bab ii hasil penelitian dan analisis - uksw...15 harahap, yahya, m, s.h. “ ruang lingkup...

34
14 Bab II Hasil Penelitian dan Analisis Pada Bab II ini akan dipaparkan beberapa-beberapa penjelasan terkait dengan penelitian “Pelaksanaan Putusan Pengadilan Yang Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap ( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Pemalang No. 08/Pdt.G/2003/PN.Pml)”. yang meliputi : Tinjuan Pustaka , hasil penelitian dan analisis hasil penelitian. A. Tinjuan Pustaka A.1. Tentang Eksekusi Dalam hal tentang eksekusi akan dibahas mengenai pengertian, dasar hukum eksekusi, syarat-syarat dalam hukum eksekusi, dan tata cara pelaksanaan eksekusi. A1.1 Pengertian Eksekusi Eksekusi adalah melaksanakan secara paksa (upaya hukum paksa) putusan Pengadilan dengan bantuan kekuatan umum. Untuk kesamaan penggunaan istilah, maka kata Executie yang berasal dari bahasa asing, sering diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, yaitu ”Pelaksanaan”. 8 Kata Executie diadaptir ke dalam Bahasa Indonesia dengan ditulis menurut bunyi dari kata itu sesuai dengan ejaan Indonesia, yaitu ”Eksekusi”. Kata ini sudah populer serta diterima oleh insan hukum di Indonesia, sehingga untuk selanjutnya dalam tulisan ini akan mengunakan kata ”Eksekusi” untuk pengertian “pelaksanaan” putusan dalam perkara perdata. 9 Pengertian eksekusi sama dengan pengertian “menjalankan putusan” (ten uitvoer legging van vonnissen), yakni melaksanakan “secara paksa” putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum, apabila pihak yang kalah tidak mau 8 M. Luqmanul Hakim Bastary, Judul perdata Jurnal “Eksekusi Putusan Perkara Perdata”, Serang, 2010 9 Kamus Besar Bahasa Indonesia

Upload: others

Post on 12-Feb-2021

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 14

    Bab II

    Hasil Penelitian dan Analisis

    Pada Bab II ini akan dipaparkan beberapa-beberapa penjelasan terkait

    dengan penelitian “Pelaksanaan Putusan Pengadilan Yang Mempunyai Kekuatan

    Hukum Tetap ( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Pemalang No.

    08/Pdt.G/2003/PN.Pml)”. yang meliputi : Tinjuan Pustaka , hasil penelitian dan

    analisis hasil penelitian.

    A. Tinjuan Pustaka

    A.1. Tentang Eksekusi

    Dalam hal tentang eksekusi akan dibahas mengenai pengertian, dasar

    hukum eksekusi, syarat-syarat dalam hukum eksekusi, dan tata cara pelaksanaan

    eksekusi.

    A1.1 Pengertian Eksekusi

    Eksekusi adalah melaksanakan secara paksa (upaya hukum paksa)

    putusan Pengadilan dengan bantuan kekuatan umum. Untuk kesamaan

    penggunaan istilah, maka kata Executie yang berasal dari bahasa asing, sering

    diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, yaitu ”Pelaksanaan”.8

    Kata Executie diadaptir ke dalam Bahasa Indonesia dengan ditulis

    menurut bunyi dari kata itu sesuai dengan ejaan Indonesia, yaitu ”Eksekusi”. Kata

    ini sudah populer serta diterima oleh insan hukum di Indonesia, sehingga untuk

    selanjutnya dalam tulisan ini akan mengunakan kata ”Eksekusi” untuk pengertian

    “pelaksanaan” putusan dalam perkara perdata.9

    Pengertian eksekusi sama dengan pengertian “menjalankan putusan” (ten

    uitvoer legging van vonnissen), yakni melaksanakan “secara paksa” putusan

    pengadilan dengan bantuan kekuatan umum, apabila pihak yang kalah tidak mau

    8 M. Luqmanul Hakim Bastary, Judul perdata Jurnal “Eksekusi Putusan Perkara Perdata”, Serang,

    2010 9 Kamus Besar Bahasa Indonesia

  • 15

    menjalankannya secara sukarela. Dengan kata lain, eksekusi (pelaksanaan

    putusan) adalah tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah

    dalam perkara.10

    Dalam pengertian lain, eksekusi adalah hal menjalankan putusan

    pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan yang

    dieksekusi adalah putusan yang mengandung perintah kepada salah satu pihak

    untuk membayar sejumlah uang atau juga pelaksanaan putusan hakim yang

    memerintahkan pengosongan benda tetap, sedangkan pihak yang kalah tidak mau

    melaksanakan putusan itu secara sukarela sehingga memerlukan upaya paksa dari

    pengadilan untuk melaksanakannya.11

    Dari pengertian diatas, maka eksekusi diartikan sebagai upaya untuk

    merealisasikan kewajiban dari pihak yang kalah dalam perkara guna memenuhi

    prestasi sebagaimana ditentukan dalam putusan hakim, melalui perantaraan

    panitera/jurusita/jurusita pengganti pada pengadilan tingkat pertama dengan cara

    paksa karena tidak dilaksanakannya secara sukarela. Pelaksanaan putusan hakim

    tersebut merupakan proses terakhir dari proses penyelesaian perkara perdata dan

    pidana yang sekaligus juga merupakan prestise dari lembaga peradilan itu

    sendiri.12

    A.1.2 Dasar Hukum Eksekusi

    Sebagai dari realisasi dari putusan hakim terhadap pihak yang kalah dalam

    perkara, maka masalah eksekusi telah diatur dalam berbagai ketentuaan 13

    :

    Pasal 195 - Pasal 208 HIR dan Pasal 224 HIR (tentang tata

    cara eksekusi secara umum);

    Pasal 225 HIR (tentang putusan yang menghukum tergugat

    untuk melakukan suatu perbuatan tertentu);

    10

    Harahap, Yahya, M, S.H. “ Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata “, PT.Gramedia, Jakarta, 1988, hal 1. 11

    Abdul Manan, Judul Makalah“ Eksekusi & Lelang Dalam Hukum Acara Perdata”, Jakarta, 2011, hal 1. 12

    Luqmanul Hakim Bastary, Op.Cit., hal 1 13

    M. Luqmanul Hakim Bastary, “Eksekusi Putusan Perkara Perdata” Serang, 2010, hal. 2.

  • 16

    Sedangkan Pasal 209 - Pasal 223 HIR yang mengatur

    tentang ”sandera” (gijzeling) tidak lagi di berlakukan

    secara efektif.

    Pasal 180 HIR, SEMA Nomor 3 Tahun 2000 dan SEMA

    Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Pelaksanaan Putusan yang

    belum mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu

    pelaksanaan serta merta (Uitvoerbaar bij voorraad dan

    provisi);

    Pasal 1033 Rv (tentang eksekusi riil);

    Pasal 54 dan Pasal 55 Undang-undang Nomor 48 Tahun

    2009 Tentang Pelaksanaan Putusan Pengadilan

    A.1.3. Syarat-syarat dalam Eksekusi

    Adapun isi dalam menjalankan putusan pengadilan, tidak lain dari pada

    melaksanakan isi putusan pengadilan, yakni melaksanakan secara paksa putusan

    pengadilan dengan bantuan kekuatan hukum apabila pihak yang kalah tidak mau

    menjalankannya secara sukarela.14

    Adapun diantara syarat-syarat adalah sebagai berikut

    a. Menjalankan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap

    Pada dasar prinsipnya dalam pelaksanaan putusan secara paksa merupakan

    tindakan paksa yang dilakukan oleh pengadilan dengan bantuan kekuatan hukum,

    guna untuk menjalankan suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh

    kekuatan hukum yang tetap.

    Dengan kata lain, selama dalam putusan hakim belum memperoleh

    kekuatan hukum tetap, maka upaya dan tindakan eksekusi belum berfungsi dan

    dalam pelaksanaan putusan secara paksa baru berfungsi sebagai tindakan hukum

    yang sah dan memaksa, terhitung sejak tanggal putusan memperoleh kekuatan

    hukum tetap dan pihak tergugat (yang kalah) tidak mau mentaati dan memenuhi

    putusan secara sukarela

    14

    Subekti, “ Hukum Acara Perdata”, BPHN, Jakarta, 1977, hal. 128.

  • 17

    Ada beberapa bentuk pengecualian yang dibenarkan undang-undang yang

    memperkenankan eksekusi dapat dijalankan di luar putusan tersebut yang telah

    memperoleh kekuatan hukum yang tetap, yaitu:

    1) Pelaksanaan putusan lebih dahulu

    2) Pelaksanaan putusan provisi

    3) Akta perdamaian

    4) Eksekusi Terhadap Grosse Akta

    5) Eksekusi atas Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia

    b. Putusan tidak dijalankan secara sukarela

    Eksekusi dalam suatu perkara baru tampil dan berfungsi apabila pihak

    yang kalah tidak bersedia mentaati dan menjalankan putusan secara sukarela. Jika

    pihak yang kalah tidak menjalankan pemenuhan putusan secara sukarela akan

    menimbulkan konsekuensi hukum berupa tindakan paksa yang disebut eksekusi.

    Dengan demikian, salah satu prinsip yang melekat pada eksekusi, yaitu

    menjalankan eksekusi secara paksa marupakan tindakan yang timbul apabila

    pihak yang kalah tidak menjalankan putusan secara sukarela. Jika pihak yang

    kalah bersedia mentaati dan menjalankan putusan secara sukarela, maka tindakan

    eksekusi tidak diperlukan.

    c..Putusan yang dapat dieksekusi bersifat kondemnatoir.

