bab ii 2.1 landasan teori 2.1.1 agency theory · hal ini merupakan bentuk konsekuensi adanya...
TRANSCRIPT
7 Universitas Kristen Petra
BAB II
2.1 LANDASAN TEORI
2.1.1 Agency Theory
Agency theory menjadi pusat perhatian setelah Jensen dan Meckling
(1976) mempublikasikan hasil penelitian mereka tentang teori perusahaan dilihat
dari perilaku manajerial. Teori ini muncul karena adanya pemisahan antar pemilik
perusahaan dan pengelola perusahaan, yang menjadikan kepemilikan perusahaan
sangat menyebar (Jensen and Meckling, 1976; Shleifer and Vishny 1997). Agency
theory merupakan konsep yang menjelaskan hubungan kontraktual antara pihak
principal dengan agent sebagai teori mendasar yang digunakan dalam praktik
bisnis yang dipakai perusahaan. (Jensen and Meckling, 1976; Eisenhardt, 1989).
Hubungan keagenan terjadi ketika adanya hubungan kerja antara satu atau lebih
pihak investor (principal) yang memberi wewengang, dengan pihak yang
menerima wewenang yaitu manajer (agent) untuk melakukan beberapa jasa,
didalamnya termasuk mendelegasi otoritas decision making. (Altuner et al., 2015;
Brigham dan Houston, 2006:26; Bonazzi & Islam, 2007).).
Hubungan keagenan dapat menciptakan kondisi ketidak seimbangan
informasi (asymmetrical information) karena agent berada pada posisi memiliki
informasi yang lebih banyak tentang perusahaan dibandingkan dengan principal
(An et al, 2011). Manajer sebagai agent memiliki kewajiban untuk
memaksimalkan kesejahteraan dari pemilik perusahaan, selain itu manajer juga
memiliki kepentingan untuk dapat memaksimalkan kesejahteraan sendiri. Adanya
perbedaan kepentingan dan latar belakang antara principal dan agent serta adanya
pemisahan kepemilikan dan pengendalian perusahaan akan menimbulkan
terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest).
Perbedaan kepentingan antara principal dan agen yang menyebabkan
timbulnya masalah keagenan ketika proporsi kepemilikan saham manajer atas
saham perusahaan kurang dari 100%, (Jensen dan Meckling 1976; Shleifer and
Vishny, 1997) dalam kondisi ini menjadikan pihak manajemen tidak lagi
berupaya untuk memaksimumkan keuntungan perusahaan melainkan berusaha
untuk mengambil keuntungan dari beban yang ditanggung oleh pemegang saham,
8 Universitas Kristen Petra
hal ini merupakan bentuk konsekuensi adanya pemisahan fungsi antara pengelola
dan pemilik perusahaan, (Jensen, 1986).
Teori keagenan menyatakan bahwa dalam pengelolaan perusahaa selalu
ada konflik kepentingan antara manajer dan pemilik perusahaan, Manajer dan
bawahannya, Pemilik perusahaan dan kreditor, (Brigham dan Gapenski,1996).
Adanya resiko terjadinya konflik agensi menjadi alasan utama perusahaan
membutuhkan pengawasan dan pemriksaan aktivitas pihak-pihak tersebut yang di
nilai melalui kinerja keuangan pada laporan keuangan perusahaan. Corporate
governance merupakan mekanisme dalam melakukan pengawasan untuk
mengurangi terjadinya konflik kepentingan antara principal dan agent. Penerapan
corporate governance yang efektif dapat mengurangi agency cost dan masalah-
masalah yang timbul dari adanya pemisahan fungsi antara pengelola dan pemilik
perusahaan, Jensen dan Meckling (1976).
Dalam upaya mengatasi masalah keagenan menimbulkan biaya keagenan
(agency cost) yang akan ditanggung principal dan agent (Jensen and Meckling,
1976). Biaya keagenan muncul ketika kepentingan manajer tidak sesuai dengan
kepentingan pemilik perusahaan dan berpengaruh terhadap tugas, kelalaian, serta
keputusan manajer berdasarkan kepentingan sendiri yang dapat mengurangi
kesejahteraan principal.
Menurt Jensen dan Meckling (1976), biaya keagenan (agency cost)
berdasarkan jenis biayanya dapat dikelompokkan menjadi tiga:
1. Biaya pengawasan (monitoring cost/ activities)
merupakan biaya yang ditanggung oleh principal untuk mengawasi perilaku agent
apakah agent telah bertindak sesuai kepentingan principal.
2. Biaya pengikatan (bounding cost)
merupakan biaya yang di tanggung oleh agent untuk menetapkan dan mematuhi
mekanisme yang menjamin agent akan bertindak sesuai dengan kepentinggan
principal.
3. Biayakerugian residual (residual loss)
merupakan pengorbanan yang berupa penurunan kemakmuran dan kesejahteraan
principal sebagai akibat dari perbedaan keputusan antar agent dan principal.
9 Universitas Kristen Petra
Untuk mengurangi timbulnya biaya keagenan (agency cost) dalam mengatasi
terjadinya masalah keagenan dapat dikurangi dengan beberapa cara antara lain
yaitu:
1. Kontrak yang efisien antara prinsipal dengan agen yang dapat menjelaskan
tugas manajer dalam mengelola dana investor dan tentang pembagian
return antara manajer dan investo secara spesifikasi.
2. Jensen dan Meckling (1976) mengungkapkan bahwa dengan
meningkatkan kepemilikan manajerial memiliki keuntungan untuk
menyejajarkan kepentingan manajer dan pemegang saham.
3. Jensen and Meckling (1976) mengungkapkan bahwa kepemilikan
institusional berpengaruh penting dalam meminimalisasi terjadinya konflik
keagenan yang terjadi diantara pemegang saham dengan manajer.
Pentingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha
pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor sehingga dapat
meminimalisir konflik agensi langsung antara manajemen dan investor,
sehingga manajer akan bertindak sesuai dengan keinginan investor dan
mengurangi pengeluaran agency cost.
2.1.2 Resources Based Theory
Resources based theory (RBT) merupakan bentuk perkembangan
pemikiran dari teori manajemen strategi dan keunggulan kompetitif yang
membahas bagaimana suatu perusahaan dapat mengolah dan memanfaatkan
semua sumber daya yang dimilikinya untuk mencapai keunggulan. Resources
based theory meyakini bahwa perusahaan akan mencapai keunggulan apabila
perusahaan tersebut memiliki sumber daya yang unggul (Wernerfelt ,1984).
Dalam penelitian ini resources based theory menjelaskan perusahaan
dapat mencapai keunggulan kompetitif dan kinerja keuangan yang optimal dengan
cara memiliki, menguasai dan dapat memanfaatkan penggunaan semua aset
strategis penting yang dimiliki perusahaan yang meliputi aset berwujud ataupun
aset tidak berwujud, untuk mencapai keunggulan kompetitif dan kinerja keuangan
yang optimal. Belkaoui (2003) menyatakan strategi yang potensial untuk
meningkatkan kinerja perusahaan adalah dengan menyatukan aset berwujud dan
10 Universitas Kristen Petra
aset tidak berwujud. Dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan pendekatan
Resource-Based Theory yang meyakini bahwa pengelolaan dan pemanfaatan
penggunaan sumber daya yang dimiliki perusahaan dapat berpengaruh pada
peningkatan kinerja perusahaan.
