bab ii kajian pustaka 2.1 psoriasis - sinta.unud.ac.id ii.pdfbagian lainnya yang ikut berperan...

30
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PSORIASIS 2.1.1 Definisi Psoriasis Psoriasis vulgaris merupakan penyakit kulit autoimun kronis yang mengakibatkan proliferasi dan peradangan berlebihan di epidermis. Ditandai dengan gambaran klinis berupa plak eritema yang berbatas tegas ditutupi skuama putih berlapis disertai dengan fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Koebner (Gudjonsson dkk., 2012). Penyakit ini bersifat kronis dan rekuren, dimana pasien akan terus mengalami periode remisi dan eksaserbasi secara bergantian. Psoriasis umumnya mengenai daerah ekstensor ekstremitas terutama siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral, bokong dan genitalia (Coimbra dkk., 2014). 2.1.2 Epidemiologi Psoriasis Psoriasis ditemukan di seluruh dunia, namun prevalensinya bervariasi dari 0,1% sampai 11,8%. Prevalensi di Amerika Serikat berkisar antara 2,2% hingga 2,6%, dengan sekitar 150.000 kasus baru terdiagnosis setiap tahunnya. Laki-laki dan perempuan memiliki kemungkinan terkena yang sama besar (Gudjonsson dkk., 2012; Coimbra dkk., 2014; Mak dkk., 2009). Ras Asia memiliki angka prevalensi psoriasis yang cukup rendah, yakni sekitar 0,4%. Penelitian yang menginvestigasi prevalensi psoriasis antara ras African-American dibanding ras white-American menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan (1,3% vs. 2,5%). Winta dkk melaporkan di RSUP dr. Kariadi terdapat 198 kasus (0,97%) psoriasis selama rentang waktu 5 tahun (2003- 2007). Kisaran umur penderita yang terbanyak adalah antara 25-35 tahun, 70%-90% pasien mulai mengalami gejala sebelum umur 40 tahun, sedangkan 10% pada masa anak-anak. 7

Upload: others

Post on 02-Sep-2019

9 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PSORIASIS - sinta.unud.ac.id II.pdfBagian lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel, keratinosit, sel langerhans, makrofag,

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 PSORIASIS

2.1.1 Definisi Psoriasis

Psoriasis vulgaris merupakan penyakit kulit autoimun kronis yang mengakibatkan proliferasi

dan peradangan berlebihan di epidermis. Ditandai dengan gambaran klinis berupa plak

eritema yang berbatas tegas ditutupi skuama putih berlapis disertai dengan fenomena tetesan

lilin, Auspitz dan Koebner (Gudjonsson dkk., 2012). Penyakit ini bersifat kronis dan rekuren,

dimana pasien akan terus mengalami periode remisi dan eksaserbasi secara bergantian. Psoriasis

umumnya mengenai daerah ekstensor ekstremitas terutama siku dan lutut, kulit kepala,

lumbosakral, bokong dan genitalia (Coimbra dkk., 2014).

2.1.2 Epidemiologi Psoriasis

Psoriasis ditemukan di seluruh dunia, namun prevalensinya bervariasi dari 0,1% sampai 11,8%.

Prevalensi di Amerika Serikat berkisar antara 2,2% hingga 2,6%, dengan sekitar 150.000 kasus

baru terdiagnosis setiap tahunnya. Laki-laki dan perempuan memiliki kemungkinan terkena yang

sama besar (Gudjonsson dkk., 2012; Coimbra dkk., 2014; Mak dkk., 2009). Ras Asia memiliki

angka prevalensi psoriasis yang cukup rendah, yakni sekitar 0,4%. Penelitian yang

menginvestigasi prevalensi psoriasis antara ras African-American dibanding ras white-American

menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan (1,3% vs. 2,5%). Winta dkk melaporkan di

RSUP dr. Kariadi terdapat 198 kasus (0,97%) psoriasis selama rentang waktu 5 tahun (2003-

2007). Kisaran umur penderita yang terbanyak adalah antara 25-35 tahun, 70%-90% pasien

mulai mengalami gejala sebelum umur 40 tahun, sedangkan 10% pada masa anak-anak. 7

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PSORIASIS - sinta.unud.ac.id II.pdfBagian lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel, keratinosit, sel langerhans, makrofag,

Psoriasis dapat terjadi pada semua umur, tetapi jarang pada umur di bawah 10 tahun

(Gudjonsson dkk., 2012). Paling sering terjadi antara umur 15 sampai 30 tahun. Onset sebelum

umur 40 tahun umumnya menunjukkan kerentanan genetik yang lebih besar dan lebih parah

bahkan berdampak pada berulangnya psoriasis. Banyak penelitian menunjukkan bahwa jika

psoriasis timbul lebih awal, akan dapat menetap seumur hidup dan bermanifestasi dalam jangka

waktu yang tidak dapat ditentukan. Studi longitudinal menunjukkan remisi spontan dapat terjadi

pada sekitar sepertiga pasien psoriasis dengan frekuensi yang bervariasi (Mak dkk., 2009).

2.1.3 Faktor Pencetus Psoriasis

Faktor genetik dapat mencetuskan psoriasis, namun faktor lingkungan juga berperan penting

pada patogenesis psoriasis. Beberapa penelitian membuktikan adanya hubungan antara Human

leucocyte antigen (HLA), yaitu HLA-B13, -B17, -B39, -B57, -CW6, -CW7, -DR4, -DR7, dan

analisis kromosomal dengan kejadian psoriasis (Bevelacqua dkk., 2006). Faktor pencetus

eksternal antara lain trauma fisik seperti garukan, stres psikologik, paparan sinar matahari,

pembedahan, obat-obatan dan infeksi dapat mencetuskan psoriasis pada individu yang telah

mempunyai predisposisi genetik. Faktor pencetus tersebut selain memperberat psoriasis juga

dapat menimbulkan kekambuhan yang berat. Beberapa obat yang dilaporkan dapat

mengeksaserbasi psoriasis antara lain beta blocker, ACE (angiotensin converting enzyme)

inhibitor, antimalaria, dan litium. Infeksi bakteri, virus, dan jamur juga dilaporkan dapat

mencetuskan psoriasis psoriasis (Basko dkk., 2012).

2.1.4 Patogenesis psoriasis

Psoriasis pada awalnya dianggap sebagai suatu penyakit primer akibat gangguan keratinosit,

namun saat ini psoriasis dianggap sebagai kelainan kulit yang disebabkan oleh multifaktorial

diantaranya predisposisi genetik, lingkungan, penyakit inflamasi yang dimediasi oleh imun,

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PSORIASIS - sinta.unud.ac.id II.pdfBagian lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel, keratinosit, sel langerhans, makrofag,

adanya beberapa faktor-faktor modifikasi yaitu obesitas, trauma, infeksi, serta defisiensi vitamin

D3 (Johnston dkk., 2008). Bagian lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen

presenting sel, keratinosit, sel langerhans, makrofag, sel natural killer, sitokin dari Th1, serta

growth factor dari vascular endothelial growth factor (VEGF), dan keratinosit growth factor

(KGF) (Diluvio dkk., 2006).

Psoriasis memiliki dasar genetika yang kompleks dan didapatkan adanya banyak

keterlibatan gen, pada penelitian terhadap orang kembar didapatkan heritabilitas psoriasis

sebesar 60-90% dan pada penelitian selanjutnya didapatkan sebesar 70% pada kembar

monozigot. Lokus utama psoriasis didapatkan pada kromosom 6p21 yang disebut sebagai

psoriasis suceptibility (PSORS)1, heritabilitas pada lokasi ini didapatkan sebesar 35-50%.

Psoriasis pada lokus yang berbeda juga pernah dilaporkan terjadi pada kromosom 1p (PSORS7),

1q (PSORS4), 3q(PSORS5), 4q(PSORS3), 17q(PSORS2) dan 19q(PSORS6) Psoriasis terbanyak

didapatkan dengan HLA Cw6 dan pada psoriasis tipe plak dihubungkan dengan keterlibatan

HLA-13, HLA B-17, HLA-B37 dan HLA Bw16 (Basko-Piluska dkk., 2012).

