bab ii · 2017. 6. 20. · 9 bab ii kajian pustaka 2.1 sapi bali sapi bali merupakan sapi asli...

24
9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sapi bali Sapi bali merupakan sapi asli Indonesia, hasil domestikasi banteng liar (Bos Bibos Banteng) yang saat ini dapat ditemukan di Taman Nasional Baluran, Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur (Wiryosuhanto, 1996; Purwantara dkk., 2012 ). Sapi bali tersebar hampir diseluruh wilayah Indonesia, juga ditemukan di Malaysia dan Australia (Nijman dkk., 2003). Sapi bali memiliki ciri-ciri tubuh berukuran sedang, dada dalam, tidak berpunuk, kaki ramping, kepala pendek, lebar dengan dahi datar, telinga berukuran sedang, tanduk berdiri pada yang jantan dan lebih besar dari tanduk betina (Batan, 2006). Rambut yang menutupi badan sapi bali berwarna merah bata, kecuali di bagian pertengahan punggung berwarna hitam yang berbentuk seperti garis hitam disebut garis belut (Thalib dkk, 2003; Batan, 2006). Rambut pada kaki di bawah persendian karpal dan tarsal berwarna putih disebut white stocking. Warna rambut yang menutupi daerah pantat dan bagian dalam paha juga berwarna putih, disebut white mirror yang melanjut ke bagian perut belakang (Lindell, 2003; Batan, 2006; Purwantara dkk., 2012). Kulit cermin hidung, kuku, dan rambut pada ujung ekor berwarna hitam. Warna rambut sapi jantan setelah dewasa kelamin atau sekitar umur 8-12 bulan akan berubah menjadi hitam (Thalib dkk., 2003). Warna hitam ini dapat berubah menjadi merah bata kembali bila sapi jantan dikebiri (Lindell, 2003; Batan, 2006; Purwantara dkk., 2012) Sapi bali mencapai dewasa kelamin saat

Upload: others

Post on 05-Feb-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 9

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    2.1 Sapi bali

    Sapi bali merupakan sapi asli Indonesia, hasil domestikasi banteng liar (Bos

    Bibos Banteng) yang saat ini dapat ditemukan di Taman Nasional Baluran, Taman

    Nasional Alas Purwo Jawa Timur (Wiryosuhanto, 1996; Purwantara dkk., 2012 ).

    Sapi bali tersebar hampir diseluruh wilayah Indonesia, juga ditemukan di Malaysia

    dan Australia (Nijman dkk., 2003).

    Sapi bali memiliki ciri-ciri tubuh berukuran sedang, dada dalam, tidak

    berpunuk, kaki ramping, kepala pendek, lebar dengan dahi datar, telinga berukuran

    sedang, tanduk berdiri pada yang jantan dan lebih besar dari tanduk betina (Batan,

    2006). Rambut yang menutupi badan sapi bali berwarna merah bata, kecuali di

    bagian pertengahan punggung berwarna hitam yang berbentuk seperti garis hitam

    disebut garis belut (Thalib dkk, 2003; Batan, 2006). Rambut pada kaki di bawah

    persendian karpal dan tarsal berwarna putih disebut white stocking. Warna rambut

    yang menutupi daerah pantat dan bagian dalam paha juga berwarna putih, disebut

    white mirror yang melanjut ke bagian perut belakang (Lindell, 2003; Batan, 2006;

    Purwantara dkk., 2012). Kulit cermin hidung, kuku, dan rambut pada ujung ekor

    berwarna hitam. Warna rambut sapi jantan setelah dewasa kelamin atau sekitar

    umur 8-12 bulan akan berubah menjadi hitam (Thalib dkk., 2003). Warna hitam ini

    dapat berubah menjadi merah bata kembali bila sapi jantan dikebiri (Lindell, 2003;

    Batan, 2006; Purwantara dkk., 2012) Sapi bali mencapai dewasa kelamin saat

  • 10

    berumur 18 bulan. Siklus birahi sapi bali berlangsung selama 18-22 hari, dengan

    lama kebuntingan 286 hari (Batan, 2006).

    Menurut d’Alton sapi bali secara taksonomi tergolong dalam

    Kingdom : Animalia

    Phylum : Chordata

    Class : Mammalia

    Order : Artiodactyla

    Family : Bovidae

    Subfamily : Bovinae

    Genus : Bos

    Species : Bos javanicus

    Nama spesies untuk sapi bali juga disebut Bos sondaicus / Bos/bibos

    banteng (Thalib dkk., 2003; Purwntara dkk., 2012). Sapi bali mempunyai daya

    adaptasi yang tinggi, mampu memanfaatkan pakan kualitas buruk secara optimal

    (Zulkharnaim dkk., 2010; Paramitasari dkk., 2015), mempunyai kualitas daging

    yang baik dengan kadar lemak yang rendah (Bugiwati dkk., 2007). Sapi bali

    mempunyai tingkat produktivitas dan tampilan reproduksi yang lebih baik

    dibandingkan dengan bangsa sapi lainnya (Gunawan dkk., 2011). Sapi bali yang

    ada di Bali dianggap memiliki kemurnian genetik paling murni (Nijman dkk.,

    2003).

    Kelemahan sapi bali antara lain produksi susu rendah sehingga

    pertumbuhan pedet lambat, rentan terhadap penyakit Jembrana (Berata, 2007;

    Tenaya dkk., 2012; Kusumawati dkk., 2016). Sapi bali juga rentan terhadap

  • 11

    penyakit Malignant Catarrhal Fever (MCF), penyakit ngorok atau Septicemia

    Epizootica (SE) dan Bali ziekte (Batan, 2006; Muhamad dkk., 2009). Kepekaan sapi

    bali terhadap penyakit Jembrana disebutkan akibat genetik, namun belum jelas gen

    mana yang berpengaruh (Berata, 2007).

