artian bab i-v

26
BAB I: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang The System of Rice Intensification (SRI) adalah salah satu inovasi pertanian yang paling menjanjikan yang diklaim lebih produktif dan berkelanjutan daripada metode konvensional. Banyak agronomi telah memverifikasi bahwa SRI dapat meningkatkan produksi padi (Kabir & Uphoff, 2007; Lin & Zhu, 2011; Mao, Tongdeelrt, & Chumaj, 2008; Thomas & Ramzi, 2011). Lain menemukan bahwa peningkatan output dapat dicapai sekaligus mengurangi input seperti benih (Kediyal & Dimri, 2009), herbisida (Namara, Bossio, Weligamage, & Herawati, 2008), dan air (Krupnik, Shenan, & Rodenburg, 2012) . Dalam hal isu-isu keberlanjutan dan lingkungan, SRI dapat mengurangi air limpasan (Choi, Taman, & Lim, 2012; Kahlon & Lal, 2011), tarif yang lebih rendah emisi CO2 karena efek pemupukan (. Geethalakshmi et al, 2011), dan mengurangi potensi dampak pemanasan global (Suryavanshi et al., 2012). Karena kinerja yang menjanjikan, SRI sekarang sedang diadopsi tidak hanya di Madagaskar, dimana sistem diciptakan, tetapi juga di lebih dari 40 negara di seluruh dunia (Uphoff, 2008). Namun, perubahan mendasar dalam pertanian teknis menyerukan SRI dapat menjadi hambatan potensial untuk diadopsi. Uphoff (2008) telah menjelaskan bahwa tidak seperti sistem konvensional, SRI mempromosikan penanaman bibit tunggal bukan beberapa bibit dalam suatu rumpun. Menggunakan bibit sangat muda (paling lama 15 hari tua) pada jarak lebar (40 cm x 40 cm), sawah tidak banjir selama tahap pertumbuhan vegetatif. Penerapan kompos, pengendalian gulma mekanik, dan irigasi berselang metode teknis lainnya membedakan kontras dengan pertanian padi konvensional. Perubahan tersebut dalam praktek manajemen membuat SRI sistem yang pengetahuan dan padat karya. Karena karakteristik ini, SRI

Upload: tong-hese-ochiwe

Post on 01-Dec-2015

16 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: artian BAB I-V

BAB I: PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

The System of Rice Intensification (SRI) adalah salah satu inovasi pertanian yang paling

menjanjikan yang diklaim lebih produktif dan berkelanjutan daripada metode konvensional.

Banyak agronomi telah memverifikasi bahwa SRI dapat meningkatkan produksi padi (Kabir &

Uphoff, 2007; Lin & Zhu, 2011; Mao, Tongdeelrt, & Chumaj, 2008; Thomas & Ramzi, 2011).

Lain menemukan bahwa peningkatan output dapat dicapai sekaligus mengurangi input seperti

benih (Kediyal & Dimri, 2009), herbisida (Namara, Bossio, Weligamage, & Herawati, 2008),

dan air (Krupnik, Shenan, & Rodenburg, 2012) . Dalam hal isu-isu keberlanjutan dan

lingkungan, SRI dapat mengurangi air limpasan (Choi, Taman, & Lim, 2012; Kahlon & Lal,

2011), tarif yang lebih rendah emisi CO2 karena efek pemupukan (. Geethalakshmi et al, 2011),

dan mengurangi potensi dampak pemanasan global (Suryavanshi et al., 2012). Karena kinerja

yang menjanjikan, SRI sekarang sedang diadopsi tidak hanya di Madagaskar, dimana sistem

diciptakan, tetapi juga di lebih dari 40 negara di seluruh dunia (Uphoff, 2008).

Namun, perubahan mendasar dalam pertanian teknis menyerukan SRI dapat menjadi hambatan

potensial untuk diadopsi. Uphoff (2008) telah menjelaskan bahwa tidak seperti sistem

konvensional, SRI mempromosikan penanaman bibit tunggal bukan beberapa bibit dalam suatu

rumpun. Menggunakan bibit sangat muda (paling lama 15 hari tua) pada jarak lebar (40 cm x 40

cm), sawah tidak banjir selama tahap pertumbuhan vegetatif. Penerapan kompos, pengendalian

gulma mekanik, dan irigasi berselang metode teknis lainnya membedakan kontras dengan

pertanian padi konvensional. Perubahan tersebut dalam praktek manajemen membuat SRI sistem

yang pengetahuan dan padat karya. Karena karakteristik ini, SRI relatif sulit untuk diadopsi oleh

petani konservatif (Sharif, 2011).

1.2 Penelitian Masalah

SRI tingkat adopsi masih merupakan masalah utama di beberapa negara seperti Kenya (Mati,

Wanjogu, Odongo, & Home, 2011), Pakistan (Sharif, 2011), Timor Leste (Noltze, Schwarzw, &

Qaim, 2012), dan juga Indonesia (Sato, Yamaji, & Kuroda, 2011). Sato et al. (2011) menemukan

bahwa di delapan provinsi wilayah timur Indonesia, sulit bagi petani untuk mengadopsi SRI

karena kendala infrastruktur irigasi. SRI diperlukan suatu sistem irigasi berselang periode

pertumbuhan vegetatif.

Di daerah lain di Indonesia, kondisi yang relatif sama. Misalnya di Kabupaten Tasikmalaya,

tingkat adopsi SRI telah rendah (Natawidjaya et al., 2008). Meskipun Tasikmalaya merupakan

salah satu yang pertama SRI pengadopsi di Jawa Barat, itu dihitung bahwa pada tahun 2008

hanya sekitar 10% dari lahan sawah telah ditanami oleh sistem. Ini menyiratkan bahwa studi

yang menyelidiki perilaku petani terhadap inovasi diperlukan untuk memberikan rekomendasi

kebijakan untuk mengatasi masalah ini.

