bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
Remaja selalu diidentikan dengan masa pencarian identitas. Oleh
karena itu identitas diri menjadi isu penting yang tidak dapat dipisahkan
jika berbicara tentang remaja, baik remaja awal bahkan hingga remaja
akhir sekalipun. Pencapaian identitas diri yang mantap pada masa ini
menjadikan remaja mampu memasuki tahap perkembangan hidup
selanjutnya yaitu dewasa dengan lebih siap. Oleh karena itu, pada bab ini
penulis menguraikan latar belakang dari penelitian untuk memperjelas
beberapa faktor yang mempengaruhi identitas diri yaitu kualitas
pertemanan dan iklim sosial ditinjau dari jenis kelamin. Penelitian ini
difokuskan pada identitas diri mahasiswa Teologi yang tinggal diasrama
Fakultas Teologi UKAW Kupang.
1.1. Latar Belakang
Masa remaja merupakan salah satu fase penting dari rentang
kehidupan seorang individu, unik, penuh dinamika, sekaligus penuh
dengan tantangan dan harapan. Hall (1991) menyatakan bahwa masa
remaja merupakan masa yang dianggap sebagai masa topan badai dan
stres (stormandstress). Pada masa remaja akan terjadi banyak perubahan.
Perubahan-perubahan tersebut terjadi pada berbagai aspek yang berkaitan
dengan remaja itu sendiri. Perubahan yang terjadi ada fisik yaitu tubuh
berkembang sangat pesat sehingga mencapai bentuk tubuh orang dewasa
disertai pula dengan perkembangan kapasitas reproduksi. Selain itu,
kognitif remaja pun mengalami perubahan yang signifikan dan mulai
mampu berpikir secara abstrak seperti halnya orang dewasa (Clarke-
Stewart & Freedman, 1987 dalam Agustiani, 2006). Remaja menjadi lebih
kritis dalam melihat dan memberi respon lingkungannya karena telah
2
mencapai tahap formal operasional serta menjadi sangat resisten terhadap
berbagai aspek yang tidak masuk akal dan juga telah mampu untuk
merumuskan cita-cita masa depannya. Selain kedua aspek tersebut, aspek
yang lain yaitu sosial, remaja mengalami perubahan dalam setting jaringan
sosialnya, remaja juga merasakan bahwa secara sosial tidak cocok lagi
bergabung dengan anak-anak maupun orang dewasa, oleh karena itu ingin
membentuk kelompok sendiri yang terdiri dari teman-teman seusianya
(Santrock, 2011).
Betapapun berbagai perubahan maupun dinamika yang terjadi pada
tahap ini, remaja memiliki keinginan yang kuat untuk menunjukkan
eksistensi dirinya kepada orang lain, ingin melepaskan ketergantungannya
pada pihak lain, termasuk orang tua, remaja ingin dilihat dan diakui
sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai duplikat dari individu lain, baik
orang tua maupun orang dewasa lainnya (Purwadi, 2004). Karena pada
dirinya, remaja menghadapi tugas utama mencari dan menegaskan
eksistensi dan jati dirinya, mengetahui kekuatan dan kelemahan diri
sendiri, mencari arah dan tujuan, menjalin hubungan dengan orang yang
dianggap penting, pengembangan ketrampilan intelektual dan kompetensi
serta peran sosialnya di tengah masyarakat.
Erikson (1963) menyebutkan salah satu bagian yang unik dalam
masa remaja ialah yang disebutnya sebagai moratorium psikososial. Di
sinilah seorang remaja relatif memiliki kebebasan untuk bebas dari
tanggungjawab sehingga dapat memiliki ruang untuk mencoba (dan
membuang) berbagai identitas yang berbeda (Upton, 2012). Karena itu
remaja mampu bereksperimen dengan berbagai peran dan kepribadian
yang berbeda hingga menemukan satu yang paling sesuai. Berbagai isu
yang harus diatasi di masa remaja menjadi perhatian remaja di waktu-
3
waktu yang berbeda sehingga mereka mampu mengatasi isu-isu identitas
secara tersendiri, sekaligus membuat „tugas-tugas‟ tersebut dapat dikelola
(Coleman (1978) dalam Upton, 2012).
