bab ii kajian pustaka · 2013. 7. 2. · kerendahan hati, servanthood atau kehambaan ... definisi...

44
15 BAB II KAJIAN PUSTAKA Dalam setiap penelitian ilmiah kajian pustaka penting untuk diuraikan sebagai dasar dalam membangun konstruk teoritik dan sebagai tolok ukur untuk membangun kerangka berpikir serta menjadi sumber untuk menyusun hipotesis penelitian. Sehubungan dengan hal tersebut dalam bab ini akan diuraikan teori-teori yang mendasari perkembangan servant leadership dan bagaimana hubungan servant leadership dengan faktor kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yang menjadi prediktornya. 2.1. KEPEMIMPINAN 2.1.1. Pengertian Kepemimpinan Menurut Bass (2008) kepemimpinan dapat didefinisikan dalam banyak cara dan definisi itu sangat bergantung pada tujuan dalam membangun organisasi, sehingga tidaklah mengherankan jikalau saat ini ditemukan definisi kepemimpinan yang sangat beragam tergantung pada bagaimana memaknai kepemimpinan tersebut. Menurut Maxwell (2001) kepemimpinan adalah pengaruh. Tidak lebih; tidak kurang. Apabila seseorang tidak mempunyai pengaruh, orang tersebut tidak akan pernah dapat memimpin orang lain. Menurut Yukl (2001) kepemimpinan adalah suatu proses untuk memengaruhi orang lain untuk memahami dan setuju dengan apa yang perlu dilakukan, bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif, serta proses untuk memfasilitasi upaya individu secara bersama- sama dalam mencapai tujuan bersama. Northouse (2004) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses dimana

Upload: others

Post on 08-Feb-2021

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 15

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    Dalam setiap penelitian ilmiah kajian pustaka penting untuk

    diuraikan sebagai dasar dalam membangun konstruk teoritik dan

    sebagai tolok ukur untuk membangun kerangka berpikir serta

    menjadi sumber untuk menyusun hipotesis penelitian. Sehubungan

    dengan hal tersebut dalam bab ini akan diuraikan teori-teori yang

    mendasari perkembangan servant leadership dan bagaimana

    hubungan servant leadership dengan faktor kecerdasan emosional

    dan kecerdasan spiritual yang menjadi prediktornya.

    2.1. KEPEMIMPINAN

    2.1.1. Pengertian Kepemimpinan

    Menurut Bass (2008) kepemimpinan dapat didefinisikan

    dalam banyak cara dan definisi itu sangat bergantung pada tujuan

    dalam membangun organisasi, sehingga tidaklah mengherankan

    jikalau saat ini ditemukan definisi kepemimpinan yang sangat

    beragam tergantung pada bagaimana memaknai kepemimpinan

    tersebut. Menurut Maxwell (2001) kepemimpinan adalah pengaruh.

    Tidak lebih; tidak kurang. Apabila seseorang tidak mempunyai

    pengaruh, orang tersebut tidak akan pernah dapat memimpin orang

    lain. Menurut Yukl (2001) kepemimpinan adalah suatu proses untuk

    memengaruhi orang lain untuk memahami dan setuju dengan apa

    yang perlu dilakukan, bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif,

    serta proses untuk memfasilitasi upaya individu secara bersama-

    sama dalam mencapai tujuan bersama. Northouse (2004)

    mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses dimana

  • 16

    seseorang memengaruhi sekelompok orang untuk mencapai tujuan

    bersama. Menurut Covey (2005) kepemimpinan bukanlah posisi

    formal melainkan sebuah pilihan untuk berhubungan dengan orang

    lain dengan cara mengomunikasikan kepada orang lain nilai dan

    potensi dirinya secara amat jelas, amat kuat, dan amat konsisten

    sehingga orang lain tersebut benar-benar mulai bisa melihat nilai dan

    potensi itu di dalam dirinya.

    Dari berbagai definisi yang telah diuraikan di atas, dapat

    diketahui bahwa kata kunci kepemimpinan adalah proses dan

    pengaruh. Untuk tujuan penelitian ini, kepemimpinan didefinisikan

    sebagai suatu seni mengomunikasikan kepada orang lain nilai dan

    potensi dirinya dengan amat jelas, amat kuat, dan amat konsisten

    supaya orang lain mulai benar-benar melihat hal tersebut dalam

    dirinya. Definisi ini secara implisit mengandung makna bahwa

    kepemimpinan dimulai dari gerakan proses melihat, mengamati atau

    memperhatikan dengan seksama, proses melakukan suatu perbuatan

    (tindakan) atau cara mempraktikkan supaya menghasilkan suatu

    perubahan dalam diri orang lain yang dipengaruhi. Hal ini

    merupakan esensi dari suatu model kepemimpinan yang dapat

    memberikan pengaruh dalam jangka yang panjang yaitu servant

    leadership.

    2.1.2. Pengertian Servant Leadership

    Menurut Greenleaf (dalam Spears, 1999) menyatakan bahwa

    pemimpin besar mula-mula harus melayani orang lain dan bahwa

    kenyataan yang sederhana ini merupakan inti dari kebesarannya.

    Lebih lanjut Greenleaf memberikan batasan tentang servant

    leadership seperti berikut:

  • 17

    Servant leadership dimulai dengan perasaan alami bahwa

    orang ingin melayani, melayani lebih dulu. Kemudian

    pilihan sadar ini membawa orang tersebut untuk

    berkeinginan memimpin. Perbedaan ini memanifestasikan

    diri dalam kepedulian yang diambil pelayan yang mula-

    mula memastikan bahwa prioritas tertinggi orang lain

    adalah dilayani. Ujian terbaik untuk melihat efektivitas

    dari servant leadership adalah apakah orang yang

    dilayani tumbuh secara pribadi, atau apakah sementara

    dilayani orang lain menjadi lebih sehat, lebih bijaksana,

    lebih bebas, lebih mandiri, dan lebih memungkinkan

    dirinya menjadi pelayan.

    Menurut Laub (1999) servant leadership adalah pemahaman

    dan praktek kepemimpinan yang meletakkan kepentingan pengikut

    di atas kepentingan pribadi pemimpin. Servant leadership adalah

    pola pikir, paradigma, dan cara memimpin. Ini adalah cara terlibat

    dalam proses perubahan yang disengaja dimana pemimpin dan

    pengikut berkumpul dengan tujuan bersama dan melakukan tindakan

    untuk mengejar visi bersama (Laub, 2004). Menurut Barbuto dan

    Wheeler (2002, 2006) servant leadership adalah keinginan untuk

    melayani dan kesediaan untuk mengorbankan kepentingan diri

    sendiri untuk kepentingan orang lain. Menurut Northouse (2004)

    servant leadership adalah pendekatan kepemimpinan yang

    didasarkan pada nilai moral dan etika yang kuat, meminta dan

    membutuhkan pemimpin yang berempati dan memperhatikan

    kebutuhan pengikut, menjaga dan memastikan bahwa mereka

    menjadi lebih sehat, lebih bijaksana, lebih bebas dan lebih mandiri,

    sehingga bisa menjadi pemimpin pelayan.

    Menurut (Patterson 2003) pemimpin yang melayani adalah

    seseorang yang cenderung melayani, dan kecenderungan ini

    didasarkan pada prinsip, nilai-nilai, dan keyakinan. Secara khusus

  • 18

    pemimpin yang melayani menunjukkan kasih agape, kerendahan

    hati, altruistik, visioner, memercayai, memberdayakan pengikut, dan

    melayani. Menurut Wong dan Page (2000) servant leadership adalah

    suatu sikap terhadap tanggung jawab kepemimpinan. untuk belajar

    tentang servant leadership, seseorang perlu menempuh perjalanan

    untuk mengalami penemuan diri dan transformasi pribadi. Rahasia

    servant leadership secara bertahap diwahyukan kepada seorang

    pemimpin melalui mendengarkan suara hati nurani yang telah

    menemukan kebenaran. Karena itu Wong dan Page menyatakan

    bahwa inti pokok dari servant leadership adalah keinginan tulus

    untuk melayani orang lain untuk kebaikan bersama. Lebih lanjut

    Wong dan Page (2000) menyatakan bahwa pemimpin yang melayani

    adalah seorang pemimpin yang memiliki tujuan utama adalah

    melayani orang lain yang didasarkan pada orientasi karakter,

    orientasi orang, orientasi tugas, dan orientasi proses, dan secara

    khusus servant leader (pemimpin pelayan) menunjukkan integritas,

    kerendahan hati, servanthood atau kehambaan, kepedulian terhadap

    orang lain, memberdayakan orang lain, mengembangkan orang lain,

    visi, penetapan tujuan, leading atau memimpin, pemodelan atau

    keteladan, membangun tim, dan pengambilan keputusan bersama.

    Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan

    bahwa servant leadership adalah pola pikir, paradigma dan cara

    memimpin yang didasarkan pada prinsip nilai, dan keyakinan yang

    memampukan seorang pemimpin untuk berorientasi pada karakter,

    orientasi orang, orientasi tugas, dan orientasi proses.

  • 19

    2.1.3. Teori Servant Leadership

    Istilah servant leadership dalam agama bukanlah hal yang

    baru sebab ide atau gagasan tentang servant leadership berasal dan

    berakar dari agama. Dalam kekristenan, servant leadership

    (kepemimpinan pelayan) merupakan konsep kepemimpinan yang

    alkitabiah sebagaimana digambarkan dalam Matius 20:25-28;

    Markus 9:33-37; Yohanes 13:1-35 yang telah memberikan kesaksian

    bahwa servant leadership merupakan suatu model yang telah

    ditransformasikan oleh Tuhan Yesus kepada murid-muridNya.

