bab i pendahuluan 1.1 latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia diberi kemampuan berbahasa untuk tujuan berkomunikasi
antarindividu. Kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh manusia inilah yang
membedakan antara manusia dan makhluk hidup lain. Kemampuan manusia
dalam berbahasa tidak terlepas dari keunikan otak manusia itu sendiri. Otak
manusia memiliki berat antara 1 hingga 1,5 kilogram atau 1330 gram untuk
ukuran orang barat, Stainberg via Dardjowidjodjo (2003:203).
Otak manusia terdiri dari dua bagian; (i) batang otak (brain stem) dan (ii)
kortek serebral (cerebral cortex). Batang otak berkaitan dengan fungsi fisikal
tubuh seperti bernafas, gerakan, detak jantung, dan sebagainya, sedangkan kortek
serebral berfungsi menangai fungsi-fungsi intelektual dan bahasa, Stainberg via
Dardjowidjodjo (2003:203). Kortek serebral manusia terdiri dari dua bagian yaitu
hemisfir kiri dan hemisfir kanan. Kedua hemisfir ini dihubungkan oleh sekitar 200
juta fiber yang dinamakan korpus kolosum. Korpus kolosum bertugas
mengintegrasikan dan mengkoordinir apa yang dilakukan oleh kedua hemisfir
tersebut.
Dalam kaitan dengan ihwal bahasa hemisfir kiri dan kanan memiliki peran
yang berbeda-beda. Burns (1985) via kusumoputro (1991:40) menyatakan bahwa
hemisfir kiri bertanggung jawab pada bahasa dasar (basic language) yang terdiri
atas fonologi, sintaksis, dan semantik derajat rendah. Sebaliknya, hemisfir kanan
2
mempunyai peranan utama untuk kemampuan nonverbal, aspek emosional dari
komunikasi, dan aspek yang kompleks dari proses linguistik.
Dari pendapat Burns (1985) di atas, dapat dikatakan bahwa hemisfir kiri
merupakan hemisfir yang banyak bertanggung jawab atau berperan dalam ihwal
kebahasaan. Meskipun demikian, peran hemisfir kanan dalam hal bahasa tidaklah
kalah penting karena hemisfir kanan bertanggung jawab dalam pemahaman aspek
komunikasi dan pragmatik. Oleh karena itu, peran hemisfir kiri dan kanan dalam
ihwal kebahasaan sangatlah penting. Jika salah satu atau kedua hemisfir ini rusak,
manusia akan mengalami gangguan dalam kemampuan berbahasanya.
Gangguan berbahasa yang terjadi pada hemisfir kiri lebih ditekankan pada
masalah kemampuan linguistik dalam upaya mencapai komunikasi yang efektif,
sedangkan gangguan hemisfir kanan lebih diutamakan pada kemampuan
komunikasi pragmatik. Dengan kata lain, jika hemisfir kiri rusak maka
menyebabkan gangguan berbahasa yang tidak benar (tata bahasanya), sedangkan
kelainan atau gangguan hemisfir kanan menyebabkan gangguan berbahasa yang
tidak baik (gaya bahasanya) (Kusumoputro 1991:44).
Salah satu penyakit atau gangguan berbahasa karena adanya kelainan pada
hemisfir kiri adalah afasia. Penyakit afasia ini terbagi menjadi dua macam yaitu
afasia broca dan afasia wernike. Afasia broca adalah gangguan bahasa yang
terjadi karena area brokanya rusak, sedangkan afasia wernike adalah gangguan
bahasa yang menyerang pada area wernike. Area broca adalah area di mana kita
mengendalikan proses ujaran, sedangkan area wernic adalah area di mana kita
menyimpan kata berserta maknanya. Dalam kinerjanya, kedua area ini saling
3
berkerjasama dalam kaitannya dengan membentuk sebuah ujaran, apabila salah
satu atau kedua area ini rusak, seseorang akan mengalami gangguan berbahasa
yang mencakup kemampuan fonologi, sintaksis, dan semantik (Dardjowidjojo,
1991: 212-213).
Berbeda dengan gangguan yang dialami oleh hemisfir kiri, jika hemisfir
kanan mengalami kerusakan, maka seseorang akan mengalami gangguan
komunikasi pragmatik yang meliputi gangguan dalam penggunaan dan
interprestasi dari bahasa afektif, interprestasi dari isyarat konteks, serta
interprestasi isyarat para-linguistik yang mencakup intonasi dan ekspresi fasial
(Kusumoputro 1991:44).
Selain gangguan berbahasa yang disebabkan oleh kerusakan pada hemisfir
kiri dan kanan, gangguan bahasa juga sering dialami oleh para pasien gangguan
jiwa. Seorang penderita gangguan jiwa umumnya mengalami gangguan berbahasa
seperti pembicaraan yang kacau, tidak dapat dimengerti, dan tidak memahami
pembicaraan orang lain.
Gangguan jiwa atau skizofrenia adalah gangguan psikologis yang
berhubungan dengan gila atau sakit mental. Kartono (1981: 259) menjelaskan
skizofrenia (schizofrenia) adalah kondisi psikotis dengan gangguan disintegrasi,
depersonalisasi, dan kebelahan atau kepecahan struktur kepribadian serta reggresi-
aku yang parah. Skizofrenia menyerang jati diri seseorang hingga memutus
hubungan yang erat antara pemikiran dan perasaan serta mengisinya dengan
persepsi yang terganggu, ide yang salah, dan konsepsi yang tidak logis.
4
Gangguan berbahasa yang dialami oleh penderita skizofrenia umumnya
seperti bahasanya sering melantur kemana-mana saat berkomunikasi (flight of
ideas), gado-gado kata (words salad), dan penciptaan kata-kata baru (neologisme).
Hal ini, disebabkan oleh proses kognitif yang tidak teratur dan tidak fungsional,
sehingga dalam proses komunikasinya terkadang tidak ada hubungan dan tidak
logis. Penyampaian ide, pikiran, dan bahasa yang tidak jelas pada penderita
szikofrenia ini, menyebabkan segala sesuatu yang dituturkan olehnya susah untuk
dimengerti dan dipahami. Sementara itu, Chaer (2009: 160) menyatakan bahwa
seorang penderita skizofrenia dapat berbicara terus-menerus tanpa dipahami dan
dimengerti.
Salah satu penderita skizofrenia yang mengalami gangguan berbahasa
adalah Toni Blank. Toni Blank atau selanjutnya disebut TB adalah seorang
penderita gangguan jiwa (level tenang) yang dulu tinggal di Panti Sosial Karya di
Brontokusuman Yogyakarta, tetapi saat ini dia tinggal di X-code Films
Yogyakarta. Toni Blank atau Toni Edy Suryanto (nama asli) mengaku lahir di
Bantul, pada 24 September 1964. Selain itu, Toni Blank juga mengaku pernah
mengeyam bangku SMA, di Padmanaba 3B Yogyakarta serta kuliah di UGM.
Sebagai penderita skizofrenia, Toni Blank jelas memiliki prilaku yang tidak
biasanya berbeda dengan orang normal, baik dari tingkah laku sosial maupun
kebahasaannya. Namun, sebagai penderita skizofrenia lantas tidak menghalangi
hobi Toni Blank dalam membaca, mulai dari membaca koran bekas, majalah atau
bacaan yang lain. Berkat hobi membaca inilah, Toni Blank memiliki wawasan
yang luas meskipun dia adalah seorang penderita gangguan jiwa.
