bab i pendahuluan 1.1 latar...

36
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia diberi kemampuan berbahasa untuk tujuan berkomunikasi antarindividu. Kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh manusia inilah yang membedakan antara manusia dan makhluk hidup lain. Kemampuan manusia dalam berbahasa tidak terlepas dari keunikan otak manusia itu sendiri. Otak manusia memiliki berat antara 1 hingga 1,5 kilogram atau 1330 gram untuk ukuran orang barat, Stainberg via Dardjowidjodjo (2003:203). Otak manusia terdiri dari dua bagian; (i) batang otak (brain stem) dan (ii) kortek serebral (cerebral cortex). Batang otak berkaitan dengan fungsi fisikal tubuh seperti bernafas, gerakan, detak jantung, dan sebagainya, sedangkan kortek serebral berfungsi menangai fungsi-fungsi intelektual dan bahasa, Stainberg via Dardjowidjodjo (2003:203). Kortek serebral manusia terdiri dari dua bagian yaitu hemisfir kiri dan hemisfir kanan. Kedua hemisfir ini dihubungkan oleh sekitar 200 juta fiber yang dinamakan korpus kolosum. Korpus kolosum bertugas mengintegrasikan dan mengkoordinir apa yang dilakukan oleh kedua hemisfir tersebut. Dalam kaitan dengan ihwal bahasa hemisfir kiri dan kanan memiliki peran yang berbeda-beda. Burns (1985) via kusumoputro (1991:40) menyatakan bahwa hemisfir kiri bertanggung jawab pada bahasa dasar (basic language) yang terdiri atas fonologi, sintaksis, dan semantik derajat rendah. Sebaliknya, hemisfir kanan

Upload: hacong

Post on 31-Mar-2019

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia diberi kemampuan berbahasa untuk tujuan berkomunikasi

antarindividu. Kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh manusia inilah yang

membedakan antara manusia dan makhluk hidup lain. Kemampuan manusia

dalam berbahasa tidak terlepas dari keunikan otak manusia itu sendiri. Otak

manusia memiliki berat antara 1 hingga 1,5 kilogram atau 1330 gram untuk

ukuran orang barat, Stainberg via Dardjowidjodjo (2003:203).

Otak manusia terdiri dari dua bagian; (i) batang otak (brain stem) dan (ii)

kortek serebral (cerebral cortex). Batang otak berkaitan dengan fungsi fisikal

tubuh seperti bernafas, gerakan, detak jantung, dan sebagainya, sedangkan kortek

serebral berfungsi menangai fungsi-fungsi intelektual dan bahasa, Stainberg via

Dardjowidjodjo (2003:203). Kortek serebral manusia terdiri dari dua bagian yaitu

hemisfir kiri dan hemisfir kanan. Kedua hemisfir ini dihubungkan oleh sekitar 200

juta fiber yang dinamakan korpus kolosum. Korpus kolosum bertugas

mengintegrasikan dan mengkoordinir apa yang dilakukan oleh kedua hemisfir

tersebut.

Dalam kaitan dengan ihwal bahasa hemisfir kiri dan kanan memiliki peran

yang berbeda-beda. Burns (1985) via kusumoputro (1991:40) menyatakan bahwa

hemisfir kiri bertanggung jawab pada bahasa dasar (basic language) yang terdiri

atas fonologi, sintaksis, dan semantik derajat rendah. Sebaliknya, hemisfir kanan

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

2

mempunyai peranan utama untuk kemampuan nonverbal, aspek emosional dari

komunikasi, dan aspek yang kompleks dari proses linguistik.

Dari pendapat Burns (1985) di atas, dapat dikatakan bahwa hemisfir kiri

merupakan hemisfir yang banyak bertanggung jawab atau berperan dalam ihwal

kebahasaan. Meskipun demikian, peran hemisfir kanan dalam hal bahasa tidaklah

kalah penting karena hemisfir kanan bertanggung jawab dalam pemahaman aspek

komunikasi dan pragmatik. Oleh karena itu, peran hemisfir kiri dan kanan dalam

ihwal kebahasaan sangatlah penting. Jika salah satu atau kedua hemisfir ini rusak,

manusia akan mengalami gangguan dalam kemampuan berbahasanya.

Gangguan berbahasa yang terjadi pada hemisfir kiri lebih ditekankan pada

masalah kemampuan linguistik dalam upaya mencapai komunikasi yang efektif,

sedangkan gangguan hemisfir kanan lebih diutamakan pada kemampuan

komunikasi pragmatik. Dengan kata lain, jika hemisfir kiri rusak maka

menyebabkan gangguan berbahasa yang tidak benar (tata bahasanya), sedangkan

kelainan atau gangguan hemisfir kanan menyebabkan gangguan berbahasa yang

tidak baik (gaya bahasanya) (Kusumoputro 1991:44).

Salah satu penyakit atau gangguan berbahasa karena adanya kelainan pada

hemisfir kiri adalah afasia. Penyakit afasia ini terbagi menjadi dua macam yaitu

afasia broca dan afasia wernike. Afasia broca adalah gangguan bahasa yang

terjadi karena area brokanya rusak, sedangkan afasia wernike adalah gangguan

bahasa yang menyerang pada area wernike. Area broca adalah area di mana kita

mengendalikan proses ujaran, sedangkan area wernic adalah area di mana kita

menyimpan kata berserta maknanya. Dalam kinerjanya, kedua area ini saling

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

3

berkerjasama dalam kaitannya dengan membentuk sebuah ujaran, apabila salah

satu atau kedua area ini rusak, seseorang akan mengalami gangguan berbahasa

yang mencakup kemampuan fonologi, sintaksis, dan semantik (Dardjowidjojo,

1991: 212-213).

Berbeda dengan gangguan yang dialami oleh hemisfir kiri, jika hemisfir

kanan mengalami kerusakan, maka seseorang akan mengalami gangguan

komunikasi pragmatik yang meliputi gangguan dalam penggunaan dan

interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta

interprestasi isyarat para-linguistik yang mencakup intonasi dan ekspresi fasial

(Kusumoputro 1991:44).

Selain gangguan berbahasa yang disebabkan oleh kerusakan pada hemisfir

kiri dan kanan, gangguan bahasa juga sering dialami oleh para pasien gangguan

jiwa. Seorang penderita gangguan jiwa umumnya mengalami gangguan berbahasa

seperti pembicaraan yang kacau, tidak dapat dimengerti, dan tidak memahami

pembicaraan orang lain.

Gangguan jiwa atau skizofrenia adalah gangguan psikologis yang

berhubungan dengan gila atau sakit mental. Kartono (1981: 259) menjelaskan

skizofrenia (schizofrenia) adalah kondisi psikotis dengan gangguan disintegrasi,

depersonalisasi, dan kebelahan atau kepecahan struktur kepribadian serta reggresi-

aku yang parah. Skizofrenia menyerang jati diri seseorang hingga memutus

hubungan yang erat antara pemikiran dan perasaan serta mengisinya dengan

persepsi yang terganggu, ide yang salah, dan konsepsi yang tidak logis.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

4

Gangguan berbahasa yang dialami oleh penderita skizofrenia umumnya

seperti bahasanya sering melantur kemana-mana saat berkomunikasi (flight of

ideas), gado-gado kata (words salad), dan penciptaan kata-kata baru (neologisme).

Hal ini, disebabkan oleh proses kognitif yang tidak teratur dan tidak fungsional,

sehingga dalam proses komunikasinya terkadang tidak ada hubungan dan tidak

logis. Penyampaian ide, pikiran, dan bahasa yang tidak jelas pada penderita

szikofrenia ini, menyebabkan segala sesuatu yang dituturkan olehnya susah untuk

dimengerti dan dipahami. Sementara itu, Chaer (2009: 160) menyatakan bahwa

seorang penderita skizofrenia dapat berbicara terus-menerus tanpa dipahami dan

dimengerti.

