bab ii 2100128 -...
TRANSCRIPT
14
BAB II
WAJIB ZAKAT DALAM ISLAM
A. PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM ZAKAT
1. Pengertian Zakat
Zakat ditinjau dari segi bahasa (etimologi) berasal dari kata “zaka”
yang berarti berkembang, berkah, tumbuh, bersih dan suci dan baik.1
Dalam kitab “Kifayatul Akhyar” disebutkan:
�������������� �������������������
Artinya: “Zakat menurut bahasa artinya tumbuh, berkah, dan banyak
kebaikan”.2
Hammudah Abdalati mengartikan zakat dengan kesucian. Begitu
juga dengan Nawawi dan Abu Muhammad Ibnu Qutaibah, mengartikan
zakat sebagai kesuburan dan penambahan. Makna ini diambil dari kata
zakah. Begitu juga Abdul Hasan Al Walidi mengartikan bahwa zakat
mensucikan, memperbaiki dan menyuburkan harta.3
1 Sesuatu itu zaka berarti tumbuh dan berkembang dan seseorang itu zaka berarti orang itu
baik. Lihat Yusuf Qardhawi, Fiqhuz Zakat, Terj. Salman Harun, Didin Hafidudin, dan Hasanuddin, Hukum Zakat, Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 2002, hlm. 34, banyak lagi literatur yang mengartikan zakat lihat: Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. ke-I, 1997, hlm. 224. - Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. ke- I 1997, , hlm. 1985 - Al Hasan, Masail Fiqhiyah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. ke- 4, 2003, hlm. I.
2 Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad Al Khusaini , Kifayatul Akhyar, juz I, Bandung : Syrirkah Al Ma’arif Lithab’i , tt, hlm. 172
3 Hasbi Ash Shidieqy, Pedoman Zakat, Semarang: PT. Pustaka, Rizki, Putra, Cet. ke-3, 1999, hlm. 3-4
15
Harta yang dikeluarkan untuk zakat dinamakan zakat karena zakat
itu mensucikan diri dari kotoran kikir dan dosa. Zakat itu juga
menyuburkan harta atau memperbanyak pahala bagi mereka yang
mengeluarkan. Zakat juga dapat menyuburkan dan mensucikan
masyarakat. Sebab zakat itu sendiri merupakan manifestasi dari sikap
gotong royong antara orang kaya dan fakir miskin dan sebagai bentuk
perlindungan bagi masyarakat dari bencana kemasyarakatan yaitu
kemiskinan kelemahan baik fisik maupun mental.4 Karena itu zakat akan
mensucikan pahala. Sebagaimana firman Allah dalam surat at-Taubah 103
yang artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat
itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka”.5
Adapun zakat menurut terminologi (istilah) syara’ terdapat
beberapa pandangan. Dalam Ensiklopedi Al Qur’an misalnya
menyebutkan zakat menurut istilah hukum Islam adalah mengeluarkan
sebagian harta, diberikan kepada yang berhak menerimanya supaya harta
yang tinggal menjadi bersih dan orang-orang yang memperoleh harta
menjadi suci jiwa dan tingkah laku.6
Dalam kitab fiqhuz zakat, Yusuf Qardhawi mendefinisikan zakat
secara istilah sebagai berikut:
4 Ibid., hlm. 8-9
5 Departemem Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Departemen Agama RI, 1993, hlm. 2917
6 Fahrudin HS, Ensiklopedi Al-Qur’an, Rineka Cipta, 1992, hlm. 618
16
������������������������������� ��!"���#���$����%&��'()*���+,��-�.�/�01
��+,��234�5��67�8 �9�-�.�/�01�������
Artinya: “Zakat secara istilah adalah sejumlah harta tertentu yang
diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak
disamping berarti mengeluarkan jumlah tertentu itu sendiri”.7
Abu Yahya Zakariya Al Anshari dalam kitab Fathul Wahab
menyebutkan:
: +;�<=�-�.�>)?��$�&�%&�5�@����AB���.�C��������
Artinya: “Zakat menurut syara’ adalah sesuatu nama dari harta atas
badan yang dikeluarkan menurut syara’ yang telah ditentukan”.8
Sedangkan dalam kitab Nailul Authar karya Muhammad Al
Syaukani disebutkan:
����������D.�C�E9��F�G +�&��H�2 I��*��J7�K �+ ����%&�L�=�L�0.�
<M�7�N �+ ���%&�E�O�
Artinya: “Zakat adalah pemberian sebagian harta yang telah mencapai
nisabnya kepada orang fakir dan sebagainya dan tidak
mempunyai sifat yang dapat dicegah syara’ untuk
mentasarufkan keduanya”.9
7 Yusuf Qardhawi, Fiqhuz Zakat, Bairut: Muassasah Ar-Risalah, 1991, hlm. 37-38
8 Abu Yahya Zakariya Al Anshori, Fathul Wahab, Bandung: Syirkah Al Ma’arif, t.th, hlm. 102
9 Muhammad Al Syaukani, Nailul Authar, juz 3, Bairut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah, 1995, hlm.124
17
Pemberian (i’tha) pada sasaran zakat yang dimaksudkan dari
pengertian di atas ditujukan untuk orang yang membutuhkan yakni orang
fakir dan miskin.
