bab ii kajian pustaka 2.pdf · 8 bab ii kajian pustaka 2.1 epidemiologi overweight dan obesitas di...
TRANSCRIPT
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas
Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai
akibat dari kegemukan atau obesitas. Pada tahun 2003-2004, 32,9% orang dewasa
berusia 20 -74 tahun mengalami obesitas dan lebih dari 17% remaja usia 12-19 tahun
mengalami kelebihan berat badan atau overweight (Ogden et al., 2007).
Berdasarkan Global Health Observatory Data (2015), pada tahun 2008
terdapat 35% orang dewasa berusia lebih dari 20 tahun dengan kelebihan berat badan
atau overweight yang terdiri dari 34% pria dan 35% wanita. Pada tahun 2008, 10%
pria dan 14% wanita di dunia mengalami obesitas, lebih tinggi dari tahun 1980 yang
hanya 5% pria dan 8% wanita di dunia yang mengalami obesitas. Diperkirakan 205
juta pria dan 297 juta wanita di atas usia 20 tahun mengalami obesitas.
Di Indonesia hasil Riset Kesehatan Dasar oleh Balitbangkes Depkes RI (2013)
menunjukkan bahwa prevalensi penduduk dewasa dengan skor IMT kategori
underweight sebesar 8,7%, overweight sebesar 13,5% dan obesitas sebesar 15,4%.
Prevalensi penduduk pria dewasa dengan kategori obesitas pada tahun 2013 sebanyak
19,7%, lebih tinggi dari tahun 2007 yang hanya 13,9% dan tahun 2010 hanya 7,8%.
Sementara, prevalensi obesitas wanita dewasa (>18 tahun) 32,9%. Jumlah ini
meningkat 18,1% dari tahun 2007 yang hanya 13,9% dan 17,5% dari tahun 2010
9
yang hanya 15,5%. Data ini menunjukkan bahwa prevalensi obesitas wanita dewasa
lebih tinggi daripada penduduk laki-laki.
2.2 Indeks Massa Tubuh (IMT)
2.2.1 Definisi IMT
IMT merupakan pengukuran yang membandingkan berat dan tinggi
badan seseorang. Formula IMT digunakan di seluruh dunia sebagai alat
diagnosis untuk mengetahui berat badan yang underweight, normal,
overweight dan obesitas (Theresia, 2012). Menurut WHO (2004), IMT adalah
indeks sederhana untuk berat badan dan tinggi badan yang biasa digunakan
untuk mengklasifikasikan kelebihan berat badan dan obesitas pada orang
dewasa. Hal ini didefinisikan sebagai berat badan seseorang dalam kilogram
dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam meter (kg/m2). IMT tidak dapat
mengukur lemak tubuh secara langsung, tetapi penelitian menunjukkan bahwa
IMT berkorelasi dengan pengukuran lemak tubuh secara langsung seperti
underwater weighing dan dual energy x-ray absorbtiometry (Grummer-
Strawn, 2009).
2.2.2 Klasifikasi IMT
IMT diklasifikasikan menjadi underweight, normal, overweight dan
obesitas (Lailani, 2013). Berikut ini merupakan beberapa klasifikasi IMT.
Tabel 2.1 Klasifikasi IMT dalam Riskesdas (Balitbangkes Depkes RI, 2013)
10
Kategori kurus IMT < 18,5
Kategori normal IMT ≥ 18,5 - < 24,9
Kategori BB lebih IMT ≥ 25,0 - < 27,0
Kategori obesitas IMT ≥ 27,0
Tabel 2.2 Klasifikasi IMT menurut WHO (WHO, 2004)
Klasifikasi Nilai
Obesitas >30.00
Overweight (kelebihan berat badan /
gemuk)
25.00 – 29.99
Normal 18.5 – 24.99
Kurus < 18.5
Tabel 2.3 Klasifikasi IMT menurut Kriteria Asia Pasifik (Manik, 2011)
Klasifikasi IMT
Underweight < 18,5
Normal 18.5 – 22.9
Overweight 23,0 – 24.9
Obesitas > 25,0
2.2.3 Cara Pengukuran IMT
Dalam menentukan kriteria proporsi tubuh seseorang, IMT merupakan
parameter yang paling banyak dipakai karena apabila dibandingkan dengan
tabel tradisional yang membandingkan langsung tinggi badan/berat badan,
11
pengukuran dengan IMT berkorelasi kuat dengan jumlah lemak total dalam
tubuh manusia yang menggambarkan berat seseorang.
Berdasarkan metode pengukuran IMT menurut WHO (2010), untuk
menentukan indeks massa tubuh sampel maka dilakukan dengan cara sampel
diukur terlebih dahulu berat badannya dengan timbangan kemudian diukur
tinggi badannya dan dimasukkan ke dalam rumus di bawah ini:
Berat badan (Kg)
IMT = ------------------------------
[Tinggi badan (m)]2
Kemudian interpretasikan hasil IMT yang didapat ke dalam tabel
klasifikasi IMT (Manik, 2011).