Salah satu penderita skizofrenia yang mengalami gangguan berbahasa

adalah Toni Blank. Toni Blank atau selanjutnya disebut TB adalah seorang

penderita gangguan jiwa (level tenang) yang dulu tinggal di Panti Sosial Karya di

Brontokusuman Yogyakarta, tetapi saat ini dia tinggal di X-code Films

Yogyakarta. Toni Blank atau Toni Edy Suryanto (nama asli) mengaku lahir di

Bantul, pada 24 September 1964. Selain itu, Toni Blank juga mengaku pernah

mengeyam bangku SMA, di Padmanaba 3B Yogyakarta serta kuliah di UGM.

Sebagai penderita skizofrenia, Toni Blank jelas memiliki prilaku yang tidak

biasanya berbeda dengan orang normal, baik dari tingkah laku sosial maupun

kebahasaannya. Namun, sebagai penderita skizofrenia lantas tidak menghalangi

hobi Toni Blank dalam membaca, mulai dari membaca koran bekas, majalah atau

bacaan yang lain. Berkat hobi membaca inilah, Toni Blank memiliki wawasan

yang luas meskipun dia adalah seorang penderita gangguan jiwa.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

5

Wawasan yang luas dari hobi membaca tersebut, membuat Toni Blank

pandai berbicara dan komunikatif, meskipun terkadang kata-kata yang dipakai

tidak benar dan lepas dari konteks pembicaraan. Pemakaian unsur bahasa asing

atau campur kode dan neologisme (penciptaan kata-kata baru) pun sering muncul

dalam ujuran-ujarannya meskipun juga tidak relevan dengan maksud dan artinya.

Semua itu terjadi karena adanya gangguan gaya jiwa, berpikir, dan komunikasi

yang diderita Toni Blank akibat gangguan jiwa.

Misalnya seperti ujarannya berikut ini:

P: Teroris itu apa mas?

T: Teroris adalah suatu tekanan atau pemaksaan yang sangat sadis,

memaksa sebuah dengan nilai tekanan yang sangat keji, untuk merubah,

merubah gundalini.

P: Siapa saja yang menjadi korban teroris?

T: Yang menjadi korban teroris adalah semua, atau inti adalah buah

hatinya dalam keluarga, seperti anak-anak generasi penerusnya dan

generasi pendidikan, dan generasi pekerjaannya atau generasi karyanya

yang dilindungi, malah mereka selalu merusaknya dengan suatu nilai

kekonyolan pikiran dan akal sehat yang tak mempunyai suatu nilai

kepribadian bangsa.

P: Senjata apa yang dpakai teroris?

T: Teroris biasanya sering menggunakan suatu senjata, senjata ilegal

loging atau bom ilegal loging.

Dari contoh data di atas, terlihat bahwa jawaban Toni Blank tidak sinkron

dengan pertanyaan yang diberikan. Jawaban yang diberikan Toni Blank terkesan

ambigu dan melantur kemana-mana. Penyampaian ide atau gagasan Toni Blank

terlihat tidak runtun dan tidak koheren, hal ini terjadi karena proses kemampuan

berpikir Toni Blank yang sudah kacau.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

6

Berdasarkan uraian singkat di atas, penelitian ini akan mencoba membahas

mengenai bagaimana bahasa yang digunakan oleh penderita skizorenia, khususnya

pada studi kasus Toni Blank.

1.2 Rumusan Masalah

Untuk membatasi penelitian dan agar tidak jauh menyimpang dari inti

penelitian, makalah ini akan dibatasi oleh tiga rumusan masalah yaitu:

1. Bagaimana karakteristik tuturan penderita skizofrenia khususnya Toni

Blank?

2. Bagaimana pelanggaran prinsip kerja sama dan derajat relevansi Toni

Blank ketika berbicara dengan mitra wicara?

3. Bagaimana kohesi dan koherensi penderita skizofrenia khususnya pada

Toni Blank?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disampaikan di atas, tujuan

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan karekteristik kebahasaan penderita skizofrenia

khususnya pada Toni Blank.

2. Mendeskripsikan pelanggaran prinsip kerja sama dan derajat relevansi

Toni Blank ketika berbicara dengan mitra wicara.

3. Mendeskripsikan kohesi dan koherensi penderita skizofrenia khususnya

pada Toni Blank.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

7

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah untuk menambah pengetahuan

dalam kajian makro linguistik, khususnya dalam bidang psikolinguistik,

sedangkan manfaat praktis dalam penelitian ini adalah memberikan wawasan

mengenai hubungan antara ilmu bahasa dan ilmu psikologi. Karena, mininnya

penelitian mengenai kajian Psikolinguistik, penelitian ini diharapkan bisa

dijadikan pelecut untuk penelitian-penelitian selanjutnya khususnya dalam bidang

psikolinguistik

1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai bahasa penderita skizofrenia, sejauh ini belum banyak

dilakukan oleh peneliti bahasa di Indonesia. Salah satu penelitian yang sifatnya

masih umum pernah dilakukan oleh Ni Ketut Alit Ida Setianingsih, I Made Netra,

dan I Gst. Ngurah Prathama pada tahun 2009 yang dimuat dalam jurnal ilmiah

bahasa dan sastra di Universitas Sumatera Utara.

Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Bangli oleh ketiga peneliti

ini, membagi bahasa yang dipakai oleh penderita skizofrenia menjadi 3 tipe yaitu

penderita yang gundah gelisah, semi tenang, dan tenang. Dalam penelitian ini,

digambarkan aspek pemahaman dan produksi bahasa mulai dari pemahaman

unsur fonetik dan fonologi, pemahaman aspek morfologi, pemahaman aspek

sintaksis, dan pemahaman aspek pragmatik.

Dari penelitian ini, ditemukan bahwa setiap tipe penderita skizofrenia

memiliki karakteristik bahasa yang berbeda-beda, untuk penderita gundah gelisah

bahasa yang dipakai tidak teratur dan susah dimengerti, untuk penderita semi

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

8

tenang pemahaman unsur fonologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik relatif lebih

baik dari penderita gundah gelisah, sedangkan penderita tenang aspek

kebahasaanya relatif baik dari dua tipe sebelumnya.

Penelitian selanjutnya ditulis oleh Gina R Kuperberg (2010), berjudul

language in schizophrenia. Artikel ini membahas karakterisasi klinis tentang

output bahasa dan fenomena tentang gangguan pikiran positif dan juga prinsip-

prinsip karakteristik output dalam szikofrenia. Penelitian ini juga memberi

gambaran luas tentang bukti-bukti dari teori bahasa mengenai gangguan dalam

skizofrenia: yang terjadi karena ketidaknormalan dalam (1) memori semantik dan

atau (2) ingatan yang sedang berlangsung serta fungsi otak. Sementara itu, dia

juga mambahas mengenai kajian bahasa dalam skizofrenia yang menggunakan

metode psikolinguistik online dan mempertimbangkan bagaimana kajian

skizofrenia ini dapat memberikan kita pemahaman tentang proses bahasa yang

normal.

