bab ii kajian pustaka 2.1 psoriasis -...

25
7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Psoriasis 2.1.1 Definisi Psoriasis adalah penyakit inflamasi kronis pada kulit, ditandai dengan adanya plak eritema dan ditutupi skuama putih tebal, tanda auspitz, fenomena bercak lilin dan tanda koebner yang positif. (Gudjonsson dan Elder, 2012). 2.1.2 Sejarah psoriasis Penyakit psoriasis sudah dikenal sejak jaman kuno, pada saat itu psoriasis, lepra dan kelainan inflamasi kulit lainnya merupakan suatu kelainan yang sama, penyakit ini masih belum dibedakan sampai dengan abad ke-19. Hipocrates pada 460-377 SM merupakan penulis pertama yang menulis tentang gambaran penyakit kulit, beliau menggunakan kata lopoi untuk menerangkan psoriasis, lepra dan penyakit inflamasi pada kulit lainnya, dijelaskan sebagai kulit kering dan bersisik. Pada tahun 1809, Willan mulai menggambarkan psoriasis secara lebih detail dan saat itu dikenal sebagai lepra vulgaris. Pada tahun 1835- 1886, Heinrich Auspitz mencatat adanya titik pendarahan pada saat dilakukan pengerokan sampai ke dasarnya pada skuama psoriasis yang saat ini dikenal sebagai tanda Auspitz. Pada tahun 1898, Munro menerangkan tentang adanya mikroabses pada psoriasis yang saat ini dikenal sebagai mikroabses munro. Pada tahun 1960 mulai digambarkan tentang histopatologi dari psoriasis dan tahun 1970 mulai didapatkan adanya

Upload: lytruc

Post on 02-Feb-2018

220 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Psoriasis

2.1.1 Definisi

Psoriasis adalah penyakit inflamasi kronis pada kulit, ditandai dengan

adanya plak eritema dan ditutupi skuama putih tebal, tanda auspitz, fenomena

bercak lilin dan tanda koebner yang positif. (Gudjonsson dan Elder, 2012).

2.1.2 Sejarah psoriasis

Penyakit psoriasis sudah dikenal sejak jaman kuno, pada saat itu psoriasis,

lepra dan kelainan inflamasi kulit lainnya merupakan suatu kelainan yang sama,

penyakit ini masih belum dibedakan sampai dengan abad ke-19. Hipocrates pada

460-377 SM merupakan penulis pertama yang menulis tentang gambaran penyakit

kulit, beliau menggunakan kata lopoi untuk menerangkan psoriasis, lepra dan

penyakit inflamasi pada kulit lainnya, dijelaskan sebagai kulit kering dan bersisik.

Pada tahun 1809, Willan mulai menggambarkan psoriasis secara lebih detail dan

saat itu dikenal sebagai lepra vulgaris. Pada tahun 1835- 1886, Heinrich Auspitz

mencatat adanya titik pendarahan pada saat dilakukan pengerokan sampai ke

dasarnya pada skuama psoriasis yang saat ini dikenal sebagai tanda Auspitz. Pada

tahun 1898, Munro menerangkan tentang adanya mikroabses pada psoriasis yang

saat ini dikenal sebagai mikroabses munro. Pada tahun 1960 mulai digambarkan

tentang histopatologi dari psoriasis dan tahun 1970 mulai didapatkan adanya

8

kejelasan tentang patofisiologi psoriasis tetapi banyak aspek dari penyakit yang

masih belum diketahui (Cowden dan Voorhees, 2008).

2.1.3 Epidemiologi

Psoriasis dapat terjadi pada semua usia serta tidak didapatkan adanya

perbedaan prevalensi pada kedua jenis kelamin. Prevalensi psoriasis didapatkan

dalam jumlah yang bervariasi, di Amerika Serikat terdapat sekitar 2% psoriasis

pada populasi, walaupun pernah dilaporkan angka kejadiannya mencapai 4,6%.

Psoriasis dilaporkan dengan angka kejadian yang lebih tinggi terjadi pada 2,8%

populasi di kepulauan Faroe, sedangkan prevalensi terjadinya psoriasis didapatkan

rendah pada kelompok etnis seperti Jepang, suku aborigin di Australia, India dan

Afrika Selatan (Basko dkk.,2012; Langley dkk.,2005).

Onset munculnya psoriasis dapat terjadi pada semua usia serta dengan

karakteristik usia yang bervariasi. Sebagian besar kasus muncul sebelum usia 40

tahun yaitu pada sekitar 75% kasus dengan onset usia tertinggi didapatkan pada

usia 20-30 tahun. Pasien dengan onset usia yang lebih awal cenderung memiliki

riwayat psoriasis pada keluarga yang sering dihubungkan dengan HLA Cw6, serta

memiliki derajat keparahan penyakit yang lebih tinggi (Langley dkk.,2005;

Basko-Piluska dan Petronic-Rosic, 2012).

Psoriasis jarang terjadi pada usia dibawah 10 tahun, paling sering terjadi

pada usia 15 tahun hingga 25 tahun (Kuchekar dkk., 2011). Psoriasis dibagi

menjadi psoriasis tipe I dan psoriasis tipe II. Pada psoriasis tipe I dihubungkan

dengan keterlibatan HLA dan onset munculnya psoriasis sebelum usia 40 tahun,

9

sedangkan psoriasis tipe II tidak berhubungan dengan HLA dan onset lebih dari

40 tahun (Rahman dan Elder, 2005 ; Kuchekar dkk., 2011).