Makalah ini berusaha untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi SRI di

Tasikmalaya. Menggunakan data survei tingkat petani dikumpulkan pada tahun 2008 oleh Pusat

Page 2: artian BAB I-V

Agrifood Kebijakan dan Studi Agribisnis (CAPAS), Universitas Padjadjaran, makalah ini

menganalisis karakteristik 60 sampel untuk mengatasi masalah ini.

1.3 Tujuan

Tujuannya adalah untuk (a) memperkirakan efisiensi teknis (TE) dan fungsi produksi dari kedua

SRI dan sistem konvensional, (b) menentukan faktor-faktor penentu petani dalam mengadopsi

SRI, dan (c) membandingkan struktur biaya dari kedua sistem.

1.4 Relevansi

1. Untuk penulis dapat memberikan pemahaman tertentu dalam ekonomi mikro, ekonomi intra-

rumah tangga dan perilaku rumah tangga karena inovasi baru.

2. Bagi pemerintah, khususnya untuk Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya, hasilnya

dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam mengusulkan kebijakan yang berkaitan dengan

pembangunan pertanian.

3. Untuk akademisi, terutama untuk ekonom, penelitian ini dapat menjadi terpisah dari bukti

empiris untuk mengembangkan teori-teori baru dalam ekonomi mikro.

Page 3: artian BAB I-V

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA LOGIS DAN HIPOTESIS

2.1 Tinjauan Pustaka

Intensifikasi produksi pertanian sangat penting untuk meningkatkan produktivitas mengingat

keterbatasan sumber daya. Brookfield (2001) memberikan gambaran bahwa "intensifikasi

produksi menggambarkan penambahan input sampai dengan margin ekonomi, dan terkait secara

logis dengan konsep efisiensi melalui pertimbangan produktivitas marjinal atau rata-rata

diperoleh dengan input tambahan seperti" (hal. 31) . Salah satu contoh metode intensifikasi

produksi padi SRI.

2.1.1 Sistem Intensifikasi Padi: Sebuah Tinjauan Singkat

Styger, Aboubacrine, Attaher, dan Uphoff (2011) mendefinisikan SRI sebagai "metode

penanaman berdasarkan prinsip-prinsip penggunaan tunggal, transplantasi muda di jarak lebar,

aplikasi kompos, pengendalian gulma mekanik dan irigasi berselang" (hal. 67). SRI ditemukan

di Madagaskar oleh Henri Launlanie, seorang Pastor Perancis, pada tahun 1983 setelah ia telah

hidup dengan petani di sana selama 30 tahun. Dia bernama penemuan sebagai Ie systme de

Riziculture Intensif. Dalam bahasa Inggris itu dikenal sebagai System of Rice Intensification

(SRI) (Uphoff, 2008). Sato et al. (2011) menyimpulkan bahwa SRI bukanlah inovasi pertanian

sepele, melainkan itu adalah "sebuah sistem budidaya secara keseluruhan yang melibatkan

integrasi teknis, manajerial, sosial, psikologis, dan faktor agronomis" (hal. 87).

SRI telah dipromosikan di seluruh dunia, di luar Madagaskar, dipelopori oleh Norman Uphoff,

Direktur Cornell International Lembaga Pangan, Pertanian dan Pembangunan (CIIFAD) sejak

tahun 1987 (Kuswara, 2003). Pada tahun 1990 Asosiasi Tefy Saina (ATS), sebuah organisasi

nonpemerintah yang mempromosikan SRI di seluruh dunia, didirikan. Empat tahun kemudian,

ATS dan CIIFAD melakukan proyek percontohan di China, India, Filipina, Sri Lanka,

Bangladesh, dan Indonesia dengan hasil positif (Kuswara, 2003).

Efek menguntungkan dari SRI telah didokumentasikan di 28 negara, terutama dalam agronomi

dan ilmu tanah (Uphoff, 2008). Bukti manfaat menunjukkan bahwa SRI layak untuk

dipromosikan lebih luas di kalangan petani. Kabir dan Uphoff (2007) menunjukkan bahwa di

Myanmar SRI yield lebih tinggi (6,4 ton / ha) dari yang diperoleh oleh sistem konvensional

(hasil rata-rata 2,1 ton / ha). Di Sri Lanka, SRI petani berhasil mengurangi input yang digunakan

dalam hal irigasi 24%, 85% biji, dan herbisida 95% (Namara dkk., 2008). Di Kamboja, produksi

beras meningkat 2-2,8 ton / ha rata-rata (Mao et al., 2008). Prestasi serupa dengan berbagai

besarnya juga dicatat di India (Thakur, Rath, & Kumar, 2011), Jepang (Chapagain & Yamaji,

2010), Afghanistan (Thomas & Ramzi, 2011), Pakistan (Sharif, 2011), Panama (Turmel et al.,

2011), Gambia (Ceesay, 2011), Irak (Hameed, Mosa, & Jaber, 2011), Mali (Styger et al., 2011),

Tamil Nadu (Geethalakshmi et al., 2011), Korea (Choi et al., 2012), dan Indonesia (Sato et al.,

2011).

2.2.2 SRI di Indonesia

Page 4: artian BAB I-V

Indonesia adalah salah satu negara tujuan pertama dikunjungi oleh Norman Uphoff saat

mempromosikan SRI pada tahun 1987 (Kuswara, 2003). Menurut Kuswara, bagaimanapun,

aplikasi SRI tidak didukung oleh pemerintah sampai tahun 1999 ketika penelitian SRI pertama

diadakan oleh Pusat Penelitian Padi Indonesia di Sukamandi. Sejak tahun 2000, penerapan SRI

telah didukung secara intensif oleh beberapa organisasi internasional dan juga oleh beberapa

Official Development Assistance (ODA) dari negara maju.

