bab i pendahuluan -...

12
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Alasan Pemilihan Judul Pemberian Bantuan Hukum Bantuan Hukumadalah hak setiap warga negara sebagai wujud pemenuhan persamaan di muka hukum (equality before the law) 1 bagi setiap warga negara Indonesia. Yuris menganggap setiap hak sebagai barang tidak berrwujud. Dengan demikian, Bantuan Hukum adalah suatu barang tidak berwujud (intangible property), milik setiap warga negara, maupun penduduk yang tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Penulis berpendapat bahwa hak atas Bantuan Hukum tersebut merupakan hak konstitusional setiap orang yang timbul sebab ada janji yang dibuat secara sepihak (unilateral voluntary obbligation) oleh antara lain Negara, sebagai suatu subjek hukum secara sukarela atau cuma cuma. Namun demikian, hakikat keilmuan dari kewajiban yang wajib dipikul oleh Negara tersebut, dalam hal ini hakikat Bantuan Hukum sebagai suatu perikatan yang bersifat cuma-cuma, belum terlalu memperoleh perhatian dalam studi keilmuan kurikulum. Hal itulah yang telah menjadi alasan yang pertama mengapa Penulis tertarik untuk mengangkat judul: Bantuan Hukum Sebagai 1 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 4.

Upload: ngotram

Post on 11-Apr-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Alasan Pemilihan Judul

Pemberian Bantuan Hukum –Bantuan Hukum— adalah hak setiap warga

negara sebagai wujud pemenuhan persamaan di muka hukum (equality before the

law)1 bagi setiap warga negara Indonesia. Yuris menganggap setiap hak sebagai

barang tidak berrwujud. Dengan demikian, Bantuan Hukum adalah suatu barang

tidak berwujud (intangible property), milik setiap warga negara, maupun

penduduk yang tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Penulis berpendapat bahwa hak atas Bantuan Hukum tersebut merupakan hak

konstitusional setiap orang yang timbul sebab ada janji yang dibuat secara sepihak

(unilateral voluntary obbligation) oleh antara lain Negara, sebagai suatu subjek

hukum secara sukarela atau cuma – cuma.

Namun demikian, hakikat keilmuan dari kewajiban yang wajib dipikul

oleh Negara tersebut, dalam hal ini hakikat Bantuan Hukum sebagai suatu

perikatan yang bersifat cuma-cuma, belum terlalu memperoleh perhatian dalam

studi keilmuan kurikulum. Hal itulah yang telah menjadi alasan yang pertama

mengapa Penulis tertarik untuk mengangkat judul: Bantuan Hukum Sebagai

1 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 4.

Suatu Perikatan yang Bersifat Cuma – Cuma untuk penelitian dan penulisan

skripsi kesarjanaan Penulis.

Alasan yang kedua mengapa Penulis tertarik untuk melakukan penelitian

dan pada akhirnya menulis suatu skripsi kesarjanaan dengan judul sebagaimana

telah dipaparkan di atas adalah bahwa, meskipun Bantuan Hukum telah diatur

secara khusus dan diakui dalam beberapa peraturan perundang – undangan, baik

yang pernah maupun tengah berlaku di Indonesia, antara lain misalnya diatur di

dalam Undang – Undang Republik Indonesia No. 8 tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana (KUHAP), Khususnya Pasal 69 sampai dengan Pasal 74,2 namun

belum terlihat di sana sifat-sifat atau hakekat, karakteristik, cuma–cuma dari

Bantuan Hukum tersebut.3

Pasal 69 KUHAP misalnya, hanya merekam keinginan pembuat undang–

undang bahwa penasehat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat

ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang

ditentukan dalam KUHAP.4 Kaedah hukum Pasal 69 KUHAP tersebut sama

sekali tidak mengatakan apakah sifat dari suatu Bantuan Hukum tersebut.

