bab i pendahuluan - xa.yimg.com · pdf fileoleh karena itu tujuan laporan kasus ini adalah...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
Di Indonesia, Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Sampai saat
ini, Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan
terdapat 583.000 kasus baru tuberkulosis per tahun, sebagian besar berada dalarn usia produktif (15-55 tahun),
dengan tingkat sosioekonomi dan pendidikan yang rendah. Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar
10 % dari total jumlah pasien TB di dunia . 1,2
Pada tahun 2005, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa jumlah
kasus TB baru terbesar terdapat di Asia Tenggara (34 % insiden TB secara global) termasuk
Indonesia. Jumlah penderita diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya
jumlah penderita acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) oleh infeksi human immunodefi
ciency virus (HIV). Satu hingga lima persen penderita TB, mengalami TB osteoartikular.
Separuh dari TB osteoartikular adalah spondilitis TB.3
Tuberkulosis dapat melibatkan berbagai sistem organ tubuh. Sedangkan tuberkulosis paru adalah yang
paling sering terjadi, sedangkan TB ekstra paru (TBEP) juga merupakan problem klinis yang penting.
Tuberkulosis Ekstra Paru (TBEP ) hampir 10 % mengenai musculoskeletal, dan 50 % mempunyai lesi di
vertebra dengan disertai defisit neurologis pada 10 – 45 % penderita. . 1,2
Kelumpuhan akan terjadi bila infeksi
TB mengenai corpus vertebra dan terjadi kompresi pada medulla spinalis. Bila terjadi kelumpuhan yang menetap
(irreversible) akan mengganggu dan membebani tidak saja penderita sendiri, tetapi juga keluarga dan
masyarakat.2 Banerjee melaporkan pada 499 pasien dengan spondilitis tuberkulosis, radiologis memperlihatkan
31 % fokus primer adalah paru-paru dan dari kelompok tersebut 78% adalah anak-anak, sedangkan 69% sisanya
memperlihatkan foto rontgen paru yang normal dan sebagian besar adalah dewasa . 1,2
Spondilitis tuberkulosis (potts disease) merupakan infeksi sekunder dari infeksi TB yang disebabkan
oleh mycobacterium tuberculosis dengan penyebaran ke vertebra sebagian besar secara hematogen melalui
pembuluh darah arteri epifiseal atau melalui plexus vena Batson.1,2
Secara klinis spondilitis tuberkulosis adalah
bentuk tuberkulosis ekstra paru yang terpenting karena adanya gejala sisa berupa deformitas vertebra dan defisit
neurologis oleh karena adanya kompresi medulla spinalis. Diagnosis dini penyakit ini dan terapi yang tepat
sangat penting untuk meminimalkan gejala sisa tersebut. Selain pemeriksaan klinis dan laboratoris, pemeriksaan
radiologis sangat penting untuk membantu menegakkan diagnosis spondylitis TB. 4
2
Gambaran radiologis spondilitis tuberkulosis memiliki kemiripan dengan beberapa penyakit di vertebra,
yang paling mirip adalah spondilitis pyogenik dan metastase di vertebra. Penyakit - penyakit tersebut dalam hal
penatalaksanaanya sangat berbeda.
Oleh karena itu tujuan laporan kasus ini adalah membantu menegakkan diagnosis spondilitis
tuberkulosis secara radiologis dan membedakan dengan diagnosa bandingnya.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Spondilitis tuberkulosis merupakan infeksi sekunder dari infeksi TB yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberculosis dengan penyebaran ke vertebra sebagian besar secara hematogen melalui pembuluh
darah arteri epifiseal atau melalui plexus vena Batson.1,2
B. Anatomi
Collumna vertebralis terbentang dari cranium sampai ujung os coccygeus, berfungsi untuk stabilitas dan
fleksibilitas tubuh manusia sehingga manusia bisa berdiri, duduk, memutar dsb. Collumna vertebra terdiri dari 33
vertebra yaitu 7 vertebra cervicalis, 12 vertebra thoracalis, 5 vertebra lumbalis, 5 vertebra sacralis dan 4 vertebra
coccygeus. Jika vertebra dilihat dari samping, bentuk seperti huruf S. Hal ini menciptakan pemerataan berat
sepanjang vertebra, sehingga memungkinkan vertebra menahan semua jenis beban.4
Vertebra terdiri dari corpus dan arcus vertebra. Corpus vertebra adalah bagian ventral dan arcus vertebra
adalah bagian dorsal yang terdiri dari pediculus dan lamina arcus vertebra. Arcus vertebra dan permukaan dorsal
corpus vertebra membatasi canalis vertebralis yang berisi medulla spinalis, meninges, jaringan lemak, akar syaraf
dan pembuluh darah. Tujuh processus menonjol dari arcus vertebra yaitu processus spinosus, dua processus
transversus menonjol ke arah lateral, processus artikularis superior dan processus artikularis inferior.4
Permukaan vertebra yang berdekatan berhubungan melalui sebuah discus dan ligamentum. Setiap
discus intervertebralis terdiri dari sebuah anulus fibrosus yang terbentuk dari lamel- lamel fibrocartilago yang
teratur konsentris dan mengelilingi nucleus pulposus yang berkonsistensi jeli.4
Ligamentum longitudinale anterior adalah sebuah pita jaringan ikat yang kuat dan menutupi serta
menghubungkan bagian ventral corpus vertebra dan discus intervertebralis. Ligamentum longitudinal posterior
adalah pita jaringan ikat yang sedikit lebih lemah dibanding ligamentum longitudinal anterior. Ligamentum
flavum menghubungkan lamina arcus vertebra atas dan bawah. Processus spinosus yang berdekatan
dihubungkan dengan ligamentum interspinale dan ligamentum supra spinale. Ligamentum nuchae melekat
pada cranium dan processus spinosus vertebra cervicalis.4
4
Arteri spinalis yang mengalirkan darah ke vertebra adalah cabang dari arteri vertebralis dan arteri
ascenden di leher, arteri intercostalis posterior di thoracal, arteri sub costal dan arteri lumbalis di abdomen serta
arteri illiolumbalis dan arteri sacralis lateralis. Arteri spinalis memasuki foramen intervertebralis dan bercabang
yang kemudian cabang - cabang ini beranastomose dengan arteri - arteri medulla spinalis. Vena spinalis
membentuk plexus vena yang meluas sepanjang collumna vertebralis.4
Medulla spinalis dan meninges terletak dalam canalis vertebralis. Medulla spinalis terlindung oleh
vertebra, ligamentum serta otot-ototnya dan cairan cerebrospinalis ( LCS ). Medulla spinalis terbentang dari
foramen magnum os occipitalis sampai discus intervertebralis antara vertebra lumbal 1 dan lumbal 2 tetapi dapat
berakhir pada vertebra thoracalis 12 atau vertebra lumbal 3.4
Tiga puluh pasang nervus spinalis keluar dari medulla spinalis. Beberapa anak radix keluar dari
permukaan dorsal dan ventral medulla spinalis dan bertaut membentuk radix anterior dan posterior. Dalam radix
posterior terdapat serabut afferent atau sensorik dan radix anterior terdiri dari serabut efferent atau motoris. Radix
posterior dan anterior bersatu pada tempat keluarnya dari canalis vertebralis untuk membentuk nervus spinalis 4.
