bab i pengantar 1.1 latar belakang...

21
17 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya seni, termasuk sastra, adalah model yang diteladani, yang proses penafsirannya bersifat bolak-balik, dwiarah, yaitu antara kenyataan dan rekaan (Teeuw dalam Ratna, 2009b:6). Oleh karena itu, hasil karya sastra dari seorang sastrawan haruslah mampu mendidik dan memberikan contoh yang baik bagi masyarakat. Lenin (dalam Luxemburg, 1992:25) mengungkapkan bahwa sastra dapat dan harus turut membangun masyarakat, karena sastra berperan sebagai guru dan menjalankan fungsi didaktik. Karya sastra sebagai suatu kegiatan kreatif dan sebuah karya seni memiliki fungsi sosial yang tidak sepenuhnya pribadi (Wellek dan Warren, 1995:109), apalagi karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat (Damono, 1971:1). Sastra menyajikan kehidupan, sementara kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, meskipun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia (Wellek dan Warren, 1995:109). Oleh karena itu, karya sastra bukan semata-mata gejala individual, melainkan juga gejala sosial (Ratna, 2009b:11). Sebuah cerita yang mengambil latar masyarakat tertentu di suatu tempat dan suatu masa, harus mampu memberikan suatu pengetahuan khusus tentang masyarakat itu, yaitu pengetahuan tentang kemasyarakatan lengkap dengan

Upload: truongdieu

Post on 07-Apr-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68436/potongan/S1-2014...ideologi pengarang tersebut, penyusun memakai teori hegemoni Gramsci dalam

17

BAB I

PENGANTAR

1.1 Latar Belakang Penelitian

Karya seni, termasuk sastra, adalah model yang diteladani, yang proses

penafsirannya bersifat bolak-balik, dwiarah, yaitu antara kenyataan dan rekaan

(Teeuw dalam Ratna, 2009b:6). Oleh karena itu, hasil karya sastra dari seorang

sastrawan haruslah mampu mendidik dan memberikan contoh yang baik bagi

masyarakat. Lenin (dalam Luxemburg, 1992:25) mengungkapkan bahwa sastra

dapat dan harus turut membangun masyarakat, karena sastra berperan sebagai

guru dan menjalankan fungsi didaktik.

Karya sastra sebagai suatu kegiatan kreatif dan sebuah karya seni memiliki

fungsi sosial yang tidak sepenuhnya pribadi (Wellek dan Warren, 1995:109),

apalagi karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan

dimanfaatkan oleh masyarakat (Damono, 1971:1). Sastra menyajikan kehidupan,

sementara kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, meskipun karya

sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia (Wellek dan Warren,

1995:109). Oleh karena itu, karya sastra bukan semata-mata gejala individual,

melainkan juga gejala sosial (Ratna, 2009b:11).

Sebuah cerita yang mengambil latar masyarakat tertentu di suatu tempat dan

suatu masa, harus mampu memberikan suatu pengetahuan khusus tentang

masyarakat itu, yaitu pengetahuan tentang kemasyarakatan lengkap dengan

Page 2: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68436/potongan/S1-2014...ideologi pengarang tersebut, penyusun memakai teori hegemoni Gramsci dalam

18

permasalahan, perwatakan, sikap hidup, ambisi, dan sebagainya (Sumardjo,

1981:37). Dengan cara tersebut, suatu masyarakat dapat mengetahui dan

memahami masyarakat lain yang hidup di tempat dan waktu yang berbeda.

Sebagai bentuk karya seni, sastra bukanlah produk dirinya sendiri, melainkan

produk sejarah (Salamini, 2004:179). Sastra merupakan “kontruksi sosial dan

ideologi“, dengan intervensi sastra sebagai bentuk intervensi ke dalam kekuasaan

merupakan suatu hal yang mungkin (Wolff dalam Budiman, 1995:202).

Sastrawan sebagai bagian dari masyarakat, memiliki ideologinya sendiri,

sehingga dalam karya sastra dapat terlihat adanya pergelutan ideologi pengarang

dengan ideologi-ideologi yang ada dalam masyarakat, seolah-olah karya sastra

merupakan medan pertarungan ideologi. Pertarungan ideologi itulah yang tampak

pada novel Jalan Menikungkarya Umar Kayam.

Umar Kayam adalah seorang budayawan, akademisi, sastrawan, sekaligus

salah satu pengamat sosial Indonesia yang terkenal. Meraih gelar doktornya di

Cornell University, Ithaca, AS pada 1965, ia adalah seorang Guru Besar di

Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta.

Sebagai budayawan, Umar Kayam dikenal dekat dengan rakyat.

Kepeduliannya pada kehidupan rakyat kecil ia tuangkan pada kolom mingguan di

harian Kedaulatan Rakyat yang mengambil nilai-nilai dari budaya Jawa.

Umar Kayam yang lahir pada tahun 1932 ini menghasilkan banyak cerpen.

