bab ii kajian pustaka 2.1 penuaan 2.1.1 definisi...

33
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penuaan 2.1.1 Definisi Penuaan Penuaan adalah suatu proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan serta memperbaiki kerusakan yang diderita. Dengan begitu manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi, dan semakin banyak distorsi metabolik dan struktural, yang disebut sebagai penyakit degeneratif (seperti hipertensi, aterosklerosis, diabetes melitus, dan kanker) (Wibowo, 2003). 2.1.2 Tahap-tahap Proses Penuaan Proses penuaan tidak terjadi begitu saja dengan langsung menampakkan perubahan fisik dan psikis.proses penuaan berlangsung melalui tiga tahap sebagai berikut (Pangkahila, 2011): 1. Tahap subklinik (usia 25 35 tahun) Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai menurun, yaitu hormon testosteron, growth hormon, dan hormon estrogen. Pembentukan radikal bebas, yang dapat merusak sel dan DNA mulai mempengaruhi tubuh. Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar. Karena itu pada usia ini dianggap usia muda dan normal.

Upload: hacong

Post on 04-May-2018

226 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penuaan

2.1.1 Definisi Penuaan

Penuaan adalah suatu proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk

memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi

normalnya, sehingga tidak dapat bertahan serta memperbaiki kerusakan yang

diderita. Dengan begitu manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan

terhadap infeksi, dan semakin banyak distorsi metabolik dan struktural, yang

disebut sebagai penyakit degeneratif (seperti hipertensi, aterosklerosis, diabetes

melitus, dan kanker) (Wibowo, 2003).

2.1.2 Tahap-tahap Proses Penuaan

Proses penuaan tidak terjadi begitu saja dengan langsung menampakkan

perubahan fisik dan psikis.proses penuaan berlangsung melalui tiga tahap sebagai

berikut (Pangkahila, 2011):

1. Tahap subklinik (usia 25 – 35 tahun)

Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai menurun,

yaitu hormon testosteron, growth hormon, dan hormon estrogen.

Pembentukan radikal bebas, yang dapat merusak sel dan DNA mulai

mempengaruhi tubuh. Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar.

Karena itu pada usia ini dianggap usia muda dan normal.

81

2. Tahap transisi (usia 35 – 45 tahun)

Pada tahap ini kadar hormon menurun sampai 25%. Massa otot berkurang

sebanyak satu kilogram tiap tahun. Pada tahap ini orang mulai merasa

tidak muda lagi dan tampak lebih tua. Kerusakan oleh radikal bebas mulai

merusak ekspresi genetik, yang dapat mengakibatkan penyakit seperti

kanker, radang sendi, berkurangnya memori, penyakit jantung koroner dan

diabetes.

3. Tahap klinik (usia 45 tahun keatas)

Pada tahap ini penurunan kadar hormon terus berlanjut, yang meliputi

DHEA, melatonin, growth hormon, testosteron, estrogen dan juga hormon

tiroid. Terjadi penurunan, bahkan hilangnya kemampuan penyerapan

bahan makanan, vitamin dan mineral. Penyakit kronis menjadi lebih nyata,

sistem organ tubuh mulai mengalami kegagalan.

2.1.3 Teori Penuaan

Banyak teori yang menjelaskan mengapa manusia mengalami proses

penuaan. Tetapi, pada dasarnya semua teori itu dapat dibagi menjadi dua

kelompok, yaitu wear and tear theory dan programmed theory (Goldmann dan

Klatz, 2003)

Wear and Tear Theory

Teori wear and tear pada prinsipnya menyatakan tubuh menjadi lemah

lalu meninggal sebagai akibat dari penggunaan dan kerusakan yang terakumulasi.

82

Teori ini telah lama diperkenalkan oleh Dr. August Weismann, seorang ahli

biologi dari Jerman pada tahun 1882. Menurut teori ini, tubuh dan sel yang

terdapat pada makhluk hidup menjadi rusak karena terlalu sering digunakan dan

disalahgunakan. Kerusakan tidak terbatas pada organ, melainkan juga terjadi ke

tingkatan sel (Pangkahila, 2011).

Teori ini menyatakan bahwa walaupun seseorang tidak pernah merokok,

minum alkohol, dan hanya mengkonsumsi makanan alami, dengan menggunakan

organ tubuh secara biasa saja, pada akhirnya akan berujung pada terjadinya suatu

kerusakan. Penyalahgunaan organ tubuh akan membuat kerusakan terjadi lebih

cepat. Karena itu, tubuh akan menjadi tua, dimana sel juga merasakan

pengaruhnya, terlepas dari seberapa sehat gaya hidupnya. Sistem pemeliharaan

pola hidup yang baik pada masa muda dinilai dapat berpengaruh terhadap

perbaikan tubuh sebagai kompensasi terhadap pengaruh penggunaan dan

kerusakan normal berlebihan (Pangkahila, 2011).

Dengan menjadi tua, tubuh berangsur kehilangan kemampuan dalam

memperbaiki kerusakan karena penyebab apa pun. Banyak orang tua meninggal

karena penyakit yang pada masa mudanya dapat ditolak. Teori ini meyakini

bahwa pemberian suplemen yang tepat dan pengobatan yang tidak terlambat dapat

membantu mengembalikan proses penuaan dengan mekanismenya adalah

merangsang kemampuan tubuh untuk melakukan perbaikan dan mempertahankan

organ tubuh dan sel (Pangkahila, 2011).

83

Teori wear and tear meliputi:

a. Teori Kerusakan DNA

Tubuh manusia memiliki kemampuan untuk memperbaiki diri (DNA

repair). Proses penuaan sejatinya memiliki arti sebagai proses penyembuhan yang

tidak sempurna dan sebagai akibat penimbunan kerusakan molekul yang terus

menerus. Kerusakan DNA yang terakumulasi dalam waktu lama, dapat mencapai

suatu keadaan dimana basis molekul sudah mengalami kerusakan yang berat.