Demikian juga dengan penjelasan Pasal 69 KUHAP misalnya, belum dinyatakan

2 Pasal 69-74 KUHAP adalah Pasal – Pasal di bawah judul Bab VII tentang Bantuan Hukum.

3 Memang kata cuma – cuma ada dicantumkan di luar Bab VII itu, yaitu dalam pasal 56 Ayat (2).

Namun demikian apakah sifat cuma–cuma itu adalah tanpa menerima honorarium, misalnya uang

transport. Penjelasan pasal 56 hanya mengatakan cukup jelas. Dalam kenyataannya hampir tidak

ada tenaga penasehat hukum sebagaimana dimaksud oleh pasal 56 Ayat (2) yang tidak menerima

uang honorarium atau pengganti uang transportasi misalnya dari pejabat yang bersangkutan pada

semua tingkat pemerikasaan dalam proses peradilan?

4 Bab VII, Bantuan Hukum, UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

di sana sifat dari Bantuan Hukum yang diberikan. Penjelasan Pasal tersebut hanya

menegaskan bahwa apa yang diatur dalam Pasal 69 tersebut cukup jelas.

Dalam Peraturan Perundang – undangan di daerah, ada pula pengaturan

mengenai Bantuan Hukum. Hanya saja, berbagai peraturan di daerah yang Penulis

dapatkan dalam pra-penelitian yang dilakukan sendiri oleh Penulis, tidak dapat

Penulis jumpai apakah hakikat dari pemberian Bantuan Hukum oleh Pemerintah

Daerah yang diatur dalam peraturan perundang – undangan di aras daerah itu.

Ambil contoh, di Kota Semarang. Di daerah itu, ada peraturan Walikota Semarang

No. 10 tahun 2010 tentang Fasilitas Bantuan Hukum Bagi Warga Miskin Kota

Semarang yang dimuat dalam Berita Daerah Kota Semarang tahun 2010 No. 10.

Namun, setelah Penulis teliti dengan cermat aturan tersebut, Penulis tidak

menemukan secara tersurat (tegas) penjelasan mengenai sifat pemberian Bantuan

Hukum yang ada dalam peraturan daerah tersebut.

Demikian pula dengan aturan yang sama di Kota Salatiga yaitu dalam

Peraturan Walikota Salatiga No. 51 tahun 2008 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan

Uraian Tugas Pejabat Struktural Pada Sekretariat Daerah dan Sekretariat

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Salatiga. Setelah Penulis teliti dalam

peraturan perundang – undangan tersebut, aturan itu hanya memuat bahwa

Bantuan Hukum yang diberikan kepada masyarakat oleh Pemerintah Kota sebatas

untuk menjalankan tugas dari bagian hukum Pemerintah Kota Salatiga. Dalam

peraturan tersebut tidak mengatur secara tegas tentang bagaimana Bantuan

Hukum serta maksud dan sifat dalam Bantuan Hukum tersebut.

Mengapa sifat dari Bantuan Hukum itu tidak juga dicantumkan dalam

berbagai peraturan perundang – undangan, antara lain seperti peraturan perundang

– undangan yang telah Penulis gambarkan diatas? Apakah para pembuat peraturan

perundang – undangan tersebut merasa tidak perlu untuk menyatakan secara tegas

sifat Bantuan Hukum tersebut, mengingat hal itu —Bantuan Hukum— adalah

sesuatu yang selalu bersifat cuma – cuma? Ataukah sebetulnya ada alasan apa?

Hal inilah yang juga menjadi alasan Penulis yang ketiga, mengapa Penulis

memilih judul: Bantuan Hukum Sebagai Suatu Perikatan yang Bersifat

Cuma-Cuma sebagai judul penelitian dan penulisan skripsi kesarjanaan ini.

1.2. Latar Belakang Masalah

Adapun hal yang melatarbelakangi penelitian dan pada akhirnya penulisan

skripsi kesarjanaan dengan judul sebagaimana telah dikemukakan di atas adalah,

bahwa sifat cuma-cuma dari Bantuan Hukum baru dinyatakan secara tegas

(expressed) dalam peraturan perundang-undang yang berlaku di Indonesia, 22

tahun setelah tahun 1981 dengan berlakunya KUHAP.5 Ditandai dengan

penempatan sifat cuma – cuma dari Bantuan Hukum dalam UU No. 18 tahun

2003 tentang Advokat. Kemudian lima tahun kemudian dalam PP No. 83 tahun

2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara

Cuma – Cuma, secara tegas sifat Bantuan Hukumnya itu dinyatakan. Hanya saja,

apa hakikat dari Bantuan Hukum sebagai suatu perikatan voluntir yang bersegi

5 UU No. 8 tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

satu sebagaimana telah penulis kemukakan di atas, belum begitu mendapat

perhatian dalam kajian ilmiah.