2.2.4 Overweight dan obesitas
1. Overweight
Metabolisme energi di dalam tubuh manusia diatur oleh berbagai
faktor, baik yang menyebabkan meningkatnya penyimpanan energi, atau
yang mendorong pemakaian energi (Meutia, 2005). Pemakaian energi
tubuh diatur dalam keadaan seimbang. Bila energi yang masuk lebih besar
dari energi yang keluar, kelebihan energi tersebut akan disimpan dalam
jaringan lemak. Overweight didefinisikan sebagai peningkatan berlebihan
jaringan lemak pada otot dan jaringan skeletal (Dorland, 2002). Secara
ilmiah overweight terjadi akibat mengkonsumsi kalori lebih banyak dari
12
yang diperlukan oleh tubuh. Penyebab terjadinya ketidakseimbangan antara
asupan dan pembakaran kalori ini belum dapat dijelaskan secara pasti.
Overweight adalah keadaan yang hampir mendekati obesitas, seseorang
dapat dinyatakan overweight apabila orang tersebut memiliki IMT ≥ 23.
Selain itu, kondisi overweight juga lazim disebut dengan kondisi pre-obese
(WHO, 2010).
2. Obesitas
Obesitas merupakan kelainan dari sistem pengaturan berat badan yang
ditandai oleh akumulasi lemak tubuh yang berlebihan. Obesitas
didefinisikan sebagai keadaan di mana adanya peningkatan yang sangat
berlebihan pada massa jaringan adiposa (lemak). Obesitas bisa
disalahartikan sebagai peningkatan berat badan yang sangat berlebihan bagi
kebanyakan masyarakat. Namun, konsep ini tidak begitu relevan karena
konsep obesitas tidak bisa diambil akibat peningkatan berat badan semata-
mata melainkan adanya peningkatan massa jaringan adiposa (Uwaifo,
2010). Obesitas tidak hanya dianggap masalah di negara berpenghasilan
tinggi, tetapi sekarang jumlah penderita obesitas dan kegemukan semakin
meningkat di negara berpenghasilan rendah dan menengah khususnya di
perkotaan (WHO, 2010).
2.2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Overweight dan Obesitas
13
Penambahan berat badan disebabkan oleh ketidakseimbangan antara
jumlah kalori yang dikonsumsi dengan kebutuhan tubuh. Jika makanan yang
dikonsumsi memiliki kalori lebih dari kebutuhan tubuh, maka kalori tersebut
akan disimpan sebagai lemak. Pada awalnya, hanya ukuran sel-sel lemak yang
akan meningkat. Tetapi apabila ukuran sel-sel tersebut tidak bisa lagi
mengalami peningkatan, maka jumlah sel akan bertambah banyak. Apabila
tubuh mengalami pengurangan berat badan, yang akan berkurang hanyalah
ukuran sel-sel lemak, bukan jumlahnya yang berkurang mengakibatkan lemak
akan mudah terbentuk kembali. Terdapat banyak penyebab obesitas.
Ketidakseimbangan asupan kalori dan konsumsi bervariasi bagi tiap individu.
Adapun faktor-faktor lain yang turut berkontribusi adalah genetik, emosional,
lingkungan, jenis kelamin, usia, dan kehamilan. (Galletta, 2005).
1. Faktor genetik
Obesitas cenderung berlaku dalam keluarga. Ini disebabkan oleh faktor
genetik, pola makan keluarga, dan kebiasaan gaya hidup. Walaupun begitu,
mempunyai anggota keluarga yang obesitas tidak menjamin sesorang itu
juga akan mengalami obesitas (Galletta, 2005).
2. Faktor emosional
Sebagian masyarakat mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang
banyak karena depresi, putus asa, marah, bosan, dan banyak alasan lain
yang tidak ada hubungannya dengan rasa lapar. Ini tidak berarti bahwa
penderita obesitas mengalami lebih banyak masalah emosional daripada
14
orang normal yang lain. Tetapi bukan berarti bahwa perasaan seseorang
mempengaruhi kebiasaan makan dan membuat seseorang makan terlalu
banyak. Dalam kasus yang jarang, obesitas dapat digunakan sebagai
mekanisme pertahanan akibat tekanan sosial yang dihadapi terutama pada
dewasa putri (Galletta, 2005).
3. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang paling memainkan peranan adalah gaya hidup
seseorang. Kebiasaan makan dan aktivitas seseorang dipengaruhi oleh
masyarakat sekitarnya. Makan terlalu banyak dan aktivitas yang pasif
merupakan faktor resiko utama terjadinya obesitas (Galletta, 2005).
4. Faktor jenis kelamin
Rata-rata pria mempunyai massa otot yang lebih banyak dari wanita.
Pria menggunakan kalori lebih banyak dari wanita bahkan saat istirahat
karena otot membakar kalori lebih banyak berbanding tipe-tipe jaringan
yang lain. Dengan demikian, wanita lebih mudah bertambah berat badan
berbanding pria dengan asupan kalori yang sama (Galletta, 2005).
5. Faktor usia
Semakin bertambah usia seseorang, mereka cenderung kehilangan
massa otot dan mudah terjadi akumulasi lemak tubuh. Kadar metabolisme
juga akan menurun menyebabkan kebutuhan kalori yang diperlukan lebih
rendah (Galletta, 2005).
