bab i pendahuluan - uksw · 2020. 6. 29. · 1 bab i pendahuluan a. latar belakang korupsi di...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korupsi di Indonesia telah terjadi secara sistematis dan meluas dalam kehidupan
masyarakat. Praktik korupsi yang terjadi secara meluas dan sistematis dapat membawa
bencana bagi kehidupan masyarakat dan juga merupakan pelanggaran hak-hak sosial
dan hak-hak ekonomi masyarakat. Oleh karena itu berdasarkan Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak lagi
menggolongkan korupsi sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) tetapi telah
menggolongkannya menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).1
Mengingat demikian serius dan besarnya perhatian masyarakat internasional
terhadap masalah korupsi yang melanda berbagai negara berkembang, maka Sidang
Umum PBB tanggal 16 Desember 1996, mengeluarkan sebuah resolusi tentang
pemberantasan korupsi. Resolusi tersebut dituangkan ke dalam sebuah dokumen, yaitu
“United Nations Declaration Againts Corruption and Bribery in International
Commercial Transaction”.2 Dalam deklarasi itu, PBB memintakan perhatian dan
mendorong negara-negara anggota untuk mengambil langkah-langkah penanggulangan,
baik secara individual, atau melalui kerjasama internasional dan regional, berdasarkan
1 Bambang Waluyo, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: Strategi dan Optimalisasi, Cetakan
Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hlm. 20. 2The United Nations, United Nations Declaration Againts Corruption and Bribery in International
Commercial Transaction, 16 Desember 1996. Deklarasi PBB ini lebih lanjut dipublikasikan dalam sebuah
Resolusi PBB Nomor A/RES/51/59 tanggal 28 Januari 1997.
2
konstitusi dan prinsip-prinsip dalam sistem hukum masing-masing. Untuk mencapai
efektifitas penegakan hukum dalam penanggulangan korupsi, di dalam deklarasi itu
dianjurkan, agar negara-negara anggota dapat mengadopsi ketentuan-ketentuan hukum
yang diperlukan sepanjang hal tersebut memang belum terdapat di dalam sistem hukum
masing-masing.3
Visi masyarakat internasional untuk saling bekerjasama dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi menjadi semakin jelas terlihat dan menguat, yang ditandai dengan
“Declaration of 8th International Conference Against Corruptions” tahun 1997 di
Lima, Peru. Bagian penting yang patut dicatat dari deklarasi tersebut adalah adanya
klausula yang meletakkan keharusan bagi setiap negara untuk meningkatkan efektifitas
hukum yang berkaitan dengan korupsi semaksimal mungkin. Keharusan mana mesti
dijaga agar tetap berada dalam koridor konstitusi masing-masing negara dan norma-
norma hak asasi manusia yang bersifat universal. Perhatian masyarakat internasional
sebagaimana tertuang dalam dokumen-dokumen di atas, paling tidak telah meletakkan
dasar-dasar yang kuat untuk menunjukkan arah, bahwa korupsi di masa mendatang
harus diberantas dan tidak bisa ditoleransi. Oleh sebab itu, penanggulangan dan
pemberantasan korupsi haruslah merupakan usaha bersama antar bangsa.
Indonesia memiliki komitmen tinggi dalam rangka pemberantasan korupsi yang
tercermin dengan adanya Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta terwujudnya Pengadilan Tindak Pidana
3Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional,
Pusat Pendidikan dan Latihan BPKP, Jakarta, 1999, hlm. 417-418.
3
Korupsi yang terpisah dari Pengadilan Umum. Mengingat Indonesia dalam keadaan
darurat korupsi maka terdapat dilema dalam penegakannya yaitu negara dituntut untuk
memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi demi memberikan keadilan
bagi masyarakat yang telah dilanggar hak asasinya, namun disisi lain negara juga
dituntut untuk melindungi hak-hak narapidana korupsi salah satunya adalah hak remisi.
Dasar hukum pemberian remisi di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (yang selanjutnya disebut UU Pemasyarakatan)
dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan
Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (yang selanjutnya disebut
PP 99 tahun 2012). Berdasarkan Pasal 14 huruf i UU Pemasyarakatan, “Remisi
merupakan hak yang diberikan terhadap narapidana dan anak pidana yang telah
berkelakuan baik selama menjalani pidana.” Dalam Pasal 1 angka 6 PP 99 tahun 2012,
“Remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana
dan anak pidana yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan.” Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 34 ayat (1) PP 99
tahun 2012, “Setiap narapidana dan anak pidana berhak mendapatkan remisi.”
