pendahuluan a. latar belakang masa transisi demokrasi di

75
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di Indonesia pada kurun waktu 1999-2008 merupakan momentum yang tepat bagi pemerintah untuk mengevaluasi berbagai kebijakan yang kurang memperhatikan aspirasi masyarakat seperti yang telah terjadi pada masa rezim pemerintahan sebelumnya. Studi ini dilakukan untuk mempelajari tujuan-tujuan negara serta keterlibatan lembaga-lembaga negara dalam mengatur pengusaha dalam bisnis industri tepung terigu pada era reformasi di Indonesia selama kurun waktu 1999-2008. Dalam rangka terselenggaranya kesempatan berusaha yang sama dan menghapus monopoli atau penguasaan atas produksi dan pemasaran barang/jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha, negara memiliki kewenangan menyusun kebijakan yang diharapkan dapat mengawasi struktur, tingkah laku dan kinerja pelaku usaha. Menurut Viscusi, Vernon dan Harrington, negara melalui pemerintah memiliki kewenangan dalam menetapkan suatu kebijakan melalui perangkat regulasi, karena kunci sumber daya (the key of resource) dari pemerintah adalah kekuatannya yang memaksa (power to coerce). 1 Salah satu kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah era reformasi dalam rangka mengatur pelaku usaha adalah kebijakan persaingan usaha dengan Undang-Undang No. 5 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai dasar hukumnya. Undang-Undang ini ditujukan untuk melindungi kepentingan pelaku usaha dan konsumen dari kekuatan pelaku usaha dominan. Salah satu kasus yang menunjukkan adanya unsur kekuatan perusahaan dominan dalam industri tepung terigu nasional adalah kekuatan P.T. Indofood Sukses Makmur Divisi Bogasari Flour Mills 1 W. Kip Viscusi, John M. Vernon and Joseph E. Harrington, Jr., Economic of Regulation And Antitrust, Second Edition, Cambridge, Massachusetts London, England : The MIT Press, 1995, p. 307. Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Upload: trandan

Post on 12-Jan-2017

236 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di Indonesia pada kurun waktu 1999-2008

merupakan momentum yang tepat bagi pemerintah untuk mengevaluasi berbagai

kebijakan yang kurang memperhatikan aspirasi masyarakat seperti yang telah

terjadi pada masa rezim pemerintahan sebelumnya. Studi ini dilakukan untuk

mempelajari tujuan-tujuan negara serta keterlibatan lembaga-lembaga negara

dalam mengatur pengusaha dalam bisnis industri tepung terigu pada era

reformasi di Indonesia selama kurun waktu 1999-2008.

Dalam rangka terselenggaranya kesempatan berusaha yang sama dan

menghapus monopoli atau penguasaan atas produksi dan pemasaran

barang/jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha,

negara memiliki kewenangan menyusun kebijakan yang diharapkan dapat

mengawasi struktur, tingkah laku dan kinerja pelaku usaha. Menurut Viscusi,

Vernon dan Harrington, negara melalui pemerintah memiliki kewenangan dalam

menetapkan suatu kebijakan melalui perangkat regulasi, karena kunci sumber

daya (the key of resource) dari pemerintah adalah kekuatannya yang memaksa

(power to coerce).1

Salah satu kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah era reformasi

dalam rangka mengatur pelaku usaha adalah kebijakan persaingan usaha

dengan Undang-Undang No. 5 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai dasar hukumnya. Undang-Undang ini

ditujukan untuk melindungi kepentingan pelaku usaha dan konsumen dari

kekuatan pelaku usaha dominan. Salah satu kasus yang menunjukkan adanya

unsur kekuatan perusahaan dominan dalam industri tepung terigu nasional

adalah kekuatan P.T. Indofood Sukses Makmur Divisi Bogasari Flour Mills

1 W. Kip Viscusi, John M. Vernon and Joseph E. Harrington, Jr., Economic of Regulation

And Antitrust, Second Edition, Cambridge, Massachusetts London, England : The MIT Press, 1995, p. 307.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 2: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

(disingkat Bogasari Flour Mills), sebagai industri strategis penyedia bahan

pangan, yang menguasai bisnis tepung terigu di Indonesia selama lebih dari tiga

dasawarsa.

Selanjutnya penelitian ini difokuskan untuk mempelajari kekuatan negara

dalam mengatur industri tepung terigu nasional untuk tetap berada dalam koridor

dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat dan beberapa kebijakan pemerintah lainnya,

yang ditujukan bagi kepentingan semua pihak, baik pengusaha, pemerintah dan

khususnya masyarakat.

Industri tepung terigu di Indonesia merupakan sebuah industri strategis

nasional yang dibangun melalui sebuah regulasi yang ketat berdasarkan SK

Menteri Perdagangan No. 21 Tahun 1971. Isi Surat Keputusan Menteri

Perdagangan yang dikeluarkan pada tanggal 9 Juli 1971 itu menetapkan Bulog

sebagai satu-satunya lembaga yang berhak melakukan impor gandum dan

tepung terigu, serta mendistribusikannya ke seluruh wilayah Indonesia.

Krisis pangan yang terjadi di Indonesia pada akhir tahun 1960-an

memaksa rezim Orde Baru di bawah kendali Soeharto membuat kebijakan

ketahanan pangan, diantaranya melalui kegiatan produksi tepung terigu secara

mandiri, setelah sebelumnya mengimpor tepung terigu dari Amerika Serikat dan

negara-negara Eropa.

Teknis pengadaan dan pendistribusian tepung terigu selama masa Orde

Baru, dilakukan melalui penunjukkan secara eksklusif Bogasari Flour Mills oleh

Badan Urusan Logistik (Bulog) tanpa melalui proses tender. Setelah gandum

diproduksi menjadi tepung terigu oleh Bogasari Flour Mills, selanjutnya tepung

terigu tersebut dijual kembali kepada Bulog untuk didistribusikan ke suluruh

wilayah Indonesia.

Pada era reformasi, dalam rangka mengatur pelaku usaha, khususnya

pelaku usaha di bidang industri tepung terigu, pemerintah sebenarnya

pemerintah telah memiliki berbagai macam peraturan perundang-undangan yang

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 3: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

akan digunakan sebagai payung hukum dalam mengatur masyarakat. Namun

permasalahan yang terjadi dalam tatanan praktis adalah justeru terjadi

inkonsistensi pemerintah dalam melaksankan setiap kebijakan yang telah

ditetapkan sebelumnya.

Industri tepung terigu di Indonesia merupakan industri yang strategis

dalam memberikan kontribusi terhadap pembangunan. Dari sisi kebijakan

ketahanan pangan (food security), keterbatasan bahan pangan beras dewasa ini

dapat digantikan oleh tepung terigu yang memiliki kandungan kalori yang cukup

signifikan sebagai bahan pangan pengganti beras. Berdasarkan data dari BPS

dan Bulog, angka konversi yang digunakan untuk menghitung ekuivalen kalori

tepung terigu terhadap beras adalah 0,97 jauh lebih baik dibandingkan ubi jalar

0,27 dan ubi kayu 0,30. Meskipun masih di bawah jagung yang memiliki

kandungan kalori ekuivalen 1,00 sama dengan beras.2

Kebijakan pemberian hak produksi tepung terigu secara eksklusif dari

Bulog kepada Bogasari Flour Mills dilatarbelakangi oleh kedekatan secara pribadi

antara Soeharto dan Lim Sioe Liong yang sudah terjalin sejak lama. Penunjukkan

monopoli produksi tepung terigu secara eksklusif kepada Bogasari Flour Mills

pada masa Orde Baru lebih didasarkan untuk membina kekuatan pribadi antara

Soeharto dan Lim Sioe Liong. Perkenalan Soeharto dengan pengusaha etnik

Tionghoa Lim Sioe Liong terjalin sejak tahun 1957, ketika Soeharto menjabat

sebagai Komandan Divisi Diponegoro. Selama periode 1957-1974, perusahaan-

perusahaan yang dimiliki oleh Lim Sioe Liong berasosiasi dengan Divisi

Diponegoro, terlebih ketika perwira militernya menduduki posisi sentral dalam

konstelasi kekuasaan di Indonesia. 3

Apabila melihat arah perekonomian nasional, sebagaimana yang

diamanatkan dalam UUD 1945, perekonomian ditujukan bagi kemakmuran

2 L.A. Mears dan S. Moeljono, “Kebijakan Pangan”, dalam Anne Both dan Peter McCawley, Ekonomi Orde Baru, Jakarta: LP3ES, 1985, h. 77.

3 Iswandi, Bisnis Militer Orde Baru: Keterlibatan ABRI Dalam Bidang Ekonomi dan Pngaruhnya Terhadap Pembentukan Rezim Otoriter, Bandung: Perkenalan Soeharto dengan Lim Sioe Liong terjalin sejak tahun 1957, ketika Soeharto menjabat sebagai Komandan Divisi Diponegoro. Selama periode 1957-1974, perusahaan-perusahaan berasosiasi dengan Divisi Diponegoro, terlebih ketika perwira militernya menduduki posisi sentral dalam konstelasi kekuasaan di Indonesia.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 4: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

seluruh masyarakat, bukan bagi kemakmuran individu atau kelompok individu

tertentu saja. Artinya sistem perekonomian sebagaimana tercantum dalam UUD

1945, mengandung prinsip keseimbangan, keselarasan serta memberikan

kesempatan berusaha yang sama, adil, merata bagi setiap warga negara.4

GBHN 1993 mengamanatkan bahwa negara tidak menghendaki

terjadinya persaingan tidak sehat serta pemusatan kekuatan ekonomi pada satu

kelompok masyarakat tertentu dalam berbagai bentuk monopoli maupun

monopsoni, yang dapat merugikan masyarakat. Menurut GBHN, pemusatan

kekuatan ekonomi oleh kelompok masyarakat bertentangan dengan cita-cita

keadilan sosial.

Demokrasi ekonomi secara tegas menolak segala bentuk konsentrasi

kekuatan dan kekuasaan ekonomi. Demokrasi ekonomi menurut Sri Edi

Swasono tidak menghendaki konglomerasi kekuasaan dan kekuatan ekonomi.

Kekuatan dan kekuasaan ekonomi harus tersebar merata di tangan rakyat

secara keseluruhan. Perekonomian rakyatlah yang harus bangun, bukan

konglomerat.5

Proses industrialiasi di Indonesia selama di bawah pemerintah rezim

Orde Baru, tidak memiliki kebijakan dan landasan hukum yang mengikat tentang

larangan praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat. Pada masa

Orde Baru, larangan praktek monopoli hanya bagian dari Undang-undang No. 5

Tahun 1984 tentang Perindustrian. Pada masa itu, belum ada aturan yang

membatasi praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat secara jelas dan

komprehensif, baik dari sisi definisi praktek monopoli, persaingan usaha tidak

sehat, mekanisme penetapan sanksi maupun lembaga yang khusus menangani

perkara praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

4 Lihat Proses Pembahasan Rancangan Undang-undang Tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 1999, h. 102.

5 Lihat Sri Edi Swasono dalam Pembangunan Politik, Situasi Global dan Ham, Kumpulan Esei Guna Menghormati Prof. Miriam Budiardjo: Akhlak Demokrasi: Politik, Ekonomi dan Bisnis, Jakarta: P.T. Gramedia Utama, 1994, h. 311.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 5: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

Pemerintah Orde Baru masih memfokuskan diri untuk melakukan

berbagai kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang membuka kemudahan

berinvestasi, tetapi belum sampai pada tingkat pengaturan hubungan antar

pelaku usaha dalam suatu industri, melalui penetapan undang-undang

persaingan usaha.6

Menurut Mohtar Mas’oed, hal yang sangat menyolok dalam kehidupan

politik Indonesia sebelum era reformasi adalah lembaga eksekutif selalu

menempati posisi utama dalam proses kebijaksanaan. Sementara lembaga

legislatif tidak memiliki kekuasaan sebesar lembaga eksekutif. Lebih lanjut

Mohtar Mas’oed menjelaskan bahwa proses pembuatan kebijaksanaan

Pemerintah rezim Orde Baru diwarnai oleh tiga gaya, yaitu gaya pembuatan

kebijaksanaan yang teknokratik, politik dan klientelistik.7

Mohtar Mas’oed selanjutnya menjelaskan yang dimaksud dengan proses

pembuatan kebijaksanaan dengan gaya atau bersifat teknokratik adalah proses

pembuatan kebijaksanaan yang dijalankan berlandaskan nilai-nilai teknokratik

seperti rasionalitas dan efisiensi. Sementara proses pembuatan kebijaksanaan

dengan gaya atau bersifat politik adalah proses pembuatan kebijaksanaan yang

dijalankan berdasarkan kepada kepentingan kelembagaan untuk membina

kelompok pendukung atau sekutu, atau apabila proses pembuatan

kebijaksanaan melibatkan ”tawar-menawar” (bargaining) diantara beberapa

aktor-aktor politik yang saling bersaing. Proses pembuatan kebijaksanaan

dengan gaya atau bersifat klientelistik adalah proses pembuatan kebijaksanaan

yang ditujukan untuk membina kekuatan pribadi.8

6 Lihat kembali Risalah Resmi yang disampaikan oleh Rambe Kamarul Zaman, Ketua

Pansus RUU tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 1999.

7 Lihat penjelasan Mohtar Mas’oed, Tiga Model Pembuatan Kebijaksanaan di Indonesia, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru, 1966-1971 (Jakarta : LP3ES, 1989, h. 265).

8 Ibid, Menurut Mohtar Mas’oed, contoh dari kebijakan yang bersifat teknokratik adalah kebijakan alokasi dana pembangunan melalui program Pembangunan Lima Tahun (PELITA). Sementara contoh dari kebijakan yang bersifat politik adalah kebijakan alokasi dana melalui program Instruksi Presiden (INPRES). Sementara contoh dari kebijakan klientelistik adalah sikap pemerintah Orde Baru yang memperhatikan secara khusus kalangan pengusaha besar yang dianggap sebagai elemen penting dalam mendukung proses pembangunan yang dijalankan pemerintah Orde Baru.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 6: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

Kelemahan institusionalisasi dalam membangun proses politik yang

demokratis, menyebabkan hubungan pribadi menjadi mekanisme utama dalam

hubungan sosial, politik, ekonomi serta hubungan manusia lintas aspek

kehidupan. Kelemahan institusionalisasi hubungan lintas aspek kehidupan itu

antara lain memberi peluang kepada berlangsungnya hubungan kolusi antara

penguasa politik dengan pengusaha.