2.2 Ownership structure
Perkembangan perekonomian modern , menjadikan kepemilikan
perusahaan sangat menyebar, sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan cara
mengelola perusahaan dengan memisahkan antar pemilik dan pengelola
perusahaan, hal ini sesuai dengan teori keagenan dimana pemilik perusahaan
(principal) menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada tenaga ahli yaitu
manajer (agent). Kepemilikan perusahaan dihitung berdasarkan besarnya
persentase jumlah saham terhadap keseluruhan saham perusahaan.
Penelitian tentang ownership structure berawal dari hipotesis Berle dan
Means (1932) meneliti tentang struktur kepemilikan publik. Ownership structure
merupakan berbagai macam bentuk pola kepemilikan dalam perusahaan atau
besarnya jumlah presentase kepemilikan saham yang dimiliki oleh pemegang
saham internal dan pemegang saham eksternal (Jensen dan Meckling, 1976).
Persentase kepemilikan ditentukan oleh besarnya persentase jumlah saham
terhadap keseluruhan saham perusahaan. Ownership structure dalam suatu
perusahaan mengimplikasikan penggunaan sumber daya secara efisien untuk
memaksimumkan keuntungan yang diperoleh, di mana kepemilikan yang tersebar
akan mengurangi insentif bagi manajer untuk memaksimumkankeuntungan.
Penerapan ownership structure berpengaruh terhadap kondisi kinerja
keuangan perusahaan. Kinerja keuangan perusahaan dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain yaitu pemusatan kepemilikan, manipulasi laba, serta
pengungkapan laporan keuangan. Pemusatan kepemilikan berpengaruh positif
terhadap nilai perusahaan dengan meminimumkan agency cost, tetapi terdapat dua
masalah keagenan yang terjadi di dalam kepemilikan, yaitu masalah keagenan
antara manajemen dan pegang saham (Jehsen dan Meckling, 1976). Perbedaan
kepentingan antara pemilik perusahaan (pemilik saham mayoritas) dan manajer
pengelola yang menyebabkan timbulnya masalah keagenan. Adanya kemungkinan
11 Universitas Kristen Petra
terjadinya masalah keagenan menjadikan ownership structure menjadi hal yang
penting untuk mengatasi conflict agency. Ownership structure sangat penting
dalam menentukan nilai perusahaan, dengan adanya penerapan ownership
structure yang baik akan menghasilkan kineja perusahaan yang optimal.
Ownership structure terbagi menjadi beberapa jenis. Menurut Jensen dan
Meckling (1976) ownership structure dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu
managerial ownership, institutional ownership, dan public ownership. Dalam
penelitian ini menggunakan institutional ownership, karena institutional
ownership merupakan mekanisme corporate governance utama dalam mengatasi
terjadinya conflict agency, (Jensen dan Meckling 1976).
2.2.1 Institutional Ownership
Institutional ownership merupakan kepemilikan saham oleh investor besar
yang bukan berasal dari kalangan manajerial yang mencerminkan proporsi
kepemilikan saham yang dimiliki oleh perusahaan seperti oleh pemerintah,
institusi keuangan, institusi berbadan hukum, institusi luar negeri, dana perwalian
serta institusi lainnya pada akhir tahun. Jensen and Meckling (1976)
mengungkapkan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh penting dalam
meminimalisasi terjadinya konflik keagenan yang terjadi diantara pemegang
saham dengan manajer.
Institutional ownership sangat penting bagi perusahaan khususnya
kemampuannya dalam mengawasi prilaku manajer dan mengendalikan pihak
manajemen melalui proses monitoring secara efektif . Keberadaaan investor
institusional dianggap mampu mengoptimalkan pengawasan kinerja manajemen
dengan memonitoring setiap keputusan yang diambil oleh pihak manajemen
selaku pengelola perusahaan. Dengan tingkat pengendalian yang tinggi terhadap
tindakan manajemen sehingga dapat meminimalisir resiko terjadinya kecurangan
untuk menjaga investasi mereka dalam perusahaan.
Pentingkat Institutional ownership yang tinggi akan menimbulkan usaha
pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat
menghindari prilaku oportunis yang dilakukan pihak manajer dan meminimalisir
konflik agensi langsung antara manajemen dan investor, sehingga manajer akan
12 Universitas Kristen Petra
bertindak sesuai dengan keinginan investor dan mengurangi pengeluaran agency
cost ,serta menurunkan tingkat resiko terjadinya penggelapan yang dilakukan
pihak manajemen yang mengakibatkan penurunan pada kinerja dan nilai
perusahaan. Investor institusi dapat dibedakan menjadi dua yaitu investor aktif
dan investor pasif. Investor aktif ingin terlibat dalam pengambilan keputusan
manajerial, sedangkan investor pasif tidak terlalu ingin terlibat dalam
pengambilan keputusan manajerial.
Institutional ownership adalah kepemilikan saham oleh institusi yang
mencerminkan proporsi kepemilikan saham yang dimiliki oleh pihak institusi
yang diukur sesuai dengan proporsi jumlah kepemilikan saham yang dimiliki oleh
saham yang dimiliki oleh pemilik institusi dan kepemilikan oleh blockholder.
𝐼𝑛𝑠𝑡𝑖𝑡𝑢𝑡𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 𝑂𝑤𝑛𝑒𝑟𝑠ℎ𝑖𝑝 =Jumlah kepemilikan saham oleh institusional
Jumlah saham yang beredar×100% (2.1)
2.3 Intellectual capital
Dalam persaingan bisnis yang semakin ketat, organisasi harus
menggunakan semua sumber daya yang dimilikinya, baik yang berwujud ataupun
yang tidak berwujud untuk mendapatkan keuntungan kompetitif. Pentingnya
intellectual capital telah diakui sebagai faktor penentu sukses sebuah perusahaan,
bukan hanya untuk perusahaan yang berbasiskan tekhnologi, tetapi untuk seluruh
tipe organisasi (Lonnqvist dan Mettanen, 2002).
Intellectual capital atau modal Intelektual merupakan salah satu intangible
asset yang sangat penting bagi perusahaan. Intellectual capital seringkali menjadi
faktor utama perusahaan dalam memperoleh laba. Istilah Intellectual Capital
pertama kali dikemukakan oleh John Kenneth Galbraith pada tahun 1969. Bahwa
Intellectual capital memiliki arti lebih dari sekedar intellect as pure intellect
melainkan juga berhubungan dengan intellectual action. Sehingga Intellectual
capital merupakan intangible asset berupa proses perusahaan dalam memiliki
knowledge, dan skill yang digunakan untuk mengolah knowledge perusahaan.
Definisi Intellectual Capital yang ditemukan dalam beberapa literatur
telah berkembang cukup kompleks dan beragam. Stewart (1997) menyatakan
bahwa IC sebagai sumber intelektual berupa pengetahuan, informasi, kekayaan
intelektual, dan pengalaman yang secara bersamaan menjadi alat untuk
13 Universitas Kristen Petra
menciptakan kekayaan dan kesejahteraan bagi perusahaan. Dari definisi tersebut
dapat disimpulkan bahwa intellectual capital merupakan sumber daya berupa
pengetahuan yang di miliki perusahaan untuk menghasilkan future economic
benefit bagi perusahaan. Sullivan (2000) mendefinisikan IC sebagai pengetahuan
yang dapat dikonversi menjadi keuntungan. Demikian pula, Brooking (1996, p.