Cerpen-cerpen Umar Kayam dikenal tak pernah hanya memiliki satu arti, ia

Page 3: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68436/potongan/S1-2014...ideologi pengarang tersebut, penyusun memakai teori hegemoni Gramsci dalam

19

hanya sekadar memberikan gambaran yang penuh suasana tertentu (Rahmanto,

2004:17). Sindiran gaya priayi dengan wahana cerita nyata ataupun tak nyata,

selalu dituturkannya dengan apik sehingga pembaca menjadi terhanyut

(Rahmanto, 2004:162). Bahkan cerpen-cerpen awal Umar Kayam menyuguhkan

suasana batin demikian kuatnya sehingga ia dapat bercerita kepada pembaca

tanpa bantuan pengarang untuk bercerita (Kleden dalam Salam, 1998:109—110).

Selain cerpen-cerpennya yang terangkum di kumpulan cerpen Seribu Kunang-

Kunang di Manhattan (1972), Sri Sumarah dan Cerita Pendek Lainnya (1986),

Parta Krama (1997), dan Lebaran di Karet, di Karet, Umar Kayam juga menulis

buku Seni, Tradisi, dan Masyarakat (1981), Semangat Indonesia (1985), Mangan

Ora Mangan Asal Kumpul (1990), Sugih Tanpa Banda (1994), serta novel Para

Priyayi (1992) dan Jalan Menikung (1999).

Sama seperti komentar Soemanto (1992:311—313) tentang Para Priyayi, alur

Jalan Menikung tetap enak diikuti meskipun penceritaannya berpindah-pindah

dari satu tokoh ke tokoh yang lain. Namun dengan latar yang berbeda dengan

Para Priyayi, maka pertarungan ideologi yang ada dalam Jalan Menikung juga

berbeda dengan pertarungan ideologi yang ada dalam Para Priyayi.Para Priyayi

menceritakan tiga generasi keluarga Sastrodarsono pada zaman kolonialisme

Belanda hingga awal masa Orde Baru, sementara Jalan Menikungyang

merupakan sekuel dari Para Priyayi menceritakan kehidupan keturunan keluarga

Sastrodarsono generasi ketiga dan keempat pada akhir abad ke-20. Perubahan

zaman yang dihadapi oleh keluarga Sastrodarsono dalam Jalan

Page 4: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68436/potongan/S1-2014...ideologi pengarang tersebut, penyusun memakai teori hegemoni Gramsci dalam

20

Menikungmenggambarkan perubahan zaman yang dialami oleh masyarakat

Indonesia. JikaPara Priyayi bercerita tentang cara keluarga Sastrodarsono sebagai

keluarga priayi yang didominasi oleh ideologi tradisionalisme menghadapi

ideologi kolonialismedan komunisme, Jalan Menikung bercerita tentang cara

keluarga Sastrodarsono dalam menghadapi ideologi liberalisme, kapitalisme,

materialisme,dan rasialisme yang sekarang sangat mempengaruhi kehidupan

masyarakat Indonesia.

Dari pembacaan intensif, novel Jalan Menikung menunjukkan indikasi adanya

ideologi, formasi ideologi, konsensus, dan ideologi pengarang. Oleh karena

adanya dugaan akan keberadaan ideologi, formasi ideologi,konsensus beserta

ideologi pengarang tersebut, penyusun memakai teori hegemoni Gramsci dalam

penelitian ini.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka dapat dirumuskan

masalah-masalah berikut, yaitu (1) ideologi dan formasi ideologi dalam novel Jalan

Menikung dan (2) konsensusdan ideologi pengarang Jalan Menikung.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai dua tujuan pokok, yaitu tujuan teoretis dan tujuan

praktis.

Tujuan teoretis dari penelitian ini adalah menerapkan teori hegemoni Gramsci

Page 5: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68436/potongan/S1-2014...ideologi pengarang tersebut, penyusun memakai teori hegemoni Gramsci dalam

21

pada novel Jalan Menikung, dengan mencari ideologi, formasi ideologi, dan

konsensus dalam Jalan Menikung,serta ideologi Umar Kayam sebagai pengarang

Jalan Menikung.

Sementara itu, tujuan praktis dari penelitian ini adalah memberikan

sumbangan pemikiran mengenai pertarungan ideologi yang ada pada masyarakat saat

novel Jalan Menikung karya Umar Kayam ditulissehingga novel itu lebih mudah

diapresiasi oleh masyarakat sekarang.

1.4 Tinjauan Pustaka

Sepengetahuan penyusun, ada beberapa peneliti yang menggunakan novel

Jalan Menikung sebagai objek penelitian. Salah satunya adalah Wijaya Heru Santosa

(2004) yang melakukan penelitian berjudul “Ringkasan Peran dan Perlakuan Tokoh

Perempuan dalam Novel Tahun 2000-an”. Wijaya meneliti gambaran peran publik

dan produktif, karakter, pandangan hidup, dan perlakuan pada tokoh perempuan

dalam novel Saman karya Ayu Utami, Larung karya Ayu Utami, Brojo dan Projo

karya Arswendo Atmowiloto, Ca Bau Kan karya Remy Silado, Supernova karya

Dewi Lestari, Perempuan Jogja karya Achmad Munif, Ny. Talis (Kisah mengenai

Mudras) karya Budi Darma, serta Jalan Menikung karya Umar Kayam.