Penyederhanaan (penciutan) sistem pengawasan atas nama sentralisasi

kekuasaan, yang terkombinasi secara tidak rasional ttanan birokrasi negara,

memotivasi hubungan kolusif di antara penguasa politik dan pengusaha untuk

berkembang menjadi proses yang berskala besar dan berbobot, sehingga

mampu mengancam kehidupan masyarakat-bangsa-negara. Kelemahan

institusionalisasi dan kontrol melandasi terjadinya berbagai bentuk krisis di

Indonesia dewasa ini, sebagaimana tercermin dalam krisis moneter, krisis

persaingan usaha yang sehat, dan krisis kepercayaan politik masyarakat

terhadap pemerintah.

Oleh karena itu apabila membahas sejarah perkembangan kapitalisme di

Indonesia, khususnya pada saat Orde Baru, kita akan dihadapkan oleh suatu

kenyataan tentang rentannya sebuah eksistensi aktivitas konglomerasi kaum

kapitalis oleh pengaruh kepentingan kekuatan-kekuatan politik rezim penguasa

Orde Baru. Artinya aktivitas konglomerasi yang dilakukan oleh kapitalis lokal,

baik kapitalis pribumi maupun kapitalis etnik Tionghoa, sehingga mereka mampu

menguasai sumberdaya-sumberdaya ekonomi di Indonesia, disebabkan karena

mereka berkolusi dengan birokrasi rezim Orde Baru.

Proses industrialisasi yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia sejak

Orde Baru sampai saat ini tidak sepenuhnya merupakan aktivitas murni sebuah

perusahaan yang memadukan sumberdaya-sumberdaya ekonomi yang didukung

oleh pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen secara ketat.

Sejalan dengan pemikiran Yoshihara Kunio, perkembangan

industrialisasi di negara-negara yang menggantungkan hidupnya kepada agen

asing dan kekuatan rezim penguasa yang korup seperti halnya Indonesia hanya

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 7: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

akan menghasilkan kapitalisme semu (ersatz capitalisme), karena kekuatan

utama sebagian besar para kapitalis di Indonesia lebih disebabkan oleh

dukungan politik, bukan karena kemampuan entrepreneurship.9

Menurut Faisal H Basri (2002), anggota Komisi Pengawas Persaingan

Usaha (KPPU) periode 2000-2005, banyaknya praktek monopoli dan persaingan

usaha tidak sehat dalam dunia usaha Indonesia yang terjadi selama Orde Baru

setidak-tidaknya disebabkan oleh lima hal. Pertama, lingkungan ekonomi-politik

yang tidak mendukung dan bernuansa pekat dengan praktek korupsi, kolusi, dan

nepotisme (KKN) antara pengusaha dengan Pemerintah, terutama praktek

monopoli dalam perburuan rente ekonomi (economic rent seeking). Faktor

pertama inilah yang menjadi penyebab utama sulitnya menerobos benteng kolusi

melalui sistem legal yang ada.10

Kedua, meskipun dasar dari aspek legal tersebut telah ada, seperti

ditegaskan oleh undang-undang industri tadi, tetapi Pemerintah mempraktekan

kebijakan sebaliknya. Kebijakan-kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan

Pemerintah banyak mendorong atau bahkan merancang langsung praktek

monopoli. Tentu saja semua praktek itu tidak berdiri sendiri, melainkan

berhubungan dengan praktek kolusi antara Pemerintah sebagai patron dan

segelintir pengusaha pemburu rente sebagai kliennya.11

Ketiga, semangat yang sudah formal masuk di dalam undang-undang

industri tersebut tidak berjalan karena tidak ada aturan yang lebih detail dan

menjelaskan tentang bagaimana larangan praktek monopoli tersebut

dilaksanakan. Tidak adanya peraturan Pemerintah dan petunjuk pelaksanaannya

9 Lihat Yoshihara Kunio, The Rise of Ersatz Capitalisme in South-East Asia, Singapore:

Oxford University Press, 1988. 10 Faisal H Basri dalam Press Release Renungan awal Tahun Komisi Pengawas

Persaingan Usaha (KPPU), Menelaah Persaingan Usaha Indonesia 2001: Merajut Benang Kusut Antara Moral, Perilaku dan Carut-Marutnya Kebijakan, Jakarta, 2001.

11 Dari butir kedua pemikiran ekonomi politik Faisal H Basri ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa Pemerintah Orde Baru tidak mampu menjalankan kebijakan dengan konsisten. Implementasi kebijakan menjadi kontraproduktif dengan harapan publik. Pemerintah Orde Baru telah gagal menjalankan pemenuhan kebutuhan masyarakat sesuai dengan prinsip pilihan publik.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 8: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

telah menyebabkan semangat normatif tidak terinstruksikan dan tidak dapat

diimplementasikan.12

Keempat, meskipun larangan anti praktek monopoli tersebut telah

tercantum di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Industri, tetapi

tidak ada badan atau institusi yang berwenang melaksanakannya. Itu berarti

bahwa legalitas yang ada tidak bermakna bagi perbaikan sistem untuk

membebaskan bisnis dari praktek monopoli. Hal ini disebabkan karena tidak ada

yang mampu melakukan eksekusi jika terjadi praktek bisnis tidak sehat yang

tidak dikehendaki undang-undang industri tersebut.

Kelima, bisnis dan sistem ekonomi-politik secara keseluruhan banyak

dilakukan dengan praktek monopoli, persaingan usaha tidak sehat, sekaligus

rente ekonomi. Oleh karena itu, dunia usaha di Indonesia didominasi usaha

konglomerasi karena praktek bisnis pada umumnya dilakukan secara tidak

jujur.13

Masalah hukum persaingan usaha di Indonesia merupakan masalah yang

cukup tertinggal di Indonesia apabila dibandingkan dengan negara-negara lain.

Sehingga tidak mengherankan apabila masalah keadilan dan pemerataan hasil

pembangunan menjadi masalah ekonomi dan politik yang serius di Indonesia.

Kesenjangan ekonomi dan dominasi kalangan pengusaha tertentu telah menjadi

isyu yang banyak dikaji oleh masyarakat.

Pada dekade pertengahan 1990-an, masalah kelembagaan dan hukum

persaingan mulai dipersoalkan dan dianggap sebagai kebutuhan mutlak dalam

aktivitas usaha atau bisnis di era moderen seperti dewasa ini. Apabila Indonesia

hendak memasuki pasar moderen yang terbuka, maka aturan main yang

mengatur larangan praktek monopoli dan persaingan usaha yang sehat multak

dilembagakan. Keperluan terhadap regulasi yang mengatur hubungan antara

negara dan pengusaha semakin mendesak seiring aktivitas perekonomian yang

12 Menurut pandangan Faisal H Basri, dalam Press Release KPPU tahun 2001, praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat ini disebabkan tidak ada undang-undang yang khusus mengatur persaingan usaha di Indonesia.

13 Pokok-pokok permasalahan yang timbul di seputar dunia bisnis di Indonesia menurut pandangan Faisal H Basri dalam Press Release KPPU tahun 2001 tersebut akhirnya melahirkan ketidakadilan dalam perekonomian.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 9: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

semakin cepat untuk menghindari praktek-praktek bisnis yang antipemerataan

dan antikeadilan.

Di negara-negara berkembang seperti Indonesia yang kurang demokratis,

biasanya sistem politiknya cenderung tertutup dan sangat mempengaruhi

terhadap sistem ekonominya. Sistem politik otoriter menyebabkan kebijakan-

kebijakan ekonomi yang dibuat oleh pemerintah menjadi kurang memperhatikan

kepentingan masyarakat, tetapi lebih mementingkan kepentingan kelompok

pelaku usaha tertentu. Relasi politik diaplikasikan ke dalam relasi ekonomi,

sehingga sistem ekonomi juga berkembang tidak demokratis. Elit dengan

lingkaran kecil yang tertutup berpotensi menguasai sumber-sumber daya yang

ada, sehingga memunculkan konsentrasi bisnis pada kalangan terbatas.

Akses terhadap sumberdaya-sumberdaya ekonomi yang potensial di

Indonesia pada masa Orde Baru hanya dikuasai oleh kalangan pengusaha

tertentu yang jumlahnya sangat terbatas. Perilaku ekonomi yang diturunkan dari

perilaku politik seperti ini kemudian bermuara pada sistem penguasaan pasar

yang monopolis. Ketiadaan regulasi yang mengatur persaingan usaha yang

sehat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi tidak mengandung

aspek keadilan dan pemerataan.

Negara-negara yang sedang melaksanakan moderenisasi seperti

Indonesia yang ditandai oleh aktivitas industrialisasi senantiasa menimbulkan

kosekuensi munculnya korupsi dan monopoli pada sektor industri tertentu.

Korupsi dan monopoli terjadi karena industrialisasi menciptakan sumber

kekayaan dan kekuasaan baru. Korupsi di negara-negara berkembang lainnya

biasanya dilakukan secara besama-sama oleh pemegang kekuasaan politik dan

pengusaha, dan dilakukan tidak hanya pada awal-awal industrialisasi, tetapi

kolaborasi tersebut tetap dapat dilakukan sampai industrialisasi berakhir.14

14 Lihat, McMullan, “A Theory of Corruption”, The Sociological Review, July 1961, p. 196.

Untuk menjelaskan kerusakan negara akibat korupsi yang terjadi di Indonesia, modus operandinya dilakukan oleh kapitalis politik dengan menyuap para penguasa politik supaya memperoleh sejumlah proyek tertentu. Kekuasaan politik ada kalanya digunakan untuk mengumpulkan kekayaan seperti yang dilakukan oleh pejabat-pejabat rezim Orde Baru, dan adakalanya kekayaan dapat juga digunakan untuk memperoleh kekuasaan politik, seperti yag terjadi pada Pilkada di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota di era reformasi dewasa ini.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 10: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

Pada era reformasi, dalam upaya menjamin keberlangsungan persaingan

usaha yang kondusif, negara memerlukan sebuah lembaga khusus, yang

bertugas mengawasi jalannya persaingan usaha. Lembaga negara yang

berkompeten dalam mengawasi persaingan usaha di Indonesia adalah Komisi

Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU merupakan sebuah lembaga

independen yang bertugas mengawasi jalannya Undang-Undang No. 5 Tahun

1999 tentang Larangan Praktek monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Saat ini, secara khusus KPPU masih terus mengawasasi perilaku Bogasari Flour

Mills, karena Bogasari Flour Mills merupakan perusahaan yang memiliki pangsa

pasar di atas 50%, yang dikhawatirkan melakukan penyalahgunaan posisi

dominan untuk melakukan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.

Menurut KPPU, pangsa pasar tepung terigu yang dikuasai Bogasari Flour

Mills tahun 1998 sebesar 80,5%, tahun 1999 sebesar 65%, dan tahun 2000

sebesar 67,9%. Posisi dominan yang dilakukan oleh Bogasari Flour Mills ini

dikhawatirkan akan menurunkan daya beli konsumen dan menutup kesempatan

berusaha bagi produsen yang ingin masuk ke industri tepung terigu nasional.

Berdasarkan informasi dari Ensiklopedi Tokoh Indonesia per tanggal 24 Agustus

2006, pangsa pasar Bogasari Flour Mills rata-rata per tahun sebesar 70 %.

Sementara total omset yang dimiliki Bogasari Flour Mills pada tahun 2006

sebesar Rp 4,5 triliun, dengan total aset perusahaan sebesar Rp 3,2 triliun.

Lembaga-lembaga negara yang ikut terlibat dalam bisnis tepung terigu di

Indonesia pada era reformasi sudah semakin berkembang. Salah satunya dalah

Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Sebelum terjadi pemisahan antara

Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan, KADI adalah sebuah

lembaga pemerintah di bawah Departemen Perindustrian dan Perdagangan

(Depperindag). Secara politik, KADI banyak membela kepentingan produsen

domestik, termasuk kepentingan Bogasari Flour Mills. Saat ini KADI merupakan

lembaga Komisi Anti Dumping yang berada di bawah Departemen Perdagangan.

Sebagai lembaga yang berusaha melindungi kepentingan produsen

dalam negeri, terkadang KADI melakukan tindakan-tindakan yang cenderung

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 11: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

berseberangan dengan semangat persaingan usaha dengan memberikan

berbagai rekomendasi hambatan masuk (barriers to entry) melalui pengenaan

tarif bea masuk terhadap produk-produk impor.

Salah satu rekomendasi KADI kepada Menteri Keuangan Boediono yang

menyulut konflik antara Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)

dan Depperindag adalah rekomendasi penetapan Bea Masuk Anti Dumping

(BMAD) tepung terigu impor dari Australia, Uni Eropa dan Uni Emirat Arab yang

terjadi pada periode 2000-2001. Menurut pandangan Bappenas, keputusan

Menteri Keuangan yang dibuat berdasarkan rekomendasi KADI tersebut hanya

akan menguntungkan Bogasari Flour Mills sebagai produsen besar tepung terigu

di Indonesia. Pada tanggal 23 Oktober 2001 Menperindag Rini Soewandi

mengirim surat kepada Menkeu Boediono untuk menunda pemberlakuan BMAD

tersebut.15

Perbedaan pandangan antara Bappenas dan Depperindag menyangkut

BMAD pada dasarnya dilatarbelakangi oleh perbedaan motivasi antara

Bappenas dan Depperindag. Bappenas lebih menitikberatkan kepentingan

ketersediaan pasokan tepung terigu bagi masyarakat. Sehingga apabila tepung

terigu impor dikenakan BMAD dalam prosentase yang sangat tinggi, maka

dikhawatirkan akan mengganggu ketersediaan tepung di pasar domestik yang

sangat dibutuhkan masyarakat, terutama pada hari-hari besar keagamaan

seperti bulan Ramadhan dan Idul Fitri.

Sedangkan Depperindag lebih lebih mempertimbangan aspek

perlindungan terhadap produsen lokal yang hanya memiliki pangsa pasar kecil.

Depperindag beralasan, apabila BMAD tidak dikenakan, maka industri tepung

terigu skala kecil akan merugi, karena tidak dapat bersaing dengan tepung terigu

impor.