Madzhab Syafi’i merumuskan zakat sebagai sebuah ungkapan
untuk keluarnya harta atau tubuh sesuai dengan cara khusus. Sedangkan
madzhab Hambali, zakat ialah hak yang wajib dikeluarkan dari harta yang
khusus untuk kelompok yang khusus pula. Yang dimaksud pernyataan
“wajib” berarti bahwa zakat tersebut bukan sunnat, seperti halnya
mengucapkan salam atau mengantarkan jenazah. Pernyataan “harta”
berarti bahwa zakat bukan berupa jawaban terhadap salam. Pernyataan
“khusus” berarti bahwa harta yang dizakati, bukan harta yang berstatus
wajib, artinya harta itu bukan harta yang harus dibayarkan untuk utang
atau untuk memberi nafkah pada keluarga. Pernyataan “kelompok yang
khusus” berarti bahwa mereka bukan ahli waris pemberi zakat.10
Adapun mazhab Maliki mendefinisikan zakat menurut syara’
adalah “mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta yang khusus pula
yang telah mencapai nisab (batas kuantitas yang mewajibkan zakat)
kepada orang-orang yang berhak menerimanya (mustahiq) nya. Dengan
catatan, kepemilikan itu penuh dan mencapai hawl (setahun), bukan
barang tambang dan bukan pertanian. Begitu juga madzhab Hanafi,
mendefinisikan zakat dengan menjadikan sebagian harta yang khusus dari
10 Wahbah Al Zuhayly, Al – Fiqh Al- Islami Adilatuh, Terj. Agus Efendi dan Bahruddin
Fannany, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, Bandung: PT. Rosdakarya, Cet. ke-5, 2000, hlm. 84-85
18
harta yang khusus sebagai milik orang yang khusus, yang ditentukan oleh
syari’at karena Allah swt. Kata “menjadikan sebagian harta sebagai
milik” (tamlik) dalam definisi di atas dimaksudkan sebagai penghindaran
dari kata ibahah (pembolehan).11
Dari sini jelaslah bahwa kata zakat, menurut terminologi para
fuqaha dimaksudkan sebagai “penunaian” yakni penunaian hak yang wajib
yang terdapat dalam harta. Zakat juga dimaksudkan sebagai bagian harta
tertentu dan yang diwajibkan oleh Allah untuk diberikan kepada orang-
orang fakir.
Sedangkan zakat dalam undang-undang Republik Indonesia nomor
38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat diformulasikan sebagai harta
yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh
orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada
yang berhak menerimanya.12
Sementara itu, Al Qur’an menyebutkan zakat dengan berbagai
istilah, tetapi maksudnya adalah zakat. Kata tersebut adalah sadaqah.
Misalnya firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 60 dan 103. sadaqah
berasal dari kata sadaqah yang berarti “benar” menurut terminologi
syari’at. Pengertian sadaqah sama dengan pengertian infaq termasuk juga
hukum dan ketentuan-ketentuannya. Hanya saja, jika infaq dengan materi
sedangkan sadaqah memiliki arti luas, menyangkut hal yang bersifat non
11 Ibid., hlm. 83-84
12 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, Bazis, Kudus, 2001, hlm. 3
19
material. Hadis riwayat Imam muslim dan Abu Dzar Rasulullah
menyatakan bahwa jika tidak mampu bersedekah dengan harta maka
membaca tasbih, takbir, tahmid, tahlil dan melakukan kegiatan amar
ma’ruf nahi munkar adalah sedekah.13
Adapun kata infaq, kadangkala juga dimaksudkan zakat
sebagaimana firman Allah:
���PQ R(STU���V%P&�RAWXS���V�R=V�R6SY��Z�P&V�RA[�R\V�S���V&�P] �V\MS_�R%P&�� W*P�R9SY�� [�V&�L�V%aP3b����V!caSY�Va
d���*\���������e
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari
apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu”.
(QS. Al-Baqarah: 267).14
Kata infaq tidak mengandung arti zakat maka menurut terminologi
syari’at berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan atau
penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam. Jika
zakat ada nishabnya, infaq tidak mengenal nishab. Infaq dikeluarkan oleh
setiap orang yang beriman baik yang berpenghasilan tinggi maupun
rendah, apakah disaat lapang maupun sempit. Jika zakat harus diberikan
13 Didin Hafidhudin, Panduan Praktis Tentang Zakat Infaq Sedekah, Jakarta: Gema Insani,
1998, hlm. 15 14 Departemen Agama, op.cit., hlm. 67
20
kepada mustahiq tertentu (8 asnaf) maka infaq boleh diberikan kepada
siapapun juga.15
Menurut Quraisy Shihab yang perlu diperhatikan bahwa zakat
adalah satu ketetapan Tuhan menyangkut harta, bahkan sadaqah dan
infaqpun demikian. Karena Allah menjadikan harta benda sebagai sarana
kehidupan untuk umat manusia seluruhnya maka harta harus diarahkan
guna kepentingan bersama.16
Berdasarkan pendapat dan ketentuan di atas, zakat merupakan
perintah Tuhan untuk menciptakan kesejahteraan umat manusia dan
pemerataan ekonomi. Penulis memahami zakat sebagai sarana ibadah
sosial, disitu dapat diambil pengertian bahwa zakat yang berarti kemurnian
dan kebersihan. Islam menggunakan makna itu untuk menyebut tindakan
menyisihkan sebagian kekayaan untuk diberikan kepada orang-orang yang
memerlukan termasuk untuk membiayai kebutuhan umat. Hal tersebut
amatlah penting karena pada dasarnya di dalam harta benda yang kita
miliki itu ada hal orang Islam. Dengan diberikan kepada orang yang
berhak menerimanya itu, kekayaan tersebut menjadi bersih.