5
Wawasan yang luas dari hobi membaca tersebut, membuat Toni Blank
pandai berbicara dan komunikatif, meskipun terkadang kata-kata yang dipakai
tidak benar dan lepas dari konteks pembicaraan. Pemakaian unsur bahasa asing
atau campur kode dan neologisme (penciptaan kata-kata baru) pun sering muncul
dalam ujuran-ujarannya meskipun juga tidak relevan dengan maksud dan artinya.
Semua itu terjadi karena adanya gangguan gaya jiwa, berpikir, dan komunikasi
yang diderita Toni Blank akibat gangguan jiwa.
Misalnya seperti ujarannya berikut ini:
P: Teroris itu apa mas?
T: Teroris adalah suatu tekanan atau pemaksaan yang sangat sadis,
memaksa sebuah dengan nilai tekanan yang sangat keji, untuk merubah,
merubah gundalini.
P: Siapa saja yang menjadi korban teroris?
T: Yang menjadi korban teroris adalah semua, atau inti adalah buah
hatinya dalam keluarga, seperti anak-anak generasi penerusnya dan
generasi pendidikan, dan generasi pekerjaannya atau generasi karyanya
yang dilindungi, malah mereka selalu merusaknya dengan suatu nilai
kekonyolan pikiran dan akal sehat yang tak mempunyai suatu nilai
kepribadian bangsa.
P: Senjata apa yang dpakai teroris?
T: Teroris biasanya sering menggunakan suatu senjata, senjata ilegal
loging atau bom ilegal loging.
Dari contoh data di atas, terlihat bahwa jawaban Toni Blank tidak sinkron
dengan pertanyaan yang diberikan. Jawaban yang diberikan Toni Blank terkesan
ambigu dan melantur kemana-mana. Penyampaian ide atau gagasan Toni Blank
terlihat tidak runtun dan tidak koheren, hal ini terjadi karena proses kemampuan
berpikir Toni Blank yang sudah kacau.
6
Berdasarkan uraian singkat di atas, penelitian ini akan mencoba membahas
mengenai bagaimana bahasa yang digunakan oleh penderita skizorenia, khususnya
pada studi kasus Toni Blank.
1.2 Rumusan Masalah
Untuk membatasi penelitian dan agar tidak jauh menyimpang dari inti
penelitian, makalah ini akan dibatasi oleh tiga rumusan masalah yaitu:
1. Bagaimana karakteristik tuturan penderita skizofrenia khususnya Toni
Blank?
2. Bagaimana pelanggaran prinsip kerja sama dan derajat relevansi Toni
Blank ketika berbicara dengan mitra wicara?
3. Bagaimana kohesi dan koherensi penderita skizofrenia khususnya pada
Toni Blank?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disampaikan di atas, tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan karekteristik kebahasaan penderita skizofrenia
khususnya pada Toni Blank.
2. Mendeskripsikan pelanggaran prinsip kerja sama dan derajat relevansi
Toni Blank ketika berbicara dengan mitra wicara.
3. Mendeskripsikan kohesi dan koherensi penderita skizofrenia khususnya
pada Toni Blank.
7
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah untuk menambah pengetahuan
dalam kajian makro linguistik, khususnya dalam bidang psikolinguistik,
sedangkan manfaat praktis dalam penelitian ini adalah memberikan wawasan
mengenai hubungan antara ilmu bahasa dan ilmu psikologi. Karena, mininnya
penelitian mengenai kajian Psikolinguistik, penelitian ini diharapkan bisa
dijadikan pelecut untuk penelitian-penelitian selanjutnya khususnya dalam bidang
psikolinguistik
1.5 Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai bahasa penderita skizofrenia, sejauh ini belum banyak
dilakukan oleh peneliti bahasa di Indonesia. Salah satu penelitian yang sifatnya
masih umum pernah dilakukan oleh Ni Ketut Alit Ida Setianingsih, I Made Netra,
dan I Gst. Ngurah Prathama pada tahun 2009 yang dimuat dalam jurnal ilmiah
bahasa dan sastra di Universitas Sumatera Utara.
Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Bangli oleh ketiga peneliti
ini, membagi bahasa yang dipakai oleh penderita skizofrenia menjadi 3 tipe yaitu
penderita yang gundah gelisah, semi tenang, dan tenang. Dalam penelitian ini,
digambarkan aspek pemahaman dan produksi bahasa mulai dari pemahaman
unsur fonetik dan fonologi, pemahaman aspek morfologi, pemahaman aspek
sintaksis, dan pemahaman aspek pragmatik.
Dari penelitian ini, ditemukan bahwa setiap tipe penderita skizofrenia
memiliki karakteristik bahasa yang berbeda-beda, untuk penderita gundah gelisah
bahasa yang dipakai tidak teratur dan susah dimengerti, untuk penderita semi
8
tenang pemahaman unsur fonologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik relatif lebih
baik dari penderita gundah gelisah, sedangkan penderita tenang aspek
kebahasaanya relatif baik dari dua tipe sebelumnya.
Penelitian selanjutnya ditulis oleh Gina R Kuperberg (2010), berjudul
language in schizophrenia. Artikel ini membahas karakterisasi klinis tentang
output bahasa dan fenomena tentang gangguan pikiran positif dan juga prinsip-
prinsip karakteristik output dalam szikofrenia. Penelitian ini juga memberi
gambaran luas tentang bukti-bukti dari teori bahasa mengenai gangguan dalam
skizofrenia: yang terjadi karena ketidaknormalan dalam (1) memori semantik dan
atau (2) ingatan yang sedang berlangsung serta fungsi otak. Sementara itu, dia
juga mambahas mengenai kajian bahasa dalam skizofrenia yang menggunakan
metode psikolinguistik online dan mempertimbangkan bagaimana kajian
skizofrenia ini dapat memberikan kita pemahaman tentang proses bahasa yang
normal.
Penelitian selanjutnya ditulis oleh Rachel L. C. Mitchell and Tim J, Crow
(2005) yang berjudul Right Hemisphere Language Functions and Schizophrenia:
The Forgotten Hemisphere. Penelitian ini memfokuskan pada pentingnya hemisfir
kanan terhadap fungsi bahasa untuk kesuksesan berkomunikasi dan menurutnya,
gangguan kejiwaan terjadi karena adanya kegagalan dari pemisahan fungsi
hemisfir kiri dan kanan. Penelitian pada pasien stroke dan orang sehat
menunjukan bahwa bebarapa fungsi bahasa dipengaruhi oleh otak kanan daripada
otak kiri. Fungsi-fungsi ini termasuk dalam gangguan memahami ujuran,
memahami homur, sakasme, metaphora, dan permintaan tak langsung. Ciri-ciri
9
perilaku mengindikasikan bahwa pasien dengan tipe gangguan skizofrenia
memperlihatkan hasil test yang sangat buruk dan aspek-aspek dari fungsi ini
terganggu dalam skizo afektif dan afektif skizosis.
Berbeda dengan penelitian tentang psikolinguistik sebelumnya, penelitian
lain yang bisa dijadikan acuan untuk membantu dalam penelitian ini adalah
penelitian mengenai kohesi dan koherensi yang terdapat dalam cerita anak
berbahasa Indonesia, Erlina (2003). Dalam tesisnya, Erlina mendeskripsikan jenis-
jenis penanda kohesi dan koherensi antarkalimat yang terdapat dalam cerita anak
dan menemukan bahwa dalam cerita anak terdapat jenis kohesi dan sebelas jenis
koherensi antarkalimat. Kelima jenis kohesi tersebut adalah penunjukan,
penggantian, pelesapan, perangkaian, sedangkan kohesi leksikal yang berupa
pengulangan, sinonimi, hiponimi, dan kolokasi. Selanjutnya kesebelas koherensi
antarkalimat tersebut adalah penambahan, perturutan, perlawanan, penekanan.
