bab ii deskripsi teoritik, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian a. deskripsi...
TRANSCRIPT
-
11
BAB II
DESKRIPSI TEORITIK, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
PENELITIAN
A. Deskripsi Teoritik
1. Pengertian Art Therapy
The American Art Therapy Association dalam Edwards (2003)
mendefinisikan art therapy sebagai terapi yang menggunakan seni
dalam hubungan profesional terhadap individu yang mengalami sakit,
trauma atau tantangan dalam hidup, dan mengembangkan diri.
Individu dapat meningkatkan kesadaran diri sendiri dan orang lain,
mengatasi gejala, stres, dan pengalaman traumatis; meningkatkan
kemampuan kognitif; dan menikmati kesenangan hidup dengan
membuat seni.1
Kemudian, Edwards mengungkapkan bahwa art therapy
merupakan bentuk terapi menciptakan gambar dan benda yang
berperan penting dalam hubungan psikoterapi antara terapis dan
klien.2
1 David Edwards, Art Therapy : Creative Therapies in Practice, (London: Sage Publications, 2004), hal.
3.
2 Ibid., h. 2.
-
12
Liebmann menjelaskan bahwa art therapy sebagai ekspresi diri
dalam mengkomunikasikan perasaan, bukan menilai hasil akhir.
Dalam artian, ekspresi tersedia untuk semua orang, tidak hanya yang
mempunyai bakat seni.3
Menurut Case dan Dalley, art therapy melibatkan penggunaan
media seni yang berbeda sehingga klien dapat mengekspresikan dan
menyelesaikan masalah serta kekhawatiran yang telah membuat
dirinya mengikuti sesi terapi. Terapis dan klien bekerjasama dalam
mencoba memahami proses dan hasil sesi.4
Payne menjelaskan bahwa terdapat kesamaan untuk semua art
therapy termasuk fokus pada komunikasi non-verbal dan proses kreatif
dengan memfasilitasi kepercayaan serta lingkungan yang aman
sehingga individu bisa mengakui dan mengekspresikan emosi yang
kuat.5
Edward menjelaskan bahwa tujuan art therapy bervariasi sesuai
dengan kebutuhan khusus individu. Kebutuhan dapat berubah karena
hubungan terapi berkembang. Bagi seorang individu, proses terapi
seni mungkin agar mendorong individu untuk berbagi dan
3 Marian Liebmann, Art Therapy for Groups : A Handbook of Themes and Exercises, (New York : Taylor
& Francis Group, 2004), h. 6.
4 Ibid.
5 Ibid.
-
13
mengeksplorasi kesulitan emosional melalui pembuatan gambar dan
diskusi, sedangkan untuk yang lain mungkin diarahkan agar mereka
memegang krayon dan membuat tanda sehingga mengembangkan
cara-cara baru dalam memberikan bentuk perasaan yang sebelumnya
terpendam.6
Berdasarkan beberapa pendapat ahli, dapat disimpulkan bahwa
art therapy merupakan bentuk terapi menggambar yang dilakukan
agar individu mampu mengekspresikan dan mengkomunikasikan
emosi serta perasaan melalui menggambar.
2. Teknik Menggambar
a. Pengertian Teknik Menggambar
Terdapat beberapa pendapat mengenai teknik menggambar.
Menggambar menurut Buchalter yaitu terapi dimana konselor
memberikan kesempatan kepada konseli untuk mengkomunikasikan
pikiran, perasaan, perhatian, masalah, keinginan, harapan, mimpi
dan keinginan dengan cara yang relatif tidak mengancam. Ekspresi
kreatif memberikan individu kebebasan mewakili dirinya dengan
cara apapun yang dipilih.7
6 David Edwards, Op Cit., h. 4.
7 Susan I. Buchalter, Art Therapy Techniques and Applications (London : Jessica Kingsley Publishers,
2009), h. 31.
-
14
Kemudian, Koppitz menjelaskan bahwa menggambar
merupakan terapi yang berfungsi sebagai jembatan antara konselor
dan konseli dalam komunikasi nonverbal. Hasil menggambar dapat
dilihat sebagai bahasa dalam diri mereka sendiri dan dapat
dianalisis.8
Selain itu, Oster dan Crone mengemukakan bahwa
menggambar merupakan terapi dimana konseli dapat menggunakan
media gambar untuk mengekspresikan perasaan mereka terhadap
keluarga, orangtua tertentu, atau orang yang mungkin memiliki
konflik dengan mereka.9
Menurut Geldard dan Geldard, fokus penggunaan teknik
menggambar adalah kreativitas. Semuanya mengundang anak
untuk bereksplorasi, bereksperimen, dan bermain. Anak dapat
menggunakan media untuk membuat gambar atau simbol yang
mewakili suatu masalah, perasaan, dan tema dalam hubungan
dengan ceritanya atau sebagian dari ceritanya. Bahkan anak dapat
secara visual mengembangkan gambaran mengenai lingkungan
dan mengenali kedudukannya dalam lingkungan tersebut. Mereka
juga dapat menggunakan teknik menggambar untuk
8 Gerald D. Oster dan Patricia Gould Crone, Using Drawing in Assesment and Therapy 2nd Edition (New
York: Taylor & Francis Group, 2004), h. 22.
9 Ibid.
-
15
mengeksplorasi setiap perubahan yang sudah terjadi dalam
lingkungan, atau perubahan yang akan mereka buat setelah
beberapa waktu.10 Jadi, teknik menggambar membantu anak untuk
mengekspresikan dirinya. Gambar-gambar yang dibuat mewakilkan
perasaan dan masalah yang dialaminya.
Teknik menggambar juga memungkinkan anak berlaku
konstruktif dan desktruktif. Sebagai contoh, anak dapat merusak
gambar yang sudah mereka buat dengan mencoret-coret sebagian
darinya yang menyimbolkan sesuatu yang membuatnya marah. Jika
mereka mau, mereka dapat merusak seluruh gambar dengan
menyobek-nyobeknya dan membuangnya.11 Anak dapat melakukan
hal yang berbeda-beda saat menggambar. Hal tersebut
menyimbolkan perasaan yang ada dalam dirinya. Misalnya, bila
marah maka ia akan merusak atau bahkan menyobek hasil
gambarnya sendiri.
Berdasarkan paparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
teknik menggambar merupakan media yang membantu individu
dalam mengekspresikan perasaan terpendam yang ada dalam
10 Kathryn Geldard dan David Geldard, Konseling Anak-Anak (Jakarta : Indeks, 2012), h. 258-259.
11 Ibid., h. 259.
-
16
dirinya sehingga mampu mengungkapkan konflik yang sedang
dialami.
b. Manfaat Teknik Menggambar
Terdapat banyak manfaat yang dapat konseli peroleh melalui
teknik menggambar. Buchalter menjelaskan bahwa menggambar
merupakan hal yang berwujud sehingga konseli tidak dapat
menyangkal perasaannya. Gambar berfungsi sebagai kumpulan
perasaan, masalah, kekhawatiran dan solusi berdasarkan
pandangan konseli sendiri. Kemudian, gambar juga berfungsi
sebagai sarana yang memfasilitasi komunikasi, pertumbuhan dan
wawasan.12
Selain itu, Malchiodi mengemukakan bahwa menggambar
menyediakan sarana aman bagi anak atau remaja untuk
mengkomunikasikan sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dalam
kata-kata. Kegiatan menggambar juga menyediakan ruang bagi
anak atau remaja untuk menceritakan pengalaman dan mengurangi
reactivity (ingatan mengenai kecemasan) melalui visual reexposure
(gambar yang mengembalikan situasi cemas) dalam media
12 Susan I. Buchalter, Art Therapy Techniques and Applications (London : Jessica Kingsley Publishers,
2009), h. 32-33.