    Prinsip lain yang mengatakan harus terpenuhi atau lengkap adalah putusan

    tersebut memuat amar kondemnatoir (condemnatoir). Hanya suatu dalam putusan

    yang bersifat kondemnatoir yang bisa dieksekusi, karena sebuah putusan yang

    dalam amar atau diktumnya mengandung unsur penghukuman. Putusan yang amar

    atau diktumnya tidak mengandung unsur penghukuman, tidak dapat dieksekusi.

    d. Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri

    Dalam Pasal 195 ayat (1) HIR, jika ada suatu Putusan Pengadilan Negeri,

    maka eksekusi atas putusan tersebut berada di bawah perintah dan pimpinan

    Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Dalam menjaga tegaknya kepastian

    hukum dan undang-undang telah menentukan kewenangan menjalankan putusan

  • 18

    terhadap suatu putusan pengadilan dengan berpedoman pada kewenangan

    tersebut.

    A.1.4.Macam-Macam Eksekusi

    Pada dasarnya ada (2) bentuk eksekusi ditinjau dari sasaran yang hendak

    dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan, yaitu

    melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan riil, sehingga eksekusi semacam ini

    disebut “eksekusi riil”, dan melakukan pembayaran sejumlah uang. Eksekusi

    seperti ini selalu disebut “eksekusi pembayaran uang”15

    Demikian juga dalam praktek Peradilan Agama dikenal 2 (dua) macam

    eksekusi, yaitu: (1) eksekusi riil atau nyata sebagaimana diatur dalam Pasal 200

    ayat (11) HIR, berisi yang meliputi penyerahan pengosongan, pembongkaran,

    pembagian, dan melakukan sesuatu; (2) eksekusi pembayaran sejumlah uang

    melalui lelang atau executorial verkoop, sebagaimana tersebut dalam Pasal 200

    HIR/Pasal.16

    a.Eksekusi Riil

    Eksekusi riil adalah eksekusi yang menghukum kepada pihak yang kalah dalam

    perkara untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, misalnya menyerahkan barang,

    mengosongkan tanah atau bangunan, membongkar, menghentikan suatu perbuatan

    tertentu dan lain-lain sejenis itu. Eksekusi ini dapat dilakukan secara langsung

    (dengan perbuatan nyata) sesuai dengan amar putusan tanpa melalui proses

    pelelangan.

    2. Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang

    Eksekusi pembayaran sejumlah uang adalah eksekusi yang mengharuskan kepada

    pihak yang kalah untuk melakukan pembayaran sejumlah uang (Pasal 196 HIR).

    Eksekusi ini adalah kebalikan dari eksekusi riil dimana pada eksekusi bentuk

    kedua ini tidaklah dapat dilakukan secara langsung sesuai dengan amar putusan

    15

    Harahap, Yahya, M, S.H. “ Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata “, PT.Gramedia, Jakarta, 1988 hal 20 16

    Abdul Manan, Judul Makalah“ Eksekusi & Lelang Dalam Hukum Acara Perdata”, Jakarta, 2011hal 316

  • 19

    seperti pada eksekusi riil, melainkan haruslah melalui proses pelelangan terlebih

    dahulu , karena yang akan dieksekusi adalah sesuatu yang bernilai uang

    Perbedaan eksekusi riil dengan eksekusi pembayaran sejumlah uang :17

    b.Eksekusi Riil

    -Eksekusi riil hanya mungkin terjadi berdasar putusan pengadilan :

    Yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap atau

    Yang bersifat dijalankan lebih dulu (uitvoerbaar bij voorraad)

    atau

    yang berbentuk provisi atau yang berbentuk akta perdamaian

    disidang pengadilan.

    b.Eksekusi dalam Pembayaran Sejumlah Uang

    - Eksekusi pembayaran sejumlah uang tidak hanya didasarkan atas putusan

    pengadilan, tetapi dapat juga didasarkan atas bentuk akta tertentu yang oleh

    undang-undang disamakan nilainya dengan putusan yang memperoleh kekuatan

    hukum yang tetap :

    grosse akta pengakuan hutang;

    Sertifikat Hak Tanggungan dan

    Jaminan fidusia.

    A.1.5.Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi

    Tata cara eksekusi riil menurut salah satu para ahli yaitu Prof. Dr. H.

    ABDUL MANAN, SH.,SIP.,M.Hum Hakim Agung, Mahkamah Agung RI

    dengan judul makalahnya Eksekusi dan Lelang Dalam Hukum Acara Perdata

    adalah sebagai berikut atau dalam menjalankan eksekusi terhadap perkara-perkara

    yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri dapat ditempuh tahapan-tahapan

    sebagai berikut :18

    17

    http://legal-community.blogspot.co.id/2011/08/ruang-lingkup-eksekusi-bidang-perdata.html 18

    Makalah ini disampaikan pada acara RAKERNAS Mahkamah Agung - RI di Hotel Mercuri Ancol tanggal 18-22September 2011 2005 hal. 6-7

    http://legal-community.blogspot.co.id/2011/08/ruang-lingkup-eksekusi-bidang-perdata.html

  • 20

    a. Permohonan pihak yang menang.

    Jika pihak yang kalah tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan

    secara sukarela, maka pihak yang menang dapat mengajukan permohonan kepada

    Ketua Pengadilan yang memutuskan perkara tersebut untuk dijalankan secara

    paksa hal-hal yang telah disebutkan dalam amar putusan.

    Permohonan pengajuan eksekusi kepada Ketua Pengadilan merupakan

    suatu keharusan yang harus dilakukan oleh pihak yang menang agar putusan

    tersebut dapat dijalankan secara paksa sebagaimana tersebut dalam Pasal 196

    HIR. Jika para pihak yang menang ingin putusan Pengadilan supaya dijalankan

    secara paksa, maka ia harus membuat surat permohonan yang diajukan kepada

    Ketua Pengadilan yang memutus perkara, memohon agar putusan supaya

    dijalankan secara paksa karena pihak yang kalah tidak mau melaksanakan isi

    putusan tersebut. Tanpa ada surat permohonan tersebut maka eksekusi tidak dapat

    dilaksanakan.

    b. Penaksiran biaya eksekusi.

    Jika Ketua Pengadilan telah menerima permohonan eksekusi dari pihak

    yang berkepentingan, maka segera memerintahkan meja satu untuk menaksir

    biaya eksekusi tersebut yang diperlukan dalam proses pelaksanaan eksekusi yang

    dilaksanakannya.

    Biaya yang diperlukan meliputi biaya pendaftaran eksekusi, biaya saksi-

    saksi dan biaya pengamanan serta lain-lain yang dianggap perlu. Setelah biaya

    eksekusi tersebut dibayar oleh pihak yang menghendaki eksekusi kepada Panitera

    atau petugas yang ditunjuk untuk mengurus biaya perkara, barulah permohonan

    eksekusi tersebut didaftarkan dalam register eksekusi.

    c. Melaksanakan peringatan (Aan maning)

    Aan maning merupakan tindakan dan upaya yang dilakukan oleh Ketua

    Pengadilan berupa teguran kepada pihak yang kalah agar ia melaksanakan isi

    putusan secara sukarela. Aan maning dilakukan dengan melakukan panggilan

    terhadap pihak yang kalah dengan menentukan hari, tanggal dan jam persidangan

    dalam surat panggilan tersebut.

  • 21

    Memberikan peringatan (Aan maning) dengan cara : (1) melakukan sidang

    insidentil yang dihadiri oleh Ketua Pengadilan, Panitera dan pihak yang kalah, (2)

    memberikan peringatan atau tegoran supaya ia menjalankan putusan Hakim dalam

    waktu delapan hari, (3) membuat berita acara Aan maning dengan mencatat

    semua peristiwa yang terjadi di dalam sidang tersebut sebagai bukti othentik,

    bahwa Aan maning telah dilakukan dan berita acara ini merupakan landasan bagi

    perintah eksekusi yang akan dilaksanakan selanjutnya.

    Apabila dari pihak yang kalah tidak hadir dalam sidang Aan maning, dan

    ketidakhadirannya dapat dipertanggungjawabkan, maka ketidakhadirannya itu

    dapat dibenarkan dan pihak yang kalah itu harus dipanggil kembali untuk Aan

    maning yang kedua kalinya. Jika ketidakhadiran pihak yang kalah setelah

    dipanggil secara resmi dan patut tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka gugur

    haknya untuk dipanggil lagi, tidak perlu lagi proses sidang peringatan dan tidak

    ada tenggang masa peringatan. Secara ex officio Ketua Pengadilan dapat langsung

    mengeluarkan surat penetapan perintah eksekusi kepada Panitera/Jurusita.

    d. Mengeluarkan surat perintah eksekusi

    Apabila waktu yang telah ditentukan dalam peringatan (Aan maning)

    sudah lewat dan ternyata pihak yang kalah tidak menjalankan putusan, dan tidak

    mau menghadiri panggilan sidang peringatan tanpa alasan yang sah, maka Ketua

    Pengadilan mengeluarkan perintah eksekusi dengan ketentuan : (1) perintah

    eksekusi itu berupa penetapan, (2) perintah ditujukan kepada Panitera atau

    Jurusita yang namanya harus disebut dengan jelas, (3) harus menyebut dengan

    jelas nomor perkara yang hendak dieksekusi dan objek barang yang hendak

    dieksekusi, (4) perintah eksekusi dilakukan di tempat letak barang dan tidak boleh

    di belakang meja, (5) isi perintah eksekusi supaya dilaksanakan sesuai dengan

    amar putusan.

