bab ii kajian pustaka 2.pdf · 8 bab ii kajian pustaka 2.1 epidemiologi overweight dan obesitas di...

33
8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari kegemukan atau obesitas. Pada tahun 2003-2004, 32,9% orang dewasa berusia 20 -74 tahun mengalami obesitas dan lebih dari 17% remaja usia 12-19 tahun mengalami kelebihan berat badan atau overweight (Ogden et al., 2007). Berdasarkan Global Health Observatory Data (2015), pada tahun 2008 terdapat 35% orang dewasa berusia lebih dari 20 tahun dengan kelebihan berat badan atau overweight yang terdiri dari 34% pria dan 35% wanita. Pada tahun 2008, 10% pria dan 14% wanita di dunia mengalami obesitas, lebih tinggi dari tahun 1980 yang hanya 5% pria dan 8% wanita di dunia yang mengalami obesitas. Diperkirakan 205 juta pria dan 297 juta wanita di atas usia 20 tahun mengalami obesitas. Di Indonesia hasil Riset Kesehatan Dasar oleh Balitbangkes Depkes RI (2013) menunjukkan bahwa prevalensi penduduk dewasa dengan skor IMT kategori underweight sebesar 8,7%, overweight sebesar 13,5% dan obesitas sebesar 15,4%. Prevalensi penduduk pria dewasa dengan kategori obesitas pada tahun 2013 sebanyak 19,7%, lebih tinggi dari tahun 2007 yang hanya 13,9% dan tahun 2010 hanya 7,8%. Sementara, prevalensi obesitas wanita dewasa (>18 tahun) 32,9%. Jumlah ini meningkat 18,1% dari tahun 2007 yang hanya 13,9% dan 17,5% dari tahun 2010

Upload: others

Post on 13-Jul-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas

Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai

akibat dari kegemukan atau obesitas. Pada tahun 2003-2004, 32,9% orang dewasa

berusia 20 -74 tahun mengalami obesitas dan lebih dari 17% remaja usia 12-19 tahun

mengalami kelebihan berat badan atau overweight (Ogden et al., 2007).

Berdasarkan Global Health Observatory Data (2015), pada tahun 2008

terdapat 35% orang dewasa berusia lebih dari 20 tahun dengan kelebihan berat badan

atau overweight yang terdiri dari 34% pria dan 35% wanita. Pada tahun 2008, 10%

pria dan 14% wanita di dunia mengalami obesitas, lebih tinggi dari tahun 1980 yang

hanya 5% pria dan 8% wanita di dunia yang mengalami obesitas. Diperkirakan 205

juta pria dan 297 juta wanita di atas usia 20 tahun mengalami obesitas.

Di Indonesia hasil Riset Kesehatan Dasar oleh Balitbangkes Depkes RI (2013)

menunjukkan bahwa prevalensi penduduk dewasa dengan skor IMT kategori

underweight sebesar 8,7%, overweight sebesar 13,5% dan obesitas sebesar 15,4%.

Prevalensi penduduk pria dewasa dengan kategori obesitas pada tahun 2013 sebanyak

19,7%, lebih tinggi dari tahun 2007 yang hanya 13,9% dan tahun 2010 hanya 7,8%.

Sementara, prevalensi obesitas wanita dewasa (>18 tahun) 32,9%. Jumlah ini

meningkat 18,1% dari tahun 2007 yang hanya 13,9% dan 17,5% dari tahun 2010

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

9

yang hanya 15,5%. Data ini menunjukkan bahwa prevalensi obesitas wanita dewasa

lebih tinggi daripada penduduk laki-laki.

2.2 Indeks Massa Tubuh (IMT)

2.2.1 Definisi IMT

IMT merupakan pengukuran yang membandingkan berat dan tinggi

badan seseorang. Formula IMT digunakan di seluruh dunia sebagai alat

diagnosis untuk mengetahui berat badan yang underweight, normal,

overweight dan obesitas (Theresia, 2012). Menurut WHO (2004), IMT adalah

indeks sederhana untuk berat badan dan tinggi badan yang biasa digunakan

untuk mengklasifikasikan kelebihan berat badan dan obesitas pada orang

dewasa. Hal ini didefinisikan sebagai berat badan seseorang dalam kilogram

dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam meter (kg/m2). IMT tidak dapat

mengukur lemak tubuh secara langsung, tetapi penelitian menunjukkan bahwa

IMT berkorelasi dengan pengukuran lemak tubuh secara langsung seperti

underwater weighing dan dual energy x-ray absorbtiometry (Grummer-

Strawn, 2009).

2.2.2 Klasifikasi IMT

IMT diklasifikasikan menjadi underweight, normal, overweight dan

obesitas (Lailani, 2013). Berikut ini merupakan beberapa klasifikasi IMT.