6. Kehamilan
15
Pada wanita, berat badannya cenderung bertambah 4 – 6 kilogram
setelah kehamilan dibandingkan dengan berat sebelum kehamilan. Hal ini
bisa terjadi setiap dari kehamilan dan kenaikan berat badan ini mungkin
akan menyebabkan obesitas pada wanita (Galletta, 2005).
2.3 Anatomi Biomeknik Pergelangan Kaki yang Terlibat dalam Gerakan
Eversi Calcaneus
2.3.1 Anatomi
Regio pergelangan kaki berperan penting dalam aktivitas berjalan dan
berlari terutama berperan dalam menumpu berat tubuh saat berdiri dengan
pengeluaran energi otot yang minimum. Kaki juga berperan sebagai level
struktural yang kaku pada gerakan tubuh ke depan saat berjalan ataupun
berlari. Selain itu, kaki juga berperan sebagai adaptor saat kontak dengan
permukaan yang tidak rata serta sebagai shock absorber terhadap tekanan
yang dihasilkan saat kontak dengan permukaan tanah. Kaki dapat dibagi
menjadi 3 bagian yaitu bagian belakang kaki atau forefoot, yang terdiri dari
talus dan calcaneus; bagian tengah kaki atau midfoot, yang terdiri dari
navicular, cuneiforms, dan cuboid; dan bagian depan kaki, yang terdiri dari
metatarsal dan falang. Berikut ini adalah sendi-sendi pergelangan kaki yang
terlibat dalam gerakan eversi calcaneus.
1. Sendi subtalar
16
Sendi subtalar atau talocalcanea joint termasuk ke dalam sendi
synovial plane joint yang dibentuk oleh permukan inferior talus dan
superior calcaneus. Talus dan calcaneus adalah tulang terbesar yang
menahan beban di kaki dan membentuk hindfoot. Talus menghubungkan
tibia dan fibula pada kaki dan disebut keystone kaki. Tidak ada otot yang
melekat pada talus. Calcaneus menyediakan lengan momen untuk tendon
Achilles dan harus mengakomodasi dampak pembebanan besar saat heel
strike dan gaya tensile dari otot gastrocnemius dan soleus. Talus
berartikulasi dengan calcaneus di tiga lokasi yaitu di anterior, posterior,
dan medial, di mana permukaan konveks talus bersendi dengan permukaan
cekung pada calcaneus (Hammil dan Knutzen, 2009).
Sendi ini diperkuat oleh ligamen talocalcanea interosseus,
talocalcanea posterior dan lateral serta dibantu oleh ligamen deltoideum
(ligamen calcaneotibial dan talotibial posterior) dan ligamen collateral
lateral (ligamen calcaneofibular dan talofibular) (Anshar dan Sudayanto,
2011).
2. Sendi midtarsal (Sendi talonavicular dan sendi transversal tarsal)
Sendi midtarsal atau transversal tarsal joint merupakan gabungan
dari 2 sendi yaitu sisi medial oleh talonavicular joint dan sisi lateral oleh
calcaneocuboid joint walaupun secara anatomis terpisah. Yang paling
besar menstabilisasi sendi ini adalah ligamen calcaneocuboid (ligamen
plantaris yang panjang dan pendek), dibantu oleh ligamen talonavicular
17
dorsal, ligamen bifurcatum dan ligamen tibionavicular (bagian dari
ligamen deltoideum) (Anshar dan Sudaryanto, 2011).
2.3.2 Biomekanik
Sendi pergelangan kaki memiliki 3 aksis utama seperti yang disajikan pada
Gambar 2.1, yaitu :
1. Aksis transversalis : berjalan melalui kedua malleolus dan berhubungan
dengan aksis ankle secara tepat. Aksis ini mengontrol gerakan fleksi dan
ekstensi.
2. Aksis longitudinal tungkai : berjalan secara vertical dan mengontrol
gerakan abduksi-adduksi.
3. Aksis longitudinal kaki : berjalan secara horizontal dan terletak pada
bidang gerak sagital untuk mengontrol gerakan pronasi dan supinasi
(eversi=telapak kaki menghadap ke bawah dan luar, inversi = telapak kaki
menghadap ke bawah dan dalam / medial).
18
Gambar 2.1 Aksis pada sendi foot dan ankle (Alcocer, et al., 2012)
Berikut merupakan osteokinematika dan arthrokinematika dari sendi-
sendi yang terlibat dalam gerakan eversi calcaneus.
1. Sendi subtalar
Sendi ini merupakan bentuk sendi plane non-axial yang hanya
mengikuti gerakan yang terjadi pada transversal tarsal joint, tetapi sendi
ini dapat digerakkan secara pasif yaitu gerakan inversi dan eversi subtalar
joint (menggerakkan calcaneus ke arah medial dan lateral). Pada gerakan
aktif pronasi dan supinasi, transversal tarsal joint bersama dengan subtalar
joint bergerak secara simultan. ROM eversi calcaneus secara pasif adalah
00-5
0/10
0, sedangkan ROM inversi calcaneus secara pasif adalah 0
o-20
0/30
0.