    Para praktisi hukum berbeda pendapat tentang kapan surat perintah eksekusi

    dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan, apakah surat perintah eksekusi tersebut

    dikeluarkan terhitung sejak panggilan tidak dipenuhi oleh pihak yang kalah, atau

    setelah pihak yang menghendaki eksekusi mengajukan permohonan kembali

    setelah pihak yang kalah tidak mau mengindahkan peringatan sesuai dengan

  • 22

    waktu yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan. Pendapat yang terakhir ini banyak

    dipergunakan oleh Pengadilan Negeri setempat dalam melaksanakan eksekusi riil

    dengan pertimbangan bahwa pendapat yang terakhir itu lebih logis daripada

    pendapat yang pertama. Permohonan pelaksanaan eksekusi penting untuk

    kelengkapan administrasi eksekusi, di samping itu ada permohonan pelaksanaan

    eksekusi diperlukan untuk adanya kepastian pelaksanaan eksekusi itu sendiri,

    sebab tidak sedikit pihak yang kalah dan tidak mau melaksanakan putusan setelah

    diadakan peringatan bersedia melaksanakan putusan tersebut secara sukarela,

    sehingga tidak perlu dilaksanakan eksekusi lagi.19

    1. Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Hak Atas Tanah

    1.1 Pengertian Hak Atas Tanah

    Hak atas tanah dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA tertulis bahwa “(1) Atas

    dasar menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah

    yang dapat diberikan kepada dan dipunyai baik secara sendirian maupun secara

    bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.

    (2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasalmemberi wewenang

    untuk mempergunakan tanah-tanah yang bersangkutan sedemikian rupa, begitu

    pula bumi dan air serta ruang udara di atasnya sekedar diperlukan untuk

    kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam

    batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih

    tinggi.”

    Dalam Pasal 16 Ayat (1) UUPA, dengan jelas tertulis macam-macam hak

    atas tanah yang dapat dimiliki baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan

    orang lain. Hak atas tersebut adalah :

    a. Hak milik (Pasal 20 UUPA)

    Pengertian hak milik dalam Undang – Undang Pokok Agraria seperti yang

    dirumuskan dalam Pasal 20 yang disebutkan dalam ayat 1 Hak Milik

    adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang

    atas tanah.

    b. Hak guna usaha (pasal 28 UUPA)

    Menurut Pasal 28 ayat (1) UUPA yang di maksud dengan Hak Guna

    Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang di kuasai oleh Negara,

    19

    Ibid hal. 7

  • 23

    dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusaan

    pertanian, perikanan, atau perternakan.

    c. Hak guna bangunan (pasal 35 UUPA)

    Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan

    miliknya dalam jangka waktu paling lama 30 tahun, dan dapat

    diperpanjang 20 tahun (Pasal 35 UUPA ). Hak guna bangunan diatur

    dalam Pasal 35-40 UUPA jo. Pasal 19-38 PP Nomor 40 tahun 1996.

    d. Hak Pakai (pasal 41 UUPA)

    hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang

    dikuasai langsung oleh negara atau milik orang lain dengan jangka waktu

    yang tidak tertentu (Pasal 41 UUPA).

    1.2 Perlindungan Hukum Pemegang Hak Atas Tanah

    Pengertian perlindungan hukum terutama bagi rakyat dengan “tindak

    pemerintah” sebagai titik sentral, (dikaitkan dengan perlindungan hukum bagi

    rakyat) sehingga dibedakan dua macam perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu:

    perlindungan hukum yang preventif dan perlindungan hukum yang represif.20

    Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindak pemerintahan bertumpu

    dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak

    asasi manusia karena menurut sejarahnya di Barat, lahirnya konsep-konsep

    tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak azazi manusia diarahkan

    kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban pada masyarakat dan

    pemerintah.

    Sejalan dengan itu, A.J.Milne dalam tulisannya yang berjudul “ The Idea

    of Human Rights” mengatakan : “A regimewhich protects human rights is good,

    one which fails to protect them or worse still does not acknowledge their existence

    is bad”. Dengan demikian dalam usaha merumuskan prinsip-prinsip perlindungan

    hukum bagi rakyat berdasarkan Pancasila, diawali dengan uraian tentang konsep

    dan deklarasi tentang hak-hak azazi manusia. Dalam hal ini diuraikan tentang

    beberapa aspek yang menyangkut konsep dan deklarasi tentang hak-hak azazi

    20

    Philipus M. Hadjon, “Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia”, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1987 hal 1 - 2.

  • 24

    manusia, yaitu:istilah, perkembangan konsep tentang hak-hak azazi manusia,

    deklarasi tentang hak-hak azazi manusia, hak-hak azazi manusia dalam Undang-

    Undang Dasar 1945, Pancasila dan hak-hak azazi manusia dan perumusan suatu

    daftar hak-hak azazi manusia di Indonesia.

    Dalam kamus besar bahasa Indonesia Perlindungan berasal dari kata

    lindung yang memiliki arti mengayomi, mencegah, mempertahankan, dan

    membentengi. Sedangkan perlindungan berarti konservasi, pemeliharaan,

    penjagaan, asilun dan bunker.

    Teori perlindungan yang dikemukakan oleh salah satu ahli yaitu Philipus

    M. Hadjon, menyebutkan bahwa perlindungan hukum terbagi atas dua, yaitu

    perlindungan hukum represif dan preventif. Perlindungan hukum represif yaitu

    perlindungan hukum yang dilakukan dengan cara menerapkan sanksi terhadap

    pelaku agar dapat memulihkan hukum kepada keadaan sebenarnya. Perlindungan

    jenis ini biasanya dilakukan di Pengadilan. Kaitannya dengan perlindungan

    hukum represif bertujuan untuk memberikan keadilan dalam proses persidangan

    apabila terjadi sengketa hak atas tanah.21

    Keberadaan hukum dalam masyarakat sangatlah penting, dalam kehidupan

    dimana hukum dibangun dengan dijiwai oleh moral konstitusionalisme, yaitu

    menjamin kebebasan dan hak warga, maka mentaati hukum dan konstitusi pada

    hakekatnya mentaati imperative. Hak-hak asasi warga harus dihormati dan

    ditegakkan oleh pengembang kekuasaan Negara dimanapun dan kapanpun,

    ataupun juga ketika warga menggunakan kebebasannya untuk ikut serta atau

    untuk mengetahui jalannya proses pembuatan kebijakan publik.

    Negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk memberikan perlindungan

    hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah dilandasi dua prinsip Negara

    hukum, yaitu:

    1. Perlindungan Hukum yang Preventif

    Dibandingkan dengan sarana perlindungan hukum yang represif, sarana

    perlindungan hukum yang preventif dalam perkembangannya agak ketinggalan,

    21

    Ibid hal 11

  • 25

    namun akhir-akhir ini disadari pentingnya sarana perlindungan hukum yang

    preventif terutama dikaitkan dengan azaz “freies ermessen” (discretionaire

    bevoegdheid). Di Belanda terhadap “beschikking” belum banyak diatur mengenai

    sarana perlindungan hukum bagi rakyat yang sifatnya preventif, tetapi terhadap

    bentuk “besluit” yang lain misalnya “ontwerp-bestemmings plannen”, “ontwerp

    streek plannen” (dalam wet op de Ruimtelijk Ordening) sudah diatur sarana

    preventif berupa keberatan (inspraak). Dengan sarana itu, misalnya sebelum

    pemerintah menetapkan bestemmingplannen, rakyat dapat mengajukan keberatan,

    atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut.22

    Perlindungan

    hukum yang preventif perlindungan hukum kepada rakyat yang diberikan

    kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu

    keputusan pemerintah menjadi bentuk yang menjadi definite.

    Perlindungan hukum preventif yaitu perlindungan hukum yang bertujuan

    untuk mencegah terjadinya suatu sengketa. Perlindungan hukum jenis ini

    misalnya sebelum Pemerintah menetapkan suatu aturan atau keputusan, rakyat

    dapat mengajukan keberatan, atau dimintai pendapatnya mengenai rencana

    keputusantersebut.

    Dapatkan dikatakan perlindungan ini memberikan atau mengajukan

    keberatan untuk memperoleh suatu bentuk perlindungan hukum yang ada

    sehingga dapat mengetahui dirinya mendapatkan perlindungan sebagai pemilik

    hak atas tanah yang ada.

    2. Perlindungan Hukum yang Represif

    Secara garis, sistem hukum di dunia modern terdiri atas dua sistem induk,

    yaitu “civil law system” (modern Roman) dan “common law system”. Sistem

    hukum yang berbeda melahirkan perbedaan mengenai bentuk dan jenis sarana

    perlindungan hukum bagi rakyat yang dalam hal ini sarana perlindungan hukum

    represif yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.23

    Sehingga pada dalam perlindungan hukum bagi rakyat yang represif.