    Sehingga dalam komunitas kristen servant leadership menjadi

    model kepemimpinan yang sangat berpengaruh.

    Dalam ranah ilmiah servant leadership pertama kali

    dipopulerkan oleh Greenleaf pada tahun 1970 melalui karyanya

    yang berjudul The Servant as Leaders. Gagasan servant leadership

    sebagian berasal dari pengalamannya dalam bekerja membentuk

    lembaga besar AT & T. Namun yang mengkristalisasi pemikiran

    Greenleaf adalah pengaruh Novel karya Hermann Hesse, “Journey

    to the East”. Sebuah kisah tentang perjalanan mitos sekelompok

    orang dalam perjuangan spiritual. Tokoh utama kisah ini adalah Leo

    yang berperan sebagai pelayan dan yang memelihara peserta yang

    ikut dalam wisata rohani tersebut dengan jiwa yang penuh

    kepedulian. Selama Leo ada bersama dengan para rombongan segala

    sesuatunya berjalan dengan baik dan lancar. Akan tetapi ketika Leo

    tiba-tiba menghilang dari peredaran semuanya menjadi kacau dan

    berantakan. Dalam pencarian yang panjang akhirnya Leo ditemukan

    dan diperhadapkan pada ordo agama yang mensponsori wisata

    rohani mereka. Leo yang tadinya hanya dianggap sebagai pelayan

  • 20

    ternyata Leo adalah seorang pemimpin yang besar yang berjiwa

    mulia dan berjiwa membimbing. Dari perenungan dan analisis dari

    cerita Hesses’s membawa Greenleaf kepada suatu pemahaman yang

    kritis dan mendasar tentang kepemimpinan: pemimpin besar mula-

    mula harus melayani orang lain dan bahwa fakta yang sederhana ini

    merupakan inti dari kebesarannya. Dengan demikian konsep tentang

    servant leadership “pemimpin adalah hamba” merupakan ciri khas

    pembeda servant leadership dari model kepemimpinan yang lainnya

    (Spears, 1999).

    Setelah Greenleaf mempopulerkan konsep tentang servant

    leadership, maka secara bertahap servant leadership mendapatkan

    popularitas dalam ranah ilmiah baik secara teoritis maupun secara

    empirik. Adapun perkembangan konstruk atau konsepsi servant

    leadership dibangun di atas konsepsi nilai-nilai dasar servant leader

    yang telah digagas oleh Greenleaf.

    Spears (1999) mengembangkan model servant leadership

    didasarkan pada 10 ciri khas servant leadership yang dijadikan tolok

    ukur untuk mengevaluasi efektivitas servant leader dalam organisasi

    yaitu: mendengarkan, empati, menyembuhkan, kesadaran, persuasi,

    konseptualisasi, kemampuan meramalkan, kemampuan melayani,

    komitmen terhadap pertumbuhan orang lain, dan membangun

    masyarakat. Farling, Stone, dan Winston (1999) mengembangkan

    model servant leadership yang didasarkan pada 5 ciri khas servant

    leadership sebagai tolok ukur untuk mengevaluasi efektivitas

    servant leader dalam organisasi yaitu: visi, pengaruh, kredibilitas,

    kepercayaan, dan pelayanan. Sementara Wong dan Page (2000)

    mengembangkan model servant leadership yang didasarkan pada 12

  • 21

    ciri khas servant leadership sebagai tolok ukur untuk mengevaluasi

    efektivitas servant leader dalam organisasi yaitu: integritas,

    kerendahan hati, kehambaan, kepedulian terhadap orang lain,

    memberdayakan orang lain, mengembangkan orang lain, visi,

    penetapan tujuan, memimpin, keteladanan, membangun tim, dan

    pengambilan keputusan bersama.

    Russel dan Stone (2002) mengembangkan model servant

    leadership yang didasarkan pada 20 ciri khas servant leadership

    sebagai tolok ukur untuk mengevaluasi efektivitas servant leader

    dalam suatu organisasi yaitu visi, kejujuran, integritas, kepercayaan,

    pelayanan, keteladanan, perintis, menghargai orang lain,

    memberdayakan orang lain, komunikasi, kredibilitas, kompetensi,

    kepengurusan, visi, pengaruh, persuasi, mendengarkan, dorongan,

    mengajar, dan delegasi. Patterson (2002) mengembangkan model

    servant leadership yang didasarkan pada 7 ciri khas servant

    leadership sebagai tolok ukur untuk mengevaluasi efektivitas

    servant leader dalam organisasi yaitu kasih agape, kerendahan hati,

    altruisme, visi, kepercayaan, pemberdayaan, dan pelayanan. Barbuto

    dan Wheeler (2006) mengembangkan model servant leadership

    yang didasarkan pada 8 ciri khas servant leadership sebagai tolok

    ukur untuk mengevaluasi efektivitas servant leader dalam organisasi

    yaitu Altruistic calling, Emotional healing, wisdom, persuasive

    mapping, organizational stewardship, humility, vision, dan service.

    Sendjaya, Sarros, dan Santora (2008) mengembangkan model

    servant leadership yang didasarkan pada 7 ciri khas servant

    leadership sebagai tolok ukur untuk mengevaluasi efektivitas

    servant leader dalam organisasi yaitu voluntary, subordination,

  • 22

    authentic self, covenantal relationship, responsible morality,

    transcendental spirituality, transforming influence. Liden, Wayne,

    Zhao, dan Henderson (2008) mengembangkan model servant

    leadership yang didasarkan pada 7 ciri khas servant leadership

    sebagai tolok ukur untuk mengevaluasi efektivitas servant leader

    dalam organisasi yaitu emotional healing, creating value for the

    community, conceptual skills, empowering, helping subordinates

    grow and succeed, putting subordinates first, behaving ethically.

    Untuk kepentingan penelitian ini penulis mengadaptasi

    konsep servant leadership Wong dan Page (2000). Sebab dibalik

    konsep ini ada makna yang sangat mendalam yaitu kepemimpinan

    dimulai dari dalam batin yang terpancar keluar mengarahkan

    seorang servant leader dalam proses kepemimpinannya. Dengan

    memperhatikan prinsip dasar servant leadership yang dikemukakan

    oleh Wong dan Page ini seorang servant leader akan semakin efektif

    dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab kepemimpinannya.

    2.1.4. Karakteristik Servant Leadership

    Russell dan Stone (2002) berpendapat bahwa perlu ada

    pembedaan antara servant leadership dan teori-teori kepemimpinan

    lainnya, pembedaan ini didasarkan pada karakteristik dan perilaku

    servant leader. Selanjutnya, Russell dan Stone menetapkan dua

    karakteristik servant leadership yaitu:

    1. Karakteristik fungsional, yaitu kualitas operasional yang

    diamati melalui perilaku servant leader di tempat kerja.

    Perilaku servant leaders tersebut direfleksikan melalui

    visi, kejujuran, integritas, kepercayaan, layanan,

  • 23

    pemodelan, perintis, menghargai orang lain, dan

    pemberdayaan.

    2. Karakteristik yang menyertai karakteristik fungsional

    yaitu komunikasi, kredibilitas, kompetensi, pengawasan,

    visibilitas, pengaruh, persuasi, mendengarkan, dorongan,

    mengajar, dan delegasi.

    Greenleaf (dalam Russell dan Stone, 2002) mengemukakan

    10 karakteristik servant leadership yaitu

    1. Mendengarkan merupakan suatu alat komunikasi yang

    penting dan diperlukan untuk menciptakan komunikasi

    yang baik dan untuk secara aktif menunjukkan rasa

    hormat terhadp orang lain.

    2. Empati merupakan kemampuan menerima dan berempati

    terhadap orang lain.

    3. Penyembuhan merupakan kemampuan untuk

    mentranformasi orang lain untuk menemukan keutuhan

    dalam dirinya.

    4. Kesadaran diri merupakan peluang kepemimpinan yang

    sangat mendasar. Tanpa kesadaran seorang pemimpin

    akan kehilangan peluang kepemimpinan.

    5. Persuasi merupakan kemampuan untuk memengaruhi

    orang lain dengan menggunakan kekuatan persuasi untuk

    mencapai tujuan organisasi.

    6. Konseptualisasi merupakan kemampuan untuk

    memahami dan memberikan jalan keluar yang terbaik

    untuk masalah yang terjadi dalam organisasi.

  • 24

    7. Foresight (pandangan jauh kedepan) merupakan

    kemampuan untuk meramalkan dan menebak apa yang

    akan terjadi di masa depan.

    8. Stewarship (kepedulian) merupakan kemampuan untuk

    selalu peduli terhadap orang lain, bukan hanya pengikut

    yang ada dalam organisasi tetapi organisasi secara

    keseluruhan dan hubungannya dengan masyarakat secara

    umum.

    9. Komitmen terhadap pertumbuhan orang merupakan

    rahasia untuk membangun sebuah lembaga atau institusi

    untuk dapat bekerjasama dalam tim dengan

    memunculkan semua potensi orang lain supaya tumbuh

    menjadi pribadi yang mandiri.

    10. Membangun komunitas merupakan semua yang

    dibutuhkan untuk membangun masyarakat untuk

    mendapatkan kehidupan yang layak (peran servant

    leaders sebagai penunjuk jalan).

    Page dan Wong (2000) membangun bingkai kerja konseptual

    servant leadership dan menetapkan empat orientasi servant leader

    dengan dua belas ciri khas utama yang mengikutinya yaitu:

    1. Orientasi karakter adalah kepedulian seorang servant

    leader dalam menumbuhkan, mengembangkan sikap

    pelayan melalui nilai-nilai, kredibilitas, dan motivasi.