C. Epidemiologi
WHO menyatakan bahwa TB saat ini telah menjadi ancaman global. Diperkirakan 1,9
milyar manusia atau sepertiga penduduk dunia terinfeksi penyakit ini. Setiap tahun terjadi
sekitar 9 juta penderita baru TB dengan kematian sebesar 3 juta orang. Di negara berkembang
kematian mencakup 25% dari keseluruhan kasus, yang sebenarnya dapat dicegah sehubungan
dengan telah ditemukannya kuman penyebab TB. Kematian tersebut pada umumnya disebabkan
karena tidak terdeteksinya kasus dan kegagalan pengobatan.5
Prevalensi TB di Indonesia dan negara-negara sedang berkembang lainnya cukup tinggi.
Pada tahun 2006, kasus baru di Indonesia berjumlah > 600.000 dan sebagian besar diderita oleh
masyarakat yang berada dalam usia produktif (15–55 tahun). Angka kematian karena infeksi TB
berjumlah sekitar 300 orang per hari dan terjadi > 100.000 kematian per tahun. 5
Indonesia merupakan negara dengan pasien tuberkulosis (TB) terbanyak ke-3 di dunia
setelah India dan Cina, perkiraan jumlah pasien TB sekitar 10% dari seluruh pasien TB di dunia.
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa penyakit TB
merupakan penyebab kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskuler dan saluran pernapasan
pada semua kelompok usia dan penyebab pertama dari golongan penyakit infeksi. Hasil survei
prevalensi TB tahun 2004 menunjukkan angka prevalensi TB BTA positif secara nasional
5
110/100.000 penduduk. Berdasarkan data di atas TB masih merupakan masalah utama kesehatan
masyarakat Indonesia.5
Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosis, keterlibatan tulang dan sendi terjadi pada
kurang lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi dapat terkena, akan tetapi tulang
yang mempunyai fungsi untuk menahan beban (weight bearing) dan mempunyai pergerakan
yang cukup besar (mobile) lebih sering terkena dibandingkan dengan bagian yang lain. Dari
seluruh kasus tersebut, vertebra merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosis tulang
(kurang lebih 50% kasus), diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut dan tulang-tulang lain di
kaki, sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang terkena. Area thoraco-lumbal terutama
thoracal bagian bawah (umumnya Th 10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling
sering terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai
maksimum, lalu dikuti dengan area cervical dan sacral.13
D. Etiologi
Tuberkulosis vertebra merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis tempat lain di tubuh, 90-95 %
disebabkan oleh micobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10 % oleh
micobakterium tuberkulosis atipik. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat yaitu tahan terhadap asam
pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat mati dengan
sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam
jaringan tubuh kuman ini dapat dorman, tertidur lama selama beberapa tahun.1,5
E. Patofisiologi
Tuberkulosis vertebra adalah hasil penyebaran tuberculosis ke vertebra secara hematogen dari fokus
utama di paru-paru atau kelenjar getah bening. Tuberkulosis spinal (TB vertebra) merupakan bentuk yang paling
umum dari tuberkulosis tulang. Semua vertebra dari collumna vertebralis dapat diserang namun yang terbanyak
menyerang bagian vertebra thoraks. Vertebra lumbalis juga dapat terserang dan akhirnya vertebra cervicalis pun
tidak terlepas dari serangan ini. Fokus yang pertama dapat terletak pada sentrum corpus vertebrae atau pada
metaphyse, bisa juga pertama kali bersifat subperiosteal. Penyakit ini juga dapat menjalar, sehingga akhirnya
corpus vertebra tidak lagi kuat untuk menahan berat badan dan seakan-akan hancur sehingga dengan demikian
collumna vertebralis membengkok. Kalau hal ini terjadi pada bagian thoraks, maka akan terdapat pembengkokan
hyperkyphose yang kita kenal sebagai gibbus. Sementara itu proses dapat menimbulkan gejala-gejala lain,
6
diantaranya dapat terkumpulnya nanah yang semakin lama semakin banyak, nanah ini dapat menjalar menuju ke
beberapa tempat diantaranya dapat berupa : 1. Suatu abses para vertebrae terlihat abses terlihat dengan bentuk
spoel di kiri kanan collumna vertebralis. 2. Abses dapat pula menembus ke belakang dan berada di bawah fascia
dan kulit di sebelah belakang dan di luar collumna vertebralis merupakan suatu abses akan tetapi tidak panas.
Umumnya abses ini dinamakan abses dingin. Abses dingin artinya abses tuberculosis. 3. Dapat pula abses
menjalar mengelilingi tulang rusuk, sehingga merupakan senkung’s abses yang terlihat di bagian dada penderita.