Pembentukan identitas disebut penting karena akan menghasilkan
remaja dengan diri yang stabil dan dapat diterima dalam lingkungannya.
Remaja dengan pemahaman identitas diri yang benar akan mampu
mendeskripsikan diri, dan mengetahui tentang keunikan dirinya,
kemampuan, kelebihan dan kekurangan dirinya. Sedangkan remaja yang
tidak berhasil membentuk identitasnya dengan baik akan mungkin
mengalami dua hal yaitu yang pertama remaja dapat menarik diri dari
lingkungan dan mengisolasi diri, atau yang kedua remaja dapat masuk
dalam lingkungan pergaulan yang akhirnya mengaburkan status
identitasnya, kepribadian yang labil, dan sebagainya (Santrock, 2007).
Ketidakjelasan identitas ini yang oleh Erikson disebut sebagai Identity
Confusion (kebinggungan identitas). Hal ini memberi dampak ketakutan,
ketidakpastian, isolasi, dan tidak mampu mengambil keputusan bagi
dirinya sendiri (Cremers, 1989). Individu pun dapat merasa terisolasi,
hampa, cemas, bimbang (Hall, 1993). Remaja akan merasa kesepian dan
dalam keadaan yang ekstrim hal ini dapat menyebabkan usaha-usaha
untuk bunuh diri (Ausubel, dalam Monks, 1991).
Menjelang berakhirnya masa remaja atau yang disebut Late
Adoloescence (remaja akhir), remaja menjadi lebih matang, emosi dan
aspirasi lebih stabil, dan makin bersikap realistis. Baik remaja laki-laki
maupun perempuan sering terganggu dengan idealisme yang berlebihan
bahwa mereka harus segera melepaskan kehidupan mereka yang bebas
bila telah mencapai status orang dewasa. Remaja menjadi sangat
mendambakan kemandirian, usaha untuk mandiri secara emosional dari
4
orang tua dan orang-orang dewasa lainnya. Kemandirian tersebut yakni
antara dorongan untuk otonomi dan memperoleh kendali tingkah lakunya
sendiri namun pada saat yang sama ada juga kebutuhan akan perhatian dan
pertolongan dari orang tua dan orang dewasa lainnya (Santrock, 2011).
Remaja akhir (late adoloescence) merupakan suatu tahapan yang
menarik. Tahapan dimana adanya konsolidasi menuju periode dewasa dan
ditandai hal-hal seperti dengan pencapaian minat yang mantap,
kemantapan ego, terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah
lagi, dan sebagainya (Blos dalam Sarwono, 2010). Berkaitan dengan
identitas atau pun perkembangan identitasnya, pada tahapan usia ini juga
tidak lepas dari tantangan tahapan pekembangan yaitu persiapan akhir
untuk memasuki peran-peran orang dewasa (Agustiani, 2006).
Setelah menyelesaikan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan
kemudian pindah ke Pendidikan Tinggi, mahasiswa tahun pertama berada
di tahap masa perkembangan remaja akhir. Hurlock (1959, dalam Rogers
(1966) menunjuk batasan usia berkisar dari usia 18 sampai 21 tahun. Ini
adalah ketika remaja mulai menyadari mereka menjadi dewasa yang stabil
sehingga lebih emosional dan lebih menekankan pada bagaimana
menentukan masa depan. Pada waktu mahasiswa masuk universitas
mereka sedang dalam proses mengembangkan identitas (Erikson, 1980).
