dimensi dalam kualitas layanan dapat menjadi variabel penentu

kepuasan industri dan membawa dampak pada loyalitas dalam industri

teknologi informatika. Dalam penelitian ini pengukuran kualitas layanan

dalam industri teknologi informatika terdiri atas empat dimensi, yaitu: (1)

accessability, (2) delivery service, (3) product and service reliability, dan

(4) technical assistance. Keempat dimensi kualitas layanan tersebut

terbukti berpengaruh terhadap kepuasan dan loyalitas industri teknologi

informatika.

8. Penelitian Tsoukatos dan Rand (2006) yang berjudul “Path Analysis of

Perceived Service Quality, Satisfaction and Loyalty in Greek Insurance”

menunjukkan konsep servqual oleh Parasuraman et al. (1988) dapat

menjadi kualitas layanan pada industri asuransi di Greek, namun dengan

analisis faktor kelima dimensi dalam servqual berubah menjadi dua

dimensi, yaitu: (1) non-tangibles, dan (2) tangibles. Dimensi non-

tangibles merupakan gabungan indikator-indikator dalam dimensi

reliability, assurance, responsiveness, dan empathy, sedangkan dimensi

tangibles masih tetap mengandung indikator-indikator pengukuran

tangibles dalam servqual. Dengan menggunakan path analysis, dimensi

non-tangibles terbukti dapat mempengaruhi kepuasan pelanggan,

Page 40: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

60

sedangkan dimensi tangibles tidak dapat mempengaruhi kepuasan

pelanggan. Selanjutnya, kepuasan pelanggan berpengaruh terhadap niat

untuk merekomendasikan asuransi tetapi tidak berpengaruh terhadap niat

pembelian kembali.

9. Penelitian Hoare dan Butcher (2008) yang berjudul “Do Chinese Cultural

Values Affect Customer Satisfaction/Loyalty ?”, menunjukkan bahwa

kualitas layanan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap

kepuasan dan loyalitas pelanggan pada restoran Cina di Australia. Dalam

penelitian ini, pengukuran kualitas layanan terdiri atas empat dimensi,

yaitu: (1) interaction quality, (2) food appeal, (3) facility quality, dan (4)

product knowledge. Dengan menerapkan analisis faktor pada keempat

dimensi ini, hanya tiga dimensi yang dikonfirmasi sebagai kualitas

layanan pada restoran Cina, yaitu (1) interaction quality, (2) food appeal,

dan (3) performance comparison. Berdasarkan hasil analisis regresi,

dimensi food appeal dan performance comparison terbukti dapat

mempengaruhi loyalitas pelanggan, sedangkan dimensi interaction quality

tidak terbukti dapat mempengaruhi loyalitas pelanggan pada restoran Cina

di Australia.

10. Penelitian Rigopoulou et al. (2008) yang berjudul “After Sales Service

Quality as an Antecedent of Customer Satisfaction. The Case of Electronic

Appliances”, menunjukkan kualitas layanan pasca pembelian berpengaruh

terhadap kepuasan dan niat perilaku pelanggan peralatan elektronika di

Greece. Penelitian ini menunjukkan terdapat dua dimensi dalam kualitas

layanan pasca pembelian peralatan elektronika, yaitu: (1) delivery, dan (2)

Page 41: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

61

installation. Kedua dimensi ini merupakan dimensi yang dapat

membentuk kualitas layanan pasca pembelian peralatan elektronika, dan

menentukan kepuasan serta niat perilaku pelanggan yang menguntungkan

bagi perusahaan.

11. Penelitian Gounaris et al. (2010) yang berjudul “An Examination of the

Effects of Service Quality and Satisfaction on Customer’s Behavioral

Intentions in e-Shopping”, menunjukkan kualitas layanan dalam konteks

internet shopping secara positif dan signifikan dapat mempengaruhi

kepuasan dan niat perilaku pelanggan dalam melakukan pembelian secara

online. Penelitian ini dilaksanakan di Greece dengan pengukuran kualitas

layanan terdiri atas empat dimensi, yaitu: (1) information, (2) user

friendliness, (3) aesthetics, dan (4) interaction/adaptation. Keempat

dimensi ini dibuktikan dapat membentuk variabel kualitas layanan yang

berpengaruh terhadap kepuasan dan niat perilaku yang menguntungkan

pelanggan pada internet shopping.