Sebab-akibat, waktu, syarat, cara, kegunaan, penjelasan dan penyimpulan.
Berbeda dengan Erlina, penelitian lain yang dimanfaatkan dalam acuan
penelitian lainnya adalah penelitian mengenai ‘koherensi pragmatik antarujaran
pada wacana percakapan dalam bahasa Indonesia pada ranah keluarga dan kerja
yaitu Nirmala (1998). Dalam penelitian tesisnya, Nirmala mendeskripsikan
mengenai koherensi pragmatik antarujaran dalam percakapan ditunjukan oleh
hubungan maksud yang yang dikemukan pewicara dengan maksud yang diberikan
mitra wicara. Menurutnya, koherensi pragmatik tidak dapat diindentifikasi
berdasarkan hubungan makna konvensional kata-kata yang menyusun ujuran-
ujaran yang mendukung wacana percakapan melainkan berdasarkan konteks yang
10
berupa latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama antara pewicara dan
mitra wicara. Dalam penelitiannya setidaknya ditemukan tujuh belas jenis
koherensi pragmatik antarujaran dalam percakapan dalam bahasa Indonesia,
beberapa di antaranya seperti: keluhan-penerimaan, keluhan-penolakan,
pengaduan-penerimaan dan sebagainya.
Sementara itu, dalam penelitian ini akan dititikberatkan pada tiga hal yaitu
pertama, mengenai kemampuan komunikasi Toni Blank kaitannya dengan
karakteristik kebahasaan Toni Blank sebagai penderita skizofrenia. Kedua,
berkaitan dengan pelanggaran prinsip kerjasama yang disampaikan oleh Grice dan
teori relevansi yang disampaikan Sperber dan Wilson. Ketiga, berhubungan
dengan kemampuan dan penguasaan Toni Blank terhadap pemakaian alat kohesi
dan koherensi dalam tuturannya.
1.6 Landasan Teori
Penelitian ini membutuhkan banyak teori sebagai pendukung, supaya
penelitian ini tepat sasaran. Teori-toeri pendukung tersebut meliputi teori
psikolinguistik, teori pragmatik klinis, teori kerja sama (Grice), teori derajat
relevansi (Sperber dan Wilson), serta teori wacana yang terdiri dari kohesi dan
koherensi. Pemilihan teori-teori ini didasarkan pada kebutuhan penelitian untuk
membantu memecahkan masalah penelitian.
1.6.1 Psikolingustik
Psikolinguistik adalah gabungan dari dua ilmu yaitu; psikologi dan
linguistik. Ilmu ini dikembangkan oleh psikolog Jerman pada permulaan abab ke -
20 yang bernama Wilhem Wundt, beliau menyatakan bahwa bahasa dapat
11
dijelaskan dengan dasar-dasar psikologis (Darjowidjojo, 2008: 2). Lebih lanjut
menurut Darjowidjodjo (2008: 7) Psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari
proses-proses mental yang dilalui oleh manusia dalam mereka berbahasa.
Darjowidjodjo (2008:7) menjelaskan bahwa secara rinci psikolinguistik
mempelajari empat topik utama:
(1) Komprehensi, yakni proses-proses mental yang dilalui oleh manusia
sehingga mereka dapat menangkap apa yang dikatakan orang dan
memahami apa yang dimaksud.
(2) Produksi, yakni proses-proses mental pada diri kita yang membuat kita
dapat berujar seperti yang kita ujarkan.
(3) Landasan biologis dan neurologis yang membuat manusia bisa
berbahasa, dan.
(4) Pemerolehan bahasa, yakni bagaimana anak memperoleh bahasa
mereka.
Sementara itu Chaer (2009: 6) menyatakan bahwa psikolinguistik
mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa, dan bagaimana struktur itu
diperoleh, digunakan pada waktu bertutur, dan pada waktu memahami kalimat-
kalimat dalam pertuturan itu.
1.6.2 Pragmatik Klinis
Pragmatik klinis adalah kajian pragmatik yang mencoba untuk memahami
dan mengelola gangguan pragmatik yang terjadi pada manusia. Cummings (2010:
11) menyatakan bahwa pragmatik klinis adalah kajian yang mencoba mencari
penyebab terganggunya penggunaan bahasa oleh individu untuk mencapai tujuan
12
komunikatif. Cedera serebral, patologi atau anomali lain adalah penyebab utama
dari penggunaan bahasa ini dan biasanya gangguan ini terjadi pada tahap
perkembangan atau selama masa andolesen atau masa dewasa. Gangguan
perkembangan dan perolehan pragmatik memiliki berbagai etiologi dan bisa
merupakan konsekuensi dari hubungan dengan atau dilestarikan oleh sederet
faktor kognitif dan linguistik.
Dengan kata lain, pragmatik klinis berusaha meneliti sejauh mana
kemampuan pragmatik bahasa seseorang bisa terganggu akibat dari cedera otak
atau masalah lain yang berawal dari periode perkembangan atau selama masa
adolesen atau masa dewasa. Untuk memahami kajian ini, diperlukan dasar
pengetahuan yang luas yang mencakup tentang di antaranya teknik
neuroanatonomis dan neuro-imaging, kognisi, psikologi perkembangan,
pemrosesan dan pemerolehan bahasa, dan cedera otak agar mampu melaksanakan
perkerjaan klinis.
1.6.3 Prinsip-Prinsip Dalam Berbahasa
1) Prinsip Kerjasama
Sebuah komunikasi akan terjalin sempurna jika penutur dan petutur
memenuhi sebuah prinsip atau kaidah yang disepakati oleh keduanya, bila sebuah
komunikasi atau aktivitas berbahasa terjadi penyimpangan maka komunikasi itu
memungkinkan tidak sempurna, namun jika penyimpangan itu terjadi secara
sengaja, pasti ada implikasi tertentu yang hendak dicapai oleh penutur (Wijana,
1996).
13
Dalam rangka sebuah komunikasi, seorang penutur dan lawan tutur
hendaknya saling memahami dan saling mengerti mengenai apa yang saling
mereka ujarkan. Allan (1986:10) via (Wijana, 1996) menyatakan bahwa aktivitas
sosial dalam berbahasa, setiap peserta tindak tutur harus bertanggung jawab
terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam
interaksi lingual itu dalam.
Grice mengemukakan bahwa di dalam rangka melaksanakan prinsip
kerjasama itu, setiap penutur harus mematuhi 4 maksim percakapan
(conversational maxim) yakni maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim
kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim
pelaksanaan (maxim of manner) (Grice, 1975: 45-47; Parker, 1986: 23; Wardaugh,
1986:202; Sperber & Wilson, 1986: 33-34).
Penjelasan maksim-maksim itu sebagai berikut:
(1) Maksim Kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan
kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan
bicara. Misalnya penutur yang berbicara secara wajar tentu akan memilih
(104) dibandingkan dengan (105)
- 104. Tetanggga saya hamil
- 105. Tetangga saya yang perempuan hamil.