12) mendefinisikan IC sebagai "Gabungan aset tidak berwujud dari pasar,
kekayaan intelektual, berpusat pada manusia dan infrastruktur yang
memungkinkan perusahaan untuk berfungsi". Dapat disimpulkan bahwa modal
intelektual (IC) merupakan intangible assets sebagai sumber daya berupa
pengetahuan.
Dengan demikian modal intelektual memberikan informasi mengenai nilai
intangible assets yang dapat mempengaruhi daya tahan dan memberikan
kontribusi pada keunggulan kompetitif perusahaan. Akuntansi tradisional yang
digunakan sebagai dasar pembuatan laporan keuangan dirasa gagal dalam
memberikan informasi mengenai IC. Keterbatasan informasi mengenai
sumberdaya manusia, inovasi, customers, dan teknologi yang dimiliki oleh
perusahaan yang tidak tersedia dalam laporan keuangan, karena adanya kesulitan
dalam identifikasi, dan pengukuran Hidalgo et al. (2011) .Sehingga menyebabkan
adanya perbedaan antara nilai pasar dan nilai buku perusahaan.
Semakin tingginya kesenjangan antara nilai pasar dan nilai buku dari
banyak perusahaan telah menarik perhatian banyak peneliti untuk meneliti nilai
yang tidak nampak dalam laporan keuangan (Chen, Cheng, Hwang, 2005).
Menurut banyaknya penelitian, IC dianggap sebagai nilai tersembunyi dalam
laporan keuangan yang menjadi sumber keunggulan kompetitif bagi perusahaan .
Keterbatasan laporan keuangan dalam menjelaskan nilai perusahaan inilah yang
mengungkapkan fakta bahwa sumber nilai ekonomi perusahaan adalah
penciptaanIC. Peran IC dalam mengatasi kesenjangan antara nilai buku dan pasar
serta sumber keunggulan kompetitif menjadikan perusahaan mulai tertarik
mengukur nilai yang diciptakan dari IC, dan berusaha untuk menemukan metode
yang tepat untuk megukur intangible assets yang dimiliki perusahaan.
14 Universitas Kristen Petra
Metode pengukuran intellectual capital dapat dikelompokkan ke dalam
dua kategori (Tan et al., 2007), yaitu pengukuran non-moneter dan moneter .
Pengukuran intellectual capital berbasis non-moneter :
Balanced Scorecard (Kaplan dan Norton, 1992), merupakan pengukuran
IC untuk memonitor kemajuan kapabilitas dan pertumbuhan pengakuisisan dilihat
dari Intangible asset perusahaan. BSC menerapkan misi dan strategi organisasi
kedalam sistem pengukuran kinerja komprehensif strategi dan sistem manajemen.
BSC tidak hanya menekankan pencapaian kinerja keuangan tetapi hubungan sebab
akibat kinerja non keuangan dan kinerja keuangan.
Technology Broker Method (Broking ,1996), melakukan survey untuk
menganalisis indikator IC dengan menggunakan 20 pertanyaan yang meliputi
human centered asset, infrastructure asset, intellectual property asset dan market
asset. Untuk menganalisis lebih dalam setiap bagian dianalisis melalui 158
pertanyaan tambahan dan jawaban dari pertanyaan menggunakan skala likert.
Skandia navigator (Edvinsson dan Malone, 1997), merupakan serangkaian
metode untuk mengukur Intangible asset yang terdiri dari suatu pandangan
menyeluruh dari pencapaian hasil dan prestasi. Skandia Navigator sangat
sederhana dan canggih. Lima fokus area atau perspektif tersebut, mencakup area
kepentingan yang berbeda-beda. Setiap area menggambarkan proses dari
penciptaan nilai.
Pengukuran intellectual capital berbasis moneter :
Economic value-added /EVA (Stewart, 1997) menyatakan bahwa bisnis
menciptakan nilai hanya ketika tingkat pengembalian melebihi biaya utang dan
modal ekuitas. Pengukuran dasar untuk mengukur penciptaan nilai adalah laba
ekonomis. Laba ekonomis diukur dengan mengurangkan net profit dengan
pengeluaran untuk biaya modal.
Market value-added (MVA), MVA dan EVA merupakan konsep laba
ekonomis yang dikembangkan diabad 19. Cara mengevaluasi MVA yaitu dengan
mempertimbangkan jumlah modal pertama yang diinvestasikan dan residual
income atau nilai tambah ekonomis yang diakumulasikan dari tahun ke tahun.
MVA merupakan perbedaan antara nilai pasar perusahaann dan modal dalam
bentuk pinjaman, laba ditahan dan agio saham (berg, 2007).
15 Universitas Kristen Petra
Pada penelitian ini metode pengukuran IC yang digunakan adalah metode
VAIC™ yang di kembangkan oleh Pulic (1998,2000). Pulic mengusulkan
pengukuran secara tidak langsung terhadap IC dengan suatu ukuran untuk menilai
efisiensi dari value added sebagai hasil dari kemampuan intellectual capital
perusahaan. VAIC™ mengutamakan dua aspek penting yang tidak ada pada
metode pengukuran IC lainnya yaitu valuation dan value creation dari
perusahaan. Metode VAIC™ didesain untuk menyajikan informasi mengenai
value creation efficiency yang dilihat dari tangible asset maupun intangible asset
yang dimiliki perusahaan. IC diukur melalui VAIC™ yang terdiri dari tiga
komponen yaitu Human Capital Efficiency (HCE), Structural Capital Efficiency
(SCE), dan Capital Employed Efficiency (CEE). Semakin tinggi nilai VAIC™,
membuktikan bahwa perusahaan lebih efisien dalam mengelola sumber daya
untuk menciptakan nilai bagi perusahaan.
Value Added Intellectual Coefficient (VAIC™) yang merupakan
pendekatan yang memiliki mekanisme pengukuran IC yang sederhana dan
memiliki beberapa keuntungan seperti ketersediaan semua data yang diperlukan
untuk menghitung komponen VAIC™ dalam laporan keuangan perusahaan
(Nazari and Herremans, 2007). VAIC™ merupakan salah satu metode pengukuran
yang dianggap sebagai indikator yang paling objektif dan cocok untuk mengukur
kinerja intellectual capital (Chang and Hsieh, 2011). VAIC™ menunjukkan
bagaimana kedua sumber daya tersebut (physical capital dan intellectual
potential) telah secara efisien dimanfaatkan oleh perusahaan. VAIC™ merupakan
sistem pengukuran yang dapat memenuhi kebutuhan dasar ekonomi kontemporer
yang menunjukkan nilai sebenarnya dan kinerja suatu perusahaan. Penciptaan
value added pada perusahaan memungkinkan benchmarking dan dapat
memprediksi kemampuan perusahaan di masa depan. Hal ini berguna bagi semua
stakeholder yang terlibat di dalam value creation process dan dapat diterapkan
pada semua tingkat aktivitas bisnis (Pulic, 2000). Penelitian terdahulu yang
menggunakan metode VAIC™ sebagai metode pengukuran adalah Firer
&Williams (2003); Chen, Cheng, Hwang (2005); Maditinos et al. (2011). ;Tan et.
al. (2007).