12. Penelitian Jeong dan Lee (2010) yang berjudul “A Study on the Customer

Satisfaction and Customer Loyalty on Furniture Purchaser in On-Line

Shop”, menunjukkan bahwa kualitas layanan dapat berpengaruh terhadap

kepuasan dan loyaltas pelanggan dalam melakukan pembelian produk

furniture dari on-line shopping mall. Dalam penelitian Jeong dan Lee

(2010) ini, pengukuran kualitas layanan terdiri atas lima dimensi, yaitu (1)

product diversity, (2) tangibles, (3) responsiveness, (4) interaction, dan

(5) stability. Kelima dimensi kualitas layanan ini ditemukan dapat

Page 42: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

62

berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kepuasan dan loyalitas

pelanggan yang melakukan pembelian furniture secara online.

13. Penelitian Jani dan Han (2011) yang berjudul “Investigating the Key

Factors Affecting Behavioral Intentions. Evidence from A Full-Service

Restaurant Setting”, menunjukkan bahwa kinerja pertemuan kualitas

layanan (service encounter performance) sebagai variabel penentu

kepuasan pelanggan melalui harga (perceived price) dan emosi (affect),

serta bertujuan akhir untuk mencapai niat perilaku pelanggan melalui

kualitas relasional. Penelitian ini dilakukan pada full-service restaurant di

Amerika Serikat, dan pengukuran kinerja pertemuan kualitas layanan

terdiri atas indikator: (1) interaksi karyawan dengan pelanggan, (2)

perhatian khusus karyawan pada permintaan pelanggan, (3) layanan

karyawan yang orisinil, (4) layanan karyawan yang efesien dan cakap, dan

(5) layanan karyawan yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Dalam

penelitian ini, Jani dan Han (2011) mengkonfirmasi kelima indikator

sebagai variabel pembentuk kinerja pertemuan kualitas layanan yang

berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kepuasan pelanggan

melalui emosi (affect), namun tidak terbukti berpengaruh terhadap

kepuasan pelanggan melalui harga (perceived price).

Pada uraian di atas terlihat bahwa konsep servqual yang terdiri atas lima

dimensi kualitas layanan telah dipergunakan pada berbagai studi tentang kualitas

layanan, namun tidak semua studi menggunakankan konsep servqual secara total.

Hal yang sama juga ditemukan dalam penelitian-penelitian yang menyangkut

kualitas layanan dalam bisnis hotel, sebagai berikut:

Page 43: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

63

1. Penelitian Juwaheer (2004) yang berjudul “Exploring International

Tourist’s Perception of Hotel Operations by Using A Modified

SERVQUAL Approach – A Case Study of Mauritius” menunjukkan

kualitas layanan sebagai penentu kepuasan tamu hotel di Mauritius.

Kualitas layanan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan servqual

yang telah dimodifikasi, terdiri atas: (1) reliability, (2) assurance, (3) extra

room benefits sought, (4) staff communication and additional amenities

sought, (5) room attractiveness and de´ cor, (6) empathy, (7) staff outlook

and accuracy, (8) food and service related, dan (9) hotel surroundings and

environmental. Dari kesembilan faktor tersebut, hanya empat faktor yang

dapat membentuk kualitas layanan hotel, yaitu (1) reliability, (2) staff

outlook and accuracy, (3) room attractiveness and de´ cor, dan (4) hotel

surroundings and environmental. Selain itu, Juwaheer (2004)

menunjukkan bahwa kualitas layanan dapat mempengaruhi kepuasan tamu

hotel dengan lima dimensi kualitas layanan, terdiri atas: (1) reliability, (2)

staff outlook and accuracy, (3) room attractiveness and de´ cor, (4) hotel

surroundings and environmental, dan (5) food and service related.

Juwaheer (2004) juga menunjukkan kualitas layanan dapat mempengaruhi

keputusan tamu untuk merekomendasikan hotel kepada pihak lain, dengan

dimensi kualitas layanan yang terdiri atas (1) room attractiveness and de´

cor, (2) reliability, (3) hotel surroundings and environmental, dan (4) food

and service related.

