bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jepang merupakan negara yang sangat menarik untuk dipelajari. Masyarakat yang
unik, budaya yang beragam serta nilai leluhur yang masih dipertahankan dari masa ke masa
hingga masa modern membuat Jepang menjadi salah satu negara yang sangat menarik untuk
diteliti. Jepang mengalami perpindahan dari masa lalu dan masa transisi yang dapat dikatakan
sangat drastis sehingga membuat Jepang mengalami dinamika politik, dinamika
kependudukan serta dinamika perekonomian yang sangat beragam. Jepang sempat mengalami
masa di mana pemerintah dan masyarakat cenderung tertutup untuk menerima segala hal yang
bersifat modern dan globalisasi. Hal tersebut membuat Jepang mengisolasi diri dari dunia luar
serta menolak segala hal yang bersifat internasional. Kebijakan isolasi tersebut dilakukan
Jepang dikarenakan negara ini menolak untuk menerima pengaruh serta intervensi apapun dari
luar, hal tersebut bertujuan untuk menjaga nilai budaya serta warisan leluhur yang di lestarikan
secara turun-temurun oleh masyarakat Jepang.
Jepang merupakan salah satu Negara yang terletak di wilayah Asia timur. memiliki
populasi lebih dari 127,220,000 jiwa pada tahun 2014 dan Memiliki luas wilayah 377.962
yang merupakan negara kepulauan.1 Wilayah Jepang terpisah menjadi pulau-pulau kecil yang
membentuk suatu kesatuan negara maritim.
Pengalaman pasca kekalahan dalam perang merubah tatanan penduduk serta
perekonomian masyarakat Jepang. Pada saat itu Jepang mengalami Periode yang disebut
Periode setelah Perang dimana terjadi penurunan penduduk yang drastis serta berbagai
keganjilan pasca perang dunia ke II tersebut. Kekalahan Jepang dari Amerika Serikat membuat
Jepang kehilangan berjuta penduduknya dalam penyerangan Bom di Hiroshima dan Nagasaki.2
Setelah perang dunia II kondisi ekonomi negara Jepang mulai membaik sejak dibawah
kependudukan sekutu Amerika Serikat,akses kepada teknologi serta GNP mulai meningkat
drastis. Karena perekonomian Jepang semakin stabil, hal tersebut memicu Pertumbuhan
1 STATISTIC BUREAU, Ministry of Internal Affairs and Communication, 2014, The Population ofJapan,[online],tersedia: < http://www.stat.go.jp/english/data/jinsui/tsuki/index.htm> ,diakses pada 27 mei 20152 Repository USU, Jepang Pasca Perang Dunia II, [PDF} ,[online], tersedia: <http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28645/3/Chapter%20II.pdf> diakses pada 27 mei 2015
2
penduduk yang cenderung meningkat sebanyak 1% per tahunnya.3 Peristiwa ini disebut sebagai
baby boom dimana ketika perekonomian berangsur membaik membuat peningkatan minat
dalam memiliki keturunan.4 Hal ini membuat pemerintah Jepang merasa perlu untuk
mengeluarkan kebijakan guna mengendalikan laju pertumbuhan penduduk yang terus
meningkat. Oleh karena itu Jepang mengeluarkan kebijakan untuk membatasi kelahiran serta
kebebasan akses untuk melakukan Aborsi. Jepang merupakan negara pertama yang
mengizinkan aborsi menurut hukum. Jepang melegalkan aborsi di bawah Undang-Undang
Aborsi: Undang-Undang Eugenika Nasional 1940 yang kemudian diubah menjadi Undang-
Undang Perlindungan Eugenika 1948.
Keputusan Pemerintah Jepang dalam melegalkan aborsi ini menjadi salah satu faktor
yang menyebabkan turunnya jumlah penduduk di Jepang dari waktu ke waktu. Sejak tahun
1970 Jepang mengalami permasalahan penurunan penduduk yang melebihi perkiraan.5
Semakin mudah nya akses bagi Aborsi membuat penurunan populasi di Jepang semakin
menuju ke arah yang memprihatinkan.
Jepang dikategorikan sebagai Negara maju dengan perekonomian yang terus meningkat
tajam dari tahun ketahun. Hal tersebut disebabkan oleh budaya masyarakat Jepang yang
memiliki kebiasaan sebagai pekerja keras dan sangat mementingkan jenjang karir. Masyarakat
Jepang terkenal sangatlah produktif . Budaya kerja keras yang tumbuh di masyarakat Jepang
merubah paradigma serta menurunkan minat para generasi muda Jepang untuk menikah dan
memiliki keluarga di masa depannya. Para pemuda Jepang lebih terpacu untuk mengejar
prestasi akademis untuk menunjang karirnya dimasa depan. Tidak terkecuali pada kaum
wanita, semakin meluasnya pemikiran wanita modern yang memilih untuk lebih
mementingkan pendidikan dan jenjang karir daripada untuk memiliki keluarga. Kemudahan
akses wanita dalam mendapatkan pendidikan yang tinggi, serta keinginan untuk mendapatkan
karir yang baik, juga menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam penurunan tingkat
kelahiran di Jepang.
3 Suherman.Eman,2004 ,”Dinamika Masyarakat Jepang dari Masa Edo Hingga Pasca Perang Dunia II”,Humaniora volume 16, < http://download.portalgaruda.org/article.php?article=2955&val=297> diakses pada 27mei 20154 Akihiko. Matsutani, Shrinking Population Economics: Lesson From Japan,International House of Japan ,Japan, 2006,p. 2-4.5 Chapel.Julian, ‘The Dilemma Posed by Japan’s Population Decline’,Electronic Journal of ContemporaryJapanese Studies (online), <http://www.japanesestudies.org.uk/discussionpapers/Chapple.html> diakses 25februari 2015
3
Dengan adanya masalah penurunan jumlah penduduk ini tentu akan memberikan
pengaruh kepada ekonomi Jepang, Dimana dampak dari penurunan jumlah penduduk ini akan
mengurangi angkatan kerja produktif yang akan melakukan kegiatan produksi dimana kegiatan
ekonomi berlangsung. Negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar secara tidak
langsung akan dapat membantu dalam meningkatkan perekonomiannya Namun dengan
kondisi Jepang pada saat ini, akan menambah kekhawatiran pihak perusahaan asing akan
kesempatan mereka dalam melakukan kegiatan ekonomi yaitu memasarkan produk kedalam
negeri Jepang itu sendiri. Bagi perusahaan asing, semakin kecil jumlah penduduk suatu negara
jelas akan semakin memperkecil pangsa pasar yang akan mereka tuju untuk melakukan
kegiatan jual beli. Perekonomian suatu negara merupakan suatu hal yang vital untuk
menentukan bargaining position dari suatu negara di mata internasional. Dengan menurunnya
perekonomian Jepang, jelas akan membuat posisi Jepang dimata dunia sebagai salah satu
negara yang memiliki kekuatan ekonomi yang stabil, akan segera terancam. Selain itu
fenomena aging population akan serta merta menambah beban yang ditanggung oleh negara
dimana angkatan kerja yang sudah tidak produktif tetap akan menjadi tanggung jawab negara
dalam menjalani hari tuanya.
Pemerintah Jepang pun sudah sangat menekan warganya agar masalah penurunan
tingkat kelahiran ini dapat ditanggulangi, namun banyak dari program dan strategi pemerintah
yang masih belum mendapatkan hasil signifikan karena minimnya tanggapan positif dari
masyarakat. Berbagai cara telah ditempuh oleh pemerintah Jepang sebagi usaha dalam rangka
meningkatkan jumlah kelahiran dan minat untuk memiliki keturunan. Pemerintah Jepang
memulainya dengan mencanangkan semboyan “umeyō, fuyaseyō” yang bermakna mari
meningkatkan kelahiran.6 Semboyan tersebut diharapkan dapat mengajak masyarakat Jepang
agar memiliki anak yang banyak dan dapat meningkatkan jumlah kelahiran. Selain itu
pemerintah Jepang juga telah menarik kembali kebijakan mengenai aborsi. Pemerintah Jepang
menarik lagi aturan kebebasan melakukan aborsi dengan mengeluarkan larangan untuk
melakukan tindakan aborsi kecuali untuk alasan kesehatan. Pemerintah Jepang berjanji akan
memfasilitasi bagi para ibu dan calon ibu yang belum siap dan belum mau untuk memiliki anak
untuk dapat memberikan tanggung bayinya kepada Pemerintah Jepang untuk selanjutnya
6 Chapel.Julian, ‘The Dilemma Posed by Japan’s Population Decline’,Electronic Journal of Contemporary
Japanese Studies (online), <http://www.japanesestudies.org.uk/discussionpapers/Chapple.html> diakses 25
februari 2015
4
dirawat oleh dan dibesarkan oleh sebuah badan yang diberikan wewenang oleh pemerintah
Jepang.7
Dari segi teknologi pemerintah Jepang juga telah melakukan penemuan sebuah robot
bayi yang dinamakan robot bayi Yotaro, robot ini memiliki sifat dan tingkah laku yang sangat
mirip seperti bayi yang dapat tertawa menangis dan bersin seperti layaknya manusia. Penemu
robot ini mengharapkan dengan adanya robot Yotaro yang menyerupai bayi ini akan
menambah minat para wanita dan lelaki Jepang untuk memiliki keturunan dan memiliki bayi
yang sebenarnya.8 Selain itu pemerintah Jepang juga memberikan kemudahan dengan cuti
melahirkan dan setelah melahirkan bagi para ibu dan calon ibu.9 Cuti yang diberikan kepada
para ibu tersebut juga berlaku bagi para ayah agar mereka mendapatkan hak dan dapat ikut
berperan dalam menemani tumbuh kembang buah hatinya.
Berbagai upaya tersebut dirasa belum efektif untuk meningkatkan jumlah kelahiran di
Jepang, kebijakan pelarangan aborsi tersebut belum dapat memberikan dampak yang signifikan
dalam menekan jumlah penurunan jumlah penduduk sehingga akan berdampak pada
menyusutnya jumlah angkatan kerja yang produktif.