    Perlindungan hukum yang sifatnya preventif didahulukan dalam urutan uraiannya

    22

    Philipus M Hudjon, Op.Cit., hal. 3 23

    Philipus M Hudjon, Op.Cit., hal. 2-3

  • 26

    karena pada hakekatnya dari segi urutan pikir (logika) yang preventif mendahului

    yang represif24

    Kedua bentuk perlindungan hukum diatas bertumpu dan bersumber pada

    pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia serta berlandaskan prinsip Negara

    Hukum. Jika dikaitkan dengan hak atas tanah sangat erat pada dasarnya adalah

    pengakuan hak asasi manusia yang dalam hal ini dirampas oleh suatu individu

    yang ingin mennguasai hak secara menyeluruh.

    Jadi kalau dilihat dari dua perlindungan hukum diatas jika dikaitkan

    dengan pemegang hak atas tanah dapat dilihat bahwa menurut Undang-Undang

    No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau Undang-

    Undang Pokok Agraria (UUPA) bertujuan memberikan pengaturan mengenai

    kepemilikan hak atas tanah, agar tercipta keadilan melalui pemberian

    perlindungan hukum terhadap orang yang berhak atas tanah. Pasal 23, 32 dan 38

    UUPA ditujukan kepada para pemegang hak yang bersangkutan, dengan maksud

    agar mereka memperoleh kepastian tentang haknya itu. Sedangkan Pasal 19

    ditujukan kepada pemerintah sebagai suatu intruksi, yang bersifat “rechts-

    kadaster” artinya yang bertujuan mnjamin kepastian hukum Menurut Soedikno

    Mertokusumo, wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap

    tanahnya dibagi menjadi 2, yaitu :25

    1. Wewenang Umum

    Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah

    mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga

    tubuh bumi dan air dan ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk

    kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu

    dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain

    yang lebih tinggi (Pasal 4 ayat 2 UUPA)

    2. Wewenang Khusus

    24

    Ibid hal. 3 25

    Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, edisi keempat, cet. II, Yogyakarta : Liberty, 1999

  • 27

    Wewenang yang bersifat Khusus yaitu pemegang hak atas tanah

    mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan

    macam hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada tanah Hak Milik

    adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan atau mendirikan bangunan,

    wewenang pada tanah Hak Guna Bangunan adalah mengunakan tanah

    hanya untuk mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah yang

    bukan miliknya, wewenang pada tanah Hak Guna Usaha adalah hanya

    menggunakan tanah untuk kepentingan perusahaan dibidang pertanian,

    perikanan, perternakan, atau perkebunan..

    Di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 51 PRP Tahun 1960 tentang

    Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya (UU No 51

    PRP 1960) menyatakan bahwa pemakaian tanah tanpa izin dari yang berhak

    maupun kuasanya yang sah adalah perbuatan yang dilarang, dan dapat diancam

    dengan hukuman pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan, atau denda

    sebanyak-banyaknya Rp 5.000 (lima ribu Rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal

    6 UU No 51 PRP 1960.

    Pasal 6

    1.Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 3,4 dan 5, maka

    dapat dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamauya 3 (tiga) bulan dan/atau

    denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000,- (lima ribu rupiah);

    a.barangsiapa memakai tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya yang sah,

    dengan ketentuan, bahwa jika mengenai tanah-tanah perkebuaan dan hutan

    dikecualikan mereka yang akan diselesaikan menurut pasal 5 ayat 1;

    b.barangsiapa mengganggu yang berhak atau kuasanya yang sah di dalam

    menggunakan haknya atas suatu bidang tanah;

    c.barangsiapa menyuruh, mengajak, membujuk atau menganjurkan dengan lisan

    atau tulisan untuk melakukan perbuatan yang dimaksud dalam pasal 2 atau sub b

    dari ayat 1 pasal ini;

    d.barangsiapa memberi bantuan dengan cara apapun juga untuk melakukan

    perbuatan tersebut pada pasal 2 atau huruf b dari ayat 1 pasal ini.

  • 28

    Perlindungan hukum kepemilikan tanah rakyat diatur dalam UU nomor 39

    Tahun1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM):

    Pasal 2 tentang pengakuan dan perlindungan negara terhadap HAM

    Pasal 6 ayat (1) dan (2) tentang pengakuan dan perlindungan hak

    ulayat;

    Pasal 29 ayat (1) tentang perlindungan terhadap hak milik;

    Pasal 36 ayat (1) dan (2) tentang hak milik sebagai hak asasi dan

    jaminan tidak adanya perampasan secara sewenang-wenang atas

    hak miliknya;

    Pasal 37 ayat (1) tentang syarat mencabut hak milik adalah untuk

    kepentingan umum, dengan pemberian ganti rugi dan harus

    berdasarkan UU; menyatakan bahwa ”Setiap orang berhak

    mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh

    diambil alih secara sewenang-wenang oleh si apapun.”.

    B. Hasil Penelitian

    Dalam sub bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian dan pembahasan

    yang terdiri dari Kasus Posisi No.08/Pdt.G/2003/PN.Pml meliputi : para pihak,

    duduk perkara, pertimbangan hakim dan putusan hakim.

    B.1 Kasus Posisi

    Pada kasus posisi akan disajikan mengenai kasus yang akan dibahas.

    Untuk itu kita perlu tau siapa saja yang terlibat dalam kasus posisi ini antara lain:

    a. Para Pihak yang berperkara dalam hal ini Penggugat dan Tergugat

    b. Duduk Perkaranya guna untuk mengetahui permasalahan yang ada

    c. Selanjutnya mengenai putusan hakim Pengadilan mulai dari

    Pengadilan Negeri sampai Pengadilan Tinggi

    d. Bagaimana proses pelaksanaan eksekusi dilakukan atau dijalankan

    B.1.a Pihak-Pihak yang Berperkara

    Dalam hal ini identitas pihak-pihak yang berperkara antara penggugat dan

    terguggat adalah sebagai berikut

  • 29

    Dalam kasus perdata ini sebagai Penggugat adalah Gereja Pantekosta di

    Indonesia (GPdI) di Pemalang, diwakili kuasanya Pdt Hengky Tohea yang

    bertempat tinggal atau beralamat di jalan Dr. Cipto Mangunkusumo No. 35

    Pemalang. Berdasarkan Surat Kuasa Khusus yang tertanggal pada 7 April 2003

    No.0.021/SMD.VII/IV/2003 dari Pdt G.A.Pandjaitan S.Th, Sekretaris Majelis

    Daerah VII Gpdi Jawa Tengah, selanjutnya disebut penggugat.

    Dalam kasus perdata ini sebagai Tergugat adalah (1) Ronny Rempen

    pekerjaan pendeta, bertempat tinggal di Jalan Teratai No. 12 Kelurahan Pelutan,

    Kecamatan Pemalang, Kabupaten Pemalang sebagai Tergugat I, (2) Eny Ester

    pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Jalan Teratai No. 12 Kelurahan

    Pelutan, Kecamatan Pemalang, Kabupaten Pemalang sebagai Tergugat II.

    B.1.b Duduk Perkaranya

    Dalam hal ini akan disajikan beberapa mengenai duduk perkara dalam

    kasus No.08/Pdt.G/2003/PN.Pml adalah sebagai berikut:

    - Bahwa dahulu kurang lebih Tahun 1963 di Desa Pekunden, Pelutan,

    Pemalang telah didirikan bangunan Gereja Pantekosta di Indonesia

    diatas tanah seluas kurang lebih 190 M2 yang kemudian dikenal

    setempat dengan nama Jalan Teratai No. 12 Pemalang

    - Bahwa pada waktu itu yang menjabat pendeta Gereja Pantekosta di

    Indonesia dimaksud adalah Pendeta Mohamad Sangid Zacheus

    - Bahwa kemudian Gereja Pantekosta di Indonesia tersebut mendapat

    bantuan dari seorang donatur bernama Uung Bintoro ( Pemilik Toko

    Basa Putra ) bermaksud memperluas lokasi gereja dimaksud dengan

    membelikan tanah sebanyak 2 (dua) yang berdekatan dengan gereja

    tersebut.

    - Bahwa dalam transaksi jual beli ini dari pihak Gereja Pantekosta di

    Indonesia dikuasakan kepada pendeta Mohamad Sangid Zacheus,

    sedangkan uang yang untuk membayar kedua bidang tanah tersebut di

    atas adalah dari Uung Bintoro (pemilik took Basa Putra Pemalang)

    untuk diwakafkan pada Gereja Pantekosta dimaksud

  • 30

    - Bahwa jumlah tanah-tanah Aset Gereja Pantekosta di Indonesia

    seluruhnya adalah: 190 M2 + 205 M2 + 165 M2 = 560 M2,

    selanjutnya disertifikatkan dengan sertifikat Hak Milik No. 1885 atas

    nama MOHAMAD SANGID ZACHEUS dengan alasan gereja tidak

    dapat memilik tanah dimaksud

    - Bahwa mengingat pada tanggal 22 Maret 1990 Pendeta Mohamad

    Sangid Zacheus beserta istrinya Linawati Zacheus menyerahkan

    sebidang tanah beserta bangunan Gereja Pantekosta di Indonesia

    Pemalang, yang dikenal setempat dengan nama jalan Teratai No.12

    Pemalang (termasuk Rumah Dinas Pastorinya) yang tercatat dalam

    sertifikat Hak Milik No. 1886 atas nama Muhamd Sangid Zacheus

    diserahkan kepada Gereja Pantekosta di Indonesia Pemalang. Sebagai

    akta perjanjian penyerahan hak No. 51 tertanggal 22 Maret 1990 yang

    dibuat oleh notaris Liliek Soedarsono Wirono, S.H

    - Bahwa Mohamad Sangid Zacheus dan istrinya bernama Linawati

    Zacheus kini keduanya telah meninggal dunia

    - Bahwa Tergugat I Ronny Rempen menempati gereja tersebut dan

    rumah dinas tanpa ijin atau sepengetahuan Majelis Daerah VII Jawa

    Tengah Gereja Pantekosta di Indonesia

    - Bahwa Tergugat Ronny Rempen adalah bukan pendeta Gereja

    Pantekosta di Indonesia Pemalang tetapi saat itu menjabat pendeta

    GPdI Petarukan Kabupaten Pemalang, yang seharusnya para tergugat

    beserta keluarganya menempati rumah pastori pada GPdI Petarukan

    - Bahwa atas sikap dan perbuatan para tergugat yang menempati,

    menguasai dan memakai 2 (dua) bangunan rumah pastori gereja

    Pantekosta di Indonesia di Jalan Teratai No. 12 Pemalang adalah

    perbuatn melwan hukum.

