bab i pendahuluan i.1 latar...

33
1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian ini bermaksud untuk mengungkap adanya peran diplomasi komersial di balik perkembangan industri pengolahan dan pemurnian hasil tambang, atau yang biasa disebut sebagai smelter, untuk mineral berjenis bauksit di Indonesia. Bauksit dipandang sebagai mineral yang prospektif. Hal ini karena barang jadi dari bauksit yang berupa aluminium, dapat digunakan pada berbagai sektor industri di dunia, mulai dari industri transportasi, telekomunikasi, elektronik, konstruksi, hingga makanan. Hampir seluruh produk yang dihasilkan dari industri tersebut menggunakan komponen yang berbahan dasar aluminium. Seiring dengan semakin tingginya aktivitas industri global, kebutuhan dunia atas aluminium pun semakin meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai salah satu penghasil bauksit terbesar di dunia, Indonesia dapat memperoleh keuntungan yang besar dari prospek bauksit yang demikian. Pemberlakuan Undang-Undang No.4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang berisi tentang larangan ekspor mineral mentah, seakan menjadi suatu momentum bagi Indonesia untuk memaksimalkan keuntungan yang dapat diperolehnya dari bauksit. Dengan mewajibkan bauksit mengalami proses peningkatan nilai tambah terlebih dahulu sebelum diekspor ke negara lain, Indonesia dapat melipatgandakan keuntungan dari hasil ekspor bauksitnya selama ini. Proses

Upload: dokhanh

Post on 20-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Penelitian ini bermaksud untuk mengungkap adanya peran diplomasi

komersial di balik perkembangan industri pengolahan dan pemurnian hasil tambang,

atau yang biasa disebut sebagai smelter, untuk mineral berjenis bauksit di Indonesia.

Bauksit dipandang sebagai mineral yang prospektif. Hal ini karena barang jadi dari

bauksit yang berupa aluminium, dapat digunakan pada berbagai sektor industri di

dunia, mulai dari industri transportasi, telekomunikasi, elektronik, konstruksi, hingga

makanan. Hampir seluruh produk yang dihasilkan dari industri tersebut menggunakan

komponen yang berbahan dasar aluminium. Seiring dengan semakin tingginya

aktivitas industri global, kebutuhan dunia atas aluminium pun semakin meningkat

dari tahun ke tahun. Sebagai salah satu penghasil bauksit terbesar di dunia, Indonesia

dapat memperoleh keuntungan yang besar dari prospek bauksit yang demikian.

Pemberlakuan Undang-Undang No.4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan

Mineral dan Batubara (Minerba) yang berisi tentang larangan ekspor mineral mentah,

seakan menjadi suatu momentum bagi Indonesia untuk memaksimalkan keuntungan

yang dapat diperolehnya dari bauksit. Dengan mewajibkan bauksit mengalami proses

peningkatan nilai tambah terlebih dahulu sebelum diekspor ke negara lain, Indonesia

dapat melipatgandakan keuntungan dari hasil ekspor bauksitnya selama ini. Proses

2

peningkatan nilai tambah bauksit dilakukan dengan mengolah bauksit menjadi

alumina melalui smelter. Alumina yang merupakan barang setengah jadi dari bauksit,

akan memiliki nilai ekspor yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ekspor

bauksit. Alumina tersebut untuk selanjutnya akan menjadi bahan baku dalam industri

aluminium.

Pengembangan industri smelter bauksit di Indonesia ternyata membutuhkan

biaya yang tidak sedikit. Indonesia terpaksa harus melakukan promosi investasi

smelter bauksit untuk menarik investasi asing agar dapat membantu memenuhi

kebutuhan biaya tersebut. Adanya promosi investasi smelter bauksit yang dilakukan

oleh Indonesia diindikasikan oleh realisasi investasi perusahaan tambang Jepang dan

China pada pembangunan smelter bauksit di Indonesia. Jepang dan China itu sendiri

adalah dua importir bauksit yang terbesar bagi Indonesia. Keduanya sama-sama

membutuhkan bauksit Indonesia dalam jumlah yang besar, sebagai akibat dari

tingginya aktivitas industri aluminium di dalam negerinya. Indonesia kemudian

memanfaatkan kondisi yang demikian sebagai “senjata” untuk menarik keterlibatan

perusahaan tambang Jepang dan China dalam realisasi pembangunan smelter bauksit

di Indonesia.

Ketika aktivitas ekspor bauksit dari Indonesia ke Jepang mulai dihentikan

akibat pemberlakuan UU Minerba, Jepang dituntut untuk menjaga agar ketersediaan

alumina di Jepang tetap dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri aluminium

di dalam negerinya. Hilangnya pasokan bauksit dari Indonesia dapat menghambat

keberlangsungan aktivitas industri aluminium di Jepang jika Jepang tidak sesegera

3

mungkin menemukan eksportir bauksit pengganti Indonesia. Namun, mencari

eksportir bauksit bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan karena spesifikasi

bauksit di negara penghasil bauksit lainnya terkadang tidak sesuai dengan apa yang

dibutuhkan oleh Jepang.1 Sedangkan di sisi lain, produksi aluminium di Jepang harus

terus dipacu seiring dengan tingginya aktivitas industri di Jepang yang pada

umumnya membutuhkan produk aluminium. Dengan membangun smelter bauksit di

Indonesia, ketersediaan alumina di Jepang yang dihasilkan dari bauksit Indonesia

dapat kembali terpenuhi meskipun aktivitas ekspor bauksit Indonesia ke Jepang harus

dilakukan dalam bentuk alumina.

Sementara itu, hal yang sama juga dialami oleh China. Pemberlakuan UU

Minerba membuat China harus kehilangan sebagian besar pasokan bauksit yang

selama ini diimpornya dari Indonesia untuk diolah menjadi alumina. Padahal, sebagai

produsen aluminium terbesar di dunia, industri aluminium di China harus berproduksi

dalam skala yang tetap, atau bahkan meningkat, untuk memenuhi kebutuhan industri

global atas produk aluminium China.2 Pemberlakuan UU Minerba ini juga telah

mengakibatkan terjadinya lonjakan harga bauksit di negara-negara penghasil bauksit

lainnya. Harga bauksit dunia menjadi tidak stabil akibat terhentinya aktivitas ekspor

bauksit di Indonesia. Jika terus dibiarkan, kondisi demikian dapat menekan

keberlangsungan industri aluminium di China.

1 Ali Fauzi. Wawancara Personal, 7 November 2014.

2 Hana. 2014. Bauksit dan China. [Internet]. Terdapat pada http://infotambang.com/bauksit-dan-china-

p571-1.htm (Diakses 18 April 2015)

4

China sebenarnya telah mengambil langkah antisipatif seperti dengan

membatasi ekspansi kapasitas produksi aluminiumnya.3 Pemerintah China beberapa

kali mengeluarkan aturan agar proses produksi pada industri aluminium di China

tidak dilakukan secara berlebihan. Namun, upaya tersebut selalu gagal karena

mendapat tentangan dari pemerintah lokal yang menghendaki peningkatan

pertumbuhan ekonomi daerahnya.4 Selain itu, langkah antisipatif lainnya yang juga

diambil oleh China adalah dengan mengalihkan eksportir bauksit ke negara penghasil

bauksit lainnya untuk menggantikan Indonesia. Akan tetapi, rendahnya harga bauksit

Indonesia belum dapat ditandingi oleh negara-negara penghasil bauksit lain di dunia5,

serta hasil impor bauksit dari negara-negara tersebut juga belum sepenuhnya dapat

menutupi hilangnya pasokan bauksit oleh Indonesia.6 Oleh karena itu, membangun

smelter bauksit di Indonesia akan menjadi pilihan yang harus ditempuh oleh China,

terlebih karena China juga tengah mengalami inefisiensi industri aluminium akibat

naiknya biaya listrik dan kondisi mesin-mesin smelter yang sudah tua.