Perubahan eksternal dan internal yang dialami remaja yang
menjadi mahasiswa memerlukan penyesuaian diri yang tepat. Mahasiswa
tahun pertama yang tidak berhasil beradaptasi dengan lingkungan baru
tersebut dapat mengalami berbagai masalah. Berdasarkan sejumlah studi
tentang masalah-masalah yang paling sering dihadapi oleh mahasiswa
pada tahun-tahun pertamanya, Gender muncul sebagai variabel yang
relevan dalam mengidentifikasi gangguan kecemasan dan insomnia
5
(Christopoulos, 2001). Dalam kasus lain, isu-isu spesifik telah dianalisis
pada mahasiswa baru, seperti penggunaan internet untuk hal-hal yang
tidak pantas (Jenaro, et al., 2007). Selain itu sejumlah studi mengevaluasi
kecemasan dan depresi pada populasi mahasiswa perguruan tinggi (Conley
etal., 2013). Penelitian yang lain menyebutkan mahasiswa baru
menunjukkan masalah yang berbeda di antara yang paling sering adalah
adanya gejala fisik, kecemasan, emosional, somatik, serta gejala yang
tinggi berkaitan dengan identitas eksistensial, ketegasan atau keputusan
membuat keputusan pada masa penting yaitu transisi dan penyesuaian
dalam pengalaman mahasiswa itu sendiri (Tomsa, et al., 2014).
Universitas Kristen Artha Wacana adalah sebuah lembaga
pendidikan tinggi kristen di kota Kupang yang memiliki Fakultas Teologi
sejak tahun 1971. Dari periode ke periode tahun ajaran, minat mahasiswa
untuk berstudi di Fakultas Teologi relatif tinggi, meskipun harus selalu
dibatasi dalam angka target tertentu agar tetap ada efektifitas dan stabilitas
perkuliahan. Menurut Data online Fakultas Teologi UKAW Kupang
jumlah mahasiswa yang terdaftar dan berkuliah aktif di Fakultas Teologi
pada saat ini adalah 417 orang(http://ukaw.ac.id/fakultas-
teologi#.V1pnXjUV4-k,2015). Salah satu dari kewajiban menjadi
mahasiswa Teologi ialah bersedia tinggal dan dibina di asrama selama
tahun-tahun pertamanya menjadi mahasiswa. Oleh karena itu keberadaan
mahasiswa diwadahi dengan 5 unit asrama asrama yang dapat menampung
hingga 165 orang, dan saat ini telah ditambahkan dengan 1 unit
RUSUNAWA bantuan pemerintah. Namun karena keterbatasan daya
tampung maka mereka yang wajib tinggal di Asrama adalah mahasiswa
tingkat I & II (semester I – IV) atau dalam jangka waktu 4 semester.
6
Asrama mahasiswa teologi bukan saja menjadi salah satu fasilitas
bagi mahasiswa, namun asrama juga menjadi bagian integral dari sistem
pendidikan di Fakultas, yakni sebagai “Rumah Pemuridan” (house of
discipleship). Dalam wawancara denganChaplain (Pendeta Mahasiswa)
dan pengurus asrama yang secara langsung bertanggungjawab bahwa
asrama Teologi memiliki warna tersendiri dalam perannya mewadahi
pembinaan dan pembentukan karakter mahasiswa sebagai calon-calon
pendeta (Meller, wawancara, 2016). Di samping bekal akademik yang
diterima mahasiswa dalam perkuliahan, pembinaaan terpola warga asrama
pun dijalankan sepanjang mahasiswa berada seperti seperti melatih
tanggungjawab, kemandirian, perilaku-perilaku prososial, relasi, dan
pengembangan diri dengan berbagai kegiatan yang diprogramkan secara
unit maupun bersama di asrama.