Misalnya, ODA Jepang dibiayai Sistem Irigasi Proyek Perbaikan Manajemen Desentralisasi

(DISIMP) di kawasan timur Indonesia. Sebuah studi yang dilakukan oleh Sato et al. (2011)

melaporkan pengalaman dengan penyebaran SRI praktek di delapan provinsi lebih dari sembilan

musim 2002-2006 di bawah proyek irigasi. Mereka menemukan bahwa sulit bagi petani tanpa

infrastruktur irigasi untuk mengurangi aplikasi air direkomendasikan untuk SRI. Ini menyiratkan

bahwa di wilayah timur infrastruktur pertanian Indonesia merupakan faktor penting dalam

adopsi SRI. Di wilayah barat Indonesia, misalnya, di Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa

Barat, fenomena khas seperti terjadi yang dapat berkontribusi pada tingkat adopsi SRI.

2.2.3 SRI di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat

Di wilayah barat Indonesia, Tasikmalaya merupakan salah satu yang pertama SRI adopter (Rika,

komunikasi pribadi, 21 Februari 2012). Menurut dia, beberapa petani Tasikmalaya telah

berusaha untuk menerapkan SRI sejak tahun 1990. Mulai tahun 2002, SRI telah dipromosikan

secara besar-besaran oleh pemerintah setempat. Selanjutnya pada tahun 2007, Tasikmalaya

ditunjuk oleh pemerintah pusat sebagai salah satu proyek percontohan untuk pengembangan SRI

di Indonesia.

Namun, berdasarkan Laporan Pemerintah Daerah (Natawidjaya et al., 2008) tingkat adopsi SRI

di Tasikmalaya tetap rendah. Pada tahun 2008 hanya ada sekitar 10% dari lahan sawah di daerah

yang dikelola oleh sistem. Kendala teknis dan skeptisisme petani adalah hambatan utama disorot

oleh laporan (20% dan 70%, masing-masing). Diperkirakan bahwa perubahan mendasar dalam

metode pertanian teknis dapat membuat SRI melelahkan dan sulit untuk diadopsi.

Paradigma baru SRI menyiratkan bahwa padi (Oryza sativa L.) bukan merupakan tanaman air,

tetapi tanaman yang membutuhkan sejumlah air relatif sulit untuk diinternalisasikan ke dalam

pikiran petani konservatif '. Pendidikan dan pelatihan bagi petani sangat dibutuhkan untuk

meredakan paradigma baru. Sebuah studi di Timor Leste oleh Noltze et al., (2012)

menyimpulkan bahwa partisipasi dalam program pelatihan meningkatkan kemungkinan adopsi

SRI oleh petani pertanian skala kecil di Timor Leste.

Selain masalah paradigma teknis, skeptisisme petani ke sistem kendala lain dalam adopsi SRI di

Tasikmalaya. Skeptisisme petani untuk mengadopsi SRI menimbulkan pertanyaan tertentu

apakah praktek SRI di Tasikmalaya secara teknis efisien. Untuk menjawab pertanyaan ini, alih-

alih menggunakan pendekatan agronomi, teori ekonomi bisa mengatasi masalah ini dengan

mempertimbangkan perspektif sosiodemografi.

2.2 Kerangka Kerja Logis

Page 5: artian BAB I-V

Keputusan untuk mengadopsi teknologi baru dalam kegiatan pertanian adalah proses yang

panjang. Aker et al. (2005) dijelaskan bahwa petani pertama belajar tentang teknologi dan

kemudian mengevaluasi alternatif yang tersedia sebelum melakukan optimal dan pilihan yang

paling menguntungkan. Demikian pula, langkah pertama untuk memahami mengapa tingkat

adopsi SRI di Tasikmalaya tetap rendah adalah untuk mengevaluasi apakah aplikasi SRI di

Tasikmalaya adalah layak secara ekonomis.

Untuk mengatasi masalah tersebut penelitian ini melakukan tiga jenis penilaian secara berurutan.

Pertama, memperkirakan TE sistem yang diadopsi oleh petani untuk membedakan SRI dari

sistem konvensional. Dengan menggunakan Stochastic Frontier Fungsi Produksi (SFPF),

penelitian ini memperkirakan potensi produktivitas yang dapat diperoleh oleh SRI dibandingkan

dengan sistem konvensional. Inheren itu membuat model fungsi produksi Cobb-Douglas

Tasikmalaya beras petani untuk memperkirakan tingkat return to scale kegiatan pertanian.

Kedua, penelitian ini memperkirakan probabilitas petani dalam mengadopsi SRI. Dengan

menggunakan model Probit penelitian ini memprediksi faktor penentu petani dalam mengadopsi

SRI. Model ini memperhitungkan faktor-faktor lain selain variabel ekonomi seperti karakteristik

sosio-demografi petani. Umur dan tingkat pendidikan petani, keterlibatan program pelatihan

pertanian, dan adanya sistem irigasi merupakan faktor penting dalam mengadopsi SRI,

sebagaimana diuraikan dalam tinjauan literatur.

Akhirnya, studi ini membandingkan struktur biaya SRI ke sistem konvensional dalam tabulasi

statistik deskriptif. Perbandingan biaya yang dibutuhkan untuk memahami analisis karena biaya

yang belum dimasukkan dalam dua model estimasi. Meskipun studi ini tidak menyediakan

fungsi biaya Tasikmalaya usahatani padi, tabulasi silang mungkin jauh cukup untuk

membandingkan dua sistem dalam hal biaya dan, selanjutnya, untuk memahami isu-isu adopsi

SRI.

