bab ii kajian pustaka a. belajar - digilib.unila.ac.iddigilib.unila.ac.id/17408/126/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Belajar
Belajar merupakan salah satu faktor yang sangat dominan dan berpengaruh
dalam pembentukan pribadi dan perilaku individu. Sebagian besar perkembangan
individu berlangsung melalui kegiatan belajar. Belajar dapat diartikan sebagai suatu
proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan perilaku baru
secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam
berinteraksi dengan lingkungannya (Hosnan, 2014: 182). Aisyah, dkk., (2007: 9)
belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri
seseorang. Perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukan dalam bentuk,
seperti perubahan pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, keterampilan, kebiasaan,
serta perubahan aspek-aspek yang ada pada diri individu yang sedang belajar.
Writting dalam bukunya “Phshycology of Learning” (dalam Syah, 2007: 90)
mendefinisikan belajar sebagai: any relatively permanent change in an organism’s
behavioral reptoire that occurs as a result of experience. Belajar adalah perubahan
yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam atau keseluruhan tingkah laku
sebagai hasil pengalaman. Pendapat tersebut sejalan dengan Hanafiah dan Suhana
(2009: 25) yang menyatakan bahwa : experience is the best teacher . Pengalaman
10
merupakan guru yang paling baik. Sedangkan Daryanto (2009: 2) mengemukakan
pengertian belajar yaitu suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil
pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungan.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas peneliti menyimpulkan, bahwa
belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku sebagai akibat adanya interaksi
stimulus dan respons serta dijadikan sebagai pengalaman interaksi dengan lingkungan.
B. Aktivitas Belajar
Aktivitas dalam pembelajaran mempunyai peranan yang penting. Keaktifan
siswa dalam mengikuti pembelajaran dapat menunjang prestasi belajar mereka di
sekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat Kunandar (2010: 277), bahwa aktivitas adalah
keterlibatan siswa dalam bentuk sikap, pikiran, perbuatan, dan aktivitas dalam
kegiatan pembelajaran guna menunjang proses pembelajaran dan memperoleh manfaat
dari kegiatan tersebut. Sardiman (2010: 100) mengemukakan bahwa aktivitas belajar
adalah aktivitas yang bersifat fisik maupun mental, dalam kegiatan belajar kedua
aktivitas itu harus selalu berkait. Aktivitas siswa selama proses belajar mengajar
merupakan salah satu indikator adanya keinginan siswa untuk belajar.
Pendapat di atas diperkuat oleh Rohani (2004: 6) yang menyatakan bahwa
belajar yang berhasil mesti melalui berbagai macam aktivitas, baik fisik maupun
psikis. Fisik adalah peserta yang giat dan aktif dengan anggota badan, membuat
sesuatu, bermain atau bekerja, tidak hanya duduk mendengarkan, melihat atau pasif,
11
sedangkan psikis adalah jika daya jiwanya bekerja sebanyak-banyaknya ataupun
banyak berfungsi dalam rangka pembelajaran.
Lebih lanjut Paul D. Dierich (dalam Hamalik, 2011: 90) membagi kegiatan
belajar menjadi 8 kelompok, sebagai berikut:
1. Kegiatan-kegiatan visual: membaca, melihat-lihat gambar, mengamati
eksperimen, demonstrasi, pameran, mengamati orang lain bekerja, atau bermain.
2. Kegiatan-kegiatan lisan (oral): mengemukakan suatu fakta atau prinsip,
menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran,
mengemukakan pendapat, berwawancara, diskusi.
3. Kegiatan-kegiatan mendengarkan: mendengarkan penyajian bahan,
mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan suatu
permainan instrumen musik, mendengarkan siaran radio.
4. Kegiatan-kegiatan menulis: menulis cerita, menulis laporan, memeriksa
karangan, bahan-bahan kopi, membuat sketsa, atau rangkuman, mengerjakan tes,
mengisi angket.
5. Kegiatan-kegitan menggambar: menggambar, membuat grafik, diagram, peta,
pola.
6. Kegiatan-kegiatan metrik: melakukan percobaan, memilih alat-alat,
melaksanakan pameran, membuat model, menyelenggarakan permainan
(simulasi), menari, berkebun.
7. Kegiatan-kegiatan mental: merenungkan, mengingat, memecahkan masalah,
menganalisis faktor-faktor, menemukan hubungan-hubungan, membuat
keputusan.