Faktor eksogen yang dapat mencetuskan munculnya psoriasis yaitu adanya faktor stres

emosional, merokok, alkohol, kegemukan dan kurangnya aktifitas memberikan dampak yang

buruk pada psoriasis (Langley dkk., 2004). Kepustakaan lain juga menyebutkan tentang faktor

eksogen lainnya yaitu adanya trauma (fenomena koebner), paparan sinar ultraviolet dan infeksi

fokal dapat mencetuskan munculnya psoriasis (Gudjonson dan Elder, 2012).

Hubungan antara stres dengan morbiditas psoriasis sudah diterima secara luas.

Berdasarkan berbagai laporan, stres terjadi pada 37% sampai 80% pasien psoriasis dan interaksi

psikologi seperti hipnosis dapat membantu dalam pengobatan psoriasis. Satu studi melaporkan

bahwa pasien yang memiliki stres derajat tinggi memiliki lesi yang lebih berat dibandingkan

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PSORIASIS - sinta.unud.ac.id II.pdfBagian lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel, keratinosit, sel langerhans, makrofag,

dengan pasien yang memiliki derajat stres yang lebih rendah. Belum jelas diketahui hubungan

antara stres dengan proses inflamasi pada psoriasis. Peranan neuropeptida dalam patogenesis

psoriasis, dinyatakan karena terdapatnya peranan dari keluarnya substance P (SP) dan

neuropeptida yang lain dari serat saraf sensorik yang tidak bermielin sehingga menimbulkan

respon inflamasi neurogenik yang akan memicu psoriasis pada orang rentan secara genetik

(Krueger dkk., 2014)

Infeksi Streptococcus juga diduga berpengaruh terhadap terjadinya psoriasis. Adanya

infeksi Streptococcus pyogenes pada tonsil dihubungkan dengan kemampuan superantigen

Streptococcus dalam mengaktivasi sel T. Pada salah satu penelitian didapatkan superantigen

Streptococcus terisolasi sebanyak 17% dari 111 penderita psoriasis (Blok dkk., 2004). Penelitian

lainnya terhadap karier Staphylococcus aureus pada pasien psoriasis, tidak didapatkan hubugan

yang signifikan dengan derajat keparahan penyakit. Pada penelitian ini tidak didapatkan adanya

perbedaan skor PASI secara signifikan pada pasien psoriasis karier Staphylococcus dengan yang

bukan karier (Diluvio dkk.,2006).

Paparan sinar ultraviolet dapat mengakibatkan eksaserbasi psoriasis melalui reaksi

koebner. Beberapa penelitian menyatakan terjadinya peningkatan keparahan penyakit seiring

dengan meningkatnya paparan sinar matahari (Sanchez dkk., 2010).

Faktor pencetus dari lingkungan seperti mikroorganisme, paparan sinar ultraviolet,

stress, trauma pada individu yang memiliki kerentanan terhadap psoriasis [PSORS1, late

cornified envelope (LCE)-3C1, LCE-3B dan IL-23R, IL-23A, IL-4/IL-13] akan memicu

pembentukan komplek self-RNA/DNA-LL37. Kompleks ini akan memicu sintesa IFN-α oleh

sel dendritik plasmasitoid dan maturasi sel dendritik myeloid menjadi sel dendritik matur. Sel

dendritik matur akan memproduksi berbagai sitokin yang akan memicu diferensiasi dan ekspansi

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PSORIASIS - sinta.unud.ac.id II.pdfBagian lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel, keratinosit, sel langerhans, makrofag,

sel Th1 (seperti IL-12), sel Th17 (IL-6, TGF-β1 dan IL-23), sel Th22 (TNF-α, IL-6). Sitokin Th1

dan Th17 akan menstimulasi proliferasi keratinosit untuk memproduksi CC chemokine ligan

(CCL)-20, suatu kemokin atraktan yang mengekspresikan CC chemokine reseptor (CCR)-6 dari

sel dendritik dan sel T (Cai dkk.,2012). Keratinosit memproduksi sitokin inflamasi seperti IL-1β,

IL-6 dan TNF- α, yang berperan pada meningkatnya aktivasi sel dendritik dan ekspansi inflamasi

lokal (El-Daruoti dan Hay, 2010; Monteleone dkk., 2011). Patogenesis psoriasis dapat dijelaskan

pada Gambar 2.

Gambar 2.1. Patogenesis Psoriasis. Berbagai sel imunitas alami mensekresikan TNFsi sel dendritik mieloid (Tip-DCs). Selanjutya Tip-Dcs melepaskan TNF-α dan INOS mengekskresikan IL-12 dan IL-23, kemudian masing-masing menyebabkan diferensiasi sel Th1 dan Th 17. Keratinosit bereaksi terhadap sitokin yang diekskresikan oleh sel Th (IL-17 dan IFN-λ), sehingga terjadi proliferasi keratinosit dan diproduksi peptida antimikrobial, kemoatraktan netrofil, sel T memori, dan sel dendritik imatur. Proses ini menyebabkan restorasi lingkaran proses inflamasi pada kulit (Monteleone dkk., 2011).

2.1.5 Interleukin dan growth factors pada psoriasis

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PSORIASIS - sinta.unud.ac.id II.pdfBagian lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel, keratinosit, sel langerhans, makrofag,

Psoriasis terjadi karena adanya infiltrasi dari sel Th1 dan Th17 yang menstimulasi makrofag dan

sel dendritik pada dermis untuk mengeluarkan mediator inflamasi sehingga terjadi proliferasi

keratinosit yang abnormal. Mediator dari Th17 pada sistem imun meliputi IL-1, IL-6, IL-23 dan

TGF-β (Gerkowicz dkk., 2012).

Tumor necrosis factor α merupakan sitokin pada jalur Th1, berperan dalam

mempengaruhi proliferasi, aktivasi dan diferensiasi beberapa jenis sel, merangsang apoptosis,

meningkatkan sintesis beberapa sitokin dan mengekspresikan beberapa molekul adhesi.

Netralisasi TNF-α merupakan dasar dari beberapa terapi psoriasis serta memperkuat peranan

sitokin ini pada psoriasis. Konsentrasi TNF-α yang tinggi pada psoriasis aktif, memiliki korelasi

positif dengan skor PASI. Tumor necrosis factor α pada dasarnya diproduksi dan bereaksi

secara lokal sehingga kadarnya dalam sirkulasi lebih rendah dibandingkan dengan pada tempat

inflamasi (Mak dkk., 2009).

Interferon (IFN)-γ penting pada tahap awal psoriasis, berperanan dalam meningkatkan

migrasi sel imun ke dalam kulit dan aktivasi monosit, makrofag, sel dendritik serta sel endotel.

Interferon γ juga menghambat apoptosis dari keratinosit, berperanan pada terjadinya

hiperproliferasi keratinosit dan merangsang proliferasi sel epidermis. Kadar IFN-γ meningkat

pada psoriasis aktif dan berkorelasi dengan skor PASI (Diluvio dkk., 2010).

Interleukin-12 merupakan sitokin utama yang bertanggung jawab dalam menginduksi

respon Th1, menyebabkan sekresi IFN-γ serta pemeliharaan pada respon Th1. Konsentrasi IL-12

dilaporkan meningkat pada pasien psoriasis dan berkorelasi dengan skor PASI (Gordon dkk.,

2012).

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PSORIASIS - sinta.unud.ac.id II.pdfBagian lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel, keratinosit, sel langerhans, makrofag,

Interleukin-18 penting pada adesi sel dan bekerja secara sinergis dalam merangsang

pengeluaran IFN-γ. Kadar IL-18 juga didapatkan meningkat pada pasien psoriasis (Benham dkk.,

2005).

Interleukin-23 penting dalam perekrutan neutrofil, merangsang produksi sitokin yang lain

dan dapat bekerja langsung pada keratinosit dalam jalur regulasi TNF-α sehingga terjadi

hiperplasi epidermis dan berperan dalam pengaturan diferensiasi keratinosit (Gerdes dkk., 2010).

Interleukin-6 meningkat pada psoriasis, bekerja dengan cara memediasi aktivasi sel T,

merangsang proliferasi keratinosit dan memediasi respon fase akut dan dilaporkan meningkat

pada pasien psoriasis (Mak dkk., 2009).