Penelitian selanjutnya ditulis oleh Rachel L. C. Mitchell and Tim J, Crow

(2005) yang berjudul Right Hemisphere Language Functions and Schizophrenia:

The Forgotten Hemisphere. Penelitian ini memfokuskan pada pentingnya hemisfir

kanan terhadap fungsi bahasa untuk kesuksesan berkomunikasi dan menurutnya,

gangguan kejiwaan terjadi karena adanya kegagalan dari pemisahan fungsi

hemisfir kiri dan kanan. Penelitian pada pasien stroke dan orang sehat

menunjukan bahwa bebarapa fungsi bahasa dipengaruhi oleh otak kanan daripada

otak kiri. Fungsi-fungsi ini termasuk dalam gangguan memahami ujuran,

memahami homur, sakasme, metaphora, dan permintaan tak langsung. Ciri-ciri

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

9

perilaku mengindikasikan bahwa pasien dengan tipe gangguan skizofrenia

memperlihatkan hasil test yang sangat buruk dan aspek-aspek dari fungsi ini

terganggu dalam skizo afektif dan afektif skizosis.

Berbeda dengan penelitian tentang psikolinguistik sebelumnya, penelitian

lain yang bisa dijadikan acuan untuk membantu dalam penelitian ini adalah

penelitian mengenai kohesi dan koherensi yang terdapat dalam cerita anak

berbahasa Indonesia, Erlina (2003). Dalam tesisnya, Erlina mendeskripsikan jenis-

jenis penanda kohesi dan koherensi antarkalimat yang terdapat dalam cerita anak

dan menemukan bahwa dalam cerita anak terdapat jenis kohesi dan sebelas jenis

koherensi antarkalimat. Kelima jenis kohesi tersebut adalah penunjukan,

penggantian, pelesapan, perangkaian, sedangkan kohesi leksikal yang berupa

pengulangan, sinonimi, hiponimi, dan kolokasi. Selanjutnya kesebelas koherensi

antarkalimat tersebut adalah penambahan, perturutan, perlawanan, penekanan.

Sebab-akibat, waktu, syarat, cara, kegunaan, penjelasan dan penyimpulan.

Berbeda dengan Erlina, penelitian lain yang dimanfaatkan dalam acuan

penelitian lainnya adalah penelitian mengenai ‘koherensi pragmatik antarujaran

pada wacana percakapan dalam bahasa Indonesia pada ranah keluarga dan kerja

yaitu Nirmala (1998). Dalam penelitian tesisnya, Nirmala mendeskripsikan

mengenai koherensi pragmatik antarujaran dalam percakapan ditunjukan oleh

hubungan maksud yang yang dikemukan pewicara dengan maksud yang diberikan

mitra wicara. Menurutnya, koherensi pragmatik tidak dapat diindentifikasi

berdasarkan hubungan makna konvensional kata-kata yang menyusun ujuran-

ujaran yang mendukung wacana percakapan melainkan berdasarkan konteks yang

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

10

berupa latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama antara pewicara dan

mitra wicara. Dalam penelitiannya setidaknya ditemukan tujuh belas jenis

koherensi pragmatik antarujaran dalam percakapan dalam bahasa Indonesia,

beberapa di antaranya seperti: keluhan-penerimaan, keluhan-penolakan,

pengaduan-penerimaan dan sebagainya.

Sementara itu, dalam penelitian ini akan dititikberatkan pada tiga hal yaitu

pertama, mengenai kemampuan komunikasi Toni Blank kaitannya dengan

karakteristik kebahasaan Toni Blank sebagai penderita skizofrenia. Kedua,

berkaitan dengan pelanggaran prinsip kerjasama yang disampaikan oleh Grice dan

teori relevansi yang disampaikan Sperber dan Wilson. Ketiga, berhubungan

dengan kemampuan dan penguasaan Toni Blank terhadap pemakaian alat kohesi

dan koherensi dalam tuturannya.

1.6 Landasan Teori

Penelitian ini membutuhkan banyak teori sebagai pendukung, supaya

penelitian ini tepat sasaran. Teori-toeri pendukung tersebut meliputi teori

psikolinguistik, teori pragmatik klinis, teori kerja sama (Grice), teori derajat

relevansi (Sperber dan Wilson), serta teori wacana yang terdiri dari kohesi dan

koherensi. Pemilihan teori-teori ini didasarkan pada kebutuhan penelitian untuk

membantu memecahkan masalah penelitian.

1.6.1 Psikolingustik

Psikolinguistik adalah gabungan dari dua ilmu yaitu; psikologi dan

linguistik. Ilmu ini dikembangkan oleh psikolog Jerman pada permulaan abab ke -

20 yang bernama Wilhem Wundt, beliau menyatakan bahwa bahasa dapat

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

11

dijelaskan dengan dasar-dasar psikologis (Darjowidjojo, 2008: 2). Lebih lanjut

menurut Darjowidjodjo (2008: 7) Psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari

proses-proses mental yang dilalui oleh manusia dalam mereka berbahasa.

Darjowidjodjo (2008:7) menjelaskan bahwa secara rinci psikolinguistik

mempelajari empat topik utama:

(1) Komprehensi, yakni proses-proses mental yang dilalui oleh manusia

sehingga mereka dapat menangkap apa yang dikatakan orang dan

memahami apa yang dimaksud.

(2) Produksi, yakni proses-proses mental pada diri kita yang membuat kita

dapat berujar seperti yang kita ujarkan.

(3) Landasan biologis dan neurologis yang membuat manusia bisa

berbahasa, dan.

(4) Pemerolehan bahasa, yakni bagaimana anak memperoleh bahasa

mereka.

Sementara itu Chaer (2009: 6) menyatakan bahwa psikolinguistik

mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa, dan bagaimana struktur itu

diperoleh, digunakan pada waktu bertutur, dan pada waktu memahami kalimat-

kalimat dalam pertuturan itu.

1.6.2 Pragmatik Klinis

Pragmatik klinis adalah kajian pragmatik yang mencoba untuk memahami

dan mengelola gangguan pragmatik yang terjadi pada manusia. Cummings (2010:

11) menyatakan bahwa pragmatik klinis adalah kajian yang mencoba mencari

penyebab terganggunya penggunaan bahasa oleh individu untuk mencapai tujuan

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

12

komunikatif. Cedera serebral, patologi atau anomali lain adalah penyebab utama

dari penggunaan bahasa ini dan biasanya gangguan ini terjadi pada tahap

perkembangan atau selama masa andolesen atau masa dewasa. Gangguan

perkembangan dan perolehan pragmatik memiliki berbagai etiologi dan bisa

merupakan konsekuensi dari hubungan dengan atau dilestarikan oleh sederet

faktor kognitif dan linguistik.

Dengan kata lain, pragmatik klinis berusaha meneliti sejauh mana

kemampuan pragmatik bahasa seseorang bisa terganggu akibat dari cedera otak

atau masalah lain yang berawal dari periode perkembangan atau selama masa

adolesen atau masa dewasa. Untuk memahami kajian ini, diperlukan dasar

pengetahuan yang luas yang mencakup tentang di antaranya teknik

neuroanatonomis dan neuro-imaging, kognisi, psikologi perkembangan,

pemrosesan dan pemerolehan bahasa, dan cedera otak agar mampu melaksanakan

perkerjaan klinis.

1.6.3 Prinsip-Prinsip Dalam Berbahasa

1) Prinsip Kerjasama

Sebuah komunikasi akan terjalin sempurna jika penutur dan petutur

memenuhi sebuah prinsip atau kaidah yang disepakati oleh keduanya, bila sebuah

komunikasi atau aktivitas berbahasa terjadi penyimpangan maka komunikasi itu

memungkinkan tidak sempurna, namun jika penyimpangan itu terjadi secara

sengaja, pasti ada implikasi tertentu yang hendak dicapai oleh penutur (Wijana,

1996).