4. Abses juga dapat menerobos ke pleura sehingga menimbulkan empiema. 5. Pada leher dapat juga terjadi abses
yang terletak dalam pharynx sehingga merupakan retropharyngeal abses. 6. Dapat pula abses terlihat sebagai
supraclavicular abses. 7. Pada lumbar abses dapat turun melalui musculus iliopsoas yang kemudian menurun
sampai terjadi abses besar yang terletak di bagian dalam dari paha.6
Semua abses tersebut di atas dapat menembus kulit dan menyebabkan timbulnya fistel yang bertahun-
tahun. Kecuali abses-abses tersebut di atas, tuberculosis pada vertebra dapat pula memberikan komplikasi, ialah
paraplegia, umumnya disebut Pott’s Paraplegia. Komplikasi ini disebabkan karena adanya tekanan pada medulla
spinalis. Adapun patogenesis dari proses ini dapat dijelaskan sebagai berikut : tekanan dapat berasal dari proses
yang terletak di dalam canalis spinalis. Jika di dalam canalis spinalis ada proses tuberculosis yang terletak pada
corpus bagian belakang yang merupakan dasar dari canalis spinalis, maka proses tadi menimbulkan
pengumpulan nanah/jaringan granulasi langsung menekan medulla spinalis. Dalam hal ini meskipun nanah
hanya sedikit, akan tetapi cukup untuk memberikan tekanan yang hebat pada medulla spinalis.6
Dapat pula proses tuberculosis menghancurkan corpus sehingga canalis spinalis membengkok dan
menekan pada tulang dindingnya. Tekanan tadi menyebabkan paraplegia. Kemungkinan lain ialah terdapat
sequestra dan pus di sekeliling canalis spinalis tadi yang juga menekan pada medulla spinalis. Dengan demikian
banyak sebab-sebab yang dapat menekan medulla spinalis dengan keras sehingga menimbulkan gejala
paraplegia. Secara klinis paraplegia dapat dibagi 2 tipe menjadi tipe 1. early onset, ialah jika paraplegia segera
timbul sebagai kelanjutan dari proses spondylitis tuberculosis. Tipe kedua adalah late onset, paraplegia ini terjadi
setelah penyakit spondylitis sifatnya tenang untuk beberapa waktu lamanya kemudian timbul gejala-gejala
paraplegia secara perlahan-lahan6.
7
F. Manifestasi Klinis.
Manifestasi klinis spondilitis TB relatif indolen (tanpa nyeri). Pasien biasanya
mengeluhkan nyeri lokal tidak spesifik pada daerah vertebra yang terinfeksi. Demam subfebril,
menggigil, malaise, lemah, nafsu makan berkurang, keringat malam hari, berkurangnya berat
badan atau berat badan tidak sesuai umur pada anak yang merupakan gejala klasik TB paru juga
terjadi pada pasien dengan spondilitis TB.3,7
Gejala - gejala tersebut tampak sebelum gejala yang berhubungan dengan vertebra. Vertebra thoracal
dan vertebra lumbal paling sering terkena, vertebrae thoracalis sering dilaporkan sebagai tempat yang paling
umum terlibat, hampir 80 – 90 % dari tuberkulosis vertebra. Sisanya kasus terjadi vertebra cervical. Deformitas
vertebra seperti kyphosis terjadi pada hampir setiap pasien yang mengalami nyeri ( spinal atau radicular ) ini
merupakan gejala yang paling awal dan paling umum. Keluhan nyeri ini dapat diperburuk dengan aktivitas.
Proses infeksi yang berlangsung, akan meningkatkan rasa sakit, dan terjadi kejang otot paraspinal, semua gerakan
vertebra menjadi terbatas dan menyakitkan. Nekrotik materi tuberculosis dari vertebra dapat menyebabkan abses
dingin (cold abses) di rectus sheath and dinding perut bagian bawah sepanjang interkostal , saraf iliohipogastric,
ilioinguinal, di paha sepanjang selubung psoas, di bagian belakang sepanjang saraf tulang belakang; di pantat
sepanjang saraf glutealis superior, atau, dalam fossa ischiorectal sepanjang saraf pudenda internal.7
Defisit neurologis terjadi pada 12 – 50 % penderita. Defisit yang mungkin antara lain:
paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radicular dan/ atau sindrom cauda equina. Nyeri radikuler
menandakan adanya gangguan pada radiks (radikulopati). 3
Spondilitis TB cervical jarang terjadi, namun manifestasinya lebih berbahaya karena
dapat menyebabkan abses retropharingeal, abses dapat turun ke mediastinum masuk trachea,
oesophagus atau pleura dan menyebar ke sternocleidomastoideus. Dapat juga menyebabkan
disfagia dan stridor, tortikollis, suara serak akibat gangguan n. laringeus. Jika n. frenikus
terganggu, pernapasan terganggu dan timbul sesak napas (disebut juga Millar asthma).Umumnya
gejala awal spondilitis cervical adalah kaku leher atau nyeri leher yang tidak spesifik.3,7
G. Diagnosis
Diagnosis dini spondilitis TB sulit ditegakkan dan sering disalahartikan sebagai
neoplasma spinal atau spondilitis piogenik lainnya. Ironisnya, diagnosis biasanya baru dapat
ditegakkan pada stadium lanjut, saat sudah terjadi deformitas tulang belakang dan defisit
neurologis.3
8
Penegakan diagnosis seperti pada penyakit-penyakit pada umumnya melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, diikuti dengan pemeriksaan penunjang. Keberhasilan melakukan diagnosis
dini menjanjikan prognosis yang lebih baik.3
Pemeriksaan untuk diagnosis pasti adalah pemeriksaan mikrobiologi maupun patologi anatomi sampel
jaringan tulang atau abses dengan ditemukannya BTA dan isolasi organisme kultur. Angka sedimentasi eritrosit
dapat meningkat bermakna. Pemeriksaan uji tuberculin menunjukan nilai positip pada 84 – 95 % kasus, namun
hasil tuberculin tes yang negatif tidak mengeksklusi spondilitis tuberculosis karena hasil uji tuberculin dapat
negatif meskipun penderita tuberculosis misalnya pada HIV, malnutrisi, TB millier dan morbilli. 9
Pemeriksaan lainnya adalah pemeriksaan ICT yang mempunyai spesifitas yang tinggi dan pemeriksaan
polymerase chain reaction (PCR) yang merupakan pemeriksaan yang cepat dengan sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi .9
H. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis hingga saat ini merupakan pemeriksaan yang sangat penting untuk
diagnosis dini spondilitis TB karena dapat memvisualisasi langsung kelainan fisik pada vertebra.