Tabel 2.1 Klasifikasi IMT dalam Riskesdas (Balitbangkes Depkes RI, 2013)

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

10

Kategori kurus IMT < 18,5

Kategori normal IMT ≥ 18,5 - < 24,9

Kategori BB lebih IMT ≥ 25,0 - < 27,0

Kategori obesitas IMT ≥ 27,0

Tabel 2.2 Klasifikasi IMT menurut WHO (WHO, 2004)

Klasifikasi Nilai

Obesitas >30.00

Overweight (kelebihan berat badan /

gemuk)

25.00 – 29.99

Normal 18.5 – 24.99

Kurus < 18.5

Tabel 2.3 Klasifikasi IMT menurut Kriteria Asia Pasifik (Manik, 2011)

Klasifikasi IMT

Underweight < 18,5

Normal 18.5 – 22.9

Overweight 23,0 – 24.9

Obesitas > 25,0

2.2.3 Cara Pengukuran IMT

Dalam menentukan kriteria proporsi tubuh seseorang, IMT merupakan

parameter yang paling banyak dipakai karena apabila dibandingkan dengan

tabel tradisional yang membandingkan langsung tinggi badan/berat badan,

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

11

pengukuran dengan IMT berkorelasi kuat dengan jumlah lemak total dalam

tubuh manusia yang menggambarkan berat seseorang.

Berdasarkan metode pengukuran IMT menurut WHO (2010), untuk

menentukan indeks massa tubuh sampel maka dilakukan dengan cara sampel

diukur terlebih dahulu berat badannya dengan timbangan kemudian diukur

tinggi badannya dan dimasukkan ke dalam rumus di bawah ini:

Berat badan (Kg)

IMT = ------------------------------

[Tinggi badan (m)]2

Kemudian interpretasikan hasil IMT yang didapat ke dalam tabel

klasifikasi IMT (Manik, 2011).

2.2.4 Overweight dan obesitas

1. Overweight

Metabolisme energi di dalam tubuh manusia diatur oleh berbagai

faktor, baik yang menyebabkan meningkatnya penyimpanan energi, atau

yang mendorong pemakaian energi (Meutia, 2005). Pemakaian energi

tubuh diatur dalam keadaan seimbang. Bila energi yang masuk lebih besar

dari energi yang keluar, kelebihan energi tersebut akan disimpan dalam

jaringan lemak. Overweight didefinisikan sebagai peningkatan berlebihan

jaringan lemak pada otot dan jaringan skeletal (Dorland, 2002). Secara

ilmiah overweight terjadi akibat mengkonsumsi kalori lebih banyak dari

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

12

yang diperlukan oleh tubuh. Penyebab terjadinya ketidakseimbangan antara

asupan dan pembakaran kalori ini belum dapat dijelaskan secara pasti.

Overweight adalah keadaan yang hampir mendekati obesitas, seseorang

dapat dinyatakan overweight apabila orang tersebut memiliki IMT ≥ 23.

Selain itu, kondisi overweight juga lazim disebut dengan kondisi pre-obese

(WHO, 2010).

2. Obesitas

Obesitas merupakan kelainan dari sistem pengaturan berat badan yang

ditandai oleh akumulasi lemak tubuh yang berlebihan. Obesitas

didefinisikan sebagai keadaan di mana adanya peningkatan yang sangat

berlebihan pada massa jaringan adiposa (lemak). Obesitas bisa

disalahartikan sebagai peningkatan berat badan yang sangat berlebihan bagi

kebanyakan masyarakat. Namun, konsep ini tidak begitu relevan karena

konsep obesitas tidak bisa diambil akibat peningkatan berat badan semata-

mata melainkan adanya peningkatan massa jaringan adiposa (Uwaifo,

2010). Obesitas tidak hanya dianggap masalah di negara berpenghasilan

tinggi, tetapi sekarang jumlah penderita obesitas dan kegemukan semakin

meningkat di negara berpenghasilan rendah dan menengah khususnya di

perkotaan (WHO, 2010).

2.2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Overweight dan Obesitas

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

13

Penambahan berat badan disebabkan oleh ketidakseimbangan antara

jumlah kalori yang dikonsumsi dengan kebutuhan tubuh. Jika makanan yang

dikonsumsi memiliki kalori lebih dari kebutuhan tubuh, maka kalori tersebut

akan disimpan sebagai lemak. Pada awalnya, hanya ukuran sel-sel lemak yang

akan meningkat. Tetapi apabila ukuran sel-sel tersebut tidak bisa lagi

mengalami peningkatan, maka jumlah sel akan bertambah banyak. Apabila

tubuh mengalami pengurangan berat badan, yang akan berkurang hanyalah

ukuran sel-sel lemak, bukan jumlahnya yang berkurang mengakibatkan lemak

akan mudah terbentuk kembali. Terdapat banyak penyebab obesitas.

Ketidakseimbangan asupan kalori dan konsumsi bervariasi bagi tiap individu.

Adapun faktor-faktor lain yang turut berkontribusi adalah genetik, emosional,

lingkungan, jenis kelamin, usia, dan kehamilan. (Galletta, 2005).

1. Faktor genetik

Obesitas cenderung berlaku dalam keluarga. Ini disebabkan oleh faktor

genetik, pola makan keluarga, dan kebiasaan gaya hidup. Walaupun begitu,

mempunyai anggota keluarga yang obesitas tidak menjamin sesorang itu

juga akan mengalami obesitas (Galletta, 2005).

2. Faktor emosional

Sebagian masyarakat mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang

banyak karena depresi, putus asa, marah, bosan, dan banyak alasan lain

yang tidak ada hubungannya dengan rasa lapar. Ini tidak berarti bahwa

penderita obesitas mengalami lebih banyak masalah emosional daripada

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

14

orang normal yang lain. Tetapi bukan berarti bahwa perasaan seseorang

mempengaruhi kebiasaan makan dan membuat seseorang makan terlalu

banyak. Dalam kasus yang jarang, obesitas dapat digunakan sebagai

mekanisme pertahanan akibat tekanan sosial yang dihadapi terutama pada

dewasa putri (Galletta, 2005).

3. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan yang paling memainkan peranan adalah gaya hidup

seseorang. Kebiasaan makan dan aktivitas seseorang dipengaruhi oleh

masyarakat sekitarnya. Makan terlalu banyak dan aktivitas yang pasif

merupakan faktor resiko utama terjadinya obesitas (Galletta, 2005).

4. Faktor jenis kelamin

Rata-rata pria mempunyai massa otot yang lebih banyak dari wanita.

Pria menggunakan kalori lebih banyak dari wanita bahkan saat istirahat

karena otot membakar kalori lebih banyak berbanding tipe-tipe jaringan

yang lain. Dengan demikian, wanita lebih mudah bertambah berat badan

berbanding pria dengan asupan kalori yang sama (Galletta, 2005).

5. Faktor usia

Semakin bertambah usia seseorang, mereka cenderung kehilangan

massa otot dan mudah terjadi akumulasi lemak tubuh. Kadar metabolisme

juga akan menurun menyebabkan kebutuhan kalori yang diperlukan lebih

rendah (Galletta, 2005).

6. Kehamilan

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

15

Pada wanita, berat badannya cenderung bertambah 4 – 6 kilogram

setelah kehamilan dibandingkan dengan berat sebelum kehamilan. Hal ini

bisa terjadi setiap dari kehamilan dan kenaikan berat badan ini mungkin

akan menyebabkan obesitas pada wanita (Galletta, 2005).

2.3 Anatomi Biomeknik Pergelangan Kaki yang Terlibat dalam Gerakan

Eversi Calcaneus

2.3.1 Anatomi

Regio pergelangan kaki berperan penting dalam aktivitas berjalan dan

berlari terutama berperan dalam menumpu berat tubuh saat berdiri dengan

pengeluaran energi otot yang minimum. Kaki juga berperan sebagai level

struktural yang kaku pada gerakan tubuh ke depan saat berjalan ataupun

berlari. Selain itu, kaki juga berperan sebagai adaptor saat kontak dengan

permukaan yang tidak rata serta sebagai shock absorber terhadap tekanan

yang dihasilkan saat kontak dengan permukaan tanah. Kaki dapat dibagi

menjadi 3 bagian yaitu bagian belakang kaki atau forefoot, yang terdiri dari

talus dan calcaneus; bagian tengah kaki atau midfoot, yang terdiri dari

navicular, cuneiforms, dan cuboid; dan bagian depan kaki, yang terdiri dari

metatarsal dan falang. Berikut ini adalah sendi-sendi pergelangan kaki yang

terlibat dalam gerakan eversi calcaneus.

1. Sendi subtalar

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

16

Sendi subtalar atau talocalcanea joint termasuk ke dalam sendi

synovial plane joint yang dibentuk oleh permukan inferior talus dan

superior calcaneus. Talus dan calcaneus adalah tulang terbesar yang

menahan beban di kaki dan membentuk hindfoot. Talus menghubungkan

tibia dan fibula pada kaki dan disebut keystone kaki. Tidak ada otot yang

melekat pada talus. Calcaneus menyediakan lengan momen untuk tendon

Achilles dan harus mengakomodasi dampak pembebanan besar saat heel

strike dan gaya tensile dari otot gastrocnemius dan soleus. Talus

berartikulasi dengan calcaneus di tiga lokasi yaitu di anterior, posterior,

dan medial, di mana permukaan konveks talus bersendi dengan permukaan

cekung pada calcaneus (Hammil dan Knutzen, 2009).

Sendi ini diperkuat oleh ligamen talocalcanea interosseus,

talocalcanea posterior dan lateral serta dibantu oleh ligamen deltoideum

(ligamen calcaneotibial dan talotibial posterior) dan ligamen collateral

lateral (ligamen calcaneofibular dan talofibular) (Anshar dan Sudayanto,

2011).

2. Sendi midtarsal (Sendi talonavicular dan sendi transversal tarsal)

Sendi midtarsal atau transversal tarsal joint merupakan gabungan

dari 2 sendi yaitu sisi medial oleh talonavicular joint dan sisi lateral oleh

calcaneocuboid joint walaupun secara anatomis terpisah. Yang paling

besar menstabilisasi sendi ini adalah ligamen calcaneocuboid (ligamen

plantaris yang panjang dan pendek), dibantu oleh ligamen talonavicular

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

17

dorsal, ligamen bifurcatum dan ligamen tibionavicular (bagian dari

ligamen deltoideum) (Anshar dan Sudaryanto, 2011).

2.3.2 Biomekanik

Sendi pergelangan kaki memiliki 3 aksis utama seperti yang disajikan pada

Gambar 2.1, yaitu :

1. Aksis transversalis : berjalan melalui kedua malleolus dan berhubungan

dengan aksis ankle secara tepat. Aksis ini mengontrol gerakan fleksi dan

ekstensi.

2. Aksis longitudinal tungkai : berjalan secara vertical dan mengontrol

gerakan abduksi-adduksi.

3. Aksis longitudinal kaki : berjalan secara horizontal dan terletak pada

bidang gerak sagital untuk mengontrol gerakan pronasi dan supinasi

(eversi=telapak kaki menghadap ke bawah dan luar, inversi = telapak kaki

menghadap ke bawah dan dalam / medial).