Pada akhirnya, industri smelter bauksit di Indonesia pun dapat berkembang

karena seluruh pembangunan smelter bauksit di Indonesia direalisasikan melalui joint

venture yang terbentuk antara perusahaan tambang lokal dengan perusahaan tambang

asing yang berasal dari Jepang dan China. Mengingat bahwa promosi investasi

3 Siska Amelie Deil. 2014. RI Stop Ekspor Bijih Mineral, Produksi Aluminium China Terancam.

[Internet]. Terdapat pada http://bisnis.liputan6.com/read/798708/ri-stop-ekspor-bijih-mineral-produksi-

alumunium-china-terancam (Diakses 18 April 2015) 4 Abdul Malik. 2014. Minerba Indonesia Tekan Industri Alumina Cina. [Internet]. Terdapat pada

http://www.tempo.co/read/news/2014/01/31/090549893/Minerba-Indonesia-Tekan-Industri-

Aluminium-Cina (Diakses 17 April 2015) 5 Ibid.

6 Hana. Op. Cit.

5

merupakan salah satu bentuk aktivitas utama dalam diplomasi komersial, maka

terwujudnya promosi investasi smelter bauksit oleh Indonesia ke Jepang dan China

yang telah menghasilkan joint venture demikian adalah indikasi bahwa industri

smelter bauksit di Indonesia dikembangkan di bawah kerangka diplomasi komersial.

Indikasi ini semakin diperkuat oleh adanya kerja sama antara pemerintah dengan

perusahaan tambang lokal selaku aktor dalam promosi investasi smelter bauksit

tersebut. Keduanya sama-sama memiliki kepentingan atas tercapainya realisasi

pembangunan smelter bauksit di Indonesia. Tanpa kerja sama dari keduanya,

diplomasi komersial tidak akan terwujud karena esensi dari diplomasi komersial itu

sendiri terletak pada hubungan antara pemerintah dengan pelaku bisnis.

I.2 Rumusan Masalah

Bagaimana Indonesia mengembangkan industri smelter bauksit di bawah kerangka

diplomasi komersial?

I.3 Studi Literatur

I.3.1 Konsep Diplomasi Komersial

Secara garis besar, interpretasi terhadap konsep diplomasi komersial dapat

dikelompokkan menjadi dua kategori. Pertama, interpretasi di tingkat makro7, yaitu

ketika konsep diplomasi komersial disamaartikan dengan konsep diplomasi

7 H.W. Kopp. 2004. Commercial Diplomacy and the National Interest. Washington: American

Academy of Diplomacy/Business Council for International Understanding. Hlm.7

6

ekonomi8, diplomasi perdagangan, maupun diplomasi keuangan

9. Interpretasi

demikian membuat konsep diplomasi komersial dianggap memiliki cakupan isu yang

lebih luas dan bersifat umum, mulai dari persoalan seputar kebijakan ekonomi, tujuan

ekonomi, hingga perjanjian perdagangan beserta implementasinya.10

Bahasan

mengenai konsep diplomasi komersial dalam interpretasi ini akan selalu dikaitkan

dengan aktivitas yang bertajuk negosiasi, konsultasi, dan penyelesaian sengketa

perdagangan11

, karena ketiga aktivitas tersebut memang diyakini sebagai upaya untuk

mempengaruhi kebijakan atau peraturan pemerintah negara lain yang dianggap

berkaitan dengan perdagangan dan investasi global.12

Kedua, interpretasi di tingkat

mikro, yaitu ketika diplomasi komersial didefinisikan secara lebih spesifik13

,

khususnya merujuk pada dukungan yang diberikan terhadap sektor bisnis dan

keuangan dalam negeri.14

Dukungan ini tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan

intensitas perdagangan, tetapi juga memacu investasi ke dalam dan luar negeri,

8 Alexandre Mercier. 2007. “Commercial Diplomacy in Advanced Industrial States: Canada, the UK,

and the US”, dalam Discussion Papers in Diplomacy. Netherlands Institute of International Relations

‘Clingendael’. 9 a) Maaike Okano-Heijmans. 2010. “Hantering van het Begrip Economische Diplomatie”, dalam

Internationale Spectator, Vol.64, No.5, Hlm.73-74.

b) Maaike Okano-Heijmans dan Huub J.M. Ruel. 2011. “Commerciele Diplomatie en Internationaal

Ondernmen”, dalam Internationale Spectator, Vol.64, No.5, Hlm.463-467. 10

a) G.R. Berridge dan A. James. 2001. A Dictionary of Diplomacy. Basingstroke: Palgrave. Hlm.81

b) Raymond Saner dan Lichia Yiu. 2003. “International Economic Diplomacy: Mutations in Post-

modern Times”, dalam Discussion Papers in Diplomacy, No.84. Netherlands Institute of International

Relations ‘Clingendael’.

c) Lennart H. Zuidema. 2011. Explaining Commercial Diplomacy Effectiveness. Tesis Mahasiswa

Strata-2. University of Twente. Hlm.4 11

a) G. Curzon. 1965. Multilateral Commercial Diplomacy. London: Michael Joseph.

b) Raymond Saner dan Lichia Yiu. Op. Cit. 12

Michel Kostecki dan Olivier Naray. 2007. Commercial Diplomacy and International Business.

Netherlands Institute of International Relations ‘Clingendael’. Hlm.2 13

Ibid. Hlm.8 14

G.R. Berridge dan A. James. Op. Cit. Hlm.38-39

7

sehingga baik upaya promosi perdagangan maupun promosi investasi, akan dilakukan

dalam prioritas yang setara.15

Di antara interpretasi di tingkat makro dan mikro, sebagian besar akademisi

maupun praktisi lebih memilih untuk menggunakan interpretasi di tingkat mikro

karena dianggap dapat mengidentifikasi ide pokok dari konsep diplomasi komersial

itu sendiri, tanpa harus dikaitkan dengan konsep-konsep diplomasi lainnya.

Gambaran mengenai konsep diplomasi komersial sebagaimana yang dimaksud oleh

interpretasi tersebut dapat merujuk pada definisi yang dikemukakan oleh Potter, Lee,

dan Naray. Potter mendefinisikan diplomasi komersial sebagai penggunaan alat-alat

diplomasi untuk membantu mencapai keuntungan komersil melalui promosi ekspor,

menarik investasi asing ke dalam negeri, mengembangkan kesempatan investasi ke

luar negeri, serta mendorong pemanfaatan alih teknologi.16

Terkait dengan tumpang

tindih penggunaan diplomasi komersial dengan diplomasi ekonomi, Potter

berpendapat bahwa meskipun konsep diplomasi ekonomi dan diplomasi komersial

dapat saling melengkapi, namun kedua konsep tersebut tidak dapat saling

menggantikan.17

Sementara itu, Lee mendefinisikan diplomasi komersial sebagai suatu

jaringan kerja antara aktor publik dan swasta dalam mengelola hubungan komersial

15

Alexandre Mercier. Op. Cit. 16

Evan H. Potter. 2004. “Branding Canada: The Renaissance of Canada’s Commercial Diplomacy”,

dalam International Studies Perspective, Vol.5, No.5, Hlm.3. 17

Ibid. Hlm.55

8

dengan menggunakan sarana dan proses diplomatik.18

Untuk menyempurnakan

definisi ini, Lee dan Ruel menspesifikasikan negara sebagai aktor publik sedangkan

pelaku bisnis sebagai aktor swasta, yang dalam hal ini keduanya saling bekerja sama

dalam konteks domestik, regional, dan sistem dengan tujuan untuk memenuhi

kebutuhan kedua aktor tersebut.19

Sedangkan definisi komersial yang dikemukakan

oleh Naray adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh aktor publik dalam kerangka

aktivitas diplomasi yang bertajuk promosi bisnis antara home dengan host country.

