bab i-v

119
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis (UU RI No. 36/09, II :(3)). Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Microbacterium Tuberculosis (TBC). Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Kuman TBC ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan

Upload: fitriana-dwi-fidiawati

Post on 05-Aug-2015

149 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I-V

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur

kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran,

kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat

kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi

pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis

(UU RI No. 36/09, II :(3)).

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

kuman Microbacterium Tuberculosis (TBC). Sebagian besar kuman TBC

menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Kuman TBC ini

berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada

pewarnaan. Oleh karena itu disebut juga sebagai basil tahan asam (BTA). Kuman

TBC cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup

beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini

dapat dorman, tertidur lama selama beberapa tahun. (Depkes RI, 2002 dalam

Kurniawan, 2009).

Penyakit Tuberkulosis menyerang 75% usia produktif (15-50), sehingga

3-4 bulan hilangnya waktu kerja dan 20-30% pendapatan keluarga hilang karena

1

Page 2: BAB I-V

2

Penyakit tuberculosis (Depkes RI, 2008).

Menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995,

penyakit TBC merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung

dan pembulu darah serta penyakit saluran pernapasan (Laban, 2008) Berdasarkan

Data Badan Kesehatan Dunia (WHO)  pada tahun 2007 menyatakan jumlah

penderita tuberkulosis di Indonesia sekitar 528 ribu atau berada di posisi tiga di

dunia setelah India dan Cina (PPTI, 2010).

Sedangkan laporan WHO pada tahun 2009, mencatat peringkat Indonesia

menurun ke posisi lima dengan jumlah penderita TBC sebesar 429 ribu orang.

Lima negara dengan jumlah terbesar kasus insiden pada tahun 2009 adalah India,

Cina, Afrika Selatan, Nigeria, dan Indonesia (PPTI, 2010 ; Laban, 2008).

Pada Global Report WHO 2010, didapat data TBC Indonesia, Total

seluruh kasus TBC tahun 2009 sebanyak 294731 kasus, dimana 169213 adalah

kasus TBC baru BTA positif, 108616 adalah kasus TBC BTA negatif, 11215

adalah kasus TBC Extra Paru, 3709 adalah kasus TBC Kambuh, dan 1978 adalah

kasus pengobatan ulang diluar kasus kambuh (retreatment, excl relaps) (PPTI,

2010).

Mulai tahun 1995, progam penanggulangan TBC Nasional mengadopsi

strategi DOTS (Directly observed Treatment Short Couse) sesuai rekomendasi

WHO yang kemudian dikembangkan di seluruh puskesmas di Indonesia pada

tahun 2000. Strategi DOTS telah dibuktikan dengan uji coba di lapangan dapat

memberikan angka kesembuhan yang tinggi. Namun dalam kenyataannya tingkat

penyembuhan penderita tuberculosis di Indonesia masih rendah. Strategi DOTS

untuk penanggulan TBC sesuai dengan rekomendasi WHO meliputi 5 komponen

Page 3: BAB I-V

3

dasar yaitu:

1. Komitmen politis dari pengambilan keputusan, termasuk dukungan dana.

2. Diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.

3. Pengobatan dengan obat Anti Tuberculosis (OAT) jangka pendek dengan

pengawasan langsung oleh pengawas minum obat (PMO).

4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek untuk penderita.

5. Pencataan dan pelaporan secara baku memudahkan pemantauan dan

evaluasi progam penanggulangan TBC (Depkes RI, 2006 dalam Dinkes

Metro, 2010).

Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang memberikan

pengaruh besar terhadap status kesehatan penghuninya (Notoatmojo, 2007).

Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang berperan dalam penyebaran

kuman tuberculosis. Kuman tuberculosis dapat hidup selama 1-2 jam bahkan

sampai beberapa hari hingga berminggu-minggu tergantung pada ada tidaknya

sinar ultraviolet, ventilasi yang baik, kelembaban, suhu rumah, dan kepadatan

penghuni rumah.

Penelitian Lin (2007) membuktikan hubungan signifikan antara kebiasaan

merokok, perokok pasif, dan polusi udara dari kayu bakar dan batu bara terhadap

risiko infektif, penyakit, dan kemtian akibat TBC. Dari 100 orang yang diteliti,

ditemukan yang merokok tembakau dan menderita TBC sebanyak 33 orang,

perokok pasif dan menderita TB 5 orang, dan yang terkena polusi udara dan

menderita TB 5 orang.

Menurut penelitian Aditama (2009) dalam penelitian Zainul (2009)

menunjukan hubungan antara kebiasaan merokok dengan aktif tidaknya penyakit

Page 4: BAB I-V

4

tuberculosis, serta faktor risiko terjadinya tuberculosis paru pada dewasa muda,

dan terdapat dose-response relationship dengan jumlah rokok yang dihisap

perharinya.

Dalam pelaksanaan progam pelayanan kesehatan dasar, kota Metro

memiliki 11 Puskesmas di 5 kecamatan dan 7 Puskesmas pambantu. Puskesmas

Rujukan Mikroskopis (PMR), 3 puskesmas Pelaksana Mandiri 4 unit, terdiri dari

1 RS Pemerintah dan 3 RS Swasta, Balai Pengobatan 3 unit serta Rumah Bersalin

7 unit. Jumlah Dokter Praktek Swasta di Kota Metro yaitu 65 orang tersebar

di wilayah Kota Metro (Dinkes Metro, 2010).

Menurut hasil kegiatan progam Pengendalian Penyakit TB di kota Metro

tahun 2010 yaitu estimasi tersangka TB sebesar 2.215 dari 13.8457 penduduk,

terjadi peningkatan sebesar 17 tersangka TB dari tahun 2009 (2.198). Kemudian

untuk estimasi TB BTA positif sebesar 222 dari 1.088 tersangka TB yang

diperiksa. Hal ini terlihat peningkatan 2 pendetita TB positif dari tahun 2009

(220) dari 608 tersangka TB yang diperiksa.

Sedangkan untuk penemuan penderita TB paru baru BTA Positif pada

tahun 2010 sebanyak 84 penderita. Terlihat terjadi penurunan penderita TB paru

dari tahun 2009 (97) yakni sebesar 13 penderita.

Selain itu, cakupan penemuan kasus (CDR) sebesar 37,84% terjadi

penurunan sebesar 6,25% jika dibandingkan tahun 2009 (44,09%). Angka

konversi yaitu 78,31% berarti terjadi peningkatan sebesar 7,48% jika

dibandingkan tahun 2009 (70,83%), sedangkan angka kesembuhan (Cure Rate)

pada tahun 2010 yaitu 91,75% berarti terjadi peningkatan sebesar 10,1% jika

dibandingkan tahun 2009 (81,65%). Success rate pada tahun 2010 yaitu 92,98%

Page 5: BAB I-V

5

berarti terjadi peningkatan sebesar 4,67% jika dibandingkan tahun 2009

(88,31%). Angka CNR tahun 2010 yaitu 121,34/100.000 penduduk.

Sesuai dengan laporan progam Pengendalian Penyakit TB di Kota Metro

tahun 2010, penemuan kasus baru penderita TB Paru BTA positif terdapat 84

penderita selama satu tahun dilihat dari Unit Pelayanan Kesehatan yang ada di

kota Metro. Dari beberapa Puskesmas dan Rumah sakit yang ada di kota Metro,

Puskesmas Iring Mulyo mempunyai kasus TB paru tertinggi dan jumlah

penderita kasus sama dengan Puskesmas Yosomulyo. Dimana ditemukan kasus

penderita TB Paru BTA positif sebanyak 15 (17,85%) penderita. Sedangkan

jumlah penderita TB Paru di Puskesmas Karangrejo dan Ganjar agung sebanyak 5

(5,95%) penderita, Pusekmas Bantul sebanyak 4 (4,76%) penderita, Puskesmas

Metro sebanyak 11 (13,09%) penderita, Puskesmas Banjarsari sebanyak 6

(7,14%) penderita, Puskesmas Purwosari dan Yosodadi sebanyak 1 (1,19%)

penderita, Puskesmas Tejoagung sebanyak 2 (2,38%) penderita, dan tidak terdapat

penderita TB Paru di Puskesmas Mulyojati.

Sedangkan Rumah sakit yang mempunyai kasus tertinggi yakni Rumah

sakit Muhamadiyah sebanyak 17 (20,23%) penderita. Dimana jumlah penderita

TB Paru di Rumah Sakit Islam sebanyak 2 (2,38%) penderita dan tidak terdapat

penderita TB Paru di Rumah Sakit Ahmad Yani dan LAPAS.

Menurut hasil laporan Puskesmas Iring Mulyo terlihat ada penurunan

penderita TB Paru dari tahun ketahun. Dimana jumlah penderita TB Paru pada

tahun 2008 sejumlah 71 penderita, pada tahun 2009 sejumlah 45 penderita, dan

pada tahun 2010 sejumlah 34 penderita dimana 15 penderita BTA + dan 19

penderita positif TB dengan pemeriksaan rongen dan skoring. Menurunnya angka

Page 6: BAB I-V

6

penderita TB Paru merupakan salah satu keberhasilan Puskesmas dalam

pengobatan dan penanggulangan penyakit TB Paru. Namun, ada hal yang perlu

diperhatikan yakni kasus baru penderita TB Paru BTA Positif Puskesmas Iring

Mulyo memiliki persentase tertinggi di antara Puskesmas yang terdapat di Kota

Metro pada tahun 2010.

Sementara itu, sesuai dengan laporan Puskesmas Iring Mulyo khususnya

bidang Kesehatan Lingkungan tahun 2010, didapatkan persentase rumah sehat

sebesar 64,40%. Dimana jumlah rumah yang ada sebanyak 2.500 rumah dan yang

dilakukan pemeriksaan sebanyak 1.478 rumah. Terdapat 1.011 rumah telah

memenuhi syarat kesehatan dan 467 rumah tidak memenuhi syarat kesehatan.

Dengan persentase rumah sehat sebesar 64,40% menunjukan bahwa progam

penyehatan lingkungan khususnya rumah sehat masih belum memenuhi target

Dinas Kesehatan Kota Metro yakni sebesar 95% penduduk tinggal di rumah sehat.

Kemudian sesuai dengan laporan progam lain dari Puskesmas Iring Mulyo

khususnya progam Promosi Kesehatan tahun 2010, didapatkan data persentase

PHBS yakni kegiatan masyarakat tidak merokok sebesar 47,38% (597) dan

persentase masyarakat yang merokok sebesar 52,62% (663) . Hal ini menunjukan

bahwa penduduk yang berada di Kelurahan Iring Mulyo masih banyak melakukan

kegiatan merokok.

Atas dasar itulah penulis ingin mengetahui hubungan kebiasaan merokok

dan kelembaban kamar tidur dengan penderita TB di wilayah kerja Puskesmas

Iring Mulyo Kecamatan Metro Timur Kota Metro tahun 2010.

Page 7: BAB I-V

7

B. Rumusan Masalah

Sesuai dengan laporan pengendalian penyakit TB di Metro tahun 2010,

terlihat angka kejadian TB Paru di Puskesmas Iring Mulyo apabila bandingkan

dengan Puskesmas lain di Kota Metro mempunyai angka yang lebih tinggi.

Sedangkan sesuai laporan progam Promosi Kesehatan dan Kesehatan Lingkungan

Puskesmas Iring Mulyo pada tahun 2010, terlihat kebiasaan merokok masyarakat

diwilayah kerja Puskesmas Iring Mulyo masih tinggi dan masyarakat yang

tinggal di rumah sehat belum mencapai SPM Kota Metro yaitu sebesar 95%.

Menurut Notoadmodjo (2007) lingkungan rumah merupakan salah satu

faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap status kesehatan penghuninya.

Disisi lain menurut hasil penelitian Aditama (2009) dalam penelitian Zainul

(2009) menunjukan hubungan antara kebiasaan merokok dengan aktif tidaknya

penyakit tuberculosis.

Berdasarkan kondisi tersebut maka muncul suatu permasalahan yaitu

bagaimana hubungan kebiasaan merokok dan kelembaban kamar tidur dengan

kejadian TB paru di wilayah kerja Puskesmas Iring Mulyo Kecamatan Metro

Timur Kota Metro tahun 2010.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahuinya hubungan kebiasaan merokok dan kelembaban tempat tidur

dengan kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Iring Mulyo Kecamatan

Metro Timur Kota Metro tahun 2010.

Page 8: BAB I-V

8

2. Tujuan Khusus

Berdasarkan rumusan masalah yang diangkat, maka penelitian ini

bertujuan untuk:

a. Mengetahui kejadian penderita TB paru di wilayah kerja Puskesmas Iring

Mulyo tahun 2010.

b. Mengetahui kebiasaan merokok masyarakat di wilayah kerja Puskesmas

Iring Mulyo.

c. Mengetahui kelembaban kamar tidur masyarakat di wilayah kerja

Puskesmas Iring Mulyo.

d. Mengetahui hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian TB Paru di

wilayah kerja Puskesmas Iring Mulyo.

e. Mengetahui hubungan kelembaban kamar tidur dengan kejadian TB Paru

di wilayah kerja Puskesmas Iring Mulyo.

D. Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi Puskesmas Iring Mulyo

tentang faktor kebiasaan merokok dan kelembaban rumah dengan kejadian

TB Paru. Disamping itu juga dapat menjadi bahan masukan dan evaluasi

dalam menetapkan dan menentukan kebijakan dalam upaya pencegahan,

penularan, dan penurunan angka penyakit TB paru.

2. Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan peneliti mengenai hubungan

kebiasaan merokok dan kelembaban kamar tidur dengan kejadian TB paru di

wilayah kerja Puskesmas Iring Mulyo Kecamatan Metro Timur Kota Metro.

Page 9: BAB I-V

9

3. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi Institusi Pendidikan D III

Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Tanjungkarang sebagai data

awal untuk penelitian selanjutnya.

E. Ruang Lingkup

Penelitian ini hanya dibatasi pada variable kebiasaan merokok dan

kelembaban kamar tidur dengan kejadian TB di wilayah kerja Puskesmas Iring

Mulyo Kecamatan Metro Timur Kota Metro tahun 2010.

Page 10: BAB I-V

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkulosis

1. Definisi Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang sebagian besar

disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculusis, kuman tersebut biasanya

masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernafasan ke dalam paru.

Kemudian kuman tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lain, melalui

sistem peredaran darah, system saluran limfe, melalui saluran nafas (broncus) atau

penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 1997).

Sedangkan menurut Mahdiana (2010), Tuberkulosis ialah suatu infeksi

menular dan bisa berakibat fatal, yang disebabkan oleh Mycrobacterium

tuberculuosis, Mycrobacterium bovis atau Mikrobakterium africanum.

2. Etiologi

Penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium tuberculose, sejenis kuman

berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/Um dan tebal 0,3-0,6/Um (Suyono,

2001). Bakteri tuberkulosis pertama kali ditemukan oleh Robert Kock pada

tanggal 24 Maret 1887, sehingga untuk mengenang jasanya bekteri tersebut diberi

nama basil Koch. Bahkan, penyakit TBC pada paru-paru kadang disebut sebagai

Koch Pulmonum (KP).