Interleukin-17 diproduksi oleh sel-sel Th17 yang merupakan komponen penting dalam

pembentukan dan berlangsungnya inflamasi. Interleukin-17 merangsang produksi sitokin

proinflamasi terutama oleh sel endotel dan makrofag, mengaktifkan keratinosit untuk

menghasilkan interleukin seperti IL-18 (Monteleone dkk., 2011).

Interleukin-21 memiliki peranan penting pada berbagai penyakit inflamasi seperti

psoriasis. Pada penelitian terhadap tikus didapatkan bahwa interleukin ini banyak didapatkan

pada plak psoriasis dan merangsang proliferasi sel epidermis (Sarra dkk., 2011). Kadar serum IL-

21 dilaporkan meningkat pada psoriasis dan berkorelasi dengan skor PASI (Stemy dkk., 2007).

Vascular endothelial growth factor berperanan dalam meningkatkan vaskularisasi lesi

untuk merangsang hiperplasi epidermis, pertumbuhan pembuluh darah dan infiltrasi leukosit

pada kulit. Vascular endothelial growth factor berperanan penting dalam mengatur aktivitas

keratinosit pada psoriasis, untuk meningkatkan permiabilitas endotel dan menginduksi

vasodilatasi (Takashi dkk., 2012).

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PSORIASIS - sinta.unud.ac.id II.pdfBagian lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel, keratinosit, sel langerhans, makrofag,

2.1.6 Manifestasi Klinis Psoriasis

Gambaran klasik lesi psoriasis berupa plak eritema dengan batas tegas dan ditutupi oleh skuama

putih tebal. Lesi dapat bervariasi mulai dari papul kecil hingga plak yang menutupi sebagian

besar permukaan tubuh. Terdapat tiga fenomena yang khas pada psoriasis diantaranya fenomena

tetesan lilin ialah bila skuama dikerok, maka skuamanya menjadi putih seperti lilin. Kerokan

yang dilakukan sampai pada dasar skuama akan menimbulkan bintik-bintik perdarahan yang

disebut sebagai tanda auspitz, tanda ini merupakan tanda yang mempunyai nilai diagnostik pada

psoriasis dan dapat membedakan dengan kelainan kulit lainnya. Fenomena koebner yaitu bila

kulit penderita psoriasis terkena trauma maka akan menyebabkan munculnya lesi psoriasis.

Perubahan kuku sering terjadi dan bervariasi mulai dari defek kecil pada lempeng kuku (pitting

nail), sampai perubahan yang berat dari kuku (onikodistrofi) dan hilangnya lempeng kuku (nail

bed). Perubahan kuku lebih sering terjadi pada pasien dengan psoriasis arthritis. Pola gambaran

klinis psoriasis dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu (Gudjonsson dan Elder, 2012; Soung dan

Lebwohl, 2004).

2.1.6.1Psoriasis vulgaris

Psoriasis vulgaris merupakan bentuk psoriasis yang paling sering ditemukan, yaitu sekitar 90%

pasien, ditandai oleh adanya plak eritema yang ditutupi oleh skuama tebal berwarna putih, tanda

auspitz, fenomena bercak lilin dan tanda koebner yang positif. Tempat predileksi pada daerah

ekstensor ekstremitas terutama pada siku dan lutut, dapat juga pada kulit kepala, daerah bawah

lumbosakral, pantat dan genital. Lesi psoriasis juga dapat ditemukan pada tempat predileksi

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PSORIASIS - sinta.unud.ac.id II.pdfBagian lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel, keratinosit, sel langerhans, makrofag,

lainnya seperti pada umbilikus dan celah intergluteal. Lesi psoriasis yang kecil dapat bergabung

menjadi satu membentuk geografika, girata atau anular, ditunjukkan oleh Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Lesi Klasik pada Psoriasis Vulgaris ditandai oleh adanya plak eritema

yang ditutupi oleh skuama tebal berwarna putih (Gudjonsson dan Elder, 2012).

2.1.6.2 Psoriasis gutata

Erupsi berupa papul kecil sampai dengan plak dengan ukuran diameter 0,5 sampai dengan 1,5

sentimeter pada badan bagian atas dan ekstremitas pada bagian proksimal. Lesi sering muncul

pada usia muda dan paling sering ditemukan pada dewasa muda. Bentuk psoriasis ini memiliki

hubungan yang paling kuat dengan HLA-Cw6 dan adanya infeksi streptokokal pada tenggorokan

sering mendahului atau bersamaan dengan terjadinya psoriasis gutata.

2.1.6.3 Psoriasis inversa

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PSORIASIS - sinta.unud.ac.id II.pdfBagian lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel, keratinosit, sel langerhans, makrofag,

Lesi psoriasis muncul pada daerah lipatan kulit seperti aksila, regio genito-krural serta leher,

dengan skuama yang lebih minimal atau tidak ada. Lesi berupa eritema batas tegas dan

mengkilap dan selalu terletak pada daerah yang memiliki kontak antara kulit dengan kulit.

2.1.6.4 Psoriasis eritroderma

Gambaran klinis berupa erupsi yang meluas hingga seluruh tubuh termasuk wajah, tangan, kaki,

kuku, badan, serta ekstremitas dengan gambaran klinis yang dominan adalah eritema dengan

skuama superfisial dan tipis.

2.1.6.5 Psoriasis pustulosa

Terdapat beberapa variasi klinis psoriasis pustulosa, diantaranya psoriasis pustulosa generalisata

(tipe von zumbusch), psoriasis pustulosa anular, impetigo herpetiformis, dan dua varian psoriasis

pustulosa lokalisata yaitu psoriasis pustulosa palmaris, plantaris dan akrodermatitis kontinua,

dengan lesi utama berupa pustul.

2.1.6.6 Sebopsoriasis.

Gambaran klinis berupa plak eritema dengan skuama yang berminyak lokalisata pada daerah

seboroik seperti kepala, glabela, lipatan nasolabial, perioral, dan area presternal serta area

intertriginosa. Sebopsoriasis digambarkan sebagai modifikasi dermatitis seboroik dengan

didasari oleh faktor genetika psoriasis dan relatif resisten terhadap pengobatan.

2.1.6.7 Psoriasis popok.

Psoriasis popok biasanya muncul saat usia 3-6 bulan dan pertama kali muncul di daerah popok

berupa area kemerahan yang konfluen dan beberapa hari kemudian diikuti dengan munculnya

papul merah kecil pada badan dan ekstremitas serta skuama putih psoriasis yang tipikal. Lesi ini

berespon baik terhadap pengobatan dan cenderung menghilang setelah usia setahun.

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PSORIASIS - sinta.unud.ac.id II.pdfBagian lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel, keratinosit, sel langerhans, makrofag,

2.1.6.8 Psoriasis linear.

Psoriasis linier merupakan bentuk yang jarang. Lesi psoriasis muncul berupa garis, biasanya

pada ekstremitas tetapi dapat juga terbatas pada dermatom di badan. Lesi dapat menyerupai

nevus yaitu Inflamatory Linear Verrucous Epidermal Nevus (ILVEN) dengan gambaran klinis

dan histologi keduanya mirip.

2.1.7 Histopatologi

Pemeriksaan histopatologi jarang diperlukan untuk membuat diagnosis psoriasis, namun dapat

dilakukan pada kasus yang sulit. Gambaran histopatologi dari psoriasis vulgaris bervariasi

berdasarkan stadium lesi, namun secara umum akan terdapat parakeratosis, rete ridges yang

mengalami elongasi, penipisan suprapapilari epidermis dan hilangnya lapisan granuler. Pada

dermis, elongasi dan edema dari papilanya terlihat dengan dilatasi dan infiltrat inflamasi (Lange

dkk., 2012).

Pemeriksaan khusus berupa teknik Immunostaining memberikan kontribusi untuk

memaparkan patogenesis dari psoriasis serta mengamati respon terhadap terapi namun tidak

lazim digunakan untuk membuat diagnosis atau pertimbangan terapi (Gudjonsson dkk., 2012).