Kerusakan molekuler dapat disebabkan oleh faktor yang berasal dari luar, seperti

radiasi, polutan, asap rokok dan mutagen kimia (Pangkahila, 2011).

b. Teori Penuaan Radikal Bebas

Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme dapat mengalami penuaan

dikarenakan adanya akumulasi kerusakan oleh radikal bebas di dalam sel dalam

jangka waktu tertentu. Radikal bebas adalah suatu atom atau molekul yang

mempunyai susunan elektron tidak berpasangan sehingga bersifat sangat tidak

stabil. Untuk menjadi stabil, radikal bebas akan menyerang sel-sel untuk

mendapatkan elektron pasangannya dan terjadilah reaksi berantai yang

menyebabkan kerusakan jaringan yang luas. Molekul utama di dalam tubuh yang

dapat dirusak oleh radikal bebas adalah DNA, lemak, dan protein (Suryohusodo,

2000).

Dengan bertambahnya usia maka akumulasi kerusakan yang terjadi pada

sel akibat radikal bebas semakin mengambil peranan, sehingga dapat mengganggu

metabolisme sel, juga merangsang terjadinya mutasi sel, yang akhirnya bisa

berakibat kanker dan kematian. Pada kulit, radikal bebas dapat merusak kolagen

84

dan elastin, suatu protein yang menjaga kulit agar tetap lembab, halus, fleksibel

dan elastis. Jaringan tersebut akan mengalami kerusakan akibat paparan radikal

bebas, terutama pada daerah wajah, di mana akan terbentuk lekukan kulit dan

kerutan yang dalam akibat paparan yang lama oleh radikal bebas (Goldmann dan

Klatz, 2003).

c. Glikosilasi

Teori ini dikemukakan dan mendapatkan momentumnya sejak diketahui

bahwa glikosilasi memiliki peranan penting dalam kaitannya dengan diabetes tipe

2. Glukosa bergabung dengan protein yang telah mengalami dehidrasi, yang

kemudian menyebabkan terganggunya sistem organ tubuh. Pada diabetes,

glikosilasi menyebabkan kekakuan arteri, katarak, hilangnya fungsi syaraf, yang

merupakan komplikasi yang umum terjadi pada diabetes (Pangkahila, 2011)

Programmed Theory

Teori ini menganggap bahwa di dalam tubuh manusia terdapat suatu jam

biologik, yang dimulai dari proses konsepsi sampai ke kematian dalam suatu

model terprogram. Peristiwa ini terprogram mulai dari sel sampai embrio, janin,

masa bayi, anak-anak remaja, menjadi tua dan akhirnya meninggal (Pangkahila,

2011).

a. Teori Terbatasnya Replikasi Sel

Teori ini mengatakan bahwa pada ujung chromosome strands terdapat

struktur khusus yang disebut telomer. Setiap replikasi sel telomer mengalami

pemendekan ukuran pada proses pembelahan pembelahan sel. Dan setelah

85

sejumlah pembelahan sel tertentu, telomer telah dipakai dan pembelahan sel

terhenti. Menurut Hayflick, mekanisme telomer tersebut menentukan rentang usia

sel dan pada akhirnya juga rentang usia organisme itu sendiri (Pangkahila, 2011).

b. Proses Imun

Rusaknya sistem imun tubuh seperti mutasi yang berulang atau perubahan

protein protein paska translasi, dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan

sistem imun tubuh dalam mengenali dirinya sendiri (self recognition). Jika mutasi

somatik dapat menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel,

maka hal ini akan menyebabkan sistem imun dalam tubuh menganggap sel yang

mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya.

Perubahan inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun. Salah satu

bukti yang ditemukan ialah bertambahnya prevalensi auto antibodi pada orang

lanjut usia (Pangkahila, 2011).

c. Teori Neuroendokrin

Teori ini diperkenalkan Vladimir Dilman, PhD, dengan dasar peranan

berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh. Pada usia muda, berbagai hormon

bekerja dengan baik dalam mengendalikan berbagai fungsi organ tubuh, sehingga

fungsi berbagai organ tubuh sangat optimal. Seiring dengan menuanya seseorang

maka tubuh hanya mampu memproduksi hormon lebih sedikit, sehingga kadarnya

menurun dan berakibat pada gangguan berbagai fungsi tubuh. Terapi sulih

hormon dikatakan dapat membantu untuk mengembalikan fungsi hormon tubuh

sehingga dapat memperlambat proses penuaan (Goldmann dan Klatz, 2003).

86

2.1.4 Penyebab Penuaan

Berbagai faktor penyebab penuaan dapat dikelompokkan menjadi dua,

yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal ialah radikal bebas,

hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan

yang menurun, dan gen. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat,

diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan

(Pangkahila , 2011).

2.2 Diabetes Melitus

2.2.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes melitus (DM) adalah suatu penyakit kronis, yang disebabkan

adanya kelainan metabolisme karbohidrat, dimana glukosa darah tidak dapat

digunakan dengan baik dan menumpuk dalam pembuluh darah karena pankreas

tidak cukup memproduksi insulin untuk metabolisme glukosa darah dan tubuh

tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang diproduksi tersebut, sehingga

menyebabkan keadaan hiperglikemia (Wijaya et al., 2011).

Diabetes melitus ditandai dengan sekumpulan gejala karena gangguan

metabolik dengan karakterisik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi

insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Masharani et al., 2004).

Definisi diabetes melitus menurut World Health Organization (WHO)

adalah suatu kondisi dimana kadar glukosa puasa ≥ 126 mg/dL dan kadar glukosa

darah sewaktu ≥ 200 mg/dL. Sedangkan kadar glukosa darah antara 100 dan 125

87

mg/dL (6,1 sampai 7,0 mmol/L) dapat dikatakan suatu keadaan pre diabetes

(Perkeni, 2011).

American Diabetes Association melaporkan bahwa setiap 21 detik ada satu

orang yang terkena diabetes. Diperkirakan jumlah diabetes mencapai 350 juta

pada tahun 2025, lebih dari setengahnya berada di Asia, terutama di India, Cina,

Pakistan, dan Indonesia (Tandra, 2014).

WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang

cukup besar pada tahun-tahun mendatang. Prediksi kenaikan jumlah penyandang

diabetes di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 akan meningkat menjadi

sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Perkeni, 2011). Sedangkan International

Diabetes Federation (IDF) memprediksi kenaikan jumlah penyandang diabetes

dari 10,0 juta pada tahun 2015 menjadi 16,2 juta pada tahun 2040 (IDF, 2015).

2.2.2 Gambaran Histologis Pankreas Diabetes Melitus

Pankreas terdiri dari bagian eksokrin dan endokrin. Bagian eksokrin

pankreas berfungsi menghasilkan enzim–enzim pankreas (amilase, peptidase, dan

lipase). Sedangkan bagian endokrin pankreas merupakan kelompok sel yang disebut

pulau Langerhans (Sherwood, 2001).

Pulau Langerhans merupakan kumpulan dari empat tipe sel yang

mensintesis insulin (sel beta), glukagon (sel alfa), somatostatin (sel delta) dan

polipeptida pankreas (sel pp) (Kim et al., 2007).

88

Sel beta pankreas menempati bagian tengah dari pulau Langerhans, dan

merupakan sel endokrin pankreas yang paling banyak. Sedangkan sel alfa tersebar

di bagian perifer pulau Langerhans. Sel delta pankreas sebagian besar terletak di

bagian perifer, dan sebagian kecil terletak ditengah diantara sel beta pankreas. Sel

PP dapat ditemukan sebagai sel tunggal maupun kelompok di bagian perifer pulau

Langerhans (Bowen, 2002; Huang et al,, 2009).

Gambaran histologis pulau langerhans pada pankreas hewan diabetes

menunjukkan penurunan jumlah pulau langerhans, adanya inflamasi dan

vakuolisasi pulau langerhans, dan degranulasi sel beta pankreas. Sebagai

tambahan, tampak gangguan pada susunan sel alfa dan beta pankreas, juga terlihat

adanya pyknosis dan nekrosis pada pulau langerhans (Hosseini et al., 2015).

Pada penelitian yang dilakukan Suarsana et al (2010) menunjukkan

penurunan jumlah sel beta pankreas pada tikus diabetes yang diinduksi senyawa

aloksan. Pada kelompok tikus kontrol tampak sel beta memenuhi pulau

Langerhans dibagian tengah dan jumlahnya sangat banyak (84,56 ± 9,4 buah),

sedangkan pada perlakuan diabetes terlihat sel beta jumlahnya sangat sedikit (9,33

± 1,77 buah).

Hal ini menunjukkan telah terjadi kerusakan sel beta pankreas akibat

induksi dengan aloksan. Kerusakan sel beta pankreas menyebabkan produksi

insulin berkurang sehingga ketika hormon insulin dideteksi pada sel beta

menggunakan pewarnaan imunohistokimia, hasilnya sel beta jumlahnya sangat

sedikit (Suarsana et al., 2010).

89

Gambar 2.1

Foto Mikrograf Sel Beta Pulau Langerhans Tikus dengan Pewarnaan

Immunohistokimia (Suarsana et al., 2010)

K(-) = Kontrol negatif, DM = Kelompok positif diabetes melitus

Tanda panah ( ) = sel beta pankreas

Gambaran pulau Langerhans pada diabetes juga menunjukkan adanya

hyalinisasi dan deposit amiloid, yang berasal dari peptida Islet Amyloid

Polypeptide (IAPP), yang juga dikenal sebagai amylin. Amylin merupakan peptida

sekretori minor dari sel beta pankreas yang disintesis bersamaan dengan insulin

dan C-peptida. Amylin ini diduga yang menyebabkan resistensi insulin dan dapat

menyebabkan apoptosis sel beta pankreas. Selain itu juga tampak adanya infiltrasi

lemak dan fibrosis luas (Butler et al., 2003; Ozougwu et al., 2013).

2.2.3 Mekanisme Kerusakan Sel beta Pankreas pada Diabetes Melitus

Apoptosis merupakan bentuk utama kematian sel beta pankreas pada

diabetes, baik diabetes tipe 1 maupun tipe 2. Dimana mekanisme kematian sel ini

90

melibatkan interleukin-1β (IL-1β ), nuclear factor-kB (NF-kB) dan Fas

receptor. Pada diabetes tipe 1 terjadi lesi insulinitis, yang menyebabkan

dilepaskannya sitokin-sitokin seperti IL-1β, tumor necrosis factor (TNF)-α, dan

interferon (IFN)- (Cnop et al., 2005).

Sitokin-sitokin tersebut menginduksi faktor-faktor transkripsi seperti NF-

kB dan STAT-1. Aktivasi NF-kB akan memicu produksi nitric oxide (NO) dan

menyebabkan deplesi kalsium pada retikulum endoplasmik. Hal ini menyebabkan

stres pada retikulum endoplasmik (ER stress), yang selanjutnya akan

menyebabkan mitokondria melepaskan sinyal apoptosis dan mengakibatkan

kematian sel beta (Cnop et al., 2005).

Gambar 2.2

Mekanisme kematian sel beta pankreas (Cnop et al., 2005).

Sedangkan pada diabetes tipe 2, paparan kronis peningkatan kadar glukosa

darah dan asam lemak bebas dapat menyebabkan disfungsi sel beta dan

91

menginduksi apoptosis sel beta, melalui mekanisme glucotoxicity dan lipotoxicity

(Cnop et al., 2005). Hiperglikemia kronis dapat mengakibatkan efek merugikan

pada sintesis/sekresi insuin, kelangsungan hidup sel dan sensitifitas insulin

melalui beberapa mekanisme yaitu: hilangnya ekspresi gen insulin dan gen

spesifik sel beta lainnya secara bertahap; stres RE kronis dan stres oksidatif;

perubahan mitokondria baik dalam jumlah, morfologi dan fungsi nya; dan

gangguan homeostasis kalsium, yang akhirnya terjadi glucotoxicity, yaitu

perubahan permanen pada komponen seluler dalam produksi maupun sekresi

insulin (Cernea et al., 2013).