    2.2 Penyakit Jembrana

    Penyakit Jembrana merupakan penyakit infeksi yang menyerang sapi bali,

    pertama kali kejadiannya terjangkit pada tahun 1964 di desa Sangkaragung

    Kabupaten Jembrana Bali. Karena kejadiannya pertama kali di Jembrana maka

    kemudian disebut penyakit Jembrana (Adiwinata, 1967). Penyakit Jembrana

    disebabkan oleh virus famili Retroviridae, subfamili lentivirinae (Hovden, 2001,

    Tenaya, 2012). Virus yang menjadi penyebab penyakit Jembrana dikenal pula

    dengan nama Virus Penyakit Jembrana (Jembrana Disease Virus /JDV). JDV

    secara genetik sangat dekat hubungannya dengan Bovine Immunodeficiency Virus

    (BIV) (Su dkk., 2009; Tenaya, 2010; Tenaya 2012). Masa inkubasi lentivirus

    biasanya lama karena itu dinamai lenti dalam bahasa Latin yang berarti pelan atau

    lambat (Hovden, 2001). Namun pada JDV masa inkubasinya relatif singkat antara

    4 sampai 12 hari (Stewart dkk., 2005; Su dkk., 2009; Tenaya, 2012). Masa inkubasi

    JDV bahkan sekitar 5 sampai 7 hari (Wilcox dkk., 1997; Berata, 2007). Penyakit

    Jembrana dengan masa inkubasi yang pendek, morbiditas tinggi namun mortalitas

    relatif rendah 17% bahkan 11,5% (Desport dkk., (2009) dalam Tenaya dkk, 2012)

    merupakan hal yang tidak biasa pada kasus lentivirus yang biasanya bersifat kronis,

    progresif dan diakhiri dengan kematian (Tenaya, 2010). Penyakit Jembrana sangat

  • 12

    merugikan secara ekonomi karena menghambat penyebaran sapi bali ke berbagai

    daerah di Indonesia (Astawa dkk, 2006).

    JDV hanya menyerang sapi bali, sulit tumbuh pada kultur jaringan, kecuali

    pada limfosit sapi bali, mempunyai enzim reverse transcriptase, mempunyai

    berbagai jenis protein seperti p100, p45, p33, p16, dan protein mayor p26 yang

    bersifat imunodominan dan bereaksi silang dengan antigen BIV / Bovine

    Immunodeficiency Virus (Wilcox dkk, 1997; Berata, 2007). Seperti keluarga

    lentivirus yang lain, gen JDV terdiri atas Flanking Long Terminal Repeats (FLTRs),

    tiga gen struktural mayor yaitu gag, pol dan env serta gen akesosoris dalam bentuk

    small open reading frames (ORFs) pada pertengahan daerah C-terminal seperti

    tampak pada Gambar.2.1 (Su dkk., 2009). Produk gen aksesoris diketahui berperan

    banyak dalam replikasi dan patogenesa virus. Salah satu produk gen aksesoris virus

    Jembrana adalah protein transactivator of transcription (Tat) yang paling berperan

    dalam proses replikasi virus dan menimbulkan kejadian penyakit Jembrana yang

    akut (Su dkk., 2009).

    Gambar.2.1 Struktur dan Genome Virus Jembrana (Wilcox, 2001).

  • 13

    Virus penyakit Jembrana dapat menyebabkan imunodefisiensi sementara,

    yang ditandai oleh menurunnya daya tahan tubuh selama 2 sampai 4 bulan,

    menurunnya respon sel terhadap mitogen, menghilangnya sel-sel pembentuk

    antibodi, dan kematian akibat infeksi sekunder. Virus penyakit Jembrana berada

    dalam darah dan jaringan tubuh penderita dalam waktu yang cukup lama (Berata,

    2007).

    Sapi bali yang terserang penyakit Jembrana menunjukkan gejala klinis

    demam tinggi, kelemahan, anoreksia, leukopenia, trombositopenia dan pembesaran

    limfeglandula prescapularis dan prefemoralis. Tingkat kematian penyakit

    Jembrana rendah sekitar 17-20% bahkan lebih rendah 11,5% (Stewart dkk., 2005;

    Su dkk., 2009; Tenaya dkk., 2012).

    2.3 Limfosit T

    Limfosit T memegang peran sentral dalam respon imun dapatan. Limfosit

    merupakan mediator respon imun humoral maupun seluler. Progenitor limfosit T

    berasal dari sumsum tulang yang bermigrasi ke timus dan berdiferensiasi menjadi

    sel limfosit T. Sel limfosit T sering juga disebut sel T. Sel T yang non aktif dialirkan

    menuju kelenjar getah bening dan limfa. Dalam kelenjar getah bening dan limfa,

    sel T terakumulasi dalam folikel dan zona marginal sekitar folikel. Sel limfosit T

    imature (timosit) dipersiapkan dalam timus untuk memperoleh reseptor. Selain

    mendapat molekul reseptor timosit juga mendapat molekul marka yang setelah

    dewasa dikenal dengan molekul CD (Cluster of Differentiation) (Abbas dan

    Lichtman, 2007; Subowo, 2009). Timosit menjadi matang bila reseptornya tidak

    berinteraksi dengan peptida sel tubuh sendiri (self antigen) yang disajikan MHC

  • 14

    pada permukaan Antigen Presenting Cell (APC). Timosit yang mengenali peptida

    sel tubuh sendiri (self antigen) yang disajikan oleh sel APC melalui bantuan MHC

    akan dihancurkan melalui proses apoptosis. Sawar darah timus melindungi timosit

    dari kontak dengan antigen sendiri. Proses ini disebut seleksi positip timosit yang

    menghasilkan sel T cytotoxic (Tc) atau sel T helper (Th) (Abbas dan Lichtman,

    2007; Baratawidjaya dan Rengganis, 2010). Dalam perkembangannya menjadi

    matang, sel T mendapat kemampuan untuk mengenal benda asing, karena adanya

    T Cell Receptor (TCR). TCR memiliki sifat diversitas, spesifisitas dan memori. Satu

    sel limfosit hanya mengekspresikan reseptor untuk satu jenis antigen sehingga sel

    tersebut hanya dapat mengenal satu jenis antigen saja. TCR ditemukan pada semua

    sel T matang, dapat mengenal peptida antigen yang diikat Major Histocompatibility

    Complek (MHC) dan dipresentasikan oleh sel APC (Hewitt, 2003; Baratawidjaya

    dan Rengganis, 2010).

