bab ii ebp perawatan luka klpk 3
DESCRIPTION
sTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Melitus
1. Pengertian
Diabetes Mellitus merupakan suatu kelompok kelainan heterogen yang
ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hyperglikemia. Glukosa
secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah.Glukosa (Smeltzer
& Bare, 2002).
Pengertian lain menurut Black & Hawk (2009) Diabetes Melitus adalah
penyakit kronik, progresif yang dikarakteristikan dengan ketidakmampuan tubuh
untuk melakukan metabolism karbohidrat, lemak, dan protein awal terjadinya
hiperglikemia.
2. Etiologi Diabetes Melitus
Menurut Smeltzer & Bare (2002) penyebab timbulnya diabetes mellitus belum
diketahui secara jelas sampai saat ini, namun dari berbagai penelitian dapat
dikemukakan bahwa etiologi Diabetes Melitus terdiri dari beberapa faktor, antara
lain Faktor genetic, faktor lingkungan dan faktor pencetus
1) Faktor Lingkungan (obat, kima, virus)
Virus seperti cytomegalovirus, mumps, rubella yang dapat memicu
terjadinya autoimun dan menghancurkan sel- sel beta pancreas,
obat- obatan dan zat kimia seperti alloxan.
4
2) Faktor Genetik (keturunan)
Riwayat keturunan dengan Diabetes, misalnya pada DM tipe I diturunkan
sebagai sifat heterogen, mutigenik. Kembar klentik mempunyai resiko 25%-
50%, sementara saudara kandung beresiko 6% dan anak beresiko 5% (Black &
Hawks, 2009).
3) Faktor pencetus : kelebihan makan, kekurangan makan dan kegemukan.
3. Tanda dan gejala Diabetes Melitus
Adapun tanda dan gejala dari Diabetes Melitus menurut Mansjoer (2008)
antara lain poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan.
1) Poliuria
Adanya hiperglikemia menyebabkan sebagian glukosa dikeluarkanoleh ginjal
bersama urin karena keterbatasan kemampuan filtrasi ginjaldan kemampuan
reabsorbsi dari tubulus ginjal.Untuk mempermudah pengeluaran glukosa maka
diperlukan banyak air, sehingga frekuensi miksi (BAK) menjadi meningkat.
2) Polidipsia
Di awali dengan banyaknya urin yang keluar maka tubuh mengadakan mekanisme
lain untuk menyeimbangkannya yakni dengan banyak minum. Penderita diabetes
pada umumnya akan selalu merasakan haus yang luar biasa, termasuk pada
minuman yang segar dan dingin untuk menghindari (Sari, 2012).
3) Polifagia
Orang yang menderita Diabetes akan banyak makan (Polifagia), sehingga
pemasukan gula ke dalam sel- sel tubuh kurang akhirnya energi yang dibentuk
juga kurang (Sari, 2012).
5
4) Penurunan berat badan
Penurunan berat badan disebabkan karena banyaknya kehilangan
cairan, glikogen dan cadangan trigliserida serta massa otot.
4. Kriteria Diabetes Melitus
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam Sari (2012), adapun
patokan kadar gula darah dalam mendiagnosis Diabetes Melitus dengan
cara berikut ini :
Tabel 2.1 Kadar Glukosa darah dalam mendiagnosis DM
Bukan DM Belum pasti DM DM
Kadar glukosa darah sewaktu
- Plasma vena
- Darah kapiler
Kadar glukosa darah puasa
- Plasma vena
- Darah kapiler
< 100
<80
<110
<90
100-200
80-200
110-120
90-110
>200
>200
>126
>110
5. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakukan menurut Black & Hawks (2005) meliputi 4 hal
yaitu:
1) Postprandial
Dilakukan 2 jam setelah makan atau setelah minum. Angka diatas 130 mg/dl
mengindikasikan diabetes.
2) Hemoglobin glikosilat
Hb1C adalah sebuah pengukuran untuk menilaikadar gula darah selama 140 hari
terakhir. Angka Hb1C yang melebihi 6,1% menunjukkan diabetes.
6
3) Tes toleransi glukosa oral
Setelah berpuasa semalaman kemudian pasien diberi air dengan 75gr gula, dan
akan diuji selama periode 24 jam. Angka gula darah yang normal dua jam setelah
meminum cairan tersebut harus < dari 140mg/dl.