2.2.4 Pilar Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia,

penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkan pada 4 pilar

penatalaksanaan DM, yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan

intervensi farmakologis (Perkeni, 2011).

1. Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku

terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan

partisipasi aktif pasien, keluarga, dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi

pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai perubahan

perilaku, dibutuhkan edukasi yang komperehensif dan upaya peningkatan

motivasi (Perkeni, 2011).

92

Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha penyandang

diabetes untuk mengerti perjalanan alami penyakit dan pengelolaannya, mengenali

masalah kesehatan/komplikasi yang mungkin timbul secara dini/saat masih

reversibel, memantau perilaku ketaatan, pengelolaan penyakit serta perubahan

perilaku/kebiasaan secara mandiri. Edukasi pada penyandang diabetes meliputi

pemantauan glukosa mandiri, perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan,

berhenti merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori

serta diet tinggi lemak (Ndraha, 2014).

2. Terapi Nutrisi Medis (TNM)

Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan

kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Perlu ditekankan pentingnya

keteraturan makan, dalam hal ini jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan,

terutama pada mereka uang menggunakan obat penurun glukosa darah atau

insulin (Perkeni, 2011). Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari

karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20%, Natrium kurang dari

3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/hari (Ndraha, 2014).

3. Latihan Jasmani

Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30

menit per hari yang disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani,

merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2 (Perkeni, 2011).

93

Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan

berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki

kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani

yang bersifat aerobik, seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang.

(Perkeni, 2011).

4. Terapi Farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersamaan dengan edukasi, pengaturan

makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari

obat oral dan injeksi (Perkeni, 2011).

Obat Anti Hiperglikemia Oral

Obat anti hiperglikemia oral terbagi dalam beberapa golongan, antara lain:

1) Golongan Insulin Sensitizing

a) Biguanid (Metformin)

Bekerja dengan cara menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya

terhadap kerja insulin di tingkat seluler dan menurunkan produksi

glukosa darah hati (Babar dan Skugor, 2009).

Metformin tidak memiliki efek stimulasi pada sel beta pankreas

sehingga tidak mengakibatkan hipoglikemia dan penambahan berat

badan (Babar dan Skugor, 2009).

Merupakan pilihan utama untuk penderita diabetes yang gemuk,

disertai dislipidemia dan resistensi insulin (Ndraha, 2014).

94

b) Tiazolidindion (Ndraha, 2014)

Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein

pengangkut glukosa sehingga meningkatkan ambilan glukosa perifer

Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal jantung karena

meningkatkan retensi cairan.

2) Golongan Insulin Secretagogues

a) Golongan Sulfonilurea (Ndraha, 2014)

Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas

Merupakan pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang

Sulfonilurea tidak dianjurkan pada orang tua, gangguan faal hati dan

ginjal serta malnutrisi

b) Glinid (Toni dan Suharto, 2005)

Merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, yaitu

dengan cara merangsang pelepasan insulin oleh sel beta pankreas.

Golongan ini terdiri dari dua macam obat yaitu Repaglinid (derivat

asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin).

Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan

diekresi dengan cepat melalui hati

Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.

3) Golongan Pengambat α-Glukosidase (Toni dan Suharto, 2005)

Arcabose

Bekerja secara lokal dan hampir tidak diabsorbsi.

95

Bekerja dengan cara menghambat kerja enzim α -glukosidase di

saluran pencernaan, sehingga pemecahan polisakarida di usus halus

menjadi monosakharida yang dapat diabsorpsi berkurang, dengan

demikian peningkatan kadar glukosa postprandial dihambat

Monoterapi dengan penghambat α-glukosidase tidak mengakibatkan

hipoglikemia.

Efek samping berupa keluham gastrointestinal seperti kembung dan

flatulens. Hal ini dikarenakan karbohidrat di usus besar mengakibatkan

peningkatan produksi gas.

Obat Anti Hiperglikemia Injeksi

a) Insulin

Insulin merupakan obat diabetes yang paling efektif dan paling lama

digunakan dalam menurunkan kadar glukosa darah. Bila digunakan dalam

dosis adekuat, insulin dapat menurunkan setiap kadar HbA1C sampai

mendekati target terapeutik. Tidak seperti obat antihiperglikemik lain, insulin

tidak memiliki dosis maksimal. Terapi insulin berkaitan dengan peningkatan

berat badan dan hipoglikemia (Nathan et al., 2009).

Insulin diperlukan pada keadaan (Toni dan Suharto, 2005):

- Penurunan berat badan yang cepat

- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

- Ketoasidosis diabetic

- Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik

96

- Hiperglikemia dengan asidosis laktat

- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

- Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)

- Kehamilan dengan DM/ DM Gestasional yangtidak terkendali dengan

perencanaan makanan.

- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Berdasarkan lama kerja insulin terbagi menjadi 4 jenis (Toni dan Suharto,

2005):

a. Insulin kerja cepat (Rapid acting insulin)

b. Insulin kerja pendek (Short acting insulin)

c. Insulin kerja menengah (Intermediate acting insulin)

d. Insulin kerja panjang (Long acting insulin)

2) Agonis Glucagon-Like Peptide-1 (GLP-1)

Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru

untuk pengobatan diabetes. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang

pelepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan

berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun

sulfonilurea (Blonde, 2009).

Mekanisme kerja agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat pelepasan

glukagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada

percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas.

97

Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain sebah dan

muntah (Perkeni, 2011).

III. Terapi Kombinasi

Bila dengan gaya hidup sehat dan monoterapi OHO glukosa darah belum

terkendali maka diberikan kombinasi dua OHO. Terapi dengan OHO kombinasi

(secara terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk tablet tunggal), harus

dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja

berbeda, misalnya golongan sulfonilurea dan metformin. Bila sasaran glukosa

darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok

yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai

dengan alasan klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi

dengan kombinasi tiga OHO dapat menjadi pilihan (Perkeni, 2011).

