bab i sistem pengelolaan air limbah

Upload: enikwahyuniati

Post on 21-Feb-2018

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/24/2019 Bab i Sistem Pengelolaan Air Limbah

    1/20

    BAB I SISTEM PENGELOLAAN AIR LIMBAH

    Pengolahan air limbah biasanya menerapkan 3 tahapan proses yaitu pengolahan

    pendahuluan (pre-treatment), pengolahan utama (primary treatment), dan pengolahan

    akhir (post treatment). Pengolahan pendahuluan ditujukan untuk mengkondisikanaliran, beban limbah dan karakter lainnya agar sesuai untuk masuk ke pengolahan

    utama. Pengolahan utama adalah proses yang dipilih untuk menurunkan pencemar

    utama dalam air limbah. Selanjutnya pada pengolahan akhir dilakukan proses lanjutan

    untuk mengolah limbah agar sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan.

    Terdapat 3 (tiga) jenis proses yang dapat dilakukan untuk mengolah air limbah yaitu:

    proses secara fisik, biologi dan kimia. Proses fisik dilakukan dengan cara memberikan

    perlakuan fisik pada air limbah seperti menyaring, mengendapkan, atau mengatur suhu

    proses dengan menggunakan alat screening, grit chamber, settling tank/settling pond,

    dll.Proses biologi dilakukan dengan cara memberikan perlakuan atau proses biologi

    terhadap air limbah seperti penguraian atau penggabungan substansi biologi dengan

    lumpur aktif (activated sludge), attached growth filtration, aerobic process dan an-

    aerobic process.

    Proses kimia dilakukan dengan cara membubuhkan bahan kimia atau larutan kimia pada

    air limbah agar dihasilkan reaksi tertentu.

    Proses Pengolahan Secara Fisik.

    Pada umumnya pengolahan secara fisik merupakan tahap pengolahan awal yang

    dilakukan sebelum pengolahan lanjutan dengan tujuan supaya bahan-bahan tersuspensi

    berukuran besar dan yang mudah mengendap atau bahan yang terapung disisihkan

    terlebih dahulu.

    Penyaringan (screening) merupakan salah satu cara yang mudah murah dan efisien

    untuk menyisihkan bahan tersuspensi yang berukuran besar. Bahan tersuspensi yang

    mudah mengendap disisihkan dengan proses pengendapan.

    Parameter desain yang utama untuk proses pengendapan yaitu kecepatan partikel

    dalam mengendap dan waktu hidrolis di dalam bak pengendap.

    Pemisahan padatan dengan cairan ini sangat penting guna mengurangi beban danmengembalikan bahan-bahan yang bermanfaat serta mengurangi resiko rusaknya

    peralatan lain akibat adanya kebuntuan baik yang terjadi pada pipa, valve maupun

    pompa. Proses ini juga mengurangi abrasivitas cairan terhadap pompa dan alat-alat ukur

    yang berpengaruh secara langsung terhadap biaya operasional dan pemeliharaan.

    Pengolahan secara fisika antara lain:

    Screening

    Screening bertujuan untuk memisahkan kotoran berupa zat padat yang terikut dalam air

    limbah. Screening ini dapat berupa kawat, kisi-kisi maupun plat berlubang.

  • 7/24/2019 Bab i Sistem Pengelolaan Air Limbah

    2/20

    Sedimentasi

    Sedimentasi adalah memisahkan partikel-partikel tersuspensi yang lebih berat dari air

    dengan membiarkan supaya air tidak bergerak dan kotoran dapat mengendap dengan

    sendirinya. Sedimentasi biasanya untuk memisahkan pasir, kotoran- kotoran khususdalam tangki pengendap pendahuluan, flok biologi, flok-flok kimia dari proses

    koagulasi.

    Pengolahan air limbah merupaka usaha dalam mengurangi jumlah dan tingkat cemaran

    air limbah yang dihasilkan oleh suatu proses produksi dengan cara pengurangan, pe

    Minimasi limbah merupakan implementasi untuk mengurangi jumlah dan tingkat

    cemaran limbah yang dihasilkan dari suatu proses produksi dengan cara pengurangan,

    pemanfaatan dan pengolahan limbah.

    Pengurangan limbah dilakukan melalui peningkatan atau optimasi efisiensi alat

    pengolahan, optimasi sarana dan prasarana pengolahan seperti sistem perpipaan,

    meniadakan kebocoran, ceceran, dan terbuangnya bahan serta limbah.

    Pemanfaatan ditujukan pada bahan atau air yang telah digunakan dalam proses untuk

    digunakan kembali dalam proses yang sama atau proses lainnya. Pemanfaatan perlu

    dilakukan dengan pertimbangan yang cermat dan hati-hati agar tidak menimbulkan

    gangguan pada proses produksi atau menimbulkan pencemaran pada lingkungan.

    Setelah dilakukan pengurangan dan pemanfaatan limbah, maka limbah yang dihasilkan

    akan sangat minimal untuk selanjutnya diolah dalam instalasi pengolahan limbah.

  • 7/24/2019 Bab i Sistem Pengelolaan Air Limbah

    3/20

    Pada kegiatan pra produksi dapat dilakukan pemilihan bahan baku yang baik, berkualitas

    dan tingkat kemunian bahannya tinggi. Saat produksi dilakukan, fungsi alat proses

    menjadi penting untuk menghasilkan produk dengan konsumsi air dan energi yang

    minimum, selain itu diupayakan mencegah adanya bahan yang tercecer dan keluar dari

    sistem produksi.

    Dari tiap tahapan proses dimungkinkan dihasilkan limbah. Untuk mempermudah

    pemanfaatan dan pengolahan maka limbah yang memiliki karakteristik yang berbeda

    dan akan menimbulkan pertambahan tingkat cemaran harus dipisahkan. Sedangkan

    limbah yang memiliki kesamaan karekteristik dapat digabungkan dalam satu aliran

    limbah. Pemanfaatan limbah dapat dilakukan pada proses produksi yang sama atau

    digunakan untuk proses produksi yang lain.

    Limbah yang tidak dapat dimanfaatkan selanjutnya diolah pada unit pengolahan limbah

    untuk menurunkan tingkat cemarannya sehingga sesuai dengan baku mutu yang

    ditetapkan. Limbah yang telah memenuhi baku mutu tersebut dapat dibuang ke

    lingkungan. Bila memungkinkan, keluaran (output) dari instalasi pengolahan limbah

    dapat pula dimanfaatkan langsung atau melalui pengolahan lanjutan.

    Pengolahan limbah adalah upaya terakhir dalam sistem pengelolaan limbah setelah

    sebelumnya dilakukan optimasi proses produksi dan pengurangan serta pemanfaatan

    limbah. Pengolahan limbah dimaksudkan untuk menurunkan tingkat cemaran yangterdapat dalam limbah sehingga aman untuk dibuang ke lingkungan.