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

13

Dalam rangka sebuah komunikasi, seorang penutur dan lawan tutur

hendaknya saling memahami dan saling mengerti mengenai apa yang saling

mereka ujarkan. Allan (1986:10) via (Wijana, 1996) menyatakan bahwa aktivitas

sosial dalam berbahasa, setiap peserta tindak tutur harus bertanggung jawab

terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam

interaksi lingual itu dalam.

Grice mengemukakan bahwa di dalam rangka melaksanakan prinsip

kerjasama itu, setiap penutur harus mematuhi 4 maksim percakapan

(conversational maxim) yakni maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim

kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim

pelaksanaan (maxim of manner) (Grice, 1975: 45-47; Parker, 1986: 23; Wardaugh,

1986:202; Sperber & Wilson, 1986: 33-34).

Penjelasan maksim-maksim itu sebagai berikut:

(1) Maksim Kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan

kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan

bicara. Misalnya penutur yang berbicara secara wajar tentu akan memilih

(104) dibandingkan dengan (105)

- 104. Tetanggga saya hamil

- 105. Tetangga saya yang perempuan hamil.

(2) Maksim Kualitas adalah maskim percakapan yang mewajibkan setiap

peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi peserta

percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai.

Misalnya seseorang harus mengatakan bahwa ibu kota Indonesia adalah

Jakarta bukan kota-kota yang lain kecuali kalau benar-benar tidak tahu.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

14

Akan tetapi, bila terjadi hal sebaliknya, tentu ada alasan-alasan mengapa

hal demikian bisa terjadi.

(3) Maksim Relevasi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan

kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Misalnya contoh

dibawah ini:

- (anak) Pak ada tabrakan motor lawan truk di perempatan depan.

- (bapak) Yang menang apa hadiahnya.

Jawaban dari bapak itu sangat tidak relevan dengan ujaran yang

disampaikan oleh anaknya, oleh karena itu bentuk tuturan di atas tidak

mematuhi maksim relevansi.

(4) Maksim pelakasanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara

secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebih-lebihan, serta

runtut. Dalam hal ini sebuah ujaran akan lebih dipahami dan dimengerti

oleh lawan tutur, namun terkadang ujaran dilakukan dengan taksa karena

untuk maksud tertentu. Misalnya ketika seorang kondektur berkata ada

musang yang berarti ada copet agar sang copet tidak marah ketika dia naik

dll.

Grice (1975: 47-48) membuat analogi bagi kategori-kategori maksim

percakapannya sebagai berikut ini:

(1) Maksim kuantitas. Jika anda membantu saya memperbaiki mobil, saya

mengharapkan kontribusi anda tidak lebih atau tidak kurang dari apa yang

saya butuhkan. Misalnya, jika pada tahap tertentu saya membutuhkan

empat obeng, saya mengharap anda mengambilkan saya empat bukanya

dua atau enam.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

15

(2) Maksim kualitas. Saya mengharapkan kontribusi anda sungguh-sungguh,

bukanya sebaliknya. Jika saya membutuhkan gula sebagai bahan adonan

kue, saya tidak mengharapkan anda mengambilkan garam. Jika saya

membutuhkan sendok, saya tidak mengharapkan anda mengambilkan

sendok-sendokan, atau sendok karet.

(3) Maksim relevansi. Saya mengharapkan kontribusi teman kerja saya sesuai

dengan apa yang saya butuhkan pada setiap tahapan transaksi. Jika saya

mencampur bahan-baha adonan kue, saya tidak mengharapkan diberikan

buku yang bagus, atau bahkan kain oven walaupun benda yang terakhir ini

saya butuhkan pada tahap berikutnya.

(4) Maksim cara. Saya mengharapkan teman kerja saya memahami kontribusi

yang harus dilakukan, dan melaksanakan secara rasional.

1.6.4 Teori Relevansi

Teori relevansi Sperber dan Wilson (2009) sebenarnya adalah bentuk

kritik dari teori Grice mengenai prinsip kerja sama. Terutama maksim relevansi

yang terdapat dalam prinsip kerja sama tersebut. Menurut mereka relevansi

merupakan masalah derajat. Dalam sebuah tuturan, derajat relevansi bergantung

pada keterlibatan kontekstual yang terjadi di antara tuturan. Derajat relevansi bisa

lemah dan bisa juga kuat. Lemah dan kuatnya derajat relevansi bergantung pada

asumsi kontekstual yang ada dalam tuturan. Hubungan antar tuturan bisa

ditunjukan secara langsung bisa juga secara tidak langsung. Secara tidak langsung

relevansi sebuah ujaran dengan ujuran sebelumnya bisa dilihat melalui

penyusunan ekspilkatur sebagai informasi tambahan yang belum dimunculkan

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

16

dalam tuturan. Lawan tutur menginterpretasikan relevansi antara ujaran-ujaran

yang didengarnya melalui penyusunan eksplikatur sesuai dengan latar belakang

pengetahuannya.

Sperder dan Wilson (2009:176-177) menyatakan bahwa relevansi

merupakan sifat stimulus eksternal yang potensial (misalnya ujaran, tindakan)

atau representasi internal (misalnya pikiran, memori) yang menjadi input bagi

proses-proses kognitif. Relevansi mempunyai definisi yang berbeda-beda pada

saat yang berbeda, tetapi konsep relevansi memiliki ciri psikologis penting, ciri

proses mental, di mana konsep relevansi yang benar mampu direka-reka secara

kasat mata atau mudah, dan yang layak disebut ’relevansi’

Setiap individu memiliki ’intuisi relevansi’ mereka mampu membedakan

antara informasi yang relevan dengan informasi yang tidak relevan, atau dalam

beberapa kasus, membedakan informasi yang lebih relevan atau kurang relevan.

Meski demikian, intuisi relevansi tidak sangat mudah untuk digunakan sebagai

bukti. Intuisi tentang ’relevansi’ sebanding dengan konteks dan tidak ada cara

untuk mengontrol konteks mana yang akan dimiliki seseorang pada momen

tertentu untuk berkata relevan.

Menurut Sperber dan Wilson (2009:183-184), ada dua hal yang dijadikan

pijakan untuk mengukur derajat relevansi, yaitu; dampak kontekstual dan usaha

prosesingnya.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

17

1. Dampak kontekstual adalah hasil dari interaksi antara informasi baru dan

informasi lama atas ujaran.

2. Dampak kontekstual dibentuk oleh proses mental. Dalam sebuah proses

mental diperlukan semacam energi. Usaha prosesing yang terlibat dalam

usaha mencapai dampak kontekstual merupakan faktor kedua yang harus

diperhatikan dalam mengukur derajat ’relevansi’. Jika semakin besar usaha

prosesing untuk menarik asumsi tersebut, berarti semakin rendah

’relevansinya’. Sebaliknya, jika semakin kecil usaha prosesingnya, berarti

semakin tinggi ‘relevansinya.

Dengan kata lain, sebuah pernyataan dikatakan relevan jika: Kondisi

tingkat 1: suatu asumsi adalah relevan dalam suatu konteks sampai pada tingkat di

mana dampak kontekstualnya dalam konteks ini adalah besar. Kondisi tingkat 2:

suatu asumsi disebut relevan dalam suatu konteks sampai pada tingkat di mana

usaha yang diperlukan untuk memprosesnya dalam konteks ini adalah kecil.

Berikut contoh yang digambarkan oleh Sperber dan Wilson (2009:180-

181) mengenai derajat relevansi.

(a) Penjual bendera: Mau beli bendera untuk Royal National Lifeboat

Institution?

Pengendara: Tidak, terimakasih, saya selalu liburan dengan adik saya di

Birmingham.