Jalan Menikung juga merupakan salah satu karya Umar Kayam yang dibahas

B. Rahmanto dalam bukunya, Umar Kayam: Karya dan Dunianya (2004), selain

empat karya Umar Kayam yang lain, yaitu Sri Sumarah dan Cerita Pendek Lainnya,

Para Priyayi, Parta Krama dan Lebaran di Karet, di Karet. Di buku tersebut, selain

Page 6: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68436/potongan/S1-2014...ideologi pengarang tersebut, penyusun memakai teori hegemoni Gramsci dalam

22

menceritakan Jalan Menikung secara ringkas, Rahmanto menekankan perbedaan-

perbedaan antara Jalan Menikung dan Para Priyayi, prekuelnya.

Selanjutnya, Nurhadi dan Dian Swandayani (2005), menyusun laporan

penelitian berjudul “Konflik Antar-kramadangsa dalam Novel-novel Indonesia

Mutakhir berlatar Etnis Jawa: Kajian Filsafat Suryomentaram”. Dalam penelitian

tersebut, mereka menerapkan teori filsafat Suryomentaram pada karya sastra

Indonesia mutakhir vang berlatar belakang etnis Jawa, yaitu Pasar karya

Kuntowijoyo dan Jalan Menikung karya Umar Kayam. Selain mendeskripsikan

strukturnya, mereka juga mendeskripsikan bentuk-bentuk konflik antar-kramadangsa

tokoh-tokohnya.

Wajiran (2008) menyusun laporan penelitian berjudul “Refleksi Sosio Budaya

Masyarakat Inggris dan Indonesia yang Terdapat dalam Man and Superman dan

Jalan Menikung”. Dalam laporan tersebut, Wajiran menjelaskan persamaan antara

novel Man and Superman dan Jalan Menikung, perbedaan keadaan sosial politik

yang mempengaruhi Man and Superman dan Jalan Menikung, serta latar belakang

keadaan sosial politik dari masing-masing karya sastra tersebut.

Nugraheni Eko Wardani (2010), menulis tesis berjudul “Makna Totalitas

Novel Para Priyayi dan Novel Jalan Menikung Karya Umar Kayam Pendekatan

Strukturalisme Genetik Lucien Goldmann”. Dalam tesisnya tersebut, Nugraheni

meneliti budaya priayi yang terdapat pada novel Para Priyayi dan Jalan Menikung

karya Umar Kayam dan membandingkannya dengan kitab Tripama dan Wedhatama

karya Mangkunegara IV, kitab Wulangreh karya Pakubuwono IV, dan kitab

Page 7: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68436/potongan/S1-2014...ideologi pengarang tersebut, penyusun memakai teori hegemoni Gramsci dalam

23

Candrarini yang merupakan karya bersama Pakubuwono IX dan Raden Mas Panji

Esmubrata. Nugraheni menyimpulkan bahwa melalui kedua novel tersebut Umar

Kayam mengkritik budaya priayi yang tidak sesuai dengan esensi makna priayi yang

luhur. Banyak nilai-nilai luhur priayi yang menyimpang karena kaum priayi lebih

mengutamakan status sosial, gaya hidup, dan hal-hal yang bersifat materi.

Daru Awalludin Janarisma (2011) juga menjadikan novel Jalan Menikung

sebagai objek penelitiannya yang berjudul “Analisis Penokohan dalam Novel Jalan

Menikung Para Priyayi 2”. Dalam penelitiannya itu, Daru menyebutkan beberapa

tokoh yang ada di dalam novel Jalan Menikung serta memberikan penjelasan singkat

tentang sifat-sifat tokoh-tokoh tersebut.

Penelitian lain yang dilakukan terhadap novel Jalan Menikung adalah skripsi

karya Ery Wardana (2011) yang berjudul “Tranformasi Nilai-Nilai Budaya Jawa

dalam Novel Jalan Menikung: Para Priyayi 2 karya Umar Kayam”. Dalam tulisannya,

Ery menganalisis transformasi nilai-nilai budaya jawa yang dilakukan oleh tokoh

utamanya, Eko, serta menyebutkan sebab-sebab terjadinya transformasi tersebut.

Berbeda dengan penelitian-penelitian di atas, pada penelitian ini teori yang

digunakan adalah teori hegemoni Gramsci. Keistimewaan penelitian ini terletak pada

pembahasantentang pertarungan ideologi yang ada dalam novel Jalan Menikung. Dari

pembahasan tersebut penyusun akanmenentukan ideologi pengarang Jalan Menikung.