    Limbah yang dikeluarkan dari setiap kegiatan akan memiliki karakteristik yang berlainan.

    Hal ini karena bahan baku, teknologi proses, dan peralatan yang digunakan juga

    berbeda. Namun akan tetap ada kemiripan karakteristik diantara limbah yang dihasilkan

    dari proses untuk menghasilkan produk yang sama.

    Karakteristik utama limbah didasarkan pada jumlah atau volume limbah dan kandungan

    bahan pencemarnya yang terdiri dari unsur fisik, biologi, kimia dan radioaktif.

    Karakteristik ini akan menjadi dasar untuk menentukan proses dan alat yang digunakan

    untuk mengolah air limbah.

    Untuk suatu jenis air limbah tertentu, ketiga jenis proses dan alat pengolahan tersebut

    dapat diaplikasikan secara sendiri-sendiri atau dikombinasikan.

  • 7/24/2019 Bab i Sistem Pengelolaan Air Limbah

    4/20

    Pilihan mengenai teknologi pengolahan dan alat yang digunakan seharusnya dapat

    mempertimbangkan aspek teknis, ekonomi dan pengelolaannya.

    1. Phisik

    Jeruji penyaring sampah da Comminutor (penghancur sampah)Unit pengolahan phisik ini merupakan ujung tombak sebuah IPAL, yang langsung

    mencegat sampah yang menyangkut pada jeruji penyaring. Kalau dipakai

    comminutor, sampah langsung dilumat oleh putaran alat ini, sehingga hancur,

    dan selanjutnya dapat dibuang ketempat sampah yang sudah disediakan.

    Air limbah yang sudah bebas sampah ini, belum bisa diterima masuk ke dalam

    IPAL, karena didalamnya masih mengadung butiran pasir, kerikil, bubuk kopi,

    pecahan tulang dan benda padat lainnya, yang secara phisik tidak dapat

    menyangkut pada jeruji penyaring, karena ukurannya relatip kecil (0,15 mm).

    Benda berukuran kecil ini tidak perlu mengalami proses IPAL, tetapi sangant

    mengganggu proses biologis dan kimiawi selanjutnya di dalam IPAL dan bahkan

    merusak pompa, aerator dan peralatan lainnya karena daya gerus yang

    ditimbulkannya. Selain itu dapat menyebabkan endapan berat did lam pipa dan

    ak pengolah air limbah sehingga mengganggu fungsi IPAL secara keseluruhan.

    Oleh Karena itu perlu dipasang grit removal sebaga unit proses phisik

    selanjutnya.

    Grit

    2. Biologi (hayati)

    3. Kimiawi

    4. Kombinasi

    5. Alami

    BAB II SISTEM PENGELOLAAN AIR LIMBAH SECARA ALAMI

    beberapa teknologi sederhana yang didasarkan padaproses alami karena metode pengolahan limbah ini relatif lebih

    sustainable. Secaraumum, terminologi pengolahan air limbah secara alami (natural system)yang akandibahas dalam makalah ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:- sistem pengolahan limbah secara alami bertujuan untuk memanfaatkankembali nutrien, air dan energi yang terdapat pada air limbah,- dalam pengolahan air limbah, yang diutamakan adalah prosespenguraiansecara anaerobik karena tidak memerlukan penyediaan oksigen secaramekanis sehinga akan mengurangi biaya operasional, dan- apabila menggunakan proses aerobik untuk penguraian zat organikoksigen

  • 7/24/2019 Bab i Sistem Pengelolaan Air Limbah

    5/20

    yang disediakan berasal dari proses fotosintesis maupun proses re-aerasialami.Dalam artikel ini akan didiskusikan beberapa metode pengolahan airlimbah

    yang memenuhi terminologi pengolahan air limbah secara alami yaitu:pengolahan airlimbah dengan proses anaerobik, kolam stabilisasi, rawa buatan dankolam tumbuhanair.a. Pengolahan Air Limbah dengan Proses AnaerobikMeskipun pengolahan air limbah secara anaerobik telah dikenal sejakhampir2000 tahun yang lalu di India dan Cina dalam bentuk tangki penguraianuntuk limbahkotoran hewan, proses ini cukup lama diabaikan sebagai salah satu

    alternatif pengolahanlimbah. Hal ini dikarenakan, proses anaerobik dianggap tidak efisien danterlalu lambatuntuk mengolah air limbah yang semakin hari semakin bertambah banyakvolumenya(Nayono, 2005).Semenjak terjadinya krisis energi dunia beberapa dekade lalu,pengolahan airlimbah secara anaerobik diusahakan untuk dapat digunakan kembali.Sejak akhir tahun 1960-an, proses pengolahan limbah secara anaerobikmulai diteliti secara intensifsehingga sekarang dapat dipertimbangkan sebagai salah satu alternatifpengolahanlimbah selain teknologi dengan proses aerobik yang telah lama dikenal(Hickey et al.,1991). Beberapa teknologi pengolahan limbah dengan memanfaatkanproses anaerobikdapat ditunjukkan pada Gambar 2.Gambar 2 Contoh teknologi pengolahan limbah secara anaerobik. (a).Upflow anaerobic filter, (b). Downflow anaerobic filter, (c). Fluid bed, (d).Contact

    process, dan (e). Upflow anaerobic sludge blanketBeberapa penelitian dari berbagai negara melaporkan bahwapemanfaatanproses anaerobik untuk pengolahan limbah domestik dan limbah industrimempunyaitingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Karena proses anaerobikberlangsung denganbaik pada suhu sekitar 30 40 oC, maka pada daerah tropis prosesanaerobik ini mampumencapai hasil pengolahan limbah yang cukup memuaskan.Pengurangan BOD dan

  • 7/24/2019 Bab i Sistem Pengelolaan Air Limbah

    6/20

    COD bisa mencapai 70% sampai 90%. Meskipun demikian, hasil daripengolahananaerobik ini (terutama untuk pengolahan air limbah industri) masih relatifbelum sesuai

    dengan ketentuan untuk dapat dibuang langsung ke badan air. Olehkarena itu,pengolahan tambahan masih diperlukan agar kualitas air hasil pengolahancukup bagusuntuk dapat dibuang langsung ke sungai.Alasan dan ketertarikan terhadap penggunaan proses anaerobik untukpengolahan air limbah dapat dijelaskan dengan membandingkankelebihan danketerbatasan proses ini yang selengkapnya disajikan pada Tabel 1.Tabel 1 Kelebihan dan keterbatasan pengolahan air limbah secaraanaerobik