    Ciri khas orientasi karakter ditransformasikan oleh

    servant leader melalui integritas, kerendahan hati, dan

    kehambaan.

  • 25

    2. Orientasi orang adalah kepedulian seorang servant leader

    mengembangkan sumber daya manusia melalui

    komitmen untuk membangun hubungan dengan orang

    yang dilayani. Ciri khas orientasi orang

    ditransformasikan oleh servant leader melalui

    memperhatikan orang lain, memberdayakan orang lain,

    dan mengembangkan orang lain.

    3. Orientasi tugas adalah kepedulian seorang servant leader

    terhadap pencapaian produktivitas dan keberhasilan. Hal

    ini terkait dengan tugas dan keterampilan yang harus

    dimiliki untuk mencapai kesuksesan. Ciri khas orientasi

    tugas ditransformasikan servant leader melalui visi,

    penetapan tujuan, dan memimpin.

    4. Orientasi proses adalah dampak seorang servant leader

    terhadap proses organisasi, yaitu kepedulian untuk

    meningkatkan efisiensi organisasi untuk

    mengembangkan sistem yang fleksibel, efisien, dan

    terbuka. Ciri khas orientasi proses ditransformasikan oleh

    servant leader melalui pemodelan/keteladanan,

    membangun tim, dan pengambilan keputusan bersama.

    Dalam hubungannya dengan penelitian ini, peneliti

    mengadaptasi empat prinsip utama servant leadership dari Page dan

    Wong (2000) yakni orientasi karakter, orientasi orang, orientasi

    tugas, dan orientasi proses. Pemilihan ini didasarkan pada prinsip

    dan keyakinan bahwa parameter keberhasilan pendeta dalam

    melaksanakan tugas tanggung jawab kepemimpinan yang pertama

    dan utama adalah karakter. Karakter menjelaskan siapa pemimpin.

  • 26

    Oleh karena itu baik buruknya perjalanan kepemimpinan seorang

    pemimpin ditentukan oleh karakter.

    2.1.5. Faktor Yang Memengaruhi Servant Leadership

    Hogan, Curphy, dan Hogan (1994) mengemukakan bahwa

    efektivitas servant leadership sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor

    berikut:

    1. Kecerdasan mental (mental agility), pemimpin memiliki

    minat yang besar, rasa ingin tahu dalam segala hal,

    memiliki rasa ingin tahu tentang orang lain dan motivasi

    yang mendasarinya, terbuka pada pengalaman baru, suka

    membaca dan suka akan tantangan.

    2. Stabilitas emosi, pemimpin yang memiliki nilai yang tinggi

    pada stabilitas emosi cenderung memiliki sifat: percaya

    diri, penerimaan diri (self acepting), keseimbangan

    (balanced), tahan terhadap stress, toleran terhadap

    ketidakpastian, dapat bekerja dibawah tekanan, fleksibel

    dan efektif dalam menangani konflik dan umpan balik

    negatif.

    3. Surgency, pemimpin selalu bersifat terbuka, asertif, dan

    memiliki energi yang tinggi, berani mengambil keputusan.

    4. Conscientiousness, pemimpin memiliki sifat hati-hati dan

    sabar, motivasi yang tinggi untuk

    berprestasi,tanggungjawab, integritas yang tinggi, memiliki

    etos kerja, memiliki kemampuan mengorganisasi.

    5. Agreeableness, pemimpin dapat kooperatif, dapat

    berdiplomasi, bersahabat, pembicara yang efektif, dan

    dapat dipercaya.

  • 27

    Sidle (2007) menyatakan ada lima faktor yang memengaruhi

    efektivitas servant leadership yaitu:

    1. Kecerdasan intelektual. Pemimpin yang cerdas secara

    intelektual mempunyai keahlian teknis, mempunyai pemikiran

    yang rasional, dan obyektif, berpikir sesuai fakta yang

    mendorong pemimpin untuk melihat kenyataan dan terus

    belajar untuk menambah pengetahuan.

    2. Kecerdasan emosional. Pemimpin yang cerdas secara

    emosional akan berorientasi pada pelayanan, membangun

    hubungan yang baik untuk mendapatkan dukungan,

    mempunyai keterampilan sosial (pendengar yang baik,

    komunikator yang baik, pandai berkolaborasi dan pemain

    tim).

    3. Kecerdasan intuitif. Pemimpin yang memiliki kecerdasan

    intuitif yang kuat mampu menyerap kesan intelektual dan

    emosional, yaitu mampu melihat apa yang paling penting

    untuk membentuk konseptual, pemikir abstrak yang

    memungkinkan untuk menghubungkan titi-titik dan melihat

    gambaran besar, berorientasi pada perubahan, kreatif dan

    inovatif, spontanitas, mempunyai visi yang memiliki manfaat

    untuk menginspirasi orang lain, membina komitmen, dan

    membangkitkan semangat.

    4. Kecerdasan tindakan (action intelligence). Pemimpin yang

    cerdas dalam bertindak akan didorong oleh tugas dan

    berorientasi pada hasil, berani mengambil kendali atau

    kontrol, berani menantang proses, berani mengambil resiko,

    dan berani bereksperimen untuk membuat sesuatu terjadi dan

  • 28

    yang paling penting adalah pemimpin berjalan sesuai dengan

    perkataan, penunjuk jalan dan menyelaraskan tindakan

    dengan kata-kata dan perbuatan.

    5. Kecerdasan spiritual, yaitu kecerdasan yang mendorong

    pemimpin untuk belajar, bertumbuh, dan menyadari cara

    mengembangkan dan mewujudkan potensi diri yang terbaik.

    Para pemimpin yang efektif memiliki kesadaran diri dan

    pemahaman, memiliki keinginan tidak hanya untuk belajar

    tetapi belajar bagaimana untuk belajar mengembangkan diri

    untuk menjadi pribadi yang pintar, bijaksana, dan hidup

    dalam keseimbangan, terbuka, jujur, dan rendah hati, optimis,

    dan terus belajar untuk menjadikan pengalaman sebagai

    pembelajaran dalam kehidupan yang pada gilirannya

    membuat pemimpin merasa tenang, tenteram, mampu

    beradaptasi dengan perubahan situasi. Ini adalah pemimpin

    sebagai pelajar.

    Menurut Covey (2005) faktor-faktor yang memengaruhi

    efektivitas kepemimpinan adalah

    1. Kecerdasan Mental (IQ) yaitu kemampuan untuk meng-

    analisis, berpikir dan menentukan hubungan sebab-akibat,

    berpikir abstrak, menggunakan bahasa, memvisualisasikan

    sesuatu, dan memahami sesuatu.

    2. Kecerdasan Fisik (PQ) adalah Kemampuan untuk bertindak

    berdasarkan pikiran dan perasaan, dan untuk mewujudkan

    hal-hal yang inginkan.

    3. Kecerdasan Emosional (EQ) adalah pengetahuan mengenai

    diri sendiri, kesadaran diri, kepekaan sosial, empati, dan

  • 29

    kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik dengan

    orang lain. Kecerdasan emosi adalah kepekaan mengenai

    waktu yang tepat, kepatutan secara sosial, dan keberanian

    untuk mengakui kelemahan, menyatakan dan menghormati

    perbedaan.

    4. Kecerdasan Spiritual (SQ) adalah pusat yang paling

    mendasar di antara kecerdasan yang lain, karena menjadi

    sumber bimbingan atau pengarahan bagi tiga kecerdasan

    lainnya. Kecerdasan spiritual mewakili kerinduan manusia

    akan makna dan hubungan dengan yang tak terbatas.

    Dari semua faktor-faktor di atas, dua variabel yang dipilih

    untuk digunakan sebagai variabel prediktor servant leadership

    pendeta yaitu kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.

    2.2. KECERDASAN EMOSIONAL

    2.2.1. Pengertian Kecerdasan Eosional

    Istilah kecerdasan emosional pertama kali berasal dari

    konsep kecerdasan sosial Torndike 1920 yang mendefinisikan

    kecerdasan sosial sebagai kemampuan mengelola hubungan antar

    pribadi baik pria maupun wanita yang merupakan syarat penting

    untuk mencapai kesuksesan dalam berbagai aspek kehidupan

    manusia (Martin, 2006). Tahun 1983 Gardner menyatakan bahwa

    manusia memiliki kecerdasan ganda (multiple intelligence) dua

    diantaranya adalah kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan

    interpersonal. Tahun 1990 istilah kecerdasan emosional resmi

    dicetuskan oleh oleh Salovey dan Mayer ahli psikologi Yale dan

    Hamsphire dengan mengembangkan kecerdasan pribadi Gardner.

    Selanjutnya istilah kecerdasan emosional dipopulerkan oleh

  • 30

    Goleman pada tahun 1995 melalui karyanya Emotional Intelligence:

    why it can matter more than IQ? (Goleman, 2007).

    Menurut Goleman (2007) kecerdasan emosional adalah

    kemampuan mendengarkan emosi dengan baik dan menjadikan hal

    tersebut sebagai sumber informasi penting untuk membangun

    efektivitas hubungan intrapersonal dan interpersonal yang

    diekpresikan melalui kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri,

    empati dan keterampilan sosial. Selanjutnya Goleman, Boyatziz, dan

    McKee (2005) dalam buku Primal Leadership mengemukakan

    bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan pemimpin untuk

    menciptakan resonansi melalui dua kompetensi utama yaitu

    kompetensi pribadi yang terdiri dari kesadaran diri dan manajemen

    diri; kompetensi sosial yang terdiri dari kesadaran sosial dan

    manajemen relasi. Menurut Salovey dan Mayer (dalam Stein dan

    Book, 2002) kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang

    dalam mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan itu

    untuk membantu pikiran memahami perasaan dan maknanya,

    mengendalikan perasaan secara mendalam dan menggunakan

    informasi tersebut untuk membimbing pikiran dan tindakan. Patton

    (1988) mengemukakan bahwa kemampuan menggunakan emosi

    secara efektif akan memungkinkan seseorang mencapai tujuan

    dalam membangun hubungan yang produktif dan meraih

    keberhasilan kerja.

