bab ii dian aji acc

59
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Fraktur 1. Definisi Fraktur Terdapat beberapa pengertian fraktur menurut para ahli. Menurut Smeltzer dan Bare (2002), fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang di kenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. Sedangkan menurut Revees, Roux, dan Lockhart (2001) fraktur merupakan setiap retak atau patah tulang yang utuh, meskipun tulang dapat patah secara spontan seperti terjadi dalam osteomalacia dan osteomyelitis, tetapi kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang. 5

Upload: dyan-azy

Post on 08-Aug-2015

65 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II DIAN AJI ACC

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Fraktur

1. Definisi Fraktur

Terdapat beberapa pengertian fraktur menurut para ahli.

Menurut Smeltzer dan Bare (2002), fraktur adalah terputusnya

kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, fraktur

terjadi jika tulang di kenai stress yang lebih besar dari yang dapat

diabsorbsinya. Sedangkan menurut Revees, Roux, dan Lockhart (2001)

fraktur merupakan setiap retak atau patah tulang yang utuh, meskipun

tulang dapat patah secara spontan seperti terjadi dalam osteomalacia

dan osteomyelitis, tetapi kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma

dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang.

Sementara itu menurut Muttaqin (2008) fraktur cruris

merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan fibula yang

biasanya terjadi pada bagian proksimal (kondilus), diafisis, atau

persendian pergelangan kaki. Kekuatan, sudut, tenaga, keadaan tulang,

dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menetukan apakah fraktur

akan terjadi tersebut lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap

terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan fraktur tidak lengkap

tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang.

5

Page 2: BAB II DIAN AJI ACC

6

2. Klasifikasi

Menurut Lukman dan Ningsih (2009) dan Muttaqin (2008),

fraktur yang diklasifikasikan berdasar pada patahnya integritas kulit,

lokasi, dan bentuk antara patahan tulang dengan dunia luar di bagi

menjadi 3 yaitu fraktur tertutup (closed fracture), fraktur terbuka (open

fracture), dan fraktur dengan koplikasi (complicated fracture).

Fraktur tertutup (closed) adalah fraktur yang fragmen

tulangnya tidak menembus kulit sehingga tempat fraktur tidak

tercemar oleh lingkungan / tidak mempunyai hubungan dengan dunia

luar.

Fraktur terbuka (open/compound fraktur) adalah fraktur yang

mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan

jaringan lunak, dapat berbentuk from within (dari dalam), atau from

without (dari luar). Derajat patah tulang terbuka adalah derajat I

dimana dengan luka bersih kurang dari 1 cm panjangnya, luka ini

didapat dari tusukan fragmen-fragmen tulang dari dalam; derajat II

ditandai dengan adanya luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak

yang ekstensif, kadang-kadang ditemukan adanya benda benda-benda

asing di sekitar luka; dan derajat III ditandai dengan adanya luka yang

lebih besar degan luka derajat dan mengalami kerusakan jaringan

lunak ekstensif dan kontaminasi, merupakan kerusakan yang lebih

hebat karena sampai mengenai tendon dan otot-otot saraf tepi.

Page 3: BAB II DIAN AJI ACC

7

Fraktur dengan komplikasi (complicated fracture) adalah

fraktur yang disertai dengan komplikasi, misalnya mal-union, delayed

union, non-union, dan infeksi tulang.

Menurut Revess, Roux, dan Lockhart (2001) klasifikasi fraktur

dapat juga didadasarkan pada derajat kerusakan tulang yaitu patah

tulang lengkap (complete fracture) dan patang tulang tidak lengkap

(incomplete fracture). Dikatakan fraktur lengkap bila patahan tulang

terpisah satu dengan yang lainya, atau garis fraktur melibatkan seluruh

potongan menyilang dari tulang dan fragmen tulang biasanya berubak

tempat. Sedangkan dikatakan fraktur tidak lengkap bila antara oatahan

tulang masih ada hubungan sebagian. Salah satu sisi patah yang lainya

biasanya hanya bengkok yang sering disebut green stick.

Menurut Smeltzer dan Bare (2002) jumlah garis patahan pada

patah tulang ada 3 yaitu fraktur komunitif yaitu fraktur dimana garis

patah lebih dari satu dan saling berhubungan; fraktur segmental yaitu

fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan; dan

fraktur multiple yaitu fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi

tidak pada tulang yang sama.

Page 4: BAB II DIAN AJI ACC

8

3. Etiologi / Predisposisi

Menurut Muttaqin (2008), fraktur dapat terjadi akibat hal-hal

sebagai berikut:

a. Trauma direk (langsung)

Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada

tulang. Hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya fraktur pada

daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat kominutif

dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.

b. Trauma indirek (tidak langsung)

Trauma tidak langsung terjadi apabila dihantarkan ke

daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur, trauma tersebut disebut

trauma tidak langsung. Misalnya jaruh dengan tangan ekstensi

dapat menyebabkan fraktur pada klafikula. Pada keadaan ini

biasanya jaringan lunak tetap utuh.

c. Trauma patologis

Terjadi karena kelemahan tulang sebelumnya akibat

kelainan patologis di dalam tulang. Trauma patologis terjadi pada

daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah karena tumor atau

proses patologis lainnya. Tulang seringkali menunjukkan

penurunan densitas. Penyebab yang paling sering dari fraktur-

fraktur semacam ini adalah tumor, baik trumor primer maupun

tumor tumor metastatis.

Page 5: BAB II DIAN AJI ACC

9

4. Patofisiologi

Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup.

Tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan

dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara

fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit

(Smelter & Bare, 2002).

Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar

tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan

lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan

biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel anast

berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat

tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru

umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel

tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati.

Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf

yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat

menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan

kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan

mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan

berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun

jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom compartment

(Smeltzer & Bare, 2002).

Page 6: BAB II DIAN AJI ACC

10

Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak

dan ketidak seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka

dan fraktur tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan

lunak seperti tendon, otot, ligament dan pembuluh darah (Smeltzer &

Bare, 2002).

Fraktur paling sering disebabkan oleh trauma. Hantaman yang

keras akibat kecelakaan yang mengenai tulang akan mengakibatkan

tulang menjadi patah dan fragmen tulang tidak beraturan atau terjadi

discontinuitas di tulang tersebut. Fraktur dapat berupa fraktur terbuka

dimana ujung tulang yang patah menembus keluar dari kulit sehingga

berhubungan dengan dunia luar atau dapat berupa fraktur tertutup

dimana ujung tulang yang patah masih berada didalam kulit. Ujung

tulang yang patah sangat tajam dan berbahaya bagi jaringan

disekitarnya, karena saraf dan pembuluh darah berada didekat tulang

sehingga sering kali terkena jika terjadi fraktur. Lesi neurovaskuler ini

dapat terjadi karena laserasi oleh ujung atau karena peningkatan

tekanan akibat pembengkakan atau hematom.