Page 8: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68436/potongan/S1-2014...ideologi pengarang tersebut, penyusun memakai teori hegemoni Gramsci dalam

24

1.5 Landasan Teori

Sosiologi sastra merupakan pendekatan sastra yang mempertimbangkan segi-

segi kemasyarakatan (Damono, 2002:2). Secara tidak langsung sosiologi sastra

berperan dalam mengamati ilmu sastra pada tingkat masyarakatnya, sesuai dengan

apa yang ditulis Escarpit (2005:14). Sehubungan dengan hal itu, semua hal yang

menyiratkan adanya pengarang, karya, dan pembaca, sangat diperhatikan dalam

sosiologi sastra, karena sosiologi sastra adalah hubungan dwiarah (dialektik) antara

sastra dan masyarakat (Ratna, 2009b:3).

Analisis sosiologi sastra tidak bermaksud mereduksi hakikat rekaan ke dalam

fakta dan tidak bermaksud untuk melegitimasikan hakikat fakta ke dalam dunia

imajinasi (Ratna, 2009b:11). Tujuan sosiologi sastra adalah meningkatkan

pemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan masyarakat dan

menjelaskan bahwa cerita rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan. Karya sastra

dikonstruksikan secara imajinatif, tetapi kerangka imajinatif tidak bisa dipahami di

luar kerangka empirisnya.

Umar Junus (1986:1) menyimpulkan kalau ada tiga perspektif dalam sosiologi

sastra, yaitu karya sastra sebagai dokumen sosiobudaya yang mencerminkan

zamannya, karya sastra dalam konteks sosial penulis, dan karya sastra dalam konteks

sosial pembaca atau karya sastra yang memperhatikan hubungan pembaca dan

penulis sebagai penikmat sastra.

Wellek dan Warren (1995:111—112) juga membuat klasifikasi serupa

mengenai sosiologi sastra, yaitu:

Page 9: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68436/potongan/S1-2014...ideologi pengarang tersebut, penyusun memakai teori hegemoni Gramsci dalam

25

1. Sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan

segala hal yang berhubungan dengan pengarang sebagai penghasil karya sastra.

2. Sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan isi karya sastra itu sendiri. Pokok

kajiannya adalah apa yang tersirat dan apa yang menjadi tujuan dalam karya sastra.

Dalam hal ini, sastra tidak dipahami sebagai cerminan kehidupan, reproduksi, dan

sebuah dokumen sosial, tetapi sastra dijelaskan dengan menjelaskan hubungan potret

yang muncul dalam karya sastra dengan kenyataan sosial.

3. Sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra

terhadap masyarakat.

Adakalanya suatu karya sastra memuat banyak peristiwa sejarah. Gramsci

(dalam Salamini, 2004:179) menyebut karya sastra sebagai produk sejarah, bukan

produk dari dirinya sendiri. Ketika karya sastra sebagai salah satu bentuk kesenian

baru berkembang, bersamanya lahir pula hubungan-hubungan sosial yang baru.

Antonio Gramsci adalah seorang Marxis. Teori hegemoni Gramsci merupakan

penyempurnaan dari teori kelas Marx yang belum berhasil merumuskan teori politik

yang memadai (Hoare, 2000:vi, Sugiono, 1999:20). Dengan demikian, untuk

memahami teori hegemoni Gramsci, teori tersebut perlu diletakkan dalam kerangka

Marxisme supaya menghasilkan rangkaian pemahaman yang lebih teratur.

Menurut John Hall (dalam Faruk, 1999:5), dibandingkan teori-teori sosial

yang lain, teori sosial Marxis menduduki posisi yang dominan dalam segala diskusi

mengenai sosiologi sastra. Sekurangnya terdapat tiga hal yang menyebabkan hal itu.

Pertama, Marx sendiri pada mulanya adalah seorang sastrawan sehingga teorinya

Page 10: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68436/potongan/S1-2014...ideologi pengarang tersebut, penyusun memakai teori hegemoni Gramsci dalam

26

tidak hanya memberikan perhatian pada kesusastraan, tetapi bahkan dipengaruhi oleh

pandangan dunia romantik dalam kesusastraan (Wessel dalam Faruk, 1999:5). Kedua,

teori sosial Marx tidak hanya merupakan teori yang netral, melainkan mengandung

pula ideologi yang pencapaiannya terus-menerus diusahakan oleh para penganutnya.

Ketiga, di dalam teori sosial Marx terbangun suatu totalitas kehidupan sosial secara

integral dan sistematik yang di dalamnya kesusastraan ditempatkan sebagai salah satu

lembaga sosial yang tidak berbeda dari lembaga-lembaga sosial lainnya seperti ilmu

pengetahuan, agama, politik, dan sebagainya, sebab semuanya tergolong dalam satu

kategori sosial, yaitu sebagai aktivitas mental yang dipertentangkan dengan aktivitas

material manusia.

Marx membagi masyarakat menjadi infrastruktur (dasar/basic ekonomi) dan

superstruktur yang dibangun di atasnya (Faruk, 1999:6). Infrastruktur tersebut terdiri

dari alat-alat, cara-cara, dan hubungan produksi. Alat-alat produksi dapat disamakan

dengan bahan-bahan yang tersedia bagi proses produksi; cara-cara produksi dengan

teknik-teknik yang ada; dan hubungan produksi dengan tipe pemilikan yang merata

bersama-sama dengan pembagian sosial antara pemilik alat-alat produksi dengan

pekerja yang muncul bersamaan dengannya dalam suatu masyarakat kelas. Dapat

dikatakan bahwa infrastruktur adalah bidang produksi kehidupan material.