Otot yang bekerja pada gerakan inversi adalah otot tibialis posterior, yang
dibantu oleh tibialis anterior. Otot yang bekerja pada gerakan eversi adalah
otot peroneus longus et brevis, yang dibantu oleh otot peroneus tertius.
Adapun arthrokinematika dari sendi ini adalah :
a. Bagian bawah talus berbentuk konkaf sedangkan permukaan lawannya
calcaneus berbentuk konveks.
19
b. Untuk menghasilkan gerakan angular (gerak fisiologis), maka
calcaneus yang konveks bergerak terhadap talus yang konkaf sehingga
arah slide berlawanan arah.
c. Gerak angular dan arthrokinematikanya disajikan pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Hubungan gerak angular dengan arthrokinematika sendi Subtalar
(Anshar dan Sudaryanto, 2011)
Gerakan Angular Arthrokinematika calcaneus terhadap talus
Supinasi dengan inverse
Pronasi dengan eversi
Lateral
Medial
2. Sendi Midtarsal (sendi talonavicular dan sendi transversal tarsal)
Sendi talonavicular merupakan bagian dari sendi transversal tarsal
(Chopart’s joint) sehingga gerak fungsionalnya tidak terpisahkan satu sama
lain. Sendi ini menghasilkan gerak aktif supinasi – pronasi dan inversi –
eversi, serta gerak pasif abduksi – adduksi. Gerakan supinasi – pronasi
merupakan gabungan dari beberapa gerakan. Gerakan supinasi dalam
keadaan NWB (non weight-bearing) adalah gabungan gerakan inversi
calcaneus (varus), adduksi navicular, dan plantar fleksi talus. Sedangkan
gerakan pronasi dalam keaadaan NWB (non weight-bearing) adalah
gabungan gerakan eversi calcaneus (valgus), abduksi navicular, dan dorso
fleksi talus. Berbeda halnya dalam keadaan weight-bearing, dimana
20
gerakan supinasi adalah gabungan gerakan inversi calcaneus (varus),
abduksi (eksorotasi), dan dorsofleksi talus, serta eksorotasi tibiofibular.
Sedangkan, gerakan pronasi adalah gabungan gerakan eversi calcaneus
(valgus), adduksi (endorotasi), dan plantar fleksi talus, serta endorotasi
tibiofibular. Adapun arthrokinematika dari sendi ini adalah :
a. Caput talus berbentuk konveks dan bagian proksimalnya akan bersendi
dengan permukaan navicular yang konkaf.
b. Untuk gerakan fisiologis kaki, tulang navicular akan slide ke dalam arah
yang sama dengan forefoot (kaki bagian depan).
c. Pada saat closed kinematika, gerakan talus dan navicular akan
berlawanan arah sehingga jika caput talus ke arah bawah dan rotasi
medial maka navicular akan slide ke dorsal dam rotasi lateral.
d. Gerak angular dan arthrokinematikanya disajikan pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Hubungan gerak angular dengan arthrokinematik sendi midtarsal
(Anshar dan Sudaryanto, 2011)
Gerakan Angular Arthrokinematika navicular terhadap caput
talus
Supinasi
Pronasi
Plantar (dan medial)
Dorsal (dan lateral)
21
2.4 Sudut Eversi Calcaneus
Eversi adalah gerakan pada bidang frontal di mana sisi lateral foot bergerak ke
arah tungkai saat non weight-bearing atau tungkai bergerak ke arah foot saat weight-
bearing. Sudut eversi calcaneus merupakan sudut yang dibentuk antara foot dan
calcaneus saat calcaneus bergerak ke arah lateral. Pronasi sendi subtalar yang
berlebihan dievaulasi dengan melihat eversi calcaneus. Dalam gerakan closed-chain
weight-bearing, talus bergerak terhadap calcaneus dan menghasilkan sebagian besar
gerakan pronasi melalui berat badan yang bekerja pada talus. Sedangkan pada open-
chain weight–bearing, calcaneus bergerak terhadap talus dan pronasi subtalar
dihasilkan melalui kombinasi gerakan eversi, abduksi dan dorsofleksi (Hammil dan
Knutzen, 2009). Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Adapun sudut eversi calcaneus normal adalah 00-5
0/10
0 secara pasif pada
pergerakan subtalar joint. Saat eversi calcaneus berlebihan menyebabkan deformitas
yang sering disebut hindfoot valgus (Hammil dan Knutzen, 2009). Sudut eversi
calcaneus maksimal yang di bentuk oleh tulang tibia dan calcaneus mencapai 120
(Gambar 2.3) (Guy, 2007).
22
Gambar 2.2 Atas : Open kinetic chain , bawah : close kinetic chain (Hammil dan
Knutzen, 2009)
Gambar 2.3 ROM Sendi Subtalardari posisi netral (non weight-bearing) (Guy, 2007)
1.5 Otot Gastrocnemius
2.5.1 Anatomi dan Biomekanik Otot Gastrocnemius
23
Otot gastrocnemius merupakan otot betis terbesar dan paling
superfisial dari kelompok otot triceps surae. Adapun otot plantaris dan soleus
juga termasuk ke dalam grup otot ini yang mana menyatu pada tendon achiles
dan melekat pada bagian posterior dari calcaneus. Gastrocnemius adalah otot
dengan dua head (medial dan lateral) yang sangat kuat yang mendominasi
bagian belakang kaki (dapat dilihat pada Gambar 2.4). Medial dan lateral head
dapat dipalpasi dengan mudah dan membentang menuju bagian anterior dari
achiles tendon. Medial head berorigo pada posterior medial condyle femur.
