bab ii hasil dan pembahasan 2.1. kehidupan sosial etnik...

242
64 BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa di Kecamatan Niki-Niki. Berbicara mengenai etnik Tionghoa, maka tidak terlepas dari sifat perantauan yang biasa melekat dalam identitas etnik mereka, etnik Tionghoa memang dikenal sebagai kaum perantauan yang pandai dalam berdagang serta membangun relasi yang baik dimana mereka berada. Hal tersebut juga terdapat diwilayah Nusa Tenggara Timur, sejak zaman penjajahan Bangsa Belanda dipulau Timor, kedatangan dan keberadaan etnik Tionghoa memainkan peranan penting dalam sektor perekonomian. Diwilayah kecamatan Niki-Niki, dimana sejarah nama Niki-Niki merupakan pemberian dari para penjajah Belanda yakni “Knich- Knichyang artinya melihat ke belakang atau membelakangi. Etnik Tionghoa sudah mendiami dan berbaur dengan masyarakat lokal setempat, khususnya Etnik Dawan, perkawinan campuran antara Etnik Tionghoa dengan Etnik Dawan sudah tejadi ratusan tahun yang lalu, namun tidak ada catatan resmi kedatangan etnik Tionghoa pertama di wilayah ini. Perkawinan campuran ini terjadi dikarenakan adanya faktor hubungan dagang yang terjalin antara Etnik Tionghoa dengan Etnik Dawan, khususnya kaum bangsawan dari Raja Amanuban. Etnik Tionghoa yang sudah berbaur dalam perkawinan campuran dengan etnik Dawan bisa disebut sebagai Etnik Tionghoa campuran, etnik Tionghoa peranakan maupun campuran yang mendiami

Upload: hanguyet

Post on 07-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

64

BAB II

HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa di Kecamatan Niki-Niki.

Berbicara mengenai etnik Tionghoa, maka tidak terlepas dari sifat

perantauan yang biasa melekat dalam identitas etnik mereka, etnik Tionghoa

memang dikenal sebagai kaum perantauan yang pandai dalam berdagang serta

membangun relasi yang baik dimana mereka berada. Hal tersebut juga terdapat

diwilayah Nusa Tenggara Timur, sejak zaman penjajahan Bangsa Belanda dipulau

Timor, kedatangan dan keberadaan etnik Tionghoa memainkan peranan penting

dalam sektor perekonomian. Diwilayah kecamatan Niki-Niki, dimana sejarah

nama Niki-Niki merupakan pemberian dari para penjajah Belanda yakni “Knich-

Knich” yang artinya melihat ke belakang atau membelakangi. Etnik Tionghoa

sudah mendiami dan berbaur dengan masyarakat lokal setempat, khususnya Etnik

Dawan, perkawinan campuran antara Etnik Tionghoa dengan Etnik Dawan sudah

tejadi ratusan tahun yang lalu, namun tidak ada catatan resmi kedatangan etnik

Tionghoa pertama di wilayah ini.

Perkawinan campuran ini terjadi dikarenakan adanya faktor hubungan

dagang yang terjalin antara Etnik Tionghoa dengan Etnik Dawan, khususnya

kaum bangsawan dari Raja Amanuban. Etnik Tionghoa yang sudah berbaur dalam

perkawinan campuran dengan etnik Dawan bisa disebut sebagai Etnik Tionghoa

campuran, etnik Tionghoa peranakan maupun campuran yang mendiami

Page 2: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

65

kecamatan Niki-Niki kebanyakan berprofesi sebagai pedagang, petani, pengusaha

dan ada juga yang berprofesi sebagai pemuka Agama serta tokoh masyarakat

terkemuka. Sehingga tidaklah mengherankan jika pembauran yang terjadi ini

menjadi realitas sosial tersendiri, dapat dikatakan peranan etnik Tionghoa

peranakan di Niki-Niki memainkan peranan penting dalam sendi perekonomian

masyarakat Amanuban Tengah khususnya kecamatan Niki-Niki.

Niki-Niki yang berada dalam wilayah administrasi kabupaten Timor

Tengah Selatan, mayoritas masyarakatnya beragama Kristen Protestan, sedangkan

sisanya beragama Katholik, Islam, Hindu, dan aliran kepercayaan lainnya.

Sedangkan masyarakat etnik Tionghoa perankan dan campuran di Niki-Niki

mayoritasnya beragama Kristen Protestan, sisanya beragama Katolik dan Muslim,

pada awalnya kebanyakan dari mereka maupun nenek moyang mereka

sebelumnya memeluk agama Konghuchu, namun seiring masuknya zaman orede

baru dan pemberontakan GS30 PKI memaksa mereka memeluk agama yang

diakui negara, hal tersebut tertuang dalam P.P.10 yang dikeluarkan Pemerintah RI

saat itu. Dengan demikian disaat yang bersamaan wilayah pulau Timor yang

merupakan jajahan Belanda yang meyoritasnya berkembang pesat saat itu adalah

Agama Kristen Protestan.

Saat ini Niki-Niki sudah mengalami perubahan yang cukup signifikan,

berbagai kegiatan perekonomian makin membaik dan tumbuh subur seperti pasar

tradisional yang sebagian diisi oleh kaum pendatang dari Etnik Bugis, Suku

Bangsa Jawa, Etnik Minang, Bali, dan etnik Tionghoa yang paling banyak

mendominasi sendi perekonomian. Fasilitas pendidikan tersedia mulai dari taman

Page 3: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

66

kanak-kanak hingga sekolah menengah atas baik yang dikelola oleh Pemerintah

maupun swasta (sekolah misi dari Agama Protestan dan Katholik). Sedangkan

fasilitas ibadah bagi umat beragama juga terdapat di Niki-Niki, seperti Gereja bagi

umat Katholik dan Protestan, Mesjid bagi umat Muslim, dan Pura bagi pemeluk

agama Hindu.

Gambar 2. Lokasi Penelitian, Kecamatan Niki-Niki (Titik Merah)

Page 4: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

67

2.2. Membangun Relasi Dengan Informan Penelitian.

Membangun relasi sekaligus membuat pendekatan dengan informan dan

juga calon informan bukanlah perkara gampang bagi peneliti ketika berada

dilapangan, oleh karena itu untuk mendapatkan informan awal sekaligus pembuka

jalan (informan penghubung) peneliti mendapatkan bantuan dari pihak keluarga

dan kerabat, akhirnya peneliti dikenalkan kepada tiga informan pertama yakni

Bapak J.E.E.Litelnoni berserta istri dan Bapak Paulus Nitbani, alasannya

sederhana mereka merupakan tokoh masyarakat yang dituakan dikalangan Etnik

Tionghoa di Niki-Niki, sehingga nanti memudahkan peneliti mendapatkan

informan. Sebelum melakukan penelitian secara penuh pada bulan juni 2012 ini,

peneliti sebelumnya melakukan kunjungan soft opening bertemu dengan informan

kunci yang sekaligus juga sebagai penghubung antara peneliti dengan calon

informan lainnya. Pertemuan saya dengan informan sekaligus penghubung saya

dengan calon informan lainnya adalah dengan Bapak J.E.E.Litelnoni alias Lee

Hook Chow atau akrabnya disapa Kung Lurah, ini memang bukan pertemuan

pertama saya dengan beliau, sebelumnya pada pra-survey penelitian saya sempat

mewawancarai beliau dan istrinya juni tahun lalu.

Pagi itu tanggal 4 juni saya bertamu ke rumah mereka yang tidak jauh dari

tempat saya menginap, jarum jam menunjukan pukul 10.30, saat menginjakan

kaki di halaman depan kediaman mereka, terlihat beliau bersama sang istri sedang

membersihkan halaman rumah mereka. Saya pun menyapa selamat pagi dan

dibalas dengan selamat pagi juga dengan senyuman, kemudian saya dipersilahkan

masuk ke ruang keluarga mereka bukan ke ruang tamu ini menandakan dalam

Page 5: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

68

pemahaman peneliti bahwa peneliti diterima bukan sebagai tamu melainkan

anggota keluarga, sehingga menjadi suatu kebahagiaan tersendiri bagi peneliti

yang dengan mudah akrab dengan informan utama sekaligus penghubung

informan.

Sembil meneguk hidangan teh hangat dan kue kering, peneliti

mengutarakan niat kedatangannya untuk melakukan penelitian tentang Etnik

Tionghoa di Niki-Niki, sekaligus meminta kesediaan beliau dan istrinya menjadi

informan untuk diwawancarai dan menjadi penghubung peneliti dengan calon

informan lainnya. Akhirnya, beliau menyanggupi permintaan peneliti diikuti oleh

istrinya yang bersedia untuk diwawancarai, namun peneliti memutuskan belum

melakukan wawancara saat itu, dikarenakan kedatangan peneliti ke lepangan yang

terlebih dahulu ingin mengetahui kondisi lapangan penelitian serta mengamati

interaksi sosial, dan kehidupan masyrakat etnik Tionghoa di Niki-Niki.

Disamping itu, tidak berapa lama kemudian Pak J.E.E.Litelnoni atau yang biasa

disapa Kung Lurah mengajak saya ke salah satu calon informan lainnya yakni

Bapa Paulus Nitbani yang merupakan tokoh masyarakat Tionghoa di Niki-Niki.

Pertemuan kami cukup hangat, kami diterima di kediaman bapak Paulus

Nitbani berserta istri yang jaraknya hanya 20 meter dari kediaman Kung Lurah,

bapak Paulus tidak lain adalah kakak ipar dari Kung Lurah, sehingga dengan

adanya hubungan keluarga ini membuat suasana terasa akrab disamping itu juga

akan memudahkan peneliti dalam menggali data dari wawancara maupun

observasi. Siang itu, kami diterima diruang tamu. Pertemuan dengan beliau

bukanlah yang pertama bagi peneliti, beberapa tahun yang lalu dalam acara

Page 6: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

69

kerabat keluarga marga ANG kami sering bertemu dan bercengkrama, pertemuan

untuk kesekian kali ini memudahkan saya untuk mengutarakan niat saya untuk

meminta kesediaan beliau dan istrinya untuk diwawancarai sebagai informan

dalam penelitian saya. Setali tiga uang, beliau pun menyambut dengan hangat

permintaan tersebut, namun istrinya tidak bersedia diwawancarai karena alasan

tertentu. Akhirnya peneliti bisa memaklumi hal tersebut, tanpa mengurasi rasa

hormat peneliti kepada informan, peneliti memohon maaf sebelumnya.

Namun, hal tersebut tidak menyurutkan semangat peneliti untuk

melakukan wawancara dengan ketiga informan di pertemuan berikutnya, kurang

lebih hampir 45 menit mengobrol dan menuai kesepakatan, kami pun diundang

makan siang bersama dengan keluarga Bapak Paul, hidangan waktu itu cukup

sederhana namun mempunyai cita rasa tinggi. Hidangan yang disediakan adalah

masakah khas mandarin, berupa mie kuah, serta tumisan sayur sawi, peneliti

beranggapan bahwa diantara kami tidak terdapat batasan yang jauh, melainkan

saling mendekatkan diri dengan informan agak tidak terdapat gap yang besar. Hal

ini justru menguntungkan peneliti dalam melakukan observasi sebagai bahan awal

kajian sebelum wawancara di pertemuan berikutnya. Setelah santap siang

bersama, peneliti dan Kung Lurah pamit diri untuk kembali ke rumah masing-

masing, tak lupa juga peneliti mengucapkan terima kasih atas santapan siang yang

disajikan keluarga bapak Paul serta kesedian beliau menjadi informan peneliti.

Kemudiann peneliti melanjutkan pengamatan bersama dengan ditemani Kung

Lurah mengamati kehidupan sehari-hari masyarakat etnis Tionghoa di Niki-Niki

sambil menjaring beberapa kandidat yang akan dijadikan calon informan peneliti,

Page 7: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

70

kegiatan ini kami lakukan seharian penuh dari tanggal 4 sampai dengan 5 juni

2012.

2.3. Profil Informan Penelitian

No Foto Data

1

Nama : Paulus Mana Nitbani (Ang Pai Fan)

Nama Istri : Sarci Singli

Lahir : Niki-niki, 22 Juni 1936.

Generasi : ke-2 Tionghoa

Nama Ayah : Ang Ie Kien : Hokkien

Nama Ibu : Rosalina Nitbani

Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : Wiraswasta, Petani, Tokoh

Masyarakat.

2

Nama : John Errence Edward Litelnoni (Lee Hok

Chow)

Nama Istri : Endang EYP Litelnoni (Ang Taek

Sang)

TTL : Niki-niki, 7 september 1932.

Generasi : ke-4 Tionghoa

Ayah : Lie Bu Shui (Tionghoa) : Nanyang

Ibu : Tau Taek (Timor)

Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : Pensiunan PNS, Tokoh Masyarakat.

Page 8: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

71

3 Nama : Endang EYP Litelnoni (Ang Taek Sang)

Nama Suami : John Errence Edward Litelnoni (Lee

Hok Chow)

Lahir : Niki-niki, 25 september 1938.

Generasi : ke-2 Tionghoa

Ayah : Ang Ie Kien : Hokkien

Ibu : Rosalina Nitbani

Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : Ibu rumah tangga, Tokoh Masyarakat.

4

Nama : Karel Singli (Lee Khoet Chong)

Nama Istri : Ingrayati Un (Wun Ing Me)

Lahir : Niki-niki, 27 Juli 1944.

Generasi : ke-3 Tionghoa

Nama Ayah : Lee Cing Kung (Tionghoa)

Nama Ibu : Ui Kui Nio (Tionghoa)

Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : Wiraswasta, Pedagang, dan Tokoh

Masyarakat.

5

Nama : Leonard Hun Banamtuan (Ang Xie Ling)

Nama Istri : Yenny Hun Leo (Leo Cing Ang)

Lahir : Niki-niki, 18 Februari 1941.

Generasi : ke-3 Tionghoa

Ayah : Ang Eng Hong : Hokkien

Ibu : Anna Banamtuan Nope

Agama : Kristen Pantekosta

Pekerjaan : Pemuka agama (Pendeta), dan

pedagang.

Page 9: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

72

6 Nama : Benyamin Tjung (Tjung Tjiu Min)

Nama Istri : Inggriaeni Tjung Go (Go Xie Hoa)

Lahir : Niki-niki, 31 December 1955

Generasi : ke-2 Tionghoa

Nama Ayah : Tjung Mean Fat: Hokkien

Nama Ibu : Tjong Toa Neo (Maria Novan Tjung)

Agama : Katholik

Pekerjaan : Pedagang

7 Nama : Gilbert Gasper Lee (Lee Cung Liong)

Nama Istri : Erlis Leo

Lahir : Niki-niki, 1 Juli 1955.

Generasi : ke-3 Tionghoa

Nama Ayah : Lee Meng Hong : Hokkien

Nama Ibu : Leo Giok Eng

Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : Pedagang

8 Nama : Christopher Wijaya (Ui I Ngo)

Nama Istri : Christina Tjong (Tjong Cing Cio)

Lahir : Kupang, 29 Mei 1945.

Generasi : ke-1 Tionghoa

Nama Ayah : Ui Kong Hino : Hokkien

Nama Ibu : Tan Lea Nio

Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : Pedagang

Page 10: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

73

9 Nama : Syarifudin Un (Wun Jun Pit)

Nama Istri : Herawati Un Leo (Leo Bi Cio)

Lahir : Niki-Niki, 19 Juni 1950.

Generasi : ke-6 Tionghoa

Nama Ayah : Muhammad Tahir (Wun Peng Kong)

: Hokkien

Nama Ibu : Hadijah Un Chandra (Cang Kiut Moe)

Agama : Islam

Pekerjaan : Wiraswasta (Kontraktor), Pedagang.

10 Nama : Herman Carel Litelnoni (Lie Hok Kie)

Lahir : Niki-Niki, 29 Juli 1949.

Generasi : ke-6 Tionghoa

Nama Ayah : CHR Litelnoni (Lee Kim Hok) :

Hokkien

Nama Ibu : Ang Sing Giok

Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : Pensiunan PNS.

Info lainnya : Tidak menikah/berkeluarga

Tabel. 4. Data Informan Penelitian

Page 11: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

74

2.4. Komunikasi Antaretnik

2.4.1. Komunikasi Antaretnik Pada Etnik Tionghoa Peranakan

Tionghoa peranakan yang diwawancarai peneliti disini adalah mereka

sebagai keturunan Tionghoa yang sudah berbaur dan sudah bertingkah laku dan

berbahasa layaknya masyarakat asli tetapi ada juga yang masih fasih

menggunakan bahasa nenek moyangnya, namun yang membedakannya adalah

mereka tidak menikah dengan penduduk lokal melainkan dengan sesama

peranakan Tionghoa lainnya. Informan peneliti ini adalah : Karel Singli (Lee

Khoet Chong), Benyamin Tjung (Tjung Tjiu Min), Gilbert Lee (Lee Chung Liong),

dan Christopher Wijaya (Ui I Ngo). Dalam sub ini mereka mencoba

mendeskripsikan atau menceritakan kembali pengalaman mereka maupun

keluarganya berinteraksi dengan etnik lokal (Etnik Dawan ) dalam wadah

komunikasi antar etnik, serta bagaimana mereka bisa berbaur dengan etnik lokal

setempat.

Informan peneliti yakni Bapak Karel Singli (Lee Khoet Chong) yang

berumur 68 tahun, beliau bekerja sebagai seorang wiraswasta dan pedagang hasil

bumi. Wawancara peneliti dengan beliau dilakukan pada tanggal 22 juni 2012

bertempat di kediaman beliau, dalam wawancara ini peneliti bertanya mengenai

bagaimana nenek moyang keluarga beliau membangun komunikasi dengan etnik

setempat pada waktu itu. Beliau menjelaskan secara tersirat bahwa pada zaman

dulu yang ia ingat adalah ketika ayahnya membangun hubungan baik dalam hal

ini lewat komunikasi dengan masyarakat sekitar yakni melalui hubungan dagang.

Page 12: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

75

Ayahnya sebagai seorang pedagang hasil bumi pada waktu itu sangat bergantung

dengan hasil bumi yang dibawa oleh masyarakat sekitar maupun dari pedesaan,

oleh karena itu untuk memperoleh simpati sekaligus juga merebut hati agar akrab

masyarakat setempat, ia belajar menggunakan bahasa Dawan, dengan

menggunakan bahasa ini akan mempermudah transaksi sekaligus juga

mengakrabkan diri dengan masyarakat sekitar.

Namun perihal hambatan ia menjelaskan dengan ekspresi wajah yang

muram bahwa hambatan yang dihadapi hanyalah masalah peraturan pemerintah

pada saat itu yang baginya cukup menyulitkan mereka dalam transaksi dagang

serta juga masalah PP.10, perihal hak kewarganegaraan. Terutama masalah

peraturan pemerintah mengenai pembatasan hal-hak masyarakat Tionghoa untuk

melakukan transaksi dagang secara mandiri yang melibatkan masyarakat pribumi,

ditambah lagi masyarakat Tionghoa hanya dianggap sebagai pihak ketiga.

Baginya, peraturan ini membuat posisi ayahnya pada waktu itu berstatus warga

negara asing sangat sulit dalam mencari penghasilan, menurutnya peraturan ini

hanya sebagai akal-akalan pemerintah pada waktu itu pada akhirnya ayahnya

hanya menjadi tameng dengan sedikit penghasilan bagi pamannya yang sudah

menjadi warga negara Indonesia .

Oh dia dengan masyarakat sini hubungan erat sekali karena dia bergantung

dari hasil bumi to, jadi, mau tar mau dia musti berusaha jadi ini dia musti

akrab dengan dia (orang Dawan) supaya nah jadi dia bisa memperoleh itu

hasil (hasil bumi untuk diperdagangkan).

Terjemahannya :

Oh, dia (ayah) dengan masyarakat Dawan hubungannya sangat erat sekali,

karena dia bergantung dari hasil pertanian dan peternakan, jadi mau tidak

Page 13: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

76

mau dia harus berusaha (belajar bahasa Dawan) dan harus akrab dengan

masyarakat Dawan, sehingga dia bisa mendapatkan (memonopoli) hasil

pertanian danpeternakan.

Ahh..Ya hambatan ya.. Cuma masalah aturan itu (ekspresi tidak senang,

sambil tunjuk jari). Hambatan hanya aturan saja, karena aturan ini hanya

banyak macam saja, sabantar dia (Pemerintah) bekin aturan ini, aturan

ini...jadi kadang2 ju pusing. Pernah.. mereka membuat peraturan ini bahwa

orang asing tidak boleh berdagang, nah supaya bisa bekerja sama dia musti

bekin kerja sama dengan orang asing yang sudah masuk warga negara

supaya bisa bekerja sama. Nah disitu ence ceng tek dengan btong pung asuk

liem cik tong dengan btong pung baa ini dong ya tiga orang ini kongsi kerja

sama btong bapa sond punya modal, hanya dua orang ini saja yang punya

modal. Na mereka menggunakan bta pung bapa ini sebagai pelindung saja,

tapi yang berfungsi Cuma dua orang ini yang bermaen dibelakang

(berdagang/berspekulasi). Nahh begitu. Setelah itu dong dua dapat kembali

kewarganegraan. Dan dong su berdiri sendiri (berwiraswasta), dan btong

pung bapa jug berdiri sendiri. Jadi btong pung bapa ini masuk warga

negara tanpa uang.

Terjemahan :

Ya..masalah habatan ya Cuma maslah aturan itu (PP.10 dan peraturan

perdagangan). Hambata hanya pada peraturan saja, karena aturan ini hanya

akal-akalan saja, kemudiann Pemerintah membuat aturan bagini, aturan ini,

kadang-kadang juga membuat bingung. Pernah mereka membuat peraturan

ini bahwa orang asing (Tionghoa) tidak boleh berdagang, supaya bisa

berdagang dia diwajibkan berkerja sama dengan masyarakat Tionghoa yang

sudah berpindah kewarganegaraa Indonesia. Nah kemudiann paman Tek

bersama dengan paman kami namanya Liem Cik Tong dengan ayah kami

yang bertiga ini membuat kerjasama, namun ayah kami tidak mempunyai

modal, hanya dua pamannya ini saja yang mempunhyai modal. Kemudiann

mereka menggunakan namah ayah saya hanya sebagai pelindung saja

(jaminan), pada kahirnya kedua orang ini (paman saya) yang bekerja

sebagai pedagang dan spekulen pasar. Nah kemudiann, setelah itu mereke

berdua mendapatkan kembali kewarganegaraan, merek berkerja sendiri-

sendiri, dan ayah saya memperoleh status kewarganegraan secara gratis.

Kemudian ketika ditanya mengenai bagaimana beliau dan keluarganya

membangun relasi dengan masyarakat setempat yakni etnik Dawan, sambil

menata kacamatanya dan seraya melepaskan senyum ia menjelaskan bahwa dalam

menjalin relasi atau komunikasi dengan masyarakat sekitar (etnik Dawan) beliau

Page 14: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

77

dan keluarganya selalu menggunakan bahasa Dawan sebagai bahasa tradisional

dalam menjalin komunikasi sekaligus sebagai simbol “melicinkan” pergaulan

yang langsung tertuju pada rakyat disini, sebab disisi lain bahasa Dawan lebih

diutamakan dalam komunikasi sehari-hari, disamping juga bahasa Indonesia. Ia

menambahkan bahwa dalam menjalin relasi di Niki-Niki dengan masyarakat

sekitar berjalan seperti biasa tanpa da hambatan, sebab menurutnya kehidupan

antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat setempat sudah bisa dikatakan

menyatu sama lain.

“Ah kalo btong disini pake bahasa-bahasa daerah, bahasa Indonesia dan

bahasa daerah karena ini ahh....dia pung komunikasi langsung di dia pung

rakyat ini, jadi rakyat ini orang kampung nie, lebih utamakan bahasa

daerah.”

“Ya btong mebangun hubungan dengan masyarakat lokal ini, dengan biasa

saja, karena btong su hidup jadi satu. Jadi btong su bergabung jadi biasa

saja, anggap saja sonde ada beda. Begitu”

Terjemahannya :

“Kalo kami disini paka bahasa Dawan, bahasa Indoensia karena ini

a...cara berkomunikasinya langsung ke masyarakatnya disini, jadi

masyarakat ini khususnya orang kampung disini, lebih mengutamakan

bahasa daerah’

“Ya..kami membangun hubungan dengan masyarakat sekitar sini dengan

biasa saja, karena kamu sudah hidup menyatu. Jadi masyarakat disini

sudah bergabung seperti biasa saja, anggap saja tidak ada bedanya,

begitu”

Sedangkan dalam menjalin komunikasi dengan sesama etnik Tionghoa,

menurut beliau bahwa sebenarnya tidak terlalu besar perbedaan yang mendasar

antara jalinan relasi dengan sesama etnis Tionghoa, yang membedakannya hanya

masalah pengunaan bahasa, rata-rata kebanyakan masyarakat etnik Tionghoa

Page 15: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

78

dalam berinteraksi sehari-hari menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa

Kupang Melayu (Bahasa Pasar). Sedangkan penggunaan bahasa Mandarin sudah

berkurang, hal ini disebabkan karena kebanyakan masyarakat Tionghoa di Niki-

Niki tidak sempat mendapatkan pendidikan bahasa Mandarin yang sekolahnya

yang ditutup Pemerintah pada waktu itu, walaupun pamannya sempat menjadi

tenaga pengajar disekolah tersebut. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa ada sebuah

tradisi dimana dalam setiap anggota keluarga harus ada yang bisa berbahasa

Mandarin, secara tersirat bahwa sebenarnya ini merupakan suatu sifat regenerasi

dalam keluarga agar tetap melestarikan budaya nenek moyang mereka dengan

berbahasa Mandarin. Hal tersebut tercermin dalam keluarganya, beliau

menceritakan bahwa memang beberapa saudara dalam keluarganya ada yang

sempat mencicipi pendidikan bahasa Mandarin, sedangkan dirinya tidak sempat

mendapatkan pendidikan bahasa Mandarin pada waktu itu.

“Bahasa Indonesia, bahasa Tionghoa (Mandarin) kurang... sonde ba

omong itu, sebab snd sekolah, jadi mau ba mangarti bagaimana bahasa itu,

itu bahasa itu musti sekolah baru bisa atau memang didalam satu keluarga

itu ada orang2 yang bisa berbahasa mandarin, jadi su kasih ajar memang

itu orang bagaimana berbicara. Jadi begtu, btong bapa sendiri sonde bisa

bahasa Tionghoa, asuk ini yang guru sekolah Tionghoa, jadi ktong pung

sodara ini tabagi-tabagi (terpisah) ada sekolah dan sonde sekolah (ada

yang belajar bahasa mandarin dan tidak).”

Terjemahannya :

“Bahasa Indonesia, bahasa Tionghoa (Mandarin) jarang, tidak bisa

berbicara bahasa mandarin, sebab tidak sekolah bahasa, jadi tidak

mungkin bisa memahami bahasa tersebut. Bahasa Mandari harus diajarkan

dulu baru bisa dipraktekkan dan memang didalam satu keluarga itu

memamng ada anggota yang bisa berbahasa Mandarin, jadi sudah

diajarkan bagaimana cara mengucapkannya. Jadi begitu, ayah kami sendiri

tidak bisa berbahasa Mandarin, paman kami yang menjadi guru disekolah

Page 16: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

79

tersebut, jadi saudara kami initerpisah-pisah, ada yang sempat mengikuti

sekolah Bahasa dan ada yang tidak”

Dalam hal gaya persuasif atau teknik pendekatan yang dilakukannya

ketika ingin menjalin relasi atau ketika berinterkasi dengan masyarakat lokal

(Etnik Dawan), ia menceritakan pengalamannya dengan begitu semangat sambil

meneguk teh hangat, ia menceritakan ketika ingin membangun relasi dengan

masyarakat sekitar. Dalam melakukan pendekatan, ia harus melakukan berbagai

upaya untuk mendapatkan perhatian dari mereka (etnik Dawan), mulai dari

menghadiri setiap undangan acara-acara dari etnik Dawan, memberi maupun

menerima suguhan sirih pinang atau oko mama. Lain cerita mengenai sirih

pinang, ia menjelaskan bahwa pemberian oko mama mempunyai nilai tersendiri

dimata masyarakat etnik Dawan, sebab menurutnya sirih pinang ini menandakan

sebuah alat penghubung maupun pertanda awal dari membangun relasi kedua

belah pihak sekaligus juga sebagai alat diplomasi dalam pendekatan jika terjadi

masalah.

Disisi lain sebenarnya ia mengungkapkan bahwa penggunaan pendekatan

ini juga merupakan sebuah sugesti tersendiri, sebab dalam adat kebiasaan

masyarakat Dawan, menyuguhkan sirih pinang dapat dikategorikan sebagai

pengganti minuman ketika menjamu tamu, bahkan sebagai bahan pelengkap

dalam acara-acara formal maupun non formal. Disisi lain, sudah menjadi

kebiasaan masyarakat Dawan untuk mengkonsumsi sirih pinang, dan baginya jika

tidak mengkonsumsi sirih pinang ketika sedang berinteraksi dengan masyarakat

setempat akan terasa “berat” atau tidak lengkap tanpa sirih pinang.

Page 17: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

80

“Memang ada, karena bagaimana pun ktong musti bisa berupaya untuk

bisa perhatian dari ini orang (orang timor) buat mau bergabung, ya dalam

bentuk acara2, ini macam2 adat2 di kampung, jadi btong juga ikut didalam

situ. Mislanya btong ada acara2 ktong undang ktong pung kenalan2 asli

sini, misalnya juga dong (prang timor) ada buat acara ya dong kenal dan

undang ktong uga btong pigi lagi btong su jadi satu bergabung. Kalo sirih

pinang itu memmang sudah tradisi, orang timor punya tradisi untuk dia

punya cara untuk berhubung, jadi saling mengenal dari situ, jadi kasih sirih

pinang dulu baru bisa baomong, kalo snda ada sirih pinang atau loe

(menyuguhkan) sirih pinang nanti agak berat untuk ngobrol.”

Terjemahannya :

“Memang ada (cara pendekatan tersebut), karena bagaimana pun kita

harus berupaya untuk bisa mendapat perhatian dari orang Dawan untuk

berbaur,dalam bentuk acara-acara semacam adat kampung, jadi kami ikut

dalam acara tersebut, dan juga ketika kami membuat acara, kami

mengundang mereka pula, dan kami mengundang mereka untuk saling

mengenal satu sama lain, dan ketika mereka mengundang kami ya kami

juga turut bergabung. Kalo sirih pinang itu sudah menjadi tradisi,orang

Timor (Dawan) sudah punya tradisi untuk dia berkomunikasi atau

membangun relasi, jadi saling mengenal lewat sirih pinang, jadi suguhkan

sirih pinang baru bisa berbicara, kalau tidak ada sirih pinang, maka agak

susah atau tidak lancar berkomunikasi ”

Disisi lain, perihal perasaannya ketika melihat etnik Tionghoa dan Dawan

mampu berbaur serta kualitas hubungan dalam perkawinan campuran, beliau

mempunyai pendapat tersendiri. Dengan menghirup napas sejenak ia mengatakan

bahwa pada prinsipnya tidak ada masalah dalam hal pembauran (termasuk kawin

campur) antara etnk Tionghoa dengan Etnik Dawan, karena tujuan utama dari

etnik Tionghoa disini hanyalah motif ekonomi tidak ada motif lain sehingga tidak

ada masalah dengan masyarakat sekitarnya. Perlu diketahui, bahwa menurutnya

dasar hubungan dagang ini terbangun dari yang besar menuju ke menengah dan

kemudiann ke bawah dalam artian bahwa posisi besar ditempati oleh pemilik

Page 18: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

81

modal, menengah adalah kaum Tionghoa sebagai penyalur sementara posisi

bawah adalah masyarakat biasa dari etnik Dawan sebagai penjual. Sehingga dalam

pendapatnya, kalangan etnik Tionghoa harus lincah dalam bergaul serta bekerja

sama agar tercipta suasana yang baik serta menguntunkan satu sama lain dalam

berdagang.

Sedangkan dimintai pendapatnya tentang kualitas hubungan yang tercipta

melalui perkawinan campuran antara etnik Tionghoa dan etnik Dawan, menurut

bapak Karel Singli dengan adanya perkawinan campuran ini akan mempererat

hubungan kedua belah pihak apalagi jika salah satu pihak adalah dari kalangan

bangsawan malahan akan semakin erat, hal tersebut menurutnya terjadi sebagai

suatu bentuk hitungan agar mendapatkan dukungan secara politis sekaligus

memuluskan usaha dibidang ekonomi bagi etnik Tionghoa pada umumnya.

“ Iya sekarang bagini btong pung tujuannya hanya untuk ekonomi saja jadi

btong ini ahh buktinya snd ada masalah, hadapi orang disini snd ada

masalah, dengan orang etnis btong anggap biasa karena hubungan dagang

ini bergerak dari yang besar ke menengah dan ke bawah (downwoard

comm) nah btong ini harus mampu2 juga untuk bekerja sama dengan orang

menengah ke atasa dan kebawah, jadi btong ini harus lincah sedikit dalam

pergaulan sehingga btong pung hasil usaha ini bisa membuahkan, senang

sonde ada punyua perasaan itu karena itu dapat rakyat punya hasil btong pi

jual keatas. Yang diatas punya duit, ya namamnya dagang inin punya

rentetan2 itu jadi.”

“Ya tantu benar karna kalo, dia punya satu anak raja ini kalo dia kwin

dengan satu ahh nina dari kampung suku, dai sudah erat skali, maka dia

kwon dengan orang asing ini dia lebih erat, nah hitungan ktong begitu

supaya bisa dapat dukungan”

Terjemahannya :

“Iya, saat ini tujuan kami hanya kepentingan ekonomi saja, jadi kami ini

buktinya tidak ada masalah dalam menghadapi orang disini (etnik Dawan),

dengan sesama etnik kami juga anggap biasa saja karena hubungan dagang

Page 19: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

82

ini bergerak dari yang besar ke menengah dan ke bawah, nak kami disini

harus mampu juga untuk bekerja sama dengan orang atas dan bawah,

artinya kami harus lincah dalam bergaul sehingga hasil usaha kami bisa

membuahkan hasil, harus senang dengan perasaan itu (permbauran)

karena itu hasil dari mereka (etnik Dawan) dan kaimi jual ke atas. Yang

diatas punyau duit, ya namanya dagang ini punya catatan tersendiri”

“Ya tentu benar karena kalau dia punya anak menikah dengan anak raja

atau dari satu orang dari suku mana gitu, dan sudah erat sekali, maka dia

berteman dengan orang asing ini lebih erat, nah hitungannya begitu supaya

bisa dapat dukungan”

Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti bahwa,

pola komunikasi antar etnik yang terjalin antara keluarga bapak Karel Singli

sebagai etnik Tionghoa dan etnik Dawan melalui hubungan dagang yang bersifat

timbal balik, pola ini terbentuk melalui beberapa proses diantaranya melalui

penggunaan bahasa Dawan sebagai bahasa tradisional yang langsung tertuju pada

pergaulan masyarakat etnik Dawan, disamping bahasa Indonesia maupun bahasa

Melayu Kupang. Sedangkan dalam menjalin komunikasi dengan sesama etnik

Tionghoa, kabanyakan dari mereka menggunakan bahasa Melayu Kupang,

disamping menggunakan bahasa Indonesia. Namun sangat sedikit diantara mereka

yang fasih menggunakan bahasa Mandarin dalam menjalin komunikasi. Hal

tersebut cukup beralasan, berdasarkan temuan peneliti terhadap tulisan Hidayat

Z.M. bahwa orang Tionghoa peranakan pada umumnya sudah mempergunakan

bahasa Melayu Pasar ini, dan sudah tidak atau jarang sekali mempergunakan

bahasa Mandarin secara sempurna. Walaupun demikian ada diantaranya yang

mengerti secara pasif yang hanya dipergunakan sekali-kali kalau berhubungan

dengan orang Tionghoa totok atau dengan mereka didalam keluarga dalam

Page 20: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

83

menghadapi orang Tua. Penggunaan bahasa melayu pasar ini kemudian mendapat

pengaruh dari bahasa Belanda. (Hidayat, 1993, hal 92)

Disamping itu juga dalam interaksi sehari hari, dalam pengamatan peneliti

bahasa Dawan yang digunakan oleh Bapak Karel ketika berinteraksi dengan etnik

Dawan disimbolkan sebagai bahasa “pelicin” yang bisa diartikan secara verbal

sebagai bahasa yang mempermudah dalam berinterkasi, sekaligus juga sebagai

media untuk lebih mengakrabkan diri satu sama lain. Disamping menggunakan

bahasa Dawan dalam interaksi, etnik Tionghoa juga menggunakan sirih pinang

atau nama lainnya “oko mama” bisa diartikan secara secara non-verbal sebagai

simbol strategi pendekatan terhadap etnik Dawan, dimana sirih pinang sebagai

alat penghubung atau awal membangun relasi kedua belah pihak sekaligus sebagai

alat diplomasi jika terjadi masalah.

Disamping itu ada sebuah masalah yang cukup menarik, yakni perihal

masalah peraturan pemerintah mengenai pembatasan hal-hak masyarakat

Tionghoa untuk melakukan transaksi dagang secara mandiri dan melibatkan

masyarakat pribumi, ditambah lagi masyarakat Tionghoa hanya dianggap sebagai

pihak ketiga. Baginya, peraturan ini membuat posisi ayahnya pada waktu itu

berstatus warga negara asing sangat sulit dalam mencari penghasilan, menurutnya

peraturan ini hanya sebagai akal-akalan pemerintah.

Hal tersebut menurut peneliti cukup beralasan, berdasarkan ulasan oleh

Leo Suryainata bahwa Seperti yang telah dikatakan kedudukan ekonomi orang

Tionghoa cukup kuat dan kekuatan ini bisa dijelaskan dengan perkembangan

Page 21: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

84

sejarah dan politik kolonial Belanda. Orang Tionghoa kini paling kuat dalam

bidang bisnis dan keuangan. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia

menjalankan kebijakan pribumisme dalam bidang ekonomi untuk melemahkan

kedudukan ekonomi orang Tionghoa dan membantu pedagang pribumi. Contoh

paling ideal adalah sistem Benteng pada awal 50-an dan PP.10 pada tahun 1959.

Mungkin yang sama pentingnya adalah hasil dari sistem benteng yang

memunculkan pengusaha “Ali Baba”. Ini merupakan aliansi antara pedagang

Tionghoa dan pribumi yang memegang surat izin. Pedagang Tionghoa yang

menjalankan bisnisnya dan membagi keuntungan dengan pribumi yang

memegang surat izin. Umumnya mitra pribumi memberikan fasilitas dan

perlindungan, sedangkan orang Tionghoa memberikan modal dan menjalankan

perusahaan tersebut. (Suryadinata, 2002, hal 90).

Disamping masalah tersebut, ada juga masalah mengenai alasan mengapa

beliau tidak sempat menyelesaikan pendidikan bahasa Mandarin yang

dikarenakan penutupan sekolah oleh Pemerintah Orde Baru pada saat itu sebagai

salah bentuk untuk asimilasi etnik Tionghoa, berdasarkan tulisan Leo Suryadinata

bahwa secara perlahan-lahan, pemerintah mengumumkan peraturan yang

bertujuan mengindonesiakan mata pelajaran dan tenaga pengajarnya. Sebelum

tahun 1958 sekolah Tionghoa berjumlah 200buah dan terdiri dari sekolah-sekolah

pro-taipei dan pro-Beijing. Pada tahun 1957, pemerintah Indonesia telah

mengumumkan satu peraturan yang melarang warga negara Indonesia belajar

disekolah Tionghoa. Peraturan ini membawa pengaruh besar kedalam masyarakat

Tionghoa, akibatnya kira-kira 1.100 sekolah Tionghoa harus diubah menjadi

Page 22: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

85

sekolah bahasa Indonesia. Meskipun demikian, sekolah-sekolah inipun akhirnya

ditutup tahun 1975. (Suryadinata, 2002, hal 84-5)

Simbol Verbal Makna Simbol

Bahasa Dawan Bahasa pelicin yang mempermudah transaksi,

sekaligus bahasa yang mengakrabkan diri.

Bahasa Pasar atau bahasa

melayu Kupang

Bahasa pergaulan dengan sesama etnik Tionghoa.

Bahasa Mandarin Bahasa warisan sekaligus bentuk regenerasi dalam

keluarga

Tabel.5. Tabel Verbal Informan Karel Singli

Simbol Non-Verbal Makna Simbol

Sirih Pinang “Oko Mama” Alat penghubung, awal membangun relasi, alat

diplomasi.

Soya Sikap gerakan tangan yang memberi

penghormatan terhadap sesama etnik Tionghoa

bagi mereka yang seumuran atau yang lebih tua.

Tabel. 6. Tabel Non-Verbal Informan Karel Singli

Sedangkan dalam menjalin relasi dengan sesama etnik Tionghoa, dalam

pengamatan peneliti bapak Karel menggunakan bahasa Melayu Kupang sebagai

bahasa sehari-hari, dimana bahasa ini secara verbal dimaknai sebagai bahasa

pemersatu dikalangan mereka disamping penggunaan bahasa Mandarin. Namun

disisi lain bahasa Mandarin diakuinya sudah jarang dipakai oleh kelangan etnik

Tionghoa, sebab sebagian besar dari mereka tidak mendapatkan pendidikan

bahasa Mandarin, bahasa Mandarin yang digunakan pun disimbolkan secara

verbal sebagai warisan dan regenasi yang harus dilestarikan secara turun temurun

dalam keluarga. Selain penggunaan bahasa tersebut, dalam pengamatan penelti

Page 23: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

86

setiap kali dalam interaksi sehari-hari Bapak Karel sebagai etnik Tionghoa selalu

menggunakan tata cara “soya”, yakni simbol gerakan tangan yang secara non-

verbal dimaknai sebagai bentuk penghormatan ketika bertemu sesama etnik

Tionghoa khususnya mereka yang dianggap seumur maupun yang lebih tua.

Selanjutnya informan peneliti adalah bapak Benyamin Tjung (Tjung Tjiu

Min) pada tanggal 2 Juli 2012, beliau merupakan seorang pedagang yang berumur

57 tahun. Dalam wawancara ini peneliti bertanya mengenai bagaimana nenek

moyang keluarganya dan beliau membangun komunkasi dengan etnik setempat

pada waktu itu. Sambil mengawasi karyawan yang melayani para pembeli

ditokonya, ia menjelaskan bahwa ayahnya membangun hubungan dagang dengan

etnik Lokal setempat sama saja dengan para perantauan Tionghia lainnya, yakni

melalui hubungan dagang. Hal tersebut ia pertegas dengan pernyataannya bahwa

kebanyakan dari etnik Tionghoa dalam menjalin hubungan menggunakan bahasa

Dawan. Ia menambahkan semua berawal dari niat dari etnik Tionghoa yang

belajar behasa Dawan, dan pada akhirnya terbiasa menggunakan bahasa Dawan

dalam berinteraksi dengan etnik Dawan, hal serupa terjadi juga ketika ayahnya

berinteraksi dengan keluarga Raja Nope, beliau menambahkan ketika ditanya

mengenai permbauran antara etnik Tionghoa dan etnik Dawan

“Kira2 sama sa, sama sa, ya awal2 belajar bahasa Dawan dan akhirnya

bisa berbahasa Dawan dengan orang setempat, yang bisa bahsa Indoensia

ya bisa bahsa Indonesia begitu. Begitu juga membangun hbungan dengan

keluarga nope juga sama saa.”

“B rasa baek juga, soalnya mau kermana pung ktong ju su hidup sama2

deng orang sini (orang timor).”

Page 24: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

87

Terjemahannya :

“Kira-kira sama saja, ya pada awalnya belajar-belajar bahasa Dawan, dan

akhirnya bisa berbahasa Dawan dengan orang setempat, yang bisa bahasa

Indonesia ya bahasa Indonesia begitu. Begitu juga membangun hubungan

dengan keluarga Nope juga sama saja.”

“Saya rasa baik juga, soalnya mau bagaimana lagi kita sudah hidup

bersama-sama dengan orang disini”

Selanjutnya, dalam hal jalinan relasi antara keluarganya dengan etnik

Dawan, beliau menjawab seraya melepaskan asap rokoknya bahwa selama ini

hubungan ayang ada terjain cukup baik, sebab secara tidak langsung hubungan

baik ini sudah terpelihara dari orang tuanya sehingga sudah terwariskan kepada

keluarganya sehingga dalam pergaulan tidak ada perbedaan-perbedaan.

Sedangkan ketika disinggung mengenai cara persuasif atau pendekatan-

pendekatan tertentu terhadap etnik Dawan, ia menjelaskan bahwa semuanya yang

ada bersifat menyesuaikan, dalam artian bahwa beliau selalu belajar untuk

menyesuaikan diri dengan lingkungan khusunya dengan adat setempat.

Ketika bertemu dengan etnik Dawan, Ia selalu menyapa dan menyuguhkan

sirih pinang sebagai tanda penghormatan atau menandakan jalinan relasi yang

baik antara dirinya dengan orang tersebut, bisa juga jika tidak menyuguhkan sirih

pinang ia menggantinya dengan rokok, jika orang tersebut adalah perokok. Dilain

hal jika bertemu dengan sesama etnik Tionghoa yang dianggapnya seumuran atau

lebih tua maka ia akan memberikan salam hormat yakni dalam bentuk soya

sebagai tanda penghormatan kepada orang tersebut, tancapnya seketika sedang

melayani para pembeli. Ketika ditanya ketika terjadi proses tawar-menawar dalam

Page 25: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

88

transaksi dagang dengan etnik Dawan, ia menjelaskan dengan penuh semangat

bahwa jika dalam melakukan transaksi dagang yang berhubungan tawar-menawar,

kebanyakan ia menggunakan bahasa melayu Kupang ketimbang bahasa Dawan,

karena disisi lain bahasa ini lebih merata tidak hanya kepada orang etnik Dawan,

melainkan kepada masyarakat etnik lain, namun ia tidak memungkiri juga sering

menggunakan bahasa Dawan.

Kalo hubungan baik dengan orang sekitar ya baik, sebab itu sudah turun

temurun dengan orang tua dulu, dari itu dari orang tua sudah turun

temurun sampai anak2 sekaranh itu baik, tidak ada perbedaan2, ya snd ada

masalah (sambil melepas asap rokok)

Terjemahannya :

Kalo hubungan baik dengan masyarakat sekitar ya baik-baik saja, sebab

sudah turun temurun dari orang tua sebelumnya, dari orang tua juga turun

ke anak-anak, sekiranya itu baik, yidak ada perbedaan, ya tidak ada

masalah

Ya seperti adat disini ya kita menyesuaikan, ketika bertemu orang, kita

sapa, yang sirih pinang ya sirih pinang (kalo biasa sirih pinang disuguhkan

sirih pinang), yang merokok ya ada sekali (yang merokok disiguhkan

rokok), (sedang melayani pembeli), jadi snd ada masalah begitu, kalo

dengan ktong pung orang (orang Tionghoa) ya ketemu sapa, soya begitu sa.

Terjemahannya :

Ya sama seperti adat disini, ya kami menyesuaikan, ketika bertemu orang

Dawwan, kita sapa, yang makan sirih pinang ya kita suguhkan sirih pinang,

yang merokok ya disuguhkan rokok, jadi tidak ada masalah begitu, kalo

dengan sesama etnik Tionhoa ya bertemu kemudiann diberika soya begitu

saja.

“Kebanyakan pake bahasa Dawan, tapi satu-satu (kadang2) pake bahasa

Indonesia atau ya bahasa pasar begitulah (bahasa melalyu kupang).”

Terjemahannya :

Page 26: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

89

“Kebanyakan pake bahasa Dawan, tatapi kadang-kadang, kebanyakan

menggunakan bahasa Indonesia atau kadang bahasa pasar yakni melayu

Kupang”

Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti bahwa,

pola komunikasi antar etnik yang terjalin antara keluarga bapak Benyamin Tjung

sebagai etnik Tionghoa dan etnik Dawan, melalui hubungan dagang yang bersifat

timbal balik, pola ini terbentuk melalui beberapa proses diantaranya melalui

penggunaan bahasa Dawan. Hal serupa rata-ratanya terjadi hampir pada setiap

etnik Tionghoa yang menjali relasi dengan etnik Dawan pada umumnya.

Penggunaan bahasa Dawan sendiri dapat disimbolkan secara verbal sebagai niat

pembelajaran dari etnik Tionghoa yang ingin mendekatkan diri dengan etnik

Dawan, dan pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan yang terjalin hingga saat ini,

disamping menggunakan bahasa Dawan dalam proses transaksi dagangnya,

bahasa melayu Kupang kerap kali digunakan sebab lebih dirasakan merata tidak

hanya bagi etnik Dawan melainkan bagi etnik lainnya.

Hal tersebut cukup beralasan, berdasarkan temuan peneliti terhadap tulisan

Hidayat Z.M. bahwa orang Tionghoa peranakan pada umumnya sudah

mempergunakan bahasa Melayu Pasar ini, dan sudah tidak atau jarang sekali

mempergunakan bahasa Mandarin secara sempurna. Walaupun demikian ada

diantaranya yang mengerti secara pasif yang hanya dipergunakan sekali-kali kalau

berhubungan dengan orang Tionghoa totok atau dengan mereka didalam keluarga

dalam menghadapi orang Tua. Penggunaan bahasa melayu pasar ini kemudian

mendapat pengaruh dari bahasa Belanda. (Hidayat, 1993, hal 92)

Page 27: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

90

Simbol Verbal Makna Simbol

Bahasa Dawan Bahasa yang menunjukan niat belajar dari etnik

Tionghoa sekaligus bahasa yang digunakan dalam

tawar-menawar transaksi dagang.

Bahasa Pasar atau bahasa

melayu Kupang

Bahasa pergaulan yang merata bagi semua etnik.

Tabel.7. Tabel Verbal Informan Benyamin Tjung

Simbol Non-Verbal Makna Simbol

Sirih Pinang “Oko Mama” Alat penghubung, awal membangun relasi, alat

diplomasi.

Soya Sikap gerakan tangan yang memberi

penghormatan terhadap sesama etnik Tionghoa

bagi mereka yang seumuran atau yang lebih tua.

Tabel. 8. Tabel Non-Verbal Informan Benyamin Tjung

Disamping penggunaan bahasa Dawan dalam menjalin relasi, dalam hal

persuasif atau teknik pendekatan terhadap etnik Dawan, yakni melalui

penyuguhan sirih pinang atau “oko mama” dan juga rokok, hal ini dapat

disimbolkan secara non verbal sebagai bentuk tanda penghormatan maupun tanda

menjalin relasi antara etnik Tionghoa dengan etnik Dawan.

Namun hal serupa dalam pengamatan peneliti ketika etnik Tionghoa

menjalin relasi dengan sesama etniknya adalah setiap kali dalam interaksi sehari-

hari Bapak Benyamin serta keluarga sebagai etnik Tionghoa selalu menggunakan

tata cara “soya”, yakni simbol gerakan tangan yang secara non-verbal dimaknai

sebagai bentuk penghormatan ketika bertemu sesama etnik Tionghoa, khususnya

mereka yang dianggap seumur maupun yang lebih tua. Dalam pengamatan

peneliti, seperti transaksi dagang di tempat usahanya sering terjadi tawar menawar

Page 28: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

91

barang antara beliau dengan para pembelinya yang merupakan warga etnik Dawan

dengan menggunakan bahasa Dawan, kebanyakan hal ini sering dilakukan. Hal

serupa terlihat dalam membangun relasi dengan dengan etnik Dawan lainnya,

beliau selalu menggunakan bahasa Dawan dan sesekali menggunakan bahasa

melayu kupang ketika berinteraksi dengan mereka.

Informan peneliti selanjutnya adalah, bapak Gilbert Lee (Lee Cung Liong)

yang berumur 55 tahun serta bekerja sebagai seorang pedagang, proses

wawancara kami berlangsung pada tanggal 3 juli 2012 di tempat usaha sekaligus

kediaman keluarganya. Peneliti mengajukan pertanyaan bagaimana ia

membangun komunikasi antar etnik dengan masyarakat etnik Dawan, dengan

sigap ia menjawab bahwa yang paling penting dalam membangun relasi adalah

dengan sifat toleransi, sebab menurutnya dengan adanya saling pengertian ini bisa

diwujudkan dalam saling mengunjungi ketika ada undangan acara-acara tertentu,

dan begitu pun sebaliknya, sehingga tercipta rasa kekeluargaan. Seraya

menambahkan bahwa ia sering menggunakan bahasa Dawan terutama ketika

sedang berinteraksi dengan masyarakat etnik Dawan khususnya para pembeli di

tempat usahanya

“Toleransilah, dong sangat mengerti dengan btong sebaliknya btong

dengan dong juga begitu, perngertian ini selalu ada dalam suka duka, sand

ada beda2 pisah2 soned ada, ke misalnya dong bekin pesta dong undang

ktong pi, ada kedukaan tidak diundang pung ktong harus pi, sudah

membaur begitu, rasanya sudah seperti keluarga begitu.”

“Bisa, sering sekali, kalo dengan orang asli sering, terbanyak pake bahasa

Dawan”

Page 29: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

92

Terjemahannya :

“Sikap toleransi, mereka sangat mengerti dengan kondisi kami, begitupun

sebaliknya, sikap toleransi kami terhadap mereka, pengertian ini selalu ada

dalam suka maupun duka, ditempat lain boleh berbeda, berpisah, tetap

tidak menurut kami. Misalnya saat mereka membuat acara,dan mereka

mengundang, kita hadiri. Ada kedukaan tanpa diundang pun kita tetap

datang, sudah membaur begitu, rasanya sudah seperti keluarga ”

“Bisa, sering sekali (menggunakan bahasa Dawan), kalo denganorang asli

(Orang Dawan), terbanyak pake bahasa Dawan”

Disinggung mengenai jalinan relasi yang dibangun bersama dengan

sesama etnik Tionghoa dan juga didalam keluarganya, beliau menjelaskan bahwa

selama ini dikeluarganya dalam berkomunikasi tatap muka sehari-hari selalu

menggunakan bahasa pasar yakni bahasa Melayu Kupang, sedangkan penggunaan

bahasa Mandarin tidak pernah digunakan. Alasan yang sama juga dilontarkannya

bahwa mereka tidak sempat mengikuti pendidikan bahasa Mandarin, namun

optimis suatu saat nanti anaknya harus tahu dan belajar bahasa Mandarin. Ia

menambahkan penggunaan bahasa Melayu Kupang serta bahasa daerah setempat

(bahasa Dawan) lebih mencerminkan keramahan untuk semua. Disamping itu

yang paling diutamakan menurutnya adalah budaya tegur sapa atau salam hormat

berupa “soya” yang sangat menghargai dan terus dipertahankan hingga sekarang.

Ucapnya sambil tertawa.

“Kalo kelo dengan keluarga di rumah pake bahasa pasar, bahasa sehari-

hari”

“Bahasa mandarin sonde digunakan lae, soalnya sonde tau lae..soalnya

orang tua dong waktu itu sonde ada sekolah lagi, jadi ktong sonde begitu

tau lagi, terbanyak pake bahasa yang sama bagini (bahasa melayu kupang),

“Ya su banyak dong pake bahasa sehari-hari dan bahasa daerah lebih

banyak dipake, jadi mau dibilang lingkungan sangat ramalah, baik”

Page 30: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

93

“Ya omong pake bahasa pasar (melayu kupang) ada juga pake bahasa

timor juga pokoknya ke antara di acara kedukaan apa ada becerita pake

bahsa pasar, soalnya sudah banyak to, lingkungan sudah berkumpul semua

ada yang pake bahasa daerah, jadi biasa sa..bisa2 saa..Hehehe”

“budaya soya masih ada, budaya pokoknya tetap dan dihargai tidak ada

pisah2 walaupun kita buat, dong snd melarang pokoknya salaing

menghargailah satu sama yang lain.”

Terjemahannya :

“Kalo dengan keluarga dirumah menggunakan bahasa Melayu Kupang, itu

adalah bahasa sehari-hari”

“Bahasa mandarin tidak digunakan lagi, soalnya tidak tahu, sebab menurut

orang tua waktu itu tidak ada sekolah bahasa, jadi kami tidak begitu

mengerti lagi, kebanyakan menggunakan bahsa melayu Kupang, bahasa ini

banyak digunakan sebagai bahasa sehari-hari dan bahsa daerah (bahasa

Dawan) lebih banyak digunakan jadi kalo mau dikatakan lingkungan lebih

ramah”

“Ya bicara menggunakan bahasa pasar (bahasa melayu Kupang),ada juga

yang menggunakan bahasa Timor (bahasa Dawan), dan pada intinya semua

acara entah kedukaan apa saja, ketika sedang bercengjrama semua

menggunakan bahasa pasar (melayu Kupang), sebab sudag banyak yang

menggunakan bahasa tersebut, kadang juga menggunakan bahasa daerah

(bahasa Dawan), jadi sudah menjadi kebiasaan”

“Budaya soya masih ada, budaya pokoknya tetap dan dihargai, tidak ada

pemisahan walaupun kita lakukan, mereka tidak melarang pokonya saling

menghargai satu sam lain”

Dalam hal gaya persuasif atau teknik pendekatan yang dilakukannya

ketika ingin menjalin relasi atau ketika berinterksi dengan masyarakat lokal (Etnik

Dawan), ia menceritakan pengalamannya bahwa teknik persuasif atau pendekatan

yang dilakukannya tidak berbeda jauh dengan etnik Tionghoa lainnya, hal yang

dilakukannya antara lain seperti menggunakan bahasa Dawan, menyuguhkan sirih

pinang “oko ama”, rokok, sebagai tegur sapa.

Page 31: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

94

Namun yang paling penting menurutnya adalah menyuguhkan sirih pinang

karena mempunyai cari khas tersendiri disamping menyuguhkan rokok dan

sebagainya. Ia menambahkan ketika sedang melayani pembeli ditokonya, sering

kali para pembeli menawarkan harga dagangannya berupa proses tawar-menawar

dengan menggunakan bahasa Dawan, ia sendiri merasa lebih senang dengan

penggunaan bahasa Dawan sebab terasa lebih halus dalam penyampaian maksud

dan tujuan, terutama kata “leko” yang artinya setuju atau baik, yang menurutnya

sangat halus.

“Kalo diutamakan sirih pinang, pokoknya daerah jadi ciri khasnya

tersendiri begitu , atau rokok utk seumuran ence, atau utk tua ya sirih

pinang, ya kalo bertemu kasih keluar rokok. Sama tegur sapa,”

“Terbanyak pake bahasa daerah, kalo bahasa Dawannya sopan sekali mau

dibilang lebih sopan dari bahasa pasar, cara penawaran juga pake bahasa

daerah, tapi bahasa Dawan ini ciri khasnya sopan lebih sopan dari pada

bahasa pasar (melayu kupang), dan lebih senang, sangat senang soalnya

dong kalo bahasa Dawan ini, kalo dong mau tawar juga mau kah tidak

“leko”, baik kah tidak, ya penawaran harganya. Bisa kurang berapa tetapi

cara bicaranya ciri khasnya sendiri”

Terjemahannya :

“Kalo diutamakan sirih pinang, pokoknya setiap daerah punya ciri khas

tersendiri begitu, atau kalo rokok untuk seumuran paman, atau untuk yang

sudah tua ya disuguhkan sirih pinang, ya kalo bertemu saiapa saja

suguhkan rokok, dengan tegur sapa juga ”

“Kebanyakan menggunakan bahasa daerah (bahasa Dawan), kao bahasa

Dawan sopan sekali, kalau mau dibiling lebih sopan dari pada bahasa

pasar, cara penawaran juga pake bahasa daerah tapi bahsa Dawan ini ciri

khasnya lebih sopan ciri khasnya dari bahsa pasar (bahasa melayu

Kupang), dan lebih senang dan sangat senang dengan mengunakan bahasa

Dawan ini, kalo mereka juga menawar dan menggunakan kata “leko” ayng

artinya setuju atau baik, begitu bisa tahu penawarannya berapa, bisa

dikurangi berapa, begitu. ”

Page 32: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

95

Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti, bahwa

pola komunikasi antar etnik yang terjalin antara keluarga bapak Gilbert Lee

sebagai etnik Tionghoa dan etnik Dawan melalui hubungan dagang dan sikap

toleransi diantara mereka yang diwujudkan dalam rasa saling pengertian satu

sama lain seperti saling mengunjungi acara seremonial satu sama lain, sehingga

dengan adanya hal tersebut makin terciptanya rasa kekeluargaan.