8. Kegiatan-kegiatan emosional: minat, membedakan, berani, tenang, dan
sebagainya.
Menurut pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa aktivitas belajar
adalah kegiatan yang dilakukan oleh siswa baik itu kegiatan jasmani maupun rohani
yang dapat memberikan nilai tambah bagi siswa ketika proses pembelajaran
dilaksanakan oleh guru, sehingga akan tercapai tujuan pembelajaran yang diharapkan,
dengan indikator (a) mengajukan pertanyaan, (b) mengemukakan pendapat, (c)
mendengarkan penjelasan guru dengan seksama, (d) mengerjakan tes, (e) mengingat,
(f) memecahkan masalah, (g) minat, dan (h) berani.
12
C. Hasil Belajar
Pada saat berakhirnya suatu proses belajar, maka siswa akan memperoleh suatu
hasil belajar. Hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan
tindak mengajar. Dari sisi guru tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi hasil
belajar. Di lihat dari sisi siswa, hasil belajar merupakan berakhirnya pangkal dan
puncak proses belajar. Hasil belajar, untuk sebagian adalah berkat tindak guru, suatu
pencapaian tujuan pengajaran. Pada bagian lain merupakan peningkatan kemampuan
mental siswa (Dimyanti dan Mujiono, (2006: 3). Pendapat yang sedikit berbeda
dikemukakan oleh Bundu (2006: 14) bahwa hasil belajar adalah perubahan yang
mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya. Nasution (dalam
duniabaca.com: 2011), mengemukakan bahwa hasil adalah suatu perubahan pada diri
individu. Perubahan yang dimaksud tidak halnya perubahan pengetahuan, tetapi juga
meliputi perubahan kecakapan, sikap, pengertian, dan penghargaan diri pada individu
tersebut.
Bloom, dkk., dalam Dimyati dan Mudjiono (2006: 26-30) mengkatagorikan
jenis perilaku dan kemampuan internal akibat belajar ke dalam tiga ranah, diantaranya:
a. Ranah kognitif, terdiri dari enam perilaku diantaranya: pengetahuan,
pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evalauasi.
b. Ranah afektif, terdiri dari lima perilaku diantaranya: penerimaan, partisipasi,
penilaian dan penentuan sikap, organisasi, serta pembentukan pola hidup.
c. Ranah psikomotor, terdiri dari tujuh perilaku diantaranya: apersepsi, kesiapan,
gerakan terbimbing, gerakan yang terbiasa (berketerampilan), gerakan kompleks,
penyesuaian pola gerakan, dan kreativitas.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, maka peneliti menyimpulkan
bahwa hasil belajar adalah suatu perubahan pengetahuan, sikap, keterampilan peserta
13
didik yang dilakukan melalui penilaian proses dan hasil belajar yang telah dilakukan
berulang-ulang. Indikator ketercapaian mengenai hasil belajar dalam penelitian ini
dilihat dari 3 ranah yaitu: (1). Kognitif berupa pengetahuan, pemahaman, penerapan,
dan analisi; (2). Afektif berupa sikap dan partisipasi; (3). Psikomotor berupa
keterampilan serta kreativitas.
D. Pembelajaran Matematika
1. Pengertian Matematika
Pembelajaran matematika di Sekolah Dasar tidak terlepas dari hakikat
peserta didik dan hakikat matematika. Hakikat matematika adalah memiliki objek
tujuan abstrak, bertumpu pada kesepakatan, dan pola pikir yang dedukatif
(Soedjadi dalam Heruman, 2007: 1), sedangkan matematika merupakan ilmu dasar
yang menjadi tolak ukur bagi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi (Sajaka, dkk., 2006: 2). Matematika lebih menekankan dari hasil
eksperimen dalam dunia rasio (penalaran), bukan menekankan dari hasil
eksperimen atau hasil observasi, matematika terbentuk karena pikiran-pikiran
manusia, yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran (Russeffendi dalam
Suwangsih dan Tiurlina, 2006: 3).
Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang diajarkan pada sekolah
dasar. Kata matematika berasal dari bahasa latin mathematika yang mulanya
diambil dari perkataan Yunani mathematike yang berarti mempelajari. Perkataan
itu mempunyai asal katanya mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu. Kata
mathematike berhubungan pula dengan kata lainnya yang hampir sama, yaitu
mathein atau mathenein yang artinya belajar (berfikir). Jadi, berdasarkan asal
katanya, maka kata matematika berarti ilmu pengetahuan yang didapat dari
berfikir (Suwangsih, 2006: 3).