Terdapat beberapa pemeriksaan radiologis yang dapat digunakan seperti Foto polos, Computed
Tomography Scan (CT Scan),dan Magnetic Resonance Imaging (MRI).3
1. Foto polos
Foto Polos merupakan pemeriksaan radiologis awal yang paling sering dilakukan dan
berguna untuk penapisan awal. Proyeksi yang diambil sebaiknya dua jenis, proyeksi AP dan
lateral. Pada fase awal, akan tampak penyempitan joint space dan batas paradiscus corpus
vertebra mengabur, lesi osteolitik pada bagian anterior corpus vertebra dan osteoporosis regional.
Penyempitan ruang discus intervertebralis menandakan terjadinya kerusakan discus.
Pembengkakan jaringan lunak sekitarnya memberikan gambaran fusiformis.3,7
Pada fase lanjut, kerusakan bagian anterior semakin memberat dan membentuk angulasi
kifotik (gibbus). cold abscess dapat terlihat seperti bayangan opak yang memanjang di
paravertebral. Namun, foto polos tidak dapat mencitrakan cold abscess dengan baik. Dengan
proyeksi lateral, klinisi dapat menilai angulasi kifotik diukur dengan metode Konstam.3
9
Gambaran radiologis spondylitis tuberculosis berupa erosi dan destruksi aspek anterior corpus vertebra
membentuk gambaran wedge, infeksi yang menyebar ke discus menyebabkan destruksi discus dan collap corpus
vertebra dengan gambaran gibbus. Kelainan dapat terjadi pada 1 vertebra membentuk vertebra plana dan pada
beberapa level vertebra yang berdekatan atau yang tidak bersebelahan menyebabkan skip lesion. Gambaran
radiologis abses paraspinal berupa soft tissue swelling bentuk fusiform disekitar vertebra .10
2. CT Scan
Gambaran destruksi aspek anterior corpus vertebra, collaps corpus vertebra, penyempitan discus
intervertebralis, massa jaringan lunak paravertebral yang berupa suatu abses. Selama proses penyakit, dapat
terlihat adanya kloaka yang berasal dari dekompresi dan drainase spontan abses corpus vertebrae.11
Penyebaran abses paravertebral ke posterior dapat membentuk abses epidural, gangguan canalis spinalis
dan kompresi medulla spinalis. Abses intraosseous dan paravertebral khasnya menunjukan dinding yang tebal
dan irregular serta menyangat pasca pemberian bahan kontras. Pada stadium infeksi yang lebih kronis CT secara
khas menunjukan dekstruksi tulang yang lebih luas, formasi sekuester dan pembentukan tulang heterotopik yang
bermakna.11
Pemeriksaan CT menunjukan destruksi endplate vertebra dengan fragmentasi, bone squestration, abses
paravertebra besar dan infeksi epidural dapat ditemukan. Berbeda dengan pyogenik, batas cortex vertebra yang
terkena selalu hilang. Migrasi fragmen tulang kedalam struktur sekitarnya termasuk canalis spinalis dapat terlihat
dengan jelas pada pemeriksaan CT scan. Kalsifikasi massa paraspinal kadang dapat ditemukan pada tuberculosis.
11
CT myelography juga dapat menilai dengan akurat kompresi medula spinalis apabila
tidak tersedia pemeriksaan MRI. Pemeriksaan ini meliputi penyuntikan kontras melalui punksi
lumbal ke dalam rongga subdural, lalu dilanjutkan dengan CT scan.3
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI merupakan pencitraan terbaik untuk menilai jaringan lunak. Kondisi corpus
vertebra, discus intervertebralis, perubahan sumsum tulang, termasuk abses paraspinal dapat
dinilai dengan baik dengan pemeriksaan ini. Untuk mengevaluasi spondilitis TB, sebaiknya
dilakukan pencitraan MRI aksial, dan sagital yang meliputi seluruh vertebra untuk mencegah
terlewatkannya lesi non contiguous. MRI juga dapat digunakan untuk mengevaluasi perbaikan
jaringan. Peningkatan sinyal T1 pada sumsum tulang mengindikasikan pergantian jaringan
10
radang granulomatosa oleh jaringan lemak dan perubahan MRI ini berkorelasi dengan gejala
klinis.3,15,16
Tulang dan jaringan lunak yang terkena, pada T1W1 tampak hipointens dan hiperintens pada T2W1.
Sekuens pemberian bahan kontras dapat membedakan spondilitis tuberculosis dengan infeksi granulomatosa
lainnya pada vertebra, adanya penyangatan bentuk sabuk yang tebal di sekeliling abses paravertebra atau
intraosseous dianggap mengarah diagnosis spondilitis tuberculosis. 11
I. Diagnosa Banding
Diagnosa banding spondilitis tuberculosis adalah sebagai berikut:
1. Spondilitis pyogenik
Penyebab terbanyak adalah staphylococcus aureus, kuman lainnya streptococcus dan pneumococcus.
Biasanya menyerang pada usia produktif, usia 30-50 tahun dengan usia puncak terjadi pada dekade 6 dan 7.
Lokasi spondylitis pyogenik sering terjadi di lumbal dan jarang sekali mengenai pedikel, lamina dan processus
spinosus. Gejala klinis spondylitis piogenik, LBP, gerakan yang terbatas dan demam sedangkan infeksi yang
tidak diterapi dapat menyebabkan deformitas vertebra dan defisit neurologis. 3,9
Perubahan radiologis spondylitis pyogenik terjadi setelah 2 minggu diagnosis klinis ditegakan.
Perubahan berupa pembentukan tulang baru relatif lebih prominent sehingga adanya sklerotik osteofit lebih
umum ditemukan. Adanya enzim proteolitik memungkinkan perluasan infeksi ke dalam corpus vertebra dan
discus lebih cepat dibanding tuberculosis.11
Foto polos biasa tidak bisa menunjukan tanda awal infeksi sehingga hasil yang negatif bukan berarti
tidak ada infeksi. Erosi korteks endplate vertebra menyebabkan batas korteks selalu hilang didua sisi discus yang
menyempit dan adanya massa paraspinal dapat terjadi pada infeksi pyogenik.11
Abses paraspinal dapat terjadi tetapi tidak sesering pada tuberculosis, adanya air fluid level dalam abses
dikatakan dapat mengeksklusi TB. Keterlibatan vertebra multiple lebih dari 2 vertebra jarang ditemukan.11
2. Metastase
Tumor metastatik spinal mencakup 85 % bagian dari semua tumor tulang belakang yang
mengakibatkan kompresi medulla spinalis. Insiden tertinggi kasus tumor metastasik spinal pada
usia di atas 50 tahun. Urutan segmen yang sering terlibat yaitu thorakal, lumbal dan cervical.