Namun sebagai individu yang baru menanjak pada jenjang
pendidikan yang baru di perguruan tinggi, tentu mengalami banyak
„benturan‟ dengan keadaan dan situasi yang baru yang menimbulkan
masalah pada identitas diri. Menurut data-data yang diperoleh, beberapa
fenomena lebih jelas menonjolkan beberapa dimensi identitas seperti
identitas sosial dan identitas personal kemudian diikuti dimensi-dimensi
identitas diri lainnya. Fenomena-fenomena yang nampak diperoleh dari
hasil telaah data tertulis (arsip mahasiswa asrama), kemudian dari
wawancara langsung dengan beberapa pihak terkait pengelola atau
pengurus asrama dalam hal ini wakil Dekan III dan Chaplain, berikutnya
ialah berdasarkan wawancara tidak lansung dalam bentuk diskusi-diskusi
ringan bersama mahasiswa yang menjadi responden serta dengan pengurus
asrama lainnya, dan yang terakhir diperoleh melalui hasil pengambilan
data awal.
7
Fenomena-fenomena yang sangat nampa ialah dalam kaitannya
dengan berjumpa dengan lingkungan dan orang-orang yang sama sekali
baru, pengalaman pertama tinggal jauh dari orang tua serta banyakjuga
mahasiswa yang baru pertama kali keluar daerah untuk melanjutkan
pendidikan. Berdasarkan data yang dikumpulkan penulis berdasarkan
wawancara dan penelusuran data tertulis mahasiswa di asrama, tidak
sedikit mahasiswa yang baik langsung maupun tidak mengakui bahwa hal
ini merupakan kendala bagi dirinya. Ada yang menyebutkan bahwa ia
kurang mampu bergaul, ada pula yang menyatakan sulit bisa beradaptasi
di tempat baru, ada yang menyebutkan bahwa ia belum mampu pola hidup
berasrama, bahkan ada juga yang menyatakan bahwa ia sulit
menyimbangkan pola hidupnya dengan kebiasaan hidup berasrama. Hal
ini pun tidak semua remaja mampu melaluinya dengan baik, demikian
pula dengan mahasiswa Fakultas Teologi yang tinggal di asrama.
Berdasarkan hal-hal ini dapat terlihat adanya kendala umum lainnya
berkaitan dengan salah satu aspek identitas yaitu identitas sosial.
Pernyataan mahasiswa yang terangkum dalam data-data yang ada
menyebutkan bahwa mereka belum mampu mandiri, ada juga yang
menyebutkan bahwa belum mampu mengurus keuangan sendiri, ada juga
yang menyatakan bahwa sedang belajar untuk mengelola waktu belajar,
ada pula yang menyebutkan bahwa masih bergantung pada orang tua
untuk menentukkan bagaimana ia harus mengatur keuanganya dan
sebagainya. Hal ini secara tidak langsung menyiratkan ada masalah
dengan salah satu aspek identitas yakni identitas personal. Di samping itu
berkaitan dengan dimensi identitas ini, kendala yang lain seperti berkaitan
dengan kematangan emosional dan intelegensi yang dialami juga oleh
mahasiswa. Menurut data tidak sedikit mahasiswa yang mengakui belum
8
mampu mengontrol emosi dengan baik (kebanyakan dari mahasiswa laki-
laki) sepertinampak pada sikap yang sering terlihat seperti menjadi lebih
emosional (pemarah dan atau gampang menangis), sulit diatur, suka
memprotes, tidak bisa bekerja sama dengan baik, acuh tak acuh, suka
membangkang, cepat marah, mudah tersinggung, mudah terpancing
emosi, sopan santun dalam berlaku dan berbahasa dan lain-lain.
Sedangkan berkaitan dengan intelegensi, sebagian besar mahasiswa
tingkat awal mengakui kurang mampu menyesuaikan diri dengan ritme
dan pola belajar di universitas dan beberapa masalah dalam akademik
(berkaitan dengan perkuliahan, nilai dan sebagianya).