Disamping itu, pola ini terbentuk melalui beberapa proses diantaranya

melalui penggunaan bahasa Dawan sebagai bagian dari komunikasi antar etnik

juga dilakukan sebagai bentuk interaksi maupun menjalin relasi dengan etnik

Dawan. Penggunaan bahasa Dawan ini sendiri secara verbal disimbolkan sebagai

bahasa yang mampu mengeratkan relasi antara etnik Tionghoa dengan etnik

Dawan.

Simbol Verbal Makna Simbol

Bahasa Dawan Bahasa yang menunjukan eratnya relasi dan

keramahan antara etnik Tionghoa dengan etnik

Dawan, sekaligus bahasa yang digunakan dalam

tawar-menawar transaksi dagang.

Bahasa Pasar atau bahasa

melayu Kupang

Bahasa yang menjembatani komunikasi keluarga

dan sesama etnik Tionghoa.

Tabel.9. Tabel Verbal Informan Gilbert Lee

Page 33: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

96

Simbol Non-Verbal Makna Simbol

Sirih Pinang “Oko Mama” Alat penghubung, budaya tegur sapa, awal

membangun relasi, alat diplomasi.

Rokok Alat penghubung, budaya tegur sapa, awal

membangun relasi, alat diplomasi.

Soya Sikap gerakan tangan yang memberi

penghormatan sekaligus tegur sapa terhadap

sesama etnik Tionghoa bagi mereka yang

seumuran atau yang lebih tua.

Tabel. 10. Tabel Non-Verbal Informan Gilbert Lee

Dalam hal menjalin relasi dengan sesama etnik Tionghoa, penggunaan

bahasa pasar atau melayu kupang lebih dominan ketimbang penggunaan bahasa

Mandarin, hal ini disebabkan karena kebanyakan dari mereka tidak sempat

mendapatkan pendidikan bahasa Mandarin. Bahasa pasar atau melayu Kupang

bagi keluarga Bapak Gilbert Lee disimbolkan secara verbal sebagai bahasa

menjembatani relasi dalam keluarganya maupun dengan etnik Tionghoa,

sedangkan bahasa Dawan disimbolkan secara verbal sebagai bahasa yang

mengandung keramahan dalam interaksi dengan etnik Dawan.

Hal tersebut cukup beralasan, berdasarkan temuan peneliti terhadap tulisan

Hidayat Z.M. bahwa orang Tionghoa peranakan pada umumnya sudah

mempergunakan bahasa Melayu Pasar ini, dan sudah tidak atau jarang sekali

mempergunakan bahasa Mandarin secara sempurna. Walaupun demikian ada

diantaranya yang mengerti secara pasif yang hanya dipergunakan sekali-kali kalau

berhubungan dengan orang Tionghoa totok atau dengan mereka didalam keluarga

Page 34: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

97

dalam menghadapi orang Tua. Penggunaan bahasa melayu pasar ini kemudian

mendapat pengaruh dari bahasa Belanda. (Hidayat, 1993, hal 92).

Perihal masalah mengenai alasan mengapa beliau tidak bisa mengunakan

bahasa Mandarin yang dikarenakan penutupan sekolah oleh Pemerintah Orde

Baru pada saat itu sebagai salah bentuk untuk asimilasi etnik Tionghoa,

berdasarkan tulisan Leo Suryadinata bahwa secara perlahan-lahan, pemerintah

mengumumkan peraturan yang bertujuan mengindonesiakan mata pelajaran dan

tenaga pengajarnya. Sebelum tahun 1958 sekolah Tionghoa berjumlah 200buah

dan terdiri dari sekolah-sekolah pro-taipei dan pro-Beijing. Pada tahun 1957,

pemerintah Indonesia telah mengumumkan satu peraturan yang melarang warga

negara Indonesia belajar disekolah Tionghoa. Peraturan ini membawa pengaruh

besar kedalam masyrakat Tionghoa, akibatnya kira-kira 1.100 sekolah Tionghoa

harus diubah menjadi sekolah bahasa Indonesia. Meskipun demikian, sekolah-

sekolah ini pun akhirnya ditutup tahun 1975. (Suryadinata, 2002, hal 84-5)

Disamping penggunaan tradisi budaya “Soya” yang disimbolkan secara

non-verbal sebagai salam penghormatan atau budaya tegur sapa kepada sesama

etnik Tionghoa khususnya bagi mereka yang dianggap seumuran ataupun yang

lebih tua. Hal tersebut juga terlihat dalam pengamatan peneliti dalam melihat

kehidupan sehari-hari bapak Gilbert Lee dalam berinteraksi dengan sesama etnik

Tionghoa.

Berkaitan dengan teknik persuasif atau pendekatan terhadap etnik Dawan,

bapak Gilbert Lee selalu mengutamakan pendekatan yang bersifat tradisional

Page 35: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

98

berupa penggunaan bahasa Dawan, penyuguhan sirih pinang “oko mama”,

penyuguhan rokok yang secara non-verbal disimbolkan sebagai budaya tegur sapa

sekaligus diplomasi dalam menjalin relasi, hal serupa juga dilakukan kebanyakan

etnik Tionghoa lainnya. Sedangkan bahasa Dawan sendiri dalam pengamatan

peneliti sering digunakan oleh pembeli maupun oleh bapak Gilbert sebagai bahasa

transaksi dagang yakni budaya tawar menawar yang diwujudkan dalam kata

“leko” yang secara non-verbal pahami sebagai setuju atau baik. Disamping itu,

bahasa Dawan dan melayu Kupang juga sering digunakannya ketika berinteraksi

dengan masyarakat etnik Dawan yang ditemuinya saat bertemu dimana saja.

Informan peneliti berikutnya adalah bapak Christopher Wijaya (Oei I Ngo)

yang berumur 67 tahun berprofesi sebagai seorang pedagang sembako,

wawancara antara peneliti dengannya berlangsung pada tanggal 3 juli pukul

14.00, peneliti menanyakan mengenai bagaimana keluarga beliau membangun

hubungan komunikasi antar etnik dengan etnik setempat, dia menceritakan bahwa

ayahnya yang berprofesi sebagai pedagang pada waktu itu adalah sosok yang

supel sehingga memiliki banyak kenalan, khususnya dengan kalangan pribumi

yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan. Beliau menambahkan bahwa jalinan

relasi ini terbangun tidak hanya melalui hubungan dagang melainkan melalui

kegiatan hobi yakni minuman alkohol, yang berujung pada banyaknya kenalan

atau relasi yang banyak mulai dari kalangan atas, menengah dan bawah. istilah

yang ia ketahui bernama “hopeng” yakni berasal dari bahasa Mandarin khususnya

Hokkien yang diartikan sebagai teman kumpul atau teman akrab ucapnya sambil

tertawa lepas.

Page 36: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

99

“Bapa tua bae, bapa tua ni dengan pegawai2 (pegawai negeri) bae, bapa

tua ni tukang minum (mabuk), bapa tua denga orang pribumi pegawai bae,

jadi bapatua pung hopeng (teman kumpul) banyak, kenalan banyak ais dong

ju tukang minum, jadi kawan dong banyak, paul nenu, pemilik hotel nusa

lontar, (mencoba mengingat), ehh sapa nee...Ndone ko sapa, dong khan

deng bapa tua khan kawan, dan dengan ornag lain akrab, jadi

hahahahehee...bapa tua dengan orang ini dong bae, termasuk temukung

oeba, yang tallo, itu bapa tua hopeng, tukang minum jadi dong pung

hopeng”

“Ohh iya...dagang, hoo..andaia diterminal, dagang jual sembako, gula,

terigu, sembako sudah...begitu.”. tertawa.

Terjemahannya :

“Ayah orangnya baik, ayah saya ini denga para pegawai negeri baik, ayah

saya suka minum alkohol, dia dengan orang asli berhubungan baik, jadi dia

punya banyak teman akrab atau teman kumpul, seperti Paul Nenu, pemilik

hotel Nusa Lontar, terus sapa lagi..ee Ndone atau sapa lagi...mereke dan

ayah saya berteman, dan dengan orang lain akrab jadi Hehehehe....dia

dengan orang lain sangat baik, termasuk para temukung (kepala desa) dari

Oeba, yang namanya Tallo, itu teman akrab ayah saya, suka mabuk-

mabukan makanya jadi akrab,”

“Ohh..dia berdagang sembako, di daerah terminal, gula, terigu,

sembakolah...begitu. Hahaha”

Selanjutnya, peneliti menanyakan perihal bagaimana ia membangun relasi

dengan sesama etnik Tionghoa di Niki-Niki serta juga didalam keluarganya, ia

menjawab dengan nada santai, bahwa bahasa yang ia pergunakan sehari-hari

dalam berkomunikasi dengan sesama etnik Tionghoa, maupun dalam keluarganya

hanya bahasa pasar atau disebut bahasa melayu Kupang. Sedangkan penggunaan

bahasa Mandarin jarang, ia pernah mengenyam pendidikan bahasa Mandarin. Ia

menambahkan kalo mereka sebagai orang yang berasal Hokkien hampir

seluruhnya menggunakan bahasa Kupang (Melayu Kupang) khususnya

Page 37: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

100

dikalangan keluarga, termasuk komunikasi tatap muka dengan anggota keluarga

lainnya seperti istri dan anak.

Sedangkan perihal dalam melakukan teknik persuasif atau pendekatan

terhadap etnik Dawan, ian menjawab dengan ringkas bahwa ia sendiri tidak

menguasai bahasa Dawan, hanya menggunakan bahasa pasar atau bahasa melayu

Kupang, namun dengan menggunakan bahasa melayu Kupang ia sudah bisa

berkomunikasi dengan masyarakat Dawan. Namun tidak menutup kemungkinan

buatnya untuk belajar bahasa Dawan jika berinteraksi dengan masyarakat etnik

Dawan.

“Cuma bisa bahasa pasar sa, bahasa daerah sonde bisa. bahasa mandarin

sonde bisa, kalo bahsa daerah dr btong bapa pung daerah ni snd tau.

Mandari btong skolah jadi bisa”

“Bagini kalo ktong orang hokkien, hampir seluruhnya pake bahasa kupang,

kalo orang ke, dong apa bagus dengan keluarga pake dong pung bahasa,

dong dalam rumah pake bahsa ke, nah begitu, kebanyakan dong denagn

dong pung anak pake bahsa ke too...ya klob tong pung bahsa, btong bapa

pung bahsa btong snd taulah.”

“Biasa2 saa...kalo ence sonde tau bahasa Timor, jadi bagini sa..ence biasa

saa..btong omong sediki2 bisa, on me dong, mangatri sedikit2 bisa”

Terjemahannya :

“Cuma bisa bahsa pasar (bahasa melayu Kupang),bahsa daerah lain tidak

bisa, bahasa mandarin bisa, karena sempat sekolah, bahasa dari daerah

ayah juga tidak bisa, bahasa mandarin bisa, karena sempat sekolah”

“Bagini, kalo kami orang Hokkien hampir seluruhnya pake bahasa melayu

Kupang, kalo orang seperti kami, bagusnya menggunakan bahasa

Mandarin dengan anak-anak, ya kalo bahasa dari asal ayah kami, kami

tidak tahu.”

Page 38: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

101

Ketika ditanya pendapatnya perihal pembauran yang terjadi diantara etnik

Tionghoa dengan etnik Dawan, termasuk didalamnya adanya perkawinan

campuran antara etnik Tionghoa dan etnik Dawan, ia mempunyai pendapat

tersendiri. Menurutnya keluarganya sudah cukup berbaur jadi tercipta hubungan

baik dengan masyarakat Dawan, dan keluarganya sangat dihormati. Sebab

menurutnya jika tidak adanya pembauran justru akan tidak dihormati oleh

masyarakat sekitar.

Dia merasa senang jika ada pembauran dan menyatu dengan sesama dan

terasa nyaman, termasuk hubungan pertemanan antara ayahnya dengan Raja

Nope. Disisi lain mengenai perkawinan campuran, menurutnya itu merupakan

proses yang bagus namun diakuinya hal tersebut terjadi dikalangan Tionghoa

tertentu. Sedangkan dikeluarganya lebih dominan peran orang tua yang

menetukan jodoh dalam perkawinannya, hal ini merupakan budaya tradisional

dikalangan etnik Tionghoa sehingga tidak dimungkinkan budaya pacaran pada

waktu itu.

“ohh dari dulu dong su berbaur jadi, jadi ada hubungan baik dengan orang

disini dan pandang (dihormati) se btong, kalo snd ada hub baik mana dong

mau pandang. Btong lebih senang to, bisa menyatu khan lebih baik, jadi

btong cari hisup disini dengan orang yang asli disini, dan su bisa menyatu,

dong khan rada enak, tapi kalo hubungan baik ini terjaga, kalo bapatua

dong ini dengan raja dong ini keturunan ini, ada hubungan pi datang

(hubungan timbal balik), jadi dong ada sobat begitu. Jadi bergaul dong

rakyat su merasa”

“kalo sebenanrya ada itu lebih bagus, kalo ada (sambil tunjuk jari

telunjuk), tapi ada satu2 (tertentu saja), ais dolo btong pung orang tua tu

soal jodoh orang tua yang tentukan, dia pung sahabat yang pung anak

aehh, jadi snd ada proses pacar2an ko, Hahahahhaaaee.. jadi dong lia, ini

anak abe, jadi bisa kasih kerabta sendiri, dong pung hopeng kembali. Cuma

Page 39: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

102

itu dulu, Cuma jaman sekarang anak muda begitu snd mau lai..dong su pilih

sendiri.”

Terjemahannya :

“Oh kalo dari dulu sudah berbaur, jadi ada hubungan baik dengan orang

disini dan dipandang (dihormati)pada kita, kalo tidak ada hubungan baik

mana mungkin dihormati. Kami tentu lebih senang juga khan, bisa menyatu

malah lebih baik, jadi kami hidup disini dengan orang asli disini, dan sudah

bias menyatu, mereka juga merasa nyaman, tapi kalo hubungan baik ini

terjaga, kalo ayah saya ini dengan kalangan Raja juga ada hubungan baik

satu sama lain, jadi mereka sudah seperti sobat begitu, jadi bergaulnya

merata.”

Kalo sebenarnya da hal itu (kawin campur) lebih bagus, jadi ada hubungan

baik, namun itu masih pada golongan tertentu, habus dulu orang tua kami

soal jodoh ditentukan oleh mereka, misalnya dijodohkan dengan anak

sahabatnya, jadi tidak ada istilah pacaran lagi Hahahhaa....jadi mereka

lihat ini anaknya baik, jadi bisa dijodohkan dengan kerabat sendiri, teman

akrabnya sendiri. Tapi itu zaman dulu, sekarang anak mudah tidak mau

begitu lagi, jadi bergaulnya merata.

Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti, bahwa

pola komunikasi antar etnik yang terjalin antara keluarga bapak Christopher

Wijaya sebagai etnik Tionghoa, dan etnik Dawan melalui hubungan dagang yang

dilakukan oleh ayahnya, jalinan relasi ini tidak hanya ada berkat hubungan dagang

saja, melainkan melalui hobi yang dilakoni oleh ayahnya seperti minum minuman

beralkohol yang menjadi salah satu daya tarik dalam menjaring relasi dengan

teman-teman akrabnya, dalam istilah yang digunakan adalah hopeng.

Hopeng sendiri disimbolkan secara verbal merupakan istilah bahasa

Mandarin yang artinya teman kumpul, atau teman akrab. Dalam hal menjalin

relasi dengan sesama etnik Tionghoa dan juga dalam komunikasi dengan anggota

keluarga, bapak Christopher lebih banyak menggunakan bahasa pasar atau bahasa

melayu Kupang, dibandingkan penggunaan bahasa Mandarin dalam komunikasi

Page 40: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

103

sehari-hari walaupun ia sendiri menguasai bahasa Mandarin. Dalam pengamatan

peneliti, ketika berinteraksi dengan sesama etnik Tionghoa maupun didalam

keluarganya sendiri, ia lebih banyak menggunakan bahasa melayu Kupang.

Disamping itu ia sendiri secara pasif menguasai bahasa Mandarin baik tulisan

maupun lisan, lain halnya ketika berinteraksi dengan etnik Dawan, ia lebih banyak

menggunakan bahasa melayu Kupang, sedangkan bahasa Dawan ia sendiri tidak

menguasai.

Penggunaan bahasa melayu pasar tersebut cukup beralasan, berdasarkan

temuan peneliti terhadap tulisan Hidayat Z.M. bahwa orang Tionghoa peranakan

pada umumnya sudah mempergunakan bahasa Melayu Pasar ini, dan sudah tidak

atau jarang sekali mempergunakan bahasa Mandarin secara sempurna. Walaupun

demikian ada diantaranya yang mengerti secara pasif yang hanya dipergunakan

sekali-kali kalau berhubungan dengan orang Tionghoa totok atau dengan mereka

didalam keluarga dalam menghadapi orang Tua. Penggunaan bahasa melayu pasar

ini kemudian mendapat pengaruh dari bahasa Belanda. (Hidayat, 1993, hal 92).

Simbol Verbal Makna Simbol

Bahasa Pasar atau bahasa

melayu Kupang

Bahasa yang menjembatani komunikasi keluarga,

sesama etnik Tionghoa khususnya kalangan

Hokkien, etnik Dawan. Sekaligus sebagai alat

strategi pendekatan terhadap etnik Dawan.

Hopeng Teman kumpul, teman akrab.

Tabel.11. Tabel Verbal Informan Christopher Wijaya

Perihal pembauran dikalangan etnik Tionghoa dan etnik Dawan, bapak

Christopher menilai bahwa adanya pembauran dikedua kalangan ini akan

Page 41: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

104

membawa dampak yang baik yakni terciptanya hubungan baik antara keluarganya

dengan masyarakat setempat, efeknya adalah keluarganya sangat dihormati oleh

masyarakat setempat, terutama mengenai kawin campur antara etnik Tionghoa

dengan etnik Dawan menurutnya akan membawa dampak yang positif, namun

masih terbatas pada kalangan Tionghoa tertentu saja. Sedangkan dalam hal

strategi pendekatan yang dilakukannya ketika berinteraksi atau menjalin relasi

dengan etnik Dawan, ia pun hanya menggunakan bahasa melayu Kupang, sebab ia

sendiri tidak menguasai bahasa Dawan, baginya menggunakan bahasa melayu

kupang dirasa sudah cukup dalam melakukan interaksi sehari-hari dengan

masyarakat setempat ditambah pula sesekali ia menyuguhkan minuman alkohol

kepada kaum pemuda setempat secara terbatas untuk menghindari hal yang tidak

dininginkan.

2.4.2. Komunikasi Antaretnik Pada Etnik Tionghoa Campuran

Etnik Tionghoa campuran yang menjadi informan peneliti ini adalah

mereka yang merupakan keturunan peranakan Tionghoa yang sudah berbaur,

berperilaku, berbicara serta menikah dengan penduduk setempat (pribumi). Ke-6

informan penelitian ini adalah : Paulus Mana Nitbani (Ang Pai Fan), John

Errence E Litelnoni (Lee Hok Chow), Endang EYP Litelnoni (Ang Taek Sang),

Leonard Hun Banamtuan (Ang Xie Ling), Syarifudin Un (Wun Jun Pit), serta

Herman Carel Litelnoni (Lee Hok Kie). Dalam sub ini mereka mencoba

mendeskripsikan atau menceritakan kembali pengalaman mereka maupun

keluarganya berinteraksi dengtan etnik lokal (Etnik Dawan ) dalam wadah

Page 42: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

105

komunikasi antar etnik, serta bagaimana mereka bisa berbaur dengan etnik lokal

setempat.

Informan pertama peneliti adalah bapak Paulus Nitbani (Ang Pai Fan),

yang berumur 76 tahun dan bekerja sebagai petani, wiraswastawan sekaligus

tokoh adat masyarakat Tionghoa Niki-Niki. Beliau juga merupakan informan

pokok peneliti sekaligus juga penghubung peneliti dengan calon informan lainnya.

Wawancara dilaksanakan pada 14 Juni 2012. Dalam wawancara ini, peneliti

menanyakan perihal bagaimana keluarga nenek moyangnya membangun relasi

melalui komunikasi antar etnik dengan etnik Dawan, dengan penuh semangat

sambil mengunyah sirih pinang ia menjawab bahwa jalinan relasi antara keluarga

nenek moyang dengan etnik Dawan melalui jalur dagang. Proses ini berjalan

secara alamiah, dimana etnik Tionghoa mengambil beberapa bahan baku dari

etnik Dawan seperti hasil bumi maupun hewan ternak, dalam transaksi tawar

menawar kemudian menjual kepada para konsumen yang notabene adalah etnik

Dawan lainnya, dalam proses ini terjalin interaksi yang intensif diantara mereka

otomatis tercipta jalinan relasi. Maka dalam jalinan relasi ini, etnik Tionghoa

secara tidak langsung sudah mempelajari dan berbicara bahasa Dawan sebagai

bahasa pengantar dalam menjalankan aktivitas dan transaksi dagang dengan etnik

Dawan.

Dia menambahkan selain transaksi dagang tersebut, ada jalinan relasi yang

sangat historis antara etnik Tionghoa dengan Raja setempat, dimana ketika

seorang Raja yang mangkat, maka ada kewajiban tertentu dari kalangan etnik

Tionghoa yang mambawa persembahan atau upeti bagi anggota keluarga Raja

Page 43: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

106

tersebut sebagai bentuk penghormatan. Disamping hal tersebut, pada prinsipnya

etnik Tionghoa di Niki-Niki selalu ditanamkan nilai filosofi oleh para pendahulu

mereka yakni “Choan Chea” mencari hidup tanpa politik.

“Caranya adalah melalui cara berdagang, ka pasar menjual hasil bumi

seperti kulit kambing, cendana, benang, kerbau, tanduk rusa, nhasil hutan,

bumi, ternak. Otomatis mempunyai kenalan sebagai sobat, salaing

mempercayai apalagi Raja disni umpamanya ada kematian sang Raja,

maka etnik Tionghoa disini masuk secara adat membawa beras, uang,

begitu pun etnik Tionghoa meninggal juga Raja juga keluar datang ikut

penguburan diluar sana. Jadi hubungan itu makin hari makin erat. Dan

perlu diningat etnis Tionghoa tidak berpolitik (Choan Chea), taat pada PP

taat pada Praja, Tuan tanah, tidak melawan. Kebanyakan mereka yang

merantau karena krisi politik di RRC dan juga banyaknya monopoli tanah

sehingga memaksa banyak orang Tionghoa merenatau ke negeri lain,

disampining itu setelah sukses mereka mendatangkan sanak saudara

mereka di RRC untuk dibawa ke Indonesia.”

Terjemahannya :

“Caranya adalah melalui cara berdagang, pergi ke pasar menjual hasil

bumi seperti kulit kambing, cendana, benang, kerbau, tanduk rusa, hasil

hutan, bumi, ternak. Otomatis mempunyai kenalan sebagai teman (etnik

Dawan), tercipta rasa saling mempercayai apalagi kalangan Raja disini

misalnya ada mangkat sang Raja, maka etnik Tionghoa disini masuk secara

adat membawa beras, uang, begitu pun ketika ada etnik Tionghoa

meninggal juga Raja turut menghadiri penguburan diluar sana. Jadi

hubungan itu makin hari makin erat. Dan perlu diningat etnis Tionghoa

tidak berpolitik (Choan Chea), taat pada PP taat pada Raja, Tuan tanah,

tidak melawan. Kebanyakan mereka yang merantau karena krisis politik di

RRC dan juga banyaknya monopoli tanah sehingga memaksa banyak orang

Tionghoa merantau ke negeri lain, disampining itu setelah sukses mereka

mendatangkan sanak saudara mereka di RRC untuk dibawa ke Indonesia.”

Ketika disinggung mengenai interaksinya dengan anggota keluarga

maupun dengan sesama etnik Tionghoa, ia menjawab bahwa kebanyakan dalam

berkomunikasi sehari-hari dengan sesama etnik Tionghoa lainnya dilingkungan

menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Dawan, namun tidak menutup

kemungkinan ia selalu memadukan beberapa kosakata bahasa Mandarin dalam

Page 44: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

107

topik pembicaraan, sementara bahasa Tionghoa (bahasa Mandarin) jarang

digunakan dalam lingkup pergaulannya.

Sedangkan bahasa Mandarin sendiri dan tata cara hidup ala masyarakat

Tionghoa tetap ia terapkan dalam keluarga. Meskipun akhir-akhir ini ia lebih

dominan menggunakan bahasa Dawan dan bahasa Indonesia dalam komunikasi

tatap muka dengan anggota keluarga. Ia sendiri mengakui bahwa masih fasih

menulis dan bertutur kata bahasa Mandarin walaupun jarang dipraktekkan dalam

kehidupan sehari-hari, Ia mencontohkan ketika bertemu sesama etnik Tionghoa

khususnya yang masih seumuran atau lebih tua, harus memberi salam

penghormatan dalam bentuk pai-pai atau soya.

“Bahasa Indonesia dan bahasa Dawan, namun bahasa Tionghoa

(Mandarin) kurang tata cara ada Tionghoa maupun bahasa mandarin

masih tetap kung terapkan dalam keluarga, namun kadang dalam keluarga

kung menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Dawan, kalo bahasa

Mandarin 25-30%, walau sudah lama tidak digunakan tetapi masih ingat,

dan masih bisa tulis bahasa atau sastra Mandarin.”

Terjemahannya :

“Bahasa Indonesia dan bahasa Dawan, namun bahasa Mandarin jarang

digunakan, namun tata cara adat Tionghoa maupun bahasa mandarin

masih tetap saya terapkan dalam keluarga, namun kadang dalam keluarga

saya menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Dawan, kalo bahasa

Mandarin 25-30%, walau sudah lama tidak digunakan tetapi masih ingat,

dan masih bisa tulis bahasa atau sastra Mandarin.”

“Dulu menggunakan bahasa Dawan, namun siring berjalannya waktu

akhir2 ini menggunakan bahasa Indonesia karena lebih susah. Kadang juga

campur dengan bahasa Tionghoa sedikit2. Tetapi prinsip tetapnya kalo

bertemu orang harus memberi pai (salam hormat) orang mati 3x (ganjil),

orang yang menikah 2x, yang masih hidup 1x (ganjil). Untuk meberikan

penghormatan kepada yang lebih tua.”

Page 45: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

108

Terjemahannya :

““Dulu sering menggunakan bahasa Dawan, namun seiring berjalannya

waktu akhir-akhir ini menggunakan bahasa Indonesia karena bahasa

Dawan lebih susah. Kadang juga diselingi dengan bahasa Tionghoa sedikit.

Tetapi prinsip tetapnya kalo bertemu orang harus memberi pai (salam

hormat) orang mati 3x (ganjil), orang yang menikah 2x, yang masih hidup

1x (ganjil). Untuk meberikan penghormatan kepada yang lebih tua.”

Selanjutnya, peneliti bertanya mengenai pendapat tentang pembauran yang

terjadi antara etnik Tionghoa dengan etnik Dawan, dalam bentuk perkawinan

campuran. Dengan nada santai ia menjawab bahwa pembauran antara etnik

Tionghoa dan etnik Dawan dapat dilihat dalam acara-acara seremonial seperti

pesta perkawinan, pesta adat, atau acara-acara dari para kenalan maupun sahabat

keluarga. Ia memberi contoh ketika mereka menyelenggarakan acara maka

mereka pun mengundang etnik Dawan untuk menghadiri, begitu pun sebaliknya.

Pada akhirnya secara tidak langsung kerukunan tersebut tercipta, dalam hal

perkawinan campuran ia tidak banyak memberikan pendapat, ia hanya

memberikan contoh kecil salah satu anggota kerabatnya yang hadir pada saat

wawancara, dimana keponakannya yang berdarah Tionghoa dinikahkan dengan

salah satu cucu bangsawan anggota kerajaan Amanuban. Sehingga bisa

disimpulkan anak mereka secara langsung mewarisi dua adat budaya, dan warisan

ini akan memudahkan anak mereka mengakses kehidupan etnik Tionghoa

sekaligus kehidupan etnik Dawan.

“Itu sama seperti kayak pesta2, atau acara ceremonial itu, kenalan dari

sahabat atau family (keluarga) kita undang mereka datang, dan begtu

sebaliknya. Kebersamaan itu ada, kerukunan itu tercipta.”

Page 46: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

109

“Ya kalo su ada kwin mawin, kalo contoh ini sa Nessie, dia punya anak

sudah menguasai dua adat (Adat Timor dan Tionghoa)”

Terjemahannya :

“Itu terlihat pada pesta atau acara seremonial, kenalan dari para sahabat

atau kerabat keluarga, jika kita mengundang, mereka hadir, dan begitu

sebaliknya. Kebersamaan itu ada, maka kerukunan tercipta”

“Ya kalau sudah menikah, misalnya contoh nessie, dia mempunyai anak

yang sudah menguasai dua adat (adat Timor Dawan dan adat Tionghoa)”

Perihal penjelaskan teknik pendekatan terhadap etnik Dawan oleh

kalangan etnik Tionghoa, umumnya pendekatan tersebut bergantung pada etnik

Tionghoa itu sendiri, yang paling penting adalah bagaimana etnik Tionghoa

tersebut dapat membawa diri dalam pergaulan, mengerti aturan maupun norma-

norma adat masyarakat Dawan, bisa berkerja sama, menguasai bahasa Dawan dan

yang paling penting adalah mengerti aturan maupun norma-norma adat

masyarakat Dawan seperti tata cara pendekatan secara tradisional yang

menyuguhkan sirih pinang dan lain sebagainya. Beliau menambahkan bahwa

dengan menguasai norma adat tersebut, etnik Tionghoa tersebut dijamin akan

diterima secara baik dan bisa hidup berdampingan dengan etnik Dawan.

“Kuncinya adalah Pembawaan diri, tau hukum adat, bisa kerja. Lapor diri,

penyampaian maksud tujuan, pake bahasa Dawan. Sopi, uang, sirih

pinang.”

Terjemahannya :

“Kuncinya adalah pembawaan diri, mengerti hukum ada, bisa berkerja

sama, pemberitahuan maksud dan tujuan kedatangan, menggunakan bahasa

Dawan, menyuguhkan sopi (arak), sejumlah uang, dan sirih pinang”

Page 47: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

110

Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti, bahwa

pola komunikasi antar etnik yang terjalin antara keluarga bapak Paulus Nitbani

sebagai etnik Tionghoa Campuran dan etnik Dawan melalui hubungan dagang,

dalam hubungan dagang ini terjadi proses transaksi tawar menawar dan terjalin

relasi. Disamping adanya ikatan historis ketika ada seorang Raja yang mangkat,

maka ada kewajiban tertentu dari kalangan etnik Tionghoa untuk membawa

sejumlah persembahan kepada anggota keluarga Raja sebagai bentuk

persembahan.

Etnik Tionghoa di Niki-Niki sendiri sejak kedatangan leluhurnya

memegang teguh prinsip filosofi yakni Choan Chea yang secara simbol verbal

diartikan sebagai mencari hidup tanpa berpolitik, menurut peneliti pandangan

tersebut bisa diartikan sebagai bentuk komitmen etnik Tionghoa yang merantau ke

Niki-Niki karena gejolak politik di negeri asal mereka, selain itu pada prinsipnya

tujuan utama dari etnik ini sendiri hanyalah mencari penghidupan dari sektor

ekonomi tanpa perlu terlibat masalah politik.

Hal tersebut cukup relevan dengan penemuan peneliti, hal tersebut bisa

dilihat dari ulasan Leo Suryadinata bahwa Ada dua faktor, yaitu faktor pendorong

dan faktor penarik yang berperan atas hadirnya dalam jumlah besar orang

Tionghoa diwilayah ini. Kekacauan, kemiskinan dan kepadatn penduduk di

daratan Tiongkok mendorong mereka meninggalkan negeri leluhurnya, sedangkan

kolonisasi barat di asia tenggara dan pembukaan wilayah ini membutuhkan

banyak tenaga kerja. (Suryadinata, 2002, hal 7)

Page 48: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

111

Simbol Verbal Makna Simbol

Bahasa Dawan Bahasa yang menunjukan eratnya relasi dan

keramahan antara etnik Tionghoa dengan etnik

Dawan, sekaligus bahasa pengantar yang

digunakan dalam tawar-menawar transaksi

dagang.

Bahasa Pasar atau bahasa

melayu Kupang

Bahasa yang menjembatani komunikasi keluarga

dan sesama etnik Tionghoa.

Bahasa Mandarin Bentuk apresiasi terhadap pelestarian budaya

leluhur.

Choan Chea Mencari hidup tanpa berpolitik.

Tabel.12. Tabel Verbal Informan Paulus Nitbani

Berkaitan dengan interaksinya dalam keluarga maupun sesama etnik

Tionghoa lainnya, penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa Dawan lebih

mendominasi ketimbang bahasa Mandarin dalam berinterkasi dilingkup keluarga

maupun sesama etnik Tionghoa lainnya dan tidak menutup kemungkinan

menggunakan beberapa istilah-istilah bahasa Mandarin yang diselipkan dalam

setiap topik pembicaraan. Namun bahasa Mandarin dan tata hidup ala etnik

Tionghoa, tetap ia terapkan dalam kehidupan keluarganya, menurut peneliti hal

tersebut sebagai bentuk apresiasi dirinya untuk tetap melestarikan budaya

leluhurnya. Hal tersebut ia coba tunjukan melalui masih fasih menulis tulisan

kanji maupun berbcara dalam bahasa Mandarin dan bila bertemu dengan sesama

etnik Tionghoa yang dianggap seumuran atau lebih Tua memberikan gerakan pai

atau soya yang secara simbol non-verbal diartikan sebagai salam penghormatan.

Page 49: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

112

Simbol Non-Verbal Makna Simbol

Sirih Pinang “Oko Mama” Alat penghubung, bentuk permintaan yang bersifat

sakral, ucapan terima kasih, awal membangun

relasi, alat diplomasi.

Sopi (Arak) Alat penghubung, bentuk permintaan yang bersifat

sakral, ucapan terima kasih, awal membangun

relasi, alat diplomasi.

Uang Alat penghubung, bentuk permintaan yang bersifat

sakral, ucapan terima kasih, awal membangun

relasi, alat diplomasi.

Pai-Pai / Soya Sikap gerakan tangan yang memberi

penghormatan sekaligus tegur sapa terhadap

sesama etnik Tionghoa bagi mereka yang

seumuran atau yang lebih tua.

Tabel. 13. Tabel Non-Verbal Informan Paulus Nitbani

Dalam hal pembauran etnik Tionghoa dengan etnik Dawan seperti

pernikahan campuran dan strategi pendekatan terhadap etnik Dawan itu sendiri.

Menurut pendapatnya pembauran tersebut sangat baik dan memberi nuansa rukun,

hal tersebut dapat dilihat pada acara-acara yang diselenggarakan baik oleh etnik

Tionghoa maupun etnik Dawan itu sendiri. Mengenai teknik strategi pendekatan

terhadap etnik Dawan itu sendiri, terdapat beberapa cara yakni memahami aturan

maupun norma adat masyarakat Dawan, bisa berbahasa Dawan, mampu berkerja

sama dengan masyarakat setempat, pembawaan diri.

Namun baginya yang paling terpenting adalah pendekatan secara

tradisional seperti menyuguhkan sirih pinang, sopi (arak), dan sejumlah uang

sebagai bentuk permintaan. Menurut peneliti, hal tersebut dilakukan sebagai salah

Page 50: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

113

satu bagian dari kepercayaan adat masyarakat Dawan, sekaligus sebagai suatu

ritual yang memungkinkan sebuah permintaan diterima secara sakral. Dalam

pengamatan peneliti, seperti saat berinteraksi dengan sesama etnik Tionghoa,

beliau lebih dominan menggunakan bahasa melayu Kupang disamping itu secara

aktif beliau menggunakan bahasa Dawan, hal ini juga menunjukan keakrabannya

dengan sesama etnik Tionghoa. Dalam pengamatan peneliti juga ia lebih sering

menggunakan bahasa Dawan dan bahasa melayu Kupang, tidak jarang sesekali ia

menggunakan bahasa Mandarin untuk berdiskusi dengan teman sejawatnya

sesama Tionghoa. Disisi lain dalam berinteraksi dengan etnik Dawan beliau

cukup aktif menggunakan bahasa Dawan, dan jarang terlihat menggunakan bahasa

melayu Kupang, kecuali bagi mereka yang merupakan orang baru atau pendatang.

Penggunaan bahasa melayu pasar tersebut cukup beralasan, berdasarkan

temuan peneliti terhadap tulisan Hidayat Z.M. bahwa orang Tionghoa peranakan

pada umumnya sudah mempergunakan bahasa Melayu Pasar ini, dan sudah tidak

atau jarang sekali mempergunakan bahasa Mandarin secara sempurna. Walaupun

demikian ada diantaranya yang mengerti secara pasif yang hanya dipergunakan

sekali-kali kalau berhubungan dengan orang Tionghoa totok atau dengan mereka

didalam keluarga dalam menghadapi orang Tua. Penggunaan bahasa melayu pasar

ini kemudian mendapat pengaruh dari bahasa Belanda. (Hidayat, 1993, hal 92).

Informan peneliti selanjutnya adalah bapak John E.E.Litelnoni alias (Lee

Hook Chow), berumur 80 tahun yang merupakan satu-satunya mantan kepala

kelurahan keturunan Tionghoa di Niki-Niki. Ia juga merupakan tokoh Masyarakat

etnik Tionghoa di Niki-Niki, serupa dengan Bapak Paulus Nitbani. Beliau juga

Page 51: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

114

merupakan informan pokok peneliti sekaligus juga penghubung peneliti dengan

calon informan lainnya. Wawancara peneliti dengan beliau berlangsung pada

tanggal malam hari 14 Juni 2012, peneliti menanyakan perihal bagaimana nenek

moyangnnya membangun relasi melalui komunikasi antar etnik dengan etnik

Dawan. Ia pun menjawab tidak tahu pasti tentang hal tersebut, karena ia sudah

yatim piatu sejak umur enam tahun, sehingga tidak mendapatkan rincian

informasi dari kedua orang tuanya perihal nenek moyang mereka.

Perihal ditanya mengenai bagaimana membangun relasi dengan sesama

etnik Tionghoa maupun dengan keluarga, ia menjawab dengan sigap bahwa relasi

yang terjalin masih kental hingga saat ini dikarenakan hubungan kawin-mawin

satu sama lain diantara etnik Tionghoa, hal tersebut masih bisa dilihat dalam

acara-acara kedukaan, pesta syukuran terutama saat imlek tiba. Pada momen

tersebut ia selalu mengunjungi keluarganya yang masih merayakan, hal ini

dimanfaatkan sekaligus sebagai ajang reuni atau kumpul keluarga.

Sedangkan penggunaan bahasa yang digunakan dalam berinteraksi

menurutnya semua itu disesuaikan dengan sutuasi yang berkembang dilapangan,

ia mencontohkan jika berada ditempat yang menggunakan bahasa Dawan maka ia

menggunakan bahasa Dawan pula. Alasannya bahwa bahasa Dawan di Niki-Niki

merupakan bahasa Ibu yang dapat disimbolkan secara verbal sebagai bahasa

tradisional yang menjembatani komunikasi masyarakat Dawan khususnya di

kalangan etnik Dawan dengan etnik Tionghoa Niki-Niki.

Page 52: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

115

“Itu masih kental dengan adat istiadat karena hubungan kwin mawin, ahh

apa. Kematian, pesta2 syukuran terlebih yang paling kental saat imlek kung

selalu datangi keluarga yang konghuchu. Ada juga etnis turunan disini ikut

tahun baru nasional sampai tahun imlek dia juga rayakan istilah seperti

reuni”.

“itu sendiri dilihat dari situasi, apabila ditempa2 tertentu yg opake bahasa

Dawan ya pake Dawan. Sebab masyarakat sini bahsa ibuny adalah bhsa

Dawan. Itu begitu... hubungan pertama adalah sirih pinang, rokok, dini

macam dari jakrata datang juga disuguhkan sirih inag sebagai tanda

menerima.”

Terjemahannya :

“Itu masih kental dengan adat istiadat dikarenakan hubungan kawin-mawin

seperti acara kedukaan, pesta syukuran terlebih yang paling kental saat

imlek, saya selalu mendatangi keluarga yang masih beragama Konfhuchu

atau keturunan etnik Tionghoa. Ada juga etnik keturunan disini mengikuti

tahun baru Nasional samapau tahun baru imlek juga merayakan , jadi

istilahnya sudah seperti reuni”

“itu sendiri dilihat dari situasi yang ada, apabila ditempat tertentu yang

menggunakan bahasa Dawan ya gunakan bahasa Dawan. Sebab bahasa

masyarakat sini bahasa aslinya adalah bahasa Dawan. Itu begitu...

hubungan pertama adalah sirih pinang, rokok, disini seperti keluarga dari

Jakarata datang juga disuguhkan sirih Pinang sebagai tanda menerima.”

Mengenai teknik pendekatan terhadap etnik Dawan, sambil mengelap

dahinya dengan sapu tangan, ia menyambung bahwa pengalamannya selama

menjadi aparatur negara yakni Lurah Niki-Niki selama dua periode bahwa semua

itu bergantung dari cara kita bergaul dengan baik terhadap sesama, dan sebagai

seorang lurah baginya adalah bagaimana mengayomi dan mendekatkan diri

dengan masyarakat dilingkungannya, pada intinya adalah memahami hukum adat

masyarakat setempat, dan menggunakan pendekatan tradisional yang biasa

dilakukan masyarakat setempat seperti menyuguhkan sirih pinang dan bahasa

Page 53: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

116

Dawan. Secara non-verbal sirih pinang atau oko mama sebagai alat untuk

mengawali relasi maupun sebagai alat diplomasi dalam menyelesaikan masalah.

“Pengalaman kung selama menjadi aparatur negara (lurah) mungkin lebih

banyak pada cara kita bergaul dengan baik terhadap sesama, bagaimana

kita mengayomi dan mencoba mendekatkan diri dengan masyarakat,

biasanya berkunjung ke rumah2 penduduk, ajak bicara. Intinya Pembawaan

diri, tau hukum adat, serta yang paling penting dalam membangun

hubungan adalah menggunakan cara2 tradisional atau kebiasaan

masyarakat sekitar terutama pake bahasa Dawan. Dan sirih pinang sebagai

lambang”

Terjemahannya :

“Pengalaman saya selama menjadi aparatur negara yakni Lurah mungkin

lebih banyak pada cara kita bergaul dengan baik terhadap sesama,

bagaimana kita mengayomi dan mencoba mendekatkan diri dengan

masyarakat, biasanya berkunjung ke rumah-rumah, ajak bicara. Pada

intinya pembawaan diri, mengerti hukum adat, serta yang paling penting

dalam membangun hubungan adalah menggunakan cara-cara pendekatan

tradisional atau kebiasaan masyarakat setempat terutama menggunakan

bahasa Dawan, dan sirih pinang”

Disisi lain pendapatnya mengenai pembauran antara etnik Tionghoa

dengan etnik Dawan dalam perkawinan campuran serta kualitas hubungan dalam

perkawinan campuran tersebut, ia menjelaskan bahwa pembauran tersebut tidak

ada perbedaan yang menonjol, namun ada hal-hal tertentu yang nampak seperti

diadakannya pesta atau perayaan maupun adanya kedukaan sangat menonjol di

Niki-Niki, disini dapat dilihat adanya jiwa gotong royong antara kedua etnik

tersebut, hal tersebut juga ia tekankan selama menjabat sebagai Lurah di Niki-

Niki agar setiap komponen masyarakat baik etnik maupun agama harus mampu

menjunjung tinggi nilai toleransi.

Page 54: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

117

Dalam pemahaman peneliti bahwa komunikasi antar etnik antara etnik

Tionghoa dan etnik Dawan di Niki-Niki tidak hanya terwujud dalam kegiatan

ekonomi, namun terwujud dalam kegiatan acara maupun perayaan tertentu bahkan

dalam kehidupan sehari-hari. Dia menambahkan bahwa, dengan adanya ikatan

pernikahan campuran antara etnik Dawan dan etnik Tionghoa, justru akan

semakin mempererat ikatan jiwa gotong royong antara kedua belah pihak, sebagai

contoh jika terjadi kedukaan pada salah satu pihak maka pihak yang lain juga

turut membantu dan mengatasi kondisi dilapangan.

“Kalo utk itu kelihatannya akhir2 in semua tidak ada perbedaan menonjol

hanya pada hal2 tertentu ini etnis ini, tapi untuk komunikasi dan pergaulan

hal2 tidak ad, agama, tidak ada perbedaan, yang sangat menonjol adalah di

pesta2, kedukaan, dan terlebih gotong royong itu ada dan tinggi. Kegitana

jumat bersih. kalo kung pribadi, ya nuansa harmonis dan damai sudah

terbangun antara masyarakat Tionghoa di Niki2 dengan masyarakat etnis

Dawan/Timor disini, ya kung sebagai mantan lurah dan dulu pernah

menjabat, selalu menekankan nilai toleransi dan saling menjaga satu sama

lain.”

“Iya itu pasti, itu dapat kita lihat lewat contoh ada kedukaan disalah satu

pihak laki perempuan, maka semua itu terlibat dalam satu kegiatan dalam

mengatasi maslah tersebut. Itu karana langkah dasar dari jiwa gotng

royong sehingga terjadi kawain campur maka lebih kuat ikatannya.”

Terjemahannya :

“Kalo untuk hal tersebut kelihatannya akhir-akhir ini semua tidak ada

perbedaan menonjol, hanya pada hal-hal tertentu ini etnis ini (Tionghoa-

Dawan), tapi untuk komunikasi dan pergaulansehari-hari tidak ada, agama

pun tidak ada perbedaan-perbedaan, yang sangat menonjol adalah pada

pesta perayaan, kedukaan, dan terlebih jiwa gotong royong itu ada dan

sangat tinggi. Kegiatan jumat bersih. kalo saya pribadi, ya nuansa

harmonis dan damai sudah terbangun antara masyarakat Tionghoa di Nik-

niki dengan masyarakat etnis Dawan disini, ya saya sebagai mantan lurah

dan dulu pernah menjabat, selalu menekankan nilai toleransi dan saling

menjaga satu sama lain.”

Page 55: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

118

“Iya itu pasti, itu dapat kita lihat lewat contoh ada kedukaan disalah satu

pihak laki maupun perempuan, maka semua komponen (kedua etnik) yang

terlibat dalam satu kegiatan untuk mengatasi masalah kedukaan tersebut.

Itu karana langkah dasar dari jiwa gotng royong sehingga terjadi kawin

campur maka lebih kuat ikatan antara kedua etnik tersebut.”

Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti, bahwa

pola komunikasi antar etnik yang terjalin antara keluarga bapak John E.E.

Litelnoni sebagai etnik Tionghoa Campuran dan etnik Dawan melalui hubungan

silahturahmi yang terjalin karena hubungan kawin-mawin antara etnik Tionghoa

dan etnik Dawan dalam keluarganya, disamping itu hubungan ini juga dipererat

melalui acara kedukaan, pesta perayaan, maupun acara perayaan imlek di

keluarganya.

Sedangkan penggunaan bahasa dilingkungan keluarga maupun dalam

lingkungan masyarakat disesuaikan pada situasi maupun kondisi lapangan, bila

mana harus berada pada lingkungan yang menggunakan bahasa Dawan maka

bahasa Dawan pun digunakan, begitu pun bila berada di lingkungan etnik

Tionghoa maka bahasa yang digunakan pun bisa digunakan melayu Kupang atau

bahasa Dawan itu sendiri. Dalam pandangannya bahasa Dawan disimbolkan

secara verbal sebagai bahasa ibu, yakni bahasa tradisional yang menjembatani

komunikasi etnik Dawan maupun antara etnik Dawan dengan etnik Tionghoa

Niki-Niki.

Dalam pengamatan peneliti, beliau lebih dominan menggunakan bahasa

Dawan ketika berinteraksi dengan etnik Dawan, namun tidak jarang juga

menggunakan bahasa melayu Kupang untuk berinteraksi dengan mereka. Dilain

Page 56: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

119

hal, dengan anggota keluarga maupun dengan sesama etnik Tionghoa lainnya,

beliau terlihat lebih dominan menggunakan bahasa melayu Kupang dan sesekali

menggunakan bahasa Dawan.

Penggunaan bahasa melayu pasar tersebut cukup beralasan, berdasarkan

temuan peneliti terhadap tulisan Hidayat Z.M. bahwa orang Tionghoa peranakan

pada umumnya sudah mempergunakan bahasa Melayu Pasar ini, dan sudah tidak

atau jarang sekali mempergunakan bahasa Mandarin secara sempurna. Walaupun

demikian ada diantaranya yang mengerti secara pasif yang hanya dipergunakan

sekali-kali kalau berhubungan dengan orang Tionghoa totok atau dengan mereka

didalam keluarga dalam menghadapi orang Tua. Penggunaan bahasa melayu pasar

ini kemudian mendapat pengaruh dari bahasa Belanda. (Hidayat, 1993, hal 92).

Simbol Verbal Makna Simbol

Bahasa Dawan Bahasa ibu sebagai bahasa tradisional yang

menjembatani komunikasi etnik Dawan maupun

antara etnik Dawan dengan etnik Tionghoa Niki-

Niki.

Bahasa Pasar atau bahasa

melayu Kupang

Bahasa yang menjembatani komunikasi keluarga

dan sesama etnik Tionghoa.

Tabel.14. Tabel Verbal Informan John EE Litelnoni

Simbol Non-Verbal Makna Simbol

Sirih Pinang “Oko Mama” Alat penghubung, bentuk permintaan yang bersifat

sakral, ucapan terima kasih, awal membangun

relasi, alat diplomasi.

Tabel. 15. Tabel Non-Verbal Informan John EE Litelnoni

Page 57: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

120

Berbicara strategi pendekatan terhadap etnik Dawan oleh etnik Tionghoa

Niki-Niki tidaklah berbeda jauh dengan pendekatan etnik Tionghoa sebelumnya,

yang paling penting adalah bagaimana kita memahami hukum atau norma adat

setempat yang berlaku di masyarakat etnik Dawan setempat, selain itu juga

menguasai pendekatan tradisional yang biasanya dilakukan oleh masyarakat etnik

Dawan seperti pemberian sirih pinang atau oko mama yang secara non-verbal

disimbolkan sebagai alat diplomasi penyelesaian maupun awal membangun

hubungan.

Sedangkan terkait pembauran etnik Tionghoa dan etnik Dawan dalam

bentuk perkawinan campuran yang terjadi di Niki-Niki yang bersifat tidak terlalu

menonjol, namun yang menonjol justru terjadi pada saat diadakannya acara pesta

perayaan tertentu maupun acara kedukaan yang terlihat adalah jiwa gotong royong

yang terbangun diantara kedua etnik tersebut, dengan adanya pernikahan

campuran antara kedua etnik tersebut semakin memperkuat ikatan kekeluargaan

diantara keduanya.

Selanjutnya seusai mewawancarai Bapak John kurang lebih 40 menit, saya

melanjutkan wawancara dengan istrinya yakni Ibu Endang EYP Litelnoni (Ang

Taek Sang) yang berumur 74 tahun, beliau berprofesi sebagai ibu rumah tangga

sekaligus sebagai mantan Ibu PKK mendampingi suaminya saat masih berdinas.

Beliau sendiri merupakan adik kandung dari bapak Paulus Nitbani yang

merupakan informan pokok peneliti.

Page 58: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

121

Peneliti kemudiann bertanya mengenai bagaimana keluarganya

membangun melalui komunikasi antar etnik dengan etnik Dawan serta etnik

Tionghoa di Niki-Niki, dengan perawakan tenang ia menjawab bahwa seingatnya

relasi yang terbangun diantara keluarganya dengan etnik Dawan, khusunya

dengan kalangan Raja Nope maupun Raja Nitbani adalah melalui proses

hubungan dagang yang dikelola oleh orang tuanya, alasan ini cukup kuat, karena

ibunya merupakan putri dari Raja Nitbani.

Dibandingkan dengan Bapak Paulus Nitbani, ibu Endang masih mengingat

bahwa ayahnya yang berprofesi sebagai pedagang hasil bumi dan hewan ternak

dan juga garmen seperti benang dan lain sebagainya. Ia menambahkan dengan

adanya hubungan dagang ini menciptakan relasi yang kuat dan saling

bersosialisasi, ditambah lagi ia, dan kakaknya sendiri merupakan keturunan dari

keluarga Raja Nitbani yang secara otomatis memperoleh akses legitimasi yang

leluasa dalam berdagang maupun posisi dimasyarakat.

Perihal menjalin relasi dalam wadah komunikasi antar etnik, khususnya

dengan sesama etnik Tionghoa lainnya maupun dengan keluarga, ia menjelaskan

bahwa relasi yang terjalin selama ini berjalan baik dan sangat erat, dikarenakan

adanya pengaruh hubungan kawin-mawin maupun perkawinan campuran antara

etnik Tionghoa dengan etnik Dawan atau sesama etnik Tionghoa itu sendiri,

ditambah lagi adat istiadat etnik Tionghoa yang kental.

Hal ini bisa dilihat pada acara-acara perayaan tertentu, pesta, maupun

acara kedukaan pada umumnya terutama pada saat etnik Tionghoa merayakan

Page 59: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

122

pesta Imlek atau tahun baru Cina, bagi beliau disini dapat terlihat betapa eratnya

hubungan kekeluargaan yang sangat erat dan beragam, dan kami pun berkunjung

dan membangun tali silahturahmi dengan keluarga yang merayakan.

“Yang bta ingat dulu, bta pung bapa membangun hubungan baik dengan

etnis Timor disini dan juga Raja Nope/ Raja Nitbani melalui cara

berdagang/ kegiatan ekonomi, bapa dulu di pasar menjual hasil bumi

seperti kayu cendana, benang dan juga hewan ternak seperti kulit kambing,

kerbau, sapi. Nah dari cara berdagang itu dia mulai ada relasi kuat dan

saling bersosialisasi.”

“Mungkin sama deng kung, ya mungkin masih kental dengan adat istiadat

karena hubungan kawin campur. Terus kalo ktong liat pas ada macam

acara pesta, perayaan, syukuran atau acara duka terlebih yang paling

kental saat imlek begitu, ktong selalu datangi keluarga yang konghuchu.

Begitu pas juga ada acara tahun baru nasional, Hehehe..semua berbaur.”

Terjemahannya :

“Yang saya ingat pada waktu itu, ayah saya membangun hubungan baik

dengan etnik Timor disini khususnya juga dengan Raja Nope dan Raja

Nitbani melalui hubungan dagang, Ayah saya dulu menjual hasilbumi

seperti kayu sendana, benang, dan juga hewan ternak seperti kulit kambing,

kerbau, sapi. Nah dari cara berdagang itu dia mulai membangun relasi kuat

dan saling bergaul”

“Mungkin jawabannya serupa dengan suami saya,yang mungkin karena

masih kental dengan adat istiadat karena hubungan kawin campur.

Kemudiann kali kita lihat saat adanya perayaan, syukuran atau kedukaan

terlebih saat imlek begitu, kami selalu mendatangi keluarga yang

merayakan, begitu juga pada saat perayaan tahun baru nasional. Semua

berbaur ”

Ketika ditanya perihal teknik pendekatan yang dilakukan ketika menjalin

relasi dengan etnik Dawan, termasuk pendapatnya tentang pembauran etnik

Tionghoa dengan etnik Dawan dalam perkawinan campuran, dengan suara yang

pelan ia menjawab dalam hal pendekatan yang dilakukannya terhadap etnik

Page 60: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

123

Dawan lebih menitik beratkan pada pendekatan secara halus terhadap kaum

perempuan etnik Dawan, hal tersebut dilakukan sesuai kapasitasnya sebagai ibu

Lurah yang mendampingi sang suami ketika bertugas pada waktu itu.

Lebih jelasnya ia menceritakan bahwa selama mendampingi suaminya ia

terlibat dalam kegiatan pembinaan masalah PKK, teknik yang digunakan juga

menggunakan pendekatan tradisional seperti penyuguhan sirih pinang, bisa

beradaptasi dengan kondisi perempuan etnik Dawan (Tidak berpendidikan dan

tidak bergaul), menggunakan bahasa Dawan (karena buta huruf). Tugas yang

dijalankan adalah pemberian pengetahuan asupan gizi yang benar, mengolah

makanan bergizi, terutama merubah pola pikir mereka yang menjadi tantangan

berat, melakukan pemberdayaan kesenian seperti kerajinan tangan dan

sebagainya, pada akhirnya hasil tersebut ia tawarkan kepada kalangan etnik

Tionghoa lainnya di Niki-Niki, ucapnya sambil tertawa.

“Misalnya pada saat mau membina ibu2 masalalah PKK ini speuloh prog

pkk, kita mesti terima dia pung penbampilan, sirih piang, akrab dengan

mereka, omong2, kalo omg bahsa Indonesia mereka tdak tahu karena org

kamung, mustibersih, bagaimana makanan yang diolah harus bersih,

makanan umbi2, seperti jantung pisang dan ubi mereka tidak makana,

karena dianggap makanan hewan, tantangannya adalah mereka

menggagap kita mengajrajkan makan makanan hewan. Tertawa...lama2

terbisasa. Membiasakan olah raga. Kesenian. Kerjainan tangan kemudai

dijual ke orang2 Tionghoa”

Terjemahannya :

“Misalnya pada saat membina ibu-ibu tentang PKK mengenai sepeuluh

program PKK, kita harus belajar menerima penampilan atau kondisi kaum

perempuan etnik Dawan,meyuguhkan sirih pinang, mengakrabkan diri

dengan mereka, ngobrol, kalo berbicara dengan bahasa Indonesia, mereka

tidak tahu karena orang buta huruf, mengajarkan hidup sehat, bagaimana

makanan yang diolah harus bersih, makanan umbi-umbi, seperti jantung

Page 61: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

124

pisang dan ubi mereka tidak makan, karena dianggap makanan hewan,

tantangannya adalah mereka menggagap kita mengajarkan mengkonsumsi

makanan hewan. Dan lama-kelamaan mereka terbiasa. Membiasakan diri

untuk berolahraga. Kesenian. Kerjainan tangan kemudiann dijual ke etnik

Tionghoa lainnya”

Perihal pendapatnya tentang pembauran etnik Tionghoa dan etnik Dawan

dalam perkawinan campuran, ia menuturkan perasaannya merasa seperti akrab

satu sama lain, mengulang pernyataan sebelumnya bahwa pembauran yang dapat

dilihat jelas pada acara-acara tertentu seperti pesta perayaan, maupun acara

kedukaan. Ia menambahkan dengan adanya pembauran ini, menciptakan suasana

harmonis diantara orang Tionghoa dengan masyarakat sekitar khususnya etnik

Dawan. Terkait perkawinan campuran tersebut, dengan adanya ikatan pernikahan

campuran antara etnik Dawan dan etnik Tionghoa justru akan semakin

mempererat kualitas hubungan yang diwujudkan ikatan jiwa gotong royong antara

kedua belah pihak, sebagai contoh jika terjadi kedukaan pada salah satu pihak

maka pihak yang lain juga turut membantu dan mengatasi kondisi dilapangan.

“Ktong ke akrab, misalnya acara perkawinan”

“Kalo bta sendiri, ya suasana harmonis diantara orang Cina dengan

masyarakat sekitar sini (Dawan/Timor) ya sebagai mantan ibu lurah, dalam

mendampingi Kung waktu itu selalu menekankan nilai toleransi dan saling

menjaga satu sama lain. Dilain hal juga kita bisal lihat dia pung contoh

nyata sa ke seperti kayak pesta2, atau acara perayaan itu, ke pesta kawin

orang cina, imlek, atau acara apa sa yang orang niki2 buat.”

