bab i1we
DESCRIPTION
adATRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Limpa adalah organ pertahanan utama ketika tubuh terinvasi oleh bakteri melalui darah dan
tubuh belum atau sedikit memiliki anti bodi. Kemampuan ini akibat adanya mikrosirkulasi yang
unik pada limpa. Sirkulasi ini memungkinkan aliran yang lambat sehingga limpa punya waktu
untuk memfagosit bakteri, sekalipun opsonisasinya buruk. Antigen partikulat dibersihkan dengan
cara yang mirip oleh efek filter ini dan antigen ini merangsang respon anti bodi lg M di centrum
germinale. Sel darah merah juga dieliminasi dengan cara yang sama saat melewati limpa.1
Pada usia 5-8 bulan, limpa berfungsi sebagai tempat pembentukan sel darah merah dan sel
darah putih. Fungsi ini akan hilang pada masa dewasa. Namun limpa mempunyai peran penting
dalam memproduksi sel darah merah jika hematopoiesis dalam sumsum tulang mengalami
gangguan seperti pada gangguan hematologi.1
Hipersplenisme merupakan kelainan pada limpa, yang mana lebih difokuskan pada keadaan
kerja limpa yang berlebihan dan dapat menyebabkan penyakit. Hipersplenisme merupakan suatu
keadaan dimana terjadi anemia, leukopenia, trombositopenia atau kombinasinya (pansitopenia),
normal atau hiperseluler sumsum tulang belakang, pembesaran limpa, dan biasanya klinis
membaik dengan pengangkatan limpa.2
Hipersplenisme dapat terjadi primer atau sekunder. Primer biasanya tidak diketahui
penyebabnya sedangkan sekunder dapat disebabkan oleh penyakit infeksi atau parasit, leukemia
dan limfosarkoma.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi dan fisiologi
a. Anatomi3
Limpa merupakan organ limpoid terbesar pada tubuh manusia. Limpa merupakan organ RES
(Reticuloendothelial system) yang terletak di cavum abdomen pada region hipokondrium
sinistra. Lien terletak sepanjang costa IX, X dan XI sinistra dan ekstremitas inferiornya
berjalan ke depan sejauh linea aksilaris media. Limpa juga merupakan organ intraperitoneal.
Morfologi limpa
Limpa memiliki 2 facies, facies
diaphragmatica yang berbentuk
konvenks dan facies visceralis yang
berbentuk konkav. Facies
diaphragmatica limpa berhadapan
dengan diaphragm dan costa IX-XI
sinistra. Sedangkan facies visceralis
memiliki 3 facies, yaitu facies renalis
yang berhadapan dengan ren sinistra,
facies gastric yang berhadapan dengan
gaster, dan facies colica yang
berahadapan dengan flexura coli
sinistra. Ketiga facies ini bertemu pada
hilus renalis, dimana merupakan
tempat keluar dan masuknya dari saraf
n. lienalis. Pada hilus lienalis, juga merupakan tempat menggantunya cauda pancreas.
Lien memiliki 2 margo, yaitu margo anterior dan posterior. Selain itu, lien juga memiliki
2 ekstremitas, yaitu ekstremitas superor dan inferior.
Pengantung limpa
Ligamentum gastrolienalis yang membentang dari hilus lienalis sampai curvature mayor
gaster, dan ligamentum lienorenalis.
Vaskularisasi limpa
Limpa divaskularisasi oleh a. lienalis yang
merupakan cabang dari truncus
coeliacus/triple hallery bersama a. hepatica
communis dan a. gastric sinistra. Triple
hallery merupakan cabang dari aora
abdominalis yang dicabangkan setinggi
vertebrae thoracal XII – vertebrae lumbal I.
Sedangkan v. lienalis meninggalkan hilus lienalis berjalan ke posterior dari cauda dan
corpus pancreas untuk bermuara ke v.portae hepatis bersama dengan v. mesenterica
superior dan v. mesenterica inferior.
Innevasi limpa.