2.1.4 Etiopatogenesis psoriasis

Psoriasis pada awalnya dianggap sebagai suatu penyakit primer akibat

gangguan keratinosit, namun saat ini psoriasis dianggap sebagai kelainan kulit

yang disebabkan oleh multifaktorial diantaranya predisposisi genetik, lingkungan,

penyakit inflamasi yang dimediasi oleh imun, adanya beberapa faktor-faktor

modifikasi yaitu kegemukan, trauma, infeksi, serta defisiensi vitamin D3. Bagian

lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel,

keratinosit, sel langerhans, makrofag, sel natural killer, sitokin dari Th1, serta

growth factor dari vascular endothelial growth factor (VEGF), dan keratinosit

growth factor (KGF) (El-Daruoti dan Hay, 2010 ; Monteleone dkk., 2011).

Psoriasis memiliki dasar genetika yang kompleks dan didapatkan adanya

banyak keterlibatan gen, pada penelitian terhadap orang kembar didapatkan

heritabilitas psoriasis sebesar 60-90% dan pada penelitian selanjutnya didapatkan

sebesar 70% pada kembar monozigot. Lokus utama psoriasis didapatkan pada

kromosom 6p21 yang disebut sebagai psoriasis suceptibility (PSORS)1,

heritabilitas pada lokasi ini didapatkan sebesar 35-50%. Psoriasis pada lokus yang

berbeda juga pernah dilaporkan terjadi pada kromosom 1p (PSORS7), 1q

(PSORS4), 3q(PSORS5), 4q(PSORS3), 17q(PSORS2) dan 19q(PSORS6)

Psoriasis terbanyak didapatkan dengan HLA Cw6 dan pada psoriasis tipe plak

10

dihubungkan dengan keterlibatan HLA-13, HLA B-17, HLA-B37 dan HLA Bw16

(Basko-Piluska dan Petronic-Rosic, 2012).

Faktor eksogen yang dapat mencetuskan munculnya psoriasis yaitu adanya

faktor stres emosional, merokok, alkohol, kegemukan dan kurangnya aktifitas

memberikan dampak yang buruk pada psoriasis (Griffiths dkk., 2010).

Kepustakaan lain juga menyebutkan tentang faktor eksogen lainnya yaitu adanya

trauma (fenomena koebner), paparan sinar ultraviolet dan infeksi fokal dapat

mencetuskan munculnya psoriasis (Gudjonson dan Elder, 2012).

Hubungan antara stres dengan morbiditas psoriasis sudah diterima secara

luas. Berdasarkan berbagai laporan, stres terjadi pada 37% sampai 80% pasien

psoriasis dan interaksi psikologi seperti hipnosis dapat membantu dalam

pengobatan psoriasis. Satu studi melaporkan bahwa pasien yang memiliki stres

derajat tinggi memiliki lesi yang lebih berat dibandingkan dengan pasien yang

memiliki derajat stres yang lebih rendah. Belum jelas diketahui hubungan antara

stres dengan proses inflamasi pada psoriasis. Peranan neuropeptida dalam

patogenesis psoriasis, dinyatakan karena terdapatnya peranan dari keluarnya

substance P (SP) dan neuropeptida yang lain dari serat saraf sensorik yang tidak

bermielin sehingga menimbulkan respon inflamasi neurogenik yang akan memicu

psoriasis pada orang rentan secara genetik (Griffiths dkk., 2010; Huerta dkk.,

2007)

Infeksi Streptococcus juga diduga berpengaruh terhadap terjadinya

psoriasis. Adanya infeksi Streptococcus pyogenes pada tonsil dihubungkan

dengan kemampuan superantigen Streptococcus dalam mengaktivasi sel T. Pada

11

salah satu penelitian didapatkan superantigen Streptococcus terisolasi sebanyak

17% dari 111 penderita psoriasis (Blok dkk., 2004). Penelitian lainnya terhadap

karier Staphylococcus aureus pada pasien psoriasis, tidak didapatkan hubugan

yang signifikan dengan derajat keparahan penyakit. Pada penelitian ini tidak

didapatkan adanya perbedaan skor PASI secara signifikan pada pasien psoriasis

karier Staphylococcus dengan yang bukan karier (Sahidi-Dadras dkk.,2009).

Paparan sinar ultraviolet dapat mengakibatkan eksaserbasi psoriasis

melalui reaksi koebner. Beberapa penelitian menyatakan terjadinya peningkatan

keparahan penyakit seiring dengan meningkatnya paparan sinar matahari (Schon

dan Boehncke, 2005 ; Gudjonsson dan Elder, 2012).

Faktor pencetus dari lingkungan seperti mikroorganisme, paparan sinar

ultraviolet, stress, trauma pada individu yang memiliki kerentanan terhadap

psoriasis [PSORS1, late cornified envelope (LCE)-3C1, LCE-3B dan IL-23R, IL-

23A, IL-4/IL-13] akan memicu pembentukan komplek self-RNA/DNA-LL37.