Selanjutnya pada sisi yang lain, mahasiswa pada umumnya tidak
terlalu menunjukkan ada masalah pada identitas fisik. Namun jika diteliti
sebenarnya ada masalah yang berkaitan dengan dua dimensi yang saling
berkaitan yaitu identitas personal dan identitas fisik. Ada kecenderungan
mahasiwa berkaitan dengan pandangan terhadap citra dirinya.
Kecenderungan ini nampak pada gaya busana (jenis pakaian dan gaya
berpakaian), rambut (terlihat lebih jelas pada mahasiswa laki-laki),
aksesoris-aksesoris tertentu seperti make-up (lebih terlihat pada
mamasiswa perempuan) dan sebagainnya. Beberapa kecenderungan yang
teramati dan juga berdasarkan hasil wawancara ini menunjukkan adanya
masalah atau kendala pada dimensi identitas fisik.
Menurut temuan dari telaah arsip mahasiswa yang tinggal
diasrama, ditemukan tidak sedikit fakta mengenai masalah mahasiswa
berkaitan dengan keluarga baik latar belakang keluarga, status keluarga,
maupun hubungan keluarga (antar dan antara keluarga). Sebagian besar
mahasiswa menyatakan bahwa ia tidak bisa berada jauh dari orang tua
atau pun keluarga dekatnya, ada pula yang menyatakan memiliki masalah
9
keluarga yang berat, ada yang tidak memiliki hubungan yang akrab
dengan keluarganya, ada yang dibesarkan dari keluarga yang tidak
lengkap (yatim atau piatu bahkan yatim piatu) ataupun keluarga angkat,
kerabat dan sebagainya. Namun sebagian besar dari itu menyatakan tidak
mampu lepas dari ketergantungannya dengan keluarga dalam arti bahwa
kedekatan dengan keluarga menimbulkan ketakutan tersendiri, rasa
ketidakmampuan, dan ada pula kecenderungan yang berarah pada rasa
kesepian.
Hal yang terakhir yaitu fenomena berkitan dengan masalah
identitas diri khususnya dimensi identitas moral-etis. Dalam kebutuhan
waktu penelitian tentu tidak terlalu cukup untuk merangkum masalah-
masalah yang berkaitan dengan dimensi identitas ini, namun pada faktanya
ada beberapa hal yang diperoleh dari hasil wawancara dengan Chaplain
serta telaah data mahasiswa asrama menemukan indikasi bahwa tidak
sedikit mahasiswa yang sedang berusaha mengkonsepkan kembali
identitas moral-etis mereka. Tentu hal ini bukan dalam arti moral-etis yang
pada umumnya dipahami, namun lebih kepada subjektifitas terhadap nilai
dan norma yang dibangun dalam kehidupan berasrama juga di sisi lain
dalam proses perkuliahan dan pembinaan sebagai mahasiswa Teologi.
Kendala-kendala pada dimensi ini yang tersirat ditemukan ialah
menyangkut nilai kejujuran, kesopanan, kedisiplinan, dan nilai-nilai sosial
berkaitan dengan tata krama pergaulan.
Saratnya tuntutan tugas perkembangan yang dihadapi dan juga
fenomena-fenomena yang berkaitan dengan masalah identitas diri seperti
telah dipaparkan sebelumnyasebagai kompleksitas tantangan tersendiri
bagi mahasiswa Teologi yang tinggal di asrama. Bertolak dari pola pikir
tentang tugas perkembangan remaja, maka konsolidasi menuju tahapan
10
selanjutnya harus sudah mulai ditampakkan di masa ini seperti pencapaian
identitas diri remaja itu sendiri. Perkembangan dan pencapaian identitas
diri remaja pun dipengaruhi oleh banyak faktor. Adapun faktor-faktor
yang mempengaruhi perkembangan dan pencapaian identitas diri remaja
ialah sebagai berikut.