Limpa diinnervasi oleh persarafan simpatik n. sympaticus segmen thoracal VI – X dan
persarafan parasimpatisnya oleh n. vagus.
b. Fisiologi Limpa 3,4,5
Limpa adalah organ pertahanan utama ketika tubuh terinvasi oleh bakteri melalui darah
dan tubuh belum atau sedikit memiliki anti bodi. Kemampuan ini akibat adanya
mikrosirkulasi yang unik pada limpa. Sirkulasi ini memungkinkan aliran yang lambat
sehingga limpa punya waktu untuk memfagosit bakteri, sekalipun opsonisasinya buruk.
Antigen partikulat dibersihkan dengan cara yang mirip oleh efek filter ini Dan antigen ini
merangsang respon anti bodi lg M di centrum germinale. Sel darah merah juga dieliminasi
dengan cara yang sama saat melewati limpa.
Pada usia 5-8 bulan, limpa berfungsi sebagai tempat pembentukan sel darah merah dan
sel darah putih. Fungsi ini akan hilang pada masa dewasa. Namun limpa mempunyai peran
penting dalam memproduksi sel darah merah jika hematopoiesis dalam sumsum tulang
mengalami gangguan seperti pada gangguan hematologi. Secara umum fungsi limpa di bagi
menjadi 2 yaitu:
1) Fungsi Filtrasi (Fagositosis)
Lien berfungsi untuk membuang sel darah merah yang sudah tua atau sel darah merah
yang rusak misalnya sel darah merah yang mengalami gangguan morfologi seperti pada
spherosit dan sicled cells, serta membuang bakteri yang terdapat dalam sirkulasi. Setiap
hari limpa akan membuang sekitar 20 ml sel darah merah yang sudah tua.selain itu sel-sel
yang sudah terikat pada Ig G pada permukaan akan di buang oleh monosit. Limpa juga
akan membuang sel darah putih yang abnormal, platelet, dan sel-sel debris.
2) Fungsi Imunologi
Limpa termasuk dalam bagian dari sistem limfiod perifer mengandung limfosit T matur
dan limfosit B. Limfosit T bertanggung jawab terhadap respon cell mediated immune
(imun seluler) dan limfosit B bertanggung jawab terhadap respon humoral.
Fungsi imunologi dari limpa dapat di singkat sebagai berikut:
Produksi Opsonin
Limpa menghasilkan tufsin dan properdin. Tufsin mempromosikan Fagositosis.
Properdin menginisiasi pengaktifan komplemen untuk destruksi bakteri dan benda
asing yang terperangkap dalam limpa. Limpa adalah organ lini kedua dalam sistem
pertahanan tubuh jika sistem kekebalam tubuh yang terdapat dalam hati tidak mampu
membuang bakteri dalam sirkulasi.
Sintesis Antibodi
Immunoglobulin M (Ig M) diproduksi oleh pulpa putih yang berespon terhadap
antigen yang terlarut dalam sirkulasi
Proteksi terhadap infeksi
Splenektomi akan menyebabkan banyak pasien yang terpapar infeksi, seperti
fulminan sepsis. Mengenai bagaimana mekanismenya sampai saat ini belum diketahui
sepenuhnya.
Tempat Penyimpanan
Pada dewasa normal sekitar sepertiga (30 % ) dari pletelet akan tersimpan dalam
limpa.
2. Defenisi5,6
Hiperplenisme merupakan suatu keadaan patologik faal limpa yang mengakibatkan
kerusakan dan gangguan pada sel darah. Gambaran kliniknya terdiri dari, pansitopenia
(menurunnya sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit), dan hiperplasia (meningkatnya
jumlah sel sehingga murubah ukuran dari organ, contohnya pembesaran dari epithelium sel
mamae) kompensasi sumsum merah. Pansitopenia dapat terdiri dari anemia, leukopenia, dan
trombositopenia; sendiri-sendiri atau gabungan ketiga unsur tersebut.
Tampilan klinik Hipersplenisme yang merupakan akibat pansitopenia seperti keluhan dan
gejala anemia, supresi imonologik, dan diatesis hemoragik, mungkin disertai dengan keluhan
atau gejala splenomegali.