Perdana Menteri Shinzo Abe mulai menyadari bahwa permasalahan fertilitas ini akan
menjadi ancaman bagi Jepang dan perekonomian Jepang. Dari tahun 1970 jumlah penduduk
Jepang terus mengalami penurunan yang tajam ,sehingga Jepang sedang menuju kepada
mengahadapi masalah population aging atau dapat diartikan sebagai masalah penduduk yang
semakin menua tanpa adanya regenerasi yang seimbang dengan angka kematian.10 Apabila
fenomena ini akan terus berlanjut akan berdampak lebih jauh kepada declining population
7 Beth,‘Ban Abortion to Improve Birthrate’ Says Japanese Politician,’ JapanCrush (daring), 26 Februari2013,<http://www.japancrush.com/2013/stories/ban-abortion-to-improve-birthrate-says-japanese-politician.html>,diakses pada 10 Januari 2014.
8 L.R. Mcrobbie, ‘5 Creative Ways Countries Tried To Up Their Birth Rates,’ Mentalfloss (daring), 14 Januari2013, < http://mentalfloss.com/article/33485/5-creative-ways-countries-tried-their-birth-rates >, diakses pada 24Januari 2014.
9 Kurnia. Arianti, ‘Menilik Upaya Jepang MenambahPenduduknya’,<http://www.jpnn.com/read/2015/02/20/288388/Menilik-Upaya-Jepang-Menambah-Jumlah-Penduduknya/page3> diakses 25 februari 2015
10 Anderson.Derek, Botman.Dennis, Hunt.Ben, IMF working paper, “is Japan’s Population AgingDeflationary?”, < https://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2014/wp14139.pdf> diakses pada 29 mei 2015
5
dimana akan berpengaruh kepada kondisi ekonomi jepang yang dikategorikan sebagai negara
industri maju.11
1.2 Pertanyaan Penelitian
Dalam skripsi ini penulis akan mengajukan sebuah pertanyaan penelitian yaitu
“Bagaimana strategi Perdana Menteri Shinzo Abe dalam meningkatkan jumlah kelahiran di
jepang?” dan “Bagaimana Kekkon Katsudo sebagai kebijakan dalam meningkatkan jumlah
kelahiran dengan menggunakan pendekatan budaya pada masa pemerintahan Perdana Menteri
Shinzo Abe diimplementasikan ?”
1.3 Kerangka Konseptual
Jika kita melihat dari kebiasaan masyarakat Jepang pada umumnya , Jepang merupakan
negara yang melakukan modernisasi tanpa meningggalkan budaya-budaya yang diwarisi para
leluhurnya. Jepang mulai mengadopsi nilai nilai barat semenjak dibawah kependudukan
sekutu Amerika Serikat . Jepang mulai menerima segala modern dengan terbuka dengan
pemilihan yang masih sesuai dengan nilai dan norma yang sudah tertanam pada masyarakat
Jepang.
Salah satu nilai yang dapat membantu dalam menjawab pertanyaan penelitian ini ialah
Konfusianisme. Nilai-nilai Konfusian bersifat hirarki, menekankan pada kepatuhan individu
kepada kelompok yang lebih besar. Selain itu, prinsip konfusian juga menekankan bahwa
hubungan antar generasi harus didasari kesetiaan dan perbuatan baik, sehingga anak laki-laki
maupun anak perempuan akan melaksanakan tugas mereka terhadap rumah sebagai wujud
kesetiaan kepada orang tua mereka atas perbuatan baik yang telah mereka terima selama ini.
Perempuan harus menaati laki-laki, dan pengantin perempuan baru juga harus menaati ibu
mertuanya.12 Dalam hal pemilihan pasangan mengingat bahwa tujuan utama dari pernikahan
adalah kelanjutan dari garis keturunan, pemilihan pasangan dikendalikan oleh anggota
keluarga melalui bentuk perjodohan (Miai). Sistem patriarki seperti ini sangat didukung pada
11 Swanson.Ana, THE WASHINGTON POST,”Japan’s Birth Rate Problem is way worse than anyoneimagine”, <http://www.washingtonpost.com/blogs/wonkblog/wp/2015/01/07/japans-birth-rate-problem-is-way-worse-than-anyone-imagined/> diakses pada 22 juni 201512 Joy Hendry, Understanding Japanese Society, Routledge, New York, 1995, p.25.
6
era Meiji dengan adanya Meiji Civil Code yang melegitimasi kekuasaan kepala keluarga di
atas anggota keluarga lainnya, sekaligus membuat wanita secara legal inferior dibanding kaum
pria. Namun pergeseran semakin jelas pasca perang karena dengan adanya konstitusi 1947,
posisi wanita dan pria dianggap setara dan juga jaminan berbagai hak lainnya. Akibatnya,
pasca perang, pernikahan cenderung dilaksanakan dengan lebih bebas dan peran keluarga
dalam pemilihan pasangan pun kian berkurang.13
Nilai budaya yang tidak dapat dilepaskan dari sistem masyarakat Jepang ialah Ie . Ie
merupakan basis dari sistem keluarga Jepang. Ie lebih tepat diterjemahkan sebagai “rumah”
dibandingkan “keluarga”, namun maknanya tidak sesederhana itu. Keberlanjutan merupakan
hal penting dalam Ie. Menjadi suatu kewajiban bagi anggota Ie yang masih hidup untuk
menghormati leluhurnya dan juga memastikan Ie akan terus berlanjut meskipun mereka telah
meninggal.14 Ini menyebabkan sistem Ie menempatkan perempuan di bawah tekanan kuat
untuk melahirkan anak dalam rangka menjaga garis keluarga. Dengan kata lain, perempuan
tidak dapat menetapkan posisi mereka dalam keluarga kecuali mereka melahirkan anak-anak,
terutama anak laki-laki. Selain itu, bagi kalangan kelas atas, ikatan berdasarkan cinta antara
suami dan istri tidak pernah dianggap penting sehingga perjodohan dilakukan dalam memilih
pasangan calon.15 Anak- anak mereka yang merupakan anggota dari Ie harus mengikuti
kehendak orang tua nya untuk menjodohkan mereka tanpa adanya dasar saling cinta diantara
keduanya,hal ini dipercaya sebagai usaha untuk melanjutkan keturunan dari leluhurnya
Selain itu Jepang juga memiliki budaya Omiai, dimana Miai memiliki dua pengertian
diantaranya pengertian dalam arti luas dan dalam arti sempit. Miai dalam pengertian luas yaitu
mempertemukan orang-orang yang bersangkutan untuk tujuan tertentu. Sedangkan Miai
dalam pengertian sempit yaitu perkawinan yang dijodohkan atau perkawinan yang terjadi
karena bantuan seorang perantara mempertemukan kedua calon pengantian Miai ( 見合い)
dalam pengertian harafiah berarti "saling melihat".
Dalam Ensiklopedia Jepang, Miai adalah suatu pertemuan resmi dimana dilakukannya
perkenalan antara seorang pria dan seorang wanita yang diatur oleh nakoodo (seorang
perantara) dengan tujuan mencari pasangan untuk menikah atau lebih dikenal dengan
13 Yoko Tokohiro, Marriage in Contemporary Japan, Routledge, New York, 2010, p.17-1814 Joy Hendry, p.2415 Yoko Tokohiro, p.79
7
perjodohan.16
praktek arranged marriage atau dikenal sebagai “Omiai” yang dilaksanakan oleh
keluarga dapat memastikan seluruh anak dan anggota keluarga akan menikah sehingga dapat
melanjutkan garis keturunan. Hal ini tidak terlepas dari prinsip konfusianisme yang sangat
menghormati orang tua dan leluhur sehingga anak cenderung mengutamakan keinginan orang
tua dibandingkan keinginan pribadinya. Dengan menganut prinsip-prinsip konfusianisme
menyebabkan masyarakat Jepang terkenal hierarki dan sangat menghormati leluhurnya.
1.4 Argumentasi Utama
Berdasarkan kerangka konseptual diatas maka argumentasi utama yang didapat oleh
penulis adalah Pemerintah Jepang merumuskan berbagai cara untuk meningkatkan angka
kelahiran di Jepang. Karena pemerintah Jepang mulai menyadari bahwa hal ini akan menjadi
permasalahan besar bagi demografi dan angkatan kerja di Jepang yang mulai berkurang karena
mulai mencapai usia tua atau lansia.
Berbagai strategi yaitu parental support, womenomics, serta Kekkon Katsudo ini
dilakukan pemerintah Jepang dibawah kepemimpinan Perdana Menteri Shinzo Abe, untuk
meningkatkan jumlah kelahiran di Jepang yang semakin menurun beberapa tahun belakangan
ini. Pemerintah Jepang menyadari bahwa mendukung program pernikahan merupakan salah
satu hal yang penting bagi usaha meningkatkan jumlah kelahiran. Dengan mengadopsi nilai-
nilai budaya akan menambah minat para pria dan wanita di Jepang untuk memiliki pasangan
dan keturunan. Hal ini akan memberikan pengaruh bagi bertambahnya jumlah kelahiran di
Jepang. Pemerintah Jepang memberlakukan program Konkatsu, dimana Perdana menteri
Shinzo Abe akan mengalokasikan dana yang lebih dalam mendukung program ini .Terjadi
berbagai perdebatan mengenai efektifitas konkatsu dimana ada pihak yang pro dan kontra
dengan kebijakan yang diambil oleh pemerintah Jepang ini. Konkatsu dianggap kurang
memberikan hasil yang signifikan dalam meningkatkan jumlah kelahiran
16 Kumaga, F. Unmasking Japan Today: The Impact of Traditional Values on Modern Japanese Society. 1996.Greenwood Publishing Group: New York hal 42
8
1.5 Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan oleh peneliti untuk penulisan skripsi ini adalah
metode kualitatif. Peneliti menggunakan metode studi deskriptif untuk membahas
permasalahan yang terdapat dalam skripsi ini. Dalam penelitian ini peneliti mencoba untuk
mendeskripsikan dan menginterpetasikan permasalahan pada kondisi sekarang serta
melakukan evaluasi.