4) Tes glukosa darah dengan finger stick, yaitu jari ditusuk dengan sebuah jarum,
sample darah diletakkan pada sebuah strip yang dimasukkan kedalam celah pada
mesin glukometer, pemeriksaan ini digunakan hanya untuk memantau kadar
glukosa yang dapat dilakukan dirumah.
6. Komplikasi Diabetes Melitus
1) Komplikasi Akut Diabetes Melitus
Menurut Smeltzer & Bare (2002) ada tiga komplikasi akut padadiabetes Melitus,
antara lain hipoglikemia, ketoasidosis diabetik dan sindrom KHNK (juga disebut
koma hiperglikemik hiperosmolernonketotik atau HONK [hiperosmoler
nonketotik])
a) Hipoglikemia
Hipoglikemia (kadar glukosa darah yang abnormal rendah) terjadi kalau kadar
glukosa darah turun di bawah 50 hingga 60 mg/dl (2,7 hingga 3,3 mmol/L).
Keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian insulin atau preparat oral yang
berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu sedikit atau karena aktivitas fisik
yang berat. (Smeltzer & Bare, 2002)
Ada 4 macam keadaan hipoglikemia menurut Sari (2012), antara lain
i. Hipoglikemia murni jika kadar glukosa darah kurang dari 50 mg/dl
7
ii. Reaksi hipoglikemia terjadi akibat menurunnya kadar glukosa darah secara
mendadak
iii. Koma hipoglikemia akibat kadar glukosa darah yang sangat rendah
iv. Hipoglikemia relative jika gejala hipoglikemia terjadi 3-5 jam setelah makan.
b) Ketoasidosis Diabetik
Menurut Smeltzer & Bare (2002), Diabetes ketoasidosis disebabkan oleh tidak
adanya insulin atau tidak cukupnya jumlah insulin yang nyata. Keadaan ini
mengakibatkan gangguan pada metabolism karbohidrat, protein dan lemak.Ada
tiga gambaran klinis yang penting pada ketoasidosis diabetic, yaitu dehidrasi,
kehilangan elektrolit, asidosis.
c) Koma Hiperosmoler Non Ketotik
Gejala dan KHNK adalah adanya dehidrasi yang berat, hipotensi dan
menimbulkan shock.Komplikasi ini diartikan sebagai keadaan tubuh tanpa
penimbunan lemak sehingga penderita tidak menunjukkan pernapasan yang cepat
dan dalam (kussmaul).
Pemeriksaan di laboratorium menunjukkan bahwa kadar glukosa penderita sangat
tinggi, pH darah normal, kadar natrium (Na) tinggi dan tidak ada ketonemia(Sari,
2012).
2) Komplikasi Kronik Diabetes Melitus
Menurut Mansjoer (2008) adapun komplikasi dari kronik diabetes
antara lain :
a) Makroangiopati, mengenai pembuluh darah besar; pembuluh darah jantung;
pembuluh darah tepi; pembuluh darah otak
8
b) Mikroangiopati, mengnai pembuluh darah kecil; retinapati diabetic, nefropati
diabetic
c) Neuropati diabetik
Neuropati adalah kerusakan progresifsarafyang mengakibatkan hilangnya fungsi
saraf. Ini adalah komplikasi umum dari diabetes dan sering melibatkan seluruh
bagian tubuh. Kerusakan saraf sensorik serat mengakibatkan nyeri atau hilangnya
sensasi.
Kerusakan saraf motorik serat menghasilkan kelemahan otot. Kerusakan serabut
saraf pada sistem saraf otonom dapat menyebabkan disfungsi dalam setiap bagian
dari tubuh (Saunders, 2010).