“Iya, kalo soal hal itu memang su sonde bisa dipungkiri lai, ke yang kung

(suami saya) pernah bilang tadi sebelumnya to, ke lewat contoh ada

kedukaan disalah satu pihak laki perempuan, maka semua itu terlibat dalam

satu kegiatan dalam mengatasi maslah tersebut. Itu karana langkah dasar

dari jiwa gotong royong sehingga terjadi kawain campur maka lebih kuat

ikatannya.”

Page 62: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

125

Terjemahannya :

“Kami seperti merasa akrab, misalnya acara perkawinan”

“Kalo saya sendiri, ya suasana harmonis diantara orang Tionghoa dengan

masyarakat sekitar sini khususnya etnik Dawan, ya sebagai mantan ibu

lurah dalam mendampingi beliau waktu itu selalu menekankan nilai

toleransi dan saling menjaga satu sama lain. Dilain hal juga kita bisa lihat

contoh nyata seperti pesta, acara perayaan seperti pesta pernikahan orang

Tionghoa, Imlek, atau acara apa saja yang diadakan oleh orang Niki-Niki ”

“Iya, kalo soal hal itu (kualitas hubungan) memang sonde bisa dipungkiri

lagi, seperti yang dikatakan oleh suami saya pernah katakan sebelumnya

seperti contohnya ada kedukaan disalah satu pihak laki atau perempuan,

maka semua itu terlibat didalam satu kegiatan dalam mengatasi maslah

tersebut . Itu karena langkah dasar dari jiwa gotong royong sehingga

terjadi perkawinan campuran maka lebih kuat ikatannya ”

Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti, bahwa

pola komunikasi antar etnik yang terjalin antara keluarga Ibu Endang EYP

Litelnoni sebagai etnik Tionghoa Campuran dan etnik Dawan melalui hubungan

dagang yang terjalin karena hubungan kawin-mawin antara etnik Tionghoa dan

etnik Dawan, khususnya keluarga Raja Nitbani. Dengan adanya hubungan

kekeluargaan ini otomatis akan memudahkan legitimasinya secara leluasa dalam

akses dagang, maupun posisi dimata masyarakat Dawan pada umumnya. Dalam

menjalin relasi dengan sesama etnik Tionghoa berjalan cukup baik, hal ini

dipengaruhi hubungan kawin-mawin maupun perkawinan campuran antara etnik

Tionghoa dengan etnik Dawan atau sesama etnik Tionghoa itu sendiri ditambah

lagi adat istiadat etnik Tionghoa yang kental.

Page 63: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

126

Simbol Verbal Makna Simbol

Bahasa Dawan Bahasa tradisional yang menjembatani

komunikasi etnik Dawan maupun antara etnik

Dawan dengan etnik Tionghoa Niki-Niki.

Khusunya bahsa yang digunakan dalam melaukan

pendekatan terhadap kaum perempuan etnik

Dawan

Bahasa Pasar atau bahasa

melayu Kupang

Bahasa yang menjembatani komunikasi keluarga

dan sesama etnik Tionghoa.

Tabel. 16. Tabel Verbal Informan Endang EYP Litelnoni

Simbol Non-Verbal Makna Simbol

Sirih Pinang “Oko Mama” Alat penghubung, bentuk permintaan yang bersifat

sakral, ucapan terima kasih, awal membangun

relasi, alat diplomasi.

Tabel. 17. Tabel Non-Verbal Informan Endang EYP Litelnoni

Dalam pengamatan peneliti, ketika melakukan interaksi dengan sesama

etnik Tionghoa, beliau maupun keluarganya kerap kali menggunakan bahasa

Melayu Kupang dan bahasa Dawan, namun keitka berinteraksi dengan sesama

etnik Dawan baik yang mempunyai hubungan relasi keluarga maupun tidak

mereka lebih dominan menggunakan bahasa Dawan, karena bahasa Dawan sendiri

merupakan bahasa asli atau bahasa Ibu atau bahasa tradisional bagi masyarakat

Dawan. Dalam pengamatan peneliti, seperti pada saat membangun relasi atau

berinteraksi dengan etnik Dawan, beliau lebih sering menggunakan bahasa Dawan

dan sesekali menggunakan bahasa melayu Kupang dengan mereka. Disisi lain,

ketika berinteraksi dengan sesama etnik Tionghoa maupun didalam keluarganya

Page 64: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

127

beliau lebih aktif menggunakan bahasa melayu Kupang dan sering juga

menggunakan bahasa Dawan.

Penggunaan bahasa melayu pasar tersebut cukup beralasan, berdasarkan

temuan peneliti terhadap tulisan Hidayat Z.M. bahwa orang Tionghoa peranakan

pada umumnya sudah mempergunakan bahasa Melayu Pasar ini, dan sudah tidak

atau jarang sekali mempergunakan bahasa Mandarin secara sempurna. Walaupun

demikian ada diantaranya yang mengerti secara pasif yang hanya dipergunakan

sekali-kali kalau berhubungan dengan orang Tionghoa totok, atau dengan mereka

didalam keluarga dalam menghadapi orang Tua. Penggunaan bahasa melayu pasar

ini kemudian mendapat pengaruh dari bahasa Belanda. (Hidayat, 1993, hal 92).

Sedangkan berkaitan dengan teknik pendekatan dalam membangun relasi

dengan etnik Dawan, terdapat dua pendekatan yakni pendekatan secara tradisional

seperti penyuguhan sirih pinang, penggunaan bahasa Dawan dan pendekatan yang

dilakukan secara khusus terhadap kaum perempuan etnik Dawan, pada umumnya

dalam bentuk penyuluhan maupun pelatihan kerajinan tertentu. Secara verbal,

pendekatan dengan menggunakan bahasa Dawan baik dalam penyuluhan maupun

pelatihan dimaknai sebagai bentuk membangun relasi secara informal dengan

kaum perempuan etnik Dawan.

Disamping itu pendekatan secara non-verbal seperti penyuguhan sirih

pinang lebih dimaknai sebagai bentuk pendekatan tradisional dalam bentuk

diplomasi terhadap kaum perempuan. Berkaitan dengan pembautan etnik

Tionghoa dan etnik Dawan dalam bentuk perkawinan campuran, ia berpendapat

Page 65: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

128

bahwa dengan adanya hal tersebut semakin menciptakan suasana harmonis dan

terasa akrab bagi kedua etnik tersebut, disamping itu dengan adanya perkawinan

campuran ini memberi dampak positif yakni makin eratnnya kualitas hubungan

antara kedua etnik tersebut.

Informan peneliti selanjutnya adalah Leonard Hun Banamtuan (Ang Xie

Ling), berprofesi sebagai pedagang dan pemuka agama yang berumur 71 tahun.

Wawancara antara peneliti dengan beliau berlangsung pada 2 juli 2012, peneliti

bertanya mengenai bagaimana nenek moyang keluarganya membangun relasi

melalui komunikasi antar etnik dengan etnik Dawan, dengan nada santai ia

menjawab dari sudut pandang teknis bahwa secara keseluruhan hubungan

berjalan baik, dengan menggunakan bahasa Dawan yang paling dominan.

Relasi ini terjalin berkat adanya hubungan dagang yang terjalin diantara

mereka, ia menambahkan melalui hubungan dagang ini berkembang menjadi

hubungan yang cukup dekat dalam pemakaian komuditas tanah, ia mencontohkan

strategi pendekatan yang dilakukan oleh keluarganya ketika ingin membeli

sebidang tanah dengan biaya yang sangat sedikit, namun hal tersebut baru

terpenuhi jika memiliki kualifikasi kedekatan kekerabatan tertentu.

Ketika disinggung mengenai membangun relasi dengan sesama etnik

Tionghoa serta didalam keluarga, ia menjawab bahwa hubungan dengan anggota

keluarga berjalan cukup baik, terutama dari orang tua kepada anak, didalam

keluarganya lebih banyak menggunakan bahasa Dawan dan bahasa melayu

Kupang. Begitu pun dengan pergaulannya dengan sesama etnik Tionghoa berjalan

Page 66: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

129

cukup baik, bahasa yang digunakan lebih dominan menggunakan bahasa Dawan,

ia juga menggunakan bahasa Indonesia, namun menurutnya menggunakan bahasa

Indonesia terasa kurang akrab, bahasa Dawan merupakan bahasa yang bisa

mengakrabkan hubungan tidak hanya diperuntukan bagi etnik Dawan melainkan

bagi sesama etnik Tionghoa lainnya.

Dia menambahkan menggunakan bahasa Dawan terkesan merendahkan

diri atau tidak egois, dia mencontohkan pengalamannya ketika menyelesaikan

masalah dengan seseorang dari etnik Dawan dengan menggunakan bahasa Dawan,

masalah tersebut berhasil diatasi ketimbang menggunakan bahasa Indonesia yang

terkesan “sombong ”bagi sebagian etnik Dawan.

“Artinya baik, hubungan baik pake bahasa Dawan, ya biasa ketemu ya

selamat terkecuali seperti kalo meminta sesuatu adatnya orang Timor disini

harus angkat Uang, jadi seperti mau butuh tanah, tanah untuk buat rumah

angkat uang 10 rupiah dan 1 botol sophi (arak) dia (orang timor) bisa kasih

tanah satu hektar ya.”

“Yaa...saya kira pergaulan cukup baik dari orang tua bagaimana ya sampai

ke anak juga begitu, ya pakai bahasa Dawan. Dan menggunkanan bahasa

kupang begitu masih ada tetap pake bta, lu, dia dengan sesama etnis

Tionghoa juga pake bahasa daerah dan juga menjadi bahasa yang biasa

begitu.”

“Ya pake bahsa Indonesia bahasa Dawan, tetapi lebih akrab pake bahsa

Dawan, keran bahasa Dawan ini sangat merendahkan, terlalu

merendahkan diri begitu seperti pembawaan dirinya rendah betul, jadi

umpama ada masalah jadi bisa diterima, tetapi misalnya kita pake bahasa

Indonesia mereka anggap tidak betul. Kita dianggap sombong, karna

bahasa Dawan dianggap lebih gampang. Tetapi bahasa indoensia susah

dan dianggap sombong, dia seperto orang hebat2 sa.”

“Kalo awal2 ya pake bahsa Indoensia jika baru kenal, tapi kalo su kenal ya

pake bahsa daerah, on me begitu, kermana , bagaimana.”

Page 67: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

130

Terjemahannya :

“Artinya baik, hubungan baik menggunakan bahasa Dawan, ya biasa kalo

bertemu memberi selamat terkecuali seperti kalo meminta sesuatu, adatnya

orang Timor disini harus istilahnya “angkat uang”, jadi seperti mau

membutuhkan sebidang tanah, maka gunakan tradisi angkat uang 10

rupiah dan 1 botol sophi (arak), dia (orang timor) bisa kasih tanah satu

hektar.”

“Ya, saya kira pergaulan cukup baik, bagaimana dari orang tua kepada

anak juga begitu, ya menggunakan bahasa Dawan. Dan menggunAkanan

bahasa melayu Kupang begitu masih ada tetap pake kata : bta, lu, dia ,

begitu pun dengan sesama etnis Tionghoa juga pake bahasa Dawan dan

juga menjadi bahasa melayu Kupang begitu.”

“Ya menggunakan bahasa Indonesia, bahasa Dawan, tetapi lebih tarasa

akrab menggunakan bahasa Dawan, karena bahasa Dawan ini sangat

merendahkan, terlalu merendahkan diri begitu seperti pembawaan dirinya

rendah betul, jadi misalkan ada masalah kemudiann bisa diselesaikan,

tetapi misalnya kita menggunakan bahasa Indonesia, mereka menganggap

tidak beres. Kita dianggap sombong, karena bahasa Dawan dianggap lebih

gampang. Tetapi bahasa Indoensia susah dan dianggap sombong, dia

seperti orang besar atau pejabat saja.”

“Kalo pada awal perkenalan menggunakan bahasa Indonesia, tetapi jika

sudah kenal dekat baru mengunakan bahasa Dawan atau melayu Kupang”

Perihal strategi pendekatan terhadap etnik Dawan serta pendapatnya

mengenai pembauran etnik Tionghoa dan etnik Dawan dalam perkawinan

campuran, ia menjawab dengan nada serius bahwa dalam melakukan pendekatan

terhadap etnik Dawan misalnya dalam pembelian tanah untuk pembangunan

rumahnya menggunakan pendekatan tradisional seperti prosesi “angkat uang”

atau dalam bahasa Dawan diistilahkan Tait Noni dan Tait Oko Mama

(penyuguhan sirih pinang) dan pemberian sopi (arak).

Baginya pemberian ini secara kuantitas memang terlalu kecil, namun jika

ditelisik dalam perspektif adat setempat, hal ini mempunyai nilai yang besar untuk

Page 68: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

131

ukuran adat etnik Dawan. Ia menambahkan bahwa uang sepuluh rupiah yang

sekarang setara dengan seribu rupiah, diibaratkan sebagai kata permintaan.

Sedangkan sirih pinang atau oko mama diibaratkan sebagai penopang dari

permintaan tersebut, ucap menyambung pengalamannya beberapa puluh tahun

lalu.

Berkaitan dengan pembauran etnik Tionghoa dan etnik Dawan dalam

perkawinan campuran, ia menjawab dengan ringkas bahwa hal tersebut cukup

baik, dan artinya ada hubungan baik dan ia merasa senang, hal tersebut tidaklah

mengherankan bagi peneliti sebab beliau sendiri merupakan keturunan Tionghoa

campuran. Kemudiann, menyoal tentang pendapatnya tentang kualitas hubungan

perkawinan campuran etnik Tionghoa dan etnik Dawan, bahwa hubungan tersebut

dengan adanya hubungan perkawinan campuran ini, akan semakin mempererat

hubungan kedua pihak, disamping itu ia mencontohkan dirinya sebagai bagian

dari perkawinan campuran tersebut.

Ketika dia berada dilingkungan etnik Dawan, hampir semua orang

memanggil namanya dan tidak ada satu pun istilah atau panggilan Cina yang

dirasa cukup rasis, dan semua perbedaan tersebut hilang dan dia sendiri tidak

mendapatkan perlakuan khusus dimasyarakat. Namun yang menarik adalah

panggilan yang ditunjukan kepadanya adalah istilah kase nem yang artinya orang

berpendidikan atau orang dari kalangan tinggi, namun dari hasil informasi yang

peneliti peroleh kase atau kase nem lebih ditunjukan kepada kaum etnik Tionghoa

yang derajatnya setara dengan kaum bangsawan namun tidak bermakna rasial.

Page 69: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

132

“Ya misalnya kita mau tanah utk buat rumah, adat disini musti istilah

angakt uang deng sophi, bahasa Timornay bilang Tait noni/Tait Oko

(tempat sirih), biar kecil tetapi terlalu besar utk ukuran orang timor itu”

“Oh pernah, ya kadang kala saat kita mau buat rumah pertama kasih tek

oko mama kasih taruh tempat sirih dengan uang 10 rupiah gitu, Tapi kalo

sekarang ukurannya ya seribu rupiah. (uang dinibaratkan sebagai kata2

permintaan, tempat sirih sebagai penopang). Nilai uang tidak diukur, tetapi

niat permintaan yang diukur. Iya semua diTimor seperti itu, bukan hanya

kung tetapi semua orang.”

“Iya kasih 10 rupiah dan dapat tanah 1 hektar dan tidak pernah digugat, itu

kelebihan oraqng timor. Mereka itu hanya pada waktu minta tanah utk

tinggal dikasih uang 10 rupiah ke dulu 1 sen dengan 1 botol sophi dia kasih

tanah dengan sirih pinag, nah itu tanda terima, jadi itu sampai anaknya

juga tidak bisa ambil, kalo dia punya anak ambil mati seperti sebuah

sumpah, jadi seperti sebuah hukum adat.”

“Baik, artinya ada hubungan baik. Dan saya senang”

“Iya, erat hubungan. Dengan perkawinan campuran ini hubungan lebih

erat, contoh keluarga saya. Karena ketikaa kita sudah kwin campur ini,

mereka anggap kita ini sama tdk ada perbedaan, hilang kata cina.

Sebaliknya juga begitu. Namun perbedaanya, ya dong panggil kung kase,

karna masih ada darah cina. Kase nem. Perbedaanya dong panggil kase

nem, itu artinya seperti orang sekolah itu datang, suatu pengenalan tidak

berbau ras. Artinya pengenalan kepada orang timor tapi yang kwin

campuran.”

Terjemahannya :

“Ya misalnya kita mau meminta atau mebeli sebidang tanah untuk

dibangun sebuah rumah, aturan adat disini mengharuskan menggunakan

istilah angkat uang dengan penyuguhan arak (sophi), istilah bahasa

Dawannya adalah Tait noni dan Tait Oko (tempat sirih pinang), biar kecil

ukuran harganya tetapi terlalu besar untuk ukuran orang Timor itu”

“Oh pernah, ya kadang kala saat kita mau membangun rumah, pertama

berikan tek oko mama, taruh tempat sirih dengan uang 10 rupiah gitu, Tapi

kalo sekarang ukurannya ya seribu rupiah. (uang dinibaratkan sebagai

kata2 permintaan, tempat sirih sebagai penopang). Nilai uang tidak diukur,

tetapi niat permintaan yang diukur. Iya semua di Timor menggunakan hal

seperti itu, bukan hanya saya tetapi semua orang etnik Tionghoa dan

Dawan.”

Page 70: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

133

“Iya berikan 10 rupiah dan dapat tanah 1 hektar dan tidak pernah digugat,

itu kelebihan orang Timor (etnik Dawan). Mereka itu hanya pada waktu

minta tanah utk tinggal dikasih uang 10 rupiah, dengan 1 botol arak , dia

berikan tanah, nah itu sebagai tanda terima, jadi itu sampai anaknya juga

tidak bisa mengambil ahli tanah tersebut, kalo anaknya mengambil akan

terkena kutukan, bisa mendapat ajal, seperti sebuah sumpah, jadi seperti

sebuah hukum adat.”

“Baik, artinya ada hubungan baik. Dan saya senang”

“Iya, erat hubungan. Dengan perkawinan campuran ini hubungan lebih

erat, contoh keluarga saya. Karena ketika kita sudah kawin campur ini,

mereka anggap kita ini sama tidak ada beda dengan mereka, hilang kata

Cina. Sebaliknya juga begitu. Namun perbedaanya, ya mereka (etnik

Dawan) memanggil saya dengan istilah kase, karena masih ada keturunan

darah Cina/Tionghoa. Kase nem. Perbedaanya mereka memanggil kase

nem, itu artinya seperti orang sekolah itu datang, suatu pengenalan tidak

berbau ras. Artinya pengenalan kepada orang timor tapi yang sudah kawin

campuran.

Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti, bahwa

pola komunikasi antar etnik yang terjalin antara keluarga bapak Leonard Hun

Banamtuan, sebagai etnik Tionghoa Campuran dan etnik Dawan melalui

hubungan dagang yang terjalin karena hubungan kawin-mawin antara etnik

Tionghoa dan etnik Dawan khususnya keluarga Raja Nope, bahasa yang

digunakan pada saat itu adalah bahasa Dawan yang mampu menjembatani

komunikasi antar etnik tersebut.

Bahasa Dawan secara verbal disimbolkan sebagai bahasa yang

menjembatani keakraban relasi antara etnik Dawan dan etnik Tionghoa, sekaligus

sebagai salah satu bahasa yang digunakan dalam pergaulan sesama etnik

Tionghoa maupun dalam keluarganya disamping penggunaan bahasa melayu

Kupang. Bahasa Dawan juga disimbolkan secara verbal sebagai bahasa yang

Page 71: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

134

bersifat merendahkan diri dan tidak terkesan egois dalam pandangan etnik Dawan.

Bahasa Dawan sendiri digunakan beliau ketika berinteraksi dan transaksi dagang

dengan masyarakat setempat, disamping menggunakan bahasa melayu Kupang.

Bahasa melayu Kupang sering digunakannya saat menjalani profesi sebagai

Pendeta dalam melayani kegiatan rohani di gerejanya. Disisi lain, dalam

berinteraksi dengan sesama etnik Tionghoa dan didalam lingkungan keluarga

beliau lebih dominan menggunakan bahasa melayu Kupang, namun jarang terlihat

menggunakan bahasa Dawan kecuali terhadap para pegawainya.

Penggunaan bahasa melayu pasar tersebut cukup beralasan, berdasarkan

temuan peneliti terhadap tulisan Hidayat Z.M. bahwa orang Tionghoa peranakan

pada umumnya sudah mempergunakan bahasa Melayu Pasar ini, dan sudah tidak

atau jarang sekali mempergunakan bahasa Mandarin secara sempurna. Walaupun

demikian ada diantaranya yang mengerti secara pasif yang hanya dipergunakan

sekali-kali kalau berhubungan dengan orang Tionghoa totok, atau dengan mereka

didalam keluarga dalam menghadapi orang Tua. Penggunaan bahasa melayu pasar

ini kemudian mendapat pengaruh dari bahasa Belanda. (Hidayat, 1993, hal 92).

Berkaitan dengan strategi pendekatan terhadap etnik Dawan, ia melakukan

beberapa teknik pendekatan secara tradisional yang kebanyakan dilakukan oleh

kalangan etnik Tionghoa lainnya maupun etnik Dawan pada umumnya sebagai

bentuk membangun relasi, dan alat diplomasi, hal yang dilakukan selain

menggunakan bahasa Dawan adalah proses angkat uang atau nama lainnya adalah

tait noni yang berupa uang seribu rupiah, penyuguhan sirih pinang atau tait oko

mama, dan pemberian arak atau sophi.

Page 72: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

135

Secara simbol non-verbal prosesi angkat uang atau tait noni disimbolkan

sebagai bentuk kata permintaan sedangkan oko mama maupun arak diibaratkan

sebagai bentuk penopang dari permintaan tersebut. Secara harafiah pemberian ini

secara kuantitas memang terlalu kecil, namun jika ditelisik dalam perspektif adat

setempat ini mempunyai nilai yang besar untuk ukuran adat etnik Dawan

setempat.

Simbol Verbal Makna Simbol

Bahasa Dawan Bahasa tradisional yang menjembatani keakraban

komunikasi etnik Dawan maupun antara etnik

Dawan dengan etnik Tionghoa Niki-Niki.

Khusunya bahasa yang digunakan sebagai alat

pendekatan dalam diplomasi etnik Dawan

Bahasa Pasar atau bahasa

melayu Kupang

Bahasa yang menjembatani komunikasi keluarga

dan sesama etnik Tionghoa di Niki-Niki.

Kase Nem Istilah atau panggilan terhadap orang

berpendidikan atau orang dari kalangan tinggi,

atau ditunjukan kepada kaum etnik Tionghoa yang

derajatnya setara dengan kaum bangsawan namun

tidak bermakna rasial.

Tabel. 18. Tabel Verbal Informan Leonard Hun Banatuan

Page 73: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

136

Simbol Non-Verbal Makna Simbol

Sirih Pinang “Oko Mama”

/ Tait oko mama

Alat penghubung, bentuk permintaan yang bersifat

sakral, ucapan terima kasih, awal membangun

relasi, alat diplomasi. Bentuk penopang dari

permintaan.

Angkat uang, tai noni,

uang.

Bentuk kata permintaan

Arak atau sophi Bentuk penopang dari permintaan

Tabel. 19. Tabel Non-Verbal Informan Leonard Hun Banatuan

Berkaitan dengan pembauran etnik Tionghoa dan etnik Dawan dalam

perkawinan campuran serta kualitas hubungannya, bahwa dengan adanya

perkawinan campuran ini dapat menjembatani hubungan baik kedua etnik

tersebut. Tidaklah mengherankan bagi peneliti sebab bapak Leonard sendiri

merupakan keturunan Tionghoa campuran. Kemudiann, menyoal tentang

pendapatnya tentang kualitas hubungan perkawinan campuran etnik Tionghoa dan

etnik Dawan, bahwa hubungan tersebut dengan adanya hubungan perkawinan

campuran ini akan semakin mempererat hubungan kedua pihak.

Dalam ruang lingkup etnik Dawan bapak Leonard sendiri dilingkungan

etnik Dawan tidak mendapatkan perlakuan khusus maupun diskriminasi atau

rasisme. Namun yang menarik adalah panggilan yang ditunjukan kepadanya

adalah istilah kase nem, istilah ini secara disimbolkan secara verbal yang artinya

orang berpendidikan atau orang dari kalangan tinggi, namun dari hasil informasi

yang peneliti peroleh kase atau kase nem lebih ditunjukan kepada kaum etnik

Tionghoa yang derajatnya setara dengan kaum bangsawan namun tidak bermakna

rasial.

Page 74: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

137

Informan peneliti selanjutnya adalah bapak Syarifudin Un (Wun Jun Pit),

yang seorang Tionghoa Muslim di Niki-Niki. Beliau berprofesi sebagai seorang

kontraktor yang berumur 62 tahun, peneliti menanyakan perihal bagaimana

bagaimana nenek moyang keluarganya membangun relasi melalui komunikasi

antar etnik dengan etnik Dawan, dengan pembawaan tenang ia menjawab bahwa

jalinan relasi yang terbangun melalui hubungan dagang yang dibangun oleh para

leluhur keluarganya sejak ratusan tahun lalu. Ia menjelaskan bahwa kakeknya

serta nenek buyutnya, yang berprofesi sebagai mantri Cendana sudah menjalin

relasi dengan masyarakat setempat di Niki-Niki, sehingga lambat laun mereka

sudah mampu berbaur atau menyatu dengan masyarakat setempat tanpa ada

hambatan sama sekali, hal tersebut terjadi karena leluhurnya sudah menikahi

keluarga bangsawan Raja Nope.

Berkaitan dengan membangun relasi keluarganya dengan sesama etnik

Tionghoa baik yang muslim dan yang non-muslim, ia menjelaskan bahwa relasi

yang terjalin selama ini cukup baik hal tersebut diwujudkan dalam bentuk

menghadiri pada acara-acara perayaan maupun kedukaan dalam keluarga taupun

kerabat, baik mereka yang sesama muslim maupun yang nasrani, ia juga

menakankan bahwa perbedaan agama tidak menjadi masalah atau hal yang

memisahkan. Ia menambahkan bahwa dalam lingkup pergaulan keluarganya,

dengan sesama etnik Tionghoa dan masyarakat Dawan sangat memprioritaskan

nilai kekeluargaan dan kebersamaan, sedangkan mengenai identitas agama

menjadi nomor dua. Dari pengematan peneliti, dalam menjalin hubungan

komunikasi dengan sesama etnik Tionghoa dan anggota keluarga, beliau lebih

Page 75: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

138

cenderung menggunakan bahasa melayu Kupang, dibandingkan menggunakan

bahasa Dawan. Sedangkan didalam komunitas masyarakat ia lebih cenderung

menggunakan bahasa Dawan dan bahasa melayu Kupang.

Ia menceritakan pengalamanya bagaimana ia membangun hubungan

toleransi antar umat beragama, ia mengungkapkan bahwa tahun 2011 kemarin ia

sempat menjadi panitia natal di salah satu gereja Katholik, hal ini bukan menjadi

kesengajaan, karena ia sendiri sangat akrab dan dikenal cukup supel dengan

semua kalangan masyarakat ditambah lagi ketika salah satu keponakannya yang

menikah dengan keluarga bangsawan setempat ia pun dimasukan dalam salah satu

panitia acara yang mayoritasnya beragama Kristen.

Berkaitan dengan memasuki bulan suci Ramadhan, ia menjelaskan bahwa

suasana dan atmosfir lingkungan khususnya kalangan masyarakat Niki-Niki yang

mayoritasnya beragama Nasrani memberi dukungan dan bersikap toleran terhadap

keluarganya menjalang bulan Ramadhan, mulai dari acara buka buka puasa, sahur

dan Idul Fitri. Ia menambahkan bahwa dukungan tersebut tidak hanya berupa

ucapan selamat, malainkan berupa bentuk perhatian nyata seperti merayakan Idul

Fitri bersama kalangan tokoh masyarakat, agama dan masyarakat lainnya,

ucapnya dengan rasa bangga.

“Khan dulu khan dong penyambung ini, ini apa..bta pung kung dolu

itu...dong bajual (berdagang) dagang2 dipasar, kung (kakek) dari btong

(kami) pung(punya) po (nenek), dong mantri cendana, jadi dong dulu masuk

keluar kampung tuh dagang cendana jadi dong menyatu dengan masyarakat

ini sejak beratusan tahun yang lalu dan snd ada hambatan.”

“Malahh...ya biasa ktong kebanyakan apa...ke aini..misalnya ktong selalu

ada hadir pada acara keluarga ehh..apa ke tiap2 ini acara di nasrani btong

Page 76: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

139

semua kumpul pi sana, acara di muslim btong bakumpul disini, jadi dimana

sa...btong bukan hanya sodara sa..artinya btong dimana-mana, yang jelas

agama ini nomor dua, jadi malah btong maso panitia, misalnya baru2 bta

pung adai pung anak nikah di sonaf, bta yang ketua panitia padahal btong

dari muslim, bta jadi ketua panitia btong baator disana, pas natal juga

ktong maso panitia juga, jadi toleransi terpelihara.”

“Mendukung sekali, disini bulan puasa mendukung sekali, biasanya pas

lebaran ju begitu, pas lebaran disini semua bakumpul baik dari sodara

nasrani disini, begitu pun juga sama ke tahun baru atau imlek btong

rayakan bersama.”

“Malah itu lebeh baik lagi, jadi ala dari situ (Tionghoa non muslim) jadi pi

sini (Tionghoa muslim), jadi..itu tetap ktong akomodatif “

Terjemahannya :

“Pada zaman dulu mereka ini dinistilahkan penyambung, namanya

apa.kakek saya itu dulu pedagang, mereka berdagang di pasar, kakek dari

nenek kami, mereka adalah pedagang kayu cendana, jadi mereka dulu

masuk-keluar kampung ke kampung berdagang cendana jadi mereka sudah

menyatu dengan masyarakat Dawan sejak beratusan tahun yang lalu dan

tidak ada hambatan.”

“Malahan ya biasanya kami kebanyakan seperti, misalnya kami selalu

hadir pada acara keluarga, setiap ada acara di keluarga nasrani, kami

semua selalu berkumpul, acara di keluarga muslim selalu berkumpul di

keluarga kami disini, jadi dimana saja, kita bukan hanya sodara saja,

artinya kita dimana-mana ya fleksibel, yang jelas agama ini nomor dua,

jadi malahan saya bergabung di panitia, misalnya acara baru-baru

keponakan saya menikah di sonaf, saya yang diangkat jadi ketua panitia

padahal saya dari muslim, saya jadi ketua panitia kami semua mengatur

disana, pas acara natal juga saya masuk jadi panitia juga, jadi toleransi

terpelihara.”

“Suasana dan lingkungan mendukung sekali, disini bulan puasa mendukung

sekali, biasanya pas musim lebaran juga begitu, pas lebaran disini semua

bakumpul baik dari saudara nasrani disini, begitu pun juga sama ke tahun

baru atau imlek btong rayakan bersama.”

“Malahan itu lebih baik lagi, jadi dari situ (Tionghoa non muslim) jadi ke

sini (Tionghoa muslim), jadi..itu tetap kita akomodatif “

Page 77: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

140

Berbicara mengenai strategi pendekatan yang dilakukan oleh etnik

Tionghoa terhadap etnik Dawan, ia menjawab dengan jawaban yang cukup formal

yakni rata-rata yang dilakukannya adalah mengetahui hukum adat yang berlaku

dikalangan etnik Dawan, seperti penyuguhan sirih pinang, menggunakan bahasa

Dawan, dan lain sebagainya. Baginya yang paling penting dari semua pendekatan

tradisonal ini adalah memahami aturan adat di masyarakat Dawan, agar dapat

saling memiliki satu sama lain, pada prinsipnya ia menjabarkan seperti budaya

tegur sapa, dan lain sebagainya, tandasnya tanpa mau merinci lebih jelas.

Berhubungan dengan pembauran etnik Tionghoa dan etnik Dawan dalam

perkawinan campuran, serta kualitas hubungan terkait perkawinan campuran

antara kedua etnik tersebut, menurut pendapatnya semua hal tersebut bergantung

dari masing-masing pribadi. Ia merinci bahwa setiap etnik mempunyai aturan

sendiri-sendiri, tetapi tidak ada perbedaan yang mencolok lagi diantara kedua

etnik tersebut, walaupun masing-masing etnik mempunyai budaya tersendiri,

hingga saat ini semua etnik antara Tionghoa dan Dawan pun sudah menyatu tanpa

ada perbedaan. Perihal kualitas hubungan menurutnya semua itu bersifat relatif

dari masing-masing pihak, prinsipnya adalah menghormati dan menaati aturan

budaya masing-masing sehingga kualitas hubungan tersebut akan erat.

“Ktong pung gaya pendekatan kebanyakan btong tau adat masyarakat

orang kampung disini btong su tau, jadi btong masuk juga secara halus

sehingga artinya bagini, budaya adat ktong disini ini, su memiliki begitu

jadi menyatu dengan ini, misalnya ktong dengn dong mau sapa orang atau

apa, ktong musti tau aturan yang mana jadi ktong dengan dong itu ktong

tau dia pung cara, kalo orang ini khan ada macam2 masyarakat ini ada

turunan bangsawan, ada masyarakat biasa, rasa mau sapa tegur ada dia

punya aturan. Artinya untuk adat ktong disini kaya adat lahh...jadi btong

bisa menyatu dengan semua.”

Page 78: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

141

“bagini..ke misalnya masing2 tempat ada dia pung aturan amasing2,

macam orang Indonesia dia aturannya dia harus sekali ktong disini orang

bugis pendatang yang muslim2 itu dorang akhnya ikut ktong pung budaya

dsini, sekitar sekarang yang 2-30 tahun lalu yang dong masuk itu dong

muslim itu malah dong su menyatu dengan ktong tetapi dong su tau cara

bergaul dengan masyarakat disini akhirnya dong su jadi satu bagian

dengan btong, jadi..dong hidup dengan tong su satu snd ada punya

perbedaan etnis su tidak ada lagi.”

“Ahh bagini..kalo kawin biasanya kalo bukan2...kalo erat tidak erat itu

semua datang dari ktong orang disini (relatif), misalnya ktong kwin dengan

orang disini dan ktong tidak pandang dong punya budaya sendiri ktong

tidak dianggap, tapi klo btong hormati dong naanati dong akan anggap

ktong begitu jadi dong dipandang begitu.. jadi semua datang dari masing-

masing pihak.”

Terjemahannya :

“Gaya pendekatan kami kebanyakan adalah paham adat masyarakat orang

kampung disini (etnik Dawan), jadi kami masuk juga secara halus sehingga

artinya bagini, budaya adat kami disini ini, sudah saling memiliki begitu

jadi menyatu dengan ini (lingkungan), misalnya kita dengan mereka,jika

kita menginginkan sesuatu, kita mesti tahu aturan adat yang mana, jadi

dengan mereka (etnik Dawan) itu kita tahu cara pendekatan, kalo orang

disini ada macam-macam, masyarakat ini ada turunan bangsawan, ada

masyarakat biasa, rasa mau sapa tegur ada aturan mainnya. Artinya untuk

adat disini sangat kaya adat , jadi kita bisa menyatu dengan semua.”

“Bagini.. misalnya masing-masing tempat ada aturan masing-masing,

macam orang Indonesia, dia aturannya dia harus sekali taat, kita disini

orang bugis pendatang yang muslim-muslim itu mereka akhirnya ikut

budaya kami disini, sekitar sekarang yang 2-30 tahun lalu yang mereka

masuk itu, mereka yang kaum muslim itu malahan mereka sudah menyatu

dengan kita tetapi mereka sudah tahu cara bergaul dengan masyarakat

disini akhirnya mereka sudah jadi satu bagian dengan kita, jadi..mereka

hidup dengan kita sudah satu yidak ada perbedaan etnis su tidak ada lagi.”

“Ahh bagini..kalo kawin campur biasanya kalo erat tidak erat itu semua

datang dari pribadi orang disini (relatif), misalnya kita menikahi dengan

orang disini dan kita tidak hotmat budaya mereka sendiri, kita tidak

dianggap atau dihormati, tapi kalo kita menghormati budaya mereka,

mereka akan anggap kita menghormati begitu.. jadi semua datang dari

masing-masing pihak.”

Page 79: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

142

Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti, bahwa

pola komunikasi antar etnik yang terjalin antara keluarga bapak Syarifudin Un

sebagai etnik Tionghoa campuran dan etnik Dawan melalui hubungan dagang,

hubungan yang terjalin ini dkarenakan pengaruh kawin campur antara etnik

Tionghoa dan etnik Dawan khususnya dari keluarga bangsawan. Sedangkan

dalam pengamatan peneliti, ketika menjalin relasi dengan sesama etnik Tionghoa

baik yang sesama muslim maupun non-muslim serta didalam keluarganya, beliau

lebih cenderung menggunakan bahasa melayu Kupang ketimbang menggunakan

bahasa Dawan.

Penggunaan bahasa melayu pasar tersebut cukup beralasan, berdasarkan

temuan peneliti terhadap tulisan Hidayat Z.M. bahwa orang Tionghoa peranakan

pada umumnya sudah mempergunakan bahasa Melayu Pasar ini, dan sudah tidak

atau jarang sekali mempergunakan bahasa Mandarin secara sempurna. Walaupun

demikian ada diantaranya yang mengerti secara pasif yang hanya dipergunakan

sekali-kali kalau berhubungan dengan orang Tionghoa totok atau dengan mereka

didalam keluarga dalam menghadapi orang Tua. Penggunaan bahasa melayu pasar

ini kemudian mendapat pengaruh dari bahasa Belanda. (Hidayat, 1993, hal 92).

Sedangkan dilingkungan masyarakat Dawan sendiri penggunaan bahasa

Dawan lebih mendominasi ketimbang bahasa melayu Kupang, hal tersebut terlihat

ketika beliau berinteraksi dengan para karyawan diperusahaannya yang rata-rata

berasal dari etnik Dawan, hal serupa juga terlihat ketika ia berinteraksi dengan

para tetangga atau masyarakat etnik Dawan disekitar lingkungannya. Pada

prinsipnya ia mengakui bahwa jalinan relasi selama ini berjalan cukup baik dan

Page 80: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

143

dalam tindakan nyata yakni menghadiri acara-acara perayaan baik dari kalangan

muslim maupun non-muslim, disamping itu dalam ruang lingkup pergaulannya

yang diutamakan adalah nilai kebersamaan dan kekeluargaan. Sedangkan

perbedaan identitas agama dinomorduakan dalam pergaulannya, sehingga

menurutnya rasa toleransi antarumat beragama dapat tercipta denga baik serta

adanya saling mendukung diantara mereka dalam contoh konkrit.

Simbol Verbal Makna Simbol

Bahasa Dawan Bahasa tradisional yang menjembatani

komunikasi etnik Dawan maupun antara etnik

Dawan dengan etnik Tionghoa Niki-Niki.

Khusunya bahasa yang digunakan sebagai alat

pendekatan dengan etnik Dawan

Bahasa Pasar atau bahasa

melayu Kupang

Bahasa yang menjembatani komunikasi keluarga

dan sesama etnik Tionghoa di Niki-Niki.

Tabel. 20. Tabel Verbal Informan Syarifudin Un

Dalam ruang lingkup strategi pendekatan terhadap etnik Dawan oleh etnik

Tionghoa, bahwa pada dasarnya semua itu bermuara pada bagaimana setiap pihak

memahami aturan adat yang berlaku, termasuk didalamnya penggunaan

pendekatan secara tradisional yang menjadi adat masyarakat Dawan pada

umumnya seperti penyuguhan sirih pinang, dan menggunakan bahasa Dawan

ketika berinteraksi. Sedangkan mengenai pembauran etnik Tionghoa dengan etnik

Dawan dalam perkawinan campuran tersebut, menurutnya cukup baik walaupun

pada prinsipnya bergantung kepada masing-masing etnik.

Page 81: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

144

Disamping itu setiap etnik mempunyai ciri budaya tersendiri, tidak ada

perbedaan yang mencolok dari kedua budaya tersebut, karena sudah ada

pembauran antara etnik Tionghoa dan etnik Dawan. Sedangkan kualitas hubungan

dalam perkawinan campuran tersebut, kualitas hubungan menurutnya semua itu

bersifat relatif dari masing-masing pihak, prinsipnya adalah menghormati dan

menaati aturan budaya masing-masing, sehingga kualitas hubungan tersebut akan

erat.

Informan peneliti yang terakhir adalah Herman Carel Litelnoni (Lie Hok

Kie), yang merupakan pensiunan PNS Kasub.Sospol Pemkab TTS berumur 69

tahun. Beliau merupakan keponakan dari bapak John EE Litelnoni, peneliti

menanyakan perihal bagaimana bagaimana nenek moyang keluarganya

membangun relasi melalui komunikasi antar etnik dengan etnik Dawan. Ia

menjawab bahwa keluarganya membangun hubungan baik dengan masyarakat

Dawan setempat, hubungan baik ini terjalin melalui ayahnya yang berprofesi

sebagai kapitan Pemerintah Hindia Belanda atau yang biasanya disebut petugas

penagih pajak. Jalinan relasi ini terbangun secara rutin ketika ayahnya selalu

mengadakan perjalanan keliling kampung untuk menarik pajak dari setiap vetor

(setingkat kecamatan), sebagai tanda untuk melakukan penarikan pajak ayahnya

selalu melakukan ritual koak atau cara berteriak dengan nada khas tertentu untuk

mengumpulkan tiap camat dari vetor masing-masing.

Disamping melakukan penarikan pajak, ayahnya juga menjalin relasi

dengan warga vetor setempat, berinteraksi dengan menggunakan bahasa Dawan

dan sesekali berbicara menggunakan bahasa Belanda kepada kalangan kaum

Page 82: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

145

bangsawan yang bisa bebahasa Belanda. Menurutnya rasa akrab dan jalinan relasi

yang baik antara ayahnya dengan warga vetor setempat bukan tanpa alasan,

ayahnya sendiri merupakan keturunan bangsawan dari keluarga Raja Telnoni dan

secara fisik ayahnya sudah menyerupai kalangan bangsawan setempat walaupun

masih menyisakan roman wajah khas keturunan Tionghoa.

Perihal menjalin relasi dengan sesama etnik Tionghoa maupun didalam

keluarga, ia menjelaskan bahwa dikarenakan ayahnya yang sudah berstatus

pegawai negeri pasca kemerdekaan Republik Indonesia, maka pembauran maupun

jalinan relasi mereka tidak ada masalah, mereka sendiri didalam keluarga selalu

menggunakan bahasa Dawan maupu bahasa Indonesia ketika berinteraksi dengan

dengan etnik Tionghoa maupun etnik Dawan. Disisi lain ia mengakui bahwa

karena merupakan Tionghoa keturunan kawin campur, sering keluarganya

dianggap sebagai kaum “fan-kuy” dalam bahasa Mandarin, atau etnik Pribumi

sama seperti etnik Dawan lainnya oleh sebagian etnik Tionghoa. Dari hasil

keterangan yang diperoleh peneliti hal ini disebabkan karena selain merupakan

keturunan Tionghoa peranakan campuran, profesi ayahnya yang berkerja sebagai

kapitan atau mengabdi bagi pemerintah sering dipandang miring oleh kalangan

etnik Tionghoa yang mayoritasnya bekerja sebagai pedagang.

“Dia ada hubungan baik dengan masyarakat waktu itu karna bapa tua juga

ikut pajak, tagih pajak itu waktu itu, jadi tiap kampung itu, jadi orang

kampung dong itu kenal bapa tua, dia seorang kapitan, jadi pmenagih ke

setiap vetor, sekranagng kecmatan, cara berkomunikasinya pada waktu itu

seperti koak (cara berteriak dengan nada khas tertentu), koak tuh berteriak

dari sini pi situ, karna dulu tidak ada alat pengeras suara, koak bermasud

menandakan bahwa ada orang pemerintah yang datang, dan semua orang

segera berkumpul.”

Page 83: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

146

“Dulu bapa tua naik kuda, karana bapa tua badang besar (bongsor), jadi

orang yang tagih pajak ini taruh uang logam sen di karung yang biasa

diduduki penunggang kuda, jadi kasih masuk di karung yang dibuat dari

selimut seolah-olah pundi2, jadi orang sdn tau ada uang atau apa gt”

“Karna waktu itu bapa su pegawai negeri e, jadi btong pung berbaur su

tidak ada masalah, malah btong yang di orang Tionghoa itu masih

dianggap fan kui (pribumi), kalo interaksi pake bahasa Dawan dan

Indonesia.”

“Sama baik, artinya dong pikir bahwa , nenek, bapa pung mama orang

Rote, bapa pung, bai pung mama orang timor, telnoli, yang trunan raja.”

Terjemahannya :

“Dia ada hubungan baik dengan masyarakat waktu itu karena dia juga ikut

penagih pajak itu waktu itu, jadi setiap orang dikampung itu sudah

mengenal ayah saya, dia seorang kapitan, jadi penagih ke setiap vetor

(kecamatan), sekarang kecamatan, cara berkomunikasinya pada waktu itu

seperti koak (cara berteriak dengan nada khas tertentu), koak dari sana ke

situ, karena dulu tidak ada alat pengeras suara, koak bermaksud

menandakan bahwa ada orang pemerintah yang datang, dan semua orang

segera berkumpul.”

“Dulu ayah saya menunggang kuda, karana badanya bongsor ,jadi orang

yang ditagih pajak ini menaruh uang logam sen di karung yang biasa

diduduki penunggang kuda, jadi dikasih masuk ke karung yang dibuat dari

selimut seolah-olah pundi-pundi air, jadi orang tidak tahu ada uang atau

apa gitu”

“Karena waktu itu ayah saya sudah berstatus pegawai negeri, jadi

sekeluarga sudah berbaur dan tidak ada masalah, malahan kami

sekeluarga yang di mata orang Tionghoa, itu masih dianggap fan-kui

(pribumi), sementara kalo interaksi pake bahasa Dawan dan Indonesia.”

“Sama baik, artinya mereka pikir bahwa , nenek kami, orang Rote, ibu dari

kakek kami orang timor, marga Telnoli, yangmerupakan keturunan Raja

Telnoni.”

Berkaitan dengan teknik pendekatan yang dilakukan oleh etnik Tionghoa

terhadap etnik Dawan, serta pendapatnya mengenai pembauran maupun kualitas

Page 84: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

147

hubungan etnik Tionghoa dan etnik Dawan dalam perkawinan campuran, ia

menjawab bahwa dalam melakukan strategi pendekatan ada beberapa hal yang

biasa dilakukan sesuai aturan adat atau kebiasaan masyarakat Dawan, misalnya

menggunakan bahasa Dawan sebagai bahasa penghubung, sirih pinang dan sophi

(arak) yang digunakan untuk menyelesaikan masalah seperti batas tanah atau

masalah apa saja sebagai alat diplomasi, jadi pada prinsipnya ia mengakui bahwa

semua pendekatan itu memang lazim dilakukan oleh orang Timor (etnik Dawan),

sehingga harus diikuti oleh kalangan etnik Tionghoa, dan ia mengistilahkan tidak

bisa memotong arus atau bisa disebut tidak melanggar aturan yang berlaku.

Perihal kualitas hubungan, ia menjawab bahwa pembauran yang cukup

bagus dan cukup baik, hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh faktor kawin

campur diantara etnik Tionghoa tersebut, ia menambahkan bahwa rata-rata di

etnik keturunan Tionghoa di Kecamatan Niki-Niki, hampir semua sudah

merupakan peranakan kawin campur yang bisa diartikan tidak ada Tionghoa

tulen, disamping itu kualitas hubungan tentunya akan terjalin erat antara kedua

pihak, ia menambahkan bahwa kelebihan orang Timor atau etnik Dawan yang

budayanya sangat menghargai kaum perempuan.

“Ya kaslo disini pake bahasa Timor, itu sudah menghubungkan kedua

pihak, yaa..yang penting ktong menghubungi dong dan meberitahu dulu,

sirih inang itu penting, sophi itu penting segelas atau sebotol, itu

umpamanya untuk menyelesaikan masalah batas tanah atau apa begitu, ya

dulu ktong memamng begitu memang snd bisa potong arus”

“Cukup bagus, dan cukup baik itu karena disebabkan faktor kwin mawin

(kawin campur etnik Tionghoa-Dawan), jadi disini ni yang asli2 tidak ada

(Tionghoa tulen), jarang sekali, dan kualitas hubungan lebih erat. Orang

timor dia lebih..apa...lebih menghargai perempuan, umpamanya kung

punya mama orang Timor, oramg lebih dekat, kalo dengan dia punya mama

Page 85: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

148

dia anggap dia punya orang (bagian kelaurga besar), karana kawin

campur.”

Terjemahannya :

“Ya kalo disini menggunakan bahasa Timor (bahasa Dawan), itu sudah

menghubungkan kedua pihak, ya...yang penting kita menghubungi mereka

dan memberitahu dahulu, penyuguhan sirih pinang itu penting, sophi itu

penting segelas atau sebotol, itu diumpamakan untuk menyelesaikan

masalah batas tanah atau masalah lain, ya dulu kita memang

menggunakan pendekatan dengan cara begitu, memang tidak bisa potong

arus (melanggar)”

“Cukup bagus, dan cukup baik itu karena disebabkan faktor perkawinan

campuran (kawin campur etnik Tionghoa-Dawan), jadi disini ini yang asli

Tionghoa tidak ada (Tionghoa tulen), jarang sekali, dan kualitas hubungan

lebih erat. Orang timor dia lebih menghargai kaum perempuan, misalnya

ibu dari kakek saya adalah orang Timor, maka orang Dawan lebih dekat,

kalo dengan ibunya, dia (ayah saya) sudah dianggap (bagian dari kelaurga

besar etnik Dawan), karena faktor kawin campur.”

Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti bahwa,

pola komunikasi antar etnik yang terjalin antara keluarga bapak Herman

Litelnoni sebagai etnik Tionghoa campuran dan etnik Dawan melalui hubungan

penagihan pajak, disamping itu ayahnya juga merupakan keturunan Tionghoa

campuran yang menikah dengan keluarga Raja Telnoni. Dalam menjalin relasi

dengan sesama etnik Tionghoa berjalan cukup baik hal serupa juga ditemui

didalam keluarganya.

Kapitan atau Vetor yang merupakan profesi yang dijalankan oleh ayah

beliau bukanlah hal baru yang terjadi pada saat itu, berdasarkan penelusuran

peneliti dalam tulisan Leo Suryadinata bahwa perbedaan etnis antara Tionghoa

dan pribumi merupakan salah satu sebab dari terpisahnya kelompok Tionghoa,

namun tak kalah pentingnya adalah kebijakan pemerintah Kolonial misalnya

Page 86: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

149

dengan sistem opsir (kapitan cina), sistem pemukiman dan pas jalan yang

membuat orang Tionghoa tidak berbaur dikembangkan oleh Inggris tahun 1619

dan 1837. kedua sistem pemukiman berhubungan erat dengan dengan sistem

opsir dalam arti bahwa orang Tionghoa diurus oleh kepala kelompok ras mereka

dan diwajibkan untuk tinggal didaerah tertentu jauh dari ras lainnya. (Suryadinata,

2002, hal 73-5)

Dalam pengamatan peneliti, ketika interaksi sehari-hari bahasa melayu

Kupang lebih mendominasi dalam jalinan relasi dengan sesama etnik Tionghoa

maupun didalam keluarganya, sedangkan bahasa Dawan lebih mendominasi

ketika berinteraksi dengan etnik Dawan seperti pada lingkungan tetangganya.

Yang unik adalah penggunaan teknik koak yang digunakan ayahnya yakni

teriakan dengan nada khas tertentu ketika ingin mengumpulkan masyarakat

kecamatan setempat, secara verbal teriakan ini disimbolkan sebagai bentuk

komunikasi atau panggilan khas tertentu dalam ketika ingin mengumpulkan orang

atau kerumunan.

Page 87: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

150

Simbol Verbal Makna Simbol

Bahasa Dawan Bahasa tradisional yang menjembatani

komunikasi etnik Dawan maupun antara etnik

Dawan dengan etnik Tionghoa Niki-Niki.

Khusunya bahasa yang digunakan sebagai alat

pendekatan dengan etnik Dawan

Bahasa Pasar atau bahasa

melayu Kupang

Bahasa yang menjembatani komunikasi keluarga

dan sesama etnik Tionghoa di Niki-Niki.

Koak Teriakan dengan nada khas tertentu sebagai

bentuk komunikasi terhadap etnik Dawan

Tabel. 21. Tabel Verbal Informan Herman Litelnoni

Simbol Non-Verbal Makna Simbol

Sirih Pinang “Oko Mama” Alat penghubung, bentuk permintaan yang bersifat

sakral, ucapan terima kasih, awal membangun

relasi, alat diplomasi.

Arak atau sophi Bentuk penopang dari permintaan

Tabel. 22. Tabel Non-Verbal Informan Herman Litelnoni

Berkaitan dengan teknik pendekatan yang digunakan dalam menjalin relasi

dengan etnik Tionghoa, bapak Karel lebih dominan menggunakan pendekatan

tradisional yang lazim dilakukan oleh etnik Dawan seperti menggunakan bahasa

Dawan, penyuguhan sirih pinang, dan sophi sebagai alat melakukan diplomasi.

Bahasa Dawan sendiri digunakan sebagai bahasa yang menghubungkan mereka

dengan etnik Dawan, sekaligus bahasa yang menjembatani komunikasi sehari-hari

disamping penggunaan bahasa melayu Kupang.

Disamping itu dalam hal pembauran etnik Tionghoa dan etnik Dawan

dalam perkawinan campuran ini, bahwa pembauran yang cukup bagus dan cukup

Page 88: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

151

baik, hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh faktor kawin campur diantara etnik

Tionghoa tersebut serta dengan adanya perkawinan campuran ini justru semakin

memperkuat jalinan relasi diantara kedua pihak.

2.5. Makna Identitas Etnik.

2.5.1. Makna Identitas Etnik Pada Etnik Tionghoa Peranakan.

Tionghoa peranakan yang diwawancarai peneliti disini adalah mereka

sebagai keturunan Tionghoa yang sudah berbaur dan sudah bertingkah laku dan

berbahasa layaknya masyarakat asli tetapi ada juga yang masih fasih

menggunakan bahasa nenek moyangnya, namun yang membedakannya adalah

mereka tidak menikah dengan penduduk lokal melainkan dengan sesama

peranakan Tionghoa lainnya. Informan peneliti ini adalah : Karel Singli (Lee

Khoet Chong), Benyamin Tjung (Tjung Tjiu Min), Gilbert Lee (Lee Chung Liong),

dan Christopher Wijaya (Ui I Ngo). Dalam sub ini mereka mencoba

mendeskripsikan atau menceritakan kembali pengalaman mereka memaknai

identitas yang selama ini dimiliki dan diwariskan oleh keluarganya, disamping itu

akan dilihat pula bagaimana mereka memposisikan diri dan membuat strategi

pembentukan identitas mereka serta budaya Tionghoa yang dikembangkan dalam

keluarganya.

Informan peneliti yakni Bapak Karel Singli (Lee Khoet Chong) yang

berumur 68 tahun, beliau bekerja sebagai seorang wiraswasta dan pedagang hasil

bumi. Wawancara peneliti dengan beliau dilakukan pada tanggal 22 juni 2012

Page 89: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

152

bertempat di kediaman beliau, dalam wawancara ini peneliti bertanya mengenai

bagaimana ia memaknai identitas Tionghoa yang selama ini melekat dalam

dirinya serta bagaimana ia memposisikan diri kedalam lingkungan etnik

Tionghoa maupun Dawan.

Dengan suara yang lantang ia menjawab bahwa, sebagai seorang

Tionghoa keturunan bahwa kedatangan keluarga mereka hanya untuk mencari

nafkah dan berdagang, ia pun memaknai identitas Tionghoanya sebagai sebuah

panggilan hidup, yakni panggilan hidup untuk mencari nafkah seperti bekerja

sebagai pedagang sama seperti pera leluhurnya. Perbedaan yang mencolok

baginya sudah tidak ada lagi antara Tionghoa dengan etnik Dawan lainnya, semua

perbedaan tersebut dalam pandangannya hanya terihat dari besarnya modal atau

materi yang dimiliki, atau faktor ekonomi yang lebih mendominasi, tandasnya

dengan senyum hangat.

Berbicara bagaimana ia memposisikan dirinya ketika berada dilingkungan

etnik Tionghoa maupun Dawan, ia menjelaskan bahwa sebagai seorang etnik

Tionghoa peranakan dalam memposisikan dirinya seperti biasanya saja, tidak ada

masalah (sederajat), sebab bagaimana pun juga baginya tidak ada perbedaan

diantara etnik Tionghoa maupun etnik Dawan, dengan pertimbangan bahwa

mereka sudah berada didalam satu wadah (lingkungan) yang cukup kondusif,

sehingga tidak memungkinkan untuk memisahkan diri satu sama lain.

“Ya btong sebagai seorang Tionghoa, yang keturunan dari sana ke timor

sini samata mata hanya untuk mencari nafkah, jadi btong merasa

sebagai...ehhh...rasa... terpanggil (panggilan) untuk melakukan kerja, kerja

dagang. Begitu... ya etnis Tionghoa merasa diri dengan yang lai hanya

Page 90: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

153

sedikit sekali, bedanya hanya dari faktor ekonomi saja modal dengan orang

snd ada modal beli orang kampung pung barang itu dia snd e tau mau jual

pimnana, jadi btong bli pi jual lagi, jadi btong ada nilai kerja sama.”

“Ya btong memposisikan diri seperti biasa , tidak ada masalah btong mau

orang etnis dengan pribumi sama saja snd ada beda2, karena

pertimbangannya dalah btong su didalams atu wadah ini jadi mau beda2

bagaimana.”

Terjemahannya :

“Ya saya/kami sebagai seorang Tionghoa, yang keturunan dari sana

(Tiongkok) ke Timor sini samata mata hanya untuk mencari nafkah, jadi

saya merasa sebagai...ehhh...rasa... terpanggil (panggilan) untuk

melakukan kerja, kerja dagang. Begitu... ya etnik Tionghoa merasa diri

dengan yang lain hanya sedikit sekali, bedanya hanya dari faktor ekonomi

saja modal dengan orang tidak ada modal beli atau hasil orang kampung

itu dia tidake tau mau jual kemana, jadi kami beli dan jual lagi, jadi btong

ada nilai kerja sama.”

“Ya saya memposisikan diri seperti biasa , tidak ada masalah saya mau

orang etnis dengan pribumi sama saja tidak ada beda-beda, karena

pertimbangannya adalah kita bersama sudah didalam satu wadah ini jadi

mau beda-beda bagaimana?”

Perihal membentuk strategi identitasnya sebagai seorang Tionghoa

peranakan, ia menceritakan pada awal dirilisnya PP.10 oleh Pemerintah Odre

Baru saat itu, mengharuskan semua warga keturunan Tionghoa untuk melakukan

pergantian nama, sehingga melakukan penyesuaian nama menjadi nama yang

berbau Indonesia, sehingga pada waktu itu saat melakukan pendaftaran ke

Pemerintah Kabupaten setempat, ia dan ayah sedikit kebingungan mengenai

pembuatan identitas baru, sehingga mereka memutuskan menggunakan kombinasi

marga mereka yang berbau ke-Indonesiaan yakni Singli, dengan tujuan agar lebih

mudah atau tetap dikenali oleh sesama etnik Tionghoa khususnya sesama marga

Lee.

Page 91: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

154

Namun disisi lain ia menjelaskan bahwa selama menjadi seorang Tionghoa

peranakan, dan berada dalam lingkungan yang bersama dengan etnik Dawan ia

merasakan menonjolkan sisi Tionghoa campuran, ia mengemukakan melakukan

tradisi Tionghoa hanya pada sebatas menjelang Imlek, hal tersebut menurutnya

masih merekat pada sebagian orang Tionghoa saja yang melakukan hal tersebut.