5. Manifestasi Klinis

Menurut LuKman dan Ningsih (2009), manifestasi klinis

fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan

ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan warna.

Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di

imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk

Page 7: BAB II DIAN AJI ACC

11

bidai alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar

fragmen tulang. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat

digunakan dan cenderung bergerak tidak alamiah bukan seperti

normalnya, pergeseran fraktur menyebabkan deformitas, ekstrimitas

yang bias di ketahui dengan membandingkan dengan ekstrimitas yang

normal. Ekstrimitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi

normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.

Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya

karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.

Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang

yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen

satu dengan yang lainya. Pembengkakan dan perubahan warna local

pada kulit terjadi sebagai akibat dari trauma dan perdarahan yang

mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru terjadi setelah beberapa jam

atau hari setelah cedera.

Tidak semua tanda dan gejala tersebut dapat pada setiap

fraktur. kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear atau fisur atau

fraktur impaksi (permukaan patahan terdesak satu lain). Diagnosis

fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan sinar-x

pasien. Biasanya pasien mengeluhkan melangalami cidera pada daerah

tersebut (Smeltzer & Bare, 2002).

Page 8: BAB II DIAN AJI ACC

12

6. Penatalaksanaan

Menurut Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus

dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu rekognisi,

reduksi, dan retensi, serta rehabilitasi.

Rekognisi adalah diagnosis dan penelian fraktur. Prinsip yang

pertama dilakukan mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan

anamnesis, pemeriksaan klinik, dan radiologis. Pada awal pengobatan

perlu diperhatikan; lokalisasi fraktur, bentuk fraktur, mementukan

teknik yang sesuai untuk pengobatan dan menghindari komplikasi

yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan.

Reduksi adalah restorrasi fragmen fraktur sehingga posisi yang

optimal yang didapatkan. Pada fraktur intra-artikular diperlukan

reduksi anatomis, sedapat mungkin mengembalikan fungsi normal, dan

mencegah komplikasi, seperti kekauan, dermofitas, serta perubahan

osteoarthritis di kemudian hari.

Retensi adalah imobilisasi fraktur. Secara umum, teknik

penatalaksanaan yang digunakan adalah menginstirahatkan tulang

yang mengalami fraktur dengan tujuan penyatuan yang lebih cepat

antara kedua fragmen tulang yang mengalami fraktur.

Rehabilitasi adalah mengembalikan aktifitas fungsional

semaksimal mungkin. Program rehabilitasi dilakukan dengan

mengoptimalkan seluruh keadaan pasien pada fungsinya agar aktivitas

dapat dilakukan kembali. Misalnya, pada klien pasca amputasi cruris,

Page 9: BAB II DIAN AJI ACC

13

program rehabilitasi yang dijalankan adalah bagaimana klien dapat

melanjutkan hidup dan melakukan aktivitas dengan memaksimalkan

organ lain yang tidak megalami masalah.

Menurut Smeltzer dan Bare (2002), perawatan pada pasien

fraktur ada 2 yaitu perawatan pasien fraktur tertutup dan perawatan

pasien fraktur terbuka.

Perawatan pasien fraktur tertutup harus diusahan untuk

kembali ke aktivitas biasa sesegera mungkin. Penyembuhan fraktur

dan pengembalian kekuatan penuh dan mobilitas mungkin

memerlukan waktu sampai berbulan-bulan. Pasien diajari bagaimana

mengontrol pembengkakan dan nyeri sehubungan dengan fraktur dan

trauma jaringan lunak. Pasien didorong untuk aktif dalam batas

immobilisasi fraktur. tirah baring diusahakan seminimal mungkin.

Latihan segera untuk mempertahankan kesehatan otot yang sehat dan

untuk meningkatkan kekuatan otot yang dibutuhkan untuk pemindahan

dan untuk menggunakan alat bantu (missal, tongkat, walker). Pasien

diajari bagaimana menggunakan alat tersebut dengan aman.

Perawatan pasien fraktur terbuka terdapat resiko infeksi

osteomielitis, gas gangrene, dan tetanus. Tujuan penanganan adalah

meminimalkan kemungkinan infeksi luka, jaringan lunak dan tulang

untuk mempercepat penyembuhan jaringan lunak dan tulang. Pasien di

bawa ke ruangan operasi, dimana luka dibersihkan, didebridemen, dan

dirigasi. Dilakukan usapan luka untuk biakan dan kepekaan. Fragmen

Page 10: BAB II DIAN AJI ACC

14

tulang mati biasanya diangkat, mungkin perlu dilakukan graft tulang

untuk menjembatani defek, namun harus yakin bahwa jaringan

resipien masih sehat dan mampu memfasilitasi penyatuan.

7. Komplikasi

Komplikasi fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2002) dan

Muttaqin (2008) dibedakan menjadi komplikasi awal dan komplikasi

dalam waktu yang lama.

Komplikasi awal fraktur antara lain syok, sindrom emboli

lemak, sindrom kompartement, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler

nekrosis. Syok dapat terjadi akibat hipovolemik atau traumatic yaitu

syok terjadi akibat perdarahan (banyak kehilangan darah eksternal

maupun yang tidak kelihatan yang bias menyebabkan penurunan

oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang rusak,

dapat terjadi pada fraktur ekstrimitas, thoraks, pelvis dan vertebra.

Sindrom emboli lemak terjadi pada saat terjadi fraktur globula

lemak sehingga masuk ke dalam pembuluh darah karena tekanan

sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena

katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stress pasien akan

memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjasinya globula lemak

pada aliran darah.

Sindroma kompartement merupakan masalah yang terjadi saat

perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk

kehidupan jaringan. Ini bisa disebabkan karena penurunan ukuran

Page 11: BAB II DIAN AJI ACC

15

kompartement otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat,

penggunaan gibs atau balutan yang menjerat ataupun peningkatan isi

kompatement otot karena edema atau perdarahan sehubungan dengan

berbagai masalah (misalnya iskemi, dan cidera remuk).

Kerusakan arteri terjadi akibat pecahnya arteri karena trauma

bias ditandai denagan tidak ada nadi, CRT menurun, syanosis bagian

distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang

disbabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada

yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.

Infeksi terjadi jika sistem pertahanan tubuh rusak bila ada

trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada

kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus

fraktur terbuka, tapi bias juga karena penggunaan bahan lain dalam

pembedahan seperti pin (ORIF & OREF) dan plat.

Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke

tulang rusak atau terganggu yang bias menyebabkan nekrosis tulang

dan di awali dengan adanya Volkman’s Ischemia (Smeltzer & Bare,

2002).

Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur terdiri atas

mal union, delayed union, dan non union. Malunion adalah suatu

keadaan ketika fraktur tulang yang patah sembuh pada saatnya, tetapi

terdapat dermofitas yang berbentuk angulasi, varus / valgus, rotasi,

pemendekan, atau union secara menyilang misalnya pada fraktur tibia

Page 12: BAB II DIAN AJI ACC

16

fibula. Etiologi mal-union adalah fraktur tanpa pengobatan,

pengobatan yang tidak adekuat, reduksi dan immobilisasi yang tidak

bai, pengambilan keputusan serta teknik yang salah pada awal

pengobatan, osofikasi premature pada lempeng epifisis karena adanya

trauma. Delayed union meruapakan kegagalan fraktur berkonsolidasi

sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Hal

ini terjadi karena supali darah ke tulang menurun. Delayed union

adalah fraktur yang tidak sembuh setelah selang waktu 3-5 bulan (tiga

bulan untuk anggota gerak atas dan lima bulan untuk anggota gerak

bawah. Etiologi delayed union sama dengan etiologi pada non union.

Non union adalah fraktur yang tidak sembuh antara 6-8 bulan dan

tidak dapat dikonsolidasi sehingga terdapat pseudoartrosis (sendi

palsu). Pseudoartrosis dapat terjadi tanpa infeksi, tetapi dapat juga

terjadi bersama-sama infeksi yang disebut infected pseudoartrosis.

(Muttaqin, 2008).

B. Mobilisasi Dini

1. Definisi mobilisasi

Menurut Hidayat (2006), mobilisasi merupakan kemampuan

individu untuk bergerak secara bebas, mudah, dan teratur dengan

tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna memperhatikan

kesehatannya. Sedangkan menurut Potter dan Perry (2006), mobilisasi

mengacu pada kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas, dan

immobilisasi mengacu pada ketidak mampuan untuk bergerak secara

Page 13: BAB II DIAN AJI ACC

17

bebas. Mobilisasi dan immobilisasi berada pada suatu rentan dengan

banyak tingkatan immonilisasi parsial di antanranya. Beberapa klien

mengalami kemunduran dan selanjutnya di antara rentang mobilisasi-

immobilisasi, tetapi pada klien lain, berada pada kondisi immobilisasi

mutlak dan berlanjut sampai jangka waktu tidak terbatas.

Imobilisasi merupakan ketidak mampuan untuk bergerak bebas

yang mengganggua pergerakan yang di sebabkan kehhilangan fungsi

motorik (Hidayat, 2006). Dalam bahasan yang berbeda imobilisasi

menurut North American Nursing Diagnosis Association (NANDA),

ganguan mobilisasi fisik merupakan keadaan individu mengalami atau

berisiko mengalami keterbatasan gerak fisik (Potter & Perry, 2006).

Menurut NANDA (2010), hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasn

gerak fisik tubuh atau satu atau lebih ekstremitas secara mandiri dan

terarah.

Range of motion adalah latihan gerakan sendi yang

memungkinkan terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, di mana

klien menggerakan masing-masing persendiannya sesuai gerakan

normal baik secara aktif ataupun pasif (Potter & Perry, 2006). Latihan

rentan gerak atau Range of Motion (ROM) adalah kemampuan

maksimal dalam setiap gerakan, merupakan batasan-batasan dari

kontraksi otot, apakah otot memanjang atau memendek secara penuh

(Lukman, 2009).

Page 14: BAB II DIAN AJI ACC

18

2. Jenis Mobilisasi, Imobiliasasi, dan Range Of Motion

Menurut Hidayat (2006), jenis mobilisasi dibagi menjadi

mobilisasi penuh dan sebagian. Mobilisasi penuh merupakan

kemampuan seseorang untuk bergerak secara penuh dan bebas

sehingga dapat melakukan interasksi social dan menjalankan peran

sehari-hari. Mobilisasi penuh ini merupakan fungsi saraf motorik

volunter dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh area tubuh

seseorang. Mobilisasi sebagian merupakan kemampuan seseoarang

untuk bergerak dengan batasan dan tidak mampu bergerak bebas

karena dipengaruhi gangguan saraf motorik dan sensorik pada area

tubuhnya. Hal ini dapat dijumpai pada kasus cidera atau patah tulang

dengan pemasangan traksi.

Imobilisasi menurut Hidayat (2006) dibagi menjadi empat

jenis, yaitu imobilisasi fisik, intelektual, emosional, dan social.

Imobilisasi fisik merupakan pembatasan gerak secara fisik dengan

tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan, seperti

pada pasien dengan hemiplegia yang tidak mampu mempertahankan

tekanan di daerah paralisis sehingga tidak dapat mengubah posisi

tubuhnya untuk mengurangi tekanan. Imobilisasi intelektual

merupakan keadaan ketika seseorang mengalami keterbatasan daya

pikir, seperti pada pasien yang mengalami kerusakan otak akibat suatu

penyakit. Imobilisasi emosional merupakan keadaan ketika seseorang

mengalami pembatasan secara emosional karena adanya perubahan

Page 15: BAB II DIAN AJI ACC

19

secara tiba-tiba dalam menyesuaikan diri. Contohnya keadaan stress

berat dapat disebabkan karena bedah amputasi ketika seseorang

mengalami kehilangan bagian anggota tubuh atau kehilangan sesuatu

yang paling dicintai. Imobilisasi sosial merupakan keadaan individu

yang mengalami hambatan dalam melakukan interaksi sosial karena

keadaan penyakitnya sehingga dapat memengaruhi perannya dalam

kehidupan social.

Jenis ROM dibagi menjadi dua yaitu ROM aktif dan ROM

pasif. ROM aktif adalah kemampuan klien dalam melakukan gerakan

secara mandiri tanpa bantuan orang lain dan anggota gerak tubuh yang

lain ketika sedang melakukan dalam kegiatan sehari-hari, contoh:

makan dan mandi. ROM Pasif adalah pergerakan yang mendapatkan

bantuan dari orang lain, seperti perawat ataupun menggunakan alat

bantu (Lukman, 2009).

3. Manfaat Mobilisasi Dini

Mobilisasi memiliki banyak manfaat. Menurut Potter dan Perry

(2006) manfaat yang dapat diperoleh dari mobilisasi dapat berdampak

positif terhadap sistem kardiovaskuler, sistem respiratori, system

metabolic, sistem musculoskeletal, toleransi aktivitas, dan faktor

psikososial.