Kompleks ini akan memicu sintesa IFN-α oleh sel dendritik plasmasitoid dan

maturasi sel dendritik myeloid menjadi sel dendritik matur. Sel dendritik matur

akan memproduksi berbagai sitokin yang akan memicu diferensiasi dan ekspansi

sel Th1 (seperti IL-12), sel Th17 (IL-6, TGF-β1 dan IL-23), sel Th22 (TNF-α, IL-

6). Sitokin Th1 dan Th17 akan menstimulasi proliferasi keratinosit untuk

memproduksi CC chemokine ligan (CCL)-20, suatu kemokin atraktan yang

mengekspresikan CC chemokine reseptor (CCR)-6 dari sel dendritik dan sel T

(Cai dkk.,2012). Keratinosit memproduksi sitokin inflamasi seperti IL-1β, IL-6

dan TNF- α, yang berperan pada meningkatnya aktivasi sel dendritik dan ekspansi

12

inflamasi lokal (El-Daruoti dan Hay, 2010 ; Monteleone dkk., 2011). Patogenesis

psoriasis dapat dijelaskan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Patogenesis Psoriasis (Monteleone dkk., 2011)

2.1.5 Interleukin dan growth factors pada psoriasis

Psoriasis terjadi karena adanya infiltrasi dari sel Th1 dan Th17 yang

menstimulasi makrofag dan sel dendritik pada dermis untuk mengeluarkan

mediator inflamasi sehingga terjadi proliferasi keratinosit yang abnormal.

Mediator dari Th17 pada sistem imun meliputi IL-1, IL-6, IL-23 dan TGF-β

(Annunziato dkk., 2007; Eijnden dkk., 2005).

Tumor necrosis factor α merupakan sitokin pada jalur Th1, berperan

dalam mempengaruhi proliferasi, aktivasi dan diferensiasi beberapa jenis sel,

merangsang apoptosis, meningkatkan sintesis beberapa sitokin dan

mengekspresikan beberapa molekul adhesi. Netralisasi TNF-α merupakan dasar

dari beberapa terapi psoriasis serta memperkuat peranan sitokin ini pada psoriasis.

Konsentrasi TNF-α yang tinggi pada psoriasis aktif, memiliki korelasi positif

13

dengan skor PASI. Tumor necrosis factor α pada dasarnya diproduksi dan

bereaksi secara lokal sehingga kadarnya dalam sirkulasi lebih rendah

dibandingkan dengan pada tempat inflamasi (Pietrzak dkk., 2008).

Interferon (IFN)-γ penting pada tahap awal psoriasis, berperanan dalam

meningkatkan migrasi sel imun ke dalam kulit dan aktivasi monosit, makrofag, sel

dendritik serta sel endotel. Interferon γ juga menghambat apoptosis dari

keratinosit, berperanan pada terjadinya hiperproliferasi keratinosit dan

merangsang proliferasi sel epidermis. Kadar IFN-γ meningkat pada psoriasis aktif

dan berkorelasi dengan skor PASI (Deeva dkk., 2010).

Interleukin-12 merupakan sitokin utama yang bertanggung jawab dalam

menginduksi respon Th1, menyebabkan sekresi IFN-γ serta pemeliharaan pada

respon Th1. Konsentrasi IL-12 dilaporkan meningkat pada pasien psoriasis dan

berkorelasi dengan skor PASI (Gordon dkk, 2012).

Interleukin-18 penting pada adesi sel dan bekerja secara sinergis dalam

merangsang pengeluaran IFN-γ. Kadar IL-18 juga didapatkan meningkat pada

pasien psoriasis (Flisiak dkk., 2006).

Interleukin-23 penting dalam perekrutan neutrofil, merangsang produksi

sitokin yang lain dan dapat bekerja langsung pada keratinosit dalam jalur regulasi

TNF-α sehingga terjadi hiperplasi epidermis dan berperan dalam pengaturan

diferensiasi keratinosit (Gordon dkk., 2012).

Interleukin-6 meningkat pada psoriasis, bekerja dengan cara memediasi

aktivasi sel T, merangsang proliferasi keratinosit dan memediasi respon fase akut

dan dilaporkan meningkat pada pasien psoriasis (Arican dkk., 2005).

14

Interleukin-17 diproduksi oleh sel-sel Th17 yang merupakan komponen

penting dalam pembentukan dan berlangsungnya inflamasi. Interleukin-17

merangsang produksi sitokin proinflamasi terutama oleh sel endotel dan

makrofag, mengaktifkan keratinosit untuk menghasilkan interleukin seperti IL-18

(Pietrzak dkk., 2008).

Interleukin-21 memiliki peranan penting pada berbagai penyakit inflamasi

seperti psoriasis. Pada penelitian terhadap tikus didapatkan bahwa interleukin ini

banyak didapatkan pada plak psoriasis dan merangsang proliferasi sel epidermis

(Sarra dkk., 2011). Kadar serum IL-21 dilaporkan meningkat pada psoriasis dan

berkorelasi dengan skor PASI (He dkk., 2012).

Vascular endothelial growth factor berperanan dalam meningkatkan

vaskularisasi lesi untuk merangsang hiperplasi epidermis, pertumbuhan pembuluh

darah dan infiltrasi leukosit pada kulit. Vascular endothelial growth factor

berperanan penting dalam mengatur aktivitas keratinosit pada psoriasis, untuk

meningkatkan permiabilitas endotel dan menginduksi vasodilatasi (Tammela dkk.,

2005).

2.1.6 Gambaran klinis psoriasis

Gambaran klasik lesi psoriasis berupa plak eritema dengan batas tegas dan

ditutupi oleh skuama putih tebal. Lesi dapat bervariasi mulai dari papul kecil

hingga plak yang menutupi sebagian besar permukaan tubuh. Terdapat tiga

fenomena yang khas pada psoriasis diantaranya fenomena tetesan lilin ialah bila

skuama dikerok, maka skuamanya menjadi putih seperti lilin. Kerokan yang

15

dilakukan sampai pada dasar skuama akan menimbulkan bintik-bintik perdarahan

yang disebut sebagai tanda auspitz, tanda ini merupakan tanda yang mempunyai

nilai diagnostik pada psoriasis dan dapat membedakan dengan kelainan kulit

lainnya. Fenomena koebner yaitu bila kulit penderita psoriasis terkena trauma

maka akan menyebabkan munculnya lesi psoriasis. Perubahan kuku sering terjadi

dan bervariasi mulai dari defek kecil pada lempeng kuku (pitting nail), sampai

perubahan yang berat dari kuku (onikodistrofi) dan hilangnya lempeng kuku (nail

bed). Perubahan kuku lebih sering terjadi pada pasien dengan psoriasis arthritis.