2.2.5 Diabetes Melitus dan Proses Penuaan

Penuaan merupakan proses yang kompleks dan luas. Banyak teori telah

dikemukakan untuk menjelaskan regulasi molekul penuaan dan penyakit kronis,

tapi masih banyak hal yang belum dapat dijelaskan. Dalam proses penuaan terjadi

beberapa peristiwa kerusakan seluler dan molekuler, yang akhirnya menyebabkan

berbagai penyakit kronis, termasuk penyakit Alzheimer, Parkinson, gangguan

neurodegeneratif seperti, rheumatoid arthritis, aterosklerosis, dan penyakit

kardiovaskular lainnya (CVD), degenerasi makula, dan diabetes (Prasad et al.,

2012).

98

Diabetes sering dianggap sebagai model biologik proses penuaan dini.

Mereka yang mengalami diabetes akan mengalami proses patologi lebih awal,

dimana pada individu non diabetes hal ini terjadi pada usia yang lebih lanjut.

Karena itu, usia harapan hidup individu dengan diabetes lebih pendek

(Pangkahila, 2011).

Sebuah hipotesis yang yang populer saat ini adalah hipotesis stres

oksidatif, yang terjadi melalui mekanisme tunggal produksi superoksida, yang

merupakan faktor patogenesis umum yang menyebabkan resistensi insulin,

disfungsi sel beta pankreas, gangguan toleransi glukosa, dan akhirnya mengarah

ke diabetes tipe 2. Lebih jauh lagi, mekanisme ini juga terlibat dalam penyebab

komplikasi diabetes tipe 2, baik komplikasi mikro maupun makrovaskular

(Wright et al., 2006).

Beberapa studi klinis menunjukkan bahwa penderita diabetes tipe 2

mengalami stress oksidatif kronis. Hal ini telah terlihat dari beberapa macam

metode yang digunakan, meliputi high-performance liquid chromatography, gas

chromatography/mass spectrometry, dan immunostaining biopsi pankreas. Pro-

oksidan dan penanda kerusakan oksidatif jaringan, seperti 8-hydroxy-

deoxyguanine, 4-hydroxy-2-nonenal (HNE) proteins, 8-epi-prostaglandin F2α,

hidroperoksida, dan oksidasi basa DNA telah dilaporkan meningkat pada serum,

plasma, sel darah merah, dan biopsi pankreas pada penderita diabetes tipe 2.

Dibandingkan dengan kontrol non-diabetes, penanda-penanda tersebut meningkat

lima kali lipat diatas normal (Robertson et al., 2004).

99

Oleh karena itu terapi yang ditujukan untuk mengurangi stres oksidatif

akan menguntungkan bagi penderita dengan diabetes tipe 2 dan bagi mereka yang

berisiko tinggi terhadap diabetes tipe 2 (Wright et al., 2006).

2.3 Streptozotocin

2.3.1 Definisi

Streptozotocin (STZ) merupakan antibiotik yang berasal dari Streptomyces

achromogenes dan secara struktur merupakan derivat glukosamin dari

nitrosourea. STZ menyebabkan hiperglikemia terutama oleh efek sitotoksik

langsung terhadap sel beta pankreas (Srinivasan dan Ramarao, 2007).

Gambar 2.3

Struktur Kimia Streptozotocin (Szkudelski, 2001)

Aksi STZ pada sel beta ditunjukkan oleh perubahan karakteristik dalam

insulin dan konsentrasi glukosa darah. Hiperglikemia terjadi dalam dua jam

setelah injeksi, bersamaan dengan penurunan insulin darah. Enam jam kemudian,

terjadi hipoglikemia dengan kadar insulin darah yang tinggi. Segera setelah itu,

terjadi hiperglikemia dan penurunan level insulin darah. Perubahan pada level

glukosa darah dan insulin tersebut menunjukkan adanya abnormalitas fungsi sel

beta pankreas. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam 6 jam stelah

100

injeksi, STZ menyebabkan kerusakan sel beta pankreas yang menggambarkan

pengembangan penyakit diabetes melitus (Szkudelski, 2001).

2.3.2 Mekanisme Sitotoksik Streptozotocin Terhadap Pankreas

Transportasi STZ ke dalam sel beta pankreas terjadi melalui glucose

transporter GLUT 2. Paparan STZ pada sel beta pankreas menyebabkan

kerusakan DNA. Beberapa penelitian in vitro menunjukkan bahwa STZ

menyebabkan alkilasi DNA, sehingga terjadi fragmentasi DNA (Szkudelski,

2001).

STZ merupakan donor nitric oxide (NO), dan NO telah diketahui

menyebabkan destruksi pulau Langerhans pankreas, sehingga dikemukakan

bahwa molekul ini berkontribusi terhadap kerusakan DNA yang disebabkan oleh

STZ. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa NO bukan satu-satunya

molekul yang bertanggung jawab terhadap efek sitotoksik dari STZ. STZ

diketahui dapat menghasilkan ROS, yang juga berkontribusi dalam fragmentasi

DNA dan membangkitkan perubahan merugikan lainnya di dalam sel.

Pembentukan anion superoksida terjadi karena aksi STZ di dalam mitokondira

(Szkudelski, 2001).

STZ menghambat siklus krebs dan menurunkan konsumsi oksigen oleh

mitokondria, sehingga membatasi produksi ATP mitokondria dan menyebabkan

penurunan jumlah ATP di dalam sel beta pankreas. Pembatasan produksi ATP

mitokondria ini dimediasi oleh NO (Szkudelski, 2001).

101

Gambar 2.4

Mekanisme sitotoksik dari STZ pada sel beta pankreas. MIT - mitochondria;

XOD - xanthine oxidase (Szkudelski, 2012)

Kerusakan DNA ini mengakibatkan aktivasi suatu mekanisme intrasel

yang bertujuan untuk memperbaiki DNA yaitu oleh enzim poly (ADP-ribose)

polymerase-1 (PARP-1). Enzim ini mengkatalisa sintesa poly (ADP-ribose) dari

NAD+ sehingga produksi intraseluler poly (ADP-ribose) meningkat. Kerusakan

DNA karena STZ ini akan menginduksi overstimulasi PARP-1 pada sel beta

pankreas (Szkudelski, 2012).