(2) Maksim Kualitas adalah maskim percakapan yang mewajibkan setiap
peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi peserta
percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai.
Misalnya seseorang harus mengatakan bahwa ibu kota Indonesia adalah
Jakarta bukan kota-kota yang lain kecuali kalau benar-benar tidak tahu.
14
Akan tetapi, bila terjadi hal sebaliknya, tentu ada alasan-alasan mengapa
hal demikian bisa terjadi.
(3) Maksim Relevasi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan
kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Misalnya contoh
dibawah ini:
- (anak) Pak ada tabrakan motor lawan truk di perempatan depan.
- (bapak) Yang menang apa hadiahnya.
Jawaban dari bapak itu sangat tidak relevan dengan ujaran yang
disampaikan oleh anaknya, oleh karena itu bentuk tuturan di atas tidak
mematuhi maksim relevansi.
(4) Maksim pelakasanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara
secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebih-lebihan, serta
runtut. Dalam hal ini sebuah ujaran akan lebih dipahami dan dimengerti
oleh lawan tutur, namun terkadang ujaran dilakukan dengan taksa karena
untuk maksud tertentu. Misalnya ketika seorang kondektur berkata ada
musang yang berarti ada copet agar sang copet tidak marah ketika dia naik
dll.
Grice (1975: 47-48) membuat analogi bagi kategori-kategori maksim
percakapannya sebagai berikut ini:
(1) Maksim kuantitas. Jika anda membantu saya memperbaiki mobil, saya
mengharapkan kontribusi anda tidak lebih atau tidak kurang dari apa yang
saya butuhkan. Misalnya, jika pada tahap tertentu saya membutuhkan
empat obeng, saya mengharap anda mengambilkan saya empat bukanya
dua atau enam.
15
(2) Maksim kualitas. Saya mengharapkan kontribusi anda sungguh-sungguh,
bukanya sebaliknya. Jika saya membutuhkan gula sebagai bahan adonan
kue, saya tidak mengharapkan anda mengambilkan garam. Jika saya
membutuhkan sendok, saya tidak mengharapkan anda mengambilkan
sendok-sendokan, atau sendok karet.
(3) Maksim relevansi. Saya mengharapkan kontribusi teman kerja saya sesuai
dengan apa yang saya butuhkan pada setiap tahapan transaksi. Jika saya
mencampur bahan-baha adonan kue, saya tidak mengharapkan diberikan
buku yang bagus, atau bahkan kain oven walaupun benda yang terakhir ini
saya butuhkan pada tahap berikutnya.
(4) Maksim cara. Saya mengharapkan teman kerja saya memahami kontribusi
yang harus dilakukan, dan melaksanakan secara rasional.
1.6.4 Teori Relevansi
Teori relevansi Sperber dan Wilson (2009) sebenarnya adalah bentuk
kritik dari teori Grice mengenai prinsip kerja sama. Terutama maksim relevansi
yang terdapat dalam prinsip kerja sama tersebut. Menurut mereka relevansi
merupakan masalah derajat. Dalam sebuah tuturan, derajat relevansi bergantung
pada keterlibatan kontekstual yang terjadi di antara tuturan. Derajat relevansi bisa
lemah dan bisa juga kuat. Lemah dan kuatnya derajat relevansi bergantung pada
asumsi kontekstual yang ada dalam tuturan. Hubungan antar tuturan bisa
ditunjukan secara langsung bisa juga secara tidak langsung. Secara tidak langsung
relevansi sebuah ujaran dengan ujuran sebelumnya bisa dilihat melalui
penyusunan ekspilkatur sebagai informasi tambahan yang belum dimunculkan
16
dalam tuturan. Lawan tutur menginterpretasikan relevansi antara ujaran-ujaran
yang didengarnya melalui penyusunan eksplikatur sesuai dengan latar belakang
pengetahuannya.
Sperder dan Wilson (2009:176-177) menyatakan bahwa relevansi
merupakan sifat stimulus eksternal yang potensial (misalnya ujaran, tindakan)
atau representasi internal (misalnya pikiran, memori) yang menjadi input bagi
proses-proses kognitif. Relevansi mempunyai definisi yang berbeda-beda pada
saat yang berbeda, tetapi konsep relevansi memiliki ciri psikologis penting, ciri
proses mental, di mana konsep relevansi yang benar mampu direka-reka secara
kasat mata atau mudah, dan yang layak disebut ’relevansi’
Setiap individu memiliki ’intuisi relevansi’ mereka mampu membedakan
antara informasi yang relevan dengan informasi yang tidak relevan, atau dalam
beberapa kasus, membedakan informasi yang lebih relevan atau kurang relevan.
Meski demikian, intuisi relevansi tidak sangat mudah untuk digunakan sebagai
bukti. Intuisi tentang ’relevansi’ sebanding dengan konteks dan tidak ada cara
untuk mengontrol konteks mana yang akan dimiliki seseorang pada momen
tertentu untuk berkata relevan.
Menurut Sperber dan Wilson (2009:183-184), ada dua hal yang dijadikan
pijakan untuk mengukur derajat relevansi, yaitu; dampak kontekstual dan usaha
prosesingnya.
17
1. Dampak kontekstual adalah hasil dari interaksi antara informasi baru dan
informasi lama atas ujaran.
2. Dampak kontekstual dibentuk oleh proses mental. Dalam sebuah proses
mental diperlukan semacam energi. Usaha prosesing yang terlibat dalam
usaha mencapai dampak kontekstual merupakan faktor kedua yang harus
diperhatikan dalam mengukur derajat ’relevansi’. Jika semakin besar usaha
prosesing untuk menarik asumsi tersebut, berarti semakin rendah
’relevansinya’. Sebaliknya, jika semakin kecil usaha prosesingnya, berarti
semakin tinggi ‘relevansinya.
Dengan kata lain, sebuah pernyataan dikatakan relevan jika: Kondisi
tingkat 1: suatu asumsi adalah relevan dalam suatu konteks sampai pada tingkat di
mana dampak kontekstualnya dalam konteks ini adalah besar. Kondisi tingkat 2:
suatu asumsi disebut relevan dalam suatu konteks sampai pada tingkat di mana
usaha yang diperlukan untuk memprosesnya dalam konteks ini adalah kecil.
Berikut contoh yang digambarkan oleh Sperber dan Wilson (2009:180-
181) mengenai derajat relevansi.
(a) Penjual bendera: Mau beli bendera untuk Royal National Lifeboat
Institution?
Pengendara: Tidak, terimakasih, saya selalu liburan dengan adik saya di
Birmingham.
Untuk melihat ’relevansi’ jawaban pengendara tersebut, pendengar harus
bisa memberikan sesuatu seperti premis dalam (b) dan mengambil sesuatu seperti
implikasi kontekstual dalam (c):
18
(b) (1) Birmingham adalah sebuah pulau.
(2) Royal National Lifeboat Institution adalah sebuah lembaga amal.
(3) Membeli bendera adalah salah satu cara berperan memberi sumbangan
amal.
(4) Seorang yang menghabiskan liburannya di pedalaman (tidak keluar
pulau), tidak membutuhkan jasa Royal National Lifeboat Institution.
(5) Seseorang yang tidak memerlukan jasa lembaga amal tidak bisa
diharapkan mendukung lembaga itu.
(c) Pengendara tersebut tidak bisa diharapkan menyumbang Royal National
Lifeboat Institution.