Yang tergolong dalam kuman Mycobacterium tuberculosae complex

adalah M. tuberculosae, Varian Asian, Varian African I, Varian African II, dan M.

bovis. Kelompok kuman M. tuberculosae dan Mycobacteria Other Than Tb

10

Page 11: BAB I-V

11

(MOTT, atypical) adalah M. kansasi, M. avium, M. intracellulare, M.

scrofulaceum, M.malmacerse, dan M. xenopi (Suyono, 2001).

Menurut Heinz (1993) dalm penelitian Nurhamidah (2007) penyebab

terjadinya penyakit tuberkulosis adalah basil tuberkulosis yang termasuk dalam

genus Mycobacterium, suatu anggota dari famili Mycobacteriaceae dan termasuk

dalam ordo Actinomycetalis. Mycobacterium tuberculosa menyebabkan sejumlah

penyakit berat pada manusia dan penyebab terjadinya infeksi tersering. Masih

terdapat Mycobacterium patogen lainnya, misalnya Mycobacterium leprae,

Mycobacterium paratuberkulosis dan Mycobacterium yang dianggap sebagai

Mycobacterium non tuberculosis atau tidak dapat terklasifikasikan.

3. Karakteristik Kuman Tuberculosis

Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian

peptidoglikan dan arabinomana. Lipid inilah yang membuat kuman tahan asam

(asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan

gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun

dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini

karena kuman berada dalam sifat dorman. Dari sifat dorman ini kuman dapat

bangkit kembali dan menjadikan tuberculosis aktif lagi (Suyono, 2001)

Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yakni dalam

sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi malah kemudian

disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob.

Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi

kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apical paru-

paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian apical ini merupakan tempat

Page 12: BAB I-V

12

predileksi penyakit tuberculosis.

Penyakit TB biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan

bakteri Mcrobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TB

batuk. Daya penularan dari seorang penderita tuberculosis ditentukan oleh

banyaknya kuman yang terdapat dalam paru penderita, persebaran dari kuman-

kuman tersebut dalam udara serta yang dikeluarkan bersama dahak berupa droplet

dan berada di udara di sekitar penderita tuberculosis.

Droplet yang mengandung kuman ini dapat terhisap oleh orang lain. Jika

kuman tersebut sudah menetap dalam paru dari orang yang menghirupnya, mereka

mulai membelah diri (berkembang biak) dan terjadilah infeksi; ini adalah cara

bagaimana infeksi tersebut menyebar dari satu orang ke orang lain. Orang yang

serumah dengan penderita tuberculosis pada BTA positif adalah orang yang besar

kemungkinannya terpapar dengan kuman tuberculosis.

Daya penularan dari penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang

dikeluarkan dari parunya. Semakin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak,

makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan negative (tidak terlihat

kuman), maka penderita tersebut tidak dianggap menular (Depkes RI, 2008).

Kemungkinan seseorang terinfeksi TBC ditentukan oleh konsentrasi

droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Selain itu, kontak

jangka panjang dengan penderita TB dapat menyebabkan tertulari, seorang

penderita tetap menular sepanjang ditemukan basil TB di dalam sputum mereka.

Penderita yang tidak diobati atau yang diobati tidak sempurna dahaknya akan

tetap mengandung basil TB selama bertahun-tahun.

Page 13: BAB I-V

13

Tingkat penularan sangat tergantung pada hal-hal seperti: jumlah basil TB

yang dikeluarkan, virulensi dari basil TB, terpajannya basil TB dengan sinar ultra

violet, terjadinya aerosolisasi pada saat batuk, bersin, bicara atau pada saat

bernyanyi, tindakan medis dengan risiko tinggi seperti pada waktu otopsi, intubasi

atau pada saat waktu melakukan bronkoskopi.

4. Gejala Penyakit TB Paru

Menurut Laban (2008) untuk penyakit TBC paru, gejala-gejala muncul

dapat dibedakan pada orang dewasa dan anak-anak.

a. Gejala pada orang dewasa

1) Batuk terus-menerus dengan dahak selama tiga minggu atau lebih

2) Kadang-kadang dahak yang keluar bercampur dengan darah

3) Sesak napas dan rasa nyeri di dada

4) Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun

5) Berkeringat malam walau tanpa aktifitas

6) Demam meriang (demam ringan) labih dari sebulan

b. Gejala pada anak-anak

1) Berat badan turun selama tiga bulan berturut-turut tanpa sebab yang

jelas

2) Berat badan anak tidak bertambah (anak kecil/kurus terus)

3) Tidak ada nafsu makan

4) Demam lama dan berulang

5) Muncul benjolan di daerah leher, ketiak, dan lipat paha

6) Batuk lama lebih dari dua bulan dan nyeri dada

7) Diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare biasa.

Page 14: BAB I-V

14

Sedangkan menurut Mahdiana (2010) gejala awal TB paru yakni penderita

merasakan tidak sehat atau batuk. Pada pagi hari, batuk disertai sedikit dahak

berwarna hijau atau kuning. Jumlah dahak biasanya akan bertambah banyak,

sejalan dengan perkembangan penyakit. Pada akhirnya, dahak akan berwarna

kemerahan karena mengandung darah. Sesak nafas merupakan pertanda adanya

udara (pneumotoraks atau cairan (efusi pleura) di dalam rongga pleura. Sekitar

sepertiga infeksi ditemukan dalam bentuk efusi pleura.

Pada infeksi tuberculosis yang baru, bakteri pindah dari luka di paru-paru

ke dalam kelenjar getah bening yang berasal dari paru-paru. Jika sistem

pertahanan tubuh alami bisa mengendalikan infeksi, maka infeksi tidak akan

berlanjut dan bakteri akan menjadi dorman.

Pada anak-anak, kelenjar getah bening menjadi besar dan menekan tabung

bronchial dan menyebabkan batuk atau bahkan mungkin menyebabkan penciutan

paru-paru. Kadang bakteri naik ke saluran getah bening dan membentuk

sekelompok kelenjar getah bening di leher. Infeksi pada kelenjar getah bening ini

bisa menembus kulit dan menghasilkan nanah.

5. Jenis Tuberculosis

a. Tuberculosis Primer

Tuberculosis primer adalah infeksi bakteri TB dari penderita yang

belum mempunyai reaksi spesifik terhadap bakteri TB. Bila bakteri TB terhirup

dari udara melalui saluran pernapasan dan mencapai alveoli atau bagian

terminal saluran pernapasan, maka bakteri akan ditangkap dan dihancurkan

oleh makrofag yang berada di alveoli. Jika pada proses ini, bakteri ditangkap

oleh makrofag yang lemah maka bakteri akan berkembang biak dalam tubuh

Page 15: BAB I-V

15

makrofag yang lemah itu dan menghancurkan makrofag. Dari proses ini,

dihasilkan bahan kemotaksik yang menarik monosit (makrofag) dari aliran

darah membentuk tuberkel. Sebelum menghancurkan bakteri, makrofag harus

diaktifkan terlebih dahulu oleh limfokin yang dihasilkan limfosit T.

Tidak semua makrofag pada granula TB mempunyai fungsi sama. Ada

makrofag yang berfungsi sebagai pembunuh, pencerna bakteri, dan perangsang

bakteri. Beberapa makrofag menghasilkan protalase, elastase, kolagenase, serta

colony stimulating factor untuk merangsang produksi monosit dan granulit

pada sumsung tulang belakang. Bakteri TB menyebar melalui saluran

pernapasan ke kelenjar gatah bening regional (hilus) membentuk epiteloid

granula. Granula mengalami nekrosis sentral sebagai akibat timbulnya

hipersensitivitas seluler terhadap bakteri TB. Hal ini terjadi sekitar 2-4 minggu

dan akan terlihat pada ter tuberculin. Hipersensitivitas seluler terlihat sebagai

akumilasi luka dari limfosit dan makrofag.

Bakteri TB berada di alveoli akan membentuk focus lokal, sedangkan

focus iniasial bersama-sama dengan limfadenopati bertempat di hilus dan

disebut juga TB primer. Focus primer paru biasanya bersifat unilateral dengan

subpleura terletak di atas atau di bawah fisura interlobaris, atau di bagian basal

dari lobus inferior. Bakteri menyebar lebih lanjut melalui saluran limfe atau

aliran darah dan akan tersangkut pada bagian organ. TB primer merupakan

infeksi yang bersifat sistematis (Muttaqin, 2007).

b. Tuberkulosis sekunder

Setelah terjadi resolusi dari infeksi primer, sejumlah kecil bakteri masih

hidup dalam keadaan dorman di jaringan pusat. Sebanyak 90% di antaranya

Page 16: BAB I-V

16

tidak mengalami kekambuhan. Reaktivitasi penyakit TB (TB pasca primer/TB

sekunder) terjadi bila daya tahan tubuh menurun, alkoholisme, keganasan,

silikosis, diabeter mellitus, dan AIDS.

Berbeda dengan TB primer, pada TB sekunder kelenjar limfe regional

dan organ lainnya jarang terkena, lebih terbatas dan terolakasi. Reaksi

imunologis terjadi dengan adanya pembentukan granuloma, mirip dengan yeng

terjadi pada TB primer. Tetapi, nekrosis jaringan lebih menyolok dan

menghasilkan lesi kaseosa yang luas dan disebut tuberkuloma. Protalase yang

dikeluarkan oleh makrofag aktif akan menyebabkan pelunakan bahan kaseosa.

Secara umum, dapat dikatakan bahwa terbentuknya kavitas dan manifestasi

lainnya dari TB sekunder adalah akibat dari reaksi nekrotik yang dikenal

sebagai hipersensitivitas seluler.

TB paru pascaprimer dapat disebabkan oleh infeksi lanjutan dari

sumber eksogen, terutama pada usia tua dengan riwayat semasa muda pernah

terinfeksi TB. Biasanya, hal ini terjadi pada daerah apical atau segmen

posterior lobus superior, 10-20 mm dari pleura, dan sehingga menguntungkan

untuk pertumbuhan bakteri TB (Muttaqin, 2007).

6. Pemeriksaan Tuberkulosis

a. Pemeriksaaan Fisis

Pemeriksaan fisis pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin

ditentukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu

demam (subfebris), berat badan kurus atau berat badan menurun.

Pada pemiksaan khusus fisis pasien sering tidak menunjukan suatu

kelainan pun terutama pada kasus-ksus dini atau yang sudah terinfeksi secara

Page 17: BAB I-V

17

asimtomatik. Demikian juga bila sarang penyakit terletak di dalam, akan sulit

menemukan kelainan pada pemeriksaan fisis, karena hantaran getaran/suara

yang lebih dari 4 cm ke dalam paru-paru sulit dinilai secara patesi, perkusi, dan

auskultasi. Secara anamnesis dan pemeriksaan fisis, TB Paru sulit dibedakan

dengan pneumonia biasa.

Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian

apekspar. Bila dicurigai adanya infiltrate yang agak luas, maka didapatkan

perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronchial. Akan didapkan juga

suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar dan nyaring. Tetapi bila

infiltrate ini diliputi oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi vesicular

melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara

hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara amforik.

Pada tuberculosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering

ditemukan atrofil dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi

menciut dan menarik isi mediatrium atau paru lainnya. Bila jaringan fibrotik

amat luas yakni lebih dari setengah jumlah jaringan paru-paru, akan terjadi

pengecilan daerah aliran darah paru dan selnjutnya meningkatkan tekanan

arteri pulmonaris (hipertensi pulmonal) diikuti terjadinya kopulmonal dan

gagal jantung kanan. Disini akan didapatkan tanda-tanda kor pulmonal dengan

gagal jantung kanan seperti takipnea, takikardial, sianosis, right ventricular lift,

right atrial gallop, murmur Graham-Steel, bunyi P2 yang mengeras, tekanan

vena jugularis yang meningkat, hepatomagali, astesis, dan endema.

Dalam pemeriksaan klinis, Tb paru sering asimtomatik dan penyakit

baru dicurigai dengan didapatkan kelainan radiologis dada pada permukaan

Page 18: BAB I-V

18

rutin atau uji tuberculin yang positif (Suyono, 2001).

b. Pemeriksaan Radiologis

Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis

untuk menemukan lesi tuberculin. Pemeriksaan ini memang membutuhkan

biaya lebih dibandingkan pemeriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal ia

memberikan keuntungan seperti pada tuberculosis anak-anak dan tuberculosis

milier. Pada keduanya pemeriksaan radiologist dada, sedangkan pemeriksaan

sputum hampir selalu negative.

Lokasi lesi tuberculosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apical

lobus atas atau segmen apical lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus

bawah ( bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru )missal

pada tuberculosis endobronkial).

Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang

pneumonia, gambaran radiologist berupa bercak-bercak seperti awan dan

dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka

bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal

sebagai tuberkuloma.

Pada kavis bayangan berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis.

Lama-lama dinding jadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis

terlihat bayangan yang bergaris-garis. Pada klasifikasi bayangan tampak

sebagai bercak-bercak dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti

fibrosis yang luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu

lobus maupun pada satu bagian paru.

Page 19: BAB I-V

19

Gambaran tuberculosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang

umumnya tersebar pada seluruh lapangan paru. Gambaran radiology lain yang

sering menyertai tuberculosis paru adalah penebalan pleura (pleuritis), massa

cairan di bagian bawah paru (efusi pleura/empiema), bayangan hitam

radiolesun di pinggir paru/pleura (Pneumotoraks).

Pada satu foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan

sekaligus (pada tuberculosis yang sudah lanjut) seperti infiltrate, garis-garis

fibrotik, klasifikasi, kavitas (non sklerotik/sklerotik) maupun atelektasis dan

emfisema.

Tuberculosis sering memberikan gambaran yang aneh-aneh, terutama

gambaran radiologist, sehingga dikatakan tuberculosis is the greatest imitator.

Gambaran infiltasi dan tuberkuloma sering diartikan sebagai pneumonia,

mikosis paru, karsinoma bronkus, atau karsinoma metastasis. Gambaran

kavitas sering diartikan sebagai abses paru. Di samping itu perlu diingat juga

factor kesalahan dalam membaca foto. Faktor kesalahan dapat mencapai 25%.

Oleh sebab itu untuk diagnostik radiologi sering dilakukan juga foto lateral, top

lordotik, oblik, tomografi dan foto dengan proyeksi densitas keras.

Pemeriksaan khusus yang kadang-kadang juga diperlukan adalah

bronkografi, yakni untuk melihat kerusakan bronkus atau paru yang disebabkan

oleh tuberculosis. Pemeriksaan ini umumnya dilakukan bila pasien akan

menjalani pembedahan paru.

Pemeriksaan radiologist dada yang lebih canggih dan saat ini sudah

banyak dipakai di rumah sakit rujukan adalah Computed Tomography

Page 20: BAB I-V

20

Scanning (CT Scan). Pemeriksaan ini lebih superior dibandingkan jaringan

terlihat lebih jelas dan sayatan dapat dibuat transversal.

Pemeriksaan lain yang lebih canggih lagi adalah MRI (Magnetic

Resonance Imaging). Pemeriksaan MRI ini tidak sebaik CT Scan, tetapi dapat

mengevakuasi proses-proses dekat apeks paru, tulang belakang, perbatasan

dada perut. Sayatan bisa dibuat transversal, sagital, dan koronal (Suyono, 2001)

c. Pemeriksaan Laboratorium

1) Darah

Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya

kadang-kadang meragukan, hasilnya tidak sensitive dan juga tidak spesifik.

Pada saat tuberculosis baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit

yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah

limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila

penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit

masih tinggi. Laju endap darah mulai turun kearah normal lagi.

Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan juga:

1. Anemia ringan dengan gambaran normokrom dan normositer.

2. Gama globulin meningkat.

3. Kadar natrium darah menurun.

Pemeriksaan tersebut di atas nilainya juga tidak spesifik.

Pemeriksaan seriologis yang pernah dipakai adalah reaksi Takahasil.

Pemeriksaan ini dapat menunjukan proses tuberculosis masih aktif atau

tidak. Kriteria positif yang dipakai di Indonesia adalah titer 1/128.

Page 21: BAB I-V

21

pemeriksaan ini juga kurang mendapat perhatian karena angka-angka positif

palsu dan negative palsunya masih besar.

Belakangan ini terdapat pemeriksaan serologis yang banyak juga

dipakai yakni Peroksidase Anti Peroksida (PAP-Tb) yang oleh beberapa

peneliti mendapatkan nilai sensitivitas dan spesifisitasnya cukup tinggi (85-

95%), tetapi beberapa peneliti lain meragukannya karena mendapatkan

angka-angka yang lebih rendah. Sungguhpun begitu PAP-TB ini masih

dapat dipakai, tetapi kurang bermanfaat bila digunakan sebagai saran

tunggal untuk diagnosis TB (Suyono, 2001).

2)Sputum

Pemeriksaan sputum penting karena dengan ditemukannya kuman

BTA, diagnosis tuberculosis sudah dapat dipastikan. Di samping itu

pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan

yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat

dikerjakan di lapangan (puskesmas). Tetapi kadang-kadang tidak mudah

untuk mendapat sputum, terutama pasien yang tidak batuk atau batuk yang

non produktif. Dalam hal ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan

sputum, pasien dianjurkan minum sebanyak ±2 liter dan diajarkan

melakukan reflek batuk. Dapat juga memberikan tambahan obat-obat

mukolitik ekspektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama

20-30 menit.

Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi

diambil dengan brusing atau bronchial washing atau BAL (bronco alveolar

lavage). BTA dari sputum bisa juga didapat dengan cara bilasan lambung.

Page 22: BAB I-V

22

Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena mereka sulit mengeluarkan

dahaknya. Sputum yang hendak diperiksa hendaknya sesegar mungkin.

Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya

ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain

diperlukan 5.000 kuman dalam 1 mL sputum.

Cara pemeriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah:

a) Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa

b) Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop flouresens

(pewarnaan khusus).

c) Pemeriksaan dengan biakan (Kultur).

d) Pemeriksaan terhadap resistensi obat (Suyono, 2001).

3) Tes Tuberkulin

Pemeriksaan ini dipakai untuk menegakkan diagnosis tuberculosis

terutama pada anak-anak. Biasanya dipakai tes Mantoux yakni dengan

menyuntikkan 0,11 cc tuberculin berkekuatan 5 T.U (intermediate strength).

Tes tuberculin hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang atau

pernah mengalami infeksi M. tuberculosae, M. bovis, vaksinasi BCG dan

Mycrobacteriae pathogen lainnya. Dasar tes tuberculin ini adalah reaksi

alergik tipe lambat.

Biasanya hampir seluruh pasien tuberculosis memberikan reaksi

Mantoux yang positif (99,8). Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu

yakni pada pemberiaan BCG atau terinfeksi dengan Mycobacterium lain.

Negative palsu lebih banyak ditemukan daripada positif palsu (Suyono,

2001).

Page 23: BAB I-V

23

B. Faktor Resiko Tuberkulosis Paru

Faktor resiko ialah faktor yang berhubungan dengan kejadian tubekulosis.

Beberapa faktor resiko tuberculosis paru menurut Prabu (2008) adalah sebagai

berikut:

1. Faktor Umur.

Beberapa faktor resiko penularan penyakit tuberkulosis di Amerika yaitu

umur, jenis kelamin, ras, asal negara bagian, serta infeksi AIDS. Dari hasil

penelitian yang dilaksanakan di New York pada Panti penampungan orang-orang

gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi tuberkulosis

aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi

tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia

diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50

tahun (Depkes RI, 2008 ; Laban, 2008).

2. Faktor Jenis Kelamin

Di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada

tahun 1996 jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan

jumlah penderita TB Paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 %

pada wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita TB paru laki-laki cenderung

meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada wanita menurun

0,7%. TB paru lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita

karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga

memudahkan terjangkitnya TB paru.

Page 24: BAB I-V

24

3. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan

seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan

pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka

seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat.

Selain itu tingkat pedidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis

pekerjaannya.

4. Pekerjaan

Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap

individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu

di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran

pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas,

terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru.

Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan

keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantara

konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi

terhadap kepemilikan rumah (kontruksi rumah). Kepala keluarga yang

mempunyai pendapatan di bawah UMR akan mengkonsumsi makanan dengan

kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap anggota keluarga

sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan akan memudahkan untuk

terkena penyakit infeksi diantaranya TB Paru. Dalam hal jenis kontruksi rumah

dengan mempunyai pendapatan yang kurang maka kontruksi rumah yang dimiliki

tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga akan mempermudah terjadinya

penularan penyakit TB Paru.

Page 25: BAB I-V

25

5. Kepadatan Hunian Kamar Tidur

Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di

dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan

jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab

disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu

anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota

keluarga yang lain.

Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan

dalam m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari kualitas

bangunan dan fasilitas yang tersedia. Jarak antara tempat tidur minimal 90 cm

untuk menjamin keluasan bergerak, bernafas dan untuk memudahkan

membersihkan lantai. Ukuran ruang tidur anak yang berumur kurang 5 tahun

sebanyak 4 ½ m3, dan yang berumur lebih dari 5 tahun adalah 9 m3, artinya dalam

satu ruangan anak yang berumur 5 tahun ke bawah diberi kebebasan

menggunakan volume ruangan 4 ½ m3 (1 ½ x 1 x 3 m 3), dan di atas 5 tahun

menggunkan ruangan 9 m3 ( 3 x 1 x 3m3) (Depkes RI, 1989).

6. Pencahayaan

Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela

kaca minimum 20% luas lantai. Jika peletakan jendela kurang baik atau kurang

leluasa maka dapat dipasang genteng kaca. Cahaya ini sangat penting karena

dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil TB,

karena itu rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.

Page 26: BAB I-V

26

Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali lilin atau

kurang lebih 60 lux, kecuali untuk kamar tidur diperlukan cahaya yang lebih

redup.

Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi

lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya..Cahaya yang sama

apabila dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam

waktu yang lebih cepat dari pada yang melalui kaca berwama Penularan kuman

TB Paru relatif tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar matahari dapat masuk

dalam rumah serta sirkulasi udara diatur maka resiko penularan antar penghuni

akan sangat berkurang.

7. Ventilasi

Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk

menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti

keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap

terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam

rumah, di samping itu akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan

naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan.

Kelembaban ini merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri

patogen/ bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman TB (Notoadmodjo, 2007).

Fungsi kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara ruangan

dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi aliran

udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir.

Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan kamar tidur selalu tetap di

dalam kelembaban (humiditiy) yang optimum.

Page 27: BAB I-V

27

Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang ventilasi

sebesar 10% dari luas lantai. Untuk luas ventilasi permanen minimal 5% dari luas

lantai dan luas ventilasi insidentil (dapat dibuka tutup) 5% dari luas lantai. Udara

segar juga diperlukan untuk menjaga temperatur dan kelembaban udara dalam

ruangan. Umumnya temperatur kamar 22° – 30°C dari kelembaban udara

optimum kurang lebih 60% (Depkes RI, 1989).

8. Kondisi rumah

Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit

TBC. Atap, dinding, dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan kuman.

Lantai dan dinding yag sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu,

sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya

kuman Mycrobacterium tuberculosis.

9. Status Gizi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang

mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat dibandingkan dengan

orang yang status gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada seseorang akan

berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik

terhadap penyakit.

10. Keadaan Sosial Ekonomi

Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan

sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan

pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam

memenuhi konsumsi makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi.

Page 28: BAB I-V

28

Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang

menurun sehingga memudahkan terkena infeksi TB Paru.

11. Perilaku

Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan

penderita TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara

pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit dan

akhinya berakibat menjadi sumber penular bagi orang di sekelilingnya.

C. Kelembaban

Kelembaban udara adalah presentase jumlah kandungan air di udara.

Secara umum penilaian kelembaban dalam rumah dengan menggunakan

hygrometer, menurut indikator pengawasan perumahan kelembaban memenuhi

syarat adalah minimal 60 %, sedangkan temperature kamar untuk perumahan

sehat 22oC-30oC sudah cukup segar (Depkes RI, 1989). Sedangkan menurut Lubis

(1985) temperature yang optimal di dalam rumah adalah 23oC-25oC, dan

kelembapan di antara 20-60%.. Sedangkan kelembaban menurut peraturan

Menteri Kesehatan dalam Kepmenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999 kelembaban

rumah sehat 40-70% dan suhu udara 18oC-30oC.

Kelembaban adalah tingkat kebasahan udara yang disebabkan oleh

ventilasi ruangan yang kurang memenuhi syarat kesehatan <10% dari luas lantai

dan jendela <15% dari lantai. Tidak tersedianya ventilasi yang baik dapat

mempengaruhi kesehatan. Jika di dalam ruangan tersebut terdapat pencemaran

bakteri (misalnya ada penderita TB Paru) (Soemirat, 1994). Kenaikan kelembaban

Page 29: BAB I-V

29

di dalam ruang dapat berasal dari penguapan dari uap-uap air melalui sistem

respirasi dan evaporasi melalui kulit (Lubis, 1985).

Kelembaban terdiri dari dua jenis, yaitu 1) Kelembaban absolute, yaitu

berat uap air per unit volume udara; 2) kelembaban nisbi (relatif), yaitu banyaknya

uap air dalam udara pada suhu temperature terhadap banyaknya air pada saat

udara jenuh dengan uap air pada temperature tersebut.

Kelembaban di dalam rumah disebabkan oleh 2 faktor, yakni:

1) Kelembaban yang naik dari tanah (rising dump), yaitu proses kerja kapiler air

naik dari bahan dinding yang kontak dari bahan dinding yang kontak dengan

tanah yang lembab yang mana bisa naik ke dalam dinding sampai mencapai

tinggi 3-4 meter. Oleh sebab itu, sebaiknya memplester lapisan lantai dengan

semen agar kedap air sehingga dapat menahan keadaan lembab.

2) Merembes melalui dinding (porcalating damp), yaitu disebabkan oleh infaltrasi

hujan yang masuk ke dalam dinding. Oleh sebab itu sebaiknya membuat plaster

dinding dari adukan semen yang kedap air. Bocor melalui atap (roof leaks),

yaitu dimana air disaat hujan akan merembes melalui celah-celah pori-pori

genteng. Oleh karena itu celah pori-pori retak direkat dengan bahan tahan air

seperti asphalt. (Lubis 1985).

Menurut Notoatmojo (2007), lingkungan merupakan hal yang tidak

terpisahkan dari aktivitas kehidupan manusia. Lingkungan, baik secara fisik

maupun biologis, sangat berperan dalam proses terjadinya gangguan kesehatan

masyarakat, termasuk gangguan kesehatan berupa penyakit tubekulosis pada anak.

Rumah yang tidak memilki kelembaban yang memenuhi syarat kesehatan

akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Rumah yang lembab merupakan

Page 30: BAB I-V

30

media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme, antara lain bakteri, spiroket,

ricketsa dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui

udara. Selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membrane mukosa

hidung menjadi kering sehingga kurang efektif dalam menghadang

mikroorganisme.

Menurut Gould & Brooker (2003) dalam penelitian Nurhamidah (2007)

bakteri Mycobacterium tuberculosa seperti halnya bakteri lain, akan tumbuh

dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban tinggi karena air membentuk

lebih dari 80% volume sel bakteri dan merupakan hal yang esensial untuk

pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri. Selain itu menurut Notoatmojo

(2007), kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk

bakteri-bakteri patigen termasuk bakteri tuberculosis.

Selain itu, menurut penelitian Fatimah (2008) tentang Faktor Kesehatan

Lingkungan Rumah yang berhubungan dengan kejadian TB Paru di Kabupaten

Cilacap menunjukan adanya hubungan antara kejadian tuberkulosis paru dengan

kelembaban, dari hasil analisis bivariat diperoleh p = 0,024; OR = 2,571, 95%CI

= 1,194 < OR < 5,540. Dengan demikian seseorang yang tinggal di rumah dengan

kelembaban tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 2,571 kali lebih besar

untuk menderita TB paru dibandingkan dengan orang yang tinggal di rumah

dengan kelembaban yang memenuhi syarat.

Page 31: BAB I-V

31

D. Merokok

1. Definisi

Merokok adalah suatu perbuatan dimana seseorang menghisap rokok

(tembakau) (Ellizabet, 2010). Bahaya merokok bagi kesehatan telah dibicarakan

dan diakui secara luas. Penelitian yang dilakukan para ahli memberikan bukti

nyata adanya bahaya merokok bagi kesehatan si perokok dan bahkan orang di

sekitarnya.

2. Komposisi Rokok

Sebenarnya satu batang rokok yang hanya seukuran pensil sepuluh

sentimeter, ibarat sebuah pabrik berjalan yang menghasilkan bahan kimia

berbahaya. Satu rokok yang dibakar mengeluarkan empat ribu bahan kimia, dan

400 dari bahan-bahan tersebut dapat meracuni tubuh, sedangkan 40 dari bahan

tersebut bisa menyebabkan kanker (Ellisabeth, 2010). Diantaranya, acrolein,

merupakan zat cair yang tidak berwarna, seperti aldhehyde. Zat ini sedikit

banyaknya mengandung kadar alkohol. Artinya, acrolein ini adalah alkohol yang

cairannya telah diambil. Cairan ini sangat mengganggu kesehatan.

Karbon monoxide adalah sejenis gas yang tidak memiliki bau. Unsur ini

dihasilkan oleh pembakaran yang tidak sempurna dari unsur zat arang atau

karbon. Zat ini sangat beracun. Jika zat ini terbawa dalam hemoglobin akan

menganggu kondisi oksigen dalam darah. Nikotin adalah cairan berminyak yang

tidak berwarna dan dapat membuat rasa perih yang sangat. Nikotin ini

menghalangi kontraksi rasa lapar.

Ammonia merupakan gas yang tidak berwarna yang terdiri dari nitrogen

dan hydrogen. Zat ini sangat tajam baunya dan sangat merangsang. Begitu

Page 32: BAB I-V

32

kerasnya racun yang ada pada ammonia sehingga jika disuntikkan sedikitpun

kepada peredaran darah akan mengakibatkan seseorang pingsan. Formic acid

sejenis cairan tidak berwarna yang bergerak bebas dan dapat membuat lepuh.

Cairan ini sangat tajam dan menusuk baunya. Zat ini menimbulkan rasa seperti

digigit semut.

Hydrogen cyanide adalah sejenis gas yang tidak berwarna, tidak berbau

dan tidak memiliki rasa. Zat ini merupakan zat yang paling ringan, mudah

terbakar dan sangat efesien untuk menghalangi pernapasan.

Cyanide adalah salah satu zat yang mengandung racun yang sangat

berbahaya. Sedikit saja cyanide dimasukkan langsung ke dalam tubuh dapat

mengakibatkan kematian.