Pada kondisi kerusakan DNA yang ringan, aktivasi PARP-1 bersifat

menguntungkan. Tetapi, kerusakan DNA intensif yang diinduksi STZ

menyebabkan hiperaktivitas PARP-1 yang merugikan sel, karena terjadi

102

penurunan NAD+. NAD+ adalah molekul penting yang terkait dalam

metabolisme energi pada tingkat sel. Penurunan NAD+ yang berat menyebabkan

penurunan ATP lebih lanjut. Penurunan ATP ini tidak hanya ditimbulkan karena

menurunnya NAD+, melainkan juga karena adanya disfungsi mitokondria

(Szkudelski, 2012).

Paparan STZ dalam jangka pendek mengurangi aktivitas aconitase

mitokondria sel islet, menurunkan konsumsi oksigen mitokondria, dan

menurunkan potensial membrane mitokondria (Szkudelski, 2012). Secara klinis,

gejala diabetes pada tikus akan terlihat jelas dalam 2-4 hari setelah penyuntikan

baik secara intravena maupun intraperitoneal dengan dosis tunggal STZ sebesar

60 mg/kg BB (Abeleeh et al., 2009).

2.4 Ektrak Kulit Pohon Pinus Maritim Perancis (Pinus pinaster)

2.4.1 Definisi

Ekstrak kulit pinus maritim Perancis yang juga dikenal dengan nama

Pycnogenol® merupakan ekstrak terstandardisasi dari batang pinus maritim

Perancis, dari kulit terluar batang pohon Pinus pinaster Aiton Subspesies

atlantica (Rohdewald, 2005). Pohon pinus tersebut dibudidayakan dengan sistem

monokultur secara eksklusif pada suatu area yang sempit di daerah di barat daya

Perancis (Landes de Gascogne). Pohon pinus dengan kulit luar yang tebal dan

berlapis-lapis tersebut akan dipanen setelah dibudidayakan selama lebih dari 30

tahun. Pohon-pohon yang ditebang akan diganti dengan bibit baru dan seluruh

proses regenerasi pohon tetap berjalan secara terus menerus. Proses ini dikontrol

103

oleh pemerintah Perancis dan sebagian besar hutan tersebut merupakan Taman

Nasional (Oliff, 2010).

Kulit batang pinus yang baru diambil ditaburi dan diekstraksi dengan

etanol dan air dengan peralatan yang dipatenkan sehingga memungkinkan

terjadinya proses yang berlangsung terus menerus secara otomatis. Setelah

pemurnian dari ekstrak mentah, dilakukan proses pengeringan dengan cara

disemprot. Dari proses tersebut akan menghasilkan bubuk berwarna kecoklatan

yang stabil pada kondisi lingkungan yang gelap dan kering. Ekstrak ini

distandardisasi sehingga mengandung 70 ± 5% procyanidins, dimana terdiri dari

catechin dan epicatechin yang terkondensasi (Oliff, 2010).

2.4.2 Struktur Molekul, Absorpsi dan Metabolisme

Ekstrak kulit pinus maritim Perancis mengandung proanthocyanidins

terkondensasi yang terutama terdiri dari procyanidins dan asam fenolat. Ekstrak

kulit pinus maritim Perancis ini distandardisasi sehingga mengandung 70 ± 5%

procyanidins. Procyanidins mewakili sub-kategori proanthocyanidins.

Proanthocyanidins merupakan nama famili untuk spesies flavan-3-ols

terkondensasi yang berbeda, yaitu procyanidins, prodelphinidins dan

propelargonidins (Oliff, 2010).

104

Gambar 2.5

Struktur Dasar Proanthocyanidins (Rohdewald, 2005)

Komposisi utama dari ekstrak kulit pinus maritim Perancis adalah

senyawa fenolik, yang secara luas dibagi menjadi monomer (Catechin,

epicatechin, dan taxifolin) dan flavonoid yang terkondensasi (yang

diklasifikasikan sebagai procyanidins/proanthocyanidins). Proanthocyanidins

sendiri merupakan biopolimer yang terdiri dari unit procyanidins catechin dan

epicatechin, dengan panjang rantai mulai 2-12 unit monomer (Oliff, 2010).

Proanthocyanidins memiliki sifat pemakan radikal bebas yang poten dan

dapat juga ditemukan di dalam biji anggur, kulit anggur, bilberry, cranberry,

kismis hitam, teh hijau, teh hitam, blueberry, blackberry, strawberry, black

cherry, anggur merah, dan kubis merah. Proanthocyanidins larut dalam air dan

lemak, sehingga mampu melewati sawar darah otak untuk memberikan

105

perlindungan antioksidan pada sistem saraf pusat, dan beredar dalam aliran darah

selama 72 jam (D'Andrea, 2010).

Gambar 2.6

Komponen ekstrak kulit pinus (Pinus pinaster) (Grimm et al., 2006b)

Selain itu ekstrak kulit pinus maritim Perancis juga mengandung

komponen minor yaitu asam fenolik. Asam fenolik dalam ekstrak kulit pinus

merupakan turunan dari asam benzoat (p-hidroksibenzoat, protocatechic acid,

asam galat, asam vanilat) atau asam sinamat (caffeic acid, asam ferulat, p-cumaric

acid). Asam fenolik yang ditemukan dalam bentuk bebas dan sebagai glukosida

atau glukosa ester (Oliff, 2010).

106

2.4.3 Profil Farmakologis

Aktivitas Antioksidan

Beberapa studi in vitro telah menunjukkan aktivitas antoksidan yang poten

dari ekstrak kulit pinus maritim Perancis, antara lain: (1) Ekstrak kulit pinus

maritim Perancis dapat memusnahkan baik radikal bebas hidroksil maupun anion

superoksida, (2) Ekstrak kulit pinus maritim Perancis mampu melindungi vitamin

C bahkan mampu mendaur ulang vitamin C lebih efektif dari pada flavonoid

lainnya, sehingga memperpanjang hidup dan meningkatkan fungsi antioksidan

dari vitamin C, (3) Ekstrak kulit pinus maritim Perancis dapat meningkatkan

aktivitas sistem antioksidan internal lainnya, yaitu superoksid dismutase, glutation

peroksidase, dan katalase (Oliff, 2010).