Yang menarik dari jawaban pengendara di atas adalah terdapat hubungan
relevansi atas apa yang dimaksudkan oleh pengendara dengan penjual. Di konteks
ini, penjual mampu mengambil bebarapa premis hingga mampu mencapai
implikasi kontekstual (maksud) dari apa yang disampaikan oleh pengendara. Jika
seseorang tidak bisa memberikan sesuatu seperti pada konteks (b) dan mengambil
sesuatu seperti implikasi kontekstual pada (c), seseorang itu tidak akan mampu
melihat ’relevansi’ yang dimaksud dari jawaban itu. Namun, jika seseorang itu
mampu melihat implikasi kontekstual seperti pada (c) akan sepakat bahwa
jawaban itu adalah relevan dalam konteks yang tepat. Sehingga dengan
memperhatikan bebarapa dampak kontekstual suatu asumsi tampaknya sudah
cukup untuk menilainya relevan.
19
1.6.5 Wacana
Wacana adalah wujud atau bentuk bahasa yang bersifat komunikatif,
interpretatif, dan kontekstual. Artinya, untuk memahami wacana secara utuh
diperlukan adanya interpretasi dan pemahaman konteks wacana ( Mulyana, 2005:
21). Sementara itu Djajasudarma (2006:4) wacana adalah rekaman kebahasaan
yang utuh tentang peristiwa komunikasi. Komunikasi ini dapat menggunakan
bahasa lisan dan tulis. Apapun bentuknya, wacana mengasumsikan adalnya
penyapa (addresor) dan pesapa (Addressee). Lebih lanjut Lubis (1993:21)
menjelaskan bahwa wacana adalah sama dengan teks, yakni kesatuan bahasa yang
diucapakan atau tertulis panjang atau pendek, itulah yang dinamakan teks atau
discourse. Berbeda halnya dengan lubis, Tarigan (1987:27) menyatakan bahwa
wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas
kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan,
yang mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tulis
(Djajasudarma, 2006:4)
1.6.6 Kohesi
Kohesi dalam wacana diartikan sebagai kepaduan bentuk yang secara
struktural membentuk ikatan sintakasis (Mulyana, 2005:26). Lebih lanjut
Moeliono dkk (2003: 41) menyatakan bahwa kohesi merujuk pada keterkaitan
antarproposisi yang secara eksplisit diungkapkan oleh kalimat-kalimat yang
digunakan. Konsep kohesi pada dasarnya mengacu kepada hubungan bentuk,
artinya unsur-unsur wacana (kata atau kalimat) yang digunakan untuk menyusun
20
wacana memiliki keterkaitan secara padu dan utuh. Dengan kata lain, kohesi
termasuk dalam aspek internal struktur wacana.
Sementara itu, Halliday dan Hassan (1976:4) membagi kohesi menjadi dua
jenis yaitu; kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Kohesi gramatikal meliputi
referensi, subtitusi, elipsis, dan konjungsi, sedangkan kohesi leksikal mencakup
sinonim, repetisi, dan kolokasi.
1.6.7 Aspek Kohesi Gramatikal
1) Pengacuan
Referensi (pengacuan) adalah hubungan antara satuan bahasa dan maujud
yang meliputi benda atau hal yang terdapat di dunia yang diacu oleh satuan itu
(Moeliono dkk, 2003: 43). Semantara itu dalam wacana, referensi diartikan
sebagai pengacuan terhadap unsur-unsur, baik itu berupa unsur intralinguistik
maupun eksralinguistik yang terdapat dalam tuturan atau kalimat. Referensi
terbagi menjadi dua yaitu referensi eksofora dan referensi endofora. Referensi
eksofora menunjuk sesuatu yang berada di luar teks (ekstralinguistik) dan
referensi endofora menunjuk sesuatu yang berada di dalam teks (intralinguistik).
Selanjutnya, referensi dibedakan lagi menjadi tiga jenis yaitu, referensi persona,
demonstratif, dan komparatif.
(a) Referensi Persona
Referensi persona atau pengacuan persona mencakup tiga kata ganti diri
yaitu kata ganti diri orang I, kata ganti diri orang II, dan kata ganti orang III, baik
singularis maupun pluralisnya. Dalam bahasa Indonesia pengacuan persona (kata
21
ganti orang) mencakup saya, aku, kita, kami, engkau, kau, Anda, mereka, -ku, -
mu, dan –nya. Pengacuan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Tunggal
Aku, saya, hamba, gua/gue, ana/ane
Terikat lekat kiri: ku-,
Lekat kanan: -ku
I
Jamak
Kami, kami semua
Tunggal
Kamu, anda, anta, ente
Terikat lekat kiri: -kau,
Lekat kanan: -mu
Persona II
Jamak
Kamu semua, kalian, kalian semua
Tunggal
Ia, dia, beliau
Terikat lekat kiri: di-
Lekat kanan: -nya
III
Jamak
Mereka, mereka semua
Bagan 1
Klasifikasi Pengacuan Pronomina Persona
(Sumarlam, 2003:25)
(b) Pengacuan Demonstratif
Pengacuan demonstratif (kata ganti penunjuk) terbagi menjadi dua yaitu
pronomina demonstratif waktu (temporal) dan pronomina demonstratif tempat
(lokasional). Berikut digambarkan klasifikasi pronomina demonstratif seperti di
bawah ini:
22
Waktu
Kini : kini, sekarang, saat ini
Lampau: kemarin, dulu,..yang lalu
y.a.d : besuk,…depan,…yang akan datang
netral : pagi, siang, sore, pukul 12
Demonstratif
(penunjukan)
Tempat
Dekat dengan penutur : sini, ini
Agak dekat dengan penutur: situ, itu
Jauh dengan penutur : sana
Menunjukan secara eksplisit: Solo, Jogja
Bagan 2
Klasifikasi Pengacuan Pronomina Demonstratif
(Sumarlam, 2003: 26)
(c) Pengacuan Komparatif
Pengacuan komparatif adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang
bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai dua kemiripan atau
kesamaan dari segi bentuk/wujud, sikap, sifat, perilaku, dan sebagainya. kata-kata
yang sering dipakai untuk membandingkan adalah seperti, mirip, persis, sama,
(serupa tapi tak sama) lain, selain, bagai, bagaikan, berbeda, laksana, dan
sebagainya.
2) Penyulihan
Penyulihan (subtitusi) adalah penggantian kata, kelompok kata, atau unsur
kalimat lainnya dengan kata yang lain. Sumarlam (2003:28) menyatakan
penyulihan atau subtitusi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa
penggantian satuan lingual tertentu (yang telah disebutkan) dengan satuan lingual
yang lain dalam wacana yang bertujuan untuk memperoleh unsur pembeda.
23
Berdasarkan satuan lingualnya penyulihan atau subtitusi dibedakan menjadi tiga
jenis yaitu, subtitusi nominal (kata benda), verba (kata kerja), frasa, dan klausal.
3) Pelesapan
Pelesapan atau elipsis yaitu salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa
penghilangan atau pelesapan suatu kata atau bagian dari kalimat dalam teks.
Kridalaksana (2007) menyatakan pelesapan adalah peniadaan kata atau satuan lain
yang wujud asalnya dapat diramalkan dari konteks bahasa atau konteks luar
bahasa. Pelesapan dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu, pelesapan nominal,
verbal, dan klausal. Pelesapan ini dimaksudkan untuk:
(1) Menghasilkan kalimat yang efektif.