    Sel T umumnya berperan pada proses peradangan, aktivasi fagositosis

    makrofag, aktivasi dan proliferasi sel B dalam memproduksi antibodi. Sel T juga

    berperan dalam pengenalan dan penghancuran sel yang terinfeksi virus. Sel T terdiri

    atas sel T helper (Th) yang mengaktifkan makrofag untuk membunuh mikroba dan

    sel T cytotoxic (Tc) yang membunuh sel terinfeksi mikroba atau virus dan

    menyingkirkan sumber infeksi. Sel T juga dibedakan menjadi sel CD4+, CD8+, sel

    T naif dan sel Natural Killer T (NKT) (Germain, 2002; Baratawidjaya dan

    Rengganis, 2010).

    Sel limfosit naif adalah sel limfosit matang yang meninggalkan timus dan

    belum berdiferensiasi, belum pernah terpapar antigen dan menunjukkan molekul

  • 15

    permukaan CD45RA. Sel T helper disebut juga sel T inducer merupakan subset sel

    T yang diperlukan dalam induksi respon imun terhadap antigen asing. Antigen yang

    ditangkap, diproses dan dipresentasikan makrofag melalui MHC klas II ke sel

    TCD4+. Selanjutnya sel TCD4+ diaktifkan dan memproduksi IL-2 autokrin yang

    merangsang sel TCD4+ untuk berproliferasi menjadi subset sel Th1 dan Th2,

    mensintesis sitokin yang mengaktifkan sel imun lain seperti TCD8+, sel B,

    makrofag dan sel NK (Germain, 2002; Abbas dan Lichtman, 2007; Baratawidjaya

    dan Rengganis, 2010).

    Sel T CD8+ naif yang keluar dari timus disebut juga Cytolitic T (CTL) atau

    Citotoxic T (Tc). Sel TCD8+ mengenal kompleks antigen MHC klas I yang

    dipresentasikan APC. Molekul MHC klas I ditemukan pada semua sel tubuh yang

    berinti. Fungsi sel TCD8+ antara lain menyingkirkan sel terinfeksi virus,

    menghancurkan sel ganas dan menimbulkan penolakan pada transplantasi jaringan

    (Hewitt, 2003; Baratawidjaya dan Rengganis, 2010). Sel TCD4+ atau limfosit T

    helper (Th) berfungsi mengaktifkan jenis sel lain, dibedakan dalam klas fungsional

    Th1 dan Th2. Th1 mempunyai kemampuan mengaktifkan makrofag, menghasilkan

    sitokin IL2, IFNγ, TNFβ, mendorong limfosit B menghasilkan klas antibodi. Th2

    mempunyai kemampuan mengaktifkan limfosit B menghasilkan antibodi

    netralisasi (Subowo, 2009).

    2.4 Limfosit B

    Limfosit B adalah limfosit yang mengalami pematangan pada bursa

    fabricius pada bangsa unggas, sumsum tulang pada mamalia. Karena itu disebut

    dengan limfosit B atau sel B. Sel B diproduksi pertama selama fase embrionik dan

  • 16

    berlangsung terus selama hidup. Sebelum lahir yolk sac, hati dan sumsum tulang

    janin merupakan tempat pematangan utama sel B dan setelah lahir pematangan sel

    B terjadi di sumsum tulang. Pematangan sel B terjadi dalam berbagai tahap. Pada

    unggas, sel B berkembang dalam bursa fabricius yang terbentuk dari epitel kloaka.

    Pada manusia belum didapatkan hal yang analog dengan bursa tersebut dan

    pematangan sel B terjadi di sumsum tulang atau di tempat yang belum diketahui.

    Setelah matang sel B bergerak ke organ limpa, kelenjar getah bening dan tonsil

    (Busslinger, 2004; Baratawidjaya dan Rengganis, 2010).

    Reseptor sel B yang mengikat antigen multivalen asing akan memacu proses

    proliferasi, diferensiasi menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi,

    membentuk sel memori dan mempresentasikan antigen ke sel T. Reseptor sel B

    mengawali sinyal transduksi yang efeknya ditingkatkan oleh molekul kostimulator

    yang kompleks. Perkembangan sel B dalam sumsum tulang adalah antigen

    independen, tetapi perkembangan selanjutnya memerlukan rangsangan antigen. Sel

    B yang diaktifkan berkembang menjadi limfoblas, selanjutnya menjadi sel plasma

    yang memproduksi antibodi dan sel memori (Busslinger, 2004; Abbas dan

    Lichtman, 2007).