Adapun superstruktur terdiri dari dua unsur, yaitu tatanan institusional dan

tataran kesadaran kolektif. Tatanan institusional adalah segala macam lembaga yang

mengatur kehidupan masyarakat di luar bidang produksi, terutama sistem hukum dan

negara. Tatanan kesadaran kolektif mencakup segala sistem kepercayaan, norma, dan

Page 11: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68436/potongan/S1-2014...ideologi pengarang tersebut, penyusun memakai teori hegemoni Gramsci dalam

27

nilai yang memberi kerangka penelitian, makna, dan orientasi spiritual seperti

pandangan dunia, agama, filsafat, moralitas, nilai budaya, dan sebagainya (Suseno,

2001:135).

Dalam teori kelas Marx, terdapat unsur-unsur penting. Pertama, besarnya

peran struktural dibandingkan dengan segi kesadaran dan moralitas. Kedua,

perbedaan kepentingan antara kelas atas dan kelas bawah yang menyebabkan sikap

yang berbeda terhadap perubahan sosial, kelas atas (dominant) cenderung bersikap

konservatif karena berkepentingan mempertahankan status quo sehingga menentang

segala perubahan dalam struktur kekuasaan, sedangkan kelas bawah (subaltern)

bersikap progresif dan revolusioner. Ketiga, kemajuan dalam masyarakat hanya dapat

tercapai melalui revolusi (Suseno, 2001:119).

Dalam hal kesusastraan, Marx sendiri sesungguhnya tidak menerapkan

teorinya secara ketat. Ia cenderung terombang-ambing di antara dua kecenderungan

yang bertentangan. Di satu pihak terdapat kecenderungannya untuk menempatkan

kesusastraan sebagai gejala kedua belaka, gejala yang ditentukan oleh infrastruktur

sesuai dengan teorinya, tetapi di pihak lain terlihat pula kecenderungannya untuk

memberikan posisi yang relatif otonom pada kesusastraan, yaitu sebagai gejala

pertama yang menentukan dirinya sendiri (Swingewood dan Hall dalam Faruk,

1999:9).

Bisa dikatakan bahwa Gramsci (Sugiono, 1999:20) sudah bercerai dari tradisi

Marxian, atau setidak-tidaknya, dengan yang ortodoks/klasik. Meskipun demikian,

Gramsci tidak bisa dikatakan membalik model basis superstruktur tradisional Marxis.

Page 12: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68436/potongan/S1-2014...ideologi pengarang tersebut, penyusun memakai teori hegemoni Gramsci dalam

28

Gramsci merevisi konsep Marx yang ortodoks tersebut dengan menganggap dunia

gagasan, kebudayaan, dan superstruktur bukan hanya sebagai refleksi atau ekspresi

dari struktur kelas ekonomik atau infrastruktur yang bersifat material, melainkan

sebagai sebuah kekuatan material tersendiri, yang berfungsi mengorganisasi massa

manusia, dan menciptakan suatu tanah lapang yang di atasnya manusia bergerak

(Faruk, 1999:61—62). Teori hegemoni Gramsci dibangun di atas premis yang

menyatakan pentingnya ide dan tidak cukupnya kekuatan fisik belaka dalam kontrol

sosial politik (Sugiono, 1999:31).

Bagi Gramsci, hubungan antara yang ideal dan yang material berlangsung

secara interaktif (saling tergantung). Kekuatan material merupakan isi, sedangkan

ideologi-ideologi merupakan bentuk. Kekuatan material tidak akan dapat dipahami

secara historis tanpa bentuk dan ideologi hanya akan menjadi khayalan individual

tanpa kekuatan material (Bennet dalam Faruk, 1999:62). Oleh karena itu, persoalan

kultural dan formasi ideologi menjadi penting bagi Gramsci karena di dalamnya

berlangsung proses yang rumit. Gagasan-gagasan dan opini-opini tidak lahir begitu

saja dari otak individual, melainkan mempunyai pusat formasi, irradiasi, penyebaran,

dan persuasi. Kemampuan gagasan/opini yang menguasai seluruh lapisan masyarakat

merupakan puncaknya. Puncak tersebutlah yang oleh Gramsci disebut sebagai

hegemoni (Faruk,1999:62).

Gramsci meletakkan pengertian hegemoni dalam konteks pelaksanaan politik

pada dua arti. Pertama, dalam arti pelaksanaan politik yang melibatkan tindak

kekerasan, penindasan dengan menggunakan senjata, penyiksaan fisik, dan intimidasi

Page 13: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68436/potongan/S1-2014...ideologi pengarang tersebut, penyusun memakai teori hegemoni Gramsci dalam

29

tangan besi. Arti yang kedua, pelaksanaan politik yang tampil dalam upaya

penguasaan intelektual dan moral. Dalam arti kedua ini, penguasaan melibatkan cara-

cara kultural dan intelektual yang canggih untuk melumpuhkan kesadaran kritis

rakyat yang dikuasai (Takwin, 2003:85).