Nitrous oxide adalah sejenis gas yang tidak berwarna, dan bila terhisap

dapat menyebabkan hilangnya pertimbangan rasa sakit. Nitrous oxide merupakan

jenis zat pada mulanya dapat digunakan sebagai pembius waktu melakukan

operasi oleh para dokter.

Formaldehyde adalah sejenis gas tidak berwarna dengan bau yang tajam.

Gas ini tergolong sebagai pengawet dan pembius hama. Gas ini juga sangat

beracun keras terhadap semua organism-organisme hidup.

Phenol merupakan campuran dari Kristal yang dihasilkan dari distilasi

beberapa zat organic seperti kayu dan arang, serta diperoleh dari tar arang. Zat ini

beracun dan membahayakan, karena phenol ini terikat ke protein dan menghalangi

aktivitas enzim.

Aceton adalah hasil pemanasan aldehyde (sejenis zat yang tidak berwarna

yang bebas bergerak) dan mudah menguap dengan alkohol/hydrogen sulfide

Page 33: BAB I-V

33

sejenis gas yang beracun yang gampang terbakar dengan bau yang keras. Zat ini

menghalangi oxidasi enzyme (zat besi yang berisi pigmen). Pyridine, sejeni cairan

tidak berwarna dengan bau yang tajam. Zat ini dapat digunakan mengubah sifat

alkohol sebagai pelarut dan pembunuh hama.

Metyl chloride adalah campuran dari zat-zat bervalensi satu antara

hidrogen dan karbon merupakan usurnya yang terutama. Zat ini adalah merupakan

compound organis yang dapat beracun. Methanol sejenis cairan ringan yang

gampang menguap dan mudah terbakar. Meminum atau mengisap methanol dapat

mengakibatkan kebutaan dan bahkan kematian. Dan tar, sejenis cairan kental

berwarna cokelat tua atau hitam. Tar dapat terdapat dalam rokok yang terdiri dari

ratusan bahan kimia yang menyebabkan kanker pada hewan. Jika zat tersebut

dihisap waktu merokok akan mengakibatkan kanker paru-paru (Aditama, 1997

dalam penelitian Zainul 2009; Ellisabet, 2010).

3. Tipe-Tipe Perokok

Secara umum, tipe perokok dibagi menjadi dua, yaitu perokok aktif dan

pasif.

a) Perokok Akif

Perokok aktif adalah seorang yang benar-benar memiliki kebiasaan

merokok. Merokok sudah menjadi bagian hidupnya, sehingga rasanya tak

enak bila sehari saja tidak merokok. Oleh karena itu, ia akan melakukan apa

pun demi mendapatkan rokok, kemudian merokok.

b) Perokok Pasif (Passive Smoker)

Perokok pasif ialah seorang yang tidak memiliki kebiasaan merokok,

namun terpaksa harus menghisap asap rokok yang dihembuskan oleh orang

Page 34: BAB I-V

34

lain yang kebetulan ada di dekatnya. Dalam keseharian, ia tak berniat dan tak

merasakan apa-apa dan tak terganggu aktivitisnya. Meskipun perokok pasif

tidak merokok, tetapi perokok pasif memiliki resiko yang sama dengan

perokok aktif dalam hal terkena penyakit yang disebabkan oleh rokok.

Berbagai studi menyebutkan bahwa perokok pasif mempunyai resiko yang

sama dengan perokok aktif dalam hal-hal berikut:

1) Kemungkinan mengalami serangan kanker paru, kanker payudara, kanker

ginjal, kanker pancreas, dan kanker otak karena memperoleh nikotin dari

asap rokok.

2) Kemungkinan terkena penyakit jantung dan prmbuluh darah (stroke).

3) Kemungkinan mengalami serangan asma bronkhile.

4) Kemungkinan terkena gangguan kognitif dan dementia (mudah lupa).

5) Wanita hamil berkemungkinan melahirkan bayi premature atau bayi lahir

cukup bulan, tetapi berat badan kurang dari normal.

6) Mudah terkena serangan infeksi di hidung dan tenggorokan.

7) Anak-anak mudah terserang asma, meninggal pada usia muda, infeksi

paru-paru, mudah mengalami alergi, dan gampang terkena TBC paru-paru

(Ellisabet, 2010).

Menurut Siteope, tipe perokok ada lima, pertama tidak merokok, yaitu

tidak pernah merokok dalam hidupnya. Kedua, perokok ringan, yakni

merokok berselang-seling. Ketiga, perokok sedang, yaitu merokok setiap hari

dalam kuantum kecil. Keempat, perokok berat, yakni merokok lebih dari satu

bungkus setiap hari. Kelima, berhenti merokok, kemudian berhenti merokok,

kemudian berhenti dan tidak pernah merokok lagi.

Page 35: BAB I-V

35

Menurut Mu’tadin (2002) dalam Elisabet (2010), jika ditinjau dari

banyaknya jumlah rokok yang dihisap setiap hari, tipe perokok dibagi

menjadi tiga. Pertama, perokok sangat berat, yakni perokok yang

menghabiskan lebih dari 31 batang rokok tiap hari dengan selang merokok

lima menit setelah bangun tidur pada pagi hari. Kedua perokok berat, yaitu

perokok yang menghabiskan 21-30 batang rokok setiap hari dengan selang

waktu merokok berkisar 6-30 menit setelah bangun tidur pada pagi hari.

Ketiga, perokok sedang, yakni perokok yang menghabiskan sekitar 10 batang

rokok setiap hari dengan selang waktu perokok 60 menit setelah bagun tidur

pada pagi hari.

4. Pengaruh Merokok Terhadap Paru-Paru

Merokok merupakan masalah kesehatan pada masyarakat yang merupakan

suatu ancaman besar bagi kesehatan di dunia. Konsumsi tembakau terus-menerus

dapat menjadi penyebab utama kematian di dunia yang sebenarnya dapat dicegah.

Sejauh ini, tembakau berada pada peringkat utama penyebab kematian yang dapat

dicegah di dunia. Tembakau menyebabakan 1 dari 10 kematian orang dewasa di

seluruh dunia, dan mengakibatkan 5,4 juta kematian pada tahun 2006. Ini berarti

bahwa rata-rata ada 1 kematian setiap 6,5 detik. Kematian pada tahun 2020 akan

mendekati 2 kali jumlah kematian saat ini, jika kebiasaan konsumsi rokok

sekarang terus berlanjut (Ellisabet, 2010).

The Tobacco Atlas mencatat adanya lebih dari 10 juta batang rokok diisap

setiap menit, tiap hari, di seluruh dunia oleh 1 milyar laki-laki dan 250 juta

perempuan. Laporan WHO pada tahun 2008 menyebutkan bahwa hampir 2/3

perokok tinggal di 10 negara. Sat ini, Indonesia adalah Negara terbesar ketiga

Page 36: BAB I-V

36

pengguna rokok setelah Cina dan India. Pada tahun 1995-2004, konsumsi rokok

di kalangan remaja meningkat 144%. Selain itu, lebih dari 70% anak Indonesia

terpapar asap rokok dan menanggung risiko berbagai penyakit akibat rokok

(Ellisabet, 2010).

Rokok pada dasarnya merupakan pabrik bahan kimia. Sekali satu batang

rokok dibakar maka ia akan mengeluarkan sekitar empat ribu bahan kimia nikotin,

gas karbon monoksida, nitrogen oksida, hydrogen cyanide, ammonia, acrolein,

acetin, benzaidehyde, urethane, benzene, methanol, coumarin, 4-ethycatechol,

ortocresol, perylene, dan lain lain (Aditama, 1997 dalam penelitian Zainul,2009).

Secara umum bahan-bahan ini dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu

komponen gas dan komponen padat atau partikel, sedangkan komponen padat

atau partikel dibagi menjadi nikotin dan tar.

Tar adalah kumpulan dari ratusan atau bahkan ribuan bahan kimia dalam

komponen padat asap rokok setelah dikurangi nikotin dan air. Tar ini mengandung

bahan-bahan karsinogen (dapat menyebabkan kanker). Tembakau banyak

dikunyah atau dihisap melalui mulut atau hidung, atau seperti kebiasaan menyusur

di negara kita. Sementara itu, nikotin adalah suatu bahan adiktif, bahan yang

orang dapat menjadi ketagihan atau menimbulkan ketergantungan. Daun

tembakau mengandung satu sampai tiga persen nikotin. Setiap isapan asap rokok

mengandung 1014 radikal bebas dan 1016 oksidan, yang semuanya tentu akan

masuk terisap ke dalam paru-paru. Jadi bila seorang membakar kemudian

menghisap rokok, maka ia akan sekaligus menghisap bahan-bahan kimia yang

disebut di atas.

Page 37: BAB I-V

37

Bila rokok dibakar, maka asap juga akan berterbangan di sekitar perokok.

Asap yang berterbangan itu juga mengandung bahan yang berbahaya, dan bila

asap itu diisap oleh orang yang ada disekitar perokok maka orang itu juga akan

menghisap bahan kimia yang berbahaya ke dalam dirinya, walaupun ia sendiri

tidak merokok. Asap rokok yang diisap perokok disebut dengan asap utama

(mainstream smoke) dan asap yang keluar dari ujung rokok yang terbakar yang

diisap oleh orang sekitar perokok disebut asap sampingan (Sidestream smoke)

(Ellisabet, 2010).

Bahan-bahan kimia itulah yang kemudian menimbulkan berbagai penyakit.

Setiap golongan penyakit berhubungan dengan bahan tersebut. Kanker paru

misalnya, dihubungkan dengan kadar tar dalam rokok, penyakit jantung

dihubungkan dengan gas karbon monoksida, nikotin, dan lain-lain (Ellisabet,

2010). Makin tinggi kadar bahan berbahaya dalam satu batang rokok, maka

semakin besar kemungkinan seseorang menjadi sakit jika menghisap rokok.

Karena itulah di banyak negara dibuat aturan agar pengusaha mencantumkan

kadar tar, nikotin, dan bahan berbahaya lainnya pada setiap bungkus rokok yang

dijual di pasaran.

Sebenarnya yang jadi masalah bagi kita adalah kenyataan bahwa rokok

Indonesia mempunyai kadar tar dan nikotin lebih tinggi daripada rokok-rokok

produksi luar negeri. Karena itu perlu dilakukan upaya terus-menerus untuk

menghasilkan rokok kadar tar dan nikotin lebih rendah di Indonesia.

Setelah menghisap rokok bertahun-tahun, perokok mungkin menderita

sakit. Makin lama seseorang mempunyai kebiasaan merokok maka makin besar

kemungkinan mendapat penyakit. Tentu saja ada pengaruh buruk yang segera

Page 38: BAB I-V

38

timbul dari asap rokok, misalnya keluhan perih di mata bila kita berada di ruangan

tertentu yang penuh asap rokok. Penderita asma juga seringkali mengeluh sesak

napas dan batuk-batuk bila di sebelahnya ada orang yang menghembus juga akibat

paparan asap rokok dalam waktu lama. Ada juga penelitian yang menunjukan

bahwa asap rokok merupakan faktor resiko penting untuk timbul kasus baru asma.

Para perokok juga ternyata dapat lebih tersensitisasi terhadap alergen-alergen di

tempat kerja yang khusus.

Kebiasaan merokok juga dihubungkan dengan peningkatan kadar suatu

bahan yang disebut immunoglobulin E yang spesifik. Kadar antibodi terhadap

bahan ini ternyata dapat empat sampai lima kali lebih tinggi pada perokok bila

dibandingkan dengan bukan perokok. Penelitian lain (melaporkan pula

peningkatan hitung jenis set basofil dan eosinofil pada perokok. Jumlah sel Goblet

yang ada di saluran napas juga terpengaruh akibat asap rokok dan mengakibatkan

terkumpulnya lendir di saluran napas. Ada juga penelitian yang mengemukakan

bahwa epithelial serous cells di saluran napas dapat berubah menjadi sel goblet

akibat paparan asap rokok dan polutan lainnya (Aditama,1997 dalam penelitian

Zainul, 2009).

5. Hubungan Merokok dan Tuberkulosis Paru

Kebiasan merokok akan merusak mekanisme pertahanan paru yang disebut

muccociliary clearance. Bulu-bulu getar dan bahan lain di paru tidak mudah

membuang infeksi yang sudah masuk karena bulu getar dan alat lain di paru rusak

akibat asap rokok. Selain itu, asap rokok meningkatkan tahanan jalan napas

(airway resistence) dan menyebabkan mudah bocornya pembuluh darah di paru-

Page 39: BAB I-V

39

paru, juga akan merusak makrofag yang merupakan sel yang dapat memfagosit

bakteri pathogen.

Kebiasaan merokok di Indonesia dan di berbagai negara berkembang

lainnya cukup luas dan ada kecenderungan bertambah dari waktu ke waktu,

sementara di negara maju kebiasaan merokok ini justru mulai ditinggalkan oleh

masyarakat luas yang telah sadar akan bahaya rokok pada kesehatan.

Asap rokok juga diketahui dapat menurunkan respons terhadap antigen

sehingga jika ada benda asing masuk ke paru tidak lekas dikenali dan dilawan.

Secara biokimia asap rokok juga meningkatkan sistense elastase dan menurunkan

produksi antiprotase sehingga merugikan tubuh kita. Pemeriksaan gas

chromatography dan mikroskop electron lebih menjelaskan hal ini dengan

menunjukan adanya berbagai kerusakan tubuh di tingkat biomokuler akibat rokok

Di India TB adalah salah satu penyebab utama kematian para perokok.

Sekitar 20% kematian akibat tuberculosis di India berhubungan dengan kebiasaan

merokok mereka. Merokok diperkirakan mampu membunuh hampir satu juta

warganya di usia produktif pada tahun 2010. Penelitian ini juga menunjukan,

kebiasaan tersebut menjadi penyebab utama kematian pada penderita TBC,

penyakit saluran pernapasan, dan jantung. Menurut penelitian tersebut juga

mengungkapkan tuberculosis dan merokok merupakan dua masalah kesehatan

yang signifikan, terutama di negara berkembang (Boon, 2007 dalam penelitian

Zainul, 2009).

Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko

untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik

dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk

Page 40: BAB I-V

40

terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok di Indonesia

per orang per tahun adalah 230 batang, relatif lebih rendah dengan 430

batang/orang/tahun di Sierra Leon, 480 batang/orang/tahun di Ghana dan 760

batang/orang/tahun di Pakistan (Achmadi, 2005 dalam Prabu, 2008). Prevalensi

merokok pada beberapa negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki

dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya kebiasaan

merokok akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru.

Secara umum, perokok ternyata lebih sering mendapat TB dan kebiasaan

merokok memegang peran penting sebagai faktor penyebab kematian TB.

Kebiasaan merokok membuat seseorang jadi lebih mudah terinfeksi tuberculosis,

dan angka kematian akibat TB akan lebih tinggi pada perokok dibandingkan

dengan bukan perokok. Di Indonesia, sejauh ini memang belum ada penelitian

resmi yang mengungkapkan hubungan antara merokok dan TB paru (Aditama,

2009 dalam penelitian Zainul, 2009).

Namun menurut penelitian Priyadi (2001), tentang Hubungan Kebiasaan

Merokok Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Kabupaten Banjarnegara

menunjukan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok

dengan kejadian TB paru dan tidak ada hubungan yang bermakna antara jumlah

rokok yang dihisap, lamanya merokok serta jenis rokok yang dihisap dengan

kejadian TB paru.