-
17
menggambar.13 Jadi, menggambar dapat membantu konseli
mengungkapkan perasaan terpendamnya sehingga mampu
mengurangi kecemasan.
c. Bahan-Bahan Teknik Menggambar
Ada beberapa bahan yang dapat digunakan dalam
menggambar. Geldard dan Geldard mengemukakan bahwa bahan
yang dibutuhkan untuk menggambar adalah selembar kertas
gambar putih dan berwarna dengan berbagai ukuran, pensil, pena
warna, pastel, krayon, dan pena flouresen (highlighter) dengan
warna-warna cerah.14
Kemudian, Buchalter menjelaskan bahwa berbagai bahan
menggambar yang tersedia tergantung pada populasi dan konseli
yang berpartisipasi dalam sesi. Bahan yang dibutuhkan untuk
menggambar biasanya dua ukuran kertas yang berbeda (11 inchi ×
14 inchi dan 9 inchi × 12 inchi), spidol, krayon, pastel dan pensil
berwarna jika anggota kelompok meminta dan para peserta tidak
terlalu kaku. Konseli dapat membuat keputusan mengenai alat yang
mereka ingin gunakan sehingga dapat diterjemahkan ke dalam
13 Cathy A. Malchiodi, Handbook of Art Therapy (New York: Guilford Press, 2003), h. 149.
14 Kathryin Geldard dan David Geldard, op cit., h. 261.
-
18
peningkatan pengambilan keputusan dalam bidang kehidupan
lainnya juga.15
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
ada beberapa bahan yang digunakan dalam menggambar yaitu
kertas, spidol, krayon, pastel dan pensil berwarna. Konseli dapat
menentukan sendiri mengenai alat atau bahan apa saja yang akan
mereka gunakan saat menggambar.
d. Masalah Yang Dapat Ditangani Dengan Teknik Menggambar
Teknik menggambar dapat digunakan untuk menangani
berbagai masalah yang dialami berbagai kalangan khususnya
remaja. Malchiodi mengemukakan bahwa menggambar
menyediakan ruang bagi anak atau remaja untuk menceritakan
pengalaman dan mengurangi reactivity (ingatan mengenai
kecemasan) melalui visual reexposure (gambar yang
mengembalikan situasi cemas) dalam media menggambar.16
Berdasakan penelitian yang dilakukan oleh Wallin dan Durr (2002),
diketahui bahwa aktivitas menggambar dapat meningkatkan
15 Susan I. Buchalter, op cit., h. 31.
16 Cathy A. Malchiodi, op cit., h. 149.
-
19
kemampuan belajar sosial dan emosional pada anak.17 Berdasarkan
beberapa penjelasan tersebut, teknik menggambar membantu anak
atau remaja untuk menceritakan pengalaman yang dialaminya.
Selain itu, teknik menggambar pun mampu mengurangi kecemasan
dan meningkatkan kemampuan emosional.
Malchiodi juga menjelaskan bahwa konseli
mengeksternalisasi pikiran dan perasaannya melalui gambar visual
serta membantu melepaskan emosi. Dalam istilah psikologi, dikenal
sebagai catharsis (katarsis), emosi kuat yang dilepaskan untuk
kelegaan. Membuat gambar dan mendiskusikan gambar dapat
“katarsis” karena memberikan pelepasan perasaan menyakitkan
atau mengganggu. Proses kreatif pembuatan gambar juga dapat
mengurangi stres dengan mengubah suasana hati.18
Jadi, teknik menggambar dapat membantu individu untuk
meluapkan perasaan terpendam dalam dirinya sehingga mampu
mengurangi kecemasan dan stres.
17 Ken Wallin dan Marguerite Durr, Creativity and Expressive Arts Social Emotional Learning, Journal
Reclaiming Children and Youth, 2002, Volume 11, h. 30.
18 Cathy A. Malchiodi, Expressive Therapies (New York: Guilford Press, 2005), h. 19.
-
20
e. Tahapan Pelaksanaan Teknik Menggambar
Terdapat beberapa tahapan dalam pelaksanaan teknik
menggambar menurut Geldard dan Geldard yang digunakan untuk
anak SD (6-10 tahun), praremaja (11-13 tahun), dan remaja (14-17
tahun).
Beberapa anak merasa sulit untuk memulai jika mereka
diminta untuk menggambar. Ini bisa dikarenakan oleh sejumlah
alasan seperti berikut ini:19
1) Anak mempunyai citra diri yang buruk.
2) Anak terbiasa meniru daripada membuat sendiri.
3) Anak mempunyai pesan negatif mengenai kemampuannya
menggambar.
Untuk menangani kesulitan anak dalam memulai
menggambar dapat digunakan latihan pemanasan sebagai
berikut:20
19 Kathryn Geldard dan David Geldard, op cit., h 265.
20 Ibid.
-
21
1) Latihan pemanasan awal
Konselor sering memulai dengan menggunakan latihan
pemanasan yang diuraikan di bawah ini, yaitu “Chasey” dan “Tn
Squiggle”.21
a) Chasey22
Dengan selembar kertas yang lebar, konselor
menggunakan pena berwarna untuk membuat lingkaran di
kertas tersebut dengan terus menerus mengubah arah,
sementara anak dengan memakai pena yang warnanya
berbeda mencoba mengikuti dan mendekati konselor. Setelah
beberapa waktu, konselor berhenti memegang gambar ke atas
dan mengatakan, “Oh, apa yang kita gambar? Bisakah kamu
menemukan sesuatu dalam gambar itu?”, “Kelihatan seperti
ada sesuatu?” Jika anak tidak mempunyai ide, konselor dapat
memberi saran dengan idenya sendiri.
21 Ibid.
22 Ibid., h. 265-266.
-
22
b) Tn. Squiggle23
Anak diminta menggambar garis atau coretan di
lembaran kertas dan konselor kemudian menggunakan garis
ini untuk membuat sebuah gambar. Contohnya konselor dapat
menambahkan mata dan kumis pada coretan anak untuk
membuat gambar kucing.
2) Latihan pemanasan untuk membantu anak “berkontrak”
dengan perasaan24
Ketika anak mengatakan, “Saya tidak bisa menggambar”
atau “Saya tidak ingin menggambar”, konselor perlu
memfokuskan diri pada perasaaan anak. Langkah pertama
adalah membantu anak untuk merasakan apa yang dialami
tubuhnya. Konselor dapat mengatakan kepada anak, “Pejamkan
matamu” dan kemudian “Perhatikan apa yang dirasakan
tubuhmu”.
Sebagai tambahan, konselor dapat mengatakan sesuatu
seperti, “Perhatikan bahu kamu menyandar ke meja”, dan
“Seperti apa rasanya?” Sebuah pertanyaan kemudian diajukan
23 Ibid
24 Ibid., h. 266.
-
23
tentang kaki anak yang menampak di lantai. Anak selanjutnya
diminta untuk menggambar. Konselor dapat mengatakan,
“Dapatkah kamu merasakan kakimu menapak di lantai?” dan
“Coba buatkan gambar kaki kamu di lantai, untuk saya.”
Untuk memberikan kontras, konselor dapat mengatakan
kepada anak, “Berdirilah, pejamkan matamu, dan sentuh langit-
langit”, dan kemudian “Gambarkan bagaimana rasanya berdiri
tegak dan menyentuh langit-langit.” Anak juga bisa diminta untuk
meringkuk seperti bola di lantai dan kemudian menggambarkan
apa rasanya.
Sesudah melakukan latihan ini, kita selanjutnya dapat
menanyakan kepada anak tentang pengalamannya yang baru
saja berlalu. Sebagai contoh, “Apa yang kamu lakukan persis
sebelum kamu datang ke sesi ini?” Jawabannya mungkin, “Saya
mengendarai sepeda di jalan raya.” Konselor selanjutnya dapat
mengajukan pertanyaan sebagai berikut:
“Apa rasanya mengendarai sepeda di jalan raya?”
“Apa rasanya mengayuh pedal?”
“Apa rasanya menaruh tangan di setang sepeda?”
-
24
Begitu anak bisa merasakan apa yang dirasakan tubuh,
konselor dapat memintanya untuk menggambarkan perasaannya
dengan mengatakan, “Coba buatkan saya gambar yang
menunjukkan kepada saya bagaimana perasaanmu sekarang.”
Tujuan latihan pemanasan adalah membuat anak
merasakan perasaannya dan membantu anak untuk mulai
menggunakan media.