14
Menurut Johnson dan Rising dalam Murniati (2007: 46), menyatakan bahwa
matematika adalah pola pikir, pola mengorganisasikan pembuktian logika;
matematika itu adalah bahasa, bahasa yang menggunakan istilah yang
didefinisikan dengan cermat, jelas, dan akurat, representasinya dengan simbol
mengenai arti daripada bunyi; matematika adalah pengetahuan struktur yang
terorganisasi, sifat-sifat atau teori-teori dibuat secara deduktif berdasarkan kepada
unsur yang tidak didefinisikan, aksioma, sifat atau teori yang telah dibuktikan
kebenarannya; matematika adalah ilmu tentang keteraturan pola atau ide, dan
matematika itu adalah suatu seni, keindahan terdapat pada keterurutan dan
keharmonisan.
Berdasarkan pernyataan para ahli matematika di atas peneliti berkesimpulan
bahwa matematika merupakan ilmu dasar yang didapat dengan berpikir yang
terbentuk dari pengalaman manusia yang kebenarannya dapat dibuktikan.
2. Tujuan Matematika
Setiap mata pelajaran yang ada di sekolah dasar memiliki tujuannya sendiri
yang berpusat pada peserta didik, begitu pula halnya pada mata pelajaran
matematika. Menurut Aisyah (2007: 1-4) Matematika bertujuan agar peserta didik
memiliki kemampuan sebagai berikut.
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat
dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi
yang diperoleh.
4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika,
serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
15
Di dalam GBPP mata pelajaran matematika SD disebutkan bahwa tujuan yang
hendak dicapai dari pembelajaran matematika adalah :
1. Menumbuhkan dan mengembangkan keterampilan berhitung (menggunakan
bilangan) sebagai alat dalam kehidupan sehari-hari.
2. Menumbuhkan kemampuan siswa, yang dapat dialihgunakan, melalui kegiatan
matematika.
3. Mengembangkan pengetahuan dasar matematika sebagai bekal lanjut di
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).
4. Membentuk sikap logis, kritis, cermat, kreatif dan disiplin. (Depdikbud, 1993:
40).
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan
bahwa tujuan matematika adalah agar peserta didik memiliki kemampuan
memahami, menggunakan penalaran, menumbuh kembangkan kemampuan
berhitung dalam kehidupan sehari-hari, dan membentuk sikap logis, kritis, cermat,
kreatif dan disiplin.
E. Model Pembelajaran
1. Pengertian Model Pembelajaran
Pada setiap proses pembelajaran seorang guru sebelumnya pasti akan
mempersiapkan terlebih dahulu apa yang akan disampaikan pada siswa dengan
menyusun persiapan mengajar atau rencana pembelajaran. Ketika guru
melaksanakan kegiatan pembelajaran di kelas, pada dasarnya guru tersebut
sedang mempraktekkan model pembelajaran. Model pembelajaran ini
menggambarkan keseluruhan urutan atau langkah-langkah yang pada umumnya
diikuti oleh serangkaian kegiatan pembelajaran.
Secara kaffah model dimaknakan sebagai suatu objek atau konsep yang
digunakan untuk mempresentasikan suatu hal, dan sesuatu yang nyata dan
16
dikonversikan untuk sebuah bentuk yang lebih komprehensif (Mayer, W. J.,
dalam Trianto, 2010: 21). Arends dalam Suwarjo (2008: 97) menjelaskan bahwa
model pembelajaran merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan
suatu pendekatan atau rencana pengajaran yang mengacu pada pendekatan
secara menyeluruh yang memuat tujuan, tahapan-tahapan kegiatan, lingkungan
pembelajaran, dan pengelolaan kelas.
Ismail dalam Widyantini (2008: 4), istilah model pembelajaran
mempunyai makna yang lebih luas daripada strategi, metode, atau prosedur.
Suatu model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yaitu rasional teoritik
yang logis, tujuan pembelajaran yang akan dicapai, tingkah laku mengajar yang
diperlukan, serta lingkungan belajar. Menurut Soekamto, dkk., dalam Trianto
(2010: 22) mengemukakan maksud dari model pembelajaran adalah: “Kerangka
konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan
pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi
sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam
merencanakan aktivitas belajar mengajar”, dengan demikian aktivitas
pembelajaran benar-benar merupakan kegiatan bertujuan yang tertata secara
sistematis.