Manfaat pada system kardiovaskuler diantaranya adalah

meningkatkan curah jantung, memperbaiki kontrkasi miokardial,

kemudian menguatkan otot jantung, memperbaiki aliran balik vena.

Page 16: BAB II DIAN AJI ACC

20

Sementara pada system respiratori, mobilisasi memiliki manfaat

antara lain meningkatkan frekuensi kedalaman pernafasan diikuti oleh

laju istirhat-kembali yang cepat, meningkatkan ventilasi alveolar,

menurunkan kerja pernafasan, meningkatkan pengembangan

diafragma (Perry & Potter, 2006).

Lebih lanjut dikemukakan oleh Perry dan Potter (2006) manfaat

mobilisasi berimbas pada system yakni meningkatkan laju

metabolisme basal, meningkatkan penggunaan glukosa dari asam

lemak, meningkatkan trigliserida, meningkatkan motilitas lambung,

dan meningkatkan produksi panas tubuh. Pada sistem muskulo

skeletal, aktifitas menjadikan tubuh menjadi terlatih dalam setiap

kegiatan seperti: Memperbaiki tonus otot, meningkatkan mobilitas

sendi, memperbaiki toleransi otot untuk latihan, meningkatkan massa

otot, mengurangi kehilangan tulang.

Manfaat mobilisasi dalam kaitannya dengan toleransi aktifitas

menurut Perry dan Potter (20060 adalah bahwa tubuh yang sering

beraktifitas menjadikan setiap gerakan menjadi biasa dan tidak

menimbulkan rasa sakit, serta meningkatkan jangkauan gerak.

Sementara dari sisi faktor psikososial, diketahui bahwa dengan

menyalurkan keinginan dalam setiap gerakan dapat menghilangkan

rasa tegang dan membuat perasaan lebih baik dan senang.

Page 17: BAB II DIAN AJI ACC

21

4. Faktor yang Mempengaruhi Mobilisasi

Faktor mobilisasi di bagi menjadi beberapa faktor yaitu: gaya

hidup, proses penyakit, kebudayaan, usia dan status perkembangan,

dan tingkat energi. Perubahan gaya hidup dapat memengaruhi

kemampuan mobilisasi seseorang karena gaya hidup berdampak pada

perilaku atau kebiasaan sehari-hari (Hidayat, 2006). Proses penyakit

dapat memengaruhi kemampuan mobilisasi karena dapat memengaruhi

fungsi sistem tubuh. Sebagai contoh, seseorang yang mengalami stroke

hemoragik sebelah kanan, mengakibatkan kerusakan jalur motorik

kanan dan kehilangan kontrok gerak (hemiplegia) pada tubuh bagian

kiri (Potter & Perry, 2006).

Kemampuan melakukan mobilisasi dapat juga dipengaruhi

kebudayaan. Contohnya orang yang memiliki budaya sering berjalan

jauh memiliki kemampuan mobilisasi yang kuat; sebaliknya ada orang

yang mengalami gangguan mobilisasi (kaki) karena adat dan

kebudayaan tertentu dilarang untuk beraktivitas. Energi adalah sumber

untuk melakukan mobilisasi. Agar seseorang dapat melakukan

mobilisasi dengan baik, dibutuhkan energi yang cukup (Hidayat,

2006). Menurut Potter dan Perry (2006), faktor yang mempengaruhi

mobilisasi terdapat perbedaan kemampuan mobilisasi pada tingkat usia

yang berbeda. Hal ini dikarenakan kemampuan atau kematangan

fungsi alat gerak sejalan dengan perkembangan usia.

Page 18: BAB II DIAN AJI ACC

22

5. Pengaruh Imobilisasi Terhadap Tubuh

Menurut Perry dan Potter (2006), imobilisasi berdampak pada

system tubuh yaitu system mkardiovaskuler, system respiratori, system

metabolic, sistm gastrointestinal, system integument, istem

musculoskeletal, dan perubahann perilaku.

Perubahan pada system kardiovaskular menurut Perry dan Potter

(2006) dibagi menjadi tiga bagian yaitu hipotensi ortostatik, beban

kerja jantung, dan thrombus. Hipotensi ortostatik adalah penurunan

tekanan darah sistolik 25 mmHg dan diastolik 10 mmHg ketika klien

bangun dari posisi berbaring atau duduk ke posisi berdiri. Pada klien

imobilisasi, terjadi penurunan sirkulasi volume cairan, pengumpulan

darah pada ekstremitas bawah, dan penurunan respon otonom. Faktor-

faktor tersebut mengakibatkan penurunan aliran balik vena, diikuti

oleh penurunan curah jantung yang terlihat pada penurunan tekanan

darah. Perubahan pada beban kerja jantung akan berdampak pada

peningkatan konsumsi. Oleh karena itu jantung bekerja lebih keras dan

kurang efisien selama masa istirahat yang lama. Jika imobilisasi

meningkat maka curah jantung menurun, penurunan efisiensi jantung

yang lebih lanjut dan peningkatan beban kerja. Sementara itu kelainan

aliran darah vena yang lambat akibat tirah baring dan imobilisasi dapat

menyebabkan akumulasi trombosit, fibrin, faktor-faktor pembekuan

darah, dan elemen sel-sel darah yang menempel pada dinding bagian

Page 19: BAB II DIAN AJI ACC

23

anterior vena atau arteri, kadang-kadang menutup lumen pembuluh

darah.

Perubahan pada system respiratori akibat imobilisasi

mengakibatkan kadar hemoglobin menurun, ekspansi paru menurun,

dan terjadinya lemah otot yang dapat menyebabkan proses

metabolisme terganggu. Terjadinya penurunan kadar hemoglobin

dapat menyebabkan penurunan aliran oksigen dari alveoli ke jaringan,

sehingga menyebabkan anemia. Penurunan ekspamsi paru dapat terjadi

karena tekanan yang meningkat oleh permukaan paru (Hidayat, 2006).

Sedangkan perubahan pada system metabolic adalah menyebabkan

turunnya kecepatan metabolisme di dalam tubuh. Hal tersebut dapat

dijumpai pada menurunnya basal metabolisme rate (BMR) yang

menyebabkan berkurangnya energi untuk perbaikan sel-sel tubuh,

sehingga dapat memengaruhi gangguan oksigenasi sel. Perubahan

metabolisme imobilisasi dapat mengakibatkan proses anabolisme

menurun dan katabolisme meningkat. Keadaan ini juga dapat berisiko

meningkatkan gangguan metabolisme (Hidayat, 2006).

Perubahan pada system musculoskeletal berdampak pada

gangguan muscular dan skeletal. Gangguan muscular berupa

menurunnya massa otot seabagia dampak imobilisasi dapat

menyebabkan turunya kekuatan otot ditandai dengan stabilitas.