Syarat khusus dan tata cara untuk mendapatkan remisi bagi narapidana korupsi diatur
dalam Pasal 34A dan 34 B PP 99 tahun 2012 yang berbunyi:
Pasal 34 A
(1) Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak
pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi,
4
kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang
berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus
memenuhi persyaratan:
a. bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu
membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
b. telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan
pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak
pidana korupsi; dan
c. telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh
LAPAS dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta
menyatakan ikrar:
1) kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara
tertulis bagi Narapidana Warga Negara Indonesia, atau
2) tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara
tertulis bagi Narapidana Warga Negara Asing, yang dipidana
karena melakukan tindak pidana terorisme.”
(2) Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan
prekursor narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya berlaku terhadap Narapidana yang dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun.
(3) Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
harus dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak
hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.4
Pasal 34 B
(1) Remisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) diberikan oleh
Menteri.
(2) Remisi untuk Narapidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34A ayat (1)
diberikan oleh Menteri setelah mendapat pertimbangan tertulis dari menteri
dan/atau pimpinan lembaga terkait.
(3) Pertimbangan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan
oleh menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait dalam jangka waktu paling
lama 12 (dua belas) hari kerja sejak diterimanya permintaan pertimbangan
dari Menteri.
(4) Pemberian Remisi ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pemberian remisi bagi narapidana korupsi merupakan isu hukum yang telah dikaji
dalam berbagai forum termasuk di Mahkamah Konstitusi. Sekedar contoh, dalam
4 Yang dimaksud dengan “instansi penegak hukum” adalah instansi yang menangani kasus terkait, antara
lain: a. Komisi Pemberantasan Korupsi; b. Kepolisian Negara Republik Indonesia; c. Kejaksaan Republik
Indonesia; d. Badan Narkotika Nasional.
5
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XV/2017 tentang uji materi UU
Pemasyarakatan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Pokok Pasal yang diuji adalah Pasal 14 ayat (1) UU Pemasyarakatan yang
ditujukan untuk mendapatkan pengurangan masa hukuman yang sedang dijalani.Dalam
argumentasinya, pemohon menilai bahwa hak-hak konstitusional sebagaimana diatur
dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama dihadapan hukum” dan 28H ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang
berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan” terhalang karena adanya
ketidakpastian hukum yang terdapat dalam Pasal 14 ayat (1) huruf i yaitu mendapatkan
pengurangan masa pidana (remisi) dan k yaitu mendapatkan pembebasan bersyarat, dan
ayat (2) UU Pemasyarakatan yang membuka berbagai penafsiran berbeda yang
membatasi hak-hak pemohon untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.
Berdasarkan putusannya Mahkamah Konstitusi menolak pengujian yang diajukan oleh
pemohon. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa “Remisi adalah hak hukum (legal
rights) yang diberikan oleh negara kepada narapidana sepanjang telah memenuhi syarat-
syarat tertentu. Artinya remisi bukanlah hak yang tergolong ke dalam kategori hak asasi
manusia (human rights) dan juga bukan tergolong ke dalam hak konstitusional
(constitutional rights) sehingga dapat dilakukan pembatasan terhadapnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.”5
5 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XV/2017 (putusan tersebut bukan untuk di studi secara
6
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XV/2017yang telah
diuraikan diatas dijelaskan bahwa remisi merupakan hak hukum yang diberikan oleh
negara kepada narapidana sepanjang telah memenuhi syarat-syarat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang terkait. Artinya hak remisi merupakan hak yang
muncul saat seseorang telah di jatuhi pidana penjara.Pidana penjara bagi pelaku tindak
pidana korupsi tidak akan menimbulkan efek jera apabila berbagai kemudahan terus
diberikan (remisi). Sifat kejahatan luar biasa korupsi harus sampai pada pelaksanaan
putusan dalam lembaga pemasyarakatan.
Kebijakan pemberian remisi oleh pemerintah, di satu sisi harus diakui telah berdampak
positif terhadap perkembangan pembinaan di LAPAS terutama untuk mengurangi
kelebihan kapasitas, tetapi di sisi lain menimbulkan aspek negatif yaitu akibat
ketidakjelasan kriteria pemberian remisi, terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam
pelaksanaan pemberian remisi kepada narapidana korupsi dan anak pidana di LAPAS.