Secara literal hegemoni berarti “kepemimpinan”. Pengertian hegemoni untuk

pertama kali diterapkan dalam sejarah Yunani Kuno (eugemonia) terhadap posisi

yang diklaim oleh negara-negara kota (city-states atau negara polis) secara individual

(Patria, 2003:115). Akan tetapi, bagi Gramsci, hegemoni berarti sesuatu yang lebih

kompleks, yang ia gunakan untuk meneliti bentuk-bentuk politis, kultural, dan

ideologis tertentu (Faruk, 1999:62—63). Hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan

yang diperoleh melalui mekanisme konsensus daripada penindasan terhadap kelas

lainnya.

Hegemoni dalam suatu kelompok atas kelompok-kelompok lainnya dalam

pengertian Gramsci bukanlah sesuatu yang dipaksakan. Hegemoni harus diraih

melalui upaya-upaya politis, kultural, dan intelektual guna menciptakan pandangan

dunia bersama bagi seluruh masyarakat. Ini berarti kelompok penguasa harus

“menguniversalkan” pandangan dan kepentingan serta harus memastikan pandangan

dan kepentingan itu (Sugiono, 1991:41—42).

Hegemoni juga bisa diartikan sebagai organisasi konsensus (Simon,

2004:19—20). Hegemoni melalui konsensus muncul melalui komitmen aktif pada

posisi tinggi sah (legitimate), dan adanya konsensus ini karena prestasi yang

berkembang dalam dunia produksi (Patria, 2003:126). Kata kunci dalam memahami

Page 14: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68436/potongan/S1-2014...ideologi pengarang tersebut, penyusun memakai teori hegemoni Gramsci dalam

30

teori Gramsci tersebut adalah negosiasi untuk mencapai konsensus semua kelompok.

Dari penjelasan tersebut, yang dimaksud dengan hegemoni bukanlah hubungan

dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan

menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis (Simon, 2004:19). Menurut

Gramsci, suatu kelas sosial akan memperoleh keunggulan melalui dua cara, yaitu

dengan cara dominasi (dominia) atau paksaan (coecion), dan yang kedua dengan

kepemimpinan moral dan intelektual. Cara yang kedua inilah yang disebut Gramsci

sebagai hegemoni (Patria, 2003:117).

Hegemoni klas yang berkuasa terhadap klas yang dikuasai sesungguhnya

dibangun oleh mekanisme konsensus. Menurut Femia (Patria, 2003:124—125),

setidaknya ada empat model konsensus yang ada dalam perjalanan sejarah, yaitu(1)

masa Romawi kuno (konsensus terletak sepenuhnya pada wewenang seorang kaisar

sebagai pusat kekuasaan dan sumber otoritas politik); (2) masa pramodern (konsensus

dipahami beriringan dengan konsep hierarki alamiah atau kodrati dan ditekankan

pada keteraturan universal); (3) masa masyarakat kapitalis (konsensus dipandang

sebagai tindakan yang dikehendaki atau sekurang-kurangnya sukarela secara

individual); (4) masa pemikiran kontemporer (konsensus dipandang sebagai

kekhususan sifat dari sistem lembaga-lembaga demokratis yang familier).

Gramsci mengaitkan konsensus dengan spontanitas yang bersifat psikologis

yang mencakup berbagai penerimaan aturan sosio politis ataupun aspek-aspek aturan

yang lain. Oleh karena hegemoni pada dasarnya merupakan totalitarianisme dalam

arti ketat, tatanan hegemonis tidak perlu masuk ke dalam lembaga atau pun praktik

Page 15: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68436/potongan/S1-2014...ideologi pengarang tersebut, penyusun memakai teori hegemoni Gramsci dalam

31

liberal (Patria, 2003:125). Lebih lanjut, konsensus, yang pada dasarnya bersifat pasif,

lebih mewujudkan suatu hipotesis bahwa penciptaannya semata-mata atas dasar

persetujuan, terlepas karena alasan takut, telah terbiasa, atau murni kesadaran.

Melalui konsensus inilah, hegemoni muncul sebagai komitmen aktif atas

kelompok sosial (Patria, 2003:126). Unsur kepasifannya semata-mata karena

kelompok sosial yang dikuasai tidak memiliki banyak basis konseptual untuk

membentuk kesadaran dalam memahami realitas sosial secara efektif.

Ada dua hal yang menyebabkan hal itu, yaitu pendidikan dan mekanisme

kelembagaan. Gramsci menyatakan bahwa pendidikan yang ada tidak pernah

menyediakan kemungkinan untuk berpikir secara kritis dan sistematis bagi kaum

buruh dan justru menjadi alat kelompok yang berkuasa untuk menentukan ideologi

yang mendominasi (Patria, 2003:127) yang sarana pentingnya adalah bahasa. Konflik

sosial yang ada dibatasi, baik intensitas maupun ruang lingkupnya. Hal itu

disebabkan adanya kemungkinan bahwa bentuk keinginan, nilai, dan harapan baru,

muncul di luar sistem yang telah ditentukan.