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

18

Gambar 2.1 Aksis pada sendi foot dan ankle (Alcocer, et al., 2012)

Berikut merupakan osteokinematika dan arthrokinematika dari sendi-

sendi yang terlibat dalam gerakan eversi calcaneus.

1. Sendi subtalar

Sendi ini merupakan bentuk sendi plane non-axial yang hanya

mengikuti gerakan yang terjadi pada transversal tarsal joint, tetapi sendi

ini dapat digerakkan secara pasif yaitu gerakan inversi dan eversi subtalar

joint (menggerakkan calcaneus ke arah medial dan lateral). Pada gerakan

aktif pronasi dan supinasi, transversal tarsal joint bersama dengan subtalar

joint bergerak secara simultan. ROM eversi calcaneus secara pasif adalah

00-5

0/10

0, sedangkan ROM inversi calcaneus secara pasif adalah 0

o-20

0/30

0.

Otot yang bekerja pada gerakan inversi adalah otot tibialis posterior, yang

dibantu oleh tibialis anterior. Otot yang bekerja pada gerakan eversi adalah

otot peroneus longus et brevis, yang dibantu oleh otot peroneus tertius.

Adapun arthrokinematika dari sendi ini adalah :

a. Bagian bawah talus berbentuk konkaf sedangkan permukaan lawannya

calcaneus berbentuk konveks.

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

19

b. Untuk menghasilkan gerakan angular (gerak fisiologis), maka

calcaneus yang konveks bergerak terhadap talus yang konkaf sehingga

arah slide berlawanan arah.

c. Gerak angular dan arthrokinematikanya disajikan pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Hubungan gerak angular dengan arthrokinematika sendi Subtalar

(Anshar dan Sudaryanto, 2011)

Gerakan Angular Arthrokinematika calcaneus terhadap talus

Supinasi dengan inverse

Pronasi dengan eversi

Lateral

Medial

2. Sendi Midtarsal (sendi talonavicular dan sendi transversal tarsal)

Sendi talonavicular merupakan bagian dari sendi transversal tarsal

(Chopart’s joint) sehingga gerak fungsionalnya tidak terpisahkan satu sama

lain. Sendi ini menghasilkan gerak aktif supinasi – pronasi dan inversi –

eversi, serta gerak pasif abduksi – adduksi. Gerakan supinasi – pronasi

merupakan gabungan dari beberapa gerakan. Gerakan supinasi dalam

keadaan NWB (non weight-bearing) adalah gabungan gerakan inversi

calcaneus (varus), adduksi navicular, dan plantar fleksi talus. Sedangkan

gerakan pronasi dalam keaadaan NWB (non weight-bearing) adalah

gabungan gerakan eversi calcaneus (valgus), abduksi navicular, dan dorso

fleksi talus. Berbeda halnya dalam keadaan weight-bearing, dimana

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

20

gerakan supinasi adalah gabungan gerakan inversi calcaneus (varus),

abduksi (eksorotasi), dan dorsofleksi talus, serta eksorotasi tibiofibular.

Sedangkan, gerakan pronasi adalah gabungan gerakan eversi calcaneus

(valgus), adduksi (endorotasi), dan plantar fleksi talus, serta endorotasi

tibiofibular. Adapun arthrokinematika dari sendi ini adalah :

a. Caput talus berbentuk konveks dan bagian proksimalnya akan bersendi

dengan permukaan navicular yang konkaf.

b. Untuk gerakan fisiologis kaki, tulang navicular akan slide ke dalam arah

yang sama dengan forefoot (kaki bagian depan).

c. Pada saat closed kinematika, gerakan talus dan navicular akan

berlawanan arah sehingga jika caput talus ke arah bawah dan rotasi

medial maka navicular akan slide ke dorsal dam rotasi lateral.

d. Gerak angular dan arthrokinematikanya disajikan pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5 Hubungan gerak angular dengan arthrokinematik sendi midtarsal

(Anshar dan Sudaryanto, 2011)

Gerakan Angular Arthrokinematika navicular terhadap caput

talus

Supinasi

Pronasi

Plantar (dan medial)

Dorsal (dan lateral)

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

21

2.4 Sudut Eversi Calcaneus

Eversi adalah gerakan pada bidang frontal di mana sisi lateral foot bergerak ke

arah tungkai saat non weight-bearing atau tungkai bergerak ke arah foot saat weight-

bearing. Sudut eversi calcaneus merupakan sudut yang dibentuk antara foot dan

calcaneus saat calcaneus bergerak ke arah lateral. Pronasi sendi subtalar yang

berlebihan dievaulasi dengan melihat eversi calcaneus. Dalam gerakan closed-chain

weight-bearing, talus bergerak terhadap calcaneus dan menghasilkan sebagian besar

gerakan pronasi melalui berat badan yang bekerja pada talus. Sedangkan pada open-

chain weight–bearing, calcaneus bergerak terhadap talus dan pronasi subtalar

dihasilkan melalui kombinasi gerakan eversi, abduksi dan dorsofleksi (Hammil dan

Knutzen, 2009). Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Adapun sudut eversi calcaneus normal adalah 00-5

0/10

0 secara pasif pada

pergerakan subtalar joint. Saat eversi calcaneus berlebihan menyebabkan deformitas

yang sering disebut hindfoot valgus (Hammil dan Knutzen, 2009). Sudut eversi

calcaneus maksimal yang di bentuk oleh tulang tibia dan calcaneus mencapai 120

(Gambar 2.3) (Guy, 2007).