Kriteria pemberian remisi yang disyaratkan oleh Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor
99 Tahun 2012 dan penjelasannya menyatakan bahwa, yang dimaksud dengan
”berkelakuan baik” adalah tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu
6 (enam) bulan terakhir, terhitung sebelum tanggal pemberian Remisi; dan telah
mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh LAPAS dengan predikat
baik”
Pada dasarnya manusia (dalam hal ini pelaku tindak pidana korupsi) secara alamiah
merupakan makhluk sosial yang hidup bersama dengan manusia lainnya serta
khusus melainkan untuk memberikan pandangan).
7
mempunyai kehormatan dan hak yang sama, maka hak alamiah yang menjadi miliknya
tersebut harus dibatasi. Batasannya adalah hak dan kebebasan orang lain, sehingga pada
setiap hak yang timbul muncul kewajiban untuk menghormatinya secara timbal balik.
Kewajiban dasar manusia dalam menghormati hak dan kebebasan orang lain adalah
seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan
terlaksananya dan tegaknya hak asasi manusia sebagaimana tertuang dalam Pasal 1
angka 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dengan
demikian, pembatasan-pembatasan hak tersebut bukan dimaksudkan untuk sekedar atau
mengurangi hak tersebut, akan tetapi untuk meneguhkan adanya hak individu tersebut.
Menurut Baharuddin Lopa, HAM adalah hak –hak yang diberikan langsung oleh Tuhan
Yang Maha Pencipta ( hak-hak yang bersifat kodrati ). Oleh karenanya tidak ada
kekuasaan apapun di dunia ini yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian, bukan
berarti manusia dengan haknya dapat berbuat semau-maunya, sebab apabila seseorang
melakukan sesuatu yang dapat memperkosa hak-hak asasi orang lain, maka dengan
sendirinya ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.6
Lebih lanjut Baharuddin Lopa, yang mengutip pengertian HAM menurut PBB yang
menyatakan bahwa : human rights could be generally defined as those rights which are
inherent in our nature and without which we cannot live as human being, berpendapat
bahwa pengertian tersebut perlu dilengkapi. Kalimat mustahil dapat hidup sebagai
manusia hendaklah diartikan mustahil dapat hidup sebagai manusia yang bertanggung
6 Baharuddin Lopa, Al-Qur’an dan Hak Asasi Manusia, Cetakan Kedua, Dana Bhakti Prima Yasa,
Yogyakarta, 1996, hlm. 10.
8
jawab. Alasan penambahan kata bertanggung jawab karena selain memiliki hak,
manusia juga memiliki tanggung jawab atas segala yang dilakukannya.7
Hak lebih berkaitan dengan kebebasan sedangkan kewajiban lebih berkaitan dengan
tanggung jawab namun kedua aspek tersebut saling bergantung satu sama lain demi
terciptanya keseimbangan. Menurut pendapat Rhona K.M Smith, disamping
keabsahannya terjaga dalam eksistensi kemanusiaan manusia, juga terdapat kewajiban
yang sungguh-sungguh untuk dimengerti, dipahami, dan dipertanggungjawabi untuk
dilaksanakan. Hak-hak asasi merupakan suatu perangkat asas-asas yang timbul dari
nilai-nilai yang kemudian menjadi kaidah-kaidah yang mengatur perilaku manusia
dalam hubungan dengan sesama manusia. Apapun diartikan atau dirumuskan dengan
hak asasi, gejala tersebut tetap merupakan suatu manifestasi dari nilai-nilai yang
kemudian dikonkretkan menjadi kaidah hidup bersama.8
Menurut Majda El Muhtad tanggung jawab negara (state obligation) dalam memajukan
hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya tidak hanya dituntut dalam bentuk kewajiban hasil
(obligation of result), tetapi sekaligus dalam bentuk kewajiban bertindak (obligation of
conduct). Dalam konteks tanggung jawab yang demikian ini, kebijakan-kebijakan
negara dalam memajukan hak-hak ekosob harus dapat menunjukkan terpenuhinya
kedua bentuk kewajiban tersebut.9
7 Harifin A. Tumpa, Peluang dan Tantangan Eksistensi Pengadilan HAM di Indonesia, Cetakan Pertama,
Prenada Media Group, Makassar, 2009, hlm. ix. 8 Rhona K.M. Smith, Textbook on International Human Rights, Oxford University Press, Oxford, 2005,
hlm. 5. 9 Majda El Muhtad, Dimensi-dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2013, hlm. xxxii.