3) Menggunakan teknik menggambar25
Bagi anak dari usia delapan atau sembilan tahun ke atas,
menggambar yang melibatkan fantasi adalah tak ternilai
harganya. Ini memungkinkan mereka melepaskan emosi, yang
tidak diterima di lingkungan masyarakat seperti kebencian dan
kemarahan, serta mengekspresikan rahasia dan keinginannya.
Konselor dapat memulai dengan meminta anak untuk
menciptakan dunianya pada selembar kertas, menggunakan
bentuk-bentuk, garis, dan warna, serta dapat mengatakan,
“Bayangkan duniamu sebagai garis, bentuk, dan warna. Gunakan
seluruh kertas untuk menunjukkan kepada saya dimana orang-
orang, tempat, dan barang-barang berada di dalam duniamu.”
25 Ibid., h. 267-268.
-
25
Jika anak sudah selesai menggambar, konselor dapat
mengeksplorasi hubungan antar-bentuk dengan memperhatikan
kedekatan beberapa bentuk terhadap yang lain, atau jarak antar
beberapa bentuk dengan yang lain. Selanjutnya, konselor dapat
menggunakan pernyataan umpan balik untuk mendorong anak
membicarakan makna posisi relatif ini. Sebagai contoh, konselor
dapat menunjuk beberapa bentuk dan mengatakan, “Saya
perhatikan bentuk yang ada disini letaknya jauh dari bentuk yang
disini.”
Teknik menggunakan bentuk, garis, dan warna juga dapat
digunakan secara efektif untuk membantu anak menggambar
keluarganya. Sebagai contoh, konselor dapat mengatakan,
“Bayangkan masing-masing anggota keluargamu, dan
gambarkan mereka seolah mereka adalah bentuk, garis, atau
warna pada kertas kamu.”
Kadang-kadang konselor mungkin ingin membantu anak
untuk menemukan lebih banyak tentang dirinya sebagai seorang
individu. Cara yang baik untuk melakukan hal ini adalah meminta
anak membayangkan bahwa mereka adalah sebatang pohon.
Konselor dapat mengatakan, “Bayangkan kamu adalah pohon
dan buatlah gambar diri kamu sebagai sebatang pohon.”
-
26
Anak-anak kadang-kadang membutuhkan pemicu dan
bantuan untuk memulai setelah diberi instruksi di atas. Pada
keadaaan ini, konselor dapat mengajukan pertanyaan untuk
membantu anak menemukan kreativitasnya. Misalnya, dapat
menanyakan:
Jenis pohon apakah kamu?
Apakah ada buahnya?
Apakah besar?
Apakah tinggi?
Apakah ada bunganya?
Apakah bunganya banyak, atau hanya beberapa?
Seperti apa penampilan kamu di musim dingin?
Apakah ada dahanmu yang patah?
Apakah daun-daunmu kecil atau besar?
Apakah kamu tumbuh di dekat pohon lain, atau sendirian?
-
27
Setelah itu, kita dapat meminta anak untuk menguraikan
gambarnya dengan mengatakan, “Berpura-puralah menjadi
pohon itu, dan katakan kepada saya, apa rasanya di gambar itu?”
Konselor sering menemukan bahwa anak begitu
mengidentifikasikan dirinya dengan pohon yang digambarnya. Ini
sangat bermanfaat dalam membantu anak untuk mulai
membahas masalah-masalah pribadi.
4) Topik yang bermanfaat untuk menggambar26
Topik yang sesuai dapat dibahas dengan menggunakan
instruksi berikut ini :
Buatlah gambar ketika kamu bayi.
Buatlah gambar sakit kepalamu.
Buatlah gambar kemarahan kamu.
Buatlah gambar kecemasan kamu.
Buatlah gambar dimana kamu ingin berada jika kamu bisa
membuat mukjijat.
Buatlah gambar mimpimu.
26 Ibid., h. 268.
-
28
Buatlah gambar mimpi burukmu.
Dengan masing-masing gambar di atas, akan bermanfaat
jika kita mengeksplorasikan bagaimana anak merasa ketika
mereka melibatkan dirinya sendiri ke dalam gambar tersebut.
Sebagai contoh, jika anak menggambarkan dirinya sebagai bayi,
konselor dapat menanyakan, “Saya ingin tahu apa yang
dirasakan bayi itu?”
Jika ada orang lain atau benda lain dalam gambar,
konselor dapat menunjuk satu di antaranya dan mengatakan,
“Cobalah menjadi orang [benda] ini,” dan “Bagaimana rasanya?”.
Adapun tahapan teknik menggambar menurut Buchalter
yang akan dilakukan yaitu :27
1) Warm-up28
Warm-up adalah tahap awal dalam pelaksanaan
menggambar. Tujuan warm-up untuk membantu konseli
merasa tenang, santai, mengatur napas dengan baik, dan
bersosialisasi dengan anggota kelompok.
27 Susan I. Buchalter, op cit., h. 12-31.
28 Ibid., h. 12.
-
29
2) Mindfulness29
Tahap mindfulness membantu konseli untuk
memusatkan perhatiannya pada apa yang dia alami dan
membiarkan pikiran mengalir secara perlahan. Kemudian,
konseli diminta untuk menggambarkan kondisinya tersebut dan
dilanjutkan dengan membahas serta diskusi bersama konselor.
3) Drawing30
Tahap drawing merupakan tahap inti. Pada tahap ini,
konseli diminta untuk membayangkan kembali pengalaman
klien mengenai permasalahannya dan dilanjutkan dengan
menggambar. Konselor menggali permasalahan konseli melalui
gambar tersebut. Kemudian, konselor juga mengajak klien untuk
mencari pemecahan masalah yang dialami.
Pada pelaksanaannya menurut Chairani, terapi
menggambar akan dilakukan tiga kali dalam seminggu yang
terbagi dalam 6 kali pertemuan.31 Setiap pertemuan terdapat
29 Ibid., h. 24.
30 Ibid., h. 31.
31 Zul Chairani, Efektivitas Terapi Menggambar untuk Meningkatkan Kebermaknaan Hidup Warga
BInaan di Lembaga Permasyarakatan Narkotika Kelas IIA Yogyakarta, Yogyakarta: Fakultas Psikologi
-
30
tiga sesi utama yaitu relaksasi, menggambar, dan refleksi.
Terapi menggambar dalam penelitian ini dilakukan secara
berkelompok dengan pertimbangan agar subjek merasa
nyaman karena mengalami permasalahan yang sama dengan
subjek lain. Kegiatan terapi dalam kelompok juga diharapkan
memberi efek positif karena terdapat proses saling menguatkan
dan menerima informasi baru yang positif dari setiap subjek
yang ada di dalam kelompok.
f. Kecocokan Teknik Menggambar
Menggambar sangat cocok dan efektif digunakan pada anak
prasekolah dan sekolah dasar melalui kerja kelompok, konseling
individual, kelompok dan keluarga.32 Menggambar adalah teknik
yang paling bermanfaat untuk mengungkapkan perasaan dan
masalah melalui simbolik bagi masa pra-remaja sampai akhir
remaja. Teknik menggambar dapat digunakan pada pra remaja usia
11-13 tahun, remaja usia 14-17 tahun, dan akhir remaja usia 14-17
tahun.
Universitas Ahmad Dahlan, (Jurnal Psikologi Terapan dan Pendidikan, Vol. 1, No. 1, Agustus 2013),
h.9.