d) Rentan infeksi, seperti TB paru, gingivitis dan infeksi saluran kemih
e) Kaki diabetik
9
7. Pathway DM
Defisiensi Insulin
glukagon↑ penurunan pemakaian glukosa oleh sel
glukoneogenesis hiperglikemia
lemak protein glycosuria
ketogenesis BUN↑ Osmotic Diuresis
ketonemia Nitrogen urine ↑ Dehidrasi
↓ pH Hemokonsentrasi
Asidosis Trombosis
Aterosklerosis
10
Mual muntah
Resti Ggn Nutrisi
Kurang dari kebutuhan
Koma Kematian
Makrovaskuler Mikrovaskuler
Retina Ginjal
Jantung Serebral Ekstremitas
Miokard Infark Stroke Gangren
Retinopati diabetik
Ggn. Penglihatan Gagal Ginjal
Resiko Injury
Nefropati
Ggn Integritas Kulit
Kekurangan volume cairan
B. Ulkus Diabetik
1. Pengertian
Ulkus diabetik merupakan salah satu bentuk komplikasi kronik Diabetes mellitus
yang berupa luka terbuka pada permukaan kulit dan dapat disertai dengan
kematian jaringan setempat (Robert, 2003).
Ulkus kaki diabetik adalah kerusakan sebagian (partial Thicknes) atau
keseluruhan (full thickness) pada kulit dan dapat meluas ke jaringan dibawah
kulit, tendon, otot atau persendian yang terjadi pada penderita penyakit diabetes
mellitus (DM), kondisi ini timbul sebagai akibat terjadinya peningkatan kadar
gula darah yang tinggi. Jika ulkus kaki yang tidak dilakukan penatalaksanaan,
tidak sembuh dan berlangsung lama luka akan menjadi terinfeksi. Ulkus kaki,
infeksi, neuroarthropati dan penyakit arteri perifer sering mengakibatkan gangrene
dan amputasi ekstremitas bagian bawah (Parmet, 2005 : Frykberg, dkk,
2006)
2. Klasifikasi
Klasifikasi Ulkus diabetik pada penderita Diabetes mellitus menurut Waspadji
(2006), terdiri dari 6 tingkatan :
0 : Tidak ada luka terbuka, kulit utuh.
1 : Ulkus Superfisialis, terbatas pada kulit.
2 : Ulkus lebih dalam diikuti dengan inflamasi jaringan.
3 : Ulkus dalam yang melibatkan tulang, sendi dan formasi abses..
4 : Ulkus dengan kematian jaringan tubuh terlokalisir seperti pada ibu jari kaki,
bagian depan kaki atau tumit.
11
5 : Ulkus dengan kematian jaringan tubuh pada seluruh kaki.
3. Patofisiologi Ulkus Diabetik
Menurut Soeparman (2004), neuropati sensori perifer dan trauma adalah penyebab
utama terjadinya ulkus. Neuropati yang dapat menyebabkan ulkus adalah
neuropati motorik dan otonom.Neuropati adalah suatu sindroma yang menyatakan
beberapa gangguan pada saraf. Pasien diabetes mellitus menjalani neuropati untuk
beberapa hal yaitu :
1) Kondisi hiperglikemia aldose reduktase mengubah glukosa menjadi sorbitol
dan sorbitol banyak terakumulasi pada endotel yang dapat mengganggu suplai
darah pada sarah sehingga axon menjadi atropi lalu akan memperlambat konduksi
impuls sarafnya.
2) Pengendapan advanced glycosylation edn-product (AGE-P) menyebabkan
penurunan aktifitas myelin (demielinasi).
Neuropati sensori dapat mengakibatkan terjadinya penurunan sensifitas terhadap
tekanan atau trauma, neuropati motorik dapat mengakibatkan kelainan bentuk
pada sendi dan tulang, neuropati otonom mengakibatkan fungsi kelenjar keringat
pada perifer menurun yang akan menyebabkan kulit menjadi kering dan terbentuk
menjadi fisura.
Penyakit vaskuler yang terdiri dari mikroangipati dan makroangipati akan
menyebabkan terjadinya penurunan aliran darah pada tubuh (Delmas, 2006).
Selain neuropati, penyakit vaskuler juga dapat menyebabkan terjadinya ulkus.
Penyakit vaskuler perifer terdiri dari :
12
1) Mikroangipati, merupakan kondisi dimana terjadi penebalan membrane basalis
kapiler dan peningkatan aliran darah dan mengakibatkan terjadinya edema
neuropati.
