bab ii kajian pustaka 2.1 konsep-konsep dan definisi 2.1.1
TRANSCRIPT
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konsep-Konsep dan Definisi
2.1.1 Pengelolaan Keuangan Daerah
Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk
di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan
kewajiban daerah tersebut. Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada
peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan
bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat
untuk masyarakat. Pengelolaaan keuangan yang baik yaitu: 1) pencapaian
keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu atau penggunaan masukan
terendah untuk mencapai keluaran tertentu (efisien), 2) perolehan masukan
dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada tingkat harga terendah (ekonomis), 3)
pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan, yaitu dengan cara
membandingkan keluaran dengan hasil (efektif), 4) prinsip keterbukaan yang
memungkinkan masyarakat untuk mengetahui/mengakses informasi seluas-
luasnya tentang keuangan daerah (transparan), 5) perwujudan kewajiban setiap
orang atau satuan kerja untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan
pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan
kepadanya dalam rangka mencapai tujuan yang ditetapkan (bertanggung jawab),
15
6) keseimbangan distribusi alokasi pendanaan (keadilan), dan 7) tindakan atau
suatu sikap yang dilakukan dengan wajar dan proporsional (kepatutan).
Pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi
perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan
pengawasan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dalam
suatu sistem yang terintegrasi yang diwujudkan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah yang setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Peraturan
Pemerintah tentang pengelolaan keuangan daerah dalam pelaksanaannya
ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tanggal
23 Mei 2011 tentang perubahan kedua atas Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 13 Tahun 2006.
Dari pengertian pengelolaan keuangan daerah tersebut, maka tahapan yang
harus dilakukan dalam pengelolaan keuangan daerah adalah sebagai berikut:
1) Perencanaan Pengelolaan Keuangan Daerah
Yang harus diperhatikan dalam perencanaan adalah penetapan secara
jelas tujuan dan sasaran, hasil dan manfaat, serta indikator kinerja yang ingin
dicapai. Selain itu, harus diperhatikan penetapan prioritas kegiatan dan
perhitungan beban kerja, serta penetapan harga satuan yang rasional.
2) Pelaksanaan dan Penatausahaan Keuangan Daerah
Kepala daerah selaku pemegang kekuasaan penyelenggaraan
pemerintah daerah adalah juga pemegang kekuasaan dalam pengelolaan
16
keuangan daerah. Selanjutnya kekuasaan tersebut dilaksanakan oleh Kepala
Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Pejabat Pengelola Keuangan
Daerah dan dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku pejabat
Pengguna Anggaran/Barang daerah di bawah koordinasi Sekretaris Daerah.
Pemisahan ini akan memberikan kejelasan dalam pembagian wewenang dan
tanggungjawab, terlaksananya mekanisme checks and balances serta untuk
mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas
pemerintah.
3) Pelaporan dan Pertanggungjawaban
Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang akuntabel dan
transparan, pemerintah daerah wajib menyampaikan pertanggungjawaban
berupa Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Operasional, Laporan Arus Kas,
Laporan Perubahan Ekuitas, Neraca, Laporan Perubahan Saldo Anggaran
Lebih, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Laporan keuangan
dimaksud disusun sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah.
4) Pengawasan
Pengawasan pengelolaan keuangan daerah berpedoman pada ketentuan
peraturan perundang-undangan. Sebelum dilaporkan kepada masyarakat
melalui DPRD, laporan keuangan perlu diperiksa terlebih dahulu oleh BPK.
Kepala daerah untuk mengelola keuangan berimplikasi pada pengaturan
pengelolaan keuangan daerah, yaitu bahwa kepala daerah
(Gubernur/Bupati/Walikota) adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan
daerah dan bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan daerah sebagai bagian
17
dari kekuasaan pemerintahan daerah. Dalam melaksanakan kekuasaannya, kepala
daerah melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaan keuangan daerah kepada
para pejabat perangkat daerah. Dengan demikian pengaturan pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan daerah dapat berjalan dengan baik sesuai dengan
fungsi perangkat daerah. Pimpinan perangkat daerah selaku Pengguna Anggaran
dalam mengelola keuangan daerah di masing-masing organisasi perangkat daerah
dibantu oleh satuan Pengelola Keuangan yang terdiri dari Pejabat Penatausahaan
Keuangan dan Bendahara.
Pengelolaan keuangan daerah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tanggal 15 Mei 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tanggal 23 Mei 2011 tentang
perubahan kedua atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006.
Adapun azas pengelolaan keuangan daerah yaitu keuangan daerah dikelola secara
tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis,
transparan, bertanggungjawab, keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk
masyarakat.
Secara tertib artinya bahwa keuangan daerah dikelola secara tepat waktu
dan tepat guna yang didukung dengan bukti-bukti administrasi yang dapat
dipertanggungjawabkan. Taat pada peraturan perundang-undangan artinya bahwa
pengelolaan keuangan daerah harus berpedoman pada peraturan perundang-
undangan. Efektif merupakan pencapaian hasil program dengan target yang telah
ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil. Efisien
18
merupakan pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu atau
penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu. Ekonomis
merupakan pemerolehan masukan dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada
tingkat harga yang terendah. Transparan merupakan prinsip keterbukaan yang
memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi
seluas-luasnya tentang keuangan daerah. Bertanggung jawab merupakan
perwujudan kewajiban seseorang untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan
dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan
kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Keadilan
adalah keseimbangan distribusi kewenangan dan pendanaannya dan/atau
keseimbangan distribusi hak dan kewajiban berdasarkan pertimbangan yang
obyektif. Kepatutan adalah tindakan atau suatu sikap yang dilakukan dengan
wajar dan proporsional. Manfaat untuk masyarakat adalah bahwa keuangan
daerah diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Menurut Dedi Kusmayadi (2009) dalam Boekorsjom, pengelolaan
keuangan daerah berpengaruh terhadap good governance. Semakin efisien dan
efektifnya penatausahaan keuangan daerah yang merupakan bagian dari siklus
pengelolaan keuangan daerah yang meliputi perencanaan, pelaksanaan,
penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pemeriksaan keuangan
daerah akan memberikan dampak yang baik terhadap pencapaian good
governance yakni terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan
pemerintahan yang bersih, efisien, efektif, transparan, profesional dan akuntabel.
Menurut Nurlan Darise (2009) dalam Boekorsjom keberhasilan pengelolaan
19
keuangan daerah mempunyai dampak langsung terhadap keberhasilan otonomi
daerah dan sumbangan yang besar dalam upaya mewujudkan good governance.
Menurut Auditya (2013), SAKIP adalah gambaran mengenai tingkat
pencapaian sasaran ataupun tujuan instansi pemerintah sebagai penjabaran dari
visi, misi dan strategi instansi pemerintah yang mengindikasikan tingkat
keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan-kegiatan sesuai dengan program
dan kebijakan yang ditetapkan. Tingkat keberhasilan tersebut dipengaruhi oleh
pengelolaan keuangan daerah. Setelah suatu sistem pengelolaan keuangan
terbentuk, perlu disiapkan suatu alat untuk mengukur kinerja dan mengendalikan
pemerintahan agar tidak terjadi KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), tidak
adanya kepastian hukum dan stabilitas politik, dan ketidakjelasan arah dan
kebijakan pembangunan.
2.1.2 Sistem Pengendalian Internal Pemerintah
Sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2008,
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) adalah proses yang integral pada
tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan
seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan
organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan
keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-
undangan. Pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan pemerintahan
dilaksanakan dengan berpedoman pada SPIP.
20
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) adalah sistem pengendalian
intern yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat
dan pemerintah daerah. Pengawasan intern adalah seluruh proses kegiatan audit,
reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap
penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan
keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok
ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan
dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik. Indikator sistem pengendalian
intern pemerintah terdiri dari.