Dengan kaitannya dengan itu, pengertian dari perikatan bersegi satu atau

yang dikenal dalam kontrak sebagai nama ilmu hukum dengan perikatan voluntir

(unilateral voluntary obligation) itu adalah suatu janji (promise) atau pelaksanaan

suatu tindakan (undertaking) oleh satu pihak.6 Pihak yang melaksanakan tugas

(perikatan/obligation) tersebut harus memiliki kapasitas (capacity) untuk

mengikatkan dirinya sendiri secara sah (capacity to contract) Pengikatan diri

sendiri yang dilakukan oleh hanya satu pihak itu juga terjadi mengikat si orang

atau pihak yang mengikatkan dirinya sendiri tersebut mengikat orang atau pihak

itu juga mempunyai kekuasaan untuk itu (power to contract). Pihak atau orang

yang mengikatkan dirinya sendiri tersebut juga harus memiliki kehendak yang

nyata (present intention) untuk mengikatkan dirinya sendiri supaya melakukan

pembayaran, atau untuk melakukan sesuatu. Dus, sama dengan orang atau pihak

yang bersangkutan mengikatkan dirinya sendiri secara suka rela atau voluntir

untuk melaksanakan sesuatu (to perform) atau untuk melaksanakan sesuatu bagi

atau terhadap orang lain yang identitasnya sudah tertentu. Dalam kaitannya

dengan itu, perlu ditegaskan di sini bahwa ada suatu pandangan yang sudah

merupakan suatu kebenaran –terkecuali apabila pandangan itu di belakangan hari

nanti mungkin akan dibuktikan sebaliknya— bahwa cukup hanya dengan

6 Uraian mengenai unilateral voluntary obligation –Perikatan Bersegi Satu, Cuma-Cuma— ini

Penulis ambil seluruhnya dari buku Jeferson Kameo SH, LLM, Ph.D Kontrak Sebagai Nama Ilmu

Hukum Fakultas Hukum Univerrsitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

seseorang mengucapkan semata-mata suatu janji saja maka secara moral janji

yang diucapkan oleh orang itu mengikat.

Berbagai research dalam ilmu hukum membuktikan bahwa memang

secara umum, pandangan semacam itu sudah pernah ada dan dapat dilacak

kembali, setidak-tidaknya dalam pernyataan Grotius –yang oleh sementara

kalangan dipandang sebagai— ‘bapak hukum internasional’ itu. Di samping

Grotius, dapat dilihat dalam karya beberapa filsuf yang memelajari hukum,

mereka yang tergabung dalam filsafat beraliran hukum alam. Sifat satu sisi atau

unilateral dan voluntir dari janji atau promise itu nampak dari beberapa kenyataan

berikut ini.

Pertama, bahwa janji tersebut hanya melibatkan suatu pernyataan

kehendak dari satu pihak saja. Kedua, bahwa janji itu hanya menampakan beban

pertanggungjawaban kepada satu pihak saja. Janji seperti itu tidak membutuhkan

atau tidak mempersyaratkan penerimaan (acceptance) yang harus dilakukan oleh

pihak lain. Ketiga, bahwa janji seperti itu tidak membutuhkan persetujuan (assent)

dari pihak yang diuntungkan dari sesuatu (janji) yang diberikan oleh si pembuat

janji.

Keempat, bahwa pihak yang diuntungkan dari suatu janji yang diberikan

oleh seorang pembuat janji itu bisa saja meliputi siapa saja yang berada dalam

suatu rangkaian jumlah orang yang mendengar atau mengetahui janji itu.Yang

dimaksud dengan siapa saja yang berada dalam suatu rangkaian jumlah orang

tersebut misalnya; siapa saja yang menemukan suatu barang milik si pembuat

janji yang hilang. Dus, tidak merupakan sesuatu yang bersifat mewajibkan

(obligatory) apabila si orang yang dituju oleh manfaat yang diberikan oleh si

Pembuat janji itu menolak janji atau manfaat yang telah dijanjikan.