(2) Efisiensi pemakaian atau penggunaan satuan lingual agar tidak terjaditidak
pemborosan penggunaan bahasa yang tidak perlu.
(3) Untuk memperoleh aspek kepaduan wacana.
(4) Mengaktifkan pikiran pembaca atau pendengar terhadap hal-hal yang tidak
diungkapkan dalam satuan bahasa.
(5) Menjaga kepraktisan berbahasa, terutama pada komunikasi lisan
(Sumarlam, 2003:30).
Dalam analisis wacana unsur atau satuan lingual yang dilesapkan ditandai
dengan konstituen nol atau zero Ø pada tempat terjadinya pelesapan.
4) Perangkaian (Konjungsi)
Konjungsi adalah partikel yang dipergunakan untuk menggabungkan kata
dengan kata, frase dengan frase, klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat
atau paragraf dengan paragraf (Kridalaksana, 2001:117). Semantara itu Moeliono,
24
dkk (2003: 296-302) menambahkan bahwa konjungsi adalah alat relasi yang erat
(cohesive) yang menghubungkan dua klausa atau lebih. Kata seperti: dan, kalau,
dan atau adalah kata konjungsi. Perangkai atau konjungsi menyatakan bermacam-
macam makna misalnya, menyatakan sebab-akibat, pertentangan, kelebihan
(eksesif), perkecualian (ekseptif), konsesif, tujuan, penambahan (aditif), pilihan
(alternatif), harapan (optatif), urutan (sekuensial), perlawanan, waktu, syarat, dan
cara.
1.6.8 Aspek Kohesi Leksikal
Kohesi Leksikal yaitu kohesi yang didasarkan atas adanya pemakaian kata
yang memiliki kaitan semantis. Kohesi leksikal meliputi reiteration (reiterasi
meliputi; sinonim, repetisi, dan superordinate) dan collocation (kolokasi).
1) Pengulangan atau Repetisi
Pengulangan adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata
atau bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah
konteks yang sesuai (Sumarlam, ed., 2004:9). Repetisi menurut Keraf (1985:127-
128) dapat dibedakan menjadi delapan macam, yaitu repetisi epizeukis, tautotes,
anafora, apistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis.
(1) Repetisi Epizeuksis adalah pengulangan satuan lingual (kata) yang
dipentingkan beberapa kali berturut-turut. Misalnya pada tuturan berikut:
- Sebagai pemimpin Jakowi selalu berusaha bersikap adil, selalu jujur
dalam berkerja, selalu disiplin dalam bekerja, dan selalu bertanggung
jawab atas segala omongan dan tindakannya.
Pada tuturan di atas kata selalu diulang empat kali secara berturut-turut
untuk menekankan pentingnya kata-kata tersebut dalam konteks tuturan.
25
(2) Repetisi Tautotes adalah pengulangan satuan lingual (sebuah kata)
beberapa kali dalam sebuah kontruksi. Contohnya pada tuturan berikut:
- Rona dan Ndorie pacaran jarak jauh, namun hal itu tidak mengurai rasa
saling mencintainya, Rona mencintai Ndorie, Ndorie pun mencintai
Rona, meraka pun berencana untuk menikah selepas selesai kuliah.
Pada tuturan di atas kata mencintai di ulang tiga kali dalam sebuah
kontruksi untuk mendapatkan penekanan bahwa kata mencintai sangat
dipentingkan agar mendapatkan perhatian.
(3) Repetisi Anafora adalah pengulangan satuan lingual berupa kata atau frasa
pertama pada tiap-tiap baris atau kalimat berikutnya. Pengulangan ini
umumnya terjadi pada puisi dan prosa.
(4) Repetisi Epistropfa adalah pengulangan satuan lingual kata/frasa pada
akhir baris (dalam puisi) atau akhir kalimat (dalam prosa).
(5) Repetisi Simploke adalah pengulangan satuan lingual pada awal dan akhir
beberapa baris/kalimat berturut-turut. Pengulangan ini juga umumnya
terjadi pada puisi.
(6) Repetisi Mesodiplosis adalah pengulangan satuan lingual di tengah-tengah
atau baris atau kalimat secara berturut-turut.
(7) Repetisi Epanaplesis adalah pengulangan satuan lingual, dimana kata/frasa
dari baris/kalimat itu merupakan pengulangan kata/frasa pertama.
(8) Repetisi Anadiplosis adalah pengulangan kata/frasa terakhir dan
baris/kalimat itu menjadi kata/frasa pertama pada baris atau kalimat
berikutnya.
26
2) Sinonimi (Padan Kata).
Sinonimi adalah nama lain untuk benda atau hal yang sama atau ungkapan
yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain (Chaer, 1990:85).
Sinomini merupakan salah satu unsur leksikal yang mampu mendukung kepaduan
wacana secara semantik. Berdasarkan kategorinya sinonimi dibedakan menjadi;
(1) Sinonimi morfem (bebas) dengan morfem (terikat), contohnya:
- Aku yakin kamu tahu perasaanku
(2) Sinomini kata dengan kata, contohya:
- Dia melihatmu seperti dia menatap musuh.
(3) Sinonimi kata dengan frasa atau sebaliknya.
- Banjir dan tanah longsor itu menghanjurkan harapannya. Musibah itu
bagaikan kiamat baginya.
(4) Sinonimi frasa dengan frasa
- Nico adalah pemuda yang pandai bergaul di kampusnya. Dia sangat
komunikatif hingga banyak orang menyukianya.
(5) Sinonimi klausa/kalimat dengan klausa/kalimat.
- Anak jalanan adalah salah satu generasi bangsa yang tercampaknya.
Mereka hidup tanpa masa depan dan tujuan yang jelas. Padahal mereka
sangat membutuhkan banyak perhatian, memerlukan bantuan dan
perlindungan, serta mendapatkan pendidikan yang baik.
3) Antonimi atau Lawan Kata
Lawan kata adalah satuan lingual yang maknanya berlawanan dengan
satuan lingual yang lain. lawan kata merupakan salah satu jenis aspek leksikal
wacana yang dimunculkan dengan cara mengoposisikan makna unsur yang satu
dengan yang lain. Oposisi makna dapat dibedakan menjadi lima macam yaitu:
27
(1) Oposisi Mutlak adalah pertentangan makna secara mutlak, contohnya kata
hidup dan mati.
(2) Oposisi Kutup adalah makna yang tidak bersifat mutlak, tetapi bersifat
gradasi, maksudnya di antara kata-kata yang dilawankan itu terdapat
tingkatan makna yang tidak bersifat mutlak, tetapi bersifat gradasi.
Misalnya: kata kaya dan miskin, kaya dan agak miskin, miskin sekali dan
sebagainya.
(3) Oposisi hubungan adalah oposisi makna yang bersifat saling melengkapi.
Kemunculkan kata yang satu pada suatu kalimat/wacana dimungkinkan
menyebabkan hadirnya kata yang lain. Misalnya, kata guru dengan murid.
(4) Oposisi Hirarkial adalah oposisi makna yang menyatakan jenjang atau
tingkatan. Satual lingual yang beroposisi hirarkial pada umumnya kata-
kata yang menunjuk pada nama-nama satuan ukuran seperti panjang, berat
dan isi.
Pemakaian bentuk antonimi atau lawan kata pada sebuah wacana tidak lain
untuk mendukung kepaduan wacana secara leksikal dan semantis, sehingga
kehadirannya dapat menghasilkan wacana yang kohesif dan koheren.