Model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang
tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru, dengan
kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan
suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran (Komalasari, 2010: 57).
17
Berkenaan dengan model pembelajaran, Bruce Joyce dan Marsha Weil
(Sudrajat dalam wordpress.com: 2008) mengetengahkan empat kelompok model
pembelajaran, yaitu: (1) model interaksi soaial; (2) model pengolahan informasi;
(3) model personal-humanistik; dan (4) model modifikasi tingkah laku.
Penggunaan istilah tersebut dengan strategi pembelajaran.
Aplikasi model pembelajaran biasanya tergantung pada tujuan, materi,
karakteristik sekolah, lingkungan, dan kebutuhannya. Berdasarkan pendapat para
ahli di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa model pembelajaran adalah
suatu konsep pembelajaran yang diterapkan oleh guru secara sistematis untuk
mengorganisasikan pengalaman belajar guna mencapai tujuan belajar yang
diinginkan.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka peneliti menyimpulkan
bahwa model pembelajaran adalah suatu konsep pembelajaran yang diterapkan
oleh guru secara sistematis untuk mengorganisasikan pengalaman belajar guna
mencapai tujuan belajar yang diinginkan.
2. Macam-macam Model Pembelajaran
Model pembelajaran adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan
oleh pelaksana pembelajaran. Guru merupakan ujung tombak pelaksanaan
pembelajaran di kelas. Berhasil dengan tidaknya pembelajaran sepenuhnya ada
ditangan guru. Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan
secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik
untuk berpatisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik
serta psikologis peserta didik. Penerapan pendekatan saintifik dalam model
18
pembelajaran yang dapat diterapkan ada tiga model pembelajaran (Hosnan,
2014:190-191), yaitu:
a. Discovery Learning
Model pembelajaran discovery learning menggunakan beberapa langkah
pembelajaran, yaitu persiapan, pelaksanaan, dan penilaian. Sedangkan pada
kegiatan inti, yaitu pelaksanaan model pembelajaran discovery learning
menggunakan pemberian stimulasi/rangsangan, pernyataan/identifikasi
masalah, pengumpulan data, pengolahan data, verifikasi/pembuktian dan
menarik kesimpulan/generalisasi.
b. Problem Based Learning
Problem based learning adalah metode mengajar yang menggunakan
masalah yang nyata, proses dimana siswa belajar, baik ingatan maupun
keterampilan berpikir kritis. Problem based learning adalah metode
mengajar dengan fokus pemecahan masalah yang nyata, kerja kelompok,
umpan balik, diskusi, dan laporan akhir.
c. Project Based Learning
Model pembelajaran proyek merupakan model pembelajaran yang
menggunakan proyek/kegiatan sebagai media. Guru menugaskan siswa
untuk melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi, sintesis, dan informasi
untuk menghasilkan berbagai bentuk hasil belajar.
19
3. Pengertian Model Discovery Learning
Penemuan (discovery) merupakan suatu model pembelajaran yang
dikembangkan berdasarkan pandangan kontruktivisme. Model ini menekankan
pentingnya pemahaman struktur atau ide-ide penting terhadap suatu disiplin ilmu,
melalui keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran. Menurut
Wilcox (dalam Hosnan, 2014: 281), dalam pembelajaran dengan penemuan,
siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka
sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa
untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan
mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri.
Model discovery (dalam bahasa Indonesia sering disebut metode
penyingkapan) didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi bila siswa
disajikan materi pembelajaran yang masih bersifat belum tuntas atau belum
lengkap sehingga menuntut siswa menyingkapkan beberapa informasi yang
diperlukan untuk melengkapi materi ajar tersebut (Yunus Abidin, 2014: 175).
Pembelajaran discovery learning adalah suatu model untuk mengembangkan
cara belajar siswa aktif dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka
hasil yang diperoleh akan setia dan tahan lama dalam ingatan, tidak akan mudah
dilupakan siswa. Dengan belajar penemuan, anak juga bisa belajar berpikir analisis
dan mencoba memecahkan sendiri problem yang dihadapi. Kebiasaan ini akan
ditransfer dalam kehidupan bermasyarakat (Hosnan, 2014: 282).
Metode discovery learning adalah memahami konsep, arti, dan hubungan,
melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan
20
(Budiningsih, 2005: 43). Discovery terjadi bila individu terlibat, terutama dalam
penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip.
Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi,
penentuan dan inferi. Proses tersebut disebut cognitive process sedangkan
discovery itu sendiri adalah the mental process of assimilatig conceps and
principles in the mind (Robert B. Sund dalam Hosnan, 2014: 219).
Menurut Sund (dalam Roestiyah, 2008: 20) discovery adalah proses mental
dimana siswa mampu mengasimilasikan suatu konsep atau prinsip. Yang
dimaksud dengan proses mental tersebut antara lain ialah: mengamati,
menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya. Dalam teknik ini
siswa dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami proses mental itu sendiri,
guru hanya membimbing dan memberikan instruksi. Pada pembelajaran
penemuan, siswa didorong untuk terutama belajar sendiri melalui keterlibatan aktif
dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Guru mendorong siswa agar
mempunyai pengalaman dan melakukan eksperimen dengan memungkinkan
mereka menemukan prinsip-prinsip atau konsep-konsep bagi diri mereka sendiri.
Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli di atas peneliti menyimpulkan
bahwa model discovery learning adalah suatu pembelajaran yang melibatkan
siswa dalam proses kegiatan mental melalui tukar pendapat, dengan diskusi,
seminar, membaca sendiri dan mencoba sendiri, agar anak dapat belajar sendiri
dan menarik suatu kesimpulan.
21
4. Tujuan Model Discovery Learning
Setiap model pembelajaran mempunyai tujuan yang hendak dicapai dalam
proses belajar. Bell (1978) mengemukakan beberapa tujuan spesifik dari
pembelajaran dengan penemuan, yakni sebagai berikut:
a. Dalam penemuan siswa memiliki kesempatan untuk terlibat secara aktif
dalam pembelajaran. Kenyataan menunjukan bahwa partisipasi banyak siswa
dalam pembelajaran meningkat ketika penemuan digunakan.
b. Melalui pembelajaran dengan penemuan, siswa belajar menemukan pola
dalam situasi konkret maupun abstrak, juga siswa banyak meramalkan
(extrapolate) informasi tambahan yang diberikan.
c. Siswa juga belajar merumuskan strategi tanya jawab yang tidak rancu dan
menggunakan tanya jawab untuk memperoleh informasi yang bermanfaat
dalam menemukan.
d. Pembelajaran penemuan membantu siswa membentuk cara kerja bersama
yang efektif, saling membagi informasi, serta mendengar dan menggunakan
ide-ide orang lain.
e. Terdapat beberapa fakta yang menunjukan bahwa keterampilan-
keterampilan, konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang dipelajari melalui
penemuan lebih bermakna.
f. Keterampilan yang dipelajari dalam situasi belajar penemuan dalam
beberapa kasus, lebih mudah ditransfer untuk aktivitas baru dan
diaplikasikan dalam situasi belajar yang baru.
5. Kelebihan dan Kekurangan Model Discovery Learning
Pada suatu proses pembelajaran yang menerapkan suatu model di dalamnya
pastinya terdapat suatu kelebihan dan kekurangan pada model pembelajaran yang
diterapkan tersebut. Begitu pula yang terjadi pada model discovery learning,
menurut para ahli penerapan pendekatan discovery learning dalam pembelajaran
memiliki kelebihan dan kekurangan (Dr. J. Richard dalam Roestiyah, 2008: 20).
Kelebihan dan kekurangan tersebut meliputi:
a. Kelebihan Model Discovery Learning
22
1) Membantu peserta didik untuk memperbaiki dan meningkatkan
keterampilan-keterampilan dan proses-proses kognitif. Usaha
penemuan merupakan kunci dalam proses ini, seseorang tergantung
bagaimana cara belajarnya.
2) Dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk memecahkan masalah
(problem solving).
3) Pengetahuan yang diperoleh melalui strategi ini sangat pribadi dan
ampuh karena menguatkan pengertian, ingatan, dan transfer.
4) Siswa aktif dalam kegiatan belajar mengajar, sebab ia berpikir dan
menggunakan kemampuan untuk menemukan hasil akhir.
5) Menyebabkan peserta didik mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri
dengan melibatkan akalnya dan motivasi sendiri.
6) Strategi ini dapat membantu peserta didik memperkuat konsep dirinya,
karena memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.
7) Siswa akan mentransfer pengetahuannya ke berbagai konteks.
8) Membantu dan mengembangkan ingatan dan transfer pada situasi
proses belajar yang baru.