“Jadi sebenarnya dari awal, btong yang tinggal disini jadi ktong bisa

masuk ikut itu (sekolah mandarin), tahun 60an ktong terjadi PP.10,

peraturan itu semua orang aa Tionghoa keturunan yang msuk warga

negara Indonedia harus merubah dia punya itu marga meyesuaikan

dengan orang Indonesia. Mengelabui petugas admin kabupaten. Jadi

dikabupaten sana, jadi bta lari keluar diluar bta tanya ta pung bapa dengan

buru2 bta tanya baitua (ayah), tau btong bingung pilih yang mana nie, dan

kemudai hari btong pung keturunan biar saling knal walau sudah berbeda

marga, jadi tiba2 ada ence satu tartau diapung nama lai dia bilang bta

tanya fam seang ini di bahasa cina bilang apa ? oww kalo seang ini sing,

jadi bta rubah ktong punya ini sing-li, jadi akhirnya su berubah jadi lini

bukan lee. Kelihatan indnesia, tapi ini dimata orang Tionghoa ini jelas

iniorang Tionghoa jelas.”

“Aihh..... ya itu dia paling meninjol dari tradisi Tionghoa in, sepertinya

waktu lalu ada dia punya imlek, dan dalam waktu dekat ininn ada mandi

pecun, namun itu hanya untuk terhadap beberapa orang saja ini, terlalu

erat dengan itu startegi jadi btong sudah jauh. (menonjol cina secara

fisik/penampilan dan gaya hidup) menonjol campuran.”

Terjemahanya :

“Jadi sebenarnya dari awal, kami yang tinggal disini jadi kami bisa masuk

ikut itu (sekolah Mandarin), tahun 60an ketika terjadi PP.10, peraturan itu

semua orang Tionghoa keturunan yang masuk warga negara Indonedia

harus merubah identitas marga menyesuaikan dengan orang Indonesia.

Mengelabui petugas admin kabupaten. Jadi dikabupaten sana, jadi saya

berlari keluar diluar saya bertanya kepada ayah dengan tergesa saya tanya

baitua (ayah), dan kami jadi bingung pilih yang mana nah, dan kemudiann

hari keturunan kami biar saling kenal walau sudah berbeda marga, jadi

tiba-tba ada paman satu tapi tak tahu namanya siapa nama lagi dia bilang

kepada saya tanya fam atau seang ini di bahasa cina bilang apa ? oww kalo

seang ini sing, jadi saya rubah marga kami punya ini sing-li, jadi akhirnya

Page 92: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

155

sudah berubah jadi lini bukan lee. Kelihatan Indonesia, tapi ini dimata

orang Tionghoa ini jelas ini orang Tionghoa jelas.”

“Aihh..... ya itu dia paling menonjol dari tradisi Tionghoa ini, sepertinya

waktu lalu ada acara imlek, dan dalam waktu dekat ini ada mandi pecun,

namun itu hanya untuk terhadap beberapa orang saja ini, terlalu erat

dengan itu strategi jadi kami sudah jauh. (menonjol cina secara

fisik/penampilan dan gaya hidup) menonjol campuran.”

Berkaitan dengan warisan budaya-budaya Tionghoa yang dimiliki,

menurut bapak Karel bahwa budaya-budaya yang dipegang olehnya maupun

keluarganya lebih banyak mengadopsi tentang budaya tata krama, maupun tegur

sapa yang lazim digunakan oleh leluhur mereka maupun etnik Tionghoa lainnya.

Disamping itu ia mengakui masih menggunakan secara terbatas beberapa budaya

Tionghoa lainnya, seperti penggunaan buku petunjuk hari baik (buku ramalan)

maupun kalender Cina yang digunakan untuk menentukan hari-hari tertentu dalam

melaksanakan atau memulai suatu usaha misalnya.

Sedangkan mengkonsumsi makanan-makanan khas Tionghoa dalam

keluarganya masih sering dilakukan terutama disaat diadakannya perayaan

maupun acara-acara besar seperti Cap Cay, Fuyung Hai, dan lain sebagainya.

Namun budaya yang paling mendasar adalah budaya budi pekerti yang diwariskan

oleh leluhurnya ini sudah ditanamkan (didoktrin) kepada anggota keluarga,

khususnya anak-anaknya sejak usia dini seperti budaya tata krama, tegur sapa, dan

termasuk pendidikan agama Kristen.

“Sekarang ini btong nilai-nilai luhur yg btong pegang ini, misalanya

orang2 asing disini ktumu pegang tangan, kalo btong ini masih ada yang

soya saperti yang tadi itu menunjukan suatu suatu bagian bangsa atau

Page 93: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

156

penghormatan. Klao imlek btong su snd ikut lagi, kebanyakan snd ikut2

lagi”.

“Masih pakai tapi masih sedikit2 sa (terbatas). Misalnya menggunkan

buku2 untuk periksa hari-hari yang dipakai masih ada dan digunakan.”

“Makanan btong sesuaikan dengan keadaan ini, (tidak melanjutkan dengan

alasan takut menyinggung perasaan, karena sudah ada kata keadaan

ini”).”

“Kalo budi pekerti sudah ditanamka sejak awal, seperti nilai saling

menghormati, menghargai, dan lain2.”

“Kalo bdaya Tionghoa yang dikembangkan dikeluarga ini hanya yaaa itu

e...macam e dalam hubungan sopan santun saja.”

Terjemahannya :

“Sekarang ini nilai-nilai luhur yang kami pegang ini, misalnya orang-

orang asing disini bertemu ya jabat tangan, kalo kami ini masih ada yang

soya saperti yang tadi itu menunjukan suatu bagian bangsa atau

penghormatan. Kalo imlek sudah tidak ikut lagi, kebanyakan tidak

merayakan lagi”.

“Masih pakai tapi masih sedikit-sedikit saja (terbatas). Misalnya

menggunakan buku untuk periksa hari-hari yang dipakai masih ada dan

digunakan.”

“Makanan kita sesuaikan dengan keadaan ini, (tidak melanjutkan dengan

alasan takut menyinggung perasaan, karena sudah ada kata keadaan

ini”).”

“Kalo budi pekerti sudah ditanamkan sejak awal, seperti nilai saling

menghormati, menghargai, dan lain-lain.”

“Kalo budaya Tionghoa yang dikembangkan dikeluarga ini hanya ya itu

e...macam dalam hubungan sopan santun saja.”

Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti bahwa,

makna identitas etnik Tionghoa bagi bapak Karel Singli adalah sebagai sebuah

panggilan hidup, panggilan hidup yang sama seperti para leluhurnya yang hijrah

ke Niki-Niki untuk mencari nafkah. Pada prinsipnya menurut pandangan peneliti,

Page 94: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

157

makna yang diungkapkan oleh bapak Karel Singli adalah sebuah ungkapan yang

pada prinsispnya ingin menekankan jati dirinya sebagai seorang Tionghoa

peranakan, sekaligus juga menjawab pandangan bahwa etnik Tionghoa adalah

etnik yang terkenal merantau dan berdagang sejak zaman dahulu.

Berdasarkan hal tersebut, peneliti melakukan penelusuran untuk

mendukung analisis diatas, yakni berdasarkan tulisan Leo Suryadinata bahwa

etnis Tionghoa, yang dulu disebut chinese overseas atau Tionghoa perantauan,

tersebar dimana-mana. Jumlahnya kira-kira 23 juta jiwa, lebih dari 80%

diantaranya berada di asia tenggara. Salah satu sebab mereka bermukim disana,

karena asia tenggara dekat dengan daratan Tiongkok dan selain pada waktu itu

perdagangan di asia tenggara juga banyak dipengaruhi oleh orang Tionghoa. Pada

awalnya jumlah orang Tionghoa yang bermukim di asia tenggara tidak banyak.

Eksodus Tionghoa ke wilayah ini merupakan fenomena abad ke 19 dan ke 20

ketika di Tiongkok dan asia tenggara mengalami perubahan. (Suryadinata, 2002,

hal 7)

Disamping itu menurut Hidayat M.Z bahwa orang-orang Tionghoa di asia

tenggara dapat menempatkan diri mereka dalam kehidupan masyarakat di negara-

negara asia tenggara sebagai kelas menengah. Di Indonesia orang Tionghoa sejak

permulaan merantau telah berfungsi perantara antara penduduk asli dengan para

pendatang asing yang datang ke Indonesia. Para perantau Tionghoa ini menempati

kota-kota pantai dan hidup sebagai saudagar, pengusaha pelayaran, pengusaha

bank, dan sebagai pedagang besar dan kecil dan ada pula yang bekerja sebagai

Page 95: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

158

artis. Hampir semua industri dan perdagangan akhirnya berada ditangan

pengusaha Tionghoa perantauan (Hidayat, hal 56)

Kebanggaan yang dimaksudkan oleh beliau, menurut peneliti adalah

sebagai seorang etnik Tionghoa peranakan ia mampu menunjukan eksistensinya

diantara mayoritas etnik Dawan, dalam hal pergaulan sosialnya baik dengan

sesama etnik Tionghoa maupun dengan etnik Dawan, termasuk ketika berada

didalam aktivitas lingkungan kerja, kegiatan sosial, dan Gereja yang menjadi

tempat beribadah. Disamping itu, ia sendiri lebih akrab dipanggil dengan

menggunakan nama Tionghoanya yakni Kung atau Ence Khoet, hal tersebut juga

sering digunakan oleh masyarakat Etnik Dawan dan sesama etnik Tionghoanya

sendiri.

Hal tersebut dapat peneliti ungkapkan melalui beberapa pengamatan,

seperti ketika ia berinteraksi dengan beberapa masyarakat etnik Dawan termasuk

didalamnya para pegawai yang mengabdi pada usaha jasanya, dengan

menggunakan bahasa Dawan dan bahasa pasar atau biasa disebut bahasa Melayu

Kupang. Sedangkan dalam interaksinya dengan sesama etnik Tionghoa cenderung

ia menggunakan bahasa Dawan maupun bahasa Melayu Kupang. Didalam

keluarganya dalam berkomunikasi ia cenderung menggunakan bahasa Dawan dan

bahasa Melayu Kupang kepada istri maupun kepada anaknya.

Dalam kegiatannya sehari-hari, ia mengakui menempatkan dirinya seperti

biasa-biasa saja atau sedarajat, dan tidak ada hal istimewa namun yang

membedakan hanyalah dari segi faktor ekonomi saja dalam hal ini materi.

Page 96: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

159

Menurut pandangan peneliti, bapak Karel bermaksud untuk merendah diri agak

terlihat bersahaja dimata keluarga maupun didalam lingkungan masyarakat etnik

Niki-Niki. Padahal, ia merupakan salah satu tokoh masyarakat dari etnik

Tionghoa yang dihormati khususnya dari kalangan bangsawan setempat.

Disamping itu, saat diadakan reuni keluarga marga Lee, ia sendiri dipercaya

sebagai kepala keluarga yang mewakili marga Lee untuk daerah Kupang. Disisi

lain, ia juga menjalankan profesinya sebagai pedagang ternak hewan dan juga

pengusaha jasa transportasi antar kebupaten seperti bus kota maupun angkutan

berat lainnya.

Makna Identitas

Etnik

Panggilan Hidup

Memposisikan Diri Seperti biasa / Sederajat

Strategi Identitas

(Kombinasi Marga)

Marga Tionghoa Marga Lokal Kombinasi (Hasil)

Lee

___

Singli =

Sing (marga dalam

bahasa Mandarin)

+ Li (Lee).

Nama Identitas Nama Tionghoa Nama Nasional/Indonesia

Karel Singli

Lee Khoet Chong

Nama Populer Kung Khoet, Ence Khoet

Dominasi Etnik Tionghoa Campuran

Nilai dan Budaya

yang dipertahankan

dan diwariskan

Budaya tata krama, tegur sapa, perayaan imlek,

menghidangkan dan mengkonsumsi makanan khas Tionghoa,

menggunakan kalender cina dan buku ramalan

Cara Identifikasi

Sesama Etnik

Tionghoa

______

Tabel. 23. Identitas Etnik Karel Singli

Berkaitan dengan membentuk strategi identitasnya sebagai seorang

Tionghoa peranakan, menurut peneliti bahwa bapak Karel Singli mampu

mempertahankan identitas etnik Tionghoa peranakan yang diwariskannya secara

baik, walaupun demikian harus mengubah nama marga keluarganya dari marga

Page 97: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

160

Lee menjadi marga Singli agak terkesan marga berbau Indonesia. Dalam

pandangan peneliti, hal tersebut dilakukan sebagai bentuk mempertahankan

eksistensinya sebagai etnik Tionghoa peranakan. Yang menjadi unik adalah

bagaimana keluarganya melakukan strategi kombinasi nama marga Tionghoa

mereka menjadi marga yang berbau Indonesia namun tetap terlihat atau

mencirikan marga Tionghoa mereka, yakni Singli. Dimana kata Sing dalam

bahasa Mandari diartikan sebagai marga, sedangkan Li merupakan modifikasi dari

marga Lee sehingga jika dibaca tetap menunjukan marga tersebut. Dengan tujuan

agar marga mereka yang berbau Indonesia ini tetap mudah dikenali oleh sesama

etnik Tionghoa maupun sesama marga Lee itu sendiri, sekaligus untuk

menghindari terjadinya perkawinan dengan sesama marga lee.

Perubahan identitas keluarganya tersebut tidak terlepas dari campur tangan

pemerintah Orde Baru pada saat itu yang mengharuskan merubah nama dan marga

setiap etnik Tionghoa, berdasarkan data yang diperoleh peneliti, menurut Leo

Suryadinata bahwa Kebijakan yang paling komperhensif untuk mengubah

identitas Tionghoa di Indonesia adalah peraturan ganti nama Pada tahun 1961,

ketika Soekarno masih berkuasa, peraturan ini sudah diumumkan akan tetapi tidak

dilaksanakan. Pada tahun 1966, setelah Soehato berkuasa, peraturan ganti nama

diterbitkan lagi. Kali ini prosedurnya disederhanakan dan banyak orang Tionghoa

mengganti nama Tionghoanya, walaupun ganti nama ini tidak wajib. Namun bagi

kebanyakan orang Tionghoa terutama pada pertengahan 1960an ada tekanan halus

dari pemerintah untuk ganti nama., karena ganti nama dianggap sebagai sebuah

tingkah laku simbolik, semacam deklarasi orang Tionghoa bahwa merekasetia

Page 98: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

161

kepada pemerintah Indonesia, atau mengidentitaskan diri dengan bangsa

Indonesia dan budaya Indonesia. Namun orang Tionghoa generasi muda yang

lahir sesudah tahun 1965 hampir semua memiliki nama Indonesia atau nama yang

dianggap Indonesia. (yakni bukan nama Tionghoa). Menarik untuk dijelaskan

bahwa banyak Tionghoa mengambil nama Indonesia yang mencerminkan nama

aslinya, seperti salim untuk liem, Wijaya atau Wibisono untuk Oei.(Suryadinata,

2002, hal 87)

Selama berinteraksi dengan sesama etnik Tionghoa maupun dengan etnik

Dawan, ia lebih merasakan dirinya dominan terhadap Tionghoa campuran, hal ini

justru bertolak belakang dengan statusnya sebagai seorang Tionghoa peranakan.

Dalam pandangan peneliti ada beberapa alasan kuat, diantaranya pertama istrinya

yang bernama Ingrawati Un (Wun Lang Ing) yang tak lain dari adik Syarifudin Un

juga merupakan keturunan Tionghoa Campuran, kedua dalam kehidupan sehari-

hari beliau sudah terbiasa bergaul membaur dengan sesama etnik Tionghoa baik

yang peranakan dan campuran serta etnik Dawan. Hal lainnya juga diperkuat

dengan pernyataannya bahwa kehidupan etnik Tionghoa dengan etnik Dawan

sudah menyatu sama lain.

Perihal warisan budaya-budaya Tionghoa yang dimiliki, menurut bapak

Karel bahwa budaya-budaya yang dipegang olehnya maupun keluarganya lebih

banyak mengadopsi tentang budaya tata krama maupun tegur sapa yang lazim

digunakan oleh leluhur mereka maupun etnik Tionghoa lainnya. Dalam

pandangan peneliti, hal tersebut bisa dimaklumi sebab ada beberapa tradisi

budaya Tionghoa yang didalam pandangan gereja Kristen Protestan dilarang

Page 99: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

162

karena melanggar ajaran gereja tersebut. Namun walau demikian, secara terbatas

bapak Karel Singli masih menggunakan beberapa tradisi budaya Tionghoa secara

terbatas seperti penggunaan kalender cina untuk pemilihan hari baik dan lain

sebagainya.

Disisi lain, beberapa budaya Tionghoa yang masih dilestarikan dan

didoktrin kepada anak-anaknya adalah budaya tata krama, budaya tegur sapa,

soya, yang lazim digunakan oleh para leluhur maupun sesama etnik Tionghoa.

Hal tersebut tentunya masih diperbolehkan oleh ajaran gerejanya karena masih

sejalan, disamping itu ada beberapa tradisi Tionghoa lainnya seperti merayakan

imlek dengan anggota keluarga dan kerabat lainnya sesama etnik Tionghoa,

menghidangkan dan mengkonsumsi makanan khas Tionghoa dirumahnya.

Berdasarkan dua masalah kebudayaan diatas, peneliti menemukan

beberapa data yang berkaitan dua masalah tersebut. Masalah ini sebenarnya

bersumber dari agama Kongfuchu yang dianggap sebagai aliran kepercayaan,

berikut ulasan dari Leo Suryadinata untuk mendukung analisis peneliti. Selain

menghadapi tantangan dari pemerintah Indonesia yang ingin mengasimilasi orang

Tionghoa kedalam tubuh pribumi, agama Konghuchu juga mendapat kesulitan

dari masyarakat Tionghoa di Indonesia sendiri. Orang Tionghoa peranakan, pada

umumnya tidak lagi berbahasa Tionghoa dan kebudayaannya telah lama sangat

dipengaruhi baik oleh lingkungan barat maupun Indonesia. Banyak dari mereka

adalah orang Kristen Protestan dan Katolik. Budaya Tionghoa sendiri sangat asing

bagi kebanyakan orang Tionghoa peranakan, teristimewa bagi generasi muda

yang diharuskan UU belajar di sekolah-sekolah Indonesia sejak tahun 1957, cara

Page 100: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

163

berpikir mereka, karenanya lebih Indonesia dari pada Tionghoa. (Suryadinata,

2002, hal 187)

Kongchuisme juga menghadapi tantangan dari agama Budha, Katolik, dan

Prostestan yang umumnya dianggap lebih “Indonesia” dari pada agama

Konghuchu. Jumlah orang Indonesia keturunanTionghoa yang menganut agama-

agama ini juga telah meningkat dalam tahun-tahun belakangan ini.(Leo, hal 188)

Selanjutnya informan peneliti adalah bapak Benyamin Tjung (Tjung Tjiu

Min) pada tanggal 2 Juli 2012, beliau merupakan seorang pedagang yang berumur

57 tahun. Dalam wawancara ini peneliti bertanya mengenai bagaimana ia

memaknai identitas Tionghoa yang selama ini melekat dalam dirinya serta

bagaimana ia memposisikan diri kedalam lingkungan etnik Tionghoa maupun

Dawan. Dengan santai ia menjawab bahwa sejak dilahirkan dan dibesarkan di

Niki-Niki, ia memaknai sebagai hal yang biasa saja mengenai identitasnya sebagai

seorang Tionghoa peranakan. Hal serupa juga dalam memposisikan dirinya,

ketika berada dalam lingkungan etnik Tionghoa maupun etnik Dawan, ia

mengungkapkan bahwa ketika berada ditengah-tengah masyarakat etnik Dawan,

khususnya dengan sesama etnik Tionghoa ia memposisikan dirinya biasa saja,

dalam artian sederajat dengan mereka, hal tersebut diperkuat ketika berinteraksi ia

menggunakan bahasa Dawan, bahasa melayu Kupang, menggunakan soya ketika

pada tradisi tertentu seperti hari ulang tahun, bertemu dengan orang tua atau orang

dengan usia lebih tua (etnik Tionghoa).

“Ya sejak lahir (di niki2) disini btong rasa (liat ke langit2), rasa biasa

begitu su biasa, bergaul biasa saja.”

Page 101: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

164

“Sama biasa dengan hari kermana ju pake begitu, kebanyakan pake bahasa

indoensia (bahasa melayu kupang), nah kalo ada yg pake bahsa Timor ya

jawab saja pake bahsa Timor, kalo soya ya pada hari2 tertentu, misalnya

pada haru hut, imlek, kalo ketemu orang tua2 saat bertemu soya juga, kalo

sebaya ya jabat tangan, sam sa kedisini.”

Terjemahannya :

“Ya sejak lahir (Niki-Niki) disini saya merasa (liat ke langit2), rasa biasa

begitu su biasa, bergaul biasa saja.”

“Sama biasa dengan hari biasanya juga rasa begitu, kebanyakan pake

bahasa Indonesia (bahasa melayu kupang), nah kalo ada yg pake bahasa

Timor (Dawan) ya jawab saja pake bahasa Timor (Dawan), kalo soya ya

pada hari-hari tertentu, misalnya pada hari hut, imlek, kalo ketemu orang

tua saat bertemu soya juga, kalo sebaya ya jabat tangan, sama saja kayak

disini.”

Perihal membentuk strategi identitasnya sebagai seorang Tionghoa

peranakan, bahwa sejak menjadi seorang WNI (Warga Negara Indonesia) ia

mengganti nama Tionghoanya dengan nama serani (nama nasional/nama baptis

gereja) dengan nama Benyamin, sedangkan dengan marga keluarganya ia tetap

mempertahankan orisinilnya dan tidak menggantinya dengan kombinasi marga

atau nama lainnya, dengan alasan bahwa kelak nanti anak-anaknya dapat dengan

mudah mengenali marga keluarga nenek moyangnya maupun mudah dikenali

sesama etnik Tionghoa lainnya.

Berkaitan dengan dominasi identitas Tionghoa dalam dirinya, ia menjawab

bahwa selama ini ia mengambil sikap netral dalam artian tidak terlalu

menonjolkan sisi Tionghoanya, dengan alasan bahwa ia sendiri sudah lahir dan

dibesarkan di Niki-Niki sehingga ia merasa terbiasa dengan kondisi seperti ini.

Disisi lain ketika dimintai pendapatnya ketika dipanggil sebagai seorang

Page 102: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

165

Tionghoa oleh masyarakat setempat khusunya etnik Dawan, ia merasa keberatan

karena menurutnya berbau rasisme atau menghina, namun disisi lain ia

mengungkapkan bahwa ia merasa biasa saja dan kadang juga merasa bangga dan

nyaman tetapi kembali menjadi biasa saja.

“Ya kalo sudah warga negara Indonesia tetap pake nama serani, tetapi kalo

fam tetap, marga tetap, bta kira marga itu tidak bisa hilang, tapi kalo kita

rubah marga baru, marga yg lama snd ada, jadi lama2 bsok anak bisa tau

kenali ohh ini marga ini, utk saling mengenal.”

“Netral saja, ya ko memang lahir disini, orang tua juga sudah lahir disini,

jadi su baisa sa begitu (lepas ekspresi nafas), pokoknya netral saa.”

“Ya..sonde bisa, disini sonde ada begitu, mungkin kalo daerah lain

mangkali”

“Biasa2 saja, snd marah, kalo arsa bangga ya kita bangga hehe, ada rasa

nyaman aman begitu, biasa2 saja.”

Terjemahannya :

“Ya kalo sudah warga negara Indonesia tetap pake nama serani (Nasional),

tetapi kalo marga tetap, saya kira marga itu tidak bisa hilang, tapi kalo kita

rubah marga baru, marga yg lama tidak ada, jadi lama kelamaan besok

(suatu saat nanti) anak bisa tahu dan kenali ,ohh ini marga ini, untuk saling

mengenal.”

“Netral saja, ya kalo memang lahir disini, orang tua juga sudah lahir

disini, jadi sudah biasa saja begitu (lepas ekspresi nafas), pokoknya netral

saja.”

“Ya..tidak bisa, disini tidak ada begitu, mungkin kalo daerah lain mungkin

ada”

“Biasa-biasa saja, tidak marah, kalo rasa bangga ya kita bangga hehe, ada

rasa nyaman aman begitu, biasa saja.”

Berkaitan dengan warisan budaya-budaya Tionghoa yang dimiliki,

menurut bapak Benyamin bahwa ia sudah tidak menerapkan sepenuhnya budaya

Tionghoa didalam keluarganya, namun hanya sedikit saja yang ia terapkan berupa

Page 103: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

166

budaya tegur sapa, soya. Sedangkan penggunaan Feng Shui sudah tidak

digunakan lagi, namun acara perayaan imlek masih dilaksanakan sedangkan

ketika berziarah ke makan sudah tidak menggunakan tata cara agama Konghuchu

melainkan secara Kristen.

Sedangkan nilai-nilai budaya Tionghoa lainnya yang diterapkan dalam

keluarganya selalu menyesuaikan dengan keadaan di lingkungan, seperti budaya

menghormati orang tua, anggota keluarga serta mengajarkan tentang batasan

dalam memanggil anggota keluarga, atau sesama etnik dengan pangkat tertentu

seperti om (Kiu, Ence), tante (Ji, Ku) dan lain sebagainya. Sedangkan budaya

lainnya seperti mengkonsumsi makanan-makanan khas Tionghoa, ia sendiri

mengakui bahwa sudah jarang disajikan oleh istrinya dalam keluarga, kebanyakan

di keluarganya sering mengkonsumsi makanan nasional atau lokal seperti jagung

bose (semur jagung) khas etnik Dawan, karena dirasa lebih enak dan sehat, namun

makanan Tionghoa tetap disajikan ketika ada perayaan imlek atau acara-acara

keluarga.

“Mangkasli sonde ada oww (Hehehe), sonde ada. Ya kalo itu, misalnya

budaya tegur sapa, soya, dari kecil su di didik begitu, kalo feng shui snd

pake lagi, imlek masih dirayakan, sembayang ke kubur masih tapi secara

nasrani pi berdoa sa.”

“Kiu terapkan sesuai btong pung keadaan disini, hormati orang tua

kelauraga, misalnya ketemu siapa atau anggota kelauarga panggil apa

begitu.”

“Itu snd ada lai, hehehe...kadang lebih banyak masak jagung bose

(makanan tradisional Timor), malh sekarang ktong kepingin makan

mananan dulu...Hehehe, rasa lebeh enak dan sehat, tapi kalo makanan cina

lai, misalnya cap cay masih masak, sayur2an begitu, skali2.”

Page 104: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

167

Terjemahannya :

“Kayaknya tidak ada lagi ya... (Hehehe), tidak ada. Ya kalo itu (budaya

Tionghoa), misalnya budaya tegur sapa, soya, dari kecil sudah di didik

begitu, kalo feng shui tidak dipake lagi, imlek masih dirayakan, sembayang

ke kubur masih tapi secara nasrani pergi berdoa saja.”

“Saya terapkan sesuai keadaan kita disini, hormati orang tua keluarga,

misalnya ketemu siapa atau anggota kelauarga panggil apa begitu sesuai

pangkat.”

“Itu tidak ada lai, hehehe...kadang lebih banyak masak jagung bose

(makanan tradisional Timor), malah sekarang kami ingin makan makanan

dulu...Hehehe, rasa lebih enak dan sehat, tapi kalo makanan cina lagi,

misalnya cap cay masih masak, sayuran begitu, sekali-kali.”

Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti bahwa,

makna identitas etnik Tionghoa bagi bapak Benyamin Tjung dimaknai sebagai

sesuatu hal yang biasa saja, tanpa ada makna lainnya atau pun sesuatu yang

istimewa. Menurut pandangan peneliti hal tersebut terjadi karena sebagai seorang

keturunan Tionghoa peranakan ia telah melalui berbagai fase kehidupan yang

cukup sulit dari masa kecil hingga saat ini.

Pada 10 tahun belakangan dalam pengakuannya, ia mampu membangun

usaha dagang dan jasa transportasi yang cukup baik. Dalam pandangan peneliti,

dibalik penyataannya bahwa makna identitas etnik baginya merupakan hal biasa,

sebenarnya dapat dikandung makna rasa kebanggaan. Hal tersebut terlihat dalam

pengamatan peneliti ketika ia tetap mempertahankan nama marga keluarganya

yakni marga Tionghoa mereka “Tjung”, disamping itu dalam kehidupan sehari-

hari ia menjalankan profesinya sebagai pedagang yang dimana profesi ini

kebanyakan selalu dilakoni oleh etnik Tionghoa di Niki-Niki, hal tersebut sudah

menggambarkan makna kebanggaan.

Page 105: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

168

Berdasarkan hal tersebut, peneliti melakukan penelusuran untuk

mendukung analisis mengenai etnik Tionghoa yang selalu diasosiasikan dengan

kegiatan ekonomi, yakni berdasarkan tulisan Leo Suryadinata bahwa etnis

Tionghoa, yang dulu disebut chinese overseas atau Tionghoa perantauan, tersebar

dimana-mana. Jumlahnya kira-kira 23 juta jiwa, lebih dari 80% diantaranya

berada di asia tenggara. Salah satu sebab mereka bermukim disana, karena asia

tenggara dekat dengan daratan Tiongkok dan selain pada waktu itu perdagangan

di asia tenggara juga banyak dipengaruhi oleh orang Tionghoa. Pada awalnya

jumla orang Tionghoa yang bermukim di asia tenggara tidak banyak. Eksodus

Tionghoa ke wilayah ini merupakan fenomena abad ke 19 dan ke 20 ketika di

Tiongkok dan asia tenggara mengalami perubahan. (Suryadinata, 2002, hal 7)

Disamping itu menurut Hidayat M.Z bahwa orang-orang Tionghoa di asia

tenggara dapat menempatkan diri mereka dalam kehidupan masyarakat di negara-

negara asia tenggara sebagai kelas menengah. Di Indonesia orang Tionghoa sejak

permulaan merantau telah berfungsi perantara antara penduduk asli dengan para

pendatang asing yang datang ke Indonesia. Para perantau Tionghoa ini menempati

kota-kota pantai dan hidup sebagai saudagar, pengusaha pelayaran, pengusaha

bank, dan sebagai pedagang besar dan kecil dan ada pula yang bekerja sebagai

artis. Hampir semua industri dan perdagangan akhirnya berada ditangan

pengusaha Tionghoa perantauan (Hidayat, hal 56)

Mungkin saja, bapak Benyamin bermaksud untuk merendahkan diri atau

tidak mau menonjolkan makna identitas etniknya, hal demikian juga serupa

dengan ketika ia menjawab mengenai memposisikan dirnya didalam lingkungan

Page 106: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

169

etnik Tionghoa dan etnik Dawan, ia pun menjawab biasa saja atau sedarajat

dengan mereka. Hal tersebut dalam pandangan peneliti bahwa beliau sebenarnya

ingin tidak terlalu menonjolkan dirinya sebagai seorang Tionghoa, walau

demikian secara fisik dan identitas sudah menggambarkan posisinya sebagai

seorang Tionghoa peranakan.

Dalam pengamatan peneliti, ada beberapa hal yang mendukung

penyataannya. Dalam setiap kegiatan transaksi dagang ia selalu menggunakan

bahasa melayu Kupang maupun bahasa Dawan sesekali untuk berinteraksi dengan

para pelanggan toko maupun dengan pegawainya, kemudian ia sendiri mengakui

lebih menyukai kuliner khas etnik Dawan karena dirasa lebih sehat. Begitupun

juga dalam kegiatan beribadah di gerejanya ia selalu berbaur dengan sesama etnik

Tionghoa maupun etnik Dawan, dan terkesan nuansa akrab terbangun dalam

pergaulan tersebut, sehingga meyakinkan peneliti bahwa ia memposisikan dirinya

sederajat dengan sesama etnik Tionghoanya maupun dengan etnik Dawan.

Page 107: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

170

Makna Identitas

Etnik

Biasa

Memposisikan Diri Biasa atau Sederajat

Strategi Identitas

(Kombinasi Marga)

Marga Tionghoa Marga Lokal Kombinasi

(Hasil)

Tjung

___ Tjung

Nama Identitas Nama Tionghoa Nama

Nasional/Indonesia/

Tjung Tjiu Min

Benyamin Tjung

Nama Populer Baba Min

Dominasi Etnik Tionghoa Peranakan

Nilai dan Budaya

yang dipertahankan

dan diwariskan

Budaya tegur sapa, tata sopan santun, kuliner Tionghoa,

tradisi Imlek, penggunaan kalender Cina.

Cara Identifikasi

Sesama Etnik

Tionghoa

________

Tabel. 24. Identitas Etnik Benyamin Tjung

Berkaitan dengan membentuk strategi identitasnya sebagai seorang

Tionghoa peranakan, sejak menjadi WNI ia telah mengganti nama Tionghoanya

yakni Tjung Tjiu Min ke nama Indonesianya dengan nama Benyamin Tjung, yang

menarik disini adalah tidak seperti beberapa informan lainnya turut mengganti

nama maupun marga keluarga, seperti yang sering dilakukan oleh etnik Tionghoa

lainnya akibat diterapkannya PP.10 oleh Pemerintah saat itu. Ia hanya mengganti

nama depannya dengan nama Indonesia atau nama baptis, sedangkan nama marga

nenek moyangnnya tetap dipertahankan keasliannya tanpa ada perubahan atau

kombinasi nama tertentu. Hal tersebut menurutnya kelak nanti anak-anaknya

dapat dengan mudah mengenali marga keluarga nenek moyangnya maupun

mudah dikenali sesama etnik Tionghoa lainnya.

Page 108: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

171

Perubahan identitas namanya tersebut tidak terlepas dari campur tangan

pemerintah Orde Baru pada saat itu yang mengharuskan merubah nama dan marga

setiap etnik Tionghoa, berdasarkan data yang diperoleh peneliti, menurut Leo

Suryadinata bahwa Kebijakan yang paling komperhensif untuk mengubah

identitas Tionghoa di Indonesia adalah peraturan ganti nama Pada tahun 1961,

ketika Soekarno masih berkuasa, peraturan ini sudah diumumkan akan tetapi tidak

dilaksanakan. Pada tahun 1966, setelah Soehato berkuasa, peraturan ganti nama

diterbitkan lagi. Kali ini prosedurnya disederhanakan dan banyak orang Tionghoa

mengganti nama Tionghoanya, walaupun ganti nama ini tidak wajib. Namun bagi

kebanyakan orang Tionghoa terutama pada pertengahan 1960an ada tekanan halus

dari pemerintah untuk ganti nama., karena ganti nama dianggap sebagai sebuah

tingkah laku simbolik, semacam deklarasi orang Tionghoa bahwa mereka setia

kepada pemerintah Indonesia, atau mengidentitaskan diri dengan bangsa

Indonesia dan budaya Indonesia. Namun orang Tionghoa generasi muda yang

lahir sesudah tahun 1965 hampir semua memiliki nama Indonesia atau nama yang

dianggap Indonesia. (yakni bukan nama Tionghoa). Menarik untuk dijelaskan

bahwa banyak Tionghoa mengambil nama Indonesia yang mencerminkan nama

aslinya, seperti salim untuk liem, Wijaya atau Wibisono untuk Oei.(Suryadinata,

2002, hal 87)

Dalam pandangan peneliti hal tersebut cukup masuk logis, demikian pula

juga semakin mengukuhkan motif tersembunyi dari bapak Benyamin bahwa ia

sendiri secara tersirat membanggakan makna identitas etnik Tionghoanya, walau

demikian ia tetap mengakui bahwa makna identitas etniknya seperti biasa saja.

Page 109: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

172

Disamping itu perihal dominasi identitas etnik didalam dirinya, ia mengakui

bahwa ia sendiri tidak terlalu menonjolkan sisi etnik Tionghoanya, sebab

bagaimana pun juga ia sudah lahir dan dibesarkan dan lambat laun ia sudah

terbiasa atau beradaptasi dengan kondisi seperti ini.

Dalam pandangan peneliti dengan menggunakan kata kondisi dapat

ditangkap secara tersirat bahwa bapak Benyamin ingin menekankan bahwa ia

sudah beradaptasi dan mampu berbaur dengan masyarakat setempat, baik itu

dengan etnik Tionghoa maupun etnik Dawan. Artinya, sekali lagi ia mempertegas

bahwa dirinya ingin mensejajarkan diri sama derajatnya dengan etnik Tionghoa

lainnya. Ketika ditanya bagaimana perasaannya ketika dipanggil sebagai seorang

Cina atau Tionghoa, disini secara bimbang ia menjawab bahwa disatu sisi

panggilan tersebut sangat berbau rasisme atau menghina, namun disisi lain ia

menjawab bahwa kadang kala merasa nyaman dan bangga dengan sebutan

tersebut.

Berkaitan dengan penggunaan istilah Cina yang bersifat rasisme tersebut,

peneliti menelusuri tulisan dari Melly Tan yang dapat mendukung analisis peneliti

bahwa selama periode penjajahan kolonial, Belanda menggunakan istilah

Masyarakat cina bagi segelintir imigran dan kelahiran olak dari orang cina, etnik

Indonesia hingga akhir abad ke 19 menggunakan istilah Tjina (Cina) atau Tjino

(Cino) dalam ucapan bahsa Jawa. Istilah Baba atau Babah digunakan sebagai

istilah yang dialamatkan kepada pria Tionghoa. Epistimologi ini tidaklah jelas,

tetapi mengarah pada sebagaimana diketahui dunia muslim yang mengarah pada

sarjana agama Islam. Eksistensi istilah ini di Indonesia sudah ada sejak abad ke

Page 110: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

173

15, ketika komunitas Tionghoa muslim di panatai uata Jawa (Lombard dalam Tan,

2008, hal 1)

Paling sering diantara para kelahiran lokal adalah istilah yang biasanya

digunakan adalah Cina atau Cino yang bersifat konotasi menghina mereka. Tetap

pada istilah peranakan (istilah lain dari anak, atau anak indonesia atau keturunan

kelahiran lokal), sementara kelahiran asing atau imigram baru yang biasanya

disebut Totok (Dalam bahasa jawan disebut sebagai baru atau murni). (Tan, 2008,

hal 1)

Berkaitan dengan budaya Tionghoa ia mengakui bahwa sudah tidak lagi

menerapkan budaya Tionghoa sepenuhnya didalam keluarganya, hal ini

disebabkan menurut peneliti adalah beberapa ajaran gereja Kristen Protestan yang

bertentangan dengan adat budaya etnik Tionghoa. Ia sendiri masih menerapkan

budaya Tionghoa secara terbatas hanya pada beberapa hal misalnya budaya tegur

sapa terhadap sesama etnik Tionghoa, tata sopan santun, disamping itu perayaan

imlek maupun ziarah ke makam keluarga masih dilakukan namun tidak dilakukan

sesuai adat agama Konghuchu yang lazimnya dilakukan oleh etnik Tionghoa

lainnya melainkan secara agama Kristen Protestan.

Berdasarkan masalah kebudayaan diatas, peneliti menemukan beberapa

data yang berkaitan dua masalah tersebut. Masalah ini sebenarnya bersumber dari

agama Kongfuchu yang dianggap sebagai aliran kepercayaan, berikut ulasan dari

Leo Suryadinata untuk mendukung analisis peneliti, Selain menghadapi tantangan

dari pemerintah Indonesia yang ingin mengasimilasi orang Tionghoa kedalam

Page 111: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

174

tubuh pribumi, agama Konghuchu juga mendapat kesulitan dari masyarakat

Tionghoa di Indonesia sendiri. Orang Tionghoa peranakan, pada umumnya tidak

lagi berbahasa Tionghoa dan kebudayaannya telah lama sangat dipengaruhi baik

oleh lingkungan barat maupun Indonesia. Banyak dari mereka adalah orang

Kristen Protestan dan Katolik. Budaya Tionghoa sendiri sangat asing bagi

kebanyakan orang Tionghoa peranakan, teristimewa bagi generasi muda yang

diharuskan UU belajar di sekolah-sekolah Indonesia sejak tahun 1957, cara

berpikir mereka, karenanya lebih Indonesia dari pada Tionghoa. (Suryadinata,

2002, hal 187)

Kongchuisme juga menghadapi tantangan dari agama Budha, Katolik, dan

Prostestan yang umumnya dianggap lebih “Indonesia” dari pada agama

Konghuchu. Jumlah orang Indonesia keturunan Tionghoa yang menganut agama-

agama ini juga telah meningkat dalam tahun-tahun belakangan ini.(Suryadinata,

2002, hal 188)

Sedangkan menghidangkan dan mengkonsumsi makanan khas Tionghoa

dikeluarganya sudah jarang dibuat karena disesuaikan dengan kondisi keluarga

mereka, dalam pandangan peneliti kata kondisi menyiratkan pada keadaan

finansial keluarganya, karena jika menghidangkan kuliner khas Tionghoa yang

memakan biaya tidak sedikit. Disisi lain dalam pandangan peneliti mungkin saja

beliau hanya ingin merendah atau ingin terlihat sederhana walaupun sering

mengkonsumsi makanan khas Tionghoa. Namun demikian tidak menutup

kemungkinan jika perayaan imlek tiba kuliner tersebut selalu disajikan kepada

anggota keluarga mereka.

Page 112: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

175

Informan peneliti selanjutnya adalah, bapak Gilbert Lee (Lee Cung Liong)

yang berumur 55 tahun serta bekerja sebagai seorang pedagang, proses

wawancara kami berlangsung pada tanggal 3 juli 2012 di tempat usaha sekaligus

kediaman keluarganya. Peneliti bertanya mengenai bagaimana ia memaknai

identitas Tionghoa yang selama ini melekat dalam dirinya serta bagaimana ia

memposisikan diri kedalam lingkungan etnik Tionghoa maupun Dawan. Dengan

raut wajah yang serius ia menjawab bahwa selama ini yang dirasakannya

(memaknai) adalah rasa membanggakan akan etnik Tionghoa yang dimiliki, sebab

menurutnya lingkungan masyarakat etnik Dawan di Niki-Niki sangat mendukung,

hal ini bisa terlihat dalam acara maupun perayaan yang diadakan oleh etnik

Tionghoa yang selalu dihadiri dan mendapat partisipasi masyarakat etnik Dawan,

sehingga rasa yang ditimbulkan tidak terpisahkan satu sama lain.

Sedangkan dalam memposiskan dirinya dalam lingkungan etnik Tionghoa

maupun etnik Dawan, ia menjawab dengan santai bahwa sebenarnya dalam

memposisikan diri tidak ada hal yang istimewa, melainkan ia sendiri

memposisikan diri biasa-biasa saja ketika dalam bergaul baik dengan sesama

etnik Tionghoa maupun etnik Dawan, hal ini dikarenakan menurutnya adalah

tidak adanya perbedaan-perbedaan dan tidak ada masalah yang timbul selama ini.

“kalo ktong disini merasakan ya mau bilang mau membanggakan juga iya,

karna masyarakat ini mendukung jg, misalnya ktong bikin acara2 Tionghoa,

dong datang dan ada dan dong saling menghargai dan tidak pernah mau

bikin kacau atau apa, malahan dong mendukung, ke misalnya ktong ada

bikin perayaan imlek, nanti malam itu semua su datang ko bekin ramai2, ke

rasanya su snd ada rasa pisah2 satu sam yang lain.”

“biasa..biasa2 saja dalam pergaulan, soalnya tidak ada beda2nya rasanya

enak2 saa...snd ada masalah.”

Page 113: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

176

Terjemahannya :

“kalo kami disini merasakan ya mau bilang mau membanggakan juga iya,

karena masyarakat ini (etnik Dawan) mendukung juga, misalnya kami

adakan acara-acara atau perayaan etnik Tionghoa, mereka hadir dan

mereka saling menghargai dan tidak pernah mau bikin masalah maupun

hambatan, malahan mereka mendukung, seperti misalnya kami adaka

perayaan imlek, malam sebelumnya itu semua etnik Dawan sudah datang

dan turut memeriahkan, jadi rasanya sudah tidak ada rasa pisah satu sama

lain. “

“Biasa..biasa saja dalam pergaulan, soalnya tidak ada beda-bedanya

rasanya enak-enak saja...tidak ada masalah.

Berkaitan membentuk strategi identitasnya sebagai seorang Tionghoa

peranakan, ia menjawab bahwa yang ia lakukan dalam membentuk strategi

identitasnya ia tidak pernah membuat perubahan marga keluarganya, sebab

menurutnya secara diplomatis walaupun mau merubah marga keluarganya dengan

strategi perubahan nama apa pun tetap akan mudah dikenali oleh orang lain.

Menurut hematnya, walau melakukan perubahan nama marga pun dengan

mengkombinasikan nama-nama tertentu, toh demikian orang tetap akan

mengetahui nama marga mereka sebagai etnik Tionghoa, disamping itu ciri fisik

seperti roman muka pun bisa dijadikan patokan.

Namun ia sendiri tidak mempermasalahkan nama marga keluarganya,

baginya lingkungan disekitar cukup mendukung dan marga keluarganya tetap

dikenal. Perihal dominasi identitas etnik Tionghoa didalam dirinya, ia sendiri

mengakui bahwa didalam dirinya lebih menonjol atau dominan sebagai seorang

Tionghoa campuran walaupun sebenarnya ia sendiri merupakan keturunan

Tionghoa peranakan, hal ini disebabkan kerena ia berada pada lingkungan etnik

Tionghoa campuran sehingga sulit untuk membedakannya. Ketika disinggung

Page 114: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

177

pertanyaan menegenai perasaannya jika dipanggil dengan kata Cina, ia menjawab

bahwa hal tersebut dirasangan kurang enak didengar dan tidak sopan dan terkesan

kasar, disamping itu menurutnya kebanyakan orang di Niki-Niki khususnya etnik

Dawan lebih dominan menggunakan kata keturunan Tionghoa jika ingin

menyebut tentang mereka, sehingga baginya kata panggilan keturunan Tionghoa

akan memberi rasa nyaman baginya .

“saya tidak bikin begitu karna btong bikin sampai dimana (mau cara

apapun) tetap orang kenal, dorang tau ini orang keturunan, ke btong yang

mau tambah akan lee misalnya ada yang lain liyanto, atau dia tambah

apalagi dibelakang begitu, tapi orang tetap kenal,ohh ini orang syang lee,

liat dari romannya tau. Tetapi itu tidak menjadi permasalahan sebab

lingkungan sangat akrab bagus, bagi btong sonde ada. Jadi tetap sama sa

dikenal.”

“lebih lebih menonjol yang campur (Tionghoa campuran), soalnya memang

lingkungannya saudah bercampur baur jadi memang tidak bisa

membedakan lagi.”

“rasanya kurang enak juga, iya sepertinya kasar, orang disini lebih banyak

panggil orang keturunan Tionghoa..begitu, lebih enak, kalo dibilang orang

Tionghoa rasanya lebih cocok lagi, kata cinanya kasar, kata orang Jepang

dibilang begitu. Kata cina rasanya sonde enak sekali.”

Terjemahannya :

“saya tidak lakukan begitu (perubahan marga) karena ketika kami lakukan

maka sampai dimana (mau cara apapun) tetap orang kenali, mereka tahu

ini orang keturunan (Tionghoa), misalnya kami yang mau tambah akan lee

misalnya ada yang lain contoh marga liyanto, atau mereka tambah apalagi

dibelakang begitu, tapi orang tetap kenal, ohh ini orang syang lee (marga

Lee), dilihat dari romannya sudah tahu. Tetapi itu tidak menjadi

permasalahan sebab lingkungan sangat akrab bagus, bagi kami tidak perlu

perubahan. Jadi tetap sama saja akan dikenal.”

“lebih lebih menonjol yang campur (Tionghoa campuran), soalnya memang

lingkungannya sudah bercampur baur jadi memang tidak bisa membedakan

lagi.”

Page 115: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

178

“rasanya kurang enak juga, iya sepertinya kasar, orang disini lebih banyak

panggil orang keturunan Tionghoa..begitu, lebih enak, kalo dibilang orang

Tionghoa rasanya lebih cocok lagi, kata cinanya kasar, kata orang Jepang

dibilang begitu. Kata cina rasanya tidak enak sekali.”

Berkaitan dengan warisan budaya-budaya Tionghoa yang dimiliki,

menurut bapak Gilbert Lee didalam keluarganya masih mewarisi beberapa budaya

Tionghoa namun sifatnya masih terbatas, ia mengakui dalam ajaran agama

Konghuchu merupakan satu ajaran agama bagi semua etnik Tionghoa seperti

saling menghormati, menghargai yang diutamakan oleh orang Tua, hal tersebut

masih ia terapkan didalam keluarganya dan merupakan warisan dari para leluhur

keluarganya. Disisi lain, penggunaan beberapa tradisi Tionghoa seperti ucapan

hormat dalam bentuk soya masih dipergunakan sebagai ukuran keluarga

khususnya dikalangan sesama etnik Tionghoa, sedangkan dengan etnik Dawan ia

menggunakan jabat tangan seperti biasanya.

Dalam penggunaan seni arsitektur kediamannya yang sekaligus menjadi

tempat usaha, ia mengatakan bahwa penggunaan warna hijau tosca atau hijau

muda pada setiap pintu maupun jendela rumahnya merupakan warisan dari orang

tuanya pada waktu itu, dan ia sendiri tetap mempertahankannya sebab menjadi

sebuah tradisi, disamping itu ia mengakui tidak tahu makna warna hijau tersebut,

dan perkiraanya saja bahwa warna ini melambangkan “kedinginan” atau

ketentraman dan kadang juga membawa hoki atau keberuntungan.

Ketika ditanya apakah masih menggunakan tradisi Tionghoa lainnya

seperti feng shui dan mengkonsumsi makanan-makanan khas Tionghoa, dengan

senyum ia menjawab bahwa penggunaan feng shui sudah tidak dilakukan oleh

Page 116: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

179

keluarganya sedangkan kalender cina sebagai bentuk penanggalan hari-hari baik

masih dipergunakan. Dalam bidang kuliner Tionghoa, ia mengakui masih

mengkonsumsi makanan-makanan khas Tionghoa yang disajikan didalam

keluarga walau dirasa sudah jarang sekali karena lebih sering dihidangkan

makanan bersifat nasional (Makanan Indonesia).

“memang kalo ajarannya , kalo orang Tionghoa ini dia pung agama satu

ajaran, adalah dia pung ajaran, saling menghargai, menghjormati, itu yang

diutamakan dari orang tua itu.”

“ya kelanjutan dari saling menghargai, menghormati ya yang dari orang

tua sudah wariskan.”

“masih, sebab itu menjadi satu ukuran keluarga sebab, kalo dengan

sesama (etnis Tionghoa) dan keluarga ya biasa pake soya, ya kalo dengan

masyaraka biasa (orang asli Timor) ya pegang tangan saja, sudah jadi

biasa begitu.”

“sudah dari dulu, ini warisan dari orang tua dulu, kalo di bilang mau

bilang sudah tradisi, mau kermana, kebanyakan orang dulu sudah cat

begitu, jadi btong ikut sa sudah, sebab dong pung rumah dulu kembali

hijau-hijau begitu, mungkin warnanya dingin atau bagaimana ya..kalo

dibilang bawa hoki, tapi ktong snd begitu tau lai.”

“tapi kalo disini hampir semua orang snd begitu tau lai...kalo kalender cina

masih pake, buat pilih hari.”

“ya kalo senang masak, kalo pengin sesekali buat makan, ada juga. Masih

tetap ada.”

Terjemahannya :

“memang kalo ajarannya, kalo orang Tionghoa ini dia punya agama satu

ajaran, adalah dia punya ajaran, seperti saling menghargai, menghormati,

itu yang diutamakan dari orang tua itu.”

“ya kelanjutan dari saling menghargai, menghormati ya yang dari orang

tua sudah wariskan.”

Page 117: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

180

“masih dipertahankan, sebab itu menjadi satu ukuran keluarga, kalo

dengan sesama (etnis Tionghoa) dan keluarga ya biasa pake soya, ya kalo

dengan masyarakat biasa (orang asli Timor) ya pegang tangan saja, sudah

jadi biasa begitu.”

“sudah dari dulu, ini warisan dari orang tua, kalo dibilang sudah tradisi,

mau bagaimana lagi, kebanyakan orang dulu sudah cat begitu, jadi ikuti

saja, sebab rumah orang tua kami dulu kembali warna hijau-hijau begitu,

mungkin warnanya dingin atau bagaimana ya..kalo dibilang bawa hoki,

tapi saya tidak begitu tahu lagi jelasnya.”

“tapi kalo disini hampir semua orang tidak begitu tau lai (tidak

mengikuti)...kalo kalender cina masih dipakai, buat pemilihan hari saja.”

“ya kalo senang (pingin) ya dimasak, kalo pengin sesekali buat dikonsumsi,

ada juga. Masih tetap ada (dipertahankan).”

Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti bahwa,

makna identitas etnik Tionghoa bagi bapak Gillbert Lee dimaknai sebagai sebuah

kebanggaan akan identitas etnik Tionghoa yang dimilikinya, hal tersebut

dikarenakan lingkungan masyarakat di Niki-Niki khususnya dari kalangan etnik

Dawan yang wujudnya dapat dilihat dari partisipaasi bersama antara kedua etnik

ini dlam setiap perayaan maupun acara-acara yang diselenggarakan oleh kedua

belah pihak.

Dalam pandangan peneliti, makna Kebanggaan ini dapat dilihat melalui

beberapa hal yang ditinjau dari beliau, pertama adalah beliau sendiri tetap

mempertahankan marga Tionghoa keluarganya dan tidak merubah satu pun atau

mengkombinasikan dengan marga lain, Kedua adalah lingkungan yang cukup

kondusif khususnya dari etnik Dawan yang memberi kontribusi positif dalam

berbagai hal seperti pembauran yang baik dengan etnik Tionghoa, adanya faktor

kawin campur, sikap toleransi satu sama lain yang terbangun. Termasuk didalam

Page 118: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

181

memposisikan dirinya yang biasa-biasa saja dan tidak terlalu istimewa, sehingga

bisa dianggap sederajat dengan sesama etnik Tionghoa maupun dengan etnik

Dawan lainnya.

Berkaitan membentuk strategi identitasnya sebagai seorang Tionghoa

peranakan, ia sendiri tetap mempertahankan marga asli keluarganya dan tidak

melakukan perubahan ataupun kombinasi seperti yang sering dilakukan oleh etnik

Tionghoa lainnya akibat diterapkannya PP.10 oleh Pemerintah saat itu. Dengan

diplomatis ia menjawab bahwa seperti apapun merubah marga keluarga tetap saja

dengan mudah orang mengenali atau mengidentifikasi marga keluarganya sebagai

etnik Tionghoa, disamping itu ia menambahkan bahwa identitas secara fisik

seperti roman mukan pun bisa menjadi salah satu cara untuk mengenali seseorang

sebagai keturunan Tionghoa. Berdasarkan pandangan peneliti bahwa, beliau

mampu menekankan bahwa makna identitas etniknya sebagai sebuah

Kebanggaan, hal tersebut juga ia wujudkan dalam mempertahankan keaslian nama

marga Lee dalam keluarganya.

Perubahan identitas namanya tersebut tidak terlepas dari campur tangan

pemerintah Orde Baru pada saat itu yang mengharuskan merubah nama dan marga

setiap etnik Tionghoa, berdasarkan data yang diperoleh peneliti, menurut Leo

Suryadinata bahwa Kebijakan yang paling komperhensif untuk mengubah

identitas Tionghoa di Indonesia adalah peraturan ganti nama Pada tahun 1961,

ketika Soekarno masih berkuasa, peraturan ini sudah diumumkan akan tetapi tidak

dilaksanakan. Pada tahun 1966, setelah Soehato berkuasa, peraturan ganti nama

diterbitkan lagi. Kali ini prosedurnya disederhanakan dan banyak orang Tionghoa

Page 119: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

182

mengganti nama Tionghoanya, walaupun ganti nama ini tidak wajib. Namun bagi

kebanyakan orang Tionghoa terutama pada pertengahan 1960an ada tekanan halus

dari pemerintah untuk ganti nama, karena ganti nama dianggap sebagai sebuah

tingkah laku simbolik, semacam deklarasi orang Tionghoa bahwa mereka setia

kepada pemerintah Indonesia, atau mengidentitaskan diri dengan bangsa

Indonesia dan budaya Indonesia. Namun orang Tionghoa generasi muda yang

lahir sesudah tahun 1965 hampir semua memilikinama Indonesia atau nama yang

dianggap Indonesia. (yakni bukan nama Tionghoa). Menarik untuk dijelaskan

bahwa banyak Tionghoa mengambil nama Indonesia yang mencerminkan nama

aslinya, seperti salim untuk liem, Wijaya atau Wibisono untuk Oei.(Suryadinata,

2002, hal 87)

Makna Identitas

Etnik

Kebanggaan

Memposisikan Diri Sederajat

Strategi Identitas

(Kombinasi Marga)

Marga Tionghoa Marga Lokal Kombinasi

(Hasil)

Lee

___ Lee

Nama Identitas Nama Tionghoa Nama

Nasional/Indonesia/

Lee Cung Liong Gillbert Gasper Lee

Nama Populer Ence Liong TM, Liong TM / TM (Timor Makmur)

Dominasi Etnik Tionghoa Campuran

Nilai dan Budaya

yang dipertahankan

dan diwariskan

Budaya tegur sapa (soya), tata krama, sopan santun, kalender

Cina, warna arsitektur rumah, dll.

Cara Identifikasi

Sesama Etnik

Tionghoa

Marga dan ciri fisik seperti roman muka.

Tabel. 25. Indentitas Etnik Gillbert Lee

Disatu sisi, dalam pandangan peneliti bahwa dengan adanya dukungan

lingkungan yang kondusif semakin menguatkan rasa bangga akan identitasnya

Page 120: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

183

sebagai seorang Tinghoa peranakan. Disamping itu berkaitan dengan dominasi

identitas etnik Tionghoa misalnya, ia secara jujur mengakui lebih dominan

terhadap etnik Tionghoa campuran walaupun sebenarnya ia sendiri merupakan

keturunan Tionghoa peranakan. Dalam pandangan peneliti hal tersebut cukup

beralasan, sebab secara tidak langsung beliau sudah berbaur didalam lingkungan

yang cukup heterogen, dimana terdapat etnik Dawan maupun etnik Tionghoa

campuran, sehingga lambat laun sebagai bentuk saling menghormati ia secara

bijak lebih dominan terhadap etnik Tionghoa peranakan.

Disamping itu pula, dalam pengamatan peneliti kehidupan sosial bapak

Gillbert sehari-hari seperti dalam transaksi dagang ia lebih sering berinteraksi

dengan pegawai yang bekerja padanya dan pelanggan menggunakan bahasa

melayu Kupang maupun sesekali juga menggunakan bahasa Dawan, termasuk

didalamnya melakukan teknik pendekatan seperti penyuguhan sirih pinang (Oko

Mama). Disamping itu dalam itu dalam berinteraksi sehari-hari dengan

keluarganya ia lebih dominan menggunakan bahasa melayu Kupang, disamping

itu pergaulannya sehari-hari baik dengan sesama etnik Tionghoa ia lebih dominan

menggunakan bahasa melayu Kupang, termasuk juga didalam lingkungan tempat

ibadah. Dalam pandangan peneliti, hal tersebut sudah cukup kuat menggambarkan

kuatnya makna kebanggaan dalam identitasnya sebagai seorang Tionghoa

peranakan.

Demikian pula, perasaannya ketika dipanggil sebagai seorang Cina ia

sendiri merasakan panggilan tersebut sebagai suatu hal yang terdengan kurang

sopan dan kasar, ia sendiri menambahkan bahwa kebanyakan masyarakat Niki-

Page 121: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

184

Niki lebih banyak memanggil kaum etniknya dengan keturunan Tionghoa, dalam

pandangan peneliti hal tersebut cukup logis sebab selama ini sebutan bagi etnik

Tionghoa dengan kata Cina memang terkesan kasar dan berbau rasisme,

disamping itu kondisi lingkungan etnik Tionghoa di Niki-Niki cukup kondusif

dengan etnik Tionghoa setempat sehingga wajar diantara kedua etnik ini sudah

ada pemahaman dan toleransi yang baik.