9
Berkaitan dengan tanggung jawab negara dalam memajukan hak-hak sosial dan
ekonomi sejatinya telah tertuang dalam tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Atas dasar tersebut maka negara
memiliki kewajiban untuk mensejahterakan seluruh warga negaranya dari kemiskinan
dan kesenjangan sosial yang salah satu faktor penyebabnya adalah korupsi.
Instrumen HAM yang memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak ekonomi, sosial
dan budaya adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan
Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Sebagai hak positif (positive
rights) cara pemenuhannya diukur dengan seberapa jauh kehadiran tanggung jawab
negara dalam pemenuhan hak-hak yang masuk dalam kategori ekonomi, sosial, dan
budaya.10 Dalam Pembukaan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
mengingatkan negara-negara akan kewajibannya menurut Piagam PBB untuk
memajukan dan melindungi HAM, mengingatkan individu akan tanggung jawabnya
untuk bekerja keras bagi pemajuan dan penataan HAM yang diatur dalam Kovenan ini
dalam kaitannya dengan individu lain dan masyarakatnya, dan mengakui bahwa, sesuai
dengan DUHAM, cita-cita umat manusia untuk menikmati kebebasan sipil dan politik
serta kebebasan dari rasa takut dan kekurangan hanya dapat tercapai apabila telah
10 Ismail Hasani, Dinamika Perlindungan Hak Konstitusional Warga: Mahkamah Konstitusi Sebagai
Mekanisme Nasional Baru Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia, Pustaka Masyarakat Setara,
Jakarta, 2013, hlm. 383.
10
tercipta kondisi bagi setiap orang untuk menikmati hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya
serta hak-hak sipil dan politiknya.
Negara sebagai pemegang kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi
HAM kepada individu ataupun masyarakat, tidak boleh mengorbankan HAM yang
dimiliki masyarakat hanya untuk melindungi hak segilintir orang saja. Dalam pemberian
remisi yang menjadi hak narapidana juga harus dilihat konteks sifat kejahatan korupsi.
Langkah luar biasa dalam memberantas korupsi sangat diperlukan yaitu bukan saja
mengembalikan uang negara yang diambil melainkan juga untuk menimbulkan efek
jera. Salah satu bentuknya adalah dengan menghapus remisi bagi koruptor.
Penghapusan remisi bagi narapidana korupsi tidak bertentangan/melanggar HAM
karena sejatinya remisi merupakan hak hukum yang berarti bahwa negara tidak
diwajibkan untuk memberikan hak remisi.
Berdasarkan pemaparan di atas maka penulis akan membahas mengenai perlindungan
terhadap hak masyarakat sehubungan dengan hak remisi bagi narapidana korupsi.
Terhadap isu tersebut penulis berargumen bahwa pemberian remisi bagi narapidana
korupsitidak sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia sebab korupsi
telah bertentangan/melanggar HAM yang dimiliki masyarakat. Pengetatan pemberian
remisi bagi narapidana korupsi sebagaimana tercantum dalam PP 99 tahun 2012
sejatinya telah sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi, namun dalam
prakteknya pemberian remisi rawan disalahgunakan yaitu terkait dengan kriteria,
transparansi, dan kepastian hukum yang mengakibatkan keadilan bagi masyarakat tidak
tercapai.
11
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan penjelasan latar belakang masalah diatas maka isu hukum/rumusan
masalah penelitian ini adalah :
Mengapa pemberian remisi bagi narapidana korupsi bertentangan/melanggar HAM
masyarakat ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan:
Menjelaskan bahwa pemberian remisi bagi narapidana korupsi
bertentangan/melanggar HAM masyarakat.
D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
Penelitian hukum untuk kepentingan akademis digunakan untuk menyusun karya
akademis dan posisi peneliti dalam penyusunan karya akademis bersikap netral.
Langkah pertama adalah peneliti harus dapat memisahkan dirinya dari kepentingan-
kepentingan yang terlibat di dalam kegiatan penelitian itu.11
2. Praktis
Menurut Peter Mahmud Marzuki penelitian hukum untuk kegiatan praktik hukum
akan menghasilkan argumentasi hukum. Langkah pertama dalam penelitian hukum
11 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hlm. 225.