9) Mendorong peserta didik berpikir dan bekerja atas inisiatif sendiri.
10) Mendorong peserta didik berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis
sendiri.
11) Situasi proses belajar menjadi lebih terangsang.
12) Menimbulkan rasa senang pada peserta didik, karena tumbuhnya rasa
menyelidiki dan berhasil.
23
13) Mendorong keterlibatan keaktifan siswa.
14) Menimbulkan rasa puas bagi siswa. Kepuasan batin ini mendorong
ingin melakukan penemuan lagi sehingga minat belajarnya meningkat.
15) Dapat meningkatkan motivasi dan melatih siswa belajar mandiri.
Menurut Marzano (dalam Hosnan, 2014: 288), selain kelebihan yang
telah diuraikan di atas, masih ditemukan beberapa kelebihan dari model
penemuan itu, yaitu sebagai berikut:
1) Siswa dapat berpatisipasi aktif dalam pembelajaran yang disajikan.
2) Menumbuhkan sekaligus menanamkan sikap inquiry (mencari-
temukan).
3) Materi yang dipelajari dapat mencapai tingkat kemampuan yang tinggi
dan lebih lama membekas karena siswa dilibatkan dalam proses
penemuan.
4) Belajar menghargai diri sendiri.
5) Memotivasi diri dan lebih mudah untuk mentransfer.
6) Pengetahuan bertahan lama dan mudah diingat.
7) Hasil belajar discovery mempunyai efek transfer yang lebih baik
daripada hasil lainnya.
8) Melatih keterampilan-keterampilan kognitif siswa untuk menemukan
dan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain.
24
b. Kekurangan Model Discovery Learning
1) Guru merasa gagal mendeteksi masalah dan adanya kesalahpahaman
antara guru dengan siswa.
2) Menyita banyak waktu.
3) Menyita pekerjaan guru.
4) Tidak semua siswa mampu melakukan penemuan.
5) Tidak berlaku untuk semua topik.
6. Langkah-langkah Model Discovery Learning
a. Langkah Persiapan Strategi Discovery Learning
Dalam penggunaan suatu model pembelajaran, pastinya diperlukan
langkah-langkah dalam melaksanakan metode tersebut. Menurut Syah (2004:
243) dalam mengaplikasikan model discovery di proses pembelajaran, ada
beberapa tahapan atau langkah-langkah yang harus dilaksanakan,yaitu sebagai
berikut:
1. Menentukan tujuan pembelajaran.
2. Melakukan identifikasi karakteristik peserta didik (kemampuan awal,
minat, gaya belajar, dan sebagainya)
3. Memilih materi pelajaran yang akan dipelajari.
4. Menentukan topik-topik yang harus dipelajari peserta didik secara
induktif (dari contoh-contoh generalisasi).
5. Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh,
ilustrasi, tugas, dan sebagainya untuk dipelajari
6. Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari
yang konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonok sampai ke
simbolik.
7. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar peserta didik.
25
b. Prosedur Aplikasi Strategi Discovery Learning
Pada saat melaksanakan strategi discovery learning di kelas, ada
beberapa prosedur yang harus diperhatikan oleh pendidik. Menurut Syah
(2004: 244), ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan
belajar mengajar secara umum
1. Problem Statement (Identifikasi Masalah)
Setelah dilakukan stimulasi, langkah selanjutnya adalah guru memberi
kesempatan kepada peserta didik untuk mengidentifikasi sebanyak
mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran,
kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis
(jawaban sementara atas pertanyaan masalah)
2. Stimulation (Pemberian Rangsangan)
Pada tahap ini siswa dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan
kebingungan dan dirangsang untuk melakukan kegiatan penyelidikan
guna menjawab kebingungan tersebut. Kebingungan dalam diri siswa
ini sejalan dengan adanya informasi yang belum tuntas disajikan guru.
3. Data Collection (Pengumpulan Data)
Tahap ini siswa ditugaskan untuk melakukan kegiatan eksplorasi,
pencarian, dan penelusuran dalam rangka mengumpulkan informasi
sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar hipotesis
yang telah diajukannya. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui aktivitas
wawancara, kunjungan lapangan, dan atau kunjungan pustaka.
4. Data Processing (Pengolahan Data)
Pada tahap ini siswa mengolah data dan informasi yang telah
diperolehnya baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu
ditafsirkan.