Tujuannya adalah untuk mendorong perkembangan bisnis melalui serangkaian

aktivitas promosi dan fasilitasi.20

Dari ketiga definisi tersebut, dapat ditarik suatu

benang merah yang mengindikasikan bahwa diplomasi komersial identik dengan

aktivitas dukungan diplomasi yang diberikan oleh pemerintah terhadap pelaku bisnis

untuk menciptakan dan memperluas kesempatan bisnis di luar batas-batas negara.21

Sebagai bentuk dukungan untuk mengembangkan bisnis dalam skala

internasional, diplomasi komersial memiliki esensi yang berupa perpaduan kerja

sama antara pemerintah (negara) dengan pelaku bisnis (non-negara) untuk mencapai

keuntungan ekonomi.22

Esensi ini ditunjukkan oleh Potter dengan membagi aktivitas

diplomasi komersial ke dalam dua kategori berdasarkan kepentingan dan kapasitas

18

Donna Lee. 2005. “The Growing Influence of Business in U.K. Diplomacy”, dalam International

Studies Perspective, Vol.5, No.1, Hlm.50-54. 19

Huub J.M. Ruel. 2013. Diplomacy Means Business. Zwolle: Windesheim. Hlm.19 20

Olivier Naray. 2008. Commercial Diplomacy: A Conceptual Overview. The Hagues, Netherlands. 21

Huub J.M. Ruel, Sirp de Boer, dan Wouter ten Haaf. nd. Commercial Diplomacy in Practice:

Experiences of International Business Executives and Representatives. University of Twente. Hlm.1 22

Evan H. Potter. Op. Cit.

9

masing-masing aktor.23

Kategori pertama adalah bisnis. Kategori ini terdiri dari lima

aktivitas yang dinilai sebagai aktivitas utama dalam diplomasi komersial, yaitu trade

promotion, promotion of Foreign Direct Investments (FDIs), co-operation in science

and technology, promotion on tourism, dan advocacy for national business

community.24

Sedangkan kategori kedua adalah pemerintah. Pemerintah berperan

sebagai pihak yang memfasilitasi pencapaian aktivitas utama dengan memberikan

empat aktivitas dukungan yang berupa intelligence, networking and public relations,

contract negotiator of implementation, dan problem solving.25

Untuk mempermudah

pemetaan terhadap keseluruhan aktivitas tersebut, Potter pun mengembangkan

kerangka berikut.

Gambar 1. Kerangka Diplomasi Komersial

Sumber: E. Potter, 2004.

23

Ana-Maria Boromisa, dkk. 2012. Commercial Diplomacy of the Republic of Croatia or Why Croatia

Today Desperately Needs a Strong and Systematic Commercial Diplomacy. Zagreb: Institute for

International Relations. 24

Ibid. 25

Michel Kostecki dan Olivier Naray. Op. Cit. Hlm.8

10

Trade Promotion. Promosi perdagangan tidak hanya ditujukan untuk

meningkatkan ekspor, tetapi juga untuk mencari pasar ekspor yang baru bagi suatu

negara. Kotabe dan Czintoka membagi aktivitas promosi perdagangan ke dalam dua

agenda, yaitu pemberian jasa dan pengembangan pasar. 26

Dalam agenda pertama,

promosi perdagangan dilakukan dengan memberikan layanan bagi para eksportir

berupa pengadaan seminar, bimbingan ekspor, pemberian panduan, dan pendanaan

ekspor. Sedangkan praktek promosi perdagangan yang termasuk ke dalam agenda

kedua di antaranya adalah memasarkan penjualan, berpartisipasi dalam sejumlah

pameran luar negeri, menganalisa pasar, dan mengirimkan surat berita ekspor.

Promotion of Foreign Direct Investments (FDIs). Promosi investasi umumnya

diawali dengan membangun citra positif terkait kondisi perekonomian dalam negeri

serta memberikan penawaran yang menarik bagi para investor asing. Kedua hal ini

ditujukan untuk menciptakan daya tarik agar para investor asing bersedia

menanamkan modalnya di dalam negeri. Kehadiran investasi asing di dalam negeri

diyakini dapat membantu pertumbuhan ekonomi melalui penciptaan lapangan kerja,

menambah devisa negara, alih teknologi, dan meningkatkan persaingan dalam

negeri.27

26

M. Kotabe dan M.R Czinkota. 1992. “State Government Promotion of Manufacturing Exports: A

Gap Analysis”, dalam Journal of International Business Studies, Vol.23, No.4, Hlm.637-658. 27

Maria Maher, dkk. 2006. Measuring Restrictions on FDI in Services in Developing Countries and

Transition Economies. Switzerland: United Nations Publication.

11

Co-operation in Science and Technology. Kerja sama dalam bidang

pengetahuan dan teknologi ini merupakan langkah penting yang harus dilakukan

untuk meningkatkan kapasitas teknis bagi sektor bisnis.28

Hal ini mengingat bahwa

kemajuan IPTEK di era kekinian telah menyebar luas ke semua kalangan. Sektor

bisnis yang turut terpengaruh oleh kemajuan IPTEK ini pun pada akhirnya dituntut

untuk dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada. Selain untuk

meningkatkan kapasitas teknis, kerja sama IPTEK juga dibutuhkan untuk menjamin

persaingan para pelaku bisnis di pasar internasional yang semakin kompetitif akibat

arus liberalisasi.

Promotion on Tourism. Promosi pariwisata banyak dilakukan oleh negara

yang memiliki banyak tempat wisata yang menarik. Para aktor yang melakukan

promosi pariwisata dibekali dengan beragam materi promosi tentang potensi tempat

wisata yang dimiliki oleh negaranya. Keindahan dan keunikan yang menjadi ciri khas

suatu negara dipresentasikan dengan tujuan untuk membangun persepsi masyarakat

asing terhadap keunggulan sektor pariwisata di negara tersebut. Bagi negara yang

menggantungkan perekonomiannya dari sektor pariwisata, promosi pariwisata ini

dianggap sebagai aktivitas terpenting dalam diplomasi komersial.29

Advocacy for National Business Community. Advokasi sektor bisnis

merupakan aktivitas diplomasi komersial yang tengah berkembang. Dalam aktivitas

ini, Kostecki menggambarkan bahwa para aktor akan terlibat dalam sejumlah urusan

28

Ana-Maria Boromisa, dkk. Op. Cit. 29

Ibid.

12

publik yang dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan nasional maupun bagi

asosiasi bisnis, misalnya seperti membentuk kesepakatan dengan host country,

parlemen, maupun masyarakat umum.30

Selain itu, advokasi sektor bisnis juga dapat

berupa reaksi terhadap proposal host country terkait dengan peraturan dan

kesepakatan perdagangan internasional di antara keduanya.

Intelligence. Inteligensi meliputi penggalian informasi dan mengurus segala

hal yang dibutuhkan dalam membangun hubungan bisnis antara home country dengan

host country. Rangkaian agenda dalam aktivitas ini di antaranya adalah memberikan

laporan tentang kesempatan bisnis, pengembangan proyek atau kebutuhan

perusahaan, informasi terkait peraturan yang mempengaruhi kegiatan bisnis, dan

sebagainya.31

Networking and Public Relations. Membangun jaringan bisnis dibutuhkan

karena keberadaan mitra bisnis dapat membantu mengembangkan bisnis ke tingkat

yang lebih tinggi. Sedangkan membangun hubungan masyarakat merupakan strategi

penting bagi promosi investasi, yaitu meliputi pembangunan relasi bisnis dengan

pemimpin perusahaan dan menghadiri sejumlah forum bisnis di home atau host

country.