    Menurut Covey (2005) kecerdasan emosional adalah

    pengetahuan mengenai diri sendiri, kesadaran diri, kepekaan sosial,

    empati, dan kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik dengan

    orang lain. Kecerdasan emosi adalah kepekaan mengenai waktu

  • 31

    yang tepat, kepatutan secara sosial, dan keberanian untuk mengakui

    kelemahan, menyatakan dan menghormati perbedaan. Bar-on

    menjelaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan serangkaian

    kemampuan, kompetensi, dan kecakapan non kognitif yang

    memengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi

    tuntutan dan tekanan lingkungan (Stein dan Book, 2002).

    Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa

    kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk menciptakan

    resonansi (keselarasan emosi) diri sendiri dan orang lain dan

    menjadikan hal tersebut sebagai sarana untuk menumbuhkan dan

    mengembangkan kualitas hubungan intrapersonal dan interpersonal

    melalui kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, dan

    manajemen relasi.

    2.2.2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional

    Dulewicz dan Higgs (2000) dalam tinjauan kecerdasan

    emosional mengidentifikasi ada tujuh aspek utama kecerdasan

    emosional dan susunan secara keseluruhan ditunjukkan dalam studi

    empiris sebagai berikut:

    1. Kesadaran diri (self-awareness) adalah kesadaran terhadap

    perasaan diri sendiri dan kemampuan untuk mengenali dan

    mengelola atau mengatur perasaan tersebut.

    2. Ketahanan emosional (emotional resilience) adalah

    kemampuan melakukan tindakan dengan baik dan konsisten

    dalam setiap situasi bahkan ketika berada di bawah tekanan.

    3. Motivasi (motivation) adalah suatu energi yang dimiliki

    seseorang yang mendorong untuk mencapai hasil, membuat

    keseimbangan tujuan jangka pendek dan jangka panjang

  • 32

    untuk mengejar tujuan ketika diperhadapkan dengan

    tantangan dan penolakan.

    4. Sensitivitas interpersonal (interpersonal sensitivity) adalah

    kemampuan memahami kebutuhan orang lain dan perasaan

    orang lain serta menggunakan kesadaran tersebut secara

    efektif dalam berinteraksi dengan orang lain untuk mencapai

    keputusan yang bermanfaat bagi orang lain.

    5. Pengaruh (influence) adalah kemampuan untuk membujuk

    orang lain supaya mau mengubah sudut pandang mereka

    pada masalah atau keputusan.

    6. Intuitif (intuitiveness) adalah kemampuan menggunakan

    wawasan dan interaksi untuk mencapai dan melaksanakan

    keputusan ketika menghadapi informasi yang ambigu.

    7. Kesadaran dan integritas (conscientiousness and integrity)

    adalah kemampuan menampilkan komitmen pada tindakan

    dalam menghadapi tantangan, untuk bertindak secara

    konsisten dan sejalan dengan nilai-nilai etis.

    Sementara Langley (2000) mengelompokkan kecerdasan

    emosional ke dalam empat aspek, yaitu:

    1. Pengelolaandan pengaturan emosi,

    2. Pengertiandan pertimbangan mengenai emosidasar

    3. Penerimaanpengalaman emosional

    4. Perasaandan penilaian emosi

    Goleman (2007) mengelompokkan kecerdasan emosional ke

    dalam lima aspek utama, yaitu:

    1. Kesadaran diri adalah kemampuan seseorang untuk

    mengetahui perasaan dalam dirinya dan efeknya serta

  • 33

    menggunakannya untuk membuat keputusan bagi diri

    sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis akan kemampuan

    diri sendiri dan mempunyai kepercayaan diri yang kuat lalu

    mengaitkannya dengan sumber penyebabnya.

    2. Pengaturan diri adalah kemampuan menangani emosi,

    mengekspresikan emosi, mengendalikan emosi, memiliki

    kepekaan terhadap kata hati serta menggunakan hal tersebut

    dalam hubungan dan tindakan sehari-hari.

    3. Motivasi adalah kemampuan menggunakan hasrat untuk

    membangkitkan semangat dan tenaga untuk mencapai

    keadaan yang lebih baik serta kemampuan mengambil

    inisiatif dan bertindak secara efektif, kemampuan untuk

    bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi.

    4. Empati adalah kemampuan merasakan apa yang dialami oleh

    orang lain, kemampuan memahami perspektif orang lain, ini

    menimbulkan hubungan saling percaya serta kemampuan

    menyelaraskan diri dengan berbagai tipe individu.

    5. Keterampilan sosial adalah kemampuan untuk menangani

    emosi diri sendiri dengan baik pada saat membangun

    hubungan dengan orang lain, menciptakan dan

    mempertahankan hubungan, bisa memengaruhi, memimpin,

    bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan dan bekerja

    sama dalam tim.

    Namun dalam buku kepemimpinan berdasarkan kecerdasan

    emosi, Goleman, Boyatzis, McKee (2005) lebih mempertegas

    sekaligus menyerdahanakan bingkai kerja kecerdasan emosionalnya

    menjadi empat aspek utama, yaitu:

  • 34

    1. Kesadaran diri

    2. Manajemen diri

    3. Kesadaran sosial

    4. Manajemen relasi

    Keempat aspek kecerdasan emosional tersebut di atas bekerja

    bersama-sama dibawah dua kompetensi utama yaitu: kompetensi

    pribadi terdiri dari kesadaran diri, manajemen diri; dan kompetensi

    sosial terdiri dari kesadaran sosial dan manajemen relasi yang

    ditransformasikan pemimpin melalui delapan belas indikator berikut

    ini:

    1. Kesadaran diri emosi yaitu kecakapan pemimpin dalam

    mendeteksi sinyal emosi diri sendiri, mengenali bagaimana

    emosi memengaruhi diri dan kinerja, menyelaraskan diri

    dengan nilai-nilai yang membimbingnya dan secara naluriah

    dapat menentukan tindakan terbaik, melihat gambaran yang

    besar dalam situasi yang kompleks, tegas dan otentik,

    berbicara terbuka tentang emosinya dan keyakinan visi yang

    membimbingnya.

    2. Penilaian diri yang akurat yaitu kecakapan pemimpin dalam

    memahami kelemahan dan kekuatan diri, menunjukkan

    citarasa humor diri sendiri, menunjukkan pembelajaran yang

    cerdas tentang apa yang perlu diperbaiki, menerima kritik

    dan umpan balik yang membangun, mengetahui kapan harus

    meminta bantuan, dan dimana harus memusatkan diri untuk

    menumbuhkan kekuatan kepemimpinan yang baru.

    3. Kepercayaan diri yaitu kecakapan bermain dengan

    kekuatannya, menerima tugas yang sulit, memiliki kepekaan

  • 35

    akan kehadiran dirinya suatu keyakinan diri yang

    membuatnya menonjol dalam kelompok.

    4. Pengendalian diri yaitu kecakapan pemimpin dalam

    mengelola atau mengatur dirinya supaya menemukan cara-

    cara untuk mengatur emosi dan motivasi diri yang sedang

    terganggu dan menyalurkannya melalui cara-cara yang

    bermanfaat. Bersikap tenang dan berpikiran jernih dibawah

    tekanan yang tinggi atau selama situasi krisis.

    5. Transparansi yaitu kecakapan dalam menghidupi nilai-nilai

    hidup, keterbukaan yang otentik kepada orang lain tentang

    perasaan, keyakinan, tindakan yang memungkinkan

    integritas. Secara terbuka mengakui kesalahannya,

    menentang perilaku yang tidak etis pada orang lain dan tidak

    munafik.

    6. Kemampuan menyesuaikan diri yaitu kecakapan pemimpin

    menyesuaikan diri dalam menghadapi berbagai tuntutan

    tanpa kehilangan fokus atau energi, tetap nyaman dengan

    situasi yang mendua yang tidak terhindarkan dalam

    kehidupan organisasi, fleksibel dalam menyesuaikan diri

    dengan tantangan baru, cekatan dalam menyesuaikan diri

    dengan perubahan yang cepat, dan berpikiran gesit ketika

    menghadapi realita baru.

    7. Prestasi yaitu kecakapan pemimpin dalam meningkatkan

    prestasi dengan standar pribadi yang tinggi yang mendorong

    pemimpin untuk terus mencari perbaikan kinerja baik bagi

    dirinya maupun para pengikutnya, menetapkan tujuan yang

    terukur tetapi sangat menantang, pragmatis, mampu

  • 36

    memperhitungkan resiko sehingga tujuan yang telah

    ditetapkan layak untuk dicapai, terus belajar dan mengajar

    cara-cara untuk melakukan segala sesuatu dengan lebih baik.

    8. Inisiatif yaitu kecakapan pemimpin dalam meningkatkan

    kepekaan akan keberhasilan, memiliki apa yang diperlukan

    untuk mengendalikan nasib sendiri, unggul dalam inisiatif,

    menangkap sekaligus menciptakan kesempatan, tidak ragu

    menerobos halangan bahkan berani menyimpang dari aturan

    jika diperlukan untuk menciptakan kemungkinan yang lebih

    baik bagi masa depan.

    9. Optimisme yaitu kecakapan pemimpin mengelola dirinya

    sendiri bisa bertahan sekalipun di tengah kepungan, melihat

    kesempatan didalam kesulitan, melihat orang lain secara

    positif, mengharapkan apa yang terbaik dari orang lain dan

    mengharapkan perubahan di masa depan demi sesuatu yang

    lebih baik.