    2.5 Major Histocompatibility Complex (MHC)

    MHC adalah molekul transmembran permukaan sel yang menyajikan

    peptida antigenik kepada limfosit T. Istilah MHC digunakan untuk menyatakan

    molekul permukaan sel penyaji antigen yang berlaku secara umum. Secara khusus

    molekul MHC disebut juga dengan HLA (Human Leukocyte Antigen) pada manusia,

    ChLA (Chimpanzee Leukocyte Antigen) pada simpanse, RhLA (Rhesus Leukocyte

  • 17

    Antigen) pada monyet rhesus, DLA (Dog Leukocyte Antigen) pada anjing, BoLA

    (Bovine Leukocyte Antigen) pada sapi dan H-2 pada mencit (Subowo, 2009). Pada

    domba disebut dengan Ovar leukocyte antigen, dan pada kambing disebut Cahi

    leukocyte antigen (Amills dkk., 1998).

    2.5.1 Struktur Gen MHC

    Pada manusia molekul MHC disandi oleh sekelompok gen yang terdiri atas

    140 gen terbentang pada lengan pendek (short arm) kromosom nomor 6, dengan

    panjang sekitar 3,6 Mb (GÜnther dan Walter, 2000). Sedang ayam mempunyai gen

    MHC yang pendek terdiri atas 19 gen (Belov dkk., 2006).

    Gen MHC terdiri atas tiga klas yaitu MHC klas I, klas II dan klas III. MHC

    klas III berkedudukan diantara klas I dan klas II (Gambar.2.2). MHC klas III

    menyandi protein dalam serum dan cairan tubuh lainnya seperti C4, C2, faktor B

    dan TNF. MHC klas I terdiri atas lokus A, B, C, yang masing-masing menyandi

    polipeptida rantai α. MHC klas II terdiri atas lokus DP, DQ dan DR. Tiap lokus

    menyandi rantai α dan β.

    Gambar.2.2 Struktur Gen MHC (Rao, 2006).

    Haplotipe yang khas secara individual biasanya mengandung seluruh lokus

    dengan nomornya seperti (A1, B7, Cw4, DP5, DQ10, DR8). Tiap individu memiliki

  • 18

    sepasang haplotipe yang diperoleh dari ayah dan ibu / kedua induk pada hewan.

    Gen MHC bersifat kodominan (Rao, 2006).

    Pada sapi dan kambing gen MHC terletak pada kromosom 23 sedang pada

    domba terletak pada kromosom 20 (Takeshima dkk., 2003). Istliah BTA23/Bos

    taurus 23 sering digunakan untuk menyatakan letak MHC sapi pada kromosom 23.

    MHC klas I sapi panjangnya sekitar 1.550 kilobasa (Amills dkk.,1998) atau

    bervariasi mulai dari 770 kilobasa sampai 1.650 kilobasa (Behl dkk., 2012), yang

    terdiri atas 10 sampai 20 klas gen yang terbagi dalam tiga lokus. MHC klas I pada

    kambing terdiri atas 10 – 13 gen. BoLA klas I sangat polimorfik, sekitar 21 varian

    telah ditemukan (Amills dkk.,1998). Panjangnya domain protein transmembrane

    sering menjadi pembeda untuk keragaman varian gen BoLA klas I. Pada

    kebanyakan bangsa sapi domain transmembrane tersusun atas 37 atau 35 asam

    amino, kecuali pada Bos indicus ditemukan tersusun atas 36 asam amino (Bensaid

    dkk., 1991 dalam Anon, 2002).

    BoLA klas II sedikit berbeda dengan HLA klas II dan MHC klas II yang

    ditemukan pada tikus. BoLA klas II terbagi atas dua subregio yaitu klas IIa dan klas

    IIb yang berjarak 15 cM (senti Morgan). BoLA klas IIa terdiri atas lokus DR dan

    DQ. BoLA DQ dan DR terletak sangat dekat dan linkage, juga dengan gen BoLA

    klas III dan klas I. Hal ini mirip dengan struktur organisasi MHC pada manusia

    (human orthologue) (GÜnther dan Walter, 2000). BoLA klas IIb terdiri atas lokus

    DMA, DMB, LMP2, LMP7, dan TAP. Pada sapi juga diketahui adanya class II like

    gen yang terdiri atas lokus DNA, DOB, DIB, DYA, dan DYB, namun fungsinya

    belum diketahui. (Amills dkk., 1998; Behl dkk., 2012). Gen BoLA klas II terletak

  • 19

    pada daerah centromer dari koromosom 23 (BTA23) dan BoLA klas I berada di

    distalnya / telomer dari BoLA klas II (Behl, dkk., 2012).

    Gen BoLA DRA merupakan gen yang menyandi rantai α molekul DR pada

    sapi. Selama ini diketahui gen BoLA DRA monomorfik, namun belakangan

    dilaporkan oleh beberapa peneliti bahwa gen BoLA DRA mempunyai varian alel

    yang menandakan bahwa gen BoLA DRA juga polimorfik (Behl dkk., 2012). Sangat

    berbeda dengan gen BoLA DRB yang menyandi rantai β molekul DR yang sangat

    polimorfik. Ada tiga lokus BoLA DRB yaitu DRB1, DRB2 dan DRB3, namun hanya

    satu yang fungsional yaitu DRB3. BoLA DRB1 merupakan pseudogen sedang BoLA

    DRB2 hampir tidak diekspresikan sama sekali dan monomorfik (Behl dkk., 2012).

    BoLA DRB3 sangat polimorfik, memeiliki 6 ekson, namun ekson 2 adalah yang

    paling polimorfik (Baxter, 2010). Panjang gen BoLA DRB3 sekitar 11,4 kilo

    pasangbasa yang terdiri atas daerah promoter, gen DRB3 penyandi dan daerah

    ujung 3́. Gen BoLA DRB3 exon 2 merupakan gen DRB3 yang menyandi rantai β1

    dari molekul BoLA klas II sapi, dan merupakan satu-satunya gen BoLA DRB3 yang

    diekspresikan secara luas hampir pada setiap individu sapi (Baxter, 2010;

    Takeshima dkk., 2014). Gen BoLA DRB3.2 merupakan gen BoLA klas II yang

    sangat polimorfik, dengan frekuensi alel yang sangat tinggi dan beragam (Behl

    dkk.,, 2012; Takeshima dkk., 2014).