    Kelebihan Keterbatasan Kebutuhan energi relatif rendah karenatidak memerlukan aerasi Produksi lumpur sedikit, relatif lebih stabildan mudah dikeringkan Tidak memerlukan banyak bahan tambahuntuk memperlancar proses penguraian Terdapat kemungkinan untukmemanfaatkan biogas yang dihasilkan Lumpur (biomass) yang dihasilkan dapatdisimpan lama dan digunakan sebagai bibituntuk reaktor anaerobik baru Dapat dibebani dengan air limbah yangmempunyai kandungan bahan organikyang tinggi sehingga volume reaktor yangdibutuhkan lebih kecil Terdapat kemungkinan untukmempergunakan nutrien yang terdapatpada hasil pengolahan Waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkanjumlah lumpur yang cukup relatif lama Sentitif terhadap perubahan lingkungan danoperasional

    Terdapat kemungkinan adanya bau yang tidaksedap dan timbulnya gas yang bersifat korosif Pada dasarnya, pengolahan anaerobikhanyalah bersifat pengolahan pendahuluan,sehingga diperlukan pengolahan tambahanagar air hasil olahan memenuhi standar yangberlakuDiadaptasi dari: Polprasert et al., 2001 dan Metcalf & Eddy Inc., 2003

    b. Pengolahan Air Limbah dengan Kolam Stabilisasi (Waste StabilizationPonds)Kolam stabilisasi didefinisikan sebagai kolam dangkal buatan manusiayang

  • 7/24/2019 Bab i Sistem Pengelolaan Air Limbah

    7/20

    menggunakan proses fisis dan biologis untuk mengurangi kandunganbahan pencemaryang terdapat pada air limbah. Proses tersebut antara lain meliputipengendapan partikel

    padat, penguraian zat organik, pengurangan nutrien (P dan N) sertapenguranganorganisme patogenik seperti bakteri, telur cacing dan virus (Polprasert,1996; Pena-Varon and Mara, 2004).Kolam stabilisasi ini cukup banyak digunakan oleh negara-negaraberkembangkarena biaya pembuatan dan pemeliharaannya murah serta lahan yangtersedia masihcukup banyak. Prinsip dasar dari kolam stabilisasi adalah (Veenstra,2000):

    - menyeimbangkan dan menjaga fluktuasi beban organik dan bebanhidrolislimbah air,- mengendapkan partikel padatan dari air limbah di kolam pertama,- memanfaatkan proses fotosintesis yang dilakukan oleh algae sebagaisumberutama oksigen,- proses penguraian zat organik secara biologis yang dilakukan olehmikroorganisme (baik secara aerobik maupun anaerobik), dan- pengurangan organisme patogenik melalui beberapa proses interaktifantaraalga dan bakteria.

    PENGOLAHAN AIR LIMBAH DEAN JENIS JENISNYA

  • 7/24/2019 Bab i Sistem Pengelolaan Air Limbah

    8/20

    Pengolahan limbah bertujuan untuk menetralkan air dari bahan-bahan tersuspensi dan

    terapung, menguraikan bahan organic biodegradable, meminimalkan bakteri patogen,

    serta memerhatikan estetika dan lingkungan. Pengolahan air limbah dapat dilakukan

    dengan dua cara, yaitu secara alami dan secara buatan.

    a) Secara Alami

    Pengolahan air limbah secara alamiah dapat dilakukan dengan pembuatan kolam

    stabilisasi. Dalam kolam stabilisasi, air limbah diolah secara alamiah untuk menetralisasi

    zat-zat pencemar sebelum air limbah dialirkan ke sungai. Kolam stabilisasi yang umum

    digunakan adalah kolam anaerobik, kolam fakultatif (pengolahan air limbah yang

    tercemar bahan organik pekat), dan kolam maturasi (pemusnahan mikroorganisme

    patogen). Karena biaya yang dibutuhkan murah, cara ini direkomendasikan untuk

    daerah tropis dan sedang berkembang.

    b) Secara Bantuan

    Pengolahan air limbah dengan bantuan alat dilakukan pada Instalasi Pengolahan Air

    Limbah (IPAL). Pengolahan ini dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu primary treatment

    (pengolahan pertama), secondary treatment (pengolahan kedua), dan tertiary treatment

    (pengolahan lanjutan).

    Primary treatment merupakan pengolahan pertama yang bertujuan untuk memisahkan

    zat padat dan zat cair dengan menggunakan filter (saringan) dan bak sedimentasi.

    Beberapa alat yang digunakan adalah saringan pasir lambat, saringan pasir cepat,saringan multimedia, percoal filter, mikrostaining, dan vacum filter.

    Secondary treatment merupakan pengolahan kedua, bertujuan untuk

    mengkoagulasikan, menghilangkan koloid, dan menstabilisasikan zat organik dalam

    limbah. Pengolahan limbah rumah tangga bertujuan untuk mengurangi kandungan

    bahan organik, nutrisi nitrogen, dan fosfor. Penguraian bahan organik ini dilakukan oleh

    makhluk hidup secara aerobik (menggunakan oksigen) dan anaerobik (tanpa oksigen).

    Secara aerobik, penguraian bahan organik dilakukan mikroorganisme dengan bantuan

    oksigen sebagai electon acceptor dalam air limbah. Selain itu, aktivitas aerobik ini

    dilakukan dengan bantuan lumpur aktif (activated sludge) yang banyak mengandung

    bakteri pengurai. Hasil akhir aktivitas aerobik sempurna adalah CO2, uap air, dan excess

    sludge. Secara anaerobik, penguraian bahan organik dilakukan tanpa menggunakan

    oksigen. Hasil akhir aktivitas anaerobik adalah biogas, uap air, dan excess sludge.

    Tertiary treatment merupakan lanjutan dari pengolahan kedua, yaitu penghilangan

    nutrisi atau unsur hara, khususnya nitrat dan posfat, serta penambahan klor untuk

    memusnahkan mikroorganisme patogen.

    Pengelolaan Excreta

    Excreta banyak terkandung dalam air limbah rumah tangga. Excreta banyak

  • 7/24/2019 Bab i Sistem Pengelolaan Air Limbah

    9/20

    mengandung bakteri patogen penyebab penyakit. Jika tidak dikelola dengan baik,

    excreta dapat menimbulkan berbagai jenis penyakit. Pengelolaan excreta dapat

    dilakukan dengan menampung dan mengolahnya pada jamban atau septic tank yang ada

    di sekitar tempat tinggal, dialirkan ke tempat pengelolaan, atau dilakukan secara

    kolektif. Untuk mencegah meresapnya air limbah excreta ke sumur atau resapan air,

    jamban yang kita buat harus sehat. Syaratnya, tidak mengotori permukaan tanah,

    permukaan air dan air tanah di sekitarnya, tidak menimbulkan bau, sederhana, jauh dari

    jangkauan serangga (lalat, nyamuk, atau kecoa), murah, dan diterima oleh pemakainya.

