bab ii dasar teori - · pdf filelocal buckling dari dinding pipa karena tekanan eksternal,...
TRANSCRIPT
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 1
BAB II DASAR TEORI
PERENCANAAN PIPA DAN EXPANSION SPOOL PADA PIPA PENYALUR SPM
2.1. UMUM
Pada bab ini akan dijelaskan dasar teori perhitungan yang digunakan dalam keseluruhan tahap
pendesainan, seperti Teori Pendesainan Pipa, Teori Gelombang dan Teori tentang pengaruh
thermal expansion.
Dalam proses pendesainan suatu jalur pipa bawah laut, langkah pertama yang harus
diperhatikan tebalnya dinding struktur (pipa) yang akan digunakan. Struktur (pipa) tersebut
harus cukup kuat untuk menahan berbagai beban yang bekerja selama masa umur layannya.
Dan seperti yang telah diketahui, kondisi dasar laut (seabed) tidaklah mulus seperti sebuah
lapangan sepak bola, melainkan berkontur‐kontur. Oleh karena itu diperlukan juga analisis
mengenai bentang bebas (free span analysis) agar tidak terjadi bentang bebas (free span) yang
berlebihan.
Selain itu, kestabilan pipa pada saat berada di dasar laut juga merupakan hal yang perlu
diperhatikan dalam proses pendesainan struktur pipa bawah laut. Ada beberapa cara untuk
mempertahankan kestabilan pipa di dasar laut, diantaranya adalah dengan cara mengurangi
gaya‐gaya yang bekerja pada pipa seperti dengan melakukan penguburan pipa (burial),
penggalian parit atau saluran untuk pipa (trenching), serta pembangunan tanggul pelindung
dari batu (rock berm). Selain mengurangi gaya‐gaya yang bekerja pada pipa, cara lain untuk
mempertahankan kestabilan pipa adalah dengan cara memasang lapisan beton (concrete
coating) sehingga berat pipa bertambah dan kestabilan pipa dapat dicapai. Pada dasarnya,
proses pendesainan pipa mengikuti diagram alir pada Gambar 2.1 berikut.
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 2
Gambar 2. 1 Flowline design analysis
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 3
2.2. KEKUATAN PIPA
Berdasarkan DNV 1981 Rules For Submarine Pipeline Design, Section 4, kekuatan material pipa
(dalam hal ini merupakan ketebalan dinding pipa) dihitung berdasarkan 2 kriteria, yaitu:
1. Pressure Containment
2. Buckling (Initiation dan Propagation)
Tetepi dalam perhitungan yang dilakukan di laporan Tugas Akhir ini, dilakukan pengecekan pula
kekuatan pipa terhadap tekanan luar. Olah karena itu, pada sub‐bab ini pembahasan
difokuskan pada dasar teori mengenai penanganan terhadap tekanan internal (internal
pressure), tekanan luar (eksternal pressure), tekanan longitudinal (longitudinal pressure), dan
penekukan (buckling).
2.2.1. TEKANAN INTERNAL
Gambar 2. 2 Ilustrasi tekanan hoop stress.6
Aliran fluida pada pipa merupakan beban yang menyebabkan tekanan internal. Tekanan Hoop
(Hoop Stress) merupakan reaksi dari material pipa, akibat dari tekanan internal, yang secara
statis dapat ditentukan besarannya. Sehingga tegangan yang tejadi tidak akan melampaui
tegangan plastik pipa yang dapat menyebabkan kegagalan pipa. Persamaan hoop stress yang
timbul akibat tekanan internal adalah sebagai berikut:
(2‐1)
dimana:
σh = Hoop Stress
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 4
Pi = Tekanan internal
Pe = Tekanan eksternal
Do = Diameter terluar pipa
t = Ketebalan nominal dinding pipa
Penurunan persamaan untuk menghitung tegangan tangensial yang diakibatkan oleh tekanan
internal tersebut, diperoleh dari analisis gaya pada silinder bebas. Perhatikan silinder dengan
jari‐jari r dan ketebalan pipa t, pada Gambar 2.3 berikut ini. Silinder tersebut dikenai beban
tekanan sebesar P yang merupakan resultan dari tekanan luar (Po) dan tekanan dalam (Pi),
dimana P = Po ‐ Pi.
Gambar 2. 3 Beban tekanan pada silinder bebas.6
dari gambar di atas, maka resultan keseimbangan gaya vertikal yang terjadi adalah:
(2‐2)
(2‐3)
(2‐4)
Apabila,
(2‐5)
(2‐6)
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 5
Dengan mensubtitusikan persamaan 2‐3 dan persamaan 2‐5 ke persamaan 2‐4, maka diperoleh
persamaan tegangan tangensial (Hoop Stress) sebagai berikut:
(2‐7)
dimana:
σh = Hoop Stress (psi)
P = Tekanan Yang Terjadi Pada Silinder (psi)
D = Diameter Terluar Pipa (inch)
t = Ketebalan Nominal Dinding Pipa (inch)
Sesuai dengan standar kode yang digunakan, maka besar tegangan tangensial (Hoop Stress)
tidak diizinkan melebihi besaran tertentu dari Specified Minimum Yield Stress (SMYS).
(2‐8)
dimana:
η = Faktor desain yang nilainya tergantung pada jenis kelas keamanan (safety class)
Kt = Temperature Derating Factor Material
2.2.2. TEKANAN EKSTERNAL
Struktur pipa bawah laut akan mengalami tekanan hidrostatik dari air laut yang berada di
atasnya, tekanan ini disebut sebagai tekanan eksternal pada pipa. Semakin dalam lokasi pipa,
semakin besar pula tekanan eksternal yang bekerja pada pipa tersebut. Pada kedalaman
tertentu dimana tekanan eksternal jauh lebih besar dari tekanan internal yang bekerja pada
pipa, maka semakin besar pula kemungkinan akan terjadinya kegagalan (collapse) pada pipa.
Untuk mencegah terjadinya kegagalan tersebut, maka besarnya tekanan eksternal yang bekerja
pada pipa harus memenuhi kriteria berikut ini:
(2‐9)
dimana:
Pe = Tekanan Eksternal (psi)
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 6
= ρsw.g.d
ρsw = massa jenis air laut (lb/ft3)
g = percepatan gravitasi (ft/s2)
d = kedalaman perairan (ft)
Pc = Karakteristik tekanan collapse (psi)
γm = faktor ketahanan material
γsc = faktor ketahanan safety class
2.2.3. TEKANAN LONGITUDINAL
Gambar 2. 4 Cross section pipa dan longitudinal stress.7
Longitudinal stress merupakan tegangan aksial yang bekerja pada penampang pipa, yang
merupakan kombinasi dari Thermal Stress dan Poisson’s Effect.