16 Universitas Kristen Petra
Pada umumnya, para peneliti mengklasifikasikan IC menjadi tiga
komponen penyusun yaitu:human capital (HC), structural capital (SC), dan
customer capital (CC)
Human capital meliputi pengetahuan individu dari suatu organisasi yang
berasal dari karyawan yang memiliki kompetensi, sikap, dan kecerdasan
intelektual. Kompetensi tersebut dapat meliputi pendidikan dan ketrampilan, dan
sikap dapat meliputi komponen perilaku dari karyawan, serta kecerdasan
intelektual yang menjadi sumber kekuatan intelektual bagi kemajuan perusahaan.
Human capital merupakan kombinasi dari pengetahuan, keahlian (skill),
kemampuan melakukan inovasi, dan kemampuan menyelesaikan tugas, meliputi
nilai perusahaan, kultur dan filsafatnya (Bontis, 2000). Chen et al. (2005) lebih
jauh menyatakan bahwa Human capital berhubungan dengan pengetahuan dan
keahlian yang ada dalam pikiran karyawan, dan apabila perusahaan tidak dapat
memanfaatkan karyawan tersebut, pengetahuan dan keahlian karyawan akan
terbuang sia-sia dan tidak dapat menghasilkan suatu nilai bagi perusahaan. Human
capital memberikan nilai tambah dalam perusahaan setiap hari, melalui motivasi,
komitmen, kompetensi serta efektivitas kerja tim. Nilai tambah yang dapat
diatribusikan oleh pegawai berupa pengembangan kompetensi yang dimiliki oleh
perusahaan, pemindahan pengetahuan dari pegawai ke perusahaan serta perubahan
budaya manajemen (Mayo, 2000).
Structural Capital merupakan kemampuan suatu perusahaan dalam
memenuhi proses rutinitas perusahaan yang berkaitan dengan usaha karyawan
untuk menghasilkan kinerja intelektual perusahaan yang optimal serta kinerja
bisnis secara keseluruhan (Bontis, 2000). Structural capitaljuga disebut sebagai
organizational capital (Carson et al. 2004), dimana dianggap sebagai infrastruktur
yang supportive terhadap sumberdaya manusia (Benevene and Cortini, 2010).
Sehingga, structural capital merupakan organizational know-how yang berfokus
pada konvergensi human capital menjadi intellectual capital (Swart, 2006).
Seorang individu memiliki intelektualitas yang tinggi, tetapi jika perusahaan
memiliki sistem operasi dan prosedur yang buruk maka intellectual capital tidak
dapat mencapai kinerja secara optimal dan potensi yang ada tidak dapat
dimanfaatkan secara maksimal. Menurut Johnson (2002), dua komponen dari
17 Universitas Kristen Petra
structural capital adalah inovasi (termasuk serangkaian pengetahuan yang
dikodifikasikan, seperti patent dan copyright) dan proses (kebanyakan terdiri atas
intangible assets atas pengetahuan, seperti rahasia perdagangan dan proses
teknologi suatu perusahaan). Tanpa adanya structural capital, intellectual capital
hanya akan menjadi human capital.
Customer capital atau yang dikenal dengan relational/social capital
merupakan komponen intellectual capital berupa knowledge yang memberikan
nilai nyata bagi perusahaan, menghasilkan hubungan yang harmonis dengan pihak
luar dari organisasi, yang berasal dari para pemasok berkualitas, pelanggan yang
loyal dan merasa puas akan pelayanan perusahaan, serta hubungan perusahaan
dengan pemerintah maupun kerjasama mitra bisnis (Johnson, 2002; Roos et al.,
2001). Organisasi akan mendapat keuntungan pada saat membangun customer
capital seperti customer dan brand loyalty, customer satisfaction, market
imagedan goodwill, power to negotiate, strategic alliances, coalitions. Dengan
melakukan pengelolaan Intellectual Capital, perusahaan akan memiliki
keunggulan kompetitif sehingga dapat meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan
secara optimal.
2.3.1 Value Added Intellectual Coefficient (VAIC™)
Value Added Intellectual Coefficient (VAIC™) merupakan metode yang
dikembangkan pertama kali oleh Pulic (1998), yang didesain untuk menyajikan
informasi mengenai value creation efficiency dari tangible asset dan intangible
asset yang dimiliki perusahaan. VAIC™ merupakan metode pengukuran IC secara
financial dan non-financial (Murale et al., 2010). Sehingga, metode VAIC™
terdiri atas physical, financial dan intellectual capital, alasan utama digunakannya
metode VAIC™ dalam penelitian ini adalah karena VAIC™ merupakan salah satu
metode pengukuran yang dianggap sebagai indikator yang paling objektif dan
cocok untuk mengukur kinerja intellectual capital dan memiliki beberapa
keuntungan seperti ketersediaan semua data pengukuran yang diperlukan didalam
laporan keuangan perusahaanyang telah diaudit sehingga data bersifat obyektif
dan dapat diandalkan, (Chang and Hsieh, 2011; Nazari and Herremans,
2007).VAIC™ merupakan alat manajemen pengendalian yang digunakan untuk
18 Universitas Kristen Petra
memonitor dan mengukur efisiensi penciptaan nilai tambah (value added) yang
dihasilkan dari semua kontribusi masing-masing komponen dari intellectual
capital dan capital employed (baik secara fisik maupun keuangan), (Iazzolino and
Laise, 2013; Zéghal and Maaloul, 2010). Terdapat dua sumber daya utama dalam
menghasilkan value added creation bagi perusahaan, yaitu :
Beberapa langkah yang diperlukan dalam menghitung VAIC™ (Pulic,
1998; Pulic 2004), antara lain:
Value added (VA), merupakan Value added merupakan indikator paling
objektif untuk menilai keberhasilan dan menunjukkan kemampuan
perusahaan dalam penciptaan nilai (valuecreation) (Pulic, 1998). Value
added (VA) dihitung dari selisih antara output dan input.
Value added dapat dihitung dengan:
𝑉𝐴 = 𝑂𝑃 + 𝐻𝐶 + 𝐷 + 𝐴
Keterangan :
OP = operating
HC = total salary and wages
D = depreciation
A = amortization
Human Capital Efficiency (HCE), merupakan rasio dari value added (VA)
terhadap Human Capital (HC). Hubungan ini mengindikasikan
kemampuan perusahaan dalam mengelola modal manusia (pengetahuan)
untuk membuat nilai pada sebuah perusahaan. HCE dapat diartikan juga
sebagai kemampuan perusahaan menghasilkan nilai tambah untuk setiap
kontribusi rupiah yang dikeluarkan pada modal manusia. HCE
menunjukkan berapa banyak VA dapat dihasilkan dengan dana yang
Capital Employed
Physical Capital Financial Capital
Intellectual
Capital
Human Capital Structural Capital
(2.2)
19 Universitas Kristen Petra
dikeluarkan untuk tenaga kerja (Tan et al., 2007:79 ,Ulum
2008).Berdasarkan konsep RBT, agar dapat bersaing perusahaan
membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi, dan dapat
mengelola sumber daya yang berkualitas tersebut dengan maksimal
sehingga dapat menciptakan nilai tambah dan keunggulan kompetitif
perusahaan yang pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja keuangan
perusahaan.