Waterman (1982) menyatakan beberapa faktor yang mempengarui
perkembangan identitas yaitu antara lain, 1) Semakin besar tingkat
identifikasi dengan orang tua sebelum atau selama masa remaja, semakin
besar kemungkinan akan membentuk dan memelihara komitmen pribadi
yang bermakna. Dengan identifikasi yang kuat, masuk ke dalam, dan
pemeliharaan, status penyitaan muncul paling mungkin. 2) Perbedaan gaya
pengasuhan yang akan akan tercermin dalam perbedaan dalam jalur
pembentukan identitas. 3)Semakin besar kisaran alternatif identitas yang
individu sebelum atau selama masa remaja, semakin besar kemungkinan
akan menjalani krisis identitas. Dengan demikian, masyarakat homogen
mungkin kondusif untuk membentuk dan menjaga komitmen penyitaan,
sedangkan masyarakat lebih heterogen dapat berfungsi untuk
memfasilitasi pintu masuk ke dalam krisis identitas. 4) Semakin besar
ketersediaan tokoh Model dianggap hidup sukses, semakin besar
kemungkinan akan bahwa seseorang akan membentuk komitmen yang
berarti. 5) Sifat dari harapan sosial yang berkaitan dengan pilihan identitas
yang timbul dalam keluarga, sekolah, dan kelompok sebaya akan
memberikan kontribusi pada jalur perkembangan identitas tertentu yang
digunakan. 6) Konsisten dengan prinsip epigenetik, bahwa kepribadian
pra-remaja memberikan landasan yang tepat untuk mengatasi masalah
identitas (yaitu, ada tingkat yang cukup kepercayaan dasar, otonomi,
11
inisiatif, dan industri), pengembangan identitas lebih berhasil adalah
kemungkinan untuk melanjutkan pada tahap perkembangan selanjutnya.
Grotevant & Cooper (1985, dalam Meeus, et al., 2002)
menyatakan bahwa kualitas hubungan orang tua-remaja membantu
perkembangan identitas; melalui interaksi sosial dengan orang tua dan
juga dengan teman sebaya mendorong sebanyak mungkin peluang baik
remaja untuk mengeksplorasi kemungkinan nilai dan peran, dukungan
emosional, bantuan dan model perkembangan identitas.
Macia (1980, dalam Dariyo, 2004) menyebut dua faktor utama
yang berpengaruh terhadap identitas remaja yaitu yang pertama ialah
orang tua. Faktor yang kedua ialah kepribadian remaja itu sendiri yang
meliputi kekuatan ego, kemandirian, kontrol diri internal, percaya diri,
insiatif, kreatif dan berprestasi.
Menurut Hill etal., (2007) dalam studi empirisnya menyatakan ada
beberapa faktor yang memengaruhi perkembangan identitas diri seorang
remaja yaitu antara lain hubungan orang tua-remaja, kelompok teman
sebaya, karakteristik tetangga (di lingkungan tempat tinggal), status
sosioekonomi, dan etnisitas.
Rifany (2008) menyatakan ada tiga faktor utama yang
memengaruhi identitas seorang remaja yaitu yang pertama iklim keluarga
yang berkaitan dengan interaksi sosio-emosional antar anggota keluarga,
sikap dan perlakuan orang tua terhadap remaja. Yang kedua adalah tokoh
idola yang diidolakan remaja tersebut dan ayang terakhir ialah peluang
pengembangan diri.
Para (2008) dalam penelitiannya menyatakan ada dua sumber
dukungan yang utama bagi perkembangan individu yaitu keluarga dan
teman sebaya. Keluarga merangsang dan memberi dukungan terhadap
12
perkembangan poin khusus sebagai pandangan awal individu terhadap
identitas seperti apa yang hendak dicapai. Sedangkan teman sebaya
menawarkan model-model, ragam, dan peluang untuk eksplorasi identitas
menyangkut nilai-nilai, ide dan keyakinan-keyakinan. Keduanya
memainkan peran pada perkembangan identitas diri (Bosma & Kunnen,
2001).