    - Bahwa oleh karena Para Tergugat tetap bersikap keras kepala untuk

    menempati, menguasai dan memakai tanah-tanah asset gereja berikut

    bangunan rumah pastori tersebut diatas maka satu-satunya jalan

    penyelesaian harus melalui proses hukum yaitu mengajukan gugatan

    Perdata pada Pengadilan Negeri Pemalang yang berwenang

  • 31

    B.1.c Putusan Hakim Pengadilan Negeri Pemalang

    Dalam Eksepsi menolak eksepsi Para Tergugat tersebut. Dalam pokok

    perkara : mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian, menghukum Para

    Tergugat atau siapapun juga yang menerima hak dari padanya untuk segera

    menggosongkan dan menyerahkannya kepada Penggugat dalam keadaan bebas

    yaitu 2 (dua) bidang tanah berikut bangunan rumah Pastori Gedung Gereja

    Pantekosta di Indonesia dalam keadaan sempurna, dan menolak gugatan

    Penggugat selebihnya. Dalam Rekonpensi menolak gugatan Penggugat

    Rekonpensi untuk seluruhnya. Dalam Konpensi dan Rekonpensi menghukum para

    Tergugat Konpensi/ Penggugat Rekonpensi untuk membayar biaya yang timbul

    dalam perkara ini, yang hingga kini ditaksir sebesar Rp. 138.000,-

    B.1.d Putusan Hakim Pengadilan Tinggi Semarang

    Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili kasus peradilan perdata

    pada tingkat Banding di Pengadilan Tinggi Semarang terdiri dari 3 (tiga) orang,

    yaitu H. Sudibyo K Hardjono, SH, sebagai Hakim Ketua Majelis, Ny Vitalien M,

    SH, dan H. Soekarno Moelyo, S.H., sebagai Hakim Anggota. Majelis Hakim ini

    melalui rapat permusyawaratan majelis hakim telah mengambil keputusan untuk

    kasus ini yang dituangkan dalam Putusan Pengadilan Tinggi Semarang tanggal 30

    Agustus 2004 Nomor: 118/Pdt/2004/PT.Smg. Secara ringkas Putusan Pengadilan

    Tinggi Semarang tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut :

    1) Mengabulkan gugatan Pengugat sebagaian

    2) Menyatakan para Tergugat menempati menguasai dan memakai tanah dan

    bangunan permanen pastori yang menjadi satu dengan bangunan Gereja

    Pantekosta dengan ukuran 10m x 5m yang terletak dan dikenal dengan Jalan

    Teratai No.12, Kelurahan Pelutan, Kecamatan Pemalang, Kabupaten Pemalang

    adalah tanpa alas hak dan bertentangan dengan hukum

    3) Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya

    Dalam Rekonpensi menolak gugatan Penggugat dalam Rekonpensi untuk

    seluruhnya dan dalam Konpensi dan Rekopensi menghukum para Tergugat dalam

    Konpensi/ para Penggugat dalam Rekonpensi secara tanggung renteng untuk

  • 32

    membayar ongkos perkara dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat

    pertama sebesar Rp. 138.000,- dan dalam tingkat banding sebesar Rp. 350.000,-

    Berkaitan uraian diatas maka pada hari Selasa tanggal 19 April 2005,

    Bambang Sugijantoro SH Panitera Pengadilan Negeri Pemalang atas perintah

    Ketua Pengadilan Negeri Pemalang dengan surat penetapannya tertanggal, 8 April

    2005 Nomor:02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml, dalam perkara perdata Nomor:

    08/Pdt.G/2003/PN.Pml

    B.1.e Pelaksanaan Putusan Pengadilan Negeri Pemalang

    No.08/Pdt.G/2003/PN.Pml

    Pada bagian ini diuraikan mengenai proses pelaksanaan Putusan

    Pengadilan Negeri Pemalang No 08/Pdt.G/2003/PN.Pml. Dalam uraian ini akan

    dipaparkan tentang pihak yang hadir dalam eksekusi, kendala yang ada dalam

    pelaksanaan eksekusi tersebut.

    Sebelum eksekusi dilakukan atas dasar Putusan Pengadilan Negeri

    Pemalang Nomor: 08/Pdt.G/2003/PN.Pml yang sah dan mepunyai kekuatan

    hukum tetap karena itu Panitera Pengadilan Negeri Pemalang atas perintah Ketua

    Pengadilan Negeri Pemalang mengeluarkan surat penetapannya tertanggal 8 April

    2005 Nomor:02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml dalam putusan perkara perdata

    Nomor:08/Pdt.G/2003/PN.Pml. Kemudian kepada mereka dalam hal ini para

    pihak yang kalah Panitera memberitahukan tentang maksud dan kedatangan

    panitera sambil memperlihatkan dan membacakan Surat Penetapan Ketua

    Pengadilan Negeri Pemalang yaitu untuk melaksanakan putusan Pengadilan

    Negeri Pemalang Jo.Putusan Pengadilan Tinggi Semarang tersebut diatas secara

    paksa dengan melakukan pengosongan dan menyerahkan obyek sengketa yaitu

    tanah dan bangunan permanen pastori yang menjadi satu dengan Gereja

    Pantekosta yang dikuasai.

    Keduanya dalam ini saksi (Suma’un SH dan Bagiyo) dan pegawai

    Pengadilan Negeri Pemalang dengan dibantu oleh petugas-petugas Polsek

    Pemalang, Koramil Pemalang, Kepala Wilayah Kecamatan Pemalang dan Kepala

    Kelurahan Pemalang. Telah datang ke lokasi tanah obyek sengketa di kelurahan

  • 33

    Pelutan Kecamatan Pemalang Kabupaten Pemalang guna melaksanakan Putusan

    Pengadilan Negeri Pemalang tertanggal 2 Oktober 2003 Nomor:

    08/Pdt.G/2003/PN.Pml Jo.putusan Pengadilan Tinggi Semarang tertanggal 30

    Agustus 2004 Nomor: 118/Pdt/2004/PT.Smg yang telah berkekuatan hukum tetap

    Karena para pihak yang berperkara tidak mengajukan upaya hukum kasasi dalam

    tenggang waktu sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang.

    Selanjutnya pelaksanaan eksekusi dilakukan pada tanggal 19 April 200526

    . Eksekusi itu dihadiri atau disaksikan oleh yang pertama Pdt Hengky Tohea

    sebagai Penggugat, yang kedua dua orang saksi yang telah dewasa, cakap dan

    dapat dipercaya masing-masing bernama: (1) Suma’un, S.H, (2) Bagiyo keduanya

    Pegawai Pengadilan Negeri Pemalang, dan yang ketiga Panitera Pengadilan

    Negeri Pemalang Bambang Sugijantoro S.H serta dibantu oleh petugas dari

    Polsek Pemalang. Juga dihadiri oleh pihak yang kalah yaitu Ronny Rempen dan

    Eny Ester

    Saat eksekusi dijalankan timbul perlawanan dari pihak yang kalah (Ronny

    Rempen dan Eny Ester) serta dihadang para jemaat yang pada waktu memblokade

    jalannya eksekusi.27

    Dikarenakan jemaat merasa keberatan dengan apa yang

    dilakukan oleh para pihak yang ada atau ikut menyaksikan eksekusi tersebut. Para

    jemaat justru mempertahankan keberadaan Ronny sebagai pendeta di gereja GPdI,

    sebab mereka sudah bersama-sama selama puluhan tahun.

    Pihak Rony menyatakan bahwa eksekusi yang dilaksanakan adalah adalah

    tidak sah. Dia beranggapan bahwa gereja tersebut adalah miliknya, dalam hal ini

    adalah Eny Ester, karena Eny Ester mendapatkan warisan dari orang tuanya.

    Sebagai termohon eksekuasi, Eny Ester telah dipanggil secara patut oleh Jurusita

    Pengadilan Negeri Pemalang agar supaya datang di Kantor Pengadilan Negeri

    Pemalang dalam jangka waktu 8 (delapan) hari terhitung sejak tegoran

    (Aanmaning) diberikan, agar supaya dengan sukarela ini melaksanakan putusan

    Pengadilan Negeri Pemalang Nomor: 08/Pdt.G/2003/PN.Pml, yakni

    26

    Wawancara dengan Panitera Pengadilan Negeri Pemalang, 10 Desember 2016 27

    Wawancara dengan Pendeta Hengky Tohea, 10 Desember 2016

  • 34

    mengosongkan bangunan serta menyerahkan bangunan gereja yang menjadi

    sengketa kepada pihak gereja yang dinyatakan dalam putusan tersebut sebagai

    pihak yang berhak atas tanah bangunan yang bersangkutan.