Kenyataan yang kita hadapi sekarang adalah zakat menjadi
persoalan umat dan negara. Untuk itu, perlu adanya interpretasi baru
mengenai aspek-aspek yang berkenaan dengan zakat antara lain muzakki,
mustahiq, nisab dan amil zakat.
15 Didin Hafidhudin, op.cit., hlm. 14-15
16 Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 232
21
2. Dasar Hukum Zakat
a. Al Qur’an
Dalam pemahaman Islam, Al Qur’an merupakan sumber
hukum tertinggi, keberadaannyapun tidak pernah usang menghadapi
setiap perubahan zaman. Hingga kini, Al Qur’an tetap menjadi
sandaran, rujukan hukum dari setiap permasalahan yang muncul di
masyarakat, tidak terkecuali pembahasan tentang perintah zakat.
Di dalam Al Qur’an Allah telah menyebutkan tentang zakat
yang selalu dihubungkan dengan sholat sejumlah 82 ayat. Dari sini
disimpulkan secara deduktif bahwa setelah sholat, zakat merupakan
rukun Islam terpenting.17 Begitu pentingnya zakat secara mendasar
digambarkan dengan jelas di dalam beberapa ayat Al Qur’an sebagai
berikut:
1). QS. At-Taubah: ayat 103
���RA[4[�!S0[1�fSgV)Vh�RAP!P��V R&SY�R%P&�U3[6d�������? �����������e
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka dengan
zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka…” (QS. At-Taubah (9): 103).18
2). QS. Al Muzammil ayat 20
������S��S�Z+ ���� [�MPgSYV����i�V�Vj��i"R�Sg�V<b����� ["P�UgSYV�S��S�Z����� [1�LV����� dk&���������e
17 Muhammad, Zakat Profesi, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002, hlm. 12
18 Departemen Agama, op.cit., hlm. 297
22
Artinya: “Tegakkan sholat dan tunaikan zakat dan berilah
piutang kepada Allah dengan sebaik-baik piutang…”
(QS. Al Muzzammil: 20).19
3). QS. Al Bayyinah ayat 5
�P�� �b�P7� �[�P&WY� �V&V���S��S�Z+ ��� � [�MP*[aV� L�S�V�[j�V%a)��� [<S�� V�P+P�Rl[&�V<b���� �[)[\RmVM
��PV�MS*U���[%aPn�Vo P�SpV�S��S�Z����� [1Rq[aVd��M\�����e��
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepadaNya dalam (menjalankan) agama yang lurus (menjalankan syirik dan kesesatan) dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, dan dengan demikian itulah agama yang lurus”. (QS. Al Bayyinah: 5).20
4). QS. At-Taubah ayat 34
� ��������V� Vr V4b3��� S>[�P�UXVa� V%aP3b��V����P<b���� PkMP\VB� DP�� �V!V9 W*P�R�[a� �S�V� SZsP�U�
�tAMP�SY�tK �S3VmP?�RA[4R�uV\S�d�? �������e�
Artinya: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”. (QS. At-Taubah: 34).21
5). QS. Al Baqarah ayat 110
�����[2[)PvV1�t�RMV6�R%P&�RAWXP�W�R9STP�� � [&)S*[1� �V&V�S��S�Z���� � [1�LV�S��S�Z+ ��� � [�MPgSYV
���w�P+V?�S> W�V�RmV1��V�P?�V<b����b>P7�P<b����V)R�P.d���*\��������e
19 Ibid., hlm. 990
20 Ibid., hlm. 1084
21 Ibid., hlm. 283
23
Artinya: “Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apapun yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapatkan pahala disisi Allah, sesungguhnya Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Baqarah: 110).22
Beberapa ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa zakat
adalah wajib hukumnya bahkan sangat ditekankan pelaksanaannya.
Penekanan tersebut dapat dilihat pada banyaknya perintah zakat yang
dirinya dengan perintah sholat. Dijelaskan pula bahwa kepada mereka
yang memenuhi kewajiban ini (zakat) dijanjikan pahala yang
berlimpah di dunia dan di akherat kelak. Sebaliknya, bagi mereka yang
menolak membayar zakat akan diancam dengan hukuman keras
sebagai akibat kelalaiannya. Sehingga jelaslah bahwa zakat adalah
kewajiban yang sama pentingnya dengan sholat bagi setiap muslim.
b. Hadis
Islam menetapkan Al-Hadis sebagai dasar hukum kedua setelah
Al Qur’an. Al Hadis juga menjadi penjelas ayat-ayat Al Qur’an yang
pembahasannya masih bersifat global.
Sehingga terlihat secara gamblang perintah hukum, wajib
zakat. Adapun dalil-dalil dari hadis sebagai berikut:
Hadis yang diriwayatkan muslim dari Ibn Umar:
8 x�-�.�yzB{��|?������������y�g�� ��$ B(��)�}�>Y� ��{��<���{�>Y��n�!C
�>�s&(�y h�~ M\����j��������L��a���z+ ����d��.�%.�A��&�2�(e�
22 Ibid., hlm. 30
24
Artinya: “Islam didirikan dari lima sendi: mengaku bahwa tidak ada Tuhan yang sebenarnya disembah melainkan Allah dan bahwasanya Muhammad itu utusan Allah, mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji dan berpuasa sebulan Ramadhan”. (HR. Muslim).23
Diriwayatkan lagi oleh Bukhori Muslim dari Ibn Abbas ra.
Bahwasanya Nabi saw mengutus Mu’adz bin Jabal ke daerah Yaman.