2.3 Hipotesis

 Pertanyaan penelitian pertama dalam penelitian ini adalah apakah TE SRI lebih tinggi dari TE

non SRI. Matematis nul dan hipotesis alternatif ditulis sebagai berikut:

Page 6: artian BAB I-V

BAB III: METODOLOGI

3.1 Model ekonometrik

Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah SFPF dan Model Probit. Yang pertama

digunakan untuk model fungsi produksi usahatani padi di Tasikmalaya untuk membedakan TE

SRI dari sistem konvensional. Ini menghitung potensi hasil produksi oleh dua sistem dan, secara

bersamaan, memperkirakan tingkat return to scale pertanian padi di Tasikmalaya. Hasil

perhitungan model pertama kemudian digunakan dalam model kedua sebagai variabel kontrol

dalam menghitung faktor penentu petani dalam mengadopsi SRI.

3.1.1 Fungsi Produksi Stochastic Frontier

Stochastic Frontier Fungsi Produksi (SFPF) yang digunakan dalam makalah ini diusulkan oleh

Agner, kekasih, dan Schmidt (1977). Model ini telah diperpanjang oleh Schmidt (1979)

mempertimbangkan dualitas antara fungsi produksi dan fungsi biaya. Dia berasal model di

bawah asumsi minimisasi biaya yang tepat (inefisiensi teknis saja) dan minimisasi biaya eksak

(inefisiensi teknis dan alokatif). Dalam bidang pertanian model ini selanjutnya akan diperbarui

oleh Battese (1991) menggunakan survei empiris.

Gagasan utama perbatasan produksi adalah kebalikan dari teori ekonomi mikro klasik. Ini

mengasumsikan bahwa: tidak semua produsen secara teknis efisien. Sementara konvensional

percaya bahwa perilaku produsen optimum sehingga mereka dapat menghasilkan jumlah

maksimum output dengan memanfaatkan jumlah minimum masukan yang diberikan teknologi

yang tersedia.

Secara teoritis, Model stochastic frontier menunjukkan produsen yang beroperasi di atas batas

produksi yang efisien. Jika mereka yang beroperasi di bawah perbatasan produksi

dipertimbangkan secara teknis tidak efisien (Battese, 1991). Figure.1 menggambarkan kegiatan

produsen diwakili oleh i dan j.

Produser i menggunakan input dengan nilai yang diberikan oleh vektor xi dan menghasilkan

output Yi. Sementara y produser menggunakan input dengan vektor xj dan memperoleh keluaran

Yj. Secara matematis fungsi produksi stokastik didefinisikan oleh Aigner, Lovell, dan Schmidt

(1977) sebagai

 

Page 7: artian BAB I-V

di mana adalah fungsi produksi yang cocok (seperti Cobb-Douglas atau Translog). merupakan

gangguan simetris memiliki mean nol yang diasumsikan distribusi normal secara independen

identik. Hal ini terkait dengan kekuatan faktor majeur yang tidak di bawah kendali produser,

seperti bencana alam, perang, kebijakan politik, dan sejenisnya.

  merupakan gangguan sepihak yang dianggap independen, itu adalah pemotongan non-negatif

dari distribusi normal dalam bentuk distribusi eksponensial atau setengah. Hal ini terkait dengan

semua kesalahan yang dapat dikelola dan diminimalkan oleh produsen seperti kesalahan

manusia dan manajemen. Fungsi Cobb-Douglas digunakan dalam penelitian ini dilambangkan

sebagai

 

di mana Y adalah output total (kg), C, konstan, L, tenaga kerja (man-hari), K, modal (Indonesian

Rupiah / IDR), A, luas lahan (ha); S, benih (kg); F, pupuk (kg), P, pelindung: pestisida + +

herbisida fungisida (L), dan Vi dan Ui, adalah istilah kesalahan.

dan

 

Battese (1992) kemudian didefinisikan TE dari produser sebagai "rasio output diamati dengan

output perbatasan sesuai mengingat tingkat input yang digunakan oleh produser itu" (hal. 192)

atau secara matematis dapat dicatat sebagai

 

 

 

Hasil estimasi ini kemudian digunakan dalam model berikutnya sebagai variabel kontrol. Model

berikutnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah Model Probit yang memperkirakan

probabilitas petani dalam mengadopsi SRI.

3.1.2 Probit Model

Dalam model Probit, keputusan untuk mengadopsi SRI diperlakukan sebagai pilihan dikotomis

(diskrit). Makalah kebijakan akan mengembangkan model maksimisasi utilitas asumsi bahwa

petani memilih satu set praktek pertanian berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki, sumber

daya yang tersedia untuk mereka, dan kendala-kendala yang membatasi kegiatan tersebut.

Namun dalam kenyataannya, pilihan untuk mengadopsi SRI tidak eksklusif karena sebagian

tanah mereka juga dapat dibudidayakan oleh sistem konvensional. Hunian lahan petani di

Tasikmalaya biasanya tersebar di berbagai tempat di sekitar desa. Hal ini memungkinkan petani

untuk mengolah sawah nya dengan metode yang berbeda. Keputusan untuk memilih metode

tertentu dalam sebuah tempat juga ditentukan oleh keputusan petani lain di wilayah yang sama

karena sistem irigasi atau masalah pengendalian hama. Adalah wajar bagi petani untuk

mengadopsi kedua metode SRI dan non-SRI pada saat yang sama karena alasan-alasan teknis.

Page 8: artian BAB I-V

Definisi SRI adopter dalam makalah ini adalah petani yang mengadopsi SRI di lebih dari

setengah dari tanah.