Lateral head berorigo pada posterior lateral condyle femur. Insersio dari otot
ini terletak pada permukaan posterior dari calcaneus via achilles tendon. Otot
gastrocnemius diinervasi oleh nervus tibialis S2-S3 (Cael, 2010).
Gastrocnemius memiliki fast-twitch fibers, yang dapat direkrut dengan
cepat namun mengalami kelelahan dengan cepat pula. Soleus merupakan otot
sinergis dari gastrocnemius untuk melakukan gerakan plantar fleksi. Gerakan
ini tergantung oleh posisi lutut. Jika lutut dalam posisi ekstensi (seperti ketika
berdiri dari jongkok atau posisi melompat dari duduk), gastrocnemius yang
lebih aktif. Jika lutut dalam posisi fleksi (seperti dengan santai berjalan atau
berdiri statis), soleus lebih aktif (Cael, 2010).
24
Gambar 2.4 Otot Gastrocnemius (Drake et al., 2007)
2.5.2 Fisiologi Umum Otot Skeletal
Pada tubuh manusia terdapat sekitar 434 otot yang membentuk 40% -
45% dari berat tubuh sebagian besar orang dewasa. Sel otot tersusun oleh
banyak myofibril yang terbuat dari molekul protein yang panjang
(myofilamen), terdapat dua jenis myofilamen yaitu 1500 myofilamen tebal
(myosin) dan 300 myofilamen tipis (aktin) yang mana akan membentuk
sebuah pola. Miosin dan aktin membentuk sub-unit yang saling menyambung
dalam myofibril yang disebut sebagai sarcomer. Dalam mikroskopis, daerah
pinggir sarcomer lebih terang dengan tengah yang berwarna gelap. Daerah
25
terang disebut I-band karena bersifat isotropik terhadap cahaya yang
dipolarisasikan dan mengandung filamen aktin. Sedangkan daerah yang gelap
disebut A-band karena bersifat anisotropik terhadap cahaya yang
dipolarisasikan dan mengandung filamen myosin. Pada pusat A-band terdapat
H zone yang berisi filamen miosin. Selain itu terdapat Z-line yang
memisahkan antar sarcomer (Gambar 2.5) (Guyton dan Hall, 2008).
Sel otot diselubungi oleh sebuah membran yang disebut sarcolemma.
Sarcolemma mengandung potensial membran yang dapat menghantarkan
impuls ke otot, sehingga sel otot dapat berkontraksi. Di dalam sarcolemma
terdapat lubang yang disebut transverse tubulus, dan berhubungan dengan
sarcoplasmic reticulum. Sarcoplasmic reticulum berfungsi sebagai tempat
penyimpanan ion kalsium. Struktur yang terletak di antara sarcoplasmic
reticulum dan cytoplasma sel otot disebut sarcoplasma. Pada sarcoplasma
terjadi pemompaan ion kalsium. Hal ini akan terjadi jika terdapat impuls saraf
pada sarcoplasmic reticulum yang dapat membuka membran, sehingga ion
kalsium menuju sarcoplasma dan mempengaruhi myofibril untuk berkontraksi
(Anggraeni, 2013). Struktur otot skeletal dapat dilihat pada Gambar 2.5
berikut.
26
Gambar 2.5 Struktur Otot Skeletal (Guyton and Hall, 2008)
Selama terjadi kontraksi pada otot, filamen aktin yang tipis dari salah
satu ujung sarkomer akan slide satu sama lain. Dalam mikroskopik terlihat,
Z-line bergerak ke arah A-bands untuk mempertahankan ukuran awalnya,
sementara I-bands menjadi sempit dan H-zone menjadi hilang seperti
Gambar 2.6. Proyeksi dari filamen myosin disebut dengan cross-bridge yang
membentuk hubungan fisik dengan filamen aktin selama kontraksi otot
(Anshar dan Sudaryanto, 2011).
Pada saat relaksasi otot, tidak ada impuls saraf yang melalui end
plates. Hal ini akan mengakibatkan tidak adanya ion kalsium yang masuk ke
dalam cytoplasma sel karena pintu untuk kalsium masuk menjadi tertutup.
27
Kalsium akan kembali mengalir masuk dalam sarcoplasmic reticulum, aliran
ini akan menjadikan posisi troponin kembali normal sehingga posisi
tropomyosin kembali normal dan memutuskan hubungan antara kepala
miosin dengan aktin. Ketika kepala miosin tak lagi berhubungan dengan
aktin maka tak ada pergeseran molekul yang terjadi dan otot menjadi relaks
(Maruli, 2013).