Contract Negotiator of Implementation. Upaya negosiasi bisnis dilakukan

terhadap pemerintah atau perusahaan dari host country. Aktivitas ini penting dalam

diplomasi komersial karena tidak hanya menyangkut hubungan antar pelaku bisnis

30

Michael Kostecki. 2005. Business Advocacy in the Global Trading System: How Business

Organizations May Shape Trade Policy. Jenewa: ITC. 31

Michael Kostecki dan Olivier Naray. Op. Cit.

13

host country dengan home country, tetapi juga pemerintah host country dengan home

country.

Problem-solving. Aktivitas penyelesaian masalah bisnis dibutuhkan terkait

dengan kebijakan dan peraturan di host country yang dapat merugikan pelaku bisnis

dalam negeri, atau untuk menyelesaikan kasus sengketa bisnis.

I.3.2 Perluasan Konsep Diplomasi Komersial

Sejak disamaartikan dengan konsep diplomasi ekonomi, diplomasi

perdagangan, maupun diplomasi keuangan, konsep diplomasi komersial seakan

tenggelam dari studi diplomasi.32

Tidak banyak penelitian ilmiah, publikasi akademis,

atau mata pelajaran yang mengulas lebih jauh tentang konsep diplomasi komersial,

mengingat adanya ketumpangtindihan antara konsep tersebut dengan konsep-konsep

diplomasi lainnya.

Kajian awal terhadap konsep diplomasi komersial hanya berhenti sampai pada

intepretasi di tingkat makro, tanpa ada kajian lebih lanjut pada interpretasi di tingkat

mikro. Jika ditinjau dari sudut pandang interpretasi di tingkat makro, maka praktek

diplomasi komersial sebenarnya sudah dapat dirasakan sejak puluhan tahun silam,

bahkan sejak sebelum globalisasi mulai berkembang di awal abad ke-19.33

Perdagangan yang terjadi pada saat itu beserta keterkaitannya dengan aspek

diplomasi, disebut-sebut telah mendorong peralihan dari budaya peradaban menjadi

32

Donna Lee dan David Hudson. 2004. “The Old en New Significance of Political Economy in

Diplomacy”, dalam Review of International Studies, Vol.30, No.3. 33

Lennart H. Zuidema. Op. Cit. Hlm.1

14

kekuatan ekonomi yang besar.34

Beberapa temuan yang menunjukkan bahwa praktek

diplomasi komersial telah dilakukan di masa lampau di antaranya adalah ketika

perdagangan dikenal sebagai salah satu aspek penting dalam hubungan internasional

oleh masyarakat Mesopotamia35

; perdagangan yang dilakukan oleh masyarakat

Maya36

dan Roma37

sebagai bentuk perluasan budaya ke luar batas wilayah mereka;

pembentukan kebijakan perdagangan antara AS dan Rusia di tahun 1780 dan 178338

;

perdagangan antara Inggris dan Jerman yang didukung oleh diplomasi masing-

masing negara39

; serta perwakilan dari Belanda yang dikirim sebagai duta

perdagangan ke China untuk meningkatkan perdagangannya di tahun 165540

.

Sedangkan kajian terhadap konsep diplomasi komersial untuk interpretasi di

tingkat mikro baru berkembang di era globalisasi. Meluasnya sebaran internet,

tingginya mobilitas, dan munculnya pusat-pusat aktivitas ekonomi yang baru, telah

membuat kebaikan diplomasi komersial kembali direnungkan dan diposisikan oleh

kalangan akademisi maupun praktisi41

, namun dalam arti yang lebih sempit

dibandingkan dengan masa sebelumnya. Selain itu, berbeda dengan perekonomian

34

Huub J.M. Ruel. 2013. Ibid. 35

C. Edens. 1992. “Dynamics of Trade in the Ancient Mesopotamian World System”, dalam

American Anthropologist, Vol.94, No.1, Hlm.118-139. 36

R.V. Sidrys. 1976. “Classic Maya Obsidian Trade”, dalam American Antiquity, Vol.41, No.4,

Hlm.449-464. 37

O. Brogan. 1936. “Trade Between the Roman Empire and the Free Germans”, dalam The Journal of

Roman Studies, Vol.26, No.1, Hlm.97-113. 38

D.M. Griffiths. 1970. “American Commercial Diplomacy in Russia, 1780 to 1783”, dalam The

William and Mary Quarterly, Vol.27, No.3, Hlm.379-410. 39

T.H. Lloyd. 1991. England and the German Hanse, 1157-1611: A Study of Their Trade and

Commercial Diplomacy. Cambridge: Cambridge University Press. 40

H. Rahusen-de Bruyn Kops. 2002. “Not Such an Unpromising Beginning: The First Dutch Trade

Embassy to China, 1655-1657”, dalam Modern Asian Studies, Vol.36, No.3, Hlm.535-578. 41

Olivier Naray. Op. Cit. Hlm.2

15

masa lampau yang memandang promosi perdagangan dan promosi investasi sebagai

dua hal yang berbeda, perekonomian masa kontemporer lebih memandang keduanya

sebagai dua hal yang saling berkaitan42

, hingga akhirnya menjadi pijakan bagi

diplomasi komersial untuk menyetarakan prioritas kedua aktivitas promosi tersebut.

Hal ini sekaligus menandai peran penting diplomasi komersial sebagai suatu orientasi

baru dalam mengejar keuntungan ekonomi di era globalisasi. Antusiasme negara-

negara terhadap diplomasi komersial pun terlihat dari adanya peningkatan jumlah

negara yang memprioritaskan upaya diplomasi komersial43

dalam mencapai tujuan

internasionalnya, serta adanya peningkatan pengeluaran negara yang ditujukan untuk

pemberian dukungan bisnis44

.

Di sisi lain, globalisasi juga turut dianggap telah mengubah definisi diplomat

komersial secara mendasar.45

Peralihan peran diplomat komersial terjadi akibat

adanya penyetaraan prioritas promosi perdagangan dengan promosi investasi dalam

praktek diplomasi komersial di era kekinian. Diplomat komersial kontemporer tidak

hanya berperan pasif dengan mengumpulkan dan menyalurkan informasi, tetapi juga

berperan aktif karena sekaligus memasarkan produk negara dan memasarkan

negaranya sebagai lokasi yang menarik untuk investasi.46

42

Alexandre Mercier. Op. Cit. 43

Donna Lee dan David Hudson. Op. Cit. 44

Huub J.M. Ruel, Sirp de Boer, dan Wouter ten Haaf. Op. Cit. Hlm.3 45

Mustafa Ilker Ozdem dan Michael J. Struett. 2009. Government Agencies in Commercial

Diplomacy: Seeking the Optimal Agency Structure for Foreign Trade Policy. North Carolina State

University. Hlm.8 46

Ibid. Hlm.8

16

Jika ditinjau dari sudut pandang interpretasi di tingkat mikro, maka praktek

diplomasi komersial dapat ditemukan dalam segala bentuk aktivitas pemerintah yang

dinilai dapat memberikan dampak secara nyata bagi perkembangan bisnis dalam

negerinya di luar batas-batas negara. Salah satunya dapat dilihat pada tulisan Garten

dan Shinn tentang peran diplomat komersial AS di Asia dan manfaatnya bagi

perkembangan bisnis AS.47

Tulisan serupa juga ditemukan pada penelitian Potter

terhadap Kanada, yang berisi ulasan tentang nilai tambah fungsi diplomat komersial

bagi bisnis dalam negeri.48

Sedangkan untuk data kuantitatif dapat merujuk pada

tulisan Rose karena ia memaparkan tentang hasil perhitungannya yang membuktikan

bahwa angka ekspor akan meningkat sebesar 6-10% bagi negara yang mengirimkan

perwakilan diplomatiknya ke negara lain.49

Sementara itu, penelitian yang dilakukan

oleh Lederman, Olarreaga, dan Payga juga turut melengkapi jajaran bukti atas peran

penting pemerintah di balik perkembangan bisnis dalam negeri, yaitu melalui

tulisannya yang mengungkap bahwa diplomasi komersial memberikan dampak yang

signifikan bagi ekspor nasional, membantu mengurangi hambatan perdagangan di

luar negeri, serta membantu meluruskan informasi yang bersifat asimetris berkat

peran yang dimainkan oleh seorang diplomat komersial.50

47

Jeffrey Garten dan James Shinn. 1998. Riding the Tigers: American Commercial Diplomacy in Asia.

