bab ii kajian pustaka 2.1 2.1...8 bab ii kajian pustaka 2.1 kajian teori 2.1.1 matematika istilah...

22
8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Matematika Istilah matematika berasal dari kata Yunani, mathein atau manthenein yang berarti mempelajari. Menurut Fitria (2013: 47) dalam bahasa Belanda, matematika disebut dengan kata wiskunde yang berarti ilmu tentang belajar (hal ini sesuai dengan arti kata mathein pada matematika). Matematika merupakan ide-ide abstrak yang berisi simbol-simbol (Susanto, 2013: 183). Menurut Wahyudi (2011:1) matematika adalah ilmu dasar yang menjadi alat untuk mempelajari ilmu-ilmu yang lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa, matematika merupakan ilmu dasar yang berisi ide-ide abstrak dan simbol- simbol dan dapat digunakan sebagai alat untuk mempelajari ilmu-ilmu yang lain. 2.1.1.1 Tujuan Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar Secara mendasar, pembelajaran matematika dimaksudkan agar siswa pandai dalam urusan hitung menghitung. Namun lebih lengkap lagi, Susanto (2013: 189) menambahkan dua tujuan Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Secara umum, tujuan Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar adalah agar siswa mampu dan terampil menggunakan matematika. Selain itu, dengan pembelajaran matematika dapat memberikan tekanan penataan nalar dalam penerapan matematika. Lebih spesifik lagi tujuan pembelajaran matematika yang dijelaskan oleh Depdiknas dalam (Susanto, 2013: 190) adalah sebagai berikut: 1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep, dan mengaplikasikan konsep atau algoritme. 2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. 3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh. 4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk menjelaskan keadaan atau masalah.

Upload: others

Post on 12-Feb-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    2.1 Kajian Teori

    2.1.1 Matematika

    Istilah matematika berasal dari kata Yunani, mathein atau manthenein yang

    berarti mempelajari. Menurut Fitria (2013: 47) dalam bahasa Belanda, matematika

    disebut dengan kata wiskunde yang berarti ilmu tentang belajar (hal ini sesuai

    dengan arti kata mathein pada matematika).

    Matematika merupakan ide-ide abstrak yang berisi simbol-simbol

    (Susanto, 2013: 183). Menurut Wahyudi (2011:1) matematika adalah ilmu dasar

    yang menjadi alat untuk mempelajari ilmu-ilmu yang lain. Jadi dapat disimpulkan

    bahwa, matematika merupakan ilmu dasar yang berisi ide-ide abstrak dan simbol-

    simbol dan dapat digunakan sebagai alat untuk mempelajari ilmu-ilmu yang lain.

    2.1.1.1 Tujuan Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar

    Secara mendasar, pembelajaran matematika dimaksudkan agar siswa pandai

    dalam urusan hitung menghitung. Namun lebih lengkap lagi, Susanto (2013: 189)

    menambahkan dua tujuan Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Secara

    umum, tujuan Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar adalah agar siswa

    mampu dan terampil menggunakan matematika. Selain itu, dengan pembelajaran

    matematika dapat memberikan tekanan penataan nalar dalam penerapan

    matematika.

    Lebih spesifik lagi tujuan pembelajaran matematika yang dijelaskan oleh

    Depdiknas dalam (Susanto, 2013: 190) adalah sebagai berikut:

    1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep, dan mengaplikasikan konsep atau algoritme.

    2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam generalisasi, menyusun bukti, atau

    menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

    3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model,

    dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

    4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk menjelaskan keadaan atau masalah.

  • 9

    5. Memiliki sikap menghargai penggunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari.

    Mencermati tujuan pembelajaran di atas, tentunya seorang guru harus

    memaksimalkan kemampuan yang dimiliki dalam proses pembelajaran sehingga

    siswa dapat mencapai semua tujuan pembelajaran matematika di sekolah dasar.

    2.1.1.2 Karakteristik Matematika di Sekolah Dasar

    Pemahaman karakteristik matematika sangat penting bagi para tenaga

    pendidik. Sebab, dalam menyampaikan materi guru dituntut agar materi yang

    disampaikan mudah diterima dan dipahami oleh peserta didik atau siswa. Maka

    dari itu, agar guru dalam menyampaikan bahan ajar matematika dapat dengan

    mudah dipahami oleh siswanya, guru diwajibkan memahami karakteristik dari

    matematika itu sendiri. Adapun karakteristik matematika seperti yang

    diungkapkan Ariyanto (2011: 29) sebagai berikut:

    1. Memiliki obyek kajian abstrak.

    2. Bertumpu pada kesepakatan.

    3. Berpola pikir deduktif.

    4. Memiliki symbol yang kosong dari arti.

    5. Memperhatikan semesta pembicaraan.

    6. Konsisten dalam sistemnya.

    Matematika merupakan ilmu yang bersifat abstrak. Namun jika melihat usia

    anak sekolah dasar yang cenderung berpikir konkrit, untuk memahami sesuatu

    yang sifatnya abstrak masih diperlukan pengajaran melalui obyek yang konkrit.

    Selain itu, matematika juga mengajarkan siswa untuk berpikir secara sistematis

    dimana sesuatu yang dipelajari harus dibuktikan secara deduktif. Namun

    demikian, melihat kemampuan anak SD , penerapan pola deduktif tidak dilakukan

    secara ketat dan membutuhkan kesabaran yang lebih dari para guru.

    2.1.2 Problem Based Learning

    2.1.2.1 Pengertian Problem Based Learning

    Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Problem Based Learning

    memiliki arti Pembelajaran Berbasis Masalah. Artinya, model pembelajaran ini

    memanfaatkan permasalahan sebagai bahan penyampaian pembelajaran. Agar

    pengertian mengenai Problem Based Learning lebih jelas, Yanti dkk (2017: 5)

    mendefinisikan model pembelajaran Problem Based Learning sebagai berikut:

  • 10

    Problem Based Learning adalah salah satu model pembelajaran yang

    menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa

    untuk belajar Sejarah secara berpikir kritis dan keterampilan

    pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan

    konsep yang esensial dari materi pembelajaran, sehingga pada proses

    pembelajaran nantinya peserta didik diarahkan untuk melakukan

    analisis sendiri mengenai pemecahan masalah yang ada.