2.1.7 Diagnosis Psoriasis

Diagnosis psoriasis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis. Pada kasus-kasus

tertentu, diperlukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium darah dan

histopatologis (Gudjonsson dan Elder, 2012). Pemeriksaan penunjang yang paling umum

dilakukan untuk mengkonfirmasi suatu psoriasis adalah biopsi kulit dengan menggunakan

pewarnaan Hematoksilin-Eosin. Pada umumnya akan tampak penebalan epidermis atau akantosis

serta elongasi rete ridges. Terjadi diferensiasi keratinosit yang ditandai dengan hilangnya stratum

granulosum. Stratum korneum juga mengalami penebalan dan terdapat retensi inti sel pada

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PSORIASIS - sinta.unud.ac.id II.pdfBagian lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel, keratinosit, sel langerhans, makrofag,

lapisan ini yang disebut parakeratosis. Tampak neutrofil dan limfosit yang bermigrasi dari

dermis. Sekumpulan neutrofil dapat membentuk mikroabses Munro. Pada dermis akan tampak

tanda-tanda inflamasi seperti hipervaskularisasi dan dilatasi serta edema papila dermis. Infiltrat

dermis terdiri dari neutrofil, makrofag, limfosit, dan sel mast. Kelainan laboratorium pada

psoriasis tidak spesifik kecuali pada kasus psoriasis pustulosa generalisata dan psoriasis

eritrodermi (Bettina dkk., 2005).

2.1.9 Psoriasis Area and Severity Index (PASI)

Mengukur derajat keparahan atau perbaikan klinis pada psoriasis tampaknya merupakan hal yang

mudah, tetapi pada kenyataannya hal ini menimbulkan banyak kesulitan. Diperlukan pengukuran

obyektif yang terpercaya, valid, dan konsisten. Untungnya lesi pada psoriasis biasanya cukup

jelas secara klinis dan oleh sebab itu relatif mudah untuk melakukan kuantifikasi tetapi

sayangnya kuantifikasi sederhana pada lesi bukan merupakan suatu penilaian lengkap pada

derajat keparahan, sebab dampak lesi psoriasis berbeda pada penderita yang satu dengan lainnya.

Konsensus oleh American Academy of Dermatology menyatakan bahwa setiap penentuan

keparahan psoriasis membutuhkan perhatian khusus pada pengaruhnya terhadap kualitas hidup

penderita (Feldman dan Krueger, 2005). Salah satu teknik yang digunakan untuk mengukur

derajat keparahan psoriasis yaitu dengan menggunakan skor PASI (Basko dkk., 2012).

Skor PASI adalah pengukuran secara klinis dengan perhitungan luas daerah yang terkena

dan derajat keparahan dari eritema, ketebalan infiltrat dan skuama.

PASI dihitung dengan rumus (Langley dkk., 2004):

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PSORIASIS - sinta.unud.ac.id II.pdfBagian lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel, keratinosit, sel langerhans, makrofag,

{0,1(Eh+Ih+Sh)Ah} + {0,2(Eul+Iul+Sul)Aul} + {0,3(Et+It+St)At} + {0,4(Ell+Ill+Sll)All}.

Keterangan: A (area) = luas permukaan tubuh dalam 4 bagian yang terkena yaitu: kepala dan

leher (h = head), badan (t = trunk), ekstremitas atas (ul = upper limb), ekstremitas bawah (ll =

lower limb); E = eritema; I = infiltrat; S = skuama.

Tabel 2.1 Penilaian persentase luas permukaan tubuh (A) yang terkena

<10% 1

10-29% 2

30-49% 3

50-69% 4

70-89% 5

90-100% 6

Tabel 2.2 Penilaian derajat keparahan (E, I, S)

Tidak ada gejala 0

Ringan 1

Sedang 2

Berat

Sangat berat

3

4

Hasil perhitungan PASI merupakan nilai tunggal dari 0-72 (Prinz, 2003). Skor PASI

berdasarkan Fredricksson dan Pettersson dikategorikan menjadi tiga, yaitu penderita dinyatakan

menderita psoriasis ringan bila skor PASI < 7, psoriasis sedang bila skor PASI 7-12, dan

psoriasis berat bila skor PASI >12 (Jacoeb, 2003). Skor PASI ini jarang digunakan pada praktek

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PSORIASIS - sinta.unud.ac.id II.pdfBagian lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel, keratinosit, sel langerhans, makrofag,

klinis akibat kompleksitas yang ditimbulkan oleh penggunaan skor PASI. Skor PASI merupakan

suatu sistem penilaian yang digunakan untuk tujuan penelitian. Pada uji klinis, persentase

perubahan pada PASI dapat digunakan sebagai titik akhir penilaian terapi psoriasis. The United

States Food and Drug Administration (FDA) menggunakan 75% perbaikan pada skor PASI

sebagai penilaian respon terapi pada pasien psoriasis (Feldman dan Krueger, 2005).

2.1.10 Penatalaksanaan

Psoriasis sebagai penyakit yang multifaktorial dengan penyebab belum diketahui dengan pasti,

sehingga penanganannya juga sangat bervariasi dan setiap pusat pendidikan mempunyai acuan

yang berbeda. Ashcroft dkk., 2000 mengemukakan bahwa terdapat berbagai variasi terapi

psoriasis, mulai dari topikal untuk psoriasis ringan hingga fototerapi dan terapi sistemik untuk

psoriasis berat. Edukasi kepada pasien tentang faktor-faktor pencetusnya perlu disampaikan

kepada pasien maupun keluarganya (Monteleone dkk., 2011). Beberapa regimen terapi yang

sering digunakan topikal maupun sistemik sebagai berikut:

Obat topikal yang biasa digunakan adalah preparat tar, yang efeknya adalah anti radang.

Preparat tar berguna pada keadaan-keadaan: Bila psoriasis telah resisten terhadap steroid topikal

sejak awal atau pemakaian pada lesi luas. Lesi yang melibatkan area yang luas sehingga

pemakaian steroid topikal kurang tepat. Bila obat-obat oral merupakan kontra indikasi oleh

karena terdapat penyakit sistemik. Menurut asalnya preparat tar dibagi menjadi 3, yakni yang

berasal dari : Fosil, misalnya iktiol. Kayu, misalnya oleum kadini dan oleum ruski dan Batubara,

misalnya liantral dan likuor karbonis detergens. Cara kerja obat ini sebagai antiinflamasi ringan

(Gudjonsson dan Elder, 2012).

Kortikosteroid topikal pada psoriasis diketahui melalui beberapa cara, yaitu:

vasokonstriksi untuk mengurangi eritema, sebagai antimitotik sehingga dapat memperlambat

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PSORIASIS - sinta.unud.ac.id II.pdfBagian lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel, keratinosit, sel langerhans, makrofag,

proliferasi seluler, efek anti inflamasi diketahui bahwa pada psoriasis terjadi peradangan kronis

akibat aktivasi sel T. Bila terjadi lesi plak yang tebal dipilih kortikosteroid dengan potensi kuat

seperti: Fluorinate, triamcinolone 0,1% dan flucinolone topikal efektif untuk kebanyakan kasus

psoriasis pada anak. Preparat hidrokortison 1%-2,5% digunakan bila lesi sudah menipis

(Gudjonsson dan Elder, 2012).

Ditranol (antralin), hampir sama dengan tar memiliki efek antiinflamasi ringan, sebab

dapat mengikat asam nukleat, menghambat sintesis DNA dan menggabungkan uridin ke dalam

RNA nukleus. Vitamin D analog (Calcipotriol) ialah sintetik vit D yang bekerja dengan

menghambat proliferasi sel dan diferensiasi keratinosit, meningkatkan diferensiasi terminal

keratinosit. Preparatnya berupa salep atau krim 50 mg/g, efek sampingnya berupa iritasi, seperti

rasa terbakar dan menyengat (Takashi dkk., 2008).