𝐻𝐶𝐸 =𝑉𝐴
𝐻𝐶
Keterangan:
VA = value added
HC = total salary and wages
Structural Capital Efficiency (SCE), merupakan rasio Structural Capital
(SC) terhadap value added (VA) yangmenggambarkan seberapa banyak
VA yang dihasilkan dari kontribusi modal struktural (SC). Rasio ini
menunjukan kemampuan perusahaan menghasilkan nilai tambah (value
added) perusahaan dan merupakan indikasi seberapa besar kontribusi SC
dalam penciptaan nilai (Tan et al., 2007:80, Ulum, 2008). Structural
capital meliputi seluruh non-human storehouses of knowledge dalam
organisasi.
𝑆𝐶𝐸 =𝑆𝐶
𝑉𝐴
Keterangan:
SC = selisih VA dan HC
VA = value added
HC = Total salary and wages
Intellectual Capital Efficiency akan meningkat sejalan dengan peningkatan
atas human capital efficiency dan structural capital efficiency. Sehinga,
rumus intellectual capital efficiency adalah sebagai berikut :
ICE = 𝐻𝐶𝐸 + 𝑆𝐶𝐸
Keterangan:
ICE = intellectual capital efficiency
HCE = human capital efficiency
SCE = structural capital efficiency
(2.3)
(2.4)
(2.5)
20 Universitas Kristen Petra
Capital Employed Efficiency (CEE), merupakan komponen financial dan
physical capital. Merupakan rasio perbandingan antara Value Added (VA)
terhadap Capital Employed (CE). CEE menggambarkan berapa banyak
nilai tambah perusahaan yang dihasilkan dari modal fisik yang digunakan.
Menurut asumsi Pulic, jika satu unit CE dalam suatu perusahaan
menghasilkan return yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan lain,
maka perusahaan tersebut dapat dikatakan telah memanfaatkan CE sebagai
bagian dari Intellectual Capital yang lebih baik. CEE menjadi indikator
dari kemampuan intelektual perusahaan untuk lebih memanfaatkan modal
fisik. (Tan et al., 2007:79, Ulum 2008).
𝐶𝐸𝐸 =𝑉𝐴
𝐶𝐸
Keterangan:
VA = Value added
CE = Book value of total debt + book value of total equity
Value Added Intellectual Coefficient (VAIC™),dilihat dari tangible dan
intangible assets yang terdiri atas physical, financial dan intellectual
capital, Semakin tinggi nilai VAIC™, membuktikan bahwa perusahaan
lebih efisien dalam mengelola sumber daya untuk menciptakan nilai bagi
perusahaan.
𝑉𝐴𝐼𝐶™ = 𝐼𝐶𝐸 + 𝐶𝐸𝐸
Keterangan:
ICE = intellectual capital efficiency
CEE = Capital Employed Efficiency
Business Performance Indicator yang digunakan oleh Ulum (2008)
membagi modal intelektual dalam empat kategori yaitu:
a. Top performers – skor VAIC™ diatas 5
b. Good performers – skor VAIC™ antara 4 dan 5
c. Common performers – skor VAIC™ antara 2,5 dan 4
d. Bad performers – skor VAIC™ dibawah 2,5
(2.6)
(2.7)
21 Universitas Kristen Petra
2.4Financial Performance
Financial performance adalah suatu analisis data dan bentuk pengendalian
perusahaan yang digunakan untuk melihat kinerja organisasi secara keseluruhan
untuk melihat sejauh mana suatu perusahaan telah melaksanakan aturan-aturan
pelaksanaan keuangan secara baik dan benar. Kinerja perusahaan merupakan
suatu gambaran tentang kondisi keuangan suatu perusahaan yang dianalisis
dengan alat-alat analisis keuangan, sehingga dapat diketahui mengenai baik
buruknya keadaan keuangan suatu perusahaan yang mencerminkan prestasi kerja
pada periode tertentu yang menunjukan tingkat keberhasilan pelaksanaan
kegiatan.
Baik buruknya kondisi keuangan perusahaan dapat dilihat berdasarkan
laporan keuangan perusahaan tersebut. Laporan keuangan adalah laporan yang
menggambarkan hasil dari proses akuntansi yang di gunakan sebagai alat
komunikasi yang berisikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja
keuangan, dan arus kas entitas yang bermanfaat dalam pengambilan keputusan
ekonomi.
Financial performance merupakan salah satu faktor yang menunjukkan
efisiensi dan efektifitas perusahaan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan,
yang akan sulit tercapai bila perusahaan tersebut tidak bekerja secara efisien.
Efisiensi merupakan rasio antara pengakuan pendapatan dan pengeluaran biaya
menghasilkan laba yang optimal,Sedangkan efektifitas merupakan kondisi dimana
manajemen memiliki kemampuan dalam menentukan strategi yang tepat atau
suatu alat yang tepat untuk mencapai tujuan perusahaan.
Bagi investor, informasi mengenai kinerja keuangan perusahaan dapat
digunakan sebagai dasar penentuan untuk melihat apakah perusahaan dapat
mempertahankan investasi mereka di perusahaan tersebut atau mencari alternatif
lain. Selain itu pengukuran juga dilakukan untuk memperlihatkan kepada
penanam modal maupun pelanggan atau masyarakat secara umum bahwa
perusahaan memiliki kreditibilitas yang baik.
22 Universitas Kristen Petra
Tujuan Analisa Financial performance :
a. Mengetahui tingkat likuiditas.
Likuiditas menunjukkan kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi
kewajiban keuangan yang harus segera diselesaikan pada saat ditagih.
b. Mengetahui tingkat solvabilitas.
Menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangannya
apabila perusahaan tersebut dilikuidasi, baik jangka pendek maupun jangka
panjang.
c. Mengetahui tingkat rentabilitas.
Rentabilitas atau yang sering disebut dengan profitabilitas menunjukkan
kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba selama periode tertentu.
d. Mengetahui tingkat stabilitas.
Menunjukkan kemampuan perusahaan untuk melakukan usahanya dengan stabil,
yang diukur dengan mempertimbangkan kemampuan perusahaan untuk
membayar hutang-hutangnya serta membayar beban bunga atas hutang-hutangnya
tepat pada waktunya
2.4.1 Pengukuran Financial Performance
Pengukuran financial performance merupakan salah satu alternatif yang
dapat digunakan perusahaan dalam memperbaiki terjadinya penurunan pada
kinerja perusahaan. Pengukuran kinerja pada periode waktu tertentu untuk menilai
seberapa jauh perkembangan yang telah dicapai perusahaan dan menghasilkan
penilaian kinerja yang menjadi dasar didalam mengelola operasi perusahaan,
mengidentifikasi kebutuhan sumber daya, dan menghasilkan informasi yang
sangat bermanfaat untuk pengambilan keputusan dalam perusahaan.