    Pengelolaan excreta dalam septic tank dapat diolah secara anaerobik menjadi biogas

    yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber gas untuk rumah tangga. Selain itu,

    pengelolaan excreta dengan tepat akan menjauhkan kita dari penyakit bawaan air.

    Daftar Pustaka : http://forum.upi.edu/v3/index.php?topic=15012.0

    SUMBER AIR LIMBAH

    Potensi industri telah memberikan sumbangan bagi perekonomian Indonesia melalui

    barang produk dan jasa yang dihasilkan, namun di sisi lain pertumbuhan industri telah

    menimbulkan masalah lingkungan yang cukup serius. Buangan air limbah industri

    mengakibatkan timbulnya pencemaran air sungai yang dapat merugikan masyarakat

    yang tinggal di sepanjang aliran sungai, seperti berkurangnya hasil produksi pertanian,

    menurunnya hasil tambak, maupun berkurangnya pemanfaatan air sungai oleh

    penduduk.

    Seiring dengan makin tingginya kepedulian akan kelestarian sungai dan kepentinganmenjaga keberlanjutan lingkungan dan dunia usaha maka muncul upaya industri untuk

    melakukan pengelolaan air limbah industrinya melalui perencanaan proses produksi

    yang effisien sehingga mampu meminimalkan limbah buangan industri dan upaya

    pengendalian pencemaran air limbah industrinya melalui penerapan installasi

    pengolahan air limbah. Bagi Industri yang terbiasa dengan memaksimalkan profit dan

    mengabaikan usaha pengelolaan limbah agaknya bertentangan dengan akal sehat

    mereka, karena mereka beranggapan bahwa menerapkan instalasi pengolahan air

    limbah berarti harus mengeluarkan biaya pembangunan dan biaya operasional yang

    mahal. Di pihak lain timbul ketidakpercayaan masyarakat bahwa industri akan dan

    mampu melakukan pengelolaan limbah dengan sukarela mengingat banyaknya

    perusahaan industry yang dibangun di sepanjang aliran sungai, dan membuang air

    limbahnya tanpa pengolahan. Sikap perusahaan yang hanya berorientasi Profit motive

    dan lemahnya penegakan peraturan terhadap pelanggaran pencemaran ini berakibat

    timbulnya beberapa kasus pencemaran oleh industry dan tuntutan-tuntutan masyarakat

    sekitar industry hingga perusahaan harus mengganti kerugian kepada masyarakat yang

    terkena dampak.

    Latar belakang yang menyebabkan terjadinya permasalahan pencemaran tersebut dapat

    diidentifikasikan sebagai berikut:

    (1) Upaya pengelolaan lingkungan yang ditujukan untuk mencegah dan atau

  • 7/24/2019 Bab i Sistem Pengelolaan Air Limbah

    10/20

    memperkecil dampak negatif yang dapat timbul dari kegiatan produksi dan jasa di

    berbagai sektor industri belum berjalan secara terencana.

    (2) Biaya pengolahan dan pembuangan limbah semakin mahal dan dana pembangunan,

    pemeliharaan fasilitas bangunan air limbah yang terbatas, menyebabkan perusahaan

    enggan menginvestasikan dananya untuk pencegahan kerusakan lingkungan, dan

    anggapan bahwa biaya untuk membuat unit IPAL merupakan beban biaya yang besar

    yang dapat mengurangi keuntungan perusahaan.

    (3) Tingkat pencemaran baik kualitas maupun kuantitas semakin meningkat, akibat

    perkembangan penduduk dan ekonomi, termasuk industri di sepanjang sungai yang

    tidak melakukan pengelolaan air limbah industrinya secara optimal.

    (4) Perilaku sosial masyarakat dalam hubungan dengan industri memandang bahwa

    sumber pencemaran di sungai adalah berasal dari buangan industri, akibatnya isu

    lingkungan sering dijadikan sumber konflik untuk melakukan tuntutan kepada industri

    berupa perbaikan lingkungan, pengendalian pencemaran, pengadaan sarana danprasarana yang rusak akibat kegiatan industri.

    (5) Adanya Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian

    pencemaran air nomor: 82 Tahun 2001, meliputi standar lingkungan, ambang batas

    pencemaran yang diperbolehkan, izin pembuangan limbah cair, penetapan sanksi

    administrasi maupun pidana belum dapat menggugah industri untuk melakukan

    pengelolaan air limbah.

    Permasalahan di atas dapat disimpulkan bahwa Penerapan Pengelolaan air Limbah

    pada industri kurang optimal dan jawaban terhadap berbagai pertanyaan di atas pada

    umumnya menyangkut:

    (1) Apakah industri telah melakukan upaya minimisasi limbah untukmencegah/memperkecil dampak negatif yang timbul dari kegiatan produksi?

    (2) Faktor-faktor apa yang menyebabkan penerapan pengolahan air limbah kurang

    optimal?

    (3) Apakah penerapan pengolahan air limbah secara bersama-sama dipengaruhi oleh

    biaya, beban buangan air limbah, teknologi ipal, perilaku sosial masyarakat, dan

    peraturan pemerintah?

    Limbah rumah tangga

    Limbah rumah tangga seperti deterjen, sampah organik, dan anorganik memberikan

    andil cukup besar dalam pencemaran air sungai, terutama di daerah perkotaan. Sungai

    yang tercemar deterjen, sampah organik dan anorganik yang mengandung

    miikroorganisme dapat menimbulkan penyakit, terutama bagi masyarakat yang

    mengunakan sungai sebagai sumber kehidupan sehari-hari. Proses penguraian sampah

    dan deterjen memerlukan oksigen sehingga kadar oksigen dalam air dapat berkurang.

    Jika kadar oskigen suatu perairaan turun sampai kurang dari 5 mg per liter, maka

    kehidupan biota air seperti ikan terancam.

    Limbah industri

    Limbah industri yang mencemarkan air dapat berupa polutan sampah organik dan

    anorganik. Polutan tersebut berasal dari pabrik pengolahan hasil ternak, polutan logam

    berat, dan polutan panas yang antara lain berasal dari air pendingin industri. Limbah

  • 7/24/2019 Bab i Sistem Pengelolaan Air Limbah

    11/20

    industri dapat membunuh mikroorganisme air. Akan tetapi, beberapa pabrik tidak

    mampu menghilangkan unsur kimia atau racun yang dikandungnya. Limbah industri

    yang dapat mencemari air bergantung pada jenis industrinya. Limbah tersebut berupa

    organik, anorganik, dan panas.