Tazaroten merupakan molekul retinoid asetilinik topikal, efeknya menghambat proliferasi

dan normalisasi petanda differensiasi keratinosit dan menghambat petanda proinflamasi pada sel

radang yang menginfiltrasi kulit. Tersedia dalam bentuk gel, dankrim dengan konsentrasi 0,05 %

dan 0,1 %. Bila dikombinasikan dengan steroid topikal potensi sedang dan kuat akan

mempercepat penyembuhan dan mengurangi iritasi. Efek sampingnya ialah iritasi berupa gatal,

rasa terbakar, dan eritema pada 30 % kasus, juga bersifat fotosensitif. Efek emolien ialah

melembutkan permukaan kulit dan mengurangi hidrasi kulit sehingga kulit tidak terlalu kering.

Pada batang tubuh (selain lipatan), ekstremitas atas dan bawah biasanya digunakan salep dengan

bahan dasar vaselin 1-2 kali/hari, fungsinya juga sebagai emolien dengan akibat meninggikan

daya penetrasi bahan aktif. Jadi emolien sendiri tidak mempunyai efek antipsoriasis (Cowden

dkk., 2014).

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PSORIASIS - sinta.unud.ac.id II.pdfBagian lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel, keratinosit, sel langerhans, makrofag,

Narrowband UVB untuk saat ini merupakan pilihan untuk psoriasis yang rekalsitran dan

eritroderma. Sinar ultraviolet masih menjadi pilihan di beberapa klinik. Sinar ultraviolet B

(UVA) mempunyai efek menghambat mitosis, sehingga dapat digunakan untuk pengobatan

psoriasis. Cara yang terbaik adalah dengan penyinaran secara alamiah, tetapi tidak dapat diukur

dan jika berlebihan maka akan memperparah psoriasis. Karena itu, digunakan sinar ulraviolet

artifisial, diantaranya sinar A yang dikenal sebagai UVA. Sinar tersebut dapat digunakan secara

tersendiri atau berkombinasi dengan psoralen (8-metoksipsoralen, metoksalen) dan disebut

PUVA, atau bersama-sama dengan preparat ter yang dikenal sebagai pengobatan cara

Goeckerman. PUVA efektif pada 85 % kasus, ketika psoriasis tidak berespon terhadap terapi

yang lain (Coimbra, dkk., 2010).

Pemberian kortikosteroid sistemik masih kontroversial kecuali yang bentuk eritrodermi,

psoriasis artritis dan psoriasis pustulosa Tipe Zumbusch. Dimulai dengan prednison dosis rendah

30-60 mg (1-2 mg/kgBB/hari), atau steroid lain dengan dosis ekivalen. Setelah membaik, dosis

diturunkan perlahan-lahan, kemudian diberi dosis pemeliharaan. Penghentian obat secara

mendadak akan menyebabkan kekambuhan dan dapat terjadi Psoriasis Pustulosa Generalisata

(Gudjonsson dan Elder, 2012).

Bila keadaan berat dan terjadi eritrodermi serta kelainan sendi dapat sitostatik yang biasa

digunakan ialah metotreksat (MTX). Obat ini sering digunakan Psoriasis Artritis dengan lesi

kulit, dan Psoriasis Eritroderma yang sukar terkontrol. Bila lesi membaik dosis diturunkan secara

perlahan. Kerja metotreksat adalah menghambat sintesis DNA dengan cara menghambat

dihidrofolat reduktase dan juga hepatotoksik maka perlu dimonitor fungsi hatinya. Karena

bersifat menekan mitosis secara umum, hati-hati juga terhadap efek supresi terhadap sumsum

tulang (Riejos dkk.,, 2010).

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PSORIASIS - sinta.unud.ac.id II.pdfBagian lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel, keratinosit, sel langerhans, makrofag,

Etretinat merupakan retinoid aromatik, derivat vitamin A digunakan bagi psoriasis yang

sukar disembuhkan dengan obat-obat lain mengingat efek sampingnya. Etretinat efektif untuk

Psoriasis Pustular dan dapat pula digunakan untuk psoriasis eritroderma. Kerja retinoid yaitu

mengatur pertumbuhan dan diferensiasi terminal keratinosit yang pada akhirnya dapat

menetralkan stadium hiperproliferasi. Efek samping dapat terjadi kulit menipis dan kering,

selaput lendir pada mulut, mata, dan hidung kering, kerontokan rambut, cheilitis, pruritus, nyeri

tulang dan persendian, peninggian lipid darah, gangguan fungsi hepar (peningkatan enzim hati)

(Gudjonsson dan Elder, 2012).

Siklosporin A digunakan bila tidak berespon dengan pengobatan konvensional. Efeknya

ialah imunosupresif. Dosisnya 1-4mg/kgbb/hari. Bersifat nefrotoksik dan hepatotoksik,

gastrointestinal, flu like symptoms, hipertrikosis, hipertrofi gingiva,serta hipertensi. Hasil

pengobatan untuk psoriasis baik, hanya setelah obat dihentikan dapat terjadi kekambuhan. Tumor

Necrosis Factor (TNF) alpha merupakan sitokin proinflamasi yang memegang peran penting

dalam patogenesis psoriasis. Saat ini sedang dikembangkan sebagai terapi yang memberi haparan

baru. Sediaannya antara lain Adalimumab, Infliximab, etanercept, alefacept dan efalizumab

(Gudjonsson and Elder,2012).

Jenis-jenis fototerapi yang dapat digunakan pada psoriasis antara lain : sinar ultraviolet B

dengan panjang gelombang 290-320 nm, psoralen dan sinar ultraviolet A, serta laser eksimer.

Fototerapi pada psoriasis dengan penyinaran buatan sudah ada sejak 1925. Pada tahun 1970

diperkenalkan fotokemoterapi dengan psoralen plus ultraviolet A (PUVA), dan pada tahun 1980

diperkenalkan narrow band ultraviolet B (NB-UVB) dengan panjang gelombang 311-313 nm.

Cara kerja fototerapi dengan melibatkan pengurangan selektif dari sel T, terutama yang terdapat

pada epidermis (Gudjonsson dan Elder, 2012). Terapi psoriasis dengan menggunakan NB-UVB,

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PSORIASIS - sinta.unud.ac.id II.pdfBagian lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel, keratinosit, sel langerhans, makrofag,

PUVA dan terapi topikal didapatkan adanya pengurangan dari TNF-α secara signifikan

(Coimbra,dkk., 2010).

2.2 Jaringan Adiposa sebagai Organ Endokrin

Lipoprotein berfungsi mengatur siklus lemak dengan cara mengangkut lipid dari intestinal dan

mendistribusikannya ke sebagian besar jaringan tubuh dan juga disimpan sebagai cadangan

energi pada jaringan adiposa. Peningkatan massa jaringan adiposa dalam tubuh pada bagian

viseral, subkutan maupun pada bagian tubuh lainnya dapat mengakibatkan terjadinya obesitas

(Ahima dkk., 1998; Sari, dkk., 2008).

Jaringan adiposa selain berfungsi sebagai tempat cadangan energi dalam tubuh juga

berperan sebagai organ endokrin yang memiliki struktur yang komplek, esensial dan memiliki

aktifitas metabolik yang tinggi. Selain sel-sel lemak, jaringan adiposa juga memiliki struktur

jaringan ikat, sel-sel stroma dan vaskular serta jaringan saraf. Komponen ini secara bersama-

sama berfungsi membentuk unit yang terintegrasi. Fungsi endokrin dari jaringan adiposa adalah

mampu meregulasi dan mendeteksi adanya penumpukan maupun terjadinya defisiensi lemak

dalam tubuh. Jaringan adiposa juga merupakan tempat utama metabolisme steroid dan

glukokortikoid. Jaringan adiposa tidak hanya berespon terhadap signal aferen yang berasal dari

sistem hormonal dan sistem saraf pusat namun juga mengekspresikan serta mensekresi beberapa

mediator yang memiliki fungsi endokrin yang penting. Mediator-mediator tesebut diantaranya

adalah beberapa sitokin, adiponektin, komponen komplemen, plasminogen activator inhibitor-1

(PAI-1), protein dari sistem renin angiotensin, resistin dan leptin (Artwohl dkk., 2002).