New York: Council on Foreign Relations. 48

Evan H. Potter. Op.Cit. 49

Andrew K. Rose. 2005. The Foreign Service and Foreign Trade: Embassies as Export Promotion.

Cambridge: National Bureau of Economic Research. 50

Daniel Lederman, Marcelo Olarreaga, dan Lucy Payton. 2009. “Export Promotion Agencies

Revisisted”, dalam World Bank Policy Research Working Paper, No.5125.

17

I.3.3 Signifikansi Diplomasi Komersial bagi Pemerintah dan Pelaku Bisnis

Dari beragam kajian terhadap konsep diplomasi komersial untuk interpretasi

di tingkat mikro, tidak sedikit penulis yang menekankan bahwa diplomasi komersial

merupakan unsur penting yang harus dipertahankan di era globalisasi. Argumen

tersebut dikemukakan sebagai respon atas sengitnya persaingan dalam perekonomian

global yang kini tengah dihadapi oleh pemerintah dan pelaku bisnis, baik dari negara

maju maupun negara berkembang.51

Persaingan sebagaimana yang dimaksud dalam

hal ini adalah persaingan dalam kondisi ketika perekonomian dunia menjadi semakin

kompleks dengan terbentuknya suatu pasar tunggal52

, sebagai akibat dari munculnya

peluang sekaligus ancaman pasar global.53

Globalisasi tidak hanya telah membuka peluang munculnya pemain ekonomi

baru yang berasal dari segala penjuru dunia, tetapi juga telah menuntut para pemain

ekonomi untuk dapat bersaing secara strategis dengan memanfaatkan kebaikan

globalisasi dalam hal kemudahan akses informasi dan komunikasi. Kondisi inilah

yang harus ditanggapi dengan baik oleh pemerintah maupun pelaku bisnis.

Ketidakmampuan pemerintah untuk mengikuti perkembangan perekonomian global

tersebut hanya akan menghambat upayanya dalam meningkatkan pertumbuhan

ekonomi, menyediakan lapangan kerja, menghasilkan keuntungan, dan memiliki

tabungan yang cukup bagi kebutuhan domestik.54

Sedangkan bagi pelaku bisnis,

51

Ibid. Hlm.11 52

Ibid. Hlm.16 53

Olivier Naray. Op. Cit. Hlm.2 54

E. Garter. 1997. “Business and Foreign Affairs”, dalam Foreign Affairs, Vol.76, No.3.

18

seiring dengan semakin kompleksnya perekonomian global, akan semakin besar pula

kemungkinan resiko yang ia hadapi ketika mencoba mencari keuntungan dengan

mengadu nasibnya di dunia luar.55

Persengketaan akibat hak kekayaan intelektual dan

peraturan bisnis yang bersifat diskriminatif adalah dua dari sekian banyak

kemungkinan resiko yang bisa saja dihadapi oleh pelaku bisnis tersebut.

Dalam kondisi perekonomian global demikian, diplomasi komersial

dibutuhkan sebagai suatu kerangka kerja sama yang akan mengakomodasi

kepentingan pemerintah dan pelaku bisnis sekaligus. Dalam tulisannya, Wouter ten

Haaf mengemukakan bahwa pelaku bisnis membutuhkan peran pemerintah dalam hal

liberalisasi perdagangan, melindungi hak kekayaan intelektual, mengurangi hambatan

peraturan bisnis, dan mendorong keberlangsungan integrasi ekonomi.56

Terwujudnya

diplomasi komersial akan membantu mereka dalam menyediakan commercial

intelligence (pengumpulan informasi), memberikan dukungan (lobby), dan

melakukan promosi (advocacy) bisnis baik berupa negosiasi formal maupun informal

dalam berbagai macam aktivitas pemerintah.57

Sedangkan manfaat diplomasi

komersial yang diperoleh pemerintah adalah pertumbuhan ekonomi dan

kemakmuran.58

Jika merujuk pada tulisan Kotabe dan Czinkota, manfaat diplomasi

komersial bagi pemerintah tersebut dapat lebih dispesifikkan berupa penciptaan

55

Olivier Naray. Op. Cit. Hlm.4 56

Wouter ten Haaf. 2010. Commercial Diplomacy and the Role of Embassies, from a Target Group

Perspective. Tesis Mahasiswa Strata-2. University of Twente. Hlm.16 57

Ibid. Hlm.20 58

Huub J.M. Ruel dan Lennart H. Zuidema. 2012. “The Effectiveness of Commercial Diplomacy”,

dalam Discussion Papers in Diplomacy. Netherlands Institute of International Relations ‘Clingendael’.

Hlm.6

19

lapangan kerja, peningkatan pendapatan pajak, integrasi ekonomi, dan stimulasi

pertumbuhan ekonomi nasionalnya.59

Melalui diplomasi komersial, kepentingan

keduanya akan dapat terpenuhi jika pemerintah bersedia untuk menjalin hubungan

diplomatiknya dengan negara lain, sebagai upaya untuk mewujudkan

internasionalisasi komersial.60

Berbeda dengan Wouter ten Haaf maupun Kotabe dan Czinkota, Naray

beserta Ruel dan Zuidema melihat peran penting diplomasi komersial secara lebih

terstruktur. Mereka membagi manfaat diplomasi komersial menjadi dua kategori,

yaitu menfaat langsung yang dirasakan oleh pelaku bisnis dan manfaat tidak langsung

yang dirasakan oleh pemerintah.61

Ruel dan Zuidema merujuk manfaat langsung pada

peningkatan nilai tambah bagi perusahaan dalam negeri. Sedangkan Naray

menganalisanya secara lebih jauh dengan mengemukakan bahwa manfaat bagi pelaku

bisnis tidak hanya semata-mata berupa keuntungan materi dengan adanya

internasionalisasi bisnis, tetapi juga dalam hal meminimalisir resiko ketika memasuki

arena internasional, perlindungan bagi pengoperasian dan pengembangan bisnis, serta

kemudahan dalam peraturan dan jasa berkat negosiasi yang diperankan oleh

pemerintah.62

Sementara itu, manfaat tidak langsung sebagaimana yang dimaksud

oleh Ruel dan Zuidema adalah peningkatan kemakmuran negara. Agak sedikit

berbeda dengan Ruel dan Zuidema, Naray cenderung melihat manfaat tidak langsung

59

M. Kotabe dan M.R. Czinkota. Op. Cit. 60

Wouter ten Haaf. Op. Cit. Hlm.11 61

a) Olivier Naray. Op. Cit. Hlm.4

b) Huub J.M. Ruel dan Lennart H. Zuidema. Op. Cit. Hlm.7 62

Olivier Naray. Op. Cit. Hlm.4

20

dari sisi image-building, yaitu berupa peningkatan citra negara di dunia internasional.