Kondisi berkurangnya massa otot dapat menyebabkan atropi pada otot.

(Hidayat, 2006). Sedangkan gangguan skeletal berupa mudahnya

Page 20: BAB II DIAN AJI ACC

24

terjadinya kontraktursendi dan osteoporosis. Kontraktur merupakan

kondisi yang abnormal dengan kriteria adanya fleksi dan fiksasi yang

disebabkan atropi dan memendeknya otot. Terjadinya kontraktur dapat

menyebabkan sendi dalam kedudukan yang tidak berfungsi.

Perubahan pada ketidakseimbangan cairan dan elektrolit akibat

imobilisasi mengakibatkan persediaan protein menurun dan

konsentrasi protein serum berkurang sehingga dapat mengganggu

kebutuhan cairan tubuh. Di samping itu, berkurangnya perpindahan

cairan dari intravascular ke interstisial dapat menyebabkan edema

sehingga terjadi ketidak seimbangan cairan dan elektrolit (Hidayat,

2006). Ekskresi kalsium dalam urine ditingkatkan melalui reasorpsi

tulang. Imobilisasi menyebabkan pelepasan kalsium ke dalam

sirkulasi. Dalam keadaan normal ginjal dapat mengekskresi kelebihan

kalsium. Jika ginjal tidak mampu berespon dengan tepat maka terjadi

hiperkalsemia (Perry & Potter, 2006).

Perubahan pada sistim gastrointestinal akibat imobilisasi

disebabkan karena imobilisasi dapat menurunkan hasil makanan yang

dicerna, sehingga penurunan jumlah masukan yang cukup dapat

menyebabkan keluhan, seperti perut kembung, mual, dan nyeri

lambung yang dapat menyebabkan gangguan proses eliminasi

(Hidayat, 2006).

Perubahan pada sistim integument menurut Hidayat (2006)

berupa penurunan elastisitas kulit karena menurunnya sirkulasi darah

Page 21: BAB II DIAN AJI ACC

25

akibat imobilisasi dan terjadinya iskemia serta nekrosis jaringan

superficial dengan adanya luka dekubitus sebagai akibat tekanan kulit

yang kuat dan sirkulasi yang menurun ke jaringan. Dekubitus

merupakan jaringan yang tertekan, darah membelok dan kontriksi kuat

pada pembuluh darah akibat tekanan peristen pada kulit dan struktur di

bawah kulit, sehingga respirasi selular terganggu, dan sel menjadi mati

(Perry & Potter, 2006).

Perubahan pada sistim eliminasi akibat imobilisasi adalah

diakibatkan posisi tegak lurus, urine mengalir keluar dari pelvis ginjal

lalu masuk ke dalam ureter dan kandung kemih akibat gaya gravitasi.

Jika klien dalam posisi rekumben atau datar, ginjal dan ureter

membentuk garis datar seperti pesawat. Ginjal yang membentuk urine

harus masuk ke dalam kandung kemih melawan gaya gravitasi. Akibat

kontraksi peristaltik ureter yang tidak cukup kuat melawan gaya

gravitasi, pelvis ginjal menjadi terisi sebelum urine masuk ke dalam

ureter. Kondisi ini disebut statis urine dan meningkatkan risiko infeksi

saluran perkemihan dan batu ginjal (Perry & Potter, 2006).

Imobilisasi juga berdampak pada perubahan perilaku. Perubahan

perilaku sebagai akibat imobilisasi, antara lain timbulnya rasa

bermusuhan, bingung, cemas, emosional tinggi, depresi, perubahan

siklus tidur, dan menurunnya koping mekanisme. Terjadinya

perubahan perilaku tersebut merupakan dampak imobilisasi karena

Page 22: BAB II DIAN AJI ACC

26

selama proses imobilisasi seseorang akan mengalami perubahan peran,

konsep diri, kecemasan (Hidayat, 2006).

6. Gerakan Mobilisasi

Gerakan rentang gerak bisa dilakukan pada leher, ektremitas

atas, dan ekstremitas bawah. Latihan rentang gerak pada leher,

meliputi gerakan fleksi ekstensi, rotasi lateral, dan fleksi lateral.

Menurut Reeves, Roux, dan Lockhart (2001) dikutip dalam Lukman

(2009), rentang gerak (ROM) standar untuk ektremitas atas pada bahu

(abduksi, fleksi, ekstensi, dan hiperekstensi), siku (fleksi dan

ekstensi), lengan depan (pronasi dan supinasi), pergelangan tangan

(fleksi pergelangan, fleksi radialis, fleksi ulnaris, dan hipereksitensi

pergelangan), ibu jari (fleksi, ekstensi, dan oposisi yaitu ibu jari

berhadapan dengan jari kelingking), dan jari-jari (abduksi, adduksi,

fleksi, dan plantar fleksi). Sedangkan pada eksteremitas bahah adalah

kaki (fleksi, ekstensi, hiperekstensi, adduksi, abduksi, rotasi internal,

dan rotsi eksternal), lutut (fleksi dan ekstensi), pergelangan kaki

(dorso fleksi dan plantar fleksi), telapak kaki (supinasi dan pronasi).

Secara lengkap sebagaimana terdapat pada Tabel 1.

Tabel 1

Rentang gerak sendi

Pergerakan Rentang Kelompok otot1. Sendi temporo

mandibular (synovial joint).a. Membuka mulutb. Menutup mulutc. Protrusion

1-2-5 inciMenutup rapat0,5 inci

Masseter, temporalisPterigoid laterarisPterigoid medialis.

Page 23: BAB II DIAN AJI ACC

27

d. Retrusione. Lateral motion.

0,5 inci0,5 inci

2. Tulang belakang (pivot joint).a. Fleksib. Ekstensic. Hiperekstensid. Fleksi laterale. Rotasi.

45o setiap sisi45o

10o

45o

90o

SternokleidomastoidTrapeziusTrapeziusSternokleidomastoidSternokleidomastoid, trapezius.

3. Bahu (ball and socket joint).a. Fleksi

b. Ekstensic. Hiperekstensi

d. Abduksie. Adduksi

f. Sirkumduksi

g. Rotasi eksternal

h. Rotasi internal.

80o

180o

50o

180o

230o

360o

90o

90o

Pectoris mayor, korakobrakialis, deltoid, bisep brakii.Teres mayorLatissimus dorsi, deltoid, teres mayor.Deltoid, suprasinatus.Pektoralis mayor, teres mayor.Deltoid, korakobrakialis, lastissimus dorsi, teres mayor.Subskapularis, pektoralis mayor, lastissimus dorsi, teres mayor.Brisep brakii, brakialis, brakioradialis.