2) Makroangipati, yaitu terjadinya ateriosklerosis yang menyebabkan penurunan
aliran darah (iskemia). Trauma dan kerusakan respon terhadap proses infeksi
dapat menjadi penyebab terjadinya luka diabetes selain neuropati dan penyakit
vaskuler peerifer.
Adanya neuropati, penyakit vaskuler dan trauma dapat mengakibatkan terjadinya
ulkus pada ekstremitas.
4. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnotik pada ulkus Diabetik menurut Waspadji (2006) dan
Misnadiarly (2006) adalah
1) Pemeriksaan Fisik : inspeksi kaki untuk mengamati terdapat luka/ulkus pada
kulit atau jaringan tubuh pada kaki pemeriksaan sensasi vibrasi/rasa berkurang
atau hilang, palpasi denyut nadi arteri dorsalis pedis menurun atau hilang.
2) Pemeriksaan Penunjang: X-ray, EMG dan pemeriksaan laboratorium untuk
mengetahui apakah ulkus diabetika menjadi infeksi dan menentukan kuman
penyebabnya
5. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnotik pada ulkus Diabetik menurut Waspadji (2006) dan
Misnadiarly (2006) adalah
13
1) Pemeriksaan Fisik : inspeksi kaki untuk mengamati terdapat luka/ulkus pada
kulit atau jaringan tubuh pada kaki pemeriksaan sensasi vibrasi/rasa berkurang
atau hilang, palpasi denyut nadi arteri dorsalis pedis menurun atau hilang.
2) Pemeriksaan Penunjang: X-ray, EMG dan pemeriksaan laboratorium untuk
mengetahui apakah ulkus diabetika menjadi infeksi dan menentukan kuman
penyebabnya
6. Penatalaksanaan Ulkus Diabetik
Menurut Frykberg (2006), tujuan dari pentalaksanaan ulkus kaki diabetik adalah
untuk mencapai penutupan luka secepat mungkin. Menurunkan angka amputasi
pada ekstremitas bagian bawah pasien. Area penting dalam pentalaksanaan ulkus
diabetik meliputi evaluasi status vaskuler dan tindakan yang tepat pengkajian gaya
hidup/ faktor psikologi, pentalaksanaan dasar luka dan penurunan tekanan.
1) Evaluasi status vaskuler
Perfusi arteri memegang peranan penting dalam penyembuhan luka dan harus
dikaji pada pasien ulkus, selama sirkulasi terganggu luka akan mengalami
kegagalan penyembuhan dan beresiko amputasi.
Adanya insufisiensi vaskuler dapat berupa edema, karakteristik kulit yang
terganggu, penyembuhan lambat, ekstremitas dingin (Frykberg, 2006).
2) Pengkajian gaya hidup
Gaya hidup dan faktor psikologi dapat mempengaruhi penyembuhan luka.
Contohnya antara lain alcohol, merokok, penyalahgunaan obat, kebiasaan makan,
obesitas, malnutrisi dan tingkat mobilisas (Delmas, 2006).
3) Penatalaksanaan dasar luka
14
Tujuan dilakukannya debridement adalah membuang jaringan mati atau jaringan
yang tidak penting(Delmas, 2006). Kelembapan akan mempercepat proses
reepitelisasi pada ulkus. Keseimbangan kelembapan ulkus meningkatkan proses
autolysis dan granulasi.
Untuk itu diperlukan pemilihan balutan yang menjaga kelebapan luka.Dalam
pemilihan balutan, sangat penting diketahui bahwa tidak ada balutan yang paling
tepat terhadap semua ulkus diabetik.
4) Penurunan tekanan (Off Loading)
Menurunkan tekanan pada ulkus diabetic merupakan tindakan yang sangat
penting.Off loading mencegah trauma lebih lanjut dan membantu meningkatkan
penyembuhan.
Delmas (2006) menyatakan ulkus kaki diabetic merupakan luka
kompleks yang dalam penatalaksanaannya harus sitematik dengan
pendektan tim interdisiplin.
7. Dampak Ulkus Diabetik pada pasien
Akibat komplikasi dari Diabetes Melitus, akan menimbulkan berbagai masalah
fisik maupun psikologis, sehingga menyebabkan penderita merasa putus asa dan
tidak dapat menerima keadaannya sehingga akan mempengaruhi konsep diri
penderita (Saraswati, 2009). Perawatan terhadap penyakit yang dialami kadang
kala menimbulkan kesulitan atau gangguan dalam fungsi tubuh sehingga individu
merasa tidak nyaman dan menganggap bahwa perawatan yang dilakukan sama
buruknya dengan penyakit yang diderita (Sukmaningrum, 2005).