Untuk melihat ’relevansi’ jawaban pengendara tersebut, pendengar harus

bisa memberikan sesuatu seperti premis dalam (b) dan mengambil sesuatu seperti

implikasi kontekstual dalam (c):

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

18

(b) (1) Birmingham adalah sebuah pulau.

(2) Royal National Lifeboat Institution adalah sebuah lembaga amal.

(3) Membeli bendera adalah salah satu cara berperan memberi sumbangan

amal.

(4) Seorang yang menghabiskan liburannya di pedalaman (tidak keluar

pulau), tidak membutuhkan jasa Royal National Lifeboat Institution.

(5) Seseorang yang tidak memerlukan jasa lembaga amal tidak bisa

diharapkan mendukung lembaga itu.

(c) Pengendara tersebut tidak bisa diharapkan menyumbang Royal National

Lifeboat Institution.

Yang menarik dari jawaban pengendara di atas adalah terdapat hubungan

relevansi atas apa yang dimaksudkan oleh pengendara dengan penjual. Di konteks

ini, penjual mampu mengambil bebarapa premis hingga mampu mencapai

implikasi kontekstual (maksud) dari apa yang disampaikan oleh pengendara. Jika

seseorang tidak bisa memberikan sesuatu seperti pada konteks (b) dan mengambil

sesuatu seperti implikasi kontekstual pada (c), seseorang itu tidak akan mampu

melihat ’relevansi’ yang dimaksud dari jawaban itu. Namun, jika seseorang itu

mampu melihat implikasi kontekstual seperti pada (c) akan sepakat bahwa

jawaban itu adalah relevan dalam konteks yang tepat. Sehingga dengan

memperhatikan bebarapa dampak kontekstual suatu asumsi tampaknya sudah

cukup untuk menilainya relevan.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

19

1.6.5 Wacana

Wacana adalah wujud atau bentuk bahasa yang bersifat komunikatif,

interpretatif, dan kontekstual. Artinya, untuk memahami wacana secara utuh

diperlukan adanya interpretasi dan pemahaman konteks wacana ( Mulyana, 2005:

21). Sementara itu Djajasudarma (2006:4) wacana adalah rekaman kebahasaan

yang utuh tentang peristiwa komunikasi. Komunikasi ini dapat menggunakan

bahasa lisan dan tulis. Apapun bentuknya, wacana mengasumsikan adalnya

penyapa (addresor) dan pesapa (Addressee). Lebih lanjut Lubis (1993:21)

menjelaskan bahwa wacana adalah sama dengan teks, yakni kesatuan bahasa yang

diucapakan atau tertulis panjang atau pendek, itulah yang dinamakan teks atau

discourse. Berbeda halnya dengan lubis, Tarigan (1987:27) menyatakan bahwa

wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas

kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan,

yang mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tulis

(Djajasudarma, 2006:4)

1.6.6 Kohesi

Kohesi dalam wacana diartikan sebagai kepaduan bentuk yang secara

struktural membentuk ikatan sintakasis (Mulyana, 2005:26). Lebih lanjut

Moeliono dkk (2003: 41) menyatakan bahwa kohesi merujuk pada keterkaitan

antarproposisi yang secara eksplisit diungkapkan oleh kalimat-kalimat yang

digunakan. Konsep kohesi pada dasarnya mengacu kepada hubungan bentuk,

artinya unsur-unsur wacana (kata atau kalimat) yang digunakan untuk menyusun

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

20

wacana memiliki keterkaitan secara padu dan utuh. Dengan kata lain, kohesi

termasuk dalam aspek internal struktur wacana.

Sementara itu, Halliday dan Hassan (1976:4) membagi kohesi menjadi dua

jenis yaitu; kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Kohesi gramatikal meliputi

referensi, subtitusi, elipsis, dan konjungsi, sedangkan kohesi leksikal mencakup

sinonim, repetisi, dan kolokasi.

1.6.7 Aspek Kohesi Gramatikal

1) Pengacuan

Referensi (pengacuan) adalah hubungan antara satuan bahasa dan maujud

yang meliputi benda atau hal yang terdapat di dunia yang diacu oleh satuan itu

(Moeliono dkk, 2003: 43). Semantara itu dalam wacana, referensi diartikan

sebagai pengacuan terhadap unsur-unsur, baik itu berupa unsur intralinguistik

maupun eksralinguistik yang terdapat dalam tuturan atau kalimat. Referensi

terbagi menjadi dua yaitu referensi eksofora dan referensi endofora. Referensi

eksofora menunjuk sesuatu yang berada di luar teks (ekstralinguistik) dan

referensi endofora menunjuk sesuatu yang berada di dalam teks (intralinguistik).

Selanjutnya, referensi dibedakan lagi menjadi tiga jenis yaitu, referensi persona,

demonstratif, dan komparatif.

(a) Referensi Persona

Referensi persona atau pengacuan persona mencakup tiga kata ganti diri

yaitu kata ganti diri orang I, kata ganti diri orang II, dan kata ganti orang III, baik

singularis maupun pluralisnya. Dalam bahasa Indonesia pengacuan persona (kata

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

21

ganti orang) mencakup saya, aku, kita, kami, engkau, kau, Anda, mereka, -ku, -

mu, dan –nya. Pengacuan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

Tunggal

Aku, saya, hamba, gua/gue, ana/ane

Terikat lekat kiri: ku-,

Lekat kanan: -ku

I

Jamak

Kami, kami semua

Tunggal

Kamu, anda, anta, ente

Terikat lekat kiri: -kau,

Lekat kanan: -mu

Persona II

Jamak

Kamu semua, kalian, kalian semua

Tunggal

Ia, dia, beliau

Terikat lekat kiri: di-

Lekat kanan: -nya

III

Jamak

Mereka, mereka semua

Bagan 1

Klasifikasi Pengacuan Pronomina Persona

(Sumarlam, 2003:25)

(b) Pengacuan Demonstratif

Pengacuan demonstratif (kata ganti penunjuk) terbagi menjadi dua yaitu

pronomina demonstratif waktu (temporal) dan pronomina demonstratif tempat

(lokasional). Berikut digambarkan klasifikasi pronomina demonstratif seperti di

bawah ini:

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

22

Waktu

Kini : kini, sekarang, saat ini

Lampau: kemarin, dulu,..yang lalu

y.a.d : besuk,…depan,…yang akan datang

netral : pagi, siang, sore, pukul 12

Demonstratif

(penunjukan)

Tempat

Dekat dengan penutur : sini, ini

Agak dekat dengan penutur: situ, itu

Jauh dengan penutur : sana

Menunjukan secara eksplisit: Solo, Jogja

Bagan 2

Klasifikasi Pengacuan Pronomina Demonstratif

(Sumarlam, 2003: 26)

(c) Pengacuan Komparatif

Pengacuan komparatif adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang

bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai dua kemiripan atau

kesamaan dari segi bentuk/wujud, sikap, sifat, perilaku, dan sebagainya. kata-kata

yang sering dipakai untuk membandingkan adalah seperti, mirip, persis, sama,

(serupa tapi tak sama) lain, selain, bagai, bagaikan, berbeda, laksana, dan

sebagainya.

2) Penyulihan

Penyulihan (subtitusi) adalah penggantian kata, kelompok kata, atau unsur

kalimat lainnya dengan kata yang lain. Sumarlam (2003:28) menyatakan

penyulihan atau subtitusi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa

penggantian satuan lingual tertentu (yang telah disebutkan) dengan satuan lingual

yang lain dalam wacana yang bertujuan untuk memperoleh unsur pembeda.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

23

Berdasarkan satuan lingualnya penyulihan atau subtitusi dibedakan menjadi tiga

jenis yaitu, subtitusi nominal (kata benda), verba (kata kerja), frasa, dan klausal.