Lipid, protein dan DNA merupakan target dari kerusakan oksidatif.

Beberapa studi telah menunjukkan bahwa ekstrak kulit pinus maritim Perancis

dapat mencegah kerusakan oksidatif terhadap lipid, protein, dan kerusakan

plasmid DNA. Setiap komponen ekstrak kulit pinus maritim Perancis dan

metabolitnya juga memiliki aktivitas antioksidan (Oliff, 2010).

Dua metabolit aktif ekstrak kulit pinus (Pinus pinaster), yaitu delta-(3,4-

dihydroxyphenyl)-gamma-valerolactone (M1) dan delta-(3-methoxy-4-

hydroxyphenyl)-gamma-valerolactone (M2), secara aktif menghambat aktivitas

MMP-1, MMP-2, dan MMP-9 (Grimm et al., 2004). Komponen flavonoid dari

ekstrak kulit pinus maritim Perancis, yang terdiri dari satu atau lebih cincin

aromatik, dapat dengan segera bergabung dengan radikal bebas membentuk

resonansi-stabil radikal phenoxyl. Lebih jauh lagi ekstrak kulit pinus maritim

107

Perancis juga diketahui menghambat aktivitas berbagai enzim, seperti

cyclooxygenase, protein kinase C, NADH oxidase, lipoxygenase, horseradish

peroxidase, xanthin oxidase, dan nitric oxide synthase (iNOS), yang terlibat

dalam pembentukan ROS. Ekstrak kulit pinus maritim Perancis juga mampu

meregenerasi radikal ascorbyl dan melindungi vitamin E endogen dan glutation

dari stres oksidatif (Maritim et al., 2003).

Aktivitas Anti Inflamasi

Senyawa oksigen reaktif tidak hanya menyebabkan cedera sel secara

langsung dan memulai proses degeneratif, tapi juga dapat berperan sebagai sinyal

untuk proses lainnya, seperti jalur pro-inflamasi yang melibatkan aktivasi nuclear-

factor-kappaB (NF-κB). Ekstrak kulit pinus maritim Perancis secara in vitro

menghambat aktivasi NF-κB di makrofag, yang pada konsekuensinya

menghambat ekspresi sitokin pro-inflamasi IL-1 (Cho et al., 2000). Ekspresi adesi

molekul oleh sel endotel juga dibawah kendali NF-κB. Adesi molekul terlibat

dalam perekrutan leukosit ke situs inflamasi, hal ini juga berkontribusi terhadap

terjadinya gangguan pembuluh darah (Oliff, 2010).

Senyawa oksigen reaktif berkaitan dengan kondisi pro-inflamasi melalui

stimulai dari matrix metalloproteinase (MMP). MMP merupakan famili dari

enzim yang menyebabkan hancurnya protein jaringan penghubung. MMP-1

(collagenase 1) dan MMP-9 (gelatinase B) meningkat pada arthritis, dan kedua

enzim ini berkontribusi terhadap degradasi kartilago pada penyakit rematik.

MMP-1 juga berkontribusi pada proses penuaan kulit akibat sinar ultraviolet,

108

sedangkan MMP-9 berperan dalam penyakit asma. Pada fibrosis paru, MMP-2

(gelatinase A) juga terlibat. Ekstrak kulit pinus maritim Perancis memiliki efek

penghambatan terhadap aktivitas MMP-1, MMP-9 dan MMP-2. Pada kultur sel,

ekstrak kulit pinus maritim Perancis menghambat ekspresi sitokin proinflamasi

IL-1 (Cho et al., 2000; Grimm et al., 2006a).

Pada proses inflamasi, ekspresi inducible nitric oxide synthase (iNOS)

menyebabkan produksi nitric oxide (NO), dan ekstrak kulit pinus maritim

Perancis menunjukkan efek penghambatan proses ini. Penelitian secara in vitro

menunjukkan bahwa pemberian ekstrak kulit pinus maritim Perancis terhadap

makrofag yang distimulasi dapat menurunkan NO seluler melalui pemusnahan

ROS dan NO, penghambatan iNOS, dan penghambatan ekspresi iNOS-mRNA

melalui penghambatan aktivasi NF-κB. Berdasarkan penelitian tersebut,

pemberian ekstrak kulit pinus maritim Perancis selama periode inflamasi diduga

dapat bermanfaat (Oliff, 2010).

2.4.4 Ekstrak Kulit Pinus Maritim Perancis (Pinus pinaster) dan Diabetes

Pada sebuah studi eksperimental yang dilakukan Maritim dkk (2003)

menunjukkan bahwa pemberian ekstrak kulit pinus maritim Perancis pada tikus

diabetes menurunkan konsentrasi glukosa darah secara signifikan.

Kemampuan antidiabetes lain dari ekstrak kulit pinus maritim Perancis

secara klinis ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan oleh Liu et al. Penelitian

double blind, acak, dengan kontrol plasebo ini melibatkan 77 orang penderita

diabetes tipe 2 untuk meneliti potensi antidiabetik dari ekstrak kulit pinus maritim

109

Perancis (100 mg). Suplementasi ekstrak kulit pinus maritim Perancis selama 12

minggu dengan tetap melanjutkan terapi standar antidiabetik menunjukkan

penurunan kadar glukosa darah dan HbA1c secara signifikan dibandingkan

dengan placebo. Ekstrak kulit pinus maritim Perancis juga meningkatkan fungsi

endotel, sebagaimana dibuktikan oleh adanya penurunan endothelin-1 secara

signifikan (Liu et al., 2004a).