Model probit diperoleh dengan asumsi perilaku utilitas memaksimalkan petani dalam

mengadopsi metode tertentu pertanian. Fungsi utilitas diwakili oleh mana merupakan pilihan

teknologi (t sama dengan 1 jika SRI diadopsi dan t sama dengan 2 jika pertanian konvensional

digunakan). M terdiri dari karakteristik sosio-demografis termasuk usia, pendidikan formal, dan

pendidikan informal (pelatihan pertanian), sedangkan T terdiri dari teknologi yang digunakan

oleh petani seperti mesin, kotoran ternak untuk menghasilkan kompos, teknik irigasi, dan

sejenisnya. Petani memilih antara dan, tergantung pada teknologi yang menghasilkan utilitas

terbesar. Rumusnya adalah sebagai berikut:

 

di mana istilah gangguan memiliki 0 berarti, dan Ui dianggap normal. Petani akan memilih

pertanian konvensional jika atau jika variabel laten dan petani akan memilih SRI kapan atau

apakah variabel laten. Probabilitas bahwa petani mengadopsi SRI atau sama dengan 1 adalah

fungsi dari variabel independen:

 

 

 

 

 

 

3.2 Data dan Variabel

Makalah ini memanfaatkan petani tingkat rumah tangga data disurvei oleh Pusat Agrifood

Kebijakan dan Agribisnis Studi (CAPAS) Universitas Padjadjaran pada tahun 2008. Survei

adalah program bersama antara Pemerintah Daerah Tasikmalaya dan Universitas Padjadjaran

untuk mengevaluasi program diseminasi SRI di Tasikmalaya. Ini mengumpulkan data lengkap

tentang karakteristik petani di Tasikmalaya termasuk kegiatan pertanian mereka dengan

mengambil 60 sampel secara acak dari lima kecamatan.

Meskipun jumlah pengamatan relatif tidak besar, metode sampling yang baik dan memadai alat

survey mungkin mengumpulkan informasi tentang berbuah petani perwakilan di Kabupaten

Tasikmalaya. Hampir semua data kegiatan pertanian dan karakteristik petani telah dikumpulkan

melalui survei. Laporan akhir survei menyajikan statistik deskriptif dari petani di Tasikmalaya

membandingkan SRI non-SRI petani.

Namun, isu SRI tingkat adopsi belum dijabarkan secara khusus namun dalam penelitian ini.

Memanfaatkan beberapa data yang relevan dari survei itu, makalah ini membahas masalah

dengan tiga penilaian yang dituju. Data dan variabel yang digunakan dalam makalah ini

didefinisikan pada Tabel 1.

Page 9: artian BAB I-V

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Sampel Karakteristik

Menggunakan definisi SRI adopter dalam metodologi, ada 34 SRI petani dan 26 petani

konvensional untuk dianalisis dalam makalah ini. Tabel 2 menunjukkan karakteristik

sosiodemografi dari SRI dan non-SRI petani membandingkan persentase atribut utama termasuk

usia dan pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa petani non-SRI relatif lebih tua dari SRI petani

tetapi non-SRI petani sedikit lebih tinggi di tingkat pendidikan dasar (73,53%) dibandingkan

SRI petani (69,23%).

Tabel 2. Karakteristik sosiodemografi Petani

Namun, SRI petani lebih tinggi di tingkat menengah atas atau pendidikan yang lebih tinggi

daripada yang konvensional (7,69% dan 2,94%, masing-masing). Tabel 2 juga menunjukkan

bahwa persentase yang lebih tinggi dari SRI petani mengikuti pelatihan SRI dan memiliki

infrastruktur irigasi yang lebih baik ketimbang petani konvensional.

The statistik deskriptif ditunjukkan pada Tabel 2 sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa

SRI adalah-dan pengetahuan sistem teknologi intensif di mana pelatihan dan infrastruktur irigasi

adalah beberapa prerequirements. Namun, relevansi dari karakteristik yang berbeda dengan

keputusan untuk memilih SRI atau pertanian konvensional harus dinilai dengan model statistik

yang memadai untuk menguji signifikansi.

Selanjutnya, Tabel 3 menggambarkan karakteristik pertanian termasuk lahan, input, tenaga

kerja, modal, dan output dari kedua sistem dibandingkan. Secara rata-rata, baik SRI atau petani

konvensional tumbuh beras di lahan yang tidak berbeda nyata (0,39 dan 0,29 ha). Namun

demikian, Tabel 3 menunjukkan bahwa ada tiga karakteristik aplikasi SRI di Tasikmalaya

dibandingkan dua di negara lain seperti yang dijelaskan dalam Review Sastra.

Karakteristik unik pertama adalah bahwa di Tasikmalaya beberapa masukan per hektar

digunakan oleh SRI petani lebih tinggi, meskipun luas lahan ditanami oleh mereka relatif sama.

SRI petani menggunakan pupuk, pestisida, dan herbisida per hektar lebih dari petani

konvensional lakukan.

Fakta ini bertentangan dengan literatur menyimpulkan bahwa SRI lebih efisien dalam

menggunakan input terutama herbisida (Namara dkk., 2008). Hal ini karena SRI diterapkan oleh

petani di Tasikmalaya adalah murni organik. Mereka diterapkan kompos, pestisida nabati, dan

herbisida organik menjadi sawah mereka. Karena mereka tidak menggunakan input kimia,

jumlah input yang digunakan adalah jauh lebih tinggi. Sebagai perbandingan, secara teoritis,

usahatani padi membutuhkan 200 kg urea / ha, 75 kg pupuk SP-36/ha, dan 37,5 kg KCl / ha. Ini

Page 10: artian BAB I-V

sama dengan 10 ton kompos / ha (Natawidjaya et al., 2008). Itu bisa menjadi alasan mengapa

SRI di Tasikmalaya membutuhkan masukan lebih dari sistem konvensional lakukan.