32 Kathryn Geldard dan David Geldard, op cit., h. 271.
-
31
Kecocokan teknik menggambar untuk siswa pra remaja
sampai akhir remaja dapat dilihat pada tabel kecocokan media dan
aktivitas untuk berbagai kelompok usia yang ada pada tabel 2.1
sebagai berikut :
Tabel 2.1
Tabel kecocokan media dan aktivitas untuk berbagai kelompok usia33
Usia
Media
Prasekolah
2-5 tahun
SD
6-10
tahun
Praremaja
11-13
tahun
Remaja
14-17
tahun
Buku/cerita
Lempung
Konstruksi
Menggambar
Melukis dengan jari
Permainan
Perjalanan khayalan
Permainan pura-pura
imajinatif
Hewan miniature
Melukis/
Menempel
Boneka
tangan/mainan
Baki pasir
Simbol/figure
Lembar kerja
Paling cocok
Cocok
Kurang cocok
33 Ibid., h. 216.
-
32
3. Kecemasan Sosial
a. Pengertian Kecemasan Sosial
Menurut La Grace dan Lopez, kecemasan sosial adalah
kondisi dimana individu menghindari hubungan sosial dan
mengalami perasaan stres yang bisa membawa hubungan buruk
dalam interaksinya dengan teman sebaya. Kecemasan sosial bisa
merusak hubungan dengan orang-orang yang seharusnya dekat
dan memiliki kontribusi untuk mendukung individu.34
Schlenker & Leary mengemukakan bahwa kecemasan sosial
melibatkan perasaan ketakutan, kesadaran diri, dan tekanan
emosional dalam situasi evaluasi sosial. Kecemasan sosial terjadi
ketika orang ingin membuat kesan yang baik tapi ragu bahwa
mereka akan berhasil. Harus ada keyakinan bahwa situasi
melibatkan pengawasan atau evaluasi oleh orang lain. Evaluasi
negatif mungkin terjadi dan dampaknya akan merugikan. Inti dari
kecemasan sosial yaitu individu takut bahwa dirinya dianggap
kurang atau tidak memadai dan akan ditolak oleh orang lain.35
34 Annette M. La Greca dan Nadja Lopez, Social Anxiety Among Adolescents: Linkages with Peer
Relations and Friendships, Journal of Abnormal Child Psychology, 1998, Vol. 26, No.2, h. 85.
35 Harold Leintenberg, Handbook Of Social And Evaluation Anxiety (New York: Plenum Press, 1990), h.
1.
-
33
American Psychiatric Association mengemukakan bahwa:
Kecemasan sosial adalah ketakutan yang menetap terhadap satu atau lebih situasi sosial yang terkait dan berhubungan dengan performa, yang membuat individu harus berhadapan dengan orang-orang yang tidak dikenalnya atau menghadapi kemungkinan diamati oleh orang lain, takut bahwa dirinya akan dipermalukan atau dihina.36
Menurut Butler, kecemasan sosial adalah istilah untuk
ketakutan, rasa gugup, dan kecemasan yang dirasakan seseorang
saat melakukan interaksi sosial dengan orang lain. Kecemasan
sosial menyerang seseorang ketika berpikir jika melakukan sesuatu
akan memalukan dirinya dan dinilai negatif oleh orang lain.37
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan
bahwa individu yang mengalami kecemasan sosial akan kesulitan
dalam interaksi sosial. Oleh sebab itu, individu sulit untuk berbicara
dan menjalin hubungan pertemanan karena perasaan takut serta
cemas yang ada dalam dirinya. Dengan adanya kesulitan tersebut,
individu yang mengalami kecemasan sosial menjadi takut
berhubungan atau berinteraksi sehingga terisolir oleh orang lain.
36 Debra A. Hope, et al., Managing Social Anxiety: A Cognitive Behavioral Therapy Approach (USA:
Gray Wind Publications Incorporated, 2000), h.4.
37 Gilian Butler, Overcoming Social Anxiety and Shyness: A self-helf using Cognitive Behavioral
Techniques (New York: Basic Book, 2008), h.1.
-
34
b. Aspek-Aspek Kecemasan Sosial
La Greca dan Lopez mengemukakan bahwa terdapat tiga
aspek kecemasan sosial yaitu : 38
1) Ketakutan akan evaluasi negatif39
Ketakutan akan evaluasi negatif yaitu kondisi dimana
individu mengalami ketakutan, kekhawatiran, kecemasan
mengenai evaluasi negatif dari teman sebaya.
2) Penghindaran sosial dan kesulitan—baru40
Penghindaran sosial dan kesulitan—baru yaitu rasa gugup
dan menghindar terhadap orang atau situasi yang baru.
3) Penghindaran sosial dan kesulitan—umum41
Penghindaran sosial dan kesulitan—umum ditandai
dengan rasa tidak percaya diri dan tidak nyaman dengan orang
yang dikenal atau situasi umum.
c. Dampak Kecemasan Sosial
Leitenberg mengemukakan bahwa terdapat beberapa
dampak kecemasan sosial. Dampak kecemasan yaitu menghambat
38 Annette M. La Greca dan Nadja Lopez, op cit, h. 86.
39 Ibid.
40 Ibid.
41 Ibid.
-
35
dan mengganggu kinerja dalam berbagai situasi seperti
menghambat perkembangan persahabatan dan hubungan seksual.
Dampak tersebut dapat mencegah tercapainya tujuan di sekolah,
tempat kerja, dan masyarakat. Kemudian, dampak ekstrim yang
dapat timbul yaitu berkembang menjadi gangguan kepribadian yang
serius (kepribadian menghindar) atau gangguan kecemasan.42
Berdasarkan penjelasan mengenai dampak kecemasan
sosial, dapat disimpulkan bahwa kecemasan dapat mengganggu
perkembangan persahabatan dan mencegah tercapainya tujuan di
sekolah, tempat kerja serta masyarakat. Selain itu, dampak yang
lebih parah yaitu dapat mengakibatkan siswa memiliki gangguan
menghindar dan kecemasan.
d. Karakteristik Kecemasan Sosial
Gillian Buttler mengungkapkan beberapa karakteristik yang
menunjukkan individu dengan kecemasan sosial yaitu :43
1) Menghindari situasi yang menyulitkan atau rumit (Subtle Kinds of
Avoidance)44
42Harold Leintenberg, op cit., h. 4.
43 Gillian Buttler, op cit., h.11.
44 Ibid.
-
36
Avoidance (menghindar) adalah tidak melakukan sesuatu
karena takut jika melakukan sesuatu akan membuat diri sendiri
cemas.
2) Perilaku yang aman (Safety Behaviors)45
Safety behavior (perilaku aman) yaitu melakukan sesuatu
untuk menjaga diri agar tetap aman. Banyak perilaku yang aman
(safety behaviors) melibatkan berusaha untuk tidak menarik
perhatian yang tidak diinginkan.
3) Menjauhi Masalah (Dwelling on The Problem)46
Kecemasan sosial dapat datang kapan saja, sebagian
karena sifat atau perilaku orang lain tidak dapat diprediksi dan
sebagian karena rasa takut itu dapat muncul secara tiba-tiba.
Antisipasi dari orang yang mengalami kecemasan sosial untuk
tidak terlalu terlibat masalah dengan memikirkan apa yang
akan dilakukannya bila terjadi masalah di masa yang akan
datang. Ketakutan dan kecemasan membuat seseorang sulit
untuk melihat ke masa depan dan mengikuti berbagai kegiatan
serta menikmati setiap kegiatan.
45 Ibid., h. 14.
46 Ibid., h. 14-15.
-
37
Orang dengan kecemasan sosial fokus terhadap apa
kesalahan yang mungkin akan dilakukannya dan
mengasumsikan apa reaksi orang lain terhadap dirinya serta
mengingat-ingat setiap kesalahan yang pernah dilakukannya.
4) Self Esteem, Self Confidence and Feelings of Inferiority47
Kecemasan sosial menjadikan seseorang merasa
berbeda dengan orang lain, selalu berpikiran negatif-merasa
lebih buruk dari orang lain, merasa aneh, sehingga itu akan
mempengaruhi self-esteem dan kepercayaan diri. Orang yang
memiliki kecemasan sosial akan berpikir orang lain akan
mengabaikan atau tidak mempedulikan dirinya sehingga
mengartikan setiap pandangan dan perbincangan orang lain
terhadap dirinya sebagai tanda mereka berpikir buruk terhadap
dirinya. Kemudian, orang yang memiliki kecemasan sosial
mengevaluasi diri secara negatif dan melihat kelemahan diri
sehingga orang yang memiliki kecemasan sosial hidup dalam
ketakutan.