1) Lingkungan pengendalian (control environment)
Terdiri dari tindakan, kebijakan dan prosedur yang mencerminkan
sikap menyeluruh manajemen puncak, direktur dan pemilik suatu entitas
terhadap pengendalian intern dan pentingnya pengendalian tersebut. Pimpinan
instansi pemerintah wajib menciptakan dan memelihara lingkungan
pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk
penerapan sistem pengendalian intern dalam lingkungan kerjanya, melalui:
penegakan integritas dan nilai etika, komitmen terhadap kompetensi,
kepemimpinan yang kondusif, pembentukan struktur organisasi yang sesuai
dengan kebutuhan, pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat,
penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber
daya manusia, perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang
efektif, dan hubungan kerja yang baik dengan instansi pemerintah terkait.
21
2) Penilaian risiko (risk assessment)
Adalah sebagai suatu proses untuk mengidentifikasikan, menaksir,
mengelola dan mengendalikan situai atau kejadian-kejadian potensial untuk
memberikan keyakinan memadai bahwa tujuan organisasi tercapai. Dalam
rangka penilaian risiko, pimpinan instansi pemerintah menetapkan tujuan
instansi pemerintah dan tujuan pada tingkatan kegiatan dengan berpedoman
pada peraturan perundang-undangan. Tujuan instansi pemerintah memuat
pernyataan dan arahan yang spesifik, terukur, dapat dicapai, realistis, dan
terikat waktu. Penetapan tujuan pada tingkatan kegiatan dilakukan dengan
memperhatikan ketentuan sebagai berikut: berdasarkan pada tujuan dan
rencana strategis instansi pemerintah, saling melengkapi, saling menunjang,
dan tidak bertentangan satu dengan lainnya, relevan dengan seluruh kegiatan
utama instansi pemerintah, mengandung unsur kriteria pengukuran, didukung
sumber daya instansi pemerintah yang cukup, dan melibatkan seluruh tingkat
pejabat dalam proses penetapannya.
3) Kegiatan pengendalian (control activity)
Adalah kebijakan dan prosedur yang membantu meyakinkan bahwa
tindakan yang diperlukan telah dilaksanakan untuk menghadapi risiko dalam
pencapaian tujuan entitas. Pimpinan instansi pemerintah wajib
menyelenggarakan kegiatan pengendalian sesuai dengan ukuran,
kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi instansi pemerintah yang
bersangkutan. Penyelenggaraan kegiatan pengendalian sekurang-kurangnya
memiliki karakteristik sebagai berikut: kegiatan pengendalian diutamakan
22
pada kegiatan pokok instansi pemerintah, kegiatan pengendalian harus
dikaitkan dengan proses penilaian risiko, kegiatan pengendalian yang dipilih
disesuaikan dengan sifat khusus instansi pemerintah, kebijakan dan prosedur
harus ditetapkan secara tertulis, prosedur yang telah ditetapkan harus
dilaksanakan sesuai yang ditetapkan secara tertulis, dan kegiatan pengendalian
dievaluasi secara teratur untuk memastikan bahwa kegiatan tersebut masih
sesuai dan berfungsi seperti yang diharapkan.
4) Informasi dan komunikasi (information and communication)
Tujuan terselenggarakannya sistem informasi dan komunikasi adalah
untuk mengidentifikasi, mencatat, memproses, dan melaporkan transaksi
entitas dan untuk memelihara akuntabilitas organisasi. Pimpinan instansi
pemerintah wajib mengidentifikasi, mencatat, dan mengkomunikasikan
informasi dalam bentuk dan waktu yang tepat. Untuk menyelenggarakan
komunikasi yang efektif, pimpinan instansi pemerintah harus sekurang-
kurangnya menyediakan dan memanfaatkan berbagai bentuk dan sarana
komunikasi dan mengelola, mengembangkan, dan memperbarui sistem
informasi secara terus menerus.
5) Pemantauan (monitoring)
Merupakan proses penilaian kualitas kinerja pengendalian intern
sepanjang waktu. Pimpinan instansi pemerintah wajib melakukan pemantauan
sistem pengendalian intern. Pemantauan sistem pengendalian intern
dilaksanakan melalui pemantauan berkelanjutan, evaluasi terpisah, dan tindak
lanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya. Pemantauan berkelanjutan
23
diselenggarakan melalui kegiatan pengelolaan rutin, supervisi, pembandingan,
rekonsiliasi, dan tindakan lain yang terkait dalam pelaksanaan tugas. Evaluasi
terpisah diselenggarakan melalui penilaian sendiri, reviu, dan pengujian
efektivitas sistem pengendalian intern. Evaluasi terpisah dapat dilakukan oleh
aparat pengawasan intern pemerintah atau pihak eksternal pemerintah.
Evaluasi terpisah dapat dilakukan dengan menggunakan daftar uji
pengendalian intern.
Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP) merupakan suatu cara
untuk mengarahkan, mengawasi, dan mengukur sumber daya suatu organisasi,
serta berperan penting dalam pencegahan dan pendeteksian penggelapan (fraud).
Pengendalian intern terdiri atas kebijakan dan prosedur yang digunakan dalam
mencapai sasaran dan menjamin atau menyediakan informasi keuangan yang
andal, serta menjamin ditaatinya hukum dan peraturan yang berlaku. Dilihat dari
tujuan tersebut, maka sistem pengendalian intern dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
pengendalian intern akuntansi dan pengendalian administratif. Pengendalian
intern akuntansi dibuat untuk mencegah terjadinya inefisiensi yang tujuannya
adalah menjaga kekayaan organisasi dan memeriksa keakuratan data akuntansi.
Sebagai contoh, adanya pemisahan fungsi dan tanggung jawab antar unit
organisasi. Pengendalian administratif dibuat untuk mendorong dilakukannya
efisiensi dan mendorong dipatuhinya kebijakan manajemen. Contohnya adalah
adanya pemeriksaan laporan untuk mencari penyimpangan yang ada, untuk
kemudian diambil tindakan.
24
Menurut Abdul Rohman (2009) dalam Kuswandari, SPIP berpengaruh
terhadap SAKIP, dan membantu para anggota organisasi dalam melaksanakan
tanggung jawab secara efektif dan mencapai kinerja yang lebih baik. Fungsi
pengawasan intern memonitor apakah perilaku sudah berorientasi pada
pencapaian kinerja yang baik, dan melakukan koreksi atau perilaku dan hasil yang
menyimpang dari kinerja yang diinginkan. Sukmaningrum (2012) dalam Yusniar
(2016) mengemukakan bahwa, sistem pengendalian intern meliputi berbagai alat
manajemen yang bertujuan mencapai berbagai tujuan yang luas. Dengan
demikian, pengendalian intern merupakan pondasi good governance dan garis
pertama dalam melawan ketidakabsahan data dan informasi kinerja, sehingga
pengendalian intern pemerintah berhubungan dengan good governance.
2.1.3 Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, yang selanjutnya disingkat
AKIP, adalah rangkaian sistematik dari berbagai aktivitas, alat, dan prosedur yang
dirancang untuk tujuan penetapan dan pengukuran, pengumpulan data,
pengklasifikasian, pengikhtisaran, dan pelaporan kinerja pada instansi
pemerintah, dalam rangka pertanggungjawaban dan peningkatan kinerja instansi
pemerintah. LAKIP merupakan dokumen yang berisi gambaran perwujudan
AKIP yang disusun dan disampaikan secara sistematik dan melembaga sesuai
dengan Surat Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor
239/IX/6/8/2003 Tahun 2003 tentang Perbaikan Pedoman Penyusunan Laporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Setiap instansi pemerintah
25
berkewajiban untuk menyiapkan, menyusun dan menyampaikan laporan kinerja
secara tertulis, periodik dan melembaga. Pelaporan kinerja ini dimaksudkan
untuk mengkomunikasikan capaian kinerja instansi pemerintah dalam suatu tahun
anggaran yang dikaitkan dengan proses pencapaian tujuan dan sasaran instansi
pemerintah. Instansi pemerintah yang bersangkutan harus
mempertanggungjawabkan dan menjelaskan keberhasilan dan kegagalan tingkat
kinerja yang dicapainya.