Splenomegali adalah pembesaran organ limpa. Pada hipertensi porta, aliran darah
dialihkan ke limpa melalui vena splenik. Sebagian darah ekstra (sampai beberapa ratus
milliter pada orang dewasa) dapat disimpan di dalam limpa sehingga limpa membesar.
Karena darah yang tersimpan di limpa tidak dapat digunakan oleh sirkulasi umum, maka
dapat terjadi anemia (penurunan sel darah merah), trombositopenia (penurunan trombosit),
dan leucopenia (penurunan sel darah putih).
Splenomegali juga ditemukan pada penyakit infeksi seperti demam tifoid atau
mononukleosis infeksiosa. Pembesaran limpa pada demam tifoid disebabkan oleh proliferasi
seluler dalam usaha membentuk anti bodi. Ini biasanya terjadi pada akhir minggu pertama,
pada tiga perempat kasus. Dalam pemeriksaan auskultasi biasanya terdengar suara gesekan di
atas limpa. Keadaan ini tidak memerlukan tindakan splenektomi. Abses limpa agak jarang
ditemukan. Malaria kronika (tertiana) sering disertai splenomegali. Parasit lain seperti
ekinokokusagak jarang menyebabkan splenomegali.
Hiperplenisme sekunder kronik biasanya disebabkan oleh tuberculosis, sifilis, bruselosis,
histoplasmosis, malaria, dan sistosomiasis. Pembesaran limpa akibat tuberculosis secara
primer sangat jarang terjadi. Tetapi jika ada pembesaran limpa, walaupun jarang, berarti telah
terjadi tuberkulosis milier.
3. Patofiiologi6,7
Pada hipersplenisme terjadi destruksi sel darah merah yang berlebihan. Sehingga usia sel
darah merah menjadi lebih pendek (normalnya lebih kurang 120 hari), terbentuk antibodi
yang menimbulkan reaksi antigen sehingga sel-sel rentan terhadap destruksi, dan terbentuk
faktor penghambat pertumbuhan sel darah yang mempengaruhi penglepasan sel darah dari
sumsum tulang. Kejadian ini bisa terjadi pada salah satu sel darah atau dapat terjadi
menyeluruh seperti pada pansplenisme.
Hipersplenisme merupakan keadaan patologi faal limpa yang mengakibatkan kerusakan
dan gangguan sel darah merah. Gambaran kliniknya terdiri dari trias splenomegali,
pansitopeni, dan hiperplasia kompensasi sumsum merah. Pembagian antara hipersplenisme
primer dan sekunder ternyata kurang tepat dan tidak lagi digunakan. Hipersplenisme primer
adalah hipersplenisme yang belum diketahui penyebabnya, pembesaran limpa akibat beban
kerja yang berlebih akibat sel abnormal yang melewati limpa yang normal. sedangkan
sekunder jika telah diketahui penyebabnya dimana limpa yang abnormal akan membuang sel
darah yang normal maupun yang abnormal secara berlebihan.
Kebanyakan splenektomi dilaksanakan setelah pasien didiagnosa dengan hypersplenisme.
Hypersplenisme bukanlah suatu penyakit spesifik hanyalah suatu sindrom, yang dapat
disebabkan oleh beberapa penyakit. Ditandai oleh perbesaran limpa (splenomegali), defek
dari sel darah, dan gangguan sistem turn over dari sel-sel darah.