    Gen BoLA DQ merupakan gen yang paling komplek, diketahui memiliki

    lebih dari 50 alel yang tersebar pada 5 lokus yang berbeda (Behl, dkk., 2012).

    Anderson dkk, dalam Behl dkk., (2012) melaporkan sedikitnya ada 9 varian alel

    BoLA DQA dan 12 alel BoLA DQB, dan jumlah gen DQ bervariasi antar haplotipe.

  • 20

    Sekuen gen BoLA DQA dan BoLA DQB mirip dengan sekuen gen HLA klas II pada

    manusia (Behl, dkk., 2012).

    Seperti pada HLA klas III, BoLA klas III disusun oleh rangkaian gen yang

    heterogen yang menyandi komplemen faktor BF, C4, steroid 21-hidroksilase

    (CYP21), heat shock protein 70 (HSP70), tumor necrotic factor α (TNF α), tumor

    necrotic factor β (TNF β) (Amills dkk., 1998). Pada sapi MHC klas III terletak pada

    kromososm 23 (BTA23) lengan q21 sampai q22 (Gelhaus dkk, 2006). Daerah gen

    MHC klas III terbentang sepanjang 700 kilobasa dengan 60 gen strukural, dan

    merupakan daerah MHC padat gen ( Xie dkk., 2003 dalam Gelhaus dkk., 2006).

    Sapi memiliki 21 gen MHC klas III yang homolog dengan manusia, dan merupakn

    gen MHC yang conserved yang juga ditemukan pada mencit, babi dan kuda (Xie

    dkk., 2003 dalam Gelhaus dkk., 2006). MHC klas III bukan bagian sesungguhnya

    dari gen MHC, namun karena letaknya antara MHC klas I dan MHC klas II, dan

    fungsinya terkait dengan fungsi molekul MHC serta ekspresinya dikontrol oleh gen

    MHC, maka dimasukkan ke dalam bagian gen MHC (Rao, 2006).

    2.5.2 Struktur Molekul MHC

    Molekul MHC merupakan molekul permukaan sel transmembrane. MHC

    klas I ditemukan pada hampir semua sel yang berinti (Abbas dan Lichtman 2007).

    Molekul MHC klas I dibentuk oleh dua rantai polipeptida yaitu rantai berat α (44-

    47 KDa) yang disusun oleh 346 asam amino dan rantai ringan β (12 KDa) yang

    disusun oleh 99 asam amino. Ujung karboksil rantai α hidrofilik berada dalam

    sitoplasma sel dan ujung aminonya menyembul dipermukaan sel. Kedua untaian

    tersebut disela oleh segmen hidropobik yang berada dalam membran sel, sebagai

  • 21

    tempat melekatnya pada membran sel. Bagian rantai α yang menyembul

    dipermukaan sel terdiri atas domain α1, α2 dan α3. Domain α3 merupakan bagian

    yang berhubungan langsung dengan bagian transmembrane. Domain α3 berikatan

    secara noncovalen dengan rantai β. Domain α3 juga merupakan bagian dari

    molekul MHC klas I yang mengadakan ikatan dengan molekul CD8+ dari sel

    limfosit T CD8+. Rantai α3 tidak mempunyai variasi (conserve). Domain α1 dan

    α2 merupakan bagian terluar dari struktur MHC klas I, yang disusun oleh 90 asam

    amino. Domain α1 dan α2 merupakan tempat berikatannya peptida antigenik yang

    disajikan, serta menjadi tempat berikatan dengan molekul reseptor sel T (T cell

    receptor/TCR) dari limfosit T CD8+ (Abbas dan Lichtman, 2007). Rantai β

    merupakan molekul mikroglobulin, sehingga rantai β sering juga disebut dengan

    mikroglobulin β atau β2 mikroglobulin. Rantai α disandi oleh gen MHC, sementara

    rantai β disandi oleh gen yang terletak pada kromosom lain. Kedua rantai α dan β

    merupakan anggota imunoglobulin (Ig) superfamili. Tanpa mikroglobulin β,

    molekul MHC klas I tidak akan terekspresikan pada permukaan sel. Bila terjadi

    cacat pada mikroglobulin β maka sel tidak mampu menyajikan peptida antigenik

    klas I, yang dapat mengakibatkan terjadinya defisiensi sel limfosit T sitotoksik

    (Rao, 2006).

    Reseptor ikatan peptida antigenik (receptor binding site) yang disajikan

    oleh melekul MHC klas I dibentuk oleh celah ikatan antara domain α1 dan α2.

    Dinding celah reseptor antigen peptida pada MHC klas I berbentuk dua untaian α

    helik, sedangkan lantainya berbentuk lembaran untaian β berlapis delapan (eight β

    pleated sheets). Celah receptor binding site pada MHC klas I relatif tertutup oleh

  • 22

    dindingnya sehingga hanya mampu mengikat peptida yang relatif pendek yang

    tersusun atas 8 sampai 11 asam amino. Asam amino penyusun domain α1 dan α2

    terutama pada bagian receptor bainding peptida sangat bervariasi (polimorfik)

    (Abbas dan Lichtman, 2007). Polimorfisme ini menyebabkan variasi permukaan

    reseptor secara kimia. Masing-masing varain akan berikatan dengan antigen yang

    sesuai. Permukaan reseptor difasilitasi oleh anchor site yang disusun oleh satu atau

    lebih asam amino pada posisi tertentu. (Rao, 2006). Biasanya peptida yang mampu

    diikat panjangnya 9 asam amino. Dan bagian dari peptida yang berikatan dengan

    receptor binding peptide MHC klas I adalah asam amino nomor 2 dan nomor 9.