Gambar 2.6 Sliding filament aktin dan myosin saat kontraksi dan relaksasi
otot (Guyton and Hall, 2008)
Kontraksi otot melibatkan dua proses pada serabut otot yang terdiri
atas depolarisasi sarcoplasma karena adanya interaksi asetilcolin dengan
reseptornya dan adanya power stroke dari protein kontraktil otot. Melekatnya
asetilcolin dengan reseptornya menyebabkan terbukanya kanal natrium pada
membran plasma sel otot sehingga terjadi aktivitas listrik yang menjalar
hingga ke struktur T-tubulus. Adanya aktivitas listrik menyebabkan struktur
28
protein dihidropiridin yang sensitif terhadap stimulasi elektrik menjadi
berubah, sehingga kanal-kanal kalsium pada ujung lateral reticulum
sarcoplasmic yang ditutupinya menjadi terbuka (Tortora, 2009).
Terbukanya kanal kalsium menyebabkan ion kalsium yang tersimpan
pada reticulum sarcoplasmic keluar menuju ke sarkoplasma dan berikatan
pada troponin di serabut halus. Setelah berikatan, struktur troponin akan
berubah sehingga mengekspos myosin binding space seperti pada Gambar
2.7 (Tortora, 2009).
Pada saat yang bersamaan, kepala myosin yang sudah teraktivasi
melalui energi yang dihasilkan oleh hidrolisis ATP, akan berikatan pada
aktin dan menyebabkan terjadinya power stroke, yaitu terjadinya penarikan
molekul aktin mendekati garis M pada sarkomer otot (Tortora, 2009).
Hidrolisis ATP yang akan menghasilkan ADP+Pi (fosfat anorganik),
dimana ADP akan melekat pada kepala myosin hingga akhir dari power
stroke kemudian terlepas dan posisinya akan digantikan oleh molekul ATP
yang baru. Melekatnya molekul ATP yang baru akan menyebabkan
terjadinya pelepasan kepala myosin dari aktin dan siklus ini terus berulang
pada serabut yang tebal pada otot (Tortora, 2009). Hal ini dapat dilihat pada
Gambar 2.8.
29
Gambar 2.7 Mekanisme terbukanya myosin binding site (Tortora, 2009)
Proses kontraksi otot tidak terjadi secara sinkron, yaitu ketika
beberapa kepala myosin berikatan pada aktin, yang lainnya akan terlepas.
Hal ini memungkinkan terjadinya pemendekan sarkomer yang optimal,
dimana terdapat beberapa kepala myosin yang melanjutkan proses power
stroke yang telah terjadi sebelumnya, tanpa menyebabkan pemanjangan
kembali dari sarkomer (Tortora, 2009).
30
Gambar 2.8 Mekanisme power stroke (Tortora, 2009)
Relaksasi otot terjadi ketika tidak adanya ikatan asetilcolin dengan
reseptornya, menyebabkan tidak adanya potensial listrik yang menyebabkan
lepasnya kalsium tambahan dan protein Ca-ATPase memompakan kalsium
kembali kedalam reticulum sarcoplasmic. Tidak adanya kalsium
menyebabkan troponin kembali pada posisi awalnya menutupi myosin binding
site pada aktin (Tortora, 2009).
Pemendekan sarkomer akibat adanya ikatan antara myosin dan aktin
menyebabkan terjadinya ketegangan pada serabut otot yang bersangkutan.
Ketegangan ini akan diteruskan pada bagian jaringan ikat yang tidak ikut serta
dalam proses kontraksi. Ketegangan dari otot dipengaruhi oleh banyak serabut
otot yang ikut berkontraksi dan ketegangan dari tiap serabut otot yang
berkontraksi (Tortora, 2009).
31
Banyak serabut otot ditentukan oleh seberapa besar kekuatan otot yang
diperlukan, jika semakin besar kekuatan otot yang diperlukan maka akan
semakin banyak motor unit yang akan direkrut untuk ikut serta oleh kontrol
persarafan pusat. Ketegangan tiap serabut otot dipengaruhi oleh frekuensi
rangsangan saraf pada otot dan panjang otot sebelum kontraksi.
Ada dua cara frekuensi saraf yang tinggi dapat meningkatkan
ketegangan otot. Pertama, tembakan potensial aksi kedua yang terjadi sebelum
siklus kontraksi otot selesai akan menambah kembali jumlah kalsium didalam
sel. Kadar kalsium yang tinggi kembali memungkinkan untuk terbukanya
myosin binding space yang terdapat pada aktin. Kedua, otot memiliki sifat
elastis yang akan kembali lagi ke bentuk awalnya setelah kontraksi. Tetapi
jika mendapat potensial aksi selanjutnya sebelum terjadi hal itu, maka
ketegangan otot akan bertambah dengan adanya tegangan residual dari
kontraksi sebelumnya.
Panjang serabut otot yang optimal memungkinkan terjadi keluaran
tenaga yang maksimal. Hal ini didukung oleh adanya length-tension
relationship seperti yang disajikan pada Gambar 2.9 yang menyatakan bahwa
apabila panjang serabut otot menjadi lebih pendek atau panjang dari optimal
maka akan terjadi penurunan dari keluaran tenaga otot tersebut, karena akan
terjadi ikatan antara molekul aktin dan myosin yang tidak maksimal.