5) Demoralization and Depression; Frustration and Resentment
(Hilang Semangat dan Depresi; Frustrasi dan Kebencian/Rasa
Marah)48
47 Ibid., h. 16.
-
38
Merasa frustrasi terhadap kepribadian diri sendiri,
sehingga kecemasan sosial membuat putus asa. Orang yang
memiliki kecemasan sosial juga dapat merasa depresi seperti
orang yang marah dan benci saat menemukan orang lain
sangat mudah melakukan sesuatu yang menurut dirinya
sangat sulit untuk dilakukan.
6) Effect on Performance49
Kesulitan terbesar dari orang yang mengalami kecemasan
sosial adalah saat kecemasan sosial mengganggu kehidupan
sehari-hari dan kemampuan untuk merencanakan kegiatan.
Individu menjadi sulit menunjukan kemampuan yang
sebenarnya dan mencegah meraih hal yang diinginkan.
e. Faktor-Faktor Kecemasan Sosial
Menurut Durand dan Barlow, ada tiga faktor yang dapat
menyebabkan kecemasan sosial yaitu :50
1) Individu dapat mewarisi kerentanan biologis menyeluruh
untuk mengembangkan kecemasan atau kecenderungan
48 Ibid., h. 17.
49 Ibid.
50 David H. Barlow dan V. Mark Durand, Abnormal Psychology: An Integrative Approach 7th Edition
(Canada: Cengage Learning, 2015), h.152-153.
-
39
biologis untuk menjadi sangat terhambat secara sosial.
Eksistensi kerentanan psikologis menyeluruh seperti tercermin
pada perasaan atas berbagai peristiwa, khususnya peristiwa
yang sangat menimbulkan stres, mungkin tidak dapat
dikontrol sehingga akan mempertinggi kerentanan individu.
Individu yang berada dalam kondisi stres mengalami kecemasan
dan perhatian yang difokuskan pada diri sendiri serta dapat
meningkat sampai ke titik yang mengganggu kinerja, bahkan
disertai oleh adanya alarm (serangan panik).
2) Individu yang berada dalam kondisi stres mungkin mengalami
serangan panik yang tidak terduga pada sebuah situasi
sosial yang selanjutnya akan dikaitkan (dikondisikan) dengan
stimulus-stimulus sosial. Individu kemudian akan menjadi
sangat cemas tentang kemungkinan untuk mengalami alarm
(serangan panik) lain (yang dipelajari) ketika berada dalam
situasi-situasi sosial yang sama atau mirip.
3) Individu mungkin mengalami sebuah trauma sosial yang
menimbulkan alarm aktual. Kecemasan lalu berkembang
(terkondisi) di dalam situasi-situasi sosial yang sama atau mirip.
Pengalaman sosial yang traumatik mungkin juga meluas kembali
ke masa-masa sulit di masa kanak-kanak. Masa remaja awal
-
40
biasanya antara umur 12 sampai 15 tahun adalah masa
ketika anak-anak mengalami serangan brutal dari teman-
teman sebayanya yang berusaha menanamkan dominasi
mereka. Pengalaman ini dapat menghasilkan kecemasan dan
panik yang direproduksi di dalam situasi-situasi sosial di masa
mendatang.
4. Cyberbullying
a. Pengertian Cyberbullying
Kowalski, Limber, dan Agaston mendefinisikan cyberbullying
sebagai tindakan bullying yang terjadi karena kemajuan teknologi
yaitu telepon seluler dan internet.51 Sedangkan, Willard menjelaskan
bahwa cyberbullying yaitu berbicara memfitnah, termasuk bullying,
pelecehan atau diskriminasi, dan mengungkapkan informasi pribadi
yang berisi komentar yang menyinggung, vulgar, dan menghina.52
Patchin dan Hinduja mengemukakan bahwa secara
konseptual terdapat beberapa elemen dalam menentukan definisi
cyberbullying. Pertama, melibatkan penggunaan teknologi untuk
51 Robin M. Kowalski, Susan P. Limber, dan Patricia W. Agaston, Cyberbulling: bullying in the digital
age (USA : Wiley-Blackwell, 2008), h. 1
52 Shaheen Shariff, Cyber-bullying: issues and solutions for the school, the classroom and the home
(New York : Taylor & Francis, 2008), h. 41
-
41
menggertak orang lain. Teknologi yang digunakan untuk
cyberbullying bisa saja komputer, ponsel, tablet, wifi kamera digital,
atau perangkat elektronik lainnya. Kedua, melibatkan kondisi yang
membahayakan. Korban atau target cyberbullying mengalami
dampak negatif (psikologis, emosional, dan sosial) dengan adanya
kejadian itu. Ketiga, cyberbullying adalah perilaku yang diulang-
ulang. Cyberbullying terjadi secara berulang-ulang seperti bullying
tradisional. Cyberbullying adalah ketika seseorang berulang kali
melecehkan, menganiaya, atau mengolok-olok orang lain secara
online atau saat menggunakan ponsel atau perangkat elektronik
lainnya.53
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan
bahwa cyberbullying adalah tindakan mengganggu dan melecehkan
seseorang melalui internet. Cyberbullying merupakan hasil dari
kemajuan teknologi.
b. Bentuk-Bentuk Cyberbullying
Willard mengemukakan delapan perilaku yang termasuk
dalam cyberbullying yaitu flaming, harassment, denigration,
53 Justin W. Patchin dan Sameer Hinduja, Cyberbullying Prevention And Response: Expert Perspective
(New York : Taylor & Francis, 2012), h. 14-15.
-
42
impersonation, outing and trickery, exclusion/ostracism,
cyberstalking, dan happy slaping.54
1) Flaming
Flaming mengacu pada kebencian antara dua atau lebih
individu melalui teknologi komunikasi. Flaming dapat terjadi di
chat room atau di grup diskusi. Flaming ini berupa mengirimkan
pesan yang menghina, menggunakan bahasa yang kasar, dan
perdebatan tanpa dasar yang kuat.
2) Harrasment (pelecehan)
Black’s Law Dictionary mendefinisikan harassment
sebagai kata-kata, perilaku atau tindakan (biasanya dilakukan
secara berulang), atau menyebabkan penderitaan secara emosi
terhadap individu. Bentuk harassment berupa posting berulang
kali di suatu forum atau mengirimkan pesan yang tidak pantas
melalui media sosial. Kemudian, mengirim pesan spam dengan
jumlah belasan hingga ratusan pesan juga termasuk tindakan
harassment.
3) Denigration (pencemaran nama baik)
Denigration adalah menyampaikan informasi yang tidak
benar mengenai individu yang bertujuan merusak reputasi atau
54 Robin M. Kowalski, Susan P. Limber, dan Patricia W. Agaston, op cit., h. 46-51.
-
43
nama baik. Contoh dari denigration yaitu menyebarluaskan aib
(benar atau tidak) dengan tujuan untuk mencela, merusak
reputasi, dan pertemanan.
4) Impersonation (peniruan)
Impersonation yaitu menggunakan akses akun orang lain
tanpa meminta izin. Mengubah privasi akun orang lain juga
termasuk dalam impersonation. Kemudian, pelaku cyberbullying
menyebarkan informasi tidak sesuai kepada orang lain. Contoh
impersonation adalah menggunakan password korban untuk
mengakses akunnya.
5) Outing and Trickery (menyebarkan rahasia pribadi dan penipuan)
Outing dan trickery mengacu pada membagi informasi
pribadi yang memalukan kepada orang lain. Informasi ini
seharusnya tidak perlu disebarluaskan. Korban dibujuk untuk
mengungkapkan rahasianya dan pelaku menyebarkannya
kepada orang lain.
6) Exclusion / Ostracism (pengeluaran)
Exclusion/ostracism merupakan pengucilan secara online
yang terjadi dalam lingkungan yang dilindungi oleh kode sandi.
Dalam beberapa kasus, dikucilkan terjadi ketika seseorang tidak
merespon secara cepat email yang dikirimkan kepada mereka.
-
44
Contoh exclusion/ostracism yaitu sengaja memblokir,
mengabaikan, mengasingkan atau mengucilkan seseorang dari
grup online.