15
Selain permasalahn psikologi diatas, menurut Sari (2012) dan Sukmaningrum
(2005) DM juga dapat menimbulkan dampak bagi penderitanya yaitu dampak
ekonomi, dampak fisik dan dampak psikologi.
1) Dampak Ekonomi
Pengendalian DM dilakukan dalam jangka waktu yang lama dan kompleks serta
membutuhkan biaya yang besar, sehingga berdampak pada masalah ekonomi
keluarga. Dampak ekonomi pada DM jelas terlihat akibat biaya pengobatan dan
hilangnya pendapatan
2) Dampak Fisik
Pada penderita DM yang lanjut akan menimbulkan berbagai dampak secara fisik
antara lain adanya komplikasi, misalnya kelemahan fisik, berat badan rendah,
kesemutan gatal, mata kabur, stroke dan gangrene. Hal tersebut dapat
menimbulkan perubahan dan penampilan fisik penderita (Sari, 2012).
3) Dampak Psikologi
Penderita DM yang tidak dapat menerima keadaan sakitnya akan mempunyai
pandangan yang negative misalnya pasien merasa putus asa, tidak berguna dapat
menyebabkan pasien merasa putus depresi (Sukmaningrum, 2005).
Tak jarang para penderita Diabetes Melitus putus asa dalam menjalani
kehidupannya , adapatasi fisiologis dan psikologis membuat mereka harus benar-
benar memahami bagaimana penyakit tersebut dapat diatasi hingga tidak membuat
perubahan yang signifikan dalam dirinya. Dikarenakan terbatasnya informasi
mengenai penyakit diabetes mellitus, para diabetes di tahun- tahun awal akan
mengalami kecemasan yang didefinisikan sebagai kebingungan yang kemudian
16
dicirikan dengan perasaan tidak yakin, putus asa, perasaan tertekan, bimbang dan
gugup (Sari, 2012).
C. Perawatan Luka
1. Definisi Luka
Luka adalah rusaknya rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara
spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak dan hilang.
Ketika luka timbul beberapa efek akan muncul :
a. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
b. Respons stress simpatis
c. Perdarahan dan pembekuan darah
d. Kontaminasi bakteri
e. Kematian sel
2. Mekanisme terjadinya luka
a. Luka insisi (Incised wounds), terjadinya karena teriris oleh instrumen yang
tajam
b. Luka memar (Contusion wound), terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan dan
dikarakteristikan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan bengkak
c. Luka lecet (Abraded Eound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda lain
yang biasanya dengan benda yang tidak tajam
d. Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda, seperti peluru atau
pasau yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang kecil
e. Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam sepertioleh
kaca atau kawat
17
g. Luka tembus (Penetrating Wound), luka yang menembus organ tubuh biasanya
pada bagian awal luka masuk diameternya keciltetapi pada bagian ujung
biasanya luka akan melebar
h. Luka bakar (Combustio)
3. Menurut tingkat kontaminasi terhadap luka
a. Clean Wounds (luka bersih) yaitu luka bedah tak terinfeksi yang mana tidak
terjadi proses peradangan dan infeksi pada sistem pencernaan, pernafasan,
genital dan urinal. Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup, jika
diperlukan drainase tertutup kemungkinan infeksi luka 1-5%
b. Clean Contamined Wounds (luka bersih terkontaminasi) merupakan luka
pembedahan dimana saluran resfirasi, pencernaan, genital atau perkemihan
dalam kondisi terkontrol, kontminasi tidak selalu terjadi kemungkinan
timbulnya infeksi luka adalah 3-11%
c. Contamined Wounds (luka terkontaminasi) termasuk luka terbuka, fresh luka
akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan tekhnik aseptik
atau kontaminasi dari saluran cerna pada kasus ini juga termasuk insisi akut,
infeksi nonpurulen, kemungkinan infeksi luka 10-17%
d. Dirty or Infected Wounds (luka kotor atau infeksi) yaitu terdapatnya
mikroorganisme pada luka
4. Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka
a. Stadium I : luka superfisial (Non Blanching Erithema) yaitu luka yang terjadi
pada lapisan epidermis kulit
18
b. Stadium II : Luka “Partial Thickness” : yaitu hilangnya lapisan kulit pada
lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial dan
adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal.
c. Stadium III : Luka “Full Thickness” : yaitu hilangnya kulit keseluruhan
meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai
bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai
pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka
timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa
merusak jaringan sekitarnya.
d. Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan otot, tendon
dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas.