    10. Empati yaitu kecakapan pemimpin untuk berempati terhadap

    orang lain, mampu menangkap sinyal emosi, membiarkan

    diri merasakan emosi yang dirasakan tetapi tidak dikatakan

    oleh seseorang atau kelompok, mendengarkan dengan cermat

    dan bisa menangkap sudut pandang orang lain, bisa berelasi

    dengan orang-orang dari berbagai latar belakang suku atau

    budaya lain.

    11. Kesadaran berorganisasi yaitu kecakapan pemimpin dalam

    berpolitik, mendeteksi jaringan sosial kerja yang krusial dan

    membaca relasi-relasi yang penting. Memahami nilai-nilai

  • 37

    yang membimbing, memahami aturan-aturan nonverbal yang

    beroperasi dalam organisasi.

    12. Pelayanan yaitu kecakapan pemimpin dalam menumbuhkan

    semangat pelayanan yang tinggi, menumbuhkan iklim emosi

    yang membuat para pengikutnya berkontak langsung dengan

    orang lain di luar organisasi, menjaga relasi di jalan yang

    benar. Memastikan bahwa para pengikutnya mendapatkan

    apa yang dibutuhkannya dan menyediakan diri ketika

    diperlukan.

    13. Inspirasi yaitu kecakapan pemimpin dalam mengelola relasi,

    menginspirasi orang lain untuk menciptakan resonansi,

    menggerakkan orang lain dengan visi atau misi bersama.

    Melakukan apa yang dimintanya dari orang lain,

    mengartikulasikan suatu misi bersama dengan cara

    membangkitkan inspirasi orang untuk mengikutinya.

    14. Pengaruh yaitu kecakapan pemimpin dalam memengaruhi

    orang lain melalui mengelola relasi supaya menemukan daya

    tarik pendengar sampai mengetahui cara mendapatkan

    persetujuan dari orang penting dan jaringan pendukung untuk

    suatu inisiatif.

    15. Mengembangkan orang lain yaitu kecakapan pemimpin

    dalam melakukan pendekatan persuasi guna memberdayakan

    orang lain dalam kelompok, menumbuhkan dan

    mengembangkan kemampuan orang lain, menunjukkan

    minat yang murni dalam membantu orang lain, memahami

    tujuan, kekuatan serta kelemahan orang lain, memberikan

  • 38

    umpan balik yang membangun pada waktu yang tepat dan

    menjadi pembimbing yang alami.

    16. Katalisator perubahan yaitu kecakapanpemimpin untuk

    mengenali kebutuhan akan perubahan, menentang status quo,

    dan memenangkan aturan baru, menjadi penasihat yang kuat

    terhadap perubahan, membuat argumentasi yang

    menyemangati bahkan menemukan cara-cara praktis untuk

    mengatasi hambatan.

    17. Pengelolaan konflik yaitu kecakapan pemimpin dalam

    mengelola konflik dengan cara mengumpulkan semua pihak,

    mengangkat konflik kepermukaan, mengerti sudut pandang

    yang berbeda, mengakui perasaan dan pandangan dari semua

    pihak kemudian menemukan dan mengarahkan energi ke

    arah cita-cita bersama yang dapat disepakati oleh setiap

    orang.

    18. Kerjasama tim dan kolaborasi yaitu kecakapan pemimpin

    dalam menumbuhkan suasana kekerabatan yang ramah dan

    memberikan teladan dalam memberikan penghargaan

    melalui sikap bersedia membantu dan kerjasama, menarik

    orang lain dalam komitmen yang aktif dan antusias bagi

    usaha bersama, dan membangun semangat serta identitas.

    2.2.3. Manfaat Kecerdasan Emosional

    Goleman (2007) dalam bukunya Working With Emotional

    Intelligence menuliskan berdasarkan hasil penelitian para neurolog

    dan psikologi manusia memiliki dua pikiran, yaitu pikiran rasional

    dan pikiran emosional. Pikiran rasional digerakkan oleh kemampuan

    intelektual (IQ), sedangkan pikiran emosional digerakkan oleh

  • 39

    emosi. Kedua pikiran tersebut bersifat saling mempengaruhi dalam

    membentuk kehidupan mental manusia. Pikiran rasional adalah

    model pemahaman yang lazimnya dapat disadari, lebih menonjol

    kesadarannya, bijaksana, mampu bertindak hati-hati dan merefleksi

    sedangkan pikiran emosional memberi respon cepat namun ceroboh,

    sehingga mengarahkan respons seketika manusia dalam menghadapi

    situasi tanpa berpikir sejenak dan mempertimbangkan akibat dari

    respons sehingga emosi yang lepas kendali atau tidak terkontrol

    membuat orang pandai menjadi bodoh (Alder, 2001).

    Interaksi manusia yang berhasil dalam bentuk apa pun

    memerlukan kecerdasan emosional. Dalam kaitannya dengan

    kepemimpinan, Elliott (2003) dan Robins (2001) menyatakan bahwa

    kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor penting yang

    sangat memengaruhi efektivitas kepemimpinan. Dikatakan demikian

    karena model kemampuan kecerdasan emosional menyediakan

    media yang sesuai untuk menguji mengapa para pemimpin

    membutuhkan kecerdasan emosional melalui pertanyaan “mengapa

    pemimpin dituntut untuk memiliki kemampuan mengidentifikasi,

    menggunakan, mengerti, dan mengelola emosi”? Pernyataan ini

    didukung oleh sejumlah bukti empiris, diantaranya adalah penelitian

    yang dilakukan Cooper (1997) menyebutkan bahwa orang dengan

    tingkat kecerdasan emosional yang tinggi lebih berhasil dalam karir,

    dapat membangun hubungan personal yang lebih baik, memimpin

    lebih efektif, dapat menikmati kesehatan lebih baik dan dapat

    memotivasi dirinya sendiri dan orang lain. Selanjutnya Cooper

    menjelaskan bahwa orang yang memiliki kecerdasan emosi tinggi

    dapat meningkatkan kekuatan intuisi, senantiasa memercayai dan

  • 40

    dipercayai oleh orang lain, memiliki integritas, dapat memecahkan

    solusi dalam keadaan yang darurat dan dapat melakukan

    kepemimpinan yang efektif. Goleman, Boyatzis, dan McKee (2005)

    dalam penelitiannya tentang primal leadership menyatakan bahwa

    tugas emosi pemimpin itu bersifat primal, karena (1) dalam

    sepanjang sejarah pemimpin selalu bertindak sebagai pembimbing

    emosi kelompok, (2) pemimpin harus bisa menciptakan resonansi

    dalam kelompok. Artinya pemimpin harus menyelaraskan diri

    dengan perasaan orang-orang lain dan menggerakkan perasaan

    tersebut ke arah yang positif untuk memberdayakan orang-orang

    dalam kelompok dalam harmonisan dan kerjasama untuk mencapai

    tujuan.

    Gemmell (2010) dalam tulisannya tentang emotional

    intelligence and outdoor leadership memberikan simpulan aplikatif

    kecerdasan emosional terhadap efektivitas kepemimpinan, dimana

    Gemmell menyatakan bahwa kecerdasan emosional dapat

    meningkatkan pengaruh pemimpin, dapat memfasilitasi aspek

    pribadi dan kelompok, memiliki kemampuan menafsirkan respon

    emosional ketika dihadapkan dengan tekanan atau tantangan besar,

    peka terhadap kebutuhan pengikut, unggul dalam inisiatif dan

    memliliki ketangguhan dalam resolusi konflik, mampu menanggapi

    krisis dengan efektif. Palmer, Walls, Burgges, Stough (2001)

    melakukan penelitian tentang kecerdasan emosional dan

    kepemimpinan yang efektif menemukan adanya hubungan yang

    positif antara kecerdasan emosional dengan kepemimpinan yang

    efektif. Mereka menyatakan bahwa aspek-aspek kecerdasan

    emosional diidentifikasi sebagai dasar efektifivitas kepemimpinan.

  • 41

    Senada dengan itu Yukl (2001) mengemukakan bahwa

    orang-orang yang cerdas secara emosional dapat menyesuaikan diri

    dengan lebih baik, tidak mengalami gangguan psikologis, lebih

    menyadari kekuatan dan kelemahan pribadi, lebih berorientasi pada

    pertumbuhan orang, mampu mengendalikan diri dan tidak egois.

    Pernyataan semakin ditegaskan oleh Chen, Jacobs, dan Spencer

    (1998) yang menyatakan bahwa hampir 90 persen dari keberhasilan

    dalam posisi kepemimpinan disebabkan oleh kecerdasan emosional.

    Uraian ini menjadi dasar pijakan peneliti mengambil kecerdasan

    emosional sebagai prediktor terhadap servant leadership.

    2.3. KECERDASAN SPIRITUAL

    2.3.1. Pengertian Kecerdasan Spiritual

    Konsep kecerdasan spiritual pertama kali diperkenalkan oleh

    Zohar dan Marshall pada akhir abad kedua puluh. Gagasan ini

    muncul ketika Zohar dan Marshall mengamati pengalaman Mats

    Lederhausen; seorang profesional muda yang meraih puncak

    kesuksesan pada usia 30-an. Namun demikian Chief Executif Mc

    Donald’s Swedia ini menghadapi dilema karier. Mats tidak

    merasakan bahagia kendati keluarganya harmonis dan kelimpahan

    uang. Mats prihatin dengan krisis lingkungan hidup dan runtuhnya

    masyarakat yang marak di berbagai belahan dunia. Perusahaan

    tempatnya bekerja tidak mampu melakukan sesuatu untuk

    memperbaiki keadaan, Mats merasa bekerja hanya mencari uang

    selama 13 jam perhari, namun Mats tidak mengabdikan hidupnya

    untuk hal-hal yang sangat penting karena itu Mats ingin hidup

    memiliki arti dengan menjadi bagian dari solusi bukan masalah.

