bab i tinjauan pustaka
TRANSCRIPT
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi
Steven Johnson Syndrome (SJS) merupakan reaksi alergi yang hebat terhadap obat-
obatan. SJS ini juga dapat diartikan sebagai sindrom yang mengenai kulit, mukosa di
orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat.
Kelainan yang didapat berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai dengan
purpura.1
SJS merupakan suatu penyakit yang jarang terjadi. SJS bersifat akut yang
merusak kulit dan membran mukosa.2 SJS merupakan suatu kondisi yang ditandai
dengan makula eritematosa sampai terjadinya pelepasan jaringan epidermis dan erosi
membran mukosa. Lesi pada SJS < 10% dari body surface area (BSA) dan apabila
lebih > 30% BSA disebut dengan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN).3
1.2 Etiologi
Penyebab SJS ini ada drug-induced, infeksi, maligna, dan idiopatik. Sebanyak 25-
50% kasus SJS adalah idopatik. SJS paling sering disebabkan karena adanya alergi
obat. Penggunaan obat yang menyebabkan SJS adalah antikonvulsan
(Carbamazepine), sulfa drug (Trimethoprim-Sulfamethoxazole), NSAID, dan
antigout (Allopurinol). Pada orang dewasa yang paling banyak menyebabkan
timbulnya SJS adalah Carbamazepine. Di eropa, Allopurinol merupakan penyebab
tertinggi SJS.4,5
Infeksi akibat SJS disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, dan protozoa. Infeksi
virus yang biasanya menyebabkan adalah HSV dan HIV. Infeksi bakteri dari grup A
Streptokokus Beta-Hemolitikus, mycobacterium, dan pneumonia. Infeksi dari jamur
berupa coccidioidomycosis, dermatophytosis, dan histoplasmosis. Infeksi protozoa
disebabkan oleh malaria dan trikomoniasis.4
1.3 Patofisiologi
1
Pada orang dengan SJS, terjadi kematian sel yang sudah terprogram atau yang disebut
dengan apoptosis. Apoptosis terjadi karena mekanisme pengikatan surface death
receptor seperti Tumor Necrosis Factor (TNF) dan Fas yang menyebabkan
teraktivasinya caspase system. Akibat adanya aktivasi caspase system menghasilkan
pembongkaran DNA dan kematian sel. Mekanisme SJS secara umum ada Fas-FasL
interaction dan Cytotoxic T Cells.5
Fas atau CD95 merupakan suatu reseptor yang akan menyebabkan apoptosis
apabila berikatan dengan ligannya. Reseptor ini terdapat di epidermis (keratinosit)
pada bagian permukaan. Ligan dari Fas ini berupa transmembran protein tipe II
(FasL) yang dikeluarkan oleh Sel T dan sel Natural Killer (NK) dari darah perifer.
FasL pada keadaan normal hanya terdapat di basal layer.2,5
Saat obat dimetabolisme, akan menyebabkan inisiasi respon imun dan terjadi
peningkatan pelepasan FasL. Terjadinya peningkatan FasL di extracellular, akan
menyebabkan ikatan dengan surface receptor sehingga terbentuk suatu sinyal yang
cepat untuk melakukan apoptosis. Apabila terdapat jumlah keratosit yang banyak
pada suatu lesi, akan menyebabkan kerusakan epidermis yang luas dan akan
berkembang menjadi TEN.6
Cytotoxicity terdapat 2 jalur utama, yakni granule-mediated exocytosis perforin
dan granzyme B. Cytotoxic T Cells akan memproduksi perforin dan granzyme B yang
menyebabkan terjadinya nekrosis keratinosit. Pada fase awal SJS, Cytotoxic T Cells
yang berperan adalah Cytotoxic T Lymphocytes (CTLs). CTLs berikatan dengan obat
akan menimbulkan suatu reaksi hipersensitivitas.2,6
2
Gambar 1.1 Mekanisme pengikatan Fas-FasL.