Jenis data yang digunakan peneliti ialah data sekunder ,dimana data ini bersumber dari
Data yang digunakan berasal buku-buku, jurnal,dan sumber kepustakaan lainnya yang
mendukung pembahasan dalam penelitian ini.
Dalam penulisan skripsi ini peneliti menggunakan dua metode pengumpulan data dan
keterangan yang dapat menunjang tulisan ini, yaitu
1. Teknik wawancara, dimana penulis melakukan serangkaian tanya jawab
secara langsung dengan nara sumber yang berwenang yang dapat memberikan
penjelasan mengenai kebijakan Kekkon Katsudo yang dicanangkan oleh Perdana
Menteri Shinzo Abe .
2. Teknik Studi Literatur , yaitu dengan mengumpulkan data dengan
membaca buku, jurnal,literatur-literatur valid, serta media-media internasional yang
menyorot mengenai permasalahan penduduk di Jepang yang berkaitan dengan
penelitian ini.
Untuk menganalisa data yang diperoleh dalam skripsi ini, peneliti menggunakan
metode deskrptif yaitu metode untuk menjelaskan data yang diperoleh untuk kemudian di
analisis sehingga menjadi sebuah nformasi yang dapat disajikan.
1.6 Jangkauan Penelitian
Jangkauan dalam penulisan ini adalah 12 tahun kebelakang dimana Kekkon Katsudo
mulai muncul pada masyarakat Jepang pada tahun 2003. Tetapi penulis akan terfokus pada 4
tahun ke belakang dimana Kekkon Katsudo dilaksanakan oleh pemerintah lokal. pada tahun
2012 pada masa Perdana Menteri Shinzo Abe terpilih sebagai Perdana Menteri dan masih
menjabat hingga saat ini. Walaupun Perdana Meneri Shinzo abe sempat menjabat sebagai
perdana Menteri Menggantikan Koizumi pada tahun 2006 hingga tahun 2007. Tetapi penelitian
9
ini akan tetap terfokus kepada kebijakan Perdana Menteri Shinzo Abe dalam periode kedua
pemerintahannya yaitu dari tahun 2012 hingga saat ini.
1.7 Struktur Penulisan
Dalam skripsi ini peneliti merencanakan akan menuakan nya kedalam 4 bab. Dimana
bab pertama akan berisi latar belakang, pertanyaan penelitian, kerangka konseptual,
argumentasi utama, metode penelitian, jangkauan penelitian, dan struktur penulisan. Pada bab
kedua peneliti akan menjelaskan mengenai Strategi Ekonomi Pemerintah Jepang dalam
meningkatkan jumlah kelahiran pada periode kepemimpinan Perdana Menteri Shinzo Abe.
Pada bab ketiga peneliti akan menjelaskan mengenai bagaimana Kekkon Katsudo sebagai salah
satu kebijakan yang diambil oleh pemerintah Jepang pada periode Perdana Menteri Shinzo
Abe. Skripsi ini akan ditutup dengan bab keempat yang akan memberikan kesimpulan dari
semua uraian bab-bab sebelumnya.
10
BAB II
KEKKON KATSUDO SEBAGAI UPAYA SHINZO ABE DALAM MENINGKATKAN
JUMLAH KELAHIRAN
2.1 Faktor Penyebab Menurunnya Tingkat Kelahiran di Jepang
Pertumbuhan penduduk merupakan isu yang sangat populer dan mencemaskan Negara-
negara maju pada saat ini. Hal ini dikarenakan pertumbuhan penduduk sangat berkaitan dan
mempengaruhi berbagai aspek kehidupan terutama peningkatan mutu kehidupan atau kualitas
sumberdaya manusia.
Tingkat pertumbuhan penduduk di suatu negara dipengaruhi oleh tiga hal. Pertama
adalah angka kelahiran (birth rate), angka kematian (mortality rate) serta migrasi (out
migration dan in migration). Birth rate mengacu pada jumlah kelahiran hidup dalam satu tahun
pada 1000 penduduk pada pertengahan tahun. Umumnya tingkat pertumbuhan dan kematian
penduduk di negara berkembang memiliki jumlah yang tinggi. Faktor penyebabnya antara lain
rendahnya tingkat pendidikan dan taraf perekonomian, kurangnya sosialiasi mengenai keluarga
berencana serta minimnya fasilitas dan akses kesehatan.
Hal ini berbanding terbalik dengan negara industri maju dimana yang terjadi adalah
angka kelahiran dan kematian sangatlah rendah. Para ahli demografi mengkaitkan
kecenderungan di negara maju ini dengan kemajuan industrialisasi. Atas dasar keterkaitan ini,
seorang ahli membuat suatu teori kependudukan yang dikenal dengan teori transisi demografi
(demographic transition theory). Teori transisi demografi ini dikembangkan oleh seorang ahli
demografis asal Amerika bernama Warren Thompson (1887-1973) pada tahun 1929.1 Teori
ini menjelaskan mengenai perubahan atau transisi tingkat kelahiran dan kematian dalam
masyarakat industri selama 200 tahun terakhir. Warren melihat bahwa ada beberapa kategori
pemisahan perubahan demografi sebuah negara berdasarkan kondisi dan tingkat perekonomian
negara tersebut.
Menurut teori ini, masyarakat yang mengalami proses industrialisasi akan melewati tiga
tahap. Pada tahap pertama, yaitu tahap pra industri, tingkat kelahiran dan kematian tinggi dan
1 Dudley.Kirk , “Demographic Transition Theory*”, http://shrinking.ums-riate.fr/Ressources/Chap_01/KIR_96.pdf diakses pada 26 mei 2015
11
stabil. Pada tahap kedua, tahap transisi, terjadi peningkatan tingkat kelahiran akibat
meningkatnya kualitas kesehatan. Pada tahap ketiga tingkat kelahiran dan kematian rendah dan
stabil.
Jepang merupakan salah satu negara yang sempat memasuki tahap kedua pada teori
transisi demografi, pada masa pasca perang dunia kedua. Banyak nya tingkat pemerkosaan
serta banyak nya wanita jepang yang dijadikan budak seks bagi para tentara perang berdampak
pada banyak nya wanita jepang yang mengalami kehamilan diluar nikah yang menyebabkan
meningkatnya kelahiran. Selain itu Jepang juga mengalami proses industrialisasi yang sangat
maju setelah dibawah kepemimpinan sekutu Amerika Serikat. Dengan adanya perbaikan
ekonomi dan perbaikan akses kesehatan jepang berdampak pada pertumbuhan penduduk
jepang yang meningkat sebanyak 1% pertahunnya. Jepang mengalami Baby Boom atau
peningkatan jumlah kelahiran yang melonjak drastis selama masa pasca perang dunia ke II2
Perbaikan ekonomi selama Jepang dibawah bantuan Amerika Serikat menjadi faktor utama
yang menyebabkan peningkatan minat untuk memiliki keturunan pada masa tersebut.
Pertumbuhan penduduk ini membuat pemerintah jepang mengeluarkan kebijakan untuk
mengendalikan laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat setiap tahunnya.
Pemerintah Jepang melegalkan aborsi di bawah Undang-Undang Aborsi: Undang-Undang
Eugenika Nasional 1940 yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Perlindungan
Eugenika 1948 ( Yuseihogoho ).3 Fenomena Baby boom di Jepang ini berakhir hanya dalam
waktu 4 tahun setelah dikeluarkannya Undang-undang tesebut.
Sejak pemerintah jepang menetapkan hukum mengenai pelegalan aborsi bagi para
wanita yang telah mengalami tindakan pemerkosaan untuk menekan kelahiran anak, sehingga
sampai saat ini banyak wanita melakukan aborsi, karena sudah legal dan disetujui oleh Undang-
Undang Internasional. Hal tersebut jelas akan menyebabkan penurunan angka kelahiran yang
sangat drastis. Wanita memiliki akses yang mudah bagi aborsi serta alat kontrasepsi yang jelas
akan menghambat kehamilan dan kelahiran.
Keputusan pemerintah jepang untuk melegalkan aborsi bertujuan untuk menekan laju
kelahiran yang tidak direncanakan, seperti kehamilan yang disebabkan oleh tindak
pemerkosaan atau anak dari seorang budak seks para tentara perang pada masa perang dunia
2 Akihiko. Matsutani, Shrinking Population Economics: Lesson From Japan,International House of Japan ,Japan, 2006,p. 2-4.3 Akihiko. Matsutani, P. 4-5
12
kedua. Pemerintah jepang ingin menekan jumlah keturunan yang mewarisi penyakit dan
menyelamatkan jumlah penduduk jepang dari terjadinya population boom.
Jepang mulai mengalami pengurangan jumlah penduduk yang cukup signifikan pada
awal tahun 2001. Berikut grafik dibawah ini akan menunjukan besarnya penurunan penduduk
di jepang dari tahun 2000 hingga akhir tahun 2012.
Grafik 1 . Penurunan jumlah penduduk Jepang pada tahun 2000 – 2012 4
Jika dilihat dari grafik diatas , maka dapat kita lihat bahwa populasi di Jepang masih
mengalami peningkatan dari tahun 2000 hingga tahun 2004 walaupun tidak signifikan.
Pertambahan jumlah penduduk hanya berkisar antara pada tahun 2000 Jepang memiliki total
populasi sebanyak 126.926.000 , pada tahun 2001 populasi jepang meningkat sebanyak
390.000 ribu jiwa. Pada tahun 2002 jepang mulai mengalami penurunan tingkat pertumbuhan
penduduk yang cukup signifikan, Penduduk Jepang hanya bertambah sekitar 170.000 jiwa.