Kelima, bahwa janji juga bersifat voluntir atau sukarela (gratuitous).

Adapun yang dimaksud dengan voluntir artinya –meskipun dalam kenyataannya

kadangkala menang tak terhindarkan harus ada suatu pemenuhan kewajiban

tertentu— janji yang diberikan itu tidak membutuhkan suatu pembayaran ataupun

pelaksanaan kegiatan apapun oleh pihak lain yang mengetahui atau mendengar

janji itu.

Sifat voluntir dari janji seperti telah dikemukakan di atas itu, dapat dilihat

misalnya, pada orang yang berjanji untuk memberikan donasi atau sumbangan

kepada suatu lembaga amal. Janji yang demikian itu, pada umumnya semata-mata

bersifat sukarela. Sama halnya dengan suatu janji untuk memberikan suatu

penghargaan atau hadiah, sehubungan dengan dikembalikan suatu barang yang

hilang, juga dapat digolongkan perbuatan yang bersifat sukarela. Sifat voluntir itu

tidak hilang dengan fakta yang (niscaya) sulit dihindari. Yaitu, fakta bahwa ada

sesuatu yang harus dilakukan; dalam hal ini, yang dimaksud dengan sesuatu yang

harus dilakukan terrsebut adalah; misalnya mengembalikan; dengan cara

menyerahkan barang yang hilang itu kedalam tangan si pemilik barang.

Mengingat adalah merupakan sesuatu yang niscaya, bahwa harus ada

pengembalian barang yang hilang oleh orang yang menemukan barang tersebut,

diserahkan kepada si pemilik barang, maka tindakan penyerahan barang itu

kemudian dikategorikan sebagi suatu tindakan hukum untuk memenuhi

persyaratan atas kewajiban yang dilekatkan secara otomatis pada janji tersebut.

Itulah sebabnya kemudian muncul gagasan dari sementara jurist bahwa hal itu

dapat digolongkan sebagai suatu perikatan voluntir bersyarat. Padahal, hal itu tak

perlu. Janji atau perikatan bersegi satu itu, kadang kala, dapat diperbandingkan

dengan the polliciatio, suatu institusi hukum yang dikenal dalam hukum Romawi;

pactum est duorum concencus atque conventio, policitatio vero offerentis

promissum.

Stair, Juris Skotlandia, sempat melakukan suatu studi perbandingan untuk

menemukan karakteristik yang unik dari apa yang di dalam kontrak sebagai nama

ilmu hukum disebut disebut dengan janji, pollicitation atau penawaran atau offer,

juga pakta atau pactum dan kontrak dalam pengertian perjanjian. Menurut Stair,

dapat saja keliru apabila orang memersamakan janji dengan pollicitation yang

memiliki kandungan ijab, penawaran atau offer. Menurut Stair, suatu janji adalah

sesuatu yang sangat jelas dan murni. Dalam janji, masih menurut Stair, tidak ada

sedikitpun terkandung atau tersirat di dalamnya suatu persyaratan. Sedangkan

dengan apa yang dimaksud dengan persyaratan tersebut adalah, bahwa harus ada

suatu penerimaan (kabul) atau acceptance dari pihak yang lain terrhadap janji

tersebut,

Untuk membantah adanya tuntutan penerimaan harus ada dalam janji, Stair

kemudian menyatakan hasil amatannya. Bahwa janji atau promise saat ini sudah

umum diterima sebagai sesuatu yang mengikat. Lebih jauh, Stair berpendapat

bahwa hukum kanonik (the canon law), juga sudah tidak lagi memberlakukan

pengecualian terhadap de nudo pacto7 yang dilakukan oleh hukum sipil.

Sementara itu, di tempat yang lain, pakta atau pactum atau paction, dalam

kontrak sebagai nama ilmu hukum, didefinisikan, duorum pluriumve in idem

placitum consensus atque conventio. Para Yuris atau the institutional writers

seperti Bankton menggolongkan institusi seperti pakta atau compact menjadi janji

atau kontrak.