2.3 Hormon dan Sitokin pada Jaringan Adiposa

Sel-sel adiposit mensekresi adipokin seperti leptin dan adiponektin yang merupakan sinyal-sinyal

protein serta sitokin dan kemokin seperti TNF-α, IL-6, IL-10, IL-β. Keadaan obesitas merupakan

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PSORIASIS - sinta.unud.ac.id II.pdfBagian lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel, keratinosit, sel langerhans, makrofag,

suatu keadaan inflamasi kronis derajat rendah. Pendapat ini didasari oleh adanya beberapa

penanda inflamasi seperti IL-6, IL-8, leptin, CRP dan haptoglobin yang meningkat pada individu

dengan obesitas yang berkurang seiring penurunan berat badan. Normalnya, sepertiga dari kadar

IL-6 yang beredar dalam sirkulasi perifer berasal dari jaringan adiposa. Keadaan peningkatan

berat badan seperti pada obesitas akan meningkatkan jumlah IL-6 yang diproduksi oleh jaringan

adiposa. TNF-α merupakan salah satu sitokin utama yang diproduksi oleh jaringan adiposa

menyebabkan peningkatan produksi sitokin Th2 seperti IL-4 dan IL-5 (Auwerx dkk., 1998).

Pada individu normal, jaringan adiposa mensekresi lebih sedikit IL-6, leptin dan lebih

banyak adiponektin. IL-6 dan leptin memiliki efek inhibisi pada sel T regulator dan adiponektin

menginduksi sekresi IL-10. Sebaliknya pada obesitas, jaringan adiposa mensekresi lebih banyak

IL-6, leptin dan sejumlah kecil adiponektin. Konsentrasi adiponektin meregulasi umpan balik

produksi IL-10 dari jaringan adipose. IL-10 merupakan sitokin antiinflamasi yang berperan

penting dalam menjaga imunologis (Scotece dkk., 2014).

2.4. Leptin

2.4.1. Definisi Leptin

Leptin merupakan asam amino yang disekresi terutama oleh jaringan adiposa dan dihasilkan oleh

gen obesitas (ob) dengan berat molekul 16-kDa. Leptin awalnya diidentifikasi pada tahun 1994

oleh Friedman sebagai gen yang berperan dalam terjadinya obesitas pada tikus percobaan (Zhang

dkk., 2004).

Leptin merupakan molekul yang bersifat pleiotropik yaitu berperan sebagai regulator

energi, mengatur fungsi endokrin dan imunitas. Kadar leptin yang terdapat dalam sirkulasi

berhubungan dengan massa jaringan adiposa dan kadar yang tinggi akan memberikan signal

umpan balik pada hipotalamus, sehingga dapat mengontrol cadangan lemak, mengatur nafsu

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PSORIASIS - sinta.unud.ac.id II.pdfBagian lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel, keratinosit, sel langerhans, makrofag,

makan serta meningkatkan penggunaan energi (Faggioni dkk., 2011). Sintesis leptin pada sel

adiposa dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti insulin, glukokortikoid, tumor necrosis

factor alpha (TNF-α), hormon reproduktif dan prostaglandin (Auwerx dkk., 1998).

Leptin selain diproduksi oleh adiposa juga diproduksi di sejumlah jaringan seperti

plasenta, ovarium, otot skeletal, lambung, kelenjar hipofisis, dan hati (Bjorbaek dkk., 2004).

Leptin plasenta berkontribusi terhadap peningkatan kadar leptin maternal selama kehamilan

namun peranan leptin yang diproduksi oleh plasenta belum diketahui secara pasti (Bornstein

dkk., 1997). Kadar leptin pada orang dengan berat badan normal (IMT 2,0 ± 2,5) kadar leptin

berkisar 3,5 ± 9,3 ng/ml sedangkan pada penderita obesitas dengan IMT >30 kadar leptin

berkisar 12,3 ± 24,1 ng/ml (Bouloumie dkk., 2008).

Tingkat konsentrasi leptin naik turun (pulsatile) mengikuti irama jantung dengan tingkat

tertinggi antara tengah malam dan dini hari dan tingkat terendah pada sore hari. Secara khusus,

konsetrasi leptin yang ada mungkin sampai 75,6% lebih tinggi pada malam hari dibandingkan

dengan konsentrasinya pada sore hari. Tingkat sirkulasi leptin secara langsung sebanding dengan

jumlah lemak tubuh dan berfluktuasi dengan adanya perubahan akut pada asupan kalori

(Casanueva dkk., 2009).

2.4.2 Reseptor Leptin

Pada beberapa penelitian telah dijelaskan tentang ditemukannya beberapa jenis reseptor

leptin (ObR). Reseptor Ob secara umum diklasifikasikan menjadi bentuk pendek ( ObRa, ObRc,

ObRd dan ObRf), bentuk terlarut (ObRe) dan bentuk panjang (ObRb). Gen ObRb secara normal

terdapat dalam jumlah yang sangat banyak pada hipotalamus dan pada tipe sel lainnya termasuk

sel T serta sel endotel vaskular (Cusin dkk., 2009).

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PSORIASIS - sinta.unud.ac.id II.pdfBagian lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel, keratinosit, sel langerhans, makrofag,

Reseptor leptin bentuk panjang ObRb berperan sebagai mediator utama aksi fisiologis

leptin dalam mengontrol keinginan makan dan keseimbangan energi karena hanya reseptor

bentuk panjang yang memiliki kemampuan untuk mengaktifasi seluruh proses signaling dalam

sel target. Bentuk pendek reseptor leptin ObRa dan ObRc terdapat dalam jumlah sangat banyak

di pembuluh darah sistem saraf pusat dan reseptor ini berperan sebagai protein transport bagi

leptin melalui sawar darah otak. Reseptor leptin tidak memiliki aktifitas enzimatik intrinsik

sehingga diperlukan proses signaling yang diinduksi ligan Janus-family tyrosine kinase 2 (JAK2)

(Bjørbaek dkk., 2004; Peelman dkk., 2006).

Gambar 2.3 Reseptor leptin menginduksi proses signaling melalui janus kinase (JAK).

(Peelman dkk., 2006).

Leptin bekerja melalui ikatan leptin dengan reseptornya akan menginduksi proses

signaling selanjutnya melalui the janus kinase (JAK) kemudian menginduksi phosphorylation of

tyrosine (Y) pada reseptor yang terletak pada sitoplasma membentuk ikatan phosphotyrosine

pada protein STAT. Setelah terjadi proses phosphorylation dan terbentuk residu tyrosine pada

protein STAT, ikatan ini akan memisahkan diri dari reseptor dan akan berfungsi sebagai

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PSORIASIS - sinta.unud.ac.id II.pdfBagian lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel, keratinosit, sel langerhans, makrofag,

regulator aktif pada proses transkripsi gen. Setelah ditransportasikan ke dalam nukleus akan

mengalami ikatan dengan element STAT dan DNA untuk menstimulasi proses transkripsi gen

target (Auwerx dkk., 1998).

Jalur STAT3 tidak diaktivasi pada jaringan lainnya. Signaling STAT3 leptin-dependent

dan adenosisne monophosphate kinase (AMPK) dapat menginduksi dan mengorganisasikan

peroxisome proliferator-activated receptor (PPAR) serta gamma coactivator (PGC) dan mampu

mensupport integritas serta fungsi mitokondria (Guo, et al., 2008). Leptin meningkatkan ekspresi

fos yang merupakan target dari STAT3 serta meningkatkan ekspresi beberapa gen lainnya secara

spesifik pada hipotalamus (Cao dkk., 2001).

2.4.3 Leptin dan Kinerjanya Pada Respon Imun

Peran leptin dalam regulasi sistem imun ditemukan dalam berbagai kondisi. Rangkaian asam

amino primer leptin menunjukkan bahwa leptin termasuk di dalam famili sitokin heliks rantai

panjang dengan anggota seperti IL-2, IL-6 dan IL-12. Karakteristik strukural leptin yang

menyerupai sitokin menunjukkan fungsinya dalam regulasi respon imun. Efek leptin terhadap

sistem imun adalah karena aktivitasnya sebagai sitokin proinflamasi. Isoform OB-Rb reseptor

leptin fungsional dengan panjang utuh menunjukkan homologi rangkaian dengan anggota

superfamili reseptor sitokin klas I (gp 130) yang meliputi reseptor untuk IL-6, faktor inhibisi

leukosit dan granulocyte colony-stimulating factor. Reseptor ini kekurangan aktivitas tirosin

kinase intrinsik, terlibat dalam beberapa jalur transduksi sinyal dan telah teridentifikasi pada sel

imun hewan dan manusia ( Lago F dan Dieguez C, 2007).