Berkaitan dengan penggunaan istilah Cina yang bersifat rasisme tersebut,

peneliti menelusuri tulisan dari Melly Tan yang dapat mendukung analisis peneliti

bahwa selama periode penjajahan kolonial, Belanda menggunakan istilah

Masyarakat cina bagi segelintir imigran dan kelahiran olak dari orang cina, etnik

Indonesia hingga akhir abad ke 19 menggunakan istilah Tjina (Cina) atau Tjino

(Cino) dalam ucapan bahsa Jawa. Istilah Baba atau Babah digunakan sebagai

istilah yang dialamatkan kepada pria Tionghoa. Epistimologi ini tidaklah jelas,

tetapi mengarah pada sebagaimana diketahui dunia muslim yang mengarah pada

sarjana agama Islam. Eksistensi istilah ini di Indonesia sudah ada sejak abad ke

15, ketika komunitas Tionghoa muslim di panatai uata Jawa (Lombard dalam Tan,

2008, hal 1)

Paling sering diantara para kelahiran lokal adalah istilah yang biasanya

digunakan adalah Cina atau Cino yang bersifat konotasi menghina mereka. Tetap

pada istilah peranakan (istilah lain dari anak, atau anak indonesia atau keturunan

kelahiran lokal), sementara kelahiran asing atau imigram baru yang biasanya

disebut Totok (Dalam bahasa jawan disebut sebagai baru atau murni). (Tan, 2008,

hal 1)

Page 122: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

185

Mengenai warisan budaya etnik Tionghoa, menurut beliau masih mewarisi

beberapa nilai atau budaya Tionghoa dari leluhurnya meskipun demikian bersifat

terbatas. Adapun hal-hal tersebut sebagai berikut, budaya saling menghormati,

tata krama, tegur sapa seperti soya yang bersumber dari agama Konghuchu

dimana hal tersebut ia terapkan didalam keluarganya, disamping itu penggunaan

kalender Cina untuk pemilihan hari baik kecuali feng shui yang dilarang dalam

ajaran Gerejanya, maupun melestarikan budaya arsitektur rumah keluarganya.

Berdasarkan masalah kebudayaan diatas, peneliti menemukan beberapa

data yang berkaitan masalah tersebut. Masalah ini sebenarnya bersumber dari

agama Kongfuchu yang dianggap sebagai aliran kepercayaan, berikut ulasan dari

Leo Suryadinata untuk mendukung analisis peneliti Selain menghadapi tantangan

dari pemerintah Indonesia yang ingin mengasimilasi orang Tionghoa kedalam

tubuh pribumi, agama Konghuchu juga mendapat kesulitan dari masyarakat

Tionghoa di Indonesia sendiri. Orang Tionghoa peranakan, pada umumnya tidak

lagi berbahasa Tionghoa dan kebudayaannya telah lama sangat dpengaruhi baik

oleh lingkungan barat maupun Indonesia. Banyak dari mereka adalah orang

Kristen Protestan dan Katolik. Budaya Tionghoa sendiri sangat asing bagi

kebanyakan orang Tionghoa peranakan, teristimewa bagi generasi muda yang

diharuskan UU belajar di sekolah-sekolah Indonesia sejak tahun 1957, cara

berpikir mereka, karenanya lebih Indonesia dari pada Tionghoa. (Suryadinata,

2002, hal 187)

Kongchuisme juga menghadapi tantangan dari agama Budha, Katolik, dan

Prostestan yang umumnya dianggap lebih “Indonesia” dari pada agama

Page 123: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

186

Konghuchu. Jumlah orang Indonesia keturunanTionghoa yang menganut agama-

agama ini juga telah meningkat dalam tahun-tahun belakangan ini.(Suryadinata,

2002, hal 188)

Disamping itu, menurut data yang peneliti peroleh bahwa sebenarnya

penggunaan feng shui tidak ada masalah yang serius, sebenarnya dalam tulisan

Melly Tan bahwa Hal yang menarik dalam pengembangan properti yang sering

menjadi perhatian adalah istilah Feng Shui atau sistem geometri ala orang

Tionghoa. Diterjemahkan sebagai bentuk dari angin dan air. Sebagai hasilnya

adalah permintaan bagi para ahli feng shui, pakar konsultan paling awal sebelum

memutuskan tempat dari struktur bangunan. (Tan, 2008, hal 15)

Dalam pandangan peneliti, hal tersebut sebagai bentuk pengukuhan makna

identitas etniknya dan juga posisinya sebagai seorang keturunan Tionghoa agar

tetap eksis, seperti halnya juga dalam penggunaan warna hijau tosca dalam

arsitektur kediaman keluarganya yang diwariskan oleh orangtuanya adalah bentuk

penghargaan bagi leluhurnya, dan makna yang terkandung dalam warna hijau ini

melambangkan nilai keberuntungan, rejeki maupun tentram. Dimana warna hijau

tosca ini hampir mendominasi beberapa rumah etnik Tinionghoa di Niki-Niki.

Informan peneliti berikutnya adalah bapak Christopher Wijaya (Oei I Ngo)

yang berumur 67 tahun berprofesi sebagai seorang pedagang sembako,

wawancara antara peneliti dengannya berlangsung pada tanggal 3 juli pukul

14.00, peneliti menanyakan mengenai bagaimana ia memaknai identitas Tionghoa

yang selama ini melekat dalam dirinya serta bagaimana ia memposisikan diri

Page 124: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

187

kedalam lingkungan etnik Tionghoa maupun Dawan. Dengan nada santai ia

menjawab bahwa ia memaknai identitasnya sebagai sebuah kebanggaan karena

bisa lahir dari keluarga Tionghoa dan besar di negara yang makmur seperti

Indonesia selain itu ia mengakui bahwa walaupun masih memiliki darah Tionghoa

yang mengalir namun ia bangga bisa menjadi bagian atau tinggal dan dibesarkan

di Indonesia.

Sehingga baginya sudah tidak diperlukan hal istimewa lainnya, baginya

bisa tinggal dan mencari hidup di Indonesia sudah lebih dari cukup, sehingga

tidak perlu mencari hal-hal lain lagi, dia pun secara diplomatis mengungkapkan

bahwa pada prinsipnya sebagai etnik Tionghoa keturunan hanya sekedar mencari

aman dengan menafkahi keluarga saja untuk tetap hidup dan tidak perlu terlibat

dibidang politik atau menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil). Sedangkan

disinggung mengenai memposisikan dirinya dengan sesama etnik Tionghoa

maupun dengan etnik Dawan, ia menjawab bahwa ia tidak membutuhkan harus

bagaimana ia memposisikan diri lagi, ia memposisikan dirnya hanya biasa saja

dan tidak mau membeda-bedakan dirinya dengan sesama etnik Tionghoa dan

etnik Dawan khususnya, sebab jika ia tetap membeda-bedakan dirinya dengan

yang lain akan semakin mempersulit dirinya dalam bersosialisasi. Ia

menambahkan kalo dengan sesama etnik Tionghoa mungkin saja bisa terjadi

karena adanya hubungan keluarga satu sama lain tentunya ia harus memposisikan

dirinya bergantung pada situasi.

“ya bangsa saja too, bangga memang kebetulan lahir di keluarga

Tionghoa, bangga juga karna tiap semua orang yahh negara besar juga

tohh...memang darah Tionghoa mas su menyatu dengan Indonesia, snd bisa

Page 125: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

188

dipungkiri lai, soalnya su lahir di Indonesia, besa di Indoensai, makan di

Indoensai mau apalai... ? Hahahahaheee...ais su bisa hidup di Indonesia ais

mau pikir apa lai ? orang Tionghoa ujung2 dia cari duit sa.. bisa hidup,

kasih hidup keluarga itu su aman, makanya ada Tionghoa suash mau jadi

pns too, bukan ktong su ada kerja bikin jadi pegawai bikin apa ? kalo btong

pung orang sini khan cari kerja susah, kalo lu masuk pegawai negeri khan

pasti, yg laen su masuk pns khan su pasti, jadi dia pung beda itu sa.. “

“mau posisi yg mana, btong biasa2 sa deng dong, snd ada mau perbedaan,

lu mau perbedaan, mana mau dong dekat deng lu, biasa dong su sekat, ya

anak ojek apa dong semua khan bae, pi mana2 dong antar su aman2

sa..sesama Tionghoa yaa karna laen ada menyangkut famili, bergaul pi

datang snd seberapa. “

Terjemahannya :

“ya bangga saja, bangga memang kebetulan lahir dari keluarga Tionghoa,

bangga juga karena tiap semua orang yah.. ini negara besar juga

kan...memang darah Tionghoa tetapi sudah menyatu dengan Indonesia,

tidak bisa dipungkiri lagi, soalnya sudah lahir di Indonesia, besar di

Indonesia, makan di Indonesia mau apalagi... ? Hahahahaheee...juga sudah

bisa hidup di Indonesia dan juga mau pikir apa lai ? orang Tionghoa ujung-

ujungnya dia cari duit saja.. bisa hidup, kasih hidup keluarga itu sudah

aman, makanya ada Tionghoa susah mau jadi pns bukan ? bukannya kami

sudah ada lahan kerja buat apalagi jadi pegawai negeri ? kalo orang kami

(etnik Tionghoa) disini kan cari kerja sudah susah, kalo kamu jadi pegawai

negeri kan pasti, yang laen sudah jadi pns kan sudah pasti, jadi

perbedaannya itu saja.“

“mau posisi yang mana, saya biasa-biasa saja dengan mereka (etnik

Dawan), tidak ada mau perbedaan, kamu mau perbedaan, mana mau

mereka dekat deng kamu, biasanya mereka sudah dekat, ya anak ojek apa

dong semua kan baik, pergi kemana mereka ngantar sudah aman

saja..sesama Tionghoa ya karena lainyya sudah ada menyangkut hubungan

keluarga, bergaul sana-kemari tidak seberapa.“

Perihal dalam membentuk strategi identitasnya sebagai seorang Tionghoa

peranakan, ia menjawab bahwa selama ini strategi identitasnya yang diterapkan

dalam keluarganya hanya pada perubahan nama marga, yakni marga Tionghoanya

yang bernama “Ui” diganti dengan marga yang berbau Indonesia menjadi

“Wijaya”, ia menjelaskan lebih terperinci bahwa kata “Ui” jika di ejakan dalam

Page 126: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

189

bahasa Indonesia terdengar seperti “Wi” maka keluarganya pun sepakat

menggunakan nama “Wi” dan dikombinasikan dengan “Jaya” sehingga terdengar

seperti marga Indonesia. Hal tersebut diakuinya dikarenakan dampak penetapan

aturan PP.10 yang dirilis oleh Pemerintah Orde baru pada saat itu, sehingga

memaknsa keluarganya untuk menyepakati pergantian nama marga mereka.

Ketika ditanya mengenai dominasi identitas etnik didalam dirinya, ia

mengakui bahwa pada dasarnya jika ingin merubah identitas fisik memang sudah

tidak bisa dipungkiri lagi menunjukan sebagai seorang keturunan Tionghoa,

baginya marga Oei tetap sebagai keturunan Cina (Tionghoa), namun secara

diplomatis ia tetap memilih sebagai seorang warga negara Indonesia tanpa melihat

status sebagai warga pribumi atau non-pribumi (keturunan), pada dasarnya ia

sendiri tidak mau membeda-bedakan dirinya sebagai Tionghoa peranakan dengan

maksud agar lebih mudah bersosialisasi.

Ia menambahkan rata-rata dilingkungan masyarakat sekitarnya atau

lingkungan keluarga jauh yang berada pada tataran bawah sudah mengetahui ia

lebih sering menggunakan identitas nama Indonesianya, berbeda ketika berada

dilingkungan keluarga dekatnya atau kerabat keluarga lebih sering memanggilnya

dengan menggunakan nama Tionghoa yang melakat pada dirinya. Ketika ditanya

rasa kebanggaannya menggunakan nama Tionghoanya, ia menjawab bahwa ia

sendiri merasa bangga, hal ini tidak bisa dipungkiri karena memang sudah

keadaannya (digariskan) sebagai seorang Tionghoa, walaupun akibat

diterapkannya aturan PP.10 itu sendiri yang mengharuskan orang tuanya dan

Page 127: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

190

dirinya untuk merubah nama dan masuk menjadi WNI agar bisa mendapat mata

pencaharaian hidup di Indonesia.

“Ui itu, dia pung bunyi dengan wi hampir sama to, jadi supaya itu nama

ee...itu nama marga jang hilang yaa...ada bunyi sedikit2 saa...mirip2

too...itu setalah gestok (G30S) yang ganti2 nama tuh...”

“btong mau rubah btong pung ini (identitas/fisik) snd bisa, oeini tetap cina,

btong kalo mau lebih baik jadi Indonesia saja, pribumi dan non pribumi snd

mau begitu, ada yg beda2 begitu ais mau bekin kermana ? dr btong pung ini

snd ad niat mau beda”

“kalo sekarang orang su tau btong pake nama Indonesia lebih banyak,

kecuali yang btong pung teman tau btong pung nama (nama cina), kecuali

juga yang generasi bawah dong semua su pake nama sarani, di toko2 su

pake nama sarani jadi song snd tau lai..su hanya yaa kalo, teman sebaya

yang tau nama cina,”

“ya bangga sebagai orang cina Cuma yaa iko keadaan too...ya karna

keadaan menuntut btong iko sa..dulu khan mau dagang khan musti maso

warga too...maso warga dong suruh ganti nama, jd btong iko sa too..”

Terjemahannya :

“Ui itu, bunyi jika diejakan terdengarseperti wi hampir sama, jadi supaya i

nama marganya tidak hilang yaa...ada bunyi sedikit saja.. Wijaya, mirip-

mirip kan...itu setalah gestok (G30S) yang peraturan ganti nama.”

“kami mau merubah identitas ini (identitas/fisik) tidak bisa, oeini tetap cina

(etnik Tionghoa), kami kalo mau lebih baik jadi warga Indonesia saja, tidak

mau begitu menjadi golongan pribumi dan non pribumi, ada yg beda-

bedakan begitu, terus mau bagaimana? dari keturunan kami tidak ada niat

mau beda-beda”

“kalo sekarang orang sudah tau saya pake nama Indonesia lebih banyak,

kecuali yang teman saya tahu nama Tionghoa saya (nama cina), kecuali

juga yang generasi bawah, mereka semua sudah pake nama sarani (nama

nasional), di toko-toko(orang pedagang Tionghoa) sudah pake nama sarani

(nasional) jadi mereka tidak tahu lagi..sudah hanya yaa kalo, teman sebaya

yang tahu nama cina (Tionghoa)”

Page 128: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

191

“ya bangga sebagai orang cina (Tionghoa) Cuma yaa mengikuti keadaan

kan...ya karena keadaan menuntut kami ikuti saja..dulu kan mau dagang

kan mesti masuk warga negara Indonesia kan...masuk WNI meraka

(Pemerintah) mengharuskan ganti nama, jadi kami ikuti saja ya..”

Berkaitan dengan warisan budaya-budaya Tionghoa yang dimiliki,

menurut beliau bahwa dalam keluarganya masih mewarisi dan menerapkan

beberapa budaya Tionghoa lainnya seperti budaya sopan santun, tata krama

seperti budaya soya yang lazimnya dipergunakan sebagai salam hormat jika

bertemu sesama etnik Tionghoa khususnya yang berumur lebih tua atau

seumuran. Hal tersebut sudah diterapkan oleh orang tuanya sejak ia masih kecil,

termasuk saat ia sudah berkeluarga ia pun terapkan kepada putranya sejak dini,

termasuk juga ketika perayaan imlek tiba, keluargnya pun masih merayakan

dengan terbatas, kecuali melakukan ritual ala agama Konghuchu seperti berdoa

menggunakan hiong atau dupa dan peraturan feng shui sudah tidak dilakukan

karena ia sendiri sudah beragama Kristen. Disisi dalam kuliner Tionghoa, ia pun

mengakui dalam keluarganya masih menghidangkan dan mengkonsumsi kuliner

khas Tionghoa, ketika ditanya mengenai budaya Tionghoa mana yang paling ia

sering terapkan, sambil termenung sejenak ia menjawab kalo budaya Tionghoa

sudah terlalu banyak, mungkin di saat perayaan imlek lebih sering dijadikan ajang

reuni keluarga dan teman-temannya, terutama mereka yang tinggalnya cukup jauh

dari luar daerah, namun ketika orang tuanya sudah tiada ia lebih banyak

mengadakan dikediamannya sendiri secara terbatas.

“ohh.... kalo itu ada (soya, budya sopan santun, tata krama), dari kecil2 su

ajar, imlek rayakan, Cuma kalo sembayang hiong snd karan ktong su

masuk kristen, tau juga snd terlalu guna (feng shui)”

Page 129: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

192

“tetap ada, makan juga.”

“budaya btong snd terlalu...(pikir lama), kalo mau iko dia pung buday

terlalu banyak too...ya imlek mungkin, senang bisa berkumpul banyak2

orang, jadi ketemu keluarga dari jaoh dong datang, macam dulu waktu ortu

masih di kupang, ya semua kumpul di kupang, skrng ya ortu su mati (wafat)

semua, jadi bekin di rumah saa...ke pange kwn2 dong saa.”

Terjemahannya :

“ohh.... kalo itu ada (soya, budya sopan santun, tata krama), dari kecil-

kecil sudah diajarkan, imlek dirayakan, Cuma kalo sembayang hiong tidak

karena kami sudah masuk Kristen, tahu juga tidak terlalu guna (feng shui)”

“tetap ada, tetap makan juga.”

“budaya saya tidak terlalu...(pikir lama), kalo mau mengikuti budaya

Tionghoa terlalu banyak jadi...ya paling imlek mungkin, senang bisa

berkumpul banyak orang, jadi ketemu keluarga dari jauh mereka hadir,

seperti dulu waktu orang tua masih di Kupang, ya semua kumpul di

Kupang, kalo sekarang semenjak orang tua sudah wafat, semua jadi buat

di rumah masing-masing saja...paling mengundang teman-kerabat saja.”

Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti bahwa,

makna identitas etnik Tionghoa bagi bapak Christopher Wijaya bahwa makna

identas etnik Tionghoa baginya adalah sebuah kebanggaan, dalam hal ini ia

menjelaskan bahwa ia merasa bersyukur sebagai seorang peranakan Tionghoa bisa

menjadi WNI, tinggal di negera Republik Indonesia yang makmur. Begitu pun

juga dalam memposisikan dirinya, ia sendiri tidak berharap akan posisi istimewa,

baginya sudah bisa tinggal dan bekerja di Indonesia sudah lebih dari cukup.

Dalam pandangan peneliti, hal tersebut bisa dipahami bagi seorang

keturunan Tionghoa yang pada dasarnya selalu dikenal sebagai etnik Perantauan

dan mencari nafkah melalui jalur perdagangan. Kebanggaan yang dimaknai oleh

bapak Christopher bisa dipahami sebagai suatu bentuk penekanan akan eksistensi

Page 130: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

193

identitas etnik Tionghoanya yang bisa menjadi WNI disamping itu sebagai wujud

syukur atas bagian dari warga Indonesia meskipun demikian ia mewarisi darah

keturunan.

Menurut peneliti pandangan tersebut bisa diartikan sebagai bentuk

komitmen etnik Tionghoa yang merantau ke Niki-Niki karena gejolak politik di

negeri asal mereka, selain itu pada prinsipnya tujuan utama dari etnik ini sendiri

hanyalah mencari penghidupan dari sektor ekonomi tanpa perlu terlibat masalah

politik.

Hal tersebut cukup relevan dengan penemuan peneliti, hal tersebut bisa

dilihat dari ulasan Leo Suryadinata bahwa Ada dua faktor, yaitu faktor pendorong

dan faktor penarik yang berperan atas hadirnya dalam jumlah besar orang

Tionghoa diwilayah ini. Kekacauan, kemiskinan dan kepadatn penduduk di

daratan Tiongkok mendorong mereka meninggalkan negeri leluhurnya, sedangkan

kolonisasi barat di asia tenggara dan pembukaan wilayah ini membutuhkan

banyak tenaga kerja. (Suryadinata, 2002, hal 7)

Penekanan lain adalah stigma bahwa pada prinsipnya etnik Tionghoa tidak

mau terlibat atau dekat dalam bidang politik maupun duduk didalam

Pemerintahan, hal tersebut juga beralasan sebab etnik Tionghoa sempat

mengalami masa-masa sulit ketika terjadi masa-masa G30S. Lain halnya dengan

memposisikan dirinya, menurut pandangan peneliti, beliau bermaksud untuk

mengukuhkan dirinya sederajat dengan etnik Tionghoa lainnya serta etnik Dawan

pada umumnya yang berada di Niki-Niki, dengan alasan yang cukup realistis bagi

Page 131: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

194

peneliti yakni agar mempermudah dirinya dalam bersosialisasi dengan

lingkungannya, itu pun bergantung pada situasi dimana ia berada, dalam artian

peneliti beliau bisa beradaptasi dan pandai menempatkan dirinya disegala situasi

termasuk didalamnya dipengaruhi hubungan kekeluargaan yang terjalin.

Dalam pengamatan peneliti hal tersebut terlihat dalam pergaulan sosialnya,

beliau mampu berbaur secara merata dengan etnik Tionghoa dan etnik Dawan.

Ditambah lagi dengan menggunakan bahasa melayu Kupang sudah menjadi syarat

minimum bergaul dengan etnik Dawan serta yang istimewa adalah

kemampuannya menguasai bahasa Mandarin menjadi nilai tambah tersendiri

dimata sesama etnik Tionghoanya.

Makna Identitas

Etnik

Kebanggaan dan anugerah

Memposisikan Diri Sederajat

Strategi Identitas

(Kombinasi Marga)

Marga Tionghoa Marga Lokal Kombinasi

(Hasil)

Ui

___ Wijaya = Wi

(Ui) + Jaya

(kebesaran)

Nama Identitas Nama Tionghoa Nama

Nasional/Indonesia/

Ui I Ngo Christopher Wijaya

Nama Populer Ence Ngo

Dominasi Etnik Tionghoa campuran

Nilai dan Budaya

yang dipertahankan

dan diwariskan

Budaya tata krama, sopan santun, pperayaan imlek, kuliner

Tionghoa, dll.

Cara Identifikasi

Sesama Etnik

Tionghoa

_____

Tabel .26. Identitas Etnik Christopher Wijaya

Lain halnya dalam membentuk strategi identitasnya sebagai seorang

Tionghoa peranakan, hal tersebut terbatas hanya pada perubahan dan kombinasi

Page 132: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

195

nama marga Tionghoa mereka akibat diterapkannya PP.10 oleh Pemerintah pada

saat itu. Yang menarik dari peneliti adalah kombinasi marga etnik Tionghoanya

yang bernama Ui dirubah menjadi marga yang berbau Indonesia yakni Wijaya.

Dimana marga Ui jika dieja dan dibaca terdengan seperti Wi, sehingga dalam

pandangan peneliti dengan menggunakan nama Wijaya sudah cukup representatif,

bisa dipandangankan dengan kombinasi marga tersebut dapat dimaknai bahwa

marga mereka yakni Wi-Jaya diartikan sebagai marga Ui yang berjaya, sesuai

dengan makna identitas Tionghoanya sebagai sebuah Kebanggaan tersendiri.

Perubahan identitas namanya tersebut tidak terlepas dari campur tangan

pemerintah Orde Baru pada saat itu yang mengharuskan merubah nama dan marga

setiap etnik Tionghoa, berdasarkan data yang diperoleh peneliti, menurut Leo

Suryadinata bahwa Kebijakan yang paling komperhensif untuk mengubah

identitas Tionghoa di Indonesia adalah peraturan ganti nama Pada tahun 1961,

ketika Soekarno masih berkuasa, peraturan ini sudah diumumkan akan tetapi tidak

dilaksanakan. Pada tahun 1966, setelah Soehato berkuasa, peraturan ganti nama

diterbitkan lagi. Kali ini prosedurnya disederhanakan dan banyak orang Tionghoa

mengganti nama Tionghoanya, walaupun ganti nama ini tidak wajib.

Namun bagi kebanyakan orang Tionghoa terutama pada pertengahan

1960an ada tekanan halus dari pemerintah untuk ganti nama, karena ganti nama

dianggap sebagai sebuah tingkah laku simbolik, semacam deklarasi orang

Tionghoa bahwa merekasetia kepada pemerintah Indonesia, atau

mengidentitaskan diri dengan bangsa Indonesia dan budaya Indonesia. Namun

orang Tionghoa generasi muda yang lahir sesudah tahun 1965 hampir semua

Page 133: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

196

memilikinama Indonesia atau nama yang dianggap Indonesia. (yakni bukan nama

Tionghoa). Menarik untuk dijelaskan bahwa banyak Tionghoa mengambil nama

Indonesia yang mencerminkan nama aslinya, seperti salim untuk liem, Wijaya

atau Wibisono untuk Oei.(Suryadinata, 2002, hal 87)

Disisi lain, berbicara mengenai dominasi identitas etnik Tionghoa didalam

dirinya bahwa dalam pengakuannya ia lebih dominan sebagai WNI tanpa melihat

dominasi sebagai seorang Pribumi atau non-pribumi, walaupun demikian secara

fisik ia merupakan Tionghoa peranakan. Dalam pandangan peneliti bahwa

sebenarnya secara tersiran beliau mengisyaratkan dirinya dominan sebagai

seorang Tionghoa campuran, hal tersebut bisa terlihat dari bagaiman ia berbaur

dengan etnik Tionghoa lainnya dan etnik pada umumnya, kemudian hal lain

adalah secara langsung ia lebih nyaman menggunakan identitas Tionghoanya

ketika bersosialisasi didalam lingkungan keluarga hal tersebut terlihat pada nama

panggilannya yang lebih akrab menggunakan nama Tionghoa. Hal tersebut

sekaligus emnguatkan bahwa ia membanggakan makna identitasnya sebagai

keturunan Tionghoa.

Berkaitan dengan warisan budaya-budaya Tionghoa yang dimiliki, masih

ada beberapa budaya Tionghoa dari leluhurnya yang masih diterapkan didalam

keluarganya meskipun bersifat terbatas. Budaya tersebut diantaranya adalah

budaya tata krama, tegur sapa seperti budaya soya yang lazimnya dipergunakan

sebagai salam hormat jika bertemu sesama etnik Tionghoa khususnya yang

berumur lebih tua atau seumuran. Hal tersebut sudah diterapkan oleh orang tuanya

sejak ia masih kecil, dan diwariskannya kepada keluarganya. Disamping itu

Page 134: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

197

penggunaan feng shui sudah tidak dilakukannya lagi termasuk penggunaan hiong

atau ritual-ritual khas agama Konghuchu dan sejenisnya sudah tidak dilakukan

lagi karena bertentangan dengan ajaran dari Gerejanya.

Berdasarkan masalah kebudayaan diatas, peneliti menemukan beberapa

data yang berkaitan masalah tersebut. Masalah ini sebenarnya bersumber dari

agama Kongfuchu yang dianggap sebagai aliran kepercayaan, berikut ulasan dari

Leo Suryadinata untuk mendukung analisis peneliti Selain menghadapi tantangan

dari pemerintah Indonesia yang ingin mengasimilasi orang Tionghoa kedalam

tubuh pribumi, agama Konghuchu juga mendapat kesulitan dari masyarakat

Tionghoa di Indonesia sendiri. Orang Tionghoa peranakan, pada umumnya tidak

lagi berbahasa Tionghoa dan kebudayaannya telah lama sangat dpengaruhi baik

oleh lingkungan barat maupun Indonesia. Banyak dari mereka adalah orang

Kristen Protestan dan Katolik. Budaya Tionghoa sendiri sangat asing bagi

kebanyakan orang Tionghoa peranakan, teristimewa bagi generasi muda yang

diharuskan UU belajar di sekolah-sekolah Indonesia sejak tahun 1957, cara

berpikir mereka, karenanya lebih Indonesia dari pada Tionghoa. (Suryadinata,

2002, hal 187)

Kongchuisme juga menghadapi tantangan dari agama Budha, Katolik, dan

Prostestan yang umumnya dianggap lebih “Indonesia” dari pada agama

Konghuchu. Jumlah orang Indonesia keturunanTionghoa yang menganut agama-

agama ini juga telah meningkat dalam tahun-tahun belakangan ini.(Suryadinata,

2002, hal 188)

Page 135: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

198

Berbeda saat merayakan imlek mereka tetap dilaksanakan namun sebata

pada silahturahmi dan acara reuni keluarga, dan juga menghidangkan kuliner khas

Tionghoa yang tetap dipertahankan oleh keluarganya. Dalam pandangan peneliti,

dengan hal tersebut sebenarnya sebagai seorang Tionghoa keturunan beliau tetap

mempertahankan eksistensi identitasnya walaupun terganjal oleh beberapa hal

seperti faktor agama, walaupun demikian ia mampu menjalankan budaya

Tionghoanya sekaligus kembali menegaskan komitmen makna identitasnya

sebagai seorang Tionghoa peranakan.

2.5.2. Makna Identitas Etnik Pada Etnik Tionghoa Campuran.

Etnik Tionghoa campuran yang menjadi informan peneliti ini adalah

mereka yang merupakan keturunan peranakan Tionghoa yang sudah berbaur,

berperilaku, berbicara serta menikah dengan penduduk setempat (pribumi). Ke-6

informan penelitian ini adalah : Paulus Mana Nitbani (Ang Pai Fan), John

Errence E Litelnoni (Lee Hok Chow), Endang EYP Litelnoni (Ang Taek Sang),

Leonard Hun Banamtuan (Ang Xie Ling), Syarifudin Un (Wun Jun Pit), serta

Herman Carel Litelnoni (Lee Hok Kie). Dalam sub ini mereka mencoba

mendeskripsikan atau menceritakan kembali pengalaman mereka memaknai

identitas yang selama ini dimiliki dan diwariskan oleh keluarganya, disamping itu

akan dilihat pula bagaimana mereka memposisikan diri dan membuat strategi

pembentukan identitas mereka serta budaya Tionghoa yang dikembangkan dalam

keluarganya.

Page 136: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

199

Informan pertama peneliti adalah bapak Paulus Nitbani (Ang Pai Fan),

yang berumur 76 tahun dan bekerja sebagai petani, wiraswastawan sekaligus

tokoh adat masyarakat Tionghoa Niki-Niki. Beliau juga merupakan informan

pokok peneliti sekaligus juga penghubung peneliti dengan calon informan lainnya.

Wawancara dilaksanakan pada 14 Juni 2012. Dalam wawancara ini, peneliti

menanyakan perihal bagaimana ia memaknai identitas Tionghoa yang selama ini

melekat dalam dirinya serta bagaimana ia memposisikan diri kedalam lingkungan

etnik Tionghoa maupun Dawan. Dengan raut wajah serius ia menjawab bahwa ia

memaknai identitas Tionghoa yang dimilikinya sebagai bentuk tanggung jawab

dan pengharapan. Dalam prakteknya ia menjelaskan semuanya terjabar dari nama

marga keluarganya, tatacara hidup, penguasaan adat istiadat, pergaulan, dan

bagaimana nilai-nilai tersebut disalurkan kepada generasi berikutnya. Semuanya

ia menggambarkan sebagai sesuatu bersifat feodalisme.

Ketika disinggung bagaimana ia memposisikan dirinya ketika berada

dilingkungan etnik Tionghoa maupun etnik Dawan, ia menjawab jika berada

didalam lingkungan etnik Dawan ia sendiri merupakan keturunan Raja Nitbani

dari etnik Dawan dan secara otomatis ia lebih mudah dinidentifikasi oleh

masyarakat Dawan dari penggunaan marga ibunya sebagai anak Raja. Disamping

itu, ia menuturkan ketika berada dilingkungan etnik Dawan, masyarakat setempat

memahami fungsi kedudukan dan mana pangkat yang setara dengan mereka

seperti ketika mereka memanggilnya harus dengan sapaan apa dan bagaimana.

Hal sebaliknya juga terjadi ketika ia berada dilingkungan etnik Tionghoa ia juga

memiliki kedudukan tersendiri di kalangan etniknya sendiri. Yang paling

Page 137: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

200

istimewa adalah posisinya dikalangan etnik Dawan, dimana ia merupakan salah

satu dari sekian banyak ahli Natoni (juru bicara adat) dan merupakan satu-satunya

keturunan Tionghoa yang mampu menguasai adat tersebut.

“Itu daari fam dan nama, tata cara hidup, masih kuasai adat. Itu dari

pergaulan dan perasaan cinta kasih bagi sesama. Kasih kungng,

(feodalisme), mana yang lebih besar dan pandai lebih dihormati. (Nilai2

keleluargaan yang dipegang) dan semua itu masih dipegang sampai hari

ini. Masih juga diajarkan turun temurun dari kami ke nak2, dan cucux. Dst.

Dan semua ini tidak bisa dihilangkan. Makna Tanggung jawab,

Pengharapan.”

“itu juga dietnis Dawan, karena famili dari mama, ketika bertemu mereka

orang mengatakan ini yang kita panggil mana, ini kita panggil Om, ini kita

panggil Bai (Kakek), dan mereka tau fungsi kedudukan, atau mana

hubungan rang (pangkat) yang setara, dan semuanya otomatis sudah ada

danterjadi sedemikian rupa. Oh...ini kung pung bapa pung ipar, oh..ini kung

pung bapa pung ponakan dan lain sebagainya. Jadi semua langsung

spontanitas yang terjadi. Jadi misalnya kung pulang kampung, mereka

sudah bisa identifikasi kung, bahwa kung masih hubgan nope dan Raja

pung anak. Kelu rapat (keluarga dekat) dan say ini kuasai adat. Kung

misalnya menguasai NATONI, dan biasanya dikasih kuasa untuk bicara

melalui upacara adat dari Raja Pene.”

Terjemahannya :

“Itu dari namamarga, tata cara hidup, masih kuasai adat. Itu dari

pergaulan dan perasaan cinta kasih bagi sesama. Kasih sayang, mana yang

lebih tua dan pandai lebih dihormati (feodalisme). (Nilai2 kekeluargaan

yang dipegang) dan semua itu masih dipegang sampai hari ini. Masih juga

diajarkan turun temurun dari kami ke anak-anak, dan cucu. Dst. Dan semua

ini tidak bisa dihilangkan. Makna Tanggung jawab, Pengharapan.”

“itu juga dari etnis Dawan, karena hubungan keluarga dari mama, ketika

bertemu mereka orang mengatakan ini yang kita panggil mana, ini kita

panggil Om, ini kita panggil Bai (Kakek), dan mereka (etnik Dawan) tahu

fungsi kedudukan, atau mana hubungan rang (pangkat) yang setara, dan

semuanya otomatis sudah ada dan terjadi sedemikian rupa. Oh...ini ipar

ayah saya, oh..ini ponakan ayah saya dan lain sebagainya. Jadi semua

langsung spontanitas yang terjadi. Jadi misalnya saat saya pulang

kampung, mereka sudah bisa identifikasi saya, bahwa saya masih hubungan

keluarga dengan Nope dan ipar Raja . Keluarga dekat dan saya ini kuasai

Page 138: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

201

adat. Saya misalnya menguasai NATONI, dan biasanya dikasih kuasa untuk

bicara melalui upacara adat dari Raja Pene.”

Perihal dalam membentuk strategi identitasnya sebagai seorang Tionghoa

campuran, ia menjawab bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh Pemerintah Orde

Baru melalui penetapan PP.10 dan Kepres 13 tersebut, namun ia sendiri lebih

banyak dikenal oleh masyarakat Dawan melalui ibunya, hal tersebut karena

ibunya merupakan keturunan Raja Pene ketimbang dikenal melalui ayahnya yang

merupakan keturunan Tionghoa. Begitu pun nama Tionghoanya kurang populer

dikalangan etnik Dawan, ia sering dikenal dengan nama Ence Nitbani (Ence :

bapak/saudagar dari bahasa Tionghoa, sedangkan Nitbani merupakan marga

Bangsawan). Perihal strategi identitas lainnya, ia mengakui ketika diberlakukan

PP.10 oleh Pemerintah saat itu, keluarganya memutuskan untuk mengganti nama

marga sebelumnya yakni Ang dari pihak ayahnya menjadi Nitbani, mengikuti

marga ibunya yang merupakan etnik Dawan sekaligus anak keturunan Raja

Nitbani.

“Iya, pengaruh PP10 dan kepres 13 Peraturan pergantian nama. Namun

orang Dawan lebih mengenal kung sebagai anak dari ibu kung, bukan

ayang. Nama marga ibu sya . Nama Tionghoa kung kurang populer/dikenal

oleh orang Timor, namun lebih dikenal nama Ence Nitbani.”

“Itu karena pada waktu pergatian nama/proses masuk kewarganegraan

Indonesia, kami memutuskan menggunakan marga nitbani dari pihak Ibu,

nah kebanyakan menggunakan marga dari nenek atau ibu (Pribumi), jadi

seperti begitu.”

Terjemahannya :

“Iya, pengaruh PP.10 dan kepres 13 Peraturan pergantian nama. Namun

orang Dawan lebih mengenal saya sebagai anak dari ibu, bukan ayah.

Page 139: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

202

Nama marga ibu saya Nitbani. Nama Tionghoa saya kurang

populer/dikenal oleh orang Timor (etnik Dawan), namun lebih dikenal

nama Bapak Nitbani.”

“Itu karena pada waktu pergantian nama/proses masuk kewarganegraan

Indonesia, kami memutuskan menggunakan marga nitbani dari pihak Ibu,

nah kebanyakan menggunakan marga dari nenek atau ibu (Pribumi), jadi

seperti begitu.”

Ketika disinggung mengenai dominasi identitas etnik Tionghoa dalam

dirinya, ia menuturkan dengan cukup lugas serta diplomatis bahwa baginya secara

jujur tidak ada rasa malu sebagau etnik Tionghoa campuran, takut atau apapun,

pada intinya ia hanya ingin berbuat baik dimana saja berada dan bisa hidup, taat

pada aturan adat dan rajin beribadah dan yang paling penting menjaga hubungan

kekeluargaan. Ia menambahkan ketika dikenal sebagai seorang Tionghoa ia

merasakan sebagai sebuah penghargaan, kerena ia sendiri merupakan keturunan

Tionghoa dan merupakan subuah takdir yang harus diterima dan tidak bisa

ditolak.

Perihal mengidentifikasi dengan sesama identitas dengan sesama Tionghoa

campuran, ia menjawab bahwa saat ini bisa dikatakan pergaulan masyarakat di

Niki-Niki khususnya pembauran antara etnik Tionghoa dan Dawan sudah sampai

pada kawin campur sehingga timbul pertalian persaudaraan dan sebagainya,

namun yang paling sederhana adalah melalui identifikasi roman muka dan mata,

walaupun dari segi biologis-fisik seperti warna kulit yang coklat gelap toh jika

roman mukanya seperti umumnya etni Tionghoa dapat ditebak orang tersebut

masih memiliki darah keturunan Tionghoa.

Page 140: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

203

“Jujur, tidak ada perasaan maulu, takut, atau.. intinya kita berbuat baik

diman saja dan bisa hidup. Taat peraturan dan rajin gereja. Hub

kukeluargaan tetap di jaga. (NEU TERUSSS...Canda).”

“Itu merupakan suatu penghargaan, dan itu juga ktng turunan dari situ.

Dan kalo mereka bilang kita turunan silsia\lah dari situ makan memang

tidak bisa tidak atau mungkin, jadi harus duterima.”

“Itu karena pergaulan disini sudah ada faktor kawin mawin, sudah ada

faktor kenalan, jadi setiap kali bertemu ini sudah seperti ada pertalian

saudara, tidak beda2, karena sudah tinggal disini berpulu tahun lamauan,

misalnya umur kung sudah 77 tahun, sudah ada pembauran atau kesatuan.

Proses identifikasi yang paling mudah ya liat dari roman muka saja sudah

bisa kenal, muka, mata sudah tau. Ohhh Biar orangnya hitam tetapi liat

mata sudah bisa tau bahwa ada darah cinanya sudah ada.”

Terjemahannya :

“Jujur, tidak ada perasaan malu, takut, atau.. intinya kita berbuat baik

dimana saja dan bisa hidup. Taat peraturan dan rajin gereja. Hubungan

kukeluargaan tetap di jaga. (NEU TERUSSS...Canda).”

“Itu merupakan suatu penghargaan, dan itu juga keturunan kami dari situ.

Dan kalo mereka bilang kita turunan silsilah dari situ maka memang tidak

bisa tidak atau mungkin, jadi harus diterima.”

“Itu karena pergaulan disini sudah ada faktor kawin-mawin, sudah ada

faktor kenalan, jadi setiap kali bertemu ini sudah seperti ada pertalian

saudara, tidak beda-beda, karena sudah tinggal disini berpulutahun

lamanya, misalnya umur saya sudah 77 tahun, sudah ada pembauran atau

kesatuan. Proses identifikasi yang paling mudah ya lihat dari roman muka

saja sudah bisa kenal, muka, mata sudah tahu. Oh Biar orangnya hitam

tetapi lihat mata sudah bisa tahu bahwa ada darah cinanya sudah ada.”

Berkaitan dengan warisan budaya-budaya Tionghoa yang dimiliki,

menurut bapak Paulus bahwa beberapa warisan budaya Tionghoa masih terus

dipertahankan oleh keluarganya, ia mencontohkan seperti tradisi pernikahan yang

melangsungkan beberapa tahap prosesi seperti “antar-pasalin” tradisi lamaran

mengantar mahar maupun barang pengantin dari pihak laki-laki ke pihak

Page 141: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

204

perempuan, jawabnya secara merinci. Disamping itu ketika dalam acara kedukaan

pada kaum etnik Tionghoa misalnya, ada tradisi pembagian benang merah kepada

setiap pelayat baik mereka yang etnik Tionghoa atau bukan yang dimaknai

sebagai lambang menghindari malapetaka.

Disisi lain dalam penggunaan tradisi penanggalan hari baik melalui

kalender Cina masih dgunakan olehnya, tujuan penggunaan penanggalan tersebut

dimaksudkan agar dapat memilih hari baik, pemilihan jam yang baik dengan

harapan mendatangkan berkah atau keberuntungan, ia sendiri mengakui untuk

mendapatkan barang tersebut harus dipesan dari luar daerah seperti Jakarta dan

kadang dipesan langsung dari Hong Kong. Namun ia secara tegas mengakui

bahwa ada beberapa tradisi budaya Tionghoa yang sudah tidak dipergunakan

dikarenakan bertentangan dengan ajaran agama Kristen yang dianutnya seperti

menggunakan baju dari karung goni pada setiap anggota keluarga yang berduka.

Disamping budaya lainnya, ia pun tetap mempertahankan beberapa tradisi

tata krama dan sopan santun yang khas Tionghoa seperti sikap tanda hormat

kepada orang Tua dari anak-anak seperti pai-pai atau budaya soya, budaya tutur

kata, peraturan berumah tangga yang diajarkan kepada anak-anak secara turun

temurn, ia mengakui hal tersebut tidak dapat dihilangkan karena sudah turun-

temurun diajarkan dalam keluarganya bahkan diterapkan oleh masing-masing

etnik Tionghoa lainnya.

“Hmm..ya..masih tradisi yang dipelahara, misalnya pesta nikah seperti

antar pasali itu, misalnya pihak laki2 antar ke Nona, nanti pihak nona

mengantar kembali sebagai hantaran keluar. Nanti tradisi itu, misalnnya

Page 142: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

205

nona keluar nan matondo rumah atau menonduk pada rumah sebagai tanda

penghargaan kepada Tuhan/ bisa juga pamitan. Atau waktu acara

keduakaan, dikasih benang merah, melambangkan menghindari sial.

Penggunaan kalender cina misalnya yang didatangkan dari jakarta,

singapura, atau Hongkong. (Pemilihan hari baik), jam, atau apa saja,

dengan harapan memperoleh kebahagiaan bagi anak cucu. Ada beberapa

tradisi yang sudah tidak dipake, baju karung, pake baju terbalik. Disamping

itu juga pengaruh agama kristen juga lama2 hilang, tidak dipake.”

“Tentu masih ada yang diterapkan, misalnya anak yang lebih mudah

datang mengahdap pada orang tua atau yang lebih tua pai2 (salam

hormat), tidak bisa hilang karan sudah diajarkan secara turun temurun.

Budaya panggilan, tutur bahasa, dalam rumah dan sebagainya, pagi2

anak2 harus menyapu mengatur rumah, tata laksana rumah tangga,

membuat sarapan, tamu datang menyguhkan minuman”

Terjemahannya :

“Hmm..ya..masih ada tradisi yang dipelihara, misalnya pesta pernikah

seperti antar pasalin itu, misalnya pihak laki mengantar barang ke pihak

perempuan, nanti pihak perempuan mengantar kembali sebagai hantaran

keluar. Nanti tradisi itu, misalnya perempuan keluar kemudiann

membungkuk rumah atau menonduk pada rumah sebagai tanda

penghargaan kepada Tuhan/ dan bisa juga pamitan. Atau waktu acara

kedukaan, dikasih benang merah, melambangkan menghindari sial.

Penggunaan kalender cina misalnya yang didatangkan dari jakarta,

singapura, atau Hongkong. (Pemilihan hari baik), jam, atau apa saja,

dengan harapan memperoleh kebahagiaan bagi anak cucu. Ada beberapa

tradisi yang sudah tidak dipakai, seperti baju karung, pakai baju terbalik.

Disamping itu juga pengaruh agama Kristen juga lama kelamaan mulai

hilang,dan tidak dipakai.”

“Tentu masih ada yang diterapkan, misalnya anak yang lebih mudah

datang mengahadap pada orang tua atau yang lebih tua pai-pai (salam

hormat), tidak bisa hilang karena sudah diajarkan secara turun temurun.

Budaya panggilan, tutur bahasa, dalam rumah dan sebagainya, pagi-pagi

anak-anak harus menyapu mengatur rumah, tata laksana rumah tangga,

membuat sarapan, tamu datang menyuguhkan minuman”

Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti bahwa,

makna identitas etnik Tionghoa bagi bapak Paulus Nitbani sebagai sebuah

tanggung jawab dan pengharapan. Yang terwujud dalam nama marga keluarga,

Page 143: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

206

tata cara hidup, penguasaan adat, pergaulan dan mewariskannya pada generasi

berikut. Dalam pandangan peneliti makna tanggung jawab yang diungkapkan oleh

beliau bisa dimaknai karena beliau sendiri sebagai seorang keturunan Tionghoa

sekaligus juga sebagai anggota keluarga bangsawan Raja Nitbani.

Sehingga harus menjaga martabad nama keluarga mereka, melalui makna

pengharapan juga ingin menegaskan sebagai seorang keturunan Tionghoa yang

dikenal sebagai etnik perantauan dan marga Nitbani sebagai bangsawan harus

mampu menjadi tumpuan harapan bagi kedua marga keluarganya tersebut.

Termasuk didalamnya bagaimana mereka menjaga sikap, tata cara hidup,

pergaulan, menghormati adat kedua etnik ini, agar mampu mewariskan nilai-nilai

yang baik kepada generasi berikutnya termasuk didalammnya nilai feodalisme.

Disini pula dapat diketahui, sebagai seorang keturunan Tionghoa dan

keturunan Bangsawan tentunya memiliki “beban” yang harus dipikul karena

dimaknai sebagai sebuah tanggung jawab dan pengharapan. Alasan tersebut cukup

logis bagi peneliti, peneliti sendiri memiliki beberapa asumsi yang mendukung

selama melakukan pengamatan, pertama sebagai seorang keturunan Tionghoa

campuran ia harus menjaga nama baik keluarganya, dimata masyarakat etnik

Dawan, etnik Tionghoa mendapatkan posisi yang setara dengan kaum bangsawan,

diamana ia menempati sebagai tokoh masyarakat etnik Tionghoa.

Kedua sebagai seorang bangsawan yang mewakili marga ibunya yakni

Nitbani, beliau juga memiliki posisi sebagai juru bicara adat etnik Dawan

(Natoni), dan posisinya ini sebagai juru bicara adat sudah menjadi suatu profesi

Page 144: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

207

tersendiri dan mendapatkan bayaran yang tidak sedikit. Profesinya ini pun tidak

banyak dan tidak sembarang orang melakoni, karena dibutuhkan kemampuan

bahasa Dawan dan kekuatan magis tertentu, dia sendiri dinobatkan sebagai satu-

satunya etnik Tionghoa yang menjadi juru bicara adat etnik Dawan.

Dalam memposisikan dirinya ketika berada dilingkungan etnik Tionghoa

maupun etnik Dawan, ia lebih dominan memposiskan dirinya sebagai salah satu

keturunan bangsawan. Hal tersebut menurut peneliti cukup logis, sebab dimata

masyarakat etnik Dawan selain dihormati sebagai etnik Tionghoa ia juga

dihormati karena posisinya sebagai seorang keturunan bangsawan. Dalam

pandangan peneliti, bisa dikatakan hal tersebut cukup layak sebab secara langsung

beliau sudah mewarisi dua kebudayaan maupun dua identitas sekaligus yakni

sebagai seorang keturunan etnik Tionghoa campuran dan keluarga bangsawan dari

Raja Nitbani. Disamping itu, dalam kehidupan sosialnya sehari-hari beliau sendiri

secara otomatis mendapat posisi tersendiri dimata masyarakat etnik Dawan karena

statusnya sebagai seorang bangsawan, dalam berinteraksi dengan etnik Dawan ia

mampu secara fasih berbicara dalam bahasa Dawan dan mendapat panggilan kase

dari etnik Dawan.

Page 145: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

208

Makna Identitas

Etnik

Tanggung jawab dan pengharapan

Memposisikan Diri Kaum Bangsawan

Strategi Identitas

(Kombinasi Marga)

Marga Tionghoa Marga Lokal Kombinasi

(Hasil)

Ang

Nitbani Nitbani

Nama Identitas Nama Tionghoa Nama

Nasional/Indonesia/

Ang Pai Fan Paulus Mana Nitbani

Nama Populer Ence Nitbani, Kung Pai Fan, Kung Nitbani

Dominasi Etnik Tionghoa Campuran

Nilai dan Budaya

yang dipertahankan

dan diwariskan

Tradisi perkawinan, tata krama, sopan santun, kalender Cina,

dll.

Cara Identifikasi

Sesama Etnik

Tionghoa

Marga dan ciri fisik seperti roman muka.

Tabel. 27. Identitas Etnik Paulus Nitbani

Dalam lingkungan etnik Tionghoa maupun di dalam keluarganya, selain

berprofesi sebagai seorang juru bicara adat ia juga merupakan salah satu petani

yang memiliki beberapa hektar sawah, tentunya hal ini sedikit lain dan berbeda

dengan etnik Tionghoa lainnya dimana pada umumnya mereka rata-rata berprofesi

sebagai pedagang atau pengusaha.

Dalam pengamatan peneliti ia lebih sering menggunakan bahasa Dawan

dan bahasa melayu Kupang, tidak jarang sesekali ia menggunakan bahasa

Mandarin untuk berdiskusi dengan teman sejawatnya sesama Tionghoa.

Disamping itu ia cukup fasih menulis sastra Mandarin dan pernah berprofesi

sebagai ahli ramal, namun profesinya itu sudah ditinggalkan karena larangan dari

Gerejanya. Berdasarkan penjelasan diatas, menurut peneliti bapak Paulus Nitbani

ingin menegaskan kembali makna tanggung jawab dan pengharapan dari identitas

etnik Tionghoanya.

Page 146: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

209

Berkaitan dengan membentuk strategi identitasnya sebagai seorang

Tionghoa campuran, keluarga beliau memutuskan mengikuti marga ibunya yakni

Nitbani sebagai marga bangsawan Raja Nitbani, ketimbang melakukan kombinasi

marga Tionghoa mereka. Disamping itu, ia lebih sering dikenal dengan kombinasi

marganya, yakni ence Nitbani (Paman Nitbani). Berkaitan pula dengan dominasi

etnik Tionghoa didalam dirinya ia lebih dominan kepada etnik Tionghoa

campuran, karena sebagai seorang keturuan Tionghoa ia merasa sangat dihargai

dan dihormati oleh lingkungannya, dalam pandangan peneliti hal tersebut cukup

wajar, sebab ada beberapa alasan kuat yang mendukung dominasi identitasnya

yakni ia memaknai sebagai sebuah tanggung jawab dan pengharapan, termasuk

posisinya sebagai keturunan bangsawan, sehingga wajar ia lebih dominan

terhadap etnik Tionghoa campuran.

Perubahan identitas namanya tersebut tidak terlepas dari campur tangan

pemerintah Orde Baru pada saat itu yang mengharuskan merubah nama dan marga

setiap etnik Tionghoa, berdasarkan data yang diperoleh peneliti, menurut Leo

Suryadinata bahwa Kebijakan yang paling komperhensif untuk mengubah

identitas Tionghoa di Indonesia adalah peraturan ganti nama Pada tahun 1961,

ketika Soekarno masih berkuasa, peraturan ini sudah diumumkan akan tetapi tidak

dilaksanakan. Pada tahun 1966, setelah Soehato berkuasa, peraturan ganti nama

diterbitkan lagi. Kali ini prosedurnya disederhanakan dan banyak orang Tionghoa

mengganti nama Tionghoanya, walaupun ganti nama ini tidak wajib. Namun bagi

kebanyakan orang Tionghoa terutama pada pertengahan 1960an ada tekanan halus

dari pemerintah untuk ganti nama, karena ganti nama dianggap sebagai sebuah

Page 147: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

210

tingkah laku simbolik, semacam deklarasi orang Tionghoa bahwa merekasetia

kepada pemerintah Indonesia, atau mengidentitaskan diri dengan bangsa

Indonesia dan budaya Indonesia. Namun orang Tionghoa generasi muda yang

lahir sesudah tahun 1965 hampir semua memilikinama Indonesia atau nama yang

dianggap Indonesia. (yakni bukan nama Tionghoa). Menarik untuk dijelaskan

bahwa banyak Tionghoa mengambil nama Indonesia yang mencerminkan nama

aslinya, seperti salim untuk liem, Wijaya atau Wibisono untuk Oei.(Suryadinata,

2002, hal 87)

Berkaitan dengan warisan budaya-budaya Tionghoa yang dimiliki

diantaranya mewarisi beberapa tradisi pernikahan khas Tionghoa seperti antar

pasalin, penggunaan kalender Cina, budaya tata krama, sopan santun mulai dari

pai-pai atau soya, terus diwariskan kepada anak-anaknya dan tetap dipraktekkan

dalam kehidupan sehari-hari, karena menurutnya hal tersebut sulit dihilangkan

karena sudah turun temurun diwariskan oleh nenek moyangnya. Dalam

pengamatan peneliti saat mengamati acara peresmian kubur kedua orang tuanya,

turut hadir pula dua informan peneliti yakni Bapak John Litelnoni dan istrinya ibu

Endang Nitbani, dalam acara peresmian makam ini peneliti melihat banyak sekali

dihadiri oleh tamu dari keluarga etnik Tionghoa dan etnik Dawan, tata cara

perayaan juga mengkombinasikan antara budaya Tionghoa dan ajaran Kristen

Protestan.

Peneliti juga melihat dari ketiga informan peneliti ini, aktif berinteraksi

dengan sesama etnik Tionghoa menggunakan bahasa Dawan maupun dengan

menggunakan bahasa melalyu Kupang, termasuk didalamnya ketika berinteraksi

Page 148: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

211

dengan menggunakan bahasa Dawan kepada etnik Dawan itu sendiri. Tak lupa

juga, peneliti melihat diantara sesama etnik Tionghoa mereka lazim menggunakan

salam hormat atau pai-pai atau soya, dan uniknya hampir rata-rata dari mereka

mengkonsumsi oko mama atau sirih pinang yang lazimnya dikonsumsi oleh etnik

Dawan, disamping itu dalam peresmian makam ini menggunakan tata cara ibadat

agama Kristen Protestan. Dalam acara ini, beliau sebagai kakak tertua dari

keluaga Nitbani-Ang mengambil posisi sebagai ketua panitia sekaligus

memainkan peran sebagai juru penentuan penanggalan dan penggunaan feng shui.

Disamping itu, menurut data yang peneliti peroleh bahwa sebenarnya

penggunaan feng shui tidak ada masalah yang serius, sebenarnya dalam tulisan

Melly Tan bahwa Hal yang menarik dalam pengembangan properti yang sering

menjadi perhatian adalah istilah Feng Shui atau sistem geometri ala orang

Tionghoa. Diterjemahkan sebagai bentuk dari angin dan air. Sebagai hasilnya

adalah permintaan bagi para ahli feng shui, pakar konsultan paling awal sebelum

memutuskan tempat dari struktur bangunan. (Tan, 2008, hal 15)

Dalam pelaksanaan acara ini, diakui olehnya masih menggunakan kalender

Cina untuk menentukan hari baik diselenggarakannya acara ini, termasuk ada

beberapa tradisi yang seperti lempar koin kepada anak-anak maupun cucu dengan

harapan mambawa rejeki, serta pembakaran hiong kertas dan dupa oleh anggota

keluarga dan kerabat mereka yang bergamama Katholik. Berdasarkan hasil

pengamatan diatas, menurut pandangan peneliti bapak Paulus Nitbani tetap

mempertahankan beberapa budaya Tionghoa dari nenek moyangnya hal tersebut

Page 149: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

212

dikarenakan beliau secara konsisten ingin menunjukan memaknai identitas

Tionghoanya sebagai sebuah tanggung jawab dan pengharapan.

Informan peneliti selanjutnya adalah bapak John E.E.Litelnoni alias (Lee

Hook Chow), berumur 80 tahun yang merupakan satu-satunya mantan kepala

kelurahan keturunan Tionghoa di Niki-Niki. Ia juga merupakan tokoh Masyarakat

etnik Tionghoa di Niki-Niki, serupa dengan Bapak Paulus Nitbani. Beliau juga

merupakan informan pokok peneliti sekaligus juga penghubung peneliti dengan

calon informan lainnya. Wawancara peneliti dengan beliau berlangsung pada

tanggal malam hari 14 Juni 2012, peneliti menanyakan perihal bagaimana ia

memaknai identitas Tionghoa yang selama ini melekat dalam dirinya serta

bagaimana ia memposisikan diri kedalam lingkungan etnik Tionghoa maupun

Dawan.

Dengan santai ia menjawab secara bahwa tidak memiliki rasa tertentu

namun ia hanya mendeskripsikan pengalamannya sebagai aparatur negara yang

masuk keluar kampung dan bertemu dengan beberapa etnik Tionghoa yang sudah

menyaru sebagai orang Timor namun tetap mempertahankan identitas

Tionghoanya. Ketika ditanya perihal bagaimana memposisikan dirinya ketika

berada ditengah-tengah lingkungan etnik Tionghoa dan etnik Dawan, ia

menjelaskan bahwa setelah pensiun sebagai aparatur negara yakni Lurah selama

32 tahun pun ia tetap dikenal dengan sebutan Kung Lurah (Kung : dalam bahasa

Mandarin adalah Kakek), padahal nama Tionghoanya adalah Hok Metan (Hok

Hitam, metan dalam bahasa Timor artinya hitam sesuai warna kulitnya). Ia

menambahkan di Niki-Niki ada tiga orang bernama hok, sehingga agar mudah

Page 150: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

213

dikenali ia di panggil Hok Metan, sebagai jawaban penutup dalam memposiskan

diri baginya semua terserah pada pembawaan diri masing-masing pribadi sebagai

orang Tionghoa dalam tengah-tengah masyarakat.

“skrng baru terjadi di kupang, samapai soe. Sebelum menjadi kades, saya

sebelumnya menjabat sebagai ketua persatuan masyarakat etnis Tionghoa

dsini selama 3 tahun. Jadi meliputi soe2, dan beberapa kampung. Saya

sudah masuk beberpa kampung dan bertemu bebrapa etnis Tionghoa yang

sudah pakai selimut (penampilan layaknya orang asli timor) namun masih

memakai nama Tionghoa. Tek Hoang Tae, Sung Hong Tae. Ets. “

“kung udah pensiung 32 tahun tetap dipangging kung lurah oleh orang

timor. Padaha nama saya hok, disini ada 3 ok, hok metan (hokkulit hitam,

ya saya sendiri), hok mollo, hok unu. Hok nona bbanci supaya lebih

dikenal.”

“ya itu tergantung bagaimana kita membawa diri sebagai orang disini,

kedalam komunitas masyarakat, misalnya yang kita mau datangi itu”

Terjemahannya :

“sekarang baru terjadi di kupang, sampai soe. Sebelum menjadi kades, saya

sebelumnya menjabat sebagai ketua persatuan masyarakat etnis Tionghoa

disini selama 3 tahun. Jadi meliputi soe dan beberapa kampung. Saya sudah

masuk beberapa kampung dan bertemu beberapa etnis Tionghoa yang

sudah pakai selimut (penampilan layaknya orang asli Timor/etnik Dawan)

namun masih memakai nama Tionghoa. Tek Hoang Tae, Sung Hong Tae.