12
untuk keperluan praktis adalah mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminasi hal-hal
yang tidak relevan. Dengan membedakan fakta hukum dan fakta nonhukum peneliti
dapat menetapkan isu yang hendak dipecahkan.12
Berdasarkan pengertian diatas, dalam penelitian ini telah dihasilkan argumentasi
hukum bahwa pemberian remisi bagi narapidana korupsi merupakan pelanggaran HAM
masyarakat, sehingga diperlukan langkah luar biasa dari pemerintah yaitu dengan
menghapus pemberian remisi bagi koruptor yang dapat dijadikan bahan kajian dalam
upaya penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah menemukan kebenaran koherensi,
yaitu adakah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma yang berupa
perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta apakah tindakan seseorang
sesuai dengan norma hukum atau prinsip hukum.13
Dalam penelitian ini terdapat pembahasan bahwa pemberian remisi bagi narapidana
korupsi tidak sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia dimana
korupsi telah melanggar HAM masyarakat yang telah diatur dalam Deklarasi HAM
Universal dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
12Ibid., hlm. 214. 13 Peter Mahmud Marzuki, Loc, cit.
13
Disamping itu dalam pembahasan juga dimuat mengenai perlindungan hukum berkaitan
dengan kewajiban hukum yang harus dipenuhi oleh narapidana korupsi.
2. Pendekatan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan oleh penulis, maka untuk
menjawab isu hukum dalam penelitian, penulis akan menggunakan pendekatan sebagai
berikut:
2.1.Pendekatan perundang-undangan (statute approach).
Dalam metode pendekatan perundang-undangan diperlukan pemahaman
mengenai hirerarki, dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan.
Pendekatan peraturan perundang-undangan adalah pendekatan dengan
menggunakan legislasi dan regulasi.14 Pendekatan ini dilakukan untuk
mempelajari dan memahami mengenai kandungan normatif yang ada
dalamUndang-Undang No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
2.2.Pendekatan Konseptual (conseptual approach)
Pendekatan Konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan
hukum yang ada. Hal itu dilakukan karena memang belum atau tidak ada aturan
hukum untuk masalah yang dihadapi.15 Pendekatan ini dilakukan untuk
14Peter Mahmud Marzuki, Op. cit., hlm. 215. 15Ibid., hlm. 215.
14
mempelajari tentang keabsahan pemberian remisi bagi narapidana tindak pidana
korupsi dari pandangan para sarjana dan doktrin hukum.
3. Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian adalah
penelusuran kepustakaan yang berupa literatur dan dokumen-dokumen yang ada, yang
berkaitan dengan objek penelitian. Dalam penelitian ini telah disebutkan bahwa
pendekatan yang dilakukan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan
pendekatan konseptual. Maka dalam penelitian ini terdapat peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan pemberian remisi dan HAM. Bahan hukum yang dikaji
meliputi beberapa hal berikut:
3.1.Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-
undangan yang berhubungan dengan penelitian, yaitu:
1) UUD 1945;
2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;
3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan
Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya;
4) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan
Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan; dan
15
5) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XV/2017.
3.2.Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks
yang ditulis para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, dan pendapat para sarjana
yang relevan dengan penelitian ini.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan ini disusun secara sistematis dalam 3 subtansi utama, yaitu pendahuluan,
pembahasan dan penutup. BAB I dari skripsi ini berisi Pendahuluan, yang terdiri dari
latar belakang, rumusan masalah, dan tujuan penelitian. Disamping ketiga komponen
tersebut dalam BAB I juga dikemukakan manfaat penelitian, dan metodologi penelitian.
BAB II berisi Pembahasan yang berisi Tinjauan Pustaka, Hasil Penelitian, dan
Analisisa mengenai tinjauan umum HAM yang di dalamnya terdapat hak masyarakat
(hak ekonomi, sosial dan budaya), serta diuraikan pula konsep pemasyarakatan di
Indonesia yang berhubungan dengan hak narapidana khususnya hak remisi. Dalam
analisisa akan diuraikan alasan-alasan mengapa pemberian remisi bagi narapidana
tindak pidana korupsi merupakan bentuk pelanggaran HAM yang dimiliki masyarakat.
BAB III merupakan Penutup dari penelitian yang berisi kesimpulan yang diambil
berdasarkan hasil penelitian dan saran sebagai tindak lanjut dari kesimpulan tersebut.