OB-Rb terbukti memiliki kemampuan pengiriman sinyal seperti reseptor sitokin tipe IL-

6, mengaktifkan janus kinase dan transducers and activators of transcriptin (STAT),

fosfatidilinositol 3-kinase dan jalur sinyal mitogen-activated protein kinase (MAPK). Seperti

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PSORIASIS - sinta.unud.ac.id II.pdfBagian lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel, keratinosit, sel langerhans, makrofag,

anggota reseptor sitokin yang lain, OB-Rb diinternalisasi pada saat pengikatan ligan melalui

vesikel yang terbungkus klatrin ke dalam endosom. Domain intrasel yang diperluas pada bagian

distal OB-Rb dibutuhkan untuk induksi sinyal STAT. Leptin telah terbukti mengaktifkan

berbagai isoform STAT, meliputi STAT1, STAT3, STAT5 dan STAT 6 dalam berbagai tipe sel.

Diantara berbagai protein STAT yang diaktifkan oleh OB-Rb, STAT3 terbukti memediasi sinyal

leptin dalam makrofag teraktivasi dan dalam meningkatkan survival limfosit dan aktivasi

limfosit dan sel mononuklear di darah perifer (Artwohl dkk., 2012).

Pada sel NK, leptin terlibat dalam semua proses perkembangan sel, diferensiasi,

proliferasi, aktivasi dan sitotoksisitas dan efek ini dimediasi oleh aktivasi STAT3. Berdasarkan

jaringan aktivasi protein STAT yang kompleks, analisis lanjutan mengenai regulasinya oleh

sinyal leptin pada sel imun akan memberikan pengertian yang lebih baik mengenai modulasi

imun yang dimediasi leptin. MAPK, reseptor insulin substrat 1 dan jalur fosfatidilinositol 3-

kinase juga penting untuk memediasi aktivitas leptin pada sel T imun. Pada netrofil, leptin

mengaktifkan kemotaksis melalui jalur p38 MAPK. Selanjutnya, pada PBMC jalur MAPK

tampaknya memediasi efek antiapoptotik. Jalur fosfatidilinositol 3-kinase adalah regulator untuk

sejumlah efektor, meliputi faktor transkripsi antiapoptotik NF-kB. NF-kB berperan penting

dalam memediasi berbagai sistem sinyal untuk meregulasi respon imun (Hotamisligil, 2003).

Peran leptin yang telah dijelaskan dalam fungsi sistem imun dapat bersifat relevan baik

dalam imunitas seluler maupun humoral. Efek utama leptin dalam imunitas bawaan melibatkan

aktivasi proliferasi dan fagositosis monosit/makrofag, kemotaksis netrofil, pelepasan radikal

oksigen oleh sel, serta aktivasi sel NK. Pada makrofag, leptin juga meningkatkan sekresi sitokin

proinflamasi seperti TNF-α, IL-6 dan IL-12 (Dagogo dkk., 2007).

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PSORIASIS - sinta.unud.ac.id II.pdfBagian lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel, keratinosit, sel langerhans, makrofag,

Efek leptin terhadap imunitas adaptif juga telah banyak diteliti. Leptin menstimulasi

proliferasi sel T naïf dan sekresi IL-2 oleh sel tersebut. Studi pada manusia telah menunjukkan

peran leptin dalam aktivasi limfosit. Leptin saja tidak mampu menginduksi proliferasi dan

aktivasi limfosit matur di darah perifer manusia kecuali jika diberikan bersama dengan

imunostimulan nonspesifik lain, dimana leptin menyebabkan induksi penanda aktivasi dini

(CD69) dan lambat (CD25 dan CD71) baik pada limfosit CD4 maupun CD8 (Cusin dkk., 2009).

Gambar 2.4 Peranan Leptin pada Innate dan Adaptive Immunity (Cusin dkk., 2009).

Tikus dengan mutasi gen reseptor leptin (tikus db/db) mengalami penurunan bermakna

dalam hal ukuran sel timus serta menunjukkan defek imunitas yang dimediasi sel T. Pada hewan

ekperimental, stimulus inflamasi menginduksi mRNA leptin dan meningkatkan kadar leptin

serum. Pada kondisi ini, defisiensi leptin berhubungan dengan berkurangnya inflamasi pada

hewan coba dengan penyakit autoimun dan dengan meningkatnya kerentanan terhadap infeksi

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PSORIASIS - sinta.unud.ac.id II.pdfBagian lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel, keratinosit, sel langerhans, makrofag,

oleh bakteri maupun virus (Faggioni dkk., 2010). Serupa dengan itu, manusia dengan defisiensi

leptin kongenital memiliki insiden yang jauh lebih tinggi untuk kematian akibat infeksi pada

masa kanak-kanak.

Defisiensi leptin juga berhubungan dengan meningkatnya kerentanaan terhadap toksisitas

stimulus proinflamasi seperti endotoksin dan TNF-α. Malnutrisi merupakan kondisi yang

ditandai oleh rendahnya kadar leptin juga berhubungan dengan perubahan respon imun dan

atropi timus, yang dapat dilakukan dengan pemberian leptin (Gerdes dkk., 2010). Mirip dengan

itu kadar CD4+ yang rendah dalam sirkulasi, gangguan proliferasi sel T dan gangguan pelepasan

sitokin sel T yang ditunjukkan oleh pasien dengan defisiensi leptin kongenital akan mengalami

perbaikan dengan pemberian recombinant human leptin (Lam dkk., 2007).

Efek lebih lanjut dari leptin dalam imunitas melibatkan supresi pada proliferasi sel T

regulator (Treg) CD4+ CD25+. Baru-baru ini ditunjukkan bahwa Treg yang diisolasi ternyata

menghasilkan leptin. Selanjutnya, reseptor leptin diekspresikan dalam jumlah sangat besar di

permukaan sel Treg. Netralisasi in vitro dengan antibodi monoklonal leptin saat stimulasi dengan

antibodi anti-CD3 dan anti-CD28 menyebabkan proliferasi Treg, yang dependen IL-2. Temuan

tersebut menunjukkan bahwa sinyal leptin jelas terlibat dalam mempertahankan kondisi anergi

Treg pada manusia. Sesuai dengan hal ini, baik tikus defisiensi leptin (tikus ob) maupun tikus

defisiensi reseptor leptin (tikus db) berhubungan dengan sangat meningkatnya jumlah Treg

(Flier, 2004).

Meskipun leptin telah banyak diketahui efek regulasinya terhadap sel imun, namun

ekspresi dan pelepasannya dibawah kendali rangsangan inflamasi yang berbeda. Telah

dibuktikan bahwa inflamasi akut dan sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-1, IL-6 dan faktor

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PSORIASIS - sinta.unud.ac.id II.pdfBagian lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel, keratinosit, sel langerhans, makrofag,

inhibisi leukosit, meregulasi ekspresi leptin secara positif dalam jaringan adiposa dan kadar

leptin dalam sirkulasi (Scotece dkk., 2014).

2.4.4 Peran Leptin Pada Patogenesis Psoriasis

Peningkatan kadar leptin yang terjadi selama proses infeksi dan inflamasi menunjukkan bahwa

leptin merupakan bagian dari sitokin yang mengatur repsons imun. Leptin berperan penting

dalam proses inflamasi yang melibatkan sel T dan telah dilaporkan dapat mempengaruhi

aktivitas sel Th pada respons imun (Takashi., 2012).

Di dalam makrofag/monosit, leptin akan meningkatkan regulasi fungsi fagositik melalui

aktivasi fosfolipase maupun melalui sekresi sitokin proinflamasi , seperti TNF-α, IL-6 dan IL-12.

Leptin akan menstimulasi proliferasi monosit dalam sirkulasi dan meningkatkan ekspresi

penanda protein, seperti CD-25 (rantai α reseptor IL-2), CD71 (reseptor transfer), CD69 dan

CD38, sementara itu telah terjadi peningkatan ekspresi penanda aktivasi lainnya yang sudah

terdapat dalam kadar yang tinggi pada permukaan monosit seperti HLA-DR, CD11b dan CD11c

(Casanueva dkk., 2009).