• Thermal Stress
Gambar 2. 5 Ilustrasi thermal stress.10
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 7
Thermal stress adalah tegangan yang terjadi akibat adanya ekspansi (pemuaian) yang terjadi
pada pipa. Ekspansi pipa pada arah longitudinalnya dapat menyebabkan lateral dan
upheaval buckling. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan berapa besarnya tegangan yang
terjadi pada pipa tersebut akibat ekspansi yang terjadi. Persamaan tegangan pemuaian
pada pipa adalah sebagai berikut.
(2‐10)
dimana:
E = modulus elastisitas baja (3.0 x 107 psi)
αT = koefisien ekspansi thermal
ΔT = perbedaan temperatur antara kondisi instalasi dan operasional
• Poisson’s Effect
Gambar 2. 6 Ilustrasi poisson’s effect.10
Poisson’s effect merupakan tegangan yang terjadi akibat adanya tegangan residual pada
saat fabrikasi pipa, sehingga pipa harus kembali ke keadaan semula. Kembalinya pipa ke
keadaan semula menyebabkan terjadinya gaya aksial yang menyebabkan kontraksi pada
dinding pipa. Persamaan Poisson’s effect adalah sebagai berikut.
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 8
(2‐11)
dimana:
v = Poisson’s ratio (0.3 untuk carbon steel)
Pi = Tekanan internal
Pe = Tekanan eksternal
ID = Diameter dalam
D = Diameter luar
t = Tebal dinding pipa
Maka, persamaan longitudinal stress adalah penjumlahan dari persamaan (2‐10) dan (2‐11) di
atas.
(2‐12)
2.2.4. EQUIVALENT STRESS (VON MISES EQUIVALENT STRESS)
Equivalent stress merupakan resultan dari seluruh komponen tegangan yang terjadi pada pipa.
Persamaan tegangan ekuivalen dirumuskan sebagai tegangan von mises berikut ini.
(2‐13)
Besaran tegangan geser tangensial xτ diabaikan dalam perhitungan tegangan ekuivalen ini
karena besarnya tidak dominan dibanding komponen tegangan lainnya. Untuk perhitungan
konservatif maka perkalian antara tegangan tangensial dan longitudinal diabaikan.
2.2.5. ANALISIS DESAIN KETEBALAN PIPA
Dalam Laporan Tugas Akhir ini, analisis desain ketebalan dinding pipa dilakukan dengan
menggunakan standar kode DNV 1981 dan ASME B31.8.
• DNV 1981
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 9
(2‐14)
dimana:
t = Nominal wall thickness
Pd = Pressure design
Pe = External pressure
D = Outer diameter
η = Usage factor
= 0.5 (pipa dan riser berjarak radius 500 m dari platform)
= 0.72 (berjarak lebih dari radius 500 m dari platform)
Kt = Temperatur derating factor
σF = SMYS
• ASME B31.8
(2‐15)
dimana:
S = 0.72.E.σF
E = Longitudinal joint factor
= 1 (untuk submerged arc welded pipe)
t = Nominal wall thickness
P = Pressure design
σF = SMYS
Perhitungan ketebalan dinding pipa berdasarkan pada analisis hoop stress yang dilakukan untuk
kondisi operation dengan menambahkan corrosion allowance. Besar corrosion allowance
disesuaikan dengan tingkat korosif dari fluida content yang besar minimalnya adalah 0.125 in.
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 10
2.2.6. BUCKLING
Buckling pada pipa dapat diartikan sebagai pemipihan atau ovalisasi pada penampang pipa
yang terjadi pada satu atau seluruh bagian pipa. Buckle dapat berupa “Buckle kering” dan
“Buckle basah”. Buckle disebut kering jika pipa tidak retak dan disebut basah jika pipa terjadi
retak dan retakannya diisi oleh air.
Berdasarkan beban dan kondisi support pipa, satu atau lebih dari 2 tipe buckling di bawah ini
dapat terjadi, yaitu:
1. Local Buckling dari dinding pipa karena tekanan eksternal, gaya aksial dan momen lentur.
2. Propagation Bucking karena tekanan eksternal dan juga karena telah terjadi local buckle
sebelumnya.
Gambar 2. 7 Proses ovalisasi akibat local buckling7
Bentuk kegagalan yang diakibatkan oleh buckling adalah upheaval buckling dan lateral buckling
(sneaking). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.8 dan 2.9.
Gambar 2. 8 Upheavel buckling.7
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 11
Gambar 2. 9 Lateral buckling7
2.2.6.1. LOCAL BUCKLING
Local buckling merupakan suatu kondisi dimana terjadi deformasi bentuk pada penampang
melintang suatu pipa. Analisis local buckling dilakukan untuk kondisi instalasi, hal ini disebabkan
karena pada proses instalasi merupakan kondisi paling kritis terjadinya local buckling akibat
tidak adanya tekanan internal.
Untuk proses pendesainan, pipa yang didesain harus memiliki keamanan yang cukup untuk
menghindari terjadinya local buckling pada kombinasi terburuk antara tekanan eksternal yang
berlebihan, gaya aksial dan momen lentur. Berdasarkan standar kode DNV 1981 Rules For
Submarine Pipeline Design, Appendix B: Buckling Calculations, kombinasi kritis yang terjadi
antara longitudinal stress dan hoop stress dapat dirumuskan sebagai berikut ini.
(2‐16)
dimana:
(2‐17)
(2‐18)
(2‐19)
N = Axial force
A = Cross sectional area
= π(D‐t)t
M = Bending moment
W = Elastic section modulus
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 12
=
D = Nominal outer diameter of pipe
t = Nominal wall thickness of pipe
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 13
(2‐20)
dimana:
σNxcr = Longitudinal stress maksimum saat hanya gaya aksial N yang bekerja, P&M=0
= SMYS (untuk )
= SMYS (untuk )
σMxcr = Longitudinal stress maksimum saat hanya moment bending M yang bekerja, P&N=0
= SMYS
P = = eksternal
= Overpressure
α =
σy = ;(hoop stress)
σycr = Hoop stress maksimum pada saat hanya tekanan P yang bekerja, M&N=0
= σyE
= (untuk σyE ≤ SMYS)
= SMYS (untuk σyE > SMYS)
σyE = Critical comprehensive hoop stress untuk buckling elastis sempurna ketika hanya σy
yang bekerja.
E = Koefisien elastisitas bahan.
= 3,01 x 107 untuk baja karbon
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 14
Kombinasi nilai σx dan σy yang diizinkan ditentukan dengan memasukkan faktor yang diizinkan
ke dalam rumusan local buckling untuk kombinasi kritis. Maka persamaan local buckling
menjadi sebagai berikut.