    Sebagian besar industri membuang limbah cairnya ke perairan sungai tanpa diolah

    terlebih dahulu. Untuk mengendalikan pencemaran air oleh industri, pemerintah

    membuat aturan bahwa limbah industri harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang

    ke sungai. Limbah cair yang telah diolah, sisa olahannya pun masih mengandung bahan

    beracun dan berbahaya seperti merkuri (Hg), timbal (Pb), krom (Cr), tembaga (Cu), seng

    (Zn), dan nikel (Ni).

    Merkuri dapat berasal dari air limbah penggilingan kertas (pulp = bubur kertas) dan

    pabrik yang membuat vinil plastik atau berasal dari air hujan. Kebanyakan merkuri

    terakumulasi di dasar perairan, seperti sungai, danau, dan lautan, kemudian diuraikan

    menjadi metal merkuri oleh metan yang diproduksi oleh bakteri. Metil merkuri bersifatsangat beracun dan dapat diabsorpsi oleh makhluk hidup yang berada di perairan. Ikan

    yang tercemar oleh merkuri jika dikonsumsi oleh ibu yang hamil, keturunannya dapat

    menderita cacat karena kerusakan pada saraf, bahkan dapat mengakibatkan kematian.

    Tembaga dapat masuk ke perairan atau sungai melalui pembuangan air limbah yang

    berasal dari bijih atau cairan tembaga yang dibuang oleh penambangan tembaga.

    Tembaga merupakan logam yang sangat beracun. Kadar tembaga yang kurang dari 1

    ppm pada perairan dapat mematikan ikan dan hewan air lainnya.

    Ikan mengabsorbsi tembaga melalui insangnya. Di perairan yang mengandung

    konsentrasi oksigen terlarut rendah, gerakan membuka dan menutupnya insang

    berlangsung lebih cepat sehingga proses kematian ikan akibat polusi tembaga menjadilebih cepat.

    Pembakaran bensin pada mesin pabrik menghasilkan lebih dari 80% timah di udara.

    Timah yang ditambahkan ke dalam bensin adalah timah tetraetil (TEL) yang berfungsi

    sebagai senyawa anti knock. Di daerah pedesaan, kandungan timah di udara yang

    berasal dari kegiatan manusia sekitar 20%, sedangkan di kota-kotabesar lebih dari 50%.

    Orang yang bekerja memperbaiki kendaraan bermotor di ruangan tertutup, dalam

    darahnya akan mengandung konsentrasi timah yang lebih tinggi dibandingkan bagi

    mereka yang bekerja pada ruangan yang terbuka.

    Jika suatu perairan mengandung timah yang berasal dari tangki atau pipa saluran air

    minum dengan konsentrasi lebih dari 0.5 ppm, maka logam tersebut dapat bersifat

    racun bagi kehidupan ikan di perairan. Hanya beberapa ganggang dan serangga yang

    mampu hidup di perairan tersebut. Jika ikan yang tercemar tersebut dikonsumsi

    manusia, akan membahayakan kesehatan manusia.

    Limbah pertanian

    Kegiatan pertanian dapat menyebabkan pencemaran air terutama karena penggunaan

    pupuk buatan, pestisida, dan herbisida. Pencemaran air oleh pupuk, pestisida, dan

    herbisida dapat meracuni organisme air, seperti plankton, ikan, hewan yang meminum

    air tersebut dan juga manusia yang menggunakan air tersebut untuk kebutuhan sehari-

    hari. Residu pestisida seperti DDT yang terakumulasi dalam tubuh ikan dan biota lainnya

  • 7/24/2019 Bab i Sistem Pengelolaan Air Limbah

    12/20

    dapat terbawa dalam rantai makanan ke tingkat trofil yang lebih tinggi, yaitu manusia.

    Selain itu, masuknya pupuk pertanian, sampah, dan kotoran ke bendungan, danau, serta

    laut dapat menyebabkan meningkatnya zat-zat hara di perairan. Peningkatan tersebut

    mengakibatkan pertumbuhan ganggang atau enceng gondok menjadi pesat (blooming).

    Pertumbuhan ganggang atau enceng gondok yang cepat dan kemudian mati

    membutuhkan banyak oksigen untuk menguraikannya. Kondisi ini mengakibatkan

    kurangnya oksigen dan mendorong terjadinya kehidupan organisme anaerob. Fenomena

    ini disebut sebagai eutrofikasi.

    Limbah pertambangan

    Pencemaran minyak di laut terutama disebabkan oleh limbah pertambangan minyak

    lepas pantai dan kebocoran kapal tanker yang mengangkut minyak. Setiap tahun

    diperkirakan jumlah kebocoran dan tumpahan minyak dari kapal tanker ke laut

    mencapai 3.9 juta ton sampai 6.6 juta ton. Tumpahan minyak merusak kehidupan di

    laut, diantaranya burung dan ikan. Minyak yang menempel pada bulu burung dan insangikan mengakibatkan kematian hewan tersebut.

    Pengolahan air limbah bisa terjadi secara alami dimana air limbah mengalir ke dalam

    sungai, tersimpan di dalam waduk, berupa air terjun, meresap didalam tanah, karena

    disini terjadi proses pengolahan seperti pada IPAL

    A. Constructed wetland

    Pengertian constructe wetlanf adalah wetland buatan yang dikelola dan dikontrol oleh

    manusia (Novotny and Olem, 1994). Pada constructed wetland, tinggi air berada dekat

    permukaan tanah atau tanah tertutup dengan air yang dangkal (Hammer, 1992). System

    ini memakai berbagai konfigurasi yang berbeda seperti jenis media dan jenis tumbuhan

    air.constructed wetland memiliki kemampuan efisiensi yang lebih tinggi, jika

    dimanfaatkan untuk pengolahan air limbah (Kurniadie, 2000). Hal ini disebabkan karena

    wetland buatan ini, lebih mudah dikontrol dan konstruksinya dapat di desain sesuai

    dengan fasilitas yang dikehendaki, seperti komposisi substrat, jenis vegetasi, kecepatan

    aliran, debit aliran.

    Menurut Sasse (1998) pada prinsipnya ada tiga system pengolahan dasar yang dapat

    dikategorikan sebagai constructed wetland adalah:

    1. System pengolahan permukaan tanah (Overland treatment system)

    Pada system pengolahan permukaan tanah, dimana air disebarkan pada lahan

    berkontur dengan menggunakan springkle. System ini mebutuhkan perhatian

    dan perawatan yang kontinyu.

    2. Filter aliran vertical (Vertical flow filter)

    Pada system filter aliran vertical, dimana air limbah dialirkan dengan

    menggunakan suatu bak yang direncanakan untuk pengolahan air limbah.

  • 7/24/2019 Bab i Sistem Pengelolaan Air Limbah

    13/20

    3. Filter aliran horizontal (Horizontal flow filter)

    Prinsipnya sederhana dan hampir tidak membutuhkan perawatan

    bagaimanapun kondisinya. Perencanaan system ini membuthkan pengetahuan

    mengenai media filter yang digunakan.