3) Pelesapan

Pelesapan atau elipsis yaitu salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa

penghilangan atau pelesapan suatu kata atau bagian dari kalimat dalam teks.

Kridalaksana (2007) menyatakan pelesapan adalah peniadaan kata atau satuan lain

yang wujud asalnya dapat diramalkan dari konteks bahasa atau konteks luar

bahasa. Pelesapan dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu, pelesapan nominal,

verbal, dan klausal. Pelesapan ini dimaksudkan untuk:

(1) Menghasilkan kalimat yang efektif.

(2) Efisiensi pemakaian atau penggunaan satuan lingual agar tidak terjaditidak

pemborosan penggunaan bahasa yang tidak perlu.

(3) Untuk memperoleh aspek kepaduan wacana.

(4) Mengaktifkan pikiran pembaca atau pendengar terhadap hal-hal yang tidak

diungkapkan dalam satuan bahasa.

(5) Menjaga kepraktisan berbahasa, terutama pada komunikasi lisan

(Sumarlam, 2003:30).

Dalam analisis wacana unsur atau satuan lingual yang dilesapkan ditandai

dengan konstituen nol atau zero Ø pada tempat terjadinya pelesapan.

4) Perangkaian (Konjungsi)

Konjungsi adalah partikel yang dipergunakan untuk menggabungkan kata

dengan kata, frase dengan frase, klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat

atau paragraf dengan paragraf (Kridalaksana, 2001:117). Semantara itu Moeliono,

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

24

dkk (2003: 296-302) menambahkan bahwa konjungsi adalah alat relasi yang erat

(cohesive) yang menghubungkan dua klausa atau lebih. Kata seperti: dan, kalau,

dan atau adalah kata konjungsi. Perangkai atau konjungsi menyatakan bermacam-

macam makna misalnya, menyatakan sebab-akibat, pertentangan, kelebihan

(eksesif), perkecualian (ekseptif), konsesif, tujuan, penambahan (aditif), pilihan

(alternatif), harapan (optatif), urutan (sekuensial), perlawanan, waktu, syarat, dan

cara.

1.6.8 Aspek Kohesi Leksikal

Kohesi Leksikal yaitu kohesi yang didasarkan atas adanya pemakaian kata

yang memiliki kaitan semantis. Kohesi leksikal meliputi reiteration (reiterasi

meliputi; sinonim, repetisi, dan superordinate) dan collocation (kolokasi).

1) Pengulangan atau Repetisi

Pengulangan adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata

atau bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah

konteks yang sesuai (Sumarlam, ed., 2004:9). Repetisi menurut Keraf (1985:127-

128) dapat dibedakan menjadi delapan macam, yaitu repetisi epizeukis, tautotes,

anafora, apistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis.

(1) Repetisi Epizeuksis adalah pengulangan satuan lingual (kata) yang

dipentingkan beberapa kali berturut-turut. Misalnya pada tuturan berikut:

- Sebagai pemimpin Jakowi selalu berusaha bersikap adil, selalu jujur

dalam berkerja, selalu disiplin dalam bekerja, dan selalu bertanggung

jawab atas segala omongan dan tindakannya.

Pada tuturan di atas kata selalu diulang empat kali secara berturut-turut

untuk menekankan pentingnya kata-kata tersebut dalam konteks tuturan.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

25

(2) Repetisi Tautotes adalah pengulangan satuan lingual (sebuah kata)

beberapa kali dalam sebuah kontruksi. Contohnya pada tuturan berikut:

- Rona dan Ndorie pacaran jarak jauh, namun hal itu tidak mengurai rasa

saling mencintainya, Rona mencintai Ndorie, Ndorie pun mencintai

Rona, meraka pun berencana untuk menikah selepas selesai kuliah.

Pada tuturan di atas kata mencintai di ulang tiga kali dalam sebuah

kontruksi untuk mendapatkan penekanan bahwa kata mencintai sangat

dipentingkan agar mendapatkan perhatian.

(3) Repetisi Anafora adalah pengulangan satuan lingual berupa kata atau frasa

pertama pada tiap-tiap baris atau kalimat berikutnya. Pengulangan ini

umumnya terjadi pada puisi dan prosa.

(4) Repetisi Epistropfa adalah pengulangan satuan lingual kata/frasa pada

akhir baris (dalam puisi) atau akhir kalimat (dalam prosa).

(5) Repetisi Simploke adalah pengulangan satuan lingual pada awal dan akhir

beberapa baris/kalimat berturut-turut. Pengulangan ini juga umumnya

terjadi pada puisi.

(6) Repetisi Mesodiplosis adalah pengulangan satuan lingual di tengah-tengah

atau baris atau kalimat secara berturut-turut.

(7) Repetisi Epanaplesis adalah pengulangan satuan lingual, dimana kata/frasa

dari baris/kalimat itu merupakan pengulangan kata/frasa pertama.

(8) Repetisi Anadiplosis adalah pengulangan kata/frasa terakhir dan

baris/kalimat itu menjadi kata/frasa pertama pada baris atau kalimat

berikutnya.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

26

2) Sinonimi (Padan Kata).

Sinonimi adalah nama lain untuk benda atau hal yang sama atau ungkapan

yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain (Chaer, 1990:85).

Sinomini merupakan salah satu unsur leksikal yang mampu mendukung kepaduan

wacana secara semantik. Berdasarkan kategorinya sinonimi dibedakan menjadi;

(1) Sinonimi morfem (bebas) dengan morfem (terikat), contohnya:

- Aku yakin kamu tahu perasaanku

(2) Sinomini kata dengan kata, contohya:

- Dia melihatmu seperti dia menatap musuh.

(3) Sinonimi kata dengan frasa atau sebaliknya.

- Banjir dan tanah longsor itu menghanjurkan harapannya. Musibah itu

bagaikan kiamat baginya.

(4) Sinonimi frasa dengan frasa

- Nico adalah pemuda yang pandai bergaul di kampusnya. Dia sangat

komunikatif hingga banyak orang menyukianya.

(5) Sinonimi klausa/kalimat dengan klausa/kalimat.

- Anak jalanan adalah salah satu generasi bangsa yang tercampaknya.

Mereka hidup tanpa masa depan dan tujuan yang jelas. Padahal mereka

sangat membutuhkan banyak perhatian, memerlukan bantuan dan

perlindungan, serta mendapatkan pendidikan yang baik.

3) Antonimi atau Lawan Kata

Lawan kata adalah satuan lingual yang maknanya berlawanan dengan

satuan lingual yang lain. lawan kata merupakan salah satu jenis aspek leksikal

wacana yang dimunculkan dengan cara mengoposisikan makna unsur yang satu

dengan yang lain. Oposisi makna dapat dibedakan menjadi lima macam yaitu:

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

27

(1) Oposisi Mutlak adalah pertentangan makna secara mutlak, contohnya kata

hidup dan mati.

(2) Oposisi Kutup adalah makna yang tidak bersifat mutlak, tetapi bersifat

gradasi, maksudnya di antara kata-kata yang dilawankan itu terdapat

tingkatan makna yang tidak bersifat mutlak, tetapi bersifat gradasi.

Misalnya: kata kaya dan miskin, kaya dan agak miskin, miskin sekali dan

sebagainya.

(3) Oposisi hubungan adalah oposisi makna yang bersifat saling melengkapi.

Kemunculkan kata yang satu pada suatu kalimat/wacana dimungkinkan

menyebabkan hadirnya kata yang lain. Misalnya, kata guru dengan murid.