Kemudian beliau bersabda kepadanya:
������A!��M�H�� %&�36q1� g)h�A!M�.�Q ����� �� >�� A!��.�� ���-�.�n���
A!���*�����
Artinya: “…Jika mereka menuruti perintahmu untuk itu ketetapan atas mereka untuk mengeluarkan zakat beritahukanlah kepada mereka bahwasanya Allah swt mewajibkan orang-orang kaya dan diberikan lagi kepada orang-orang fakir diantara mereka…”.24
Hadis-hadis di atas menerangkan tentang kewajiban
mengeluarkan zakat dan bahwa zakat itu suatu rukun (suatu rangka
penting) dari rukun-rukun Islam dan masih banyak lagi hadis-hadis
yang lain.
c. Ijma
Imam madzhab dan mujtahid mempunyai peranan yang besar
dalam memecahkan persoalan zakat. Al Ijma’ artinya kesepakatan para
mujtahid dalam menggali hukum-hukum agama sesudah Rasulullah
meninggal dunia dalam suatu masalah yang ada ketetapannya dalam
23 Imam Abi Khusain, Shoheh Muslim, juz I, Baerut: Dar Al Kutub Ali Ilmiyah, hlm. 26-27
24 Muhammad bin Ismail Al Bukhari, Shahih Bukhari, Juz. I, Dar Al Fikr, 1981, Bairut, hlm. 124
25
kitab dan sunnah.25 Adapun dalil berupa ijma’ ialah kesepakatan
semua (ulama) umat Islam disemua negara kesepakatan bahwa zakat
adalah wajib, bahkan, para sahabat Nabi saw sepakat untuk membunuh
orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat. Dengan demikian
barang siapa mengingkari kefarduan zakat berarti dia kafir tetapi jika
karena tidak tahu baik karena baru memeluk Islam maupun karena dia
hidup di daerah yang jauh dari tempat ulama, hendaknya dia diberitahu
tentang hukumnya. Dia tidak dihukumi sebagai orang kafir sebab dia
memiliki uzur.26
B. SYARAT WAJIB DAN RUKUN ZAKAT DALAM ISLAM
Zakat merupakan hak Allah yang dikeluarkan oleh setiap manusia
(muslim) yang disampaikan kepada fuqoha dan kaum muslim dengan
mengharap keberkahan atau untuk mensucikan jiwa. Orang yang berzakat di
dunia akan mendapat “pujian dan di akherat akan mendapat ganjaran dari
Allah swt.
Sebagaimana diketahui, zakat terdiri dari zakat mal (harta) dan zakat
fitrah. Zakat mal adalah bagian dari harta kekayaan seseorang atau badan
hukum yang wajib diberikan kepada orang-orang tertentu setelah mencapai
jumlah minimal tertentu dan setelah dimiliki selama jangka waktu tertentu.27
25 Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 22
26 Wahbah Al Zuhayly, op.cit., hlm. 90-91
27 M. Abdurrahman, Dinamika Masyarakat Islam, dalam Wawasan Fiqh, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. ke-1, 2002, hlm. 108-109
26
Sedangkan zakat fitrah merupakan zakat jiwa yaitu kewajiban berzakat bagi
setiap individu baik untuk orang yang sudah dewasa maupun belum dewasa
dan dibarengi dengan ibadah puasa. Yaitu akhir puasa Ramadhan.28
Berbicara masalah zakat, maka perlu dibagi tentang syarat wajib zakat
(muzakki) yaitu orang yang berdasarkan ketentuan hukum Islam diwajibkan
mengeluarkan zakat atas harta yang dimilikinya dan rukun zakat. Menurut
kesepakatan ulama, syarat wajib zakat adalah merdeka, Islam, baligh, berakal,
memiliki harta kekayaan dengan persyaratan tertentu. Untuk lebih jelasnya
penulis akan uraikan di bawah ini�:
1. Syarat Wajib Zakat
a. Islam
Menurut ijma’ zakat tidak wajib atas orang kafir karena zakat
merupakan ibadah mahdhah yang suci sedangkan orang kafir bukan
orang yang suci.29 Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw yang
disampaikan kepada Muaz bin Jabal ketika di utus ke Yaman menjadi
Kadi bahwasanya Rasul bersabda: “jika engkau berhadapan dengan
ahlul kitab maka tindakan pertama adalah menyeru mereka agar
bersyahadat. Jika mereka menyambut seruan itu, maka mereka bahwa
Allah mewajibkan sholat lima kali sehari semalam, mewajibkan
berzakat yang diambil dari harta orang-orang kaya dan diserahkan
28 Mursyidi, Akuntansi Zakat Kontemporer, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. ke-1,
2003, hlm. 78 29 Wahbah Al Zuhayly, op.cit., hlm. 99
27
kepada fakir miskin. Jadi jelaslah bahwa yang wajib dikenai zakat
adalah orang kaya muslim.30
b. Merdeka
Menurut ijma’ para ahli fiqh, zakat tidak diwajibkan atas
hamba sahaya karena secara hukum mereka tidak mempunyai hak
milik, tidak memiliki harta karena diri mereka sendiri dianggap
sebagai harta.31 Begitu pula budak mukatab (budak yang dijanjikan
kemerdekaannya) tidak wajib mengeluarkan karena kendatipun dia
memiliki harta, hartanya tidak dimiliki secara penuh.32 Madzhab
Maliki berpendapat bahwa tidak ada kewajiban zakat pada harta milik
seorang hamba sahaya baik atas nama hamba sahaya itu sendiri
maupun atas nama tuannya karena harta milik hamba sahaya tidak
sempurna (naqish), padahal zakat pada hakekatnya hanya diwajibkan
pada harta yang dimiliki secara penuh.33
c. Baligh dan berakal
Syari’at ini dikemukakan oleh madzhab Hanafi. Oleh sebab itu,
anak kecil dan orang gila tidak dikenai kewajiban zakat.34 Karena
keduanya tidak termasuk dalam ketentuan orang yang wajib
mengerjakan ibadah seperti sholat dan puasa. Akan tetapi, jumhur
30 Abdul Aziz, Dahlan (et.al), op. cit, hlm. 1987
31 Ibid.
32 Aliy As’ad, Fathul Muin jilid 2, Kudus: Menara Kudus, t.th., hlm. 2
33 Wahbah Al Zuhayly, op.cit., hlm.99
34 Abdul Aziz, Dahlan (et.al), op. cit, hlm. 1987
28
ulama fiqh tidak menerima syarat ini dengan berpendirian bahwa
apabila anak kecil atau orang gila memiliki harta satu nisab atau lebih
maka wajib dikeluarkan zakatnya dengan alasan bahwa Al Qur’an
maupun hadis tidak membedakan apakah pemiliknya baligh dan
berakal atau tidak.35 Lagi pula, zakat dikeluarkan sebagai pahala untuk
orang yang mengeluarkannya dan bukti solidaritas terhadap orang
fakir. Anak kecil dan orang gila termasuk juga orang yang berhak
mendapatkan pahala dan membuktikan rasa solidaritas mereka atas
dasar itulah anak kecil dan orang gila wajib memberikan nafkah.
Pendapat ini, menurut penulis lebih baik sebab didalamnya terkandung
upaya untuk merealisasikan kemaslahatan umat.
Adapun harta kekayaan yang wajib dizakati adalah apabila
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 36
a. Milik penuh (Al Milk Attam)
Yang dimaksud dengan harta yang dimiliki secara penuh
adalah pemilik harta tersebut memungkinkan untuk mempergunakan
dan mengambil manfaat harta tersebut secara penuh dan harta tersebut
berada dibawah kontrol dan kekuasaannya. Adapun harta itu harus
didapatkan melalui proses pemilikan yang berdasarkan oleh syara’,
seperti usaha, warisan, hibah. Harta atau kekayaan dari hasil korupsi,
suap atau hasil dari perbuatan yang haram tidak sah dan tidak akan
35 Ibid., hlm. 1988
36 Mursyidi, op.cit., hlm. 91-94, lihat Tim Pelatihan Amil Zakat, Buku Pintar Panduan Zakat Praktis, Jakarta, Inti Mandiri Sejahtera, Cet. ke-1, 2003, hlm. 45-50
29
diterima zakatnya. Rasulullah saw bersabda sebagaimana dikutip oleh
Masdar Helmi bahwasanya: “Allah tidak akan menerima zakat dari
harta yang ghulul37 (kekayaan yang diperoleh secara tidak sah dari
kekayaan umum seperti hasil rampasan perang, dll).38
b. Berkembang (An Namaa’)
Harta yang berkembang artinya harta tersebut dapat bertambah
atau berkembang bila diusahakan atau mempunyai potensi untuk
berkembang dapat memberikan keuntungan (return).39
Ulama terdahulu mengkategorikan zakat hanya pada lima
kategori yaitu; a). Uang, emas, perak; b). Barang tambang dan barang
rikaz;� c). Barang dagangan; �d). Hasil tanaman dan buah-buahan; e).
Binatang ternak yang digembalakan.40
Akan tetapi, dengan semakin modern dunia sekarang ini seiring
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, jenis dan bentuk
kekayaan semakin berkembang dan beragama. Maka ulama
kontemporer seperti Dr. Yusuf Qardhawi, KH. Didin Hafidhudin
menambah kategori zakat baru sesuai dengan perkembangan sarana
untuk menumbuhkembangkan potensi kekayaan tersebut. Seperti
37 Masdar Helmy, Pedoman Praktis Memahami zakat dan cara menghitungnya, Bandung :
PT. Alma’arif, Cet. ke-1, 2001, hlm. 18 38 Muhammad Anwari, Zakat Konsep Pengentasan Kemiskinan, dalam Teras Pesantren
Jurnal Kajian, Edisi VI, tahun II/Dzulhijjah 1424 Hijriyah-Rabiul Awwal 1425 Hijriyah, hlm. 53 39 Tim Pelatihan Amil Zakat, op.cit, hlm.46
40 Wahbah Al Zuhayly, op.cit., hlm. 101
30
munculnya zakat yang dihasilkan oleh perusahaan, profesi, saham dan
lain-lain.
Oleh karena sebab itu, dapatlah disimpulkan bahwa sarana
apapun yang sesuai dengan syari’ah apabila didalamnya terkandung
unsur menumbuhkembangkan harta, maka harta tersebut wajib
dizakati.
c. Cukup nishab
Nishab adalah nilai minimum harta mulai terkena zakat. Pada
umumnya zakat dikenakan atas harta yang telah mencapai nishab.
Ketentuan bahwa harta yang terkena zakat itu harus sampai
senishab sudah disepakati oleh para ulama, kecuali tentang hasil
pertanian, buah-buahan dan hasil tambang. Abu Hanifah berpendapat
bahwa banyak atau sedikit barang yang dikeluarkan oleh bumi harus
dikeluarkan zakatnya. Hal ini senada dengan pendapat Ibnu Abbas
Umar bin Abdul Aziz dan lain-lain bahwa dalam sepuluh ikat sayur
yang tumbuh dari tanah harus dikeluarkan sedekahnya satu ikat.