    Permukaan receptor binding peptide yang berikatan dengan peptida nomor 2 dan

    nomor 9 tersebut disebut anchor site. Karena itu bagian dari receptor binding

    peptide harus sesuai secara fisik, seperti ukurannya, muatan listriknya,

    hydrophobisitasnya. Sedang bagian dari peptida pada urutan asam amino nomor 3,

    5 dan 7 akan menonjol keluar, merupakan bagian yang terpenting yang menentukan

    spesifisitas untuk dikenali oleh sel limfosit T CD8+, seperti ditampilkan pada

    Gambar. berikut (Winchester, 2003).

    Gambar.2.3 Struktur Komplek Molekul MHC klas I – peptida (Winchester, 2003).

  • 23

    Molekul MHC klas II dibentuk oleh dua rantai polipeptida berbeda yaitu

    rantai α dan β yang berikatan secara noncovalen. Baik rantai α maupun rantai β

    disandi oleh gen MHC klas II. Rantai α beratnya 34 KDa terdiri atas domain α1 dan

    α2, rantai β beratnya 28 KDa terdiri atas domain β1 dan β2. Rantai α maupun rantai

    β mempunyai ujung amino pada bagian yang menonjol dipermukaan sel dan ujung

    karboksil pada bagian sitoplasma sel yang disela oleh bagian transmembran. Bagian

    tempat berikatannya antigen yang disajikan (receptor binding site), dibentuk oleh

    celah ikatan domain α1 dan β1, dengan asam amino penyusun yang sangat

    polimorfik. Domain α2 dan β2 tidak beragam (monomorfik). Domain β2

    merupakan tempat berikatannya CD4+ dari sel limfosit T helper (Rao, 2006). Celah

    receptor binding site pada MHC klas II terbuka pada salah satu ujungnya, sehingga

    dapat mengikat peptida antigenik yang lebih panjang yang tersusun atas 13 sampai

    25 asam amino. Pada receptor binding site juga ditemukan anchor site yang disusun

    oleh asam amino nomor nomor 1, 4, 6 dan 9 (Winchester, 2003). Belakangan juga

    dikenal anchor site nomor 7 dan 10 (Baxter, 2010). Bagian peptida nomor 2, 5, 7

    dan 8 merupakan peptida yang menjadi penentu ikatannya dengan limfosit T CD4+

    seperti ditampilkan pada Gambar 2.4 dan Gambar 2.5 berikut.

  • 24

    Gambar.2.4 Struktur Molekul MHC klas I dan MHC klas II (Rao, 2006).

    Gambar. 2.5 Struktur komplek molekul MHC klas II- peptida-TCR (Winchester, 2003)

    2.5.3 Mekanisme Penyajian Peptida Antigenik oleh MHC

    Molekul MHC klas I akan menyajikan protein endogen, patogen intraseluler

    atau potongan protein akibat keganasan (cancer) kepada limfosit T CD8+. Protein

    tersebut akan diproses oleh proteosome menjadi potongan-potongan peptida yang

    pendek, kemudian dengan bantuan transporter (TAP) diangkut ke retikulum

  • 25

    endoplasmik untuk berikatan dengan MHC klas I. Selajutnya melalui aparatus golgi

    diangkut dengan vesikula sekretoris menuju membran sel untuk disajikan pada

    permukaan sel seperti terlihat dalam Gambar.2.6 (Greene dkk., 2011).

    Peptida yang disajikan oleh MHC klas I akan dikenali oleh limfosit T CD8+,

    yang selajutnya akan membentuk ikatan melalui bantuan sel T reseptor (TCR).

    Ikatan limfosit T CD8+ dengan komplek peptida dan MHC klas I menyebabkan

    limfosit T CD8+ teraktivasi menjadi sel efektor limfosit T cytotoxic dan membunuh

    sel tersebut (Greene dkk., 2011; Male dkk., 2006).

    Gambar.2.6 Proses Penyajian peptida antigenik oleh MHC klas I (Male dkk., 2006).

    MHC klas II terdapat pada sel penyaji antigen (APC/antigen presenting cell)

    yang menyajikan peptida dari protein eksogen kepada limfosit T CD4+. Antigen

    eksogen yang difagosit oleh makrofag atau ditelan melalui proses endositosis

  • 26

    seperti yang dilakukan oleh sel limfosit B, atau APC lain, diproses dalam endosome

    menjadi molekul peptida dengan bantuan lysosome. Kemudian endosome

    bergabung dengan vesikula dari aparatus Golgi yang mengandung MHC klas II,

    sehingga peptida berikatan dengan MHC. Vesikula yang mengandung komplek

    ikatan MHC klas II dengan peptida akan fusi dengan membran sel, dan peptida

    disajikan di permukaan sel, seperti tampak pada Gambar. 2.7 dibawah ini (Male

    dkk., 2006).

    Gambar.2.7 Proses penyajian peptida eksogen oleh MHC klas II (Male dkk., 2006).

    Disajikannya peptida antigenik oleh MHC klas II pada permukaan APC

    akan direspon dan diikat oleh limfosit T CD4+. Ikatan tersebut menyebabkan

    limfosit T CD4+ teraktivasi. Limfosit T CD4+ yang teraktivasi akan berdeferensiasi

    menjadi limfosit T helper 1 (Th1) dan T helper 2 (Th2). Th1 akan mengaktivasi

  • 27

    makrofag untuk membunuh patogen. Limfosit T CD4+ yang teraktivasi juga

    mensekresi sitokin seperti interleukin 2 (IL2), interleukin 4 ( IL4). Sitokin

    kemudian merangsang proliferasi dan deferensiasi limfosit T CD4+ kembali

    sehingga respon limfosit T CD4+ meningkat. Limfosit Th2 akan mengaktivasi

    limfosit B menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi. Sebagian limfosit B yang

    teraktivasi akan menjadi sel memory dan membentuk antibodi pada paparan

    selanjutnya sehingga respon imun pada paparan berikutnya menjadi lebih cepat dan

    lebih optimal (Abbas dan Lichtman, 2007).