Ets.”

“saya sudah pensiun selama 32 tahun tetap dipanggil kung lurah oleh

orang Timor. Padahal nama saya hok, disini ada tiga hok, hok metan

(hokkulit hitam, ya saya sendiri), hok mollo, hok unu. Hok nona bbanci

supaya lebih dikenal.”

“ya itu tergantung bagaimana kita membawa diri sebagai orang disini,

kedalam komunitas masyarakat, misalnya yang kita mau datangi itu”

Perihal dalam membentuk strategi identitasnya sebagai seorang Tionghoa

campuran, ia menceritakan bahwa semua ini terjadi pada saat penertiban PP.10

Page 151: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

214

oleh Pemerintah waktu itu, dimana saat salah satu anggota keluarganya sebagai

sekretaris daerah kabupaten yang juga keturunan Tionghoa merubah nama marga

keluarga mereka dari marga Lee menjadi Litelnoni, dimana kombinasi tersebut

melibatkan marga Telnoni dari pihak ibunya yang pada waktu itu merupakan

keturunan Raja Telnoni.

Pembuatan nama marga ini sekaligus menurutnya untuk mencegah tidak

terjadinya kawin-mawin diantara sesama marga Lee. Selanjutnya ketika

disinggung mengenai dominasi identitas didalam dirinya, ia menjawab bahwa

secara pribadi dirinya lebih menonjol sebagai etnik Timor, namun tidak menutup

kemungkinan identitas etnik Tionghoa bisa menonjol dalam kondisi tertentu seerti

dirinya saat diminta menjadi moelang atau juru bicara dari pasangan pengantin

dalam adat budaya Tionghoa yang mengatur segala keperluan teknis maupun

protokoler pengantin maupun tata cara adat perkawinan khas Tionghoa. Ia

menambahkan dengan menonjol pada etnik tertentu akan memberikan keuntungan

tersendiri, ia sendiri sudah memperhitungkan agar mendapat jaminan keamanan

dan mudah berbaur dengan masyarakat setempat.

“Pergantian nama pada waktu itu, saat anggota keluarga saya menjadi

sekretaris daerah. Ia memikirkan jalan terbaik bagi keluarga dalam

menjawab politik ini. Maka diputuskan, marga keluarga kami Litelnoni :

Lee : marga keluarga, telnoni :nama marga bangsawan. Sebagai alat untuk

mempermudah pengenalan identitas keluarga dan mencegah terjadinya

kawin-mawin dengan sesama marga Lee.”

“menurut perasaan pribadi lebih menyolok etnis Timor, etsin cina dalam itu

bisa terjadi dalam pertemuan tertentu, misalnya da peminangan, moelang

(jubir), tapi kalo jubir secara nasional hanya sekedar bicara, tetapi

moelang dia hanya tidak hanya ttelibat langsung dalam a menususn

antaran2, pntun, dll. Moelang seperti protokoler. Kalo anak dan menantu

Page 152: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

215

sudah bisa jubir, tetapi moelng belum bisa. Perkawinan nasional,

pertemuan org cina sudah ikut. Saya waktu menikah juga tidak pake

moelang. Mulai dari situ say berpikir apa suah menjadimoeang, niki2, soe,

akapan. Utk marga lee, yang terteua di timor hanya kung.”

“a..kalo menurus perasaan kung baik menjabat sebagai aparatur negara

dan setelah meletakan jabatan negara merasa lebih leluasa, dan perasaan

kung itu sudah makin mendalam kepada etnis Timor.”

“itu kita mau...memperhintungka keuntungannya hanya lewat keluarga,

misalnya kakek dan nenekmu yang tinggal di oepura ya hitungannya

menjadi aman. Itu mau tidak mau kita harus membaur, karena kita mencari

amana dan damaian, ketentraman, sebab hidup manusia tanpa ketentraman

maka sia2lah atau sial. (cari aman)”

Terjemahannya :

“Pergantian nama pada waktu itu, saat anggota keluarga saya menjadi

sekretaris daerah. Ia memikirkan jalan terbaik bagi keluarga dalam

menjawab politik ini. Maka diputuskan, marga keluarga kami Litelnoni :

Lee : marga keluarga, telnoni :nama marga bangsawan. Sebagai alat untuk

mempermudah pengenalan identitas keluarga dan mencegah terjadinya

kawin-mawin dengan sesama marga Lee.”

“menurut perasaan pribadi lebih menyolok etnis Timor, etnis Cina dalam

itu bisa terjadi dalam pertemuan tertentu, misalnya ada peminangan,

menjadi moelang (jubir), tapi kalo jubir secara nasional hanya sekedar

bicara, tetapi moelang dia hanya tidak hanya terlibat langsung dalam hal

menyusun antaran, pantun, dll. Moelang seperti protokoler. Kalo anak dan

menantu sudah bisa jubir, tetapi moelang belum bisa. Perkawinan nasional,

pertemuan orang Cina sudah ikut. Saya waktu menikah juga tidak pake

moelang. Mulai dari situ saya berpikir apa susahnya menjadi moelang,

niki-niki, soe, kapan. Untuk marga lee, yang tertua di Timor hanya saya.”

“a..kalo menurut perasaan kung baik menjabat sebagai aparatur negara

dan setelah meletakan jabatan negara merasa lebih leluasa, dan perasaan

kung itu sudah makin mendalam kepada etnis Timor.”

“itu kita mau...memperhitungkan keuntungannya hanya lewat keluarga,

misalnya kakek dan nenekmu yang tinggal di oepura ya hitungannya

menjadi aman. Itu mau tidak mau kita harus membaur, karena kita mencari

aman dan damai, ketentraman, sebab hidup manusia tanpa ketentraman

maka sia-sialah atau sial. (cari aman)”

Page 153: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

216

Berkaitan dengan warisan budaya-budaya Tionghoa yang dimiliki,

menurut beliau cukup ringkas bahwa kebudayaan Tionghoa pada akhir-akhir

sudah mulai punah dikarenakan pengaruh dari agama, khususnya agama Kriten

Protestan. Sedangkan dalam penerapan budaya kehidupan sehari-harinya ia

berprinsip bahwa ditengah-tengah kehidupan globalisasi yang cukup deras yang

terpenting baginya adalah martabad keluarga yang tetap harus dipegang. Ia

menambahkan nilai-nilai budaya Tionghoa yang dikembangkan didalam

keluarganya adalah pandai membawa diri didalam lingkungan masyarakat yang

majemuk, ia pun tidak bisa memungkiri bahwa didalam dirinya mengalir darah

etnik Tionghoa yang menjadi kebanggaan tersendiri.

“kalo berbicara mengenai kebudayaan akhir2 ini bisa dikatakan sudah

hampir punah, karena pengaruh dari agama,”

“itu kita kehidupan tiap2 hari, sebab kita hidup di globalisasi, sebab kita

tidak bisa melupakan martabad dai pada keluarga yang telah mendahului

kita, kita harus pegang.”

“kalo apa seperti memng kebanggaan dalam diri ini btul2 darah daging

dari orang Cina, itu perlu kita tidak bisa pungkiri, akan tetapi oleh karena

kehaqdiran kita ditengah masyaralat yang majemuk mayoritasnya

maslatakat asli, kita harus pandai2 membawa diri. Begitu, itu bedanya.”

Terjemahannya :

“kalo berbicara mengenai kebudayaan akhir-akhir ini bisa dikatakan sudah

hampir punah, karena pengaruh dari agama Protestan,”

“itu kita kehidupan tiap hari, sebab kita hidup di globalisasi, sebab kita

tidak bisa melupakan martabat dari pada keluarga yang telah mendahului

kita, kita harus pegang.”

“kalo apa seperti memang kebanggaan dalam diri ini betul-betul darah

daging dari orang Cina, itu perlu kita tidak bisa pungkiri, akan tetapi oleh

Page 154: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

217

karena kehadiran kita ditengah masyaralat yang majemuk mayoritasnya

masyatakat asli, kita harus pandai-pandai membawa diri. Begitu, itu

bedanya.”

Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti bahwa,

makna identitas etnik Tionghoa bagi bapak John E.Litelnoni adalah ia sendiri

tidak memiliki rasa atau tidak memaknai identitasnya sebagai seorang keturunan

Tionghoa, padahalnya berkaitan dengan warisan budaya etnik Tionghoa beliau

secara jujur masih memiliki kebanggaan akan darah Tionghoa yang mengalir

didalam dirinya. Sedangkan berkaitan dengan bagaimana ia memposisikan dirinya

didalam lingkungan etnik Tionghoa maupun etnik Dawan, bahwa ia

memposisikan dirinya sebagai aparatur negara sekaligus juga sebagai tokoh

masyarakat. Menurut pandangan peneliti, bahwa beliau sebagai seorang keturunan

etnik Tionghoa tidak memaknai bentuk apapun tentang makna identitas

disebabkan berbagai faktor, pertama secara etnisitas beliau sudah merupakan

keturunan kawin campur antara etnik Tionghoa dan etnik Dawan,

kedua secara tersirat sebenarnya bapak John memiliki atau memaknai

identitasnya sebagai kebanggaan namun enggan untuk diungkapkan, dikarenakan

secara fisiknya sudah tidak merepresentasi etnik Tionghoa dan mencolok pada ciri

fisik etnik Dawan. Alasan yang mendukung pandangan peneliti ini adalah dalam

pergaulannya sehari-hari ia selalu dikenal sebagai keturunan etnik Tionghoa

dengan nama panggilan kung lurah (kakek lurah) dan Hok Metan (Hok : nama

Tionghoanya, Metan : hitam dalam bahasa Dawan) sebab dia merupakan satu-

Page 155: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

218

satunya mantan lurah keturunan Tionghoa, dan dalam pengakuannya ia lebih

nyaman dan bangga akan panggilan nama tersebut.

Begitupun juga dalam memposisikan dirinya sebagai seorang aparatur

negara namun itu semua bergantung dari pembawaan diri masing-masing, dalam

pandangan peneliti dengan menggunakan jawaban tersebut sebenarnya beliau

ingin menegaskan kembali meskipun sudah pensiun sebagai mantan lurah ia tetap

memiliki kewajiban moral untuk mengayomi masyarakat khususnya etnik

Tionghoa dan etnik Dawan, disamping itu dengan menggunakan kata aparatur

negara ketimbang luran sebenarnya ia ingin menekankan bahwa stigma keturunan

dari marga keluarganya selalu berada dibalik dunia Pemerintahan.

Hal tersebut bukanlah hal baru yang peneliti temui, berdasarkan beberapa

data yang peneliti telusuri seperti tulisan dari Hidayat Z.M yang mengatakan

bahwa golongan generasi muda (generasi peranakan Tionghoa) yang telah

mendapat pendidikan Barat yang modern. Golongan ini lebih cenderung untuk

merubah nilai-nilai budaya tradisi leluhurnya. Profesi pola kehidupan ekonomi

tidak menjadi monopoli dalam usaha dagang saja, akan tetapi telah ada yang

beralih kebidang lain sesuai dengan pendidikannya. Kebanyakan dari mereka ini

telah memilih profesi menjadi dokter, serjana teknik, eknomi, hukum atau

menjadi pegawai kantoran atau pemerintahan, akan tetapi dengan tujuan yang

sama yaitu yang sekiraya bisa menunjang untuk mendapat keuntungan besar

(Hidayat, 1993, hal 118-9)

Page 156: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

219

Dalam pengamatan peneliti, seperti kegiatan sehari-harinya setelah tidak

menjabat sebagai Lurah ia lebih sering melakukan kegiatan dirumah bersama sang

istri dan mengadopsi 4 orang anak etnik Dawan, selain itu dalam sosialisasi beliau

cukup merata berbaur dengann etnik Tionghoa dan etnik Dawan dalam bentuk

mengunjungi mereka satu persatu sekedar bersilahturahmi, serta aktif

menggunakan bahasa Dawan dan bahasa melayu Kupang untuk berkomunikasi

dengan mereka termasuk didalam lingkungan keluarga.

Makna Identitas

Etnik

Tidak ada, (Kebanggaan)

Memposisikan Diri Mantan aparatur negara

Strategi Identitas

(Kombinasi Marga)

Marga Tionghoa Marga Lokal Kombinasi

(Hasil)

Lee

Telnoni

Litelnoni

Nama Identitas Nama Tionghoa Nama Nasional/Indonesia/

Lee Hook Chow John Errence Edward

Litelnoni

Nama Populer Kung Lurah, Hook Metan

Dominasi Etnik Etnik Timor (Etnik Dawan)

Nilai dan Budaya

yang dipertahankan

dan diwariskan

Pembawaan Diri, Moelang (Protokoler Perkawinan

Tionghoa)

Cara Identifikasi

Sesama Etnik

Tionghoa

Marga dan ciri fisik (Roman muka)

Tabel. 28. Identitas Etnik Bapak John Litelnoni

Berkaitan dengan membentuk strategi identitasnya sebagai seorang

Tionghoa campuran, keluarga beliau melalui seorang sepupunya yakni CHR

Litelnoni yang menjabat sebagai sekretaris Kabupaten TTS memutuskan bersama

bahwa menggganti marga mereka dari Lee menjadi Litelnoni, dimana kombinasi

tersebut terdiri dari dua marga yakni Li (Lee) dan telnoni, yang menerankan asal

nama marga ibunya yang merupakan keturunan Raja Telnoni. Dalam

Page 157: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

220

penggabungan nama marga ini dikarenakan akibat diterapkannya PP.10 oleh

Pemerintah saat itu dan juga mencegah terjadinya kawin mawin diantara sesama

marga Lee. Sehingga menurut pandangan peneliti, beliau secara tersirat ingin

menekankan bahwa meskipun tidak memiliki makna terhadap identitas etniknya

namun ia merasa bangga akan marga keluarganya yang terwujud dalam kombinasi

antara kedua marga Litelnoni.

Perubahan identitas namanya tersebut tidak terlepas dari campur tangan

pemerintah Orde Baru pada saat itu yang mengharuskan merubah nama dan marga

setiap etnik Tionghoa, berdasarkan data yang diperoleh peneliti, menurut Leo

Suryadinata bahwa Kebijakan yang paling komperhensif untuk mengubah

identitas Tionghoa di Indonesia adalah peraturan ganti nama Pada tahun 1961,

ketika Soekarno masih berkuasa, peraturan ini sudah diumumkan akan tetapi tidak

dilaksanakan. Pada tahun 1966, setelah Soehato berkuasa, peraturan ganti nama

diterbitkan lagi. Kali ini prosedurnya disederhanakan dan banyak orang Tionghoa

mengganti nama Tionghoanya, walaupun ganti nama ini tidak wajib. Namun bagi

kebanyakan orang Tionghoa terutama pada pertengahan 1960an ada tekanan halus

dari pemerintah untuk ganti nama., karena ganti nama dianggap sebagai sebuah

tingkah laku simbolik, semacam deklarasi orang Tionghoa bahwa mereka setia

kepada pemerintah Indonesia, atau mengidentitaskan diri dengan bangsa

Indonesia dan budaya Indonesia. Namun orang Tionghoa generasi muda yang

lahir sesudah tahun 1965 hampir semua memiliki nama Indonesia atau nama yang

dianggap Indonesia. (yakni bukan nama Tionghoa). Menarik untuk dijelaskan

bahwa banyak Tionghoa mengambil nama Indonesia yang mencerminkan nama

Page 158: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

221

aslinya, seperti salim untuk liem, Wijaya atau Wibisono untuk Oei.(Suryadinata,

2002, hal 87)

Berkaitan mengenai dominasi identitas etnik didalam dirinya secara jujur

pula ia mengakui bahwa ia lebih dominan terhadap identitas etnik Timor, namun

tidak menutup kemungkinan ia dominan terhadap identitas etnik Tionghoa

campuran ketika diminta menjalani peran sebagai moelang (protokoler

perkawinan Tionghoa). Dalam pandangan peneliti bahwa artinya beliau secara

sadar masih dominan terhadap etnik Tionghoa, hal tersebut bisa didukung oleh

beberapa hal diantaranya pertama nama panggilan dalam kehidupan sehari-hari

yang lebih condong ke nama Tionghoa, kedua adalah secara tersirat ia masih

mengakui eksistensi identitas Tionghoanya walaupun harus ditempatkan pada

kondisi tertentu.

Berkaitan dengan warisan budaya Tionghoa dalam keluarganya, ia

mengakui bahwa pengembangan nilai atau budaya Tionghoa didalam keluarganya

sudah jarang digunakan sebab akibat pengaruh dari agama Kristen Protestan,

namun baginya yang penting nilai-nilai yang dikembangkan adalah pembawaan

diri didalam masyarakat yang majemuk, terkait hal tersebut dalam pandangan

peneliti beliau sebenarnya masih mewarisi beberapa tradisi budaya Tionghoa

lainnya diantaranya sebagai seorang moelang (protokoler perkawinan etnik

Tionghoa).

Berdasarkan masalah kebudayaan diatas, peneliti menemukan beberapa

data yang berkaitan masalah tersebut. Masalah ini sebenarnya bersumber dari

Page 159: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

222

agama Kongfuchu yang dianggap sebagai aliran kepercayaan, berikut ulasan dari

Leo Suryadinata untuk mendukung analisis peneliti Selain menghadapi tantangan

dari pemerintah Indonesia yang ingin mengasimilasi orang Tionghoa kedalam

tubuh pribumi, agama Konghuchu juga mendapat kesulitan dari masyarakat

Tionghoa di Indonesia sendiri. Orang Tionghoa peranakan, pada umumnya tidak

lagi berbahasa Tionghoa dan kebudayaannya telah lama sangat dipengaruhi baik

oleh lingkungan barat maupun Indonesia. Banyak dari mereka adalah orang

Kristen Protestan dan Katolik. Budaya Tionghoa sendiri sangat asing bagi

kebanyakan orang Tionghoa peranakan, teristimewa bagi generasi muda yang

diharuskan UU belajar di sekolah-sekolah Indonesia sejak tahun 1957, cara

berpikir mereka, karenanya lebih Indonesia dari pada Tionghoa. (Suryadinata,

2002, hal 187)

Kongchuisme juga menghadapi tantangan dari agama Budha, Katolik, dan

Prostestan yang umumnya dianggap lebih “Indonesia” dari pada agama

Konghuchu. Jumlah orang Indonesia keturunan Tionghoa yang menganut agama-

agama ini juga telah meningkat dalam tahun-tahun belakangan ini.(Suryadinata,

2002, hal 188)

Berkaitan dengan profesi yang dilakoninya ini bukan tidak sengaja,

berawal dari saat dia menikah dengan istrinya tidak didampingi oleh seorang

Moelang akibatnya secara autodidak ia belajar menjadi seorang Moelang.

Disamping hal tersebut, secara jujur ia tidak memungkiri bahwa didalam dirinya

masih mengalir darah Tionghoa dan menjadi rasa kebanggaan tersendiri. Dalam

pengamatan peneliti saat mengamati acara peresmian kubur kedua mertuanya,

Page 160: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

223

turut hadir pula dua informan peneliti yakni istrinya istrinya ibu Endang Nitbani-

Litelnoni, Bapak Paulus Nitbani, dalam acara peresmian makam ini peneliti

melihat banyak sekali dihadiri oleh tamu dari keluarga etnik Tionghoa dan etnik

Dawan, tata cara perayaan juga mengkombinasikan antara budaya Tionghoa dan

ajaran Kristen Protestan.

Peneliti juga melihat dari ketiga informan peneliti ini aktif berinteraksi

dengan sesama etnik Tionghoa menggunakan bahasa Dawan maupun dengan

menggunakan bahasa melayu Kupang, termasuk didalamnya ketika berinteraksi

dengan menggunakan bahasa Dawan kepada etnik Dawan itu sendiri. Tak lupa

juga, peneliti melihat diantara sesama etnik Tionghoa mereka lazim menggunakan

salam hormat atau pai-pai atau soya, disamping itu dalam peresmian makam ini

menggunakan tata cara ibadat agama Kristen Protestan.

Dalam pelaksanaan acara ini, ada beberapa tradisi yang seperti lempar

koin kepada anak-anak maupun cucu dengan harapan mambawa rejeki, serta

pembakaran hiong kertas dan dupa oleh anggota keluarga dan kerabat mereka

yang bergamama Katholik. Berdasarkan hal tersebut, dalam pandangan peneliti,

bapak John Litelnoni secara tersirat maupun tersurat mengakui identitas

Tionghoanya dan memaknai identiasnya dengan Kebanggaan tersendiri.

Selanjutnya seusai mewawancarai Bapak John kurang lebih 40 menit, saya

melanjutkan wawancara dengan istrinya yakni Ibu Endang EYP Litelnoni (Ang

Taek Sang) yang berumur 74 tahun, beliau berprofesi sebagai ibu rumah tangga

sekaligus sebagai mantan Ibu PKK mendampingi suaminya saat masih berdinas.

Page 161: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

224

Beliau sendiri merupakan adik kandung dari bapak Paulus Nitbani yang

merupakan informan pokok peneliti. Peneliti kemudiann bertanya mengenai

bagaimana ia memaknai identitas Tionghoa yang selama ini melekat dalam

dirinya serta bagaimana ia memposisikan diri kedalam lingkungan etnik

Tionghoa maupun Dawan.

Dengan pembawaan tenang, ia menjawab pertama ia memaknai

identitasnya sebagai keturunan Tionghoa sebagai sebuah kebanggaan, sebab

menurutnya ayahnya sebagai seorang Tionghoa totok dan ibunya merupakan putri

Raja Nitbani, dan secara otomatis ia sendiri menjadi keluarga bangsawan. Dimata

masyarakat pun ia mendapatkan posisi yang sangat dihargai dan dihormati

sebagai anak bangsawan, disamping itu pula ia mendapatkan kesempatan

mendampingi suaminya sebagai Lurah Niki-Niki dan sekaligus memainkan peran

sebagai ibu lurah yang membinan kaum perempuan di Niki-Niki. Disisi lain ia

menambahkan ketika sempat mengenyam pendidikan bahasa Mandarin, ia cukup

bangga dengan bekal bahasa Mandarin yang ia pelajari sehingga dapat

dipergunakannya untuk menyelesaikan masalah pribadi dengan keluarga agar

tidak diketahui oleh masyarakat setempat.

Ketika ditanya mengenai bagaimana ia memposisikan dirinya ketika

berada didalam lingkungan etnik Tionghoa maupun etnik Dawan, secara tersirat

bahwa ketika ia dan suaminya sudah pensiun dari kegiatannya sebagai Lurah,

tetap saja dari sebagian masyarakat masih mengenal mereka sebagai Kung Luran

dan Po Lurah (Kung : Kakek, dan Po : Nenek dalam bahasa Mandarin), disamping

itu ketika memposisikan dirinya didlam lingkungan etnik Tionghoa semua sangat

Page 162: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

225

bergantung dari keadaan dilapangan, misalnya disaat ada perayaan imlek atau

pernikahan dari kalangan etnik Tionghoa mereka pun memposisikan dirinya

sebagai etnik Tionghoa, dimana ia mengajarkan kepada anak-anaknya seperti tata

krama dan budaya sopan santun, mengurus protokoler pernikahan dan sebagainya,

begitu pun sebalik jika berada dilingkungan etnik Dawan.

“pertama makna sebagai kebanggaan, bta pung bapa orang cina toto,

datang kwin dengan bta pung mama anak putri raja nitbani. Trus kita ini di

mata masyarakat dihargai dan dihormati sebagai anak bangsawan, dan

diberi kesempatan utk pimpin sebagai ibu lurah, ibu PKK. Baru kita skola

mandarin samapai kelas 6, baru kita bisa urus masalah masalah yang

rahasia dan urus kita pung sodara2 dengan bahaa mandarin. Ya spy jgn

menonol di masyarakat ya kita pake bahasa itu (mandarin), bahasa

mandari spuy mereka bis tersinggung, khan tidak baik kalo tingkah laku

membuat mereka tersinggung khan jadi tidak baik , bagi gereja dan agama

ya kita hrus menilai manusia itu sama di hadapan Allah, mau cina atau

timor ya harus dihargai.”

“Bagaimana pun juga kami ini sudah terkenal walau sudah pensiun,

kemana-mana kami selalu di panggil kunbg lurah dan po lurah, jadi sudah

melekat nama kami di mata masyarakat sini. Intinya adalah penyesuaian.”

“kalo khusus keluarag saat imlek, peminangan, pernikahan etnis cina, ya

kami memposisikan diri seabagai Tionghoa, ya kami juga mengajarkan

kepada anak2 bagaimana cara soya. Ya kita terbanyak

berkongsi/bertrnsaksi laykanya sebagai Tionghoa. Ya tat cara peminangan,

bagaimana protokolernya, dan bagaimana mengurus ihak peremuan. Ya

bagaiman kita membuat penyesuaian, ya klalo ke kampung kita ikut adat

disana, intinya kembali dari pada kemauan.”

Terjemahannya :

“pertama makna sebagai kebanggaan, ayah saya seorang orang Tionghoa

totok, menikahi dengan ibu saya yang seorang putri raja nitbani.

Kemudiann kita ini di mata masyarakat dihargai dan dihormati sebagai

anak bangsawan, dan diberi kesempatan untuk memimpin sebagai ibu

lurah, ibu PKK. Sempat saya menamatkan pendidikan bahasa mandarin

sampai kelas 6, kemudiann kita bisa mengurus masalah-masalah yang

rahasia dan membantu saudara-saudara dengan bahaa mandarin. Ya

supaya jangan menonol di masyarakat, ya kita gunakan bahasa itu

(mandarin), bahasa mandarin agar mereka tidak tersinggung, kan tidak

Page 163: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

226

baik kalo tingkah laku kita membuat mereka tersinggung kan jadi tidak

baik, bagi gereja dan agama ya kita harus menilai manusia itu sama di

hadapan Allah, mau cina atau timor ya harus dihargai.”

“Bagaimana pun juga kami ini sudah terkenal walau sudah pensiun,

kemana-mana kami selalu di panggil kung lurah dan po lurah, jadi sudah

melekat nama kami di mata masyarakat sini. Intinya adalah penyesuaian.”

“kalo khusus keluarga saat imlek, peminangan, pernikahan etnis cina, ya

kami memposisikan diri sebagai Tionghoa, ya kami juga mengajarkan

kepada anak-anak bagaimana cara soya. Ya kita terbanyak

berkongsi/bertransaksi layaknya sebagai Tionghoa. Ya tata cara

peminangan, bagaimana protokolernya, dan bagaimana mengurus pihak

peremuan. Ya bagaimana kita membuat penyesuaian, ya kalo ke kampung

kita ikut adat disana, intinya kembali dari pada kemauan.”

Berkaitan dengan membentuk strategi identitasnya sebagai seorang

Tionghoa campuran, ia hanya menjawab bahwa sebenarnya penegakan PP.10 oleh

Pemerintah pada saat itu tidak mengurangi identitasnya, yang pastinya membawa

dampak positif. Ia sendiri mengakui bahwa ketika kembali ke desa Ibunya yang

merupakan anak Raja Nitbani, seringkali ia dipanggil oleh masyarakat dengan

sebutan Po Nope, nona Nope, atau Bisofa (Tuan Putri), jadi baginya tidak ada

masalah.

Kemudian ia menambahkan dalam bersosialisasi dengan etnik Dawan

setempat yang paling utama adalah pembawaan atau penyesuaian diri, cara kita

menyapa dan meyahut sapaan orang lain seperti kata-kata oe (iya dalam bahasa

Mandarin), khususnya ketia bergaula dengan masyarakat etnik Dawan lebih

diutamakan sikap yang halus dan sopan ketika berinteraksi dengan mereka,

dikarenakan kultur etnik Dawan sangat halus dibandingkan dengan etnik

Tionghoa.

Page 164: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

227

“sebenarnya dengan ini barang (peraturan ini) tidak mengurangi, ya pasti

aman2 saja. Kada mereka panggil saya po nope, atau saya turu ke desa2

mareka panggil saya nona nope atau bisofa (tuan putri). Jadi tidak masalah

bukan ?”

“bagaimana kita menyahut pertanyaan atau sapaan orang lain. Seperti oe

(iya), seluruhnya itu adalah penyesuaian dan bisa lu selamat, misalnya loe

masuk rumah orang dengan kasar2 ya entar dong kas racun seng loe.

Hehehehe”

Terjemahannya :

“sebenarnya dengan ini barang (peraturan ini) tidak mengurangi, ya pasti

aman saja. Kadang mereka panggil saya po nope, atau saya turun ke desa-

desa mareka panggil saya nona nope atau bisofa (tuan putri). Jadi tidak

masalah bukan ?”

“bagaimana kita menyahut pertanyaan atau sapaan orang lain. Seperti oe

(iya), seluruhnya itu adalah penyesuaian dan bisa selamat, misalnya anda

masuk rumah orang dengan kasar ya sebentar mereka merracuni kamu.

Hehehehe”

Berkaitan dengan warisan budaya-budaya Tionghoa yang dimiliki, secara

ringkas pula ibu Endang menjawab bahwa beberapa kebudayaan Tionghoa saat ini

bisa dikatakan ada yang bertentangan dengan ajaran gereja seperti penyajian

makanan di kuburan atau bagi mereka yang sudah meninggal. Ditelusuri lebih

jauh saat ditanya mengenai budaya-budaya Tionghoa yang ia terapkan sebagai ibu

rumah tangga dalam keluarganya ia mengakui bahwa warisan budaya Tionghoa

dari leluhurnya juga ia terapkan kepada anak-anaknya, seperti bagaimana

membuat kuliner khas Tionghoa, tata krama-sopan santun, menghormati orang

tua, etika berbusana yang baik masih dipegang sampai saat ini. Disamping itu ia

juga masih menguasai tata cara protokoler pengurusan kedukaan dan mengurus

jenasah yang sesuai dengan adat budaya etnik Tionghoa lainnya, doa saat ziarah,

dan lain sebagainya.

Page 165: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

228

“kadang ada peraturan gereja yang melanag hal2 tertentu. Seperti

penyajian makaan di kuburan atau bagi oang mati. “

“misalanya makan2 cina dong, cara berpakaian sopan dan baik, tata cara

hidup, sopan santun masih dipegang samaapai saat ini. Bagaimana ke

kuburan orang mati, bagaimana tata cara pemakakaman dan sebagainya.

Misalnya ke kurburan ya kita berziara berdoa, dan siram rampe sebagai

tanda bahwa kita msih ingat mereka. Penghormatan dan pengharagaan

kepada leluhur kita.”

“ya andia itu yang dijarakan kepada anakan bagaiamana menghormati

orang tua, membantu, ya ajakaran dimana2 sama. Sama seperti bagaimana

kita mengajarkan kepada anak seperti kermana buat masalkan sina, oang

key, perkedel, mie tendes. ya ktong ajarkan. “

Terjemahannya :

“kadang ada peraturan gereja yang melarang hal-hal tertentu. Seperti

penyajian makanan di kuburan atau bagi orang mati. “

“misalnya makanan-makanan khas Tionghoa, cara berpakaian sopan dan

baik, tata cara hidup, sopan santun masih dipegang sampai saat ini.

Bagaimana ke kuburan orang mati, bagaimana tata cara pemakaman dan

sebagainya. Misalnya ke kuburan ya kita berziarah berdoa, dan siram

rampe sebagai tanda bahwa kita masih ingat mereka. Penghormatan dan

pengharagaan kepada leluhur kita.”

“ya makanya hal itu yang diajarkan kepada anak bagaimana menghormati

orang tua, membantu, ya ajaran dimana-mana sama. Sama seperti

bagaimana kita mengajarkan kepada anak seperti bagaimana membuat

hidangan khas Tionghoaseperti, oang key, perkedel, mie tendes. ya kita

ajarkan. “

Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti bahwa,

makna identitas etnik Tionghoa bagi Ibu Endang Litelnoni adalah sebagai sebuah

kebanggaan karena didalam dirinya mengalir darah Tionghoa totok dari ayahnya

dan darah bangsawan dari Ibunya yang merupakan putri Raja Nitbani sehingga

secara otomatis ia menjadi keturunan bangsawan. Dalam pandangan peneliti

makna kebanggaan yang diungkapkan oleh beliau bisa dimaknai karena ia sendiri

sebagai seorang keturunan Tionghoa sekaligus juga sebagai anggota keluarga

Page 166: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

229

bangsawan Raja Nitbani harus menjaga martabad nama keluarga mereka, melalui

makna Kebanggaan ingin menegaskan sebagai seorang keturunan Tionghoa yang

dikenal sebagai etnik perantauan dan marga Nitbani sebagai bangsawan harus

mampu menjadi tumpuan harapan bagi kedua marga keluarganya tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, peneliti melakukan penelusuran untuk

mendukung analisis mengenai etnik Tionghoa yang selalu diasosiasikan dengan

kegiatan ekonomi, yakni berdasarkan tulisan Leo Suryadinata bahwa etnis

Tionghoa, yang dulu disebut chinese overseas atau Tionghoa perantauan, tersebar

dimana-mana. Jumlahnya kira-kira 23 juta jiwa, lebih dari 80% diantaranya

berada di asia tenggara. Salah satu sebab mereka bermukim disana, karena asia

tenggara dekat dengan daratan Tiongkok dan selain pada waktu itu perdagangan

di asia tenggara juga banyak dipengaruhi oleh orang Tionghoa. Pada awalnya

jumla orang Tionghoa yang bermukim di asia tenggara tidak banyak. Eksodus

Tionghoa ke wilayah ini merupakan fenomena abad ke 19 dan ke 20 ketika di

Tiongkok dan asia tenggara mengalami perubahan. (Suryadinata, 2002, hal 7)

Disamping itu menurut Hidayat M.Z bahwa orang-orang Tionghoa di asia

tenggara dapat menempatkan diri mereka dalam kehidupan masyarakat di negara-

negara asia tenggara sebagai kelas menengah. Di Indonesia orang Tionghoa sejak

permulaan merantau telah berfungsi perantara antara penduduk asli dengan para

pendatang asing yang datang ke Indonesia. Para perantau Tionghoa ini menempati

kota-kota pantai dan hidup sebagai saudagar, pengusaha pelayaran, pengusaha

bank, dan sebagai pedagang besar dan kecil dan ada pula yang bekerja sebagai

Page 167: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

230

artis. Hampir semua industri dan perdagangan akhirnya berada ditangan

pengusaha Tionghoa perantauan (Hidayat, hal 56)

Begitu pula dalam menempatkan posisnya didalam lingkungan etnik

Tionghoa maupun etnik Dawan, ia sendiri secara otomatis mendapatkan dan

menerima posisi sebagai putri bangsawan atau lazimnya disebut Bisofa (Putri

Raja) sekaligus sebagai ibu Lurah mendampingi suaminya saat bertugas pada

waktu itu. Begitu pun juga saat dirinya dan suaminya sudah pensiun sebagai lurah

Niki-Niki, ia dan suaminya pun masih tetap dikenal sebagai Kung Lurah (Kakek

Lurah) dan Po Lurah (Nenek Lurah)., ia pun menambahkan dalam menempatkan

dirinya ketika berada dilingkungan masyarakat sebenarnya seua bergantung ada

situasi dimana kita berada, misalnya dalam lingkungan etnik Tionhoa maka kita

menempatkan diri sebagai serang Tionghoa.

Dalam pandangan peneliti, bahwa meskipun memiliki posisi sebagai

seorang keturunan bangsawan, ibu Endang tetap berusaha untuk merendah diri

dan selalu terbuka terhadap segala adaptasi lingkungan dimana ia berada untuk

bisa menempatkan posisinya. Dalam pengamatan peneliti pula, kehidupan sehari-

harninya berjalan normal layaknya ibu rumah tangga lainnya. Selain mengurus

rumah, dan mengadopsi empat anak asuh dari etnik Dawan tak jarang juga ia

berkunjung ke tetangga maupun kerabat keluarganya sesama etnik Tionghoa

lainnya, begitu pun dalam berinteraksi selalu dominan menggunakan bahasa

Dawan maupun bahasa melayu Kupang.

Page 168: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

231

Makna Identitas

Etnik

Kebanggaan

Memposisikan Diri Bisofa/ Bangsawan, Ibu Lurah.

Strategi Identitas

(Kombinasi Marga)

Marga Tionghoa Marga Lokal Kombinasi

(Hasil)

Ang

Nitbani Nitbani

Nama Identitas Nama Tionghoa Nama Nasional/Indonesia/

Ang Taek Sang Endang EYP Litelnoni

Nama Populer Po Kotesang, Po Lurah.

Dominasi Etnik Tionghoa Campuran

Nilai dan Budaya

yang dipertahankan

dan diwariskan

Moelang, budaya tata krama, sopan santun (Soya), kuliner

Tionghoa.

Cara Identifikasi

Sesama Etnik

Tionghoa

-

Tabel. 29. Identitas Etnik Ibu Endang Litelnoni

Perihal dengan membentuk strategi identitasnya sebagai seorang

Tionghoa campuran, bahwa keluarga Ibu Endang mengikuti marga ibunya yakni

Nitbani sebagai marga bangsawan Raja Nitbani, ketimbang melakukan kombinasi

marga Tionghoa mereka. Menurut pandangan peneliti sebagai seorang keturunan

Tionghoa yang memaknai identitasnya sebagai sebuah kebanggaan beliau

menunjukan sikap yang toleran terhadap penggunaan identitas marga ibunya

dalam keluarga, meskipun demikan tidak mengurangi makna kebanggaannya

terhadap marga Tionghoa dari ayahnya.

Perubahan identitas namanya tersebut tidak terlepas dari campur tangan

pemerintah Orde Baru pada saat itu yang mengharuskan merubah nama dan marga

setiap etnik Tionghoa, berdasarkan data yang diperoleh peneliti, menurut Leo

Suryadinata bahwa Kebijakan yang paling komperhensif untuk mengubah

identitas Tionghoa di Indonesia adalah peraturan ganti nama Pada tahun 1961,

ketika Soekarno masih berkuasa, peraturan ini sudah diumumkan akan tetapi tidak

Page 169: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

232

dilaksanakan. Pada tahun 1966, setelah Soehato berkuasa, peraturan ganti nama

diterbitkan lagi. Kali ini prosedurnya disederhanakan dan banyak orang Tionghoa

mengganti nama Tionghoanya, walaupun ganti nama ini tidak wajib.

Namun bagi kebanyakan orang Tionghoa terutama pada pertengahan

1960an ada tekanan halus dari pemerintah untuk ganti nama., karena ganti nama

dianggap sebagai sebuah tingkah laku simbolik, semacam deklarasi orang

Tionghoa bahwa mereka setia kepada pemerintah Indonesia, atau

mengidentitaskan diri dengan bangsa Indonesia dan budaya Indonesia. Namun

orang Tionghoa generasi muda yang lahir sesudah tahun 1965 hampir semua

memiliki nama Indonesia atau nama yang dianggap Indonesia. (yakni bukan nama

Tionghoa). Menarik untuk dijelaskan bahwa banyak Tionghoa mengambil nama

Indonesia yang mencerminkan nama aslinya, seperti salim untuk liem, Wijaya

atau Wibisono untuk Oei.(Suryadinata, 2002, hal 87)

Dalam pengamatan peneliti pula, ia juga sering atau tetap dikenal dengan

marga Ang, hal tersebut terjadi ketika saat ia terlibat dalam panitia peresmian

makan kedua orang tuanya ia lebih dikenal dengan nama Po Ang Tek Sang atau

(Nenek Sang), ia sendiri merasa lebih nyaman menggunakan kedua marga

tersebut, sekaligus juga menekankan bahwa ia selalu beradaptasi dimana

lingkungan ia berada.

Sedangkan dalam warisan budaya Tionghoa didalam keluarganya, ia

menjawab bahwa kebanyakan beberapa budaya Tionghoa memang bertentangan

dengan ajaran Gereja Protestan, hal tersebut juga berdampak pada mengikisnya

Page 170: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

233

budaya Tionghoa di kalangan etnik Tionghoa Niki-Niki. Namun ia sendiri tetap

mengajrkan beberapa budaya Tionghoa kepada anak-anaknya seperti budaya tata

krama, sopan santun seperti soya, etika berbusana, etika pergaulan dan khususnya

mengajarkan kuliner khas Tionghoa kepada anak perempuannya. Disamping itu

sesekali ia juga terlibat sebagai moelang sama seperti suaminya yakni mengatur

protokoler adat perkawinan maupun acara kedukaan dikalangan etnik Tionghoa.

Berdasarkan masalah kebudayaan diatas, peneliti menemukan beberapa

data yang berkaitan masalah tersebut. Masalah ini sebenarnya bersumber dari

agama Kongfuchu yang dianggap sebagai aliran kepercayaan, berikut ulasan dari

Leo Suryadinata untuk mendukung analisis peneliti, Selain menghadapi tantangan

dari pemerintah Indonesia yang ingin mengasimilasi orang Tionghoa kedalam

tubuh pribumi, agama Konghuchu juga mendapat kesulitan dari masyarakat

Tionghoa di Indonesia sendiri. Orang Tionghoa peranakan, pada umumnya tidak

lagi berbahasa Tionghoa dan kebudayaannya telah lama sangat dpengaruhi baik

oleh lingkungan barat maupun Indonesia. Banyak dari mereka adalah orang

Kristen Protestan dan Katolik. Budaya Tionghoa sendiri sangat asing bagi

kebanyakan orang Tionghoa peranakan, teristimewa bagi generasi muda yang

diharuskan UU belajar di sekolah-sekolah Indonesia sejak tahun 1957, cara

berpikir mereka, karenanya lebih Indonesia dari pada Tionghoa. (Suryadinata,

2002, hal 187)

Kongchuisme juga menghadapi tantangan dari agama Budha, Katolik, dan

Prostestan yang umumnya dianggap lebih “Indonesia” dari pada agama

Konghuchu. Jumlah orang Indonesia keturunan Tionghoa yang menganut agama-

Page 171: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

234

agama ini juga telah meningkat dalam tahun-tahun belakangan ini.(Suryadinata,

2002, hal 188)

Dalam pengamatan peneliti saat mengamati acara peresmian kubur kedua

mertuanya, turut hadir pula dua informan peneliti yakni ibu Endang Nitbani-

Litelnoni bersama sang suami bapak John Litelnoni dan kakaknya Bapak Paulus

Nitbani, dalam acara peresmian makam ini peneliti melihat banyak sekali dihadiri

oleh tamu dari keluarga etnik Tionghoa dan etnik Dawan, tata cara perayaan juga

mengkombinasikan antara budaya Tionghoa dan ajaran Kristen Protestan.

Peneliti juga melihat dari ketiga informan peneliti ini aktif berinteraksi

dengan sesama etnik Tionghoa menggunakan bahasa Dawan maupun dengan

menggunakan bahasa melayu Kupang, termasuk didalamnya ketika berinteraksi

dengan menggunakan bahasa Dawan kepada etnik Dawan itu sendiri. Tak lupa

juga, peneliti melihat diantara sesama etnik Tionghoa mereka lazim menggunakan

salam hormat atau pai-pai atau soya, disamping itu dalam peresmian makam ini

menggunakan tata cara ibadat agama Kristen Protestan.

Dalam pelaksanaan acara ini, diakui oleh ibu Endang masih menggunakan

kalender Cina untuk menentukan hari baik diselenggarakannya acara ini, termasuk

ada beberapa tradisi yang seperti lempar koin kepada anak-anak maupun cucu

dengan harapan mambawa rejeki, serta pembakaran hiong kertas dan dupa oleh

anggota keluarga dan kerabat mereka yang bergamama Katholik. Berdasarkan

pengakuan tentang warisan budaya serta hasil pengamatan tersebut.

Page 172: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

235

Menurut pandangan peneliti bahwa Ibu endang masih memaknai sebagai

sebuah Kebanggaan atas identitasnya dan menegaskan identitasnya sebagai

seorang etnik Tionghoa campuran, hal tersebut terwujud dalam perannya sebagai

ibu rumah tangga yang mengajarkan budaya Tionghoa kepada anak, dan berperan

sebagai moelang dalam adat perkawinan dan upacara kedukaan etnik Tionghoa di

Niki-Niki.

Informan peneliti selanjutnya adalah Leonard Hun Banamtuan (Ang Xie

Ling), berprofesi sebagai pedagang dan pemuka agama yang berumur 71 tahun.

Wawancara antara peneliti dengan beliau berlangsung pada 2 juli 2012, peneliti

bertanya mengenai bagaimana ia memaknai identitas Tionghoa yang selama ini

melekat dalam dirinya serta bagaimana ia memposisikan diri kedalam lingkungan

etnik Tionghoa maupun Dawan.

Sambil menghela nafas sejenak ia menjawab bahwa secara pribadi ia

merasa senang sebagai seorang keturunan Tionghoa karena dihormati meskipun

demikian ia sendiri merupakan keturunan kawin campuran antara etnik Tionghoa

dan etnik Dawan. Meskipun demikian, ia secara pribadi memaknai identitas

Tionghoanya sebagai sebuah kebanggaan sebab didalam dirinya mengalir darah

Tionghoa dari nenek moyangnnya yang dimana sudah merantau hingga ke tanah

Timor dan akhirnya bisa menjadi WNI, ditambah lagi masyarakat setempat dapat

menerima kehadiran mereka sebagai keturunan Tionghoa perantauan sekaligus

posisinya sebagai pendeta yang melayani mereka.

Page 173: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

236

Berkaitan dengan memposisikan dirinya ketika berada didalam lingkungan

etnik Tionghoa maupun etnik Dawan, ia menjelaskan bahwa ia sendiri

memposisikan dirinya sebagai seorang pendeta yang membantu masyarakat dan

sebagai seorang pendeta didalam pendangan adat orang Timor (etnik Dawan)

posisinya dikatakan sebagai seorang yang memiliki kesopanan sebagai pendengar

sekaligus secara tidak langsung sebagai wakil dari Tuhan dalam memberi ajaran-

ajaran agama untuk kebaikan umat manusia.

Ketika ditanya lebih jauh bagaimana pendapat masyarakat mengenai

posisinya sebagai pendeta yang merupakan keturunan Tionghoa, ia sendiri

mempunyai pandangan bahwa hampir semua masyarakat khususnya etnik Dawan

mengetahui bahwa ia merupakan keturunan Tionghoa dan sering kali ia dipanggil

dengan sebutan Ence (Bapak atau saudagar dalam bahasa Mandarin), dan malahan

ia mengakui tanpa malu-malu disamping berprofesi sebagai seorang pendeta ia

berkerja sebagai pedagang hewan ternak. Dalam kondisi seperti ini ia sering

kesulitan jika bertransaksi dengan masyarakat setempat yang hendak menjual

hasil ternak kepadanya dikarenakan karena profesinya sebagai seorang pendeta,

sering kali ia sulit menawar harga dengan masyarakat setempat.

“merasa senang karena dihormarti, karena mereka masih menghormati kita

sebagai orang cina juga, sekalipun sudah ada kwin mawin tetapi mereka

masih menghormati.”

“sebenarnya merasa bangga juga , bahwa karena kung merasa sebagai

seorang darah cina yang sudah meranatau samapai tanah timor itu

kebanggaan, bisa jadi org Indonesia disini, dan orang Indonesia disini

dapat meneriman apalagi kita sebagai seorang pendeta melayani mereka.”

Page 174: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

237

“Ya sebagai pendeta, ya membantu masyarakat apa saja kita kerjakan,

tetapi kebanyakan di adat timor ini kalo sama pendeta ini ada punya

kesopanan untuk mendengar begitu.”

“Kita menggaap diri sebagai wakil Allah, jadi bisa dapat bicarakan apa

saja bagi mereka yang penting yang baik. Ajaran Tuhan untuk kebaikan

mereka.”

“Mereka tau, kadang kala mereka sering salah panggil Ence, (tertawa)

diluar gereja, macam seperti ini, kadang juga ya disamping sebagai

pendeta saya juga berdagang. Kadang2 ya mereka bilang ence juga.

Hehehe”

“Kalo berdagang merek panggil saya ence, kalo panggil pendeta ya nanti

itu kasih “kasih” (perasaan beban) , mereka lebih senang panggil ence,

kata pendeta bisa menurunkan harga sapi. Kalo dia panggil ence itu,

dorang sudah tau tu dia pedagang. Hehehehe tertawa bahak. “

Terjemahannya :

“merasa senang karena dihormarti, karena mereka masih menghormati kita

sebagai orang Tionghoa juga, sekalipun sudah ada kawin-mawin dengan

etnik Dawan tetapi mereka masih menghormati.”

“sebenarnya merasa bangga juga, bahwa karena saya merasa sebagai

seorang darah cina yang sudah merantau sampai tanah timor itu

kebanggaan, bisa jadi orang Indonesia disini, dan orang Indonesia disini

dapat meneriman apalagi kita sebagai seorang pendeta melayani mereka.”

“Ya sebagai pendeta, ya membantu masyarakat apa saja kita kerjakan,

tetapi kebanyakan di adat timor ini kalo sama pendeta ini ada punya

kesopanan untuk mendengar begitu.”

“Kita mengangap diri sebagai wakil Allah, jadi bisa dapat bicarakan apa

saja bagi mereka yang penting yang baik. Ajaran Tuhan untuk kebaikan

mereka.”

“Mereka tahu, kadang kala mereka sering salah panggil saya dengan

sebutan Ence, (tertawa) diluar gereja, hal seperti ini, kadang juga ya

disamping sebagai pendeta saya juga berdagang. Kadang ya mereka bilang

ence juga. Hehehe”

“Kalo berdagang mereka panggil saya ence, kalo panggil pendeta ya nanti

itu kasih “kasih” (perasaan beban) , mereka lebih senang panggil ence,

kata pendeta bisa menurunkan harga sapi. Kalo dia panggil ence itu,

mereka sudah tahui tu dia pedagang. Hehehehe. “

Page 175: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

238

Berkaitan dengan membentuk strategi identitasnya sebagai seorang

Tionghoa campuran, ia menceritakan bahwa pada saat diberlakukannya PP.10

oleh Pemerintah Orde Baru saat itu, keluarganya bersepakat mengganti marga

Tionghoa mereka yakni Ang menjadi Hun yang didalam bahasa daerah setempat

berarti rumput, sedangkan marga Ang sendiri didalam bahasa Mandarin jika

dibaca dengan sebutan Hung.

Sehingga terkesan sama, maka marga Hun akan memudahkan mereka

saling mengenal meskipun sudah berganti nama dan menghindari terjadinya

kawin mawin sesama marga Ang sekaligus juga menekankan bahwa nenek

moyang mereka diibaratkan sebagai rumput yang sudah tumbuh di daratan Timor,

dan marga mereka dikombinasikan dengan marga Banamtuan yang merupakan

marga masyarakat lokal.

Ia juga menceritakan beberapa hal menarik menyambung pertanyaan

peneliti mengenai dominasi identitasnya sebagai seorang Tionghoa campuran,

menurutnya bahwa saat ini dirinya merasakan sebagai seorang Timor atau etnik

Dawan. Namun hal menerik lainnya adalah saat pemberian undangan penikahan

misalnya, seringkali jika mendapat undangan dari kalangan etnik Tionghoa nama

yang selalu ditulis adalah nama Tionghoanya bukan nama Indonesianya, selain itu

juga kadang dituliskan nama Indonesianya, namun ia bisa memaklumi hal tersebut

karena yang mengundang masih menghormatinya sebagai seorang keturunan

Tionghoa.

“itu diwaktu apa nama Pemerentah menyruh proses ganti bale nama, jadi

btong orang ganti Ang, supaya jadi Hun itu bahasa daerah = rumput, kalo

Page 176: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

239

Tionghia marga Ang dipanggil Hung, terkesan mirip seperti Hun, jadi maka

itu supaya jang ada kwin mengawin makan kami pake marga Leonard Hun

Banamtuan, jadi ada hun dimuka, jadi nenek moyang ceritanya mereka

tanya mengapa samapai naman hun bahasa timor hun artinya rumput,

artinya nenek moyang kami datang ke Timor sudah ke rumput, sudah

merambat seperti rumput, ibarat seperti rumput. “

“Kalo kita su di Timor, kita su musti bilang orang Timor yang menepis

pandangan dari Pemerintah pa saja,“

“Tapi itu sukar, kadang dari orang Tua kasih Undangan dong su tulis ang

sie ling, kalo su umur panggil leonard hun. Kalo dari orang cina asli kasih

undangan nama cina, tapi kebanyakan dikasih undangan Leonard Hun. Itu

semacam menghormati bahwa kita ini masih orang cina (dianggap

Tionghoa)”

Terjemahannya :

“itu diwaktu Pemerintah menyuruh proses ganti nama lewat PP.10, jadi

kami ganti marga Ang, supaya jadi Hun itu bahasa daerah sama dengan

arti rumput, kalo Tionghoa marga Ang dipanggil Hung, terkesan mirip

seperti Hun, jadi maka itu supaya jangan ada kawin-mengawin, maka kami

pakai marga Leonard Hun Banamtuan, jadi ada hun dimuka, jadi nenek

moyang ceritanya mereka tanya mengapa sampai nama hun bahasa timor

hun artinya rumput, artinya nenek moyang kami datang ke Timor sudah ke

rumput, sudah merambat seperti rumput, ibarat seperti rumput. “

“Kalo kita sudah di Timor, kita sudah mesti bilang orang Timor yang

menepis pandangan dari Pemerintah saja,“

“Tapi itu sukar, kadang dari orang Tua kasih Undangan mereka su menulis

Ang Xie Ling, kalo sudah umur (Tua) panggil leonard hun. Kalo dari orang

cina asli kasih undangan nama cina, tapi kebanyakan dikasih undangan

Leonard Hun. Itu semacam menghormati bahwa kita ini masih orang cina

(dianggap Tionghoa)”

Berkaitan dengan warisan budaya-budaya Tionghoa yang dimiliki, secara

ringkas ia hanya menceritakan wasiat yang disampaikan oleh ayahnya sebelum

meninggal, yakni agar anak-anaknya untuk memeluk agama Kristen, ayahnya

sendiri sebelum meninggal tahun 1965 sudah memutuskan memeluk agama

Kristen dan ia sendiri sejak tahun 1951 sudah memeluk Kristen dan menjadi

Page 177: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

240

pendeta, sedangkan nilai-nilai budaya Tionghoa dalam pandangannya seperti

biasa saja, yang lebih ia terapkan adalah ajaran agama didalam dirinya seperti

mengunjungi setiap umatnya, berbuat kebaikan dan lain sebagainya, serta

menghormati Pemerintah karena mereka merupakan wakil dari Tuhan.

Disamping itu ia mengungkapkan bahwa perayaan imlek sangat menarik

baginya meskipun ia sendiri sudah tidak merayakannya karena faktor pengaruh

agama Kristen. Ia memuji sikap orang Tionghoa yang merayakan imlek yang

sungguh-sunguh berdoa kepada Tuhan sambil memegang hiong dan sambil

menghidangkan makanan tentunya memiliki nilai seni tersendiri dalam

pandangannya.

“Jadi kung pung bapa itu sebelum dia mati dia su jadi orang Kristen, jadi

wasiatnya kasih pesan saja janji saja tolong ajarkan saja semua anak-cucu

cicit ikut Tuhan, supaya selamat. Dia memeluk Kristen tahun 1965, kalo

kung masuk kristen tahun 1951. “

“Ya kalo nilai Tionghoa kita anggap biasa saja, baik juga nlai pergaulan

biasa juga dengan ini, yang kita terapkan sehari-hari sebagai seorang

pendeta, yang mengunjungi umat, beribadah, supaya lebih dekat kepada

Tuhan, menjahui dari hal2 yang jahat buat hal2 yang baik dan juga

menghormati Pemerintah merupakan wakil Allah, nah begitu.”

“ya sukanya cara Tahun baru orang Cina itu, merayakan tapi bagus,

mereka btul2 sperti doa, mereka pegang hiong tapi mereka juga Doa buat

Tuhan Allah, yang seninya seperti itu, waktu Kung pernah lewat ada liat

ence Kaling duduk, dia taruh makanan, daia berdoa bilang bagini : ya

Tuhan kalo saya ada buat dosa utk masyarakat di Timor ini ampuni saya.

Jadi itu kelebihan buday orang Tionghoa pas tahun baru ada dia pung

seni.”

Terjemahannya :

“Jadi ayah saya itu sebelum dia wafat dia sudah jadi orang Kristen, jadi

wasiatnya kasih pesan saja janji saja tolong ajarkan saja semua anak-cucu

Page 178: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

241

cicit ikut Tuhan (mengikuti agama Kristen), supaya selamat. Dia memeluk

Kristen tahun 1965, kalo saya memeluk kristen tahun 1951. “

“Ya kalo nilai Tionghoa kita anggap biasa saja, baik juga nlai pergaulan

biasa juga dengan ini, yang kita terapkan sehari-hari sebagai seorang

pendeta, yang mengunjungi umat, beribadah, supaya lebih dekat kepada

Tuhan, menjahui dari hal yang jahat, buat hal yang baik dan juga

menghormati Pemerintah merupakan wakil Allah, nah begitu.”

“ya sukanya cara Tahun baru orang Cina (Tonghoa) itu, merayakan tapi

bagus, mereka betul-betul seperti berdoa, mereka pegang hiong tapi mereka

juga Doa buat Tuhan Allah, yang seninya seperti itu, waktu saya pernah

mampir, ada mengamati ence Kaling duduk, dia taruh makanan, dia berdoa

bilang bagini : ya Tuhan kalo saya ada buat dosa untuk masyarakat di

Timor ini ampuni saya. Jadi itu kelebihan budaya orang Tionghoa pas

tahun baru ada seninya.”

Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti bahwa,

makna identitas etnik Tionghoa bagi Bapak Leonard Hunbanamtuan adalah

sebagai sebuah kebanggaan, karena nenek moyangnya yang sudah merantau dari

negeri Tiongkok hingga sampai ke pulau Timor dan akhirnya bisa menjadi WNI.

Dalam pandangan peneliti, makna kebanggaan sebagai seorang etnik keturunan

Tionghoa campuran bagi beliau merupakan sebuah penekanan identitasnya,

meskipun ia merupakan keturunan kawin campur dengan etnik Dawan, disamping

itu kebanggaan yang dimaknai oleh beliau dalam pandangan peneliti adalah

profesi utamanya sebagai seorang pendeta dan juga sebagai pedagang, hal ini

cukup beralasan, sebab kebanyakan pandangan orang lain terhadap etnik

Tionghoa rata-ratanya berprofesi sebagai pedagang, bertolak belakang dengan

profesi utama dari bapak Leonard sebagai seorang pemuka agama (Pendeta) yang

dihormati di gereja Kristen Pantekosta yang melayani pelayanan rohani sebagaian

masyarakat kecamatan Amanuban Tengah.

Page 179: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

242

Berkaitan dengan memposisikan dirinya didalam lingkungan etnik

Tionghoa dan etnik Dawan, bahwa dalam memposisikan dirinya sebagai seorang

pendeta dikarenakan profesi ini dalam pandangan adat masyarakat etnik Dawan

sebagai sosok yang sangat sopan dalam mendengar sekaligus secara tidak

langsung merupakan wakil Allah. Dalam pandangan peneliti, dalam penempatan

posisinya sebagai seorang pendeta bahwa beliau ingin menegaskan sekali lagi

bahwa profesinya sebagai seorang pendeta bukanlah sesuatu hal yang sebelah

mata, dan bahkan profesinya ini bisa mengangkat derajatnya sebagai seorang

etnik Tionghoa, disamping banyak pandangan bahwa etnik Tionghoa berprofesi

sebagai pedagang dan jarang berprofesi sebagai pendeta. Disamping itu pula

kadang kala saat bekerja sebagai pedagang dalam bertransaksi jual-beli hewan

ternak, ia dikenal dengan nama Ence (saudagar), profesi sebagai pedagang pada

kondisi tertentu kadang menyulitkan dirinya saat menawar harga lebih rendah

karena faktor profesi pendeta.