Pada sel polimorfonuklear, leptin akan menstimulasi produksi reactive oxygen species

dan kemotaksis melalui mekanisme yang juga mungkin melibatkan interaksi dengan monosit.

Pada sel NK, leptin terlibat pada semua proses perkembangan sel, diferensiasi, proliferasi,

aktivasi dan sitotoksisitas (Matarese dkk., 2014). Efek ini dimediasi setidaknya melalui aktivasi

STAT-3 dan akan meningkatkan regulasi ekspresi perforin dan gen IL-2 (Cao, 2001). Leptin

juga akan meningkatkan ketahanan sel dendritik dan ekspresi molekul permukaan, seperti CD1a,

CD80, CD83 atau CD86. Leptin menginduksi perubahan fungsional dan morfologi pada

dendritic cell (DCs), secara langsung akan mengarah ke Th1 dan meningkatkan ketahanan DC

(Scotece dkk., 2014).

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PSORIASIS - sinta.unud.ac.id II.pdfBagian lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel, keratinosit, sel langerhans, makrofag,

Pada tingkat fungsional, leptin akan memproduksi sitokin Th ke arah sitokin proinflamasi

(Th1, IFN-γ, IL-2) dibandingkan anti-inflamasi (Th2, IL-4). Efek ini mungkin dimediasi oleh

limfosit T melalui peningkatan regulasi ekspresi protein anti-apoptosis dan sinergi dengan

sitokin lain dalam proliferasi limfosit serta aktivasi melalui STAT3. Efek leptin dalam

mempolarisasi sel T menuju ke arah respon Th1 diduga diperantarai oleh stimulasi sintesis IL-2,

IL-12 dan IFN-γ, serta hambatan produksi IL-10 dan IL-4 (Sterry dkk., 2007).

Psoriasis dianggap sebagai penyakit kulit inflamasi kronis yang dimediasi sistem imun

terutama oleh sel T (dominan sitokin tipe 1), diikuti monosit/makrofag, dan neutrofil pada

lapisan dermis dan epidermis, dan ditandai dengan peningkatan proliferasi keratinosit serta

perubahan pada struktur vaskuler/kapiler dermal (Bouloumie dkk., 1998). Produksi interferon-

gamma menginduksi proliferasi keratinosit dan sel-sel endotel serta produksi sitokin-sitokin

inflamasi (IL-6, TNF-α) dan kemokin (IL-8). TNF-α, sitokin lain seperti IL-6, dan faktor

pertumbuhan terlibat dalam patogenesis psoriasis dan juga dalam mekanisme hiperproliferasi

(Casanueva dkk., 2009).

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PSORIASIS - sinta.unud.ac.id II.pdfBagian lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel, keratinosit, sel langerhans, makrofag,

Gambar 2.5. Peran Leptin pada Patogenesis Psoriasis (Takashi, 2012).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Cerman dkk didapatkan, kadar leptin serum lebih

tinggi pada pasien psoriasis (termasuk jenis lain psoriasis) dibanding pasien kontrol. Serta

disimpulkan bahwa terdapat peran leptin dalam patofisiologi psoriasis melalui mekanismenya

dalam meningkatkan sintesis sitokin tipe 1 dan menghambat poduksi sitokin tipe 2 (Kanda dkk.,

2008). Stimulasi sel Th1 inilah yang nantinya memproduksi sitokin proinflamasi seperti TNF-a

dan IL-6 yang memacu proliferasi keratinosit (Kuzmi dkk., 2013). Dengan demikian dapat

diketahui bahwa kadar leptin serum yang tinggi terlibat dalam patogenesis psoriasis khususnya

pada individu dengan berat badan berlebih, disertai peningkatan produksi berbagai jenis sitokin

proinflamasi (Bevelacqua dkk., 2006).

Psoriasis adalah penyakit inflamasi Th1 yang ditandai dengan ekspansi dan aktivasi sel

Th1 dan APC. Sitokin Th1, molekul adhesi (ICAM-1, E-selectin), dan faktor angiogenik (VEGF)

meningkat pada psoriasis, obesitas, sindrom metabolik, diabetes, dan penyakit arteri koroner.

Mediator-mediator inflamasi ini memiliki efek pleiotropik pada beberapa proses, seperti

misalnya angiogenesis, insulin signaling, adipogenesis, dan metabolisme lipid, trafficking sel

imun, dan proliferasi epidermis (Dagogo dkk., 1997). Sebaliknya, molekul inflamasi dan

hormon-hormon yang dihasilkan pada kondisi obesitas, diabetes dan aterosklerosis dapat

mempengaruhi patogenesis psoriasis melalui peningkatan suseptibilitas terhadap psoriasis atau

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PSORIASIS - sinta.unud.ac.id II.pdfBagian lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel, keratinosit, sel langerhans, makrofag,

melalui peningkatan keparahan dari psoriasis yang sudah ada. Selain itu, yang mendasari

abnormalitas imun dalam penyakit-penyakit tersebut adalah peran komplek genetik (Riejos dkk.,

2010).

Inflamasi kronis dapat menyebabkan disfungsi pada beberapa sistem organ. Sitokin Th1

seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α) meningkat pada kulit dan darah pasien psoriasis dan

akan merekrut lebih banyak sel T ke kulit dan persendian, meningkatkan proses angiogenesis dan

hiperproliferasi epidermal (Scotece dkk., 2014). Selain itu TNF-α juga disekresikan pada

jaringan adiposa dan merupakan gambaran yang penting dalam obesitas kronik. TNF-α dapat

menyebabkan resistensi insulin melalui berbagai jalan seperti misalnya mengganggu insulin

signaling dengan menghambat aktivitas tirosine kinase dari reseptor insulin melalui aktivasi

peroxisome proliferator–activated reseptor (PPAR)δ yang meningkatkan proliferase epidermal,

modulasi adipogenesis dan metabolisme glukosa, dan melalui supresi adiponectin yang

merupakan molekul anti inflamasi yang penting dalam regulasi sensitivitas insulin (Reynoso

dkk., 2003). Selain itu, inflamasi kronis psoriasis akan meningkatkan insulin-like growth factor-

II (IGF-II) di kulit dan darah pasien psoriasis, dimana IGF-II dapat meningkatkan proliferasi

epidermis, modulasi massa lemak tubuh dan metabolisme lemak pada mencit. Hal ini berkaitan

dengan hiperlipidemia pada model hewan dan manusia (Cerman dkk., 2008).

Data terbaru menyatakan bahwa selain TNF-α, IL-20 dan IL-17 juga sangat berperan di

dalam patogenesis psoriasis. IL-17 yang disekresikan oleh sel Th17 juga dapat mengaktifasi

inflamasi di berbagai sistem organ. Seperti misalnya, IL-17 juga meningkat pada serum pasien

dengan penyakit arteri koroner (Korbonits dkk., 2007). Keratinosit pada lesi psoriasis

memproduksi faktor angiogenik, yaitu VEGF, yang meningkatkan proses angiogenesis dan

aktivasi sel endotel. Nilai VEG-F meningkat dalam keadaan hiperinsulinemik seperti sindrom

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PSORIASIS - sinta.unud.ac.id II.pdfBagian lainnya yang ikut berperan diantaranya limfosit T, antigen presenting sel, keratinosit, sel langerhans, makrofag,

metabolik dimana adiposit adalah sumber primernya (Cargil dkk., 2007). Faktor genetik juga

berperan penting dalam suseptibilitas psoriasis dan gangguan metabolik, termasuk dislipidemia.

Lebih dari 20 lokus genetik yang mengandung berbagai macam jumlah gen telah dikaitkan

dengan suseptibilitas psoriasis. Dari gen-gen ini, beberapa juga dihubungkan dengan gangguan

metabolik. Lokus suseptibilitas psoriasis PSORS2, PSORS3, dan PSORS 4 juga terhubung

dengan lokus suseptibilitas untuk gangguan metabolik, diabetes tipe 2, dislipidemia dan penyakit

kardiovaskular (Logo dkk., 2007).