bab i pengantar -...

27
1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Dayak Ngaju adalah kelompok penduduk pribumi (indigenous group) terbesar di Provinsi Kalimantan Tengah. Menurut data yang dihimpun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1 etnis Dayak Ngaju mendiami wilayah yang meliputi lima kabupaten dan kota serta tiga buah kabupaten administratif. Etnis tersebut bermukim di wilayah Kabupaten Kapuas (dan Kabupaten Pulang Pisau, akibat pemekaran tahun 2002), Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Barito Selatan (dan Kabupaten Barito Timur, pemekaran tahun 2002), Kabupaten Barito Utara, Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Murung Raya, Kabupaten Katingan, dan Kota Palangka Raya. Wilayah yang didiami etnis Dayak Ngaju tersebut luasnya mencapai dua pertiga wilayah keseluruhan Provinsi Kalimantan Tengah. Sementara sepertiga wilayah sisanya, yakni yang terdiri dari Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Sukamara, 1 Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Kalimantan Tengah (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984), 52.

Upload: trinhliem

Post on 07-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Dayak Ngaju adalah kelompok penduduk pribumi

(indigenous group) terbesar di Provinsi Kalimantan Tengah.

Menurut data yang dihimpun oleh Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan,1 etnis Dayak Ngaju mendiami wilayah yang meliputi

lima kabupaten dan kota serta tiga buah kabupaten administratif.

Etnis tersebut bermukim di wilayah Kabupaten Kapuas (dan

Kabupaten Pulang Pisau, akibat pemekaran tahun 2002),

Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Barito Selatan (dan

Kabupaten Barito Timur, pemekaran tahun 2002), Kabupaten

Barito Utara, Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Murung Raya,

Kabupaten Katingan, dan Kota Palangka Raya.

Wilayah yang didiami etnis Dayak Ngaju tersebut luasnya

mencapai dua pertiga wilayah keseluruhan Provinsi Kalimantan

Tengah. Sementara sepertiga wilayah sisanya, yakni yang terdiri

dari Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Sukamara,

                                                                                                                         1 Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Kalimantan Tengah

(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984), 52.

2

Kabupaten Lamandau, dan Kabupaten Seruyan, mayoritas didiami

oleh etnis Dayak Ot Danum dan Melayu.2

Sebagai etnis mayoritas di Kalimantan Tengah, kebudayaan

Dayak Ngaju memiliki peran utama dalam pembentukan identitas

kedaerahan provinsi tersebut. Kebudayaan Dayak Ngaju terkenal

kaya, salah satunya ialah produk budaya literasi berupa mitos

kosmogoni, atau mitos penciptaan alam semesta.

Orang Dayak Ngaju percaya bahwa mereka diciptakan oleh

Ranying Hatalla (Tuhan maskulin) dan Jata (Tuhan feminin) lewat

efek domino yang rumit dan panjang. Pemicu utamanya adalah

pertarungan burung tingang jantan dan burung tingang betina

yang merebutkan buah-buahan dan dedaunan dari Pohon Hayat

yang bernama Batang Garing. Pertarungan tersebut beruntun

hingga diturunkannya manusia pertama di bumi. Mitos kosmogoni

tersebut dirangkum ke dalam satu simbol berupa ragam hias

Batang Garing.

Ragam hias Batang Garing terdiri dari pohon Batang Garing

itu sendiri, sepasang burung tingang, sebuah belanga, beberapa

gong, dan beberapa tombak. Pohon Batang Garing sebagai unsur

pembentuk utama ragam hias tersebut memiliki rupa bentuk yang

berbeda dengan Pohon-pohon Hayat lain yang ada di banyak

                                                                                                                         2 Lihat Peta Suku Bangsa di Indonesia di Etnography Room,

Museum Nasional Indonesia, Jakarta.  

3

kebudayaan dunia. Rupa bentuk Batang Garing mengerucut kurus

ke atas, bukannya menyebar ke berbagai arah seperti kebanyakan

Pohon Hayat. Adanya pengaruh alam jasmani suasana hutan

Kalimantan terhadap rupa bentuk Batang Garing tersebut menjadi

pertanyaan menarik guna melacak proses eksistensi ragam hias

Batang Garing.

Sebagai simbol religius yang mewakili konsep fundamental

dalam dogma kepercayaan Dayak Ngaju, Batang Garing semakin

kehilangan makna aslinya. Sebagian besar masyarakat Dayak

Ngaju telah memilih meninggalkan kepercayaan leluhurnya

sehingga berimbas pada pemaknaan dan pemakaian simbol

religius tersebut. Kendati demikian, sekarang ini ragam hias

Batang Garing banyak muncul di kota-kota di Provinsi Kalimantan

Tengah, terutama kota yang mayoritas beretinis Dayak Ngaju.

Kontras antara pemakaian dan pemaknaan ragam hias tersebut

memerlukan jembatan berupa penelitian ilmiah seni-budaya yang

mencoba melacak proses eksistensi ragam hias Batang Garing.