(2‐21)
dimana:
ηxp = Faktor desain; nilai yang diizinkan dari untuk σy = 0
ηyp = Faktor desain; nilai yang diizinkan dari untuk σx = 0
Penggunaan faktor desain didasarkan pada tegangan kritis (berada pada range plastis dan
elastis). Pada umumnya buckling pada pipa berdasarkan σx akan mendekati plastis, sementara
buckling yang berdasarkan σy akan mendekati elastis. Biasanya nilai ηyp lebih kecil dari nilai
ηxp. Besarnya faktor desain yang berlaku untuk pipa dan riser selama operasi tercantum dalam
Tabel 2.1 berikut ini.
Tabel 2. 1 Faktor Desain (General case)11
Loading Condition
a.
b.
dimana: σE = Tegangan kritis σF = SMYS σxE =
σyE =
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 15
Untuk pipa selama masa operasi, faktor tersebut dikali dengan 1,2. Sedangkan untuk pipa dan
riser selama instalasi, faktor tersebut dikali dengan 1,44. Sementara itu, untuk kondisi apapun
nilai faktor desain tidak boleh melebihi 1,0.
Sementara untuk pipa dengan rasio tipikal, faktor desain yang berlaku adalah faktor desain
dalam Tabel 2.2 berikut ini.
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 16
Tabel 2. 2 Faktor Desain ( tipikal)11
Loading Condition
Installation Operation
Pipelines and Risers Pipelines Zone 1 Pipelines Zone 2 and Risers
a. 0.86 0.75 0.72 0.62 0.50 0.43
b. 1.00 0.98 0.96 0.82 0.67 0.56
2.2.6.2. PROPAGATION BUCKLING
Propagation buckling adalah kondisi dimana potongan melintang pipa berubah konfigurasinya
dan merambat di sepanjang pipa. Energi yang menyebabkan buckle untuk berpropagasi adalah
tekanan hidrostatik, hal ini disebabkan oleh tekanan eksternal (hidrostatik) yang lebih besar
dari tekanan propagasi buckle pipa yang berperan sebagai penahan.
Prinsip dari propagation buckling adalah adanya tekanan yang dapat menimbulkan propagating
buckle (tekanan inisiasi buckle) yang nilainya lebih besar dari tekanan yang diperlukan untuk
mencegah terjadinya propagating buckle tersebut (tekanan collapse). Sebagai akibatnya, buckle
yang terinisiasi pada pipa bawah laut berpropagasi (merambat) dan mengakibatkan kegagalan
di sepanjang jalur pipa. Propagating buckle ini akan terus terjadi hingga tekanan eksternal pipa
telah menjadi sama atau lebih kecil dari tekanan propagasi. Hal ini berlaku untuk pipa yang
mempunyai properti pipa yang seragam di sepanjang jalur pipa. Tetapi prinsip yang paling dasar
adalah propagation buckling tidak akan terjadi apabila tidak ada local buckling yang terjadi.
Pada Gambar 2.10 berikut ini terdapat jenis‐jenis propagation buckling yang umum terjadi.
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 17
Gambar 2. 10 Jenis‐jenis umum propagation buckling7
Berbagai studi secara teoretis dan eksperimental telah dilakukan untuk mempelajari fenomena
ini. Adapun tekanan propagation untuk pipa bawah laut dinyatakan dalam persamaan berikut
ini.
(2‐22)
Ppr Pe dimana:
Ppr = Tekanan propagasi
Pe = Tekanan eksternal
Apabila tekanan propagasi nilainya lebih kecil daripada tekanan eksternal, maka perlu dilakukan
pemilihan ulang terhadap ketebalan pipa. Ketebalan pipa minimum berdasarkan tekanan
propagasi adalah sebagai berikut.
(2‐23)
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 18
(2‐24)
2.3. STABILITAS PIPA DI DASAR LAUT (ON-BOTTOM STABILITY)
Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya, kestabilan pipa pada saat berada di dasar laut
merupakan hal yang perlu diperhatikan pula pada proses pendesainan struktur pipa bawah
laut. Salah satu cara untuk mempertahankan kestabilan pipa pada saat berada di dasar laut
adalah dengan cara memasang lapisan beton (concrete coating) sehingga berat pipa bertambah
dan kestabilan pipa pun dapat dicapai.
Dengan bertambahnya berat pipa, maka kestabilan pipa di dasar laut baik dalam arah vertikal
maupun horizontal akan bertambah pula. Adapun gaya‐gaya lingkungan yang termasuk ke
dalam analisis kestabilan pipa terdiri dari gaya‐gaya hidrodinamika, seperti gaya seret (drag
force), gaya inersia, dan gaya angkat (lift force). Sedangkan resistensi tanah dasar laut
merupakan gaya gesek (friction) yang terjadi antara permukaan pipa dengan permukaan tanah
dasar laut tersebut.
Analisis kestabilan pipa di dasar laut yang dilakukan harus dapat memenuhi beberapa kondisi
yang akan dialami oleh pipa. Kondisi‐kondisi tersebut adalah kondisi pada saat instalasi,
hidrotes, serta kondisi operasi. Kestabilan pipa di dasar laut mencakup kestabilan arah vertikal
serta arah horizontal. Untuk mempermudah pemahaman mengenai konsep kestabilan ini,
perhatikan ilustrasi pada Gambar 2.11 berikut ini.
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 19
Gambar 2. 11 Gaya‐gaya yang bekerja pada pipa bawah laut.7
2.3.1. GAYA HIDRODINAMIKA
Perhitungan gaya‐gaya hidrodinamik yang bekerja pada suatu struktur pipa bawah laut belum
dapat dihitung secara eksak. Oleh karena itu, maka digunakan metoda penyederhanaan untuk
mendekati perhitungan gaya hidrodinamik yang bekerja pada struktur pipa tersebut.
2.3.1.1. GAYA GELOMBANG
Salah satu metoda pendekatan perhitungan gaya hidrodinamik adalah dengan metoda
Morrison. Metoda ini menghitung gaya gelombang yang terjadi pada suatu struktur akibat
gelombang laut di permukaan. Metoda ini cocok untuk diterapkan pada struktur pipa bawah
laut, hal ini dikarenakan perbandingan antara dimensi struktur terhadap panjang gelombang
relatif kecil. Kriteria batas dapat digunakannya metoda Morrison adalah D/L ≤ 0.2, dimana D
adalah diameter struktur dan L adalah panjang gelombang. Pada kasus ini, gelombang yang
bergerak melewati struktur tersebut tidak akan terganggu, akan tetapi pengaruh gelombang
tersebut terhadap struktur dapat mengakibatkan terjadinya vortex air (wake formation) yang
terbentuk di belakang struktur dan menyebabkan timbulnya flow separation, sehingga terjadi 2
komponen gaya pada struktur, yaitu gaya inersia dan gaya seret.