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

22

Gambar 2.2 Atas : Open kinetic chain , bawah : close kinetic chain (Hammil dan

Knutzen, 2009)

Gambar 2.3 ROM Sendi Subtalardari posisi netral (non weight-bearing) (Guy, 2007)

1.5 Otot Gastrocnemius

2.5.1 Anatomi dan Biomekanik Otot Gastrocnemius

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

23

Otot gastrocnemius merupakan otot betis terbesar dan paling

superfisial dari kelompok otot triceps surae. Adapun otot plantaris dan soleus

juga termasuk ke dalam grup otot ini yang mana menyatu pada tendon achiles

dan melekat pada bagian posterior dari calcaneus. Gastrocnemius adalah otot

dengan dua head (medial dan lateral) yang sangat kuat yang mendominasi

bagian belakang kaki (dapat dilihat pada Gambar 2.4). Medial dan lateral head

dapat dipalpasi dengan mudah dan membentang menuju bagian anterior dari

achiles tendon. Medial head berorigo pada posterior medial condyle femur.

Lateral head berorigo pada posterior lateral condyle femur. Insersio dari otot

ini terletak pada permukaan posterior dari calcaneus via achilles tendon. Otot

gastrocnemius diinervasi oleh nervus tibialis S2-S3 (Cael, 2010).

Gastrocnemius memiliki fast-twitch fibers, yang dapat direkrut dengan

cepat namun mengalami kelelahan dengan cepat pula. Soleus merupakan otot

sinergis dari gastrocnemius untuk melakukan gerakan plantar fleksi. Gerakan

ini tergantung oleh posisi lutut. Jika lutut dalam posisi ekstensi (seperti ketika

berdiri dari jongkok atau posisi melompat dari duduk), gastrocnemius yang

lebih aktif. Jika lutut dalam posisi fleksi (seperti dengan santai berjalan atau

berdiri statis), soleus lebih aktif (Cael, 2010).

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

24

Gambar 2.4 Otot Gastrocnemius (Drake et al., 2007)

2.5.2 Fisiologi Umum Otot Skeletal

Pada tubuh manusia terdapat sekitar 434 otot yang membentuk 40% -

45% dari berat tubuh sebagian besar orang dewasa. Sel otot tersusun oleh

banyak myofibril yang terbuat dari molekul protein yang panjang

(myofilamen), terdapat dua jenis myofilamen yaitu 1500 myofilamen tebal

(myosin) dan 300 myofilamen tipis (aktin) yang mana akan membentuk

sebuah pola. Miosin dan aktin membentuk sub-unit yang saling menyambung

dalam myofibril yang disebut sebagai sarcomer. Dalam mikroskopis, daerah

pinggir sarcomer lebih terang dengan tengah yang berwarna gelap. Daerah

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

25

terang disebut I-band karena bersifat isotropik terhadap cahaya yang

dipolarisasikan dan mengandung filamen aktin. Sedangkan daerah yang gelap

disebut A-band karena bersifat anisotropik terhadap cahaya yang

dipolarisasikan dan mengandung filamen myosin. Pada pusat A-band terdapat

H zone yang berisi filamen miosin. Selain itu terdapat Z-line yang

memisahkan antar sarcomer (Gambar 2.5) (Guyton dan Hall, 2008).

Sel otot diselubungi oleh sebuah membran yang disebut sarcolemma.

Sarcolemma mengandung potensial membran yang dapat menghantarkan

impuls ke otot, sehingga sel otot dapat berkontraksi. Di dalam sarcolemma

terdapat lubang yang disebut transverse tubulus, dan berhubungan dengan

sarcoplasmic reticulum. Sarcoplasmic reticulum berfungsi sebagai tempat

penyimpanan ion kalsium. Struktur yang terletak di antara sarcoplasmic

reticulum dan cytoplasma sel otot disebut sarcoplasma. Pada sarcoplasma

terjadi pemompaan ion kalsium. Hal ini akan terjadi jika terdapat impuls saraf

pada sarcoplasmic reticulum yang dapat membuka membran, sehingga ion

kalsium menuju sarcoplasma dan mempengaruhi myofibril untuk berkontraksi

(Anggraeni, 2013). Struktur otot skeletal dapat dilihat pada Gambar 2.5

berikut.

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

26

Gambar 2.5 Struktur Otot Skeletal (Guyton and Hall, 2008)

Selama terjadi kontraksi pada otot, filamen aktin yang tipis dari salah

satu ujung sarkomer akan slide satu sama lain. Dalam mikroskopik terlihat,

Z-line bergerak ke arah A-bands untuk mempertahankan ukuran awalnya,

sementara I-bands menjadi sempit dan H-zone menjadi hilang seperti

Gambar 2.6. Proyeksi dari filamen myosin disebut dengan cross-bridge yang

membentuk hubungan fisik dengan filamen aktin selama kontraksi otot

(Anshar dan Sudaryanto, 2011).

Pada saat relaksasi otot, tidak ada impuls saraf yang melalui end

plates. Hal ini akan mengakibatkan tidak adanya ion kalsium yang masuk ke

dalam cytoplasma sel karena pintu untuk kalsium masuk menjadi tertutup.