B. Rumusan Masalah

Sebagai suatu produk budaya sebuah masyarakat yang

akrab dengan alam, besar kemungkinan bahwa ragam hias Batang

Garing merupakan hasil hubungan antara alam jasmani (baik

lingkungan alam maupun lingkungan sosial) dengan latar

4

belakang alam pikiran masyarakatnya (baik mitos maupun dogma

kepercayaan Kaharingan). Ragam hias ini kaya akan unsur alam

flora-fauna Kalimantan, dan juga kaya akan konsep sakral dari

mitos kosmogoni Dayak Ngaju. Sayangnya, kekayaan budaya

tersebut terancam karena semakin berkurangnya pemeluk

kepercayaan Kaharingan sehingga dapat beresiko hilangnya

makna dari simbol-simbol Kaharingan, terutama yang terdapat

dalam ragam hias Batang Garing. Berdasar latar belakang yang

demikian, maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai

berikut.

1. Bagaimana hubungan alam jasmani dan alam pikiran

Dayak Ngaju terhadap ragam hias Batang Garing?

2. Bagaimana masyarakat Dayak Ngaju masa kini

memaknai ragam hias Batang Garing?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berangkat dari rumusan masalah di depan, maka tujuan

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

latar belakang eksistensi Batang Garing, sehingga dapat

merekonstruksi jejaknya hingga menjadi karya seni.

2. Secara khusus, penelitian ini menjadi model pengkajian

multidisiplin terhadap suatu objek seni tradisi yang

5

dilatarbelakangi hubungan dialektis antara alam pikiran

orang Dayak Ngaju dengan alam jasmaninya.

Adapun penelitian ini bermanfaat untuk:

1. Mendokumentasikan karya seni tradisi masyarakat Dayak

Ngaju. Rendahnya pemahaman masyarakat lokal terhadap

Batang Garing, baik sebagai Pohon Hayat maupun ragam

hias, dapat semakin memperlebar jurang pengetahuan

bilamana pendokumentasiannya tidak segera dilaksanakan

dengan akurat.

2. Memberikan sumbangan pengetahuan analitis maupun

informatif bagi para pemerhati, peneliti, dan seniman yang

memilih fokus pada Dayak.

3. Menambah perbendaharaan literatur tentang kesenian

Dayak Ngaju di Indonesia.

D. Tinjauan Pustaka

Taya Paembonan, mantan Kepala Kantor Wilayah

Departemen Pendidikan Kebudayaan Kalimantan Tengah, pada

tahun 1993 menulis buku berjudul Batang Garing.3 Kendati

memakai Batang Garing sebagai judul, buku ini sedikit sekali

mengulasnya. Batang Garing di buku ini digunakan sebagai

padanan/sinonim dari identitas kultural masyarakat Dayak Ngaju.

                                                                                                                         3 Taya Paembonan, Batang Garing (Jakarta: Pustaka Jaya, 1993).

6

Informasi mengenai Batang Garing di dalam buku ini diambil dari

penjabaran Teras Mihing, Ph.D. tentang pemakaian Batang Garing

sebagai lambang Perpustakaan Wilayah Palangka Raya. Inti buku

ini terdiri dari dua bagian, yaitu mengenai rekaman peristiwa

selama tiga tahun menjabat sebagai Kepala Kantor di Kalimantan

Tengah, dan mengenai pengembangan pendidikan dan

kebudayaan Kalimantan Tengah.

Kris Budiman, seorang pendidik di Universitas Gadjah

Mada, pada tahun 2004 menulis buku berjudul Jejaring Tanda-

tanda: Strukturalisme dan Semiotik dalam Kritik Kebudayaan.4

Sesuai dengan judulnya, buku ini mengaplikasikan strukturalisme

dan semiotika pada kebudayaan sebagai kritik. Buku ini tidak

secara langsung membahas Batang Garing, hanya saja pada bab

kedua Budiman membahas mitos penciptaan Dayak Ngaju dengan

judul bab “Levi-Strauss di Antara Serpih-serpih Pohon Hayat:

Mitos Penciptaan Dayak Ngaju.” Budiman memakai mitos

penciptaan Dayak Ngaju sebagai objek kajian strukturalisme.

Hasilnya, Budiman berpendapat bahwa orang Dayak Ngaju dalam

kehidupan bermasyarakat memiliki kecenderungan ambivalensi

sesuai dengan pemahaman mereka terhadap Ketuhanan yang

dualis dalam mitos tersebut. Selebihnya Budiman mengakui

                                                                                                                         4 Kris Budiman, Jejaring Tanda-tanda: Strukturalisme dan Semiotik

dalam Kritik Kebudayaan (Magelang: Indonesia Tera, 2004).

7

bahwa kajian yang dilakukan sangat ringkas dan kurang

mendalam. Pengamatan Budiman ini diutamakan pada kajian

teks, namun tidak disertai penelitian etnografi dan dikaitkan

terhadap unsur kebudayaan lain seperti kesenian.