    Mayo dalam Affandi (2016: 24) mengungkapkan pendapatnya sebagai

    berikut, “PBL is defined as a pedagogical strategy which uses real-world

    situations as the basis for development of content, knowledge, and problem-

    solving skills”. Artinya, PBL didefinisikan sebagai strategi pedagogis yang

    menggunakan situasi dunia nyata sebagai dasar pengembangan konten,

    pengetahuan, dan keterampilan memecahkan masalah. Adapun Arends dalam

    Sihaloho dkk (2016: 12) juga menyatakan pendapatnya sebagai berikut:

    PBL is one of learning models designed primarily to help student’s

    develop their thinking, problem-solving and intellectual abilities,

    learn the roles of adults by experiencing them through simulated

    real situations, and become independent and autonomous learners.

    Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, arti dari pernyataan di

    atas adalah sebagai berikut:

    PBL adalah salah satu model pembelajaran yang dirancang terutama

    untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir,

    pemecahan masalah dan intelektual mereka, mempelajari peran

    orang dewasa dengan mengalaminya melalui simulasi situasi nyata,

    dan menjadi peserta didik mandiri dan otonom.

    Mencermati beberapa pernyataan di atas, penulis mendapat benang

    merah bahwa PBL merupakan model pembelajaran yang menggunakan

    masalah untuk membelajarkan siswanya. Melalui model pembelajaran ini para

    siswa dituntut untuk memecahkan masalah yang disajikan secara berkelompok

    ataupun mandiri, sistematis dan kritis. Dengan demikian, keterampilan siswa

    dalam memecahkan masalah akan semakin meningkat dan para siswa juga

    diajarkan secara mandiri untuk memecahkan masalah tersebut. Dari beberapa

    pernyataan di atas, penulis menyimpulkan bahwa model pembelajaran yang

    menggunakan masalah dunia nyata untuk pengembangan konten, pengetahuan,

  • 11

    dan keterampilan memecahkan masalah agar menjadi peserta didik yang

    mandiri dan otonom.

    2.1.2.2 Kelebihan dan Kekurangan Model Problem Based Learning

    Setelah mengetahui tantang pengertian Problem Based Learning (PBL) akan

    lebih baik jika juga mengetahui kelebihan dan kekurangannya. Adapun kelebihan

    dari Problem Based Learning (PBL) dijelaskan oleh Amir (2009:27) seperti

    berikut:

    1) Fokus ke bermakna, bukan fakta (deep versus surface learning)

    2) Meningkatkan kemampuan siswa untuk berinisiatif

    3) Pengembangan keterampilan dan pengetahuan

    4) Pengembangan keterampilan interpersonal dan dinamika kelompok

    5) Pengembangan sikap self-motivated

    6) Tumbuhnya hubungan siswa-fasilitator

    7) Jenjang penyampaian pembelajaran dapat ditingkatkan

    Melalui model pembelajaran Problem Based Learning (PBL), pembelajaran

    yang bermakna dapat diperoleh siswa dengan cara melibatkan lingkungan belajar.

    Pembelajaran lingkungan akan lebih bermakna bagi siswa, hal tersebut

    dikarenakan selain memperoleh ilmu pengetahuan secara langsung dari guru,

    siswa juga mempunyai keleluasaan memahami pembelajaran dengan cara

    kooperatif melalui interaksi sosial. Jika dicermati lebih lanjut, model

    pembelajaran ini lebih cenderung mengedepankan kepada sisi pengembangan

    pada diri siswa. Pengembangan tersebut antara lain meningkatkan kemampuan

    berinisiatif, keterampilan, pengetahuan, keterampilan interpersonal, dinamika

    kelompok dan pengembangan sikap self-motivated. Selain itu, hubungan antara

    anak dan fasilitator atau guru juga akan ditumbuhkan.

    Model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) juga memiliki

    kekurangan. Kekurangan dari model pembelajaran Problem Based Learning

    (PBL) antara lain:

    1. Siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka

    mereka akan merasa enggan untuk mencoba.

  • 12

    2. Keberhasilan model pembelajaran melalui PBL membutuhkan cukup waktu untuk persiapan.

    3. Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar

    apa yang ingin mereka pelajari (Sanjaya, 2009: 221).

    Model ini berpeluang memunculkan keengganan siswa untuk belajar jika

    mereka tidak cukup mempunyai minat dan kepercayaan untuk belajar. Namun hal

    ini dapat diatasi dengan dengan memberikan motivasi dengan intensitas yang

    cukup tinggi kepada para siswa. Serta meyakinkan para siswa, bahwa para siswa

    mampu untuk memecahkan permasalahan yang disajikan. Selain itu, model ini

    juga membutuhkan waktu yang lama untuk persiapan. Namun sejatinya jika dikaji

    lebih dalam, semua model pembelajaran memerlukan waktu persiapan. Tetapi hal

    ini dapat disiasati dengan menggunakan waktu yang ada dengan semaksimal

    mungkin untuk persiapan.

    2.1.2.3 Langkah-Langkah Model Problem Based Learning

    Agar langkah-langkah yang disusun sesuai dengan apa yang diharapkan,

    penulis membutuhkan suatu sintak. Arends dalam Sihaloho dkk (2017: 12)

    menyatakan sintak PBL seperti berikut:

    1. Orient student’s to the problem;

    2. Organize student’s for study;

    3. Assist independent and group investigations;

    4. Develop and present artifacts and exhibit;

    5. Analyze and evaluate the problem solving process.

    Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, sintak PBL tersebut adalah

    seperti berikut:

    1. Memberikan orientasi tentang permasalahannya kepada siswa

    2. Mengorganisasikan siswa untuk meneliti

    3. Membantu investigasi mandiri dan kelompok

    4. Mengembangkan dan mempresentasikan artefak dan exhibit

    5. Menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah

    PBL merupakan model pembelajaran yang berbasis kepada masalah untuk

    membelajarkan siswanya, hal pertama yang perlu dilakukan ialah

  • 13

    mengorientasikan siswa kepada suatu permasalahan. Kegiatan yang dilakukan

    oleh guru pada tahap pertama ini diantaranya menyampaikan tujuan pembelajaran,

    memotivasi peserta didik untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah. Tahap

    kedua yaitu mengorganisasikan siswa untuk meneliti. Pada tahap ini, siswa

    nantinya akan dibentuk dalam beberapa kelompok belajar serta guru memberikan

    tugas-tugas belajar terkait materi yang berbasis kepada pemecahan masalah.

    Memasuki tahap selanjutnya yaitu membantu investigasi mandiri dan kelompok.

    Pada fase ini, guru membantu para siswa dalam memecahkan suatu permasalahan.