Neoplasma dengan kecenderungan bermetastasis ke medulla spinalis meliputi tumor payudara,
prostat, paru, limfoma, sarkoma, dan myeloma multipel. Metastasis keganasan saluran cerna dan
11
rongga pelvis relatif melibatkan vertebra lumbosakral, sedangkan keganasan paru dan mamae
lebih sering melibatkan vertebra thorakal.3
Tumor yang sering terjadi di vertebra biasanya adalah metastase. Bentuk metastase pada vertebra yang
mengenai medulla tulang 70% berupa lesi litik, campuran dan yang paling jarang adalah lesi sklerotik.11
Gejala klinis biasanya berupa nyeri dan atau defisit neurologis karena collaps vertebra dan atau kompresi
medulla spinalis, namun kadang kadang bisa tanpa gejala. Dapat terjadi pada segala jenis usia, baik pria maupun
wanita dan tersering pada dekade 5. Gejala neurologis bisa terjadi karena dislokasi fragment tulang ke posterior
dan atau perluasan epidural.11
Algra et al menemukan bahwa lumbal adalah bagian yang lebih tersering menjadi tempat metastasis
dibanding vertebrae lainnya. Hilangnya kontur pedikel biasanya terjadi lambat dibandingkan proses
metastasisnya sendiri dan sering sudah diikuti destruksi luas trabekulasi tulang corpus vertebra. Pada foto polos,
pedikel adalah bagian yang paling sering terkena sehingga menjadi indikator adanya metastase pada vertebra
pada foto polos, namun pada CT scan ternyata destruksi corpus vertebrae aspek posterior lebih sering ditemukan
sebelum destruksi pedikel ditemukan pada foto polos.11
Pada neoplasma yang mengenai vertebra discus biasanya tidak terkena dan abses paravertebral tidak
tampak walaupun komponen jaringan lunak ekstraosseus yang padat yang mungkin berhubungan bila corpus
vertebra mengalami destruksi. Keterlibatan vertebra multifokal yang melompat atau tidak berurutan juga
mengarah ke neoplasma.11
J. Penatalaksanaan
Saat ini penanganan spondilitis TB secara umum dibagi menjadi dua bagian yang
berjalan dapat secara bersamaan, yaitu medikamentosa dan pembedahan. Terapi medikamentosa
lebih diutamakan, sedangkan terapi pembedahan melengkapi terapi medikamentosa dan
disesuaikan dengan keadaan individual tiap pasien. Pasien spondilitis TB pada umumnya bisa
diobati secara rawat jalan, kecuali diperlukan tindakan bedah dan tergantung pada stabilitas
keadaan pasien. Tujuan penatalaksanaan spondilitis TB adalah untuk mengeradikasi kuman TB,
mencegah dan mengobati defisit neurologis, serta memperbaiki kifosis.3
Program nasional penganggulangan TB di Indonesia menggunakan panduan OAT dibagi menjadi 3
kategori 1. 2HRZE/4H3R3 yang diberikan untuk penderita TB paru dengan BTA (+), penderita TB paru BTA (-
) dengan rongent (+) sakit berat, penderita TB ekstra paru yang berat, kategori 2. 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
yang diberikan kepada penderita kambuh/relaps, penderita gagal obat dan pengobatan lalai (after default),
12
kategori 3. 2HRZ/4H3R3 yang diberikan kepada penderita baru BTA negatif dan rontgen +, penderita ekstra
paru, TB kulit, TB tulang dan sendi kecuali tulang belakang, TB kelenjar adrenal. 9
Pembedahan diindikasikan pada pasien dengan defisit neurologis ( gangguan neurologis, paraparesis,
paraplegia), deformitas vertebra yang tidak stabil atau tidak ada respon terhadap terapi antituberculosis. 10
13
BAB III
LAPORAN KASUS
Seorang anak laki laki umur 14 tahun masuk Rumah Sakit Sardjito (RSS) dengan keluhan nyeri pada
leher. Pasien rujukan dari RSUD Cilacap. Riwayat Penyakit Sekarang, 4 bulan yang lalu pasien mulai
mengeluh nyeri di leher bagian belakang, masih bisa menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak ada kelemahan di
kedua tangan dan kaki. Pasien juga mengeluh demam tidak tinggi dibawa ke RS Purworejo – rawat inap di
diagnosis typhoid. Sepulang dari RS Purworejo, demam tidak tinggi masih dirasakan naik turun, terus menerus.
Keringat malam sering muncul. Anak tidak batuk. Nyeri di leher belakang hilang timbul masih dirasakan.
1 Bulan SMRS keluhan nyeri di leher belakang makin memberat, sulit untuk menoleh, tidak ada
kelemahan di keempat ekstremitas, bisa berjalan seperti biasa. Anak terus menerus demam tidak tinggi, naik
turun, tidak batuk, tidak pernah kejang. Berat badan dirasakan menurun. Keringat malam sering dirasakan
keluar. Anak dibawa ke RSUD Cilacap dikelola sebagai meningitis, dilakukan pemeriksaan rontgen cervical ,
hasil: kyphosis vertebra cervical disebabkan destruksi VC 4 dd post trauma, infeksi, metastasis. Pasien dirawat
dokter spesialis saraf selama 22 hari, dilakukan fisioterapi, keluhan nyeri berkurang, leher bisa menoleh bebas
terbatas ke kanan dan ke kiri, pasien dipulangkan dan disarankan rujuk ke RSS.
Riwayat penyakit dahulu : riwayat batuk lama disangkal , riwayat trauma (+) 7 bulan yang lalu, keluhan
(-). riwayat penyakit keluarga , riwayat tumor (-), riwayat penyakit serupa (-), riwayat kontak TB (+) teman di
panti ( dalam pengobatan TB). Scoring TB pada anak ini 3.