Y. Nathan Ilon, seorang damang (kepala adat) desa Basarang

Kabupaten Kapuas, pada tahun 1997 menulis naskah berjudul

“Tampung Buhul Warisan Purba” yang oleh pemerintah daerah

Kalimantan Tengah diterbitkan dengan judul panjang Belom

Bahandat: Ilustrasi dan Perwujudan Lambang Batang Garing dan

Dandang Tinggang Sebuah Konsepsi Memanusiakan Manusia dalam

Filsafat Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah.5 Bagian pertama

buku ini secara khusus mengangkat tema Batang Garing dan

mitos kosmogoni Dayak Ngaju. Bagian kedua buku ini

menjabarkan tentang hukum adat hasil Perjanjian Tumbang Anoi

1894. Uraian mengenai Batang Garing tampak dipaksakan agar

berkaitan dengan aspek Pancasila. Hal tersebut membuat buku ini

lemah secara akademis. Namun, berbagai hal yang dipaparkannya

selaku penatua adat mengenai warisan budaya Dayak Ngaju

sangat penting untuk dijadikan sumber data. Terdapat juga bagian

                                                                                                                         5 Y. Nathan Ilon, Belom Bahandat: Ilustrasi dan Perwujudan

Lambang Batang Garing dan Dandang Tinggang Sebuah Konsepsi Memanusiakan Manusia dalam Filsafat Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah (Palangka Raya: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Kalimantan Tengah, 1997).

8

yang menuturkan mitos kosmogoni dalam bentuk fragmen pendek

menggunakan bahasa Sangen (bahasa kuno Dayak Ngaju).

Hans Scharer adalah seorang misionaris sekaligus etnolog

Swiss yang menghabiskan tujuh tahun hidupnya (1932-1939)

tinggal bersama masyarakat Dayak Ngaju. Pada tahun 1946

Scharer menyelesaikan dan mempertahankan disertasinya kepada

Universiteit Leiden dengan judul “Die Gottesidee der Ngadju Dajak

in Süd-Borneo” yang kemudian diterbitkan oleh Koninklijk

Instituut Voor Taal, Land en Volkenkunde dengan judul Ngaju

Religion: The Conception of God Among A South Borneo People.6

Disertasi Scharer ini secara khusus membahas konsep Tuhan

menurut kepercayaan Kaharingan (Ngaju Religion). Dalam buku

ini, ia juga mengangkat mitos kosmogoni dengan pemaparan yang

terperinci. Ia juga melampirkan berbagai lukisan Dunia Atas dan

Dunia Bawah yang digambar oleh dukun-dukun Kaharingan, serta

mencatat tutur mitos kosmogoni Dayak Ngaju. Kelemahan

sekaligus kelebihan karya Scharer ini ialah isinya yang sangat

deskriptif dengan sedikit analisis. Oleh karenanya, buku ini sangat

baik sebagai sumber data informatif. Perbedaan disertasi Scharer

dengan penelitian ini terletak pada objek kajiannya yang lebih

sempit dan sifat analitisnya tidak hanya pada konsepsi di balik

                                                                                                                         6 Hans Scharer, Ngaju Religion The Conception of God Among A

South Borneo People (The Hague: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkun, Translation Series 6, 1963).

9

Batang Garing, namun juga pada bentuk estetisnya sebagai karya

seni.

Dari berbagai tinjauan pustaka di atas, ditarik kesimpulan

bahwa semua penelitian terdahulu itu belum sampai pada studi

yang dilakukan dalam penelitian ini, dan oleh karenanya tema

ragam hias Batang Garing ini dapat dipertanggungjawabkan

orisinalitasnya.

E. Landasan Teori

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan

berbagai pendekatan seperti pendekatan sosiologis, etnologis,

psikologis, dan fenomenologis. Penelitian ini juga melibatkan

berbagai teori dari disiplin ilmu seperti estetika, teologi, sastra,

dan antropologi. Oleh karenannya, penelitian ini termasuk dalam

penelitian multidisiplin. Penelitian ini dilandaskan pada teori

mitologi menurut Mircea Eliade dan simbolisme Ernst Cassirer.

Objek material penelitian ini adalah sebuah simbol religius

yang diterapkan lewat karya seni. Simbol religius berbeda dengan

simbol profan. Simbol religius adalah simbol sakral yang

merupakan ekspresi material dari hal-hal ilahiah yang berada

pada realitas transenden, dan dalam penelitian ini realitas

transenden itu dipercaya sebagai asal mula manusia Dayak Ngaju.

10

Objek formal utama penelitian ini adalah teori mitologi

menurut Mircea Eliade, seorang sejarahwan agama asal Rumania.

Eliade menggagas bahwa ekspresi material dari mitos adalah

bentuk pengulangan/peniruan oleh manusia terhadap apa yang

telah dilakukan Tuhan (supreme being) pertama kali, misalnya

penciptaan dunia dan perkawinan suci. Laku penciptaan dunia

oleh Tuhan di realitas transenden diejawantahkan manusia di

dunia nyata ke dalam bentuk tari-tarian, sementara perkawinan

suci ke dalam bentuk ritual pernikahan dengan segala tata

aturannya. Oleh karenanya, ekspresi material dari mitos tersebut

dikategorikan sebagai simbol religius.