    Guru dapat berkeliling dan membimbing para siswa yang mengalami kesulitan

    dalam memecahkan permasalahan yang menjadi tugasnya.

    Tahap keempat yakni tahap pengembangan dan presentasi. Para siswa

    diharuskan untuk membuat artefak atau laporan atas diskusi kelompok yang telah

    dilakukan. Laporan tersebut diantaranya berisi tentang solusi atas permasalahan

    yang didapat oleh masing-masing kelompok. Selanjutnya, laporan tersebut akan

    dipresentasikan di depan kelas bila perlu para siswa juga mendemonstrasikannya

    di depan kelas. Tahap terakhir adalah tahap evaluasi. Dalam tahap ini tugas guru

    adalah membantu peserta didik menganalisis dan mengevaluasi proses berpikir

    mereka sendiri dan keterampilan penyelidikan yang mereka gunakan. Hal yang

    paling penting yaitu siswa mempunyai keterampilan berpikir secara sistematis dan

    kritis.

    2.1.3 Media Pembelajaran

    2.1.3.1 Pengertian Media Pembelajaran

    Istilah “media” berasal dari bahasa Latin “medium” yang bermakna

    “perantara” atau “pengantar”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

    istilah media diartikan sebagai alat (sarana). Kemudian, Mahnun (2012: 27)

    mengemukakan media merupakan sarana penyalur pesan atau informasi belajar

    yang hendak disampaikan oleh sumber pesan kepada sasaran atau penerima pesan

    tersebut. Senada dengan Mahnun, Ali (2010: 89) juga menyatakan bahwa media

    pembelajaran merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan

    pesan (message), merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan siswa

    sehingga dapat mendorong proses belajar mengajar. Kemudian, Sadiman

  • 14

    (2010:12) juga menerjemahkan media pembelajaran sebagai pesan, sumber,

    saluran, dan penerima pesan adalah komponen-komponen proses komunikasi.

    Berdasarkan paparan mengenai pernyataan para ahli di atas, menulis

    mencermati adanya 3 unsur penting dalam penggunaan media pembelajaran.

    Ketiga unsur tersebut yaitu pengiri atau penyalur pesan, isi pesan dan penerima

    pesan. Apabila diterapkan dalam proses pembelajaran, maka yang berperan

    sebagai penyampai informasi dari sumber informasi adalah guru dan si penerima

    informasi adalah siswa, media yang digunakan guru pada umumnya yakni papan

    tulis. Kemudian yang dimaksud pesan dalam beberapa pendapat di atas dalam

    pembelajaran adalah materi pelajaran. Dari beberapa pengertian mengenai media

    pembelajaran dari para ahli dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah

    segala sesuatu yang dapat dijadikan perantara untuk mengantarkan informasi dan

    sifatnya dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan siswa

    sehingga dapat mendorong proses belajar mengajar menjadi lebih baik.

    2.1.3.2 Fungsi Media Pembelajaran

    Media pembelajaran merupakan segala sesuatu yang dapat dijadikan

    perantara untuk mengantarkan informasi dan sifatnya dapat merangsang pikiran,

    perasaan, perhatian dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong proses belajar

    mengajar menjadi lebih baik. Maka dari itu, lebih terperinci lagi, Pribadi (1996:

    23-25) menyebutkan kegunaan atau fungsi media pembelajaran seperti di bawah

    ini:

    1. Membantu memudahkan belajar bagi siswa dan juga memudahkan pengajaran bagi guru.

    2. Memberikan pengalaman lebih nyata (abstrak menjadi konkret). 3. Menarik perhatian siswa lebih besar (jalannya tidak

    membosankan).

    4. Semua indera murid dapat diaktifkan. 5. Lebih menarik perhatian dan minat murid dalam belajar. 6. Dapat membangkitkan dunia teori dengan realitanya.

    Dihadirkannya media sebagai alat bantu pembelajaran akan sangat

    membantu siswa dalam memahami materi yang disampaikan dan guru juga akan

    lebih mudah dalam menyampaikan materi yang diajarkan karena penyajian materi

    menjadi lebih konkret dan jelas. Selain itu, adanya media pada saat proses

  • 15

    pembelajaran berlangsung akan memberikan atmosfer baru bagi para siswa karena

    siswa tidak akan bosan pada saat mengikuti proses pembelajaran, sehingga tingkat

    perhatian dan minat siswa juga akan meningkat. Kemudian, media pembelajaran

    juga dapat membuat siswa lebih aktif karena melibatkan beberapa indera seperti

    penglihatan dan pendengaran sehingga siswa tidak hanya berangan-angan tapi

    siswa juga dapat membangkitkan dunia teori dengan realitanya.

    2.1.3.3 Jenis Media Pembelajaran

    Dewasa ini, telah kita ketahui bahwa media pembelajaran tidak hanya terdiri

    dari satu jenis, melainkan lebih dari itu. Djamarah dan Zain (2014: 124-126)

    mengklasifikasikan media dari jenisnya yang meliputi media auditif, visual dan

    audiovisual.

    1. Media Auditif Media auditif adalah media yang hanya mengandalkan kemampuan suara

    saja, seperti radio, cassette recorder, piringan hitam. Media ini tidak cocok

    untuk orang tuli atau mempunyai kelainan dalam pendengaran.

    2. Media Visual Media visual adalah media yang hanya mengandalkan indra penglihatan.

    Media visual ini ada yang menampilkan gambar diam seperti film strip (film

    rangkai), slides (film bingkai) foto, gambar atau lukisan, dan cetakan. Ada

    pula media visual yang menampilkan gambar atau simbol yang bergerak

    seperti film bisu, dan film kartun.

    3. Media Audiovisual Media audiovisual adalah media yang mempunyai unsur suara dan unsur

    gambar. Jenis media ini mempunyai kemampuan yang lebih baik, karena

    meliputi kedua jenis media yang pertama dan kedua. Media ini dibagi lagi ke

    dalam:

    1) Audiovisual Diam, yaitu media yang menampilkan suara dan gambar diam seperti film bingkai suara (sound slides), film rangkai suara, dan

    cetak suara.

    2) Audiovisual Gerak, yaitu media yang dapat menampilkan unsur suara dan gambar yang bergerak seperti film suara dan video cassette.

    Pembagian lain dari media ini adalah:

    a. Audiovisual Murni, yaitu baik unsur suara maupun unsur gambar berasal dari satu sumber seperti film video-cassette, dan

    b. Audiovisual Tidak Murni, yaitu yang unsur suara dan unsur gambarnya berasal dari sumber yang berbeda, misalnya film

    bingkai suara yang unsur gambarnya bersumber dari slides

    proyektor, dan unsur suaranya bersumber dari tape recorder.