Namun jumhur ulama menegaskan bahwa nishab merupakan syarat
wajibnya zakat pada setiap harta baik yang dikeluarkan dari bumi
maupun harta yang lainnya.41
d. Lebih dari kebutuhan pokok (Al haajah Al Ashliyyah).
Kebutuhan pokok adalah kebutuhan minimal yang
diperlakukan untuk kelestarian hidup sebagimana penafsiran ulama
41 Muhammad Anwari, op.cit., hlm. 54
31
hanafiyah42. Artinya, apabila kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi,
maka yang bersangkutan tidak dapat hidup dengan baik (layak) seperti
makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal yang wajar.
e. Bebas dari hutang
Harta yang lebih dari kebutuhan primer, sudah senisab dan
berkembang dapat dizakati apabila sudah terbebas dari utang.43Namun
apabila hutang tersebut tidak mengurangi nisab harta yang wajib
dizakatkan maka zakat tetap masih dibayar. Syarat ini disepakati oleh
ulama madzhab hanafi, maliki, dan hambali.44
f. Berlalu setahun
Maksudnya harta sekurang-kurangnya telah satu tahun
Qomariyah dalam hal uang dan barang dagangan.45
Nabi saw bersabda :
$�g�<�.� ��D"(�-�.�%.��Am�h� ��$ B(�$�g��������$�&���8 M�
$ ,��<M�.�$ ��#jd�����n�n� ?��2�(��e�
Artinya: “Dari Ali ra, berkata: Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada
kewajiban zakat pada harta, sehingga ia berulang tahun”.
(HR. Abu Daud).46
42 Ibid, hlm. 55
43 Yusuf Qardawi, op.cit, hlm.155
44 Abdul Azis Dahlan, op.cit, hlm 1989
45 Masdar Helmy, op.cit, hlm. 19
46 Imam Muhammad bin Ismail Al Kahlani, Subulus Salam, Juz II, Semarang: Thoha Putra, t.th. hlm. 128
32
Ada 2 kelompok benda zakat yaitu zakat modal dan zakat
pendapatan, persyaratan “berlaku satu tahun” hanya diterapkan pada
zakat modal, misalnya ternak, uang dan harta benda dagang.
Sedangkan pada zakat pendapatan, persyaratan “berlaku satu tahun”
tidak diberlakukan, karena zakat yang dikeluarkannya adalah pada saat
pendapatan diterima.47
2. Rukun Zakat
Rukun zakat adalah mengeluarkan sebagian dari nishab (harta),
dengan melepaskan kepemilikan terhadapnya, menjadikannya sebagai
milik orang fakir dan menyerahkannya kepadanya atau harta tersebut
diserahkan kepada wakilnya : yakni imam atau orang yang bertugas untuk
memungut zakat.48
C. HIKMAH ZAKAT
Dalam ajaran Islam tiap-tiap perintah untuk melakukan ibadah
mengandung hikmah dan rahasia yang sangat beragam berguna bagi pelaku
ibadah tersebut termasuk ibadah zakat. Sesuai dengan ibadah zakat yang
secara etimologis bermakna bersih, tumbuh dan baik maka ibadah ini akan
memberi keuntungan bagi pelakunya, meskipun secara matematika kuantitatif
akan berakibat mengurangi jumlah harta kekayaan.
Dengan mengetahui hikmah suatu kewajiban atau larangan akan
diperoleh jawaban yang memuaskan atau logis yaitu mengapa hal itu
47 Yusuf Qardhawi, op.cit, hlm. 161
48 Wahbab Al-Zuhaily, op.cit., hlm. 97-98
33
diwajibkan atau dilarang oleh Tuhan. Sebagaimana diketahui bahwa
menunaikan zakat merupakan suatu bentuk perjuangan melawan hawa nafsu,
dan melatih jiwa dengan sifat dermawan yang akan mengangkat kehormatan,
membersihkan jiwa dari sifat tercela yaitu rakus dan bakhil. Kebakhilan
adalah salah satu bentuk ketidakpercayaan terhadap pencipta dan pemberi
rezeki yaitu Allah swt yang pasti akan menepati janjinya baik berupa
keberuntungan maupun berupa kerugian.
Hasbi Ash-Shiddieqy, membagi rahasia dan hikmah zakat atas empat
sisi yaitu hikmah bagi pihak wajib zakat (muzakki), pihak penerima zakat
(mustahiq), gabungan antara keduanya dan hikmah rahasia yang khusus dari
Allah swt.49
Dari empat aspek di atas dapat disimpulkan bahwa hikmah dan rahasia
yang terkandung dalam kewajiban zakat adalah pemantapan hubungan
vertikal dengan Allah dan hubungan horizontal dengan sesama manusia secara
simultan.