Simbol religius, baik bahasa, gambar, suara, maupun gerak,

mengalami pengulangan terus menerus dari masa awal hingga

masa sekarang. Setiap pengulangan adalah upaya manusia untuk

melibatkan diri ke dalam realitas transeden sebagai cara agar

menjadi dekat dengan Tuhan sehingga terhindar dari murka-Nya.

Konsep yang demikian, oleh Eliade, disebut eternal return (gerak

kembali yang abadi).7

Kebanyakan simbol religius memiliki hubungan erat dengan

natural symbol karena asosiasinya. Contoh mengenai asosiasi itu

dapat dengan mudah ditemui pada setiap kepercayaan. Misalnya:

                                                                                                                         7  Mircea Eliade, The Myth of the Eternal Return: Cosmos and History

(Princeton: Princeton University Press, 2005).  

11

domba korban, air penyucian, api neraka, gunung suci, roti

ekaristi, atau pun pohon kehidupan. 8 Simbol-simbol itu mewakili

hal-hal dari realitas transenden, yang berada di luar dunia nyata

namun mengambil materi subjek dari dunia nyata.

Objek-objek dari realitas transenden itu, atau dalam istilah

Eliade disebut celestial archetype,9 tidak bisa dijangkau tanpa

melalui sistem perlambang. Sebagai contoh, orang Dayak Ngaju

percaya bahwa roh orang mati yang sudah melalui ritual Pesta

Tiwah akan menuju ke Lewu Tatau (kampung kaya raya) di langit

ketujuh. Gagasan tentang adanya kehidupan ideal di langit

ketujuh itu muncul karena sistem perlambang yang demikian:

pertama, di bumi terdapat kehidupan; kedua, karena kehidupan di

bumi itu dianggap belum ideal, sehingga orang Dayak Ngaju

percaya ada yang lebih ideal; ketiga, karena keidealan itu tidak

bisa ditemui di bumi maka mereka yakin pastilah terdapat pada

non-bumi, yakni surga. Artinya, surga dan bumi adalah bagian

dari sistem perlambang ‘kehidupan ideal di langit ketujuh.’ Tanpa

adanya bumi, maka konsep surga tidak akan bisa ada.

Dari sinilah pemikiran ‘realitas transenden ada karena

adanya realitas indrawi’ diterapkan pada penelitian terhadap

ragam hias Batang Garing. Sesuatu yang semula hanya                                                                                                                          

8 Raymond Firth, Symbols: Public and Private (New York: Cornell University Press, 1984), 49.

9 Eliade, 2005, 7.

12

merupakan pohon biasa di hutan Kalimantan, kemudian

mengalami pengolahan persepsi lewat penilaian dan pengalaman

estetis dan mitis yang sedemikian rupa sehingga menjadi pohon

sakral dalam sebuah mitos penciptaan, yang pada kalanya nanti

mengalami pengolahan lagi dan diekspresikan menjadi sebuah

karya seni.

Batang Garing, dengan demikian, merupakan hasil olah

estetis masyarakat Dayak Ngaju. Ia adalah wujud jasmaniah dari

persepsi masyarakat Dayak Ngaju mengenai keagungan (sublim)

dan keindahan. Ia merupakan pictoral representation dari konsep

Ketuhanan sekaligus diri orang Dayak Ngaju itu sendiri yang di

kurun terdahulu diambil dari pengalaman estetis dan mitis

terhadap pohon.

Pohon memiliki sejarah yang sangat panjang diawali oleh

spesies Silurian, sekitar 400 juta tahun yang lalu.10 Panjangnya

sejarah menjadi sebab pohon memiliki banyak hal yang bisa

dipelajari oleh manusia.

Dalam perjalanan sejarah umat manusia, pohon memainkan

banyak peranan vital dari yang fisik hingga metafisik. Pohon

dimanfaatkan buahnya serta kayunya oleh manusia. Di sisi lain,

pohon menimbulkan gagasan retrospektif tentang jagad kecil dan

                                                                                                                         10 Peter Thomas, Trees: Their Natural History (Cambridge:

Cambridge University Press, 2001), 3.

13

jagad besar dalam alam pikiran manusia yang terus mencari

jawaban tentang bagaimana suatu keadaan menjadi sesuatu yang

lain; bagaimana dunia yang kosong menjadi berpenghuni;

bagaimana situasi yang kacau menjadi teratur; bagaimana dengan

yang tidak dapat mati; bagaimana manusia yang semula hanya

sepasang menjadi beraneka ragam suku dan bangsa.11 Maka,

dibutuhkanlah mitos sebagai jawabannya.

Mitos berasal dari kata Yunani kunos mûthos, yang secara

harafiah diartikan sebagai perkataan, ucapan, pidato, atau

pengisahan.12 Bronislaw Malinowski mengartikannya lebih luas

dengan membedakan pengertian mitos dari dongeng dan legenda.