Pelaporan kinerja oleh instansi pemerintah ini kemudian dituangkan
dalam dokumen LAKIP. LAKIP dapat dikategorikan sebagai laporan rutin,
karena paling tidak disusun dan disampaikan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan setahun sekali. Dalam rangka memenuhi tujuan tersebut perlu
diatur prinsip-prinsip dalam penyusunan LAKIP agar LAKIP yang disusun
tersebut berkualitas, sehingga dapat dilaporkan dan dipertanggungjawabkan
kepada para stakeholders/pemangku kepentingan terhadap proses
penyelenggaraan pemerintahan.
Penguatan akuntabilitas kinerja merupakan salah satu program yang
dilaksanakan dalam rangka reformasi birokrasi untuk mewujudkan pemerintahan
yang bersih dan bebas dari KKN, meningkatnya kualitas pelayanan publik kepada
masyarakat, dan meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi.
Penguatan akuntabilitas ini dilaksanakan dengan penerapan Sistem Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Presiden Nomor 29 Tahun 2014 tentang SAKIP.
26
Untuk mengetahui sejauh mana instansi pemerintah mengimplementasikan
Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP)-nya, serta sekaligus
untuk mendorong adanya peningkatan kinerja instansi pemerintah, maka perlu
dilakukan suatu evaluasi implementasi SAKIP. Evaluasi ini dapat mendorong
instansi pemerintah di pusat dan daerah untuk secara konsisten meningkatkan
implementasi SAKIP-nya dan mewujudkan capaian kinerja (hasil) instansinya
sesuai yang diamanahkan dalam RPJMN/RPJMD.
Dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2015 tentang Pedoman Evaluasi
Atas Implementasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, indikator
yang digunakan yaitu:
1) Perencanaan Kinerja
Untuk mengukur perencanaan kinerja instansi pemerintah, dilakukan
penilaian atas tujuan yang ditetapkan harus dilengkapi dengan ukuran
keberhasilan yang memrepresentasikan tercapai/terwujud atau tidaknya tujuan
yang ditetapkan. RPJMD/Renstra harus menyajikan Indikator Kinerja Utama
(IKU). RPJMD/Renstra dikatakan menyajikan/memanfaatkan IKU jika tujuan
dan atau sasaran yang ada dapat direpresentasikan/relevan dengan IKU yang
sudah diformalkan. Tujuan yang ditetapkan harus berorientasi hasil.
Maksudnya, berkualitas outcome atau output penting, bukan merupakan
proses/kegiatan, menggambarkan kondisi atau output penting yang ingin
diwujudkan atau seharusnya terwujud, terkait dengan isu strategis organisasi,
dan sesuai dengan tugas dan fungsi organisasi.
27
Ukuran keberhasilan (indikator) tujuan (outcome) telah memenuhi
kriteria ukuran keberhasilan yang baik yaitu specific (tidak berdwimakna),
measureable (dapat diukur, dapat diidentifikasi satuan atau parameternya),
achievable (dapat dicapai, relevan dengan tugas fungsinya dan dalam
kendalinya), relevance (terkait langsung dengan apa yang akan diukur),
timebound (mengacu atau menggambarkan kurun waktu tertentu).
2) Pengukuran Kinerja
Untuk mengukur perencanaan kinerja instansi pemerintah, dilakukan
penilaian atas pemenuhan pengukuran yaitu: terdapat pedoman atau SOP
tentang pengumpulan data kinerja yang up to date, ada kemudahan untuk
menelusuri sumber datanya yang valid, ada kemudahan untuk mengakses data
bagi pihak yang berkepentingan, terdapat penanggungjawab yang jelas, jelas
waktu deliverynya, dan terdapat SOP yang jelas jika terjadi kesalahan data.
Indikator kinerja utama harus memenuhi kriteria indikator yang baik.
Indikator dikategorikan relevan apabila terkait langsung dengan kinerja
(sasaran) utama atau kondisi yang akan diukur, mewakili (representative)
kinerja (sasaran) utama atau kondisi yang akan diwujudkan.
3) Pelaporan Kinerja
Untuk mengukur perencanaan kinerja instansi pemerintah, dilakukan
penilaian atas pemenuhan pelaporan serta penyajian informasi kinerja.
Laporan kinerja harus menyajikan informasi pencapaian sasaran yang
berorientasi outcome. Artinya, informasi yang disajikan dalam laporan kinerja
menggambarkan hasil-hasil termasuk output-output penting yang telah dicapai
28
dan seharusnya tercapai sampai dengan saat ini. Laporan kinerja tidak hanya
berfokus pada informasi tentang kegiatan atau proses yang telah dilaksanakan
pada tahun yang bersangkutan. Laporan kinerja tidak berorientasi hanya pada
informasi tentang realisasi seluruh anggaran yang telah digunakan. Laporan
kinerja menguraikan hasil evaluasi dan analisis tentang capaian-capaian
kinerja outcome atau output penting, bukan hanya proses atau realisasi
kegiatan-kegiatan yang ada di dokumen anggaran.
Informasi yang disajikan harus digunakan dalam perbaikan
perencanaan. Artinya laporan kinerja yang disusun sampai dengan saat ini
telah berdampak kepada perbaikan perencanaan, baik perencanaan jangka
menengah, tahunan maupun dalam penetapan atau perjanjian kinerja yang
disusun. Dengan memanfaatkan informasi kinerja akan mengakibatkan
perbaikan dalam pengelolaan program dan kegiatan dan dapat menyimpulkan
keberhasilan atau kegagalan program secara terukur.
4) Evaluasi Kinerja
Terdapat pemantauan kemajuan terhadap pencapaian kinerja beserta
hambatannya dengan cara mengidentifikasi, mencatat, mencari tahu,
mengadministrasikan kemajuan (progress) kinerja, dapat menjawab atau
menyimpulkan posisi (prestasi atau capaian) kinerja terakhir, mengambil
langkah yang diperlukan untuk mengatasi hambatan pencapaian kinerja, serta
melaporkan hasil pemantauan tersebut kepada pimpinan. Evaluasi atas
pelaksanaan rencana aksi harus dilakukan. Adapun kriteria pelaksanaan
rencana aksi yaitu terdapat informasi tentang capaian hasil-hasil rencana atau
29
agenda, simpulan keberhasilan atau ketidakberhasilan rencana atau agenda,
analisis dan simpulan tentang kondisi sebelum dan sesudah dilaksanakannya
suatu rencana atau agenda, serta terdapat ukuran yang memadai tentang
keberhasilan rencana atau agenda.
5) Capaian Kinerja
Menilai dan menganalisis capaian kinerja organisasi sangatlah penting,
Hal ini untuk meyakinkan bahwa kinerja dari waktu ke waktu menunjukkan
peningkatan dalam rangka menuju tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan
sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Rencana Strategis. Dengan
demikian hasil pengukuran akan memudahkan untuk menilai apakah berhasil
atau tidak berhasil. Menilai capaian kinerja perlu diciptakan dan dibangun
oleh berbagai pihak terkait untuk menghindari kesalahan interpretasi selama
pelaksanaan kebijakan/program/kegiatan dan dalam mengukur kinerja.
Komponen capaian kinerja yaitu target yang telah ditetapkan dapat
dicapai, capaian kinerja lebih baik dari tahun sebelumnya, serta informasi
mengenai kinerja dapat diandalkan. Kriteria informasi kinerja dapat
diandalkan adalah sebagai berikut: diperoleh dari dasar perhitungan
(formulasi) yang valid, dihasilkan dari sumber-sumber atau basis data yang
dapat dipercaya (kompeten), dapat ditelusuri sumber datanya, dapat
diverifikasi, dan up to date.