    2.6 Antibodi

    Antibodi adalah molekul protein yang dihasilkan oleh sel plasma sebagai

    akibat interaksi antara limfosit B teraktifasi dengan antigen spesifik. Antibodi

    memiliki kemampuan berikatan spesifik dengan antigen perangsangnya serta

    mempercepat penghancuran dan penyingkirannya. Antibodi terdapat dalam

    berbagai cairan tubuh dengan konsentrasi tertinggi terdapat pada serum darah.

    Molekul antibodi beredar di dalam pembuluh darah dan pada proses peradangan

    akan masuk ke jaringan tubuh (Abbas dan Lichtman, 2007; Greene dkk., 2011).

    Interaksi antigen dengan antibodi bersifat non-kovalen dan pada umumnya

    sangat spesifik. Antibodi hanya diproduksi oleh limfosit B dan disebarkan ke

    seluruh tubuh secara eksositosis dalam plasma darah. Antibodi juga ditemukan

    dalam cairan sekresi seperti mukus, susu, dan keringat (Abbas dan Lichtman, 2007;

    Tizard, 2004).

    Satu unit struktur antibodi merupakan glikoprotein (berat molekul sekitar

    150.000 dalton) yang terdiri dari empat rantai polipeptida, yaitu dua rantai berat

  • 28

    (heavy (H) chain) dan dua rantai ringan (light (L) chain). Tiap rantai berat biasanya

    sekitar 55 sampai 70 kD dan rantai ringan sekitar 24 kD. Rantai berat dan rantai

    ringan terdiri atas daerah variable (V) dan daerah constan (C). Tiap rantai berat

    biasanya mempunyai satu daerah variabel (VH) dan 3 atau 4 daerah constan (CH).

    Sedang rantai ringan terdiri atas satu daerah variabel (VL) dan satu daerah constan

    (CL). Satu rantai berat akan berikatan dengan satu rantai ringan dengan ikatan

    disulfida. Dua rantai berat di daerah constan juga saling berikatan melalui ikatan

    disulfida (Abbas dan Lichtman, 2007; Tizard, 2004).

    Rantai berat (VH) dan rantai ringan (VL) terdiri dari sejumlah homolog yang

    mengandung kelompok sequence asam amino yang mirip tetapi tidak identik. Unit-

    unit homolog tersebut terdiri dari 110 asam amino yang disebut domain

    imunoglobulin. Rantai berat mengandung satu domain variabel (VH) dan tiga atau

    empat domain konstan lainnya (CH1, CH2, CH3, CH4, bergantung pada klas, dan

    isotipe antibodi). Daerah antara CH1 dan CH2 disebut daerah hinge (engsel), yang

    memudahkan pergerakan/fleksibilitas dari lengan Fab dari bentuk Y molekul

    antibodi tersebut. Hal itu menyebabkan lengan tersebut dapat membuka atau

    menutup untuk dapat mengikat dua antigen determinan yang terpisahkan oleh jarak

    diantara kedua lengan tersebut (Abbas dan Lichtman, 2007; Baratawidjaya dan

    Rengganis, 2010).

    Ada 5 klas antibodi yaitu: IgG, IgA, IgM, IgE, dan IgD, yang dibedakan

    menurut jenis rantai beratnya, masing-masing yaitu: γ, α, µ, ε, dan δ. Klas antibodi

    IgD, IgE, dan IgG terbentuk dari struktur tunggal, sedangkan IgA mengandung dua

    atau tiga unit dan IgM terdiri dari 5 unit yang dihubungkan dengan sambungan

  • 29

    disulfida. Antibodi IgG dibagi menjadi 4 subklas atau dikenal isotipe yaitu IgG1,

    IgG2, IgG3, dan IgG4 (Abbas dan Lichtman, 2007; Baratawidjaya dan Rengganis,

    2010).

    Struktur dan fungsi IgG dapat dipecah oleh enzim pepsin dan papain

    menjadi beberapa fragmen yang mempunyai sifat biologi yang khas. Perlakuan

    dengan pepsin dapat memisahkan Fab2 dari daerah persambungan hinge (engsel).

    Karena Fab2 adalah merupakan molekul bivalen sehingga dapat mempresipitasi

    antigen. Enzim papain dapat memutus daerah diantara CH1 dan CH2 untuk

    membentuk dua fragmen yang identik dan dapat bertahan dengan reaksi antigen-

    antibodi dan juga satu non-antigen-antibodi fragmen yaitu daerah fragmen

    kristalisabel (Fc). Bagian Fc ini adalah glikosilat yang mempunyai banyak fungsi

    efektor yaitu: tempat perlekatan komplemen, sel reseptor makrofag, dan monosit,

    serta dipakai untuk membedakan satu klas antibodi dengan lainnya (Tizard, 2004;

    Baratawidjaya dan Rengganis, 2010).