Legenda adalah cerita yang diyakini seolah-olah adalah kenyataan

sejarah. Si pencerita menggunakan legenda untuk mendukung

ritus-ritus yang dipercaya oleh komunitasnya. Sebaliknya,

dongeng mengisahkan peristiwa-peristiwa ajaib tanpa dikaitkan

dengan ritus, dan tidak dipercaya sungguh-sungguh. Mitos

merupakan pernyataan atas suatu kebenaran yang lebih tinggi

dan lebih penting tentang realitas asali, yang masih dimengerti

sebagai pola dan fondasi dari kehidupan primitif.13

                                                                                                                         11 Mariasusai Dhavamony, Phenomenology of Religion, terj.

Kelompok Studi Agama Driyarkara (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 149.

12 Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, Vol. 9, (New York: MacMillan Publishing Company, 1987), 261.

13 Dhavamony, 147.

14

Mitos berbeda dengan kisah-kisah lainnya karena

kelekatannya dengan sifat religius manusia. Eliade menjelaskan

bahwa mitos merupakan salah satu dari tiga bentuk ekspresi

religius manusia, yang berupa: (1) ucapan sakral (sacred speech),

(2) laku sakral (sacred acts), dan (3) tempat/objek sakral (sacred

places/object). Mitos ialah bagian dari ucapan sakral yang

kehadirannya selalu berdampingan dengan laku sakral (upacara

ritual) dan tempat/objek sakral (simbol).14

Sifat sakralnya, yang membedakan mitos dari cerita lain,

memisahkannya dari jangkauan penalaran profan. Emile

Durkheim, seorang sosiolog Perancis, menjelaskan bahwa

keterpisahan sakral dan profan adalah penting di dalam

kehidupan religius. Menurutnya, sesuatu yang sakral ialah segala

hal yang terlarang, dilindungi, dan dipisahkan, sedangkan sesuatu

yang profan ialah segala sesuatu yang pada praktiknya terlarang

dan harus dipisahkan dari yang profan.15

Mitos tidak hanya menceritakan terciptanya dunia ini, tetapi

juga peristiwa-peristiwa primordial yang menyebabkan manusia

menemukan dirinya ada seperti yang ia temukan sekarang ini:

bisa mati, bekerja keras untuk makan, beranak pinak, tersusun

dalam suatu struktur masyarakat, memiliki seperangkat norma,                                                                                                                          

14 Eliade (ed.), Vol. 9, 262.

15 Emile Durkheim, Les Formes Élémentaires de La Vie Religieuse (Paris: Librairie Félix Alcan, 1912), 56.

15

dan berbeda-beda suku bangsa serta bahasa. Mitos memiliki

peran yang amat besar dalam pembentukan cara berpikir

masyarakat di masanya hingga ratusan tahun berikutnya sampai

mitos berubah menjadi logos, ilmu pengetahuan yang sekarang.16

Menurut Eliade,17 seperti yang sudah dijelaskan di atas,

segala tindakan ritus yang dilakukan oleh masyarakat primitif

adalah sebuah pengulangan kosmogonik. Masyarakat primitif

percaya bahwa ‘bangunan’ yang paling sempurna adalah alam

semesta, dan dengan demikian ‘proses pembangunan’ paling

sempurna adalah penciptaan alam semesta. Guna meneguhkan

realitas dan pengabadian konstruksi, maka diadakanlah

pengulangan aksi ilahiah tentang konstruksi yang sempurna itu.

Tindakan ritus, seperti tarian sakral misalnya, merupakan

pengulangan kegiatan ilahi oleh manusia sebagai validasi

kebenaran realitas apa yang mereka percaya, dan kesemuanya itu

pasti diawali oleh sebuah tindakan penciptaan.

Eliade menekankan, 18 jika tindakan penciptaan adalah

tindakan membuat sesuatu dari ‘yang tidak berwujud’ menuju

‘berwujud’, jika penciptaan berlangsung dari pusat, dan jika segala

                                                                                                                         16 C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan terj. Dick Hartoko

(Yogyakarta: Kanisius-BPK Gunung Mulia, 1976), 55-56.

17 Eliade, 2005, 20.

18 Eliade, 2005,18.

16

sesuatu yang ‘ada’ dapat mencapai eksistensinya hanya pada

wilayah suci (surga), maka:

1. Setiap ciptaan akan mengulangi aksi kosmogonis yang

lebih tinggi (pre-eminent), yaitu penciptaan dunia.

2. Sehingga apapun yang dibuat oleh si ciptaan, fondasinya

berada di pusat dunia (karena, seperti yang diketahui,

bahwa penciptaan itu sendiri berlangsung dari pusat).

Masyarakat primitif berupaya sebisa mungkin mengulangi

apa yang telah dilakukan supreme being di permulaan waktu

karena banyak alasan, misalnya agar tidak terjadi bencana, atau

agar ladang mereka subur di musim panen berikutnya. Konsep

peniruan/pengulangan kembali tersebut adalah salah satu dasar

argumentasi Eliade yang disebut eternal return. Konsep eternal

return sedikit banyak didasari oleh kesadaran kuno tentang

‘menuju kesempurnaan’, tentang ‘menjadi kudus’, seperti yang

diungkapkan Plato dalam Theaetetus, “to become as like as possible

to God,” atau dalam kalimat St. Thomas Aquinas, “haec hominis est

perfectio, similitudo Dei (manusia berupaya menjadi sempurna,

seperti Tuhannya).”19

Dari pemahaman yang demikian, masyarakat kuno percaya

bahwa model dari segala sesuatu di dalam sosial mereka (institusi,

norma, ritual, hukum) telah diturunkan sejak permulaan waktu,

                                                                                                                         19 Eliade, 2005, 32.

17

yang berakibat semuanya itu dianggap berasal dari yang

superhuman dan transendental.20 Oleh karenanya, “karya seni

manusia merupakan tiruan karya seni ilahi” menjadi leitmotif

estetika kuno, bahwa keadaan yang indah itu sendiri (eudaimonia)