Evaluasi penerapan AKIP diukur melalui laporan akuntabilitas kinerja
instansi pemerintah (LAKIP). Evaluasi LAKIP bertujuan untuk memperoleh
informasi tentang implementasi AKIP dan saran perbaikan dalam meningkatkan
30
kinerja serta penguatan akuntabilitas instansi pemerintah sesuai dengan prioritas
program pemerintah. Adapun kategori penilaian adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1Kategori Hasil Evaluasi LAKIP
No Kategori Nilai Angka Interpretasi
1 2 3 4
1 AA >90-100 Sangat Memuaskan
2 A >80-90 Memuaskan, memimpin perubahan, berkinerja tinggi, dan sangat akuntabel
3 BB >70-80 Sangat Baik, akuntabel, berkinerja baik, memiliki sistem manajemen kinerja yang andal
4 B >60-70 Baik, akuntabilitas kinerjanya sudah baik, memiliki sistem yang dapat digunakan untuk manajemen kinerja, dan perlu sedikit perbaikan
5 CC >50-60 Cukup, memadai, akuntabilitas kinerjanya cukup baik, taat kebijakan, memiliki sistem yang dapat digunakan untuk memproduksi informasi kinerja untuk pertanggungjawaban, perlu banyak perbaikan tidak mendasar
6 C >30-50 Kurang, sistem dan tatanan kurang dapat diandalkan, memilikisistem untuk manajemen kinerja tapi perlu banyak perbaikan minor dan perbaikan yang mendasar.
7 D 0-30 Sangat Kurang, sistem dan tatanan tidak dapat diandalkan untuk penerapan manajemen kinerja, perlu perbaikan, yang sangat mendasar
Sumber: Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RepublikIndonesia, 2015
Sebagaimana diamanatkan oleh Presiden Republik Indonesia tertanggal 14
Maret 2000, terwujudnya good governance merupakan tuntutan bagi
terselenggaranya manajemen pemerintahan dan pembangunan yang berdaya guna,
berhasil guna, dan bebas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Dalam rangka
itu diperlukan sistem akuntabilitas yang baik pada keseluruhan jajaran aparatur
negara. Implementasi SAKIP dan penerapan good governance memiliki
keterkaitan yang sangat erat berdasarkan pertimbangan bahwa pelaporan SAKIP
31
merupakan metode reformasi yang tipikal, SAKIP sebagai instrumen
pertanggungjawaban (LAN dan BPKP, 2000).
Menurut Badrusaman, akuntabilitas suatu instansi yang diwujudkan
melalui implementasi SAKIP sangat penting terhadap penerapan prinsip-prinsip
good governance, yaitu untuk memperoleh keyakinan memadai bahwa tujuan
suatu usaha atau kegiatan yang spesifik akan dapat dicapai dan dapat mencegah
hilangnya sumber daya. Mengingat dewasa ini good governance merupakan salah
satu topik pembahasan atau isu penting, maka hal ini menimbulkan pertanyaan
tentang kapasitas good governance di instansi pemerintah. Hal tersebut dapat
dicapai salah satunya dengan mengimplementasikan SAKIP pada instansi
pemerintah. Dengan demikian, tidak hanya memastikan peningkatan kinerja,
tetapi juga menciptakan suatu lingkungan akuntabilitas yang didorong dan
dimonitor.
2.1.4 Good Governance
Definisi good governance menurut LAN dan BPKP adalah
penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta
efisien dan efektif, dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif
diantara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat (society). Menurut
LAN dan BPKP, proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam
menyediakan barang dan jasa umum di sebut governance (pemerintah atau
kepemerintahan), sedang praktek terbaiknya disebut good governance
(kepemerintahan yang baik). Dituntut dalam pelaksanaan yaitu; koordinasi
32
(aligment) yang baik dan integrasi, profesionalisme, serta etos kerja dan moral
yang tinggi.
Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas
prinsip-prinsip di dalamnya. Dari prinsip-prinsip tersebut akan didapat tolak ukur
kinerja suatu pemerintahan. Namun tolak ukur itu dapat dilihat apabila kinerja
suatu pemerintahan telah bersinggungan dengan semua unsur good governance.
Menyadari pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip good governance diurai satu
persatu sebagai mana tertera di bawah ini:
1) Partisipasi masyarakat (participation)
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan
keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga
perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh
tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan
pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif. Sebagai
pemilik kedaulatan, setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban untuk
mengambil bagian dalam proses bernegara, berpemerintahan, serta
bermasyarakat. Partisipasi tersebut dapat dilakukan secara langsung ataupun
melalui institusi intermediasi, seperti DPRD, LSM, dan lainnya. Partisipasi
yang diberikan dapat berbentuk buah pikiran, dana, tenaga, ataupun bentuk-
bentuk lainnya yang bermanfaat. Partisipasi warga negara dilakukan tidak
hanya pada tahapan implementasi, tetapi secara menyeluruh, mulai tahapan
penyusunan kebijakan, pelaksanaan, evaluasi, serta pemanfaatan hasil-
hasilnya. Syarat utama warga negara disebut berpartisipasi dalam kegiatan
33
berbangsa, bernegara, dan berpemerintahan, yaitu: ada rasa kesukarelaan, ada
keterlibatan secara emosional, dan memperoleh manfaat secara langsung
maupun tidak langsung dari keterlibatannya.
2) Penegakan hukum (rule of law)
Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu,
termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
Good governance dilaksanakan dalam rangka demokratisasi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Salah satu syarat kehidupan demokrasi adalah
adanya penegakan hukum yang adil dan tidak pandang bulu. Tanpa penegakan
hukum yang tegas, tidak akan tercipta kehidupan yang demokratis, tetapi
anarki. Tanpa penegakan hukum, orang secara bebas berupaya mencapai
tujuannya sendiri tanpa mengindahkan kepentingan orang lain dengan
menghalalkan segala cara. Oleh karena itu, langkah awal penciptaan good
governance adalah membangun sistem hukum yang sehat, baik perangkat
lunaknya, perangkat kerasnya maupun sumber daya manusia yang
menjalankan sistemnya.
3) Transparansi (transparancy)
Transparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh
proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh
pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai
agar dapat dimengerti dan dipantau. Salah satu karakteristik good governance
adalah keterbukaan. Karakteristik ini sesuai dengan semangat zaman yang
serba terbuka adanya revolusi informasi. Keterbukaan tersebut mencakup
34
semua aspek aktivitas yang menyangkut kepentingan publik, dari proses
pengambilan keputusan, penggunaan dana-dana publik, sampai pada tahapan
evaluasi.
4) Daya tanggap (responsiveness)
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha
melayani semua pihak yang berkepentingan baik itu dari pihak swasta maupun
masyarakat. Sebagai konsekuensi logis dari keterbukaan, setiap komponen
yang terlibat dalam proses pembangunan good governance harus memiliki
daya tanggap terhadap keinginan atau keluhan para pemegang saham (stake
holder). Upaya peningkatan daya tanggap tersebut, terutama ditujukan pada
sektor publik yang selama ini cenderung tertutup, arogan, serta berorientasi
pada kekuasaan. Untuk mengetahui kepuasan masyarakat terhadap pelayanan
yang diberikan oleh sektor publik, secara periodik perlu dilakukan survei
untuk mengetahui tingkat kepuasan konsumen (customer satisfaction).
5) Berorientasi pada konsensus
Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan
yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa
yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin,
konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur. Kegiatan
bernegara, berpemerintahan, dan bermasyarakat pada dasarnya merupakan
aktivitas politik, yang berisi dua hal utama, yaitu konflik dan konsensus.
Dalam good governance, pengambilan keputusan ataupun pemecahan masalah
bersama lebih diutamakan berdasarkan konsensus, yang dilanjutkan dengan
35
kesediaan untuk konsisten melaksanakan konsensus yang telah diputuskan
bersama. Konsensus bagi bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah hal yang
baru, karena nilai dasar dalam memecahkan persoalan bangsa adalah melalui
musyawarah untuk mufakat.
6) Keadilan (equity)
Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau
mempertahankan kesejahteraan mereka. Melalui prinsip good governance,
setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh
kesejahteraan. Akan tetapi, karena kemampuan masing-masing warga negara
berbeda-beda, sektor publik harus memainkan peranan agar kesejahteraan dan
keadilan dapat berjalan seiring sejalan.