Perihal membentuk strategi identitasnya sebagai seorang Tionghoa

campuran, bahwa dalam keluarganya mengganti marga mereka berdasarkan

kombinasi dan disandikan dari dua marga baik dari marga Tionghoa maupun

marga lokal. Pergantian nama marga keluarga mereka diakibatkan penerapan

PP.10 oleh Pemerintah orde baru waktu itu, sehingga keluarganya menerapkan

komibinasi dan menyandi marga sebagai berikut, mengganti marga Tionghoa

mereka yakni Ang menjadi Hun yang didalam bahasa daerah setempat berarti

rumput, sedangkan marga Ang sendiri didalam bahasa Mandarin jika dibaca

dengan sebutan Hung.

Page 180: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

243

Sehingga terkesan sama, maka marha Hun akan memudahkan mereka

saling mengenal meskipun sudah berganti nama dan menghindari terjadinya

kawin mawin sesama marga Ang sekaligus juga menekankan bahwa nenek

moyang mereka diibaratkan sebagai rumput yang sudah tumbuh di daratan Timor,

dan marga mereka dikombinasikan dengan marga Banamtuan yang merupakan

marga masyarakat lokal.

Perubahan identitas namanya tersebut tidak terlepas dari campur tangan

pemerintah Orde Baru pada saat itu yang mengharuskan merubah nama dan marga

setiap etnik Tionghoa, berdasarkan data yang diperoleh peneliti, menurut Leo

Suryadinata bahwa Kebijakan yang paling komperhensif untuk mengubah

identitas Tionghoa di Indonesia adalah peraturan ganti nama Pada tahun 1961,

ketika Soekarno masih berkuasa, peraturan ini sudah diumumkan akan tetapi tidak

dilaksanakan. Pada tahun 1966, setelah Soehato berkuasa, peraturan ganti nama

diterbitkan lagi. Kali ini prosedurnya disederhanakan dan banyak orang Tionghoa

mengganti nama Tionghoanya, walaupun ganti nama ini tidak wajib. Namun bagi

kebanyakan orang Tionghoa terutama pada pertengahan 1960an ada tekanan halus

dari pemerintah untuk ganti nama, karena ganti nama dianggap sebagai sebuah

tingkah laku simbolik, semacam deklarasi orang Tionghoa bahwa mereka setia

kepada pemerintah Indonesia, atau mengidentitaskan diri dengan bangsa

Indonesia dan budaya Indonesia. Namun orang Tionghoa generasi muda yang

lahir sesudah tahun 1965 hampir semua memilikinama Indonesia atau nama yang

dianggap Indonesia. (yakni bukan nama Tionghoa). Menarik untuk dijelaskan

bahwa banyak Tionghoa mengambil nama Indonesia yang mencerminkan nama

Page 181: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

244

aslinya, seperti salim untuk liem, Wijaya atau Wibisono untuk Oei.(Suryadinata,

2002, hal 87)

Makna Identitas

Etnik

Kebanggaan

Memposisikan Diri Pendeta – Pemuka Agama

Strategi Identitas

(Kombinasi Marga)

Marga Tionghoa Marga Lokal Kombinasi

(Hasil)

Ang (Hun)

Banamtuan Hunbanamtuan

Nama Identitas Nama Tionghoa Nama Nasional/Indonesia/

Ang Xie Ling Leonard Hun Banamtuan

Nama Populer Ence Kaling.

Dominasi Etnik Etnik Dawan

Nilai dan Budaya

yang dipertahankan

dan diwariskan

Nilai-nilai ajaran Kristen Pantekosta

Cara Identifikasi

Sesama Etnik

Tionghoa

Marga dan ciri fisik seperti roman muka.

Tabel. 30. Identitas Etnik Leonard Hunbanamtuan

Berdasarkan keterangan diatas, menurut pandangan peneliti bahwa

kombinasi dan penyandian marga mereka cukup unik, disamping itu tersirat

makna marga mereka juga menekankan tentang pentingnya identitas etnik yang

tidak boleh luntur disamping itu dengan menggunakan perumpamaan seperti

rumput juga memberi kesan etnik Tionghoa sudah merumput dan berkembang di

pulau Timor. Hal juga sekaligus menekankan bawah beliau sangat memaknai

identitas etniknya sebagai sebuah Kebanggaan tersendiri. Berkaitan pula

mengenai dominasi identitas etnik Tionghoa didalam dirinya, ia menegaskan

bahwa sejauh ini ia lebih dominan merasakan identitas sebagai seorang etnik

Dawan, meskipun demikian secara tidak langsung ia merasa bangga dan

dihormati pada saat mendapatkan undangan namanya tertera menggunakan nama

Tionghoanya.

Page 182: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

245

Dalam pandangan peneliti, tentunya hal ini bertolak belakang

pengakuannya akan makna identitas etniknya sebagai sebuah Kebanggaan.

Menurut peneliti penyataan beliau meungkin mempunyai beberapa alasan tersirat

diantaranya pertama sebagai seorang pendeta atau pemuka agama ia harus

memberi teladan baik bagi umat di gerejanya, atau setidaknya ia tidak boleh

membuat jurang diskriminasi dengan menonjolkan diri sebagai seorang etnik

Tionghoa. Dengan membangun kesan yang dominan terhadap etnik Timor ia

mampu menyeimbangkan posisinya sebagai etnik Tionghoa. Kedua secara faktor

fisik, ia memang cenderung terlihat sebagai menggambarkan etnik Dawan seperti

warna kulit yang coklat.

Namun dibalik semua itu, peneliti yakin bahwa beliau lebih cenderung

menonjol pada etnik Tionghoa campuran sekaligus ia sendiri menegaskan bahwa

memaknai identitas Tionghoanya dengan kebanggaan. Dalam pengamatan

peneliti, beliau dalam kegiatan sehari-hari selalu berinteraksi dengan masyarakat

disekitar lingkungannya baik dengan etnik Tionghoa maupun dengan etnik

Dawan. Bahasa yang digunakan pun lebih dominan bahasa Dawan dan kadang

juga menggunakan bahasa melayu Kupang. Didalam lingkungan keluarga ia lebih

sering menggunakan bahasa melayu Kupang, sedangkan ketika melakoni profesi

sebagai pendeta ia lebih akrab menggunakan bahasa Indonesia dan diselingi

dengan menggunakan bahasa Dawan maupun melayu Kupang. Namun ketika

berprofesi sebagai seorang pedagang, yang unik adalah ia selalu menggunakan

bahasa Dawan dalam melakukan transaksi jual-beli dengan masyarakat setempat.

Page 183: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

246

Sedangkan dalam warisan budaya Tionghoa didalam keluarganya,

mengenai budaya Tionghoa sendiri didalam keluarganya sudah tidak

dipergunakan lagi, dan lebih menitik beratkan pengembangan ajaran gereja

Kristen Pantekosta dalam keluarganya. Sebab dalam pandangan peneliti sendiri

melihat bahwa hal tersebut cukup wajar, karena ia sendiri menempati posisi

sebagai seorang pendeta, terlebih lagi ajaran Kristen Protestan dan Pantekosta

melarang beberapa tradisi budaya Tionghoa tertentu.

Berdasarkan masalah kebudayaan diatas, peneliti menemukan beberapa

data yang berkaitan masalah tersebut. Masalah ini sebenarnya bersumber dari

agama Kongfuchu yang dianggap sebagai aliran kepercayaan, berikut ulasan dari

Leo Suryadinata untuk mendukung analisis peneliti Selain menghadapi tantangan

dari pemerintah Indonesia yang ingin mengasimilasi orang Tionghoa kedalam

tubuh pribumi, agama Konghuchu juga mendapat kesulitan dari masyarakat

Tionghoa di Indonesia sendiri. Orang Tionghoa peranakan, pada umumnya tidak

lagi berbahasa Tionghoa dan kebudayaannya telah lama sangat dpengaruhi baik

oleh lingkungan barat maupun Indonesia. Banyak dari mereka adalah orang

Kristen Protestan dan Katolik. Budaya Tionghoa sendiri sangat asing bagi

kebanyakan orang Tionghoa peranakan, teristimewa bagi generasi muda yang

diharuskan UU belajar di sekolah-sekolah Indonesia sejak tahun 1957, cara

berpikir mereka, karenanya lebih Indonesia dari pada Tionghoa. (Suryadinata,

2002, hal 187)

Kongchuisme juga menghadapi tantangan dari agama Budha, Katolik, dan

Prostestan yang umumnya dianggap lebih “Indonesia” dari pada agama

Page 184: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

247

Konghuchu. Jumlah orang Indonesia keturunan Tionghoa yang menganut agama-

agama ini juga telah meningkat dalam tahun-tahun belakangan ini.(Suryadinata,

2002, hal 188)

Namun dalam pengamatan peneliti saat bertamu kediaman beliau, peneliti

sempat memberika salam hormat dalam bentuk soya dan beliau pun membalas

dengan hal serupa, begitu pun juga beliau lebih nyaman dengan menggunakan

identitas etnik Tionghoanya saat wawancara berlangsung, disamping itu meskipun

demikan beliau sangat mengagumi budaya imlek karena sangat mengandung

makna religius yang menarik. Berdasarkan hal tersebut, sebenarnya beliau secara

tersirat menekankan komitmennya sangat memaknai identitas etnik Tionghoanya

sebagai sebuah kebanggaan, dan menonjolkan identitas Tionghoanya meskipun

dalam tampilannya lebih menonjolkan sisi sebagai seorang pendeta maupun etnik

Dawan.

Informan peneliti selanjutnya adalah bapak Syarifudin Un (Wun Jun Pit),

yang seorang Tionghoa Muslim di Niki-Niki. Beliau berprofesi sebagai seorang

kontraktor yang berumur 62 tahun, peneliti bertanya mengenai bagaimana ia

memaknai identitas Tionghoa yang selama ini melekat dalam dirinya serta

bagaimana ia memposisikan diri kedalam lingkungan etnik Tionghoa maupun

Dawan. Dengan suara pelan ia menjawab bahwa ia sendiri memaknai sebagai rasa

bangga sebagai etnik pendatang dari luar Niki-Niki disamping itu yang menjadi

nilai tambah baginya yakni diantara masyarakat etnik Tionghoa yang rata-rata

berkeyakinan nasrani ada juga etnik Tionghoa yang muslim. Dia mengartikan

bahwa dengan adanya perbedaan tersebut terjalin hubungan kerukunan satu-sama

Page 185: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

248

lain. Karena menurutnya masalah soal agama atau keyakinan memang tidak ada

karena mereka sudah menjadi satu (etnik Tionghoa dan etnik Dawan).

Ia mencontohkan ketika diadakan perayaan pernikahan oleh saudaranya

yang beragama Nasrani, sudah menyiapkan sajian makanan yang halal bagi

keluarganya dan ditempatkan secara terpisah. Menurutnya ini merupakan suatu

bentuk penghormatan dari keluarganya yang lain. Begitu pun juga dalam

menempatkan dirinya ditengah-tengah masyarakat etnik Tionghoa dan etnik

Dawan, beliau mengatakan bahwa dia selalu menempatkan dirinya sebagai

seorang muslim khususnya Tionghoa muslim. Disamping itu ia selalu

menempatkan diri dan hadir bersama dengan tokoh masyarakat lainnya terutama

jika ada hajatan atau acara perayaan lainnya tanpa pandang bulu dan bersikap

normal seperti biasanya.

“nahh rasa bangga, btong dimana-man itu dong misalnya ke pendatang,

pendatang luar niki2 selalu dong heran kok di tengah2 mayoritas kok bisa

ada muslim (Tionghoa muslim), berarti hubungannya baik baru bisa rukun

disini, jadi btong rasa karna untuk disini tidak ada masalah, karena

masalah agama tidak ada, karna ktong dulu disini ini ktong su jadi satu

semua, walaupun dia muslim atau dia ini suka memang. Nanti misalnya

soal makan, misalnya ada acara2 apa seperti silahturahmi begitu itu song

su tau, misalnya b pung sodara satu yang non-muslim dia bekin acara, dia

tau yang nanti bta ada, dia pisahkan memang b pung makanan walaupun

telur satu butir dan nasi sekalipun tetap ada, dong hormati sekali.“

“ehh tidak ada masalah...jadi bagini kalo misalnya ehh ada undangan2

misalnya dari kantor lurah atau lainnya begitu biasanya dong undang dari

tokh2 muslim, dari tokoh lainnya dan btong tempatkan diri sebagai muslim

dan ktong hadir, misalnya ada acara resmi yg ada bupati apa, btong hadir

itu ini.”

Terjemahannya :

“nahh rasa bangga, kami dimana-mana itu mereka misalnya seperti

pendatang, pendatang luar niki-niki, mereka selalu heran kok di tengah

Page 186: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

249

mayoritas kok bisa ada muslim (Tionghoa muslim), berarti hubungannya

baik baru bisa rukun disini, jadi kami rasa karena untuk disini tidak ada

masalah, karena masalah agama tidak ada, karena kami dulu disini ini

kami sudah jadi satu semua, walaupun dia muslim atau dia ini suku lain

suka memang. Nanti misalnya soal makan, misalnya ada acara apa seperti

silahturahmi begitu itu mereka sudah paham, misalnya saudara saya yang

satunya yang non-muslim dia buat acara, dia tahu yang nanti saya hadir,

dia pisahkan memang menu halal walaupun telur satu butir dan nasi

sekalipun tetap ada, mereka hormati sekali.“

“eh tidak ada masalah...jadi bagini kalo misalnya eh ada undangan-

undangan misalnya dari kantor lurah atau lainnya begitu biasanya mereka

undang dari tokoh muslim, dari tokoh lainnya dan kami tempatkan diri

sebagai muslim dan kami hadir, misalnya ada acara resmi yang ada bupati

apa, kami hadir disini.”

Berkaitan dengan membentuk strategi identitasnya sebagai seorang

Tionghoa campuran, ia menceritakan memasuki Pemerintahan Orde Baru atau

pasca tragedi G30S yakni dengan dikeluarkannya PP.10 oleh Pemerintah pada

saat itu yang mengharuskan semua warga keturunan etnik Tionghoa yang tinggal

di Indonesia untuk mengganti nama Tionghoa menjadi nama Indonesia. Ia

menceritakan lebih jauh bahwa nenek moyangnnya yang bernama Tong Sam

diberikan salah satu mata air oleh Raja Banunaek yang dinamakan na oe un,

sehingga ada beberapa saudara mereka yang menggunakan nama marga

Banunaek, maupun kombinanasi Un Banunaek, dan keluarganya memilih

menggunakan marga Un yang diartikan sebagai mata air.

Berkaitan dengan dominasi identitas didalam dirinya, ia mengakui bahwa

statusnya sebagai seorang keturunan etnik Tionghoa tidak dapat dipungkiri dan

bagi dirinya sendiri tidak menjadi masalah menyandang status sebagai seorang

keturunan Tionghoa dan dilingkungannya sudah mengetahui mengenai

Page 187: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

250

keluarganya sebagai etnik keturunan Tionghoa khususnya Tionghoa muslim,

ucapnya dengan bangga.

Selanjutnya ketika ditanya bagaimana ia sampai bisa mengganti namanya

dan memeluk agama Islam, ia menceritakan bahwa nama Syarifudin dipilihnya

karena pada saat dia memeluk Islam pada saat ia berada di Surabaya untuk

melanjutkan studi, nama tersebut dipilihnya karena ia berada didalam lingkungan

etnik Jawa dan lebih mudah dikenali suatu saat, sedangkan dilingkungan etnik

Tionghoa Niki-Niki ia lebih dikenali dengan nama Oko Pit (Bang Pit).

Sedangkan alasan dia memeluk Islam pada saat itu berbarengan dengan

dirilisnya PP.10 oleh Pemerintah saat itu yang mengharuskan setiap etnik

Tionghoa mengganti namanya dan memiliki agama diluar agama Konghuchu,

keluarganya sendiri pada saat itu belum memiliki keyakinan atau agama, dan

akhirnya keluarganya memutuskan memeluk agama Islam. Sedangkan

keluarganya yang lain ada yang memeluk agama Kristen maupun Katholik, ia

sendiri mengakui bahwa ia sendiri memeluk Islam karena ketulusan dari dalam

hatinya.

Ia menambahkan perasaannya menjalani identitasnya sebagai seorang

Tionghoa muslim, ada rasa kebanggaan tersendiri baginya disamping itu ia

menceritakan pengalamannya saat ke Surabaya sempat mendapatkan pelecehan

secara rasis karena ia memiliki warna kulit dan tidak dipercayai sebagai keturunan

Tionghoa oleh masyarakat disana, namun ia mampu mengatasi hal tersebut

denagn berbicara bahasa Mandarin untuk meyakinkan mereka.

Page 188: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

251

Kemudian ia menambahkan kebanyakan pandangan beberapa orang

sempat tidak percaya bahwa ia merupakan keturunan Tionghoa muslim, hal

tersebut terjadi saat ada beberapa tim survey proyek dari Pemerintah yang rata-

rata beragama Islam sempat tidak mempercayainya sebagai seorang muslim,

mereka beranggapan dirinya beragama Nasrani. Namun ia mampu mengatasi hal

tersebut dengan mengucapkan kata assalamwalaikum, menghidangkan makanan-

makanan yang halal dan menceritakan kepada mereka, dan menunjukan lambang

Nabi Muhammad SAW diruang tamunya.

“kalo marga wun pi un itu, dulu khan ehh semua nama Tionghoa musti

ganti, semua marga pi Indonesia, karna ktong dulu wun, tapi karna ktong

punya nenek moyang Tong Sam yang datang di nenuk itu ada Raja kasih

dorang satu mata aer (mata air), mata air itu na oe un waktu suruh pilih2

nama ktong pung nenek marga banunaek, jadi yang lain (saudara lain)

pake banunaek ktong pake un banunaek, pas btong pung bapa cari tahu oe

un datang, kasih tau saudara semua mau pake marga banunaek, wun atau

keduanya, jadi ada yang pake un banunaek, ada yang hun, jadi un itu

artinya ktong pung mata air.”

“ehh bagini kalo itu, katong tidak bisa pungkiri kalo btong pung keturunan

(darah Tionghoa), tidak bs memungkiri ktong pug keturunan, tapi misalnya

terhadap ktong sendiri tidak masalah karna orang tau, tapi kalo terhdapa

orang luar ktong btul kasih tau bahwa ktong ini memang orang muslim

(Tionghoa muslim), tapi btong diri dalam keadaan di niki2 ini dorang su

tahu, tapi kalo keluar ktong snd bisa, Tionghoa tapi ktong harus bisa ya ..”

“itu karna bta tinggal dijawa jadi lebih enak pake nama jawa, jadi lebih

ganmpang dikenali”

“sebelumnya itu tahun 65 kebawah itu semua agama hanya itu (animisme),

menyembah begitu, datang waktu orde baru mulai pegang harus agama

semua menag, jadi begitu datang semua rame2 masuk agama, dan gereja2

disini macam Katholik dia juga tidak terlalu, nanti setela 65 baru seluruh

ada agama, karena mau dapat identitas itu harus ada agama, nah waktu itu

Konghuchu tidka diakui, nahh dan waktu ktong su sekolah jadi btong su

pilih2 memang, musti ada gamaa itu, waktu di surabaya karena memang

btong hifup di tengah2 muslim jadi mau dapat kemudahan segala macam

jadi ini, pilih islam. Jadi memang snd ada paksaan dan tulus dari hati.”

Page 189: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

252

“rasa bangga, bagini bta sering ke surabaya, dong sendiri (orang

surabaya) snd tau btong dari apa, jadi kadang2 dong lecehkan btong,

kadang2 dong omong kasar dengan bahasa Tionghoa btong tau, btong

kadang2 dong bicara kurang enak kadang2 bta tegur kembali seng dong”

“kadang2, kebanyakan dong heran, artinya di tenga2 mayoritas kok bisa

ktong sendiri masuk disana begitu, eh kalo bagini kalo khusus utk soe, tts

sampe kupang dorang tau, tapi kalo orang luar yang dia tidak tahu, dia itu

liat feeling ke muslim sudah 50-50, karna kalo bta sapa dia dengan

assalamwalaikum deng dia, dia su tau ohh ini muslim, bagini satu cerita

lagi pas lagi proyek kadang2 dari peneliti, timi survey yang dari jawa dong

datang sini too, kadang2 dong snd tau dong ikir ktong nasrani, jadi

misalnya minum atau makan, jadi saya tegur memang too, sya muslim jadi

makanan ini halal, jadi dong snd pake tanya2 lai..atau masuk didalam bta

kasih tunjuk lambang muhammad di ruang tamu”

Terjemahannya :

“kalo marga wun pi un itu, dulu kan eh semua nama Tionghoa harus ganti,

semua marga Tionghoa ke Indonesia, karena kami dulu wun, tapi karena

nenek moyang kami Tong Sam yang datang di nenuk itu ada oleh Raja

dikasih ke mereka satu mata air, mata air itu namanya na oe un waktu

suruh pilih nama marga, nenek kami yang marga banunaek, jadi yang lain

(saudara lain) pakai banunaek kami pakai marga un banunaek, ayah kami

cari tahu oe un datang, kasih tahu saudara semua mau pake marga

banunaek, wun atau keduanya, jadi ada yang pake un banunaek, ada yang

hun, jadi un itu artinya ktong pung mata air.”

“ehh bagini kalo itu, kami tidak bisa pungkiri kalo keturunan kami (darah

Tionghoa), tidak bisa memungkiri keturunan kami, tapi misalnya terhadap

kami sendiri tidak masalah karena orang tahu, tapi kalo terhadap orang

luar kami betul kasih tahu bahwa kami ini memang orang muslim

(Tionghoa muslim), tapi kami dari dalam keadaan di niki-niki ini mereka

sudah tahu, tapi kalo keluar daerah kami tidak bisa, Tionghoa tapi kami

harus bisa ya .”

“itu karena saya tinggal di jawa jadi lebih enak pake nama jawa, jadi lebih

gampang dikenali”

“sebelumnya itu sebelum tahun 65 semua agama hanya itu (animisme),

menyembah begitu, datang waktu orde baru mulai pegang harus agama

semua memang, jadi begitu datang semua ramai-ramai masuk agama, dan

gereja disini macam Katholik dia juga tidak terlalu, nanti setelah 65 baru

seluruh ada agama, karena mau dapat identitas itu harus ada agama, nah

waktu itu Konghuchu tidak diakui, nah dan waktu itu kami sudah sekolah

Page 190: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

253

jadi kami sudah pilih memang, mesti ada agama itu, waktu di surabaya

karena memang kami hidup di tengah-tengah muslim jadi mau dapat

kemudahan segala macam jadi ini, pilih islam. Jadi memang tidak ada

paksaan dan tulus dari hati.”

“rasa bangga, bagini saya sering ke surabaya, mereka sendiri (orang

surabaya) tidak tahu saya dari apa, jadi kadang mereka lecehkan kami,

kadang mereka omong kasar dengan bahasa mandarin, tapi kami tahu,

kami kadang dengar mereka bicara kurang enak kadang, saya tegur

kembali mereka dengan bahasa mandarin”

“kadang, kebanyakan mereka heran, artinya di tengah mayoritas kok bisa

kami yang muslim sendiri masuk disana begitu, eh kalo bagini kalo khusus

utk soe, TTS sampai kupang mereka sudah tahu, tapi kalo orang luar yang

dia tidak tahu, dia itu liat feeling ke muslim sudah 50-50, karena kalo saya

sapa dia dengan assalamwalaikum dengannya, dia sudah tahu ohh ini

muslim, bagini satu cerita lagi pas lagi proyek kadang dari peneliti, tim

survey yang dari jawa datang disini, kadang mereka tidak tahu mereka pikir

kami nasrani, jadi misalnya minum atau makan, jadi saya tegur memang

saja, saya muslim jadi makanan ini halal, jadi mereka tidak pake tanya-

tanya lagi..atau masuk didalam saya tunjukan lambang muhammad di

ruang tamu”

Berkaitan dengan warisan budaya-budaya Tionghoa yang dimiliki, secara

tegas bahwa beberapa warisan budaya dari leluhurnya masih dilestarikan dan

dikembangkan didalam keluarganya, ia mencontohkan disaat perayaan ceng beng

(perayaan 40 hari setelah imlek) keluarganya masih melakukan ritual doa tetapi

tidak menghidangkan makanan layaknya etnik Tionghoa lainnya, melainkan

mereka hanya membacakan beberapa doa sesuai keyakinan sebagai muslim

kepada orang tuanya yang sudah wafat. Sedangkan pada saat imlek yang

kazimnya menghidangkan makanan-makanan yang rata-ratanya mengandung

(maaf : peneliti) babi, keluarganya pun berinisiatif menghidangkan makanan-

makanan halal di makam orang tuanya yakni berupa ayam dan daging kambing.

Page 191: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

254

Sedangkan nilai-nilai budaya etnik Tionghoa lainnya yang ia terapkan

didalam keluarganya adalah disaat perayaan ceng beng tiba, hal ini dimanfaatkan

oleh keluarganya untuk melakukan reuni bersama dengan keluarganya yang lain

termasuk didalamnya yang berbeda keyakinan. Hal lain yang masih dilestarikan

dan diajarkan kepada anaknya adalah budaya soya, tata sapaan, kuliner khas

Tionghoa, terutama tata kramayang diajarkan kepada anak-anaknya. Ia mengakui

masih menggunakan beberapa kebiasaan yang dilakukan oleh etnik Tionghoa

lainnya seperti penggunaan feng shui, buku penanggalan, buku ramalan, dan lain

sebagainya.

“masih, ehh...misalnya pas ceng beng btong sembayang, itu tetap btong

sembhayang, dan di niki2 ini masih pegang buku topong (panduan cina),

pas sembhayang ceng beng bukan sembhayang kasih duduk makanan itu,

dulu ktong pung bapa itu kasih dudu makanan utk ktong pung kong, jadi

dong punya wafat itu dijaman belum ada agama, jadi btong kirim doa

sesuai keyakinan masing2 mungkin ada yang snd terima, sehingga btong

walaupun btong su agama, walaupun btong kirim kasih dong sembhayang

supaya dong bisa terima, kebanyakan dong yang mati ini kebanyakan sdn

ada agama, bakar hiong bakar, bakar hanya utk menghormati dong, jadi

bakar bukan utk ktong, tapi bakar utk dong, karan kalo ktong kirim kasih

dong, kirim atsalah juga dong tidak terima, begitu...”

“tidak ada, btong tidak sajikan makanan, sejak masuk muslim hanya pake

ayam sa...kalo tidak panggang kambing,”

“ya misalnya pada saat ceng beng panggil para keluarga kumpul disini ko

sembhayang, kalo ketemu keluarga msih soya, sapaan misalnya, biarpun di

umum biar ketemu itu spontan, jadi reflek, kadang2 btong snd rasa,

walaupun dimana tapi btong su langsung ini, misalnya direstoran atau apa

kalo ketemu yang lebih tua langsung btong soya, entah penilaian dari mana,

itu su terbawa dari btong pung kebiasaan, “

“pake, buku2 ramalan atau petunjuk hari baik pake, kalo makanan cina itu

utama dirumah itu makanan Tionghoa”

Page 192: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

255

Terjemahannya :

“masih, ehh...misalnya pas acara ceng beng kami berdoa, itu tetap kami

berdoa, dan di niki-niki ini masih pegang buku topong (panduan cina), pas

acara doa ceng beng bukan berdoa untuk hidangkan makanan itu, dulu

ayah kami itu kasih hidangkan makanan untuk kakek kami, jadisaat mereka

wafat itu dijaman itu belum ada agama, jadi kami kirim doa sesuai

keyakinan masing-masing mungkin ada yang tidak terima, sehingga kami

walaupunsudah muslim, walaupun kami kirim doa supayamereka bisa

terima, kebanyakan mereka yang wafat ini kebanyakan tidak ada agama,

bakar hiong, bakar hanya untuk menghormati mereka, jadi bakar bukan

untuk kami, tapi bakar untuk mereka, karena kalo kami kirim kasih mereka

doa, kirim salah doa juga mereka tidak terima, begitu...”

“tidak ada, kami tidak sajikan makanan, sejak masuk muslim hanya pake

ayam saja...kalo tidak panggang kambing, guling”

“ya misalnya pada saat ceng beng panggil para keluarga kumpul disini

kemudiann berdoa bersama, kalo ketemu keluarga masih soya, sapaan

misalnya, biarpun di muka umum biar ketemu itu spontan, jadi reflek,

kadang kami tidak sadar, walaupun dimana tapi kami sudah langsung ini,

misalnya direstoran atau apa kalo ketemu yang lebih tua langsung kami

soya, entah penilaian dari mana, itu sudah terbawa dari kebiasaan kami “

“tetap pakai, buku ramalan atau petunjuk hari baik digunakan, kalo

makanan Tionghoa itu tetap menu utama dirumah”

Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti bahwa,

makna identitas etnik Tionghoa bagi Bapak Syarifudin Un adalah sebagai sebuah

kebanggaan karena sebagai seorang keturunan etnik Tionghoa campuran dan juga

merupakan seorang Tionghoa muslim. Menurut pandangan peneliti dengan

memaknai sebagai sebuah kebanggaan dapat dilihat bahwa, sebenarnya beliau

ingin mengungkapkan jati dirinya sebagai seorang etnik Tionghoa muslim yang

mampu berbaur, dan hidup berdampingan dengan etnik Tionghoa serta etnik

Dawan yang beragama nasrani. Sekaligus juga menjelaskan kebanyakan

Page 193: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

256

pandangan orang lain terhadap keyakinan etnik Tionghoa seperti Nasrani, Budha,

maupun Konghuchu, melainkan ada pula etnik Tionghoa yang beragama Islam.

Disamping itu alasan yang cukup logis adalah dalam kehidupan mereka,

faktor agama tidak menjadi jurang pemisah diantara mereka, melainkan faktor

hubungan keluarga yang diprioritaskan. Sehingga menurut pendapat peneliti,

bahwa makna kebanggaan bagi bapak Syarifudin Un adalah sebagai etnik

Tionghoa muslim mampu membangun hubungan baik dan toleransi antar umat

beragama dengan sesama etnik Tionghoa maupun etnik Dawan, disamping itu

dengan anggota keluarganya yang berbeda agama pun mereka saling memberikan

perhatian dan toleransi satu sama lain.

Berkaitan pula dengan memposisikan dirinya ia lebih dominan

menempatkan diri atau memposisikan dirinya sebagai seorang Tionghoa muslim,

dimana ketika saat diadakan acara perayaan maupun hajatan lainnya ia selalu

diundang dengan kapasitas sebagai tokoh Tionghoa Muslim dan selalu bersikap

merata terhadap semua orang. Dalam pandangan peneliti, beliau bisa konsisten

memposisikan dirinya sebagai seorang Tionghoa muslim dan menegaskan pula

makna kebanggaan dari identitas etniknya. Dalam pengamatan peneliti

menyambung perihal makna identitas etnik dan memposisikan diri, seperti terlihat

dalam kehidupan sehari-hari beliau terlihat akrab berniteraksi dengan sesama

etnik Tionghoa lainnya, begitu pun juga dengan masyarakat etnik Dawan serta tak

lupa sesama muslim dari etnik Jawa dan Bugis.

Page 194: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

257

Ia sendiri lebih akrab dengan panggilan nama Tionghoanya Oko Pit

(Saudara Pit) dikalangan etnik Tionghoa, Dawan, maupun etnik Jawa dan Bugis

ketimbang nama Syarifudin. Begitupun dalam menjalin relasi, beliau dengan

sesama etnik Tionghoa baik muslim maupun yang nasrani lebih dominan

menggunakan bahasa Dawan dan bahasa Melayu Kupang, dan dengan etnik

Dawan lebih sering menggunakan bahasa Dawan kecuali dengan karyawannya, ia

lebih sering menggunakan bahasa melayu Kupang. Yang berbeda adalah dengan

sesama muslim dari etnik Jawa maupun Bugis beliah terlihat akrab menggunakan

bahasa Indonesia dan bahasa melayu Kupang, terlihat sesekali beliau

mengucapkan kata assalamwualaikum, allhamdullilah, isnyaallah, dsb.

Makna Identitas

Etnik

Kebanggaan

Memposisikan Diri Etnik Tionghoa Muslim

Strategi Identitas

(Kombinasi Marga)

Marga Tionghoa Marga

Lokal

Kombinasi

(Hasil)

Wun

Un Un

Nama Identitas Nama Tionghoa Nama Nasional/Indonesia/

Wun Jung Pit Syarifudin Un

Nama Populer Oko Pit

Dominasi Etnik Etnik Tionghoa Muslim

Nilai dan Budaya

yang dipertahankan

dan diwariskan

Perayaan imlek, Ceng Beng, Kalender Cina, Buku Ramalan,

Tata Krama, Sopan santun,kuliner Tionghoa, dsb

Cara Identifikasi

Sesama Etnik

Tionghoa

------

Tabel. 31. Identitas Etnik Syarifudin Un

Berkaitan dengan membentuk strategi identitasnya sebagai seorang

Tionghoa campuran, bahwa didalam keluarganya melakukan pergantian marga

mereka akibat diterapkannya PP.10 oleh Pemerintah Orde Baru pada saat itu. Dari

penerapan aturan tersebut, keluarganya mengambil inisiatif merubah marga dan

Page 195: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

258

memeluk keyakinan, perihal perubahan nama marga misalnya dari marga

Tionghoa mereka yakni Wun dan diganti menggunakan tiga pilihan marga yakni

marga Banunaek, Un Banunaek dan Un. Akhirnya keluarganya mengadopsi

marga Un yang dipendekan dari Wun dan diartikan sebagai mata air. Begitu pun

juga dalam memeluk keyakinan, ia sendiri memeluk Islam sama seperti ayahnya

dan beberapa saudaranya yang memeluk Islam sedangkan yang lainnya memeluk

agama Katholik dan Kristen.

Berdasarkan keterangan diatas, dalam pandangan peneliti bahwa keluarga

beliau yang memilih berbagai nama marga berdasarkan pemberian nama mata air

merupakan bentuk menghargai pemberian Raja Banunaek dan etnik Dawan

sekaligus juga menghargai leluhurnya sebagai etnik Tionghoa dan menegaskan

komitmen makna identitas etniknya sebagai sebuah Kebanggaan. Sedangkan

alasan anggota keluarganya memeluk beberapa keyakinan menurut pandangan

peneliti bahwa pertama secara garis besar keluarga beliau cukup demokratis

dalam memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk memeluk keyakinan

sesuai kehendak masing-masing,

kedua bagi beliau dengan memeluk agama Islam sendiri merupakan

sebuah keputusan murni dan tulus tanpa ada paksaan, disamping itu karena

dibesarkan di lingkungan yang mayoritasnya beragama Islam akhirnya dia merasa

nyaman dan memeluk agama Islam termasuk dengan memilih nama Syarifudin

dikarenakan nama tersebut dinilai lebih terkesan bernafaskan Islam ketimbang

memakai nama Tionghoanya. Hal tersebut kembali menegaskan bahwa ia sangat

Page 196: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

259

membanggakan makna identitas etnik Tionghoanya termasuk menegaskan

posisinya sebagai seorang Tionghoa muslim.

Perubahan identitas namanya tersebut tidak terlepas dari campur tangan

pemerintah Orde Baru pada saat itu yang mengharuskan merubah nama dan marga

setiap etnik Tionghoa, berdasarkan data yang diperoleh peneliti, menurut Leo

Suryadinata bahwa Kebijakan yang paling komperhensif untuk mengubah

identitas Tionghoa di Indonesia adalah peraturan ganti nama Pada tahun 1961,

ketika Soekarno masih berkuasa, peraturan ini sudah diumumkan akan tetapi tidak

dilaksanakan. Pada tahun 1966, setelah Soehato berkuasa, peraturan ganti nama

diterbitkan lagi. Kali ini prosedurnya disederhanakan dan banyak orang Tionghoa

mengganti nama Tionghoanya, walaupun ganti nama ini tidak wajib. Namun bagi

kebanyakan orang Tionghoa terutama pada pertengahan 1960an ada tekanan halus

dari pemerintah untuk ganti nama., karena ganti nama dianggap sebagai sebuah

tingkah laku simbolik, semacam deklarasi orang Tionghoa bahwa merekasetia

kepada pemerintah Indonesia, atau mengidentitaskan diri dengan bangsa

Indonesia dan budaya Indonesia. Namun orang Tionghoa generasi muda yang

lahir sesudah tahun 1965 hampir semua memilikinama Indonesia atau nama yang

dianggap Indonesia. (yakni bukan nama Tionghoa). Menarik untuk dijelaskan

bahwa banyak Tionghoa mengambil nama Indonesia yang mencerminkan nama

aslinya, seperti salim untuk liem, Wijaya atau Wibisono untuk Oei.(Suryadinata,

2002, hal 87)

Berkaitan dengan warisan budaya Tionghoa, secara tegas bahwa beberapa

warisan budaya dari leluhurnya masih dilestarikan dan dikembangkan didalam

Page 197: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

260

keluarganya, ia mencontohkan disaat perayaan ceng beng (perayaan 40 hari

setelah imlek) keluarganya masih melakukan ritual doa tetapi tidak

menghidangkan makanan layaknya etnik Tionghoa lainnya, melainkan mereka

hanya membacakan beberapa doa sesuai keyakinan sebagai muslim kepada orang

tuanya yang sudah wafat. Sedangkan pada saat imlek yang kazimnya

menghidangkan makanan-makanan yang rata-ratanya mengandung (maaf :

peneliti) babi, keluarganya pun berinisiatif menghidangkan makanan-makanan

halal di makam orang tuanya yakni berupa ayam dan daging kambing.

Sedangkan nilai-nilai budaya etnik Tionghoa lainnya yang ia terapkan

didalam keluarganya adalah disaat perayaan ceng beng tiba, hal ini dimanfaatkan

oleh keluarganya untuk melakukan reuni bersama dengan keluarganya yang lain

termasuk didalamnya yang berbeda keyakinan. Hal lain yang masih dilestarikan

dan diajarkan kepada anaknya adalah budaya soya, tata sapaan, kuliner khas

Tionghoa, terutama tata krama yang diajarkan kepada anak-anaknya. Ia mengakui

masih menggunakan beberapa kebiasaan yang dilakukan oleh etnik Tionghoa

lainnya seperti penggunaan feng shui, buku penanggalan, buku ramalan, dan lain

sebagainya.

Dalam pandangan peneliti, sebagai seorang Tionghoa muslim beliau

sangat taat kepada budaya Tionghoa dan ajaran agama Islam yang diyakininya,

meskipun demikian dia mampu memberi kompromi budaya antara budaya

Tionghoa dan Agama Islam, seperti ketika perayaan ceng beng yang lazimnya

dirayakan berdasarkan tata cara agama Konghuchu dan menyajikan makanan yang

tidak halal, maka beliau merayakan perayaan tersebut dengan membcakan doa

Page 198: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

261

kepada kedua almarhum orang tuanya sesuai dengan keyakinannya yakni agama

Islam dan menyertakan makanan yang halal sesuai syariat Islam. Disamping itu,

dalam menegaskan identitasnya sebagai Tionghoa muslim, ia pun selalu

mengadakan acara silahturahmi bersama keluarga baik dalam perayaan imlek,

Ceng Beng, bahkan Idul Fitri sebagai reuni keluarga, ditambah pula ia selalu

mengajarkan kepada anak-anaknya tata cara budya sopan santung dan tata krama

seperti budaya soya.

Informan peneliti yang terakhir adalah Herman Carel Litelnoni (Lie Hok

Kie), yang merupakan pensiunan PNS Kasub.Sospol Pemkab TTS berumur 69

tahun. Beliau merupakan keponakan dari bapak John EE Litelnoni, peneliti

bertanya bagaimana ia memaknai identitas Tionghoa yang selama ini melekat

dalam dirinya serta bagaimana ia memposisikan diri kedalam lingkungan etnik

Tionghoa maupun Dawan.

Dengan suara serak ia menjawab dengan tenang bahwa ia sendiri

mengakui sebagai seorang keturunan Tionghoa walaupun demikian sudah menjadi

WNI dan tetap memegang nilai adat dan ia secara jujur memaknai sebagai suatu

kebanggaan, bangga memaknai identitasnya dan sebagai keturunan Tionghoa bisa

bekerja sebagai pegawai negeri, ia sendiri menambahkan bahwa kebanyakan

orang etnik Tionghoa agak sulit mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai negeri

khususnya PNS. Termasuk juga ketika ditanya saat dia memposisikan dirinya

didalam lingkungan etnik Tionghoa dan etnik Dawan, ia mengakui bahwa

menempatkan dirinya tetap sebagai seorang PNS (Birokrat), dan harus menjadi

panutan terutama klan marga keluarganya Litelnoni yakni menjaga gengsi karena

Page 199: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

262

orang Tionghoa suka dibedakan oleh karena itu mereka sebagai etnik Tionghoa

dari marga Litelnoni tetap mempertahankan citranya didalam pemerintahan.

“ya itu dari leluhur jadi btong tetap walaupun btong warga negara

Indonesia tetap pegang adat, iya ada rasa kebanggaan. Iya seya bangga

pegang bekerja sebagai pegawai negeri, orang sukar2 jadi pegawai negeri

dan jarang2 orang Tionghoa jadi pegawai negeri.”

“ya btong juga jadi pegawai ee...btong harus menjadi panutan, (menjaga

gengsi, krn oran cina mau dibedakan, serta hal lain adalah jaran org cina

jadi pegawai negeri, jd ingin membuat citra tersendiri)”

Terjemahannya :

“ya itu dari leluhur kami jadi tetap pertahankan walaupun kami sudah

menjadi warga negara Indonesia tetap pegang adat, iya ada rasa

kebanggaan. Iya seya bangga pegang bekerja sebagai pegawai negeri,

orang sukar jadi pegawai negeri dan jarang orang Tionghoa jadi pegawai

negeri.”

“ya kami juga jadi pegawai ya...kami harus menjadi panutan, (menjaga

gengsi, karena orang cina mau dibedakan, serta hal lain adalah jarang

orang cina jadi pegawai negeri, jadi ingin membuat citra tersendiri)”

Berkaitan dengan membentuk strategi identitasnya sebagai seorang

Tionghoa campuran, ia menjawab bahwa penggunaan nama Tionghoanya kurang

digunakan sebab dari kecil ia lebih banyak dipanggil dengan nama nasionalnya

dan ia sendiri merasa nama identitas nama Tionghoanya tidak terlalu penting,

ketika dalam lingkungan kerjanya kadang kala ia sering dipanggil oleh segelintir

teman kerjanya dengan mana Kiu (Paman) sebagai bentuk gurauan. Namun rekan

kerjanya masih mengetahui persis bahwa dirinya masih keturunan Tionghoa, dan

ayahnya sendiri pernah menjabat sebagai sekretaris daerah dan mengganti nama

Tionghoanya dari Lee Kim Hok menjadi CHR Litelnoni sebelum menjabat sebagai

sekretaris daerah.

Page 200: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

263

Ia mengutip peryataan yang sama dengan bapak John Litelnoni yang tak

lain adalah pamannya sendiri bahwa asal-usul penggunaan marga Litelnoni yakni

merubah nama marga keluarga mereka dari marga Lee menjadi Litelnoni, dimana

kombinasi tersebut melibatkan marga Telnoni dari pihak ibunya yang pada waktu

itu merupakan keturunan Raja Telnoni, pembuatan nama marga ini sekaligus

menurutnya untuk mencegah tidak terjadinya kawin-mawin diantara sesama

marga Lee.

Disisi lain dalam hal mengidentifikasi sesama etnik Tionghoa campuran, ia

menjawab bahwa pada prinsipnya ia bisa “membaca” mengenal sesama etniknya

dengan melihat ciri fisik seperti roman muka maupun dari panggilan orang sekitar

terhadap pribadi tersebut dengan sebutan kase dalam bahasa Dawan, dari

panggilan ini bisa diketahui bahwa orang tersebut merupakan orang keturunan. Ia

menutup penyataanya dengan penjelasan beikut bahwa bagaimana pun juga setiap

etnik Tionghoa yang merubah identitasnya, atau menyembunyikan identitas

fisik/nama seperti apapun tetap dengan mudah akan dikenali melalui marga dan

ciri fisik, seperti yang disepakati ayahnya pada waktu itu.

“nama cina kurang, jarang sebab dari kecil dipanggil nama Indonesia.

Klao dikantor dikenal anma Indonesia, Cuma kadang2 kita bergurau

mereka panggil kiu, dikanto dong panggil kiu, hehehe..dan mereka tau saya

masih keturunan Tionghoa, ktong pung bapa su jadi sekretaris daerah baru

ganti nama dari lee kim hok menajdi CHR Litelnoni.”

“kalo bta snd terlalu penting, karna berbaur bagirni lama juga”

“tau, macam ke ee....di kantor tuh bisa baca (melihat), biar ganti

bagaimana (nama/identitas), tetap contoh umpamanya kase2, itu..itu orang

cina itu (kase panggilan buat kaum cina oleh orang timor, nilainya sangat

Page 201: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

264

tinggi).dia sembunyi bagaimana pun tetap ketahuan, ciri fisik iya agak lain

sedikit (roman muka)”

“tau...saya cina. Btong juga tau mana yang peranakan Tionghoa, biar mau

sembunyi kermana btong tau..hehehe (sambil mencontohkan seorang

keturunan Tionghoa yang fisiknya menayamai orang Timor), nama marga

Litelnoni dari bta pung bapa pung kesepakatan”

“cuman dalam hati dong ( dong orang cina) bicara, tapi snd terang2 dgn

tong, ya klo Tionghoa ya jarang ketemu orang bilang begitu..dong pikir

btong orang timor, tidak pernah ada masalah..selama 34 tahun snd ada..snd

ada masalah.”

Terjemahannya :

“nama cina kurang dikenal, jarang dipakai sebab dari kecil dipanggil nama

Indonesia. Kalo dikantor dikenal nama Indonesia, Cuma kadang-kadang

kita bergurau mereka panggil kiu, dikantor mereka panggil kiu, hehehe..dan

mereka tahu saya masih keturunan Tionghoa, ayah saya jadi sekretaris

daerah baru ganti nama dari Lee Kim Hok menjadi CHR Litelnoni.”

“kalo bagi saya tidak terlalu penting, karena berbaur bagini lama juga”

“tahu, macam seperti....di kantor tuh bisa baca (melihat), biar ganti

bagaimana (nama/identitas), tetap contoh umpamanya panggilan kase,

itu..itu orang cina itu (kase panggilan buat kaum cina oleh orang timor,

nilainya sangat tinggi).dia sembunyi bagaimana pun tetap ketahuan, ciri

fisik iya agak lain sedikit (roman muka)”

“tahu...saya cina. Kami juga tahu mana yang peranakan Tionghoa, biar

mau sembunyi bagaimana pun tahu..hehehe (sambil mencontohkan seorang

keturunan Tionghoa yang fisiknya menyamai orang Timor), nama marga

Litelnoni dari kesepakatan ayah saya”

“cuman dalam hati mereka (orang cina) bicara, tapi tidak terang-terangan

dengan kami, ya kalo Tionghoa ya jarang ketemu orang bilang

begitu..mereka pikir kami orang Timor, tidak pernah ada masalah..selama

34 tahun tidak ada..tidak ada masalah.”

Berkaitan dengan warisan budaya-budaya Tionghoa yang dimiliki, secara

singkat ia menjawab bahwa sejak lahir dan dibesarkan ia tidak terlalu mengikuti

ajaran budaya Tionghoa, kecuali seperti sapaan nama atau pangkat masih

Page 202: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

265

diajarkan. Hal tersebut dipengaruhi oleh keyakinan dari agama Kristen Protestan

yang dianutnya sehingga agak sedikit membatasi tantang beberapa budaya

Tionghoa seperti ziarah ke kubur, berdoa imlek, dan beberapa tradisi lainnya yang

lazim dilakukan oleh etnik Tionghoa lainnya.

“jadi ktongs ejak lahir btong snd terlalu iko ajaran oleh orang tua

mengenai budaya Tionghoa, Cuma yaa hanya sapaan masih diajarkan tapi

utk kebudyaan Tionghoa tidak pernah, ya btong disini agama Protestan jadi

agak keras utk masalah begitu (sembhayang kubur, tradisi imlek, dll) utk

kuburan apa segala macam.”

Secara umum berdasarkan hasil refleksi dan pengamatan peneliti bahwa,

makna identitas etnik Tionghoa bagi Bapak Herman Litelnoni adalah sebagai

sebuah kebanggaan, makna kebanggaan disini dalam pandangan peneliti adalah

beliau ingin menekankan sebagai seorang keturunan etnik Tionghoa campuran

sudah menjadi WNI, dan sebagai seorang keturunan pula ia mampu menjadi

seorang birokrat di Pemerintahan. Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa stigma

masyarakat terhadap etnik Tionghoa selalu berasosiasi dengan kegiatan ekonomi,

yakni melakoni profesi sebagai pedagang.

Begitu pun dengan beliau, pertama ia ingin menekankan bahwa makna

kebanggaannya juga meliputi ia bisa berprofesi sebagai birokrat dalam wujud

mendapat jabatan sebagai kabid.Sospol Pemkab.Timor Tengah Selatan. Kedua,

sebagai bagian dari keluarga Litelnoni, ia ingin terus mewarisi tradisi didalam

klan keluarganya yang sejak zaman leluhurnya selalu mempertahankan “gengsi”

agar terus berbakti bagi Pemerintahan dan menghindari dunia dagang. Setali tiga

uang hal serupa juga sama dengan pamannya, Bapak John E.Litelnoni yang

pernah menjabat sebagai Lurah Niki-Niki. Kini, tradisi keluarga mereka dalam

Page 203: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

266

dunia pemerintahan dilanjutkan oleh sepupunya yang menjabat sebagai Wakil

Bupati TTS.

Hal tersebut bukanlah hal baru yang peneliti temui, seperti yang dialamai

oleh bapak John E.E.Litelnoni serta berdasarkan beberapa data yang peneliti

telusuri seperti tulisan dari Hidayat Z.M yang mengatakan bahwa golongan

generasi muda (generasi peranakan Tionghoa) yang telah mendapat pendidikan

Barat yang modern. Golongan ini lebih cenderung untuk merubah nilai-nilai

budaya tradisi leluhurnya. Profesi pola kehidupan ekonomi tidak menjadi

monopoli dalam usaha dagang saja, akan tetapi telah ada yang beralih kebidang

lain sesuai dengan pendidikannya. Kebanyakan dari mereka ini telah memilih

profesi menjadi dokter, sarjana teknik, ekonomi, hukum atau penjadi pegawai

kantoran atau pemerintahan, akan tetapi dengan tujuan yang sama yaitu yang

sekiranya bisa menunjang untuk mendapat keuntungan besar (Hidayat, 1993, hal

118-9)

Disisi yang sama dalam memposisikan dirinya, ia merasa lebih nyaman

memposisikan dirinya sebagai seorang birokrat, hal ini menurut pandangan

peneliti juga merupakan komitmen dari beliau terhadap makna kebanggaan akan

identitas etnik Tionghoanya, meskipun demikian secara tersirat ia sangat ingin

menekankan reputasi sebagai Birokrat Tionghoa. Dalam pengamatan peneliti,

seperti dalam kegiatannya sehari-hari pasca pensiun sebagai Pegawai Negeri Sipil,

ia jarang melakukan interaksi atau membangun relasi dengan sesama etnik

Tionghoa dan etnik Dawan.

Page 204: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

267

Kegiatannya hanya terbatas mengunjungi beberapa kerabat keluarga dekat

dan mengikuti ibadah di Gereja, peneliti memaklumi sifat yang “tertutup” dari

beliau, disamping itu ia sendiri tidak berkeluarga dan lebih memilih hidup sendiri

di rumah orang tuanya bersama keponakannya. Dalam menjalin interaksi

misalnya dengan anggota kerabat keluarga sesama etnik Tionghoa selalu

menggunakan bahasa melayu Kupang dan tak jarang juga ia menggunakan bahasa

Dawan.

Berkaitan dengan membentuk strategi identitas etniknya, dalam

keluarganya menyepakati melalui ayahnya yang pada waktu itu menjabat sebagai

sekretaris kabupaten TTS bahwa memutuskan bersama menggganti marga mereka

dari Lee menjadi Litelnoni, dimana kombinasi tersebut terdiri dari dua marga

yakni Li (Lee) dan telnoni, yang menerankan asal nama marga ibunya yang

merupakan keturunan Raja Telnoni. Dalam penggabungan nama marga ini

dikarenakan akibat diterapkannya PP.10 oleh Pemerintah saat itu dan juga

mencegah terjadinya kawin mawin diantara sesama marga Lee.

Perubahan identitas namanya tersebut tidak terlepas dari campur tangan

pemerintah Orde Baru pada saat itu yang mengharuskan merubah nama dan marga

setiap etnik Tionghoa, berdasarkan data yang diperoleh peneliti, menurut Leo

Suryadinata bahwa Kebijakan yang paling komperhensif untuk mengubah

identitas Tionghoa di Indonesia adalah peraturan ganti nama Pada tahun 1961,

ketika Soekarno masih berkuasa, peraturan ini sudah diumumkan akan tetapi tidak

dilaksanakan. Pada tahun 1966, setelah Soehato berkuasa, peraturan ganti nama

diterbitkan lagi. Kali ini prosedurnya disederhanakan dan banyak orang Tionghoa

Page 205: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

268

mengganti nama Tionghoanya, walaupun ganti nama ini tidak wajib. Namun bagi

kebanyakan orang Tionghoa terutama pada pertengahan 1960an ada tekanan halus

dari pemerintah untuk ganti nama, karena ganti nama dianggap sebagai sebuah

tingkah laku simbolik, semacam deklarasi orang Tionghoa bahwa mereka setia

kepada pemerintah Indonesia, atau mengidentitaskan diri dengan bangsa

Indonesia dan budaya Indonesia. Namun orang Tionghoa generasi muda yang

lahir sesudah tahun 1965 hampir semua memiliki nama Indonesia atau nama yang

dianggap Indonesia. (yakni bukan nama Tionghoa). Menarik untuk dijelaskan

bahwa banyak Tionghoa mengambil nama Indonesia yang mencerminkan nama

aslinya, seperti salim untuk liem, Wijaya atau Wibisono untuk Oei.(Suryadinata,

2002, hal 87)

Sehingga menurut pandangan peneliti, beliau secara tersirat ingin

menekankan bahwa makna kebanggaan terhadap indentitas etniknya melalui

marga Litelnoni sebagai marga keluarga yang terwujud dalam kombinasi antara

kedua marga. Disamping itu, didalam hal penggunaan indentitas ini, ia

mengatakan sejak kecil memang ia tidak dibiasakan menggunakan nama

Tionghoanya, meskipun demikian rekan kerjanya mengetahui bahwa ia

merupakan keturunan etnik Tionghoa, dan sesekali mereka bergurau dengan

memanggilnya dengan panggilan kiu (paman).

Page 206: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

269

Makna Identitas

Etnik

Kebanggaan

Memposisikan Diri Birokrat

Strategi Identitas

(Kombinasi Marga)

Marga Tionghoa Marga Lokal Kombinasi

(Hasil)

Lee

Telnoni Litelnoni

Nama Identitas Nama Tionghoa Nama Nasional/Indonesia/

Lie Hok Kie Herman Carel Litelnoni

Nama Populer Om Herr

Dominasi Etnik Tionghoa campuran

Nilai dan Budaya

yang dipertahankan

dan diwariskan

Budaya sapaan pangkat dalam keluarga.

Cara Identifikasi

Sesama Etnik

Tionghoa

Marga dan ciri fisik seperti roman muka.

Tabel. 32. Identitas Etnik Bapak Herman Litelnoni

Dari penjelasan diatas, dapat peneliti pandangan bahwa secara tersirat

bahwa dalam keluarganya tidak terlalu membiasakan panggilan berdasarkan

identitas etniknya, hal tersebut menurut peneliti dikarenakan dalam keluarganya

sudah terjadi kawin campur antara etnik Tionghoa dan etnik Dawan, sekaligus

juga tidak ingin terlalu menonjolkan identitas Tionghoa mereka dalam

pemerintahan, dengan tujuan menghindari praktik diskriminasi, walaupun

demikian bertolak belakang bahwa secara jujur mereka ingin membangun citra

sebagai etnik Tionghoa yang berkarir dalam pemerintahan. Kedua secara tersirat

beliau ingin menekankan bahwa meskipun tidak terbiasa menggunakan identitas

Tionghoa dalam keluarganya, namun ia sangat mamaknai identitas etnik sebagai

sebuah kebanggaan.

Sedangkan dalam kaitan warisan budaya Tionghoa, dalam keluarganya

sudah tidak mengembangkan lagi ajaran budaya Tionghoa, kecuali hanya sekedar

penggunaan sapaan nama dalam pangkat keluarga masih diwariskan oleh

Page 207: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

270

ayahnya. Sedangkan budaya yang lain sudah tidak diajarkan karena pengaruh

larangan ajaran agama Kristen Protestan, dan juga faktor ia tidak menikah

sehingga tidak ada pengembangan budaya. Dalam hal ini, menurut pendangan

peneliti, meskipun sudah tidak mewarisi dan mengembangkan budaya Tionghoa

secara utuh, namun tersirat pula beliau ingin menekankan kebanggaan akan

identitas Tionghoanya, hal ini terlihat jelas pada keluarganya yang masih

mewarisi budaya Tionghoa meskipun terbatas hanya pada penggunaan sapaan

atau pangkat didalam keluarganya.

Berdasarkan masalah kebudayaan diatas, peneliti menemukan beberapa

data yang berkaitan masalah tersebut. Masalah ini sebenarnya bersumber dari

agama Kongfuchu yang dianggap sebagai aliran kepercayaan, berikut ulasan dari

Leo Suryadinata untuk mendukung analisis peneliti Selain menghadapi tantangan

dari pemerintah Indonesia yang ingin mengasimilasi orang Tionghoa kedalam

tubuh pribumi, agama Konghuchu juga mendapat kesulitan dari masyarakat

Tionghoa di Indonesia sendiri. Orang Tionghoa peranakan, pada umumnya tidak

lagi berbahasa Tionghoa dan kebudayaannya telah lama sangat dpengaruhi baik

oleh lingkungan barat maupun Indonesia. Banyak dari mereka adalah orang

Kristen Protestan dan Katolik. Budaya Tionghoa sendiri sangat asing bagi

kebanyakan orang Tionghoa peranakan, teristimewa bagi generasi muda yang

diharuskan UU belajar di sekolah-sekolah Indonesia sejak tahun 1957, cara

berpikir mereka, karenanya lebih Indonesia dari pada Tionghoa. (Suryadinata,

2002, hal 187)

Page 208: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

271

Kongchuisme juga menghadapi tantangan dari agama Budha, Katolik, dan

Prostestan yang umumnya dianggap lebih “Indonesia” dari pada agama

Konghuchu. Jumlah orang Indonesia keturunanTionghoa yang menganut agama-

agama ini juga telah meningkat dalam tahun-tahun belakangan ini.(Suryadinata,

2002, hal 188)

2.6. Pola Komunikasi Antaretnik.

Gambar 3. Model Pola Komunikasi Antaretnik

Etnik Tionghoa

Hub.Ekonomi

Etnik Dawan

Hub.Perkawinan Campuran

Hub.Sosial-Budaya

INTERAKSI

Komunikasi Antaretnik

Page 209: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

272

2.6.1. Pola Komunikasi Antaretnik Melalui Hubungan Ekonomi.

Etnik Tionghoa dikenal sebagai etnik perantauan dan memiliki bakat

dibidang aktivitas ekonomi seperti sektor perdagangan, perindustrian, usaha jasa

dan lain sebagainya. Selain dikenal lihai dalam berdagang, mereka juga dikenal

baik dalam membangun negosiasi dengan penduduk lokal setempat untuk

mendapatkan komuditas tertentu dalam mencapai usaha perdagangan mereka. Hal

tersebut tergambar pada etnik Tionghoa peranakan dan campuran di Niki-Niki,

dimana sebagian besar dari mereka memiliki kegiatan yang bergerak dibidang

sektor perdagangan dan usaha jasa lainnya.