Pola gambaran klinis psoriasis dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu (Gudjonsson

dan Elder, 2012; Soung dan Lebwohl, 2004) :

2.1.6.1 Psoriasis vulgaris

Psoriasis vulgaris merupakan bentuk psoriasis yang paling sering

ditemukan, yaitu sekitar 90% pasien, ditandai oleh adanya plak eritema yang

ditutupi oleh skuama tebal berwarna putih, tanda auspitz, fenomena bercak lilin

dan tanda koebner yang positif. Tempat predileksi pada daerah ekstensor

ekstremitas terutama pada siku dan lutut, dapat juga pada kulit kepala, daerah

bawah lumbosakral, pantat dan genital. Lesi psoriasis juga dapat ditemukan pada

tempat predileksi lainnya seperti pada umbilikus dan celah intergluteal. Lesi

psoriasis yang kecil dapat bergabung menjadi satu membentuk geografika, girata

atau anular, ditunjukkan oleh Gambar 2.2.

16

Gambar 2.2 Psoriasis Vulgaris (Gudjonsson dan Elder, 2012)

2.1.6.2 Psoriasis gutata

Erupsi berupa papul kecil sampai dengan plak dengan ukuran diameter 0,5

sampai dengan 1,5 sentimeter pada badan bagian atas dan ekstremitas pada bagian

proksimal. Lesi sering muncul pada usia muda dan paling sering ditemukan pada

dewasa muda. Bentuk psoriasis ini memiliki hubungan yang paling kuat dengan

HLA-Cw6 dan adanya infeksi streptokokal pada tenggorokan sering mendahului

atau bersamaan dengan terjadinya psoriasis gutata.

2.1.6.3 Psoriasis inversa

Lesi psoriasis muncul pada daerah lipatan kulit seperti aksila, regio genito-

krural serta leher, dengan skuama yang lebih minimal atau tidak ada. Lesi berupa

eritema batas tegas dan mengkilap dan selalu terletak pada daerah yang memiliki

kontak antara kulit dengan kulit.

17

2.1.6.4 Psoriasis eritroderma

Gambaran klinis berupa erupsi yang meluas hingga seluruh tubuh

termasuk wajah, tangan, kaki, kuku, badan, serta ekstremitas dengan gambaran

klinis yang dominan adalah eritema dengan skuama superfisial dan tipis.

2.1.6.5 Psoriasis pustulosa

Terdapat beberapa variasi klinis psoriasis pustulosa, diantaranya psoriasis

pustulosa generalisata (tipe von zumbusch), psoriasis pustulosa anular, impetigo

herpetiformis, dan dua varian psoriasis pustulosa lokalisata yaitu psoriasis

pustulosa palmaris, plantaris dan akrodermatitis kontinua, dengan lesi utama

berupa pustul.

2.1.6.6 Sebopsoriasis.

Gambaran klinis berupa plak eritema dengan skuama yang berminyak

lokalisata pada daerah seboroik seperti kepala, glabela, lipatan nasolabial,

perioral, dan area presternal serta area intertriginosa. Sebopsoriasis digambarkan

sebagai modifikasi dermatitis seboroik dengan didasari oleh faktor genetika

psoriasis dan relatif resisten terhadap pengobatan.

2.1.6.7 Psoriasis popok.

Psoriasis popok biasanya muncul saat usia 3-6 bulan dan pertama kali

muncul di daerah popok berupa area kemerahan yang konfluen dan beberapa hari

kemudian diikuti dengan munculnya papul merah kecil pada badan dan

ekstremitas serta skuama putih psoriasis yang tipikal. Lesi ini berespon baik

terhadap pengobatan dan cenderung menghilang setelah usia setahun.

18

2.1.6.8 Psoriasis linear.

Psoriasis linier merupakan bentuk yang jarang. Lesi psoriasis muncul

berupa garis, biasanya pada ekstremitas tetapi dapat juga terbatas pada dermatom

di badan. Lesi dapat menyerupai nevus yaitu Inflamatory Linear Verrucous

Epidermal Nevus (ILVEN) dengan gambaran klinis dan histologi keduanya mirip.

2.1.7 Diagnosis

Penegakkan diagnosis psoriasis berdasarkan anamnesis dan gambaran

klinis. Kasus-kasus tertentu, diperlukan pemeriksaan penunjang seperti

pemeriksaan laboratorium darah dan histopatologis (Gudjonsson dan Elder, 2012).

Pemeriksaan penunjang yang paling umum dilakukan untuk

mengkonfirmasi psoriasis adalah pemeriksaan biopsi kulit dengan menggunakan

pewarnaan Hematoksilin-Eosin. Pemeriksaan histopatologis akan tampak

penebalan epidermis atau akantosis serta elongasi rete ridges. Diferensiasi

keratinosit yang ditandai dengan hilangnya stratum granulosum. Stratum korneum

juga mengalami penebalan dan terdapat retensi inti sel pada lapisan ini yang

disebut parakeratosis. Neutrofil dan limfosit tampak bermigrasi dari dermis.