merupakan imitasi atas kondisi ilahi.21

Suatu karya seni sudah pasti ekspresif, akan tetapi seni

tidak mungkin menjadi ekspresif tanpa bersifat formatif. Secara

tradisional, keindahan bukanlah satu-satunya tujuan seni.

Bahkan dalam kenyataannya, keindahan hanya merupakan sifat

sekunder dan turunan. Seni telah bersifat formatif, jauh sebelum

ia indah.22

Menurut Ernst Cassirer,23 hampir semua teori estetika dapat

menerima pandangan bahwa keindahan bukanlah sifat bawaan

benda-benda, melainkan merupakan akibat relasinya dengan

kesadaran manusia. Keindahan tidak dapat semata-mata

dirumuskan berdasarkan kenyataan bahwa keindahan itu percipi,

dicerap. Keindahan haruslah didefinisikan berdasarkan aktivitas

kesadaran manusia. Rasa keindahan merupakan kepekaan

terhadap dinamika bentuk, dan dinamika bentuk itu tidak dapat

                                                                                                                         20 Eliade, 2005, xxviii.

21 Eliade, 2005, 32.

22 r 217.

23 Cassirer, 228-229.

18

ditangkap kecuali bila berhubungan dengan proses dinamis dalam

diri manusia (kesadaran) sebagai subjek pencerap keindahan.

Kendati demikian, keindahan – dalam hal ini karya seni –

tidak begitu saja menjadi bersifat subjektif. Seni berhak memberi

pandangan yang ganjil dan gila, sambil tetap mempertahankan

rasionalitasnya sendiri, yakni rasionalitas bentuk.24 Ini berarti

keindahan karya seni bersandar pada kesadaran manusia dengan

batasan rasionalitas bentuk.

Berangkat dari pemahaman itu, Cassirer memandang bahwa

suatu karya seni tidak bisa bebas dari kesadaran persepsi

manusia, baik sebagai pencerap maupun sebagai pencipta.

Dengan demikian, seni sudah pasti selalu berkaitan erat dengan

simbolisme.

Menurut Cassirer,25 simbolisme seni harus dimengerti

sebagai simbolisme imanen, bukan simbolisme transenden. Dalam

proses penciptaan seni, ini berarti seni bukan lagi sekadar imitasi

dari realitas. Dalam pencerapan seni, ini berarti seni bukan saja

transfer konsep dari tranformasi realitas. Seni adalah

penyingkapan realitas.26

                                                                                                                         24 Cassirer, 254.

25 Cassirer, 239.

26 Cassirer, 216.

19

Seni berada pada tingkatan yang lebih tinggi dari bahasa

dan ilmu pengetahuan. Bahasa dan ilmu pengetahuan berada

pada tataran “penyingkatan” realitas. Sementara seni adalah

intensifikasi “pendalaman” realitas.27 Seni bukanlah tiruan atau

jiplakan, melainkan manifestasi autentik dari kehidupan batin.28

Simbolisme dengan demikian menjadi landasan dasar dari

pandangan Cassirer terhadap estetika. Susanne K. Langer, 29

sebagai penerus pandangan Cassirer, membedakan simbol ke

dalam dua bentuk varian menurut resepsinya, yaitu (1) simbol

diskursif, yakni simbol yang tidak bersambungan, dan (2) simbol

presentasional, yakni simbol penghadir.

Simbol diskursif adalah simbol yang cara penangkapannya

menggunakan nalar (intelek). Bahasa adalah satu-satunya simbol

diskursif. Sebaliknya, simbol presentasional lebih membutuhkan

perasaan daripada nalar. Simbol presentasional dapat berdiri

sendiri sebagai simbol yang utuh, yang berbicara langsung kepada

indra manusia. Simbol seperti ini dapat dijumpai dalam kreasi

seni manusia.30 Simbol seni (ekspresi yang berbentuk) merupakan

simbol dalam pengertian yang khusus karena perumusannya

                                                                                                                         27 Cassirer, 217.

28 Cassirer, 225. 29  Susanne Knauth Langer, Philosophy in A New Key (New York:

New American Library of World Literature, 1976), 97.

30 Langer, 1976, 96.

20

bukan terletak pada maksud yang dikandungnya, melainkan pada

pemaknaannya.31

Berlandaskan teori-teori di atas, maka ragam hias Batang

Garing dipandang sebagai suatu karya seni sekaligus simbol

religius yang merepresentasikan berbagai hal dari realitas

transendental. Objek-objek realitas transenden itu diyakini berada

pada satu sistem perlambang dengan realitas duniawi masyarakat

Dayak Ngaju.