1.4 Manifestasi Klinis
Hipersensitifitas dapat menimbulkan kerusakan pada kulit. Kerusakan tersebut seperti
kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, stress hormonal diikuti
peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuria, kegagalan
termoregulasi, kegagalan fungsi imun dan infeksi. Akibat gangguan tersebut akan
menimbulkan lesi di kulit berupa eritema pada epidermis, vesikel, atau bula dan erosi
secara simetris pada hampir seluruh tubuh. Terdapat gejala prodromal pada SJS yang
dapat berlangsung 1-14 hari. Gejala tersebut yaitu demam, sakit kepala, myalgia 1,3
Lesi pada kulit SJS mula – mula mengalami makula eritema lalu menjadi erupsi
sehingga kulit berwarna gelap. Lesi yang muncul berbentuk irregular, terpisah satu
sama lain lalu menyatu dengan lesi yang lain. Selanjutnya lesi akan melepuh dan
3
mengalami nekrosis akibat pecahnya eksudat yang terdapat di dermis. Selain itu
terdapat ruam yang muncul pertama kali di wajah dan ekstremitas bagian proksimal
kemudian cepat menyebar ke seluruh tubuh.1,3
Pada daerah mukosa terdapat eritema yang biasanya diikuti erosi yang nyeri pada
daerah buccal, ocular, mukosa ani, dan mukosa genital. Biasanya ditemukan lebih
dari satu tempat. Pada mukosa (mulut, tenggorokan dan genital) akan tampak
effloresensi berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan krusta berwarna
merah. Pada mukosa mata lebih dari 80% penderita SJS mengalami kelainan seperti
konjungtivitis kataralis, blefarokonjungtivitis, uveitis anterior, iritis, iridosiklitis,
kelopak mata edema dan sulit dibuka. Pada kasus berat dapat terjadi erosi dan
perforasi kornea. 3
Penderita SJS tidak hanya mengalami lesi pada kulit. Keluhan yang tidak
signifikan ditemukan sebanyak 25% penderita SJS disistem pulmonal, urinari, dan
digestif. Gangguan pada sistem respirasi berupa sesak nafas, hipoksia, haemoptysis.
Keluhan pada saluran cerna seperti diare, melena, nekrosis esophagus. Gangguan
ginjal bisa terjadi proteinuria, haematuria, azotaemia.3
1.5 Pemeriksaan Fisik Dan Penunjang
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis dan pemeriksaan fisik ditunjukkan terdapat kelainan yang
didapat sesuai dengan trias kulit (lesi target atipikal), mukosa, mata serta
berhubungan dengan faktor penyebab.3
Pemeriksaan fisik yang didapat berupa tanda Niskolky. Dilakukan dengan cara
menekan daerah sekitar lesi. Selanjutnya akan didapat lesi, bila lesi <10 % maka
disebut SJS, 10-30% SJS-TEN, dan >30% TEN.1,3
4
Gambar 1.2 Luas BSA SJS dan TEN.
Untuk membedakan dengan Eritema Multiform (EM), dari pemeriksaan fisik
ditemukan terdapat lesi target atipikal hanya dengan 2 zona dengan gambaran bula
dibagian tengah dan disekitarnya berwarna kemerahan. Distribusi lesi awal mulai
pada wajah dan ekstremitas proksimal, terdapat juga kelainan pada 2 jenis mukosa.
Mortalitas SJS tinggi pada kasus yang berat.3
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu biopsi kulit untuk mengetahui
histologist dan imunofluorescence berupa infiltrat sel mononuklear di sekitar
pembuluh darah superfisial dermis, edema dan ekstravasasi sel darah merah di papiler
dermis, degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal,
nekrosis sel epidermal dan kadang – kadang di adneksa, spongiosis dan edema
intrasel di epidermis. Tanda khas bila biopsi dilakukan pada lesi baru (<24 jam)
ditemukan lapisan suprabasal apoptotic keratinocytes, sedangkan pada lesi lama
ditemukan nekrosis yang tebal dan luas pada epidermis dan pemisahan epidermis dari
dermis.1,3
5
Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan yaitu pemeriksaan laboratorium, namun
hasilnya tidak khas bila terdapat leukositosis. Pemeriksaan laboratorium diantaranya
adalah pemeriksaan darah tepi (hemoglobin, leukosit, trombosit, eosinofil, LED)
didapatkan peninggial jumlah eosinofil, pemeriksaan imunologik (kadar
immunoglobulin, komplek C3 dan C4, komplek imun) didapatkan kadar IgG dan IgM
dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun, dan
dapat dideteksi adanya kompleks imun yang beredar, biakan kuman serta uji
resistensi dari darah dan tempat lesi.3
1.6 Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari SJS yakni TEN, EM, dan Fixed Drug Reaction (FDE). SJS
dengan TEN hanya dibedakan berdasarkan BSA, dimana TEN lebih parah.