Tabel 3 Karakteristik Pertanian

Karakteristik kedua dari SRI aplikasi di Tasikmalaya adalah bahwa SRI bekerja sedikit kurang

tenaga kerja (108 man-days/season) daripada sistem konvensional lakukan (119

man-days/season), tapi itu tidak signifikan secara statistik. Hal ini juga bertentangan dengan

literatur yang mengatakan bahwa SRI biasanya padat karya (Uphoff, 2008). Ini karena, pada

tahun 2008, sebagian besar petani SRI di Tasikmalaya tidak memiliki mesin kompos, dan,

karena itu, mereka tidak bisa membuat kompos sendiri. Saat itu mereka membeli kompos dari

pengecer. Berdasarkan data yang disurvei, hanya ada tiga petani yang membuat kompos secara

manual, dibandingkan dengan yang lain mereka dipekerjakan lebih banyak tenaga kerja tapi

mereka tidak punya biaya pupuk. Menurut Rika (2012), program pemerintah untuk mendukung

pengadaan rumah kompos, industri kompos skala rumah, dimulai pada tahun 2009. Hingga

2011, menurut dia, ada lima kompos rumah yang dibangun oleh pemerintah sebagai bantuan

sosial bagi petani SRI di Tasikmalaya.

Meskipun SRI di Tasikmalaya tampaknya unconformable literatur, karakteristik ketiga dalam

Tabel 3 menunjukkan bahwa produktivitas lahan secara signifikan lebih tinggi daripada di

pertanian konvensional (5 dibandingkan dengan 3,4 ton / ha, masing-masing). Kinerja ini

dicapai dengan menggunakan bibit yang kurang (6.05 kg / ha) dibandingkan dalam sistem

konvensional (12,71 kg / ha). Efisiensi ini masih dapat ditingkatkan karena beberapa literatur

menyatakan bahwa SRI hanya membutuhkan 5 sampai 7 biji kg untuk 1 ha (Kuswara, 2003).

Namun demikian, produktivitas lahan lebih tinggi dan kuantitas rendah benih yang digunakan

mengkonfirmasi bahwa SRI lebih produktif dan efisien dalam menggunakan benih (Kediyal &

Dimri, 2009).

Page 11: artian BAB I-V

Sebagai SRI dipekerjakan lebih banyak input seperti pupuk, pestisida, dan herbisida

dibandingkan dengan sistem konvensional, maka perlu untuk menilai TE untuk memprediksi

hasil maksimum output dengan dua sistem dibandingkan. Bersamaan itu, penting untuk

memperkirakan tingkat pengembalian untuk skala dari dua sistem untuk mengetahui kinerja

pertanian padi di Tasikmaya.

4.2 Efisiensi Teknis dan Rate Return to Scale

Mengingat definisi TE oleh Battese (1992) dalam tinjauan literatur, ditafsirkan bahwa TE terjadi

ketika output yang lebih besar diperoleh dengan input yang sama, atau output yang sama

diproduksi oleh kurang input. Sebagai SRI menggunakan bibit kurang dan digunakan relatif

sama dengan jumlah tenaga kerja sebagai pertanian konvensional dihipotesiskan bahwa SRI

lebih efisien. Namun, SRI petani menggunakan pupuk dan pestisida yang lebih besar, dan karena

itu SRI tampaknya menjadi kurang efisien. Tabel 4 menunjukkan hasil regresi ordinary least

square (OLS) dan SFPF untuk model fungsi produksi dan membandingkan TE SRI dan non-

pertanian SRI.

Regresi (1) adalah OLS yang memberikan pengaruh yang signifikan tanah dan pupuk pada

tingkat 1%. Jumlah koefisien adalah 1.1 dan signifikan pada tingkat 5%. Hasilnya menunjukkan

bahwa dalam pertanian padi umum di Tasikmalaya secara teknis CSR atau peningkatan output

atau pengurangan biaya dapat diperoleh dengan menggunakan teknologi yang tersedia (dengan

mengadopsi SRI). Di beberapa negara produsen beras seperti Vietnam, CSR dapat terjadi ketika

penerapan teknologi mekanisasi atau memiliki dampak yang signifikan pada output seperti

disimpulkan dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hyun dan Mitsuyasu (2011), yang

memperkirakan TE produksi padi pada tahun 2005 - 2006. Dalam kasus Tasikmalaya, di mana

tanah dibudidayakan oleh petani relatif sempit (kurang dari 0,5 ha), modal (mesin) memiliki

sedikit dampak signifikan terhadap produksi padi, sehingga CRS diperoleh dengan mengadopsi

SRI bukannya menerapkan mesin.

Tabel 4 Hasil Regresi

Page 12: artian BAB I-V

Prediksi potensi output untuk setiap sampel yang digunakan sebagai salah satu variabel

independen untuk memperkirakan probabilitas petani dalam mengadopsi SRI. Dengan bekerja

sama dengan variabel sosio-demografis yang relevan, Model Probit memperkirakan faktor-

faktor penentu adopsi SRI di Tasikmalaya.

4.3 Faktor Penentu dalam Mengadopsi SRI

Keputusan untuk mengadopsi SRI tidak hanya ditentukan oleh TE variabel output atau potensial

yang dapat diperoleh semata-mata, tetapi juga oleh variabel pribadi dan variabel kebijakan.

Variabel pribadi terdiri dari independen yang diberikan atau karakteristik luar kendali

pemerintah, seperti usia dan pendidikan formal, sedangkan variabel kebijakan adalah variabel di

bawah kendali pembuat kebijakan, seperti irigasi, sistem infrastruktur, dan pelatihan pertanian.

Untuk memperhitungkan variabel-variabel ini, regresi probit diterapkan untuk menjelaskan

bagaimana teknis dikenal, pribadi, dan variabel kebijakan mempengaruhi probabilitas petani

untuk mengadopsi SRI. Tabel 5 menunjukkan hasil menghadirkan empat variasi regresi probit.

Dua yang pertama menunjukkan regresi dalam kolom (1) dan (2) menggunakan variabel TE

dengan setengah-distribusi error term, sedangkan yang lainnya menggunakan variabel TE

dengan distribusi eksponensial istilah kesalahan.