Tabel hipersplenisme primer dan sekunder
Primer
a. Anemia hemolitik kongenital :
Sperositosis herediter
Eliptositosis herediter
Defisiensi glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD) dan piruvat kinase
Hemoglobinopati (Penyakit sel sabit)
Thalasemia mayor
b. Acquired anemia hemolitik
Purpura trombositopenik idiopatik
Purpura trombositopenik trombotik
Sekunder
a. Hipersplenisme primer
b. Obstruksi vena porta
c. Neoplasma
d. Penyakit gaucher
e. Metaplasia mieloid agnogenik
4. Penyakit – penyakit dengan kelainan hipersplenisme
A. Sperositosis herediter
Sferositosis herediter merupakan kelompok kelainan sel darah merah dengan gambaran
eritrosit bulat seperti donat dengan fragilitas osmotik yang meningkat. Sferositosis
herediter adalah suatu penyakit akibat defek membran sel darah merah sehingga sel
darah merah terperangkap dalam limpa secara berlebihan.6
Sferositosis merupakan jenis anemia hemolitik yang paling sering dijumpai di Eropa dengan
insidens 1 kasus per 5000 jiwa. Hingga saat ini belum tersedia data epidemiologi SH di
Indonesia. Rekam medis Poliklinik Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM belum mencatat
pasien dengan diagnosis SH. Lembaga Biologi Molekular Eijkman menemukan 12 pasien yang
terbukti SH sejak tahun 2002 sampai 2008. Gejala klinis SH dapat berupa anemia ringan sampai
berat disertai ikterus dan splenomegali.8,9
Etiologi dan Patofisiologi
Kelainan utama pada sferositosis herediter adalah terdapatnya defek pada protein
pembentuk membran
eritrosit, akibat defisiensi
spectrin, ankryn, dan atau
protein pita 3 atau protein
4,2. Hal ini menyebabkan
defek vertikal dan
kehilangan membran lemak
dan luas permukaan secara
progresif diikuti pembentukan mikroferosit. Akibat kelainan tersebut terjadi
peningkatan fragilitas osmotik eritrosit menyebabkan bentuk eritrosit yang bulat dan
hilangnya permukaan membran sehingga sel darah merah terperangkap dalam limpa
secara berlebihan.6,9
Gejala klinis6
Anemia dapat timbul pada usia berapapun dari bayi samapi tua.
Ikterus berfluktuasi dan sangat jelas bila anemia hemolitik disertai penyakit
gilbert (kelainan konjugasi bilirubin di hepar)
Pada eagian besar dapat terjadi splenomegali.
Batu pigmen empedu sering ditemukan
Krisis aplastik biasanya dicetuskan oleh infeksi parvovirus yang dapat
meningkatkan keparahan anemia.
Labolatorium6,9
Pada pemeriksaan mikroskopik, di dapatkan sel eritrosit kecil yang berbentuk bulat
dengan bagian sentral yang pucat. Hitung MCV biasanya normal/sedikit menurun.
MCHC meningkat xampai 350-400 g/dl. Untuk mengetahui secara kuantitatif
sferoiditas dilakukan pengukuran fragilitas osmotik eritrosit dengan menggunakan
cairan hipoosmotik.
Diagnosis6
Sferositosis herediter harus dibedakan dengan sel sferosit pada anemia hemolitik
autoimun dengan pemeriksaan uji Coombs.
Sferositosis juga terjadi pada reaksi hemolisis akibat splenomegali pada pasien
dengan sirosis hepatis, infeksi clostridium, bisa ular. Kelainan ini juga dapat terjadi
pada anemia hemolitik yang lain seperti pada pasien dengan defisiensi enzim G6PD.
Penatalaksanaan6,8,9
Splenektomi di anjurkan pada pasien dengan anemia hemolitik sedang dan berat.
Meskipun pasca splenektomi, anemia tetap terjadi, namun tidak berat. Splenektomi
diindikasikan pada semua pasien tersebut untuk menurunkan jumlah tangkapan sel
darah merah abnormal dan koreksi anemia. Saat operasi, penting untuk mencari
adanya limpa assesorius. Pengangkatan yang tidak adekuatakan memberikan
pemulihan yang tidak maksimal. Pada anemia hemolitik yang berat, perlu diberikan
preparat asam folat 1 mg/hari sebagai profilaksis.
.
B. Eliptositosis herediter
Eliptositosis herediter merupakan penyakit yang jarang terjadi, di mana sel darah merah
berbentuk oval atau elips.9 Insiden eliptositosis herediter ini diperkirakan 1:1000 sampai
1:4500 penduduk. Insiden sebenarnya tidak diketahui karena derajat keparahan secara
klinis bervariasi kadang tanpa gejala.6
Etiologi dan patofisiologi10
Defek membrane yang herediter ini menunjukan adanya defisiensi spektrin α dan β ,
serta adanya defek dari spktrein heterodimer self-associations yang menyebabkan
terjadinya fragmentasi dari eritrosit. Sebagian diantaranya mengalami mutasi pada
protein 4,1 dan glikoprotein C yang menyebabkan terjadinya eliptositosis.