Pada tahun 2008, konflik-konflik kepentingan politik dan ekonomi dalam

lingkungan internal industri tepung terigu di Indonesia semakin terbuka. Hal ini

15 Lihat reaksi Bappenas atas rekomendasi KADI terhadap Menteri Keuangan Boediono

tentang perberlakuan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dalam http://www.kompas.com, Selasa, 30 April 2002, p.1-2.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 12: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

dipicu oleh kebijakan Departemen Perindustrian di bawah kendali Fahmi Idris

yang menetapkan Peraturan Menteri Perindustrian No. 2 Tahun 2008 tentang

Pencabutan Penerapan SNI Secara Wajib Tepung Terigu. Isi Peraturan Menteri

Perindustrian tentang pencabutan SNI Wajib Tepung Terigu tersebut pada

prinsipnya dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat akibat kenaikan

harga gandum dan tepung terigu di pasar internasional.

Kebijakan Menteri Perindustrian yang mencabut SNI Wajib Tepung Terigu

diharapkan akan mengurangi beban biaya produksi industri tepung terigu lokal,

sehingga harga jual yang ditetapkan produsen lebih murah. Dengan harga jual

tepung terigu yang lebih rendah, diharapakan dapat meringankan beban

masyarakat maupun pengusaha kecil dan menengah (UKM).

Sedangkan Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (APTINDO)

menyesalkan kebijakan Menteri Perindustrian tentang pencabutan SNI Wajib

Tepung Terigu ini, karena kebijakan pencabutan SNI dianggap mengorbankan

program nasional guna peningkatan gizi bangsa dan dianggap tidak efektif untuk

menurunkan harga di tingkat konsumen.16

Menurut Ratna Sari Loppies, Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen

Tepung Terigu Indonesia (APTINDO), dari sisi kesempatan berusaha, era

reformasi menciptakan industri tepung terigu nasional menjadi lebih kompetitif

dan terbuka, status perusahaan-perusahaan penggilingan gandum berubah

menjadi sebuah industri yang terintegrasi dengan perusahaan-perusahaan

pengguna tepung terigu, setelah Bulog tidak menangani tata niaga tepung terigu

di Indonesia. Maka, pengadaan dan pendistribusian tepung terigu di Indonesia

pascaderegulasi pangan sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar.17

Selanjutnya Ratna Sari Loppies menyatakan bahwa perubahan struktur

pasar industri tepung terigu di Indonesia dari struktrur pasar monopoli ke

persaingan mengharuskan produsen tepung terigu nasional mengelola

16 Lihat Press Release Sikap APTINDO Atas SK Menteri Perindustrian RI No. 2 Tahun

2008 tentang Pencabutan Penerapan SNI Wajib Tepung Terigu, Jakarta, 1 Februari 2008, h. 1. 17 Lihat Laporan Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (APTINDO) tahun 2005,

Aptindo, Jakarta.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 13: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

pengadaan bahan baku gandum sendiri, tanpa bantuan dari pemerintah. Selain

itu, produsen tepung terigu nasional harus bersaing dengan tepung terigu impor

yang harganya relatif lebih murah dibandingkan tepung terigu lokal. Perubahan

sistem bisnis tepung terigu secara cepat pascaderegulasi pangan ini menurut

Ratna Sari Loppies merupakan konsekuensi yang harus dihadapi oleh produsen

tepung terigu nasional.18

Setidak-tidaknya terdapat 3 (tiga) permasalahan yang sedang dihadapi

oleh industri tepung terigu nasional liberalisasi pangan; pertama, permasalahan

pasar dalam negeri berupa praktek perdagangan yang tidak sehat seperti

dumping, praktek under invoicing, dan impor fiktif. 19 Saat ini Indonesia

merupakan negara importir ketiga terbesar di dunia setelah Yaman dan Libya.

Aktivitas impor tepung terigu yang terlalu besar berdampak negatif

terhadap utilisasi produsen tepung terigu nasional yang semakin rendah yaitu

58%. Selain itu, kegiatan impor yang terlalu besar, rawan tidak terpenuhinya

peraturan labelling, sertifikasi halal, dan Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi

tepung terigu yang masuk ke pasar Indonesia sesuai dengan Peraturan

Menperindag No. 153 Tahun 2001 tentang Penerapan SNI Wajib Tepung Terigu

sebagai bahan makanan.

Kegiatan impor tepung terigu secara ilegal, rawan melanggar Peraturan

Menkes No. 962 Tahun 2003 tentang Fortifikasi Tepung Terigu. Fortifikasi tepung

terigu adalah penambahan zat nutrisi berupa zat besi (Fe), seng (Zn), Vitamin B1

dan B2, dan asam folat. pada tepung terigu yang bertujuan untuk meningkatkan

kualitas gizi pangan masyarakat Indonesia. Namun demikian, kedua Peraturan

18 Dalam wawancara dengan Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Tepung Terigu

Indonesia (APTINDO), tanggal 11 September 2007, disebutkan bahwa deregulasi pangan di satu sisi memberikan iklim persaingan yang lebih sehat, tetapi di sisi lain berdampak negatif terhadap perusahaan tepung terigu baru yang memiliki pangsa pasar kecil seperti Sriboga Raturaya, Panganmas Inti Persada, karena harus menanggung beban biaya yang begitu besar akibat krisis moneter.

19 dumping adalah tindakan menurunkan harga suatu produk sampai pada tingkat harga tertentu yang dilakukan oleh suatu perusahaan dalam upaya menjatuhkan pesaing. Under invoicing adalah tindakan menurunkan nilai transaksi jual beli suatu barang dari nilai yang sesungguhnya, sebagai upaya untuk menghindari pajak. Under invoicing merupakan tindakan kejahatan dalam ekonomi, karena negara dirugikan dengan kehilangan pendapatan pajak. Sedangkan impor fiktif adalah kegiatan pemalsuan dokumen impor yang dilakukan oleh pelaku usaha.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 14: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

Menteri tadi, mendapatkan kritik dari KPPU karena dinilai sebagai upaya

hambatan masuk (barriers to entry) sehingga berpotensi terjadinya monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat dalam industri tepung terigu nasional.

Kedua, Masalah pasar ekspor, dimana saat ini masih banyak negara-

negara di kawasan Asia yang melakukan hambatan masuk (barrier to entry) bagi

produk tepung terigu Indonesia. Ketiga, masalah internal persaingan usaha

sesama produsen tepung terigu nasional akibat dominasi Bogasari Flour Mills,

terutama dugaan aktivitas integrasi vertikalnya.

Pengaturan pemerintah dalam tatakelola industri tepung terigu selalu

memunculkan pro dan kontra. Peraturan Menperindag No. 153 Tahun 2001

tentang penerapan SNI Wajib Tepung Terigu dan Peraturan Menkes No. 962

Tahun 2003 tentang Fortifikasi Tepung Terigu dari sisi jaminan keamanan dan

pemenuhan gizi tepung terigu patut diberikan apresiasi positif oleh masyarakat

dan produsen tepung terigu nasional. Tetapi apabila dilihat dari kaca mata

pesaing, kebijakan Menkes dan Menperindag ini dapat diartikan sebagai bentuk

perlindungan pemerintah produsen lokal dari persaingan global.

Kebijakan penerapan SNI Wajib Tepung Terigu dapat menghambat

pelaku usaha di luar produsen lokal lainnya untuk dapat bersaing. Untuk

memperoleh sertifikasi SNI Wajib Tepung Terigu dari pemerintah diperlukan

biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen. Seandainya kebijakan sertifikasi

SNI dilakukan untuk menghambat masuk produsen baru, maka negara secara

tidak langsung telah memberikan hak monopoli secara legal (legal monopoly).20

Merujuk kepada Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pasal 17, Ayat 2 tentang

20 Lihat, Risalah proses pembuatan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pasal 51, h. 1594. Negara atau pemerintah dapat memberikan hak monopoli kepada BUMN-BUMN yang menyediakan barang-barang atau jasa publik yang dibutuhkan oleh masyarakat, seperti pemberian hak monopoli penyediaan energi listrik kepada PLN, air minum kepada PDAM, jaringan telefon untuk rumah tangga kepada TELKOM, dan beberapa BUMN lainnya. Monopoli atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi atau pemasaran barang dan jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur oleh undang-undang dan diselenggarakan oleh BUMN atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 15: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

Kegiatan yang Dilarang, pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan

monopoli apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha

menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang

atau jasa. Artinya penguasaan pangsa pasar Bogasari Flour mills yang rata-rata

sebesar 70 % rentan terhadap penyalahgunaan posisi dominan.

Menurut APTINDO, pangsa pasar industri tepung terigu di Indonesia pada

tahun 2007 dikuasai oleh Bogasari Flour Mills sebesar 65,11% atau ekivalen

dengan 2.549.820 Mton, Berdikari Sari Utama sebesar 13,25% atau ekivalen

dengan 519.035 Mton, Sriboga Raturaya sebesar 4,48% atau ekivalen dengan

175.253 Mton dan Panganmas sebesar 2,57% atau ekivalen dengan 100.803

Mton, tepung terigu impor sebesar 14,58% atau ekivalen dengan 571.119 Mton.

Tabel 1.1. Pangsa Pasar Industri Tepung Terigu di Indonesia 2007

No. Nama Perusahaan Jumlah Penjualan (MTon) Pangsa Pasar (%)

1 Bogasari Flour Mills 2.549.820 65,11 2 Berdikari Sari Utama 519.035 13,25 3 Sriboga Raturaya 175.253 4,48 4 Panganmas Inti Persada 100.803 2,57 5 Tepung Terigu Impor 571.119 14,58

TOTAL 3.916.030 100

Sumber : APTINDO, 2008.

Di tengah dugaan praktek monopoli dan penyalahgunaan posisi dominan

dalam bisnis tepung terigu di Indonesia oleh Bogasari Flour Mills, pihak produsen

tepung terigu terbesar di dunia ini memberikan sanggahan. Franciscus Welirang,

Vice Presiden Director P.T. Indofood Sukses Makmur sebagai holding company

divisi usaha Bogasari Flour Mills, menolak anggapan sebagian masyarakat

bahwa Bogasari Flour Mills telah melakukan praktek monopoli dalam industri

tepung terigu di Indonesia.

Welirang memberikan dua alasan. Pertama, bahwa industri tepung terigu

harus memiliki kekuatan. Kedua, Bogasari Flour Mills bukan satu-satunya

perusahaan yang memproduksi tepung terigu di Indonesia. Menurutnya,

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 16: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

disamping Bogasari Flour Mills, setidak-tidaknya terdapat tiga perusahaan

lainnya yang sama-sama mendapatkan izin produksi dari pemerintah, yaitu P.T.

Berdikari Sari Utama (sekarang P.T. Eastern Pearl Flour Mills), P.T. Sriboga

Raturaya, P.T. Panganmas Inti Persada, dan. Keunggulan pangsa pasar

Bogasari Flour Mills lebih didasari oleh strategi penjualan dan kualitas produksi,

sehingga pasar menentukan siapa yang terbaik.21

Campur tangan negara dalam industri tepung terigu di Indonesia

didasarkan atas beberapa pertimbangan diantaranya adalah: pertama, industri

tepung terigu nasional adalah industri strategis penyedian komoditi pangan

pokok kedua setelah beras. Saat ini total konsumsi tepung terigu di Indonesia

rata-rata 3,3 juta ton, dan diperkirakan akan terjadi peningkatan yang signifikan

dari tahun ke tahun seiring perubahan pola konsumsi pangan masyarakat

Indonesia.

Kedua, investasi 4 (empat) produsen tepung terigu nasional mencapai Rp

6,8 triliun dan menyerap lebih kurang 4.000 tenaga kerja. Ketiga, industri tepung

terigu nasional memberikan kontribusi terhadap negara yang cukup besar

melalui PPN (Pajak Pertambahan Nilai) rata-rata Rp 550 miliar per tahun.

Keempat, industri tepung terigu nasional unggul dalam skala ekonomi (economic

of scale) dan teknologi mutakhir sehingga menjadi industri yang efisien, dan

berpotensi menurunkan tingkat biaya produksi rata-rata setiap tahun.

Industri tepung terigu nasional perlu mendapatkan perhatian yang

terintegrasi dari pemerintah mulai dari industri hulu sampai dengan industri hilir,

tanpa mengenyampingkan unsur-unsur persaingan usaha yang sehat.

Permasalahan dunia usaha di Indonesia juga disebabkan oleh peran birokrasi

yang gagal menjalankan fungsi pelayanan yang transparan.

Ketika suatu aturan ditetapkan, birokrat yang seharusnya mengawasi

jalannya aturan, justeru bersikap kontraproduktif, terlibat kolusi dengan kalangan

pengusaha. Hal ini disebabkan birokrat di Indonesia tidak mengetahui akan

21 Franciscus Wilerang dalam

http://www.sinarharapan.co.id/ceo/2002/071/ceo1.html.p.2of3

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 17: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

pentingnya pasar, rasionalitas ekonomi dan deregulasi untuk perbaikan

kegagalan pasar itu sendiri, tetapi terbiasa dengan budaya dilayani dan

kompromi dengan pihak-pihak tertentu untuk memperoleh keuntungan pribadi

masing-masing.22

Semangat untuk membangun sistem usaha di Indonesia yang mampu

memberikan rasa keadilan kepada setiap pelaku usaha muncul setelah

berakhirnya kekuasaan rezim Orde Baru. Lembaga legislatif pada era reformasi

mulai aktif mengusulkan regulasi atau undang-undang yang mampu memberikan

perlindungan kepada pengusaha kecil dan menengah. Pada tahun 1998, dalam

Sidang Istimewa MPR telah disahkan TAP MPR No.16/1998 tentang upaya untuk

mewujudkan aturan antipraktek monopoli. Hal ini membuktikan bahwa pada

masa reformasi, negara mulai memperhatikan aspek-aspek keadilan dalam dunia

usaha di Indonesia.