Citra negara yang positif untuk selanjutnya akan memberikan efek timbal balik bagi

pelaku bisnis karena citra perusahaan mereka juga bergantung pada citra negara.63

Di dalam tulisannya, Ruel juga menekankan beberapa alasan mengapa aktor

pemerintah dan pelaku bisnis dapat dan harus bekerja sama dalam memanfaatkan

sarana dan saluran diplomatik sebaik mungkin dengan alasan komersial.64

Pertama,

jaringan diplomatik dapat menghasilkan economic intelligence yang tidak dapat

diperoleh dengan cara lain. Kedua, aktivitas diplomatik biasanya lebih terlihat di

media sehingga dapat menarik perhatian tanpa harus mengeluarkan biaya yang mahal.

Dengan kata lain, aktivitas diplomatik secara tidak langsung dapat mengandung unsur

pemasaran. Ketiga, jaringan diplomatik pada umumnya dapat memperoleh akses

kontak dengan lebih mudah dan lebih berpengaruh terhadap orang-orang penting

yang berkaitan dengan dunia bisnis. Keempat, jaringan diplomatik memiliki faktor

kepercayaan yang tinggi sehingga lebih mudah menarik para investor asing. Kelima,

intelligence yang didapatkan melalui jaringan diplomatik bersifat terpusat, sehingga

dapat menciptakan efisiensi bagi sektor bisnis dan juga menjaga stabilitas perputaran

bisnis.

Kebutuhan untuk melakukan diplomasi komersial di era kekinian semakin

meningkat dari hari ke hari. Diplomasi komersial bagaikan suatu elemen kritis bagi

peningkatan perdagangan internasional, pertumbuhan ekonomi, dan kemamuran suatu

63

Ibid. 64

Huub J.M. Ruel. Op. Cit. Hlm.21

21

negara. Kontrak bernilai jutaan atau bahkan miliaran dolar dapat disepakati berkat

adanya peran diplomat komersial yang seakan berhasil membuka gerbang yang

sebelumnya masih tertutup rapat.65

Oleh karena itu, melalui serangkaian aktivitas

promosi bisnis dan fasilitasi, pemerintah diharapkan dapat mendorong perusahaan

untuk mengembangkan bisnis mereka secara internasional. Dari beberapa kajian

terhadap diplomasi komersial, Kostecki dan Naray menyimpulkan sejumlah hal yang

dianggap sebagai penyebab meningkatnya kebutuhan akan diplomasi komersial

dewasa ini.66

Pertama, adanya kebutuhan terhadap akses infomasi bisnis yang netral

dan dapat dipercaya. Kedua, dibutuhkan dukungan untuk meningkatkan kredibilitas

dan citra bagi para pemain baru di dunia bisnis ketika mereka mulai mencoba

memasuki pasar asing. Ketiga, untuk menemukan rekan bisnis yang tepat bagi pelaku

bisnis domestik, dalam upayanya melakukan internasionalisasi bisnis. Keempat,

peran penting pemerintah dalam menangani konflik yang berkaitan dengan

pengembangan bisnis. Kelima, untuk mendukung perwakilan home country, seperti

ketika menteri ditemani oleh pelaku bisnis dalam kunjungannya ke suatu negara.

Keenam, persoalan strategis, yaitu seperti keterlibatan pemerintah dalam pembuatan

kebijakan perdagangan, dukungan terhadap aktivitas Penelitian dan Pengembangan

(Research and Development/R&D), atau dalam hal peningkatan akses yang berkaitan

dengan pengembangan bisnis dalam negeri.

65

Lennart H. Zuidema. Op. Cit. Hlm.1 66

Michel Kostecki dan Olivier Naray. Op. Cit.

22

Sementara itu, terkait dengan koordinasi antara pemerintah dengan pelaku

bisnis, Okano-Heijmans memberikan catatan bahwa di dalam suatu aktivitas

diplomasi komersial, peran utama akan dimainkan oleh pelaku bisnis, sementara

pemerintah hanya berperan sebagai penyedia fasilitas.67

Dengan kata lain, pelaku

bisnis lah yang bertugas untuk menginisiasi dan mengadakan kerja sama bisnis

dengan pihak asing, sementara aktor pemerintah bertugas untuk mendukung upaya

yang tengah dilakukan oleh pelaku bisnis tersebut. Bentuk dukungan nyata yang

dapat diberikan oleh pemerintah dalam hal ini di antaranya adalah ketika diplomat

memainkan perannya sebagai humas (hubungan masyarakat) yang bertugas untuk

memelihara kontak baik dengan para pelaku bisnis dari negara lain. Dukungan lain

juga dapat berupa perlindungan bagi pelaku bisnis home country ketika melakukan

konsultasi dengan host country, atau sebaliknya, yang sebagian besar dilakukan

secara bilateral.68

Meskipun duta besar dan kementerian luar negeri berperan besar

dalam mengorganisir internasionalisasi bisnis, namun kehadiran dan komunikasi

pelaku bisnis secara langsung tetap menjadi unsur yang utama.69

I.3.4 Strategi Promosi Investasi

Persaingan ekonomi yang meningkat tajam memaksa pemerintah untuk tidak

mengabaikan peran investor dan modal, seiring dengan semakin tingginya perhatian

67

Maaike Okano-Heijmans. Op. Cit. 68

Michel Kostecki dan Olivier Naray. Op. Cit. 69

Huub J.M. Ruel. Op. Cit. Hlm.20

23

pemerintah terhadap keberlangsungan ekonomi negaranya.70

Kebaikan investasi asing

bagi perekonomian suatu negara memang telah mendapatkan pengakuan dari

kalangan akademisi maupun praktisi, terbukti dari banyaknya kajian mengenai

kontribusi positif investasi asing terhadap host country. Salah satunya dapat

ditemukan dalam tulisan Laura Alfaro dkk, yang mengemukakan bahwa investasi

asing tidak hanya menguntungkan dari sisi alih teknologi, tetapi juga dari sisi

peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu negara.71

Selain itu, kesetaraan prioritas

antara promosi perdagangan dengan promosi investasi dalam diplomasi komersial

juga dapat menjadi bukti bahwa manfaat ekonomi yang diperoleh dari investasi asing

memang layak untuk disejajarkan dengan hasil ekspor.

Sebagai upaya untuk menarik investasi asing, Wells dan Wint menawarkan

tiga pendekatan promosi investasi yang terdiri dari image-building, investment-

generation, dan investment-services.72

Menurut mereka, strategi dalam melakukan

promosi investasi terletak pada pemilihan kombinasi di antara ketiga pendekatan

tersebut. Image-building ditujukan untuk membangun citra negara sebagai suatu

lokasi yang strategis bagi perkembangan bisnis para investor asing.73

Pendekatan ini

dapat digunakan ketika aktor ingin melakukan aktivitas promosi investasi secara

umum, yaitu ke semua calon investor asing di semua sektor, tanpa ada kriteria

70

Mustafa Ilker Ozdem dan Michael J. Struett. Op. Cit. Hlm.2 71

Laura Alfaro, dkk. 2006. How Does Foreign Direct Investment Promote Economic Growth?

Exploring the Effects of Financial Markets on Linkages, dalam NBER Working Paper, No.12522.

Hlm.1 72

Louis T. Wells dan Alvin G. Wint. 2000. “Marketing a Country: Promotion as a Tool for Attracting

Foreign Investment”, dalam FIAS Occasional Paper, No.13, Hlm.22-26. 73

Ibid. Hlm.22

24

khusus. Beberapa aktivitas yang termasuk ke dalam pendekatan ini di antaranya

adalah pengiklanan di media keuangan; partisipasi pada pameran investasi;

pengiklanan pada media yang khusus memuat tentang industri atau sektor bisnis;

melakukan misi investasi umum dari home country ke host country atau sebaliknya;

dan melakukan seminar informasi umum pada berbagai kesempatan yang berkaitan

dengan investasi.