Financial performance dapat diukur dengan beberapa metode analisis
yang dapat dibedakan menjadi dua yaitu, berbasis akuntansi dan berbasis pasar.
Namun dalam penelitian ini pengukuran kinerja keuangan akan diukur
menggunakan pengukuran berbasis akuntansi yang difokuskan pada penggunaan
rasio keuangan, dengan tolok ukur yang antara lain yaitu: rasio profitabilitas, rasio
likuiditas, rasio solvabilitas, rasio aktivitas, rasio pasar. Dalam penelitian ini tolok
23 Universitas Kristen Petra
ukur yang digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan adalah rasio
profitabilitas.
Profitabilitas merupakan kemampuan suatu perusahaan untuk
meningkatkan laba perusahaan, profitabilitas diukur dengan membandingkan laba
yang diperoleh perusahaan dengan sejumlah perkiraan yang menjadi tolak ukur
keberhasilan perusahaan seperti aktiva perusahaan, penjualan dan investasi,
Gibson (2001:303). Profitabilitas digunakan untuk mengukur kemampuan efisien
perusahaan dalam menggunakan asetnya dan seberapa efisien pula perusahaan
dalam menjalankan operasional perusahaan (Ross, Westerfield, and Stephen,
2005). Sehingga dapat diketahui efektivitas pengelolaan keuangan dan aktiva oleh
perusahaan. Pentingnya pengukuran profitabilitas untuk mengetahui kemampuan
perusahaan dalam memperoleh laba dengan menggunakan seluruh modal yang
dimiliki untuk memaksimalkan laba. Rasio profitabilitas menjadi alat ukur utama
untuk mengevaluasi kinerja keuangan perusahaan dalam kegiatan investasi yang
umum digunakan oleh investor. Manfaat profitabilitas tidak hanya berguna bagi
pihak internal perusahaan saja, tetapi juga bagi pihak eksternal perusahaan, yang
memiliki hubungan dan kepentingan dalam perusahaan.
Dapat disimpulkan bahwa rasio profitabilitas bertujuan untuk mengukur
efisiensi aktivitas oprasional perusahaan dan kemampuan perusahaan untuk
menghasilkan keuntungan atau profit dengan menggunakan seluruh aset yang
dimiliki perusahaan, serta bertujuan untuk mengukur seberapa besar kemampuan
manajemen didalam pengembalian investasi kepada pihak investor. Hasil
pengukuran profitabilitas akan mempengaruhi kebijakan para investor pada
investasi yang dilakukan. Tingkat profitabilitas yang tinggi akan menarik para
investor untuk menanamkan dananya guna memperluas usahanya. Sedangkan
bagi perusahaan itu sendiri profitabilitas dapat digunakan sebagai evaluasi atas
efektivitas dan efisiensi dalam menjalankan oprasional perusahaan.
Dalam penelitian ini menggunakan rasio keuangan untuk menilai baik
buruknya kondisi kinerja keuangan perusahaan dengan menggabungkan laporan
laba rugi dan neraca perusahaan, kedalam dua perhitungan tingkat profitabilitas
yang diukur berdasarkan pada Return on Asset (ROA), Return on Equity (ROE),
dan Tobin’s Q.
24 Universitas Kristen Petra
2.4.1.1 Return on Assets (ROA)
Return on asset (ROA) merupakan rasio profitabilitas, yang digunakan
untuk mengukur seberapa besar kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba
dengan menggunakan seluruh aset yang dimiliki perusahaan. ROA mencerminkan
keuntungan dan efisiensi perusahaan dalam pemanfaatan total aset (Chen et al.,
2005). Semakin tinggi nilai ROA suatu perusahaan, menandakan tingginya
efisiensi perusahaan dalam menggunakan assetnya, baik tangible assets maupun
intangible asset yang dapat menghasilkan laba atau keuntungan bagi perusahaan.
Hal ini disebabkan karena ROA terdiri dari beberapa komponen yaitu
penjualan, asset yang digunakan, dan laba atas penjualan yang diperoleh
perusahaan. Hasil perbandingan nilai ROA selama beberapa periode berturut-turut
akan lebih akurat. Berdasarkan dari kecenderungan ROA ini dapat menjadi sumber
informasi atas perkembangan kenaikan ataupun penurunan dari efektivitas
operasional perusahaan.
Dalam penelitian ini ROA dipilih untuk mengukur tingkat profitabilitas
perusahaan karena ROA dapat mengukur seberapa besar kemampuan perusahaan
dalam penggunaan dana yang digunakan dalam kegiatan operasional untuk
menghasilkan keuntungan bagi perusahaan. Rasio ini menghubungkan antara
manfaat dari operasional perusahaan dengan jumlah investasi atau aktiva yang
digunakan untuk menghasilkan keuntungan bagi perusahaan.
Untuk menghitung besaran Return on asset sebuah perusahaan penelitian
ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Brigham dan Ehrhardt (2005)
dengan rumus sebagai berikut :
𝑅𝑂𝐴 =𝑁𝑒𝑡𝑃𝑟𝑜𝑓𝑖𝑡𝐴𝑓𝑡𝑒𝑟𝑇𝑎𝑥
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡
Keterangan:
ROA = Return on asset
Net Profit After Tax = jumlah laba bersih setelah pajak.
Total asset = jumlah total aktiva.
2.4.1.2 Return on Equity (ROE)
Return on Equity (ROE) merupakan rasio profitabilitas yang digunakan
untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba berdasarkan
(2.8)
25 Universitas Kristen Petra
pada modal saham yang dimiliki perusahaan Brigham dan Ehrhardt (2005).
Return on Equity (ROE) menunjukan tingkat keuntungan investasi para pemegang
saham dan efisiensi penggunaan modal sendiri. ROE merupakan indikator penting
dari shareholders value cration, artinya semakin tinggi rasio ROE , semakin tinggi
pula nilai perusahaan, hal ini tentunya merupakan daya tarik bagi investor untuk
menanamkan modalnya diperusahaan tersebut. Semakin tingginya nilai ROE
suatu perusahaan mencerminkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan
keuntungan yang tinggi bagi pemegang saham dan mencerminkan kemampuan
pertumbuhan dan perkembangan perusahaan di masa mendatang.
Salah satu alasan utama perusahaan beroperasi adalah menghasilkan
keuntungan investasi bagi para pemegang saham, ukuran yang digunakan dalam
pencapaian alasan ini ditentukan pada tinggi rendahnya nilai ROE pada
perusahaan. Sehingga dengan nilai ROE yang tinggi mencerminkan perusahaan
memiliki kinerja keuangan yang baik, yang menjadi daya tarik bagi investor untuk
menanamkan modal begitu juga sebaliknya apabilanilai ROE suatu perusahaan
rendah mencerminkan buruknya kinerja keuangan perusahaan, sehingga investor
kurang tertarik untuk menanamkan modal pada perusahaan.
Untuk menghitung besaran Return on Equity sebuah perusahaan penelitian
ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Brigham dan Ehrhardt (2005)
dengan rumus sebagai berikut :
𝑅𝑂𝐸 =𝑁𝑒𝑡𝑃𝑟𝑜𝑓𝑖𝑡𝐴𝑓𝑡𝑒𝑟𝑇𝑎𝑥
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙𝐸𝑞𝑢𝑖𝑡𝑦
Keterangan:
ROE = Return on Equity
Net Profit After Tax = jumlah laba bersih setelah pajak.