Pemeriksaan fisik , keadaan umum : baik, compos mentis. BB : 37 kg, TB : 159,5 cm , LK : 49 cm, LP :
64 cm, LD : 73 cm, LLA : 18 cm, waterlow 75%. Tanda Vital : TD : 120/70 mmHg , Respirasi : 20 x/menit,
Nadi : 90 x/menit, Suhu : 37.9 o C . Status Generalis : Kepala : konjungtiva tidak anemis , sklera tidak ikterik.
Leher : JVP tidak meningkat, limfonodi tidak teraba, massa (-), NT (+). Thorax : I : Simetris, ketinggalan gerak
(-), P : Fremitus kanan = kiri, P : Sonor kanan = kiri, A : Vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : I : Flat, A : Peristaltik (+) Normal, P : Timpani, P : Supel, nyeri tekan (-), massa (-)
Status lokalis regio Colli, I: tak tampak massa , tak tampak deformitas, P : Nyeri tekan (+), taka da gangguan
neurovascular , Gerakan : terbatas karena nyeri.
Pemeriksaan laboratorium Hb : 9.3 g/dL, AL : 9500 /uL, AT : 605.000/uL, AE: 4.180.000, Batang : 9%,
Segmen : 60%, Eosinofil : 8%, Limfosit : 16%, Alb : 4,12 g/dL, SGOT : 14 IU/L, SGPT : 9 IU/L, BUN : 4,8
mg/dL, Creatinin : 0.53 mg/dL, GDS : 119 u/L, Ca : 3,5 mmol/L. Na : 144 mmol/L, ALP : 207 U/L (35-105),
ICT TB negative, BTA sputum 3x negative, KED : 96 mm/jam, CRP : 86 mg/L. PPT : 12,7. INR: 0,90
14
kontrol : 138. APTT: 38,3 kontrol : 33. Pemeriksaan MDT didapatkan hasil gambaran anemia ec suspek
defisiensi besi disertai proses infeksi.
Pemeriksaan radiologis yang dilakukan adalah foto polos cervical, foto polos thoraks, bone survey dan
CT scan cervical. Pada pemeriksaan foto polos cervical didapatkan hasil kesan kifosis vertebra cervical ec
destruksi VC 5 dd post trauma, infeksi, metastasis. Pada pemeriksaan foto polos thoraks didapatkan hasil kesan
paru dalam batas normal, besar cor normal, suspek fraktur patologis os costa 8 dextra aspek lateral. Pada
pemeriksaan bone survey didapatkan hasil kesan gambaran lesi litik di tabula externa pars parietal dextra,
destruksi di VC 5 , destruksi di VL 5 dan lesi litik di proximal os fibula sinistra. Pada pemeriksaan CT Scan
cervical didapatkan hasil kesan kompresi berat VC 5, destruksi VC 4,6,7 disertai paravertebral abses sangat
mungkin spondylitis tuberculosis, Spondilolisthesis dengan kifosis VC 4-6.
Pada pemeriksaan patologi anatomi dari biopsi costa didapatkan hasil radang granulomatosa kaseosa
sesuai dengan tuberculosis. Pada hasil PA biopsy cervical didapatkan hasil osteomyelitis granulomatosa dengan
abses sangat mungkin proses tuberculosis dengan infeksi sekunder.
Pada pasien ini penatalaksanaannya mendapat terapi tuberculosis 4 FDC (RHZE) 2x1 tab, thiamin 1x1
tab, calnic 1x2 cth, meizan 3x500 mg. Pasien juga dilakukan operasi dekompresi VC 5 dengan pemasangan
fiksasi internal plate and screw.
15
BAB IV
PEMBAHASAN
Spondylitis tuberculosis merupakan bentuk tuberculosis ekstra paru yang penting secara klinis karena
gejala sisanya berupa deformitas vertebra dan defisit neurologis oleh karena kompresi medulla spinalis.
Pengenalan dini dan terapi yang tepat menjadi penting untuk meminimalkan gejala sisanya.
Di negara berkembang, penderita TB usia muda diketahui lebih rentan terhadap
spondilitis TB daripada usia tua. Sedangkan di negara maju, usia munculnya spondylitis TB
biasanya pada dekade kelima hingga keenam. Apabila sudah ditemukan deformitas berupa
kifosis, maka patogenesis TB umumnya spinal sudah berjalan selama kurang lebih tiga sampai
empat bulan.4
Pasien pada laporan kasus ini seorang laki laki usia 14 tahun dengan keluhan nyeri pada leher.
Hal ini sesuai kepustakaan bahwa spondylitis tuberculosis dapat mengenai semua usia terutama usia produkstif
baik wanita maupun laki - laki dengan gejala klinis sudah terjadi 3 - 4 bulan .
Menurut penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, lesi vertebra thoracal
dilaporkan pada 71 % kasus spondilitis TB, diikuti dengan vertebra lumbal, dan yang terakhir
vertebra cervical. Lima hingga tujuh persen penderita mengalami lesi di dua hingga empat
corpus vertebra dengan rata-rata 2,51. Jika pada orang dewasa spondilitis TB banyak terjadi pada
vertebra thoracal bagian bawah dan lumbal bagian atas, khususnya thoracal 12 dan lumbal 1,
pada anak-anak spondylitis TB lebih banyak terjadi pada vertebra thoracal bagian atas.4
Pada
pasien ini spondylitis tuberkulosis terjadi vertebra cervical. Hal ini sesuai dengan penelitian di RSCM Jakarta.
Adakalanya lesi tuberkulosis terdiri dari lebih dari satu lokasi infeksi vertebra. Hal ini
disebut sebagai spondilitis TB non-contiguous, atau “skipping lesion”. Peristiwa ini dianggap
merupakan penyebaran dari lesi secara hematogen melalui pleksus venosus Batson dari satu
fokus infeksi vertebra. Insidens spondilitis TB non-contiguous dijumpai pada 16 persen kasus
spondilitis TB.4 Pada pasien ini selain terjadi spondylitis vertebra cervical, juga terjadi infeksi TB
di costa 8 dextra aspek lateral , tabula externa pars parietal dextra , lumbal 5 dan proximal os
fibula sinistra.