Page 41: BAB I-V

41

E. Kerangka Teori

Jumlah kasus TB BTA +

Faktor Lingkungan1. Ventilasi2. Kepadatan3. Dalam

ruanganFaktor Prilaku

1. Diagnosis tepat dan cepat

2. Pengobatan tepat dan lengkap

3. Kondisi kesehatan mendukung

Resiko menjadi TB bila dengan HIV1. 5-10 % setiap tahun2. >30% lifetime

HIV (+)

TERPAJAN INFEKSI TB MATI

Konsentrasi kuman

lama kontak

Malnutrisi(Gizi Buruk), Penyakit DM,

Immuno-supresan

1. Keterlambatan diagnosa dan pengobatan

2. Tatalaksana tak memadai

3. Kondisi Kesehatan

SEMBUH

10%

Transmisi

(Depkes RI, 2008)

Keterangan :

Pengaruh langsungPengaruh tidak langsung

Page 42: BAB I-V

42

F. Kerangka Konsep

G. Definisi operasional

1. Kelembaban kamar tidur

a. Variable :Independent

b. Definisi operasional :Persentase jumlah kandungan air dalam

udara di kamar tidur responden.

c. Cara ukur : Pengukuran

d. Alat ukur :Hygrometer

e. Hasil ukur :1. Tidak memenuhi syarat, jika kelembaban

<40% atau >70%.

2. Memenuhi syarat, jika nilai kelembaban

40%-70%.

f. Skala ukur : Ordinal

2. Kebiasaan Merokok

a. Variable : Independent

b. Definisi operasional : Prilaku menghisap rokok (tembakau) yang

dilakukan setiap hari oleh responden yang

berumur ≥ 15 tahun.

c. Cara ukur : Wawancara

Kelembaban

TB Paru

Kebiasaan Merokok

Page 43: BAB I-V

43

d. Alat ukur : Kwesioner

e. Hasil ukur :1. Merokok

2. Tidak merokok

f. Skala ukur : Ordinal

3. Kejadian TB paru

a. Variable :Dependent

b. Definisi operasional :Kejadian penyakit menular yang disebabkan

oleh bakteri Mycrobacterium tuberculosis

yang telah ditetapkan oleh tenaga medis.

c. Cara ukur :Wawancara

d. Alat ukur : Kwesioner

e. Hasil ukur : 1. Menderita penyakit TB Paru

2. Tidak menderita penyakit TB Paru

f. Sakal ukur :Nominal

Page 44: BAB I-V

44

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian survai analitik. Rancangan

penelitian yang digunakan adalah penelitian case control yaitu survei analitik

yang menyangkut bagaimana faktor resiko dipelajari dengan menggunkan

pendekatan retrospective (Notoatmojo, 2005), atau dengan membandingkan antara

sekelompok orang yang menderita penyakit (kasus) dengan sekelompok lainnya

yang tidak menderita penyakit (kontrol), kemudian dicari faktor penyebab

timbulnya penyakit tersebut.

Dalam penelitian ini kelompok kasus yakni responden yang menderita

penyakit TB paru yang telah ditetapkan oleh tenaga medis di wilayah kerja

Puskesmas Iring Mulyo kecamatan Metro Timur. Sedangkan kelompok kontrol

yakni tetangga penderita yang tidak menderita TB paru dan tidak pernah

terdiagnosa menderita TB Paru serta memiliki kesamaan karakteristik usia, jenis

kelamin, wilayah tempat tinggal dengan kelompok kasus.

Sedangkan faktor resiko yang akan dicari yakni tentang kebiasaan

merokok dan kelembaban kamar tidur responden. Adapun skema dari penelitian

ini adalah sebagai berikut:

44

Page 45: BAB I-V

45

Keterangan:

FR : Faktor resiko

+ :Kelembaban kamar tidur tidak memenuhi syarat atau memiliki kebiasaan

merokok

- :Kelembaban kamar tidur memenuhi syarat atau tidak memilki kebiasan

merokok

B. Subjek Penelitian

1. Populasi

Arikunto (2006) mengemu kakan populasi adalah keseluruhan dari objek

yang diteliti. Dimana yang menjadi populasi kasus penelitian ini ialah penderita

TB paru yang berada di wilayah kerja Puskesmas Iring Mulyo Kecamatan Metro

Timur pada tahun 2010 sebanyak 34 penderita. Sedangkan populasi kontrol

adalah tetangga penderita yang tidak menderita TB paru dan tidak pernah

terdiagnosa menderita TB Paru serta memiliki kesamaan karakteristik usia, jenis

kelamin, wilayah tempat tinggal dengan populasi kasus.

Populasi

Kasus

Kontrol

FR

FR

+

+

-

-Gambar 1. Rancangan penelitian kasus kontrol

Page 46: BAB I-V

46

2. Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 2006).

Sampel kasus diambil dari populasi kasus sebanyak 34 penderita TB Paru

sehingga seluruh populasi kasus dijadikan sebagai sampel kasus. Namun sampel

kasus pada variable kebiasaan merokok ialah kasus yang mempunyai karakteristik

umur ≥ 15 tahun. Sedangkan sampel control diambil dari populasi control yakni

tetangga penderita TB paru yang tidak menderita TB paru dan tidak pernah

terdiagnosa menderita TB Paru serta mempunyai kesamaan karakteristik usia,

jenis kelamin, wilayah tempat tinggal dengan populasi kasus dengan

menggunakan perbandingan 1:1.

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Iring Mulyo yakni

Kelurahan Iring Mulyo Kecamatan Metro Timur dan dilaksanakan pada bulan

Mei-Juli 2011.

D. Pengumpulan data

1. Data primer

Data primer diperoleh dengan cara wawancara dan obsevasi/pengamatan

lansung kepada responden yakni meliputi kebiasaan merokok dan kelembapan

kamar tidur responden. Sedangkan alat yang digunakan dalam wawancara ialah

kwesioner dan alat yang digunakan untuk mengukur kelembaban berupa

hygrometer.

Page 47: BAB I-V

47

2. Data sekunder

Data sekunder diperoleh dari data Puskesmas Iring Mulyo Kecamatan

Metro Timur tahun 2010 dan data Dinas Kesehatan Kota Metro tahun 2010.

E. Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengolahan data

a. Editing

Merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isian formulir atau

kuisioner apakah jawaban yang ada di kuesioner telah lengkap, jelas,

relavan, dan konsisten.

b. Koding

Merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data

berbentuk angka/bilangan.

c. Proccessing

Pemrosesan data dilakukan dengan cra mengentri data dari kuisioner ke

paket progam computer.

d. Cleaning

Merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di-entry apakah

ada kesalahan atau tidak. Kesalahan tersebut dimungkinkan terjadi pada

saat mengentri ke computer.

2. Analisa data

a. Analisa univariat digunakan untuk menjelaskan hubungan masing-masing

variable yang diteliti dan disajikan dalam bentuk tabel frekuensi dan

proporsi.

Page 48: BAB I-V

48

b. Analisa bivariat digunakan untuk menjelaskan hubungan kelembaban

rumah dan kebiasaan merokok dengan kejadiaan TB paru dengan

menggunkan progam komputerisasi. Uji statistic yang digunakan yaitu

Chi-Square (X2), dengan rumus sebagai berikut:

df = (k-1)(b-1)

Keterangan:

O :nilai observasi, frekuensi yang diperoleh dari hasil pengamatan

E :nilai ekspetasi, frekuensi yang diharapkan dalam sampel sebagai

pencerminan dan frekuensi yang diharapkan dari populasi.

df :degree of freedom (derajat kebebasan)

k :jumlah kolom

b : jumlah baris

F. Variable penelitian

Variabel adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian

suatu penelitian (Arikunto, 2006). Variable penelitian dalam penelitian ini dibagi

menjadi dua yakni sebagai berikut:

1. Variable independent yaitu kondisi rumah yang meliputi kelembaban rumah

dan kebiasaan merokok

2. Variable dependent yaitu kejadian TB paru di wilayah kerja Puskesmas Iring

Mulyo tahun 2010.

Page 49: BAB I-V

49

G. Hipotesis

Hipotesis ialah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap

permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Arikunto,

2006).

Hipotesis dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yakni sebagai berikut:

1. Ada hubungan antara kelembaban rumah dengan kejadian TB Paru di wilayah

kerja Puskesmas Iring Mulyo

2. Ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian TB Paru di wilayah

kerja Puskesmas Iring Mulyo.

Page 50: BAB I-V

50

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Wilayah Kerja Puskesmas Iring Mulyo

1. Geografis

Puskesmas Iring Mulyo merupakan salah satu Puskesmas yang berada di

Kecamatan Metro Timur. Pada tahun 2010 wilayah kerja Puskemas Iring Mulyo

meliputi Kelurahan Iring Mulyo, Kelurahan Tejo Agung, dan Kelurahan Tejo

Sari. Namun pada bulan Februari 2010, Dinas Kesehatan Kota Metro memiliki

satu Puskesmas induk di Kelurahan Tejo Agung. Puskesmas Tejo Agung

memiliki dua wilayah kerja yaitu Kelurahan Tejo Agung dan Kelurahan Tejo Sari.

Sehingga mulai bulan Februari wilayah kerja Puskesmas Iring Mulyo hanya di

Kelurahan Iring Mulyo.

Secara geografis Kelurahan Iring Mulyo meliputi daratan seluas 221 Ha.

Batas wilayah Kelurahan Iring Mulyo adalah:

a. Sebelah Utara : Kelurahan Yosorejo, Kelurahan Yosodadi.

b. Sebelah Selatan ; Kelurahan Mulyojati, Kelurahan Tejoagung.

c. Sebelah Barat : Kelurahan Metro.

d. Sebelah Timur : Kecamatan Batanghari, Kab.Lampung Timur.

Keadaan Geografis Kelurahan Iring Mulyo terletak ketinggian tanah 25 –

60 m dari permukaan laut. Banyaknya curah hujan yang terjadi yaitu 2.000

mm/tahun. Topografi berupa dataran rendah. Suhu udara rata-rata berkisar antara

26oC – 28oC.

50

Page 51: BAB I-V

51

Sedangkan kelurahan Tejo Agung secara geografis memiliki daratan seluas

155 Ha, dengan batas wilayah sebagai berikut:

a. Sebelah Utara :Kelurahan Iring Mulyo.

b. Sebelah Selatan :Kelurahan Tejosari.

c. Sebelah Barat :Kelurahan Mulyojati dan Kelurahan Marga rejo.

d. Sebelah Timur :Desa Banjarejo Kec. Batang Hari.

Keadaan Geografis Tejo Agung dilihat dari banyaknya curah hujan yang

terjadi yaitu 2.400-3.000 mm/tahun sedangkan topografi berupa dataran rendah.

Suhu udara rata-rata berkisar antara 26oC – 28oC.

Kelurahan Tejo Sari secara geografis memiliki daratan seluas 337 Ha,

dengan batas wilayah sebagai berikut:

a. Sebelah Utara :Desa Banjarejo Kec. Batang Hari

b. Sebelah Selatan :Rejomulyo/Margodadi Kec. Metro Selatan

c. Sebelah Barat :Tejo Agung Kec. Metro Timur

d. Sebelah Timur :Adiwarno Kec. Batanghari Lampung Timur

Keadaan Geografis Tejo Agung dilihat dari banyaknya curah hujan yang

terjadi yaitu 2.400-3.000 mm/tahun sedangkan topografi berupa dataran rendah.

Suhu udara rata-rata berkisar antara 26oC – 28oC.

2. Demografi

Data demografi yang dihimpun bersumber dari Monografi Kelurahan Iring

Mulyo, Kelurahan Tejo Agung, dan Kelurahan Tejo Sari pada tahun 2010, yang

terdiri dari data distribusi penduduk berdasarkan kelompok jenis kelamin, umur,

tingkat pendidikan, mata pencaharian, dan agama.

Page 52: BAB I-V

52

TABEL 4.1DISTRIBUSI PENDUDUK BERDASARKAN JENIS KELAMIN

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IRING MULYO TAHUN 2010

Jenis Kelamin

Jumlah (jiwa) Persentase (%)Iring Mulyo

Tejo Agung

Tejo Sari

IringMulyo

Tejo Agung

Tejo Sari

Laki-Laki 6.307 2.667 1.495 50,6 49,1 52Perempuan 6.159 2.771 1.380 49,4 50,9 48

Jumlah 12.466 5.435 2.875 100 100 100(Sumber : Monografi Kelurahan Iring Mulyo, Tejo Agung, dan Tejosari Tahun 2010.

Berdasarkan Tabel 4.1, di Kelurahan Iring Mulyo penduduk berjenis

kelamin laki-laki merupakan kelompok terbanyak, yakni 6.307 jiwa (50,6%) dan

perempuan sebanyak 6.159 (49,4%). Sedangkan di Kelurahan Tejo Agung,

penduduk berjenis kelamin laki-laki sebanyak 2.667 jiwa (49,1%), dan perempuan

sebanyak 2.771 jiwa (50,9%). Pada Kelurahan Tejo Sari, penduduk berjenis

kelamin laki-laki sebanyak 1.495 jiwa (52%), dan perempuan sebanyak 1.380

jiwa (48%).

TABEL 4.2DISTRIBUSI PENDUDUK BERDASARKAN UMUR

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IRING MULYO TAHUN 2010 Kelompok Umur

(Tahun)Jumlah (Orang) Persentase (%)

Iring Mulyo Tejo Sari Iring Mulyo Tejo Sari00-04 723 192 5,79 6,6705-06 397 75 3,18 2,6007-12 1.196 198 9,59 6,8813-15 544 84 4,36 2,9216-18 723 100 5,79 3,4719-26 1.705 415 13,67 14,4327-40 3.932 661 31,54 22,9941-55 2.264 925 18,19 32,1756-60 580 114 4,65 3,96

60 ke atas 397 108 3,18 3,75Jumlah 12.466 2.875 100,00 100

. Berdasarkan Tabel 4.2, jumlah penduduk terbanyak di Kelurahan Iring

Mulyo pada kelompok umur 27 - 40 tahun, sebanyak 3.932 jiwa (31, 54 %), dan

(Sumber : Monografi Kelurahan Iring Mulyo dan Tejosari Tahun 2010

Page 53: BAB I-V

53

penduduk terendah ialah pada kelompok umur 5 - 6 tahun dan kelompok umur 60

tahun ke atas, dengan jumlah penduduk sebanyak 397 jiwa ( 3,18%). Kelurahan

Tejo Sari, jumlah penduduk terbanyak pada kelompok umur 41-55 tahun

sebanyak 925 jiwa (32,17%), dan jumlah penduduk terendah pada kelompok

umur 5-6 tahun sebanyak 75 jiwa (2,6%).

TABEL 4.3DISTRIBUSI PENDUDUK BERDASARKAN UMUR

DI KELURAHAN TEJO AGUNG TAHUN 2010 Kelompok Umur

(Tahun)Jumlah (Orang) Persentase (%)

Tejo Agung Tejo Agung00-04 309 5,685-9 341 6,27

10-14 404 7,4315-20 429 7,8920-24 510 9,3825-29 611 11,2430-34 610 11,22

35-39 530 9,7540-44 584 10,7445-49 409 7,5250-54 317 5,83

55-59 236 4,34

60 ke atas 145 2,66

Jumlah 5.435 100

(Sumber : Monografi Kelurahan Tejo Agung Tahun 2010)

Berdasarkan Tabel 4.3 Kelurahan Tejo Agung, mempunyai penduduk

terbanyak pada kelompok umur 30-34 tahun, sebanyak 610 jiwa (11,24%), dan

penduduk terendah ialah pada kelompok umur 60 tahun ke atas sebanyak 145

jiwa (2,66%).