    Contoh lainnya adalah film strip suara dan cetak suara.

  • 16

    Dunia pendidikan mengkategorikan media pembelajaran menjadi 3 yaitu

    media auditif, visual, dan audio visual. Media auditif hanya mengandalkan suara

    yang dihasilkan melalui barang elektronik seperti radio. Menurut penulis, media

    ini kurang cocok digunakan karena para siswa hanya diajarkan menghafal apa

    yang mereka dengar. Media yang kedua yaitu media visual atau bisa disebut juga

    dengan media gambar. Media visual mengandalkan indra penglihatan sebagai

    penyalur materi pelajaran kepada para siswa. Penulis berpendapat bahwa media

    ini cocok digunakan untuk mengajar, karena media gambar bersifat sederhana dan

    tidak memerlukan biaya yang tinggi untuk memperolehnya. Media pembelajaran

    yang terakhir yaitu media audiovisual atau disebut juga dengan video. Media

    audio visual mampu merangsang pemahaman siswa melalui indra penglihatan dan

    pendengaran. Namun demikian media ini membutuhkan persiapan yang cukup

    lama dan biaya yang cukup tinggi. Seperti contoh, untuk menampilkan video guru

    memerlukan LCD proyektor dan laptop atau PC untuk menampilkannya.

    Ditambah lagi jika guru tidak mahir dalam menjalankan program untuk memutar

    video, para siswa akan ribut sendiri karena perhatian guru hanya terfokus pada

    pengoperasian laptop.

    Maka dari itu dalam penelitian ini penulis lebih memilih untuk

    menggunakan media visual sebagai alat bantu dalam kegiatan pembelajaran.

    Sebab, media visual atau gambar bersifat sederhana dan tidak memerlukan biaya

    tinggi. Lebih spesifik lagi, penelitian ini menggunakan media permainan ular

    tangga sebagai alat bantu penyampaian materi dalam kegiatan belajar mengajar.

    Dengan berpedoman pada kutipan di atas, penulis berpendapat bahwa media

    permainan ular tangga termasuk dalam jenis media pembelajaran visual. Sebab,

    media ini hanya hanya mengandalkan indra penglihatan.

    2.1.3.4 Media Permainan Ular Tangga

    Permainan ular tangga merupakan permainan Tradisional yang biasa

    dimainkan oleh anak-anak. Muaddab dalam Nachiappan (2014: 220)

    mengungkapkan “snake and ladder game was created in the 2nd century BC by

    the name of ‘Paramapada Sopanam’ (Ladder to Salvation)”. Artinya, permainan

    ular dan tangga diciptakan pada abad ke-2 SM dengan nama "Paramapada

  • 17

    Sopanam" atau tangga keselamatan. Permainan ini telah dikembangkan oleh umat

    Hindu untuk mengajar anak-anak mereka sebagai pelajaran moralitas dimana ular

    merupakan pertanda buruk dan tangga mewakili nilai-nilai yang baik. Selanjutnya

    media ular tangga termasuk media visual karena melibatkan indera penglihatan

    dalam menggunakan media tersebut dan disebut media grafik karena media ular

    tangga disajikan dalam bentuk gambar (Widowati dan Mulyani, 2014: 2).

    Menurut Baiquni (2016: 195) media ular tangga merupakan sebuah media

    bermain anak karena ular tangga merupakan salah satu permainan tradisional yang

    sampai saat ini masih eksis dimainkan oleh anak.

    Permainan ular tangga merupakan permainan tradisional yang masih eksis

    digunakan oleh anak-anak hingga saat ini. Permainan ini disajikan dalam gambar

    yang berbentuk persegi dengan beberapa kotak kecil dengan jumlah 100 kotak di

    dalamnya. Permainan ular tangga bisa dimainkan oleh 4 anak atau lebih. Dengan

    demikian, penulis merasa cocok jika permainan ini dikolaborasikan dengan model

    PBL yang masuk dalam kategori model pembelajaran kooperatif. Alasan penulis

    menggunakan permainan ini karena masih familiar di kalangan anak sekolah

    dasar, khususnya di Indonesia. Disamping itu, permainan ini bersifat sederhana

    dan tidak membutuhkan banyak biaya. Permainan ular tangga juga mengajarkan

    tentang sportivitas, karena permainan ini mengenal kalah dan menang. Adapun

    peraturan dalam bermain ular tangga dalam penelitian ini yaitu:

    1. Secara berurutan para siswa bergiliran melempar dadu yang telah

    disediakan.

    2. Siswa menjalankan pion sesuai dengan jumlah titik pada dadu yang

    dilemparkannya dan menjawab soal yang terdapat pada kotak-kotak ular

    tangga tersebut.

    3. Jika siswa mendapatkan 6 titik, maka Ia berhak melempar kembali.

    Namun jika pion siswa berdiri pada ekor ular, maka turun ke kotak dimana

    kepala ular berada.

    4. Jika pion siswa berdiri di bawah anak tangga, maka pion dari siswa

    tersebut berhak naik sesuai dengan kotak anak tangga tersebut.

  • 18

    5. Siswa yang mencapai garis finis pertama kali merupakan pemenangnya

    dan berhak mendapatkan penghargaan atau hadiah.

    2.1.3.5 Kelebihan dan Kekurangan Media Permainan Ular Tangga

    Yumarlin (2013: 76), menyatakan media yang digunakan haruslah media

    yang menarik dan sesuai dengan karakteristik peserta didik sehingga dapat

    memotivasi untuk belajar. Aspek kemenarikan ini dapat dilakukan dengan

    menerapkan teknik belajar sambil bermain. Untuk memenuhi kriteria tersebut,

    penulis memenuhi beberapa kriteria tersebut dengan menguraikan beberapa

    kelebihan media permainan ular tangga. Adapun kelebihan yang dikemukakan

    oleh Afandi (2015: 80) adalah sebagai berikut:

    1. Siswa belajar sambil bermain.

    2. Siswa tidak harus belajar sendiri, melainkan harus berkelompok.

    3. Memudahkan siswa belajar karena dibantu dengan gambar yang ada dalam

    permainan ular tangga.

    4. Tidak memerlukan biaya mahal dalam membuat media pembelajaran

    permainan ular tangga.