Pada tahun 2003 pertumbuhan penduduk jepang berkisar pada angka 208.000 jiwa, dan pada
tahun 2004 merupakan awal penurunan angka pertumbuhan penduduk yang cukup signifikan
yaitu berkisar pada angka 93.000 jiwa pertahunnya. Pada tahun 2005 Jepang mulai mengalami
penurunan jumlah dan penurunan angka petumbuhan penduduknya dibawah batas 0 . Populasi
Jepang berkurang sebanyak 19.000 jiwa pada tahun 2005 tersebut, pada tahun 2006 Populasi
Jepang sempat mengalami peningkatan 133.000 jiwa. angka kelahiran di Jepang hanya 1,21
4 Patnistik.Edigius,KOMPAS INTERNASIONAL, “Penurunan Populasi Catat Rekor Tertinggi di Jepang”, <http://internasional.kompas.com/read/2014/01/03/0837105/Penurunan.Populasi.Catat.Rekor.Tertinggi.di.Jepang> diakses pada 23 juni 2015
13
per keluarga dan diketahui Pada sensus Maret 2009, total populasi penduduk yang terdaftar di
Jepang hanya sekitar 127.000.000 jiwa.5 Dan setelah saat itu terus menurun sampai pada akhir
tahun 2012 hingga mencapai angka –244.000 jiwa pada awal tahun 2013. Jepang mengalami
rekor penurunan populasi penduduk pada tahun 2013. Pada tahun 2013 diperkirakan jumlah
kelahiran turun sebanyak 6000 jiwa dari tahun 2012 ,dan jumlah kematian meningkat sbanyak
19.000 jiwa.6 Maka diperkirakan bahwa pada tahun 2013 jumlah penduduk jepang sudah
menembus batas angka 126.393.679 jiwa.7 Hal ini menunjukan bahwa penurunan populasi di
Jepang sudah mencapai tahap yang semakin memprihatinkan.
Menurunnya angka kelahiran di Jepang dalam beberapa dekade ini menjadi perhatian
khusus pemerintah Jepang. Saat ini banyak masyarakat negara-negara industri dan maju mulai
mengurangi keinginan mereka untuk membentuk sebuah hubungan keluarga suami istri dan
memiliki anak. Termasuk Jepang yang merupakan negara maju setelah mengalami proses
industrialisasi yang cukup panjang. Dari hasil riset yang diperoleh Japan family Planning
Association (JFPA) menyatakan bahwa 25% laki–laki di Jepang lebih memilih untuk tidak
menikah.8. selain itu menurut Brian Clowes, pimpinan Human Life International (HLI) saat ini
perempuan Jepang rata-rata hanya mempunyai satu anak, jumlah tersebut hanya setengah dari
yang diharapkan pemerintah Jepang. Jika hal ini terus dibiarkan, diperkirakan populasi warga
Jepang ditahun 2060 mendatang akan berkurang sepertiga bagian dari populasi yang ada
sekarang (berdasarkan studi Institut Nasional Kependudukan dan Penelitian Jaminan Sosial).9
Umur pertama menikah dari tahun-ketahun juga semakin menurun.Usia rata-rata
pernikahan di Jepang terus meningkat selama 1 abad terakhir. Di tahun 2008 usia rata-rata
5D. Armandhanu, ‘Sepertiga Pemuda Jepang Enggan Bercinta,’ vivanews (daring), 14 Januari2011,<http://dunia.news.viva.co.id/news/read/199385-sepertiga-pemuda-jepang-enggan-ngeseks>, diakses pada21 juni 2015.6 D. Armandhanu.,Viva News, “2013,Rekor Baru Penurunan Populasi Jepang”,http://dunia.news.viva.co.id/news/read/470466-2013--rekor-baru-penurunan-populasi-jepang dikases pada 22juni 2015
7 Patnistik.Edigius,KOMPAS INTERNASIONAL, “Penurunan Populasi Catat Rekor Tertinggi di Jepang”, <http://internasional.kompas.com/read/2014/01/03/0837105/Penurunan.Populasi.Catat.Rekor.Tertinggi.di.Jepang> diakses pada 23 juni 2015
8 Y .W. Utomo, ‘Generasi Muda Jepang Semakin Tak Tertarik pada Seks,’ Kompas (daring), 22 Oktober2013,<http://sains.kompas.com/read/2013/10/22/1625228/Generasi.Muda.Jepang.Semakin.Tak.Tertarik.pada.Seks>, diakses pada 21 juni 2015.
9CBN,“Will 'Demographic Suicide' Lead to Japan's Downfall?”
<http://www.cbn.com/cbnnews/world/2011/February/Will-Demographic-Suicide-Lead-to-Japans-Downfall-/?Print=true> diakses pada 24 Juni 2015.
14
pernikahan pertama bagi wanita adalah 28 tahun, untuk pria 30 tahun.10 Selain itu, di tahun
2005 ada lebih dari 7% wanita dan hampir 16% pria tetap tidak menikah di usia 50 tahun.11
Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa orang Jepang hanya menghabiskan sedikit waktu
dalam hidup mereka dalam keadaan menikah dan semakin banyak orang yang hidupnya tetap
melajang (atau paling tidak, tidak menikah).
Berikut tabel dibawah ini yang akan menggambarkan penurunan minat pemuda Jepang
untuk menikah dilihat dari Umur pertama pemuda Jepang dalam melakukan pernikahan.
Grafik 2. Rata – rata umur pernikahan12
10 Beppu, Motomi, “Analysis of marriage, divorce and transition to adulthood: Marital status life tables, 1930-2005”, dala NIPSSR (ed) pp. 3-30, 2010.
11 National Institute of Population and Social Security Research (NIPPSSR). Population statistics of Japan:Households and living arrangements, http://www.ipss.go.jp/p-info/e/psj2008/PSJ2008-07.pdf diakses pada 24Juni 2015
12 Japan Statistic Bureau ,Ministry of Internal Affairs and Communication,<http://www.stat.go.jp/english/data/handbook/c0117.htm#c02> diakses pada 23 juni 2015
15
Dari tabel diatas dapat dianalisis bahwa usia rata-rata pernikahan di Jepang terus
meningkat selama 1 abad terakhir. Dari tahun 1950 rata-rata umur pria pertama kali menikah
ialah 25,9 tahun. Sedangkan untuk wanita Jepang Pertama kali menikah di umur yang dianggap
matang pada angka 23 tahun. Selain itu, di tahun 2005 ditemukan fakta bahwa ada lebih dari
7% wanita dan hampir 16% pria tetap tidak menikah di usia 50 tahun.13
Di tahun 2008 usia rata-rata pernikahan pertama bagi wanita adalah 28 tahun, untuk
pria 30 tahun.14 menuju tahun 2013 angka umur pemuda untuk siap menikah bertambah
sebanyak rata-rata 1 tahun yang berujung pada 2013 dimana umur rata rata pria siap menikah
30,9 tahun dan wanita di umur 29,3 tahun. Dari data tersebut kita melihat terjadi perubahan
yang cukup signifikan di setiap tahunnya pada tingkat kesiapan seorang masyarakat jepang
untuk menikah. Angka-angka dari data tabel diatas menunjukkan bahwa orang Jepang hanya
menghabiskan sedikit waktu dalam hidup mereka dalam keadaan menikah dan semakin banyak
orang yang hidupnya tetap melajang (atau paling tidak, tidak menikah).
Kesadaran akan pentingnya melakukan pernikahan menjadi semakin memudar
dimana pria dan wanita Jepang akan lebih memilih untuk mementingkan pendidikan dan
ekonomi mereka masing-masing individu. Hal ini menjadi sangat memprihatikan bila kita juga
mempertimbangkan umur maksimal Reproduktif seorang wanita,wanita tidak dapat
bereproduksi lagi setelah mereka memasuki masa menopause. Hal ini akan menjadi ancaman
ketika wanita yang lambat menikah akan sulit memiliki keturunan dan semakin berbahaya bagi
calon ibu tersebut untuk melakukan persalinan. Tingkat kematian ibu dan bayi pada proses
persalinan juga akan meningkat yang selanjutnya juga akan berdampak kepada penurunan
populasi di Jepang .
Banyak faktor yang mendasari pikiran mereka untuk tidak menikah dan memiliki
anak. Perekonomian dunia yang tidak stabil dengan meningkatnya kebutuhan hidup di semua
aspek membuat mereka berfikir bekerja tanpa adanya anak yang menurut mereka membebani
mereka. Para ahli menyimpulkan tingginya dan repotnya biaya pengurusan anak berupa biaya
pendidikan, makanan, kurangnya akses bagi children care , Mahal nya akses kesehatan menjadi
faktor utama bagi masyarakat jepang untuk enggan memiliki keturunan maupun anak yang
National Institute of Population and Social Security Research (NIPPSSR). Population statistics of ̀ Japan:Households and living arrangements, <http://www.ipss.go.jp/p-info/e/psj2008/PSJ2008-07.pdf>diakses pada 24 Juni 2015
14 Beppu, Motomi, “Analysis of marriage, divorce and transition to adulthood: Marital status life tables, 1930-2005”, dala NIPSSR (ed) pp. 3-30, 2010.
16
lebih dari satu. Serta pilihan wanita jepang untuk berkarir lebih banyak daripada yang
mengurus anak juga menjadi penyebab yang cukup berpengaruh bagi menurunnya minat untuk
memiliki keturunan.
Di sisi lain, perusahaan atau pemerintah tidak memberikan waktu yang cukup bagi para
ibu dan wanita yang memiliki anak untuk mengasuh anak-anak mereka sendiri. Para wanita
telah disejajarkan pada kaum laki-laki, sehingga mereka bekerja dengan keras dan tidak
memikirkan masa depan seperti memiliki keluarga sendiri yang diwujudkan dengan
pernikahan. Bagi banyak wanita muda di Jepang, memiliki anak sementara mereka juga tetap
bekerja benar-benar bukan merupakan pilihan. Revisi untuk hukum pengasuhan anak pada
tahun 2010 agaknya cukup membantu ,yaitu memerintahkan pada semua perusahaan agar
mengijinkan jam kerja yang lebih singkat bagi wanita yang memiliki anak di bawah usia 3
tahun.15 tetapi dukungan perawatan anak untuk ibu yang bekerja tetap masih belum memadai,
yang berarti bahwa mereka menyerah pada karier hingga setelah mereka melahirkan. Sebuah
laporan dari Goldman Sach yang berjudul Womenomics 30” The Time is Now, mengungkap
bahwa 70% wanita di Jepang meninggalkan tempat kerjanya setelah kelahiran anak pertama,
dibandingkan dengan 30% yang terjadi di Amerika16.