    Atas tegoran (Aanmaning) yang dilayangkan oleh Pengadilan Negeri

    Pemalang, dalamkenyatannya pihak Rony tidak melaksanakan dengan sukarela

    dan tetap membangkang tidak bersedia melakukan pengosongan dan

    menyerahkan tanah dan bangunan yang menjadi obyek sengketa kepada pihak

    gereja yang telah ditetapkan sebagai pihak berhak.

    Oleh karena kondisi pada saat itu, dengan pertimbangan bahwa jika

    dilakukan pemaksaan untuk pengambil alihan tanah dan bangunan gereja tersebut,

    maka para jemaat gereja tidak lagi lagi mempunyai tempat untuk melakukan

    ibadah. Oleh karena itu demi kepentingan para jemaat gereja, maka eksekusi tidak

    dilaksanakan. Bahkan sampai saat ini dengan pertimbangan untuk kepentingan

    jemaat pihak gereja sebagai pihak yang berhak tidak lagi mempersoalkan tentang

    penguasaan tanah dan bangunan gereja. Bahkan secara tegas Pendeta Hengky

    Tohea menyatakan bahwa “ Perlu digaris bawahi bahwa mengalah bukan berarti

    pihak yang menang mengikhlaskan begitu saja pemilikan tanah dan bangunan

    gereja untuk Rony, akan tetapi demi kepetingan jemaat yang ibadah ditempat

    tersebut. Jika dilihat lagi seharusnya pihak yang menang dapat menempati tempat

    tersebut juga untuk melakukan ibadah yang sama”. 28

    C. ANALISIS

    Pada sub-bab ini dilakukan analisis sesuai dengan permasalahan hukum

    yang menjadi fokus pembahasan terhadap Kasus Peradilan Perdata yang diperiksa

    dan diadili, baik pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Pemalang dan tingkat

    banding di Pengadilan Tinggi Semarang. Analisis dititik beratkan pada tinjauan

    kesesuaian antara proses dan mekanisme pelaksanaan eksekusi yang terjadi

    dengan ketentuan hukum yang berlaku. Penegakan hukum merupakan rangkaian

    proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang abstrak yang menjadi sebuah tujuan

    28

    Ibid

  • 35

    hukum yang konkrit.29

    Kemudian, sesuai dengan rumusan masalah yang

    dikemukakan dalam Bab sebelumnya, maka analisis dan pembahasan yang

    dilakukan terhadap (dua) pokok permasalahan, yaitu uraian kendala-kendala

    dalam pelaksanaan putusan eksekusi, serta upaya yang hukum yang dapat

    dilakukan oleh pemegang hak atas tanah.

    C.1. Pelaksanaan Putusan Eksekusi Perkara Dengan Nomor :

    08/Pdt.G.2003/PN.Pml

    Jika dilihat dari sisi yuridis, putusan Pengadilan Negeri Pemalang Nomor :

    08/Pdt.G/2003/PN.Pml sudah sah dan memenuhi syarat untuk dilaksanakan.

    Adapun syarat tersebut adalah :

    1. Putusan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap

    Putusan PN Pemalang No:08/Pdt.G/2003/PN.Pml, : “menyatakan bahwa

    sebidang tanah yang terletak di Jalan Teratai No.12 Kelurahan Pelutan,

    Kecamatan Pemalang, Kabupaten Pemalang, sertifikat Hak Milik No.

    1887 atas nama Mohamad Sangid Zacheus adalah sah milik Gereja

    Pantekosta di Indonesia di Pemalang” telah memenuhi syarat untuk

    dieksekusi, Karena pada faktanya pihak Ronny tidak melakukan upaya

    hukum banding. Sebenarnya hukum telah memberikan peluang bagi

    Ronny untuk melakukan perlawanan jika ia tidak menerima putusan PN

    Pemalang yakni dengan melakukan banding. Akan tetapi kesempatan ini

    tidak digunakan oleh Ronny.

    Perlawanan mengandung makna menentang sesuatu sampai hasil akhir

    yang pasti dalam bentuk menang ataupun kalah. Seolah-olah putusan atau

    penetapan yang dikeluarkan pengadilan tidak disetujui akan tetapi tidak

    menginginkan suatu penyelesaian yang pasti. Perlawanan (verzet)

    merupakan upaya perlawanan langsung datang dari pihak yang kalah

    dalam sidang pengadilan karena merasa dirugikan atas keputusan hakim

    yang telah dijatuhi oleh hakim.

    Tujuan dari perlawanan terhadap eksekusi adalah sebagai berikut :

    29

    Satjipto Rahardjo, “Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis”, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 1

  • 36

    a. Untuk menunda.

    Penundaan eksekusi disebut bersifat dan merupakan tindakan hukum yang

    “sangat eksepsional”, karena tindakan penundaan eksekusi

    “menyingkirkan” ketentuan umum hukum eksekusi. Menurut syarat dalam

    eksekusi umum yang berlaku:

    Pada setiap Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

    hukum yang tetap telah melekat kekuatan eksekutorial;

    eksekusi atas Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

    hukum tetap tidak boleh ditunda pelaksanaannya; dan

    yang dapat menunda eksekusi hanya perdamaian.

    b. Membatalkan eksekusi dengan jalan menyatakan putusan yang

    hendak dieksekusi tidak mengikat.

    Alasan-alasan hukum dan fakta yang dapat dijadikan dasar untuk

    menyatakan eksekusi tidak dapat dijalankan. Dengan kata lain selama

    dalam Putusan Hakim belum memperoleh kekuatan hukum tetap,

    maka upaya dan tindakan eksekusi belum berfungsi dan tidak

    mengikat.

    2. Putusan tidak dijalankan secara sukarela

    Ronny tidak menjalankan Putusan Pengadilan Negeri Pemalang

    No:08/Pdt.G/2003/PN.Pml secara sukarela, oleh karena itu maka pihak

    gereja meminta penetapan untuk pelaksanaan eksekusi Putusan

    PN.No:08/Pdt.G/2003/PN.Pml. Atas permohonan penetapan tersebut

    maka pada tanggal 8 April 2005 dikeluarkannya Penetapan Eksekusi

    Nomor: 02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml oleh Ketua Pengadilan Negeri

    Pemalang. Atas perintah Ketua Pengadilan Negeri Pemalang, maka

    Panitera Pengadilan Negeri Pemalang membuat Berita Acara Eksekusi

    No:02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml

    3. Putusan Pengadilan Negeri Pemalang No: 08/Pdt.G/2003/PN.Pml adalah

    Putusan yang bersifat Condemnatoir

  • 37

    Putusan Condemnatoir merupakan putusan yang bisa dilaksanakan, yaitu

    putusan yang berisi penghukuman, dimana pihak yang kalah dihukum

    untuk melakukan sesuatu.

    Mengenai bukti bahwa Putusan PN Pemalang No: 08/Pdt.G/2003/PN.Pml

    bersifat condemnatoir adalah berdasar pada isi putusan tersebut yakni

    ;” menghukum Para Tergugat atau siapapun juga yang mnerima hak dari

    padanya untuk segera mengosongkan tanah beserta bangunan tersebut

    dalam keadaan baik dan tanpa beban apapun, untuk kemudian diserahkan

    kepada Penggugat apabila perlu dengan bantuan alat Negara/POLRI hal

    ini serupa dengan Putusan Pengadilan Tinggi Semarang

    118/Pdt/2004/PT.Smg”.

    Dari putusan tersebut nampak bahwa ada penghukuman yang dijatuhkan

    kepada Ronny untuk mengosongkan tanah dan bangunan yang menjadi

    obyek sengketa dan menyerahkan kepada penggungat ( pihak gereja ).

    4. Eksekusi dibawah perintah dan dibawah pimpinan Pengadilan Negeri

    Bukti bahwa eksekusi itu dibawah Perintah Pimpinan Pengadilan Negeri

    Pemalang dengan melihat pada Penetapan No:02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml

    yang isinya :

    a. memerintahkan kepada Panitera Negeri Pemalang atau jika ia

    berhalangan dapat diganti oleh wakilnya yang sah dengan dibantu oleh

    2(dua) orang saksi yang telah dewasa cakap dan dapat dipercaya untuk

    melaksanakan bunyi Putusan Pengadilan Negeri Pemalang tanggal 2

    Oktober 2003 Nomor:08/Pdt.G/2003/PN.Pml Jo.Putusan Pengadilan

    Tinggi Semarang tanggal 30 Agustus 2004

    Nomor:118/Pdt/2004/PT.Smg, yang telah mempunyai kekuatan hukum

    tetap secara paksa dan bilamana perlu dengan bantuan alat kekuasaan

    negara,

    b. memerintahkan pula agar pekerjaan ini segera dilaksanakan.