    Suasana pembelajaran yang hanya berpusat pada guru merupakan hal yang

    membosankan bagi para siswa. Dengan adanya media pembelajaran ular tangga

    ini, siswa akan lebih aktif karena siswa bisa belajar sambil bermain. Hal itu

    dibenarkan oleh Zaini (2015: 120) bahwa Belajar sambil bermain dapat

    menyenangkan dan menghibur bagi anak-anak. Media permainan ular tangga juga

    memungkinkan para siswa untuk belajar bekerja sama, karena dalam permainan

    ini anak tidak belajar sendiri tetapi belajar dalam kelompok. Sementara itu,

    dengan dihadirkannya gambar-gambar menarik yang ada dalam permainan ular

    tangga akan menjadi daya tarik tersendiri bagi siswa untuk tetap belajar. Namun

    demikian, permainan ular tangga juga termasuk media pembelajaran yang masuk

    kategori dengan harga murah dan mudah didapatkan. Sehingga tidak ada alasan

    lagi bagi para tenaga pendidik untuk tidak menggunakan media permainan ular

    tangga karena harganya murah dan mudah didapatkan.

    Media pembelajaran ular tangga juga memiliki kekurangan. Dengan

    mengutip pernyataan Anjani dalam Anita Noviana (2014:33), penulis dapat

  • 19

    menjelaskan kekurangan media pembelajaran permainan ular tangga seperti di

    bawah ini:

    1. Penggunaan media ular tangga ini banyak waktu dan penjelasan kepada

    siswa.

    2. Kurangnya pemahaman aturan permainan oleh anak dapat menimbulkan

    kericuhan.

    3. Bagi anak yang tidak menguasai materi akan kesulitan dalam bermain.

    Jika guru tidak pandai dalam mengatur waktu yang digunakan, penggunaan

    media ini akan menimbulkan beberapa permasalahan. Beberapa permasalahan

    tersebut seperti waktu yang digunakan untuk menjelaskan cukup lama. Sebab,

    apabila siswa kurang paham mengenai aturan dalam bermain akan menimbulkan

    kericuhan dan kegaduhan dalam kelas. Selain itu, bagi anak yang kurang atau

    bahkan tidak menguasai materi pelajaran akan kesulitan dalam bermain dan

    cenderung mengganggu temannya. Namun segala kekurangan tersebut dapat

    tertutupi jika implementasinya dilaksanakan secara sistematis dan terstruktur.

    2.1.4 Langkah-Langkah Model PBL berbantuan Media Permainan Ular

    Tangga

    Implementasi model pembelajaran PBL bernantian media permainan ular

    tangga adalah seperti di bawah ini:

    A. Kegiatan Awal

    Tahap 1 PBL: Orient student’s to the problem

    1. Guru membuka kegiatan belajar mengajar dengan berdoa

    2. Guru melakukan presensi siswa

    3. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai.

    4. Guru melakukan apersepsi dengan bertanya jawab dengan siswa.

    5. Guru memberi motivasi siswa agar siswa semangat dalam mengikuti

    kegiatan belajar mengajar.

    6. Guru memberikan orientasi masalah dan siswa memecahkan masalah

    terkait materi yang akan dipelajari.

  • 20

    B. Kegiatan Inti

    Tahap 2 PBL: Organize student’s for study

    1. Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok belajar yang

    beranggotakan 4-5 siswa untuk bermain ular tangga.

    2. Guru memberikan penjelasan peraturan dalam bermain ular tangga.

    3. Guru meminta siswa bersama anggota kelompoknya memainkan

    permainan ular tangga dan menjawab permasalahan yang ada pada

    setiap kotaknya.

    Tahap 3 PBL: Assist independent and group investigations

    4. Guru meminta siswa berdiskusi dan bekerjasama dalam

    menyelesaikan masalah yang disajikan

    5. Guru berkeliling untuk melakukan pengawasan dan pembimbingan

    siswa dalam kelompok

    Tahap 4 PBL: Develop and present artifacts and exhibit

    6. Guru meminta masing-masing kelompok mempresentasikan hasil

    diskusi dan penyelesaian masalah yang ada pada ular tangga di depan

    kelas

    7. Guru meminta siswa yang lain untuk memperhatikan kelompok yang

    sedang mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas.

    8. Guru memberikan penghargaan untuk kelompok yang mampu

    mempresentasikan hasil diskusinya dengan baik.

    9. Guru membimbing siswa menyimpulkan materi yang telah dipelajari.

    C. Kegiatan Penutup

    Tahap 5 PBL: Analyze and evaluate the problem solving process

    1. Guru memberikan kesempatan bertanya kepada siswa mengenai materi

    yang belum dimengerti atau kurang jelas.

    2. Guru memberikan penguatan tentang materi yang telah dipelajari.

    3. Guru melakukan refleksi jalannya pembelajaran.

    4. Guru mengadakan kegiatan evaluasi/pengukuran hasil belajar.

    5. Guru melakukan kegiatan pengukuran motivasi belajar.

    6. Menutup kegiatan belajar mengajar dengan mengucapkan salam.

  • 21

    2.1.5 Hasil Belajar

    2.1.5.1 Pengertian Hasil Belajar

    Pengertian hasil belajar secara fleksibel merupakan nilai atau dalam bentuk

    angka yang didapat siswa setelah melalui ujian, ulangan, maupun melalui

    pengerjaan tugas-tugas dari guru. Namun lebih dalam lagi Susanto (2013:5)

    menerangkan bahwa yang dinamakan hasil belajar yaitu perubahan-perubahan

    yang terjadi pada diri siswa, baik menyangkut aspek kognitif, afektif dan

    psikomotor sebagai hasil dari kegiatan hasil belajar. Dengan demikian dapat

    dipahami bahwa hasil belajar tidak selalu dalam bentuk angka maupun nilai.

    Tetapi juga dalam bentuk perubahan tingkah laku. Adapun dari sumber tersebut

    juga diterangkan bahwa aspek-aspek dalam hasil belajar yaitu Kognitif

    (pengetahuan), Afektif (Sikap) dan Psikomotor (Keterampilan). Sejalan dengan

    Susanto, Suprijono (2009: 5) juga menyatakan hasil belajar adalah pola-pola,

    perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, aspirasi, dan

    keterampilan-keterampilan.