Sebagai simbol, ragam hias Batang Garing adalah

representasi dari realitas transenden dan duniawi. Dengan

demikian, ragam hias tersebut mewakili konsep yang luas dan

rumit.

F. Metode Penelitian

Sesuai dengan konteks permasalahannya, penelitian ini

menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan multidisiplin.

Menurut Sartono Kartodirjo, pendekatan multidisiplin adalah

pendekatan berbagai ilmu, baik ilmu sosial, politik, ekonomi,

maupun seni budaya.32 R.M. Soedarsono menegaskan bahwa

                                                                                                                         31 Susanne Knauth Langer, Problem of Arts: Ten Philosophical

Lectures. Edition 6 (New York: Charles Scribner Sons, 1957), 134.

32 Sartono Kartodirjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif (Jakarta: Gramedia, 1982), 51.

21

pendekatan multidisiplin dalam penelitian seni rupa bukan saja

sangat dimungkinkan, bahkan dianjurkan.33

1. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Menurut R.M. Soedarsono, apabila langkah awal telah

dilakukan, yang berarti seorang peneliti telah menemukan topik

penelitian yang orisinal, peneliti perlu melakukan langkah

berikutnya, yaitu membatasi topik tersebut.34

Suku Dayak Ngaju berasal dari satu ras yang sama dengan

suku Dayak Ot Danum, bahkan semua suku Dayak diperkirakan

berasal dari nenek moyang Dayak Ot Danum.35 Antara Dayak

Ngaju dan Ot Danum terdapat persamaan dalam beberapa unsur

kebudayaan, prinsip keturunan yang ambilinial, peralatan perang,

bahasa kuno, serta kepercayaan.36 Karakter kosmologi yang

hampir serupa, dalam pembagian Dunia Atas Dunia Bawah

beserta dewa-dewa penguasanya, juga ditemui kemiripannya

                                                                                                                         33 R.M. Soedarsono, Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan

Seni Rupa (Bandung: MSPI, 2001), 194.

34 Soedarsono, 127.

35 Sejarah Daerah Kalimantan Tengah (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978), 15.

36 Nila Riwut (ed.), Maneser Panatau Tatu Hiang: Menyelami Kekayaan Leluhur (Palangka Raya: Pusaka Lima, 2003),19.

22

antara Dayak Ngaju dengan Dayak Ot Danum dan Dayak

Manyaan.37

Berdasarkan adanya kesamaan asal, kepercayaan, dan

bahasa kuno tersebut, tidak menutup kemungkinan wujud Batang

Garing juga dijumpai di suku-suku Dayak lain selain Dayak Ngaju.

Perlu diketahui bahwa suku Dayak terbagi menjadi tujuh suku

besar dan terbagi lagi menjadi 405 suku kecil. Tujuh suku besar

tersebut yaitu Dayak Ngaju, Dayak Apu Kayan, Dayak Iban, Dayak

Klemantan, Dayak Murut, Dayak Punan, dan Dayak Ot Danum.38

Penelitian ini hanya difokuskan pada Batang Garing yang terdapat

pada Dayak Ngaju dalam geografis Provinsi Kalimantan Tengah.

Dikarenakan banyaknya jumlah sub-suku turunan Dayak

Ngaju (90 suku kekeluargaan) yang berbeda-beda intensitas

kontak dengan dunia luarnya, tentu saja sulit untuk diharapkan

bahwa adat istiadat mereka tetap terpelihara dan menunjukkan

homogenitas yang tinggi. Oleh karenanya cakupan penelitian ini

tidak dilakukan menyeluruh ke seluruh wilayah di Provinsi

Kalimantan Tengah, melainkan di Kota Palangka Raya, ibukota

Provinsi Kalimantan Tengah, dan untuk mendukung validasi

kesimpulan penelitian, maka pengumpulan data juga dilakukan di

                                                                                                                         37 H. G. Quaritch Wales, "The Cosmological Aspect of Indonesian

Religion", Journal of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland, Cambridge University Press, No. 3/4 (Oct., 1959), 101.

38 Nila Riwut (ed.), 63.

23

tiga ibukota kabupaten dari 13 kabupaten yang ada di Provinsi

Kalimantan Tengah. Tiga kota tersebut ialah Kuala Kapuas,

ibukota kabupaten Kapuas; Kasongan, ibukota Kabupaten

Katingan; dan Pulang Pisau, ibukota Kabupaten Pulang Pisau.

2. Sumber Data

Sumber data penelitian ini dibedakan menjadi dua jenis,

yaitu sumber pustaka dan data lapangan. Sumber yang

dikategorikan sebagai sumber pustaka ialah literatur yang

mendokumentasikan sastra lisan mitos kosmogoni Dayak Ngaju

yang melibatkan deksripsi Batang Garing di dalamnya. Sumber-

sumber pustaka tersebut, diurutkan menurut tahun terbit, antara

lain sebagai berikut.

a. Ngaju Religion: The Conception of God Among A South

Borneo People karya Hans Scharer terbitan Koninklijk

Instituut Voor Taal, Land en Volkenkunde, 1963.

b. Buku Panaturan, kitab suci Hindu Kaharingan yang

memuat teks suci tentang penciptaan alam semesta.