Mereka, para institutional writers itu mendefinisikan bahwa suatu janji

adalah keadaan dimana seseorang mewajibkan dirinya sendiri kepada orang lain,

tanpa adanya suatu apapun kewajiban timbal balik maupun kontraprestasi yang

bernilai atau sebagaimana sistem hukum Inggris menyebutnya sebagai valuable

consideration. Itulah alasan mengapa suatu janji disebut sebagai suatu kewajiban

atau perikatan yang bersifat cuma-cuma (gratuotius obligation).

Sejalan dengan kedua Yuris di atas, Bell mendefinisikan suatu janji sebagi

suatu perhubungan hukum. Menurut Bell, dalam perhubungan hukum demikian,

kontraprestasi atau consideration tidak merupakan sesuatu yang hakiki yang harus

terlebih dahulu ada atau yang harus disiapkan terlebih dahulu untuk

mengantisipasi perbuatan suatu janji. Pandangan Bell ini mendefinisikan sekali

lagi, pandangan yang dituntut oleh hukum dan berlaku dalam sistem hukum di

Skotlandia apabila dijumpai peristiwa ada pihak yang memberikan, atau

7 Yang dimaksud dengan de nundo pacto adalah mere promise, atau janji saja!

menyerahkan, atau membayar, atau melakukan sesuatu, atau tidak melakukan

sesuatu.

Bell menambahkan bahwa suatu janji dapat bersifat absolut atau

kondisional, bersyarat. Janji itu mengikat apabila dilakukan sebagai suatu

perhubungan hukum yang bersifat final. Maksud dari perkataan final adalah

bahwa seseorang tidak lagi akan menarik kembali apa yang telah

diperjanjikannya. Sebaliknya bukan merupakan suatu janji apabila hanya sekedar

dinyatakan sebagi suatu keinginan yang masih bersifat mungkin akan

dilaksanakan. Meskipun demikian suatu janji dapat saja tidak lagi mengikat atau

dibebaskan oleh suatu penolakan, baik penolakan tesebut dilakukan secara terang-

terangan atau secara tersirat dan diam-diam. Janji demikian itu dapat pula

dibebaskan apabila teryata tidak dilaksanakan persyaratan yang telah dicantumkan

dalam janji bersangkutan.

Apakah prespektif unilateral voluntary obligation sebagaimana telah

Penulis kemukakan di atas juga berlaku dalam pemberian bantuan hukum

sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia? Hal inilah

yang menyebabkan Penulis merumuskan masalah sebagaimana dikemukakan

dibawah ini.

I.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka pokok pemasalahan yang akan

diteliti adalah: bagaimana pemberian bantuan hukum sebagai suatu perikatan yang

bersifat cuma – cuma?

I.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah: mengetahui bagaimana pemberian bantuan

hukum sebagai suatu perikatan yang bersifat cuma – cuma.

I.5. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan penulis untuk melakukan

penelitian ini adalah penelitian hukum. Maksud dari penelitian hukum adalah

mencari dan menemukan prinsip – pinsip dan kaedah – kaedah hukum yang

mengatur bagaimana Bantuan Hukum sebagai suatu perikatan yag bersifat cuma-

cuma (gratuitous).

Satuan amatan; adalah peraturan perundang – undangan yang berkaitan

dengan Bantuan Hukum yang bersifat cuma – cuma seperti Undang – Undang No.

8 tahun 1981 tentang KUHAP; Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman (UU lama) dan Undang-Undang No. 48 tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman yang baru; Undang-Undang No. 18 tahun 2003

tentang Advokat; Undang-Undang No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum;

Surat Edaran No. 10 tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum;

Peraturan Walikota Salatiga No. 51 tahun 2008 tentang Tugas, Pokok, Fungsi,

dan Uraian Tugas Pejabat Struktural Pada Sekretariat Daerah dan Sekretariat

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Salatiga; Peraturan Walikota Semarang

No 10 tahun 2010 tentang Fasilitas Bantuan Hukum Bagi Warga Miskin Kota

Semarang.

Sedangkan satuan analisis penelitian ini yaitu: bagaimana pemberian

bantuan hukum (Bantuan Hukum) sebagai suatu perikatan yang bersifat cuma –

cuma (gratuitous).