    2.6.1 Imunoglobulin G (IgG)

    Imunoglobulin G adalah divalen antigen. Antibodi ini merupakan

    imunoglobulin yang paling sering dan paling banyak ditemukan dalam sumsum

    tulang belakang, darah, limfe, dan cairan peritoneal. Waktu paruhnya selama 23

    hari dan merupakan imunitas yang baik. IgG dapat mengaglutinasi antigen yang

    tidak larut dan satu-satunya imunoglobulin yang dapat melewati plasenta. IgG

    adalah opsonin yang baik sebagai fagosit pada ikatan IgG reseptor. Imunoglobulin

    ini merangsang “antigen-dependen cel-mediated cytotoxicity” (ADCC)-IgG Fab

    untuk mengikat target sel, “Natural Killer”(NK) Fc-reseptor, mengikat Ig Fc, dan

  • 30

    sel NK membebaskan bahan toksik pada sel target. IgFc juga mengaktifkan

    komplemen, menetralkan toksin, imobilisasi bakteri, dan menghambat serangan

    virus (Abbas dan Lichtman, 2007; Baratawidjaya dan Rengganis, 2010).

    2.7 Enzim Restriksi Endonuklease

    Secara umum enzim restriksi endonuklease merupakan enzim nuklease,

    yaitu enzim yang mampu memotong nukleotida. Ada dua jenis enzim nuklease,

    yaitu DNAse yang mampu memotong DNA, dan RNAse yang memotong RNA.

    DNAse yang memotong ditengah untaian DNA disebut endonuklease, sedang

    DNAse yang memotong di ujung untaian DNA disebut eksonuklease (Lodish, dkk.,

    1995).

    Enzim restriksi endonuklease dihasilkan oleh bakteri dan arkeata. Bakteri

    menghasilkan enzim endonuklease sebagai alat pertahanan terhadap serangan virus,

    seperti saat adanya serangan virus bakteriophage. Enzim endonuklease akan

    memotong DNA virus sehingga mampu membatasi perkembangan virus tersebut,

    karena itu disebut restriksi (Anon, 2011). Enzim restriksi endonuklease mengenali

    runutan nukleotida khas disepanjang untaian DNA, kemudian memotongnya di

    dalam atau di luar runutan nukleotida khas yang dikenalinya tersebut. Runutan

    nukleotida khas yang dikenali disebut restriction sites, dan nukleotida hasil

    potongannya disebut restriction fragmen. Panjang restriction sites endonuklease

    berbeda-beda, biasanya antara 4 sampai 6 nukleotida, namun ada juga sampai 8

    nukleotida. Enzim restriksi endonuklease akan memotong untaian DNA dengan

    memutus ikatan posfodiester (Lodish, dkk., 1995). Bakteri melindungi DNAnya

    dengan mengahsilkan enzim metiltranferase yang akan memetilasi (menambahkan

  • 31

    gugus metil) pada runutan nukleotida DNAnya sendiri sehingga tidak dikenali dan

    tidak dipotong oleh enzim endonuklease. Bakteri yang menghasilkan enzim

    restriksi endonuklease juga menghasilkan enzim metiltranferase, kedua hal tersebut

    disebut restriction – modification system (R-M) (Taylor, dkk., 2012).

    Tempat pemotongan nukleotida oleh enzim endonuklease beragam, ada

    yang memotong pada restriction sites, diluar restriction sites, ada yang bersifat

    simetris, asimetris pada untaian doble stranded DNA (Bickle dan Kruger, 1993).

    Runutan nukleotida yang dikenali sebagai situs pemotongan biasanya bersifat

    palindromic yaitu akan sama urutannya pada untaian double stranded DNA bila

    dibaca dari 5́→ 3́ (Lodish, dkk., 1995). Bila tempat pemotongan nukleotida tidak

    ditengah-tengah situs pemotongan, akan menghasilkan hasil potongan berujung

    tidak rata (sticky end) pada untaian double stranded DNA. Bila tempat pemotongan

    ditengah-tengah runutan nukleotida situs pemotongan, akan menghasilkan hasil

    pemotongan berujung tumpul (blunt end) (Lodish, dkk., 1995). Bila dua atau lebih

    enzim restriksi endonuklease memiliki restriction sites yang sama maka kedua

    enzim tersebut disebut isozchisomer. Walaupun dua enzim memiliki restriction

    sites yang sama, tetapi tempat pemotongannya berbeda maka kedua enzim tersebut

    disebut neozchisomer.

    Enzim restriksi endonuklease dibedakan menjadi 4 tipe, berdasarkan pada

    komposisi sub unit, posisi pemotongan, spesifisitas sekuen DNA, dan perlu

    tidaknya kofaktor. Enzim restriksi endonuklease tipe I merupakan multisubunit

    protein yang bekerja sebagai satu kesatuan protein yang komplek. Enzim tipe I

    merupakan kombinasi antara restriksi dan modifikasi yang memotong DNA secara

  • 32

    acak pada daerah yang jauh dari restriction sites. Enzim tipe I mutlak memerlukan

    ATP selama proses pemotongan DNA (Robert, dkk., 2003). Enzim tipe II

    memotong DNA pada posisi tertentu dekat atau berada di dalam sekuen restriction

    sites yang dikenalinya. Enzim tipe II memerlukan Mg2+ sebagai kofaktor. Enzim

    tipe II menghasilkan fragmen-fragmen tertentu dengan pola pita-pita yang spesifik.

    Enzim tipe inilah yang dipakai untuk berbagai percobaan dalam analisis DNA dan

    kloning gen (Robert, dkk., 2003). Enzim tipe III juga merupakan kombinasi

    restriksi dan enzim pemodifikasi. Enzim ini memotong DNA di luar sekuen yang

    dikenal dan memerlukan 2 sekuen yang tidak bersifat palindromic pada orientasi

    yang berlawanan pada untaian DNA. Enzin tipe III ini juga memerlukan ATP.

    Enzim-enzim ini jarang menghasilkan potongan yang sempurna (Robert, dkk.,

    2003). Enzim tipe IV merupakan enzim tipe baru yang memotong DNA yang

    basanya telah dimodifikasi dengan metilasi, hidroksimetilasi dan glukosil-

    hydroksimetilasi (Robert, dkk., 2003).