5. Menurut waktu penyembuhan luka dibagi menjadi :
1. Luka akut : yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep
penyembuhan yang telah disepakati.
2. Luka kronis yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan,
dapat karena faktor eksogen dan endogen.
D. PROSES PENYEMBUHAN LUKA
Tubuh secara normal akan berespon terhadap cedera dengan jalan “proses
peradangan”, yang dikarakteristikkan dengan lima tanda utama: bengkak
(swelling), kemerahan (redness), panas (heat), Nyeri (pain) dan kerusakan fungsi
(impaired function). Proses penyembuhannya mencakup beberapa fase :
1. Fase Inflamasi
19
Fase inflamasi adalah adanya respon vaskuler dan seluler yang terjadi akibat
perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak. Tujuan yang hendak dicapai
adalah menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda
asing, sel-sel mati dan bakteri untuk mempersiapkan dimulainya proses
penyembuhan. Pada awal fase ini kerusakan pembuluh darah akan
menyebabkan keluarnya platelet yang berfungsi sebagai hemostasis. Platelet
akan menutupi vaskuler yang terbuka (clot) dan juga mengeluarkan
“substansi vasokonstriksi” yang mengakibatkan pembuluh darah kapiler
vasokonstriksi. Selanjutnya terjadi penempelan endotel yang akan menutup
pembuluh darah. Periode ini berlangsung 5-10 menit dan setelah itu akan
terjadi vasodilatasi kapiler akibat stimulasi saraf sensoris (Local sensory
nerve endding), local reflex action dan adanya substansi vasodilator
(histamin, bradikinin, serotonin dan sitokin). Histamin juga menyebabkan
peningkatan permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar dari
pembuluh darah dan masuk ke daerah luka dan secara klinis terjadi oedema
jaringan dan keadaan lingkungan tersebut menjadi asidosis.
Secara klinis fase inflamasi ini ditandai dengan : eritema, hangat pada kulit,
oedema dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4.
2. Fase Proliferatif
Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan
menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran fibroblas
sangat besar pada proses perbaikan yaitu bertanggung jawab pada persiapan
menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama proses
20
reonstruksi jaringan. Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan),
pemaparan sel fibroblas sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks
jaringan penunjang. Sesudah terjadi luka, fibroblas akan aktif bergerak dari
jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang
(proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin,
hyaluronic acid, fibronectin dan proteoglycans) yang berperan dalam
membangun (rekontruksi) jaringan baru. Fungsi kolagen yang lebih spesifik
adalah membentuk cikal bakal jaringan baru (connective tissue matrix) dan
dengan dikeluarkannya substrat oleh fibroblas, memberikan pertanda bahwa
makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblas sebagai kesatuan unit
dapat memasuki kawasan luka. Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang
tertanam didalam jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan “granulasi”.
Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah
terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai growth
faktor yang dibentuk oleh makrofag dan platelet.
3. Fase Maturasi
Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai
kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah ; menyempurnakan
terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan
bermutu. Fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi, warna
kemerahan dari jaringa mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi dan
serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut.
Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10
21
setelah perlukaan. Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan
keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan.
Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau
hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan
kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka.
Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan
jaringan parut mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktifitas
normal. Meskipun proses penyembuhanluka sama bagi setiap penderita,
namun outcome atau hasil yang dicapai sangat tergantung pada kondisi
biologis masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka. Penderita muda
dan sehat akan mencapai proses yang cepat dibandingkan dengan kurang gizi,
diserta penyakit sistemik (diabetes mielitus).
E. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYEMBUHAN LUKA
1. Usia
Semakin tua seseorang maka akan menurunkan kemampuan penyembuhan
jaringan
2. Infeksi
Infeksi tidak hanya menghambat proses penyembuhan luka tetapi dapat juga
menyebabkan kerusakan pada jaringan sel penunjang, sehingga akan menambah
ukuran dari luka itu sendiri, baik panjang maupun kedalaman luka.
3. Hipovolemia
22
Kurangnya volume darah akan mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunnya
ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka.
4. Hematoma
Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara bertahap
diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang
besar hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga
menghambat proses penyembuhan luka.
5.Benda asing
Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan terbentuknya
suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari serum, fibrin,
jaringan sel mati dan lekosit (sel darah merah), yang membentuk suatu cairan
yang kental yang disebut dengan nanah (“Pus”).
6. Iskemia
Iskemi merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah pada
bagian tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi akibat
dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor internal yaitu
adanya obstruksi pada pembuluh darah itu sendiri.
7. Diabetes
Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula darah,
nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut juga akan terjadi
penurunan protein-kalori tubuh.
8. Pengobatan
Steroid : akan menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh terhadap cedera
23
Antikoagulan : mengakibatkan perdarahan
Antibiotik : efektif diberikan segera sebelum pembedahan untuk bakteri penyebab
kontaminasi yang spesifik. Jika diberikan setelah luka pembedahan tertutup, tidak
akan efektif akibat koagulasi intravaskular.
F. NURSING MANAGEMENT
Dressing/Pembalutan
Tujuan :
1. memberikan lingkungan yang memadai untuk penyembuhan luka
2. absorbsi drainase
3. menekan dan imobilisasi luka
4. mencegah luka dan jaringan epitel baru dari cedera mekanis
5. mencegah luka dari kontaminasi bakteri
6. meningkatkan hemostasis dengan menekan dressing
7. memberikan rasa nyaman mental dan fisik pada pasien
G. ALAT DAN BAHAN BALUTAN UNTUK LUKA
Bahan untuk Membersihkan Luka
· Alkohol 70%
· Aqueous and tincture of chlorhexidine gluconate (Hibitane)
· Aqueous and tincture of benzalkonium chloride (Zephiran Cloride)
· Hydrogen Peroxide
· Natrium Cloride 0.9%
Bahan untuk Menutup Luka
· Verband dengan berbagai ukuran
24
Bahan untuk mempertahankan balutan
· Adhesive tapes
· Bandages and binders
H. KOMPLIKASI DARI LUKA
a. Hematoma (Hemorrhage)
Perawat harus mengetahui lokasi insisi pada pasien, sehingga balutan dapat
diinspeksi terhadap perdarahan dalam interval 24 jam pertama setelah
pembedahan.
b. Infeksi (Wounds Sepsis)
Merupakan infeksi luka yang sering timbul akibat infeksi nosokomial di rumah
sakit. Proses peradangan biasanya muncul dalam 36 – 48 jam, denyut nadi dan
temperatur tubuh pasien biasanya meningkat, sel darah putih meningkat, luka
biasanya menjadi bengkak, hangat dan nyeri.
Jenis infeksi yang mungkin timbul antara lain :
· Cellulitis merupakan infeksi bakteri pada jaringan
· Abses, merupakan infeksi bakteri terlokalisasi yang ditandai oleh : terkumpulnya
pus (bakteri, jaringan nekrotik, Sel Darah Putih).
· Lymphangitis, yaitu infeksi lanjutan dari selulitis atau abses yang menuju ke
sistem limphatik. Hal ini dapat diatasi dengan istirahat dan antibiotik.
c. Dehiscence dan Eviscerasi
Dehiscence adalah rusaknya luka bedah, Eviscerasi merupakan keluarnya isi dari
dalam luka
d. Keloid
25
Merupakan jaringan ikat yang tumbuh secara berlebihan. Keloid ini biasanya
muncul tidak terduga dan tidak pada setiap orang.