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

27

Kalsium akan kembali mengalir masuk dalam sarcoplasmic reticulum, aliran

ini akan menjadikan posisi troponin kembali normal sehingga posisi

tropomyosin kembali normal dan memutuskan hubungan antara kepala

miosin dengan aktin. Ketika kepala miosin tak lagi berhubungan dengan

aktin maka tak ada pergeseran molekul yang terjadi dan otot menjadi relaks

(Maruli, 2013).

Gambar 2.6 Sliding filament aktin dan myosin saat kontraksi dan relaksasi

otot (Guyton and Hall, 2008)

Kontraksi otot melibatkan dua proses pada serabut otot yang terdiri

atas depolarisasi sarcoplasma karena adanya interaksi asetilcolin dengan

reseptornya dan adanya power stroke dari protein kontraktil otot. Melekatnya

asetilcolin dengan reseptornya menyebabkan terbukanya kanal natrium pada

membran plasma sel otot sehingga terjadi aktivitas listrik yang menjalar

hingga ke struktur T-tubulus. Adanya aktivitas listrik menyebabkan struktur

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

28

protein dihidropiridin yang sensitif terhadap stimulasi elektrik menjadi

berubah, sehingga kanal-kanal kalsium pada ujung lateral reticulum

sarcoplasmic yang ditutupinya menjadi terbuka (Tortora, 2009).

Terbukanya kanal kalsium menyebabkan ion kalsium yang tersimpan

pada reticulum sarcoplasmic keluar menuju ke sarkoplasma dan berikatan

pada troponin di serabut halus. Setelah berikatan, struktur troponin akan

berubah sehingga mengekspos myosin binding space seperti pada Gambar

2.7 (Tortora, 2009).

Pada saat yang bersamaan, kepala myosin yang sudah teraktivasi

melalui energi yang dihasilkan oleh hidrolisis ATP, akan berikatan pada

aktin dan menyebabkan terjadinya power stroke, yaitu terjadinya penarikan

molekul aktin mendekati garis M pada sarkomer otot (Tortora, 2009).

Hidrolisis ATP yang akan menghasilkan ADP+Pi (fosfat anorganik),

dimana ADP akan melekat pada kepala myosin hingga akhir dari power

stroke kemudian terlepas dan posisinya akan digantikan oleh molekul ATP

yang baru. Melekatnya molekul ATP yang baru akan menyebabkan

terjadinya pelepasan kepala myosin dari aktin dan siklus ini terus berulang

pada serabut yang tebal pada otot (Tortora, 2009). Hal ini dapat dilihat pada

Gambar 2.8.

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

29

Gambar 2.7 Mekanisme terbukanya myosin binding site (Tortora, 2009)

Proses kontraksi otot tidak terjadi secara sinkron, yaitu ketika

beberapa kepala myosin berikatan pada aktin, yang lainnya akan terlepas.

Hal ini memungkinkan terjadinya pemendekan sarkomer yang optimal,

dimana terdapat beberapa kepala myosin yang melanjutkan proses power

stroke yang telah terjadi sebelumnya, tanpa menyebabkan pemanjangan

kembali dari sarkomer (Tortora, 2009).

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

30

Gambar 2.8 Mekanisme power stroke (Tortora, 2009)

Relaksasi otot terjadi ketika tidak adanya ikatan asetilcolin dengan

reseptornya, menyebabkan tidak adanya potensial listrik yang menyebabkan

lepasnya kalsium tambahan dan protein Ca-ATPase memompakan kalsium

kembali kedalam reticulum sarcoplasmic. Tidak adanya kalsium

menyebabkan troponin kembali pada posisi awalnya menutupi myosin binding

site pada aktin (Tortora, 2009).

Pemendekan sarkomer akibat adanya ikatan antara myosin dan aktin

menyebabkan terjadinya ketegangan pada serabut otot yang bersangkutan.

Ketegangan ini akan diteruskan pada bagian jaringan ikat yang tidak ikut serta

dalam proses kontraksi. Ketegangan dari otot dipengaruhi oleh banyak serabut

otot yang ikut berkontraksi dan ketegangan dari tiap serabut otot yang

berkontraksi (Tortora, 2009).

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

31

Banyak serabut otot ditentukan oleh seberapa besar kekuatan otot yang

diperlukan, jika semakin besar kekuatan otot yang diperlukan maka akan

semakin banyak motor unit yang akan direkrut untuk ikut serta oleh kontrol

persarafan pusat. Ketegangan tiap serabut otot dipengaruhi oleh frekuensi

rangsangan saraf pada otot dan panjang otot sebelum kontraksi.

Ada dua cara frekuensi saraf yang tinggi dapat meningkatkan

ketegangan otot. Pertama, tembakan potensial aksi kedua yang terjadi sebelum

siklus kontraksi otot selesai akan menambah kembali jumlah kalsium didalam

sel. Kadar kalsium yang tinggi kembali memungkinkan untuk terbukanya

myosin binding space yang terdapat pada aktin. Kedua, otot memiliki sifat

elastis yang akan kembali lagi ke bentuk awalnya setelah kontraksi. Tetapi

jika mendapat potensial aksi selanjutnya sebelum terjadi hal itu, maka

ketegangan otot akan bertambah dengan adanya tegangan residual dari

kontraksi sebelumnya.

Panjang serabut otot yang optimal memungkinkan terjadi keluaran

tenaga yang maksimal. Hal ini didukung oleh adanya length-tension

relationship seperti yang disajikan pada Gambar 2.9 yang menyatakan bahwa

apabila panjang serabut otot menjadi lebih pendek atau panjang dari optimal

maka akan terjadi penurunan dari keluaran tenaga otot tersebut, karena akan

terjadi ikatan antara molekul aktin dan myosin yang tidak maksimal.