7) Efektif dan efisien (efectiveness and efficiency)
Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil
sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber
daya yang ada seoptimal mungkin. Agar mampu berkompetisi secara sehat
dalam percaturan dunia, kegiatan ketiga domain dan governance harus
mengutamakan efektivitas dan efisiensi dalam setiap kegiatan. Tekanan
perlunya efektivitas dan efisiensi terutama ditujukan pada sektor publik karena
sektor ini menjalankan aktivitasnya secara monopolistik. Tanpa kompetisi,
tidak akan ada efisiensi.
8) Akuntabilitas (accountability)
Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-
organisasi masyarakat bertanggungjawab baik kepada masyarakat maupun
36
kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggungjawaban
tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang
bersangkutan. Setiap aktivitas yang berkaitan dengan kepentingan publik perlu
mempertanggungjawabkan kepada publik. Tanggung gugat dan tanggung
jawab tidak hanya diberikan kepada atasan saja, tetapi juga pada para
pemegang saham yaitu masyarakat luas.
9) Visi strategis (strategic vision)
Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh
ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta
kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan
tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas
kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
Dalam era yang berubah secara dinamis, setiap domain dalam good
governance harus memiliki visi yang strategis. Tanpa visi semacam itu, suatu
bangsa dan negara akan mengalami ketertinggalan. Visi itu, dapat dibedakan
antara visi jangka panjang (long time vision) antara 20 sampai 25 tahun serta
visi jangka pendek (short time vision) sekitar 5 tahun.
Selain prinsip-prinsip good governance sebagaimana terurai di atas,
terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi good governance antara lain
pengelolaan keuangan daerah, Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
(SAKIP), Sistem Pengendalian Internal Instansi Pemerintah (SPIP), dan
pemberdayaan sumber daya manusia.
37
Secara teori good governance dikatakan menekankan pada proses
pengelolaan pemerintahan dengan adanya stakeholders yang terlibat dalam bidang
sosial, ekonomi dan juga politik serta ikut juga terlibat dalam pendayaan sumber
daya yang ada, manusia atau pun keuangan yang dilaksanakan menurut keperluan
masing-masing. Sehingga diadakannya pengelolaan keuangan daerah
dimaksudkan agar pengelolaan keuangan rakyat yang dipegang oleh pemerintah
dilakukan dengan transparan baik dari proses penyusunan hingga pertanggung
jawabannya sehingga akan tercipta akuntabilitas didalam pengelolaannya.
Pengelolaan keuangan yang efektif dan efisien adalah salah satu wujud tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) yang merupakan salah satu prinsip
dari good governance (Ristanti, 2014).
Implementasi SAKIP dan penerapan good governance memiliki
keterkaitan yang sangat erat berdasarkan pertimbangan bahwa pelaporan SAKIP
merupakan metode reformasi yang tipikal, SAKIP sebagai instrumen
pertanggungjawaban/tanggung gugat/kewajiban memberikan jawaban (LAN dan
BPKP, 2000). SAKIP sebagai salah satu sarana untuk perwujudan good
governance. SAKIP sebagai jawaban atas tantangan sektor publik dalam
mewujudkan akuntabilitas publik serta good governance merupakan tujuan akhir
SAKIP (LAN dan BPKP, 2000). Menurut Badrusaman, untuk mengetahui
penerapan good governance dapat diukur sesuai dengan komponen-komponen
yang mendasari SAKIP.
Sistem pengendalian intern meliputi berbagai alat manajemen yang
bertujuan mencapai berbagai tujuan yang luas. Dengan demikian, pengendalian
38
intern merupakan pondasi good governance dan garis pertama dalam melawan
ketidakabsahan data dalam penyelenggaraan pemerintahan sehingga pengendalian
intern pemerintah berhubungan dengan good governance (Yusniyar, 2016).
Pemberdayaan sumber daya manusia dapat diterapkan pada sumber daya
manusia aparatur pemerintah yang mempunyai peran sangat penting mengingat
tugas-tugas pemerintah yang makin kompleks dimasa mendatang (Harahap,
2012). Tugas-tugas tersebut bermuara pada pencapaian tujuan pemerintah dalam
rangka mewujudkan good governance. Pada umumnya, tuntutan dan harapan
masyarakat terhadap sumber daya manusia aparaturnya sangat besar.
2.2. Teori-Teori yang Relevan
2.2.1 Teori Good Governance
Kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan isu yang paling
mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik. Tuntutan gencar yang
dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintahan untuk melaksanakan
penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah sejalan dengan meningkatnya
tingkat pengetahuan masyarakat, di samping adanya pengaruh globalisasi. Pola-
pola lama penyelenggaraan pemerintahan tidak sesuai lagi bagi tatanan
masyarakat yang telah berubah. Oleh karena itu, tuntutan itu merupakan hal yang
wajar dan sudah seharusnya direspon oleh pemerintah dengan melakukan
perubahan-perubahan yang terarah pada terwujudnya penyelenggaraan
pemerintahan yang baik.
39
Negara, sebagai satu unsur kepemerintahan, di dalamnya termasuk
lembaga-lembaga politik dan lembaga-lembaga sektor publik. Sektor swasta
meliputi perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak di berbagai bidang dan
sektor informal lain di pasar. Ada anggapan bahwa sektor swasta adalah bagian
dari masyarakat. Namun demikian sektor swasta dapat dibedakan dengan
masyarakat karena sektor swasta mempunyai pengaruh terhadap kebijakan-
kebijakan sosial, politik, dan ekonomi yang dapat menciptakan lingkungan yang
lebih kondusif bagi pasar dan perusahaan-perusahaan itu sendiri. Sedangkan
masyarakat (society) terdiri dari individual maupun kelompok (baik yang
terorganisasi maupun tidak) yang berinteraksi secara sosial, politik, dan ekonomi
dengan aturan formal maupun tidak formal. Society meliputi lembaga swadaya
masyarakat, organisasi profesi dan lain-lain.
Arti good dalam good governance sendiri mengandung dua pengertian:
pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat dan nilai-
nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat yang dalam pencapaian tujuan
(nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial; kedua,
aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam
pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Berdasarkan
pengertian ini, good governance berorientasi pada, yaitu: pertama, orientasi ideal
negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional; kedua pemerintahan
yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan efisien dalam melakukan
upaya mencapai tujuan nasional.
40
Atas dasar uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa wujud good
governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan
bertanggungjawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga kesinergian interaksi
yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat
(society). Oleh karena good governance meliputi sistem administrasi negara,
maka upaya mewujudkan good governance juga merupakan upaya melakukan
penyempurnaan pada sistem administrasi negara yang berlaku pada suatu negara
secara menyeluruh.
Jika dilihat dari ketiga domain dalam governance, tampaknya domain
pemerintah menjadi domain yang paling memegang peranan penting dalam
mewujudkan good governance karena fungsi pengaturan yang memfasilitasi
domain sektor dunia usaha swasta dan masyarakat, serta fungsi administratif
penyelenggaraan pemerintahan melekat pada domain ini. Peran pemerintah
melalui kebijakan-kebijakan publiknya sangat penting dalam memfasilitasi
terjadinya mekanisme pasar yang benar sehingga penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi di dalam pasar dapat dihindari. Oleh karena itu, upaya-upaya
perwujudan ke arah good governance dapat dimulai dengan membangun landasan
demokratisasi penyelenggaraan negara dan bersamaan dengan itu dilakukan upaya
pembenahan penyelenggara pemerintahan sehingga dapat terwujud good
government.
Prinsip-prinsip good governance dalam praktik penyelenggaraan negara
dituangkan dalam tujuh asas umum penyelenggaraan negara sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
41
Negara yang Berih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Prinsip atau asas
umum dalam penyelenggaraan negara yang tercantum dalam Undang-Undang
Nomor 28 tahun 1999 meliputi sebagai berikut:
1) Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam
setiap kebijakan penyelenggaraan negara.