4. Siku (hinge joint)a. Fleksib. Ekstensic. Rotasi untuk

supinasi.d. Rotasi untuk

pronasi.

150o

150o

70-90o

70-90o

Trisep brakiiBrisep brakii, supinatorPronator teres, pronator

Quadrates.

5. Pergelangan tangan (condyloid joint)a. Fleksi

b. Ekstensi

c. Hiperekstesni

80-90o

80-90o

80-90o

Flektor karpiradialis, flektor karpiulnaris.Flektor karpiradialis longus, ekstensor karpiradialis brevis, ekstensor karpiulnaris.Flektor karpiradialis longus, ekstensor karpiradialis

Page 24: BAB II DIAN AJI ACC

28

d. Fleksi radial

e. Fleksi ulna.

Hingga 20o

30-50o

brevis, ekstensor karpiulnaris.Ekstensor karpiradialis longus, ekstensor karpiradialis brevis, flektor karpiulnaris.Ekstensor karpiulnaris, flektor karpiulnaris.

6. Tangan dan jari-jari (condyloid and hinge joint)a. Fleksi

b. Ekstensi

c. Hiperesktensi

d. Abduksie. Adduksi.

90o

90o

30-50o

25o

25o

Interosius dorsalis manus, fleksor difitorum superfisialis.Ekstensor indici, ekstensor digiti minimi.Ekstensor indici, ekstensor digiti minimi.Interosius dorsalis manus.Interosius Palmaris.

7. Ibu jari (sadle joint)a. Fleksi

b. Ekstensi

c. Abduksi

d. Adduksi

e. Oposisi.

90o

90o

30o

30o

Bersentuhan.

Fleksor polisis brevis, oponen polisis.Ekstensor polisis brevis, ekstensor polisis longus.Abductor polisis brevis, abductor polisis longus. Adductor polisis travensus, adductor polisis obliges.

8. Pinggul (ball and socket joint).a. Fleksi

b. Ekstensi

c. Hiperekstensi

d. Abduksi

e. Adduksi

f. Sirkumduksi

90-120o

90-120o

30-50o

40-50o

20-30o past middle360o

Psoas mayor, iliakus, iliopsoas.Gluteus maksimus, adductor magnus, semi tendinosus, semi membranosus.Gluteus maksimus, adductor magnus, semi tendinosus, semi membranosus.Gluteus medius, gluteus minimus.Adductor magnus, adductor brevis, adductor longus.Psoas mayor, gluteus maksimus, gluteus medius,

Page 25: BAB II DIAN AJI ACC

29

g. Rotasi lateral

h. Rotasi eksternal.

90o

90o

adductor magnus.Gluteus minimus, gluteus medius, tensor fascialata.Obquadratus internus, quadrates femoris.

9. Lutut (hinge joint)a. Fleksi

b. Ekstensi

120-130o

120-130o

Biseps femoris, semi tendinosus, semi membranosus.Rektus femoris, vastus lateraris, vastus medialis, vastus intermedius.

10. Ankle / mata kaki (hinge joint)a. Plantar fleksib. Dorso fleksi.

45-50o

20oGastroknemius, soleus.Peroneus, tertius, tibialis anterior.

11. Kakia. Eversi

b. Inverse.

5o

5o

Peroneus longus, pareneus brevis.Tibialis posterior, tibialis interior.

12. Jari kakia. Fleksi

b. Ekstensi

c. Abduksid. Adduksi.

35-60o

35-60o

Hingga 15o

Hingga 15o

Fleksor hallusis brebis, lumbrikalis pedis, fleksor digitorum brevis.Ekstensor digitorum longus, ekstensor digitorum brevis, ekstensor hallusis longus.Interoseus dorsalis pedis.Abductor hallius, interoseus plantaris.

C. Penatalaksanaan Mobilisasi Dini Pasien Pasca Operasi Fraktur

Mobilisasi atau latihan rentang gerak dimulai sesegera mungkin

karena deformitaskontraktur terjadi cepat. Latihan rentang gerak meliputi

latihan pinggul dan lutut untuk amputasi bawah lutut dan latihan pinggul

untuk amputasi atas lutut. Pegangan di atas tempat tidur dapat digunakan

pasien untuk mengubah posisi dan menguatkan bisep. Trisep yang sangat

Page 26: BAB II DIAN AJI ACC

30

diperlukan untuk berjalan dengan tongkat, dapat diperkuat dengan cara

menekan telapak tangan pada tempat tidur semantara mendorong tubuh ke

atas (push up). Latihan seperti hiperekstensi sisa tungkai, yang dijalankan

dibawah pengawasan di bawah pengawasan fisioterapis, juga membantu

memperkuat otot selain meningkatkan perederan darah, mengurangi

edema, dan mencegah atropi. Kekuatan dan ketahanan dikaji dan aktivitas

ditingkatkan secara bertahap untuk mencegah keletihan. Ketika pasien

mengalami kemajuan sehingga ia mampu mandiri menggunakan kursi

roda, ambulasi dengan bantuan, harus ditekankan pada keanjuran

keamanan (Smeltzer & Bare, 2002).

Ambulasi dini merupakan bagian dari mobilisasi dalam asuhan

keperawatan pasca operasi faktur ekstremitas bawah. Ambulasi dianjurkan

pada 48 jam pasca operasi fraktur sesuai dengan kondisi dan kemampuan

pasien (Yanti, 2010).

Ketika membantu pasien turun dari tempat tidur perawat harus

berdiri tepat di depannya. Pasien meletakkan tangannya dipundak perawat

dan perawat meletakkan tangannya dibawah ketiak pasien. Pasien

dibiarkan berdiri sebentar untuk memastikan tidak merasa pusing. Bilah

telah terbiasa dengan posisi berdiri, pasien dapat mulai untuk berjalan.

Perawat harus berada disebelah pasien untuk memberikan dukungan dan

dorongan fisik, harus hati-hati untuk tidak membuat pasien merasa letih,

lamanya mobilisasi beragam tergantung pada jenis prosedur bedah dan

kondisi fisik serta usia pasien (Smeltzer & Bare, 2002).

Page 27: BAB II DIAN AJI ACC

31

D. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian Fokus

Pengkajian fokus yang perlu diperhatikan pada pasien fraktur

dengan menitikberatkan pada pengelolaan mobilisasi dini merujuk

pada Alimul Hidayat (2006) dan Muttaqin (2008) sebagai berikut:

a. Riwayat penyakit sekarang

Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah

tulang kruris, pertolongan apa yang di dapatkan, apakah sudah

berobat ke dukun patah tulang. Selain itu, dengan mengetahui

mekanisme terjadinya kecelakaan, perawat dapat mengetahui luka

kecelakaan yang lainya. Adanya trauma lutut berindikasi pada

fraktur tibia proksimal. Adanya trauma angulasi akan

menimbulkan fraktur tipe konversal atau oblik pendek, sedangkan

trauma rotasi akan menimbulkan tipe spiral. Penyebab utama

fraktur adalah kecelakaan lalu lintas darat.

b. Riwayat penyakit dahulu

Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke

dukun patah tulang sebelumnya sering mengalami mal-union.