(4) Oposisi Hirarkial adalah oposisi makna yang menyatakan jenjang atau

tingkatan. Satual lingual yang beroposisi hirarkial pada umumnya kata-

kata yang menunjuk pada nama-nama satuan ukuran seperti panjang, berat

dan isi.

Pemakaian bentuk antonimi atau lawan kata pada sebuah wacana tidak lain

untuk mendukung kepaduan wacana secara leksikal dan semantis, sehingga

kehadirannya dapat menghasilkan wacana yang kohesif dan koheren.

4) Hiponimi

Hiponimi adalah ungkapan (kata, biasanya, tetapi dapat juga frasa atau

kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna yang suatu

ungkapan lain (Verhaar, 1986:137). Sementara itu Chaer (2003: 302) menyatakan,

hiponimi adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya

tercakup dalam makna bentuk ujuran yang lain atau dengan kata lain hiponimi

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

28

adalah hubungan atas bawah. Misalnya kata burung adalah subordinat bagi kata

merpari, nuri, kutilang, dan sebagainya.

5) Kolokasi

Kolokasi atau sanding kata adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan

pilihan kata yang cenderung digunakan secara berdampingan (Sumarlam,

2004:10). Kata-kata yang berkolokasi adalah kata-kata yang cenderung dipakai

dalam suatu domain atau ranah tertentu misalnya kata sekolah, pasti berkaitan

dengan kepala sekolah, guru, murid, buku pelajaran, kapur, papan, dan

sebagainya.

1.6.9 Koherensi

Secara umum koherensi mengandung makna ’pertalian’. Dalam konsep

wacana, koherensi diartikan dengan pertalian makna atau isi kalimat (Tarigan,

1987:32). Keraf (1984: 38) koherensi berarti hubungan timbal balik yang serasi

antar unsur dalam kalimat.

Brown dan Yule (1986:224) menegaskan bahwa koherensi berarti

kepaduan dan keterpahaman antar satuan dalam suatu teks atau tuturan. Dalam

struktur wacana, aspek koherensi sangat diperlukan keberadaaannya untuk menata

pertalian batin antara proposisi yang satu dengan lainnya untuk mendapatkan

keutuhan. Keutuhan yang koheren tersebut dijabarkan oleh adanya hubungan-

hubungan makna yang terjadi antar unsur (bagian) secara semantis. Hubungan

tersebut kadang terjadi melalui alat bantu kohesi, namum terkadang dapat terjadi

tanpa bantuan alat kohesi. Secara keseluruhan hubungan makna yang bersifat

koheren menjadi bagian dari organisasi semantis.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

29

Lebih lanjut, Brown dan Yule (1986:224) menyatakan keberadaan unsur

koherensi sebenarnya tidak pada satuan teks semata (secara formal), melainkan

juga pada kemampuan pembaca/pendengar dalam menghubungkan makna dan

menginterpretasikan suatu bentuk wacana yang bisa diterimanya. Jadi,

kebermaknaan unsur koherensi sesungguhnya bergantung kepada kelengkapan

yang serasi antara teks (wacana) dengan pemahaman petutur dan pembaca.

Sementara itu, Baryadi (2002:29) menjelaskan koherensi adalah

keterkaitan semantis antara bagian-bagian wacana. Berkaitan dengan wacana

dialog, Baryadi menjelaskan bahwa koherensi wacana dialog didominasi oleh

koherensi stimulus-respons, misalnya fatis, informatif, pengukuhan, penolakan,

dan negosiatif. Lebih lanjut lagi, menurutnya koherensi wacana dialog tidak

diwujudkan dalam bentuk penanda sehingga harus dipahami dari hubungan

antarkalimatnya. Selain itu, ada beberapa faktor yang harus dipahami dalam

menentukan terciptanya koherensi tuturan-tuturan dalam wacana. Faktor-faktor

yang dimaksud adalah pra anggapan (presupposition), kesepakatan bersama atau

implikatur (implicature), dan konsekuensi langsung (entailment).

1.6.10 Skizofrenia

Skizofrenia adalah gangguan kesehatan dan kerenanya termasuk dalam

ilmu kedokteran khususnya dalam ilmu kedokteran jiwa (psikiatri) dan merupakan

penyakit, yang penanganannya sesuai dengan azas-azas kedokteran sebagaimana

halnya penyakit-penyakit fisik (jasmani) lainnya. Skizofrenia adalah penyakit

yang sudah lama dikenal berabab-abab lalu, menurut catatan sejarah ada 4

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

30

ilmuwan (dokter) yang merupakan tokoh konseptor skizofrenia, yaitu Hughlings

Jackson (1887), Eugen Bleuler (1908), Emil Kraeplin (1919), dan Kurt Schneider

(1959), yang masing-masing menyoroti skizofrenia dari sudut pandang yang

berbeda, namun kemudian hari ternyata ketiga sudut pandang tersebut sebenarnya

merupakan kesatuan (Hawari, 2003:7-8).

Hughlings Jackson (1887) melihat gangguan jiwa atau skizofrenia ini dari

sudut adanya gangguan pada susunan saraf pusat (otak), disebutkan bahwa gelaja-

gejala negatif yang muncul pada skizofrenia adalah sebagai akibat langsung

kerusakan yang terjadi pada bagian otak yang mengakibatkan gangguan prilaku

manusia. Sedangkan gejala-gejala positif yang muncul merupakan fenomena

pelepasan yang dipicu oleh kerusakan otak tadi. Sementara itu, Blueler (1908)

lebih menonjolkan gejala keretakan proses berpikir (Fragmented Thinking) dan

ketidakmampuan melakukan hubungan dengan dunia luar (inability to relate to

external world).

Kreapelin (1919) mendasarkan pada terdapatnya kecenderungan

keruntuhan /kemerosotan/ kemunduran (deterioration) dalam perjalanan penyakit

skizofrenia, yaitu tumpulnya alam perasaan (emotional dulllness), penarikan diri

(withdrawal/avolition) dan kehilangan dorongan kehendak (lost of inner unity).

Sedangkan Schneider (1959) lebih menekankan pada gejala-gejala yang spesifik

yaitu halusinasi dan delusi (Nevid, 2002: 104-105).

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

31

Secara garis besar Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang penderitanya

tidak mampu menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA) dengan baik dan

pemahaman diri (self insight) buruk. Gejala-Gejala Skizofrenia dapat dibagi

dalam 2 kelompok yaitu gejala positif dan gejala negatif.

(1) Gejala Positif Skizofrenia meliputi;

a. Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional (tidak

masuk akal). Meskipun telah dibuktikan secara objektif bahwa

keyakinannya itu tidak rasional, tetapi penderita tetap menyakini

kebenarannya.

b. Halusinasi, yaitu pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan

(stimulus). Misalnya penderita mendengar suara-suara/bisikan-bisikan

di telinganya padahal tidak ada sumber dari suara/bisikan itu.

c. Flight of Ideas atau kekacuan alam pikir, yang dapat dilihat dari isi

pembicaraannya. Misalnya bicaranya kacau, sehingga tidak dapat

diikuti alur pikirannya.

d. Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara

dengan semangat dan gembira berlebihan.

e. Merasa dirinya ’orang besar’, merasa serba mampu, serba hebat dan

sejenisnya.

f. Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman

terhadap dirinya.

g. Menyimpan rasa permusuhan.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

32

(2) Gejala Negatif Skizofrenia

a. Alam perasaan (effect) ’tumpul” dan ”mendatar”. Gambaran alam

perasaan ini dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukan

ekspresi.

b. Menarik diri atau mengasingkan diri (with-drawn) tidak mau bergaul

atau kontak dengan orang lain, suka melamun (day dreaming).

c. Kontak emosional amat ”miskin”, sukar diajak bicara, pendiam.

d. Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial.

e. Sulit dalam berpikir abstrak.

f. Pola pikir stereotip.

g. Tidak kehilangan dorongan kehendak (avolition) dan tidak ada

inisiatif, tidak ada upaya dan usaha, tidak ada spontanitas, monoton,

serta tidak ingin apa-apa dan serba malas (kehilangan nafsu). (Hawari,

2003:43-45).