5. Verification (Pembuktian)
Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk
membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi
dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil pengolahan data.
6. Generalization (Menarik Kesimpulan)
Pada tahap ini siswa menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan
prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang
sama dengan memperhatikan hal verifikasi.
26
F. Media Pembelajaran
1. Pengertian Media
Pada suatu pembelajaran, selain bahan ajar cetak guru juga perlu
menguasai bahan ajar jenis lainnya, karena dalam pembelajaran guru dituntut
untuk menyiapkan bahan ajar yang bervariasi, misalnya aja membuat suatu
media pembelajaran.
Kata media berasal dari bahasa Latin Medius yang secara harfiah berarti
tengah, perantara, atau pengantar. Tetapi secara lebih khusus, pengertian media
dalam proses pembelajaran cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis,
fotografis, atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali
informasi visual atau verbal (Arsyad, 2009: 3). Sejalan dengan pendapat tersebut,
Gagne dalam Angkowo dan Kosasih (2007: 10) mengartikan media adalah
berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa
untuk belajar. Sementara itu Briggs dalam Sadiman (2006: 6) berpendapat bahwa
media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang
siswa untuk belajar.
Media juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang dapat dipergunakan untuk
menyalurkan pesan, merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan
siswa, sehingga dapat terdorong terlibat dalam proses pembelajaran (Angkowo
dan Kosasih, 2007: 10). Bila media adalah sumber belajar, maka secara luas
media dapat diartikan dengan manusia, benda, ataupun peristiwa yang
memungkinkan anak didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan. Peranan
media tidak akan terlihat bila penggunaannya tidak sejalan dengan isi dri tujuan
27
pengajaran yang telah dirumuskan. Karena itu, tujuan pengajaran harus dijadikan
sebagai pangkal acuan untuk menggunakan media. Manakala diabaikan, maka
media bukan lagi sebagai alat bantu pengajaran, tetapi penghambat dalam
pencapaian tujuan secara efektif dan efisien (Djamarah dan Zain, 2006: 121).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan
bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk menyalurkan
pesan. Selain itu media secara mendasar berpotensi memberikan peluang bagi
siswa untuk mengembangkan kepribadian dan dapat merangsang pikiran, dapat
membangkitkan semangat, perhatian, dan kemauan siswa sehingga dapat
mendorong terjadinya proses pembelajaran pada diri siswa.
2. Fungsi dan Manfaat Media
Pada proses pembelajaran kehadiran media mempunyai arti yang cukup
penting, karena dalam kegiatan tersebut ketidakjelasan materi yang disampaikan
dapat dibantu dengan menghadirkan media sebagai perantara. Dalam pemilihan
media perlu diketahui fungsi media tersebut agar penggunaan media sesuai
dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai (Djamarah dan Zain, 2006: 120).
Salah satu fungsi media pembelajaran adalah sebagai alat bantu
pembelajaran, yang ikut mempengaruhi situasi, kondisi dan lingkungan belajar
dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran yang telah diciptakan dan didesain
oleh guru. Menurut Angkowo dan Kosasih (2007: 22) media yang baik digunkan
dalam pembelajaran dengan tujuan, materi dan karakteristik siswa.
28
Manfaat menggunakan media pembelajaran menurut Hernawan, dkk
(2007: 12) yaitu:
1) Memungkinkan siswa berinteraksi secara langsung dengan
lingkungannya,
2) Memungkinkan adanya keseragaman pengamatan atau persepsi belajar
pada masing-masing siswa,
3) Membangkitkan motivasi siswa,
4) Menyajikan informasi belajar secara konsisten dan dapat diulang maupun
disimpan menurut kebutuhan,
5) Menyajikan pesan atau informasi belajar secara serempak bagi seluruh
siswa,
6) Mengatasi keterbatasan waktu dan ruang, dan
7) Mengontrol arah dan kecepatan belajar siswa.
3. Jenis-jenis Media
Pada saat pembelajaran berlangsung, banyak jenis-jenis media yang
digunakan guru dalam mendukung pembelajaran di dalam kelas. Dick dan Carey
dalam Sadiman (2006: 86) menyebutkan jenis-jenis media dalam pembelajaran
adalah sebagai berikut:
1) Media grafis seperti gambar, foto, grafik, bagan, diagram, poster, kartun,
dan komik. Media grafis sering disebut media dua dimensi, yaitu media
yang mempunyai ukuran panjang dan lebar.