Secara umum Tabel 5 menunjukkan bahwa tidak seperti variabel lainnya, usia petani memiliki

koefisien negatif, yang berarti bahwa semakin tua petani, semakin sedikit kemungkinan

mengadopsi SRI. Sebagai usia terus tidak signifikan sebagai variabel kebijakan, digunakan

hanya sebagai variabel kontrol dan tidak ada masalah kebijakan yang terkait dengan implikasi

variabel ini.

Tabel 5. Faktor penentu Petani Mengadopsi SRI

Page 13: artian BAB I-V

Dengan membandingkan koefisien dapat disimpulkan bahwa ketersediaan infrastruktur irigasi

merupakan faktor yang paling penting bagi petani dalam memutuskan untuk mengadopsi SRI

atau tidak. Koefisien irigasi sekitar 0,5, menyiratkan bahwa probabilitas adopsi SRI oleh seorang

petani yang memiliki (semi) irigasi teknis adalah 50% lebih tinggi daripada mereka yang tidak,

variabel lain yang diberikan tetap konstan.

Variabel penting kedua yang ditunjukkan pada Tabel 5 adalah output potensial dari sistem yang

digunakan yang memiliki koefisien sekitar 0,4. Mirip dengan usia, namun, variabel teknis ini

bukanlah variabel kebijakan sehingga tidak ada Implikasi kebijakan mengenai variabel ini.

Variabel penting berikutnya adalah pendidikan formal dan informal. Kolom (1) dan (3)

menyiratkan bahwa pendidikan formal lebih penting ketika pendidikan informal yang diberikan

adalah pelatihan pertanian umum. Namun, kolom (2) dan (4) memperkirakan bahwa pendidikan

formal menjadi kurang penting ketika pelatihan pertanian dihadiri oleh petani khusus dalam

pelatihan SRI. Sebagai pendidikan informal adalah variabel kebijakan, penting bagi pemerintah

daerah untuk fokus pada pelatihan pertanian khusus pada SRI bukannya melaksanakan pelatihan

pertanian umum. Koefisien menyiratkan bahwa mengingat tingkat pendidikan yang sama

formal, seorang petani yang berpartisipasi dalam pelatihan SRI adalah 34% lebih mungkin untuk

mengadopsi SRI daripada yang tidak.

Selain teknis, pribadi, dan faktor kebijakan, biaya dalam mengadopsi SRI juga penting dalam

membandingkan SRI dengan metode konvensional. Sebagai dua model ekonomi tidak termasuk

biaya dari kedua sistem, biaya perbandingan singkat dapat meningkatkan pemahaman tentang

masalah adopsi SRI di Tasikmalaya.

4.4 Perbandingan Biaya SRI dan non-SRI

Dalam estimasi sebelumnya diketahui bahwa SRI digunakan masukan lebih banyak daripada

sistem konvensional lakukan sebagai petani mengadopsi murni organik SRI. Mereka

dimanfaatkan pupuk buatan sendiri, pestisida, fungisida, dan herbisida daripada input kimia

dibeli dari pasar. Karena itu, bagaimanapun, biaya di SRI jauh kurang dari itu dalam pertanian

konvensional. Untuk perbandingan singkat, harga pupuk per kilogram di Tasikmalaya pada

tahun 2008 dijelaskan pada Tabel 6.

SRI petani di Tasikmalaya digunakan hanya kompos (5,3 ton / ha) dan mikroorganisme lokal

untuk meningkatkan kesuburan tanah. Sebagai biaya kompos jauh lebih sedikit dibandingkan

dengan pupuk kimia, biaya pemupukan per ha SRI sedikit kurang dari itu dalam sistem

konvensional, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 7.

Tabel 6. Harga Pupuk di Tingkat Konsumen di Tasikmalaya (2008)

Pupuk Harga (Rp / kg)

Urea 1.300

SP 36 2.250

Page 14: artian BAB I-V

NPK 2.500

Phonska 2.250

Kompos 500

Sumber: Natawidjaya et al. (2008).

Tabel 7 memberikan perbandingan terinci dari struktur biaya di SRI dan sistem konvensional.

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun total biaya per hektar yang dibutuhkan oleh dua sistem

tidak berbeda secara signifikan, rata-rata biaya SRI secara signifikan lebih rendah dibandingkan

dalam sistem konvensional. Hal ini karena output per hektar yang dihasilkan oleh SRI secara

signifikan lebih tinggi (lihat Tabel 3). Tabel 7 juga menunjukkan bahwa biaya tetap dalam dua

sistem dibandingkan relatif sama kecuali biaya penyusutan. Sebagai biaya penyusutan

menunjukkan biaya dalam mempertahankan aset, dapat diduga bahwa SRI petani memiliki aset

lagi.

Penilaian dalam artikel ini bersaksi bahwa adopsi SRI di Tasikmalaya secara teknis efisien dan

juga dari segi biaya. Dengan kata lain, SRI dinilai sebagai lebih teknis efisien dibandingkan

dengan non-SRI. Meski begitu, tetap ada pertanyaan mengapa tingkat adopsi SRI tetap rendah.

Artikel ini mencoba untuk menjawab pertanyaan ini dengan model Probit. Namun, selain

masalah on-farm, faktor di luar faktor-faktor yang dibahas dalam artikel ini (masalah off-farm)

dapat menjadi topik penting untuk diselidiki dalam studi mendatang.

Tabel 7. Biaya Perbandingan antara SRI dan non-SRI

Menurut Leibenstein (1996) kegagalan untuk melakukan TE disebut x-inefisiensi. Ini mungkin

karena kurangnya insentif yang diberikan oleh kompetisi. Pasar beras di Indonesia sejak tahun

1983 telah menderita kekurangan intervensi pemerintah (Asche et al., 1999). Karena informasi

Page 15: artian BAB I-V

asimetris dan ketidakseimbangan dalam posisi tawar antara petani dan pembeli ritel, pasar padi

di Indonesia telah gagal.