    Kedua sumber yang dikutip tersebut telah membatu penulis menarik

    benang merah bahwa hasil belajar baik itu dalam aspek pengetahuan, sikap,

    maupun keterampilan setelah melalui kegiatan belajar. Artinya, hasil belajar itu

    sendiri merupakan perubahan yang dialami oleh siswa dalam aspek Kognitif

    (pengetahuan), Afektif (Sikap) dan Psikomotor (Keterampilan) setelah

    melaksanakan kegiatan belajar.

    Kurikulum 2013 membagi hasil belajar menjadi 3 kompetensi inti, yaitu

    kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan. Kemudian kompetensi sikap

    dipecah lagi menjadi dua, yaitu kompetensi sikap spiritual dan sosial

    (Kemendikbud, 2013:5). Urutan tersebut mengacu pada urutan yang disebutkan

    dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 yang

    menyatakan bahwa kompetensi terdiri dari kompetensi sikap, pengetahuan dan

    keterampilan. Dalam penelitian ini, hasil belajar yang akan diukur ialah hasil

    belajar pada ranah afektif (sikap), kognitif (pengetahuan) dan psikomotorik

    (keterampilan).

  • 22

    2.1.5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

    Baik atau tidaknya hasil belajar yang diperoleh siswa mampu dipengaruhi

    oleh beberapa faktor. Mulyasa, (2005: 189-196) mengemukakan beberapa faktor

    tersebut seperti di bawah ini:

    1. Faktor Internal

    a. Fisiologis: menyangkut keadaan jasmani atau fisik individu, yang dapat

    dibedakan menjadi dua macam yaitu keadaan jasmani pada umumnya dan

    keadaan fungsi jasmani tertentu terutama panca indera

    b. Psikologis: dari dalam diri seperti intelegensi, minat, sikap, dan motivasi.

    Faktor fisiologis bisa juga disebut dengan faktor kesehatan. Siswa yang

    sedang sakit dan mengikuti pelajaran akan sulit berkonsentrasi karena kondisi

    tubuhnya yang tidak fit. Selain itu, siswa dengan panca inderanya mengalami

    gangguan juga akan kesulitan dalam belajar. Sebagai contoh siswa yang

    pendengarannya terganggu atau penglihatannya terganggu. Akan sangat sulit

    apabila siswa tersebut tidak memakai alat bantu pendengaran atau penglihatan.

    Psikologis, yang berisi faktor intelegensi, minat, sikap, dan motivasi.

    Intelegensi atau kemampuan berpikir setiap tidak dapat disamaratakan. Anak yang

    mempunyai kemampuan berpikir tingkat tinggi akan dengan mudah mencerna apa

    yang disampaikan oleh guru. Sebaliknya, anak dengan tingkat berpikir rendah

    lebih cenderung memakan waktu yang lama untuk memahami apa yang dijelaskan

    oleh guru. Selain itu, cara siswa menyikapi suatu mata pelajaran dan mampu

    menentukan skala prioritas waktu yang disediakan untuk belajar. Sementara itu,

    motivasi belajar juga merupakan faktor yang sangat penting bagi siswa. Sebab

    motivasi belajar merupakan dorongan yang ada pada diri siswa untuk belajar.

    2. Faktor Eksternal

    a. Sosial: menyangkut lingkungan keluarga, sekolah, teman dan masyarakat.

    b. Non Sosial: keadaan rumah, ruang belajar, fasilitas belajar, buku-buku

    sumber, dan sebagainya.

    Keadaan keluarga akan sangat berpengaruh bagi siswa. Siswa tidak hanya

    belajar di sekolah, siswa juga melakukan kegiatan belajar di rumah. Siswa dengan

    keluarga dengan keadaan orang tua yang sering bertengkar akan kesulitan

  • 23

    berkonsentrasi untuk belajar di rumah. Selain itu, pergaulan di sekolah dan di

    masyarakat juga memerlukan perhatian khusus bagi guru maupun orang tua.

    Pertemanan di lingkungan dapat menyebabkan siswa bertambah pintar atau

    sebaliknya menjadi nakal. Lingkungan masyarakat yang dipenuhi oleh orang-

    orang yang tidak terpelajar juga bisa menjadi dampak buruk bagi anak karena

    sebagian besar waktu siswa melakukan kegiatan di lingkungan masyarakat.

    keadaan rumah, ruang belajar, fasilitas belajar, buku-buku sumber, dan

    sebagainya.

    Fasilitas belajar baik di rumah maupun di sekolah juga perlu diperhatikan.

    Hal tersebut seperti rumah yang nyaman dengan ruang belajar yang cukup

    kondusif, perpustakaan sekolah yang dipenuhi buku-buku dari berbagai sumber

    dan bermanfaat bagi siswa.

    2.1.6 Motivasi Belajar

    2.1.6.1 Pengertian Motivasi Belajar

    Menurut Peklaj dan Levpušček (2006: 148), “The most important

    motivational construct, related to the question ‘Do I want to do this activity and

    why?’, is intrinsic end extrinsic motivation”. Terjemahan dari kutipan tersebut

    yakni Konstruksi motivasional yang paling penting, terkait dengan pertanyaan

    "Apakah saya ingin melakukan aktivitas ini dan mengapa?", yaitu motivasi

    intrinsik dan ekstrinsik. Artinya, motivasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu

    motivasi intrinsik dan ekstrinsik.

    Motivasi intrinsik merupakan dorongan yang berasal dari dalam diri siswa.

    Sedangkan ekstrinsik merupakan dorongan untuk melakukan sesuatu yang berasal

    dari luar. Adapun pengertian motivasi yang dikemukakan oleh Hakim (2007: 26)

    adalah suatu dorongan kehendak yang menyebabkan seseorang melakukan suatu

    perbuatan untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan pengertian belajar itu

    sendiri menurut Syarifudin (2011: 116) merupakan suatu perubahan tingkah laku

    yang relatif menetap pada seseorang akibat pengalaman atau latihan yang

    menyangkut aspek fisik maupun psikis, seperti dari tidak tahu menjadi tahu, dari

    tidak berpengetahuan menjadi tahu tentang sesuatu, dari tahu menjadi lebih tahu,

    dari tidak memiliki keterampilan menjadi memiliki keterampilan dan sebagainya.

  • 24

    Proses pembelajaran akan berhasil manakala siswa mempunyai motivasi

    dalam belajar. Oleh karena itu, guru perlu menumbuhkan motivasi belajar siswa.