TABEL 4.4DISTRIBUSI PENDUDUK BERDASARKAN TINGKAT PENDIDIKAN

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IRING MULYO TAHUN 2010

Page 54: BAB I-V

54

No. PENDIDIKAN Jumlah (orang) Persentase (%)a. Lulusan

Pendidikan UmumIringMulyo

Tejo Agung

TejoSari

IringMulyo

Tejo Agung

Tejo Sari

1) Sekolah Dasar 1.430 3.093 1.022 11,47 56,9 57,25

2) SMP/SLTP 1.639 824 251 13,14 15,1 14,063) SMU/SLTA 3.691 862 368 29,60 15,9 20,614) Akademi/D I–D III 552 428 45 4,42 7,9 2,525) Sarjana (S I – S 3 ) 1.052 228 33 8,43 4,2 1,84

b.Lulusan Pendidikan Khusus1) Pondok Pesantren 132 - 66 1,05 - 3,692) Madrasah 202 - - 1,62 - -3) Pendidikan

Keagamaan72 - - 0,57 - -

4) Sekolah Luar Biasa 104 - - 0,83 - -

5) Kursus/Ketrampilan 90 - - 0,72 - -

6) Lain-lain 3502 - - 28,09 - -

Jumlah 12.466 5.435 1.785 100 100 100

Sumber : Monografi Kelurahan Iring Mulyo, Tejo Agung, dan Tejo Sari Tahun 201.

Berdasarkan Tabel 4.4, mayoritas penduduk di Kelurahan Iring Mulyo

lulus pendidikan SMU/SLTA yakni sebanyak 3.691 jiwa (29,60%). Sedangakan

tingkat pendidikan terendah terdapat pada lulusan pendidikan keagamaan,

sebanyak 72 jiwa (0,57%). Penduduk di Kelurahan Tejo Agung mayoritas lulus

pendidikan Sekolah Dasar sebanyak 3.093 jiwa (56,9%), dan terendah lulus

pendidikan Sarjana (S1-S3) sebanyak 228 jiwa (4,2 %). Pada Kelurahan Tejo Sari,

mayoritas penduduk lulus pendidikan Sekolah Dasar (SD) sebanyak 1.022 jiwa

(57,25%), dan lulus pendidikan terendahSarjana (S 1-S 3) Sebanyak 33 jiwa

(1,84%).

TABEL 4.5DISTRIBUSI PENDUDUK BERDASARKAN MATA PENCAHARIAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IRING MULYO TAHUN 2010

Page 55: BAB I-V

55

No. Mata PencaharianJumlah (orang) Persentase (%)

Iring Mulyo

Tejo Agung

Tejo Sari

IringMulyo

Tejo Agung

Tejo Sari

a. Pegawai Negri/Karyawan1) Pegawai Negeri Sipil 633 337 96 13,45 6,2 12,71

2) TNI/Polri 52 13 6 1,10 0,24 0,793) Karyawan (swasta

/BUMN /BUMD)1.065 472 1 22,64 8,68 0,13

b. Wiraswasta/Pedagang 1.105 297 36 23,49 5,46 4,76c. Tani 71 675 371 1,50 12,42 49,13d. Pertukangan 93 55 16 1,97 1,01 2,11e. Buruh 1.258 512 215 26,74 9,42 28,47

f. Pensiunan 155 49 11 3,29 0,9 1,45g. Industri Kecil/Rumah

Tangga92 - 3 1,95 0,39

h. Sektor Informal 77 - - 1,63 -i. Jasa/ lain-lain 103 3.025 - 2,18 55,65 -

Jumlah 4704 5.435 755 100 100 100(Sumber : Monografi Kelurahan Iring Mulyo, Tejo Agung, dan Tejo Sari Tahun 2010)

Berdasarkan Tabel 4.5, mayoritas penduduk di Kelurahan Iring Mulyo

bermata pencaharian buruh sebanyak 1.258 jiwa (26,74 %). Sedangkan mata

pencaharian terendah yakni TNI/Polri, sebanyak 52 jiwa (1,10 %). Kelurahan

Tejo Agung, mayoritas penduduk bermata pencaharian Jasa/Lain-lain sebanyak

3.025 jiwa (55,65%), dan terendah bermata pencaharian TNI/Polri sebanyak 13

jiwa (1,10%). Sedangkan Kelurahan Tejo Sari mayoritas penduduk bermata

pencaharian Petani sebanyak 317 jiwa (49,13%), dan terendah bermata

pencaharian Karyawan (swasta/BUMD/BUMN) sebanyak 1 jiwa (0,13%).

TABEL 4.6DISTRIBUSI PENDUDUK BERDASARKAN AGAMA YANG DIANUT

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IRING MULYO TAHUN 2010

Page 56: BAB I-V

56

No. Agama

Jumlah (orang) Persentase (%)

Iring

Mulyo

Tejo

Agung

Tejo

Sari

Iring

Mulyo

Tejo

Agung

Tejo

Sari

1. Islam 11.349 5.375 2.839 91,03 98,9 98,74

2. Kristen 424 49 17 3,40 0,9 0,59

3. Katholik 177 7 15 1,41 0,12 0,52

4. Hindu 66 4 4 0,52 0,08 0,13

5. Budha 450 - - 3,60 - -

Jumlah 12.466 5.435 2.875 100,00 100 100

(Sumber : Monografi Kelurahan Iring Mulyo, Tejo Agung, dan Tejo Sari Tahun 2010)

Berdasarkan Tabel 4.6, mayoritas penduduk di Kelurahan Iring Mulyo

menganut agama islam sebanyak 11.349 jiwa (91,03 %). Sedangkan penduduk

terendah yang beragama Hindu, sebanyak 66 jiwa (0,52 %). Kelurahan Tejo

Agung mayoritas penduduknya beragama islam sebanyak 5.375 jiwa (98,9%), dan

penduduk terendah beragama Hindu sebanyak 4 jiwa (0,08%). Kelurahan Tejo

Sari, mayoritas penduduk beragama islam sebanyak 2.839 jiwa (98,74%), dan

penduduk terendah beragam Hindu sebanyak 4 jiwa (0,13%).

3. Fasilitas Kesehatan

Fasilitas kesehatan yang dimiliki Kelurahan Iring Mulyo, berupa 4 unit

Rumah Sakit Bersalin/Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA), 1 unit

Laboratorium, 1 unit Apotik/depot obat, 2 unit praktek Dokter Umum dan 1

praktek Dokter Gigi, 8 unit Posyandu dengan jumlah Anggota 56 orang dan 300

pasien/bulan. Selain itu di Kelurahan Iring Mulyo juga terdapat 1 unit Puskesmas

dengan 2 orang tenaga dokter, 6 tenaga perawat, serta 6 tenaga bidan.

B. Hasil penelitian

Page 57: BAB I-V

57

Survei mengenai kebiasaan merokok dan pengukuran kelembaban kamar

tidur dalam hubungannya dengan kejadian penyakit TB Paru dilakukan di wilayah

kerja Puskesmas Iring Mulyo Kecamatan Metro Timur Kota Metro, dengan

sampel awal sebanyak 68 responden. Dimana sampel kasus sebanyak 34

responden, namun dalam perjalanan penelitian dua penderita TB Paru Drop Out

dikarenakan telah meninggal dunia dan berpindah tempat ke luar propinsi

Lampung sehingga jumlah kasus 32 responden. Dengan demikian sampel kontrol

sebanyak 32 responden, sehingga total sampel 64 responden. Berikut ini disajikan

hasil analisa data dengan analisa univariat dan bivariat.

1. Analisa Univariat

a. Karakteristik Responden berdasarkan kasus (menderita TB Paru)

Data karakteristik responden kelompok kasus diperoleh dari isian data

umum berupa jenis kelamin, umur, pendidikan, dan pekerjaan sedangkan data

khusus berupa kebiasaan merokok, jenis rokok, kelembaban kamar tidur dan suhu

kamar tidur.

TABEL 4.7DISTRIBUSI KASUS BERDASARKAN JENIS KELAMIN

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IRING MULYO TAHUN 2011

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)

Laki-Laki 13 40,6

Perempuan 19 59,4

Jumlah 32 100

Tabel 4.7 di atas menunjukan bahwa penderita TB Paru mayoritas berjenis

kelamin perempuan sebanyak 19 jiwa (59,4 %), dan laki-laki 13 (40,6 %).

TABEL 4.8DISTRIBUSI KASUS BERDASARKAN KARAKTERISTIK UMURDI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IRING MULYO TAHUN 2010

Page 58: BAB I-V

58

Umur Frekuensi Persentase (%)

Rata-rata

0-14 8 25

32,40

15-19 1 3,1

20-54 17 53,1

55-64 5 15,7

>65 1 3,1

Jumlah 32 100

Tabel 4.8 di atas menunjukan bahwa penderita TB Paru terbanyak pada

usia 20-54 tahun dengan jumlah 17 penderita (53,1%), berikutnya pada usia 0-14

tahun sebanyak 8 jiwa (25%) dan pada usia 55-64 tahun sebanyak 5 jiwa (15,7%).

Selebihnya pada usia 15-19 tahun dan >65 tahun dengan jumlah masing-masing

1 jiwa (3,1%). Sedangkan rata-rata umur penderita TB Paru ialah 32,40 tahun

TABEL 4.9DISTRIBUSI KASUS BERDASARKAN TINGKAT PENDIDIKAN

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IRING MULYO TAHUN 2010

Pendidikan Frekuensi Persentase (%)

Belum sekolah 7 21,9

Tidak tamat sekolah 2 6,2

SD 5 15,6

SLTP 8 25

SMU/SLTA 7 21,9

PT 3 9,4

Jumlah 32 100

Tabel 4.9 di atas menunjukan bahwa mayoritas tingkat pendidikan

penderita TB Paru ialah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTP) sebanyak 8 jiwa

(25%), selanjutnya SMU/SLTA dan belum menempuh pendidikan sekolah dengan

jumlah masing-masing 7 jiwa (21,9%). Selanjutnya pada tingkat pendidikan

Sekolah Dasar (SD) sebanyak 5 jiwa (15,6) dan tingkat pendidikan Perguruan

Page 59: BAB I-V

59

Tinggi sebanyak 3 jiwa (9,4%). Kemudian yang paling sedikit yang berpedidikan

tidak tamat SD sebanyak 2 jiwa (6,2%).

TABEL 4.10DISTRIBUSI KASUS BERDASARKAN MATA PENCAHARIAN

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IRING MULYO TAHUN 2010

Mata Pencaharian Frekuensi Persentase (%)

PNS/TNI/Polri/Karyawan 6 18,8

Wiraswasta/Pedagang 1 3,1

Buruh 9 28,1

Ibu Rumah Tangga 6 18,8

Belum Bekerja 10 31,2

Jumlah 32 100

Tabel 4.10 di atas menunjukan bahwa mayoritas penderita TB Paru belum

bekerja sebanyak 10 jiwa (31,2%). Selanjutnya sebagai buruh sebanyak 9 jiwa

(28,1%), kemudian bekerja sebagai PNS/TNI/Polri/Karyawan dan Ibu Rumah

Tangga masing-masing sebanyak 6 jiwa (18,8%), dan yang paling sedikit bekerja

sebagai wiraswasta/pedagang sebanyak 1 jiwa (3,1%).

TABEL 4.11DISTRIBUSI KASUS BERDASARKAN KEBIASAAN MEROKOK

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IRING MULYO TAHUN 2010

Kebiasaan Merokok Frekuensi Persentase (%)

Merokok 8 33,3

Tidak Merokok 16 66,7

Jumlah 24 100

Tabel 4.11 di atas menunjukan bahwa responden yang menderita TB Paru

yang berumur ≥ 15 tahun dan melakukan kegiatan merokok sebanyak 8 jiwa

(33,3%) dan yang tidak merokok sebanyak 16 jiwa (66,7%). Sedangkan rata-rata

lama merokok penderita ialah 28,25 tahun dan rata-rata batang rokok yang dihisap

ialah 13,38 batang/hari.

Page 60: BAB I-V

60

TABEL 4.12DISTRIBUSI KASUS BERDASARKAN JENIS ROKOK YANG DIHISAP

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IRING MULYO TAHUN 2010

Jenis Rokok Frekuensi Persentase (%)

Non Filter 5 62,5

Filter 3 37,5

Jumlah 8 100

Tabel 4.12 di atas menunjukan bahwa dari 8 penderita TB Paru yang

merokok dimana jenis rokok yang dihisap non filter (kretek) sebanyak 5 jiwa

(62,5%), sedangkan jenis rokok filter sebanyak 3 jiwa (37,5%).

TABEL 4.13DISTRIBUSI KASUS BERDASARKAN KELEMBABAN KAMAR TIDUR

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IRING MULYO TAHUN 2010

Kelembaban Kamar Tidur

Frekuensi Persentase (%) Rata-rata

Tidak memenuhi Syarat 19 59,4

69,31Memenuhi syarat 13 40,6

Jumlah 32 100

Pada Tabel 4.13 di atas menunjukan penderita TB Paru yang kelembaban

kamar tidurnya tidak memenuhi syarat kesehatan sebanyak 19 jiwa (59,4%) dan

yang memenuhi syarat kesehatan sebanyak 13 jiwa (40,6%). Sedangkan rata-rata

kelembaban kamar tidur 69,31 %. Kelembaban memenuhi syarat kesehatan

apabila nilai kelembaban 40%-70%. Penderita yang ventilasi rumah memenuhi

syarat kesehatan sebanyak 1 jiwa (3,1%) dan tidak memenuhi syarat sebanyak 31

jiwa (96,9%). Sedangkan lantai rumah mayoritas plasteran sebanyak 30 jiwa

(93,8%) dan tanah 2 jiwa (6,2%). Sedangkan dinding rumah mayoritas permanen

dengan jumlah 23 jiwa (71,9%), papan/anyaman 5 jiwa (15,6%), dan semi

permanen 4 jiwa (12,5%).

Page 61: BAB I-V

61

TABEL 4.14DISTRIBUSI KASUS BERDASARKAN SUHU KAMAR TIDUR

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IRING MULYO TAHUN 2010

Suhu Kamar Tidur Frekuensi Persentase (%) Rata-rata

Tidak memenuhi Syarat 22 68,8

31,31Memenuhi syarat 10 31,2

Jumlah 32 100

Pada Tabel 4.14 di atas menunjukan penderita TB Paru yang suhu kamar

tidurnya tidak memenuhi syarat sebanyak 22 jiwa (68,8%) dan yang memenuhi

syarat sebanyak 10 jiwa (31,2%). Sedangkan rata-rata suhu kamar tidur 31,31 oC.

Suhu yang memenuhi syarat apabila nilai suhu 20oC-30oC dan tidak memenuhi

syarat kesehatan apabila nilai suhu <20oC atau >30oC.

b. Karakteristik Responden berdasarkan kontrol (bukan penderita)

Data karakteristik responden diperoleh dari isian data umum berupa jenis

kelamin, umur, pendidikan, dan pekerjaan sedangkan data khusus berupa

kebiasaan merokok, jenis rokok, kelembaban kamar tidur dan suhu kamar tidur.