2. Penelitian Olorunniwo et al. (2006) yang berjudul “Service Quality,

Customer Satisfaction, and Behavioral Intentions in the Service Factory”

Page 44: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

64

menunjukkan kualitas layanan sebagai variabel penentu kepuasan dan niat

perilaku pelanggan dalam layanan hotel di Amerika Serikat. Dalam

penelitian ini menggunakan enam dimensi pengukuran kualitas layanan

dengan merujuk pada konsep servperf yang diperkenalkan oleh

Parasuraman et al (1988, 1993) dan Cronin dan Taylor (1992). Konsep

servperf tersebut terdiri atas: (1) tangibles, (2) responsiveness, (3)

knowledge, (4) reliability and trust, (5) accessibility and flexibility, dan (6)

recovery. Olorunniwo et al (2006) menyimpulkan bahwa kualitas layanan

hotel yang terdiri atas dimensi: (1) tangibles, (2) responsiveness, (3)

knowledge, dan (4) recovery terbukti secara positif dan signifikan sebagai

dimensi kualitas layanan yang berpengaruh terhadap kepuasan dan niat

perilaku pelanggan, sedangkan dimensi (1) reliability and trust dan (2)

accessibility and flexibility tidak terbukti sebagai dimensi kualitas layanan

pada layanan hotel.

3. Penelitian Ekinci et al.(2008) yang berjudul “An Extended Models of the

Antecedents and Consequences of Consumer Satisfaction for Hospitality

Services” menunjukkan bahwa kualitas layanan merupakan variabel

anteseden kepuasan pelanggan pada industri hospitaliti (hotel dan restoran) di

United Kingdom. Dalam penelitian ini, pengukuran kualitas layanan pada

hotel dan restoran terdiri atas dua dimensi, yaitu: (1) physical quality, dan (2)

staff behavior. Ekinci et al. (2008) menunjukkan bahwa kedua dimensi ini

merupakan pembentuk kualitas layanan, serta secara langsung mempengaruhi

kepuasan pelanggan dan secara tidak langsung mempengaruhi niat untuk

kembali kepada penyedia layanan hotel dan restoran.

Page 45: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

65

4. Penelitian Dortyol et al (2014) yang berjudul “How Do International

Tourists Perceive Hotel Quality? An Exploratory Study of Service Quality

in Antalya Tourism Region” menggunakan sepuluh dimensi untuk

pengukuran kualitas layanan yang dipersepsikan oleh wisatawan

internasional pada hotel berbintang di Antalya, Turkey, yaitu: (1) friendly,

courteous and helpful employees, (2) room amenities, (3) food quality and

reliability, (4) interaction with Turkish culture, (5) entertainment

opportunities, (6) tangibles, (7) level of prices, (8) transportation, (9)

climate and hygiene, dan (10) security. Dari sepuluh dimensi kualitas

layanan tersebut, dimensi tangibles dan food quality and reliability

merupakan dimensi yang paling berpengaruh terhadap kepuasan

wisatawan sebagai tamu hotel. Dimensi hotel employees and problem

solving, transportation, food quality and reliability, climate and hygiene,

level of price, tangibles, interaction with Turkish culture, dan friendly,

courteous and helpful employees merupakan dimensi yang berpengaruh

secara signifikan terhadap niat tamu hotel untuk merekomendasikan hotel.

Dimensi tangibles, interaction with Turkish culture, dan level of price

merupakan dimensi yang berpengaruh signifikan terhadap niat tamu hotel

untuk datang kembali ke hotel.

5. Penelitian Uddin (2015) yang berjudul “Assessing the Quality of

Hospitality Services: A Study on Hotels in Chittagong”, menunjukkan

bahwa kualitas layanan pada hotel berbintang di Bangladesh tidak dapat

diukur dengan pendekatan servqual yang dikemukakan oleh Parasuraman

et al (1988) yang terdiri atas (1) fisik (tangibles), (2) reliabilitas

Page 46: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

66

(reliability), (3) daya tanggap (responsiveness), (4) jaminan (assurance),

dan (5) empati (empathy). Dari kelima dimensi dalam servqual tersebut,

tidak satupun merupakan harapan tamu yang menginap di hotel. Dengan

demikian, manajemen hotel disarankan untuk mencari dimensi-dimensi

lain dari kualitas layanan pada hotel berbintang.