Banyak wanita Jepang memilih untuk memiliki keluarga kecil ataupun lebih memilih
untuk tidak memiliki anak sama sekali. Tingkat kesuburan di Jepang saat ini sekitar 1,3 anak
per perempuan, dari total populasi saat ini.17 Beberapa wanita memilih untuk menikah di umur
yang lebih tua di banding wanita generasi sebelumnya (di akhir 20-an) dan kemudian mereka
juga menunda memiliki anak selama beberapa tahun. Lainnya memilih untuk tetap hidup
melajang, ingin karir dan gaji yang lebih tinggi untuk dinikmati sendiri daripada untuk
memiliki keluarga. Hal ini jelas menunjukkan rendahnya tingkat kesuburan di kalangan
perempuan Jepang pada saat ini. Tingkat kelahiran berada jauh di bawah batas cukup untuk
pergantian generasi dimana yaitu 2,08 agar tetap melakukan regenerasi.
15 Ministry of Health Labour and welfare, “ Promotion to Support the Balance Between Work and Family life”,<http://www.mhlw.go.jp/english/policy/children/work-family/dl/psbbwfl.pdf> diakses pada 29 juni 201516Sachs.Goldman,“Womenomics3.0: The Time is Now”, <http://www.goldmansachs.com/our-thinking/investing-in-women/bios-pdfs/womenomics3_the_time_is_now_pdf.pdf> diakses pada 29 juni 201517 National Institute of Population and Social Security Research (NIPPSSR). Population statistics of Japan:Households and living arrangements, diakses dari http://www.ipss.go.jp/p-info/e/psj2008/PSJ2008-07.pdf pada29 Juni 2015
17
Grafik 3. Umur rata-rata wanita dalam melakukan kelahiran18
Dari data tabel diatas dapat kita lihat bahwa pada tahun 1970 umur rata-rata wanita
melahirkan pertama ialah pada umur 25,6 tahun. Setiap 5 tahunnya meningkat sebanyak 0,1
tahun pada taun 1975 , pada 1980 meningkat sebanyak 0,7 tahun, pada 1985 dan 1990
meningkat sebanyak 0,3 tahun, pada 1995 dan 2000 meningkat sebanyak 0,5 tahun. Pada tahun
2005 melonjak menjadi 1,1 tahun dan pada tahun 2010 meningkat lagi sebanyak 0,8 tahun.
Dari Tahun 2011 menuju tahun 2013 sudah meningkat sebanyak 0,4 tahun yang berarti umur
wanita melahirkan pertama di Jepang sudah mencapai angka 30,4 tahun dimana di umur
tersebut sudah sulit bagi seorang wanita untuk memiliki keturunan lebih dari 1 , karena
melahirkan di umur yang sudah terhitung lanjut akan meningkatkan resiko kematian ibu dan
anak. Hal ini jelas akan mempengaruhi minat seorang wanita untuk memiliki anak lebih dari 1
karena akan membahayakan bagi dirinya sendiri dan keturunannya.
Tidak hanya angka pernikahan yang menurun, tetapi juga jumlah orang yang
melakukan kencan pun menurun. Seiring dengan perkembangan pria dewasa muda, mereka
mencari romantika dengan karakter seperti Rinko, Nene, dan Manaka atau pada games seperti
18 Statistical Handbook of japan,2014 ,< http://www.stat.go.jp/english/data/handbook/c0117.htm#c02>, diaksespada 29 juni 2015
18
“LovePlus” untuk Nitendo DS. Game ini memungkinkan pemain untuk mencari pasangan
wanitanya pada permainan tersebut secara virtual, memberikan mereka perhatian yang seperti
nyata atau bantuan untuk mengerjakan PR mereka. Dengan nuansa game yang terasa
menyenangkan, menurut Profesor Masahiro Yamada dari Chuo University, menyatakan bahwa
dalam banyak kasus, masyarakat Jepang telah merasa puas dari game tersebut secara virtual,
sehingga mereka hasilnya tidak memiliki keinginan untuk menemukan real partner19. Para
penikmat game tersebut banyak yang memilih untuk melajang disepanjang hidupnya dan tetap
hidup bergantung dengan orang tua di usia yang sudah terhitung dewasa sehingga seharusnya
dapat melakukan kegiatan yang lebih produktif.
Profesor Yamada dalam bukunya menyebut peristiwa ini dengan parasite singles - yaitu
orang lajang yang hidup dengan orang tua mereka.20 Bahkan mereka tetap tidak keluar dari
rumah dan memiliki keluarga sendiri ketika mereka sudah berumur akhir 20 dan 34 tahun
setelah menikmati kehidupan karier serta telah bebas dari tuntutan untuk memelihara orang
tua. Ada kepercayaan mengenai tiga peyebab utama krisis saat ini, yaitu:
1. Berkurangnya kekuatan penghasilan pria
2. Adanya persepsi yang melekat bahwa pria harus mendukung keluarganya secara
finansial
3. Memelihara norma-norma orang yang tidak menikah untuk melanjutkan hidup dengan
mengasuh dan merawat orang tua mereka.
Selain itu, hal yang mengakibatkan menurunnya populasi di Jepang karena warga
Jepang yang sangat terkenal akan bunuh diri masalnya. Masyarakat Jepang memiliki budaya
rasa malu yang sangat tinggi dimana apabila mereka mengalami stress baik di kantor ataupun
di keluarga,ataupun mereka melakukan suatu tindakan yang mempermalukan mereka tidak
segan-segan untuk bunuh diri. Budaya bunuh diri ini sudah dilakukan oleh nenek moyang dari
bangsa Jepang dimana dalam bahasa Jepang sering disebut sebagai Seppuku atau Harakiri yang
dahulunya dilakukan dengan cara merobek perutnya sendiri bila sudah melakukan tindakan
yang memalukan.21 Tindakan ini dahulunya merupakan salah satu ritual yang dilakukan oleh
19 Tokyo Weekender. (2015). “Where is the Love Japan Attempts to Rekindle Dwindinling Marriage Rates”,<http://www.tokyoweekender.com/2015/02/where-is-the-love-japan-attempts-to-rekindle-dwindling-marriage-rates/> diakses pada 29 juni 201520 Curtin J .Sean , “Parasites Single: International Perspective and Analysis”,<http://academic.csuohio.edu/makelaa/history/courses/his373/ParasiteSingles.htm> diakses pada 29 juni 201521 Jcul, “Tradisi Bunuh Diri di Jepang” , < http://j-cul.com/tradisi-bunuh-diri-di-jepang/ > diakses pada 29 juni2015
19
nenek moyang Jepang yaitu kaum Kesatria Samurai dimana mereka berprinsip lebih baik mati
dari pada harus menjadi pengkhianat ,selain itu kaum ini juga akan melakukan Seppuku bila
gagal dalam bertugas yang akan membuat rasa malu yang mendalam bagi kaum tersebut dan
keturunannya.22 Hal ini diadopsi ke budaya Jepang modern dimana masyarakan jepang masa
kini akan melakukan tindakan bunuh diri bila melakukan suatu hal yang memalukan bagi
dirinya maupun keluarganya.
Tingkat stres berlebihan yang dialami oleh pemuda pemudi jepang dewasa ini
mendorong kecenderungan enggan untuk memiliki keluarga dan keturunan karena hanya akan
menambah beban ekonomi bagi individu tersebut. Kecenderungan untuk tidak ingin memiliki
keluarga ini memberikan dampak yang besar dalam pertumbuhan penduduk Jepang.
Hal yang sangat nampak dari berkurangnya angka kelahiran adalah berkurangnya
tenaga kerja usia produktif, karena disini justru angka usia lansia lebih tinggi daripada usia
angkatan kerja yang produktif. Kelahiran tidak lebih besar daripada angka kematian. Ditambah
lagi, banyak yang melakukan pensiun dini. Hal ini sesuai dengan pemikiran malthus mengenai
tahap ketiga dimana di negara industri tahap kematian dan kelahiran menjadi rendah. Hal ini
sangat mengganggu pemerintah, dimana pemasukan pemerintah berkurang untuk memberikan
dana pensiun dan kesejahteraan bagi para lansia tersebut. Ditambah lagi tidak adanya
pemasukan yang signifikan karena kurangnya tenaga kerja yang memadai.
Dengan rendahnya angka usia produktif, laju angka perekonomian di Jepang
melambat dan pemerintah Jepang juga jadi mempunyai beban untuk membiayai kesejahteraan
warganya yang sudah berusia senja, dengan kata lain negara akan rugi jika lebih banyak
mengeluarkan biaya untuk membiayai warga yang berusia lanjut daripada pajak yang diterima
dari pendapatan warga usia produktif. Pemerintah banyak melakukan kenaikan pajak bagi para
pekerja karena pemerintah tidak bisa menutupi semua anggaran dan biaya kesehatan bagi para
lansia.23 Banyak yang mengeluh akan kebijakan pemerintah yang menaikkan pajak, kebijakan
ini dianggap bukanlah sebagai solusi bagi permasalahan penduduk di Jepang saat ini. Kenaikan
pajak yang telah dicanangkan pada saat ini hanya akan menambah beban bagi masyarkat
Jepang dalam kehidupan ekonomi mereka.