Gambar 4. Model Pola Komunikasi Antaretnik Melalui Pola Hubungan Ekonomi

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pada sub komunikasi antar

etnik pada etnik Tionghoa peranakan dan campuran, bahwa rata-rata dari mereka

sudah fasih baik secara aktif dan pasif menggunakan bahasa melayu Kupang

maupun bahasa Dawan ketika berinteraksi dengan etnik Dawan maupun dengan

sesama etnik Tionghoa lainnya. Bahkan ada yang diantara mereka masih

menggunakan bahasa Mandarin namun pada kondisi terbatas, misalnya saat

Etnik Tionghoa Etnik Dawan

Peranakan &

Campuran

Transaksi Ekonomi

INTERAKSI

Bangsawan,

Masyarakat Dawan

Page 210: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

273

dimana mereka (sesama etnik Tionghoa peranakan dan campuran) berinteraksi

satu sama lain. Disamping itu pula, hampir semua dari mereka yang berprofesi

sebagai pedagang dan pengusaha jasa sudah mampu menguasai adat istiadat

masyarakat etnik Dawan, seperti teknik strategi pendekatan terhadap etnik Dawan

tersebut, ketika dalam melakukan transaksi dagang, usaha, ataupun dalam

pergaulan sehari-hari.

Seperti dalam pengamatan peneliti, bahwa jalinan relasi antara etnik

Tionghoa baik yang peranakan dan campuran dengan etnik Dawan terbentuk

melalui beberapa pola hubungan, diantaranya adalah pola hubungan ekonomi

seperti perdagangan maupun usaha jasa. Tidak bisa dipungkiri bahwa, etnik

Tionghoa maupun nenek moyang mereka yang merantau ke Indonesia rata-rata

berprofesi sebagai pedagang, baik itu dagang hewan ternak, hasil bumi, pangan,

dan usaha jasa transportasi. Sebagai contoh, etnik Tionghoa peranakan seperti

informan Tionghoa peranakan seperti bapak Gillbert Lee (Lee Chong Liong),

dimana menjalin relasi dengan etnik Dawan yang menjadi pelanggan di tokonya,

beliau terlihat selalu aktif berinteraksi dengan para pelanggan maupun pembeli

baru. Dalam transaksi jual-beli tersebut terlihat mereka menggunakan simbol

verbal seperti bahasa melayu Kupang dan kadang juga menggunakan bahasa

Dawan jika meminta pengurangan harga, disamping itu terkadang juga

menggunakan simbol non-verbal lainnya seperti penyuguhan rokok atau oko

mama (sirih pinang) jika memiliki permintaan khusus lainnya.

Hal serupa juga terjadi pada informan Tionghoa campuran seperti

Syarifudin Un (Wun Jun Pit), ia sendiri menjalankan usahanya sebagai pengusaha

Page 211: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

274

jasa kontraktor sipil sekaligus bengkel perbaikan mesin, usaha ini ia warisi dari

ayahnya Muhammad Taher yang dulunya sempat menjalankan usaha dagang

maupun jasa kontraktor sipil. Dalam menjalankan usahanya, ia sering terlibat

dalam proses negosiasi yang secara otomatis artinya menjalin relasi dengan

otoritas pemerintah setempat serta juga masyarakat etnik Dawan. Dalam proses

ini ia selalu berkomunikasi melalui simbol verbal dengan menggunakan bahasa

Dawan dan bahasa melayu Kupang termasuk ketika berinteraksi dengan para

pegawainya yang mayoritas merupakan etnik Dawan dan non-muslim. Disamping

ketika berinteraksi dengan sesama etnik Tionghoa lainnya beliau juga fasih

menggunakan bahasa melayu Kupang, dan terkadang menggunakan bahasa

Dawan untuk mengakrabkan diri.

Disamping itu, dengan menggunakan teknik pendekatan secara simbol

non-verbal seperti penyuguhan sirih pinang maupun “oko mama” terhadap etnik

Dawan, jika ingin melakukan negosiasi yang lebih intens atau penyelesaian

masalah. Seperti saat dimulainya proyek pelebaran jalan yang dilakukan

perusahaannya, sebelum memulai kegiatan tersebut ia bertemu dengan ketua RT

setempat dan memberikan sirih pinang “oko mama” sebagai tanda memohon ijin

dan dukungan komponen masyarakat sekitar.

Secara umum, etnik Tionghoa peranakan dan campuran cukup baik dalam

menjalin relasi dengan etnik Dawan dalam wadah komunikasi antar etnik

khususnya dalam pola hubungan ekonomi seperti hungan dagang maupun usaha

jasa. Terlihat bahwa etnik Tionghoa peranakan mampu menguasai simbol verbal

(bahasa melayu Kupang dan bahasa Dawan) dan non-verbal seperti teknik strategi

Page 212: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

275

pendekatan (oko mama/sirih pinang, rokok) terhadap etnik Dawan dalam transaksi

dagang mereka. Namun pada etnik Tionghoa campuran terlihat lebih menguasai

simbol tersebut ketimbang etnik Tionghoa peranakan, hal tersebut terjadi

demikian karena adanya faktor perkawinan campuran didalam diri etnik Tionghoa

campuran. Oleh sebab itu, sewajarnya mereka lebih leluasa memiliki legitimasi

maupun tempat tersendiri dikalangan etnik Dawan karena adanya ikatan

primordialisme tersebut dalam menjalankan usahanya. Namun bukan berarti, etnik

Tionghoa peranakan dapat dikatakan tidak berhasil sama sekali menjalin

hubungan komunikasi antar etnik dengan etnik Dawan, yang membedakan

hanyalah faktor ikatan hubungan erat yang dibangun melalui faktor perkawinan

campuran pada etnik Tionghoa campuran, artinya pola hubungan ekonomi

memiliki kaitan erat dengan pola hubungan perkawinan campuran.

2.6.2. Pola Komunikasi Antaretnik Melalui Hubungan Perkawinan

Campuran.

Etnik Tionghoa seperti yang sebelumnya dijuluki sebagai etnik

perantauan, telah cukup lama menetap dan berbaur dengan masyarakat Indonesia.

Awal kedatangan mereka ke daerah bagian selatan, atau lazimnya disebut sebagai

Nanyang termasuk didalamnya ke Indonesia sejak beberapa waktu lampau,

disebabkan oleh permasalahan situasi politik, kondisi ekonomi dan berbagai

pergolakan lainnya yang memaksa mereka untuk mengungsi. Ada sebagian dari

mereka yang datang merantau membawa serta anggota keluarga mereka,

Page 213: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

276

sedangkan yang lainnya (umumnya kaum pria) yang datang sebagai perantauan

bujagan, dan mau tidak mau ditempat perantauan tersebut mereka menikahi

perempuan setempat sehingga terjadilah perkawinan campuran antara etnik

Tionghoa Totok dengan etnik lokal setempat.

Gambar 5. Model Pola Komunikasi Antaretnik Melalui Pola Hubungan Perkawinan Campuran.

Hal serupa tergambar pada etnik Tionghoa campuran di Niki-Niki, hampir

sebagian besar dari populasi etnik Tionghoa di Niki-Niki merupakan keturunan

etnik Tionghoa campuran, serta sisanya merupakan etnik Tionghoa peranakan.

Etnik Tionghoa campuran ini hampir semuanya merupakan anggota keluarga Raja

setempat atau memiliki gelar bangsawan, hal tersebut tidaklah mengherankan

sebab garis keturunan keluarganya atau lebih spesifiknya nenek moyang mereka

Etnik Tionghoa Etnik Dawan

Totok /

Campuran

Transaksi Ekonomi 1

INTERAKSI

Bangsawan Hub.Perkawinan

Campuran

Legitimasi-Akses

Monopoli

Transaksi Ekonomi 2

Bangsawan

Page 214: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

277

dari kalangan Tionghoa totok menikah dengan putri anggota keluarga Raja atau

bangsawan setempat.

Setali tiga uang, hubungan pola perkawinan campuran yang terjalin ini

tidak terlepas dari hubungan ekonomi yang selama ini dibangun dan dijalankan

oleh etnik Tionghoa campuran disamping etnik Tionghoa peranakan. Semua

proses ini berjalan secara alamiah seiring datang para imigran etnik Tionghoa

puluhan tahun silam dengan tujuan utama berdagang hasil bumi, garmen, maupun

hewan ternak. Sehingga lambat laun, bagi mereka yang belum berkeluarga atau

yang tidak membawa pasangan dari negeri asal mereka, akhirnya pun menikahi

gadis lokal setempat dari kalangan Raja atau bangsawan setempat. Kemudian

mereka memiliki legitimasi dengan status sebagai keluarga bangsawan, sehingga

dengan mudah memonopoli sektor usaha perdagangan baik hasil bumi maupun

ternak lainnya.

Informan peneliti yang merupakan keturunan etnik Tionghoa campuran

yakni Ibu Endang EYP Litelnoni-Nitbani (Ang Taek Sang), ia merupakan

keturunan generasi kedua sama seperti kakak laki-lakinya Paulus Mana Nitbani

(Ang Pai Fan). Ayah mereka Ang Ie Kin, yang merupakan perantauan dari

Hokkien yang berprofesi sebagai pedagang hasil bumi dan ternak, menikahi ibu

mereka yakni Rosalinan Nitbani yang merupakan putri Raja Nitbani. Dengan

pernikahan mereka ini, secara otomatis ayahnya memiliki otoritas atau

mendapatkan legitimasi untuk memonopoli hasil bumi seperti pertanian,

perkebunan maupun hasil ternak hewan dari masyarakat etnik Dawan, karena

pada saat itu ada peraturan yang bersifat tidak tertulis, untuk menyerahkan hasil

Page 215: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

278

dan menjualnya hanya kepada ayahnya. Kemudian hasil bumi tersebut dijual

kepada orang Tionghoa lainnya terutama kaum Tionghoa totok yang berprofesi

sebagai pedagang besar (Distributor), orang Belanda maupun orang Eropa

lainnya. Ia sendiri mengakui, bahwa kendala awal hanya pada masalah

penguasaan bahasa (bahasa Dawan) dan adat istiadat setempat (termasuk

didalamnya teknik pendekatan baik verbal maupun non-verbal) yang tentunya

berbeda jauh dengan adat masyarakat etnik Tionghoa pada umumnya. Namun

semua itu bisa mendapat penyesuaian berkat adanya faktor perkawinan campuran

ini, yang pada ujungnya memberi kemudahan pada keluarganya.

Secara umum, berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa pola

komunikasi antar etnik melalui hubungan perkawinan campuran pada etnik

Tionghoa campuran terjadi melalui perkawinan antara etnik Tionghoa totok-

peranakan dengan etnik Dawan (Kalangan Raja atau bangsawan), semua proses

ini berjalan secara alamiah dan berkaitan langsung dengan kegiatan ekonomi yang

selama ini dijalankan oleh para perantauan etnik Tionghoa khususnya mereka

yang merupakan keuturunan kawin campur. Terlihat pula ada hambatan yang

cukup berarti seperti kendala bahasa maupun adat istiadat setempat, namun

dengan adanya perkawinan campuran ini, lambat laun etnik Tionghoa totok ini

mampu beradaptasi dan menjalankan rode perekonomian mereka serta

manghasilkan keturunan yakni etnik Tionghoa campuran.

Page 216: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

279

2.6.3. Pola Komunikasi Antar Etnik Melalui Hubungan Sosial-Budaya.

Etnik Tionghoa selain dikenal sebagai etnik perantauan yang pandai dalam

bidang perdagangan, ada beberapa pandangan yang menyatakan bahwa

kecendrungan dikalangan etnik Tionghoa untuk hidup terpisah dan tidak mau

berbaur dengan masyarakat setempat. Di Indonesia, hal tersebut bukan merupakan

hal yang baru. Sejak jaman kolonial, Pemerintah Belanda sengaja memberi jarak

antara warga etnik Tionghoa dengan warga setempat hidup terpisah seperti pola

pemukiman, pendidikan, perlindungan hukum dan lain sebagainya. Memasuki

kemerdekaan RI dan peralihan ke Pemerintahan Orde Baru, Pemerintah

sebetulnya melakukan kebijakan asimilasi total, termasuk didalamnya menutup

sekolah-sekolah Tionghoa agar keturunan mereka bisa masuk di sekolah Negeri

dan berbaur dengan masyarakat lokal, serta menerbitkan peraturan ganti nama

bagi etnik Tionghoa serta hak kewarganegaraan. Sehingga lambat laun, mulai

muncul persepsi maupun stigma dimasyarakat kita bahwa etnik Tionghoa

cenderung eksklusif.

Permasalahan tersebut terlihat kontras dengan gambaran kehidupan sosial

masyarakat etnik Tionghoa di Niki-Niki, yang tergambar dalam pengamatan

peneliti adalah kehidupan antara etnik Tionghoa baik yang merupakan keturunan

peranakan maupun kawin campur dapat hidup berdampingan bahkan berbaur

dengan etnik Dawan, tidak terlihat adanya sekat atau jarang yang cukup berarti

diantara mereka. Bahkan kalau ditarik benang merah antara relasi antara kedua

etnik tersebut tidak terlepas dari hubungan ekonomi maupun perkawinan

campuran, sehingga ketiga hal tersebut saling terkait satu sama lainnya. Sebagai

Page 217: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

280

gambaran awal, hubungan baik yang tercipta antara kedua etnik ini dalam

pergaulan sosial tidak hanya tercipta saat diadakan acara kebudayaan melainkan

dikarenakan faktor hubungan perkawinan campuran yang terjadi pada salah satu

etnik Tionghoa (Peranakan dan campuran) dengan etnik Dawan (Bangsawan

maupun masyarakat biasa), sehingga secara tidak langsung membangun ikatan

primordialisme atau ikatan emosial.

Gambar 6. Model Pola Komunikasi Antaretnik Melalui Pola Hubungan Sosial Budaya.

Sebagai contoh, informan peneliti bapak John E.E.Litelnoni (Lee Hok

Chow) ia merupakan Tionghoa keturunan kawin campur atau Tionghoa campuran

yang pernah menjadi satu-satuya lurah di Niki-Niki keturunan Tionghoa. Ayahnya

sendiri merupakan keturunan kawin campur lapisan ke enam antara etnik

Etnik Tionghoa Etnik Dawan

Totok /

Campuran

Hub.Sosial-Budaya

INTERAKSI

Keg.Pemerintahan

Keg.Keagamaan

Kegiatan.Kebudayaan

Kegiatan Amal

Dll

Page 218: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

281

Tionghoa dan etnik Dawan, ibunya sendiri merupakan putri bangsawan etnik

Dawan. Dapat dikatahui bahwa beliau sendiri sudah merupakan keturunan ke

tujuh dari etnik Tionghoa campuran, artinya nenek moyangnya sudah lama

mendiami di Niki-Niki dan sudah menikah dengan orang lokal setempat. Dalam

kegiatan sehari-hari dalam pengamatan peneliti, pasca hampir 20 tahun pensiun

sebagai seorang lurah dan kini menjabat sebagai ketua RW dilingkungan tempat

tinggalnya, ia tetap dikenal dengan nama Kung Lurah (Kakek Lurah) oleh

masyarakat Niki-Niki, khususnya dikalangan etnik Dawan. Label tersebut ia

peroleh karena ia merupakan satu-satunya lurah keturunan Tionghoa, ia sendiri

membangun hubungan dengan masyarakat setempat baik dengan etnik Tionghoa

maupun etnik Dawan dengan kapasitasnya sebagai aparatur negara/tokoh

masyarakat, meskipun demikian ia merupakan salah satu tokoh senior dikalangan

etnik Tionghoa.

Sedangkan bapak Paulus Nitbani (Ang Pai Fan), ia merupakan keturunan

Tionghoa campuran dimana sebagai anak keturunan bangsawan sama seperti adik

perempuannya Endang EYP Litelnoni. Ayahnya merupakan pedagang Tionghoa

Totok dari Hokkien, serta ibunya merupakan puti Raja Nitbani. Beliau berprofesi

sebagai petani dan disamping itu menyediakan jasa moelang (Protokoler Adat

Perkawinan Tionghoa), dan Natoni (Jubir.Adat etnik Dawan) yang bayarannya

tidak sedikit, yang menarik adalah profesinya sebagai seorang Natoni yang

lazimnya dipegang oleh etnik Dawan dan bukan keturunan Tionghoa. Namun

statusnya sebagai bangsawan dan menguasai adat budaya dan bahasa etnik

Dawan, memudahkannya mengambil profesi ini dan memiliki tempat tersendiri

Page 219: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

282

dimata masyarakat, bukan berarti ia tidak berbaur dengan masyarakat, malahan ia

sendiri merupakan salah satu tokoh masyarakat etnik Tionghoa di Niki-Niki.

Kegiatan yang ia ikuti seperti menjadi Moelang dan Natoni sudah dilakoninya

beberapa dekade terakhir, saat peneliti mengamati kegiatan Natoni yang

dikerjakannya, ia sendiri bisa berbaur dan akrab dengan etnik Dawan. Melalui

profesi inilah serta pangkat sebagai bangsawan ia dapat membangun relasi dengan

etnik Dawan maupun dengan sesama etnik Tionghoa lainnya.

Selanjutnya adalah Bapak Karel Singli (Lee Khoet Chong), ia merupakan

Tionghoa peranakan, Ayah dan ibunya merupakan kelahiran lokal, namun yang

menarik adalah kedua orang tuanya tidak memiliki darah perkwinan campuran

artinya ia memang murni keturunan peranakan bukan campuran, sama seperti adik

perempuannya ibu Sarci Singli, yang tak lain adalah istri dari bapak Paulus

Nitbani (Ang Pai Fan). Sedangkan Istrinya merupakan keturunan Tionghoa

campuran yakni Ingrayati Un, yang tak lain adalah adik dari bapak Syarifudin Un

(Wun Jun Pit). Bapak Karel berprofesi sebagai pedagang Hewan ternak dan

penyedia jasa transportasi di Niki-Niki, hubungan relasinya tidak hanya terbangun

melalui hubungan dagang dengan masyarakat etnik Dawan, melainkan dengan

kegiatan atau pergaulan sosial dalam kehidupan sehari-hari seperti kegiatan adat

masyarakat setempat, terlihat beliau cukup aktif berpartisipasi dan menjadi tokoh

senior yang selalu dimintai pendapat atau masukan dari aparatur desa setempat,

disamping itu ia sendiri merupakan tokoh senior masyarakat etnik Tionghoa di

Niki-Niki.

Page 220: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

283

Secara umum berdasarkan gambaran diatas, dapat diketahui bahwa pola

komunikasi antar etnik Tionghoa (pranakan-campuran) dengan etnik Dawan tidak

hanya terjadi melalui hubungan dagang dan perkawinan campuran saja, melainkan

melalui interaksi sosial mereka dalam kegiatan sehari-hari seperti partisipasi acara

adat istiadat, kegiatan pemerintahan, dan lain sebagainya. Memang harus diakui

bahwa peran faktor perkawinan campuran memainkan peran penting, ditambah

lagi adanya relasi atau ikatan emosinal/primordial pada etnik Tionghoa campuran

dengan etnik Dawan baik dari kalangan masyarakat biasa maupun bangsawan

semakin menunjukan kualitas hubungan tersebut. Meskipun demikian, bukan

berarti etnik Tionghoa peranakan tidak mampu berbaur, hampir rata-rata semua

dari etnik Tionghoa peranakan sudah berbaur dengan masyarakat etnik Dawan,

baik dalam acara-acara seperti perkawinan, kedukaan, maupun partisipasi dalam

lingkungan masing-masing denga jiwa gotong royong. Disamping itu baik etnik

Tionghoa peranakan maupun campuran sudah fasih menggunakan bahasa Dawan

dan melayu Kupang, ketika berinteraksi dengan sesama etnik mereka, maupun

dengan etnik Dawan, serta memahami adat budaya etnik Dawan setempat.

2.7. Perilaku Etnik Tionghoa Dalam Komunikasi Antaretnik.

Erving Goffman dalam bukunya yang berjudul “The Presentation of Self in

Everyday Life”, memperkenalkan konsep dramaturgi yang bersifat penampilan

teateris. Banyak ahli mengatakan bahwa dramaturginya Goffman ini berada di

antara tradisi interaksi simbolik dan fenomenologi. Dalam konsep ini, Goffman

Page 221: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

284

memfokuskan pada ungkapan-ungkapan yang tersirat, yakni suatu ungkapan yang

lebih bersifat teateris, kontekstual, non-verbal, dan tidak bersifat

intensional.(Sudikin, 2002 : 103).

Teori ini pada intinya ingin memahami sebuah makna serta juga

mendapatkan kesan dari tindakan yang dilakukan oleh seorang individu baik

dalam bentuk isyarat tertentu seperti mimik wajah, bahasa tubuh, dan kualitas

tindakan yang ditunjukan, selain itu Erving Goffman menjelaskan bahwa disaat

individu-individu berinteraksi sebenarnya mereka mencoba menyajikan atau

merepresentasikan self image yang akan diterima oleh orang lain sebagai bentuk

pengelolaan kesan atau biasanya disebut impression management. Semuanya

termasuk dalam bentuk atribut digunakan untuk presentasi diri termasuk busana,

hunian, cara kita berbicara dan berjalan, serta lain sebagainya.

Berkaitan dengan teori diatas, dalam sub ini akan dibahas mengenai

bagaimana perilaku etnik Tionghoa baik peranakan maupun campuran ketika

mereka berinteraksi dengan etnik Dawan termasuk didalamnya dengan kalangan

kaum bangsawan maupun kalangan masyarakat biasa, yang dilihat dalam sub ini

adalah bagaimana perilaku mereka dalam menempatkan diri dipangggung depan

dan panggung belakang, dan seperti apa pengelolaan kesan yang mereka buat

terhadap etnik Dawan.

Page 222: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

285

2.7.1. Perilaku Etnik Tionghoa Peranakan Dalam Komunikasi Antaretnik.

Panggung Depan Panggung Belakang

Etnik Tionghoa Campuran

Etnik Tionghoa Peranakan Tabel. 33. Model A.Drama Turgi Etnik Tionghoa Peranakan

Dalam hal perilaku etnik Tionghoa peranakan ini, dari keempat informan

ini adalah : Karel Singli (Lee Khoet Chong), Benyamin Tjung (Tjung Tjiu Min),

Gillbert E Lee (Lee Chung Liong), dan Christopher Wijaya (Oei I Ngo), dari

keempat informan cukup konsisten dalam menunjukan perilaku mereka ketika

berinteraksi maupun dalam menempatkan diri mereka. Secara umum, dalam sisi

panggung depan keempat informan ini konsisten menunjukan diri mereka sebagai

etnik Tionghoa campuran. Padahalnya, mereka semua merupakan keturunan etnik

Tionghoa totok dan bukan keturunan kawin campur. Sedangkan dalam sisi

panggung belakang mereka menunjukan identitas aslinya sebagai seorang pribadi

etnik Tionghoa peranakan.

Kesan yang ingin dibangun oleh mereka dipanggung depan adalah,

membangun peran sebagai seorang etnik Tionghoa campuran dengan alasan

bahwa dengan menampilkan sosok tersebut terlihat sikap yang bersifat toleran

terhadap etnik Dawan, mereka mencoba meniru atau ingin menyamakan diri sama

seperti etnik Tionghoa campuran sebagai strategi mendekatkan diri. Hal tersebut

cukuplah logis, mereka sendiri sudah cukup lama menetap di Niki-Niki dan

berbaur bersama dengan etnik Tionghoa campuran maupun etnik Dawan lainnya,

disamping itu dengan ditunjang penguasaan bahasa Dawan, bahasa melayu

Kupang dan sebagian besar adat istiadat etnik Dawan dijadikan sebagai kunci

Page 223: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

286

untuk mengakses pergaulan etnik Dawan. Disamping itu, ketika berinteraksi

mereka mampu menunjukan sikap yang bersahaja, tidak sebatas pada perkataan

dan perilaku namun juga pada gaya hidup, berbusana, dan lain sebagainya.

Berbeda dengan panggung depan, pada panggung belakang realitas yang

terjadi pada keempat informan ini cukup berlainan satu sama lain. Ada diantara

mereka yang tetap mempertahankan identitas asli seperti penggunaan marga

keluarga (seperti bapak Gilbert dan Benyamin), dan ada yang mengganti nama

marga keluarga mereka dengan nama yang menyerupai nama marga keluarganya

(seperti bapak Karel dan Christopher). Disamping itu, dalam warisan kebudayaan

yang berbau Tionghoa, kurang begitu kompak bahkan hanya sedikit saja yang

dijalankan. Namun yang menjadi kesamaan mereka adalah ciri fisik mereka,

seperti roman muka, maupun warna kulit yang rata-rata sawo matang sekaligus

menekankan identitas mereka sebagai etnik Tionghoa peranakan. Sehingga secara

umum, mereka lebih menekankan identitasnya sebagai seorang Tionghoa

peranakan, walaupun demikian terlihat mereka secara meyakinkan bisa

menunjukan eksistensinya sebagai seorang Tionghoa campuran walaupun

sebenarnya mereka adalah etnik Tionghoa peranakan.

Sebagai salah satu contoh perbandingan adalah bapak Karel Singli dan

Gilbert Lee, mereka berdua memiliki kesamaan marga yakni marga Lee, namun

karena benturan pada himbauan pemerintah tentang peraturan ganti nama, maka

hanya bapak Karel yang menyamarkan nama marganya sedangkan bapak Gilbert

tetap mempertahankannya. Disamping itu dalam bidang warisan budaya, mereka

berdua tetap menjalankan dan mempertahankan beberapa budaya saja secara

Page 224: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

287

terbatas, namun disamping itu mereka berdua cukup fasih menguasai bahasa

Dawan dan melayu Kupang, kecuali bahasa Mandarin. Ditambah pula, mereka

dalam pergaulan cukup mampu berbaur secara merata dengan etnik Tionghoa

peranakan lainnya maupun dengan etnik Tionghoa campuran.

2.7.2. Perilaku Etnik Tionghoa Campuran Dalam Komunikasi Antaretnik.

Dalam hal perilaku etnik Tionghoa campuran ini, dari keenam informan

ini adalah : Paulus Mana Nitbani (Ang Pai Fan), John E.E.Litelnoni (Lee Hok

Chow), Endang EYP litelnoni-Nitbani, Leonard Hun Banamtuan (Ang Xie Ling),

Syarifudin Un (Wun Jun Pit), dan Herman Carel Litelnoni (Lee Hok Kie ). Dari

keenam informan ini terbagi dalam tiga ketegori model perilaku. Tabel ini terdiri

dari tabel model B, C dan D dengan karakteristik masing-masing.

Panggung Depan Panggung Belakang

Keturunan Bangsawan

Etnik Tionghoa Campuran

Tabel. 34. Model B.Drama Turgi Etnik Tionghoa Campuran

Pada tabel model B terdapat dua informan peneliti yang kebetulan

merupakan kakak beradik kandung yakni bapak Paulus Mana Nitbani (Ang Pai

Fan) dan ibu Endang EYP Litelnoni-Nitbani. Kedua informan ini konsisten dalam

menunjukan perilaku mereka ketika berinteraksi maupun dalam menempatkan diri

mereka. Secara umum, dalam sisi panggung depan kedua informan ini konsisten

menunjukan diri mereka sebagai kaum bangsawan yang secara tidak langsung

merupakan representasi etnik Dawan. Padahalnya mereka bukanlah sepenuhnya

Page 225: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

288

bangsawan, mereka adalah etnik Tionghoa campuran, dimana ayah mereka

merupakan etnik Tionghoa totok yang menikah dengan ibu mereka yang

merupakan putri Raja Nitbani. Sedangkan dalam sisi panggung belakang mereka

menunjukan identitas aslinya sebagai seorang pribadi etnik Tionghoa campuran.

Kesan yang ingin dibangun oleh mereka dipanggung depan adalah,

membangun peran sebagai seorang bangsawan, hal tersebut cukup logis karena

didalam diri mereka mengalir darah bangsawan dari ibunya, meskipun demikian

secara umum dalam garis keluarga etnik Tionghoa menganut sistem patrineal,

artinya mereka mengikuti garis keturunan ayah mereka sebagai seorang Tionghoa

campuran. Dalam realitasnya mereka ingin mencoba membangun citra atau

karakter sebagai seorang bangsawan, hal tersebut cukup mendukung dengan

kemampuan mereka yang secara fasih menguasai adat budaya etnik Dawan

khususnya dari kalangan keluarga Raja Nitbani, sebagai gambaran seperti bahasa

Dawan, strategi pendekatan, gelar adat, pengakuan dimasyarakat dan sebagainya.

Dan secara fisik, seperti roman muka yang dipadu dengan ciri khas wajah oriental

dan Timor serta warna kulit cokelat, cukup representatif dalam gambaran identitas

maupun karakter mereka.

Dalam berinteraksi pun mereka terlihat cukup dekat dengan kalangan etnik

Dawan dan berusaha menjalin relasi tanpa memasang jarak meskipun mereka

adalah kaum bangsawan, dan respon dari masyarakat etnik Dawan sangat

menghormati mereka. Dalam interaksi pun mereka menggunakan bahasa Dawan

dan sesekali menggunakan bahasa melayu Kupang, dan tak jarang mereka selalu

Page 226: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

289

menyuguhkan sirih pinang sebagai lambang menjalin relasi atau membangun

hubungan, dimana hal ini merupakan salah satu cara teknik strategi pendekatan.

Kontras dengan panggung depan, pada panggung belakang ini kedua

informan justru menunjukan perilakunya sebagai seorang etnik Tionghoa

campuran, dan secara terbuka mereka mengukuhkan identitasnya pada saat

diadakan acara perayaan tertentu dikalangan etnik Tionghoa peranakan maupun

campuran. Perihal identitas etnik, kedua informan sepakat mengganti nama marga

keluarganya dengan menggunakan marga ibunya dari kalangan bangsawan.

Namun mereka sendiri tidak memungkiri lebih dikenal dengan nama identitas

Tionghoa yang dimiliki, berkaitan dengan warisan budaya, justru terlihat etnik

Tionghoa campuran dari kalangan mereka lebih banyak melestarikan dan

melanjutkan budaya Tionghoa yang dimiliki ketimbang etnik Tionghoa

peranakan. Dari segi fisik seperti roman muka yang dipadu dengan ciri khas

wajah oriental dan Timor serta warna kulit cokelat, cukup representatif dalam

gambaran identitas maupun karakter mereka. Dengan ciri fisik ini memberi

keuntungan bagi mereka, sehingga bisa mengkases dua lingkungan tanpa ada

hambatan berarti, dimana mereka bisa secara fleksibel menempatkan diri

dikalangan etnik Dawan karena ada darah bangsawan, dan dikalangan etnik

Tionghoa karena memiliki darah Tionghoa totok. Artinya mereka memiliki dua

keuntungan sekaligus.

Sebagai contoh, bapak Paulus Nitbani selain berprofesi sebagai petani

beliau juga dikenal berprofesi sebagai moelang (protokoler pernikahan adat

Tionghoa) dan sebagai ahli Natoni (jubir.adat etnik Dawan), artinya beliau bisa

Page 227: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

290

menempatkan diri didalam dua lingkungan sekaligus. Belum lagi ditunjang

dengan darah bangsawan dan Tionghoa yang dimiliki serta secara fasih menguasai

bahasa dan budaya etnik Dawan, serta posisinya sebagai tokoh masyarakat etnik

Tionghoa di Niki-Niki semakin mengukuhkan eksistensinya sebagai Bangsawan

dan etnik Tionghoa campuran.

Panggung Depan Panggung Belakang

Etnik Dawan (Orang Timor) &

Birokrat

Etnik Tionghoa Campuran

Tabel. 35. Model C.Drama Turgi Etnik Tionghoa Campuran

Pada tabel model C terdapat dua informan peneliti yang kebetulan

mempunyai hubungan keluarga yakni bapak John E.E. Litelnoni (Lee Hok Chow)

dan Herman Karel Litelnoni (Lee Hok Kie). Kedua informan ini konsisten dalam

menunjukan perilaku mereka ketika berinteraksi maupun dalam menempatkan diri

mereka. Secara umum, dalam sisi panggung depan kedua informan ini konsisten

menunjukan diri mereka sebagai etnik Dawan (orang Timor) sekaligus seorang

birokrat. Padahalnya mereka bukanlah sepenuhnya etnik Dawan atau orang

Timor, mereka adalah keturunan etnik Tionghoa campuran, dimana kedua ayah

mereka merupakan keturunan etnik Tionghoa campuran yang menikah dengan

kedua ibu mereka yang merupakan masyarakat etnik Dawan (Ibu dari bapak John)

sedangkan ibu dari bapak Herman adalah Tionghoa campuran. Sedangkan dalam

sisi panggung belakang mereka menunjukan identitas aslinya sebagai seorang

pribadi etnik Tionghoa campuran, karena kedua ayah mereka merupakan

keturunan etnik Tionghoa campuran.

Page 228: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

291

Kesan yang ingin dibangun oleh mereka dipanggung depan adalah,

membangun peran sebagai seorang Timor (etnik Dawan) sekaligus sebagai

seorang birokrat, hal tersebut cukup logis karena didalam diri mereka mengalir

darah etnik Dawan dari ibunya, meskipun demikian secara umum dalam garis

keluarga etnik Tionghoa menganut sistem patrineal, artinya mereka mengikuti

garis keturunan ayah mereka sebagai seorang Tionghoa campuran. Dalam

realitasnya mereka ingin mencoba membangun citra atau karakter, sebagai

seorang etnik Dawan atau orang Timor sekaligus sebagai seorang Birokrat. Hal

tersebut cukup mendukung dengan kemampuan mereka yang secara fasih

menguasai adat budaya etnik Dawan, sebagai gambaran seperti bahasa Dawan,

strategi pendekatan, serta profesi mereka yang pernah bekerja sebagai pegawai

pemerintahan. Dan secara fisik, seperti roman muka yang dengan ciri khas wajah

Timor serta warna kulit cokelat, cukup representatif dalam gambaran identitas

maupun karakter mereka.

Dalam interaksi pun mereka menggunakan bahasa Dawan dan sesekali

menggunakan bahasa melayu Kupang, dan tak jarang mereka selalu menyuguhkan

dan mengkonsumsi sirih pinang sebagai lambang menjalin relasi atau membangun

hubungan sekaligus representasi orang Timor, dimana hal ini merupakan salah

satu cara teknik strategi pendekatan.

Kontras dengan panggung depan, pada panggung belakang ini kedua

informan justru menunjukan perilakunya sebagai seorang etnik Tionghoa

campuran, dan secara terbuka mereka mengukuhkan identitasnya pada saat

diadakan acara perayaan tertentu dikalangan etnik Tionghoa peranakan maupun

Page 229: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

292

campuran. Perihal identitas etnik, kedua informan sepakat mengganti nama marga

keluarganya dengan menggunakan marga nenek mereka dari kalangan etnik

Tionghoa. Namun mereka sendiri tidak memungkiri lebih dikenal dengan nama

identitas Tionghoa yang dimiliki, seperti bapak John yang dikenal dengan nama

Kung Lurah. Berkaitan dengan warisan budaya, justru terlihat etnik Tionghoa

campuran dari kalangan mereka tidak terlalu bahkan sama sekali tidak

melestarikan dan melanjutkan budaya Tionghoa yang dimiliki ketimbang etnik

Tionghoa peranakan. Dari segi fisik seperti roman muka yang dipadu dengan ciri

khas wajah Timor serta warna kulit cokelat, serta nama panggilan sehari-hari

cukup representatif dalam gambaran identitas maupun karakter mereka. Dengan

ciri fisik ini memberi keuntungan bagi mereka, sehingga bisa mengakses dua

lingkungan tanpa ada hambatan berarti, dimana mereka bisa secara fleksibel

menempatkan diri dikalangan etnik Dawan karena ada darah etnik Dawan, dan

dikalangan etnik Tionghoa karena memiliki darah Tionghoa campuran. Artinya

mereka memiliki dua keuntungan sekaligus.

Panggung Depan Panggung Belakang

Tionghoa-Religius

Etnik Tionghoa Campuran

Tabel. 36. Model D.Drama Turgi Etnik Tionghoa Campuran

Pada tabel model D terdapat dua informan peneliti yang kebetulan

mempunyai hubungan keluarga yakni bapak Leonard Hun Banamtuan (Ang Xie

Ling) danSyarifudin Un (Wun Jun Pit). Kedua informan ini konsisten dalam

menunjukan perilaku mereka ketika berinteraksi maupun dalam menempatkan diri

mereka. Secara umum, dalam sisi panggung depan kedua informan ini konsisten

Page 230: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

293

menunjukan diri mereka sebagai etnik Tionghoa sekaligus sisi religius. Sedangkan

dalam sisi panggung belakang mereka menunjukan identitas aslinya sebagai

seorang pribadi etnik Tionghoa campuran, karena kedua ayah mereka merupakan

keturunan etnik Tionghoa campuran, sedangkan ibu dari bapak Leonard

meruapakan putri bangsawan sedangkan ibu dari bapak Syarifudin adalah

keturunan Tionghoa campuran.

Kesan yang ingin dibangun oleh mereka dipanggung depan adalah,

membangun peran sebagai seorang Tionghoa yang religius, hal tersebut cukup

logis karena hal tersebut berkaitan dengan profesi serta keyakinan yang dimiliki.

Sebagai contoh bapak Leonard lebih memposisikan dirinya sebagai seorang

Pendeta keturunan Tionghoa di tengah-tengah umat gerejanya. Sedangkan bapak

Syarifudin Un lebih memposisikan dirinya berdasarkan keyakinan yang dianut

yakni sebagai seorang Tionghoa muslim. Dalam realitasnya mereka ingin

mencoba membangun citra atau karakter, sebagai seorang Pendeta keturunan

Tionghoa maupun Tionghoa muslim, hal tersebut cukup mendukung karena

profesi yang dijalankan serta keyakinan yang dianut, disamping itu dalam

kegiatan sehari-hari mereka mencoba menampilkan sisi religiusnya, seperti dari

sikap, tutur kata, pola pikir, dan budaya yang dikembangkan didalam keluarga.

Kontras dengan panggung depan, pada panggung belakang ini kedua

informan justru menunjukan perilakunya sebagai seorang etnik Tionghoa

campuran, dan secara terbuka mereka mengukuhkan identitasnya pada saat

diadakan acara perayaan tertentu dikalangan etnik Tionghoa peranakan maupun

campuran. Perihal identitas etnik, kedua informan sepakat mengganti nama marga

Page 231: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

294

keluarganya dengan menggunakan marga nenek moyang mereka dari kalangan

etnik Dawan. Namun mereka sendiri tidak memungkiri lebih dikenal dengan

nama identitas Tionghoa yang dimiliki, seperti bapak Syarifudin Un yang dikenal

dengan nama Oko Pit. Berkaitan dengan warisan budaya, justru terlihat etnik

Tionghoa campuran dari dari mereka berdua, adaya tidak terlalu terikat dan ada

juga yang melestarikan dan melanjutkan budaya Tionghoa yang dimiliki

ketimbang etnik Tionghoa peranakan.

Sebagai contoh, bapak Leonard sudah tidak memikirkan budaya Tionghoa,

dan lebih menitik beratkan pada ajaran gerejanya, sedangkan bapak Syarifudin Un

tetap melestarikan beberapa budaya Tionghoa. Dari segi fisik seperti roman muka

yang dipadu dengan ciri khas wajah Timor dan oriental serta warna kulit cokelat,

disamping penggunaan nama panggilan sehari-hari cukup representatif dalam

gambaran identitas maupun karakter mereka. Dengan ciri fisik ini memberi

keuntungan bagi mereka, sehingga bisa mengkases dua lingkungan tanpa ada

hambatan berarti, dimana mereka bisa secara fleksibel menempatkan diri

dikalangan etnik Dawan karena ada darah etnik Dawan, dan dikalangan etnik

Tionghoa karena memiliki darah Tionghoa campuran. Artinya mereka memiliki

dua keuntungan sekaligus.

Page 232: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

295

2.8. Model Identitas Etnik Tionghoa.

Pada sub ini akan dikategorisasikan model identitas etnik Tionghoa, baik

yang keturunan etnik peranakan maupun campuran yang berjumlah sepuluh orang

informan, model ini sebagai wujud dari makna identitas etnik yang dimaknai oleh

masing-masing informan penelitian. Terdapat lima ketegori model identitas etnik,

yakni model Tionghoa Kase, Tionghoa Moe Na Mese, Tionghoa Sin Usif,

Tionghoa Atoin A’Lekot, dan Tionghoa Atoin Meto.

2.8.1. Model Etnik Tionghoa Kase.

Pada model etnik Tionghoa Kase ini lebih mengidentifikasikan diri mereka

sebagai WNI namun tetap menekankan pada orientasi nilai identitas etnik

Tionghoa peranakan secara penuh. Terdapat hanya dua orang Informan yakni,

bapak Gillbert Gasper Lee (Lee Chung Liong) dan Benyamin Tjung (Tjung Tjiu

Min), yang merupakan etnik Tionghoa peranakan. Dalam model ini menjalaskan

bahwa, makna identitas etnik bagi bapak Gilbert adalah sebagai sebuah

kebanggaan, sedangkan bagi bapak Benyamin Tjung, makna identitas etniknya

dimaknai sebagai hal yang biasa. Berkaitan dengan makna identitas bapak Gilbert,

hal tersebut cukup relevan karena beliau merupakan etnik Tionghoa peranakan

dan dilingkungan masyarakat tempat tinggalnya cukup mendukung kondisinya.

Disamping itu, profesi mereka sebagai pedagang merepresentasikan ciri

khas etnik Tionghoa sebagai etnik yang pandai berdagang, begitu pula dalam

menempatkan diri beliau lebih mensejajarkan diri sama dengan etnik Tionghoa

maupun etnik Dawan lainnya. Beliau sendiri menggunakan dua identitas

Page 233: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

296

sekaligus, yakni identitas Tionghoa dan Nasional. Namun secara tersirat lebih

berorientasi sebagai seorang Tionghoa peranakan.

Yang membedakan adalah ia tetap mempertahankan orisinalitas nama

marga keluarganya, meskipun didalam pergaulan lingkungan etnik Tionghoa dan

etnik Dawan ia lebih dikenal dengan nama identitas Tionghoanya. Sedangkan

identitas nasionalnya hanya sekedar formalitas, namun dalam dominasi etnik

dalam dirinya, ia lebih merasakan sebagai seorang Tionghoa campuran, karena

pembauran dilingkungan masyarakat di Niki-Niki sudah menyatu satu sama lain,

sehingga ia perlu membaurkan diri dan tidak membangun jarak. Artinya ia

menganggap dirinya sebagai bagian dari WNI meskipun ia sendiri merupakan

etnik Tionghoa peranakan atau keturunan Tionghoa totok (murni). Dalam

interaksi sehari-hari dengan etnik Tionghoa, ia lebih sering menggunakan bahasa

melayu Kupang, sedangkan bahasa Mandarin tidak dikuasainya. Sedangkan dalam

interaksi dengan etnik Dawan, baliau lebih sering menggunakan bahasa melayu

Kupang dan bahasa Dawan.

Dalam hal warisan nilai budaya Tionghoa, beliau cukup paham dan tetap

melestarikan budaya-budaya Tionghoa termasuk tradisi agama Konghu Chu

diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, meskipun bersifat sangat terbatas

karena bertentangan dengan ajaran gereja Kristen yang menjadi keyakinannya.

Seperti penggunaan feng shui, kalender cina dan perayaan imlek. Sedangkan

budaya sopan santun, arsitektur rumah dan lain sebagainya tidak dilarang, bahkan

ia sendiri berharap suatu saat nanti anaknya bisa mendapatkan kesempatan belajar

bahasa Mandarin. Berkaitan dengan budaya etnik Dawan, beliau cukup paham

Page 234: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

297

dan menggunakan beberapa teknik strategi pendekatan terhadap etnik Dawan,

seperti teknik strategi pendekatan seperti penyuguhan sirih pinang “oko mama”,

dan lain sebagainya.

2.8.2. Model Etnik Tionghoa Moe Na Mese.

Pada model etnik Tionghoa Moe Na Mese ini lebih mengidentifikasikan

diri mereka sebagai WNI namun tetap menekankan pada orientasi nilai identitas

etnik Tionghoa peranakan secara terbatas. Terdapat hanya dua orang Informan

yakni, bapak Karel Singli (Lee Khoet Chong) dan bapak Christopher Wijaya (Oei

I Ngo) yang merupakan etnik Tionghoa peranakan, dalam model ini menjelaskan

bahwa makna identitas etnik bagi bapak Karel adalah sebuah penggilan hidup dan

bapak Christopher adalah sebagai sebuah kebanggaan, hal tersebut cukup relevan

karena mereka berdua merupakan etnik Tionghoa peranakan dan dilingkungan

masyarakat tempat tinggalnya cukup mendukung kondisinya. Disamping itu,

profesi mereka sebagai pedagang merepresentasikan ciri khas etnik Tionghoa

sebagai etnik yang pandai berdagang. Begitu pula dalam menempatkan diri,

mereka lebih mensejajarkan diri sama dengan etnik Tionghoa maupun etnik

Dawan lainnya. Mereka sendiri menggunakan dua identitas sekaligus, yakni

identitas Tionghoa dan Nasional. Namun secara tersirat lebih berorientasi sebagai

seorang Tionghoa peranakan.

Dalam hal identitas nasional, orisinalitas nama marga keluarga mereka

disamarkan dengan nama yang berbau Indonesia, tetapi tetap merepresentasikan

marga Tionghoa mereka, meskipun didalam pergaulan lingkungan etnik Tionghoa

Page 235: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

298

dan etnik Dawan, mereka lebih dikenal dengan nama identitas Tionghoa.

Sedangkan identitas nasional yang dimiliki mereka, hanya dipergunakan sekedar

formalitas. Namun dalam dominasi etnik dalam diri mereka, mereka bedua lebih

merasakan sebagai seorang Tionghoa campuran, karena pembauran dilingkungan

masyarakat di Niki-Niki sudah menyatu satu sama lain, bisa hidup berdampingan,

sehingga bagi mereka perlu membaurkan diri. Artinya mereka menganggap

dirinya sebagai bagian dari WNI meskipun mereka sendiri tidak memungkiri etnik

Tionghoa peranakan atau keturunan Tionghoa totok (murni). Dalam interaksi

sehari-hari dengan etnik Tionghoa, mereka lebih sering menggunakan bahasa

melayu Kupang, sedangkan bahasa Mandarin bagi bapak Karel tidak dikuasai,

bagi bapak Christopher, bahasa Mandarin hanya dikuasai secara pasif. Sedangkan

dalam interaksi dengan etnik Dawan, mereka lebih sering menggunakan bahasa

melayu Kupang dan bahasa Dawan kecuali bapak Christopher.

Dalam hal warisan nilai budaya Tionghoa, bapak Karel cukup paham dan

tetap melestarikan budaya-budaya Tionghoa termasuk tradisi agama Konghu Chu

diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, meskipun bersifat sangat terbatas

karena bertentangan dengan ajaran gereja Kristen yang menjadi keyakinannya,

sedangkan bagi bapak Christopher, hal tersebut sudah tidak dilakukan. Bagi bapak

Karel, masih menggunakan seperti feng shui, kalender cina dan perayaan imlek.

Sedangkan budaya sopan santun, dan lain sebagainya tetap dijalankan. Berkaitan

dengan budaya etnik Dawan, mereka berdua cukup paham dan menggunakan

beberapa teknik strategi pendekatan terhadap etnik Dawan, seperti teknik strategi

pendekatan seperti penyuguhan sirih pinang “oko mama”, dan lain sebagainya.

Page 236: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

299

2.8.3. Model Etnik Tionghoa Sin Usif.

Pada model etnik Tionghoa Sin Usif ini lebih mengidentifikasikan diri

mereka sebagai WNI, karena merupakan keturunan perkawinan campuran dan

bagian dari keluarga bangsawan etnik Dawan. Namun tetap memberi toleransi

pada orientasi nilai identitas etnik Tionghoa campuran. Terdapat hanya dua orang

Informan yakni, bapak Paulus Mana Nitbani (Ang Pai Fan) dan ibu Endang EYP

Litelnoni-Nitbani (Ang Tek Sang), yang merupakan kakak-beradik dari etnik

Tionghoa campuran. Dalam model ini menjalaskan bahwa makna identitas etnik

bagi bapak Paulus Nitbani memaknai identitas etniknya sebagai sebuah tanggung

jawab dan pengharapan dan bagi ibu Endang Litelnoni adalah sebagai sebuah

kebanggaan.

Hal tersebut cukup logis karena mereka berdua merupakan etnik Tionghoa

campuran dan keturunan bangsawan, dan dilingkungan masyarakat tempat

tinggalnya cukup mendukung posisi mereka sebagai bangsawan. Sebagai

contohnya, ibu Endang dipanggil denagn nama Bisofa atau putri raja. Disamping

itu, profesi bapak Paulus sebagai seorang moelang dan ahli natoni

merepresentasikan ciri khas etnik Dawan. Begitu pula dalam menempatkan diri,

mereka lebih mensejajarkan diri sama dengan etnik Tionghoa, sedangkan dalam

lingkungan etnik Dawan, mereka dominan menempatkan diri sebagai seorang

bangsawan. Mereka sendiri menggunakan dua identitas sekaligus, yakni identitas

Tionghoa dan Dawan. Namun secara tersirat lebih berorientasi sebagai seorang

Tionghoa campuran.

Page 237: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

300

Dalam hal identitas nasional, orisinalitas nama marga keluarga mereka

diganti dengan menggunakan marga bangsawan dari pihak ibunya, meskipun

didalam pergaulan lingkungan etnik Tionghoa dan etnik Dawan tertentu, mereka

lebih dikenal dengan nama identitas Tionghoa. Sedangkan identitas nasional yang

dimiliki mereka, hanya dipergunakan sekedar formalitas. Namun dalam dominasi

etnik dalam diri mereka, mereka bedua lebih merasakan sebagai seorang Tionghoa

campuran, karena mereka sendiri memiliki dua identitas yakni Tionghoa

campuran dan bangsawan etnik Dawan, sehingga bagi mereka merupakan dua

keuntungan dalam pembauran diri.

Artinya mereka menganggap dirinya sebagai bagian dari WNI meskipun

mereka sendiri tidak memungkiri etnik Tionghoa campuran. Dalam interaksi

sehari-hari dengan etnik Tionghoa, mereka lebih sering menggunakan bahasa

melayu Kupang, sedangkan bahasa Mandarin bagi ibu Endang tidak dikuasai,

tetapi bagi bapak Paulus Nitbani, bahasa Mandarin dikuasai secara aktif dan pasif.

Sedangkan dalam interaksi dengan etnik Dawan, mereka lebih sering

menggunakan bahasa melayu Kupang dan bahasa Dawan.

Dalam hal warisan nilai budaya Tionghoa, baik bapak Paulus Nitbani dan

ibu Endang Litelnoni cukup paham dan tetap melestarikan budaya-budaya

Tionghoa termasuk tradisi agama Konghu Chu, diaplikasikan dalam kehidupan

sehari-hari, meskipun bersifat sangat terbatas karena bertentangan dengan ajaran

gereja Kristen yang menjadi keyakinan mereka. Bagi bapak Paulus Nitbani, masih

menggunakan tata cara seperti feng shui, kalender cina dan perayaan imlek.

Sedangkan budaya sopan santun, masakan Tionghoa dan lain sebagainya tetap

Page 238: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

301

diterapkan dalam keluarga mereka. Berkaitan dengan budaya etnik Dawan,

mereka berdua cukup paham dan menggunakan beberapa teknik strategi

pendekatan terhadap etnik Dawan, seperti teknik strategi pendekatan seperti

penyuguhan sirih pinang “oko mama”, dan lain sebagainya.

2.8.4. Model Etnik Tionghoa Atoin A’Lekot.

Pada model etnik Tionghoa Atoin A’Lekot ini lebih mengidentifikasikan

diri mereka dengan perpaduan antara identitas agama dan etnik Tionghoa, namun

mereka tetap konsisten sebagai WNI. Terdapat hanya dua orang Informan yakni,

bapak Leonard Hun Banamtuan (Ang Xie Ling) dan bapak Syarifudin Un (Wun

Jung Pit) yang merupakan keturunan etnik Tionghoa campuran dan etnik Dawan.

Dalam model ini menjelaskan bahwa, makna identitas etnik bagi bapak Leonard

Hun dan Syarifudin Un adalah sebuah kebanggaan, hal tersebut cukup relevan

karena mereka berdua merupakan etnik Tionghoa campuran dan dilingkungan

masyarakat mereka cukup dikenal, misalnya bapak Leonard dikenal sebagai salah

satu pemuka agama (Pendeta) agama Kristen Pantekosta keturunan Tionghoa.

Sedangkan bapak Syarifudin Un dikenal sebagai seorang Tionghoa

muslim, dimana beliau berada dilingkungan masyarakat yang mayoritas nasrani,

namun beliau merasa nyaman karena lingkungan yang sangat toleran terhadap

agamanya. Begitu pula dalam menempatkan diri, mereka lebih mensejajarkan diri

sesuai dengan profesi dan identitas agama maupun etnik mereka ditengah-tengah

masyarakat etnik Tionghoa maupun Dawan. Mereka sendiri menggunakan dua

Page 239: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

302

identitas sekaligus, yakni identitas Tionghoa dan Dawan. Namun secara tersirat

lebih berorientasi sebagai seorang Tionghoa campuran.

Dalam hal identitas nasional, orisinalitas nama marga keluarga mereka

diganti dengan menggunakan kombinasi marga bangsawan dari pihak ibunya, dan

marga Tionghoa dari ayah mereka, meskipun didalam pergaulan lingkungan etnik

Tionghoa dan etnik Dawan tertentu, mereka lebih dikenal dengan nama identitas

Tionghoa. Sedangkan identitas nasional yang dimiliki mereka, hanya

dipergunakan sekedar pada kondisi tertentu. Namun dalam dominasi etnik dalam

diri mereka, bapak Syarifudin lebih merasakan sebagai seorang Tionghoa muslim,

ketimbang seorang Tionghoa campuran. Sedangkan bapak Leonard lebih

merasakan sebagai seorang keturunan etnik Dawan. Artinya beliau menganggap

dirinya sebagai bagian dari WNI meskipun ia sendiri tidak memungkiri darah

etnik Tionghoa campuran. Dalam interaksi sehari-hari dengan etnik Tionghoa,

mereka berdua lebih sering menggunakan bahasa melayu Kupang, sedangkan

bahasa Mandarin tidak dikuasai. Sedangkan dalam interaksi dengan etnik Dawan,

mereka lebih sering menggunakan bahasa melayu Kupang dan bahasa Dawan.

Dalam hal warisan nilai budaya Tionghoa keduanya cukup berbeda jauh,

bapak Syarifudin Un cukup paham dan tetap melestarikan budaya-budaya

Tionghoa termasuk tradisi agama Konghu Chu, meskipun ia sebagai seorang

muslim. Hal ini dilakukannya hanya sebatas untuk melestarikandan diaplikasikan

dalam kehidupan sehari-hari, meskipun bersifat sangat terbatas. Sedangkan bagi

bapak Leonard Hun hal tersebut bertentangan dengan ajaran gereja Kristen yang

menjadi keyakinan mereka, apalagi ia sendiri merupakan seorang Pendeta,

Page 240: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

303

sehingga harus memberi teladan yang baik. Bagi bapak Syarifudin Un, masih

menggunakan tata cara seperti feng shui, kalender cina, perayaan imlek.

Sedangkan budaya sopan santun, masakan Tionghoa dan lain sebagainya tetap

diterapkan dalam keluarganya. Berkaitan dengan budaya etnik Dawan, mereka

berdua cukup paham dan menggunakan beberapa teknik strategi pendekatan

terhadap etnik Dawan, seperti teknik strategi pendekatan seperti penyuguhan sirih

pinang “oko mama”, dan lain sebagainya.

2.8.5. Model Etnik Tionghoa Atoin Meto

Pada model etnik Tionghoa Nasionalis ini lebih mengidentifikasikan diri

mereka sebagai perpaduan identitas etnik dan profesi yakni seorang Timor (etnik

Dawan) dan birokrat, karena merupakan keturunan perkawinan campuran dan

bagian dari keluarga etnik Dawan. Namun mereka tetap memberi toleransi pada

orientasi nilai identitas etnik Tionghoa campuran. Terdapat hanya dua orang

Informan yakni, bapak John E.E.Litelnoni (Lee Hok Chow) dan bapak Herman

Litelnoni (Lee Hok Kie), yang memiliki hubungan keluarga dari etnik Tionghoa

campuran dan Dawan.

Dalam model ini menjalaskan bahwa makna identitas etnik bagi bapak

Paulus Herman memaknai identitas etniknya sebagai sebuah kebanggaan.

Sedangkan bagi bapak John E.E.Litelnoni tidak sama sekali memaknai akan

identitas etniknya, hal tersebut cukup wajar mengingat beliau lebih menonjol

sebagai seorang Timor (etnik Dawan), sedangkan bagi bapak Herman, makna

kebanggaan karena sebagai seorang keturunan Tionghoa bisa berkerja sebagai

Page 241: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

304

pegawai negeri (birokrat), karena pada umumnya etnik Tionghoa berprofesi

sebagai pedagang.

Dalam hal identitas nasional, orisinalitas nama marga keluarga mereka

diganti dengan menggunakan kombinasi marga dari pihak ibunya, dan marga

Tionghoa dari ayah mereka, meskipun didalam pergaulan lingkungan etnik

Tionghoa dan etnik Dawan tertentu, mereka lebih dikenal dengan nama identitas

Tionghoa. Sedangkan identitas nasional yang dimiliki mereka, hanya

dipergunakan sekedar dilingkungan kerja. Namun dalam dominasi etnik dalam

diri mereka, bapak Herman Litelnoni lebih merasakan sebagai seorang Tionghoa

campuran, ketimbang seorang etnik Timor. Sedangkan disisi lain bapak John

Litelnoni lebih merasakan sebagai seorang keturunan etnik Dawan. Artinya beliau

menganggap dirinya sebagai bagian dari WNI meskipun ia sendiri tidak

memungkiri darah etnik Tionghoa campuran. Dalam interaksi sehari-hari dengan

etnik Tionghoa, mereka berdua lebih sering menggunakan bahasa melayu

Kupang, sedangkan bahasa Mandarin tidak dikuasai. Sedangkan dalam interaksi

dengan etnik Dawan, mereka lebih sering menggunakan bahasa melayu Kupang

dan bahasa Dawan.

Dalam hal warisan nilai budaya Tionghoa keduanya tidak berbeda jauh,

bapak John Litelnoni cukup paham namun secara terbatas melestarikan budaya-

budaya Tionghoa, seperti budaya tata kram, dan profesi lainnya sebagai seorang

moelang (protokoler perkawinan etnik Tionghoa). Sedangkan bagi bapak Herman

Litelnoni, sudah tidak pernah mengikuti tradisi budaya Tionghoa, karena hal

tersebut bertentangan dengan ajaran gereja Kristen yang menjadi keyakinan

Page 242: BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik ...media.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_2_2852.pdf · HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Kehidupan Sosial Etnik Tionghoa

305

mereka. Berkaitan dengan budaya etnik Dawan, mereka berdua cukup paham dan

menggunakan beberapa teknik strategi pendekatan terhadap etnik Dawan, seperti

teknik strategi pendekatan seperti penyuguhan sirih pinang “oko mama”, dan lain

sebagainya.

Model

Identitas

Makna

Identitas

Memposisikan

Diri

Marga Dominasi

Etnik Tionghoa

Kase

-Kebanggaan

-Hal Yang Biasa

Tionghoa

Campuran

Orisinil (Marga

Tionghoa)

Tionghoa

Peranakan

Tionghoa

Moe Na

Mese

-Kebanggaan

-Panggilan

Hidup

Tionghoa

Campuran

Disamarkan dengan

marga Nasional

dengan citarasa

Tionghoa.

Tionghoa

Peranakan

Tionghoa

Sin Usif

-Tanggung

Jawab

-Pengharapan

-Kebanggaan

Bangsawan Menggunakan marga

lokal.

Tionghoa

campuran.

Tionghoa

Atoin

A’Lekot

-Kebanggaan Pemuka Agama,

Tionghoa Muslim

Kombinasi marga

lokal dan samaran

marga citarasa

Tionghoa.

Tionghoa

campuran.

Tionghoa

Atoin Meto

-Kebanggaan.

-Hal Yang Biasa

Birokrat Kombinasi marga

lokal dan marga

Tionghoa.

Tionghoa

campuran,

etnik Timor

(Dawan).

Tabel. 37. Tipifikasi Identitas Etnik Tionghoa