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

32

Gambar 2.9 Length-tension Relationship (Hansen dan Koeppen, 2002)

2.5.3 Ekstensibilitas

Ekstensibilitas adalah kemampuan otot untuk terulur (Anshar dan Sudaryanto,

2011). Menurut Cael (2010), ekstensibilitas adalah kemampuan otot untuk meregang

tanpa mengalami kerusakan. Sifat ini memberikan kesempatan otot untuk

memperpanjang diri saat rileks. Hal ini penting karena otot biasanya bekerja dalam

arah yang berlawanan karena mereka menghasilkan gerakan untuk menjaga stabilitas

dan keseimbangan pada sendi. Jika salah satu otot memendek, otot harus kembali

rileks dan memperpanjang diri untuk memungkinkan sendi bergerak dalam arah yang

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

33

dituju . Pada otot yang mengalami ketegangan maka kemampuan ekstensibilitasnya

akan menurun karena sarkomer otot turut memendek.

2.6 Dampak IMT Kategori Overweight dan Obesitas terhadap Eversi

Calcaneus dan Ekstensibilitas Gastrocnemius

Overweight dan obesitas merupakan salah satu faktor risiko terjadinya

hiperpronasi calcaneus. Dengan adanya kelebihan berat badan maka gaya yang

ditransmisikan ke medial semakin besar serta berat badan masih pada hindfoot dan

midfoot bagian proksimal sehingga terjadi pronasi berlebihan dari calcaneus. Masalah

biomekanik yang berkaitan dengan sebab dan akibat dari hiperpronasi dapat dilihat

pada Gambar 2.10 (Stovitz dan Coetzee, 2004).

Secara biomekanik, peristiwa pemicu hiperpronasi dapat dilihat dari posisi

talus. Meskipun reaksi kinetic-chain terjadi dari hip ke kaki, namun hubungan saling

tergantung dari talus, calcaneus, dan navicular sangat penting. Titik kunci adalah

bahwa talus tidak hanya berada di atas calcaneus, melainkan diposisikan anterior dan

medial dari calcaneus. Talus tidak memiliki lampiran tendon dan dengan demikian

tergantung pada support statis di sekitar ligamen dan tulang. Malposisi dari satu

tulang mempengaruhi bagian proksimal ataupun distal dari tulang tersebut (Stovitz

dan Coetzee, 2004).

Posisi calcaneus sangat ditentukan oleh tendon Achilles. Tendon Achilles

masuk ke calcaneus sedikit lateral dari midline. Achilles yang rapat tidak hanya

menimbulkan plantar fleksi, tetapi juga eversi ke calcaneus. Kedua hal ini merupakan

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

34

hasil force medial pada talus ke bawah dan ke medial menuju navicular (Stovitz dan

Coetzee, 2004).

Gambar 2.10 Sebab-akibat hyperpronation (Stovitz dan Coetzee, 2004)

Saat stance phase, pada posisi mid stance salah satu kaki akan menerima

transfer berat badan sepenuhnya seperti pada Gambar 2.11 (Cael, 2010). Dengan

adanya perpindahan berat badan ini, maka kaki akan mengkompensasi dengan

gerakan pronasi calcaneus untuk meredam impact berat badan serta menjaga

stabilitas kaki. Pada posisi weight bearing, gerakan eversi calcaneus dibarengi

dengan gerakan plantar fleksi yang digerakkan oleh otot gastrocnemius yang

berinsersio di bagian posterior dari calcaneus. Calcaneus mengakomodasi dampak

pembebanan yang berlebih saat heel strike dan gaya tensile dari otot gastrocnemius.

Dengan adanya penambahan berat badan, maka terjadi peningkatkan beban otot untuk

menjaga stabilitas sendi sehingga ketegangan otot gastrocnemius akan meningkat dan

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

35

semakin banyak sarkomer yang memendek. Pemendekan sarkomer akibat adanya

ikatan antara myosin dan aktin menyebabkan terjadinya ketegangan pada serabut otot

yang bersangkutan. Ketegangan ini akan diteruskan pada bagian jaringan ikat yang

tidak ikut serta dalam proses kontraksi. Ketegangan dari otot dipengaruhi oleh banyak

serabut otot yang ikut berkontraksi dan ketegangan dari tiap serabut otot yang

berkontraksi (Tortora, 2009). Hal tersebut dapat mengganggu kemampuan terulurnya

otot yang memungkinkan sendi bergerak dalam arah yang dituju.

Gambar 2.11 A: Stance Phase B: Swing Phase (Cael, 2010)

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

36

2.7 Pengukuran Sudut Eversi Calcaneus dan Ekstensibilitas Gastrocnemius

2.7.1 Pengukuran Sudut Eversi Calcaneus

Sebelum melakukan intervensi pada pasien dengan keluhan pada kaki ,

seorang fisioterapis perlu melakukan evaluasi. Pemeriksaan yang sesuai dengan

kondisi ini adalah mengetahui posisi subtalar joint neutral (STJN). Posisi STNJ dapat

diukur dengan pengukuran ROM eversi calcaneus dengan non weight-bearing.