22 ibid23 The Japan Times, “Consumption Tax Raise Misdirected”,<http://www.japantimes.co.jp/opinion/2013/10/02/editorials/consumption-tax-raise-misdirected/#.VZETgPmqqkp> diakses pada 29 Juni 2015
20
2.2 Kebijakan Shinzo Abe dalam Upaya Meningkatkan Jumlah Kelahiran
Pada tahun 2012, Perdana Menteri Jepang yang baru Shinzo Abe memulai kebijakan
reformasi yang berani dalam upaya mengubah pertumbuhan ekonomi Jepang yang lamban
selama dua dekade terakhir. Salah satu kebijakan “yang tidak biasa” dari Shinzo Abe adalah
berkenaan dengan penanggulangan masalah rendahnya tingkat kelahiran anak dan kurangnya
dukungan terhadap ibu yang bekerja. Kedua hal tersebut dianggap sebagai permasalahan yang
penting di Jepang karena dirasa dapat mengancam tingkat perekonomian Jepang di masa
mendatang. Tren yang terjadi selama 16 tahun belakangan menunjukkan bahwa tingkat
kelahiran anak di Jepang adalah 1,39% dari 1000 perempuan, termasuk salah satu yang
terendah diantara Negara maju lainnya, dan diperkirakan Jepang akan mengalami penurunan
jumlah penduduk sebesar 27% pada tahun 2050.24
Insentif keuangan dan penambahan tempat pengasuhan anak ternyata hanya memiliki dampak
yang minim terhadap peningkatan angka kelahiran anak di Jepang. Melihat kondisi tersebut,
Perdana Menteri Abe Shinzo Abe akhirnya memutuskan untuk membuat beberapa program
tambahan. Program-program tersebut antara lain adalah program perjodohan Kekkon Katsudo
yang didukung oleh pemerintah, peningkatan dukungan pemeliharaan anak (parental support);
peningkatan partisipasi perempuan dalam dunia kerja (womenomics).
1. Parental Support
Pemerintah Jepang menemukan bahwa salah satu alasan mengapa angka kelahiran
semakin menurun adalah dikarenakan besarnya biaya untuk membesarkan anak. Untuk
meningkatkan jumlah kelahiran tersebut, pemerintah Jepang kemudian membuat beberapa
kebijakan dan program yang dapat mengatasi permasalahan tersebut. Beberapa rencana
program yang diajukan pemerintah adalah peningkatan akses terhadap kesehatan. Pemerintah
jepang mulai sadar bahwa sulitnya akses masyarakat untuk mendapatkan fasilitas kesehatan
serta mahalnya biaya pengobatan menjadi hal yang cukup vital dalam mempengaruhi keinginan
seseorang untuk memiliki keturunan. Apabila sudah memiliki anak , mereka akan lebih
membutuhkan akses kesehatan untuk membesarkan anaknya hingga tumbuh dewasa. Proses
24“Japan Revitalization Strategy: Japan is Back”,<http://www.kantei.go.jp/jp/singi/keizaisaisei/pdf/en_saikou_jpn_hon.pdf> diakses pada 24 Juni 2015.
21
kelahiran, pemeriksaan, hingga asupan wajib bagi sang bayi, menjadi alasan utama bagi para
orang tua untuk mengakses fasilitas kesehatan. Selain itu Pemerintah Jepang juga
mengembangkan pusat penanganan permasalahan kesuburan bagi masyarakat, serta
Pemerintah Jepang juga menargetkan untuk meningkatkan jumlah ayah yang mengambil cuti
kerja setelah kelahiran anak. Hal ini di tawarkan pemerintah jepang sebagai gagasan untuk
memberikan kelonggaran dan menaikkan proporsi (jumlah) peran serta Ayah bagi tumbuh
kembang anaknya demi kesejahteraan keluarganya.
Pada 2013, proporsi ayah yang mengambil cuti untuk pemeliharaan anak di Jepang
hanya sebesar 2.03%. Di tahun 2020, pemerintah merencanakan target peningkatan proporsi
ayah yang mengambil cuti pemeliharaan anak sebesar 13% dan proporsi ayah yang mengambil
cuti segera setelah kelahiran anak sebesar 80%.25 Selain mendorong proporsi pengambilan cuti
bagi ayah, pemerintah Jepang juga memberikan dukungan tambahan bagi keluarga dengan
jumlah anak lebih dari tiga orang. Pemerintah Jepang memberikan subsidi dana bagi keluarga
yang memiliki anak lebih dari tiga. Hal ini dilakukan sebagai penghargaan dan bantuan
ekonomi bagi keluarga yang bersedia memiliki dan membesarkan anak lebih dari tiga yang
mana sangat cocok dengan program pemerintah jepang dengan semboyan “Umeyo Fuyaseyo”
(mari meningkatkan kelahiran)
Peningkatan kemudahan akses terhadap fasilitas kesehatan serta pengembangan pusat-
pusat penanganan masalah kesuburan juga sangat gencar digalakkan oleh pemerintah Jepang.
Di Jepang, tingkat kesuburan (rata-rata jumlah anak yang dimiliki seorang perempuan semasa
hidupnya) perempuan menurun dari 4.54 pada tahun 1947, menjadi hanya 1.26 pada tahun
2005. Angka tersebut mulai membaik belakangan ini yaitu sebesar 1.43 di tahun 2013.
Berdasarkan hasil kajian pemerintah mengenai populasi penduduk Jepang, populasi penduduk
Jepang bisa mencapai 100 juta pada tahun 2060 apabila Jepang mampu menaikkan angka
kesuburan penduduk perempuannya menjadi sebesar 1.8 di tahun 2030 dan 2.07 di tahun
2040.26
Oleh sebab itulah, pemerintah Jepang kemudian merencanakan program pembangunan
pusat-pusat penanganan masalah kesuburan bagi masyarakatnya, demi untuk meningkatkan
angka kesuburan perempuan Jepang sesuai dengan target yang telah dicanangkan. Pemerintah
25 Kyodo, Government to support matchmaking, men’s child-rearing to raise birthrate,<http://www.japantimes.co.jp/news/2015/03/13/national/social-issues/government-to-support-matchmaking-mens-child-rearing-to-raise-birthrate/#.VYpfWHYtW_J> diakses pada 29 Juni 2015.
26 Ibid.
22
lokal memberikan dukungan dengan mendirikan yaitu Ibaraki Deai Support Centre.27 Badan
ini didirikan sebagai pusat konsultasi bagi para wanita yang hendak mengkonsultasikan
mengenai kesuburan dan lelaki yang mengkonsultasikan kiat dalam meningkatkan kapasitas
diri. Pusat konsultasi ini juga memberikan pelatihan mengenai kepribadian bagi wanita dan
pria lajang sebagai upaya untuk memperoleh pasangan.
2. Womenomics
Kesenjangan gender di Jepang adalah salah satu yang terbesar di antara negara-negara
maju lainnya. Beberapa pakar ekonomi berpendapat bahwa penurunan tingkat kesenjangan
gender, dalam jangka panjang, akan meningkatkan perekonomian suatu negara. Pemerintahan
Jepang yang dipimpin oleh Perdana Menteri Shinzo Abe sepertinya juga menyadari akan hal
tersebut dan mulai menanggapi permasalahan ini dengan serius pada masa jabatannya. Perdana
Menteri Shinzo Abe kemudian mencanangkan womenomics (women’s economic opportunities)
sebagai salah satu program yang difokuskan pada masa pemerintahannya. Permerintahan
Perdana Menteri Shinzo Abe mencanangkan sebuah semboyan dalam masyarakat jepang untuk
mendukung program tersebut yaitu “Subete no josei ga kagayaku nihon e” yang bermakna
semua wanita memiliki hak untuk bersinar (all women can shine).28 Keputusan Shinzo Abe ini
merupakan cerminan pemerintah Jepang yang masih anti untuk memperlonggar aturan
terhadap pekerja imigran untuk mengisi lapangan pekerjaan di Jepang. Naoko Yoshino, Dekan
dari ASEAN Development Bank Institute menyatakan bahwa sebenarnya Jepang tidak
kekurangan angkatan kerja, dimana banyak wanita Jepang usia produktif yang bisa diandalkan
sebagai salah satu kunci penting dalam pembangunan ekonomi di Jepang, selain itu pemerintah
Jepang pernah mengalami kegagalan ketika mendatangkan tenaga perawat asal Indonesia. 29
Selain itu, banyak diantara pakar ekonomi juga meyakini bahwa peniadaan kesenjangan
gender dapat menyelesaikan permasalahan demografis jangka panjang di Jepang. Populasi
penduduk Jepang terus menurun sejak tahun 2006 dengan penurunan angka kesuburan
perempuan Jepang. Kekhawatiran mengenai kekurangan angkatan kerja mulai bermunculan,
27 Ujikane.Keiko,Shimodoi.Kyoko,’Abe Fund Matchmaking to Ease welfare Bill’THE JAPANTIMES,<http://www.japantimes.co.jp/news/2014/03/20/business/Abe-funds-matchmaking-to-ease-welfare-2bill/#.VUicgPmqqkr>, diakses pada 29 Juni 201528 Macnaughtan. Helen ,The Asia Pasific Journal ,” Womenomics for Japan: is the Abe policy for genderedemployment viable in an era of precarity?”,< http://japanfocus.org/-Helen-Macnaughtan/4302/article.html>diakses pada 05 juli 201529 Mazumdaru. Srinivas, DW, “Abe Reform’s to tackle Japan ageing population issue”,,<http://www.dw.com/en/abes-reforms-to-tackle-japans-ageing-population-issue/a-17736639>, diakses pada 14Oktober 2015
23
ditambah lagi dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk usia lanjut yang membutuhkan
perawatan lebih. Rasio penduduk usia kerja dibandingkan dengan usia pensiun diproyeksikan
menurun dari sebesar 5:2 pada tahun 2010 menjadi 3:2 di tahun 2040, yang tentunya akan
mengurangi sumber pendapatan pemerintah untuk membayar jaminan sosial bagi masyarakat
Jepang.30
Kebijakan imigrasi di Jepang sangatlah terbatas. Hal ini membuat tertutupnya potensi
penambahan sumber tenaga kerja yang baru. Beberapa pakar ekonomi berpendapat bahwa
adanya partisipasi perempuan dalam dunia kerja mampu memperbesar pasar tenaga kerja di
Jepang, serta membantu mengimbangi penyusutan jumlah tenaga kerja yang terjadi di Jepang
akhir-akhir ini. Beberapa pakar ekonomi lainnya bahkan juga berpendapat bahwa partisipasi
perempuan dalam dunia kerja dapat meningkatkan angka kesuburan perempuan di Jepang.