Sekumpulan neutrofil dapat membentuk mikroabses Munro. Dermis akan tampak

tanda-tanda inflamasi seperti hipervaskularisasi dan dilatasi serta edema papila

dermis. Infiltrat dermis terdiri dari neutrofil, makrofag, limfosit, dan sel mast.

Kelainan laboratorium pada psoriasis tidak spesifik kecuali pada kasus

generalized pustular psoriasis dan psoriatic erythroderma (Bettina dkk., 2005).

19

2.1.8 Penatalaksanaan

Beberapa pilihan terapi psoriasis berspektrum luas baik secara topikal

maupun sistemik telah tersedia saat ini. Regimen pengobatan dipilih berdasarkan

penyesuaian terhadap luasnya penyakit dan penilaian keparahan penyakit.

Psoriasis adalah suatu keadaan kronis, penting untuk mengetahui keamanan

pengobatan untuk penggunaan jangka panjang. Durasi terapi dapat terbatas pada

sebagian besar kasus karena potensi terjadinya akumulasi toksisitas serta dapat

terjadinya pengurangan efikasi terapi seiring dengan waktu atau disebut sebagai

takifilaksis (Gudjonsson dan Elder, 2012).

Terapi topikal pada psoriasis dapat digunakan pada pasien dengan

psoriasis ringan sampai sedang. Terapi topikal yang dapat digunakan pada

psoriasis adalah kortikosteroid topikal, analog vitamin D, antralin, asam salisilat,

tar, tazaroten serta imunomodulator topikal (Gudjonsson dan Elder, 2012).

Penelitian metaanalisis mendapatkan penggunaan steroid topikal pada pasien

psoriasis akan memberikan efektivitas tinggi jika digunakan secara terus menerus

selama 8 minggu dan digunakan secara intermiten selama 52 minggu

(Samarasekera dkk.,2013). Penggunaan kortikosteroid topikal lebih efektif

dibandingkan dengan penggunaan analog vitamin D topikal pada psoriasis tipe

plak di kulit kepala (Mason dkk., 2013). Kortikosteroid topikal, ditranol, tar,

fototerapi, kemoterapi dan siklosporin tidak diindikasikan untuk penggunaan

jangka panjang yang terus menerus, dan disarankan untuk dikombinasikan atau

dipakai bergantian (Gudjonsson dan Elder, 2012).

20

Terapi sistemik yang dapat digunakan pada pasien psoriasis adalah

metotreksat, mikofenolat mofetil, sulfasalazin, steroid sistemik, ester asam

fumarat, 6-tioguanin, hidroksi urea dan siklosporin A. Steroid sistemik tidak

diberikan secara rutin sebagai terapi psoriasis, karena pada pemberian steroid

sistemik didapatkan perbaikan yang cepat tetapi dapat muncul serangan mendadak

dengan gejala yang lebih hebat dan membutuhkan dosis tinggi yang progresif

untuk mengontrol keluhan. Steroid sistemik mempunyai peranan jika obat lain

tidak efektif pada pengobatan eritroderma persisten yang sulit dikontrol dan

psoriasis pustular tipe generalisata yang fulminan (tipe von Zumbusch). Sebagian

terapi, seperti kalsipotriol, MTX dan asitretin, dianggap sesuai untuk penggunaan

terus menerus. Terapi ini mempertahankan efikasi dan mempunyai potensi

akumulatif toksisitas yang rendah (Gudjonsson dan Elder, 2012). Infliximab

memiliki efikasi tertinggi dibandingkan agen biologi lainnya untuk terapi sistemik

pada psoriasis sedang sampai berat (Mustafa dan Al-Hoqail, 2013). Pasien anak-

anak dan remaja dengan psoriasis sedang sampai berat didapatkan perbaikan

secara signifikan dengan pemberian etanercept (Paller dkk., 2008). Penggunaan

etanercept juga dilaporkan efektif dan aman digunakan pada pasien psoriasis

rekalsitran (Wu dkk., 2012).

Jenis-jenis fototerapi yang dapat digunakan pada psoriasis antara lain :

sinar ultraviolet B dengan panjang gelombang 290-320 nm, psoralen dan sinar

ultraviolet A, serta laser eksimer. Fototerapi pada psoriasis dengan penyinaran

buatan sudah ada sejak 1925. Pada tahun 1970 diperkenalkan fotokemoterapi

dengan psoralen plus ultraviolet A (PUVA), dan pada tahun 1980 diperkenalkan

21

narrow band ultraviolet B (NB-UVB) dengan panjang gelombang 311-313 nm.

Cara kerja fototerapi dengan melibatkan pengurangan selektif dari sel T, terutama

yang terdapat pada epidermis (Gudjonsson dan Elder, 2012). Terapi psoriasis

dengan menggunakan NB-UVB, PUVA dan terapi topikal didapatkan adanya

pengurangan dari TNF-α secara signifikan (Coimbra,dkk., 2010b).