7) Cyberstalking
Cyberstalking mengacu pada penggunaan komunikasi
elektronik untuk menguntit, melecehkan, dan mengancam yang
dilakukan secara berulang kali. Black’s Law Dictionary
mendefinisikan stalking sebagai suatu tindakan mengikuti orang
lain secara diam-diam atau mengikuti orang lain secara diam-
diam dengan tujuan untuk mengganggu atau melecehkan orang
lain.
8) Happy Slapping
Remaja biasanya melakukan intimidasi terhadap remaja
lain dengan menggunakan kamera handphone. (ponsel).
Intimidasi yang dilakukan pelaku cyberbullying berupa ancaman
dan menyebarluaskan foto atau video yang tidak baik.
Berdasarkan bentuk-bentuk cyberbullying tersebut, peneliti
membatasi menjadi tiga bentuk cyberbullying yaitu flaming,
impersonation, dan happy slapping. Peneliti membatasi tiga
bentuk cyberbullying berdasarkan fenomena yang ada, antara
lain :
-
45
1) Yana Choria Utami menjelaskan bahwa cyberbullying
didapatkan melalui direct attact dan by proxy. Direct attact ,
yaitu berbentuk pesan langsung/ hinaan, ejekan, dan
ancaman. Sedangkan by proxy adalah pengambilan alih
account. Dampak dari cyberbullying mengakibatkan perubahan
sikap dan timbulnya pengucilan terhadap korban. Temuan
data di lapangan menunjukkan bahwa, terdapat bentuk-bentuk
cyberbullying yang diterima mulai facebok di-hack sampai
diolok-olok atau dihina di media sosial. Bentuk-bentuk
cyberbullying tersebut, yaitu cyberbullying direct attact dan
cyberbullying by proxy. Bentuk cyberbullying disini berbentuk
tulisan yang langsung ditujukan terhadap korban, bisa melalui
pesan langsung atau pun timeline di facebook atau twitter.
Cyberbullying by proxy bentuk cyberbullying ini berbeda
dengan yang pertama pada bentuk ini account seseorang
diambil alih dan semua informasi bisa diganti-ganti tanpa
sepengetahuan pemilik account. Dapat dilihat di sini bahwa
cyberbullying yang diperoleh siswa remaja tidak hanya dalam
bentuk direct attact. Mereka juga mendapatkan bullying dalam
bentuk proxy. Hal tersebut menandakan bahwa pelaku lebih
pintar dalam hal teknologi informasi, atau pengetahuan dalam
-
46
dunia teknologi informasi mereka sudah di atas rata-rata
daripada korban, sehingga mereka dengan mudah membobol
account.55 Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa terdapat bentuk cyberbullying yaitu flaming dan
impersonation.
2) Kasus bunuh diri yang diakibatkan bullying di media sosial.
Salah satunya adalah kasus yang dialami oleh Amanda Todd.
Kasus yang sempat menggemparkan Kanada ini berawal dari
foto topless Amanda yang tersebar di jejaring sosial. Foto
tersebut diambil saat ia masih berada di kelas 7. Saat itu
Amanda berkenalan dengan seorang pria tak dikenal di
internet, melalui layanan videocam pria tersebut membujuk
Amanda agar mau memperlihatkan payudaranya. Setahun
setelahnya, pria tersebut kemudian mengancam Amanda akan
menyebarkan rekaman video itu jika Amanda tidak mau
mempertontonkan daerah pribadinya kepada pria itu.
Puncaknya, sebuah akun di facebook menggunakan foto bugil
Amanda sebagai foto profil lalu mengontak teman-teman
sekolah Amanda. Pada 10 Oktober 2012, Amanda ditemukan
tewas di rumahnya. Kasus cyberbullying juga dialami oleh
55 Yana Choria Utami, Cyberbullying di Kalangan Remaja (Studi tentang Korban Cyberbullying di
Kalangan Remaja di Surabaya), Skripsi, Universitas Airlangga, 2014
-
47
Yoga Cahyadi. Pada Sabtu 26 Mei 2013, pria asal Yogyakarta
ini melakukan tindakan nekat dengan menabrakkan diri ke
kereta api yang tengah melintas. Diduga kuat Yoga yang akrab
dipanggil Kebo, memilih mengakhiri hidupnya karena tekanan
dan hujatan akibat gagalnya acara hiburan Lockstock Fest#2.
Sebagai ketua penyelenggara, ia dianggap orang yang paling
bertanggung jawab atas kegagalan acara tersebut.56
Berdasarkan penjelasan mengenai kedua kasus bunuh diri
tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat bentuk
cyberbullying yaitu happy slaping dan flaming.
Teknik menggambar dapat membantu individu
mengungkapkan perasaan terpendam sehingga tiga bentuk
cyberbullying yaitu flaming, impersonation, dan happy slaping
dapat ditangani melalui intervensi berupa teknik menggambar
dalam art therapy.
c. Faktor-Faktor Terjadinya Cyberbullying
Shariff mengemukakan bahwa terdapat faktor-faktor yang
mendorong terjadinya cyberbullying yaitu :57
56 http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20140910112008-255-2906/ketika-bullying-berujung-
maut/ , diakses pada tanggal 23 November 2015.
57 Shaheen Shariff, op cit., h. 28.
-
48
1) Latar belakang etnis dan agama lebih sering dikaitkan dengan
laki-laki yang lebih tua sebagai alasan untuk bullying, sedangkan
jenis kelamin lebih sering dijadikan sebagai alasan diskriminasi
oleh laki-laki remaja sebagai ejekan (pelecehan seksual).
2) Persepsi kaya atau miskin dan latar belakang keluarga menjadi
perhatian yang minim, tapi cara seseorang dalam berpenampilan
dan berpakaian merupakan motivasi yang signifikan untuk
bullying, terutama pada anak perempuan.
3) Anak laki-laki menyerang anak yang rajin lebih sering
dibandingkan anak perempuan pada masa remaja, tapi
"kepandaian" korban memotivasi siswa dari kedua jenis kelamin
untuk melakukan tindakan bullying sampai kelas 11. Masalah
belajar dan kurangnya bakat olahraga juga menjadi motivasi bagi
anak-anak melakukan bullying sampai kelas 11.
4) Being different (berbeda) menyebabkan tindakan diskriminasi
dengan sedikit pengurangan sampai kelas 11. Hal ini terutama
berlaku bagi siswa yang baru dalam lingkungan sekolah dan
berbicara dengan aksen yang berbeda.
d. Dampak Cyberbullying
Terdapat beberapa dampak cyberbullying yang dapat
menimpa korban. Patchin dan Hinduja mengungkapkan bahwa
-
49
dampak cyberbullying yaitu rendahnya harga diri (lower self-
esteem), kecemasan yang tinggi (heightened anxiety),
meningkatnya jumlah ketidakhadiran di sekolah (a higher number of
school absences), perilaku agresif (aggressive behavior),
penyalahgunaan zat (substance abuse), dan gejala fisik yang lebih
besar (greater physical symptomology). Konsekuensi cyberbullying
juga dapat relatif besar terhadap individu yang mendapat intimidasi
bullying tradisional. Salah satu alasannya mungkin anonimitas yang
melekat pada banyak kasus cyberbullying. Identitas pelaku yang
tidak dapat diketahui dapat meningkatkan perasaan
ketidakberdayaan korban.58
Hasil Penelitian Rigby menunjukkan bahwa siswa laki-laki
yang mengalami cyberbullying mengaku merasa marah, sedangkan
siswa perempuan lebih menunjukkan perilaku sedih. Sebanyak 63%
siswa laki-laki merasa marah dan sebanyak 39% siswa perempuan
menunjukkan reaksi marah.59
58 Justin W. Patchin dan Sameer Hinduja, op cit., h. 24.
59 Ken Rigby, Bullying in School and what to do about it (Australia : ACER Press, an imprint of
Australian Council for Educational Research Ltd, 2007), h. 50
-
50
Berikut dampak psikologis cyberbullying yaitu :60
1) Harga diri
Efek yang sangat besar dalam tindakan cyberbullying yaitu
menurunkan harga diri pada korban. Harga diri rendah disini yang
disampaikan oleh Rosenberg (1986) yaitu siswa yang
mempunyai harga diri yang rendah setuju dengan pernyataan
berikut: “saya merasa tidak punya apa-apa yang bisa
dibanggakan, “saya merasa diri saya tidak mempunyai kelebihan
apapun”, “saya selalu berharap bisa menghargai diri sendiri”,
“semua itu menunjukan saya memang gagal”.