1.6.11 Gangguan Bahasa

Sisofrenik adalah gangguan berbahasa akibat gangguan berpikir. Penderita

sisofrenik kronik umumnya dikenal sebagai penderita Schizophrenik Word Salad.

Pada kasus ini penderita mampu mengucapkan words salad atau gado-gado kata

ini dengan baik, dengan volume yang cukup ataupun datar dan umumnya

bahasanya penuh dengan kata-kata neologisme.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

33

Seorang penderita skizofrenia dapat berbicara terus-menerus tanpa

dipahami dan dimengerti. Gaya bahasa seorang sisofren dapat dibedakan dalam

beberapa tahap dan menurut kriteria. Yang utama adalah diferensiasi dalam gaya

bahasa, skizofrenia halusinasi, dan pasca halusinasi (Chaer, 2009: 160).

Sebelum diganggu halusinasi (biasanya halusinasi auditorik), bahasa para

penderita skizofrenia ini tampak terganggu. Pada tahap awal ini, seorang penderita

skizofrenia mengisolasi pikirannya dan tidak banyak berkomunikasi dengan dunia

luar, tetapi kegiatan dalam dunia bahasa internal (berbahasa dalam pikiran sendiri)

sangat ramai (ngomyang dalam bahasa Jawa). Oleh karena itu, gangguan ekspresi

verbal skizofrenia tahap awal ini, menyerupai mutisme elektif (ketidakmampuan

berbahasa di depan umum).

Pada tahap prahalusinasi ini, gaya bahasa verbal dan tulisnya dicoraki

dengan penggunaan kata ganti ”aku” yang berlebihan. Lalu dia mengalami

kesulitan dalam mencari kosakata yang tepat. Pada tahap berikutnya, penderita

malah mendeteksi bahwa kata-kata yang hendak digunakan justru secara tidak

sengaja digunakannya. Gangguan ekspresi verbal itu membuat pasien lebih

menarik diri dari pergaulan, sehingga ekspresi verbal menjadi sangat terbatas dan

jarang. Begitu halusinasi auditorik melandanya yang terganggu sesungguhnya

bukan gaya bahasanya, melainkan makna curah verbal abnormal. Apa yang

dibicarakan atau dikeluhkan memiliki hubungan dengan halusinasinya.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

34

1.6.12 Inkoherensi Pada Kemampuan Berpikir

Seorang penderita Sisofren umumnya pikirannya menjadi kusut atau

ruwet, apabila pasien terganggu fungsi kesadarannya, maka pikiran tersebut

menjadi inkoheren atau tidak runtun karena kaitan/hubungan di antara onderdil-

onderdil atau bagian-bagian dari pikiran tersebut tidak ada, dan terputus-putus

keadaaannya (Kartono, 1997:97).

Keteraturan/orde dalam berpikir itu bisa berlangsung, apabila pikiran dan

tanggapan-tanggapan tersebut selalu mengandung relasi; (1) waktu, (2) tempat, (3)

kausal atau sebab-musabab, dan (4) final atau mengarah pada tujuan tertentu.

Selanjutnya, pikiran yang tidak runtut dan kusut itu bisa muncul oleh sebab-sebab

sebagai berikut:

(1) Pemimpi siang (daydreamer): pasien melihat bermacam-macam fantasi

dan gambaran yang tidak teratur. Serta tanpa runtunan yang jelas pada

siang hari.

(2) Penderita psikosa dan schizofrenia: pasien menciptakan perkataan-

perkataan dan istilah-istilah baru yang hanya dimengerti oleh dirinya

sendiri. Ia mengucapkan ungkapan-ungkapan magis dan kata-kata sihir,

membuat kalimat-kalimat, yang semuanya kacau balau. Pikiran

sedemikian ini disebut wordsalat, yang kita terjemahkan sebagai gado-

gado kata, yang tidak mungkin dimengerti oleh orang luar. Lagi pula,

pikirannya dipenuhi oleh macam-macam halusinasi dan delusi, sehingga

ucapan-ucapan dan pikirannya menjadi kacau balau serta kusut-masai

(Kartono, 1997:97).

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

35

1.7 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian bahasa yang bersifat deskriptif.

penelitian ini akan melalui beberapa proses pelaksanaan yakni (1) proses

penyediaan data; (2) proses penganalisisan data; dan (3) proses penyajian hasil

penganalisisan data.

Proses penyediaan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak

dan catat. Metode simak dan catat adalah penyimakan terhadap pemakaian bahasa

lisan maupun tulisan yang bersifat spontan dan mengadakan pencatatan terhadap

data relevan yang sesuai dengan sasaran dan tujuan penelitian (Subroto, 2007: 47).

Data dalam penelitian ini adalah jawaban atau ujaran dari Toni Blank. Sementara

itu, sumber datanya di ambil dari Toni Blank Shows dan wawancara langsung

antara peneliti dan TB. Toni Blank Shows adalah sebuah video dokumentasi yang

dibuat oleh X-Code Films Yogyakarta yang berisi dialog antara TB dan

pewawancara yang diupload di youtube.

Metode analisis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode

deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif adalah metode yang mencoba

menggambarkan fenomena-fenomena yang terjadi melalui kata-kata. Mahsun

(2007:253) menegaskan bahwa analisis data merupakan upaya yang dilakukan

untuk mengklasifikasikan dan mengelompokan data.

Sejalan dengan penyataan tersebut, dalam penelitian ini akan dilakukan

dua tahapan analisis data. Pertama, dilakukan pengidentifikasian terhadap data,

yaitu mengidentifikasi pelanggaran maksim, derajat relevansi, aspek-aspek

kebahasaan, dan penanda kohesi dan koherensi pada tuturan TB. Kedua, dari hasil

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74948/potongan/S2-2014...interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta interprestasi

36

identifikasi tersebut kemudian dilakukan pemilahan untuk membuat klasifikasi

data mengenai pelanggaran prinsip kerjasama berdasarkan teori Grice, derajat

relevansi berdasarkan teori Sperber dan Wilson, aspek-aspek kebahasaan, dan

klasifikasi data mengenai penanda kohesi berdasarkan teori yang ada. Sedangkan

metode yang dipakai adalah metode padan pragmatik dan metode agih dengan

teknik lanjutan berupa teknik baca markah, ganti, dan lesap.

Berdasarkan klasifikasi data yang ditemukan, hasil analisis akan disajikan

dalam bentuk deskripsi. Selanjutnya, dari hasil penelitian akan dipaparkan dalam

urian per bab, seperti yang tertera dalam sistematika penyajian. Sedangkan,

metode yang dipakai dalam penyajian analisis data adalah metode informal yaitu

cara penyajian hasil analisis data dengan menggunakan kata-kata biasa meskipun

tetap menggunakan terminologi khusus.

1.8 Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini akan disajikan dalam lima bab, Bab I, berisi

pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan

sistematika penulisan. Bab II, Mendeskripsikan bentuk pelanggaran prinsip

kerjasama dan derajat relevansi tuturan Toni Blank. Bab III, Mendeskripsikan

aspek-aspek kebahasaan Toni Blank. Bab IV, Mendeskripsikan hubungan kohesi

dan koherensi tuturan Toni Blank. dan Bab V, berisi kesimpulan dan saran.