Sedangkan investment-generation ditujukan untuk menghasilkan investasi

asing secara langsung, dengan mempromosikan investasi suatu sektor tertentu

terhadap beberapa calon investor asing yang dibidik berdasarkan kriteria-kriteria

khusus.74

Kriteria tersebut meliputi industri; sektor; wilayah geografis; dan

keunggulan calon investor jika ditinjau dari kondisi negara asalnya, seperti ukuran,

tingkat pertumbuhan ekonomi, intensitas ekspor hasil produksi, serta keunggulan lain

yang membuat calon investor tersebut dinilai prospektif.75

Pendekatan ini meliputi

sejumlah aktivitas seperti memberikan surat secara langsung atau melakukan

kampanye telemarketing; melakukan misi investasi untuk industri atau sektor tertentu

dari home country ke host country atau sebaliknya; melakukan seminar untuk

informasi yang berkaitan dengan industri atau sektor tertentu; serta melakukan

penelitian pada perusahaan tertentu dan diikuti dengan presentasi yang bertajuk

penjualan.

74

Ibid. Hlm.24 75

Ibid. Hlm.41-42

25

Sementara itu, investment-services ditujukan untuk menyediakan jasa bagi

para calon investor yang prospektif, maupun bagi investor asing yang telah

merealisasikan investasinya.76

Beberapa aktivitas yang termasuk ke dalam

pendekatan ini adalah menyediakan jasa konseling terkait investasi; mempercepat

proses pengajuan dan perijinan; dan menyediakan jasa-jasa lain yang dibutuhkan

pasca penanaman investasi.

Dari ketiga pendekatan tersebut, Morisset lebih memilih investment-

generation sebagai pendekatan yang harus dijadikan sebagai orientasi utama oleh

setiap negara dalam melakukan promosi investasi.77

Sedangkan Wells dan Wint

justru menganggap bahwa kombinasi antara image-building dan investment-

generation lah yang akan menjadi strategi paling tepat untuk mempromosikan negara

sebagai suatu lokasi investasi.78

Menurut mereka, di dalam upaya promosi investasi

nanti, kedua pendekatan tersebut akan dikembangkan secara bergantian dalam bentuk

siklus. Awalnya pemerintah akan menerapkan pendekatan image-building untuk

menunjukkan kepada investor asing bahwa pemerintah mengapresiasi peran investasi

asing bagi pertumbuhan ekonomi dalam negeri dan mengemukakan ajakannya agar

mereka bersedia untuk melakukan investasi. Ketika citra negaranya sudah mulai

mendapatkan respon positif dari para investor asing, pemerintah pun akan beralih

76

Ibid. Hlm.26 77

J. Morisset. 2003. “Does a Country Need a Promotion Agency to Attract Foreign Direct

Investment?”, dalam World Bank Policy Research Working Paper, No.3028. Hlm.32. 78

Ibid. Hlm.26

26

menggunakan pendekatan investment-generation untuk segera merealisasikan

ketertarikan investor asing terhadap negaranya.79

Sementara itu, beberapa penulis lain tampak mengunggulkan image-building

dibandingkan kedua pendekatan lainnya. Salah satunya adalah Mercier yang

memandang image-building sebagai pendekatan yang sesuai untuk mengawali

promosi investasi, terlebih bagi negara berkembang.80

Di sisi lain, terdapat tulisan

Lederman, Olarreaga, dan Payton yang menyiratkan bahwa image-building

merupakan salah satu unsur penting dalam diplomasi komersial.81

Hal serupa juga

ditemukan pada tulisan Naray, yaitu dalam pernyataan yang menyebutkan tentang

image-building sebagai isu strategis dalam diplomasi komersial.82

Menurutnya,

alasan mengapa image-building berperan penting adalah karena bagi para pelaku

bisnis yang baru, potensi bisnis mereka bergantung pada citra perusahaan yang kuat,

positif, dan dibangun secara internasional.83

Contoh penerapan pendekatan image-building dalam diplomasi komersial

salah satunya dapat ditemukan pada tulisan Potter yang mengulas tentang

pengalaman Kanada.84

Di antara tiga pendekatan yang dikemukakan oleh Wells dan

Wint, Kanada menerapkan image-building sebagai strategi dalam mempromosikan

investasinya. Dalam upaya promosi investasi ini, Kanada berusaha membangun citra

negaranya sebagai sumber dan lokasi berteknologi tinggi, serta memiliki industri

79

Ibid. Hlm.26-27 80

Alexandre Mercier. Op. Cit. Hlm.7 81

Daniel Lederman, Marcelo Olarreaga, dan Lucy Payton. Op. Cit. 82

Olivier Naray. Op. Cit. Hlm.5 83

Ibid. Hlm.5 84

Evan H. Potter. Op. Cit.

27

dengan nilai tambah yang tinggi.85

Padahal, selama ini Kanada dikenal oleh para

investor asing sebagai negara yang perekonomiannya berbasis pada sumber daya

yang dimilikinya.86

Apa yang dilakukan oleh Kanada tersebut menunjukkan bahwa dalam suatu

upaya promosi investasi, terdapat beberapa hal yang memang dianggap perlu untuk

ditonjolkan agar dapat menarik perhatian investor asing. Beberapa tulisan yang

membahas mengenai hal ini di antaranya adalah Olins yang berpendapat bahwa

promosi investasi harus diawali dengan memaparkan keunggulan terkait ketersediaan

tenaga ahli, kecenderungan untuk menjadi rekan bisnis yang dapat dipercaya, serta

ketersediaan infrastruktur yang memadai.87

Sedangkan menurut Rose, yang dianggap

paling berpengaruh dalam upaya promosi investasi adalah ukuran dan potensi pasar.88

I.4 Kerangka Konseptual

Jika diplomasi komersial Indonesia dalam upaya pengembangan industri

smelter bauksit dipetakan berdasarkan kerangka diplomasi komersial Potter, maka

yang akan menjadi realisasi dari aktivitas utama yang berupa promotion of FDI

adalah promosi investasi smelter bauksit yang dilakukan oleh perusahaan tambang

lokal ke perusahaan tambang asing. Selain itu, aktivitas dukungan juga akan turut

terrealisasi seiring dengan terrealisasinya aktivitas utama tersebut. Realisasi dari

85

Alexandre Mercier. Op. Cit. Hlm.14 86

Evan H. Potter. Op. Cit. Hlm.58 87

Wally Olins. 2002. “Branding the Nation – The Historical Context”, dalam Journal of Brand

Management, Vol.9, No.4-5. 88

Andrew K. Rose. Op. Cit.

28

aktivitas dukungan ini nantinya akan berupa empat dukungan diplomatik pemerintah

terhadap promosi investasi smelter bauksit yang dilakukan oleh perusahaan tambang

lokal. Pertama, intelligence, memberikan informasi seputar peluang investasi di

bidang pertambangan, dengan memposisikan Indonesia sebagai host country dan

negara asal dari perusahaan tambang asing sebagai home country. Kedua, networking

and public relations, membangun hubungan bisnis melalui promosi kerja sama

ekonomi. Ketiga, contract negotiator of implementation, menegosiasikan

pemberlakuan UU No.4 Tahun 2009 Tentang Minerba yang telah mengakibatkan

munculnya larangan ekspor bauksit. Keempat, problem-solving, memberikan solusi

atas potensi masalah investasi yang dikhawatirkan oleh perusahaan tambang asing.