2.1.9 Derajat keparahan psoriasis

Psoriasis area and severity index merupakan salah satu cara yang dapat

digunakan untuk menilai derajat keparahan pada pasien psoriasis, cara ini telah

digunakan untuk menilai derajat keparahan penyakit pada penelitian klinis karena

memiliki beberapa keuntungan yaitu sensitif dalam menilai perubahan yang

terjadi pada kulit, menilai keparahan dari lesi, serta perubahan pada nilai PASI

menunjukkan adanya perbaikan atau perburukan dari penyakit. Fredrickson dan

Petterson pertamakali merumuskan penilaian derajat keparahan psoriasis dengan

menggunakan skor PASI, metode ini praktis dan cepat tetapi memiliki variabilitas

intra dan antar pengamat yang tinggi (Langley dan Ellis, 2004). Metode ini dapat

mengukur intensitas kuantitatif penderita berdasarkan gambaran klinis dan luas

area yang terkena. Penggunaan skor PASI untuk penilaian derajat keparahan

pasien psoriasis dilakukan dengan melihat adanya eritema, skuama dan ketebalan

lesi, masing-masing diberikan rentang nilai antara 0-4. Penilaian dengan

menggunakan skor PASI merupakan cara yang paling banyak digunakan dan

merupakan baku emas dalam pengukuran derajat keparahan pada penderita

psoriasis. Konsensus oleh American Academy of Dermatology menyatakan bahwa

22

setiap penentuan keparahan psoriasis membutuhkan perhatian khusus pada

pengaruhnya terhadap kualitas hidup penderita (Feldman dan Krueger, 2005).

PASI dihitung dengan rumus ( Langley dan Ellis, 2004):

{0,1(Eh+Ih+Sh)Ah} + {0,2(Eul+Iul+Sul)Aul} + {0,3(Et+It+St)At} +

{0,4(Ell+Ill+Sll)All}

Keterangan:

A (area) = luas daerah tubuh dalam 4 bagian yang terkena yaitu: kepala dan leher

(h = head), badan (t = trunk), ekstremitas atas (ul = upper limb), ekstremitas

bawah (ll = lower limb); E = eritema; I = infiltrat; S = skuama

Penilaian persentase luas daerah tubuh (A) yang terkena:

<10% 1

10-29% 2

30-49% 3

50-69% 4

70-89% 5

90-100% 6

Penilaian derajat keparahan (E, I, S)

Tidak ada gejala 0

Ringan 1

Sedang 2

Berat 3

Sangat berat 4

23

Hasil perhitungan PASI merupakan nilai tunggal dari 0-72. Pasien dinyatakan

menderita psoriasis ringan bila skor PASI < 8, psoriasis sedang bila skor PASI 8-

12, dan psoriasis berat bila skor PASI >12 (Schmitt dan Wozel., 2005).

Skor PASI jarang digunakan pada praktek klinis karena penggunaannya

menimbulkan kompleksitas yang lebih besar dan skor ini merupakan suatu sistem

penilaian yang digunakan untuk tujuan penelitian. Persentase perubahan PASI

dapat digunakan sebagai titik akhir penilaian terapi psoriasis pada uji klinis

(Feldman dan Krueger, 2005).

2.2 C-reactive Protein

2.2.1 Definisi

C-reactive protein adalah sebuah reaktan fase akut, meningkat pada respon

terhadap rangsangan yang dapat mengakibatkan cedera sel atau jaringan. C-

reactive protein pertamakali didefinisikan oleh Tillet dan Francis, pada mulanya

ditemukan sebagai protein yang berperan melawan komponen karbohidrat dalam

kapsid Streptococcus pneumoniae yang terdapat pada serum pasien pneumonia

dan dinamakan sebagai karbohidrat reaktif protein (Steel dan Whitehead, 1994.).

C-reactive protein merupakan protein pentamerik yang dibuat oleh hepatosit,

memiliki berat molekul 118 kilodalton. Molekul CRP dikenal sebagai reaktan fase

akut utama yang meningkat secara cepat setelah infeksi atau kerusakan jaringan,

digunakan secara luas sebagai parameter laboratorium dalam mengikuti

perkembangan pasien pada penyakit inflamasi dan infeksi serta diterima sebagai

marker inflamasi yang paling sensitif (Blake dan Ridker, 2001; Choudhury dan

24

Leyva, 1999.). C-reactive protein merupakan marker inflamasi yang tidak spesifik

sehingga peningkatan CRP tidak dapat membedakan secara spesifik tentang

penyebab inflamasi yang disebabkan oleh proses autoimun ataukah oleh penyebab

lainnya, misalnya karena infeksi bakteri. Infeksi Streptococcus pyogenes pada

tonsil dihubungkan dengan kemampuan superantigen Streptococcus dalam

mengaktivasi sel T. Adanya infeksi bakteri streptococcus pyogenes yang terjadi

bersamaan dengan psoriasis sulit untuk dibedakan apakah peningkatan CRP

terjadi akibat infeksi bakteri atau oleh karena proses inflamasi autoimun, sehingga

perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan melakukan pemeriksaan

terhadap marker infeksi lainnya seperti pemeriksaan leukosit, laju endap darah

dan kultur darah (Blok dkk., 2004; Pepys, 2003).

2.2.2 Sintesis dan metabolisme CRP

Sintesis CRP awalnya terbatas pada hati tanpa didapatkan bukti lain

tentang pembentukan CRP diluar sel hepatosit, tetapi pada pemeriksaan

polymerase chain reaction (PCR) dan imunohistokimia belakangan ini didapatkan

bahwa dalam menanggapi rangsangan terhadap interleukin-6, sel-sel epitel

korteks tubulus ginjal mengeluarkan messenger ribonucleic acid (mRNA) CRP.