    Untuk memperoleh hasil belajar yang optimal, guru dituntut kreatif

    membangkitkan motivasi belajar siswa. Salah satu cara yang ditempuh oleh

    peneliti dalam penelitian ini yaitu dengan menghadirkan suasana belajar bermain

    dalam kelas. Jika motivasi belajar diartikan sebagai suatu dorongan yang ada pada

    diri siswa untuk belajar, maka penulis percaya jika siswa mempunyai motivasi

    belajar yang tinggi, hasil belajar siswa juga akan meningkat. Karena siswa akan

    mau untuk mempelajari materi yang diajarkan oleh guru.

    Mencermati beberapa sumber kutipan di atas, disimpulkan bahwa motivasi

    belajar merupakan dorongan atau kehendak, baik itu yang berasal dari luar

    maupun dalam diri siswa untuk berubah dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak

    berpengetahuan menjadi tahu tentang sesuatu, dari tahu menjadi lebih tahu, dari

    tidak memiliki keterampilan menjadi memiliki keterampilan dan sebagainya.

    2.1.6.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar

    Dimyati dan Mudjiono (2010: 97-100) menyebutkan 6 faktor yang mampu

    mempengaruhi motivasi belajar siswa. Keenam faktor tersebut diantaranya:

    1. Cita-Cita

    Jika siswa mempunyai cita-cita, maka dengan sendirinya siswa tersebut

    akan memperkuat semangatnya dalam belajar. Pada anak usia SD dapat

    diajarkan dengan ditekankan pola pikir “menjadi seseorang”.

    2. Kemampuan Belajar

    Kemampuan belajar meliputi beberapa aspek psikis yang terdapat dalam

    diri siswa. Misalnya pengamatan, perhatian, ingatan, daya pikir, dan

    fantasi. Di dalam kemampuan belajar ini, sehingga perkembangan berpikir

    siswa menjadi ukuran. Siswa yang taraf perkembangan berpikirnya konkrit

    (nyata) tidak sama dengan siswa yang berpikir secara operasional

    (berdasarkan pengamatan yang dikaitkan dengan kemampuan daya

    nalarnya). Siswa yang mempunyai belajar tinggi, biasanya lebih

    termotivasi dalam belajar, karena siswa seperti itu lebih sering

    memperoleh sukses dan karena kesuksesan akan memperkuat motivasinya.

  • 25

    3. Kondisi Jasmani dan Rohani

    Kondisi siswa yang sedang sakit atau sedang dalam kondisi emosi

    tentunya akan sulit dalam mengarahkan konsentrasinya untuk belajar.

    4. Kondisi Lingkungan Siswa

    Lingkungan siswa dapat berupa keadaan alam, lingkungan tempat tinggal

    atau keluarga, lingkungan pergaulan atau teman sebaya, dan kehidupan

    masyarakat. Dengan lingkungan yang aman, tentram tertib dan indah maka

    semangat dan motivasi belajar mudah diperkuat.

    5. Unsur-unsur Dinamis Belajar

    Unsur-unsur dinamis dalam belajar adalah unsur-unsur yang

    keberadaannya dalam proses belajar yang tidak stabil, kadang lemah dan

    bahkan hilang sama sekali. Unsur dinamis pada siswa terkait kondisi siswa

    yang memiliki perhatian, kemauan dan pikiran yang mengalami perubahan

    berkat pengalaman hidup yang diberikan oleh lingkungan siswa.

    6. Upaya Guru Membelajarkan Siswa

    Upaya yang dimaksud disini adalah bagaimana guru mempersiapkan diri

    dalam membelajarkan siswa mulai dari penguasaan materi, cara

    menyampaikannya, menarik perhatian siswa, dan mengatur tata tertib di

    kelas atau sekolah.

    2.1.6.3 Indikator Motivasi Belajar

    Motivasi belajar merupakan suatu syarat yang harus dipenuhi seorang siswa

    untuk mempelajari suatu materi pelajaran yang disampaikan oleh guru. Untuk

    mengetahui tingkat motivasi belajar seorang siswa, diperlukan beberapa indikator

    di dalamnya. Menurut Aini (2014: 4), untuk mengetahui kekuatan motivasi belajar

    siswa, dapat dilihat dari beberapa indikator sebagai berikut:

    1. Perasaan senang terhadap pelajaran.

    2. Kemauan untuk belajar.

    3. Perhatian siswa pada saat belajar.

    4. Ketekunan.

    Perasaan senang terhadap pelajaran juga dapat diartikan gairah dalam

    mengikuti pelajaran. Hal ini dapat dilihat dari semangat, dan selalu bergembira

  • 26

    dalam mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru tanpa mengeluh. Selanjutnya,

    siswa dengan motivasi belajar yang tinggi menurut Aini identik dengan adanya

    niat atau kemauan untuk belajar bahkan tanpa harus menunggu perintah. Dengan

    kemauan yang dimiliki oleh siswa dalam belajar, maka mereka dengan sendirinya

    akan tumbuh kemauan belajar secara mandiri. Ciri-ciri siswa yang bermotivasi

    belajar tinggi selanjutnya adalah mempunyai perhatian yang besar terhadap

    pelajaran itu sendiri. Melalui perhatian yang besar ini, para siswa akan dengan

    mudah dalam mencerna apa yang disampaikan dan diajarkan oleh guru.

    2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

    Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian

    yang dilakukan oleh Haryanto (2015) dengan judul Penerapan Problem Based

    Learning Berbantuan Permainan Ular Tangga untuk Meningkatkan Hasil Belajar

    Matematika Kelas IV SD Negeri 03 Jambangan Kecamatan Geyer Kabupaten

    Grobogan Semester I Tahun Ajaran 2015/2016. Hasil penelitian Haryanto

    menunjukkan bahwa dengan menerapkan Problem Based Learning berbantuan

    media pembelajaran permainan ular tangga dapat meningkatkan hasil belajar

    matematika siswa kelas IV SD Negeri 03 Jambangan semester I tahun ajaran

    2015/2016. Hal tersebut dibuktikan hasil belajar matematika pada pra siklus

    sebesar 56,67% atau 17 dari 30, siklus I sebesar 73,33% atau 22 dari 30 siswa,

    siklus II sebesar 93,33% atau 28 dari 30 siswa. Ditinjau dari menunjukkan juga

    menunjukkan adanya peningkatan. Peningkatan tersebut dapat dilihat dari

    kenaikan dari pra siklus, siklus I, dan siklus II yakni 63,97, 72,83, dan 81,93.