2) Asas tertib penyelenggaraan negara adalah asas yang menjadi landasan
keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian
penyelenggaraan negara.
3) Asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum
dengan cara aspiratif, akomodatif, dan selektif.
4) Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif,
tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan
atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.
5) Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara
hak dan kewajiban penyelenggaraan negara.
6) Asas profersionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
7) Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan
hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
42
kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Good governance hanya bermakna bila keberadaannya ditopang oleh
lembaga yang melibatkan kepentingan publik. Jenis lembaga tersebut adalah
negara, sektor swasta, dan masyarakat. Negara berperan menciptakan kondisi
politik, ekonomi dan sosial yang stabil; membuat peraturan yang efektif dan
berkeadilan; menyediakan publik servis yang efektif dan accountable;
menegakkan hak asasi manusia; melindungi lingkungan hidup; dan mengurus
standar kesehatan dan standar keselamatan publik. Sektor swasta berperan
menjalankan industri; menciptakan lapangan kerja; menyediakan insentif bagi
karyawan; meningkatkan standar hidup masyarakat; memelihara lingkungan
hidup; menaati peraturan; transfer ilmu pengetahuan dan tehnologi kepada
masyarakat; dan menyediakan kredit bagi pengembangan usaha kecil dan
menengah. Masyarakat berperan menjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi;
mempengaruhi kebijakan publik; sebagai sarana checks and balances pemerintah;
mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah; mengembangkan
suumber daya manusia; dan sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat.
Terwujudnya good governance merupakan tuntutan bagi terselenggaranya
manajemen pemerintahan dan pembangunan yang berdaya guna, berhasil guna,
dan bebas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Dalam rangka itu diperlukan
sistem akuntabilitas yang baik pada keseluruhan jajaran aparatur negara.
43
2.2.2 Teori Akuntabilitas
Keberadaan akuntabilitas sebagai suatu sistem sudah cukup lama, karena
sejarah akuntabilitas sudah dimulai sejak jaman Mesopotamia pada tahun 4000
SM, dimana pada saat itu sudah dikenal adanya Hukum Hammurabi yang
mewajibkan seseorang (raja) untuk mempertanggungjawabkan segala tindakan-
tindakannya kepada pihak yang memberi wewenang atau wangsit kepadanya.
Untuk menyatakan keberadaan akuntabilitas sebagai suatu sistem dan agar dapat
memahami secara utuh, perlu memperhatikan beberapa hal yaitu: perkembangan,
jenis, tantangan dan hambatan, lingkungan yang mempengaruhi terselenggaranya
akuntabilitas, hal-hal yang perlu diperhatikan untuk keberhasilan akuntabilitas
serta media akuntabilitas.
Dalam akuntabilitas terkandung kewajiban untuk menyajikan dan
melaporkan segala tindak tanduk dan kegiatannya terutama di bidang administrasi
keuangan kepada pihak yang lebih tinggi/atasannya. Dalam hal ini, terminologi
akuntabilitas dilihat dari sudut pandang pengendalian tindakan pada pencapaian
tujuan. Tolok ukur atau indikator pengukuran kinerja adalah kewajiban individu
dan organisasi untuk mempertanggungjawabkan capaian kinerjanya melalui
pengukuran yang seobyektif mungkin. Media pertanggungjawaban dalam konsep
akuntabilitas tidak terbatas pada laporan pertanggungjawaban saja, tetapi
mencakup juga praktek-praktek kemudahan si pemberi mandat mendapatkan
informasi, baik langsung maupun tidak langsung secara lisan maupun tulisan.
Dengan demikian, akuntabilitas akan tumbuh subur pada lingkungan yang
mengutamakan keterbukaan sebagai landasan pertanggungjawabannya.
44
Menurut J.B. Ghartey, akuntabilitas ditujukan untuk mencari jawaban
terhadap pertanyaan yang berhubungan dengan pelayanan apa, siapa, kepada
siapa, milik siapa, yang mana, dan bagaimana. Pertanyaan yang memerlukan
jawaban tersebut antara lain, apa yang harus dipertanggungjawabkan, mengapa
pertanggungjawaban harus diserahkan, kepada siapa pertanggungjawaban tersebut
diserahkan, siapa yang bertanggungjawab terhadap berbagai bagian kegiatan
dalam masyarakat, apakah pertanggungjawaban berjalan seiring dengan
kewenangan yang memadai, dan lain sebagainya. Akuntabilitas juga merupakan
instrumen untuk kegiatan kontrol terutama dalam pencapaian hasil pada
pelayanan publik. Evaluasi kinerja dilakukan untuk mengetahui sejauh mana
pencapaian hasil serta cara-cara bagaimana untuk mencapai semua itu. Sedangkan
menurut Ledvina V. Carino mengatakan akuntabilitas merupakan suatu evolusi
kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh seorang petugas baik masih berada
pada jalur otoritasnya atau sudah berada jauh di luar tanggung jawab dan
kewenangannya. Dengan demikian, setiap orang harus betul-betul menyadari
bahwa setiap tindakannya bukan hanya akan memberi pengaruh pada dirinya
sendiri saja akan tetapi membawa dampak yang tidak kecil pada orang lain.
Dengan demikian, dalam setiap tingkah lakunya seorang pejabat pemerintah
mutlak harus memperhatikan lingkungan. Akuntabilitas dapat hidup dan
berkembang dalam suasana yang transparan dan demokratis dan adanya
kebebasan dalam mengemukakan pendapat. Sehingga dalam negara yang
otokratik dan tidak transparan, akuntabilitas akan hilang dan tidak berlaku. Ada 4
(empat) dimensi yang membedakan akuntabilitas dengan yang lain yaitu: siapa
45
yang harus melaksanakan akuntabilitas, kepada siapa dia berakuntabilitas, apa
standar yang dia gunakan untuk penilaian akuntabilitasnya, nilai akuntabilitas itu
sendiri.
Deklarasi Tokyo tahun 1985 mengenai petunjuk akuntabilitas publik
menetapkan definisi sebagai berikut, bahwa akuntabilitas merupakan kewajiban-
kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk
mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk
dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawaban fiskal, manajerial,
dan program. Dalam pengertian yang lebih luas, akuntabilitas pelayanan publik
berarti pertanggungjawaban pegawai pemerintah kepada publik yang menjadi
konsumen pelayanannya. Konsep ini timbul seiring dengan perkembangan proses
demokrasi. Dimulai dari era masa pemerintahan raja-raja yang diktator, dimana
saat itu kekuasaan sebagai turunan dari Tuhan sehingga seorang raja tidak
mempunyai kewajiban akuntabilitas kepada rakyatnya. Semakin bertambah
majunya pola pemikiran manusia, maka di dalam kehidupan bermasyarakatnya
timbul pemikiran baru bahwa kekuasaan merupakan kumpulan amanat yang
diberikan oleh masyarakat kepada seseorang untuk mengatur kehidupan
bermasyarakatnya. Oleh sebab itu seseorang yang mendapatkan amanat harus
mempertanggungjawabkannya kepada orang-orang yang memberinya
kepercayaan. Efektivitas akuntabilitas publik dalam situasi ini akan banyak
tergantung kepada apakah pengaruh dari pihak-pihak yang berkepentingan
direfleksikan dalam sistem monitoring dan insentif dari pelayanan publik. Dengan
demikian, secara absolut akuntabilitas memvisualisasikan suatu ketaatan kepada
46
peraturan dan prosedur yang berlaku, kemampuan untuk melakukan evaluasi
kinerja, keterbukaan dalam pembuatan keputusan, mengacu pada jadwal yang
telah ditetapkan dan menerapkan efisiensi dan efektivitas biaya pelaksanaan
tugas-tugasnya.
Pengendalian (control) sebagai bagian penting manajemen yang baik,
adalah saling menunjang dengan akuntabilitas. Dengan kata lain, dapat disebutkan
bahwa pengendalian tidak dapat berjalan dengan efisien dan efektif bila tidak
ditunjang dengan mekanisme akuntabilitas yang baik pula demikian sebaliknya.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa akuntabilitas merupakan perwujudan
kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk mempertanggungjawabkan
pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang
dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan
melalui media pertanggungjawaban secara periodik.
Akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban
atau menjawab dan menerapkan kinerja dan tindakan seseorang/badan
hukum/pimpinan suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau
berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban.
Berdasarkan pada pengertian tersebut di atas, maka semua instansi pemerintah,
badan, dan lembaga negara di pusat dan daerah sesuai dengan tugas pokok
masing-masing, karena akuntabilitas yang diminta meliputi keberhasilan dan juga
kegagalan pelaksanaan misi instansi yang bersangkutan.
Di samping itu, akuntabilitas dapat diinterpretasikan mencakup
keseluruhan aspek tingkah laku seseorang yang mencakup baik perilaku bersifat
47
probadi dan disebut dengan akuntabilitas spiritual, maupun perilaku yang bersifat
eksternal terhadap lingkungan dan orang sekeliling.
Dalam pelaksanaan akuntabilitas di lingkungan instansi pemerintah, perlu
memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Harus ada komitmen dari pimpinan dan seluruh staf instansi untuk melakukan
pengelolaan pelaksanaan misi agar akuntabel.
2) Harus merupakan suatu sistem yang dapat menjamin penggunaan sumber-
sumber daya secara konsisten dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
3) Harus dapat menunjukkan tingkat pencapaian tujuan dan sasaran yang telah
ditetapkan.
4) Harus berorientasi pada pencapaian visi dan misi serta hasil dan manfaat yang
diperoleh.
5) Harus jujur, obyektif, transparan, dan inovatif sebagai katalisator perubahan
manajemen instansi pemerintah dalam bentuk pemutakhiran metode dan
teknik pengukuran kinerja dan penyusunan laporan akuntabilitas.
Di samping itu, akuntabilitas kinerja harus pula menyajikan penjelasan
tentang deviasi antara realisasi kegiatan dengan rencana serta keberhasilan dan
kegagalan dalam pencapaian sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan. Oleh
karena itu, dalam pengukuran kinerja yang dimulai dari perencanaan strategis dan
berakhir dengan penyerahan laporan akuntabilitas kepada pemberi mandat
(wewenang). Dalam pelaksanaan akuntabilitas ini diperlukan pula perhatian dan
komitmen yang kuat dari atasan langsung intansi memberikan akuntabilitasnya,
48
lembaga perwakilan dan lembaga pengawasan, untuk mengevaluasi akuntabilitas
kinerja instansi yang bersangkutan.
2.2.3 Teori Ekonomi Publik
Sebuah kelompok tidak hanya harus mencapai keputusan tentang
kepentingan umum, mereka juga harus mengetahui bagaimana keputusan mereka
harus disepakati dan dilaksanakan juga oleh kelompok-kelompok kecil.
Kesepakatan ini sering didapat dengan cara informal, seperti diskusi, tanpa perlu
untuk mengembangkan atau melalui prosedur khusus untuk pengambilan
keputusan. Dan mereka dapat membuat sebuah perjanjian yang bersifat self-
executing, yaitu mereka yang membuat keputusan dan mempraktekkannya sendiri.
Namun, mekanisme yang sederhana ini tidak bersifat praktis untuk kelompok
besar, yang harus mengembangkan lembaga khusus untuk membuat dan
menegakkan keputusan secara kolektif. Lembaga tersebut adalah pemerintah.
Menurut definisi, pemerintah merupakan badan-badan untuk
menyelesaikan masalah pada arena politik melalui sebuah keputusan. Setelah
pemerintah membuat sebuah keputusan, maka harus diberlakukan. Di sini ada
konsep otoritas publik yang mengacu pada sebuah kekuatan yang digunakan
untuk melaksanakan sebuah keputusan. Jika seorang individu melanggar aturan,
maka pemerintah mungkin menempatkannya di penjara. Pada tingkat apapun,
pemerintah adalah satu-satunya badan dengan kewenangan untuk melakukannya.
Selanjutnya pemerintah mempunyai kewenangan untuk meminta setiap individu
untuk mematuhi hukum, seperti membayar pajak.
49
Pemerintah terdiri dari lembaga-lembaga yang bertanggung jawab untuk
membuat keputusan kolektif bagi masyarakat. Lebih sempit lagi pengertian
pemerintah mengacu pada tingkatan atas dalam lembaga-lembaga tersebut. Dalam
penggunaan populer, pemerintah mengacu hanya untuk tingkat tertinggi janji
politik seperti untuk presiden, perdana menteri dan anggota kabinet. Tetapi dalam
pemerintahan arti luas, pemerintah terdiri dari semua organisasi yang dibebankan
untuk mencapai dan melaksanakan keputusan untuk masyarakat atau melayani
kepentingan publik. Jadi dengan definisi pemerintah sebagai pelayan publik, bisa
dikatakan bahwa hakim dan polisi merupakan bagian dari pemerintah, bahkan
meskipun orang-orang tersebut biasanya tidak ditunjuk oleh metode politik seperti
pemilu. Dari definisi di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa pengertian
pemerintah adalah lembaga-lembaga yang bertanggung jawab untuk membuat
keputusan kolektif bagi masyarakat. Lebih sempit, pemerintah mengacu ke atas
politik tingkat tertinggi dalam lembaga-lembaga tersebut.
Pemerintah merupakan suatu bentuk organisasi yang bekerja dan
menjalankan tugas untuk mengelola sistem pemerintah dan menetapkan kebijakan
dalam mencapai tujuan negara. Dalam menyelenggarakan tugasnya, pemerintah
memiliki beberapa fungsi seperti yang dijelaskan oleh beberapa tokoh. Menurut
Adam Smith (1976), pemerintah suatu negara mempunyai tiga fungsi pokok yaitu:
memelihara keamanan dan pertahanan dalam negeri, menyelenggarakan
peradilan, dan menyediakan barang-barang yang tidak disediakan oleh pihak
swasta. Sedangkan menurut Richard A. Musgrave dibedakan menjadi tiga fungsi
dan tujuan kebijakan anggaran belanja pemerintah, yaitu: 1) Fungsi Alokasi
50
(Allocation Branch) yaitu fungsi pemerintah untuk menyediakan pemenuhan
untuk kebutuhan publik (public needs), 2) Fungsi Distribusi (Distribution Branch)
yaitu fungsi yang dilandasi dengan mempertimbangkan pengaruh sosial
ekonomis; yaitu pertimbangan tentang kekayaan dan distribusi pendapatan,
kesempatan memperoleh pendidikan, mobilitas sosial, struktur pasar. Macam-
ragam warga negara dengan berbagai bakatnya termasuk tugas fungsi tersebut, 3)
Fungsi Stabilisasi (Stabilizaton Branch) yaitu fungsi menyangkut usaha untuk
mempertahankan kestabilan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ada.
Disamping itu, fungsi ini bertujuan untuk mempertahankan kestabilan
perekonomian (stabilisator perekonomian).
Berdasarkan dua pendapat diatas, pemerintah diantaranya memiliki fungsi
sebagai berikut.
1) Fungsi Pelayanan
Perbedaan pelaksanaan fungsi pelayanan yang dilakukan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah terletak pada kewenangan masing-masing.
Kewenangan pemerintah pusat mencakup urusan pertahanan keamanan,
agama, hubungan luar negeri, moneter dan peradilan. Secara umum pelayanan
pemerintah mencakup pelayanan publik (public service) dan pelayanan sipil
(civil service) yang menghargai kesetaraan.
2) Fungsi Pengaturan
Fungsi ini dilaksanakan pemerintah dengan membuat peraturan
perundang-undangan untuk mengatur hubungan manusia dalam masyarakat.
Pemerintah adalah pihak yang mampu menerapkan peraturan agar kehidupan
51
dapat berjalan secara baik dan dinamis. Seperti halnya fungsi pemerintah
pusat, pemerintah daerah juga mempunyai fungsi pengaturan terhadap
masyarakat yang ada di daerahnya. Perbedaannya, yang diatur oleh
pemerintah daerah lebih khusus, yaitu urusan yang telah diserahkan kepada
daerah. Untuk mengatur urusan tersebut diperlukan peraturan daerah yang
dibuat bersama antara DPRD dengan eksekutif.