2) Media tiga dimensi yaitu media dalam bentuk model padat, model
penampang, model susun, model kerja, dan diorama.
3) Media proyeksi seperti slide, film,film strips, dan OHP.
4) Lingkungan sebagai media pembelajaran
29
4. Pengertian Media Tiga Dimensi
Salah satu jenis media pembelajaran adalah media tiga dimensi. Menurut
Nafi’ M Dawam (2012: 2) media tiga dimensi yaitu media yang tampilannya
dapat diamati dari arah pandang mana saja dan mempunyai panjang, lebar, dan
tinggi. Seperti dikemukakan Sudjana dan Rivai (dalam Andi Prastowo, 2014:
285) media tiga dimensi adalah tiruan tiga dimensional dari beberapa objek nyata
yang terlalu besar, terlalu jauh, terlalu kecil, terlalu mahal, terlalu jarang, atau
terlalu ruwet untuk dibawa ke dalam kelas dan dipelajari siswa dalam wujud
aslinya. Menurut Satyasa dalam www.freewebs.com mengatakan bahwa media
tiga dimensi ialah sekelompok media tanpa proyeksi yang penyajiannya secara
visual tiga dimensional. Kelompok media ini dapat berwujud sebagai benda asli
baik hidup maupun mati, dan dapat pula berwujud sebagai tiruan yang mewakili
aslinya.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa media tiga
dimensi adalah sekelompok media tanpa proyeksi yang penyajiannya secara
visual tiga dimensional yang yang tampilannya dapat diamati dari arah pandang
mana saja dan mempunyai panjang, lebar, dan tinggi.
G. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang dilakukan Henry Suryo Bintoro (2011) mahasiswa Universitas
Muria Kudus dengan menggunakan model Discovery Learning pada mata pelajaran
matematika pada siswa kelas IV SD Negeri 5 Dersalam. Terjadi peningkatan hasil tes
30
formatif dari 67,33 pada siklus I menjadi 74,39 pada siklus II, sedangkan aktivitas
belajar siswa meningkat dari 2,46 pada siklus I menjadi 3,13 pada siklus II.
Penelitian juga dilakukan oleh Fatih Istiqomah (2014) mahasiswi Universitas
Lampung dalam skripsinya yang berjudul “Penerapan Model Discovery Learning
untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Siswa pada Kelas IV SD Negeri 02
Tulung Balak Kabupaten Lampung Timur”, membuktikan bahwa penerapan model
discovery learning dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Terjadi peningkatan nilai
rata-rata motivasi siswa pada siklus I sebesar 61,58 menjadi 77,24 pada siklus ke II.
Nilai rata-rata hasil belajar siswa secara klasikal siklus I sebesar 62,46 meningkat
menjadi 76,23 pada siklus II.
Persamaan dari kedua penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan
peneliti adalah menggunakan model yang sama yaitu model Discovery Learning
dilakukan. Keduanya memiliki kesamaan meningkatkan aktivitas dan hasil belajar
sisw, jenjang kelas, dan siklus yang dilaksanakan pun sama. Berdasarkan uraian di
atas, kedua penelitian tersebut cukup relevan terhadap efektivitas penerapan model
Discovery Learning dalam meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa sekolah
dasar.
H. Kerangka Pikir
Berdasarkan observasi yang peneliti lakukan diperoleh hasil bahwa masih
ditemukan beberapa permasalahan dalam pembelajaran matematika di kelas IV A SD
Negeri 10 Metro Pusat, sehingga perlu adanya tindakan perbaikan untuk membenahai
31
pembelajaran agar menjadi lebih baik. Adapun dalam penelitian ini peneliti membuat
kerangka pikir sebagai berikut:
Gambar 2. Kerangka pikir penelitian
I. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian pustaka di atas dapat dirumuskan hipotesis penelitian
tindakan kelas yaitu “Apabila dalam pembelajaran matematika menerapkan model
discovery learning dengan media tiga dimensi menggunakan langkah-langkah yang
tepat, maka akan meningkatkan aktivitas dan hasil belajar matematika pada siswa
kelas IV A SD Negeri 10 Metro Pusat.”
INPUT PROSES OUTPUT
Aktivitas dan hasil
belajar rendah
Pembelajaran
menggunakan model
discovery learning dengan
media tiga dimensi
Aktivitas dan hasil
belajar meningkat
sesuai dengan
indikator
keberhasilan