    Pengalaman Mats menurut Zohar dan Marshall sebagai bentuk sosok

  • 42

    pekerja yang memiliki kercerdasan hati nurani, kecerdasan tersebut

    memberikan kesadaran bahwa hidup punya dimensi lebih dalam,

    dari pada sekedar menghabiskan waktu untuk menumpuk modal

    material (Widyawan, dalam Jauhari, 2007).

    Menurut Zohar dan Marshall (2000) kecerdasan spritual

    adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan

    makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku

    dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya,

    kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang

    lebih bermakna dibandingkan yang lain. Kecerdasan spiritual

    merupakan fondasi mendasar untuk memanfaatkan kecerdasan

    intelektual dan kecerdasan emosional. Busan (2003) menyatakan

    bahwa kecerdasan spiritual terkait dengan cara menumbuhkan dan

    mengembangkan kualitas-kualitas vital seperti energi, semangat,

    keberanian dan tekat. Menurut Sinetar (2000) kecerdasan spiritual

    merupakan kecerdasan untuk mendapatkan inspirasi, dorongan, dan

    efektivitas yang terinspirasi, theis-ness atau penghayatan ketuhanan.

    Sedangkan Eckersley (2000) memberikan pengertian yang lain

    mengenai kecerdasan spiritual. Menurutnya Kecerdasan spiritual

    adalah perasaan intuisi yang dalam terhadap keterhubungan dengan

    dunia luas di dalam hidup manusia.

    Berman (2001) menyatakan bahwa kecerdasan spiritual

    dapat memfasilitasi dialog antara pikiran dan emosi, antara jiwa dan

    tubuh. Lebih lanjut Berman menyatakan bahwa kecerdasan spiritual

    juga dapat membantu sesorang untuk dapat melakukan transedensi

    diri. Senada dengan itu, Sukidi (2004) menyatakan bahwa

    kecerdasan spiritual adalah kecerdasan jiwa yaitu kecerdasan yang

  • 43

    membuat seseorang utuh, sehingga dapat mengintegrasikan fragmen

    kehidupan, aktivitas dan keberadaannya. Sementara King (2008)

    menyatakan bahwa kecerdasan spiritual adalah sekumpulan

    kapasitas mental adaptif yang didasarkan pada aspek-aspek non

    material dan transenden dari realitas, secara khusus yang

    berhubungan dengan critical existential thinking, personal meaning

    production, transcendental awareness, conscious state expansion.

    Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa

    kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk menumbuhkan dan

    mengembangkan kualitas nilai-nilai spiritual melalui critical

    existential thinking, personal meaning production, transcendental

    awareness, conscious state expansion.

    2.3.2. Ciri-ciri Kecerdasan Spiritual

    Berdasarkan teori Zohar dan Marshall (2000) dan Sinetar

    (2001) ciri-ciri kecerdasan spiritual adalah sebagai berikut:

    1. Mempunyai kesadaran diri. Adanya tingkat kesadaran yang

    tinggi dan mendalam sehingga bisa menyadari situasi yang

    datang dan menanggapinya.

    2. Mempunyai visi. Ada pemahaman tentang tujuan hidupnya,

    mempunyai kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-

    nilai.

    3. Fleksibel. Kemampuan seseorang untuk bersikap fleksibel,

    menyesuaikan diri secara spontan dan aktif untuk mencapai

    hasil yang baik, mempunyai pandangan yang pragmatis

    (sesuai kegunaan) dan efisien tentang realitas.

    4. Berpandangan holistik. Melihat bahwa diri sendiri dan orang

    lain saling terkait dan bisa melihat keterkaitan antara

  • 44

    berbagai hal. Dapat memandang kehidupan yang lebih besar

    sehingga memiliki kemampuan dalam menghadapi dan

    memanfaatkan kesengsaraan sebagai sumber informasi untuk

    menggali dan menemukan makna dibalik pengalaman

    tersebut.

    5. Melakukan perubahan. Terbuka terhadap perbedaan,

    memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi dan

    status quo, menjadi orang yang bebas merdeka.

    6. Sumber inspirasi. Mampu menjadi sumber inspirasi bagi

    orang lain, mempunyai gagasan-gagasan yang segar dan

    menantang

    7. Refleksi diri, mempunyai kecenderungan untuk memikirkan

    hal yang mendasar dan pokok.

    Menurut Mahanaya dalam Nggermanto (2002) ciri-ciri orang

    yang memiliki kecerdasan spitiual yang tinggi adalah

    1. Memiliki fisik yang kuat

    2. Mampu melihat kesatuan dan keragaman

    3. Mampu memaknai setiap sisi kehidupan

    4. Mampu mengelola dan bertahan dalam kesulitan penderitaan

    2.3.3. Aspek-aspek Kecerdasan Spiritual

    King (2008) mengelompokan empat aspek utama dari

    Kecerdasan Spiritual yaitu:

    1. Critical existential thinking adalah kapasitas untuk secara

    kritis merenungkan sifat dari keberadaan, realitas, alam

    semesta, ruang, waktu, kematian, dan isu-isu eksistensial

    atau metafisika lainnya. Setiap individu benar-benar harus

    dapat merenungkan masalah eksistensial dengan

  • 45

    menggunakan pemikiran kritis yang akan memberikan

    kemampuan kepada setiap individu tersebut untuk

    menerapkan bentuk berpikir kristis tentang pengalaman

    lainnya dalam kaitannya dengan keberadaan seseorang

    supaya dapat mengambil suatu simpulan murni yang dapat

    dijadikan filosofi pribadi tentang keberadaan dan realitas.

    2. Personal meaning production adalah kemampuan untuk

    memperoleh makna pribadi dan tujuan dari semua

    pengalaman fisikal dan mental, termasuk kapasitas untuk

    membuat keputusan dan menguasai kehidupan sesuai

    dengan tujuan hidup.

    3. Transcendental awareness adalah kemampuan untuk

    mengidentifikasi dimensi transenden atau gambar

    transenden dari diri sendiri, orang lain dan dunia fisikal

    yang disertai dengan kemampuan untuk mengidentifikasi

    hubungan semua itu dengan diri sendiri dan orang lain

    secara fisikal dalam kondisi kesadaran normal.

    4. Conscious state expansion adalah kemampuan untuk masuk

    dan keluar kepada keadaan kesadaran spiritual yang lebih

    tinggi atas kebijaksanaan pribadi perenungan yang dalam

    atau refleksi, meditasi, doa dan sebagainya. Kesadaran

    spritual tersebut meliputi kesadaran murni, kesadaran

    kosmik, kesatuan, keutuhan pada keleluasan seseorang.

    Amran (2007) mengelompokkan kecerdasan spiritual dalam

    tujuh dimensi, yakni:

  • 46

    1. Conciousness (kesadaran) meliputi mindfulness, pengetahuan

    transrasional dan praktek-praktek untuk mengembangkan

    kualitas spiritual;

    2. Grace (anugerah) adalah kehidupan dalam kesucian yang

    memanifestasikan kasih dan kepercayaan

    3. Meaning (makna) adalah memaknai aktivitas sehari-hari

    melalui pengertian tentang tujuan dan panggilan untuk

    melayani, termasuk dalam penderitaan dan kesakitan

    4. Transcendence (transendensi) adalah masuk dalam inter

    koneksi dengan keutuhan (wholeness, holism)

    5. Truth (kebenaran) adalah kehidupan dalam penerimaan yang

    terbuka dan menaruh kasih terhadap semua ciptaan

    6. Peaceful surrender to Self (Truth, God, Absolute, true nature)

    adalah kedamaian penyerahan pada Yang Maha Kuasa atau

    Kuasa yang Absolut

    7. Inner directedness mencakup kebebasan, ketajaman dan

    integritas.

    Sinetar (2001) menuliskan beberapa aspek dalam kecerdasan

    spiritual yaitu :

    1. Kemampuan untuk memilih merupakan kemampuan untuk

    memilih dan menata hidup berdasarkan suatu visi batin yang

    tetap dan kuat yang memungkinkan seseorang hidup

    mengorganisasikan bakat.

    2. Kemampuan untuk melindungi diri. Individu mempelajari

    keadaan dirinya baik bakat maupun keterbatasannya untuk

    menciptakan dan menata pilihan terbaiknya.

  • 47

    3. Memperlihatkan kedewasaaan. Kedewasaan berarti tidak

    menyembunyikan kekuatan-kekuatan dan ketakutan dan

    sebagai konsekuensinya adalah memilih untuk menghindari

    kemampuan terbaik.

    4. Kemampuan mengikuti cinta. Memilih antara harapan-harapan

    orang lain lebih penting daripada kepentingan diri sendiri.

    5. Disiplin pengorbanan diri. Mau berkorban untuk orang lain,

    pemaaf tidak mudah prasangka buruk terhadap orang lain dan

    selalu ingin membuat orang lain bahagia.

    Dari uraian di atas, diketahui bahwa kecerdasan spiritual

    merupakan pijakkan yang paling dasar dalam mengoptimalkan

    kecerdasan emosional dan merupakan landasan tertinggi untuk

    meningkatkan kualitas servant leadership pendeta di dalam

    pelayanan. Kecerdasan spiritual akan lebih memungkinkan pendeta

    mengalami transformasi pribadi. Untuk kepentingan penelitian ini

    peneliti mengadaptasi aspek-aspek kecerdasan spiritual yang

    dikemukakan oleh King (2008).