Berdasarkan etiologi, EM cenderung disebabkan oleh infeksi herpes simplex. EM
biasanya hanya mengenai mukosa mulut saja dan lesi dikulit berupa papula dengan
dasar eritema. EM tidak ada disertai dengan nekrolisis epidermis. FDE hanya berupa
1 lesi, bersifat sangat akut. Lokasi lesi hanya pada 1 tempat saja, dan apabila timbul
kembali hanya ditempat terkena semula.3,4
1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan SJS adalah berupa terapi dengan pengobatan dan terapi suportif.
Pengobatan dari SJS sangat bergantung pada status kesehatan dari penderita dan
tingkat keparahan dari penyakit.3,5
- Pemberian kortikosteroid masih kontroversial karena pada beberapa kasus
ditemukan bahwa pemberian kortikosteroid dapat memperburuk stadium SJS.
- Intravena Imunoglobulin (IVIG) yang mengandung antibodi imun, diberikan
untuk menghambat reseptor Fas supaya tidak terjadi apoptosis dengan total
dosis 3g/kgBB/ melalui 3 kali pemberian dalam jangka waktu 1-3 hari (Ho
HHF, Khalili).
- Cyclosporin A berfungsi untuk menginhibisi aktivasi limfosit CD8, dimana
secara teori akan menghambat kerusakan dan apoptosis pada cytotoxic
6
epidermal. Diberikan dengan dosis 3-5mg/kg/hari dalam waktu 8-24 hari
(Andrew, Khalili).
- Pemberian pengganti cairan tubuh dan elektrolit yang hilang, dapat dilakukan
dengan memasang infus atau selang nasogastrik untuk mendukung kebutuhan
nutrisi penderita.
- Antibiotik diberikan berdasarkan kultur. Antibiotik diberikan untuk mencegah
terjadinya sepsis yang sering menjadi penyebab dari kematian, dan
dilaksanakan secara berkala pada daerah-daerah lesi yang telah terjadi erosi.
Kultur dilakukan sebagai tindakan pencegahan pemberian antibiotika yang
tidak diperlukan agar tidak sampai terjadi resistensi.
- Perawatan luka yang telaten merupakan tiang utama dari penatalaksanaan
SJS, karena perawatan yang baik dan benar dapat mengurangi resiko
terjadinya infeksi dan rasa nyeri. Pembebatan pada epidermis yang nekrosis
dan terasa nyeri tidak dianjurkan, untuk mengurangi rasa nyeri tersebut dapat
diberikan analgesik golongan morphin.
- Untuk kelainan yang terjadi pada ogan selain kulit, dapat ditangani sesuai
dengan tanda dan gejala yang muncul.
1.8 Prognosis
Apabila ditemukan suatu lesi target, maka penderita SJS akan sembuh dalam waktu
1-2 minggu, dan apabila ada infeksi sekunder, maka memerlukan waktu lebih lama
untuk sembuh. Kematian dapat terjadi sebanyak 1-5% pada BSA < 10%, dan 25-35%
kematian pada BSA >30%. Faktor risiko yang meningkatkan dengan SCORTEN.1,6
Mortalitas dari SJS dapat dinilai berdasarkan poin-poin yang disebut dengan
SCORTEN. Ada 7 poin yakni umur >40 tahun, keganasan, heart rate > 120, lepasnya
epidermis >10%, kadar BUN >10mmol/L, dan kadar bikarbonat <20mmol/L.
Penilaian berdasarkan poin, 0-1 poin dengan mortalitas 3.2%, 2 poin 12.1%, 3 poin
35.3%, 4 poin 58.3, dan 5 atau lebih poin, 90%.1
1.9 Komplikasi7
Komplikasi SJS dapat terjadi pada beberapa bagian tubuh. Dimata dapat
menyebabkan ulserasi kornea, anterior uveitis, dan kebutaan. Pada saluran
pencernaan dapat menimbulkan striktur esofagus. Pada sistem urogenital dapat
menyebabkan gagal ginjal dan stenosis vagina. Pada sistem respirasi terjadi gagal
nafas, sedangkan di kulit dapat menimbulkan deformitas dan terhambatnya proses
penyembuhan apabila disertai dengan infeksi yang berulang.4
8