Penyakit tertentu seperti kanker tulang atau menyebabkan fraktur

patologis sehingga tulang sulit menyambung. Selain itu, klien

diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko mengalami

osteomielitis akut dan kronik serta penyakit diabetes menghambat

penyembuhan tulang.

Page 28: BAB II DIAN AJI ACC

32

c. Riwayat penyakit keluarga

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang

cruris adalah salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur,

seperti osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan

dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.

d. Pola kesehatan fungsional

1) Aktifitas / Istirahat

Perlu pengkajian pada tingkat aktifitas atau mobilitas

fisik untuk menetapkan sejauhmana klien mampu melakukan

pergerakan fisik. Keterbatasan / kehilangan pada fungsi di

bagian yang terkena (mungkin segera, fraktur itu sendiri atau

terjadi secara sekunder, dari pembengkakan jaringan, nyeri)

umumnya berdampak pada kemampuan mobilisasi klien.

Untuk menetapkan kemampuan mobilisasi klien

menggunakan indicator sebagaimana terdapat pada Tabel 2.

Tabel 2

Tingkat aktivitas / mobilitas

Tingkat Aktivitas

Kategori

0 Mandiri penuh 1 Memerlukan alat bantu 2 Memerlukan bantuan dari orang lain untuk

bantuan pengawasan dan pengajaran. 3 Membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat

bantu 4 Ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam

aktivitas.

Page 29: BAB II DIAN AJI ACC

33

2) Sirkulasi

Perlu dikaji terkait dengan perubahan sirkulasi yang ada

hubungannya dengan fraktur dan imobilisasi sebagai dasar

untuk melakukan mobilisasi dini pada klien antara lain:

a) Ada tidaknya tanda-tanda hipertensi (kadang – kadang

terlihat sebagai respon nyeri atau ansietas) atau hipotensi

(kehilangan darah).

b) Ada tidaknya takikardia (respon stresss, hipovolemi)

c) Munculnya penurunan / tidak ada nadi pada bagian distal

yang cedera, pengisian kapiler lambat, pusat pada bagian

yang terkena.

d) Ada tidaknya pembengkakan jaringan atau masa hematoma

pada sisi cedera.

3) Neurosensori

Perlu dikaji terkait dengan perubahan neurosensori yang

ada hubungannya dengan fraktur dan imobilisasi sebagai

panduan untuk melakukan mobilisasi dini antara lain:

a) Hilangnya gerakan / sensasi, spasme otot.

b) Kebas / kesemutan (parestesia).

c) Deformitas local : angulasi abnormal, pemendekan, rotasi,

krepitasi (bunyi berderit) Spasme otot, terlihat kelemahan /

hilang fungsi.

d) Agitasi (mungkin badan nyeri/ ansietas atau trauma lain).

Page 30: BAB II DIAN AJI ACC

34

4) Nyeri / kenyamanan

Perlu dikaji terkait dengan nyeri / kenyamanan yang ada

hubungannya dengan fraktur dan imobilisasi sebagai bahan

untuk melakukan mobilisasi dini antara lain:

a) Munculnya nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin

terlokalisasi pada area jaringan / kerusakan tulang pada

imobilisasi ), tidak ada nyeri akibat kerusakan syaraf.

b) Ada tidaknya spasme / kram otot (setelah imobilisasi)

5) Keamanan

Perlu dikaji terkait dengan aspek keamanan yang ada

hubungannya dengan fraktur dan imobilisasi untuk melakukan

mobilisasi dini antara lain:

a) Ada tidaknya laserasi kulit, avulse jaringan, pendarahan,

perubahan warna

b) Ada tidaknya pembengkakan local (dapat meningkat secara

bertahap atau tiba- tiba).

e. Pola hubungan dan peran

Perlu dikaji terkait dengan pola hubungan dan peran yang

mungkin berubah akibat adanya fraktur dan imobilisasi sebagai

sarana merencanakan mobilisasi dini pada klien. Klien dapat

mengalami kehilangan peran dalam keluarga dan dalam

masyarakat karena klien harus menjalani rawat inap akibat fraktur

yang dideritanya.

Page 31: BAB II DIAN AJI ACC

35

f. Pola persepsi dan konsep diri

Perlu dikaji terkait dengan perubahan pola persepsi dan

konsep diri yang ada hubungannya dengan fraktur dan imobilisasi

agar dapat direncanakan dengan baik tentang mobilisasi dini pada

klien. Dampak yang timbul dari klien fraktur adalah timbul

ketakutan dan kecacatan akibat fraktur yang dialaminya, rasa

cemas, rasa ketidak mampuan untuk melakukan aktifitasnya secara

normal dan pandangan terhadap dirinya yang salah.

g. Pola sensori dan kognitif

Perlu dikaji terkait dengan pola sensori dan kognitif yang

ada hubungannya dengan fraktur dan imobilisasi untuk dasar

melakukan mobilisasi dini. Daya raba pasien fraktur berkurang

terutama pada bagian distal fraktur, sedangkan indra yang lain dan

kognitif tidak mengalami gangguan. Selain itu juga timbul nyeri

akibat fraktur.

h. Pola nilai dan keyakinan

Perlu dikaji terkait dengan pola nilai dan keyakinan yang

ada hubungannya dengan fraktur dan imobilisasi antara sebagai

bahan untuk merencanakan tindakan mobilisasi dini. Klien fraktur

tidak dapat beribadah dengan baik, terutama frekuensi dan

konsentrasi dalam ibadah. Hal ini disebabkan oleh nyeri dan

keterbatasan gerak yang di alami klien.

Page 32: BAB II DIAN AJI ACC

36

2. Diagnosis Keperawatan

Terdapat beberapa diagnosis keperawatan pada klien dengan

masalah pada system musculoskeletal: fraktur. Menurut Muttaqin

(2008) diagnosis keperawatan pada klien fraktur adalah sebagai

berikut:

a. Nyeri akut yang berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang,

kompresi saraf, cecera neuromuscular, trauma jaringan, reflek

spasme otot sekunder.

b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri / ketidak

nyamanan, kerusakan musculoskeletal, terapi pembatasan aktifitas,

dan penurunan kekuatan / tahanan.

c. Resiko tinggi trauma yang berhubungan hambatan mobilitas fisik,

pemaksaan fiksasi eksternal pemasangan gips spalk dengan bebat

d. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya port de entrée

luka operasi atau luka terbukai di tungkai bawah.

e. Deficit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemaha

neuromuscular dan penurunan kekuatan tungkai bawah. Pada

pasien fraktur juga dapat menimbulkan masalah atau diagnosa

ansietas yang berhungan kritis situasional, akan menjalani operasi,

status ekonomi, perubahan, fungsi peran.