Gejala Klinis10,
Gejala klinis bervariasi, dari tanpa gejala sampai anemia berat. Hemolisis yang terjadi
dipicu adanya infeksi, hipersplenisme, defisiensi vit B12 atau adanya KID.
Proses hemolitik pada bayi baru lahir memberikan gambaran klinik ikterik, dengan
gambaran darah tepi poikilositosis, kadang disertai anemia ringan dan splenomegali.
Laboratorium6,10
Pada pemeriksaan laboratorik didapatkan gambaran eritrosit bentuk elips menyerupai
puntung rokok. Dapat pula dijumpai eritrosit bentuk oval, spherosit, stomasit dan
fragmen.
Pengobatan6,10
Pengobatan jarang dibutuhkan pasien. Pada beberapa kasus yang jarang diperlukan
pemberian transfusi sel darah merah. Pada kasus yang berat, splenektomi merupakan
pengobatan paliatif mencegah kerusakan dan destruksi eritrosit yang berlebihan.
Pasien dengan hemolisis kronik perlu diberikan asam folat sebagai profilaksis.
C. Defisiensi G6PD
Defisiensi G6PD merupakan penyakit dengan gangguan herediter pada aktivitas
eritrosit, di mana terdapat kekurangan enzim glukosa-6-fosfat-dehidrogenase (G6PD).
Enzim G6PD ini berperan pada perlindungan eritrosit dari reaksi oksidatif, karena
krangnya enzim ini, eritrosit jadi lebih mudah mengalami hemolisis.6
Etiologi dan epidemiologi
Defisiensi enzim ini paling sering mengakibatkan hemolisis. Enzim ini dikode oleh
gen yang terletak dalam kromosom X sehingga defisiensi G6PD lebih sering
mengenai laki-laki. Pada perempuan biasanya carier dan asimtomatik. Diseluruh
dunia, terdapat lebih dari 400 varian G6PD. Berbagai varian ini terjadi karena adanya
perubahan substitusi basa berupa penggantian asam amino. Banyaknya varian ini
menimbulkan variasi manifestasi klinik lebar, mulai dari hanya anemia hemolitik
nonsferositik tanpa stres oksidan, anemia hemolitik yang hanya terjadi ketika
distimulasi oleh stres oksidan ringan, sampai pada abnormalitas yang tidak terdeteksi
secara klinis. G6PD normal disebut tipe B. Diantara varian G6PD yang bermakna
secara klinik adalah tipe A-. Tipe ini terutama ditemukan pada orang keturunan
Afrika. Tipe mediteranian relatif sering ditemukan diantara orang Mediteranian asli,
dan lebih berat dari varian A- karena dapat mengakibatkan anemia hemolitik
nonsferositik tanpa adanya stres o=ksidatif yang jelas.6,11
Manifestasi Klinis11
Aktivitas G6PD yang normal menurun sampai 50% pada waktu umur eritrosit
mencapai 120 hari. Pada tipe A- penurunan ini terjadi sedikit lebih cepat dan lebih
cepat lagi pada varian Mediteranian. Meskipun umur eritrosit pada varian A- lebih
pendek namun tidak menimbulkan anemia kecuali bila terpajan dengan infeksi virus
dan bakteri disamping obat-obatan atau toksin yang dapat berperan sebagai oksidan
yang mengakibatkan hemolisis. Obat-obatan atau zat yang dapat mempresipitasi
hemolisis pada pasien dengan defisiensi G6PD adalah asetanilid, fuzolidon
(furokson), isobutil nitrit, methilen blue, asam nalidiktat, naftalen, niridazol,
nitrofurantoin, fenazipiridin (piridium), primakuin, pamakuin, dapson, sulfasetamid,
sulfametoksazol, sulfspiridin, tiazolsulfon, toluidin blue, trinitrotoluen, urat oksidase,
vitamin K doksorubisin. Asidosis metabolik juga dapat mempresipitasi hemolisis
pada pasien defisiensi G6PD.