Setidak-tidaknya terdapat 3 (tiga) alasan mengapa studi hubungan

negara dan pengusaha industri tepung terigu nasional menarik untuk diteliti lebih

lanjut. Pertama, pembangunan industri tepung terigu nasional dilandasi

hubungan patron-klien antara Soeharto sebagai penguasa rezim Orde Baru

dengan Soedono Salim sebagai pemilik Bogasari Flour Mills yang sudah terjalin

erat secara pribadi sejak lama, sehingga sulit bagi negara untuk menghapus

dominasi Bogasari Flour Mills dalam industri tepung terigu nasional.23

Kedua, desakan masyarakat dan keberanian inisiatif DPR RI

pascareformasi untuk segera menyusun undang-undang persaingan usaha

22 Ibid, h. 111, menurut Didik sejauh ini masih banyak terlihat proses birokrasi yang

berbelit-belit, baik di tingkat pusat maupun daerah. Pada masa otonomi daerah, desentralisasi sesungguhnya merupakan reformasi pemerintahan, tetapi di Indonesia peoses perubahan sikap mental birokrasi masih berjalan lambat.

23 Industri tepung terigu dibangun di bawah regulasi yang ketat melalui SK Menteri Perdagangan N0.21/KP/VII/1971, tanggal 9 Juli 1971. Dalam SK Menteri Perdagangan tersebut menetapkan Bulog sebagai satu-satunya distributor dan importer gandum dan terigu. Lihat kembali penjelasan Mohtar Mas’oed, dari tulisannya yang berjudul tiga model pembuatan kebijaksanaan di Indonesia, dalam Indonesian Economy and Political Structure during the early New Order, 1966-1971 (Ann Arbor, Michigan : University Microfilms International, 1983), yang diterjamahkan dalam buku Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru, 1966-1971 (Jakarta : LP3ES, 1989, h. 184-185), dijelaskan bahwa salah satu gaya pembuatan kebijaksanaan selama Orde Baru adalah gaya pembuatan kebijaksanaan klientelistik, yaitu penetapan kebijaksanaan yang ditujukan untuk membina kekuatan pribadi antara penguasa dan pengusaha.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 18: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

merupakan perubahan politik baru dalam sejarah penyusunan undang-undang di

Indonesia. Selain itu, pada era reformasi ini DPR sebagai lembaga legislasi di

Indonesia sudah memiliki keberanian untuk mengontrol lembaga eksekutif.

Ketiga, kebijakan ketahanan pangan (food security) pemerintah berupa

program diversifikasi pangan dari komoditi beras ke komoditi tepung terigu,

menuntut konsistensi dari pemerintah, mengingat komoditi pangan tidak hanya

berfungsi sebagai kebutuhan pokok hidup manusia, tetapi juga berfungsi sebagai

komoditas politik (political goods), dimana harga dan ketersediannya mampu

mempertahankan sekaligus meruntuhkan legitimasi pemerintah di mata

masyarakat.

B. Pokok Permasalahan Pokok permasalahan dalam politik pengelolaan industri tepung terigu

nasional pada era reformasi adalah munculnya konflik antarlembaga dan

pelemahan posisi tawar-menawar (bargaining position) pemerintah dihadapan

Bogasari Flour Mills sebagai produsen dominan dalam pengelolaan penyediaan

tepung terigu bagi masyarakat Indonesia. Menguatnya posisi tawar-mawar

Bogasari Flour Mills dalam penyediaan komoditas tepung terigu, disebabkan oleh

pelepasan tanggungjawab pemerintah (Bulog) dalam penyediaan tepung terigu

kepada swasta berdasarkan Keppres No. 19 Tahun 1998 tentang Liberalisasi

Pangan.

Dalam Keppres No. 19 Tahun 1998 tersebut, Bulog melepas

tanggungjawab pengelolaan tepung terigu dan beberapa komoditas pangan

lainnya seperti gula pasir, kacang kedelai, dan minyak goreng kepada

mekanisme pasar atau kepada pihak swasta. Komoditas pangan yang sampai

tahun 2008 ini penyediaannya masih menjadi tanggungjawab Bulog hanya beras.

Dengan demikian sejak tahun 1998, komoditas pangan tepung terigu, gula pasir,

kacang kedelai dan minyak goreng, penyediannya diserahkan kepada

mekanisme pasar.

Faktor-faktor yang menjadi sumber kekuatan politik Bogasari Flour Mills

dan beberapa produsen tepung terigu lainnya dalam mendukung program

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 19: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

diversifikasi pangan yang dicanangkan pemerintah adalah kekuatan

sumberdaya-sumberdaya ekonomi yang dimiliki Bogasari Flour Mills.

Sumberdaya-sumberdaya yang paling utama dimiliki oleh Bogasari Flour Mills

adalah kekuatan sumberdaya modal berupa finansial yang sangat besar.

Sehingga Bogasari Flour Mills mampu membangun pabrik dan infrastruktur yang

sangat besar dan lengkap. Kemampuan sumber modal yang sangat besar itulah

yang membuat perusahaan ini mampu mempertahankan penguasaan pangsa

pasar tepung terigu di Indonesia selama tiga puluh tahun lebih.

Kekuatan pangsa pasar (market share) Bogasari Flour Mills bersama

produsen dalam negeri lainnya yaitu Panganmas, Sriboga dan Berdikari (Eastern

Pearl Flour Mills) dalam penyediaan tepung terigu per tahun rata-rata 85%.

Sementara pangsa pasar impor per tahun rata-rata hanya 15%. Artinya

keberhasilan program ketahan pangan (food security) yang berupa penyediaan

tepung terigu bagi masyarakat sangat bergantung kepada kesiapan produsen

tepung terigu dalam negeri, khususnya kesiapan Bogasari Flour Mills.

Seandainya pemerintah mengalihkan seluruh kebutuhan tepung terigu nasional

kepada produk impor, maka setiap tahun pemerintah harus mengeluarkan devisa

kurang lebih Rp 12 triliun.

Kekuatan sumberdaya modal dan kemampuan penyediaan tepung terigu

yang sangat besar merupakan kekuatan poliik Bogasari dalam industri tepung

terigu nasional. Selain itu, program diversifikasi pangan yang dicanangkan

pemerintah, yang menghimbau masyarakat supaya mengkonsumsi produk

olahan tepung terigu sebagai konsumsi alternatif beras, secara tidak langsug

kebijakan diversifikasi pangan ini akan memperkuat posisi tawar-menawar

(bargaining position) Bogasari Flour Mills di hadapan pemerintah. Hal ini

disebabkan karena kemampuan penyediaan tepung terigu nasional hampir 70%

merupakan hasil produksi Bogasari Flour Mills.

Agenda reformasi pangan yang ditetapkan pemerintah melalui Keppres

RI No. 19 Tahun 1998 tentang Liberalisasi Pangan, yang mencabut hak

monopoli Bulog dalam penyediaan berbagai komoditi pangan non beras, secara

politik mempengaruhi hubungan negara dan pengusaha dalam bisnis tepung

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 20: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

terigu di Indonesia. Keppres RI No. 19 Tahun 1998 tersebut mengandung makna

terjadi pengalihan tanggungjawab negara dalam pengadaan tepung terigu

kepada pihak swasta dengan mekanisme pasar sebagai sistem atau acuan pola

pengadaan tepung terigu di Indonesia.

Peran negara dalam menciptakan persaingan usaha yang sehat pada era

reformasi dilakukan melalui penetapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Undang-undang yang memayungi perjalanan bisnis di Indonesia ini merupakan

produk undang-undang yang pertama kali dihasilkan berdasarkan usul inisiatif

murni DPR yang selama ini selalu di bawah kendali lembaga eksekutif.

Peran DPR bersama pemerintah dalam menetapkan undang-undang

persaingan usaha merupakan bentuk perlindungan negara terhadap setiap

pengusaha yang berbisnis di Indonesia. Peran negara dalam menetapkan

Undang-undang No. 5 Tahun 1999 diharapkan berdampak positif terhadap

pemerataan pendapatan dan kesempatan berusaha yang sama kepada seluruh

masyarakat seperti yang diamantkan oleh UUD 1945, bahwa kesejahteraan

merupakan hak seluruh masyarakat Indonesia, bukan hak segelintir kelompok

pengusaha.

Industri tepung terigu di Indonesia identik dengan monopoli Bogasari

Flour Mills yang selalu mendapat perlakuan istimewa dari pemerintah Orde Baru.

Stigma negatif ini terus terbawa sampai saat ini, akibat terlalu lamanya rezim

Orde Baru memberikan kemudahan terhadap Bogasari Flour Mills. Kalangan

internal Bogasari pun mengakui bahwa perusahaan yang dikelolanya merupakan

perusahaan stigmatik yang sulit dilepaskan dari pengaruh rezim Orde Baru,

meskipun pada era reformasi ini, pengaturan industri tepung terigu nasional

sudah berubah seiring deregulasi pemerintah dari monopoli Bulog ke mekanisme

pasar.24

24 Dalam wawancara dengan Roland Taunay, Public Relation Manager P.T. Indofood

Sukses Makmur, Tbk., Divisi Bogasari Flour Mills, Juni 2007, Taunay mengakui sulit bagi Bogasari Flour Mills untuk dapat keluar dari stigma negatif masyarakat sebagai perusahaan yang mendapat perlakuan istimewa pemerintah Orde Baru. Padahal menurut Taunay Keppres RI No. 19 Tahun 1998 yang mengatur pencabutan monopoli Bulog dalam impor gandum di akhir kekuasaan rezim

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 21: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

Pada tahun 1999, Pemerintah RI di bawah kepemimpinan B.J. Habibie

bersama DPR RI menetapkan Undang-undang No.5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-undang

ini merupakan landasan hukum dalam mengatur hubungan antara negara dan

pengusaha di Indonesia. Undang-undang ini memiliki kekuatan hukum yang tetap

dan strategis bagi perbaikan kondisi persaingan usaha di Indonesia yang penuh

dengan distorsi berupa praktek monopoli dan praktek-praktek persaingan usaha

yang tidak sehat seperti persekongkolan tender dan lain-lain.

Panitia Khusus RUU tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat (disingkat RUU Persaingan Usaha) diketuai oleh Rambe

Kamarul Zaman dari Fraksi Karya Pembangunan (FKP), dengan wakil ketua

Marzuki Achmad dari FKP, Samsoedin dari Fraksi ABRI (FABRI), Muhsin Bafadal

dari Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP), dan Anthonius Rahail dari Fraksi

Partai Demokrasi Indonesia (FPDI).

Dalam setiap menyusun RUU Persaingan Usaha, anggota Pansus RUU

mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan rapat-rapat lainnya

dengan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia beserta

pejabat di jajaran Depperindag, kalangan swasta yaitu Direksi P.T. Indofood

Sukses Makmur, dan kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pada

dasarnya undang-undang kebijakan persaingan usaha di Indonesia ini ditujukan

untuk mengatur warga negaranya yang terlibat dalam interaksi perekonomian

agar tetap dalam koridor yang telah ditetapkan demi kesejahteraan rakyat.

Undang-undang persaingan usaha sebagai payung hukum utama

kebijakan persaingan usaha di Indonesia memiliki 2 (dua) pokok pertimbangan

penting. Pertama, sesuai amanat UUD 1945, sistem perekonomian nasional

menganut prinsip keseimbangan, keselarasan, dan memberi kesempatan

Orde Baru tersebut, justeru membuat industri tepung terigu nasional termasuk Bogasari Flour Mills harus menanggung resiko biaya produksi yang jauh lebih besar karena produsen dalam negeri harus bertanggung jawab terhadap pengadaan impor gandum, pengolahan gandum menjadi tepung terigu, sekaligus pemasarannya di tengah depresiasi nilai tukar rupiah yang menurun tajam dan kondisi perkonomian yang tidak menentu pascareformasi.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 22: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

berusaha yang sama, adil dan merata bagi setiap warga negara. Prinsip

kesamaan merupakan hak dasar bagi setiap warga, selain itu negara juga

memiliki kewajiban untuk melindungi golongan ekonomi lemah agar mampu

bersaing secara wajar dengan golongan ekonomi kuat. Kedua, adanya praktek-

praktek monopoli yang sudah terjadi selama ini ternyata telah merusak sistem

perekonomian, dan telah menimbulkan struktur pasar yang tidak sehat dan

perilaku usaha yang anti persaingan, sehingga merugikan pengusaha

kecil/lemah serta rakyat/konsumen pada umumnya.25

Sikap inkonsistensi kebijakan pegelolaan industri tepung terigu nasional

terletak pada ketidakselarasan antarlandasan hukum kebijakan yang mengatur

pelaku usaha di Indonesia. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang

Persaingan Usaha sebagai payung hukum utama dalam pengaturan bisnis di

Indonesia, seharusnya menjadi rujukan kebijakan-kebijakan yang mengatur

persaingan usaha di semua sektor bisnis.

Salah satu contoh ketidakselarasan kebijakan pengelolaan bisnis tepung

terigu adalah ketetapan Surat Keputusan Menperindag No. 153 Tahun 2001

tentang Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib Tepung Terigu yang cenderung

menguntungkan produsen dominan dalam negeri. Apabila pemberlakuan SNI

Wajib Tepung Terigu dilakukan secara tidak transparan, maka kebijakan ini dapat

menjadi hambatan masuk (barrier to entry) terhadap tepung terigu yang

dihasilkan produsen lain yang belum memiliki sertifikasi SNI. Diperlukan

sosialisasi dan transparansi dalam pemeberlakuan SNI tepung terigu di

Indonesia.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha yang

merupakan landasan hukum utama dalam mengatur persaingan usaha di

Indonesia, seharusnya dijadikan landasan hukum oleh kebijakan-kebijakan

lainnya, termasuk Peraturan Menperindag No. 153 Tahun 2001 tentang SNI

25 Lihat kembali Risalah-Risalah Resmi yang tertuang dalam Proses Pembahasan

Rancangan Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Jakarta : Setjend DPR RI, 1999.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 23: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

Wajib Tepung Terigu dalam mengatur produsen tepung terigu di Indonesia untuk

bersaing secara sehat.