Sedangkan Fuhrman (1992, dalam Ristianti, 2009) menyebut ada
beberapa faktor yang memengaruhi identitas remaja yaitu antara lain
hubungan orang tua-remaja, model identifikasi, homogenitas lingkungan,
perkembangan kognisi, sifat individu, pengalaman masa kanak-kanak,
pengalaman kerja, interaksi sosial, dan kelompok teman sebaya. Selain itu,
interaksi antar teman sebaya mendorong banyak peluang baik remaja
untuk mengeksplorasi kemungkinan nilai dan peran, dukungan emosional,
bantuan dan model perkembangan identitas (Barber et al. dalam Berk,
2012). Kualitas hubungan dengan teman sebaya dan afeksi yang diberikan
kepada remaja memiliki hubungan positif berkaitan dengan integrasi
identitas dan komitmen identitas (Rassart et al., 2012). Kelekatan terhadap
teman sebaya berhubungan positif dengan komitmen untuk hubungan dan
status eksplorasi identitas. Komitmen untuk identitas berhubungan positif
kepercayaan terhadap orang tua dan kepercayaan terhadap teman sebaya
dalam relasi-relasi (Meeus et al., 2002).
Rich & Schachter (2012) mengenai iklim dan perkembangan
identitas siswa, menemukan bahwa persepsi siswa terhadap iklim sosial
yang positif bermakna dan berguna bagi penegasan eksplorasi identitas.
Sekolah dan komunitas juga turut memberi pengaruh dan memberi
banyak peluang bagi ekplorasi identitas seorang remaja, aktivitas-aktivitas
seperti kegiatan ektrakulikuler yang mendorong rasa tanggungjawab dan
13
harga diri, dinamika kelas yang merangsang pikiran tingkat tinggi, dan
berbagai pelatihan yang membuat seorang remaja menyibukan diri dalam
dunia kerja yang nyata (Coatsworth et al.; McIntosh et al., dalam Berk,
2012).
Budaya (etnisitas) juga turut memengaruhi satu aspek identitas
matang yang luput dari perhatian ialah membangun rasa kesinambungan
diri di tengah perubahan pribadi besar; dan yang terakhir kekuatan sosial
yang berperan memunculkan tantangan tertentu dan membentuk “identitas
idaman” untuk seorang remaja (Berk, 2012).
Purwanti (2013) menyebutkan individu yang sedang membentuk
identitas diri adalah individu yang ingin menentukan siapakah dan apakah
dirinya pada saat ini serta siapakah atau apakah yang individu inginkan di
masa yang akan datang. faktor-faktor yang memengaruhi identitas diri
remaja adalah pengaruh keluarga terhadap identitas, identitas budaya dan
etnis, dan jenis kelamin.
Silaban dkk. (2015) menemukan bahwa remaja mengembangkan
pemahaman mengenai diri sebagai proses berkomunikasi bersama orang
lain yang biasanya dimulai dari keluarga oleh orang tua dalam
menemukan dan menampilkan kapasitas identitas diri di sepanjang usia
kehidupan untuk mendapatkan konsep diri secara jelas.
Dengan faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya maka
dapat disimpulkan bahwa perkembangan atau pembentukan identitas
terjadi dan berlangsung sebagai proses yang berkesinambungan sejak
seorang individu memulai pengalaman pertama di dalam keluarga hingga
individu memasuki masa remaja sebagai titik di mana ekplorasi terhadap
identitas semakin tajam. Identitas diri dipengaruhi oleh banyak faktor yang
lebih utama dikenal seperti keluarga (parenting, relasi orang tua-remaja,
14
hubungan antar saudara kandung, iklim keluarga), teman sebaya
(dukungan teman sebaya, pertemanan, persahabatan, perbedaan gender,
interaksi antar teman sebaya), sekolah (iklim sosial, komunitas) dan
lingkungan (interaksi sosial, figur model, homogenitas lingkungan,
etnisitas).