    Kondisi tanah seperti permeabilitas tanah, konduktivitas hidrolis sangat berpengaruh

    pada waktu detensi air limbah dalam system constructed wetland. Waktu detensi yang

    mencukupi akan memberikan kesempatan kontak lebih lama antar mikroorganisme,

    oksigen yang dikeluarkan oleh akar tumbuhan san air limbaj (Wood, 1993). Untuk lebih

    jelasnya tentang karakteristik media untuk constructed wetland seperti table.dibawah

    ini.

    Tabel Karakteristik media untuk untuk constructed wetland

    No. Tipe media Porositas, Hydraulic conductivity, ks (ft3/ft

    2.d)

    1 Medium sand 0.42 1380

    2 Coarse sand 0.39 1575

    3 Gravelly sand 0.35 1640

    Sumber: Metcalf and Eddy, 1991.

    B. Jenis constructed wetland

    Constructed wetland dibagi menjadi dua tipe (EPA, 1988 dan WPCF, 1990 dalam

    Novotny and Olem, 1994) yaitu:

    1. Free water surface (FWS) system

    Free water surface (FWS) system, merupakan dalam bentuk kolam atau saluran-

    saluran yang dilapisi impermeable alami atau buatan, yang biasanya tanah liat,

    yang berfungsi untuk mencegah supaya jangan terjadi rembesan air keluar dari

    kolam atau saluran. Kolam tersebut diberi media tanah sebagai tempat hiduptumbuhan air. Beberapa aspek dapat mempengaruhi bentuk dari kolam atau

    saluaran wetlandantara lain kemiringan dari kolam tersebut. Dasar dari wetland

    sebaiknya mempunyai kemiringan kurang dari 1%, hal ini bertujuan untuk

    mengontrol aliran air (run off). Menurut Steiner dan Freeman (1989) dalam

    Mitsch dan Gosslink (1993), bahwa untuk surface flow wetland, kemiringan

    substrat dari inlet sampai outlet adalah sebesar 0,5% atau kurang, guna

    mengontrol aliran air limbah. Untuk lebih jelasnya jenis constructed wetland free

    water surface (FWS) sytem seperti Gambar dibawah ini.

    2. Subsurface flows system (SFS)

  • 7/24/2019 Bab i Sistem Pengelolaan Air Limbah

    14/20

    Subsurface flows system merupakan kolam atau saluran-saluran yang berisi

    media berpori, dimana media tersebut berfungsi sebagai tempat tumbunya

    mikroorganisme. Pengolahan terjadi pada saat, air limbah mengalir secara

    perlahan melalui tumbuha air yang tumbuh, pada media berpori tersebut.

    Media yang digunakan dalam system ini adalah, pecahan batu, gravel atau

    media berpori lainnya. Air limbah yang dialirkan akan mengalami pengolahan

    dengan cara filtrasi, absorbs oleh mikroorganisme, adsorbs oleh tanah dan juga

    oleh akar tumbuhan (Novotny and Olm, 1994). Air limbah juga akan mengalir

    secara horizontal melewati akar-akar tumbuhan air di bawah permukaan gravel

    (media) sekitar 100 mm sasmpai 150 mm (Crites, 1994).

    Untuk lebih jelasnya jenis constructed wetland subsurface flow (SFS) system

    seperti gambar..di bawah ini.

    Pada system subsurface flow ada dua macam pola aliran (Kuschk et.al 1998)yaitu:

    1. Aliran horizontal

    System ini merupakan kolam persegi (rectangular), yang ditanami dengan

    tumbuhan air jenis emergent, dan secara ideal pada permukaan medianya

    tidak terdapat air, dimana air limbah mengalir secara horizontal. Untuk lebih

    jelasnya jenis constructed wetland subsurface flow aliran horizontal seperti

    Gambar di bawah ini.

    2. Aliran vertical

    Pada system aliran vertical ini, air limbah dialirkan dari permukaan kolam

    secara vertical, sehingga air limbah tersebut akan tersaring oleh mediumyang ada, dan system penyaluran air limbahnya terdapat pada bagian

    bawah kolam. Untuk lebih jelasnya jenis constructed wetland subsurface

    flow aliran horizontal seperti Gambar. Dibawah ini.

    Proses pengolahan dalam constructed wetland

    Dalam system constructed wetlanf terjadi proses fisik, kimia, biologi dengan

    adanya interaksi antara mikroorganisme, tumbuhan dan substrat (Haberl et

    al, 1995). Proses yang terjadi dalam system pengolahan air limbah dengan

    constructed wetland adalah (Novotny and Olem, 1994):

    a. Proses fisik yang terdiri dari sedimentasi dan filtrasi

    Proses sedimentasi dapat terjadi pada partikel-partikle yang

    mempunyai berat jenis yang lebih kecil dari pada air, dengan cara

    membetuk flok-flok yang ukurannya lebih besar, sehingga lebih

    mudah mengendap. Di dalam constructed wetland, juga dapat

    terjadi proses filtrasi dari partikel-partikel yang melewati media

    tumbuh tumbuhan air.

    b. Proses fisik dan kimiawi, meliputi adsoprsi bahan oleh tumbuhan air.

    Tanah dan substrat organic. Flok-flok yang terbetuk pada proses

  • 7/24/2019 Bab i Sistem Pengelolaan Air Limbah

    15/20

    sedimentasi akan mengadsoprsi partikel-partikel tersuspensi

    termasuk bahan organic.

    c. Proses biokimiawi, meliputi:

    Penurunan bahan organic secara biokimiawi aeraobik oleh

    bakteri dalam air yang melekat pada tumbuhan, jaringan

    akar, serta di bagian paling atas sedimen dan zona aerobic

    yang terletak di dekat daerah akar maupun rhizoma dari

    tumbuhan.

    Proses nitrifikasi oleh bakteri nitrifikasi, yang dilakukan di

    bagian paling atas dari sedimen pada daerah akar dan

    rhizome dari tumbuhan.

    Proses denitrifikasi oleh bakteri anaerobic pada air dan

    sedimen.

    Dekomposisi anaerobic terhadap bahan organic di sedimendan di air pada kondisi anaerobic.

    Penyerapan nutrient dan beberapa jenis polutan oleh

    tumbuhan yang kemudian akan membentuk biomassa

    tumbuhan yang baru.