TABEL 4.15DISTRIBUSI KONTROL BERDASARKAN JENIS KELAMIN

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IRING MULYO TAHUN 2010

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)

Laki-Laki 13 40,6

Perempuan 19 59,4

Jumlah 32 100

Tabel 4.15 di atas menunjukan bahwa dari responden yang tidak penderita TB

Paru mayoritas berjenis kelamin perempuan sebanyak 19 jiwa (59,4%) dan jenis

kelamin laki-laki sebanyak 13 jiwa (40,6%).

TABEL 4.16DISTRIBUSI KONTROL BERDASARKAN KARAKTERISTIK UMUR

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IRING MULYO TAHUN 2010

Page 62: BAB I-V

62

Umur Frekuensi Persentase (%) Rata-rata

0-14 8 25

31,87

15-19 1 3,1

20-54 17 53,1

55-64 5 15,7

>65 1 3,1

Jumlah 32 100

Tabel 4.16 di atas menunjukan bahwa usia responden yang tidak menderita

TB Paru terbanyak pada usia 20-54 tahun sebanyak 17 jiwa (53,1%), dan yang

paling sedikit pada usia 15-19 tahun dan >65 tahun sebanyak 1 jiwa (3,1%).

Sedangkan rata-rata umur yang tidak menderita TB Paru ialah 31,87.tahun.

TABEL 4.17DISTRIBUSI KONTROL BERDASARKAN TINGKAT PENDIDIKANDI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IRING MULYO TAHUN 2010

Pendidikan Frekuensi Persentase (%)

Belum sekolah 7 21,9

Tidak tamat sekolah 1 3,1

SD 8 25

SLTP 3 9,4

SMU/SLTA 11 34,4

PT 2 6,2

Jumlah 32 100

Tabel 4.17 di atas menunjukan bahwa responden yang tidak menderita TB

Paru mayoritas berpendidikan SMU/SLTA sebanyak 11 jiwa (34,4%), selanjutnya

yang berpendidikan SD sebanyak 8 jiwa (25%), belum menempuh pendidikan

sebanyak 7 jiwa (21,9%), berpedidikan SLTP sebanyak 3 jiwa (9,4%),

berpendidikan Perguruan Tinggi (PT) sebanyak 2 jiwa (6,2%), dan yang paling

terendah berpendidikan Tidak Tamat SD sebanyak 1 jiwa (3,1%).

TABEL 4.18

Page 63: BAB I-V

63

DISTRIBUSI KONTROL BERDASARKAN MATA PENCAHARIANDI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IRING MULYO TAHUN 2010

Mata Pencaharian Frekuensi Persentase (%)

PNS/TNI/Polri/Karyawan 5 15,6

Wiraswasta/Pedagang 1 3,1

Buruh 8 25,0

Ibu Rumah Tangga 9 28,1

Belum Bekerja 9 28,1

Jumlah 32 100

Tabel 4.18 di atas menunjukan bahwa yang tidak menderita TB Paru

mayoritas bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga dan belum bekerja yang masing-

masing berjumlah 9 jiwa (28,1%), selanjutnya bekerja sebagai buruh sebanyak 8

jiwa (25%), dan PNS/TNI/Polri/Karyawan sebanyak 5 jiwa (15,6%). Selanjutnya

yang paling sedikit bekerja sebagai wiraswasta/pedagang sebanyak 1 jiwa (3,1).

TABEL 4.19DISTRIBUSI KONTROL BERDASARKAN KEBIASAAN MEROKOK

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IRING MULYO TAHUN 2010

Kebiasaan Merokok Frekuensi Persentase (%)

Merokok 6 25

Tidak Merokok 18 75

Jumlah 24 100

Tabel 4.19 di atas menunjukan responden yang tidak menderita TB Paru

yang berumur ≥ 15 tahun dan melakukan kegiatan merokok sebanyak 6 jiwa

(125%) dan tidak merokok sebanyak 18 jiwa (75%). Lama merokok rata-rata

21,67 tahun dan rata-rata jumlah batang yang dihisap 10,67 batang/hari.

TABEL 4.20DISTRIBUSI KONTROL

BERDASARKAN JENIS ROKOK YANG DIHISAPDI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IRING MULYO TAHUN 2010

Page 64: BAB I-V

64

Jenis Rokok Frekuensi Persentase (%)

Non Filter 3 50

Filter 3 50

Jumlah 6 100

Tabel 4.20 di atas menunjukan bahwa dari bukan penderita TB Paru yang

merokok dimana jenis rokok yang dihisap non filter (kretek) sebanyak 3 jiwa

(50%), sedangkan jenis rokok filter sebanyak 3 jiwa (50%).

TABEL 4.21DISTRIBUSI KONTROL

BERDASARKAN KELEMBABAN KAMAR TIDURDI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IRING MULYO TAHUN 2010

Kelembaban Kamar Tidur Frekuensi Persentase (%) Rata-rata

Tidak memenuhi Syarat 10 31,2

69,41Memenuhi syarat 22 68,8

Jumlah 32 100

Pada Tabel 4.21 di atas menunjukan bukan penderita TB Paru yang

kelembaban kamar tidurnya tidak memenuhi syarat kesehatan sebanyak 10 jiwa

(31,2%) dan yang memenuhi syarat kesehatan sebanyak 22 jiwa (68,8%).

Sedangkan rata-rata kelembaban kamar tidur 69,41 %. Kelembaban memenuhi

syarat kesehatan apabila nilai kelembaban 40%-70. Penderita yang ventilasinya

memenuhi syarat sebanyak 3 jiwa (9,4%) dan tidak memenuhi syarat sebanyak 29

jiwa (90,6%). Lantai rumah yang plasteran sebanyak 31 jiwa (96,9%) dan papan 1

(3,1%) sedangkan dinding rumah yang permanen sebanyak 28 jiwa (87,5%), semi

permanen dan tanah 2 jiwa (6,2%)

TABEL 4.22DISTRIBUSI KONTROL BERDASARKAN SUHU KAMAR TIDURDI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IRING MULYO TAHUN 2010

Suhu Kamar Tidur Frekuensi Persentase (%) Rata-rata

Page 65: BAB I-V

65

Tidak memenuhi Syarat 18 56,2

31,06Memenuhi syarat 14 43,8

Jumlah 32 100

Pada Tabel 4.22 di atas menunjukan bukan penderita TB Paru yang suhu

kamar tidurnya tidak memenuhi syarat kesehatan sebanyak 18 jiwa (56,2%) dan

yang memenuhi syarat kesehatan sebanyak 14 jiwa (43,8%). Sedangkan rata-rata

suhu kamar tidur 31,06 oC. Suhu yang memenuhi syarat kesehatan apabila nilai

suhu 20oC-30oC dan tidak memenuhi syarat apabila nilai suhu <20oC atau >30oC.

2. Analisa Bivariat

a. Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Kejadian TB Paru

Pada Tabel 4.23 menunjukan responden yang berumur ≥ 15 tahun yang

mempunyai kebiasaan merokok sebanyak 14 responden. Dimana yang memiliki

kebiasaan merokok setiap hari terdapat 8 responden (33,3%) mengalami penyakit

TB Paru dan 6 responden (25%) tidak mengalami penyakit TB Paru. Sedangkan

dari 34 responden yang tidak memiliki kebiasaan merokok setiap hari terdapat 16

responden (66,7%) yang mengalami penyakit TB Paru dan 18 responden (75%)

tidak mengalami penyakit TB Paru. Setelah dilakukan uji statistik chi square

hasil analisa menunjukan nilai p value=0,751 (p > α (0,05), sehingga dapat ditarik

kesimpulan bahwa tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian

Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Iring Mulyo pada tahun 2010.

TABEL 4.23HUBUNGAN KEBIASAAN MEROKOK DENGAN KEJADIAN TB PARU

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IRING MULYO TAHUN 2010

Page 66: BAB I-V

66

Kebiasaan

Merokok

Menderita

Tuberkulosis

Tidak Menderita

Tuberkulosis

PV

∑ % ∑ %Merokok 8 33,3 6 25

0,751Tidak Merokok 16 66,7 18 75

Jumlah 24 100 24 100

b. Hubungan Kelembaban Kamar Tidur dengan Kejadian TB Paru

Pada Tabel 4.24 menunjukan bahwa dari 29 responden yang kelembaban

kamar tidurnya (< 40 % dan > 70%) tidak memenuhi syarat terdapat 19 responden

(59,4%) yang mengalami penyakit TB Paru dan 10 responden (31,2%) tidak

mengalami penyakit TB Paru. Sedangkan dari 35 responden yang kelembaban

kamar tidurnya memenuhi syarat terdapat 13 responden (40,6%) mengalami TB

Paru dan 22 responden (68,8%) tidak mengalami penyakit TB Paru. Setelah

dilakukan uji statistik chi square hasil analisa menunjukan p value =0,045 (p < α

(0,05) sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara

kelembaban kamar tidur dengan kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja

Puskesmas Iring Mulyo pada tahun 2010. Analisa lebih lanjut diperoleh nilai

OR = 3,2 (95%Cl = 1,15< OR < 8,987), artinya orang yang tinggal dengan

kelembaban kamar tidur yang tidak memenuhi syarat mempunyai resiko 3,215

kali menderita Tuberkulosis Paru dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan

kelembaban kamar tidur memenuhi syarat.

TABEL 4.24HUBUNGAN KELEMBABAN KAMAR TIDUR

DENGAN KEJADIAN TB PARU DI WILAYAH KERJA

Page 67: BAB I-V

67

PUSKESMAS IRING MULYO TAHUN 2010

Kelembaban Kamar Tidur

Menderita Tuberkulosis

Tidak Menderita

Tuberkulosis

PV OR 95%Cl

∑ % ∑ %Tidak Memenuhi

Sayarat19 59,4 10 31,2

0,045 3,2151,15

-8,987Memenuhi syarat 13 40,6 22 68,8

Jumlah 32 100 32 100

C. Pembahasan

1. Karakteristik Responden

Populasi penelitian ini adalah penderita TB paru yang berkunjung ke

Puskesmas Iring Mulyo pada tahun 2010 dan telah diagnose oleh tenaga medis

menderita Tuberkulosis Paru. Penemuan kasus Tuberkulosis yakni pasien yang

telah didiagnosa oleh dokter menderita penyakit tuberculosis paru (tersangka TB)

dengan gejala batuk lebih dari 3 minggu atau lebih dan gejala-gejala lain yang

mendukung seperti sesak napas dan rasa nyeri di dada, nafsu makan menurun, dan

berat badan menurun. Setelah itu, diberikan rujukan ke penanggungjawab

tuberculosis di Puskesmas untuk dapat diperiksa sputum yakni Sewaktu Pagi

Sewaktu (SPS).

Apabila dalam pemeriksaan sputum ditemukan BTA positif (+) sebanyak

2-3 kali maka langsung didiagnosa sebagai penderita TB BTA positif. Namun

apabila ditemukan BTA positif (+) 1 kali, maka dirujuk ke Rumah Sakit untuk

dilakukan pemeriksaan radiologi (rontgen), apabila hasil rontgen mendukung TB

maka didiagnosa sebagai penderita TB Paru. Pemeriksaan radiologi dimaksudkan

untuk pendiagnosaan yang tepat agar mendapat terapi DOTS.

Page 68: BAB I-V

68

Penderita TB Paru pada tahun 2010 yang terdiagnosa positif dengan

pemeriksaan sputum dan atau pemeriksaan radiologis sebanyak 34 penderita dan

penderita TB Paru tersebut menjadi subjek penelitian kelompok kasus. Namun

dalam pelaksaan penelitian dua orang kasus dianggap droup out dikarenakan

meninggal dunia pada bulan Mei dan lainnya telah berpindah tempat ke luar

propinsi Lampung sehingga tidak dapat dilakukan wawancara. Sehingga jumlah

kelompok kasus sebanyak 32 penderita.

Sedangkan kelompok kontrol (bukan penderita TB paru dan tidak pernah

terdiagnosa menderita TB paru) ialah tentangga penderita TB paru yang memiliki

kesamaan karakteristik umur, jenis kelamin, dan wilayah tempat tinggal sebanyak

32 orang yaitu dengan perbandingan 1:1 dengan kelompok kasus.

Kesamaan karakteristik umur antara kelompok kasus dan kelompok

kontrol menggunakan pembagian umur penduduk berdasarkan produktivitasnya

menurut W.Sleumer yakni 0-14 tahun (belum produktif), 15-19 tahun (belum

produktif penuh), 20-54 tahun (produktif penuh), 55-64 tahun (tidak produktif

penuh), dan >65 tahun inproduktif.

Pada penelitian ini proporsi jenis kelamin antara penderita TB Paru dan

bukan penderita TB Paru sama dimana yang terbanyak adalah perempuan, yaitu

sebanyak 19 orang (59,4%) sedangkan penderita TB Paru laki-laki sebanyak 13

(40,6%.). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan kejadian tuberculosis di Afrika,

dimana tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun 1996 jumlah

penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita

TB Paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada wanita. Antara

tahun 1985-1987 penderita TB paru laki-laki cenderung meningkat sebanyak

Page 69: BAB I-V

69

2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada wanita menurun 0,7%. TB Paru banyak

terjadi pada laki-laki dikarenakan laki-laki lebih banyak mempunyai kebiasaan

merokok dibanding dengan perempuan.

Selain itu sesuai data dari WHO (2006) melaporkan prevalensi

tuberculosis paru 2,3 lebih banyak pada laki-laki dibandingkan wanita terutama

pada negara yang sedang berkembang karena laki-laki dewasa sering melakukan

aktifitas sosial. Tingginya angka kejadian TB pada laki-laki diduga akibat

perbedaan pajanan dan risiko

Pada penelitian ini, umur penderita TB Paru berkisar antara 2 - 69 tahun,

dengan rerata 32,4 tahun. Sedangkan umur bukan penderita berkisar antara 2-66

tahun dengan rerata 31,87. Proporsi umur terbanyak responden adalah 20 - 54

tahun sebanyak 17 orang (53,1%). Dengan demikian berarti bahwa penderita TB

Paru di wilayah kerja Puskesmas Iring Mulyo adalah pada usia produktif penuh.

Hasil penelitian ini sejalan dengan Depkes RI;Laban (2008) bahwa sekitar 75 %

pasien TB adalah kelompok usia paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun).

Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu

kerjanya 3 sampai 4 bulan.

Proporsi umur terbanyak selanjutnya yakni pada umur 0-14 tahun (belum

produktif) sebanyak 8 penderita (12,5%). Ini berarti TB Paru juga banyak diderita

oleh anak-anak dibawah 15 tahun. Salah satu penyebab tingginya penderita TB

pada anak-anak dikarenakan sistem pertahan tubuh anak masih rendah.

Secara global di antara 100.000 penduduk ditemukan 130 penderita

penyakit TB pada usia dewasa, dan diperkirakan 5%-15% diantaranya diderita

Page 70: BAB I-V

70

oleh anak-anak. Pada tahun 1989, WHO memperkirakan setiap tahun terdapat 1,3

juta kasus TB dan 450.000 terjadi kematian pada anak usia kurang dari 15 tahun.