Aktivitas antihiperglikemik ekstrak kulit pinus maritim Perancis yaitu

melalui peningkatan uptake glukosa di jaringan perifer dan dengan peningkatan

simpanan glikogen di hati (Parveen et al., 2013). Ekstrak kulit pinus maritim

Perancis efektif menghambat penyerapan glukosa melalui penghambatan enzim α-

glukosidase dalam saluran pencernaan, sehingga menurunkan hiperglikemia post

prandial (El-Abhar et al., 2014). α-glukosidase merupakan suatu enzim yang

terdapat di sepanjang usus yang menghidrolisa residu glukosa dan melepaskan α-

D glucose. Inhibisi dari enzim α-glukosidase akan mengurangi penyerapan

glukosa dan menurunkan glukosa darah prost prandial (Schäfer et Höger, 2007).

Dosis optimal ekstrak kulit pinus maritim Perancis dalam menurunkan glukosa

darah baik puasa maupun post prandial pada manusia adalah sebesar 200 mg/hari

(Liu et al., 2004b).

Penurunan glukosa darah post prandial akan menyebabkan penurunan

insulin post prandial. Berdasarkan studi ternyata kemampuan ekstrak kulit pinus

maritim Perancis 190 kali lebih tinggi dibandingkan dengan penghambatan enzim

α-glukosidase oleh acarbose, serta empat kali lebih tinggi dibandingkan

penghambatan enzim α-glukosidase oleh teh hijau (Schäfer et Höger, 2007).

110

Efek penghambatan α-glukosidase ini tampaknya berhubungan dengan

ukuran molekul procyanidin yang terdapat di dalam ekstrak kulit pinus maritim

Perancis. Dalam sebuah studi farmakologi, molekul ini bertahan sangat lama di

dalam saluran pencernaan sebelum diabsorbsi ke dalam aliran darah, pada

umumnya selama 4-6 jam setelah konsumsi. Dengan demikian, pemberian ekstrak

kulit pinus maritim Perancis di pagi hari akan tetap memiliki potensi yang cukup

untuk menghambat absorbsi glukosa pada saat makan siang (Grimm et al.,

2006b).

Hati terutama bertanggung jawab untuk menjaga konsentrasi glukosa

darah normal melalui kemampuannya untuk menyimpan glukosa sebagai glikogen

dan kemampuannya untuk memecah glikogen menjadi glukosa atau dari prekursor

gluconeogenic. Pada kondisi diabetes, fungsi tersebut terganggu. Pemberian

ekstrak kulit pinus maritim Perancis dapat memperbaiki fungsi hati tersebut. Hal

ini ditunjukkan dengan peningkatan kandungan glikogen hati pada kelompok

tikus diabetes yang diberi ekstrak kulit pinus maritim Perancis dibandingkan

dengan kelompok tikus diabetes kontrol. Lebih jauh lagi, pada pemeriksaan

histopatologi hati kelompok tikus diabetes menunjukkan vakuolisasi hepatosit

dengan variasi nukleus dan pelebaran ruang sinusoid. Perubahan degeneratif ini

berkurang dengan pemberian ekstrak kulit pinus maritim Perancis (Parveen et al.,

2010).

111

2.4.5 Mekanisme Kerja Ekstrak Kulit Pinus Maritim Perancis (Pinus

pinaster) dalam Melindungi Sel beta Pankreas dan Meregulasi Glukosa

Darah

Ekstrak kulit pinus maritim Perancis telah diketahui memiliki aktivitas

sebagai agen antidiabetik, yang dapat mempengaruhi metabolisme glukosa yang

dihubungkan dengan kejadian diabetes melitus. Namun bagaimana mekanisme

ekstrak kulit pinus maritim Perancis dalam memberikan proteksi terhadap

diabetes melitus dan komplikasinya masih belum sepenuhnya diketahui (Parveen

et al., 2013).

Selain efek antioksidannya, ekstrak kulit pinus maritim Perancis memiliki

aktivitas penghambatan ekspresi nitric oxide synthase, suatu enzim yang

memproduksi NO. NO diketahui merupakan molekul efektor yang menyebabkan

kerusakan dan disfungsi sel beta pankreas. STZ, suatu agen diabetogenik, juga

mengandung komponen NO. Sehingga pemberian ekstrak kulit pinus maritim

Perancis memberikan efek perlindungan terhadap sel beta pankreas dari efek

destruksi NO (Keklikoglu et al., 2013; Parveen et al., 2013).

Lebih jauh lagi, stress oksidatif akibat hiperglikemia dihubungkan dengan

aktivasi dari NF-κB. NF-κB juga terlibat dalam regulasi dari COX-2 dan ekspresi

iNOS, yang juga memainkan peran dalam stress oksidatif akibat hiperglikemia.

Pemberian ekstrak kulit pinus maritim Perancis dapat menghambat aktivasi NF-

κB, sehingga dapat mengatasi kerusakan oksidatif pada pankreas akibat

hiperglikemia (Grimm et al., 2006a).

112

Ekstrak kulit pinus maritim Perancis juga diketahui dapat menstimulai

ekspresi glucose transoprter 4 (GLUT 4), sehingga meningkatkan ambilan

glukosa di sel adiposit. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak kulit pinus maritim

Perancis dapat bermanfaat dalam mengontrol glukosa darah (Lee et al, 2010).

Kemungkinan mekanisme lain dari ekstrak kulit pinus maritim Perancis

sebagai agen antidiabetik adalah melalui setiap komponen aktifnya yang memiliki

mekanisme yang berbeda-beda. Komponen oligomeric procyanidins dari ekstrak

kulit pinus maritim Perancis memiliki aktivitas sebagai penghambat enzim α-

glukosidase di usus, komponen monomeric epicatechin memiliki efek proteksi

terhadap sel beta pankreas dan dilaporkan dapat merangsang sekresi insulin serta

memiliki aktivitas seperti insulin, sedangkan komponen catechin dari ekstrak kulit

pinus maritim Perancis memiliki efek penghambatan absorbsi glukosa di usus

(Shimizu et al., 2000; Kim et al., 2003; Schäfer et Höger, 2007).