Hemolisis akut terjadi beberapa jam setelah terpajan dengan oksidan, diikuti
hemoglobinuria dan kolaps pembuluh darah perifer pada kasus yang berat. Hemolisis
biasanya self-limited karena yang mengalami destruksi hanya populasi eritrosit yang
tua saja. Pada tipe A- massa eritrosit menurun hanya 25-30%. Ketika hemolisis akut
hematokrit turun cepat diiringi oleh peningkatan hemoglobin dan bilirubin tak
terkonjugasi dan penurunan haptoglobin. Hemoglobin mengalami oksidasi dan
membentuk Heinz bodies yang tampak pada pewarnaan supravital dengan violet
kristal. Heinz bodies tampak pada hari pertama atau sampai pada badan inklusi ini
siap dikeluarkan oleh limpa sehingga membentuk ”bite cells”. Mungkin juga
ditemukan beberapa sferosit. Sebagian kecil pasien defisiensi G6PD ada yang sangat
sensitif dengan fava beans (buncis) dan dapat mengakibatkan krisis hemolisis
fulminan setelah terpajan.
Diagnosis11,12
Diagnosis defisiensi G6PD dipikirkan jika ada episode hemolisis akut pada laki-laki
keturunan Afrika atau Mediteranian. Pada anamnesis perlu ditanyakan tentang
kemungkinan terpajan dengan zat-zat oksidan, misalnya obat atau zat yang telah
disebutkan di atas. Pemeriksaan aktivitas enzim mungkin false negatif jika eritrosit
tua defisiensi G6PD telah lisis. Oleh karena itu pemeriksaan aktivitas enzim perlu
diulang dua sampai tiga bulan kemudian ketika ada sel-sel yang tua.
Penatalaksanaan11,12
Pada pasien dengan defisiensi G6PD tipe A-, hemolisis terjadi self-limited sehingga
tidak perlu terapi khusus kecuali terapi untuk infeksi yang mendasari dan hindari
obat-obatan atau zat yang mempresipitasi hemolisis serta mempertahankan aliran
ginjal yang adekuat karena adanya hemoglobinuria saat hemolisis akut. Pada
hemolisis berat yang bisa terjadi pada varian Mediteranian, mungkin perlu transfusi
darah.
Yang terpenting adalah pencegahan episode hemolisis dengan cara megobati infeksi
dengan segera dan memperhatikan resiko penggunaan obat-obatan, zat oksidan dan
fava beans. Khusus untuk orang Afrika dan Mediteranian sebaiknya
sebelumdiberikan zat oksidan harus dilakukan skrining untuk mengetahui ada
tidaknya defisiensi G6PD.
D. Thalasemia
Thalasemia berasal dari bahasa yunani, thalassa yang artinya laut, haema yang artinya
darah, sehingga diartikan sebagai kelompok kelainan genetic darah yang ditandai dengan
anemia akibat peningkatan penghancuran sel darah merah. Hemoglobin merupakan
komponen pembawa oksigen dari sel darah merah yang terdiri dari 2 protein yaitu α dan
β. Jika tubuh tidak menghasilkan salah satu dari 2 protein ini, maka sel darah merah
akan menjadi rusak dan tidak dapat membawa oksigen.13
Etiologi
Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta, yang diperlukan dalam
pembentukan hemoglobin, disebabkan oleh sebuah gen cacat yang diturunkan. Untuk
menderita penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen dari kedua orang tuanya. Jika hanya
1gen yang diturunkan, maka orang tersebut hanya menjadi pembawa tetapi tidak
menunjukkan gejala-gejala dari penyakit ini.6
safdasdf
E. Purpura trombositopenia idiopatik
F. Purpura trombositopenia trombotik
G. Hipersplenisme primer
H. Obstruksi vena porta
I. Penyakit gaucher
J. Metaplasia meiloid agnogenik