Dalam kebutuhan penelitian, maka variabel kualitas pertemanan
dan iklim sosial menjadi variabel yang menarik untuk meneliti identitas
diri mahasiswa teologi tingkat pertama yang tinggal di asrama Teologi
UKAW Kupang ditinjau dari jenis kelamin.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal di atas maka rumusan masalah dalam
penelitian ini yaitu:
1. Apakah kualitas pertemanan dan iklim sosial sebagai prediktor
identitas diri remaja akhir mahasiswa teologi yang tinggal di
asrama Fakultas Teologi UKAW Kupang.
2. Apakah ada perbedaan identitas diri mahasiswa teologi yang
tinggal di asrama Fakutas Teologi UKAW Kupang ditinjau dari
jenis kelamin.
1.3. Tujuan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini ialah
sebagai berikut:
1. Menentukan kualitas pertemanan dan iklim sosial sebagai
prediktor identitas diri remaja akhir mahasiswa Teologi yang
tinggal di asrama Fakultas Teologi UKAW Kupang.
2. Menentukan apakah ada perbedaan identitas diri mahasiswa
Teologi yang tinggal di asrama Fakutas Teologi UKAW Kupang
ditinjau dari jenis kelamin.
15
1.4.Manfaat
1. Manfaat teoritis
Memberi sumbangan ilmiah bagi perkembangan ilmu psikologi
perkembangan dan menjadi refrensi bagi wawasan tentang
pengaruh kualitas pertemanan dan iklim sosial bagi identitas diri
remaja itu sendiri.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Fakultas dan Asrama Teologi
Menjadi referensi yang dapat dipakai untuk dalam pola
penanganan mahasiswa atau dalam hal ini mahasiswa serta
pada saat yang sama mengusahakan dalam program-program
untuk juga memberi perhatian bagi perkembangan identitas diri
yang sedang dialami oleh mahasiswa-mahasiswanya.
b. Bagi Penulis
Menjadi salah satu sumber belajar unutk memperdalam
pengetahuan tentang psikologi perkembangan yang begitu
kompleks dan menarik salah satunya ialah tentang remaja dan
perkembangannya secara khusus perkembangan identitas diri.
c. Bagi Penelitian selanjutnya
Menjadi sumber belajar, referensi dan bahan acuan yang
mendorong untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai
perkembangan remaja dalam hal perkembangan identitas
dengan mengembangkan peubah-peubah lainnya yang belum
pernah diteliti.
1.5.Sistematika Penulisan
Sistematika dalam tulisan ini terdiri terdiri dari lima bab, yaitu:
16
1. Bab I, meliputi latar belakang tentang masalah penelitian, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat serta sistematika penulisan.
2. Bab II, meliputi tinjauan pustaka yaitu berkaitan dengan teori
untuk variabel-variabel penelitian, aspek-aspek dan faktor-faktor,
hasil-hasil penelitian sebelumnya, dinamika antar variabel, model
penelitian dan selanjutnya hipotesis penelitan.
3. Bab III, meliputi metode penelitian yang digunakan dalam
penelitan ini yaitu terdiri dari identifikasi penelitian, definisi
operasional, metodologi pengumpulan data, alat ukur, populasi dan
sampel, daya diskriminasi, reliabilitas alat ukur, uji asumsi klasik
dan uji hipotesis.
4. Bab IV, meliputi deskripsi tempat penelitian, prosedur penelitian,
deskripsi responden penelitian, uji diskriminasi dan reliabilitas
skala, kategorisasi skor, uji asumsi klasik, uji hipotesis serta
pembahasan.
5. Bab V, meliputi kesimpulan, saran kepada tempat penelitian yang
berkaitan dengan hasil penelitian ini, serta rekomendasi bagi
penelitian selanjutnya.