Sedangkan, jika merujuk pada strategi promosi investasi yang dikemukakan

oleh Wells dan Wint, maka strategi promosi investasi yang dapat diterapkan dalam

upaya pengembangan industri smelter bauksit di Indonesia akan terdiri dari tiga

pendekatan yang dapat saling dikombinasikan satu sama lain. Pertama, pendekatan

image-building. Promosi investasi smelter bauksit bukan dirancang untuk menarik

investasi perusahaan tambang asing secara langsung, melainkan untuk membangun

citra Indonesia sebagai suatu lokasi yang strategis bagi perkembangan bisnis para

investor asing. Investasi smelter bauksit dipromosikan sebagai peluang investasi

secara umum, untuk menunjukkan bahwa Indonesia memiliki peluang investasi yang

tersebar di seluruh wilayahnya. Kedua, pendekatan investment-generation. Promosi

investasi smelter bauksit sengaja dirancang untuk menarik investasi perusahaan

tambang asing secara langsung. Investasi smelter bauksit dipromosikan sebagai

29

jawaban atas pemberlakuan UU No.4 Tahun 2009 Tentang Minerba. Ketiga,

pendekatan investment-services. Promosi investasi smelter bauksit khusus dirancang

untuk menyoroti kelebihan Indonesia dari sisi iklim investasi. Investasi smelter

bauksit dipromosikan sebagai peluang investasi yang akan terus mendapatkan

perhatian dari pemerintah. Kombinasi pendekatan yang memungkinkan untuk

diterapkan sebagai strategi promosi investasi smelter bauksit adalah kombinasi antara

pendekatan image-building, investment-generation, dan investment-services, atau

hanya pendekatan investment-generation dan investment-services.

Jalan cerita dari realisasi aktivitas utama dan aktivitas dukungan dalam

diplomasi komersial Indonesia tidak mengalir dengan sendirinya, tetapi diarahkan

oleh strategi promosi investasi smelter bauksit yang demikian, sehingga tersusunlah

suatu pola perwujudan diplomasi komersial Indonesia. Pola diplomasi komersial

Indonesia yang akan terwujud dalam promosi investasi smelter bauksit akan terdiri

dari lima tahapan aktivitas diplomasi komersial. Pertama, tahap aktivitas networking

and public relations. Kedua, tahap aktivitas intelligence. Ketiga, tahap aktivitas

contract negotiator of implementation. Keempat, tahap aktivitas promotion of FDI.

Kelima, tahap aktivitas problem-solving.

I.5 Argumen Utama

Dalam upayanya untuk mengembangkan industri smelter bauksit di dalam

negerinya, Indonesia mewujudkan diplomasi komersial yang berupa promosi

investasi smelter bauksit. Promosi investasi smelter bauksit dilakukan oleh

30

pemerintah dan perusahaan tambang lokal melalui suatu pola tahapan aktivitas

diplomasi komersial. Dalam konteks Jepang, tahapan aktivitas diplomasi komersial

adalah dimulai dari networking and public relations, intelligence, contract negotiator

of implementation, promotion of FDI, hingga problem-solving; dan strategi promosi

investasi yang diterapkan adalah kombinasi antara pendekatan investment-generation

dengan investment-services. Sedangkan tahapan aktivitas diplomasi komersial dalam

konteks China adalah dimulai dari networking and public relations, intelligence,

promotion of FDI, hingga problem-solving; dan strategi promosi yang diterapkan

adalah kombinasi antara pendekatan image-building, investment-generation, dan

investment-services. Dari kedua konteks tersebut, terungkap adanya perbedaan pola

perwujudan diplomasi komersial Indonesia dan strategi promosi investasi yang

diterapkan. Perbedaan pola perwujudan diplomasi komersial Indonesia terletak pada

aktivitas contract negotiator of implementation yang tidak terdapat dalam konteks

China, tetapi terdapat dalam konteks Jepang. Perbedaan demikian bukan diakibatkan

oleh penerapan strategi promosi investasi yang berbeda, melainkan oleh obyek

sasaran promosi investasi yang berbeda. Perbedaan sikap antara Jepang dan China

terhadap pemberlakuan UU No.4 Tahun 2009 Tentang Minerba telah mengakibatkan

Indonesia menerapkan pola perwujudan diplomasi komersial yang berbeda untuk

masing-masing obyek sasaran promosi investasi tersebut. Sedangkan perbedaan

strategi promosi investasi itu sendiri hanya berdampak pada perbedaan materi

promosi investasi yang disampaikan pada aktivitas diplomasi komersial. Perbedaan

pola perwujudan diplomasi komersial Indonesia ini sekaligus menandai bahwa

31

Indonesia tidak memiliki pola yang tetap ketika mewujudkan diplomasi

komersialnya.

I.6 Metode Penelitian

Untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini, penulis akan

menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer akan diperolah dari

wawancara yang dilakukan dengan sejumlah pihak terkait, di antaranya yaitu

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perindustrian, Badan

Koordinasi Penanaman Modal, dan sejumlah perusahaan tambang lokal. Sedangkan

data sekunder akan diperoleh dari buku; artikel dan jurnal; tesis; dokumen dan situs

pemerintah; media cetak; dan internet. Melalui kedua data tersebut, penulis akan

menggali informasi seputar perkembangan industri smelter bauksit di Indonesia

beserta upaya promosi investasi yang telah dilakukan untuk mengembangkannya.

I.7 Sistematika Penulisan

Bab I : Pendahuluan

Garis besar penelitian akan dijelaskan melalui beberapa hal yang tertuang

dalam bab ini, yaitu mulai dari latar belakang, rumusan masalah, studi literatur,

kerangka konseptual, argumen utama, metode penelitian, serta sistematika penulisan.

32

Bab II : Perkembangan Industri Smelter Bauksit di Indonesia

Awal dari bahasan dalam bab ini akan mengulas tentang latar belakang

pengembangan industri smelter bauksit dan signifikansi pembangunan smelter

bauksit bagi Indonesia. Sedangkan untuk inti dari bahasan akan mengulas tentang

realisasi pembangunan smelter bauksit dan keterlibatan perusahaan tambang asing,

yaitu Jepang dan China, dalam realisasi pembangunan smelter bauksit tersebut.

Bab III : Perwujudan Diplomasi Komersial Indonesia

Bahasan dalam bab ini akan diawali dengan mengulas tentang aktor

diplomasi. Kemudian, bahasan tersebut akan dilanjutkan dengan mengulas tentang

tahapan aktivitas diplomasi komersial, yaitu dimulai dari tahap aktivitas networking

and public relations, intelligence, contract negotiator of implementation, promotion

of FDI, hingga tahap aktivitas problem-solving. Realisasi dari masing-masing tahap

aktivitas diplomasi komersial tersebut ditunjukkan dengan mengambil contoh kasus

promosi investasi smelter bauksit yang dilakukan oleh Indonesia ke Jepang dan

China.

Bab IV : Perbedaan Pola Perwujudan Diplomasi Komersial Indonesia

Awal dari bahasan dalam bab ini akan mengulas tentang pola perwujudan

diplomasi komersial Indonesia untuk masing-masing contoh kasus, yaitu konteks

Jepang dan konteks China. Sedangkan, untuk mengetahui penyebab dari perbedaan

pola perwujudan diplomasi komersial Indonesia di antara kedua konteks tersebut, inti

33

dari bahasan akan mengulas tentang pengaruh strategi promosi investasi terhadap

pola perwujudan diplomasi komersial dan pengaruh obyek sasaran promosi investasi

terhadap pola perwujudan diplomasi komersial. Akhir dari bahasan akan mengulas

tentang relevansi kerangka diplomasi komersial Potter.

Bab V : Kesimpulan

Sebagai akhir dari penelitian ini, penulis akan menarik suatu benang merah

antara kerangka konseptual, argumen utama, dan data temuan penulis.