32
Gambar 2.9 Length-tension Relationship (Hansen dan Koeppen, 2002)
2.5.3 Ekstensibilitas
Ekstensibilitas adalah kemampuan otot untuk terulur (Anshar dan Sudaryanto,
2011). Menurut Cael (2010), ekstensibilitas adalah kemampuan otot untuk meregang
tanpa mengalami kerusakan. Sifat ini memberikan kesempatan otot untuk
memperpanjang diri saat rileks. Hal ini penting karena otot biasanya bekerja dalam
arah yang berlawanan karena mereka menghasilkan gerakan untuk menjaga stabilitas
dan keseimbangan pada sendi. Jika salah satu otot memendek, otot harus kembali
rileks dan memperpanjang diri untuk memungkinkan sendi bergerak dalam arah yang
33
dituju . Pada otot yang mengalami ketegangan maka kemampuan ekstensibilitasnya
akan menurun karena sarkomer otot turut memendek.
2.6 Dampak IMT Kategori Overweight dan Obesitas terhadap Eversi
Calcaneus dan Ekstensibilitas Gastrocnemius
Overweight dan obesitas merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
hiperpronasi calcaneus. Dengan adanya kelebihan berat badan maka gaya yang
ditransmisikan ke medial semakin besar serta berat badan masih pada hindfoot dan
midfoot bagian proksimal sehingga terjadi pronasi berlebihan dari calcaneus. Masalah
biomekanik yang berkaitan dengan sebab dan akibat dari hiperpronasi dapat dilihat
pada Gambar 2.10 (Stovitz dan Coetzee, 2004).
Secara biomekanik, peristiwa pemicu hiperpronasi dapat dilihat dari posisi
talus. Meskipun reaksi kinetic-chain terjadi dari hip ke kaki, namun hubungan saling
tergantung dari talus, calcaneus, dan navicular sangat penting. Titik kunci adalah
bahwa talus tidak hanya berada di atas calcaneus, melainkan diposisikan anterior dan
medial dari calcaneus. Talus tidak memiliki lampiran tendon dan dengan demikian
tergantung pada support statis di sekitar ligamen dan tulang. Malposisi dari satu
tulang mempengaruhi bagian proksimal ataupun distal dari tulang tersebut (Stovitz
dan Coetzee, 2004).
Posisi calcaneus sangat ditentukan oleh tendon Achilles. Tendon Achilles
masuk ke calcaneus sedikit lateral dari midline. Achilles yang rapat tidak hanya
menimbulkan plantar fleksi, tetapi juga eversi ke calcaneus. Kedua hal ini merupakan
34
hasil force medial pada talus ke bawah dan ke medial menuju navicular (Stovitz dan
Coetzee, 2004).
Gambar 2.10 Sebab-akibat hyperpronation (Stovitz dan Coetzee, 2004)
Saat stance phase, pada posisi mid stance salah satu kaki akan menerima
transfer berat badan sepenuhnya seperti pada Gambar 2.11 (Cael, 2010). Dengan
adanya perpindahan berat badan ini, maka kaki akan mengkompensasi dengan
gerakan pronasi calcaneus untuk meredam impact berat badan serta menjaga
stabilitas kaki. Pada posisi weight bearing, gerakan eversi calcaneus dibarengi
dengan gerakan plantar fleksi yang digerakkan oleh otot gastrocnemius yang
berinsersio di bagian posterior dari calcaneus. Calcaneus mengakomodasi dampak
pembebanan yang berlebih saat heel strike dan gaya tensile dari otot gastrocnemius.
Dengan adanya penambahan berat badan, maka terjadi peningkatkan beban otot untuk
menjaga stabilitas sendi sehingga ketegangan otot gastrocnemius akan meningkat dan
35
semakin banyak sarkomer yang memendek. Pemendekan sarkomer akibat adanya
ikatan antara myosin dan aktin menyebabkan terjadinya ketegangan pada serabut otot
yang bersangkutan. Ketegangan ini akan diteruskan pada bagian jaringan ikat yang
tidak ikut serta dalam proses kontraksi. Ketegangan dari otot dipengaruhi oleh banyak
serabut otot yang ikut berkontraksi dan ketegangan dari tiap serabut otot yang
berkontraksi (Tortora, 2009). Hal tersebut dapat mengganggu kemampuan terulurnya
otot yang memungkinkan sendi bergerak dalam arah yang dituju.
Gambar 2.11 A: Stance Phase B: Swing Phase (Cael, 2010)
36
2.7 Pengukuran Sudut Eversi Calcaneus dan Ekstensibilitas Gastrocnemius
2.7.1 Pengukuran Sudut Eversi Calcaneus
Sebelum melakukan intervensi pada pasien dengan keluhan pada kaki ,
seorang fisioterapis perlu melakukan evaluasi. Pemeriksaan yang sesuai dengan
kondisi ini adalah mengetahui posisi subtalar joint neutral (STJN). Posisi STNJ dapat
diukur dengan pengukuran ROM eversi calcaneus dengan non weight-bearing.