    2.3.4. Manfaat Kecerdasan Spiritual

    Menurut Fluker (2008), Spiritualitas sebagai esensi yang

    memisahkan umat manusia dari semua makhluk lain memungkinkan

    seseorang untuk melihat tahapan pengalaman, makna, nilai, dan

    tujuan yang lebih tinggi dari sudut pandang materialistik dan

    mengungkapkan kerinduan yang dalam tentang kesatuan dengan diri

    sendiri dan berdiri sebagai bagian integral dari kesejahteraan.

    Kecerdasan spiritual berperan sebagai landasan untuk dapat

    memfungsikan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional

    secara efektif dan menjadikan manusia benar-benar utuh secara

  • 48

    intelektual, emosional, dan spiritual (Martin, 2001). Suatu penelitian

    yang dilakukan oleh Chakraborty dan Chakraborty (2004) tentang

    kecerdasan spiritual dan kepemimpinan menyatakan spiritualitas

    berpengaruh terhadap bagaimana seseorang bersikap sebagai

    pemimpin. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki

    kecerdasan spiritual, yang pada gilirannya membawa nilai-nilai

    spiritualitas dalam kepemimpinan.

    Dengan demikian pendeta yang cerdas secara spiritual akan

    dapat memanusiakan manusia, menciptakan perubahan yang positif

    baik dalam komunitasnya maupun dalam masyarakat luas. Filosofi

    untuk mengidentifikasi dan menyelaraskan nilai pribadi dengan

    tujuan yang jelas. Dengan melihat peran penting kecerdasan spiritual

    terhadap efektivitas kepemimpinan termasuk didalamnya servant

    leadership yang menjadi dasar pijakan peneliti menetapkan

    kecerdasan spiritual sebagai prediktor terhadap servant leadership.

    2.4. HASIL-HASIL PENELITIAN SEBELUMNYA

    Dari penelusuran penulis pada berbagai hasil kajian

    penelitian, kajian tentang kecerdasan emosional dan kecerdasan

    spiritual secara parsial maupun simultan (bersama) dapat dijadikan

    sebagai prediktor servant leadership masih sangat terbatas di

    Indonesia. Namun demikian publikasi mengenai kecerdasan

    emosional dan spiritual secara parsial sebagai prediktor efektivitas

    kepemimpinan telah banyak dilakukan di Indonesia maupun negara-

    negara di luar Indonesia. Berikut ini akan dipaparkan beberapa hasil

    penelitian terdahulu mengenai kecerdasan emosional dan kecerdasan

    spiritual khususnya berkaitan dengan penelitian ini.

  • 49

    2.4.1. Kecerdasan Emosional danServant Leadership

    Dalam kaitan dengan kepemimpinan, kecerdasan emosional

    memainkan peran yang sangat penting dalam menentukan efektivitas

    pemimpin. Seorang pemimpin yang efektif menggunakan pengaruh

    hubungan interpersonal dengan baik. Hal ini sejalan dengan Astuti

    (2007) yang telah melakukan penelitian terhadap pemimpin The

    Executive Club Jakarta, metode yang digunakan adalah penelitian

    kuantitatif dengan pengumpulan data melalui studi kepustakaan,

    wawancara dan kuesioner yang di isi oleh 50 responden. Hasil

    penelitiannya menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan

    antara kecerdasan emosional dan efektivitas kepemimpinan sebesar

    51,70%, sedangkan sisanya 48,30% dipengaruhi oleh faktor-faktor

    lain. Umiyati (2006) dalam penelitiannya yang difokuskan terhadap

    para pimpinan Pusdiklat Regional Depdagri Yogyakarta menemukan

    bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara kecerdasan

    emosi dengan efektivitas kepemimpinan sebesar 0,403 atau 40,3%.

    Amirusi (2009) melakukan penelitian terhadap 41 kepala

    sekolah di Sekolah Dasar Negeri Kabupaten Sampang,

    menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis penelitian

    korelasional (correlation research) menemukan bahwa aspek-aspek

    kecerdasan emosional yaitu kesadaran diri, pengaturan diri,

    motivasi, empati, dan keterampilan sosial secara simultan

    berpengaruh signifikan terhadap keefektifan kepemimpinan kepala

    sekolah dasar negeri di Kabupaten Sampang dengan koefisien

    korelasi bersama (R) sebesar 0,729 dan koefisien determinasi atau R

    Square (R2) sebesar 53,2%. Artinya kecerdasan emosional

    (kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati dan keterampilan

  • 50

    sosial) dapat menjelaskan korelasi sebesar 53,2% terhadap

    keefektifan kepemimpinan kepala sekolah dasar negeri di Kabupaten

    Sampang. Sementara sisanya sebesar 46,8% menandakan masih ada

    variabel lain di luar pembahasan penelitian.Wong dan Law (2002)

    menguji pengaruh kecerdasan emosional pemimpin dan bawahan

    terhadap kinerja dan sikap. Hasilnya menunjukkan bahwa

    kecerdasan emosional bawahan berdampak pada kinerja dan

    kepuasan kerja, demikian juga kecerdasan emosional pemimpin

    berdampak pada kepuasan dan perilaku pemimpin dalam

    menjalankan peran kepemimpinan. Selain itu, hasil penelitian lain

    menunjukkan kecerdasan emosional sangat menentukan kesuksesan

    manusia dalam membangun interaksi sosial (Bar-on, 2006; Brackett,

    Warner dan Bosco, 2005); meningkatkan efektivitas kerja (Fabiola

    2005); bahkan kecerdasan emosional telah terbukti menjadi

    prediktor potensial efektivitas kepemimpinan (Goleman, 2000,

    Duning 2000; Cooper dan Sawaf, 2002).

    Jordan, Askanasy, Hartel, dan Hooper (2002) melakukan

    penelitian tentang hubungan kecerdasan emosional dan efektivitas

    tim, dan fokus tujuan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa rata-

    rata tingkat kecerdasan emosional dari anggota tim tercermin dari

    awal kinerja kelompok. Kelompok yang memiliki kecerdasan

    emosional yang rendah menunjukkan kinerja kelompok yang rendah

    sementara kelompok yang memiliki kecerdasan emosional yang

    tinggi kinerja kelompok yang tinggi pula. Darling dan Walker

    (2001) dalam penelitiannya menemukan bahwa kecerdasan

    emosional sangat berperan dalam menentukan efektivitas pemimpin

    dalam mengelola konflik. Fenwick (2003) menemukan bahwa

  • 51

    kecerdasan emosional memainkan peran penting terhadap kesiapan

    seseorang dalam mencipta dan berinovasi.

    Kellett, Humphrey, dan Sleeth (2002) dalam penelitiannya

    menemukan empati merupakan prediktor penting dalam timbulnya

    kepemimpinan. Empati merupakan ciri kunci yang menampilkan

    perilaku servant leadership dalam melayani, memberdayakan, dan

    melemparkan visi kepada para pengikut. Empati adalah

    mempertimbangkan perasaan para pengikut, dan kemudian membuat

    keputusan yang bijaksana yang menggeser perasaan-perasaan

    menjadi respon. Dan yang terpenting empati memungkinkan

    resonansi, jika tidak ada empati maka pemimpin akan bertindak

    dengan cara yang disonansi (Goleman, Boyatzis, dan McKEE,

    2005).

    Selanjutnya Rapisarda (2002) mengemukakan pemimpin

    yang dapat merasakan perasaan orang lain akan lebih memiliki

    kemampuan mengembangkan ikatan emosional dengan orang lain.

    Pemimpin pelayan yang peduli dengan perasaan pengikut akan

    menfasilitasi pertukaran kuasa timbal-balik yang memungkinkan

    pengikut masuk ke dalam visi bersama sehingga pengikut merasa

    dihargai, dilayani dan solusi yang paling efektif dapat dicapai untuk

    kebaikan yang lebih besar. Page dan Wong (2000) menyatakan

    servant leader yang cerdas secara emosi akan lebih tertarik kepada

    hasil yang bermanfaat bagi orang lain seperti halnya dirinya sendiri.

    Para servant leader melayani untuk kebaikan orang lain dengan

    tidak mencari pengakuan tetapi belajar dari pengikut, melayani

    melampaui kepentingan pribadi dan melihat kepemimpinan sebagai

    tanggung jawab dan bukan melihat kepemimpinan sebagai posisi.

  • 52

    Selanjutnya Schutte (2001) dalam penelitiannya menemukan

    hubungan yang erat antara kecerdasan emosional dengan pelayanan.

    2.4.2. Kecerdasan Spiritual dan Servant Leadership

    Reave (2005) melakukan tinjauan literatur menemukan

    kecerdasan spiritual secara konsisten mempengaruhi efektivitas

    kepemimpinan. Servant leader yang cerdas secara spiritual akan

    menunjukkan nilai-nilai spiritual melalui, integritas, kepercayaan,

    pengaruh transformasi etika, komunikasi yang jujur, kerendahan hati

    sekaligus menunjukkan perilaku spiritual melalui menghormati dan

    menghargai orang lain, memperlakukan orang lain dengan lebih

    baik, mengungkapkan kepedulian dan perhatian, mendengarkan

    secara responsif, menghargai kontribusi orang lain, dan terlibat

    dalam praktek spiritual. Delbecq (1999) melaporkan pengaruh dari

    sebuah kursus pengembangan spiritual untuk pemimpin-pemimpin

    bisnis yang terdiri dari 9 CEO dan 9 MBA di Silicon Valley. Kursus

    tersebut berfokus pada integrasi kepemimpinan bisnis sebagai

    sebuah panggilan, mendengarkan suara batin di tengah pergolakan,

    integrasi diri untuk menanggapi tantangan-tantangan serta hambatan

    dalam kepemimpinan. Delbecq melaporkan feedback yang positif

    dari kebanyakan partisipan tentang pengaruh kursus ini dalam

    praktek kepemimpinan bisnis mereka.