Pada teori gaya gelombang Morrison ini, gaya gelombang yang terjadi diturunkan dari
pergerakan partikel air akibat aktivitas gelombang laut pada lokasi tersebut. Adanya gelombang
laut yang merambat di permukaan menyebabkan arus pada perairan tersebut. Arus yang terjadi
akibat gelombang ini disebut dengan wave induced current.
Arus ini terjadi akibat pergerakan partikel air di bawah gelombang pada trayektori elips atau
lingkaran (lihat Gambar 2.12). Oleh karena itu, arus akibat gelombang ini hanya bersifat lokal
dan memiliki fasa tertentu dimana besarnya dapat bernilai maksimum atau minimum.
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 20
Gambar 2. 12 Klasifikasi perairan menurut panjang gelombang dan kedalaman.4
Gambar 2. 13 Vortex dan flow separation.4
Gaya gelombang Morrison yang terjadi pada suatu struktur adalah penjumlahan dari gaya
inersia dan gaya seret.
• Gaya Seret (Drag Force)
Gaya seret (drag force) terjadi akibat gaya gesekan yang terjadi antara fluida dan dinding pipa
(skin friction) dan vortex yang terjadi di belakang struktur (lihat Gambar 2.13). Nilai gaya seret
yang terjadi pada suatu struktur silinder dapat dituliskan dengan persamaan berikut ini:
(2‐25)
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 21
dimana:
FD = Gaya seret per satuan panjang
ρ = Massa jenis fluida
CD = Koefisien seret
D = Diameter struktur
U = Kecepatan arus air total arah horizontal
Besar kecepatan partikel air akibat wave induced current ini dapat diperoleh dari penurunan
berdasarkan teori gelombang linear, teori Stokes orde‐5, teori gelombang Solitary, teori
gelombang Cnoidal, stream function dan sebagainya. Pemilihan teori gelombang yang akan
digunakan bergantung pada karakteristik kondisi laut yang dimodelkan atau dilakukan analisis.
• Gaya Inersia (Inertia Force)
Gaya inersia terjadi pada struktur akibat gaya oleh perubahan perpindahan massa air yang
disebabkan oleh keberadaan pipa. Faktor yang mempengaruhi gaya inersia adalah percepatan
partikel air. Perubahan perpindahan massa diakibatkan oleh adanya fluktuasi percepatan arus.
Nilai gaya inersia yang terjadi pada suatu struktur silinder dapat dituliskan dengan persamaan
berikut ini:
(2‐26)
dimana:
FI = Gaya inersia per satuan panjang
ρ = Massa jenis fluida
CI = Koefisien inersia
=
CM = Koefisien added mass
A = Luas penampang struktur
= Percepatan arus arah horizontal
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 22
• Gaya Morrison Total
Gaya morrison total per satuan panjang yang terjadi pada pipa adalah jumlah dari gaya seret
dan gaya inersia. Gaya morrison total per satuan panjang dituliskan oleh persamaan berikut ini.
(2‐27)
Nilai koefisien drag (CD) dan koefisien inertia (CI) dapat ditentukan bedasarkan bilangan
Reynold (Re) dan bilangan Keulegan Carpenter (Kc).
Berikut ini adalah persamaan untuk bilangan Reynolds (Re):
(2‐28)
dimana:
Re = Bilangan Reynolds
V = UD + Uw = Kecepatan aliran total
UD = kecepatan partikel air akibat arus
ν = Viskositas kinematik air laut (pada suhu 60°F = 1,2 x 10‐5 ft2/sec)
Dengan menggunakan diagram dari Gambar 2.14 dibawah ini, maka nilai CD dapat ditentukan.
Gambar 2. 14 Drag coefficient vs Reynolds number11
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 23
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 24
Bilangan Keulegan Carpenter (Kc), didefinisikan sebagai berikut ini:
(2‐29)
dimana:
T = Perioda gelombang
Uw = Kecepatan partikel air pada pipa akibat gelombang
Dtot = Diameter total pipa (termasuk selimut korosi dan selimut beton)
Dengan menggunakan diagram dari Gambar 2.15 dibawah ini, maka nilai CD juga dapat
ditentukan. Penentuan nilai CD pada diagram Gambar 2.15 ini, didasarkan pada nilai bilangan
Reynolds (Re) dan bilangan Keulegan‐Carpenter (KC).
Gambar 2. 15 Drag coefficient untuk bilangan Keulegan‐Carpenter dan bilangan Reynolds11
Besarnya nilai koefisien angkat (CL) dan koefisien inersia (CI) juga ditentukan dari nilai bilangan
Reynolds dan koefisien kekasaran pipa. Variasi nilai koefisien angkat (CL) terhadap bilangan
Reynolds dapat dilihat pada Gambar 2.16 berikut ini.
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 25
Gambar 2. 16 Lift coefficient vs Reynolds number11
Berdasarkan rekomendasi yang diberikan oleh DNV RP E305, On‐Bottom Stability Design of
Submarine Pipelines, nilai koefisien drag dan koefisien inertia untuk struktur lepas pantai, dapat
memakai bilangan sebagai berikut:
CD = 0.7
CI = 3.29
2.3.1.2. GAYA ANGKAT (LIFT FORCE)
Gaya angkat (Lift Force) adalah gaya yang bekerja dalam arah tegak lurus arah rambatan
gelombang/arus. Gaya angkat ini terjadi akibat adanya perbedaan konsentrasi streamline pada
bagian atas dan bawah pipa. Pada Gambar 2.17, terlihat bahwa terdapat konsentrasi
streamline di atas pipa. Konsentrasi streamline pada bagian atas pipa membuat kecepatan arus
pada bagian atas pipa tersebut menjadi lebih besar sehingga tekanan hidrodinamik mengecil
dan pipa terangkat. Pada saat terdapat celah antara pipa dan seabed akibat pipa yang
terangkat, maka konsentrasi streamline akan terjadi pada bagian bawah pipa sehingga dengan
proses yang sama pipa akan jatuh kembali atau dengan kata lain gaya angkat yang terjadi
bernilai negatif.
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 26
Gambar 2. 17 Ilustrasi konsentrasi streamline yang melewati pipa7
Persamaan gaya angkat (lift force) yang terjadi adalah sebagai berikut:
(2‐30)
dimana:
CL = koefisien gaya angkat (lift force coefficient)
Nilai CL dapat dicari dengan menggunakan grafik pada Gambar 2.14.