Bagian ekstrahepatik lainnya yang mensintesis CRP atau mengekspresikan gen

didapatkan pada sel epitel saluran pernafasan manusia dan sel limfosit T. Secara

umum masih dapat diterima bahwa hati merupakan tempat utama untuk

memproduksi CRP secara de novo (Pepys, 2003). Sintesis CRP terutama dikontrol

oleh IL-6, tetapi IL-1 dan TNF-α yang merupakan hasil dari sitokin proinflamasi

25

dan mempengaruhi peningkatan kadar CRP dalam darah serta cairan tubuh

lainnya. C-reactive protein serum merupakan suatu penanda tidak langsung dari

aktivitas sitokin proinflamasi (Dogan dan Atakan, 2013).

Konsentrasi CRP dapat meningkat secara dramatis melebihi 1000 kali

lipat pada respon terhadap fase akut, peningkatan terjadi dalam 24-48 jam setelah

terjadinya stimulus inflamasi akut dan segera menurun mencapai kadar normal

setelah mendapat terapi atau terjadi penyembuhan spontan (Pepys, 2003). Waktu

paruh CRP adalah 19 jam dan tidak tergantung pada konsentrasi CRP yang

beredar. Faktor utama yang menentukan kadar CRP serum adalah jumlah

produksi dari CRP tersebut (Ablij dan Meinders, 2002). Respon CRP dapat

berkurang pada kondisi gangguan hepatoseluler, tetapi disfungsi ginjal dapat

menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi CRP (Pravenec dkk., 2011).

Kadar CRP normal kurang dari 5 mg/l dengan nilai rata-rata pada populasi

umum adalah 2 mg/l, tidak didapatkan adanya perbedaan konsentrasi antara pria

dan wanita serta tidak didapatkan adanya variasi diurnal ataupun musiman (Pepys,

2003; Semple, 2006). Cut off points pada kadar hsCRP serum adalah ≤ 1 mg/l

(Callaghan, 2005). Kadar dalam serum tidak dipengaruhi oleh asupan makanan

tetapi Church dkk. (2003) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kadar CRP

pada pasien hepatoma dipengaruhi oleh kafein dan berkurang pada penggunaan

multivitamin lebih dari 6 bulan.

C-reactive protein merupakan pertahanan tubuh utama pada manusia.

Secara sederhana, kadar CRP diukur dengan nephelometri yang memiliki tingkat

deteksi 6-10 mg/l dan merupakan pemeriksaan CRP secara konvensional.

26

Pemeriksaan CRP secara komersiil menggunakan alat imunoturbidimetrik dan

dapat mendeteksi dengan batas pemeriksaan sekitar 0,15 mg/l disebut sebagai

pemeriksaan hsCRP. Pemeriksaan ini telah digunakan secara luas untuk

mendeteksi penyakit kardiovaskular, sebagai monitor pengobatan jantung serta

memprediksi prognosis dari penyakit jantung (Kao dkk., 2006).

2.2.3 Struktur CRP

C-reactive protein termasuk dalam famili protein pentraksin dengan ikatan

plasma ligan yang tergantung kalsium dan memilki bagian yang berbeda pada

manusia, disebut sebagai serum amyloid P component (SAP). Molekul CRP pada

manusia (Mr 115, 135) terdiri dari lima subunit non glikosilase dari pasangan

polipeptida yang identik (Mr 23, 027), masing-masing mengandung 206 residu

asam amino (Pepys, 2003). C-reactive protein memiliki struktur berupa cincin

simetris yang terdiri dari 5 pentomer (Gambar 2.3). Setiap pentomer memiliki 2

ion kalsium yang bertanggung jawab dalam pengikatan posfoklorin (Kao dkk.,

2006 ; Agravaat dan Sirajwala, 2013).

Gambar 2.3 Struktur C-reactive protein (Agravaat dan Sirajwala, 2013)

27

2.2.4 Hubungan psoriasis dengan hsCRP

High sensitivity C-reactive protein adalah suatu reaktan fase akut yang

merupakan biomarker pada penderita psoriasis serta dapat digunakan untuk

menilai derajat keparahan psoriasis. Coimbra dan Santos dalam penelitiannya

menyatakan bahwa hsCRP merupakan suatu biomarker pada penderita psoriasis.

Sebagian besar data menunjukkan bahwa hsCRP merupakan marker yang

potensial dalam menilai derajat keparahan psoriasis berdasarkan skor PASI

(Coimbra dan Santos-Silva, 2014). Selain sebagai marker inflamasi pada

psoriasis, hsCRP juga diyakini sebagai suatu marker inflamasi pada kondisi

lainnya seperti artritis rematoid, tuberkulosis, kanker dan miokardia infark serta

memiliki peranan terutama dalam mengenali zat toksik autogenus yang

dikeluarkan dari jaringan yang rusak (Isha dkk., 2011).

Penelitian tentang derajat keparahan psoriasis berdasarkan skor PASI dan

kadar CRP, sebagian besar mendapatkan adanya hubungan yang positif antara

skor PASI dengan kadar CRP. Rocha-Pierera dkk. (2004) melaporkan bahwa

kadar CRP meningkat 97-100% pada lesi akut dari psoriasis sedang sampai

psoriasis berat. Mereka juga menemukan kadar CRP meningkat secara signifikan

pada pasien dengan lesi psoriasis aktif dibandingkan dengan pasien bukan dengan

lesi aktif. Coimbra dkk. (2010a) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kadar

hsCRP pada pasien psoriasis kronis cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan

subyek bukan psoriasis dan skor PASI berhubungan secara signifikan dengan

kadar hsCRP.