Adapun prosedurnya adalah :

1. Subjek diposisikan tidur tengkurap dengan sebagian bawah betis ada di tepi

alas/bed,

2. jangka sorong atau sliding calipers digunakan untuk mencari titik tengah dari betis

dan calcaneus kemudian tarik garis tengah hingga 1/3 posterior betis,

3. sudut eversi dari calcaneus diukur dengan menggunakan goniometer,

4. aksis goniometer diletakkan di antara malleolus pada bidang frontal,

5. satu lengan goniometer diletakkan di atas garis tengah pada betis bagian posterior

tadi kemudian lengan goniometer satunya digerakkan sesuai titik tengah dari

calcaneus (Masaun et al., 2009). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.12.

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

37

Gambar 2.12 Pengukuran posisi subtalar joint neutral (eversi calcaneus) (Elveru et

al., 1988)

Gambar 2.13 Eversi calcaneus dalam posisi netral (Guy, 2007)

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

38

2.7.2 Pengukuran Ekstensibilitas Gastrocnemius

Pengukuran ekstensibilitas gastrocnemius dilihat dari pengukuran

gastrocnemius muscle tightness melalui pengukuran Range Of Motion (ROM)

dorsofleksi ankle dengan posisi knee ekstensi. Adapun prosedurnya sebagai berikut :

1. Subjek diposisikan tidur tengkurap dan sebuah spidol digunakan untuk member

tanda titik pada fibular head, lateral malleolus, basis tuberositas metatarsal V dan

head metatarsal V,

2. lengan goniometer diletakkan sepanjang aksis fibula dengan berpatokan pada

tanda titik di fibular head dan lateral malleolus,

3. gerakkan lengan goniometer kemudian letakkan secara paralel menuju sisi lateral

dari kaki dengan berpatokan pada tanda titik di basis dan head metatarsal V,

4. aksis goniometer tetap diletakkan pada sisi lateral kaki. Posisi nol dari dorsofleksi

terletak pada sudut 900 antara panjang aksis fibula dan sisi lateral dari kaki,

5. kemudian pengukuran dapat dimulai hingga subjek mampu melakukan

dorsofleksi maksimum (Masaun et al., 2009).

Gambar 2.14 Pengukuran ROM dorsofleksi (Wezling et al., 1987).

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

39

2.8 Masalah Muskuloskeletal yang dapat ditimbulkan oleh Hiperpronasi

Subtalar

2.8.1 Medial Tibial Stress Syndrome (MTTS)

Medial Tibial Stress Syndrome (MTTS) adalah overuse injury ataupun

repetitive injury pada area tulang kering. Dampak stress pada tibia serta

jaringan otot sekitarnya terjadi karena ketidakmampuan dalam merespon

kontraksi otot berulang. Stres pada tibia dikaitkan dengan perubahan

biomekanikal kaki, kesalahan dalam latihan, dan riwayat cidera sebelumnya.

Tibialis posterior dan soleus yang berperan mengontrol pronasi turut

berkontribusi dengan terjadinya MTTS (Monaro, 2013). Saat hiperpronasi,

tibialis posterior akan mengalami kelemahan sehingga tidak mampu merespon

kontraksi berulang saat peningkatan stress pada tibia.

2.8.2 Patelofemoral Pain Syndrome (PFPS)

Patelofemoral Pain Syndrome adalah sindrom nyeri retropatellar atau

peripatellar tanpa adanya patologi lainnya seperti tendinopati patella,

insufisiensi ligamen dan masalah internal sendi. Nyeri paling sering

diperparah oleh aktivitas yang meningkatkan stress pada patelofemoral joint

seperti berlari dan jongkok. Faktor instrinsik yang mempengaruhi nyeri pada

PFPS ini seperti IMT, lingkungan, dan alas kaki. Faktor instrinsik yang

mempengaruhi nyeri pada PFPS ini seperti control neuromuscular quadriceps,

penurunan fungsi otot-otot hip, hiperadduksi hip/internal rotasi hip, dan rotasi

Page 33: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.pdf · 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Overweight dan Obesitas Di seluruh dunia, setidaknya 2,8 juta orang meninggal setiap tahun sebagai akibat dari

40

tibia/pronasi subtalar. Pronasi berlebihan menyebabkan internal rotasi tibia

terhadap femur lebih besar sebagai akibat kopling sendi. Hal ini akan

menyebabkan valgus lutut lebih besar dan stres lebih besar pada sendi

patellofemoral lateral (Tiberio, 1987).

2.8.3 Mechanical Low Back Pain (MLBP)

Mechanical Low Back Pain adalah nyeri punggung bawah yang

ditandai dengan adanya peningkatan nyeri saat beraktivitas dan berkurang saat

istirahat (Karnath, 2003). Nyeri punggung bawah mekanis, yaitu timbul tanpa

kelainan struktur anatomis seperti otot atau ligamen, atau timbul akibat

trauma, deformitas, atau perubahan degeratif pada suatu struktur misalnya

diskus intervertebralis. Slah satu faktor pencetus MLBP adalah

musculoskeletal pain syndromes seperti adanya myofascial pain syndromes

dan fibromyalgia. Nyeri myofascial ditandai dengan adanya nyeri dan kebas

pada area lokal (trigger points), keterbatasan luas gerak sendi yang

melibatkan kelompok otot, distribusi nyeri menjalar pada saraf perifer.

Penurunan nyeri biasanya terjadi ketika kelompok otot diulur (Perina, et al.,

2014).