Proses terbentuknya gibbus adalah lesi berawal dari tuberkel yang kecil., kemudian mengaktifkan
chaperonin 10, suatu stimulator poten yang meningkatkan proses resorpsi tulang., proses pengkejuan
menghalangi pembentukan tulang reaktif & membuat tulang yang terinfeksi relatif avaskuler, terbentuk sequester
tuberculosis yang menyebabkan dekstruksi progresif & kolaps corpus vertebra anterior kifosis .7
16
Pada hasil pemeriksaan laboratorium pasien ini didapatkan adanya peningkatan KED dan CRP, ICT
negatif, BTA sputum negative. Pada foto thorak ditemukan pulmo dan besar cor dalam batas normal.
Tuberculosis ekstra paru biasanya jarang berdiri sendiri dan biasanya merupakan kelanjutan proses
tuberkulosis di tempat lain terutama dari tuberculosis paru, namun sering ditemukan bahwa waktu diagnosis
tuberculosis ekstra paru proses tuberculosis di paru kadang sudah tidak terlihat lagi. Hal ini bisa terjadi karena
proses tuberculosis di paru mungkin sudah sembuh terlebih dahulu sedangkan penyebaran masih berlangsung
ditempat lain.
Pada foto polos vertebrae cervical pasien ini didapatkan destruksi corpus vertebrae cervical 5. Dalam
kepustakaan disebutkan bahwa pada spondylitis TB terjadi destruksi tulang secara prominen yakni terjadi lebih
lamban dibandingkan dekstruksi tulang pada spondilitus pyogenik. Khas pada spondilitis TB adalah destruksi 2
atau lebih vertebrae, erosi, kalsifikasi jaringan lunak dan paravertebral abses. Pada fase lanjut didapatkan
penyempitan discus intervertebralis akibat herniasi ke dalam corpus vertebrae yang telah rusak atau destruksi
discus intervertebralis akibat gangguan nutrisi. Namun foto polos kurang sensitif dalam mendiagnosa cepat
penyakit ini, bahkan paravertebral abses sangat sulit dilihat pada foto polos. 10
Pada pasien ini hasil pemeriksaan CT scan cervical memperlihatkan destruksi multiple vertebrae yaitu
vertebrae cervical 5, hampir diseluruh corpus destruksi sehingga canalis spinalis didaerah tersebut sedikit sempit,
selain itu juga ditemukan paravertebral abses. Pemeriksaan CT Scan memperlihatkan gambaran proses infeksi
yang lebih luas dibandingkan dengan yang terlihat pada foto polos. Fragmentasi dan paravertebral abses dapat
terlihat dengan alat ini. Pada suatu penelitian, didapatkan 25% penderita memperlihatkan gambaran proses
infeksi pada CT Sscan. CT scan secara efektif dapat melihat kalsifikasi pada abses jaringan lunak. Selain itu CT
scan dapat digunakan untuk memandu prosedur biopsi.11
Pada pasien ini dari hasil CT scan cervical terdapat abses paravertebral cervicalis. Abses paravertebra
terbentuk dari eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta basil tuberculosis )
menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior dan mendesak aliran darah vertebra di dekatnya.
Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligamen yang
lemah .11
Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esophagus, atau cavum pleura. Abses
pada vertebra thorakalis biasanya tetap tinggal pada daerah thoraks setempat menempati daerah paravertebral,
berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medulla spinalis sehingga
timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di
bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah crista iliaca dan
mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonum scarpei atau regio glutea .9
17
BAB V
KESIMPULAN
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit menular yang dapat berakibat fatal dan dapat mengenai semua
bagian tubuh. Spondilitis tuberkulosis merupakan infeksi sekunder dari infeksi tuberkulosis dengan penyebaran
sebagian besar secara hematogen melalui pembuluh darah arteri epifiseal atau melalui plexus vena Batson.
Telah dilaporkan kasus anak laki-laki umur 14 tahun 6 bulan dengan spondylitis tuberculosis di vertebra
cervicalis. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik adanya nyeri lokal di leher sekitar 4 bulan, adanya demam naik
turun terus menerus, keringat malam hari, berat badan berkurang, keterbatasan gerak leher. Pemeriksaan
laboratoris yang mendukung pada pasien ini adanya peningkatan KED dan CRP. Pada pemeriksaan radiologis
foto polos cervical didapatkan kifosis vertebra cervical ec destruksi VC 5. Pada foto polos thorax didapatkan
pulmo dan besar cor dalam batas normal, suspek fraktur patologis os costa 8 dextra aspek lateral. Pada bone
survey didapatkan lesi litik di di tabula eksterna pars temporal dextra, di vertebra lumbal 5 dan di proximal os
fibula sinistra. Pada CT scan cervical didapatkan kompresi berat VC 5, destruksi VC 4,6 disertai paravertebral
abses sangat mungkin spondylitis tuberculosis. Spondilolisthesis dengan kifosis VC 4-6.
Pada pasien ini tidak ditemukan focus primer di paru, tetapi ditemukan spondylitis tuberculosis di
vertebra cervical 5 dan lesi di tulang lain seperti di calvaria, vertebra lumbal 5, dan os fibula sinistra proximal.
Foto polos secara pasti sulit membedakan antara spondilitis tuberculosis dengan diagnosa bandingnya,
maka diperlukan modalitas lain untuk membantu penegakan diagnosa spondilitis tuberculosis ini yaitu CT Scan.
Diagnosa pasti pada pasien berdasarkan hasil biopsy pemeriksaan Patologi Anatomi (PA).
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Rasjad, C. Spondilitis Tuberkulosa dalam Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Ed.II. Makassar: Bintang
Lamumpatue. 2003. p. 144-149
2. Harsono. Spondilitis Tuberkulosa dalam Kapita Selekta Neurologi. Ed. II. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press. 2003. p. 195-197
3. Zuwanda, Janitra,R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis Tuberkulosis. 2013 CDK-208 vol. 40 no.
9
4. Sinan,T., Al-Khawari,H., Ismail,M., Ben-Nakhi, A., Sheikh,M . 2004, Spinal Tuberculosis: CT and MRI
Featur.Ann Saudi Med 24 (6).
5. Hudoyo ,A. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. Diterbitkan oleh Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis
Indonesia. Jakarta. Maret 2012. Vol 8.