3) Fungsi Pembangunan
Pemerintah harus berfungsi sebagai pemacu pembangunan di
wilayahnya, dimana pembangunan ini mencakup segala aspek kehidupan tidak
hanya fisik tapi juga mental spriritual. Pembangunan akan berkurang apabila
keadaan masyarakat membaik, artinya masyarakat sejahtera. Jadi, fungsi
pembangunan akan lebih dilakukan oleh pemerintah atau negara berkembang
dan terbelakang, sedangkan negara maju akan melaksanakan fungsi ini
seperlunya.
4) Fungsi Pemberdayaan (Empowerment)
Fungsi ini untuk mendukung terselenggaranya otonomi daerah, fungsi
ini menuntut pemberdayaan pemerintah daerah dengan kewenangan yang
cukup dalam pengelolaan sumber daya daerah guna melaksanakan berbagai
urusan yang didesentralisasikan. Untuk itu pemerintah daerah perlu
meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta dalam kegiatan
pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan. Kebijakan pemerintah,
pusat dan daerah, diarahkan untuk meningkatkan aktifitas ekonomi
masyarakat, yang pada jangka panjang dapat menunjang pendanaan
52
pemerintah daerah. Dalam fungsi ini pemerintah harus memberikan ruang
yang cukup bagi aktifitas mandiri masyarakat, sehingga dengan demikian
partisipasi masyarakat di daerah dapat ditingkatkan. Lebih-lebih apabila
kepentingan masyarakat diperhatikan, baik dalam peraturan maupun dalam
tindakan nyata pemerintah.
2.3 Keaslian Penelitian
Penelitian tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi good
governance pada Pemerintah Provinsi Bali belum pernah ada yang melakukannya,
sehingga hasil penelitian ini merupakan penelitian baru, namun tidak menutup
kemungkinan bahwa hasil penelitian serupa yang berkaitan dengan pemerintahan
telah banyak yang melakukannya.
Penelitian mengenai pengaruh implementasi Sistem Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah (SAKIP) terhadap good governance dilakukan oleh Jajang
Badrusaman dan Irna Chairunnisa pada Pemerintah Kabupaten Ciamis.
Berdasarkan hasil perhitungan koefisien korelasi, diketahui bahwa implementasi
Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dan good governance
memiliki hubungan kuat. Selain itu berdasarkan perhitungan koefisien determinasi
diketahui bahwa 61% dari good governance dipengaruhi oleh implementasi
SAKIP, sedangkan sisanya dipengaruhi faktor lain yang tidak diteliti. Persamaan
dengan penelitian ini yaitu menggunakan variabel Sistem Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah (SAKIP) dan good governance namun tidak menggunakan
53
variabel pengelolaan keuangan daerah dan Sistem Pengendalian Internal
Pemerintah (SPIP).
Penelitian tentang pengaruh penatausahaan keuangan daerah terhadap
good governance dan implikasinya terhadap kualitas laporan keuangan pada
Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Provinsi Papua dilakukan oleh
Juliante Farrah Boekorsjom dan Ony Widilestaringtyas. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan penulis yang menggunakan software Smart PLS didapatkan hasil
verifikatif yaitu koefisien standardized antara pengaruh penatausahaan keuangan
daerah terhadap good governance adalah sebesar 0,703 artinya terdapat hubungan
kuat antara variabel penatausahaan keuangan daerah terhadap good governance.
Karena nilai kontribusi lebih besar dari 0, artinya terjadi hubungan linear positif.
Kemudian untuk nilai koefisien determinasi adalah sebesar 49,42% yang artinya
terdapat pengaruh yang cukup kuat antara penatausahaan keuangan daerah
terhadap good governance. Persamaan dengan penelitian ini yaitu menggunakan
variabel pengelolaan keuangan daerah dan good governance namun tidak
menggunakan variabel Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP)
dan Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP).
Penelitian tentang pengaruh pengawasan intern dan pengelolaan keuangan
daerah terhadap kinerja pemerintah daerah dilakukan oleh Astri Kuswandari.
Hasil penelitian menyimpulkan pengawasan intern berpengaruh terhadap kinerja
pemerintah daerah. Pengawasan Intern pada Dinas SKPD Pemerintah Kota
Bandung sudah baik, namun masih terdapat masalah dalam pengawasan intern
sehingga kinerja pemerintah daerah kurang optimal yaitu masih adanya sistem
54
pengendalian akuntansi dan pelaporan dan kelemahan sistem pengendalian
pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja pada Dinas SKPD Pemerintah Kota
Bandung. Persamaan dengan penelitian ini yaitu menggunakan variabel
pengelolaan keuangan daerah, Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP)
dan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) namun tidak
menggunakan variabel good governance.
Penelitian tentang pengaruh pengelolaan keuangan daerah terhadap kinerja
pemerintah dilakukan oleh Auditya Lucy pada tahun 2013. Berdasarkan hasil
pengujian hipotesis dapat disimpulkan bahwa variabel transparansi pengelolaan
keuangan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja SKPD Provinsi
Bengkulu. Hal ini berarti bahwa semakin transparan pengelolaan keuangan dan
pelaporan keuangan dalam SKPD Pemerintah Provinsi Bengkulu maka akan
semakin meningkatkan kinerja pemerintah daerah secara keseluruhan. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh
Garini (2011), Ismiarti (2013) bahwa transparansi dalam pengelolaan keuangan
berhubungan positif dan signifikan terhadap kinerja pemerintah daerah. Secara
teoritis pemerintah harus menangani dengan baik kinerjanya dengan
memperhatikan dua aspek transparansi, yaitu (1) komunikasi publik oleh
pemerintah, dan (2) hak masyarakat terhadap akses informasi. Transparansi harus
seimbang, juga menyangkut kebutuhan akan kerahasiaan lembaga maupun
informasi-informasi yang mempengaruhi hak privasi individu. Dengan
memperluas saluran transparansi yang ada selama ini di pemerintahan Provinsi
Bengkulu maka pengawasan akan lebih baik dari pemberi amanah dalam hal ini
55
Dewan Perwakilan Daerah dan masyarakat sehingga tingkat pencapaian kinerja
pemerintah Provinsi Bengkulu dapat lebih baik. Semua kegiatan pengelolaan
keuangan mulai dari perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan,
pertanggungjawaban maupun hasil pemeriksaan dilakukan dengan terbuka dan
dipublikasikan ke masyarakat melalui papan pengumuman maupun media masa
yang ada di Provinsi Bengkulu. Namun tidak dapat dipungkiri ada beberapa
SKPD yang belum melakukan prinsip-prinsip tersebut. Persamaan dengan
penelitian ini yaitu menggunakan variabel pengelolaan keuangan daerah dan
Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) namun tidak
menggunakan variabel Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP) dan good
governance.
Penelitian tentang pengaruh penerapan sistem akuntansi pemerintahan dan
pengendalian intern terhadap good governance dilakukan oleh Yusniar, Darwanis,
dan Syukriy Abdullah pada tahun 2016 studi pada SKPD Pemerintah Aceh.
Metode analisis data penelitian menggunakan analisi jalur (path analysis) untuk
menguji pengaruh variabel-variabel eksogen terhadap variabel endogen dan juga
variabel intervening. Koefisien jalur dari path analysis tersebut dilihat pada
standardized coefficient dari analisis regresi linear berganda. Pengendalian intern
secara parsial berpengaruh positif terhadap good governance. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi pengendalian intern yang dilakukan pada
setiap SKPD di Pemerintah Aceh, maka semakin tinggi pula terciptanya prinsip-
prinsip good governance. Persamaan dengan penelitian ini yaitu menggunakan
variabel Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP) dan good governance
56
namun tidak menggunakan variabel Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah (SAKIP) dan pengelolaan keuangan daerah.