28

Kanellas dkk. (2011) melakukan penelitian terhadap 41 subyek dengan

psoriasis vulgaris untuk mengetahui peranan dari marker inflamasi dalam menilai

derajat keparahan psoriasis serta untuk mengetahui respon terapi pada subyek

psoriasis. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa terdapat korelasi yang positif

antara derajat keparahan dengan kadar hsCRP serum pada subyek psoriasis serta

dipostulatkan bahwa hsCRP dapat digunakan sebagai marker inflamasi dalam

menilai derajat keparahan psoriasis dan respon terapi pada pasien psoriasis. Yiu

dkk. (2011) dalam penelitiannya terhadap 52 subyek psoriasis mendapatkan

bahwa pasien dengan psoriasis memiliki kadar hsCRP yang lebih tinggi secara

signifikan serta terdapat korelasi yang positif antara skor PASI dengan kadar

hsCRP.

Agravatt dan Sirajwala (2013) dalam penelitiannya juga mendapatkan

adanya korelasi positif antara kadar hsCRP serum penderita psoriasis dengan

derajat keparahan penderita berdasarkan skor PASI. Pada penelitian tersebut

didapatkan mean kadar hsCRP serum pasien dengan psoriasis sedang sampai

psoriasis berat (PASI>10) adalah 6,26 mg/L, sedangkan pada pasien dengan

psoriasis ringan (PASI<10) didapatkan mean kadar hsCRP serum sebesar

1,34mg/L. Penelitian lainnya juga mendapatkan bahwa kadar hsCRP pada

psoriasis dapat digunakan sebagai penanda terhadap prognosis dari psoriasis

(Reshma dkk.,2011).

Pada psoriasis terdapat adanya pelepasan berbagai macam sitokin

proinflamasi pada kulit maupun secara sistemik. Keratinosit pada psoriasis

mampu memproduksi dan melepaskan IL-1α, IL-1β, IL-6, IL-15, IL-18 dan IL-20,

29

semuanya berperanan dalam perkembangan dan diferensiasi pada patogenesis

psoriasis. Hiperproliferasi keratinosit pada plak psoriasis dan semua proses

patogenetik pada psoriasis dimediasi oleh sitokin tersebut (Wojas-Pelc dkk.,

2006). Peningkatan kadar hsCRP merupakan hasil interaksi dari sitokin

proinflamasi IL-6, IL-1β dan TNF α. Pada psoriasis, IL- 1β, IL-6 dan TNF- α

diproduksi pada keratinosit dan jaringan adiposa yang berperan dalam terjadinya

proses inflamasi kulit serta diketahui memiliki sifat proatherogenik. (Gambar

2.4.), (Dowlatshahi dkk., 2013). Tumor necrosis factor α akan merangsang

sekresi dari IL-6 yang berperanan dalam merangsang produksi CRP di hati,

produksi CRP juga dapat ditingkatkan oleh adanya peranan dari IL-1β. Pada lesi

psoriasis psoriasis baru atau psoriasis lama dengan eksaserbasi akut, terjadi reaksi

inflamasi yang dapat meningkatkan sekresi dari sitokin-sitokin proinflamasi

seperti IL-6, IL-1β dan TNF α yang menyebabkan terjadinya peningkatan kadar

CRP (Coimbra dan Silva, 2014).

Gambar 2.4 C-reactive protein pada psoriasis (Dowlatshahi dkk., 2011)

30

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pada pasien psoriasis terjadi

peningkatan kadar hsCRP serta penyakit psoriasis merupakan penyakit inflamasi

sistemik yang merupakan lingkungan nyaman untuk terjadinya penyakit

kardiovaskular dan penyakit penyerta lainnya (Lan dkk., 2004). Psoriasis dan

penyakit kronis lainnya seperti artritis rematoid, lupus eritematosus sistemik

memiliki risiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Rekomendasi Center for

Disease Control (CDC) dan American Heart Association (AHA) tentang cut off

points risiko terjadinya penyakit kardiovaskular pada pasien psoriasis berdasarkan

kadar hsCRP adalah < 1 mg/l merupakan risiko rendah, 1-3 mg/l merupakan

risiko sedang dan >3 mg/l merupakan risiko tinggi (Callaghan, 2005).

Sel inflamasi dan sitokin proinflamasi berpengaruh terhadap terjadinya lesi

psoriasis dan pembentukan plak aterosklerosis. Pada psoriasis dan aterosklerosis

terjadi upregulasi dari sitokin Th1 dan Th17, aktivasi sel T, ekspresi molekul

adesi dan endotelin secara lokal maupun sistemik. Aktivasi sel T pada area

inflamasi akan mengaktivasi sitokin tipe 1 seperti IFN-α, IL-2 dan TNF-α.

Interferon α menghambat terjadinya apoptosis sehingga berperanan dalam

terjadinya hiperproliferasi keratinosit. Interleukin-2 berperanan dalam

merangsang proliferasi sel T. Aktivasi TNF-α pada psoriasis akan meningkatkan

proliferasi keratinosit (Ni dan Chiu, 2014).

Modalitas terapi pada psoriasis juga mulai diselidiki dalam efikasinya

menurunkan kadar hsCRP. Metotreksat (MTX) ditemukan memiliki efikasi dalam

terjadinya penurunan kadar hsCRP pada penderita artritis rematoid (Lan dkk.,

2004). Pada pasien psoriasis atau artritis rematoid, terapi MTX dapat mengurangi

31

terjadinya insiden penyakit kardiovaskular yang disebabkan oleh efek

antiinflamasi dari obat tersebut (Prodanovich dkk.,2005). Pada penderita psoriasis

artritis juga didapatkan efisiensi dari siklosporin yang memiliki efek sama dengan

MTX dan etanercept dalam menurunkan kadar hsCRP.