4) Hiponimi
Hiponimi adalah ungkapan (kata, biasanya, tetapi dapat juga frasa atau
kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna yang suatu
ungkapan lain (Verhaar, 1986:137). Sementara itu Chaer (2003: 302) menyatakan,
hiponimi adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya
tercakup dalam makna bentuk ujuran yang lain atau dengan kata lain hiponimi
28
adalah hubungan atas bawah. Misalnya kata burung adalah subordinat bagi kata
merpari, nuri, kutilang, dan sebagainya.
5) Kolokasi
Kolokasi atau sanding kata adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan
pilihan kata yang cenderung digunakan secara berdampingan (Sumarlam,
2004:10). Kata-kata yang berkolokasi adalah kata-kata yang cenderung dipakai
dalam suatu domain atau ranah tertentu misalnya kata sekolah, pasti berkaitan
dengan kepala sekolah, guru, murid, buku pelajaran, kapur, papan, dan
sebagainya.
1.6.9 Koherensi
Secara umum koherensi mengandung makna ’pertalian’. Dalam konsep
wacana, koherensi diartikan dengan pertalian makna atau isi kalimat (Tarigan,
1987:32). Keraf (1984: 38) koherensi berarti hubungan timbal balik yang serasi
antar unsur dalam kalimat.
Brown dan Yule (1986:224) menegaskan bahwa koherensi berarti
kepaduan dan keterpahaman antar satuan dalam suatu teks atau tuturan. Dalam
struktur wacana, aspek koherensi sangat diperlukan keberadaaannya untuk menata
pertalian batin antara proposisi yang satu dengan lainnya untuk mendapatkan
keutuhan. Keutuhan yang koheren tersebut dijabarkan oleh adanya hubungan-
hubungan makna yang terjadi antar unsur (bagian) secara semantis. Hubungan
tersebut kadang terjadi melalui alat bantu kohesi, namum terkadang dapat terjadi
tanpa bantuan alat kohesi. Secara keseluruhan hubungan makna yang bersifat
koheren menjadi bagian dari organisasi semantis.
29
Lebih lanjut, Brown dan Yule (1986:224) menyatakan keberadaan unsur
koherensi sebenarnya tidak pada satuan teks semata (secara formal), melainkan
juga pada kemampuan pembaca/pendengar dalam menghubungkan makna dan
menginterpretasikan suatu bentuk wacana yang bisa diterimanya. Jadi,
kebermaknaan unsur koherensi sesungguhnya bergantung kepada kelengkapan
yang serasi antara teks (wacana) dengan pemahaman petutur dan pembaca.
Sementara itu, Baryadi (2002:29) menjelaskan koherensi adalah
keterkaitan semantis antara bagian-bagian wacana. Berkaitan dengan wacana
dialog, Baryadi menjelaskan bahwa koherensi wacana dialog didominasi oleh
koherensi stimulus-respons, misalnya fatis, informatif, pengukuhan, penolakan,
dan negosiatif. Lebih lanjut lagi, menurutnya koherensi wacana dialog tidak
diwujudkan dalam bentuk penanda sehingga harus dipahami dari hubungan
antarkalimatnya. Selain itu, ada beberapa faktor yang harus dipahami dalam
menentukan terciptanya koherensi tuturan-tuturan dalam wacana. Faktor-faktor
yang dimaksud adalah pra anggapan (presupposition), kesepakatan bersama atau
implikatur (implicature), dan konsekuensi langsung (entailment).
1.6.10 Skizofrenia
Skizofrenia adalah gangguan kesehatan dan kerenanya termasuk dalam
ilmu kedokteran khususnya dalam ilmu kedokteran jiwa (psikiatri) dan merupakan
penyakit, yang penanganannya sesuai dengan azas-azas kedokteran sebagaimana
halnya penyakit-penyakit fisik (jasmani) lainnya. Skizofrenia adalah penyakit
yang sudah lama dikenal berabab-abab lalu, menurut catatan sejarah ada 4
30
ilmuwan (dokter) yang merupakan tokoh konseptor skizofrenia, yaitu Hughlings
Jackson (1887), Eugen Bleuler (1908), Emil Kraeplin (1919), dan Kurt Schneider
(1959), yang masing-masing menyoroti skizofrenia dari sudut pandang yang
berbeda, namun kemudian hari ternyata ketiga sudut pandang tersebut sebenarnya
merupakan kesatuan (Hawari, 2003:7-8).
Hughlings Jackson (1887) melihat gangguan jiwa atau skizofrenia ini dari
sudut adanya gangguan pada susunan saraf pusat (otak), disebutkan bahwa gelaja-
gejala negatif yang muncul pada skizofrenia adalah sebagai akibat langsung
kerusakan yang terjadi pada bagian otak yang mengakibatkan gangguan prilaku
manusia. Sedangkan gejala-gejala positif yang muncul merupakan fenomena
pelepasan yang dipicu oleh kerusakan otak tadi. Sementara itu, Blueler (1908)
lebih menonjolkan gejala keretakan proses berpikir (Fragmented Thinking) dan
ketidakmampuan melakukan hubungan dengan dunia luar (inability to relate to
external world).
Kreapelin (1919) mendasarkan pada terdapatnya kecenderungan
keruntuhan /kemerosotan/ kemunduran (deterioration) dalam perjalanan penyakit
skizofrenia, yaitu tumpulnya alam perasaan (emotional dulllness), penarikan diri
(withdrawal/avolition) dan kehilangan dorongan kehendak (lost of inner unity).
Sedangkan Schneider (1959) lebih menekankan pada gejala-gejala yang spesifik
yaitu halusinasi dan delusi (Nevid, 2002: 104-105).
31
Secara garis besar Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang penderitanya
tidak mampu menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA) dengan baik dan
pemahaman diri (self insight) buruk. Gejala-Gejala Skizofrenia dapat dibagi
dalam 2 kelompok yaitu gejala positif dan gejala negatif.
(1) Gejala Positif Skizofrenia meliputi;
a. Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional (tidak
masuk akal). Meskipun telah dibuktikan secara objektif bahwa
keyakinannya itu tidak rasional, tetapi penderita tetap menyakini
kebenarannya.
b. Halusinasi, yaitu pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan
(stimulus). Misalnya penderita mendengar suara-suara/bisikan-bisikan
di telinganya padahal tidak ada sumber dari suara/bisikan itu.
c. Flight of Ideas atau kekacuan alam pikir, yang dapat dilihat dari isi
pembicaraannya. Misalnya bicaranya kacau, sehingga tidak dapat
diikuti alur pikirannya.
d. Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara
dengan semangat dan gembira berlebihan.
e. Merasa dirinya ’orang besar’, merasa serba mampu, serba hebat dan
sejenisnya.
f. Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman
terhadap dirinya.
g. Menyimpan rasa permusuhan.
32
(2) Gejala Negatif Skizofrenia
a. Alam perasaan (effect) ’tumpul” dan ”mendatar”. Gambaran alam
perasaan ini dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukan
ekspresi.
b. Menarik diri atau mengasingkan diri (with-drawn) tidak mau bergaul
atau kontak dengan orang lain, suka melamun (day dreaming).
c. Kontak emosional amat ”miskin”, sukar diajak bicara, pendiam.
d. Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial.
e. Sulit dalam berpikir abstrak.
f. Pola pikir stereotip.
g. Tidak kehilangan dorongan kehendak (avolition) dan tidak ada
inisiatif, tidak ada upaya dan usaha, tidak ada spontanitas, monoton,
serta tidak ingin apa-apa dan serba malas (kehilangan nafsu). (Hawari,
2003:43-45).