Total asset = jumlah total ekuitas.
2.4.1.3 Tobin’s Q
Tobin’s Q merupakan ukuran penilaian yang paling banyak digunakan
dalam data keuangan perusahaan. Rasio ini pertama kali dikembangkan oleh
pemenang hadiah nobel ekonomi, yaitu Profesor James Tobin (1967) dengan
membuat hipotesis bahwa keseluruhan nilai pasar perusahaan pada harga pasar
saham akan serupa dengan biaya penempatan aset tersebut. Bontis (1998)
(2.9)
26 Universitas Kristen Petra
mendefinisikan tobin’s q sebagai rasio yang mengukur hubungan antara nilai
pasar perusahaan dan nilai penggantinya. McConnell et al., (1990) dalam
penelitiannya menggunakan Tobin’s Q sebagai pengukuran kinerja perusahaan
karena Tobin’s Q dapat memberikan informasi mengenai nilai pasar perusahaan,
yang mencerminkan keuntungan masa depan perusahaan seperti laba saat ini.
Semakin tinggi nilai rasio Tobin’s Q menunjukkan bahwa perusahaan
memiliki peluang peningkatan pertumbuhan yang baik dan memiliki intangible
asset yang semakin besar. Hal ini disebabkan karena semakin besarnya nilai pasar
aset perusahaan, maka semakin besar juga kerelaan investor untuk mengeluarkan
pengorbanan yang lebih untuk memiliki perusahaan tersebut. Brealey dan Myers
(2000) menyebutkan bahwa perusahaan dengan nilai Tobin’s Q yang tinggi
biasanya memiliki brand image perusahaan yang sangat kuat, sedangkan
perusahaan yang memiliki nilai Tobin’s Q yang rendah umumnya berada pada
industri yang sangat kompetitif.
Untuk menghitung besarnya nilai Tobin’s Q, dengan rumus sebagai berikut :
𝑇𝑄 =𝑀𝑉𝐸 + 𝐵𝑉𝐷
𝐵𝑉𝐸 + 𝐵𝑉𝐷
Keterangan:
TQ = Tobin’s Q
MVE = Market Value Equity (Outstanding Shares × Stock Price)
BVD = Nilai buku dari total hutang (Book value of total debt)
BVE = Nilai buku dari ekuitas (Book Value Equity)
2.5 Kajian Penelitian Terdahulu
Konflik keagenan ditentukan berdasarkan pada ownership structure, yaitu
apakah konflik yang dominan terjadi antara manajer dengan pemegangsaham atau
antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas. Pemusatan
kepemilikan berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan dengan
meminimumkan biaya keagenan, tetapi terdapat dua masalah keagenan yang
terjadi di dalam kepemilikan, yaitu masalah keagenan antara manajemen dan
pegang saham (Jehsen dan Meckling, 1976).
(2.10)
27 Universitas Kristen Petra
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa institutional ownership
yang lebih besar akan menurunkan biaya keagenan. Pernyataan dari Jensen dan
Mackling (1976) bertentangan dengan pernyataan Shleifer dan Vishny (1997)
yang menyatakan bahwa kepemilikan yang sangat tinggi menyebabkan terjadinya
pembentengan (entrenchment), yaitu tindakan yang bertujuan untuk
mengamankan kepentingan pemegang saham mayoritas.
Lee et al. (1992: 61) mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan pendapat
mengenai institutional ownership. Pendapat pertama mengungkapkan bahwa
institutional ownership merupakan pemilik sementara yang hanya mengutamakan
pada peningkatan laba sekarang (current earnings). Pendapat kedua
mengungkapkan bahwa institutional ownership merupakan investor yang
berpengalaman (sophisticated). Menurut pendapat ini, investor lebih
mengutamakan pada peningkatan laba masa datang (future earnings).
Pulic (2000) telah mengembangkan metode Value Added Intellectual
Coefficient (VAIC™) yang didesain untuk menyajikan informasi mengenai value
creation efficiency dari tangible asset dan intangible asset yang dimiliki
perusahaan.VAIC™ adalah salah satu metode pengukuran yang dianggap sebagai
indikator yang paling objektif dan cocok untuk mengukur kinerja intellectual
capital. Komponen utama dari VAIC™ yang dikembangkan Pulic dilihat dari
sumber daya perusahaan yaitu human capital efficiency, structural capital
efficiency dan capital employed efficiency. Semakin tinggi nilai VAIC™,
membuktikan bahwa perusahaan lebih efisien dalam mengelola sumber daya.
Firer dan Williams (2003) menggunakan metode pengukuran Value Added
Intellectual Coefficient untuk meneliti adanya hubungan antara intellectual capital
dengan kinerja keuangan pada 75 perusahaan publik di Afrika Selatan. Firer dan
Williams (2003) menggunakan tiga kriteria kinerja perusahaan yaitu rasio
profitabilitas (ROA), rasio produktifitas (ATO), dan nilai pasar yang diproksikan
oleh market to book value ratio (MB). Hasilnya menunjukkan bahwa physical
capital merupakan faktor yang paling signifikan berpengaruh terhadap kinerja
perusahaan di Afrika Selatan.
Chen et al., (2005) juga menggunakan metode pengukuran Pulic untuk
menguji hubungan antara Intellectual capital dengan nilai pasar dan kinerja
28 Universitas Kristen Petra
keuangan perusahaan yang merupakan perkembangan penelitian Firer dan
Williams (2003) dengan menggunakan sampel 4.254 perusahaan publik di Taiwan
Stock Exchange. Penelitian ini menggunakan variabel market to book value ratio
(MB) dan kinerja keuangan yang diproksikan oleh return on equity (ROE), return
on asset (ROA), pertumbuhan pendapatan (GR), employee performance (EP),
serta menambahkan variabel R&D (research and development) sebagai instrument
penguat VAIC™. Chen et al (2005) menghubungkan intellectual capital dengan
nilai pasar dan kinerja perusahaan. Hasilnya menunjukkan bahwa intellectual
capital memiliki hubungan positif dengan nilai pasar, dan R&D berpengaruh
terhadap kinerja perusahaa.
Tan et al. (2007) melakukan pengujian terhadap pengaruh intellectual
capital terhadap financial return dalam 150 perusahaan yang terdaftar di bursa
efek Singapore dengan metode Partial Least Square (PLS). Tan et al. (2007)
menggunakan return on equity (ROE), earning per share (EPS), dan annual stock
return (ASR) sebagai ukuran kinerja keuangan perusahaan. Hasilnya konsisten
dengan penelitian Chen et al (2005) bahwa intellectual capital berpengaruh positif
terhadap kinerja perusahaan, baik masa kini maupun masa mendatang; rata-rata
pertumbuhan intellectual capital berhubungan positif dengan kinerja perusahaan
di masa mendatang; dan kontribusi intellectual capital terhadap kinerja perusahaan
berbeda berdasarkan jenis industrinya.