    Perlu ditambahkan bahwa eksekusi tersebut sudah terpenuhi dengan

    adanya tata cara pelaksanaan eksekusi sebagai berikut:

  • 38

    a. permohonan pihak yang menang

    pihak yang menang (Gereja diwakilkan oleh Pdt. Hengky Tohea)

    dalam hal ini sudah mengajukan permohonan pengajuan eksekusi

    kepada Ketua Pengadilan Negeri Pemalang.

    b. Penaksiran biaya eksekusi

    Biaya eksekusi seterusnya ditanggung oleh pihak yang kalah dalam

    Pengadilan.

    c. Melaksanakan peringatan

    Pengadilan sudah memberikan peringatan terhadap pihak yang kalah

    untuk melaksanakan eksekusi. Dasar Penetapan Pengadilan Negeri

    Pemalang No:02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml, akan tetapi pihak Ronny tidak

    mau memperdulikan peringatan tersebut.

    d. Mengeluarkan surat perintah eksekusi

    Atas dasar Putusan Pengadilan Negeri Pemalang Nomor:

    08/Pdt.G/2003/PN.Pml dan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor:

    118/Pdt/2004/PT.Smg maka dikeluarkannya surat Penetapan

    Pengadilan Negeri Nomor: 02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml dan Berita Acara

    Eksekusi Nomor: 02/Pdt.Eks/PN.Pml

    Secara dari sisi yuridis yang ada putusan Pengadilan Negeri Pemalang

    No:08/Pdt.G/2003/PN.Pml Jo.Putusan Pengadilan Tinggi Semarang tanggal

    30 Agustus 2004 Nomor:118/Pdt/2004/PT.Smg, putusan tersebut sudah

    mempunyai kekuatan hukum tetap, seharusnya pihak yang kalah (Ronny)

    menghormati putusan tersebut dan melaksanakan secara suka rela. Akan

    tetapi ternyata tidak sebagaimana mestinya yang diharapkan, oleh karena itu

    melalui surat Penentapan Ketua Pengadilan Negeri Pemalang Nomor:

    02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml dilaksanakan eksekusi dibawah perintah Ketua

    Pengadilan Negeri Pemalang. Walaupun demikian eksekusi tidak dapat

    dilaksanakan sebagaimana yang diharapkan karena adanyan kendala baik

    internal maupun ekternal. Dimaksud dengan kendala internal adalah ialah

  • 39

    kendala yang berasal dari pihak dalam perkara, sedangkan dimaksud dengan

    kendala eksternal adalah kendala yang berasal dari luar pihak yang

    berperkara.

    Dibawah ini diuraikan kendala tersebut sebagai berikut:

    1. Kendala Internal

    Dalam pelaksanaan pada Penetapan Pengadilan Negeri Pemalang

    No:02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml atas putusan eksekusi perkara perdata No:

    08/Pdt.G/2003/PN.Pml, tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya

    karena ada perlawanan dari Ronny. Adapun alasan Ronny mengadakan

    perlawanan atas pelaksanaan eksekusi adalah bahwa ia masih berpendapat

    tanah dan bangunan gereja tersebut adalah warisan dari mertuanya. Oleh

    karena itu ia merasa sah menenpati rumah yang menjadi obyek sengketa.

    Tindakan Rony menurut penulis adalah tidak benar, mengingat bahwa

    putusan tentang obyek sengketa telah mempunyai kekuatan hukum tetap

    dengan ditolaknya upaya hukum banding yang dilakukan oleh Rony dengan

    putusan Pegadilan Tinggi Semarang pada tanggal 30 Agustus 2004

    Nomor:118/Pdt/2004/PT.Smg. Dengan ditolaknya banding oleh Pengadilan

    Tinggi maka secara yuridis bahwa tanah obyek sengketa adalah milik

    gereja. Terlebih lagi dengan adanya surat yaitu berupa Penetapan Nomor:

    02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml. dan dengan adanya juga Berita Acara Eksekusi

    Nomor: 02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml.

    Dari sisi yuridis tindakan Ronny dengan tidak meninggalkan rumah

    obyek sengketa adalah bertentangan dengan UU No. 51 PRP Tahun 1960

    Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak Atau

    Kuasanya. Artinya bahwa jika Ronny tetap menempati atau tinggal di rumah

    obyek sengketa, maka secara hukum ia menempati rumah tanpa ijin pihak

    yang berhak, oleh karena itu dapat juga dikenai dengan sanksi hukum

    sebagaimana diancamkan dalam UU No. 51 PRP Tahun 1960 yaitu Tentang

    Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak Atau Kuasanya

    Perlawanan atas pelaksanaan eksekusi ini jelaslah tidak mendasar,

    mestinya Ronny bisa menggunakan upaya yang disediakan oleh hukum

  • 40

    untuk melakukan perlawanan sebelum putusan inkracht, yaitu melalui upaya

    banding, kasasi sebelum putusan mempunyai kekuatan hukum tetap

    (inkracht).

    Disamping itu menurut penulis menjadi kendala internal juga yakni

    dari gereja sendiri adalah memperbolehkan penggunaan gereja untuk ibadah

    bagi jemaat Rony dengan alasan perikemanusiaan. Dimaksudkan disini

    adalah bahwa akhirnya gereja tidak mempermaslahkan tidak diserahkannya

    rumah obyek sengketa dengan alsan perikemanusiaan, yakni dengan

    memeprtimbangkan umat gereja tersebut, karena jika gereja berkeras untuk

    melaksanakan putusan tersebut, maka umat tidak akan mempunyai tempat

    untuk melaksanakan ibadahnya. Gereja sadar bahwa dengan Pengadilan

    Negeri Pemalang yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap telah

    memutuskan bahwa gereja pemilik yang sah dari rumah obyek sengketa.

    Disini bukan berarti tanah dan bangunan gereja menjadi milik Ronny,

    Ronny dapat menguasai tempat tersebut dikarenakan gereja sekali lagi

    mempertimbangkan alasan kemanusiaan tersebut.

    2. Kendala External.

    Dimaksud dengan kendala external adalah kendala dalam pelaksanaan

    eksekusi putusan pengadilan yang berasal dari luar, yakni dari pihak diluar

    pihak yang berperkara.

    Dalam pelaksanaan Putusan Pengadilan Negeri Pemalang No:

    08/Pdt.G/2003/PN.Pml yang ditetapkan eksekusinya berdasarkan

    Penetapan Ketua Pengadilan negeri Nomor: 02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml dan

    Berita Acara Eksekusi Nomor: 02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml, sempat terjadi

    perlawanan dari luar pihak yang berperkara. Perlawanan sempat terjadi

    dimana saat proses eksekusi pihak yang kalah melakukan perlawanan

    dengan membuat barisan untuk menghadang pelaksanaan eksekusi.

    Terjadi penghadangan oleh umat gereja sebagai pendukung tergugat Rony.

    Penghadangan oleh umat pendukung Rony dimaksudkan agar supaya tidak

    dilakukan eksekusi terhadap obyek sengketa, karena dikhawatirkan jika itu

    terjadi, maka mereka tidak dapat melakukan ibadah dan penghadangan itu

    merupakan tindakan pembelaan terhadap pendetanya. Oleh sebab itu pihak

  • 41

    yang merasa menang kecewa dengan sikap yang dilakukan oleh para pihak

    yang kalah sehingga memunculkan suatu argument bahwa gereja tersebut

    tidak boleh untuk dieksekusi.

    Tindakan umat yang melakukan penghadangan terhadap para pejabat

    yang akan melakukan eksekusi adalah tidak benar secara hukum.

    Apabila dalam pelaksanaan eksekusi mendapat perlawanan dari pihak-

    pihak tertentu, maka seharusnya pihak yang mewakili Pengadilan Negeri

    terkait dapat melaporkan adanya dugaan tindak pidana dengan berdasar

    pada ketentuan-ketentuan sebagai berikut:30

    Pasal 212 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang

    selengkapnya berbunyi demikian:

    “Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan

    melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yag sah, atau

    orang yang waktu itu menurut kewajiban undang-undang atau atas

    permintaan pejabat yang bersangkutan sedang membantunya, diancam

    karena melawan pejabat dengan pidana penjara paling lama satu tahun

    empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus

    rupiah.”

    Pasal 216 ayat (1) KUHP, yang selengkapnya berbunyi demikian:

    “Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan

    yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya

    mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat yang tugasnya atau yang diberi

    kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana, demikian pula

    barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau

    menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang

    yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan

    pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda

    paling banyak sembilan ribu rupiah.”

    Jika ada yang menghalangi atau menunda eksekusi maka sesuai

    dengan Undang-Undang No. 51 PRP Tahun 1960 yang berlaku Tentang

    Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak Atau Kuasanya dalam

    Pasal dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5, maka dapat dipidana dengan

    30

    http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt573bf3aac86cc/langkah-hukum-jika-eksekusi-

    dihalang-halangi-pihak-lawan

    http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt573bf3aac86cc/langkah-hukum-jika-eksekusi-dihalang-halangi-pihak-lawanhttp://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt573bf3aac86cc/langkah-hukum-jika-eksekusi-dihalang-halangi-pihak-lawan

  • 42

    hukuman kurungan selama-lamauya 3 (tiga) bulan dan/atau denda

    sebanyak-banyaknya Rp 5.000,- (lima ribu rupiah)

    Demikian juga menurut Kitab Hukum Perdata juga bisa dikenakan

    Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi : ” Tiap perbuatan melawan hukum,

    yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang

    karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

    Dimana saat eksekusi tersebut Ronny dan umatnya melakukan perbuatan

    melawan hukum berupa perlawanan untuk menghalangi eksekusi putusan

    Pengadilan Negeri yang telah mememenuhi syarat untuk dieksekusi. Dari

    sisi yuridis dengan menghalangi eksekusi atau menunda eksekusi dapat

    mengakibatkan pihak yang menang merasa dirugikan dikarena tidak dapat

    menempati kemudian tempat tersebut tidak terawat dengan baik sehingga

    menimbulkan kerugian yang diderita.