2.3.1.3. GAYA GESEK
Benda yang terletak pada suatu permukaan apabila diberi gaya pada arah horizontal benda
tersebut, maka pada benda tersebut akan timbul gaya reaksi pada bidang sentuh antara benda
dengan permukaan dimana benda tersebut terletak. Gaya reaksi tersebut memiliki arah yang
berlawanan dengan arah gaya yang diberikan pada benda tersebut. Gaya reaksi yang timbul itu
umumnya disebut gaya gesek (friction force). Struktur pipa bawah laut juga mengalami gaya
gesek akibat berat pipa itu sendiri dan gaya‐gaya yang bekerja pada struktur pipa tersebut.
Pada struktur pipa bawah laut, gaya gesek berperan penting dalam menjaga kestabilan pipa di
dasar laut. Gaya gesek ini besarnya dipengaruhi oleh suatu nilai koefisien gesek (μ) antara
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 27
permukaan luar pipa dengan permukaan dasar laut, sementara itu besarnya nilai koefisien
gesek (μ) tersebut dipengaruhi oleh jenis material pipa dan jenis tanah di dasar laut tersebut.
Diagram gaya gesek yang terjadi pada pipa bawah laut akibat gaya gesek yang terjadi dapat
dilihat pada Gambar 2.18 berikut ini.
Gambar 2. 18 Gaya gesek yang terjadi pada pipa bawah laut.7
dimana:
F = Total gaya yang bekerja pada pipa
FR = Gaya gesek yang terbentuk
W = Berat pipa
N = Gaya normal (total gaya arah vertikal struktur)
Besar gaya gesek dapat dihitung dengan menggunakan persamaan di bawah ini.
(2‐31)
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, μ adalah koefisien gaya gesek antara permukaan luar
pipa dengan permukaan dasar laut. NIlai μ bergantung dari jenis permukaan selimut pipa dan
karakteristik tanah dasar laut.
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 28
2.3.1.4. GAYA APUNG (BUOYANCY)
Seperti yang diungkapkan dalam Hukum Archimedes, bahwa semua benda yang tercelup ke
dalam fluida akan mendapat gaya apung sebanding dengan berat fluida yang dipindahkannya.
Karena tekanan pada setiap titik di permukaan benda setara dengan specific weight dari fluida
dan kedalaman, maka total gaya yang bekerja pada bagian kiri dan kanan benda tersebut
menjadi sama dan dapat diabaikan (kesetimbangan gaya arah horizontal, ΣFX = 0). Sedangkan
untuk arah vertikal, besarnya gaya yang bekerja pada benda arah atas dan bawah tidak sama
besar, hal ini disebabkan karena kedalaman rata‐rata permukaan bagian atas benda lebih kecil
dari kedalaman rata‐rata permukaan bagian bawah benda. Hal ini menyebabkan besar gaya
yang bekerja ke arah bawah menjadi lebih kecil daripada besar gaya yang bekerja ke arah atas,
perbedaan besar gaya tersebut umumnya dikenal sebagai buoyancy (FB) dari zat cair terhadap
benda. Apabila benda dalam keadaan setimbang, maka gaya angkat ke arah atas akan sama
dengan berat benda ke arah bawah. Maka, besarnya gaya apung dapat dihitung dengan
menggunakan rumus:
(2‐32)
dimana:
FB = Gaya angkat (buoyancy)
ρ = Massa jenis zat cair
g = Percepatan gravitasi
V = Volume benda yang tercelup
2.3.2. PERHITUNGAN PROPERTI PIPA
Struktur pipa bawah laut umumnya memiliki dua lapisan pelindung utama yang meliputi lapisan
beton pemberat (concrete coating) dan lapisan anti korosi (corrosion coating). Selain berfungsi
sebagai pelindung pipa baja terhadap korosi, selimut beton juga berfungsi sebagai pemberat
untuk mempertahankan kestabilan pipa di bawah laut. Pemilihan ketebalan lapisan beton
pemberat harus diperhatikan dengan serius. Apabila lapisan beton terlalu tebal maka selain
mengakibatkan pemborosan, pipa akan menjadi terlalu berat dan sulit dipasang. Gambar 2.19
dan Gambar 2.20 berikut ini adalah ilustrasi potongan melintang dari pipa yang telah dilapisi.
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 29
Gambar 2. 19 Ilustrasi pipa bawah laut dengan HDPE coating dan concrete coating4
Gambar 2. 20 Potongan melintang pipa bawah laut4
dimana:
ID = Diameter bagian dalam pipa (Internal Diameter)
OD (DS)= Diameter bagian luar pipa baja = ID + 2.tS
tS = Ketebalan dinding pipa baja
tcorr = Ketebalan lapisan anti korosi (corrosion coating)
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 30
tcc = Ketebalan lapisan beton (concrete coating)
Dalam perhitungan beban yang akan diterima pipa, berat dari pipa itu sendiri juga
diperhitungkan sebagai berat pipa terdistribusi merata per satuan panjang. Dalam analisis,
perhitungan berat sendiri pipa dilakukan untuk tiga fase yaitu fase instalasi (pipa kosong), fase
hidrotes (pipa dengan fluida air), dan fase operasi (pipa dengan fluida isi). Berikut ini adalah
formula perhitungan berat untuk tiap properti pipa.
• Berat baja di udara (WS)
(2‐33)
• Berat lapisan anti korosi di udara (Wcorr)
(2‐34)
• Berat lapisan beton di udara (Wcc)
(2‐35)
• Berat fluida isi pipa di udara (Wcont)
(2‐36)
• Berat/gaya apung pipa (Wbuoy)
(2‐37)
• Berat total pipa di udara (Wtot)
(2‐38)
• Berat pipa efektif (Weff)
(2‐39)
• Berat pipa di dalam air (Wsub)
(2‐40)
dimana:
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 31
WS = Berat pipa baja di udara
Wcorr = Berat lapisan anti korosi di udara
Wcc = Berat lapisan beton di udara
Wcont = Berat content (isi pipa) di udara
Wbuoy = Berat/gaya apung (buoyancy)
Wsub = Berat pipa di dalam air (terendam)
Wtot = Berat total pipa di udara
Weff = Berat pipa efektif
ρs = Massa jenis baja
ρcorr = Massa jenis lapisan anti korosi
ρcc = Massa jenis lapisan beton
ρsw = Massa jenis air laut
ρcont = Massa jenis fluida isi (content)
g = Percepatan gravitasi
2.3.3. PARAMETER KESTABILAN PIPA
Mengacu pada standar kode DNV RP E305 On‐Bottom Stability Design of Submarine Pipelines,
terdapat tiga jenis analisis yang digunakan dalam menganalisis kestabilan pipa di bawah laut,
yaitu: analisis dinamik, analisis kestabilan umum, serta analisis kestabilan statik sederhana.
Pemilihan jenis analisis yang digunakan tergantung pada tingkat ketelitian hasil analisis yang
diinginkan. Berikut ini penjelasan mengenai masing‐masing analisis.