Pengambilan Kebijakan yang dapat menyeimbangkan antara kehidupan keluarga dan karir
dianggap mampu membuat pernikahan dan anak-anak menjadi lebih menarik bagi perempuan.
Terkait dengan permasalahan mengenai kesempatan wanita dalam memperoleh
pekerjaan mempengaruhi minat wanita dalam memiliki keturunan , Perdana Menteri Shinzo
Abe telah mengumumkan bahwa pemerintahannya akan berfokus pada womenomics, atau
peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui reformasi dan kebijakan untuk mendorong
partisipasi dan kemajuan perempuan dalam dunia kerja di Jepang. Beberapa kebijakan utama
yang diajukan oleh pemerintahan Abe adalah sebagai berikut:31
a. Menetapkan target baru dalam hal partisipasi dan kemajuan perempuan dalam
dunia kerja.
b. Mother and child care
c. Meningkatkan ketersediaan tempat penitipan anak (daycare) dan pemeliharaan
anak setelah sekolah (after-school care).
d. Mendorong sektor swasta untuk mempromosikan lebih banyak perempuan dalam
jabatan-jabatan penting di perusahaan serta untuk menyediakan data mengenai
kemajuan perempuan dalam hal tersebut.
30 Lynann Butkiewicz, “Implications of Japan’s Changing Demographics,” National Bureau of Asian Research,Washington, DC, October 2012.
31 “Womenomics: The Core of Japan’s Growth Strategy,” Embassy of Japan, Presentation at CongressionalResearch Service, May 2014; “Revision of Japan Revitalization Strategy: 10 Key Reforms,” June 2014,provided by the Embassy of Japan.<http://www.kantei.go.jp/jp/singi/keizaisaisei/pdf/honbunEN.pdf> diaksespada 10 juli 2015
24
e. Merekrut dan mempromosikan perempuan dalam pemerintahan.
f. Memperluas manfaat pengambilan cuti kerja untuk mengurus anak.
g. Meninjau pajak dan sistem jaminan sosial.
h. Mengizinkan pembantu rumah tangga asing dalam zona ekonomi khusus.
Berbagai upaya tersebut dilakukan pemerintah Jepang untuk meningkatkan minat
masyarakat terutama para wanita untuk memiliki keluarga dan keturunan lebih dari satu anak.
Pemerintah Jepang melalui program program yang bersifat mendukung perekonomian serta
meningkatkan tingkat kesejahteraan ini diharapkan dapat menghilangkan berbagai stereotipe
yang berkembang yang menurunkan minat masyarakat untuk melakukan pernikahan dan
memiliki keturunan.
2.3 Kekkon Katsudo
Kekkon katsudo merupakan istilah yang menjadi familiar setelah sosiolog Masahiro
Yamada menulis buku tentang generasi orang-orang Jepang sekarang ini. Program ini
merupakan ajang untuk menjodohkan pria dan wanita Jepang dengan tujuan agar mereka
segera menikah dan mempunyai anak.
Secara bahasa, kekkon berarti pernikahan dan katsudo adalah kegiatan. Singkatnya,
kekkon katsudo atau yang biasa disingkat konkatsu adalah sebuah ajang perjodohan yang di
adopsi dari konsep perjodohan Omiai yang sudah di laksanakan sejak era Showa.
2.3.1 Asal Mula Kekkon Katsudo
Awal mula Kekkon Katsudo bisa dirunut kembali hingga tahun 2003, dimana kala itu
situs perjodohan online mulai menjamur di Jepang. Ada beberapa situs perjodohan online yang
menjadi pionir seperti “Bridal Net” dan “Excite”. Di tahun 20015, Yahoo juga meluncurkan
situs perjodohan online. Pada tahun 2007 istilah “konkatsu” diperkenalkan dan dipergunakan
untuk pertama kali dalam sebuah artikel di majalah Aera dalam rangka meningkatkan angka
pasangan yang menikah. Setahun kemudian terbit sebuah buku berjudul “Generasi pencari
jodoh” yang ditulis oleh Momoko Shirakawa dan Masahiro Yamada. Yamada juga orang yang
yang mempopulerkan istilah “Parasite Single” yang merujuk pada orang di akhir 20 yang
masih tinggal bersama orang tua. Dan juga sering digunakan sebagai konotasi negative untuk
25
wanita Jepang yang belum menikah.32
Kekkon Katsudo yang pada awalnya di inisiasi melalui situs perjodohan online,
kemudian semakin popular hingga banyak bermunculan biro pencari jodoh yang mengadakan
acara dimana para pria dan wanita Jepang yang masih lajang dapat bertemu dan mencari
pasanganya melalui interaksi langsung. Kekkon Katsudo menjadi semakin populer dimana
makin menjamurnya situs perjodohan online, kafe dan acara TV yang mengambil tema Kekkon
Katsudo. Kekkon Katsudo menjadi populer di mata masyarakat Jepang dan menjadikan
masyarakat Jepang menerima ide Kekkon Katsudo.
Di tahun 2011 Kekkon Katsudo mengalami puncaknya hingga tahun 2011 disebut
sebagai “Earthquake marriage” (shinsai kon). Dimana bencana alam Tsunami dan gempa
bumi di Tohoku memunculkan gairah di masyarakat Jepang untuk menikah.33
Sejak populernya istilah untuk Kekkon Katsudo di tahun 2007, masyarakat Jepang
mulai menerima kenyataan bahwa banyak diantara mereka yang belum menikah. Sejak saat itu
pula masyarakat Jepang mulai terbuka mengenai perjodohan dan tidak merasa malu untuk
mendatangi biro jodoh untuk mendapatkan pasangan, dimana sebagian besar penduduk Jepang
sadar bahwa mereka terlalu sibuk dengan karir mereka sehingga jodoh tidak akan datang
dengan sendirinya.
Karena kepopuleran Kekkon Katsudo diantara masyarakat Jepang inilah yang
menyadarkan pemerintah Jepang bahwa Kekkon Katsudo merupakan salah satu strategi jitu
untuk mengatasi penurunan angka kelahiran di Jepang. Pada tahun 2012 pemerintah Jepang
melalui pemerintah lokal dan insititusi public mulai aktif dalam kegiatan Kekkon Katsudo
dengan berbagai cara, seperti menyediakan tempat untuk bertemu, mengadakan seminar,
seperti yang dilakukan di kota Miura dimana dalam acara Kekkon Katsudo juga di isi dengan
seminar mengenai perlunya melanjutkan generasi petani yang semakin langka di Miura, atau
seperti yang dilakukan oleh pemerintah kota Chiba, dimana para pasangan diinapkan di sebuah
resort di Disney Land.34
32Lenna, “The Economic of Marriage Hunting”,<http://www.tofugu.com/2014/02/25/the-economics-of-marriage-hunting/> ,diakses pada 21 oktober 201533 Warnock. Eleanor,JAPAN REALTIME, “Why Does Japan Need marriageHunting”,<http://blogs.wsj.com/japanrealtime/2015/01/29/why-does-japan-need-marriage-hunting/>,diaksespada 21 oktober 201534 Lenna, “The Economic of Marriage Hunting”,<http://www.tofugu.com/2014/02/25/the-economics-of-marriage-hunting/> ,diakses pada 21 oktober 2015
26
2.3.2 Implementasi Kekkon Katsudo pada Masa Pemerintahan Shinzo Abe
Pada masa pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe, Pemerintah Jepang sangat
bersungguh- sungguh dan serius dalam upaya meningkatkan jumlah kelahiran. Pemerintahan
Shinzo Abe sangat menyadari bahwa meningkatkan angka pernikahan merupakan salah satu
hal yang vital dan penting untuk didukung, sebagai upaya dalam mencapai peningkatan angka
kelahiran. Pemerintahan Shinzo Abe telah mantap memutuskan untuk mengeluarkan dana
sebesar 300 juta ¥ dalam rangka mendanai program peningkatan angka kelahiran anak.
Berbagai program tersebut diwujudkan dengan memberikan jasa dalam mempertemukan
pasangan yang dilaksanakan oleh pemerintah lokal yaitu Kekkon Katsudo. Tidak hanya itu
pemerintah juga menganggarkan biaya konsultasi pernikahan dan informasi untuk mereka
yang masih lajang demi kesuksesan program perjodohan ini. Pemerintah lokal daerah kini
dapat mengajukan permohonan dana kepada pemerintah pusat hingga 40 juta Yen untuk
mengadakan berbagai program yang berkaitan dengan peningkatan jumlah pernikahan dan
menambah angka kelahiran. Berkat bantuan dana dari pemerintah pusat, program kekkon
katsudo ini mulai aktif berjalan bukan hanya di kota besar seperti Tokyo, tetapi juga di daerah
rural.35 Meskipun begitu pemerintah daerah berharap adanya komitmen jangka panjang dari
pemerintah pusat terkait bantuan dana ini, karena anggaran dari pemerintah pusat hanya
berlaku untuk satu tahun saja.
Kekkon katsudo merupakan bentuk Modernisasi dari Omiai yang dilaksanakan oleh
pemerintah lokal melalui badan yang sudah terlembaga untuk mengakomodasi para muda mudi
yang berminat untuk mendapatkan pasangan hidupnya. Program ini merupakan program
pemerintah untuk menjodohkan pria dan wanita Jepang dengan tujuan agar mereka segera
menikah dan mempunyai anak. Pemerintah Jepang tidak hanya memberikan jasa dalam
mempertemukan pasangan, namun juga menganggarkan biaya konsultasi pernikahan dan
informasi untuk mereka yang masih lajang demi kesuksesan program perjodohan ini sekitar
300 juta Yen. Pemerintah Jepang sangat serius dalam menjalankan program yang di percaya
dapat meningkatkan jumalah kelahiran ini. Beberapa program yang di jalankan tersebut adalah
berupa akses informasi dan konsultasi pernikahan serta acara perjodohan lokal.