Peraturan Menperindag No. 153 Tahun 2001 justeru cenderung

kontraproduktif dengan semangat undang-undang persaingan usaha, karena

Peraturan Menperindag No. 153 Tahun 2001 tersebut apabila ditetapkan secara

tidak transparan, maka akan menghambat jalannya persaingan usaha yang

sehat. Peraturan Menperindag No. 153 Tahun 2001 mengharuskan seluruh

produsen tepung terigu di Indonesia memenuhi SNI dalam tempo waktu yang

relatif singkat.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menafsirkan bahwa

kebijakan SNI Wajib Tepung Terigu ini sebagai salah satu bentuk hambatan

masuk (barrier to entry). Karena tepung terigu impor atau perusahaan baru yang

tidak sesuai dengan ketentuan SNI Wajib Tepung Terigu yang ditetapkan

Depperindag tidak diperbolehkan masuk ke pasar Indonesia. Padahal tepung

terigu impor yang masuk ke Indonesia mungkin telah memenuhi standar

pemenuhan nutrisi yang sama dengan tepung terigu yang dihasilkan oleh

produsen lokal. Kebijakan SNI Wajib Tepung Terigu apabila dilakukan secara

tidak transparan dapat menimbulkan praktek monopoli dan persaingan usaha

tidak sehat dalam industri tepung terigu di Indonesia.26

Konflik-konflik kepentingan yang terjadi dalam setiap proses pembuatan

kebijakan, pada prinsipnya merupakan hal yang wajar dalam proses demokrasi.

Keberanian untuk menyampaikan pendapat di hadapan umum pada era

reformasi ini telah menjadi alat para elit politik dan pengusaha untuk mencapai

tujuannya masing-masing.

Konflik kepentingan tercermin pada perbedaan pendapat antara anggota

Pansus RUU persaingan usaha dengan Direksi P.T. Indofood Sukses Makmur

26 Menurut pejabat Direktorat Monitoring Pelaku Usaha KPPU, salah satu strategi hambatan masuk (barrier to entry) terhadap tepung terigu impor, adalah penerapan SNI secara wajib pada tepung terigu. Secara politik kebijakan ini dapat menjadi kebijakan yang efektif untuk menghambat arus masuk tepung terigu impor. Menurut Pejabat Monitoring Pelaku Usaha KPPU, penerapan SNI wajib mungkin saja direkomendasikan oleh produsen tepung terigu tertentu atau asosiasi produsen tepung terigu untuk disampaikan kepada lembaga otoritas pengatur SNI.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 24: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

Bogasari Flour Mills (Bogasari Flour Mills) dalam acara RDPU dalam

pembahasan RUU tentang Persaingan Usaha. Perdebatan tersebut terjadi pada

saat membahas pembatasan pangsa pasar setiap produsen dalam industri

tepung terigu yang berproduksi di Indonesia.

Perdebatan terjadi antara Gandhy Natasupadma, anggota Pansus RUU

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dari Fraksi ABRI

dengan Franciscus Welirang Wakil Presiden Direktur P.T. Indofood Sukses

Makmur Bogasari Flour Mills dalam acara RDPU ke-3 tanggal 23 Nopemebr

1998, yang dipicu oleh penolakan Franciscus Welirang terhadap pembatasan

pangsa pasar sebesar 50%. 27 Gandhy Natasupadma menilai penolakan

pembatasan pangsa pasar oleh Franciscus Welirang tersebut adalah bukti nyata

adanya keinginan dari Bogasari Flour Mills untuk tetap mempertahankan

monopoli atau posisi dominan dalam industri tepung terigu di Indonesia.28

Alasan seluruh anggota Pansus RUU tentang Persaingan Usaha perihal

pelarangan dominasi pangsa pasar tersebut, adalah kekhawatiran anggota

Pansus terhadap penyalahgunaan posisi dominan, sehingga perusahaan-

perusahaan besar (dominant firms) seperti Bogasari Flour Mills rentan

melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Direksi P.T. Indofood Sukses Makmur Bogasari Flour Mills yang diwakili

oleh Franciscus Welirang menolak argumentasi Pansus RUU persaingan usaha

tersebut, dengan alasan bahwa penguasaan pangsa pasar di atas 50% tidak

berarti melakukan praktek monopoli, sepanjang produk impor dengan harga

kompetitif bebas masuk ke wilayah negara yang bersangkutan. Welirang

27 Lihat Risalah Proses Pembahasan RUU tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat, dalam RDPU ke-3 tanggal 23 Nopember 1998, h. 402-407. Pernyataan Gandhy Natasupadma dibantah dengan keras oleh Franciscus Welirang yang tetap mempertahankan argumentasinya bahwa pembatasan prosentase pangsa pasar yang kecil, misalnya 30% tidak attractive bagi investor asing untuk menanamkan modalnya di dalam negeri yang saat ini membutuhkan pertumbuhan ekonomi dan menghadapi pasar bebas dunia (globalisasi). Menurut Welirang, mengkerdilkan pangsa pasar yang dicapai dengan prestasi usaha sendiri, tentu bukan solusi yang tepat dalam mengatur pengusaha. Kekhawatiran Gandhy Natasupadma terhadap posisi dominan Bogasari Flour Mills dalam industri tepung terigu nasional, menurut Welirang harus lebih ditekankan kepada bukti ada tidaknya penyalahgunaan posisi dominan yang dilakukan Bogasari Flour Mills. Selama Bogasari Flour Mills tidak melakukan penyalahgunaan posisi dominan seperti membuat berbagai hambatan masuk (barriers to entry) kepada pelaku usaha lain, maka negara tidak perlu khawatir terhadap Bogasari Flour Mills.

28Ibid, h. 402-407.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 25: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

mengkritik RUU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha ini terlalu

sempit, karena hanya mengatur persaingan usaha yang berakibat monopoli saja,

padahal cukup banyak perilaku usaha di bidang industri tertentu yang bersifat

negatif meskipun tidak menimbulkan monopoli.29

Perbedaan pendapat antara anggota Pansus RUU persaingan usaha

dengan Direksi Bogasari Flour Mills tersebut pada dasarnya diakibatkan oleh

motivasi atau kepentingan politik yang berbeda diatara kedua belah pihak.

Anggota Pansus RUU memiliki motivasi pemerataan atau keadilan, sedangkan

Direksi Bogasari Flour Mills motivasinya adalah efisiensi produksi. Perdebatan

yang terjadi dalam RDPU ke-3 ini dapat dihindari apabila masing-masing pihak

yaitu anggota Pansus RUU persaingan usaha dan Direksi P.T. Indofood Sukes

Makmur Divisi Bogasari Flour Mills memiliki persepsi yang sama. 30

Konflik kepentingan menjadi bagian yang tidak terhindarkan dalam proses

pembuatan undang-undang persaingan usaha yang terjadi antara Pansus RUU

Persaingn Usaha dengan Direksi P.T. Indofood Sukses Makmur Bogasari Flour

Mills (Bogasari Flour Mills). Hal ini disebabkan anggota-anggota Pansus DPR RI

maupun Direksi Bogasari Flour Mills mempunyai kepentingan, sehingga masing-

masing anggota kelompok tersebut memiliki kecenderungan untuk membantu

anggota yang terlibat konflik.

RDPU ke-3 antara Pansus RUU Persaingan Usaha dengan Direksi

Bogasari Flour Mills, yang berlangsung pada tanggal 23 Nopember 1998, dihadiri

oleh 46 dari 65 orang anggota Pansus RUU Persaingan Usaha, diantaranya

Ketua Pansus Rambe Kamarul Zaman, Marzuki Ahmad, Samsoedin, H. Muhsin

Bafadal dan Anthonius Rahail. Sedangkan pihak Bogasari Flour Mills diwakili

oleh Fransiscus Welirang, didampingi Staf Bagian Hukum dan Human

Resources yaitu Thomas Belang dan dua orang staf direksi yang merupakan tim

29 Ibid, h. 401. Dalam RDPU ke-3 tersebut Welirang berkeberatan pembatasan pangsa

pasar dalam jumlah tertentu, karena monopoli pada bidang tertentu mungkin tidak menimbulkan dampak negatif dan tidak merugikan konsumen.

30 Lihat Risalah Rapat Dengar Pendapat Umum Proses Pembahasan RUU tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, pada tanggal 23 Nopember 1998, antara Pansus RUU dengan Direksi P.T. Indofood Sukses Makmur Bogasari Flour Mills, h. 387-401.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 26: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

yang akan menyampaikan pokok-pokok pikiran direksi Bogasari Flour Mills

mengenai RUU Persaingan Usaha, yaitu Philips Pyrnama dan Yustianto.

Konflik semakin meruncing ketika pihak Bogasari Flour Mills menolak

substansi pasal-pasal dari RUU ini yang melarang posisi dominan, tanpa ada

penjelasan yang dapat diterima oleh para anggota Pansus. Pihak Bogasari Flour

Mills memandang penjelasan dari Pansus RUU tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, terlalu menyudutkan posisi

Bogasari Flour Mills sebagai produsen terbesar dalam bisnis tepung terigu di

Indonesia. Pihak Bogasari Flour Mills menduga, apabila undang-undang ini

disahkan oleh DPR RI dan pemerintah, maka Bogasari Flour Mills akan menjadi

salah satu perusahaan yang pertama terkena jerat undang-undang persaingan

usaha.

Disamping adanya perbedaan pendapat antara Pansus RUU dengan

Direksi P.T. ISM /Bogasari Flour Mills, mereka memiliki pandangan yang sama

mengenai keharusan untuk menjunjung tinggi hukum Undang-Undang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat itu oleh segenap pelaku

usaha dan pemerintah sebagai regulator.

Kebijakan persaingan usaha ini dapat dijalankan dengan mengambil

semangat dari TAP MPR Nomor 16 Tahun 1998 tentang politik ekonomi dalam

rangka demokrasi ekonomi, yang melarang pemusatan ekonomi pada

sekelompok orang atau perusahaan yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan

dan pemerataan. Dede Suganda Adewinata, anggota Pansus RUU tentang

Persaingan Usaha dari FKP meminta kesungguhan pemerintah untuk

memperhatikan pengusaha kecil, sehingga tercipta demokrasi ekonomi di

Indonesia 31

31 Dalam Rapat Kerja Pansus ke-2, yang dihadiri Menperindag Rahardi Ramelan, tanggal

23 Nopember 1998, Dede Suganda Adiwinata meminta kesungguhan pemerintah untuk mendukung dan konsisten melaksanakan amanat TAP MPR Nomor 16 Tahun 1998 tentang politik ekonomi dalam rangka demokrasi ekonomi. Menurut Dede Suganda Adiwinata pemerintah harus memberikan perhatian kepada usaha kecil, menengah dan koperasi sebagai pilar ekonomi rakyat dengan memberikan kesempatan usaha fasilitas kemudahan yang sama seperti kepada industri besar.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 27: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

Perbedaan pendapat yang terjadi antara Menteri Perindustrian dan

Perdagangan dengan anggota Pansus RUU Persaingan Usaha lebih ditujukan

kepada hal teknis yang tercantum dalam Daftar Isian Masalah (DIM) yang

disampaikan pemerintah kepada Pansus RUU tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Perbedaan-perbedaan pendapat

antara Pansus RUU dengan Menperindag menyangkut judul Rancangan

Undang-Undang, terminologi monopoli alamiah dan legitimasi KPPU. Tetapi dari

sisi motivasi, Menperindag dan Pansus RUU Persaingan Usaha mempunyai visi

yang sama yaitu menginginkan terciptanya persaingan usaha yang sehat dalam

dunia bisnis di Indonesia demi kesejahteraan masyrakat.

Apabila melihat dari sisi keamanan pangan, kebijakan pencabutan SNI

wajib pada tepung terigu dapat menimbulkan kekhawatiran terhadap jaminan

keamanan dan mutu produk tepung terigu yang dikonsumsi oleh masyarakat.

Tetapi apabila melihat kondisi masyarakat, khususnya industri kecil menengah

yang kesulitan memperoleh tepung terigu akibat kenaikan harga tepung terigu,

maka kebijakan pencabutan SNI Wajib Tepung Terigu tersebut, untuk

sementara waktu dapat ditolelir, sebagai upaya untuk meredam gejolak kenaikan

harga dan menjamin ketersediaan tepung terigu di pasar domestik.

Sikap APTINDO terhadap kebijakan pemerintah tentang pencabutan SNI

wajib tepung terigu tersebut yaitu bahwa produsen tepung terigu

nasional/APTINDO tetap akan mempertahankan SNI dan fortifikasi tepung terigu

sebagai bagian dari tanggungjawab sosial pada rakyat Indonesia, dan dalam

rangka menunjang program ketahanan pangan nasional. APTINDO berpendapat

bahwa kebijakan pemerintah melalui pencabutan SNI wajib tepung terigu

tersebut, disebabkan karena adanya masukan yang keliru terhadap Presiden dan

Menteri-Menterinya.32

32 Ibid, h.1. Dalam Press Release Sikap APTINDO atas SK Menteri Perindustrian RI No. 2

Tahun 2008 tersebut, Ratna Sari Loppies Direktur Eksekutif APTINDO menambahkan bahwa kebijakan pencabutan penerapan SNI wajib pada tepung terigu tersebut karena adanya saran dan masukan yang keliru kepada Presiden, dan kebijakan pemerintah ini hanya menguntungkan kepentingan importir tepung terigu.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 28: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

Pada tanggal 4 Februari 2008, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati

menetapkan Peraturan Menteri Keuangan No. 10 Tahun 2008 tentang Pajak

Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah Atas Impor dan/atau Penyerahan

Gandum dan Tepung Gandum/Terigu. Kebijakan Menteri Keuangan ini dilakukan

dalam rangka mengurangi beban ekonomi masyarakat. Untuk melaksankan

kebijakan menstabilkan harga pangan, termasuk tepung terigu tersebut,

pemerintah menganggarkan subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara dan Perubahannya (APBN-P) Tahun Anggaran 2008. 33

Kebijakan penanggungan PPN atas impor gandum dan tepung terigu oleh

pemerintah ini, merupakan bagian dari kebijakan stabilisasi harga pangan

terhadap 4 (empat) komoditas pangan yang dicanangkan oleh Presiden SBY,

yaitu beras, tepung terigu, minyak goreng dan kacang kedelai yang diatur dalam

sebuah Peraturan Presiden di awal tahun 2008. Kebijakan stabilisasi pangan

dilakukan disamping mengurangi beban ekonomi masyarakat secara umum, juga

dalam upaya mengurangi beban ekonomi Industri Kecil Menengah (IKM), atau

Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).