Hussain (2006) meneliti pengaruh intellectual capital terhadap financial
performance pada perusahaan industri di Bangladesh yang menyatakan bahwa
terdapat pengaruh negative antara intellectual capital terhadap financial
performance. Hal ini kemungkinan disebabkan stock market Bangladesh yang
bukan merupakan pasar yang efisien. Harga saham di bursa tersebut cenderung
overvalued karena pelaku pasar disana melakukan perdagangan tanpa melakukan
analisa dan lebih banyak melibatkan unsur spekulasi, gossip, manipulasi internal
price.
29 Universitas Kristen Petra
2.6 Hipotesis
2.6.1 Pengaruh Institutional Ownership Terhadap Intellectual Capital
(VAIC™).
Institutional Ownership sangat penting bagi perusahaan khususnya
kemampuannya dalam mengawasi prilaku manajer dan mengendalikan pihak
manajemen melalui proses monitoring secara efektif . Penelitian Terdahulu yang
berkaitan dengan pengaruh institutional ownership dengan intellectual capital
telah banyak dilakukan dan hasilnya berbeda-beda.
Peneliti yang sebelumnya pernah meneliti pengaruh institutional
ownership dengan intellectual capital adalah Purnomosidhi (2005) Machmud &
Djakman (2008) dan Hapsoro (2008) yang mengungkapkan bahwa rendahnya
institutional ownership dalam suatu perusahaan menjadikan pihak manajer tidak
termotivasi untuk meningkatkan intellectual capital. Meythi (2005), menemukan
adanya hubungan positif antara Institutional Ownership dan Intellectual Capital
Performance. Semakin tinggi jumlah institutional ownership akan menimbulkan
adanya usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional
sehingga dapat meminimalisir resiko terjadinya kecurangan, yang bertujuan
untuk menjaga investasi dari adanya prilaku oportunis pihak manajer. Sehingga
manajer akan bertindak sesuai dengan keinginan investor salah satunya dengan
menggunakan kebijakan pengelolaan intellectual capita untuk meningkatkan
insentif jangka panjang bagi perusahaan. Dengan adanya dukungan penuh dan
proses monitoring yang efektif dari pemegang saham institusional maka efisiensi
pengelolaan dan pemanfaatan intellectual capital akan semakin meningkat.
Hal ini sesuai dengan penelitian dari Lee et al. (1992: 61) mengungkapkan
bahwa institutional ownership merupakan investor yang berpengalaman
(sophisticated). Menurut pendapat ini, investor lebih mengutamakan pada
peningkatan laba masa datang (future earnings) melalui penetapkan kebijakan
peningkatan pengelolaan intellectual capita dalam perusahaan.
H1 : Institutional Ownership berpengaruh positif terhadap Intellectual Capital
yang diproksikan dengan VAIC™.
30 Universitas Kristen Petra
2.6.2 Pengaruh Institutional Ownership Terhadap Financial Performance.
Institutional ownership sangat penting bagi perusahaan khususnya
kemampuannya dalam mengoptimalkan pengawasan prilaku manajer dan
mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif
(Jensen dan Meckling 1976; Smith 1996; Cruthley dan Hansen, 1989). Pentingkat
institutional ownership akan menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar
oleh pihak investor institusional, sehingga dapat menghindari adanya prilaku
oportunis yang dilakukan pihak manajer dan meminimalisir terjadinya konflik
agensi langsung antara manajemen dan investor. Sehingga manajer akan bertindak
sesuai dengan keinginan investor dan dapat mengurangi pengeluaran agency cost
,serta menurunkan tingkat resiko terjadinya penggelapan yang dilakukan pihak
manajemen yang berdampak pada peningkatan financial performance.
Shiller dan Pound (1989), mengungkapkan bahwa institutional ownership
melakukan pertimbangan mendalam dalam analisis investasi yang didukung
dengan besarnya akses atas informasi. Hal ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan Barnae dan Rubin, 2005; Bhattacharya dan Graham, 2007; Bathala et
al., 1994; Jensen dan Meckling , 1976 Shleifer dan Vishny,1986 yang
menemukan adanya hubungan positif antara Institutional Ownership dan
Financial Performance.
Berbeda dengan hasil penelitian Lee et al. (1992: 61) mengungkapkan
bahwa institutional ownership merupakan pemilik sementara yang hanya
mengutamakan pada peningkatan laba sekarang (current earnings). Apabila
terjadi perubahan pada laba sekarang yang akan berdampak pada kerugian bagi
investor, maka investor secara tiba-tiba dapat melikuidasi sahamnya.
Pelikuidasian saham Investor institusional secara tiba-tiba dalam jumlah besar
akan berdampak pada penurunan tingkat financial peformance perusahaan.
Sehingga tingginya jumlah institutional ownership dalam suatu perusahaan,
menjadikan investor institusional memegang kendali atas pengambilan keputusan
perusahaan yang cenderung mengarah pada kepentingan pribadi yang
mengakibatkan penurunan tingkat financial peformance perusahaan.
H2 : Institutional Ownership berpengaruh terhadap Financial Performance.
31 Universitas Kristen Petra
2.6.5 Pengaruh intellectual Capital terhadap Financial Performance.
Resources based theory menjelaskan perusahaan dapat mencapai
keunggulan kompetitif dan kinerja keuangan yang optimal dengan memanfaatkan
semua aset strategis penting yang dimiliki perusahaan, yang meliputi aset
berwujud ataupun aset tidak berwujud, untuk mencapai keunggulan kompetitif
dan financial performance. yang optimal dan berdampak pada semakin tingginya
tingkat investasi para investor (stakeholder).
Pada penelitian ini intellectual capital di proksikan pada Value Added
Intellectual Coefficient (VAIC™). VAIC™ adalah salah satu metode pengukuran
yang dianggap sebagai indikator yang paling objektif dan cocok untuk mengukur
kinerja intellectual capital. VAIC™ merupakan alat manajemen pengendalian
digunakan untuk memonitor dan mengukur efisiensi penciptaan value added
terhadap komponen intellectual capital perusahaan.VAIC™ yang dikembangkan
Pulic terdiri dari tiga komponen utama berdasarkan sumber daya perusahaan yaitu
physical capital (CEE),human capital (HCE), dan structural capital (SCE).
Penelitian Terdahulu yang berkaitan dengan pengaruh intellectual capital
dengan financial performance telah banyak dilakukan dan hasilnya berbeda-beda.
Firer dan Williams (2003) menyatakan bahwa physical capital merupakan faktor
yang paling signifikan berpengaruh terhadap financial performance di Afrika
Selatan. Chen etal., (2005) menyatakan bahwa intellectual capital (VAIC™)
berpengaruh secara positif terhadap market value dan financial performance. Tan
et al. (2007) menyatakan bahwa intellectual capital (VAIC™) berpengaruh secara
positif terhadap financial performance, baik masa kini maupun masa mendatang.
Hasil ini berbeda dengan penelitian Hussain (2006), menyatakan bahwa
intellectual capital berpengaruh secara negatif terhadap financial performance.
Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Noguira (2010), dengan menggunakan
sampel perusahaan di Brasil. Hasil penelitian menunjukan bahwa intellectual
capital (VAIC™) berpengaruh secara negatif terhadap financial performance pada
perusahaan di Brasil.
H3: Intellectual Capital yang diproksikan dengan VAIC™ berpengaruh terhadap
Financial Performance.