    Mekanisme penyisihan parameter tercemar

    Tumbuhan air memiliki system akar rhizophere, yang mengandung saluran udara tebal

    tempat ujng akar rambut mengantung dan cabang yang tumbuh vertical ke atas. Oksigen

    dari udara diserap melalui daun, diteruskan ke batang dan thizoma. Akhirnya oksigen

    dari udara terpencar ke ujung akar, membentuk film tipis deangan ukuran kurang dari 1

    mm mengelilingi akar. Penumpukan oksigen di daerah akar rhizophere, membantu

    pertumbuhan mikrorganisme aerob yang ada dalam air sedangkan mikroorganisme

    anaerob, ditemukan pada daerah kurang oksigen, yaitu daerah antara rambut-rambut

    akar. Aktivitas microorganism pada akar dan batang tumbuhan air, yang memegang

    peranan penting dalam proses penguraian senywa-senyawa organic. Kegiatan

    mokroorganisme dalam wetland dapat disamakan dengan yang ada dalam system

    tirckling filter dan system activated sludge. Tetapi jenis mikroorganisme dalam reactor

    tumbuhn air lebih banyak (Polprasert, 1996) dalam tanah subur yang normal, terdapat

    10-100 juta bakteri di dalam setiap gram tanah. Angka ini mungkin meningkat

    tergantung dari kendungan bahan organic suatu tanah atau air limbah (Rao 1994).

    Proses penurunan BOD dan COD pada constructed wetland terjadi melalui proses fisik

    dan biologis (Crites and Tchobanoglous, 1998 dalam Fitriarini, 2002). Sedangkan

    konsentrasi COD dan BOD pada solid (BODss) atau zat padat yang tersuspesi dapat

    dihilangkan dengan proses sedimentasi sedangkan untuk COD dan BOD terlarut dapat

    dihilangkan oleh aktivitas mikroorgansime dan tumbuhan air dalam constructed wetland

    (Wood, 1993). Konsentrasi BOD diturunkan melalui proses oksidasi dan reduksi

  • 7/24/2019 Bab i Sistem Pengelolaan Air Limbah

    16/20

    (fermentasi anaeobik); NH4-N dioksidasi oleh bakteri autotrop yang tumbuh disekitar

    rhyzozphere, menjadi nitrat dan kemudian nitrit, yang akhirnya pada kondisi anaerobk

    diubah oleh bakteri fakultatif anaerobic yang berada dalam tanah menjadi gas nitrogen.

    Fosfat akan diikat oleh koloid besi, kalsium dan aluminium yang ada dalam tanah pada

    kondisi aerobic (Kickuth, 1984 dalam Kurniadhie, 2000). Armstrong and Armstrong

    menyatakan bahwa oksidasi yang terjadi pada daerah rhizophere, juga dapat

    mengurangi keracunan tumbuhan akibat gas H2S dan juga dapat mengurangi besi dan

    mangan.

    Pengolahan secara aerobic berlangsung di dalam air bagian atas dari sedimen,

    sedangkan pengolahan secara anaerobic berlangsung pada bagia bawah sedimen atau

    terkadang berlangsung di dalam air apabila suplai oksigen telah habis terpakai (Novotny

    and Olem, 1994).

    Penguraian bahan organic oleh bakteri aerobic, menjadi karbon dioksida yang dilepas keudara, sedangkan sebagian lagi mengoksidasi bahan orgnik menjadi ammonia, kemudian

    oleh bakteri nitrifikasi, ammonia diubah menjadi nitrit (NO2) dan nitrat (NO3) menjadi

    nitrogen (N2).

    Sanitasi di Indonesia

    Conventional wastewater treatment

    The developed-word model of end of pipe wastewater treatment (water basedsanitation using deep sewerage followed by conventional wastewater treatment) is no

    longer a viable sanitation solution for developing or developed countries. While it may

    have been the panacea to nineteenth and twentieth century public health in western

    word (Water Aid, 2002) it is now being criticized as having opened up a pandoras box

    (Erey, 1998): pollution of waterbodies and the subsequent spread of waterborne

    disease; the massive requirement for fresh water at a time when available fresh water

    resources are already limited; and that it is no longer a suitable model for developing

    countries. This scenario has been shown to be unsuccessful and unsustainable. Low cost

    technologies are recognized as the only viable alternative (CATHALAC, 2000: OPS/CEPIS,

    2002: PAHO, 2001b). The development of low-cost and low maintenance wastewater

    treatment technologies is key to advancing sanitation in Latin America.

    Alternative wastewater treatment

    The unfolding world water crisis has been described as probably the most challenging

    task the international community as facing today (Eid, 2001). Not only is the rising

    demand for a finite supply of freshwater being driven by population growth at the same

    as it is being threatened by pollution, there are also significant demands being placed

    upon it by agriculture and industry (Anderson, 2001). The latter demands may not be

    incompatible however because wastewater reuse for agriculture in particular is integral

  • 7/24/2019 Bab i Sistem Pengelolaan Air Limbah

    17/20

    to the philosophy of ecological sanitation, or Ecosan. Ecosan offers an alternative to

    conventional sanitation by providing a closed loop approach to deal with wastewater

    which not only avoids environmental pollution but recovers and recycles nutrients to

    help restore soil fertility (Esrey et al., 1998; SEI, 2004).

    So if developed countries are struggling with these issues, what of the future for those

    developing countries where water based sanitation also prevails? It is widely recognized

    that attempting to maintain the business as usual paradigm in the allocation of water

    resources will be difficult to achieve and unsustainable (Matsui et al., 2001). Yet wishful

    statements like those in Vision 21 such as expecting a drastic technological

    breakthrough to be introduced by the water utility sector do little to describe how this

    may be achieved. Matsui et al (2001) attempt to address this issue by prefacing it with

    the statement that sanitation is the first step towards successful water management-

    Developing countries must solve sanitation problem first, which will require technology

    that saves water and incorporates water conservation for both water supply and

    sanitation. The solutions can be shared by both developed and developing countries.

    The selection of appropriate wastewater treatment strategy for any given situation is

    complex and requires careful consideration of technical, economic and cultural criteria

    amongst others. Other studies conducted in similar climatic and socio-cultural settings

    such as those in Sri Lanka by Corea (2001) for example have considered a range of

    wastewater treatment technologies for appropriateness, while qualities such as the

    potential for reuse, nutrient capture and resource conservation which form the hallmark

    of Ecosan typically are not. The default technology where water is used for sanitation in

    rural areas is the septic tank system. This may be satisfactory provided the

    environments natural assimilative capacity is not exceeded. However it often is as a

    result of population growth, resulting is significant groundwater contamination (UNEP-

    IETC, 2002). One technology that has been described as having enormous potential for

    developing countries is the use of constructed wetlands for wastewater treatment

    (Denny, 1997; Kivaisi, 2001). These are low maintenance, low-cost biological systems

    which can achieve conventional secondary treatment levels. While their main drawback

    is relatively large area required, this is much less critical in rural areas. There is

    substantial experience with constructed wetlands for wastewater treatment in North

    America, Europe and Australia, and yet there has been very little use of these systems inLatin America. There exist two main types of constructed wetland: subsurface flow (SSF)

    wetlands or reedbeds; and free water surface (FWS) wetlands. A further type of wetland

    utilizing vertical flow is not considered here. SSF wetlands by their nature are not

    potensial breeding grounds for mosquitoes unlike FWS constructed wetlands (Kadlec

    and Knight, 1996). The public health implications in the tropics, where mosquito-borne

    such as dengue fever and malaria are prevalent, significantly impact the suitblility of

    FWS systems for these regions.