    C.2 Tindakan Hukum Yang Dapat Diambil Gereja Agar Menempati Hak Tanah

    Sengketa .

    Berkaitan dengan analisis sebagaimana tersebut diatas, nampak bahwa

    secara yuridis berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Pemalang No No:

    08/Pdt.G/2003/PN.Pml adalah pihak yang berhak atas tanah sengketa. Selanjutnya

    atas putusan tersebut telah dilaksanakan eksekusi berdasarkan Penetapan Ketua

    Pengadilan Negeri Pemalang No 02/Pdt.Eks/2005/PN.Pml, akan tetapi tidak dapat

    terlaksana karena beberapa kendala yang ada. Dengan demikian maka secara

    hukum pihak gereja seharusnya dapat menguasai dan memanfaatkan tanah yang

    bersangkutan karena secara yuridis telah terbukti sebagai pemilik. Pihak gereja

    sebagai pemegang hak, secara hukum akan medapat perlindungan hukum.

    Perlindungan hukum dimaksud dapat diuraikan sebagai berikut :

    Pada Alinea ke empat Pemukaan UUU 1945 yang menyebutkan bahwa

    “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Secara

    teoritik, aline ke empat pembukaan UUD 1945 telah menentukan suatu teori

    perlindungan hukum bagi segenap bangsa Indonesia termasuk perlindungan

    hukum terhadap pemegang hak atas tanah.

  • 43

    Upaya Pemerintah untuk memberikan suatu jaminan akan adanya kepastian

    hukum atas kepemilikan tanah bagi seseorang ialah dengan dilakukannya suatu

    pendaftaran hak atas tanah sebagaimana rumusan Pasal 19 UUPA, yang

    mengamatkan bahwa demi kepastian hukum akan pemilikan hak atas tanah, maka

    setiap pemegang hak atas tanah wajib melakukan pendaftaran tanah. Amanat ini

    kemudian ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya PP No 10 Tahun 1960 tentang

    Pendaftaran Tanah yang telah dicabut dengan adanya PP No 24 Tahun 1997

    tentang Pendaftaran Tanah.

    Salah satu peraturan pelaksaana dari UUPA berkaitan dengan perlindungan

    terhadap pemegang hak atas tanah adalah dengan dikeluarkannya Undang-

    Undang No. 51 PRP Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin

    Yang Berhak Atau Kuasanya dinyatakan bahwa :

    - Apa yang diatur dalam Pasal 6 menyatakan bahwa : dengan tidak

    mengurangi berlakunya ketentuan dalam pasal 3, 4 dan 5, maka dapat

    dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamauya 3 (tiga) bulan

    dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000,- (lima ribu rupiah:

    - a. barangsiapa memakai tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya

    yang sah, dengan ketentuan, bahwa jika mengenai tanah-tanah

    perkebuaan dan hutan dikecualikan mereka yang akan diselesaikan

    menurut pasal 5 ayat 1;

    - b. barangsiapa mengganggu yang berhak atau kuasanya yang sah di

    dalam menggunakan haknya atas suatu bidang tanah;

    - c. barangsiapa menyuruh, mengajak, membujuk atau menganjurkan

    dengan lisan atau tulisan untuk melakukan perbuatan yang dimaksud

    dalam pasal 2 atau sub b dari ayat 1 pasal ini;

    - d. barangsiapa memberi bantuan dengan cara apapun juga untuk

    melakukan perbuatan tersebut pada pasal 2 atau huruf b dari ayat 1

    pasal ini;

    - 2. Ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian yang diadakan

    oleh Menteri Agraria dan Penguasa Daerah sebagai yang

    dimaksud dalam pasal 3 dan 5 dapat memuat ancaman pidana

    dengan kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau

  • 44

    denda sebanyak-banyakrrya Rp 5.000,- (lima ribu rupiah)

    terhadap siapa yang melanggar atau tidak memenuhnya.

    - 3. Tindak pidana tersebut dalam pasal ini adalah pelanggaran.

    Jelas dari penjelasan diatas merupakan beberapa contoh dari sanksi

    pidana yang diberikan oleh Undang-Undang No. 51 PRP Tahun 1960 yang

    mencantumkan dengan tegas masalah pidana bagi orang yang membantu

    untuk menguasai tanah tersebut tanpa adanya ijin dari pihak-pihak yang

    berkaitan.

    Jika mengkaitkan dalam sebuah Hak Azazi Manusia yang ada dalam

    mengenai perlindungan hukum dapatkan dikatakan bahwa HAM juga

    mengatur mengenai perlindungan hukum yang diberikan. Secara filosofi,

    yuridis dan sosiologis perlindungan hak-hak atas tanah mengacu kepada

    konsepsi hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945 Bab

    XA dinyatakan bahwa :

    - Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,

    martabat dan hak milik (Pasal 23).

    - Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut

    tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun (Pasal

    32).

    - Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia

    menjadi tanggung jawab pemerintah (Pasal 43)

    Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan

    bahwa :

    - Setiap orang berhak atas pengeluaran, jaminan, perlindungan dan

    perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan

    perlakuan yang sama di depan hukum (Pasal 3 ayat 2).

    - Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,

    kehormatan, martabat, dan hal miliknya (Pasal 29 ayat 1).

  • 45

    - Tidak seorang pun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-

    wenang dan secara melawan hukum (Pasal 36 ayat 2)

    Jika dilihat pasal demi pasal yang berkaitan dengan Hak Asasi

    Manusia yang berhubungan dengan perlindungan yang diberikan pemegang

    hak atas tanah dapat dikatakan bahwa pengaturan sudah tegas ada dalam

    beberapa pasal yang dicantumkan diatas yakni Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 36

    ayat (2) dapat disimpulkan bahwa pasal-pasal tersebut merupakan bagian

    dari perlindungan hukum dalam Hak Asasi Manusia.

    Demikian juga lebih lanjut terhadap pihak berhak mendapatkan

    perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam HIR ( Het Herzine

    Indonesich Reglemen) atau Reglemen Indonesia Baru, Staatblad 1848, yang

    berkaitan dengan eksekusi putusan yakni :31

    Pasal 195 HIR

    Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh

    keputusan hakim yang menghukum pihak lawannya maka ia berhak dengan

    alat-alat yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk memaksa pihak

    lawan guna mematuhi keputusan hakim itu. Hak ini memang sudah

    selayaknya, sebab kalau tidak ada kemungkinan untuk memaksa orang yang

    dihukum maka peradilan akan tidak ada gunanya.

    Dalam hal ini tidak ada jalan lain bagi pihak yang menang dari pada

    menggunakan haknya itu dengan perantaraan hakim untuk melaksanakan

    putusan tersebut, akan tetapi putusan itu harus benar-benar telah dapat

    dijalankan, telah memperoleh kekuatan pasti, artinya semua jalan hukum

    untuk melawan keputusan itu sudah dipergunakan, atau tidak dipergunakan

    karena lewat waktunya, kecuali kalau putusan itu dinyatakan dapat

    dijalankan dengan segera, walaupun ada perlawanan, banding atau kasasi.

    Pada prinsipnya, dalam perkara perdata pelaksanaan putusan pengadilan

    dilakukan oleh pihak yang dikalahkan. Akan tetapi, terkadang pihak yang

    kalah tidak mau menjalankan putusan secara sukarela, sehingga pihak yang

    31

    https://mirdinatajaka.blogspot.co.id/2014/11/dasar-hukum-eksekusi-sukarela-dan.html

    https://mirdinatajaka.blogspot.co.id/2014/11/dasar-hukum-eksekusi-sukarela-dan.html

  • 46

    menang dapat meminta bantuan pihak pengadilan untuk memaksakan

    eksekusi putusan tersebut

    Pasal 196 HIR:

    Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi

    keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan

    permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua

    pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat

    menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil pihak yang

    dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di

    dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan

    hari.

    Jika setelah jangka waktu yang telah ditetapkan, putusan masih juga tidak

    dilaksanakan, maka Ketua Pengadilan memerintahkan agar disita barang-

    barang milik pihak yang kalah sampai dirasa cukup akan pengganti jumlah

    uang yang tersebut di dalam keputusan itu dan ditambah pula dengan semua

    biaya untuk menjalankan keputusan itu.

    Pasal 197 HIR

    Jika sesudah lewat tempo yang telah ditentukan belum juga

    dipenuhi putusan itu atau jika pihak yang dikalahkan itu walaupun

    telah dipanggil dengan patut tidak juga datang menghadap maka ketua

    atau pegawai yang dikuasakan itu karena jabatannya memberi perintah

    dengan surat supaya disita sejumlah barang kepunyaan pihak yang

    dikalahkan

    Pasal 225 HIR

    Jika seseorang yang dihukum untuk melakukan suatu perbuatan tidak

    melakukan perbuatan itu dalam waktu yang ditentukan hakim, maka pihak

    yang menang perkara boleh meminta kepada pengadilan negeri dengan

    perantaraan ketuanya, entah dengan syarat, entah dengan lisan, supaya

  • 47

    keuntungan yang sedianya akan didapatnya jika keputusan itu dilaksanakan,

    dinilai dengan uang yang banyaknya harus diberitahukannya dengan pasti;

    permintaan itu harus dicatat jika diajukan dengan lisan.