Analisis Dinamik
Analisis ini melibatkan simulasi dinamik secara menyeluruh terhadap pipa di dasar laut,
mencakup pemodelan soil resistance, gaya‐gaya hidrodinamika, kondisi batas, dan respon
dinamik. Analisis dinamik dapat dipakai untuk menganalisis secara detail pada area kritis
sepanjang jalur pipa seperti pada perlintasan jalur pipa, penyambungan riser, dan lokasi‐lokasi
lainnya yang membutuhkan desain detail respon pipa dengan level tinggi atau untuk
menganalisis ulang jalur kritis yang sudah ada.
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 32
Analisis Kestabilan Umum
Analisis ini didasarkan pada suatu set kurva kestabilan non‐dimensional yang telah diturunkan
dari suatu deret hasil respons dinamik. Analisis kestabilan umum dapat digunakan dalam
perhitungan desain detail maupun dalam preliminary design. Analisis ini digunakan pada bagian
pipa dimana potensial pergerakan dan regangan pipa cukup penting.
Analisis Kestabilan Statik Sederhana
Analisis ini didasarkan pada keseimbangan statik dari gaya‐gaya yang bekerja pada pipa dan
telah dikalibrasikan dengan analisis kestabilan sederhana. Analisis kestabilan statik sederhana
dapat digunakan pada hampir semua perhitungan kestabilan, dimana berat pipa dalam air
menjadi perhatian utamanya. Analisis ini menggunakan model yang disederhanakan, sehingga
sebagai konsekuensinya, pada saat melakukan perhitungan, dianjurkan untuk tidak melakukan
modifikasi apapun tanpa pertimbangan terhadap semua faktor secara menyeluruh seperti
melakukan pengecekan kembali hasil perhitungan dengan menggunakan dua analisis kestabilan
yang lainnya. Kondisi pipa di dasar laut dan gaya‐gaya yang bekerja telah diilustrasikan pada
Gambar 2.7 sebelumnya. Agar kedudukan pipa tetap stabil pada saat berada di dasar laut,
maka keseimbangan gaya‐gaya di bawah ini harus dapat dipenuhi.
• Arah Horizontal (x)
(2‐41)
• Arah Vertikal (z)
(2‐42)
Apabila persamaan (2‐41) dan persamaan (2‐42) dikombinasikan, maka diperoleh persamaan
berikut ini:
(2‐43)
atau
(2‐44)
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 33
apabila θ = 0, maka persamaan 2‐44 di atas akan menjadi:
(2‐45)
Persaman (2‐45) di atas merupakan persamaan untuk parameter kestabilan arah horizontal
untuk struktur pipa bawah laut. Sedangkan persamaan untuk parameter kestabilan arah
vertikal pipa dinyatakan dalam persamaan berikut ini:
(2‐46)
dimana:
Wsub = Berat pipa di dalam air (terendam)
Wbuoy = Berat/gaya apung (buoyancy)
Syarat kestabilan arah vertikal ini menunjukkan bahwa berat total pipa di udara harus lebih
besar 10% dibandingkan dengan gaya angkatnya (buoyancy). Pada laporan Tugas Akhir ini, jenis
analisis kestabilan yang digunakan adalah Analisis Kestabilan Statik Sederhana.
2.4. BENTANG BEBAS PADA PIPA (FREE SPAN)
Menurut definisinya, free span adalah bentang bebas. Yang dimaksud bentang bebas disini
adalah keadaan dimana pipa tidak tersokong di bagian bawahnya. Fenomena terjadinya
bentang bebas (free span) pipa pada jaringan pipa bawah laut sama sekali tidak dapat dihindari,
hal ini disebabkan karena ketidak‐rataan permukaan dasar laut atau karena disebabkan oleh
adanya crossing dengan jaringan pipa lainnya yang telah terpasang sebelumnya. Selain itu,
bentang bebas juga dapat disebabkan oleh proses penggerusan (scouring) dasar laut oleh arus
laut sehingga terbentuk celah (gap) antara pipa dengan dasar laut. Pada Gambar 2.21 di bawah
ini, dapat dilihat contoh dari fenomena bentang bebas. Sistem pipa yang telah terpasang di
lapangan untuk jangka waktu yang cukup lama, pada akhirnya akan mengalami perubahan
panjang bentang bebas. Hal ini diakibatkan karena dasar laut yang terus berubah karena gaya‐
gaya lingkungan yang bekerja pada dasar laut.
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 34
Gambar 2. 21 Free span akibat dasar laut yang tidak rata5
Bentang bebas pada pipa akan menimbulkan defleksi pada pipa. Apabila bentang bebas yang
terjadi terlampau panjang, maka dapat menimbulkan kerusakan pada pipa. Panjang bentang
pipa mempengaruhi frekuensi natural, kekakuan, serta kekuatan dari struktur pipa terhadap
gaya‐gaya yang bekerja pada pipa tersebut. Selain dapat menyebabkan kerusakan pada struktur
pipa, adanya bentang bebas juga dapat memungkinkan struktur pipa mengalami vibrasi yang
diakibatkan oleh vortex (vortex induced vibration). Apabila vibrasi terjadi, maka pipa akan
rentan terhadap fatigue yang pada akhirnya dapat menyebabkan kegagalan pada struktur pipa
tersebut.
Perhitugan yang tepat diperlukan dalam menentukan panjang maksimum dari bentang bebas
sehingga aman dari kemungkinan terjadinya kegagalan pada struktur. Perhitungan bentang
bebas pipa bawah laut pada laporan Tugas Akhir ini mengacu pada DNV RP F105 Free Spanning
Pipelines. Adapun panjang maksimum dari bentang bebas ditentukan berdasarkan dua kondisi
di bawah ini:
Kondisi Dinamik Akibat Vortex Induced Vibration (vortex shedding requirement)
Kondisi Statik Akibat Berat Struktur Tersebut (yielding requirement)
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 35
2.4.1. BENTANG BEBAS KONDISI DINAMIK (DYNAMIC FREE SPAN ANALYSIS)
Ketika sebuah aliran arus melewati sebuah struktur (pipa), maka akan terbentuk vortex pada
bagian belakang pipa (lihat Gambar 2.22). Vortex ini timbul karena disebabkan oleh adanya
turbulensi serta ketidak‐stabilan aliran di bagian belakang pipa, pembentukan vortex (vortex
shedding) ini dapat menyebabkan perubahan tekanan hidrodinamika secara periodik dan
bergantian pada bagian belakang pipa sehingga dapat mengakibatkan bervibrasinya bentang
bebas pada pipa apabila ternyata bentang bebas tersebut memiliki frekuensi natural struktur
yang nilainya mendekati nilai frekuensi vortex tersebut. Fenomena bervibrasinya bentang
bebas pada pipa tersebut umumnya disebut fenomena Vortex Induced Vibration (VIV).