Terbitan tahun 1996 oleh Lembaga Pengembangan

Tandak dan Upacara Keagamaan Umat Kaharingan

Provinsi Kalimantan Tengah.

24

c. Belom Bahandat karya Y. Nathan Ilon terbitan

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi

Kalimantan Tengah, 1997.

d. Maneser Panatau Tatu Hiang, buku yang disunting oleh

Nila Riwut mengenai adat istiadat dan budaya bangsa

Dayak merupakan hasil pengayaan dari catatan etnografi

Tjilik Riwut dari bukunya Kalimantan Memanggil,

Kalimantan Membangun. Diterbitkan pertama kali oleh

Pusaka Lima dengan dukungan Jaringan Pusat Informasi

Kalimantan dan Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah

pada tahun 2003.

e. Sejarah Kalimantan Tengah, buku yang diterbitkan pada

tahun 2006 atas kerjasama Lembaga Penelitian

Universitas Palangka Raya dengan Pemerintah Provinsi

Kalimantan Tengah.

Sumber berikutnya ialah sumber yang didapat dari

pengumpulan data lapangan (November 2013 – Februari 2014).

Data tersebut berupa: (1) dokumentasi foto segala sesuatu yang

berkaitan dengan Batang Garing di Palangka Raya dan di tiga kota

lainnya; (2) wawancara masyarakat Dayak Ngaju, tokoh

masyarakat Kaharingan, serta stakeholders terkait.

25

3. Teknik Pengumpulan Data

Data yang berupa sumber pustaka dikumpulkan dengan

metode kepustakaan guna melacak segala hal yang memiliki

kaitan dengan Batang Garing dan juga masyarakat Dayak Ngaju

sebagai produsennya. Selain sumber pustaka utama, data literatur

berupa catatan etnografi, peer reviewed publication, penelitian,

buku, serta jurnal yang dikumpulkan dari berbagai perpustakaan

di Yogyakarta, Jakarta, dan Kalimantan Tengah.

Data lapangan berupa dokumentasi foto dihimpun melalui

pengamatan terhadap setiap bangunan rumah, pertokoan,

maupun perkantoran yang terdapat di ibukota provinsi serta tiga

ibukota kabupaten yang memakai ragam hias Batang Garing.

Data lapangan berupa wawancara dikumpulkan dengan

teknik wawancara mendalam (indepth interview). Wawancara ini

ditujukan kepada masyarakat Dayak Ngaju untuk memperoleh

data mengenai pandangan mereka tentang Batang Garing secara

spesifik. Data yang diperoleh dari wawancara ialah pendapat

mengenai mereka peran Batang Garing di mata masyarakat Dayak

Ngaju masa kini.

4. Analisis Data

Sebagaimana kebanyakan penelitian kualitatif dikerjakan,

analisis data dilakukan melalui proses reduksi data, penyajian

26

data dan penarikan kesimpulan.39 Data yang telah dikumpulkan

berupa foto-foto ragam hias Batang Garing yang terdapat pada

Kota Palangka Raya, Kota Kasongan, Kota Kuala Kapuas, dan Kota

Pulang Pisau. Selain itu juga terdapat data wawancara beberapa

tokoh masyarakat mengenai makna Batang Garing bagi

masyarakat Dayak Ngaju masa kini. Data yang telah

dikumpulkan, direduksi dan disaji, mulai dari sumber pustaka

utama, rekaman wawancara, hingga foto-foto dokumentasi

selanjutnya dianalisis secara kualitatif berlandaskan teori-teori

yang telah dipaparkan di depan dalam bentuk susunan narasi

yang diperluas agar mendapatkan penggambaran yang jelas dari

hasil penelitian.

G. Sistematika Penyajian

Untuk memberikan gambaran utuh, penelitian ini disajikan

dalam sistematika penyajian seperti berikut.

Bab I merupakan pengantar penelitian yang memuat latar

belakang ketertarikan meneliti Batang Garing, rumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori

serta metodologi penelitian.

                                                                                                                         39 Matthew B. Milles & A. Michael Huberman, Analisis Data

Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-metode Baru, terj. Tjejep Rohendi Rohidi (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2009), 15-21.

27

Bab II mengulas keadaan sosio-historis masyarakat Dayak

Ngaju yang melahirkan Batang Garing sebagai produk budaya

mereka. Bab ini juga memuat mitos kosmogoni Dayak Ngaju dan

peranan Batang Garing dalam mitos itu.

Bab III membahas Batang Garing secara holistik, yakni

pertama mengulas Batang Garing sebagai pohon hingga menjadi

flora mistis. Kedua mengulas Batang Garing sebagai ragam hias

dengan merinci setiap unsur pembentuknya. Ketiga melihat ragam

hias Batang Garing sebagai simbol identitas masyarakat Dayak

Ngaju.

Penelitian ini ditutup dengan Bab IV yang menyimpulkan

keseluruhan pembahasan dari rumusan masalah disertai dengan

saran dari peneliti.