    Penelitian yang dilakukan oleh Afandy Rifki (2015) dengan judul

    Pengembangan Media Pembelajaran Permainan Ular tangga Untuk Meningkatkan

    Motivasi Belajar Siswa dan Hasil Belajar IPS di Sekolah Dasar. Hasil penelitian

    terdahulu ini juga menunjukkan dan membuktikan bahwa dengan digunakannya

    media pembelajaran permainan ular tangga mampu mendongkrak motivasi

    maupun hasil belajar siswa. Ditinjau dari motivasi belajar siswa, peningkatan

    dibuktikan dengan aspek keaktifan belajar dan semangat belajar yang meningkat

    sebesar 66,7%. Sedangkan aspek ketertarikan motivasi belajar siswa meningkat

    sebesar 70%. Mengenai hasil belajar, dibuktikan dengan jumlah ketuntasan siswa

  • 27

    dalam belajar. pada pra siklus, ketuntasan belajar hanya mencapai 40%, siklus I

    meningkat menjadi 55% dan meningkat pesat pada siklus II menjadi 100%.

    Dari hasil penelitian yang relevan yang telah diuraikan di atas, peneliti juga

    akan melakukan penelitian yang sama dengan kedua penelitian di atas. Jika

    Haryanto Ari menerapkan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL)

    berbantuan media permainan ular tangga hanya untuk meningkatkan hasil belajar

    siswa dan Afandy Rifki hanya menggunakan media permainan ular tangga untuk

    meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa. Maka peneliti akan membedakan

    penelitian ini dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning

    (PBL) berbantuan media permainan ular tangga untuk meningkatkan motivasi dan

    hasil belajar siswa.

    Kelebihan dari penelitian ini ialah peneliti akan mengukur hasil belajar pada

    tiga ranah, yaitu afektif, kognitif dan psikomotorik. Sedangkan pada penelitian

    yang dilakukan oleh Haryanto Ari hanya mengukur hasil belajar pada ranah

    kognitif saja. Begitu juga dengan penelitian Afand Rifki, hanya mengukur hasil

    belajar pada ranah kognitif saja dan meninggalkan celah berupa tidak diukurnya

    hasil belajar pada ranah afektif dan psikomotorik. Dengan melihat celah tersebut,

    peneliti akan mengisinya sekaligus melengkapi penelitian yang pernah dilakukan

    oleh Haryanto. Jadi, dapat dipastikan bahwa penelitian yang akan dilakukan oleh

    peneliti ini benar-benar berbeda dengan penelitian yang terdahulu.

    2.3 Kerangka Berpikir

    Model pembelajaran yang digunakan oleh guru untuk menyampaikan bahan

    ajar merupakan sesuatu yang mampu mempengaruhi tercapai atau tidaknya tujuan

    kegiatan pembelajaran. Berdasarkan hasil observasi awal yang telah dilakukan

    oleh peneliti, dijumpai beberapa permasalahan dalam kegiatan pembelajaran.

    Permasalahan tersebut yaitu motivasi dan hasil belajar siswa yang masih rendah.

    Kemudian, peneliti melakukan identifikasi permasalahan untuk menemukan sebab

    adanya permasalahan tersebut. Penyebabnya ialah guru belum sepenuhnya

    memberikan materi pelajaran dengan menerapkan metode yang bervariasi dan

    lebih cenderung menggunakan metode ceramah. Selain itu, guru tidak

    menggunakan media sebagai alat bantu dalam membelajarkan siswanya. Dampak

  • 28

    dari adanya beberapa hal tersebut dapat dilihat dari siswa yang kurang antusias,

    kurang aktif, bosan, bermain sendiri, mengabaikan guru. Akibatnya siswa tidak

    menjadi tidak termotivasi dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar dan hasil

    belajar yang didapat rendah.

    Dari masalah tersebut dipilih alternatif pemecahan masalah yakni dengan

    mengubah metode ceramah yang digunakan oleh guru diubah dengan menerapkan

    model pembelajaran yang inovatif. Dengan memahami karakteristik anak kelas IV

    sekolah dasar yang masih suka bermain, penulis melakukan penyesuaian dengan

    menghadirkan suasana bermain sambil belajar. PBL merupakan model

    pembelajaran yang menggunakan permasalahan untuk membelajarkan siswanya.

    Melalui model pembelajaran Problem Based Learning (PBL), pembelajaran yang

    bermakna dapat diperoleh siswa dengan cara melibatkan lingkungan belajar.

    Pembelajaran lingkungan akan lebih bermakna bagi siswa, hal tersebut

    dikarenakan selain memperoleh ilmu pengetahuan secara langsung dari guru,

    siswa juga mempunyai keleluasaan memahami pembelajaran dengan cara

    kooperatif melalui interaksi sosial. Jika dikolaborasikan dengan permainan, tentu

    saja para siswa akan senang dalam belajar, karena ini merupakan suasana baru

    dalam belajar. Hal inilah yang akan menjadi pendorong bangkitnya motivasi siswa

    untuk belajar. Jika dilogika, siswa yang mempunyai motivasi yang tinggi akan

    senang terhadap pelajaran, mempunyai kemauan keras untuk belajar, mempunyai

    perhatian pada saat belajar dan ketekunan dalam belajar. Dengan beberapa

    indikator tersebut, penulis percaya bahwa motivasi belajar yang tinggi juga akan

    diikuti dengan hasil belajar yang tinggi.

    2.4 Hipotesis Tindakan

    Hipotesis penelitian tindakan kelas dirumuskan sebagai di bawah ini:

    1. Diduga langkah-langkah model yang terdapat dalam model pembelajaran

    Problem Based Learning (PBL) berbantuan permainan ular tangga mampu

    membuat siswa lebih aktif dan senang karena adanya suasana bermain

    sambil belajar sehingga mampu meningkatkan motivasi dan hasil belajar

    tematik siswa kelas IV SDN 02 Jumo Kecamatan Kedungjati Kabupaten

    Grobogan.

  • 29

    2. Diduga motivasi belajar siswa kelas IV SDN 02 Jumo Kecamatan

    Kedungjati Kabupaten Grobogan akan meningkat jika model Problem

    Based Learning (PBL) berbantuan permainan ular tangga diterapkan

    dengan ciri-ciri senang terhadap pelajaran, mempunyai kemauan keras

    untuk belajar, mempunyai perhatian pada saat belajar dan ketekunan

    dalam belajar.

    3. Diduga hasil belajar siswa kelas IV SDN 02 Jumo Kecamatan Kedungjati

    Kabupaten Grobogan akan meningkat jika model Problem Based Learning

    (PBL) berbantuan permainan ular tangga diterapkan.