Gambar 2. 22 Fenomena terbentuknya vortex5
Frekuensi vortex shedding yang terjadi umumnya tergantung pada ukuran/diameter pipa serta
kecepatan aliran yang melalui pipa. Apabila frekuensi vortex shedding yang terjadi memiliki nilai
yang mendekati atau sama dengan frekuensi natural bentang bebas pada pipa, maka akan
terjadi resonansi pada bentang bebas tersebut. Resonansi yang terjadi dapat mengakibatkan
kegagalan (collapse) pada struktur pipa dengan pola keruntuhan leleh (yielding) dan pola
keruntuhan kelelahan (fatigue).
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 36
Osilasi akibat resonansi yang terjadi pada bentang bebas pipa umumnya terjadi dalam dua arah
(lihat Gambar 2.23), yaitu dalam arah tegak lurus arah aliran (cross‐flow oscillation) dan searah
dengan arah aliran (in‐line oscillation). Untuk menghindari kemungkinan terjadinya osilasi
tersebut, maka perlu ditentukan panjang maksimum dari bentang bebas pipa. Untuk
mendapatkan panjang maksimum tersebut, maka dilakukan pembandingan antara frekuensi
dari vortex shedding (yang terbentuk karena kondisi lingkungan) dan frekuensi natural dari
bentang bebas pipa. Analisis mengenai bentang bebas kondisi dinamik ini dilakukan dengan
mengacu pada standar kode DNV 1981 Rules for Submarine Pipeline Systems.
Gambar 2. 23 Arah osilasi yang umum terjadi pada pipa7
Besar frekuensi vortex shedding berdasarkan standar kode DNV 1981 Submarine Pipeline
Systems, dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut ini:
(2‐47)
dimana:
fv = Frekuensi vortex shedding
St = Bilangan Strouhal
Dtot = Diameter terluar pipa
V = Kecepatan aliran total
= Uc + Uw
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 37
Uc = Arus laut
Uw = Arus akibat gelombang
Bilangan Strouhal merupakan bilangan non‐dimensional dari frekuensi vortex shedding.
Bilangan tersebut merupakan fungsi dari bilangan Reynolds. Sementara itu, bilangan Reynolds
merupakan rasio dari gaya inersia dan gaya viscous, standar kode DNV 1981 menganjurkan nilai
bilangan Strouhal diambil dari grafik pada Gambar 2.24 berikut ini.
Gambar 2. 24 Bilangan Strouhal untuk silinder bundar sebagai fungsi dari bilangan Reynolds11
(2‐48)
dimana:
Re = Bilangan Reynolds
V = Kecepatan aliran total
ν = Viskositas kinematik air laut (pada suhu 60°F = 1,2 x 10‐5 ft2/sec)
Sedangkan besar frekuensi natural bentang bebas pada pipa tergantung pada beberapa faktor,
diantaranya adalah kekakuan pipa, panjang bentang, kondisi ujung‐ujung bentang, serta massa
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 38
efektif dari pipa. Frekuensi natural dari bentang bebas pada pipa dapat dihitung dengan rumus
berikut:
(2‐49)
dimana:
fn = Frekuensi natural bentang bebas pada pipa
EI = Kekakuan pipa
Me = Massa efektif pipa
=
Mp = Massa pipa di udara
Mc = Massa fluida isi pipa (content mass)
= (2‐50)
Ma = Added Mass
= (untuk struktur silinder) (2‐51)
L = Panjang bentang bebas
Ce = Konstanta perletakan ujung bentang
Untuk konstanta perletakan ujung bentang (Ce), nilainya berbeda‐beda untuk setiap jenis
perletakan. Pada Tabel 2.4 berikut ini, terdapat nilai Ce untuk setiap jenis perletakan.
Tabel 2. 3 Konstanta Perletakan Ujung Bentang Bebas Pada Analisis Dinamik11
Analisis Bentang Bebas Dinamik Jenis Perletakan Ujung Bentang Ce
pinned ‐ pinned 9.87fixed ‐ pinned 15.5fixed ‐ fixed 22.2
Dari parameter‐parameter yang telah disebutkan sebelumnya, besar frekuensi vortex shedding
dan frekuensi natural bentang bebas dapat dihitung. Faktor ini menjadi acuan desain keamanan
pipa terhadap fenomena VIV. Desain pipa yang aman terhadap VIV adalah desain yang memiliki
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 39
nilai frekuensi natural pada panjang maksimum bentang bebas yang tidak mirip dengan nilai
frekuensi vortex shedding dengan batasan sebagai berikut:
Selain itu, terdapat dua parameter lainnya yang menentukan tipe osilasi pada bentang bebas
pipa, yaitu:
• Reduced velocity (Vr), parameter ini digunakan untuk penentuan range kecepatan aliran
yang dapat menyebabkan vortex shedding.
(2‐52)
dimana:
Vr = Kecepatan tereduksi (reduced velocity)
fn = Frekuensi natural bentang bebas
Selain itu, nilai Vr juga dapat dicari dengan menggunakan grafik pada Gambar 2.25 dan
Gambar 2.26 berikut ini apabila telah diketahui jenis osilasinya.
Gambar 2. 25 Reduced velocity for cross‐flow oscillations based on the Reynolds Number11
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 40
Gambar 2. 26 Reduced velocity for in‐line oscillations based on the stability parameter11
• Koefisien stabilitas (Ks), adalah parameter stabilitas yang akan menentukan jenis gerakan osilasi. Koefisien stabilitas dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut ini.
(2‐53)
dimana:
Me = Massa efektif pipa
ρsw = Massa jenis air laut
δ = Logarithmic decrement of structural damping (= 0,125)
Dari parameter‐parameter penentu jenis osilasi di atas, Tabel 2.5 di bawah ini akan menjelaskan kriteria osilasinya.
Tabel 2. 4 Kriteria Jenis Osilasi11
Parameter Tipe Shedding Tipe Osilasi
1.0 < Vr < 3.5Simetris In‐line
Ks < 1.8Vr > 2.2 Asimetris In‐lineKs < 16 Asimetris Cross‐flow
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 41
Panjang bentang bebas kritis dimana osilasi pada pipa terjadi untuk spesifikasi arus tertentu,
didasarkan pada hubungan antara frekuensi natural dari bentang bebas tersebut dengan
kecepatan tereduksi (reduced velocity). Panjang bentang bebas kritis untuk kondisi osilasi cross‐
flow didasarkan pada persamaan berikut ini:
(2‐54)
Sementara itu, panjang bentang bebas kritis untuk kondisi osilasi in‐line didasarkan pada
persamaan berikut ini:
(2‐55)
Setelah melakukan perhitungan panjang bentang bebas kritis untuk kedua jenis osilasi, maka
diambil nilai paling kecil dari kedua panjang bentang bebas kritis tersebut. Pada umumnya
panjang bentang bebas kritis untuk kondisi in‐line lebih pendek bila dibandingkan dengan
panjang bentang bebas kritis pada kondisi cross‐flow. Tetapi dengan pertimbangan faktor
ekonomi, pada pelaksanaan di lapangan mayoritas panjang bentang bebas kritis yang
digunakan adalah panjang bentang bebas kritis untuk kondisi cross‐flow.