2) Dikucilkan (Isolation)
Siswa yang mengalami cyberbulying biasanya hanya
memiliki sedikit teman. Siswa yang menjadi korban dianggap
lemah sehingga hanya sedikit siswa lain yang mau berteman
dengannya. Dengan demikian, siswa korban cyberbullying
menjadi terisolasi sehingga menyebabkan rendahnya rasa
percaya diri yang mengakibatkan mereka dikucilkan.
3) Ketidakhadiran (Absenteeism)
Sudah biasa terjadi bahwa siswa yang menjadi korban
cyberbulying yang parah dan berkelanjutan menyebabkan siswa
60 Ibid., h. 50-57.
-
51
mencari berbagai alasan untuk tidak pergi ke sekolah. Orang tua
yang menyatakan bahwa anaknya sakit agar tidak pergi ke
sekolah merupakan indikasi anaknya merupakan siswa korban
cyberbullying.
4) Reaksi Emosional
Korban cyberbulying yang masih bisa meluapkan marah
pada saat perlakuan bullying mungkin bisa mengurangi perlakuan
cyberbullying karena bisa membalas perlakuan itu dengan marah
pada pelaku cyberbullying. Namun, korban cyberbullying yang
hanya bisa sedih saat mendapat perlakuan bullying tidak bisa
berbuat apa-apa selain merasa sedih sehingga lebih rentan
mendapatkan perlakuan bullying secara terus-menerus.
5) Efek domino
Siswa yang menjadi korban cyberbullying secara terus
menerus menyebabkan mereka tidak mampu membalas
perlakuan tersebut. Korban cyberbullying cenderung melakukan
cyberbullying pada orang lain atau kelompok lain yang lebih
lemah dari dirinya.
6) Dampak dalam pendidikan
Siswa yang menjadi korban cyberbullying akan mengalami
dampak yang lebih besar pada bagian kegiatan akademik.
-
52
Biasanya mereka tidak dapat mengerjakan berbagai tugas
sekolah karena mendapatkan perlakuan cyberbullying. Mereka
juga tidak hadir sekolah sehingga kemajuan prestasi
akademiknya sangat lambat. Anak yang menjadi korban
cyberbullying biasanya terkucilkan sehingga mereka tidak mampu
mengembangkan keterampilan sosial di sekolah dan menurunkan
prestasi akademik.
7) Bunuh diri
Ada hubungan secara tidak langsung antara perlakuan
cyberbullying dengan perilaku bunuh diri di sekolah. Tidak boleh
dilupakan bahwa beberapa anak yang bunuh diri ada yang
disebabkan oleh perlakuan cyberbullying di sekolah. Meskipun
hubungannya tidak langsung antara perlakuan cyberbullying
dengan perilaku bunuh diri di Australia menunjukan hasil bahwa
anak yang melakukan bunuh diri beberapa diantaranya ternyata
merupakan anak yang menjadi korban cyberbullying di sekolah.
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Kowalski dan
Limber mengungkapkan bahwa korban cyberbullying memiliki
tingkat kecemasan sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan
individu yang tidak terlibat dengan cyberbullying.61
61 Robin M. Kowalski, Susan P. Limber, dan Patricia W. Agaston, op cit., h. 84.
-
53
Berdasarkan paparan di atas, terdapat beberapa dampak
mengenai cyberbullying. Hasil studi pendahuluan yang telah
dilakukan oleh peneliti, dampak yang paling dominan muncul
adalah kecemasan sosial berupa ketakutan dinilai negatif oleh
teman sebaya. Korban cyberbullying memiliki kecemasan sosial
yang tinggi.
5. Remaja
a. Pengertian Remaja
Menurut Hurlock (1991), istilah adolescence atau remaja
berasal dari kata adolescence (kata benda adolscentia yang berarti
remaja) yaitu “tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescence yang
dipergunakan saat ini mempunyai arti yang lebih luas, yaitu
mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik.62
Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara
masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai
pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia belasan tahun
atau awal dua puluhan tahun.63
62 Hurlock, E.B., Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (Jakarta:
Erlangga, 1991), h.215.
63 Papalia, DE, Olds SW, Feldman RD, Human Development 8th ed. (Boston: McGraw-Hill, 2001),
h.152.
-
54
Remaja menurut Sarwono (2005) adalah individu yang
berumur antara 10-20 tahun. Adapun tahap perkembangan remaja
yaitu, remaja awal (12-14 tahun), remaja tengah (15-17 tahun), dan
remaja akhir (18-21 tahun).64
1) Remaja awal (12-14 tahun), suka membandingkan diri dengan
orang lain, mudah dipengaruhi dengan teman sebayanya dan
lebih senang bergaul dengan teman sejenis.
2) Remaja tengah (15-17 tahun), senang dengan keadaan sendiri,
senang berdiskusi dan mulai berteman dengan lawan jenis, serta
mampu mengembangkan rencana masa depan.
3) Remaja akhir (18-21 tahun), mulai memisahkan diri dari keluarga
dan identitas, bersifat keras tetapi tidak berontak, teman sebaya
tidak lagi penting, berteman dengan lawan jenis yang lebih dekat
dan fokus pada rencana masa depan.
b. Karakteristik Remaja
Karakteristik atau sifat-sifat khas anak usia remaja
mempengaruhi pola perilaku usia anak yang muncul di usia remaja.
Adapun beberapa karakteristik dari anak usia remaja adalah:65
64 Sarlito W. Sarwono, Psikologi Remaja (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2005), h.28.
65 Papalia, DE, Olds SW, Feldman, op.cit., h. 185.
-
55
1) Masa remaja merupakan periode penting artinya segala sesuatu
yang terjadi baik jangka pendek maupun jangka panjang
berakibat langsung terhadap sikap dan perilaku mereka.
2) Masa remaja merupakan periode peralihan artinya anak beralih
menjadi dewasa dan meninggalkan sesuatu yang bersifat
kekanak-kanakan dan mempelajari perilaku baru untuk
menggantikan perilaku dan sikap yang sudah ditinggalkan.
3) Masa remaja merupakan periode perubahan yang mencakup
perubahan emosi, perubahan proporsi tubuh, minat, perilaku, dan
nilai yang dianut.
4) Masa remaja merupakan masa mencari identitas.
5) Usia remaja merupakan usia yang menimbulkan beberapa
pertentangan dengan orangtua.
6) Masa remaja merupakan masa yang tidak realistik, hal ini
disebabkan sudut pandang mereka terhadap sesuatu dan
menjadikannya cermin.
7) Masa remaja sebagai ambang masa dewasa artinya mereka
akan merubah stereotip baru menjadi remaja dewasa dengan
melakukan peran baru menjadi sosok orang dewasa dalam hal
perilaku dan sikap serta tindakan sehingga memberikan citra
yang mereka inginkan.
-
56
c. Masalah-Masalah Remaja
Menurut Hurlock ada beberapa masalah yang dialami remaja
dalam memenuhi tugas-tugas tersebut, yaitu:66
1) Masalah pribadi, yaitu masalah-masalah yang berhubungan
dengan situasi dan kondisi di rumah, sekolah, kondisi fisik,
penampilan emosi, penyesuaian sosial, tugas, dan nilai-nilai.
2) Masalah khas remaja, yaitu masalah yang timbul akibat status
yang tidak jelas pada remaja, seperti masalah pencapaian
kemandirian, kesalahpahaman atau penilaian berdasarkan
stereotip yang keliru, adanya hak-hak yang lebih besar dan lebih
sedikit kewajiban dibebankan oleh orangtua.