Namun demikian dalam laporan kasus ini difokuskan pada

diagnosis keperawatan gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan

Page 33: BAB II DIAN AJI ACC

37

nyeri / ketidak nyamanan, kerusakan musculoskeletal, terapi

pembatasan aktifitas, dan penurunan kekuatan / tahanan.

3. Focus Intervensi

Fokus intervensi keperawatan gangguan mobilisasi fisik

merujuk pada Muttaqin (2008) dan Doenges, Moorhouse, dan Geissler

(2000) menyangkut tujuan, kriteria hasil, dan intervensi keperawatan.

Tujuan dari tindakan keperawatan terhadap diagnosis

gangguan mobilisasi fisik adalah klien akan menunjukkan tingkat

meobilisasi yang optimal dengan menunjukkan criteria hasil klien

mampu melakukan pergerakan dan perpindahan, mempertahankan

mobilitas optimal yang dapat ditoleransi (Doenges ,2000), (Muttaqin,

2008., Doenges, et al, 2000).

Terdapat berbagai intervensi untuk menyelesaikan masalah

gangguan mobilisasi terutama yang terjadi pada klien dengan fraktur

pada ekstremitas bawah. Menurut Muttaqin (2008), (Muttaqin, 2008.,

Doenges, et al, 2000) intervensi yang dapat dilakukan adalah dengan

melakukan pengkajian tingkat mobilitas yang ada dan mengobservasi

tingkat kerusakan, serta mengkaji secara teratur fungsi motorik yang

bisa dilakukan pasien. Hal ini dilakukan agar perawat mengetahui

tingkat kemampuan klien dalam kemandirian terutama dalam

melakukan aktivitas atau mobilisasi (Doenges, 2000), (Muttaqin,

2008., Doenges, et al, 2000).

Page 34: BAB II DIAN AJI ACC

38

Intervensi lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah

mobilisasi pada klien dengan fraktur adalah mengidentifikasi tingkat

motivasi pasien dalam melakukan aktivitas. Hal ini penting karena

dengan mengetahui tingkat motivasi akan diketahui pula sejauhmana

kemauan klien berpartisipasi dalam kegiatan yang menunjang

mobilisasi fisik (Doenges, 2000) (Muttaqin, 2008., Doenges, et al,

2000). Menurut Green (1991), motivasi merupakan factor penting

dalam perilaku seseorang.

Intervensi selanjutnya untuk mengatasi gangguan mobilisasi

pada klien faktur adalah membantu latihan rentang gerak pasif -

aktif (ROM) pada ekstremitas yang sakit maupun yang sehat sesuai

keadaan klien. Hal ini penting karena latihan rentang sendi akan

memicu terjadinya peningkatan sirkulasi darah muskuloskeletal,

mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak sendi serta

memperbaiki fungsi jantung dan pernafasan. Selain itu juga penting

dilakukan pada klien berupa latihan isometric yang dimulai dari

tungkai / ekstremitas yang sakit atau mengalami fraktur. Kontraksi

isometric tanpa menekuk sendi atau menggunakan tungkai dapat

membantu mempertahankan kekuatan dan masa otot. Dengan catatan

bahwa klien mengalami perdarahan akut (Hidayat, 2006) (Muttaqin,

2008., Doenges, et al, 2000).

Page 35: BAB II DIAN AJI ACC

39

Selain intervensi di atas, klien perlu juga dilakukan

pengubahan posisi secara periodik sesuai keadaan pasien dengan cara

mempertahankan postur dan posisi tubuh yang benar. Hal ini penting

sebagai upaya untuk menurunkan insiden komplikasi kulit dan

pernapasan (dekubitus, atelektasis, penumonia) (Doenges, 2000)

(Muttaqin, 2008., Doenges, et al, 2000).

Mengajarkan pada klien tentang ambulasi dini juga penting

dilakukan dalam rangka mengatasi masalah mobilisasi pada klien

dengan fraktur. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melatih posisi

duduk di tempat tidur, turun dari tempat tidur, berdiri di samping

tempat tidur, bergerak ke kursi roda, dan seterusnya secara beangsur-

angsur. Kegiatan ini dilakukan disamping sebagai sarana proses belajar

mengajar atau transfer pengetahuan dan kemampuan kepada klien,

juga dalam rangka untuk meningkatkan kekuatan dan ketahan otot

(Doenges, 2000) (Muttaqin, 2008., Doenges, et al, 2000).

Sebagai dasar untuk mengetahui apakah tindakan mobilisasi

telah dilakuakn secara optimal dan memberikan dampak yang baik

pada klien, maka jika memungkinkan perlu juga dilakukan kegiatan

olaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi. Hal ini dilakukan

sebagai suatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan

mempertahankan atau meningkatkan mobilitas pasien (Doenges, 2000)

(Muttaqin, 2008., Doenges, et al, 2000).

Page 36: BAB II DIAN AJI ACC

40

4. Implementasi

Tahap implementasi merupakan aktualisasi dari rencana-rencana

tindakan yang disusun pada tahap perencanaan. Karena tujuan

akhirnya adalah pasien akan menunjukan tingkat mobilitas optimal,

maka implementasi diarahkan pada kegiatan untuk mempertahankan

kondisi fisik klien agar tetap mampu melakukan mobilisasi secara dini

tanpa menimbulkan dampak yang tidak diinginkan seperti

bertambahnya rasa tidak nyaman (nyeri).

Dalam melaksanakan implementasi perlu diperhatikan kemampuan

beraktifitas klien termasuk dalam melakukan gerakan Range of Motion

(ROM). Keluarga dapat diikutsertakan dalam implementasi terutama

dalam mendukung aspek psikososial klien.

5. Evaluasi

Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf

keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan

kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan

ditetapkan.

Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan post operasi

fraktur dengan masalah mobilisasi menurut Muttaqin (2008) dan

Doenges, Moorhouse, dan Geissler (2000) adalah :

a. Pasien mampu melakukan mobilisasi dini secara mandiri.

b. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.

c. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.

Page 37: BAB II DIAN AJI ACC

41

d. Pasien mampu melakukan latihan rentang gerak secara mandiri.

e. Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.

f. Infeksi tidak terjadi / terkontrol.

g. Pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur

dan proses pengobatan.