2.4.2. BENTANG BEBAS KONDISI STATIK (STATIC FREE SPAN ANALYSIS)
Panjang maksimum dari bentang bebas pada kondisi statik dapat dihitung berdasarkan
persamaan berikut ini:
(2‐56)
dimana:
La = Allowable static free span length
Ce = End restrained constant
I = Moment of inertia
σe = Equivalent stress
=
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 42
Dtot = Diameter total dari pipa
W = Beban merata per satuan panjang
=
Ws = Berat pipa terendam (submerged weight)
=
FD = Gaya seret (drag force)
FI = Gaya inersia (inertia force)
Setiap jenis perletakan, memiliki nilai konstanta perletakan ujung bentang (Ce) yang berbeda‐
beda. Pada Tabel 2.6 berikut ini, terdapat nilai Ce untuk setiap jenis perletakan.
Tabel 2. 5 Konstanta Perletakan Ujung Bentang Bebas Pada Analisis Statik
Analisis Bentang Bebas Statik Jenis Perletakan Ujung Bentang Ce
pinned ‐ pinned 8.0 fixed ‐ pinned 10.0fixed ‐ fixed 12.0
Kekuatan pipa yang ditentukan berdasarkan equivalent stress (Von Mises) yang terdiri dari hoop
stress dan bending stress yang terjadi, dihitung berdasarkan persamaaan dari standar kode API
PR 1111 adalah:
(2‐57)
dimana:
Ws = Submerged Weight
L = Panjang maksimum bentang bebas
Dtot = Diameter terluar pipa
Ds = Diameter luar baja
I = Inersia
Po = Tekanan internal
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 43
Pe = Tekanan eksternal
ts = tebal pipa
Untuk mendapatkan panjang bentang bebas maksimum (L) untuk kondisi statik, maka perlu
dilakukan iterasi dengan batasan‐batasan tertentu. Adapun batasan yang digunakan pada
analisis bentang bebas kondisi statik adalah:
Longitudinal stress = 0,8 SMYS
Von Mises stress = 0,9 SMYS
2.5. MUAI PANJANG (THERMAL EXPANSION)
Zat padat secara mikroskopis dapat dipandang sebagai model atom‐atom yang dihubungkan
dengan pegas. Pegas‐pegas tersebut bergetar dengan amplitudo tertentu. Bila temperaturnya
dinaikkan maka amplitudonya juga berubah akibatnya jarak antar atom juga berubah. Sehingga
secara keseluruhan dimensi dari zat padat tersebut berubah.
Regangan longitudinal akibat efek ujung‐ujung tertutup didapat dari,
stpe EA
PA=ε (2‐58)
Regangan longitudinal akibat hoop stress didapat dari,
Ev h
phσε = (2‐59)
Tegangan tekan longitudinal pada pipa disebabkan oleh gaya gesek tanah,
st
ss EA
μδωε = (2‐60)
Komponen regangan longitudinal untuk ujung pipa yang diberi tahanan jepit‐bebas atau bebas‐
bebas pada jalur pipa pST εεε ,, . Sehingga regangan total merupakan
pSTtot εεεε ++= (2‐61)
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 44
Sedangkan perihal distribusi temperatur pada pipa yang menyebabkan hal diatas mempunyai
distribusi;
• Distribusi logaritmik
Lx
refrefX TTTTβ
10)( max −+= (2‐62)
• Distribusi eksponensial
Lx
refrefX TTTTβ
10)( max −+= (2‐63)
Dengan keterangan symbol, sbb;
stA merupakan area annular dari pipa baja
A merupakan area dalam dari pipa baja
hσ merupakan hoop stress
E merupakan modulus elastisitas
δ merupakan panjang potongan penampang
μ merupakan koefisien friksi tanah
XT merupakan suhu pada jarak x dari Tmax
maxT merupakan suhu tertinggi pada penampang pipa
refT merupakan suhu lingkungan sekitar
β merupakan konstanta penurunan temperetur
L merupakan panjang jalur pipa
Regangan longitudinal menghasilkan simpangan, seperti terlihat dibawah
∫=x
tot dxx0
)(εδ (2‐64)
2.6. EXPANSION LOOP
Untuk mengatasi pertambahan panjang yang dialami oleh pipa penyalur, agar tidak mendesak
PLEM (Pipe Line End Manifold), maka direncanakan suatu konfigurasi pipa yang dinamakan
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 45
expansion spool. Dengan adanya expansion spool ini, maka pertambahan panjang yang dialami
oleh pipa penyalur tidak akan mendesak PLEM.
Gambar 2. 27 Expansion Spool10
Terdapat 2 jenis perpanjangan yang dapat menanggulangi masalah muai panjang akibat suhu,
yaitu expansion loop dan expansion joints. Expansion loop lebih aman jika dibandingkan dengan
expansion joints. Akan tetapi expansion loops membutuhkan ruang lebih banyak jika
dibandingkan dengan expansion joints. Secara sederhana, perhitungan loop menggunakan
rumus sebagai berikut:
HWL 22 += (2‐65)
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 46
Terdapat 2 macam expansion loop yaitu loop simetris dan loop nonsimetris. Expansion loops
yang simetris lebih menguntungkan, karena dapat menerima perpanjangan dari dua arah
secara sama besar. Expansion loops yang tidak simetris, biasa digunakan pada crossings.
Gambar 2. 28 Loop Simetris10
Gambar 2. 29 Lopp Tidak Simetris10
Penggunaan diagram pada Gambar 2.30 lebih disarankan untuk pendesainan expansion loops
pada awal tahap perencanaan. Akan tetapi, apabila telah diketahui berapa besarnya ekspansi
yang akan di akomodasi, expansion loops dapat dihitung dengan menggunakan diagaram pada
Gambar 2.31.
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 47
Gambar 2. 30 Desain Loop Dengan Menggunakan Diagram M. W. Kellogg10
BAB 2 DASAR TEORI
LAPORAN TUGAS AKHIR 2 48
Gambar 2. 31 Nomograf untuk Menentukan Ukuran Loop10