    Selanjutnya hasil penelitian terdahulu yang menunjukkan

    pentingnya kecerdasan spiritual dalam kehidupan manusia

    diantaranya: kecerdasan spiritual erat kaitannya dengan tujuan

    hidup, kepuasan, dan kesehatan (George, Larson, Koening, dan

    McCullough, 2000); membuat seseorang bertahan hidup lebih lama

    (Elmer, Lori, McDonald, Douglas, Friedman, dan Haris, 2003);

  • 53

    membuat seseorang memaknai masalah dan mengatasi trauma

    dengan lebih baik (Emmons, 2000); dan memiliki tingkat depresi

    yang rendah (McDonald, douglas, Friedman, dan Haris, 2002).

    Hasil penelitian Hendrik dan Luderman (1997) menunjukkan

    bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang memiliki

    kualitas kecerdasan spiritual yang baik. Pemimpin yang cerdas

    secara spiritual memiliki integritas, terbuka, menerima kritik, rendah

    hati, mengenal dirinya sendiri dengan baik, memahami orang lain

    dengan baik, terinspirasi oleh visi, dan selalu mengupayakan yang

    terbaik bagi diri mereka sendiri maupun bagi orang lain. Demikian

    juga Samiyanto (2011) melalui hasil penelitiannya menunjukkan

    bahwa tingkat kecerdasan spiritual pemimpin (manajer) berpengaruh

    secara positif signifikan terhadap perilaku servant leadership

    manajer. Semakin tinggi tingkat kecerdasan spiritual manajer akan

    berpengaruh pada meningkatnya perilaku servant leadership.

    khususnya perilaku cinta kasih dan rasa kemanusiaan, kepercayaan,

    pemberian kewenangan kepada anggota, perhatian terhadap visi

    organisasi dan anggota, dan kesederhanaan. Andree & Kristyanti

    (2007) melakukan penelitian tentang gambaran peranan kecerdasan

    spiritual dalam pengambilan keputusan seorang pemimpin terhadap

    dua orang manajerial tingkat atas masing-masing manajer diwakili

    oleh satu orang pengikutnya, menggunakan model penelitian

    kualitatif, pengambilan data dengan metode wawancara. Hasil

    wawancara di interpretasi dengan analisis induktif dan pendekatan

    holistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua pemimpin

    memiliki kualitas kecerdasan spiritual yang dibutuhkan dalam

    menjalankan organisasinya yang ditunjukkan melalui adanya visi,

  • 54

    makna dan nilai yang di anut oleh masing-masing pemimpin. Visi,

    makna dan nilai di peroleh para pemimpin dalam kehidupannya

    sehari-hari yang dipelajari dari lingkungan sekitarnya. Kedua

    pemimpin yang menjadi responden terlihat mengandalkan

    kecerdasan spiritual dalam pengambilan keputusan. Dua faktor

    utama dari kecerdasan spiritual yang sangat terlihat peranannya

    dalam pengambilan keputusan adalah visi pemimpin untuk

    organisasinya serta nilai hidup yang dipegang teguh.

    2.5. LANDASAN TEORI

    2.5.1. Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual sebagai

    prediktor Servant Leadership

    Servant leadership akan berlangsung dengan efektif apabila

    mampu memenuhi fungsinya untuk menginspirasi orang lain untuk

    melihat nilai dan potensi diri yang terbaik dari dalam dirinya. Untuk

    mencapai tujuan tersebut sangatlah bergantung pada bagaimana cara

    para pemimpin menciptakan resonansi kelompok yang dapat

    dimanfaatkan untuk mewujudkan fungsi servant leadership melalui

    kerjasama dan bantuan orang-orang yang dipimpinnya. Maka dari

    itu menurut Goleman, Boyatzis, dan McKee (2005) pada

    kenyataannya para pemimpin besar bekerja dengan melibatkan

    emosi. Pemahaman akan peran kuat emosi yang membedakan

    pemimpin hebat dari pemimpin lainnya bukan saja terlihat dari hal-

    hal yang nyata seperti bertahannya orang-orang yang berbakat tetapi

    juga dalam hal-hal yang tidak nyata namun sama pentingnya seperti

    moral, motivasi, dan komitmen yang tinggi. Pemimpin yang

    menyebarkan emosi positif akan memancing keluar sisi terbaik dari

    orang lain sehingga dapat memberikan efek resonansi tetapi

  • 55

    sebaliknya pemimpin yang menggerakkan emosi kelompok dengan

    negatif akan memberikan efek disonansi. Kemampuan pemimpin

    untuk menciptakan resonansi sangatlah ditentukan oleh tingkat

    kematangan emosional pemimpin atau yang disebut dengan

    kecerdasan emosional. kecerdasan emosional pemimpin akan

    tercermin melalui kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial

    dan manajemen relasi. Semakin tinggi tingkat kecerdasan emosional

    pemimpin akan berpengaruh pada meningkatnya kualitas perilaku

    servant leadership yang ditunjukkan oleh pemimpin dalam proses

    kepemimpinannya. Pernyataan ini sejalan dengan hasil-hasil

    penelitian terdahulu, diantaranya adalah penelitian Hannay (2009),

    Barbuto dan Bugenhagen (2009), Gardner dan Stough (2002),

    Barling, Slater, dan Kelloway (2000) yang menemukan bahwa

    perilaku servant leadership akan cenderung diperlihatkan pemimpin

    yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi seperti

    pengendalian diri yang kuat, kelayakan dipercaya, dan respon

    empati terhadap kebutuhan orang-orang dipimpinnya.

    Selain aspek kecerdasan emosional, aspek lain yang tidak

    kalah pentingnya adalah kecerdasan spiritual, sebab kecerdasan

    spiritual akan memampukan pemimpin memecahkan persoalan

    makna dengan menempatkan perilaku dalam konteks makna yang

    lebih kaya dan luas yang tercermin melalui critical existential

    thinking, personal meaning production, transcendental awareness,

    conscious state expansion (King 2008). Kemampuan seorang

    pemimpin dalam memaknai eksistensi kehidupan melampaui

    kekinian dan pengalaman manusia akan menjadikan pemimpin

    benar-benar memahami siapa dirinya dan apa makna terdalam dari

  • 56

    pekerjaan yang ditekuni. Kecerdasan spiritual memberi kemampuan

    pada seorang pemimpin untuk membangun keterampilan

    komunikasi intrapersonal dan hubungan interpersonal, menjadi

    esensi moralitas seseorang, sebagai kekuatan yang kuat dalam

    membentuk kehidupan manusia di tempat kerja dan di semua

    domain lainnya, memberi manfaat pengalaman kehidupan secara

    menyeluruh dan kebijaksanaan dalam manajemen disiplin diri

    (Steingard, 2005). Semakin tinggi tingkat kecerdasan spiritual

    pemimpin akan berpengaruh pada meningkatnya kualitas perilaku

    servant leadership yang ditunjukkan oleh pemimpin dalam proses

    kepemimpinannya. Pernyataan ini sejalan dengan hasil-hasil

    penelitian terdahulu, diantaranya Hendrik dan Luderman (1997),

    Amram (2005), Samiyanto (2011) yang menemukan bahwa perilaku

    servant leadeship akan cenderung diperlihatkan oleh pemimpin yang

    memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi seperti, integritas,

    menerima kritik dengan baik, rendah hati mengenal dirinya dengan

    baik, memiliki respon empati yang tinggi, makna dari tujuan hidup,

    panggilan pelayanan yang kuat yang mengikat peran pemimpin

    dalam menetapkan tujuan dan memobilisasi makna bagi tujuan

    organisasi.

    Amram (2005) melakukan penelitian terhadap 42 CEO,

    menemukan bahwa kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual

    memberikan kontribusi untuk efektivitas kepemimpinan bisnis.

    Hartsfield (2003) melakukan penelitian tentang hubungan

    kecerdasan emosional, spiritualitas dan efikasi diri dengan

    kepemimpinan transformasional, sampel penelitiannya adalah para

    pemimpin perusahaan besar di Amerika. Hasil penelitiannya

  • 57

    menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang signifikan antara

    kecerdasan emosional, spiritualitas, efikasi diri dengan

    kepemimpinan transformasional. Selanjutnya Attri (2012) dalam

    sebuah artikelnya menyatakan bahwa kecerdasan emosional dan

    kecerdasan spiritual bertindak sebagai katalis untuk pemimpin

    inspirasional. Apabila kecerdasan emosional dan kecerdasan

    spiritual dapat diintegrasikan secara efektif maka akan menghasilkan

    pemimpin yang memiliki kualitas servant leadership yang menonjol,

    dan ini akan tercermin melalui karakter dan personality yang patut

    diteladani oleh para pengikutnya

    2.6.KERANGKA BERPIKIR

    Berdasarkan tujuan penelitian, hasil-hasil penelitian

    sebelumnya dan landasan teori yang telah dikemukakan sebelumnya

    maka kaitan antar variabel dalam penelitian ini dapat digambarkan

    sebagai berikut:

    Gambar 2.1

    Model Penelitian

    X1

    (Kecerdasan Emosional)

    Y

    Servant Leadership X2

    (Kecerdasan Spiritual)

  • 58

    2.7. HIPOTESIS PENELITIAN

    Hipotesis dalam penelitian ini adalah kecerdasan emosional

    dan kecerdasan spiritual sebagai prediktor servant leadership

    pendeta di Gereja Kristen Sulawesi Tengah.