Wahbi Sulaiman Ghauji, membagi hikmah zakat atas empat sisi yaitu
dari segi kepentingan orang-orang kaya sebagai muzakki, dari segi eksistensi
harta benda itu sendiri dan dari kepentingan kaum fakir miskin yang berhak
atas zakat itu serta dari pihak masyarakat pada umumnya.50
49 Hasbi As-Shiddieqy, Kuliah Ibadah, Ditinjau dari segi hukum dan hikmah, Jakarta:
Bulan Bintang, 1991, hlm. 232 50 Abdurrahman Qadir, op.cit., hlm. 81
34
Adapun hikmah zakat tersebut antara lain tersimpul sebagai berikut:
1. Sebagai manifestasi keimanan kepada Allah swt, mensyukuri nikmatnya.
Menumbuhkan akhlaq mulia dengan memiliki rasa kepedulian yang
tinggi, menghilangkan sifat rakus dan kikir, menumbuhkan ketenangan
hidup, sekaligus mengembangkan dan mensucikan harta yang dimiliki.51
Firman Allah swt:
������w)aP)VuS��DP?�S3V.�b>P7�RA[1R�S�S��R%P�S�V�RAWXZ9V)aP�STS��RA[1R�SXVC�R%P�S�dA4��?� ��� ��e�
Artinya: “…Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku maka sesuangguhnya adzab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim: 7).52
2. Karena zakat merupakan hak mustahiq, maka zakat berfungsi untuk
menolong, membantu dan membina mereka terutama fakir miskin ke arah
kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera. Sekaligus menghilangkan
sifat ini, dengki dan hasad yang mungkin timbul dari kalangan mereka.
Ketika mereka melihat golongan kaya yang berkecukupan hidupnya.
Zakat, sesungguhnya bukan sekedar memenuhi kebutuhan yang bersifat
konsumtif yang sifatnya sesaat, akan tetapi memberikan kecukupan dan
kesejahteraan pada mereka, dengan cara menghilangkan atau memperkecil
penyebab kehidupan mereka menjadi miskin dan menderita.53
51 Didin Hafidhudhin, Zakat Sebagai Implementasi Syari’ah, Makalah “Seminar Zakat
Sebagai Pengurang Pajak, Semarang 22 November 2000, hlm. 2 52Departemen Agama, op.cit., hlm. 380
53 Didin Hafidhudhin, op.cit., hlm. 2.
35
3. Sebagai pilar amal bersama (jama’i) antara kelompok aghniya yang
berkecukupan hidupnya dengan para mujtahid yang seluruh waktunya
digunakan untuk berijtihad dijalan Allah, yang karena kesibukannya
tersebut, tidak memiliki waktu dan kesempatan untuk berusaha dan
berikhtiar bagi kepentingan nafkah diri dan keluarganya.54
Sebagaimana firman Allah swt.
�P<b����PkMP\VB�DP���[�P+RjWY�V%aP3b���PL�V�S*W�U�P����� d��*\�� �������e�
Artinya: “(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh
jihad) dijalan Allah…” (QS. Al Baqarah: 273).55
4. Sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana maupun
prasarana yang harus dimiliki umat Islam seperti sarana ibadah,
pendidikan, kesehatan, sosial maupun ekonomi sekaligus sarana
pengembangan kualitas sumbr daya manusia muslim.56
5. Untuk memasyarakatkan etika bisnis yang benar, karena zakat tidak akan
diterima dari harta yang didapatkan dengan cara yang bathil.57
6. Dari sisi pembangunan kesejahteraan umat, zakat merupakan salah satu
instrumen pemerataan pendapatan.58
54 Ibid
55 Departemen Agama, op.cit., hlm. 68
56 Didin Hafidhudhin, op.cit., hlm. 3
57 Ibid.
58 Didin Hafidhudhin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta, Gema Insani, 2002, hlm. 14
36
Karena zakat yang dikelola dengan sistem dan manajemen yang
amanah profesional dan integrated dengan bimbingan dan pengawasan
dari pemerintah dan masyarakat akan menjadi pemacu gerak ekonomi di
dalam masyarakat dan menyehatkan tatanan sosial sehingga menghapus
sumber-sumber kemiskinan dan membuka akses setiap individu untuk
memperoleh pendapatan dan kemakmuran.59
7. Dorongan ajaran Islam yang begitu kuat kepada orang-orang yang
beriman untuk berzakat, berinfak dan bersedekah menunjukkan bahwa
ajaran Islam mendorong umatnya untuk mampu bekerja dan berusaha
sehingga memiliki harta kekayaan yang disamping dapat memenuhi
kebutuhan hidup diri dan keluarganya juga berlomba-lomba menjadi
muzakki dan munfiq.60
D. ZAKAT BADAN HUKUM DALAM ISLAM
Syakhsiyah / kepribadian pada asalnya, adalah syakhshiyah thabi’iyah
yang nampak pada setiap manusia, maka dari itu tiap-tiap manusia dipandang
seorang pribadi yang berdiri sendiri, mempunyai hak dan mempunyai
kewajiban. Dalam pandangan hukum (baik hukum positif maupun hukum
Islam), manusia ternyata bukan satu-satunya pendukung hak-hak dan
kewajiban-kewajiban. Di samping manusia, masih ada lagi pendukung dan
59 Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, Profil Direktorat Pengembangan Zakat dan
Wakaf, Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2003, h lm. I 60 Didin Hafidhudhin, op.cit., hlm. 14-15
37
hak kewajiban yang dinamakan badan hukum yang mengurus kepentingan-
kepentingan umum yang dipandang sebagai orang juga.61
Dengan demikian, jelaslah bahwa orang atua pribadi dalam pandangan
hukum ada dua yaitu syakhshiyah jardiyah thabi’iyah (kepribadian yang alami
atau manusia) dan syakhshiyah hukmiyah i’tibariyah (kepribadian menurut
hukum dan anggapan / badan hukum).