Penyakit Tuberkulosis pada anak – anak ditularkan dari orang dewasa

yang menderita tuberculosis. Kuman TB menular melalui droplet nuclei yang

dibatukkan atau dibersihkan oleh seorang penderita kepada orang lain, dan dapat

menularkan pada 10-15 orang disekitarnya, terutama anak-anak (Depkes RI,

2002).

Pada penelitian ini proporsi tingkat pendidikan penderita TB Paru yang

paling banyak adalah SMP, yaitu sebanyak 8 jiwa (25%). Sedangkan proporsi

tingkat pendidikan bukan penderita sebanyak 11 jiwa (34,4%). Tingkat

pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang

diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan

penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang

akan mencoba untuk mempunyai prilaku hidup bersih dan sehat. Disamping itu

pendidikan juga akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaan seseorang.

Sedangkan proporsi pekerjaan penderita TB Paru yang paling banyak

adalah yang belum bekerja yaitu sebanyak 10 jiwa (31,3%). Sedangkan proporsi

bukan penderita terbanyak ialah ibu rumah tangga dan belum bekerja. Pekerjaan

seseorang akan mempengaruhi kesehatan tubuhnya, apabila seseorang bekerja di

lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di daerah terpapar akan

mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernapasan. Paparan kronis

udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas terutama terjadinya gejala

penyakit saluran pernapasan dan umumnya TB Paru.

2. Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Kejadian TB Paru

Page 71: BAB I-V

71

Berdasarkan uji bivariat didapatkan bahwa variable kebiasaan merokok

tidak memiliki hubungan dengan kejadian Tuberkulosis Paru. Hasil penelitian ini

sejalan dengan penelitian Tandyono (2008) bahwa tidak terdapat hubungan antara

kejadian TB Paru dengan kebiasaan merokok pada laki-laki usia produktif.

Tidak terdapat hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian TB

Paru disebabkan kebiasaan merokok hanya menurunkan tingkat kesehatan

seseorang. Hal ini disebabkan seseorang yang memiliki kebiasaan merokok

mekanisme pertahanan paru-paru yang disebut muccociliary clearance akan

rusak. Dimana bulu-bulu getar dan bahan lain di paru tidak mudah membuang

infeksi yang sudah masuk karena bulu getar dan alat lain di paru rusak akibat asap

rokok. Seseorang yang daya tahan tubuhnya menurun namun tidak ada penderita

TB Paru disekitarnya maka dimungkinkan tidak akan terinfeksi penyakit TB Paru.

Sedangkan apabila seseorang yang daya tahan tubuhnya menurun dan terdapat

penderita TB Paru disekitarnya dimungkinkan akan terinfeksi TB Paru. Namun

kemungkinan untuk menderita TB Paru sangat kecil, yakni menurut Depkes RI

(2008) seseorang yang terinfeksi bakteri tuberculosis hanya 10 % yang akan

menderita TB paru.

Seseorang yang baru terinfeksi bakteri tuberculosis, bakteri akan pindah

dari luka di paru-paru ke dalam kelenjar getah bening yang berasal dari paru-paru.

Apabila sistem pertahanan tubuh alami bisa mengendalikan infeksi, maka infeksi

tidak akan berlanjut dan bakteri akan menjadi dorman. Namun apabila system

pertahanan tubuh alami tidak dapat mengendalikan infeksi akibat asap rokok yang

telah menurunkan respon terhadap antigen. Dengan demikian jika ada benda asing

masuk ke paru tidak lekas dikenali dan di lawan.

Page 72: BAB I-V

72

Hasil penelitian menunjukan mayoritas responden yang menghisap rokok

non filter (kretek), ini berarti asap rokok yang dihisap tidak melalui menyaringan

(filter) layaknya rokok filter. Menurut Elisabeth (2010), rokok yang dibakar akan

mengeluarkan empat ribu bahan kimia, dan 400 dari bahan-bahan tersebut dapat

meracuni tubuh, sedangkan 40 dari bahan tersebut

Disisi lain, tidak terdapat hubungan ini dimungkinkan karena sampel

dalam penelitian kurang spesifik yang dikarenakan penderita dalam jumlah

sedikit. Pengklasifikasian misalnya hanya mengambil responden yang berumur ≥

15 tahun dan bejenis kelamin laki-laki. Pengambilan jenis kelamin ini

dimaksudkan karena laki-laki lebih lebih banyak melakukan kegiatan merokok

dibandingkan dengan perempuan. Namun hal ini tidak dapat dilakukan karena

mayoritas perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki, sehingga akan

didapatkan sampel dalam jumlah sedikit.

Sedikitnya jumlah sampel ini dikarenakan wilayah penelitian yang tidak

luas. Sehingga dalam penelitian selanjutnya wilayah penelitian dapat diperluas

yang harapannya akan didapatkan sampel yang lebih banyak sehingga akan

memberikan hasil yang baik dan akurat.

Disamping itu rata-rata jumlah batang yang dihisap perhari kelompok

kasus ialah 13,38 batang/hari dan kelompok kontrol 10,67 batang/hari. Menurut

Mu’tadin dalam Elisabeth (2010) perokok yang menghabiskan sekitar 10 batang

rokok setiap hari termaksud perokok sedang. Kemudian rata-rata lama merokok

kelompok kasus ialah 28,25 tahun dan kelompok kontrol ialah 21,67 tahun.

Penderita TB Paru memilki kebiasaan merokok sebelum mereka menderita

TB Paru. Kemudian mereka berhenti merokok setelah didiagnosa menderita TB

Page 73: BAB I-V

73

Paru. Hal ini dikarenakan penanggungjawab TB Paru meminta mereka untuk

dapat berhenti merokok. Rokok dapat menurunkan daya tahan tubuh dimana akan

mempersulit penyembuhan penyakit. Dalam hal ini, yang perlu dikhawatirkan

ialah setelah mereka dinyatakan tidak menderita TB Paru lagi mereka melakukan

kegiatan merokok kembali. Sebaiknya petugas kesehatan tetap melakukan

pengawasan dan penyuluhan kembali meskipun mereka tidak menderita TB Paru

lagi.

Di sisi lain, petugas kesehatan juga perlu meningkatkan frekuensi

penyuluhan tentang bahaya rokok terhadap kesehatan dan TB Paru. Selama ini

yang dilakukan ialah dilakukan peyuluhan serta kunjungan rumah penderita

dengan target satu bulan dapat mengunjungi 10 rumah penderita. Peningkatan

penyuluhan yaitu dengan meningkatkan jumlah rumah yang dikunjungi dalam sau

bulan, misalnya menjadi 15 rumah penderita. Sehingga dalam satu tahun dapat

dilakukan pengawasan lebih rutin.

Disamping itu diperlukan kerjasama antar progam yang ada, misalnya

dengan progam promosi kesehatan yang ada sehingga akan didapatkan hasil yang

lebih maksimal dalam menginformasikan kepada masyarakat. Kegiatan

penyuluhan ini bisa dilakukan melalui posyandu, PKK, dan masih banyak lagi

lembaga-lembaga kesehatan di masyarakat. Penyuluhan ini, juga dapat dilakukan

dengan memberikan leaflet dan pamphlet kepada masyarakat yang berkunjung ke

Instalasi Kesehatan khususnya Puskesmas.

3. Hubungan Kelembaban Kamar Tidur dengan Kejadian TB Paru

Berdasarkan uji bivariat didapatkan bahwa variable kelembaban kamar

tidur memiliki hubungan dengan kejadian Tuberkulosis Paru. Selain itu

Page 74: BAB I-V

74

berdasarkan odds ratio, seseorang yang kelembaban kamar tidurnya tidak

memenuhi syarat kesehatan memiliki risiko 3,125 kali untuk terjadinya

Tuberkulosis di wilayah kerja Puskesmas Iring Mulyo. Hal tersebut dapat

dipahami karena kelembaban kamar tidur yang tidak memenuhi syarat kesehatan

akan menjadi media baik bagi pertumbuhan berbagai mikroorganisme seperti

bakteri, sporoket, rickettsia, virus, dan mikroorganisme yang dapat masuk ke

dalam tubuh manusia melalui udara dan dapat menyebabkan terjadinya infeksi

pernapasan pada penghuninya.

Kuman Tuberculosis dapat hidup baik pada lingkungan yang

kelembabannya meningkat (Notoatmodjo, 2007). Selain itu karena air membentuk

lebih dari 80% volume sel bakteri dan merupakan hal yang esensial untuk

pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri, maka kuman TB dapat bertahan

hidup pada tempat sejuk, lembab, dan gelap tanpa sinar matahari sampai bertahun-

tahun lamanya.

Hasil pengukuran menunjukan dari 64 responden terdapat 29 responden

tinggal di tempat tidur yang tidak memenuhi syarat kesehatan, dan 35 responden

tinggal di kamar tidur yang memenuhi syarat kesehatan. Kamar tidur dengan

kelembaban yang tidak memenuhi syarat kesehatan disebabkan oleh kurangnya

cahaya matahari yang masuk ke dalam kamar tidur karena jendela rumah tidak

dibuka setiap hari. Untuk itu sebaiknya jendela rumah dibuka setiap hari untuk

mengurangi kelembaban di dalam ruangan. Untuk memperoleh cahaya matahari

yang cukup pada pagi dan siang hari, diperlukan luas ventilasi dan jendela yang

memenuhi syarat kesehatan. Hasil penelitian menunjukan dari 64 responden

Page 75: BAB I-V

75

ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan sebanyak 4 jiwa dan 60 jiwa

ventilasinya tidak memenuhi syarat kesehatan.

Apabila tidak tersedianya ventilasi yang baik dapat mempengaruhi

kesehatan jika di dalam ruangan tersebut terdapat pencemaran bakteri tuberculosis

(Soemirat, 1994). Luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan

mengakibatkan terhalangnya proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari

yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman tuberkulosis yang ada di dalam

rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernapasan. Dimana

fungsi ventilasi adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam kamar tidur

tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh

penghuni kamar tersebut tetap terjaga. Apabila terdapat kekurangan ventilasi

maka akan menyebabkan kekurangan oksigen di dalam kamar tidur. Dengan

keadaan tersebut maka akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan

naik karena terjadi proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Menurut

Lubis (1985) kelembaban disebabkan dua faktor yakni kelembaban yang naik dari

tanah dan merembes m elalui dinding. Sehingga sebaiknya lantai dan dinding

diplester agar kedap air. Hasil observasi menunjukan mayoritas responden telah

memplester lantai dan dinding rumah Kelembaban ini merupakan media yang

baik untuk pertumbuhan bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman TB

(Notoadmodjo, 2007).

Berdasarkan hasil observasi dalam penelitian ini, didapatkan rata-rata suhu

kamar tidur 31,19oC. Pada kisaran ini bakteri dapat tumbuh secara optimum.

Menurut Gould dan Brooker (2003) dalam Nurhidayah (2007), bakteri

Mycrobacterium memiliki rentang suhu yang disukai, tetapi pada rentang suhu ini

Page 76: BAB I-V

76

terdapat suatu suhu optimum yang memungkinkan mereka tumbuh pesat.

Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur

dalam rentang 25 – 40 oC, tetapi akan tumbuh optimum pada suhu 31 – 37oC

(Lubis,1989).

Hasil penelitian menunjukan masih banyak rumah responden yang tidak

memiliki ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan. Ventilasi yang ada rata-rata

ditutupi dengan menggunakan kertas yang akan menyebabkan pertukaran udara

dalam ruangan tersebut terganggu. Dalam hal ini, petugas kesehatan untuk dapat

menginformasikan dan menghimbau untuk dapat mengganti kertas-kertas penutup

ventilasi dengan menggunakan kawat kasa. Sehingga siklus udara dalam kamar

tidur tetap lancar. Disamping itu, diperlukan juga penambahan ventilasi mekanis

misalnya seperti kipas angin. Selain penambahan kipas angina mekanis, juga

harus dilakukan renovasi rumah. Dimana renovasi rumah ini dapat dilakukan

secara bergotong-royong. Misalnya saja dengan system arisan rumah, diamana

petugas kesehatan yang mengkoordinir kegiatan tersebut sehingga masyarakat

tidak merasa keberatan dalam memperbaiki rumahnya.

Pengawasan penderita TB Paru juga dilakukan dengan melakukan

kunjungan rumah, dimana dalalam satu bulan dilakukan kunjungan 10 penderita.

Maka perlu ditingkatkan jumlah rumah yang dikunjungi, misalya menjadi 15

rumah penderita selama satu bulan. Pengawasan perumahan ini juga biasanya

dilakukan oleh progam Kesehatan Lingkungan, dimana progam ini dilakukan oleh

kader-kader yang terlatih sehingga perlu kerja sama antar progam yang ada.

Page 77: BAB I-V

77

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Hasil penelitian tentang hubungan kebiasaan merokok dan kelembaban

kamar tidur di wilayah kerja puskesmas Iring Mulyo dapat diambil kesimpulan

sebagai berikut:

1. Penderita TB Paru dan bukan penderita TB Paru masing-masing 32 jiwa.

Jumlah laki-laki masing-masing 13 jiwa (40,6%) dan perempuan 19 jiwa

(59,4%). Rerata umur penderita 32,40 dan bukan penderita TB Paru 31,87

tahun dengan umur proporsi terbanyak 20-54 tahun.

2. Kebiasaan merokok penderita TB Paru sebanyak 8 jiwa (33,3%), tidak

merokok 16 jiwa (66,7%) dan bukan penderita TB Paru yang merokok 6 jiwa

(25%) dan tidak merokok 18 (75%).

3. Kelembaban kamar tidur memenuhi syarat kesehatan penderita TB Paru

sebanyak 13 jiwa (40,6%) dan bukan penderita sebanyak 22 jiwa (68,8%).

Kelembaban kamar tidur yang tidak memenuhi syarat kesehatan penderita TB

Paru sebanyak 19 (59,4%) dan bukan penderita TB Paru sebanyak 10 jiwa

(31,2%).

4. Tidak terdapat hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian TB Paru

di wilayah kerja Puskesmas Iring Mulyo tahun 2010 dengan p= 0,751

(p>α(0,05).

77

Page 78: BAB I-V

78

5. Terdapat hubungan antara kelembaban kamar tidur dengan kejadian TB Paru

di wilayah kerja Puskesmas Iring Mulyo tahun 2010 dengan p= 0,045

(p<α(0,05) dan OR=3,215).

B. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan ialah sebagai berikut:

1. Untuk Instasi Kesehatan untuk dapat menginformasikan tentang bahaya

penyakit TB Paru dan factor resikonya kepada pasien yang berkunjung ke

Puskesmas dengan menggunakan pamflet, leaflet, banner dan lain-lain.

2. Untuk Instasi Kesehatan agar dapat meningkatkan penyuluhan dan

kunjungan rumah pasien dengan jumlah kunjungan 15 rumah selama satu

bulan.

3. Untuk Instansi Kesehatan agar dapat mengkoordinir masyarakat untuk

dapat melakukan perbaikan rumah secara bergotong-royong dengan sistem

arisan.

4. Sedangkan peneliti lanjut untuk dapat meneliti kembali tentang hubungan

kebiasaan merokok dan kelembaban kamar tidur dengan kejadian TB Paru

dengan jumlah sampel yang lebih besar dengan cara memperluas wilayah

penelitian sehingga akan memberi hasil yang lebih baik dan akurat.