Selama kurun waktu 1999-2008 terdapat beberapa kebijakan atau

peraturan lintas lembaga negara yang relevan mengatur konsep liberalisasi

pangan pada era reformasi ini. Namun kebijakan-kebijakan itu terkesan mendua

dan kurang sejalan dengan undang-undang persaingan usaha di Indonesia.

Permasalahan semakin melebar karena peraturan-peraturan baru tersebut

ditetapkan cenderung mendukung kepentingan kelompok usaha tertentu yang

bertujuan menghambat arus masuk (barrier to entry) tepung terigu impor, seperti

Peraturan Menperindag No. 153 Tahun 2001 tentang SNI Wajib Tepung Terigu

sebagai bahan pangan, dan Peraturan Menkes No. 962 Tahun 2003 tentang

Fortifikasi Tepung Terigu.

Meskipun Perauran Menkes No. 962 Tahun 2003 tersebut ditetapkan

mengacu kepada program pemerintah untuk menanggulangi kekurangan zat gizi

mikro dengan penambahan mikronutrien berupa zat besi (Fe), seng (Zn), asam

33 Lihat lampiran Salinan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/PMK.011/2008.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 29: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

folat, namun menurut KPPU penerapan kewajiban SNI tepung terigu dirasakan

terlalu terburu-buru, karena penerapan SNI tidak diatur dengan perangkat

regulasi dan kesiapan infrastruktur yang lengkap.

Fokus penelitian ini ditujukan untuk mempelajari sejauhmana kekuatan

negara dalam mengatur pengusaha, dalam konteks penetapan kebijakan

persaingan usaha pada industri tepung terigu di Indonesia pascaliberalisasi

pangan tepung terigu periode 1999 sampai dengan 2008.

Pertanyaan penelitian ini adalah :

1. Kebijakan-kebijakan apa yang ditetapkan pemerintah dalam mengatur

persaingan usaha sektor industri tepung terigu di Indonesia ?

2. Konflik-konflik kepentingan apa yang terjadi selama proses penyusunan

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli

dan Persaingan Usaha tidak sehat antara Pansus RUU , Menperindag

dan Bogasari Flour Mills ?

3. Bagaimana upaya KPPU dan lembaga-lembaga negara lainnya dalam

mengawasi persaingan usaha yang sehat dalam industri tepung terigu

pada era reformasi di Indonesia ?

4. Bagaimana reaksi Bogasari Flour Mills selaku perusahan dominan dan

produsen tepung terigu nasional lainnya terhadap kebijakan persaingan

usaha yang ditetapkan Pemerintah ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian :

1. Menjelaskan berbagai kebijakan yang ditetapkan pemerintah dalam

rangka mendukung undang-undang larangan praktek monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat.

2. Menjelaskan konflik-konflik kepentingan yang terjadi antara DPR,

Pemerintah, dan Bogasari Flour Mills selama proses penyusunan

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 30: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

3. Menjelaskan upaya KPPU dan lembaga-lembaga negara dalam

mengawasi persaingan usaha yang sehat dalam industri tepung terigu

nasional pascaliberalisasi pangan bebas tepung terigu di Indonesia.

4. Menjelaskan reaksi Bogasari Flour Mills khususnya dan produsen tepung

terigu lainnya atas kebijakan persaingan usaha yang ditetapkan

Pemerintah pada era reformasi.

Manfaat Penelitian ini adalah :

Penelitian ini diharapkan dapat memperoleh informasi yang berguna bagi

peneliti mengenai kekuatan negara dalam mengendalikan kekuatan masyarakat

khususnya kalangan pengusaha. Dalam hal ini untuk memperoleh informasi

tentang kekuatan KPPU dalam mengendalikan dominasi Bogasari Flour Mills

dalam industri tepung terigu di Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat

memberikan masukan dan saran pemikiran yang positif terhadap KPPU,

APTINDO, P.T. Indofood Sukses Makmur Divisi Bogasari Flour Mills dan

Departemen terkait yaitu, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan

Departemen Keuangan, dan Departemen Kesehatan dalam mengatur kebijakan

persaingan usaha di Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

mahasiswa maupun masyarakat yang tertarik untuk mengkaji bidang ilmu politik

yang berhubungan dengan kebijakan persaingan usaha di Indonesia.

D. Kerangka Teori 1. Pengertian Konsep Negara

Menurut Roger H. Soltau, ilmu politik merupakan ilmu yang mempelajari

negara, tujuan-tujuan negara dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan

tujuan-tujuan itu; hubungan antar negara dengan warga negaranya serta dengan

negara-negara lain. 34 . Begitu banyak definisi mengenai negara, yang tidak

terlepas dari substansi menyangkut kewenangan yang bersifat memaksa melalui

perangkat peraturan yang ditetapkan.

Menurut Soltau : The State is an agency or authority managing or controlling these (common) affairs on behalf of and on the name of the community.

34 Roger H. Soltau, An Introduction to Politics, London : Longmans, 1961, h. 4.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 31: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

Negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat.35

Sementara menurut Harold J. Laski : The State is society which is integrated by possessing a coercive authority legally supreme over any individual or group which is part of society....

Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan secara sah lebih kuat daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu….36

Sedangkan konsep negara menurut Ralph Miliban: Negara merupakan institusi yang memiliki kemandiriannya sendiri, dimana di dalamnya terdapat pejabat-pejabat negara yang memiliki pertimbangan-pertimbangan sendiri dalam menentukan kebijakannya, dan bukan sekedar didikte oleh kelas yang dominan.37

Selain itu, teori negara menurut Miliband juga melihat peran besar dan

kesanggupan kelas sosial yang berkuasa untuk meyakinkan para pejabat tinggi

negara, bahwa kepentingannya sama dengan kepentingan seluruh masyarakat.

Konsep negara menurut Miliban ini, artinya menuntut peran negara untuk

membuat kebijakan yang mampu memenuhi kepentingan semua kelas yang ada

di masyarakat, khususnya kemampuan negara dalam melindungi masyarakat

kelas menengah ke bawah. Dalam konteks pengelolaan industri tepung terigu di

Indonesia pada era reformasi, pemerintah, yaitu Menteri Perindustrian, Menteri

Perdagangan dan anggota KPPU dan pejabat-pejabat pemerintah lainnya, harus

mampu mengendalikan perilaku monopoli perusahaan dominan Bogasari Flour

Mills, sehingga tercipta kondisi persaingan usaha yang sehat antarsesama

pengusaha tepung terigu. Selain itu Menteri-menteri atau pejabat-pejabat

pemerintah terkait lainnya, harus mampu memenuhi permintaan tepung terigu

bagi seluruh lapisan masyarakat dengan harga yang murah dan kualitas produk

tepung terigu yang baik.

35 Ibid, h.1. 36 Harold J. Laski, The State in Theory and Practice, New York, Viking Press, 1947, p. 8-9 37 Ralph Miliban, The State in Capitalist Society, New York: Basic Books Inc., 1969.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 32: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

KPPU sebagai institusi yang memiliki tugasyang khusus yaitu mengawasi

implementasi Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, harus mampu bertindak tegas

mencegah segala bentuk praktek-praktek monopoli atau penyalahgunaan posisi

dominan yang dilakukan oleh Bogasari Flour Mills. Karena besar kecilnya tingkat

kepercayaan masyarakat pengusaha dan masyarakat pengguna tepung terigu

terhadap pengawasan persaingan usaha dalam industri tepung terigu, sangat

tergantung kepada kinerja KPPU. Salah satu indikator kinerja pengawasan yang

baik dari KPPU adalah sikap tegas dan konsistensi anggota dan pejabat KPPU

dalam melakukan pengawasan terhadap perusahaan yang terbukti melanggar

UU No. 5 Tahun 1999.

Miriam Budiardjo dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar Ilmu Politik

menyatakan bahwa negara mempunyai sifat-sifat khusus yang merupakan

manifestasi dan kedaulatan yang dimilikinya dan hanya terdapat pada negara

tidak terdapat pada asosiasi atau organisasi lainnya. Selanjutnya menurut Miriam

Budiardjo, pada umumnya negara memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

Pertama, Sifat memaksa. Untuk mencapai ketertiban dan ketaatan atas

penetapan peraturan perundang-undangan, maka negara memiliki sifat

memaksa melalui kekerasan legal melalui sarana polisi, tentar dan sebagainya.

Di dalam masyarakat yang bersifat homogen dan ada konsensus nasional yang

kuat mengenai tujuan-tujuan bersama, biasanya sifat paksaan ini tidak begitu

menonjol. Demikian halnya di negara demokratis, sifat pemaksaan dari negara

sangat minimal dan lebih kepada pendekatan persuasif. Tetapi di negara-negara

baru merdeka, dimana struktur masyarakatnya belum homogen dan konsensus

nasional kurang kuat, seringkali sifat pemaksaan ini akan lebih tampak.

Kedua, Sifat Monopoli. Dalam hal ini negara mempunyai sifat monopoli

dalam menetapkan tujuan bersama dari masyarakat. Dalam hal ini negara dapat

saja bahwa menyatakan bahwa suatu aliran politik tertentu dilarang

disebarluaskan, karena dianggap bertentangan dengan tujuan masyarakat.

Ketiga, Mencakup Semua. (all-encompassing, all-embracing). Bahwa semua

peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan berlaku untuk semua

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 33: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

orang tanpa kecuali. Sehingga tidak ada pilihan bagi seseorang yang berada

dalam lingkup aktivitas negara untuk mengelak dari aturan yang telah ditetapkan

negara.38

Dalam membahas hubungan antara negara dengan program

industrialisasi, khususnya hubungan antara negara dan pengusaha, konsep

Guillermo O’Donnell tentang apa yang disebutnya sebagai Negara ”Birokratik

Otoriter” dapat menjadi rujukan teori pembahasan disertasi ini. Konsep ini

menjelaskan hubungan antara kekuasaan negara dan taraf pembangunan

ekonomi, khususnya industrialiasi yang terjadi di negara-negara berkembang

termasuk Indonesia.

Menurut O’Donnell rezim Birokratik Otoriter memiliki sifat-sifat sebagai berikut : Pertama, pemerintah dipegang oleh militer, tidak sebagai diktator pribadi, melainkan sebagai lembaga, berkolaborasi dengan ”teknokrat” sipil. Kedua, rezim Birokratik Otoriter didukung oleh entrepreneur oligopolistik, yang bersama negara berkolaborasi dengan masyarakat bisnis internasional. Ketiga, pengambilan keputusan dalam rezim Birokratik Otoriter bersifat birokratik-teknokratik, sebagai lawan pendekatan politik dalam pembuatan kebijaksanaan yang memerlukan suatu proses bargaining yang lama di antara berbagai kelompok kepentingan. Keempat, masa dimobilisasi. Kelima, untuk mengendalikan oposisi, pemerintah melakukan tindakan-tindakan represif.39

Negara Birokratik Otoriter muncul akibat terjadinya krisis ekonomi. Pada

masa melakukan Industrialisasi Substitusi Impor (ISI), negara bekerja sama

dengan pengusaha-pengusaha dalam negeri dan berusaha meningkatkan daya

beli masyarakat dengan melaksanakan kebijakan pemerataan pendapatan.

Masyarakat yang ada di lapisan bawah, khususnya kaum buruh dan golongan

petani miskin, mendapatkan penghasilan yang cukup besar, supaya mereka bisa

membeli barang-barang yang dihasilkan industri nasional.

Menurut Guillermo A O’Donnel, seandainya pengumpulan modal yang

dilakukan oleh bank atau perusahaan-perusahaan negara ini tidak mencukupi,

38 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Penerbit P.T. Gramedia Pustaka

Utama, 2000, h. 40-41. 39 O’Donnell dalam Mohtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru, 1966-1971,

Jakarta : LP3ES, 1989, h. 10.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 34: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

maka modal asing dan modal multinasional akan dilibatkan. Tetapi, masuknya

modal luar negeri biasanya disertai dengan syarat-syarat. Salah satu syarat yang

terpenting adalah negara yang bersangkutan harus kuat sehingga dapat

mengendalikan gejolak politik yang timbul. Apabila negara tidak kuat

mengendalikan gejolak politik yang timbul, modal luar negeri cenderung

menghindar.40

Dalam kasus proses industrialisasi di Indonesia, konsep Negara Birokratik

Otoriter dapat dilihat pada pola kebijakan pemerintah Orde Baru di bawah

Soeharto yang dekat dengan kalangan pengusaha, khususnya kalangan

pengusaha nonpribumi selama lebih dari tiga puluh tahun. Pada kasus

pembangunan industri tepung terigu, negara melalui Bulog bekerja sama dengan

pengusaha Soedono Salim atau yang lebih dikenal dengan Liem Sioe Liong.

Bentuk kerja sama tersebut dilakukan dimana Bulog sebagai pemegang

hak impor gandum memberikan hak eksklusif kepada perusahaan milik Liem

Sioe Liong untuk memproses gandum impor menjadi tepung terigu yang nantinya

dijual untuk memenuhi pasar domestik. Kebijakan diversifikasi pangan ini pada

awalnya dilakukan dalam rangka mencoba menjadikan tepung terigu sebagai

substitusi beras, sebagai bagian program ketahanan pangan (food security)

nasional pemerintah rezim Orde Baru.

Menurut Yahya Muhaimin: Pemerintah rezim Orde Baru, seperti pemerintah-pemerintah di negara-negara berkembang lainnya, menganut teori pertumbuhan yang menekankan pembentukan modal yang harus melebihi pertumbuhan penduduk untuk mengatasi suatu ”lingkaran setan keterbelakangan” dan ”tekanan pertambahan penduduk” seperti yang dikemukan dalam teori Malthus. 41 Hanya dengan melancarkan tindakan frontal dengan pembentukan modal secara besar-besaran itulah akan dapat dicapai suatu terobosan sosial ekonomi yang akan menciptakan suatu

40 Lihat Guillermo A O’Donnell , ”Reflection on the pattern of Change in the

Bureaucratic Authoritarian State”, Latin American Reserach Review, Winter, 1978 : 13. dalam Arief Budiman Negara dan Pembangunan : Studi tentang Indonesia dan Korea Selatan, Jakarta : Penerbit Yayasan Padi dan Kapas, 1991, h. 5.