I.MANAJEMEN PERAWATAN BELATUNG
Luka kronis terkenal rentan terhadap infeksi seperti Methicillin-resistant
Staphylococcus aureus (MRSA) atau rumah sakit yang diperoleh patogen lain
seperti Pseudomonas, dan panjang, ditarik keluar pengobatan agresif dihasilkan
dengan antibiotik dan aplikasi topikal, dan isolasi pasien yang mungkin kontrak
infeksi lebih lanjut, dapat dikenakan biaya yang besar untuk perawatan, tempat
tidur hari dan waktu perawat (Beasely, 2004).
Namun, belatung dikenal untuk mengeluarkan enzim proteolitik termasuk
kolagenase (Ziffren et al, 1953) dan enzim tripsin dan kimotripsin menyerupai
(Chambers, 2003), penyerapan bantuan yang jaringan mati dan bakteri; di mana
bakteri kemudian dihancurkan saat melewati sistem pencernaan mereka
(Steenvoorde, 2005). Dengan pemikiran ini, tetapi juga pengetahuan bahwa
banyak bukti dianggap bersifat anekdot atau hanya yang terkandung dalam
laporan kasus (Courtenay, 1999; Dissemond, 2002), sejumlah studi telah
dilakukan yang telah menegaskan bahwa semua organisme mikro yang diberantas
dalam 10-15 menit dari konsumsi oleh belatung (Robinson dan Norwood, 1934;
Simmons, 1935; Lappin-Scott, 1998; Mumcuoglu et al,
2001).
Sebuah studi lebih lanjut oleh Courtenay et al (2000) menyimpulkan
bahwa terapi belatung merupakan pilihan alternatif yang sangat efisien untuk
26
manajemen luka cepat dan efisien, sering pat dicegah ing operasi besar, dan
sekutu yang sangat baik dalam memerangi infeksi resisten antibiotik. Semua
literatur Ulasan di bagian ini menunjukkan bahwa terapi belatung itu tidak hanya
berperan dalam mengurangi tingkat bakteri, sehingga infeksi, tetapi juga dalam
mengurangi bau yang tidak menyenangkan dan nyeri (Robinson dan Norwood,
1934; Simmons, 1935; Lappin-Scott, 1998; Courtenay et al, 2000; Steenvoorde et
al, 2007).
Untuk menyelidiki teori ini, sebuah studi kunci dengan Dumville et al
(2009), yang disebut 'Venus II Percobaan', dilakukan, yang memiliki dua tujuan
utama:
- Untuk menilai efektivitas klinis terapi belatung dibandingkan dengan
hidrogel, sebuah debridement standar Perlakuan
- Untuk menilai efektivitas klinis belatung longgar dibandingkan dengan
belatung dikantongi
Pragmatis, tiga bersenjata acak percobaan terkontrol ini (RCT)
dibandingkan belatung longgar, kantong belatung dan hidrogel, dan melibatkan
267 pasien dengan luka etiologi ulkus vena atau campuran, masing-masing
dengan daerah berpaya 25% / studi tissue.The nekrotik menyimpulkan bahwa mag
keseluruhan - mendapat terapi terbukti tidak lebih efektif dalam mengurangi
beban bakteri atau meningkatkan tingkat penyembuhan dalam berpaya atau
nekrotik ulkus bila dibandingkan dengan hidrogel, tapi itu muncul untuk
memperbaiki waktu debridement. Namun, rasa sakit maag dialami oleh para
27
peserta melakukan tampaknya meningkatkan. Meskipun penelitian ini memiliki
beberapa keterbatasan, ukuran sampel yang relatif besar dibandingkan dengan
penelitian lain, yang mendukung generalisasi dan keandalan temuan (Cormack,
2000).
Sebuah studi lebih lanjut oleh Sherman (2003) juga mendirikan efisiensi
belatung sebagai teknik debridement, yang mendukung temuan dari 'Venus II
Percobaan'. Namun, sampel itu terutama kecil dan dengan demikian tidak
mendukung generalisasi dan keandalan temuan, yang dapat dianggap sebagai
pembatasan (Cormack, 2000).
Semua literatur Ulasan dalam bagian ini menunjukkan bahwa terapi
belatung memang mempercepat debridement jaringan nekrotik dari luka kronis,
dan mendorong granulasi cepat dibandingkan dengan pengobatan konvensional,
yang berpuncak pada sangat meningkat penyembuhan luka kronis (Sherman,
2003; Acton, 2007; BioMonde, 2010 ).
28