Badan hukum menurut R. Rochmat Soemitro sebagaimana dikutip oleh
Chidir Ali, SH yaitu suatu badan yang mempunyai harta, hak serta kewajiban
seperti orang pribadi begitu pula menurut Sri Soedewi Maschun Sofwan,
badan hukum adalah kumpulan dari orang-orang bersama-sama mendirikan
suatu badan (perhimpunan) dan kumpulan harta kekayaan yang disendirikan
untuk tujuan tertentu.62
Timbulnya fikrah syakhshiyah hukmiyah (teori kepribadian dalam
urusan hukum) dalam ilmu hukum adalah akibat adanya berbagai dari
kemaslahatan perorangan dan tidak mampunya seseorang melaksanakan
maslahat yang umum itu, oleh karena itu timbullah syakhshiyah hukmiyah
(badan hukum) yang dapat mengurus kemasalahatan yang dipersekutukan
masyarakat, yang dikehendaki oleh keperluan-keperluan hidup masyarakat.63
61 Hasbi Ash-Hiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra,
Cet. ke-4, 2001, hlm. 194 62 Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung : Alumni, 1999, Cet. ke-2, hlm. 19
63 Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., hlm. 202-203
38
Antara badan hukum (syakhshi hukmi) dengan manusia pribadi
(syakhshi thabi’i) terdapat beberapa perbedaan yaitu dalam hal-hal
sebagaimana berikut : 64
1. Syakhshi hukmi tidaklah berpautan dengan syakhshi thabi’i dalam hal hak-
hak syakhshiyah, hak-hak khusus bagi manusia seperti hak berkeluarga,
hak beristri, hak bercerai, hak perhubungan darah, hak pusaka dan
sebagainya, kecuali dalam hal jinsiyah, ahliyah dan tempat menetap
ditetapkan kepada syakhshi hukmi
2. Syakhshi hukmi tidak mati / hilang / berakhir dengan matinya / lenyapnya
syahshi thabi’i yang menjadi pengurusnya, maka bergantinya pengurus
tidak menyebabkan syakhshiyah hukmiyah harus bertukar pula.
3. Syakhshi thabi’i tidak diperlukan pengakuan hukum sedangkan syakhshi
hukmi diperlukan diperlukan hukum.
4. Ahliyah syakhshi thabi’i bagi segala rupa tasharufnya tidak terbatas,
sedangkan ahliyah syakhshi hukmi dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan huku dan dibatasi dalam bidang-bidang yang dibenarkan
hukum dan ditentukan.
5. Ahliyah syakhshiyah thabi’iyah berkembang menurut perkembangan
manusia sendiri, dimulai dari ahliyah naqishah (kecapakan bertindak yang
tidak sempurna) berakhr pada ahliyah kamilah (kecakapan bertindak yang
sempurna), yaitu bila seseorang telah dewasa. Berbeda dengan syakhshi
64 Ibid., hlm. 204-205
39
hukmi, ahliyahnya telah sempurna dengan berwujudnya syakhshiyah itu
dan tetap tidak berkembang.
6. Syakhshiyah hukmiyah tidak dapat dijatuhi hukuman badan, yang dijatuhi
hanya hukuman perdata saja.
Di Indonesia, badan hukum dapat berupa perhimpunan dan kumpulan
harta kekayaan seperti perseroan terbatas (PT), perusahaan umum (Perum),
koperasi atau juga bentuk badan hukum lainya yang bukan mencari
keuntungan seperti yayasan.65
Sebagaimana diketahui, bahwa khittob zakat dari Allah SWT hanya
diwajibkan kepada manusia secara individu, akan tetapi, dewasa ini yang
dinamakan subyek hukum itu ada 2 sebagaimana tersebut di atas yaitu
manusia dan badan hukum, maka dari itu, badan hukum di mana di dalamnya
terdapat individu pemilik modal / saham yang melakukan berbagai macam
transaksi dan kegiatan usaha, oleh karena itu dikenai pula kewajiban zakat.
Walaupun memang, dalam ketentuan fiqh klasik tidak ada ketentuan mengenai
kewajiban zakat atas badan hukum akan tetapi, dalam rangka mengatasi
ketimpangan sosial dan pengentasan kemiskinan maka badan hukum dikenai
zakat pula.
Adapun persyaratan badan hukum dikenai kewajiban zakat adalah
dapat dianalogkan kepada syarat wajib dan rukun zakat pada manusia secara
individu yaitu dengan syarat pemilik badan hukum tersebut Islam, merdeka,
baligh, dan memiliki harta kekayaan dengan syarat milik penuh, berkembang,
65 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis. Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta : Sinar Grafika, Cet. ke-I, 1994, hlm. 14
40
mencapai nishab, telah satu tahun, lebih dari kebutuhan pokok dan bebas dari
hutang, sebagaimana menurut Malik dan Abu Hanifah bahwa beberapa orang
yang bersekutu itu tidak dikenai wajib zakat secara personal dan pengeluaran
zakat harta badan hukum (syirkah) setelah mencapai nishab sedangkan
menurut Syafi’i bahwa harta yang diserikatkan sama hukumnya dengan harta
seorang.66
Adapun nishab zakat badan hukum seperti perusahaan senilai dengan
nishab zakat perdagangan yaitu senilai 94 gram emas atau 2,5 % dari seluruh
harta kekayaan selama satu tahun setelah dikurangi kewajiban-kewajiban yang
harus dibayar seperti pajak dan lain-lain (harta kekayaan bersih).67
66 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz I, Jakarta : Dar Al-Ikhya’, t.th., hlm. 188
67 Departemen Agama, Motivasi Zakat, Jakarta : Departemen Agama, 1995, hlm. 31-39