41 Paul N. Rosenstein-Rodan, “Problem of Industrialization of eastern and Southeastern Europe:, dalam A.N Agarwala dan S.P. Sigh, eds. The economics of underdevelopment (New York: Oxford University Press, 1963), h. 245-55; dalam Yahya Muhaimin, Bisnis dan Politik : Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980, Jakarta : LP3ES, 1990, h. 19.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 35: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

momentum untuk memulai tahap tinggal landas (take off) menuju tahap ”pertumbuhan terus-menerus dengan kekuatan sendiri” (self-sustained growth).42

Upaya pada skala itulah memungkinkan suatu strategi interseksional

yang luas untuk memberikan dorongan kuat bagi pertumbuhan dari dalam.

Implikasinya adalah konsep ”trickle-down effect”, yang menyatakan bahwa

pertumbuhan yang dipercepat akan mempunyai aspek pembangunan dan

masyarakat secara keseluruhan akan memperoleh manfaat dari pertumbuhan

yang cepat tersebut.43

Mengenai hubungan antara negara dengan industrialisasi, Arief Budiman

menyatakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara keduanya, sesuai

dengan tingkat perkembangan industrialisasi di negara yang bersangkutan.

Semakin terlambat sebuah negara melakukan industrialisasi, semakin

dibutuhkan adanya negara yang kuat. Dan sebaliknya, semakin maju sebuah

negara melakukan industrialisasi, semakin tidak dibutuhkan adanya negara yang

kuat.44

Hipotesis Arief Budiman tentang intervensi negara dalam pengelolaan

dan pengembangan industri tepung terigu dapat dibuktikan secara empirik.

Intervensi negara (Bulog) dalam pengelolaan industri tepung terigu pada masa

awal Orde Baru sangat dominan. Bulog tidak hanya memiliki hak monopoli dalam

pengadaan impor gandum sebagai bahan baku utama tepung terigu, tetapi Bulog

memiliki pengaruh yang luar biasa dalam hal pola produksi dan distribusi tepung

terigu ke seluruh wilayah Indonesia.

42 W.W. Rostow, The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto, London:

Cambridge University Press, 1971, cetakan ke-2). 43 Lihat kembali disertasi Yahya Muhaimin yang berjudul Bisnis dan Politik:

Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980, Jakarta : LP3ES, 1990, h. 19, disebutkan bahwa konsep trickle-down effect tersebut dikembangkan oleh ahli-ahli ekonomi pembangunan seperti Warren F. Ilchman dan Ravindra C Bhargava, ”Balance thought and Economic Growth”, Economic Development and Cultural Change, Vol, 14, No. 4, Juli 1966, h. 385-99; Paul Streeten, The Frontiers of Development Studies (New York: John Wiley, 1972).

44 Menurut Arief Budiman, dalam Negara dan Pembangunan : Studi tentang Indonesia dan Korea Selatan, Jakarta : Penerbit Yayasan Padi dan Kapas, 1991, h. 3, negara yang kuat dimaksudkan sebagai negara yang punya kekuatan untuk memaksakan kehendaknya kepada masyarakat. Meskipun negara seperti ini biasanya otoriter, dia dapat juga demokratis. Yakni bila seorang pemimpin atau sebuah partai politik mendapat dukungan suara mayoritas yang besar.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 36: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

Era reformasi telah membawa iklim persaingan yang semakin besar,

sehingga pemerintah di tidak melakukan intervensi berlebihan terhadap industri

tepung terigu nasional. Kebijakan pengelolaan industri tepung terigu di Indonesia

pada era reformasi sepenuhnya diserahkan kepada prinsip mekanisme pasar,

sehingga peran swasta nasional dalam pengelolaan industri tepung terigu

semakin besar.

Gerschenkron (1962) menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh oleh

negara-negara pertama yang melakukan industrialisasi berbeda dengan negara-

negara yang menyusul kemudian. Salah satu perbedaannya adalah peran

negara yang semakin besar pada negara-negara yang ”terlambat” melakukan

proses industrialisasi ini.

Kemudian Hirschman menujukkan bahwa negara-negara yang lebih

terlambat lagi seperti negara-negara di Amerika Latin menempuh cara lain

dengan memberikan peran yang besar kepada perusahaan-perusahaan raksasa

multinasional. Menurut Kurth terdapat tiga sumber kewiraswastaan dan modal,

yaitu perusahaan swasta domestik, perusahaan negara dan perusahaan

multinasional. Bagi negara-negara yang baru melakukan program industrialisasi,

sumber modal yang digunakan lebih banyak berasal dari perusahaan negara dan

perusahaan multinasional. 45

Sementara menurut Gunnarson, perbedaan yang lain adalah jumlah

modal yang harus dikumpulkan untuk melakukan industrialisasi. Negara industri

generasi pertama seperti Inggris dan beberapa Eropa Barat, hanya

membutuhkan modal yang relatif kecil. Yang dibangun hanya pabrik-pabrik tekstil

dengan teknologi yang sederhana. Oleh karena itu, modal usaha dapat

disediakan secara pribadi oleh petani kaya. Campur tangan negara kurang

dibutuhkan dalam proses industrialisasi ini.

Untuk negara industri generasi kedua, modal yang diperlukan bertambah

besar. Teknologi yang dipakai sudah lebih canggih. Industrialisasi tidak hanya

terbatas pada pabrik barang konsumsi, tetapi juga pada pabrik-pabrik yang

45 Op.cit. h. 4. Lihat James R Kurth, Industrial Change and Political Change: An Eropean

Perspecive in David Collier, ed., The New Authoritarianism in Latin America, p.326-326.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 37: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

menghasilkan barang-barang setengah jadi dan barang-barang modal berupa

mesin-mesin industri. Oleh karena itu, bagi negara-negara generasi kedua,

modal yang dibutuhkan jauh lebih besar. Sementara itu, pada negara industri

generasi pertama, industrialisasi dapat dijalankan swasta, hampir tanpa ada

campur tangan negara. Negara hanya berperan untuk menciptakan lingkungan

yang memadai supaya pembangunan kapitalistis berkembang.46

Pada negara industri generasi kedua, keterlibatan negara menjadi lebih

banyak. Negara menghimpun modal, baik melalui bank maupun melalui

perusahaan-perusahaan negara, untuk membangun industrinya. Pengusaha-

pengusaha swasta diberi kesempatan untuk membangun industri melalui

pinjaman dari bank. Secara pribadi pengusaha-pengusaha ini sulit untuk

membiayai sendiri pembangunan industrinya, karena modal yang dibutuhkan

cukup besar.47

Menurut Yahya Muhaimin, peran negara dalam menumbuhkan borjuasi

pribumi di Indonesia mulai dari zaman Demokrasi Parlementer sampai dengan

Orde Baru hanya berkembang sampai ke suatu titik dimana ia telah melahirkan

hubungan-hubungan patron-klien antara para penguasa politik dalam birokrasi

dengan kelompok-kelompok usaha tertentu. Di sini modal, kontrak, konsesi dan

kredit dari negara pertama-tama diberikan secara langsung kepada perusahaan-

perusahaan negara, dan pengusaha-pengusaha swasta nasional tertentu juga

telah dapat memanfaatkannya dan karena itu mereka menjadi ”pengusaha-klien”

(client businessment).48

Seperti yang dijelaskan oleh Ruth McVey, dalam bukunya yang berjudul

Kaum Kapitalis Asia Tenggara, sesungguhnya kapitalisme di Indonesia bukanlah

wujud keberhasilan wirausaha yang riil yang dibangun atas dasar kemandirian

dari para pengusaha itu sendiri. Sesusngguhnya dalam masyarakat agraris

46 Christer Gunnarson, “Development Theory and Industrialization in South-East Asia” in

Irene Norlund et al eds., Industrialization, and the labor Process in South -East Asia, dalam Arief Budiman Negara dan Pembangunan : Studi tentang Indonesia dan Korea Selatan, Jakarta : Penerbit Yayasan Padi dan Kapas, 1991, h. 4.

47 Ibid, h.5. 48 Yahya Muhaimin, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980,

Jakarta : LP3ES, 1990, h. 7.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 38: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

seperti Indonesia dan juga beberapa negara di Asia Tenggara, kedudukan

pengusaha tidak sepenting kedudukan kaum birokrat atau tuan tanah. Oleh

karena itu harta yang dihimpun oleh pengusaha kapitalis di Indonesia diperoleh

melalui perlindungan politik (patronage), bukan oleh semangat kewirausahaan.49

Sementara menurut Yoshihara Kunio, perkembangan industri di negara-

negara Asia Tenggara termasuk di Indonesia, hanya merupakan khayalan, suatu

khayalan besar tanpa dasar. Menurut Kunio, Kaum elit pribumi yang terlibat

dalam perusahaan atau industri di negaranya tidak lebih dari benalu atau parasit

atau agen orang-orang asing. Karena perkembangan industri di beberapa negara

Asia Tenggara bukanlah hasil jerih payah penduduk asli, semua itu merupakan

hasil jerih payah orang asing. Perkembangan idustri di beberapa negara Asia

Tenggara merupakan ”kapitalisme semu” (ersatz capitalism).50

Pengusaha-pengusaha klien ini beroperasi dengan dukungan dan berada

di bawah proteksi berbagai jaringan kekuasaan pemerintah; mereka mempunyai

patron dalam kelompok kekuasaan politik birokrasi; dan mereka sangat

tergantung kepada konsesi dan monopoli yang diberikan pemerintah. Mereka

lahir di luar aparat birokrasi, namun bergantung pada birokrasi. Di bawah

pemerintahan Orde Baru saat itu, mereka juga sangat bergantung kepada modal

asing.51

Para penganut Teori Ketergantungan seperti Peter Evans yang

mengusung Triple Alliance Theory atau Teori Persekutuan Segitiga, memberi

peran yang lebih besar kepada negara. Menurut Peter Evans teori Persekutuan

49 Lihat Ruth McVey, Southeast Asian Capitalism, Southeast Asia Program Publications,

New York: Cornel University Press, 1992. 50 Lihat Yoshihara Kunio, The Rise of Ersatz Capitalism in South-East Asia, Singapore:

Oxford University Press, 1988. 51 Menurut Yahya Muhaimin, berbeda dengan fase-fase awal pembangunan di negara-

negara tergolong maju seperti Jepang, pemerintahnya menempuh kebijaksanaan untuk memberikan proteksi dan subsidi guna mendorong pertumbuhan suatu kelompok borjuasi industri nasional, dan berbagai upaya pemerintah itu berhasil menumbuhkan suatu kelas pengusaha nasional yang mandiri, kuat dan efektif dalam suatu sistem birokrasi yang moderen. Di Indonesia yang terjadi adalah sebaliknya, golongan pengusaha klien (client businessmen) yang merupakan hasil peran negara dalam menumbuhkan sebuah borjuasi nasional telah gagal menjadi pengusaha yang kompetitif dan otonom, bebas dari pengaruh kekuatan politik dan pemerintah.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 39: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

Segitiga berbicara tentang tiga unsur yaitu Negara, Burjuasi Nasional dan Modal

Asing. Untuk pengembangan industri, modal asing dibutuhkan.

Tetapi, supaya asing tidak mendominasi negara, maka negara

memperkuat peran burjuasi nasional untuk mengimbangi pengaruh modal asing.

Disamping itu, penguatan burjuasi nasional oleh negara juga dipakai untuk

mendapatkan kekuatan politik dari dalam negeri. Tanpa penguatan burjuasi

nasional, negara akan dituduh sebagai boneka atau antek modal asing. Menurut

Evans terjadi semacam persekutuan antara ketiga komponen ini. Di mana

masing-masing komponen mengambil keuntungan dari kerjasama ini.52

Sementara itu, dalam memposisikan negara sebagai regulator, Alan

Stone dalam bukunya yang berjudul Regulation and its Alternative menyatakan :

In all modern economies, there is also an entity called government, which decides on such things as the income tax rate, the level national defense expenditure, and the growth rate of money supply. Government decisions like these affect both the welfare of agents and how they behave. For example, raising the income tax rate induces some individuals to work fewer hours and some not to work at all. Although an income tax influences how a laborer behaves, the laborer is left to decide how many hours to work. In contrast, in its role as regulator a government literally restricts the choices of agents. More formally, regulation has been defined as ”a state imposed limitation on the discretion that may be exercised by individuals or organization, which is supported by the threat of sunction”.53

“Di dalam perekonomian moderen, terdapat sebuah entitas yang disebut dengan pemerintah, dimana pemerintah memiliki kewenangan dalam mengatur tingkat pendapatan pajak, tingkat pengeluaran angggaran pertahanan, dan tingkat pertumbuhan jumlah uang beredar. Pemeritah memiliki kekuatan untuk mempengaruhi pelaku masyarakat dalam memperoleh kesejahteraannya. Contohnya, peningkatan tarif pajak pendapatan mempengaruhi golongan pekerja dengan sedikit jam kerjanya. Dengan demikian penetapan tarif pajak pendapatan yang dilakukan pemerintah, pada akhirnya akan mempengaruhi berapa jam kerja yang harus dilakukan oleh seorang pekerja. Peraturan yang dibuat oleh pemerintah akan membatasi perilaku masyarakat. Dengan kata lain, regulasi dapat diartikan sebagai pembatasan yang bersifat memaksa

52 Lihat Peter Evans, “ Class, State and Dependence in East Asia: Lesson for Latin

Americanists”, Paper presented to the conference organized by the Institute of Social Science, Seoul National University, Seoul, Korea, June 6-8, 1985 dalam Arief Budiman, h. 11.

53 Alan Stone, Regulation and Its Alternatives, Washington D.C.: Congressional Quarterly Press, 1982, p.10.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 40: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

yang dilakukan oleh negara bagi individu atau organisasi dengan dukungan sanksi hukum sebagai hambatannya.

Sementara menurut W. Kip Viscusi John M. Vernon ,Joseph E.

Harrington, Jr.:

The key resource of government is power to coerce. Regulation is the use of this power for the purpose of restricting the decisions of economic agents. Altough economic regulation can encompass restrictions on a wide array of firm decisions, the three key decision variable controlled by regulation are price, quantity, and the number of firm.54

Kunci sumberdaya dari pemerintah adalah kekuatan yang memaksa. Regulasi pemerintah digunakan sebagai aturan yang dapat menghambat pelaku-pelaku ekonomi. Dengan demikian regulasi dapat menjadi hambatan bgi sebuah keputusan perusahaan, dimana tiga kunci variabel yang dikontrol oleh pemerintah adalah dalam hal harga, jumlah barang dan jumlah produsen.