Adapun prosedurnya adalah :
1. Subjek diposisikan tidur tengkurap dengan sebagian bawah betis ada di tepi
alas/bed,
2. jangka sorong atau sliding calipers digunakan untuk mencari titik tengah dari betis
dan calcaneus kemudian tarik garis tengah hingga 1/3 posterior betis,
3. sudut eversi dari calcaneus diukur dengan menggunakan goniometer,
4. aksis goniometer diletakkan di antara malleolus pada bidang frontal,
5. satu lengan goniometer diletakkan di atas garis tengah pada betis bagian posterior
tadi kemudian lengan goniometer satunya digerakkan sesuai titik tengah dari
calcaneus (Masaun et al., 2009). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.12.
37
Gambar 2.12 Pengukuran posisi subtalar joint neutral (eversi calcaneus) (Elveru et
al., 1988)
Gambar 2.13 Eversi calcaneus dalam posisi netral (Guy, 2007)
38
2.7.2 Pengukuran Ekstensibilitas Gastrocnemius
Pengukuran ekstensibilitas gastrocnemius dilihat dari pengukuran
gastrocnemius muscle tightness melalui pengukuran Range Of Motion (ROM)
dorsofleksi ankle dengan posisi knee ekstensi. Adapun prosedurnya sebagai berikut :
1. Subjek diposisikan tidur tengkurap dan sebuah spidol digunakan untuk member
tanda titik pada fibular head, lateral malleolus, basis tuberositas metatarsal V dan
head metatarsal V,
2. lengan goniometer diletakkan sepanjang aksis fibula dengan berpatokan pada
tanda titik di fibular head dan lateral malleolus,
3. gerakkan lengan goniometer kemudian letakkan secara paralel menuju sisi lateral
dari kaki dengan berpatokan pada tanda titik di basis dan head metatarsal V,
4. aksis goniometer tetap diletakkan pada sisi lateral kaki. Posisi nol dari dorsofleksi
terletak pada sudut 900 antara panjang aksis fibula dan sisi lateral dari kaki,
5. kemudian pengukuran dapat dimulai hingga subjek mampu melakukan
dorsofleksi maksimum (Masaun et al., 2009).
Gambar 2.14 Pengukuran ROM dorsofleksi (Wezling et al., 1987).
39
2.8 Masalah Muskuloskeletal yang dapat ditimbulkan oleh Hiperpronasi
Subtalar
2.8.1 Medial Tibial Stress Syndrome (MTTS)
Medial Tibial Stress Syndrome (MTTS) adalah overuse injury ataupun
repetitive injury pada area tulang kering. Dampak stress pada tibia serta
jaringan otot sekitarnya terjadi karena ketidakmampuan dalam merespon
kontraksi otot berulang. Stres pada tibia dikaitkan dengan perubahan
biomekanikal kaki, kesalahan dalam latihan, dan riwayat cidera sebelumnya.
Tibialis posterior dan soleus yang berperan mengontrol pronasi turut
berkontribusi dengan terjadinya MTTS (Monaro, 2013). Saat hiperpronasi,
tibialis posterior akan mengalami kelemahan sehingga tidak mampu merespon
kontraksi berulang saat peningkatan stress pada tibia.
2.8.2 Patelofemoral Pain Syndrome (PFPS)
Patelofemoral Pain Syndrome adalah sindrom nyeri retropatellar atau
peripatellar tanpa adanya patologi lainnya seperti tendinopati patella,
insufisiensi ligamen dan masalah internal sendi. Nyeri paling sering
diperparah oleh aktivitas yang meningkatkan stress pada patelofemoral joint
seperti berlari dan jongkok. Faktor instrinsik yang mempengaruhi nyeri pada
PFPS ini seperti IMT, lingkungan, dan alas kaki. Faktor instrinsik yang
mempengaruhi nyeri pada PFPS ini seperti control neuromuscular quadriceps,
penurunan fungsi otot-otot hip, hiperadduksi hip/internal rotasi hip, dan rotasi
40
tibia/pronasi subtalar. Pronasi berlebihan menyebabkan internal rotasi tibia
terhadap femur lebih besar sebagai akibat kopling sendi. Hal ini akan
menyebabkan valgus lutut lebih besar dan stres lebih besar pada sendi
patellofemoral lateral (Tiberio, 1987).
2.8.3 Mechanical Low Back Pain (MLBP)
Mechanical Low Back Pain adalah nyeri punggung bawah yang
ditandai dengan adanya peningkatan nyeri saat beraktivitas dan berkurang saat
istirahat (Karnath, 2003). Nyeri punggung bawah mekanis, yaitu timbul tanpa
kelainan struktur anatomis seperti otot atau ligamen, atau timbul akibat
trauma, deformitas, atau perubahan degeratif pada suatu struktur misalnya
diskus intervertebralis. Slah satu faktor pencetus MLBP adalah
musculoskeletal pain syndromes seperti adanya myofascial pain syndromes
dan fibromyalgia. Nyeri myofascial ditandai dengan adanya nyeri dan kebas
pada area lokal (trigger points), keterbatasan luas gerak sendi yang
melibatkan kelompok otot, distribusi nyeri menjalar pada saraf perifer.
Penurunan nyeri biasanya terjadi ketika kelompok otot diulur (Perina, et al.,
2014).