  • 7/24/2019 Bab i Sistem Pengelolaan Air Limbah

    18/20

    The implementation of low-cost, sustainable biological systems for wastewater

    treatment, such as constructed wetlands, with the subsequent productive reuse of the

    treated wastewater, for example in irrigation, is an example of Ecosan.

    Constructed wetland for developing country

    Constructed wetland (CW) are described as natural wastewater treatment systems that

    combine biological, chemical and physical treatment processes. There exists some

    discrepancy in the literature as the terminology (Crites and Tchobanoglous, 1998; Kadlec

    and Knight, 1996) however they are generally categorized as either free water surface

    (FWS) or subsurface flow (SSF) types. SSF wetlands incorporating vegetation are also

    known as rock-reed filters, vegetated submerged beds (VSB), reedbeds and the root

    zone method amongst other (Crites and Tchobanoglous, 1998). The principal advantages

    of FSS systems are avoidance of odour, mosquitoes and the potential for public contact

    as the water level is maintained below the media surface. This latter property is critical

    as many tropical regions, like Cental America, mosquito-borne diseases such as malaria

    and dengue are endemic (PAHO, 2001a). SSF systems have been shown to offer less

    environmental impact when compared to conventional treatment systems on life cycle

    analysis, particularly in terms of CO2 emissions (Dixon et al., 2003). SSF wetlands are

    approximately twice as efficient as FWS systems and require less land area as result

    (Kadlec and Knight, 1996; USEPA, 1993). Disadvantages however include the potential

    for inlet clogging and the cost of the substrate media which may be of the order of 50%

    of the total construction cost (Crites and Tchobanoglous, 1998; USEPA, 1993). As resultFWS systems tend to be favored over SSF systems as on an areal basis they are cheaper

    even though they are les efficient (Kadlec and Knight, 1996).

    The potential for constructed wetlands for wastewater treatment in developing

    countries has been described as enormous (Denny, 1997; Haberl, 1999; Kivaisi, 2001).

    This assessment was made on the basis of their low cost, ease of operation and

    maintenance when compared to conventional treatment systems, and that they

    represent and appropriate and sustainable technology for wastewater treatment-

    properties which have been widely documented. The warm tropical and subtropical

    climates found in many developing countries are also ideal for productive biologicalsystems such as constructed wetlands, particularly in small rural communities (Kivaisi,

    2001 Rivera et al., 1995). And yet the uptake of this technology has been slow (Denny,

    1997). Kivaisi (2001) concluded that in developing countries these systems have not

    found widespread use, due to lack of awareness and local expertise in developing the

    technology on a local basis.

    The principles of constructed wetlands are probably known in most developing countries but

    appropriate designs and technologies have to be worked out. Crucial to their design and

    management is proper understanding of the biological, hydraulic and chemical processes involved.

    In tropical systems these have not been investigated- it is not enough to treat them as magical

    black boxes. The translocation of northern-acquired systems uncritically is insufficient.

  • 7/24/2019 Bab i Sistem Pengelolaan Air Limbah

    19/20

    (Denny, 1997).

    CWs are being uses successfully for wastewater treatment in developing countries

    including thoses in tropical Asia (Koottatep and Polprasert, 1997). Africa (Kaseva M,2004) and Nepal (Shrestha et al, 2001). These is little information however on their use

    in the tropics of Latin America, particularly Central America. On notable exception is

    Nicaragua where reedbeds (biofiltros) have been use successfully for the treatment of

    primary treated domestic sewage (Platzer et al, 2002).

    Experience with reedbeds for the successful treatment of grey water only, exists in

    Australia (Ho et al., 2001), United States (Del Porto and Steinfeld, 1999). And Europe

    (Ottherpohl, 2001b). there is no known use of reedbeds foe domestic systems using

    papyrus, thypa and scirpus (CITA, 2002) were develpoes although no performance data

    is available. There does not appear to be any experience with reedbeds for wastewatertreatment in Costa Rica (Rosales, 2002).

    Despite at apparent potential and suitability of CWs for developing countries,

    particularly tropical ones, not all experiences have been satisfactory. Kantawanichkul et

    al (2003) describe CW systems for wastewater treatment in Thailand as being very

    promising but that to date most of them still have problems of either poor design of

    inappropriate operation. A similar situation has been described in Akumal, Mexico

    where an 81 m2 SSF wetland built in 1998 to serve 24 people is failing to perform in

    terms of pollutant removal whilst only receiving 60% of its design capacity (Whitney at

    al., 2003). The main design problems appear to be a poor choice of plants (many non-wetland species) and insufficient gap between the standing water level and SSF surface.

    The subsequent lack of any real oxygen transfer is felt to be the root cause o a lack of

    nitrification as well as an anaerobic (black) biofilm build up. Perhaps most disturbing was

    the finding that as a result of this systems there was a subsequent increase in the

    number of CWs in the area, most of which were not designed properly and as result are

    not functioning well. The authors conclude that without subsequent monitoring the

    systems are in fact giving people a false sense of protecting the regions ecosystems.

    They are also not representative of the technologys potential.

  • 7/24/2019 Bab i Sistem Pengelolaan Air Limbah

    20/20

    1. Definisi.wetland (bana)

    Ref: Stuart Dallas

    EPA (environmental Protection Agency)

    2. Kelebihan-kelebihan Bana di Indonesia

    3. Penelitian yang pernah dilakukan

    4. kesimpulan

    BAB III MANFAAT BANA BAGI PERKEMBANGAN SISTEM PENGOLAHAN AIR LIMBAH DI

    INDONESIA

    1. Rumah pribadi

    2. Real estate

    3. Taman kota

    BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

    Land treatment processes

    Five types land treatment systems are currently in use: slow-rate treatment or irrigation,

    rapid infiltration, overland flow, wetland application, and septic tank-leach field systems.

    Characteristics of these systems are summarized in Table 14.7. In all land treatment

    systems, soil microorganisms utilize nutrients in the wastewater. Percolation though the

    soil is an important aspect of the slow-rate process, rapid infiltration, and leach fields.

    Although land disposal has always been practiced, engineered treatment systems

    incorporating land as part of the process are quite recent innovations [14.27, 14.39, 14