6. Medlinux, Spondilitis Tuberkulosa, last update September 2007, Available from
http://medlinux.blogspot.com/2007/09/spondylitis-tuberkulosa.html. ( 15 Me 2013)
7. Chauhan,A., Gupta,B.B. Spinal Tuberculosis. Journal, Indian Academy of Clinical Medicine
January-March, 2007. Vol. 8, No. 1 pp 110 - 4
8. De Backer A.I, Mortelé, K.J.,Vanschoubroeck, I.J., Deeren, D., Vanhoenacker, F.M., De
Keulenaer, B.L., Bomans, P., et al. Tuberculosis Of The Spine: CT And MR Imaging Features.
Belgium.
9. Becker, D.N., Wilson, C.B. Spondilitis tuberculosis, Report of two cases. J. Newoswg. 1979, 50 : 106 – 109.
10. Mardjono, M., Sidharta, P. Spondilitis tuberculosis ,Fakultas Kedokteran Universtas Indonesia, 2003. p 393-
4.
11. Thomas, Wolf, Konrad, Andreas. Tuberculosis ekstra pulmo. Blackwell Science.1998. 158.
12. Jain, A.K. Tuberculosis of the spine. The journal of bone and joint surgery. July 2010;92-B:905-13.
13. Vitriana. Spondilitis Tuberkulosis. Bagian Ilmu Kedokteran Fisik Dan Rehabilitasi FK-
UNPAD / RSUP.Dr.Hasan Sadikin .2002
14. Paramarta, I.G., Purniti,P.S.,Subanada,S.B.,Astawa, P. Spondilitis Tuberkulosis. Sari
Pediatri. Oktober 2008. Vol.10. no.3
15. Ansari, S., Rauniyar, R.K., Dhungel, K., Sah, P.L., Pashupati,C., Ahmad, K., Amanullah, F.
MR evaluation of spinal tuberculosis. Al Ameen J Med Sci 2013; 6(3) :219-225
19
16. Polley, P.J., Dunn, R.N. Surgical management of cervical tuberculosis: Review of 18
patients. SA ORTHOPAEDIC JOURNAL Winter 2009 . Page 63
20
LAMPIRAN
Gambar 1. Anatomi vertebra
21
Gambar 2. Pengukuran angulasi kifotik metode Konstam.Pertama, tarik garis khayal sejajar end-
plate superior badan vertebra yang sehat di atas dan di bawah lesi. Kedua garis tersebut
diperpanjang ke anterior sehingga bersilangan.Sudut K pada gambar adalah sudut Konstam,
sedangkan Sudut A adalah angulasi aktual yang dihitung. Pada contoh gambar ini, angulasi
kifotik adalah sebesar 30º.
Stadium Gambaran klinikoradiologis Durasi perjalanan penyakit
I. Pre-
destruktif
Kurvatura lurus, spasme otot perivertebral, hiperemia
tampak pada skintigrafi , MRI menunjukkan edema
sumsum tulang.
< 3 bulan
II. Destruktif
awal
Penyempitan ruang diskus, erosi paradiskal. MRI
memperlihatkan edema dan kerusakan korteks
vertebra, CT scan menunjukkan erosi marginal dan
kavitasi.
2–4 bulan
III. Kifosis
ringan
2–3 vertebra terkena (angulasi 10º–30º) 3–9 bulan
IV. Kifosis
moderat
>3 vertebra terkena (angulasi 30º–60º) 6–24 bulan
V. Kifosis
berat
>3 vertebra (angulasi >60º) >2 tahun
Tabel 1. Klasifikasi spondylitis tuberculosis secara klinikoradiologis3
22
Gambar 2a – Gambaran mid-sagital MRI T2-weighted spondylitis TB cervical menunjukkan kelainan dalam
corpus vertebra yang berdekatan dengan discus intervertebralis space (tanda panah putih), pembentukan
subligamentous abses (panah hitam) dan keterlibatan epidural (bintang).
Gambar 2b – Gambaran aksial MRI T2-weighted dari pasien yang sama menunjukkan septate dan abses
paravertebral dan abses intra-osseus sugestif dari lesi TBC. 12
Gambar 3a - Radiografi polos lateral dari vertebra thoracal bagian atas yang diperoleh pada tahun 1987 pada
anak laki-laki berusia lima tahun menunjukkan kelainan pada vertebra empat dengan kyphosis. Dia terapi dengan
kemoterapi. Dia asimptomatik selama 16 tahun dan kemudian mulai menunjukkan defisit neurologis. Pada tahun
23
2007 ia mengalami defisit yang berat.
Gambar 3b – Gambaran mid-sagital MR T1-weighted dari pasien yang sama, diambil pada tahun 2007,
menunjukkan lesi yang menyembuh pada vertebra thoracal bagian atas dengan kyphosis yang berat. Gambaran
internal yang menonjol adanya indentasi di spinal cord yang menunjukkan atrophy yang berat .12
Gambar 4c - Radiograf polos lateral vertical setelah dekompresi anterior, interbody grafting antara C3 dan C5
dan plating. Kyphosis telah di koreksi.11
24
Gambar 3. Pasien an NR
Gambar 4. Foto cervical pasien
25
Gambar 4. Foto cervical pasien
Gambar 5.Foto thorax pasien
26
27
Gambar 6. Foto bone survey pasien
28
Gambar 7. Foto CT scan cervical pasien
29
Spondylitis pyogenik Metastasis Spondylitis tuberculosis
Penyebab Staphylococcus aureus >> Metastase dari Ca
primer
Mycobacterium tuberculosis
Usia Puncak dekade 6 -7 Usia > 50 th Usia produktif (15-55 th)
Lokasi Lumbal Lumbal Thoracal >> diikuti lumbal
dan cervical
Kejadian
memberatnya lesi
Cepat Belum jelas Lebih lambat
Erosi cortex end
plate
+ jarang +
Keterlibatan > 2
vertebra
Jarang Jarang Lebih sering
Collap corpus
vertebrae
+ - +
Gibbus + - +
Discus
Intervertebralis
Menyempit Tidak terkena Menyempit
Abses para vertebrae Jarang Tidak Ada Sering
Kalsifikasi pada
abses
Tidak ada Tidak ada Ada
Air fluid level pada
abses
Bisa ada Tidak ada Tidak ada
Canalis spinalis Obstruksi total/partial Obstruksi total/partial Obstruksi total/partial
Tabel 2. Perbandingan Spondylitis piogenik , Metastases dan Spondylitis tuberculosis di vertebra