1.6.11 Gangguan Bahasa
Sisofrenik adalah gangguan berbahasa akibat gangguan berpikir. Penderita
sisofrenik kronik umumnya dikenal sebagai penderita Schizophrenik Word Salad.
Pada kasus ini penderita mampu mengucapkan words salad atau gado-gado kata
ini dengan baik, dengan volume yang cukup ataupun datar dan umumnya
bahasanya penuh dengan kata-kata neologisme.
33
Seorang penderita skizofrenia dapat berbicara terus-menerus tanpa
dipahami dan dimengerti. Gaya bahasa seorang sisofren dapat dibedakan dalam
beberapa tahap dan menurut kriteria. Yang utama adalah diferensiasi dalam gaya
bahasa, skizofrenia halusinasi, dan pasca halusinasi (Chaer, 2009: 160).
Sebelum diganggu halusinasi (biasanya halusinasi auditorik), bahasa para
penderita skizofrenia ini tampak terganggu. Pada tahap awal ini, seorang penderita
skizofrenia mengisolasi pikirannya dan tidak banyak berkomunikasi dengan dunia
luar, tetapi kegiatan dalam dunia bahasa internal (berbahasa dalam pikiran sendiri)
sangat ramai (ngomyang dalam bahasa Jawa). Oleh karena itu, gangguan ekspresi
verbal skizofrenia tahap awal ini, menyerupai mutisme elektif (ketidakmampuan
berbahasa di depan umum).
Pada tahap prahalusinasi ini, gaya bahasa verbal dan tulisnya dicoraki
dengan penggunaan kata ganti ”aku” yang berlebihan. Lalu dia mengalami
kesulitan dalam mencari kosakata yang tepat. Pada tahap berikutnya, penderita
malah mendeteksi bahwa kata-kata yang hendak digunakan justru secara tidak
sengaja digunakannya. Gangguan ekspresi verbal itu membuat pasien lebih
menarik diri dari pergaulan, sehingga ekspresi verbal menjadi sangat terbatas dan
jarang. Begitu halusinasi auditorik melandanya yang terganggu sesungguhnya
bukan gaya bahasanya, melainkan makna curah verbal abnormal. Apa yang
dibicarakan atau dikeluhkan memiliki hubungan dengan halusinasinya.
34
1.6.12 Inkoherensi Pada Kemampuan Berpikir
Seorang penderita Sisofren umumnya pikirannya menjadi kusut atau
ruwet, apabila pasien terganggu fungsi kesadarannya, maka pikiran tersebut
menjadi inkoheren atau tidak runtun karena kaitan/hubungan di antara onderdil-
onderdil atau bagian-bagian dari pikiran tersebut tidak ada, dan terputus-putus
keadaaannya (Kartono, 1997:97).
Keteraturan/orde dalam berpikir itu bisa berlangsung, apabila pikiran dan
tanggapan-tanggapan tersebut selalu mengandung relasi; (1) waktu, (2) tempat, (3)
kausal atau sebab-musabab, dan (4) final atau mengarah pada tujuan tertentu.
Selanjutnya, pikiran yang tidak runtut dan kusut itu bisa muncul oleh sebab-sebab
sebagai berikut:
(1) Pemimpi siang (daydreamer): pasien melihat bermacam-macam fantasi
dan gambaran yang tidak teratur. Serta tanpa runtunan yang jelas pada
siang hari.
(2) Penderita psikosa dan schizofrenia: pasien menciptakan perkataan-
perkataan dan istilah-istilah baru yang hanya dimengerti oleh dirinya
sendiri. Ia mengucapkan ungkapan-ungkapan magis dan kata-kata sihir,
membuat kalimat-kalimat, yang semuanya kacau balau. Pikiran
sedemikian ini disebut wordsalat, yang kita terjemahkan sebagai gado-
gado kata, yang tidak mungkin dimengerti oleh orang luar. Lagi pula,
pikirannya dipenuhi oleh macam-macam halusinasi dan delusi, sehingga
ucapan-ucapan dan pikirannya menjadi kacau balau serta kusut-masai
(Kartono, 1997:97).
35
1.7 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian bahasa yang bersifat deskriptif.
penelitian ini akan melalui beberapa proses pelaksanaan yakni (1) proses
penyediaan data; (2) proses penganalisisan data; dan (3) proses penyajian hasil
penganalisisan data.
Proses penyediaan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak
dan catat. Metode simak dan catat adalah penyimakan terhadap pemakaian bahasa
lisan maupun tulisan yang bersifat spontan dan mengadakan pencatatan terhadap
data relevan yang sesuai dengan sasaran dan tujuan penelitian (Subroto, 2007: 47).
Data dalam penelitian ini adalah jawaban atau ujaran dari Toni Blank. Sementara
itu, sumber datanya di ambil dari Toni Blank Shows dan wawancara langsung
antara peneliti dan TB. Toni Blank Shows adalah sebuah video dokumentasi yang
dibuat oleh X-Code Films Yogyakarta yang berisi dialog antara TB dan
pewawancara yang diupload di youtube.
Metode analisis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif adalah metode yang mencoba
menggambarkan fenomena-fenomena yang terjadi melalui kata-kata. Mahsun
(2007:253) menegaskan bahwa analisis data merupakan upaya yang dilakukan
untuk mengklasifikasikan dan mengelompokan data.
Sejalan dengan penyataan tersebut, dalam penelitian ini akan dilakukan
dua tahapan analisis data. Pertama, dilakukan pengidentifikasian terhadap data,
yaitu mengidentifikasi pelanggaran maksim, derajat relevansi, aspek-aspek
kebahasaan, dan penanda kohesi dan koherensi pada tuturan TB. Kedua, dari hasil
36
identifikasi tersebut kemudian dilakukan pemilahan untuk membuat klasifikasi
data mengenai pelanggaran prinsip kerjasama berdasarkan teori Grice, derajat
relevansi berdasarkan teori Sperber dan Wilson, aspek-aspek kebahasaan, dan
klasifikasi data mengenai penanda kohesi berdasarkan teori yang ada. Sedangkan
metode yang dipakai adalah metode padan pragmatik dan metode agih dengan
teknik lanjutan berupa teknik baca markah, ganti, dan lesap.
Berdasarkan klasifikasi data yang ditemukan, hasil analisis akan disajikan
dalam bentuk deskripsi. Selanjutnya, dari hasil penelitian akan dipaparkan dalam
urian per bab, seperti yang tertera dalam sistematika penyajian. Sedangkan,
metode yang dipakai dalam penyajian analisis data adalah metode informal yaitu
cara penyajian hasil analisis data dengan menggunakan kata-kata biasa meskipun
tetap menggunakan terminologi khusus.
1.8 Sistematika Penulisan
Hasil penelitian ini akan disajikan dalam lima bab, Bab I, berisi
pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan
sistematika penulisan. Bab II, Mendeskripsikan bentuk pelanggaran prinsip
kerjasama dan derajat relevansi tuturan Toni Blank. Bab III, Mendeskripsikan
aspek-aspek kebahasaan Toni Blank. Bab IV, Mendeskripsikan hubungan kohesi
dan koherensi tuturan Toni Blank. dan Bab V, berisi kesimpulan dan saran.