Secara ringkas, semua penelitian mengenai kualitas layanan yang

diaplikasikan dalam bisnis hotel dapat dirangkum dalam Tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1

Penelitian Tentang Kualitas Layanan dalam Bisnis Perhotelan

No Peneliti

Obyek dan

Tempat

Penelitian

Variabel Pengukuran

Kualitas Layanan

Metode

Analisi Hasil

1 Juwaheer,

2004

Hotel di

Mauritius

1. Reliability

2. Assurance

3. Extra room

amenities

4. Staff

communication

and additional

amenities sought

5. Room

attractiveness

and décor

6. Empathy

7. Staff outlook and

accuracy

8. Food and service

related

9. Hotel

surroundings

and

environmental

Analisis

faktor

Dimensi kualitas

layanan hotel yang

berpengaruh terhadap

kepuasan dan loyalitas

tamu hotel terdiri atas:

1. Reliability

2. Room attractiveness

and décor

3. Hotel surroundings

and environmental

4. Food and service

related

2 Olorunni

wo et al.,

2006

Hotel di

Amerika

Serikat

1. Tangibles

2. Responsiveness

3. Knowledge

4. Reliability and

trust

5. Accessibility and

flexibility

6. Recovery

Structura

l equation

modeling

Dimensi kualitas

layanan hotel yang

berpengaruh terhadap

kepuasan dan niat

perilaku pelanggan

terdiri atas:

1. Tangibles

2. Responsiveness

3. Knowledge

4. Recovery

Page 47: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

67

3 Ekinci et

al., 2008

Hospitality

industry

(hotel dan

restoran) di

United

Kingdom

1. Physical quality

2. Staff behavior

Partial

least

square

Dimensi kualitas

layanan hotel terdiri

atas:

1. Physical quality

2. Staff behavior

4 Dortyol et

al., 2014

Hotel di

Antalya,

Turkey

1. Friendly,

courteous and

helpful

employees

2. Room amenities

3. Food quality and

reliability

4. Interaction with

Turkish culture

5. Entertainment

opportunities

6. Tangibles

7. Level of prices

8. Transportation

9. Climate and

hygiene

10. Security

Analisis

faktor

dan

analisis

regresi

Dimensi nomor (3) dan

(6) adalah dimensi yang

paling berpengaruh

terhadap kepuasan tamu

hotel. Dimensi nomor

(1), (3), (4), (6), (8), (7),

dan (9) merupakan

dimensi yang

berpengaruh signifikan

terhadap niat tamu hotel

untuk

merekomendasikan

hotel. Dimensi nomor

(4), (6), dan (7)

merupakan dimensi yang

berpengaruh signifikan

terhadap niat tamu hotel

untuk datang kembali ke

hotel

5 Uddin,

2015

Hotel di

Bangladesh

1. Tangibles

2. Reliability

3. Responsiveness

4. Assurance

5. Empathy

Perceptio

n and

expectati

on

analysis

Tidak satupun dimensi

dalam servqual

merupakan ekspektasi

tamu hotel, sehingga

manajemen hotel

disarankan untuk

mencari dimensi yang

lain selain servqual

Penelitian tentang kualitas layanan, kepuasan, dan niat perilaku loyal pada

bidang perhotelan telah dilakukan oleh beberapa peneliti di berbagai negara. Pada

penelitian yang telah dilakukan, para peneliti menggunakan kualitas layanan hotel

yang didasarkan pada pendekatan servqual dengan dimensi yang terdiri atas

tangibles, empathy, reliability, responsiveness, dan assurance. Di antara

penelitian yang telah dilakukan terdapat pula dimensi kualitas layanan berbasis

servqual yang dimodifikasi. Pada penelitian yang akan dilakukan memiliki

perbedaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu kualitas layanan hotel

Page 48: BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan

68

tidak menggunakan pendekatan servqual, namun kualitas layanan hotel

didasarkan pada pendekatan kearifan lokal yang ada di Bali.

Pada Tabel 2.2 dirangkum kedudukan penelitian yang akan dilakukan

dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan terdahulu. Perbedaan dan

persamaan variabel dalam penelitian dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel 2.2

Kedudukan Penelitian (Astina, 2017) dengan Penelitian Terdahulu

pada Bidang Perhotelan

No Peneliti Tahun dan

Tempat

Variabel

Kualitas Layanan

Kepuasan

Niat

Perilaku

Loyal Kearifan

lokal Servqual

1 Juwaheer 2004

di Mauritius

√ √ √

2 Olorunniwo et al 2006

di USA

√ √ √

3 Ekinci

2008

di United

Kingdom

√ √ √

4 Uddin 2015

di Bangladesh

√ √

5 Astina

2017 di Bali √ √ √