35 Demetriou.Dannielle, The Telegraph, “Tokyo Funds Matchmaking partie to boost birthrate”,<http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/asia/japan/10711847/Tokyo-funds-matchmaking-parties-to-boost-birth-rate.html> , diakses pada 16 oktober 2015
27
Menurut survei oleh Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri, sejak diadakan
program ini, ada sekitar 3.800 perusahaan di industri perjodohan nasional, dengan 600.000
anggota terdaftar yang mengikuti program perjodohan ini. Dalam hal ini pemerintah juga
dibantu dengan adanya layanan dari Yahoo agar para pengguna layanan ini dapat terhubung
dengan mudah secara online dengan meluncurkan layanan perjodohan Yahoo Enmusubi.
Dengan situs online ini diharapkan warga Jepang akan lebih mudah dalam mencari pasangan
karena mereka dapat membuat akun dan memilih karakter pasangan yang diinginkan dimana
saja hanya menggunakan gadget mereka. Merekapun dapat mendaftarkan diri ke industri
perjodohan lainnya untuk memperluas pandangan mereka. Khusus untuk klien perempuan,
setiap bulannya mereka dipertemukan dengan kandidat calon pasangan yang potensial, lalu
mereka menghadiri pesta atau seminar dengan topik seperti sopan santun dan komunikasi.
Mereka juga bebas mendapatkan perawatan di salon dan studio foto.
Banyak pihak terbantu dengan adanya program ini karena mereka menilai
keefisiensinya dimana mereka tidak perlu susah payah mencari pasangan, mereka hanya perlu
mendiskripsikan pasangan yang mereka inginkan, kemudian mereka akan dipertemukan
dengan kandidat, dan semua keputusan ada ditangan kandidat pasangan tersebut.
Akhir-akhir ini, di Jepang ada yang disebut dengan pesta omiai (perjodohan) yang
diperuntukan bagi muda mudi yang masih lajang agar dapat menemukan pasangannya. Hal ini
memunculkan jasa konkatsu (Kekkon Katsudo) yang menjadikan konkatsu sebagai bisnis,
misalnya "asa konkatsu" yang diperuntukkan para orang sibuk yang sering lembur sampai
malam. Ada juga "kursi konkatsu" kursi spesial pada saat menonton pertandingan baseball,
dimana pria dan wanita yang tidak saling mengenal bisa duduk dan menonton bersebelahan.
Ada pula sebuah kuil di Tokyo yang menawarkan acara “Doa Konkatsu”. Kemudian ada
sebuah kantor cabang di Tokyo mengatur perjalanan kencan ke restoran dan akuarium. Bahkan
ada sebuah pembuat pakaian dalam telah membuat bra konkatsu yang dilengkapi jam berdetik
yang dapat dihentikan dengan memasukkan cincin pertunangan.36 Berbagai macam cara
dikerahkan untuk membuat program seefektif mungkin dan bisa menjodohkan sebanyak
mungkin pasangan. Dalam hal ini pemerintah Jepang berusaha melakukan ajang perjodohan
bagi warga negaranya untuk meningkatkan peluang pernikahan dan meningkatkan keinginan
untuk menikah di kalangan masyarakat, khususnya bagi kaum muda. Ajang perjodohan ini
36Miho Inada, Japan Has a New Name for the Mating Game:Konkatsu,<http://www.wsj.com/articles/SB124623617832566695> diakses pada 5 agustus 2015.
28
dikelola oleh pemerintah lokal, dimana para pemuda lajang diperkenalkan satu sama lain dalam
sebuah suasana yang romantis yang diperuntukkan agar kedua pemuda lajang tersebut dapat
mengenal lebih dalam dan menuju kepada hubungan yang lebih serius.
Pengimplementasian konkatsu pun dilakukan melalui pendidikan kepribadian. Ada
beberapa sekolah yang menawarkan berbagai kelas untuk calon pasangan yang masih lajang
pada saat banyak orang di Jepang merasa sangat sulit untuk berhubungan dengan pasangan.
Sekolah yang terbuka untuk pria dan wanita ini mengajarkan siswanya bagaimana berbicara,
berjalan dan menampilkan diri dengan elegan dalam upaya untuk merebut hati dan pikiran
calon pasangan dan orangtua mereka, yang seringkali merupakan kendala utama menuju
jenjang pernikahan. Guru-guru di sekolah ini memberikan pelajaran mengenai cara berpakaian,
postur tubuh dan bahkan rincian seperti bagaimana mereka menyilangkan kaki atau cara yang
anggun saat keluar dari mobil. Laki-laki diajarkan keterampilan yang berbeda, yang berkisar
dari cara mengatur meja dengan baik dan bagaimana menjadi lebih ekspresif. Hal yang
berkaitan dengan kepribadian ini seringkali merupakan kendala utama menuju jenjang
pernikahan. Program ini dipandang sebagai usaha untuk dapat meningkatkan jumlah pasangan
dengan membangun kepribadian yang menarik bagi suatu individu yang masih lajang agar
mendapatkan pasangan. Dalam rangka mencari pasangan hidupnya, puluhan masyarakat
Jepang antusias dalam menghadiri sekolah yang baru diluncurkan di Tokyo yang bertujuan
untuk membawa mereka ke jenjang pelaminan. Sekolah Ini menawarkan berbagai kelas untuk
calon pasangan membentuk kepribadian yang dapat meningkatkan kualitas diri untuk
mempersiapkan calon pasangan melalui program perjodohan yaitu Kekkon Katsudo .37
2.3.3 Respon Masyarakat Jepang Terhadap Kekkon Katsudo
Meskipun banyak warga Jepang yang setuju dan telah mengikuti program perjodohan
ini, namun program ini tampaknya tidak mampu menarik hati seluruh warga Jepang yang masih
lajang. Dan dapat dikatakan jika program yang diusulkan Perdana Menteri Shinzo Abe ini
gagal menaikkan angka kelahiran di Jepang yang semakin menurun dalam beberapa dekade
ini. Hal ini terbukti dengan masih kurangnya minat warga Jepang yang menikah di usia muda,
sementara menikah dan mempunyai anak di usia muda memiliki kemungkinan yang lebih besar
dalam memiliki anak yang lebih banyak. Meskipun ada pasangan yang menikah melalui
program Konkatsu ini, pasangan tersebut belum tentu mau atau mampu memiliki anak. Oleh
37 Sekolah Pemburu Cinta ,< http://www.jepang.net/2010/03/sekolah-pemburu-cinta.html> diakses pada 5Agustus 2015
29
karena itu, proses dari berjalannya konkatsu sampai ke lahirnya anak dinilai sebagai suatu jalur
atau proses yang panjang dan ada banyak kemungkinan yang menyebabkan tidak terjadinya
kelahiran seorang anak di antara proses tersebut. Dalam beberapa tahun setelah diadakannya
program Kekkon Katsudo ini, nyatanya angka kelahiran di Jepang tidak menunjukkan hasil
yang cukup signifikan seperti yang diinginkan. Berdasarkan wawancara yang dilakukan
peniliti terhadap Hirokazu Kubo yang merupakan Atase Kebudayaan Kedutaan Besar Jepang,
Tingkat keberhasilan Konkatsu sangat rendah yang hanya meningkatkan kelahiran sebanyak
0,7 %.38
Program Kekkon katsudo menerima berbagai macam respon dari masyarakat jepang,
berikut ini merupakan respon pro terhadap kekkon katsudo :
1. Menurut sebagian masyarakat Jepang layanan perjodohan seperti Kekkon Katsudo ini
sangat bagus dan akan memfasilitasi bagi orang-orang yang tengah mencari pasangan,
karena mereka akan bertemu dengan sesama pencari jodoh. Mereka akan mendapatkan
pasangan dalam layanan tersebut disaat para muda mudi lajang menghadiri acara
pertemuan dalam perjodohan Kekkon Katsudo tersebut.
2. Peserta yang mengikuti sesi Konkatsu akan bertemu dengan orang-orang dengan situasi
dan pandangan terhadap perjodohan yang relatif sama sehingga akan ada lebih banyak
kemungkinan untuk bertemu pasangan yang tepat sesuai yang diinginkan.
3. Konkatsu dinilai sebagai jalan pintas menuju pernikahan dengan cara perjodohan
terbuka. Akan ada lebih banyak pasangan yang menikah setelah berlangsungnya
konkatsu dan perkenalan lebih jauh selama beberapa waktu.
4. Dapat dilihat dalam beberapa tahun belakangan tingkat kelahiran di Jepang sangatlah
menurun, Sehingga jika melalui program Konkatsu akan berguna dalam meningkatkan
pernikahan, maka di prediksikan bahwa tingkat kelahiran juga akan meningkat seriring
dengan bertambahnya jumlah pernikahan.
Selain pendapat dari masyarakat Jepang yang pro terhadap Kekkon Katsudo , juga terdapat
berbagai pendapat yang kontra terhadap program ini, antara lain :
1. Beberapa lapisan masyarakat ada yang berpendapat bahwa layanan program konkatsu
memakan biaya yang sangat sehingga apabila semakin lama berjalan, biaya yang
38 Kubo. Hirokazu , Atase Kebudayaan Bagian Penerangan & Kebudayaan Kedutaan Besar Jepang(2015,Agustus 2014) , wawancara pribadi .
30
diperlukan akan semakin besar dan memakan anggaran negara yang dapat dipergunakan
untuk memperbaiki infrastruktur.
2. Sepertinya bukanlah hal yang baik jika orang-orang menghabiskan waktunya untuk
terfokus kepada konkatsu atau dalam proses pencarian pasangan, masyarakat akan
menjadi kurang produktif terhadap pekerjaannya.
3. Beberapa masyarakat yang kontra terhadap Konkatsu berpendapat bahwa pasangan yang
bertemu dalam konkatsu tidak dapat mengharapkan rasa ketertarikan dalam suatu
pertemuan yang bermakna dkarenakan pertemuan tersebut bukanlah suatu takdir, tetapi
adalah satu pertemuan yang direncanakan.