Konsensus massa sendiri menghasilkan tingkatan hegemoni. Menurut

Gramsci (Patria, 2003:128) ada tiga tingkatan hegemoni, yaitu hegemoni total

(integral), hegemoni yang merosot (decadent), dan hegemoni yang minimum.

Pertama, hegemoni integral. Hegemoni integral ditandai dengan afiliasi massa

yang mendekati totalitas. Massa menunjukkan tingkat kesatuan moral dan intelektual

yang kokoh. Ini tampak dalam hubungan organis antara pemerintah dan yang

Page 16: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68436/potongan/S1-2014...ideologi pengarang tersebut, penyusun memakai teori hegemoni Gramsci dalam

32

diperintah. Hubungan tersebut tidak diliputi dengan kontradiksi dan antagonisme baik

secara sosial maupun etis.

Kedua, hegemoni yang merosot (decadent economy). Sekalipun sistem yang

ada telah mencapai kebutuhan atau sasarannya, namun “mentalitas” massa tidak

sungguh-sungguh selaras dengan pemikiran yang dominan dari subjek ekonomi. Oleh

karena itu, integrasi budaya maupun politik mudah runtuh. Situasi demikianlah yang

disebut hegemoni yang merosot.

Ketiga, hegemoni minimum. Bentuk ketiga ini merupakan bentuk hegemoni

yang paling rendah dibanding dua yang lain. Hegemoni bersandar pada kesatuan

ideologis antara elit ekonomis, politis, dan intelektual yang berlangsung bersamaan

dengan keengganan terhadap setiap campur tangan massa dalam hidup bernegara.

Dengan demikian, kelompok-kelompok hegemonis tidak mau menyesuaikan

kepentingan dan aspirasi-aspirasi mereka dengan kelas lain dalam masyarakat.

Agar dapat mencapai hegemoni, ideologi harus disebarkan. Menurut Gramsci,

penyebaran itu tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan melalui lembaga-lembaga

sosial tertentu yang menjadi pusatnya, misalnya bentuk-bentuk sekolahan dan

pengajaran, kematangan dan ketidakmatangan relatif bahasa nasional, sifat-sifat

kelompok sosial yang dominan dan sebagainya. Pusat-pusat itu mempunyai

fungsionaris yang mempunyai peranan penting, yaitu kaum intelektual (Faruk,

1999:74—75).

Kata “intelektual” di sini harus dipahami sebagai suatu strata sosial yang

menyeluruh yang menjalankan suatu fungsi organisasional dalam pengertian yang

Page 17: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68436/potongan/S1-2014...ideologi pengarang tersebut, penyusun memakai teori hegemoni Gramsci dalam

33

luas -entah dalam lapangan produksi, kebudayaan, ataupun dalam administrasi politik

(Faruk, 1999:75).

Gramsci membedakan bentuk kaum intelektual menjadi dua kelompok

penting, yaitu intelektual organik dan intelektual tradisional.

Intelektual organik adalah intelektual yang berasal dari kelas tertentu.

Intelektual organik tersebut bisa berasal dari kelas borjuis dan memihak mereka,

tetapi bisa juga berasal dari kelas buruh dan berpihak pada perjuangan kelompok

buruhnya. Kelompok intelektual organik berpenetrasi sampai ke massa, memberikan

sebuah pandangan baru, dan menciptakan kesatuan antara bagian atas dan bawah

(Patria, 2003:161).

Intelektual tradisional adalah intelektual otonom dan merdeka dari kelompok

sosial dominan. Intelektual tradisional adalah mereka yang menyandang tugas-tugas

kepemimpinan intelektual dalam suatu given society. Menurut Gramsci, tipe

intelektual tradisional tersebut direpresentasikan melalui manusia literer (literary

man), rohaniawan, filsuf, dan artis dan tugasnya adalah segera memutuskan

ketidakmenentuan sikap dan bergabung dengan kelas-kelas yang revolusioner (Patria,

2003:162—163).

Pusat argumentasi Gramsci tentang pembentukan kaum intelektual sebenarnya

sederhana. Arti “intelektual” sebagai sebuah integrasi sosial tunggal yang bebas dari

kelas adalah sebuah mitos. Semua manusia mempunyai potensi menjadi intelektual

sesuai dengan kecerdasan yang dimiliki dan dalam cara menggunakannya, tetapi tidak

semua orang adalah intelektual dalam fungsi sosial.

Page 18: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68436/potongan/S1-2014...ideologi pengarang tersebut, penyusun memakai teori hegemoni Gramsci dalam

34

Mengenai seni (sastra), Gramsci menyatakan bahwa seni adalah karya yang

belum selesai. Ia senantiasa mendahului zaman dan secara imajinatif melihat

masyarakat yang dicita-citakan pada masa depan (Salamini, 2004:178). Hal ini

menunjukkan bahwa sastra berada dalam superstruktur. Sastra membawa ideologi

(superstruktur) yang kohesi sosialnya dijamin kelompok dominan. Ideologi tersebut

merupakan wujud hegemoni tandingan bagi kelas dominan. Sastra merupakan salah

satu upaya persiapan budaya sebelum suatu kelas melakukan tindakan politik.