Hal ini diduga bahwa rendahnya tingkat adopsi SRI bukan karena SRI dalam efisiensi atau

kegagalan untuk meningkatkan produktivitas, tapi tidak ada atau kurang insentif bagi petani

untuk meningkatkan produktivitas. Itu wajar bahwa petani enggan untuk belajar teknologi baru

untuk meningkatkan produktivitas jika pada saat panen harga gabah menurun sementara mereka

tidak memiliki daya tawar yang cukup.

Masalah ini penting untuk diselidiki dalam penelitian berikutnya untuk memahami secara

komprehensif rendahnya tingkat adopsi SRI atau teknologi baru lainnya dalam pertanian padi.

Page 16: artian BAB I-V

BAB V: KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

5.1 Kesimpulan dan Batasan

Artikel ini adalah berkaitan erat dengan tubuh besar literatur dalam ilmu ekonomi pertanian

yang mencoba untuk membandingkan SRI dengan sistem konvensional. Namun, SRI di

Tasikmalaya memiliki karakteristik yang berbeda dalam masalah perburuhan dan herbisida

karena alasan teknis: aplikasi SRI di Tasikmalaya adalah murni organik tetapi mayoritas petani

SRI tidak menghasilkan kompos dan masukan organik lainnya seperti herbisida organik sendiri,

melainkan mereka membeli ini dari pengecer. Oleh karena itu, dibandingkan dengan negara lain,

SRI di Tasikmalaya bukanlah padat karya atau herbisida efisien.

Kesimpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut:

(A) dihitung TE SRI dan non-SRI adalah 0,82% dan 0,64%, masing-masing. Penjumlahan

koefisien faktor produksi dalam fungsi produksi padi 1,1, sehingga dapat disimpulkan bahwa

usahatani padi di Tasikmalaya adalah CRS.

(B) Faktor penentu adopsi SRI adalah ketersediaan infrastruktur irigasi, potensi output produksi

padi, dan pelatihan SRI. Untuk meningkatkan kemungkinan adopsi SRI, pembuat kebijakan

harus berurusan dengan faktor-faktor ini.

(C) Dalam hal struktur biaya, total biaya per hektar dibutuhkan oleh SRI dan non-SRI relatif

tidak berbeda, tetapi biaya total rata-rata SRI secara signifikan lebih rendah dibandingkan dalam

sistem konvensional.

Karena data yang digunakan dikumpulkan dalam penyelesaian tunggal dalam satu tahun, tingkat

pengalihan hasil di tingkat nasional mungkin terbatas. Namun demikian, studi ini masih

memberikan wawasan tentang efisiensi Tasikmalaya petani. Selain itu, mungkin membantu

untuk memberikan rekomendasi kebijakan awal yang bertujuan untuk meningkatkan tingkat

adopsi SRI di Tasikmalaya Indonesia.

5.2 Implikasi

Disarankan bagi pemerintah untuk melanjutkan program-program dalam mensosialisasikan SRI

karena potensi output dan rendahnya tingkat adopsi. Ada tiga rekomendasi kebijakan bagi

pemerintah untuk melakukannya.

Rekomendasi kebijakan pertama adalah untuk melaksanakan program dalam membangun dan

merehabilitasi infrastruktur irigasi teknis atau semitechnical seluruh wilayah. Berdasarkan data

dari pemerintah daerah, pada tahun 2008, ada 115.123 hektar sawah, yang hanya 12,5% (14.437

ha) diairi oleh sistem irigasi teknis atau semitechnical (Tasikmalaya dalam Angka, 2008).

Rekomendasi kedua adalah mengintensifkan promosi SRI melalui pelatihan SRI tidak hanya

untuk petani atau kelompok tani, tetapi juga untuk petugas lapangan di kecamatan dan desa.

Pelatihan pelatih penting untuk menciptakan efek bola salju dalam mensosialisasikan inovasi.

Dan akhirnya, kedua rekomendasi tersebut bisa efektif untuk meningkatkan tingkat adopsi SRI

jika ada adil dan lebih seimbang daya tawar antara petani dan pembeli di pasar. Karena daya

Page 17: artian BAB I-V

tawar petani secara alami rendah pada saat panen, rekomendasi terakhir dari makalah ini adalah

bahwa pemerintah perlu melakukan intervensi ke dalam mekanisme pasar. Kebijakan ini

diperlukan untuk memberikan insentif bagi petani dalam menjaga kesediaan mereka untuk

meningkatkan produktivitas padi. Seperti jenis kebijakan masih dilaksanakan oleh negara-negara

maju seperti Amerika Serikat dan Jepang untuk melindungi pendapatan petani mereka.

Intervensi pemerintah dalam pasar beras bisa melalui on-farm atau kebijakan off-farm.

Kebijakan on-farm dapat diimplementasikan dengan merangsang petani dalam membangun

rumah produksi kompos. Pada tahun 2008 sebagian besar petani di Tasikmalaya tidak bisa

menghasilkan kompos sendiri karena hambatan infrastruktur. Dengan menerapkan kebijakan

pemerintah tersebut dapat memberikan insentif bagi petani SRI mirip dengan subsidi pupuk

kimia untuk petani konvensional. Selain itu, kebijakan luar pertanian seperti harga beras pada

saat panen menstabilkan sangat dibutuhkan untuk melindungi daya tawar petani.

Tidak adanya (atau peran yang sangat terbatas) intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar

beras merupakan faktor yang tidak teramati dalam penelitian ini, tetapi dapat menjadi alasan

yang masuk akal untuk mengapa tingkat adopsi SRI di Tasikmalaya masih rendah.