B. Hasil Penelitian Yang Relevan
Terdapat beberapa penelitian relevan yang mendukung penelitian
ini, yaitu :
1. Khairunnisa (2013) menjelaskan bahwa sering kali seseorang
mengalami rasa cemas karena kekhawatiran dan ketakutan yang
berlebihan. Kecemasan adalah suatu keadaan emosional yang tidak
memberi respon terhadap sesuatu yang tidak menyenangkan, yang
66 Hurlock, E.B., op.cit., h. 241.
-
57
muncul dengan tiba-tiba dan sulit dijelaskan. Kecemasan kerap
menimpah korban cyberbullying. Cyberbullying merupakan perilaku
bullying yang dilakukan melalui media internet atau teknologi digital.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui gambaran kecemasan,
dampak dari kecemasan serta mengapa kecemasan dapat timbul pada
korban cyberbullying yang menggunakan facebook. Subjek dalam
penelitian ini adalah remaja yang mengalami cyberbullying dan
pengguna facebook aktif sebelum mengalami cyberbullying. Jumlah
subjek berjumlah 2 orang. Penelitian ini menggunakan metode
pendekatan kualitatif yaitu pendekatan yang menghasilkan dan
mengolah data yang bersifat deskriptif, seperti wawancara dan
observasi. Hasil dari penelitian ini subjek mengalami kecemasan yang
berbeda, terlihat dari jenis cyberbullying yang di alami. Jenis
cyberbullying dapat mempengaruhi bentuk kecemasan sehingga
terlihat kecemasan yang begitu dominan dan tidak dominan.67
2. Penelitian yang dilakukan oleh Raul Navarro et al. (2012) yang
berjudul “Children’s Cyberbullying Victimization: Associations with
Social Anxiety and Social Competence in a Spanish Sample”
menjelaskan bahwa kecemasan sosial (takut akan evaluasi negatif)
67 Khairunissa, Kecemasan pada Korban Cyberbullying yang Menggunakan Facebook, Skripsi,
Psikologi, Universitas Gunadarma, 2013.
-
58
meningkatkan kemungkinan korban cyberbullying. Social Anxiety
Scale for Children-Revised (SASC-R, La Greca dan Stone) digunakan
untuk mengukur kecemasan dalam situasi sosial dengan teman
sebaya. Namun, penelitian ini mengukur kecemasan sosial
menggunakan versi Spanyol yang diadaptasi oleh Sandin et al. yang
berisi 18 item.68
3. Penelitian “Cyberbullying: A new kind of peer bullying through online
technology and its relationship with aggression and social anxiety” oleh
Serra İçellioğlua & Melis Seray Özden (2013), menemukan bahwa
cyberbullying menjadi masalah yang telah timbul dengan peningkatan
penggunaan internet dan perangkat teknologi lainnya. Dalam
penelitian ini, terdapat korelasi antara perilaku cyberbullying dan skor
kecemasan sosial serta kemarahan (anger).69
4. Zul Chairani melakukan penelitian “Efektivitas Terapi Menggambar
untuk Meningkatkan Kebermaknaan Hidup Warga Binaan di Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Yogyakarta” yang bertujuan
68 Raul Navarro et al., Children’s Cyberbullying Victimization: Associations with Social Anxiety and
Social Competence in a Spanish Sample, Journal of Child Indicator Research, Vol 5, h. 281–295,
(Spanyol: Springer, 2012).
69 Serra İçellioğlua dan Melis Seray Özden, Cyberbullying: A new kind of peer bullying through online
technology and its relationship with aggression and social anxiety, Journal of Social and Behavioral
Science, (Istanbul: Elsevier, 2013).
-
59
mengetahui efektivitas dari terapi menggambar untuk meningkatkan
kebermaknaan hidup warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan
Narkotika Kelas IIA Yogyakarta. Subjek dalam penelitian ini adalah
warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA
Yogyakarta. Zul Chairani menggunakan rancangan penelitian yang
pretest-posttest control group design. Subjek diberi perlakuan berupa
terapi menggambar yang terdiri dari tiga tahapan antara lain adalah
warm up, mindfulness, dan drawing. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa terapi menggambar efektif meningkatkan kebermaknaan hidup
warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA
Yogyakarta.70
5. Berdasarkan penelitian Safaria Triantoro dan Yunita Astrid (2014)
mengenai “The efficacy of art therapy to reduce anxiety among”
menemukan bahwa banyak korban bullying menunjukkan sejumlah
masalah psikologis. Salah satu dampak negatif yang dialami adalah
kecemasan. Tujuan dari penelitian ini untuk mengurangi kecemasan
pada korban bullying menggunakan terapi seni (menggambar).
Kuesioner kecemasan digunakan untuk mengukur tingkat kecemasan.
Intervensi terapi seni dilakukan sebanyak 5 sesi selama 2 minggu.
70 Zul Chairani, Efektivitas Terapi Menggambar untuk Meningkatkan Kebermaknaan Hidup Warga
Binaan di Lembaga Permasyarakatan Narkotika Kelas IIA Yogyakarta, (Jurnal Psikologi Terapan dan
Pendidikan, Vol. 1, N. 1, Agustus 2013, h. 20.
-
60
Subyek penelitian sebanyak 10 siswa yang telah mengalami
kecemasan. Subyek dibagi menjadi eksperimental kelompok dan
kelompok kontrol. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat
kecemasan antara kelompok eksperimen berkurang, tetapi tidak untuk
kelompok kontrol (p
-
61
C. Kerangka Berpikir
Seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi, fenomena
cyberbullying di Indonesia saat ini semakin banyak terjadi. Penggunaan
media sosial dan media elektronik yang tidak digunakan dengan baik
telah menimbulkan dampak negatif yaitu tindakan cyberbullying. Remaja
yang menjadi korban cyberbullying mengalami peningkatan kecemasan
sosial antara lain kekhawatiran mengenai evaluasi negatif dari teman
sebaya, rasa gugup terhadap orang atau situasi yang baru, dan rasa
tidak percaya diri dan tidak nyaman dengan orang yang dikenal. Oleh
karena itu, diperlukan strategi intervensi dengan art therapy dalam bentuk
teknik menggambar melalui layanan bimbingan dan konseling untuk
menangani siswa korban cyberbullying yang mengalami kecemasan
sosial.
Art therapy merupakan kegiatan yang memberikan kebebasan
bagi individu dalam mengembangkan kreativitas untuk membantu
menyelesaikan masalahnya. Menggambar termasuk bagian dari art
therapy. Menggambar adalah kegiatan yang memberikan kesempatan
individu untuk mengkomunikasikan pikiran, perasaan, dan masalahnya.
Teknik dengan menggambar dapat membantu siswa mengungkapkan
perasaan yang terpendam dan mengurangi pengalaman trauma serta
kecemasan. Siswa korban cyberbullying dapat mengungkapkan perasaan
-
62
terpendam yang ada dalam dirinya melalui kegiatan menggambar
sehingga membantu mengurangi kecemasan dalam dirinya.
Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian yang relevan,
cyberbullying dapat mengakibatkan dampak negatif maka siswa di
sekolah perlu mendapat informasi yang tepat mengenai penggunaan dan
dampak media sosial sehingga mampu memfilter dirinya dari tindakan
cyberbullying. Peranan guru dan guru BK dalam memberikan informasi
terkait cyberbullying sangat memberikan manfaat dalam membantu siswa
menjalin interaksi sosial yang baik dengan teman-temannya di sekolah
maupun di luar sekolah.
Dampak cyberbullying dapat mengganggu efektivitas belajar di
sekolah karena korban menahan rasa takut dan mengalami kecemasan
sosial. Hal tersebut dapat menghambat mencapai prestasi secara
optimal. Oleh karena itu, remaja yang menjadi korban cyberbullying
memerlukan intervensi melalui teknik menggambar agar mampu
mengatasi stres, pengalaman trauma, dan menurunkan kecemasan
sosial.
D. Hipotesis Penelitian
Terdapat pengaruh teknik menggambar untuk mengurangi
kecemasan sosial terhadap korban cyberbullying siswa kelas VIII
SMPN 259 Jakarta Timur.