Berdasarkan uraian di atas, ada empat hal penting untuk diperhatikan dalam

konsep teori Gramsci. Pertama, di dalam masyarakat selalu terdapat pluralitas

ideologi. Kedua, konflik tidak hanya terjadi dalam antarkelas sosial, tetapi

berkembang pula konflik antara kelompok-kelompok dengan kepentingan-

kepentingan global untuk mendapatkan kontrol ideologi dan politik terhadap

masyarakat. Ketiga, untuk menjadi sebuah kelompok yang dominan, kelompok

tersebut harus mewakili kepentingan umum dan melakukan negosiasi agar konsensus

dicapai dengan persetujuan dan dapat diterima semua kelompok. Hal terakhir dalam

teori Gramsci bahwa sastra atau seni berada dalam kelompok superstruktur yang

berperan dalam upaya pembentukan hegemoni dan sebuah budaya baru dalam

masyarakat.

1.6 Metode Penelitian

Metode dapat diartikan sebagai cara-cara atau strategi untuk memahami

realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab-akibat

Page 19: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68436/potongan/S1-2014...ideologi pengarang tersebut, penyusun memakai teori hegemoni Gramsci dalam

35

berikutnya. Sebagai alat, sama dengan teori, metode berfungsi untuk

menyederhanakan masalah agar lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami (Ratna,

2009a:34). Metode juga dapat diartikan sebagai cara kerja untuk memahami objek

yang dikaji (Sangidu, 2004:28).

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis

yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul

dengan analisis (Ratna, 2009a:53).

Metode lain yang juga digunakan dalam penelitian ini adalah metode

dialektik. Secara etimologis, kata dialektik berasal dari bahasa latin dialectica yang

berarti cara membahas (Ratna, 2009a:52). Metode dialektik melukiskan hubungan

timbal balik antara karya sastra dengan realita sosial. Metode ini digunakan untuk

menganalisis hubungan yang ada antara faktor-faktor sosial yang ada di masyarakat.

Metode dialektik bermula dan berakhir dalam karya sastra, dengan

memperhitungkan koherensi struktural (Goldmann dalam Faruk, 1999:19).

Sehubungan dengan itu, metode dialektik mengembangkan dua pasangan konsep,

yaitu ”keseluruhan-bagian” dan ”pemahaman-penjelasan” (Faruk, 1999:20).

Menurut Goldmann (dalam Faruk, 1999:20), setiap fakta atau gagasan

individual mempunyai arti hanya jika ditempatkan dalam keseluruhan. Sebaliknya,

keseluruhan hanya dapat dipahami dengan pengetahuan yang bertambah mengenai

fakta-fakta parsial atau yang tidak menyeluruh yang membangun keseluruhan itu.

Sebagai struktur yang koheren karya sastra merupakan satuan yang dibangun

dari bagian-bagian yang lebih kecil. Akan tetapi, teks karya sastra itu sendiri

Page 20: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68436/potongan/S1-2014...ideologi pengarang tersebut, penyusun memakai teori hegemoni Gramsci dalam

36

merupakan bagian dari keseluruhan yang lebih besar, yang membuatnya menjadi

struktur yang berarti. Dalam pengertian ini pemahaman mengenai teks sastra sebagai

keseluruhan tersebut harus dilanjutkan dengan usaha menjelaskannya dengan

menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar di atas.

Jadi yang dimaksud dengan pemahaman adalah usaha pendeskripsian struktur

objek yang dipelajari, sedangkan penjelasan adalah usaha menggabungkannya ke

dalam struktur yang lebih besar (Goldmann dalam Faruk, 1999:21).

Langkah-langkah yang ditempuh penyusun dalam menyusun skripsi ini

adalah:

1. Menentukan teks yang akan dijadikan objek penelitian, yaitu Jalan Menikung

karya Umar Kayam

2. Melakukan pembacaan yang intensif terhadap novel Jalan Menikung

3. Melakukan studi pustaka yang terkait dengan penelitian

4. Melakukan identifikasi terhadap ideologi-ideologi yang ada pada novel Jalan

Menikung dan menentukan formasi ideologi yang ada pada novel tersebut.

5. Mencari konsensus yang ada dalam Jalan Menikung dan menentukan ideologi

pengarang.

6. Menyimpulkan dan melaporkannya dalam bentuk penelitian.

Page 21: BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68436/potongan/S1-2014...ideologi pengarang tersebut, penyusun memakai teori hegemoni Gramsci dalam

37

1.7 Sistematika Penyajian

Penelitian ini mencakup empat bab sebagai berikut.

Bab I berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan

pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian;

Bab II berisi identifikasi ideologi-ideologi yang ada pada novel Jalan Menikung dan

formasi ideologinya;

Bab III berisi konsensus dan ideologi pengarang Jalan Menikung dan;

Bab IV kesimpulan.