W. Kip Viscusi John M. Vernon ,Joseph E. Harrington, Jr menjelaskan

dalam proses pembutan regulasi terdapat tiga tahap yang harus dilalui, yaitu :

Pertama, Tahap Legislasi (legislation); Pada tahap ini Kongres atau Badan

Legislatif sebagai pembuat undang-undang menjadi aktor kunci dalam proses

legislasi. Sejumlah pihak yang berkompeten dilibatkan pula dalam tahap legislasi

ini. Karena regulasi dibuat untuk menghambat keputusan-keputusan perusahaan,

sehingga regulasi akan mempengaruhi keuntungan perusahaan dan

kesejahteraan masyarakat (konsumen).

Kedua, Tahap Implementasi (Implementation) ; setelah undang-undang

selesai disusun, tahap selanjutnya adalah implementasi atau pelaksanaan

undang-undang. Meskipun lembaga legislatif dapat mempengaruhi implementasi

undang-undang, tetapi tanggungjawab implementasi undang-undang ini jatuh

kepada badan regulator atau lembaga yang mengawasi undang-undang. Dengan

demikian dalam tahap implementasi undang-undang ini, peran lembaga

pengawas undang-undang menjadi peran sentral dalam melanjutkan

kepentingan-kepentingan masyarakat.

54 W. Kip Viscussi, John M. Vernon, Joseph E. Harrington, Jr. Economics of Regulation

and Antitrust, second edition, Massachusetts: The MIT Press, 1995. p. 307-308.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 41: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

Ketiga, Tahap Deregulasi (deregulation) ; tahap ini merupakan

penyempurnaan dari regulasi yang telah dibuat. Lembaga pengawas undang-

undang dan pengadilan memiliki peran yang signifikan dalam menilai keefektifan

pelaksanaan regulasi yang telah ditetapkan. Apabila peraturan yang telah dibuat

tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat, maka disempurnakan dengan

suatu aturan baru yang sesuai dengan kepentingan masyarakat saat itu. 55

Menurut Chibber ketidaksempurnaan mekanisme pasar selalu dijawab

dengan intervensi negara untuk menjamin agar biaya transaksi minimum

termasuk di dalamnya terlibat negara dalam kegiatan produksi. Intervensi negara

dalam hal ini difokuskan dalam fungsi negara sebagai fasilitator dan regulator,

sebagaimana gambar di atas yang menggambakan hubungan antara institusi,

negara dan kinerja ekonomi.

Selanjutnya Chibber menjelaskan bahwa negara dalam menjalankan

fungsinya sebagai regulator, dapat menetapkan aturan formal yang merupakan

bagian dari lingkungan institusi. Oleh karena itu, negara merupakan suatu

organisasi yang unik, karena institusi ini harus mengembangkan dan

menetapkan aturan-aturan formal melalui proses sosial dan politik dan negara

juga harus memainkan peranan ini sebagai bagian dari organisasi.56

Mengadopsi pemikiran Chibber, dalam konteks Indonesia, negara dapat

mempengaruhi kinerja perekonomian atau industri tepung terigu melalui

beberapa cara. Pertama, melalui penetapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang

akan membatasi tingkah laku pelaku industri dominan seperti Bogasari Flur Mills.

55 Ibid, p.317-318. 56 Chibber dalam Mohamad Ikhsan, Reformasi dan Pembangunan Ekonomi, Jurnal Demokrasi dan

HAM, Vol. 1 No. 2, Sepetember-November 2000, Jakarta : Habibie Center, 2000, h. 41.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 42: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

Gambar 1.1. Hubungan Institusi, Negara dan Kinerja Industri

Negara: - Pemerintah - DPR - Lembaga

Peradilan

Struktur Insentif

(termasuk Properti Right)

Informal Rules dan

Norma Budaya Sejarah

Formal Rules: UU, Keppres, Peraturan Menteri, dll Struktur

Institusi

Kinerja Industri

Teknologi Biaya Transaksi

Sumber: Diadopsi dari Chibber Dengan Perubahan Minor, 1997.

Tetapi negara dan aparatnya harus terikat dan patuh dengan aturan yang

sama dan tidak berada di atas hukum. Kedua, negara juga dapat mempengaruhi

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 43: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

kinerja perekonomian melalui penciptaan lingkungan makroekonomi dan

mikroekonomi yang stabil dan kondusif untuk menciptakan kegiatan ekonomi

yang efisien. Disamping itu, penciptaan lingkungan kelembagaan seperti properti

right, kedamaian, keamanan dan aturan main akan mendorong terciptanya

investasi industri tepung terigu sebagai bahan pangan dalam jangka panjang

secara efisien.

Penetapan kebijakan persaingan usaha di Indonesia merupakan bentuk

intervensi negara dalam mengantisipasi praktek monopoli dan persaingan usaha

tidak sehat (persekongkolan tender, integrasi vertikal dan lain-lain) sebagai wujud

ketidakmampuan mekanisme pasar sebagai alat alokasi sumber-sumber daya

ekonomi yang efisien di Indonesia, yang berpotensi merugikan masyarakat.

Negara melalui pemerintah dan DPR merancang dan menetapkan aturan

formal berupa Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia dalam rangka

membatasai tingkah laku setiap perusahaan monopolis atau dominan, termasuk

mengawasi perilaku Bogasari Flour Mills dalam industri tepung terigu nasional.

Untuk mewujudkan kesuksesan dalam implementasi undang-undang

persaingan usaha di Indonesia yang efektif dan efisien, setidak-tidaknya ada tiga

prasyarat yang harus dipenuhi oleh negara. Pertama, aparat negara sebagai

fasilitator dan regulator harus terikat dan patuh dengan aturan Undang-Undang

No. 5 Tahun 1999. Artinya aparat lembaga KPPU dan departemen terkait yang

khusus mengatur industri dan perdagangan tepung terigu yaitu Departemen

Perindustrian dan Departemen Perdagangan harus memiliki standar prosedur

operasional yang jelas, dan bersikap tegas dalam mengatur industri dan

perdagangan tepung terigu, termasuk menindak perusahaan atau individu yang

melakukan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yang akan

merugikan masyarakat.

Kedua, dalam rangka mendukung implementasi Undang-Undang

persaingan usaha di Indonesia, perlu diperkuat dengan aturan-aturan formal lain

yang dapat mengendalikan perusahaan yang berpotensi merugikan pesaing

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 44: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

dan/atau masyarakat, berupa peraturan pemerintah, Keppres, maupun Surat

Keputusan Menteri yang terlibat langsung dengan pengaturan industri tepung

terigu nasional.

Ketiga, dukungan seluruh elemen masyarakat yang peduli terhadap

implementasi kebijakan persaingan usaha di Indonesia. Masyarakat harus

menyadari bahwa kebijakan persaingan usaha melalui penerapan UU No. 5

Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

sehat merupakan payung hukum dari kebijakan persaingan usaha yang

dijanlankan semata-mata dibuat untuk memberikan keuntungan dan

perlindungan kepada masyarakat.

2. Konsep Kebijakan Neo-Liberal

Gagasasan utama Neo-Liberal atau Ordo-Liberal menurut kelompok para

ahli hukum dan ekonomi yang tergabung dalam Mazhab Freibug seperti Wilhem

Ropke, Walter Eucken, Franz Bohm, Alexander Rustow, Alfred Muller dan

beberapa lainnya adalah apa yang sampai sekarang disebut dengan ekonomi

pasar sosial (social market economy), yaitu:

Sebuah sistem ekonomi yang bebas, namun dijaga dengan berbagai regulasi yang diciptakan untuk mencegah konsentrasi kekuasaan ekonomi yang biasanya terjadi dalam bentuk kartel, monopoli (trusts) dan pengaruh perusahaan-perusahaan raksasa. Regulasi dalam konsep Neo-Liberal sangat penting untuk menjaga agar kinerja pasar tetap kompetitif dan adil. Maka gagasan dalam neo-liberal atau ekonomi pasar sosial menurut Bohm, di satu pihak memerangi kekuasaan sektor publik maupun privat atas pasar; di lain pihak memerangi pasar bebas tanpa regulasi maupun kecenderungan perencanaan yang otoriter.57

Dalam memahami konsep Neo-Liberal ada beberapa pemahaman

filosofis yang terlibat dalam ekonomi pasar sosial. Pertama, dasar pemikiran

Neo-Liberal adalah Pertama, gagasan anti-naturalistik tentang pasar dan

kompetisi. Artinya, pasar (market) bukanlah gejala alami seperti gempa bumi

atau musim semi, dengan hukum-hukum alaminya yang berlaku.

57 Lihat Carl J. Friedrich, “The Political Thought of Neoliberalism”, The American Political

Science Review, vol. 49, No.2, 1999, dalam Dalam Pusaran Neoliberalisme oleh B, Herry Priyono, Yogyakarta: Penerbit Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003, h. 49.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 45: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

Pasar menurut konsep Neo-Liberal adalah satu dari berbagai model

hubungan sosial yang dibuat oleh manusia, yang dapat diciptakan dan dibatalkan

menurut desain manusia. Karena pasar bukan alami, maka kinerja pasar

membutuhkan tindakan politik yang bertugas menciptakan sederat kondisi agar

dapat beroperasi secara adil dan kompetitif.

Kedua, konsep Neo-Liberal menolak konsepsi sejarah yang mendasarkan

perubahan sosial hanya pada proses-proses perubahan ekonomi kapitalis,

seperti dalam dua ideologi besar yang nampaknya begitu bertentangan: yaitu

Marxisme Ortodoks dan Neoliberalisme dalam pengertian dewasa ini. Bagi kaum

Neo-Liberal sejarah kapitalisme adalah sejarah institusional-ekonomi. Menurut

kaum Neo-Liberal antara ekonomi dan infrastruktur sosial terjadi hubungan

sebab-akibat yang timbal balik.58

Ketiga, kinerja kapitalisme tidak seharusnya didasarkan pada logika

modal (capital), karena transaksi ekonomi hanyalah salah satu bentuk relasi

sosial. Hubungan-hubungan sosial manusia hadir bukan untuk mengabdi kepada

kapitalisme, melainkan kapitalisme hadir untuk membantu berlangsungnya relasi

sosial manusia. Karena bukan sebagai gejala alami, maka konsentrasi

kekuasaan bisnis, monopoli, dan kartel hanya bisa dijegah dan didekati dengan

politik kebijakan sosial (gesellschafts politik). Maka dalam hal tersebut terletak

pentingnya berbagai kebijakan sistem kesejahteraan (welfare system).

Keempat, selain sebagai pencegah kesenjangan kekuasaan yang tajam,

tujuan dari kebijakan sosial adalah untuk menciptakan dan memperluas etos

kewirausahaan (entrepreneurship) dalam masyarakat. Jika dalam liberalisme

klasik abad 18 kebijakan sosial yang minimal dianggap sebagai prasyarat bekerja

ekonomi, maka dalam gagasan Neo-Liberal bukan hanya kebijakan-kebijakan

sosial itu merupakan prasyarat mutlak bagi bekerjanya ekonomi yang adil-

58 Ibid, h. 50. Gagasan dasar ekonomi kelembagaan tersebut adalah, bahwa tindakan

manusia (termasuk tindakan ekonomi) bukanlah proses kalkulasi individual yang otonom dan terjadi di ruang kosong, melainkan berlangsung dalam jaringan relasi-relasi sosial dan institusional.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 46: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

kompetitif serta terciptanya berbagai bentuk kewirausahaan di dalam

masyarakat.

Beberapa pokok gagasan tentang Neo-Liberal atau Ordo-Liberal di atas

mencoba menembus pilihan-pilihan ekstrem antara, sistem komando dalam

sosialisme negara, dan sebuah sistem ekonomi kapitalis yang dikuasai oleh

konsentrasi kekuasaan modal lewat perusahaan-perusahaan raksasa, kartel dan

monopoli (trusts). 59 Sebagaimana ditunjukkan Carl Friedrich, pokok-pokok

gagasan kelompok Neo-Liberal adalah membuat perimbangan antara kebebasan

dan keadilan sosial, manusia individual dan manusia komuniter.60

Dalam memahami intervensi negara (pemerintah) dalam perekonomian,

Meier mengkategorikan dalam 3 (tiga) kadar intervensi yaitu intervensi

protektif/netral, produktif/positif dan eksploitatif/negatif. 61 Penjelasan mengenai

kadar intervensi negara itu adalah Pertama, jenis intervensi pemerintah yang

bersifat netral artinya intervensi yang paling rendah kadarnya (merupakan jenis

intervensi klasik). Di sini peranan pemerintah dibatasi hanya dalam bentuk

penyediaan barang-barang publik, keamanan, dan hukum. Negara yang

menganut intervensi netral disebut negara protektif (protective state) yaitu

intervensi netral dan secara esensi meminimalisasi kebijakan pemerintah.62

Kedua, intervensi pemerintah yang bersifat positif, artinya kebijakan-

kebijakannya ditujukan untuk memperbaiki kegagalan pasar yang mengarah

kepada upaya memaksimumkan kesejahteraan masyarakat (welfare). Negara

yang menganut intervensi posistif disebut negara produktif (productive state).

59 Wilhelm Ropke, The Social Crisis of Our Time, London: Transaction Publisher, 1950,

bagian 1&3. 60 Friedrich, op. cit., h. 525. 61 Lihat Meier dalam Sjahrir, op.cit., h. 89. 62 Seperti yang dituangkan dalam pemikiran Adam Smith (1723-1790) dalam bukunya

yang terkenal An, Inquiry into the Nature and Cause of the Wealth of Nations, London: Penguin Books, 1986, p. 687-688, pencetus utama ideologi liberalisme klasik ini menyatakan bahwa pemerintah memiliki tiga tugas yang sangat penting, dan yang begitu lugas serta jelas bagi kepentingan umum. Pertama, tugas untuk melindungi masyarakat dari kekerasan dan serbuan negara lain. Kedua, tugas untuk melindungi sejauh mungkin setiap warga masyarakat dari ketidakadilan dan pemaksaan/pemerasan yang dilakukan oleh warga lain, atau tugas menyelenggarakan secermat mungkin keadilan. Ketiga, tugas untuk mengadakan serta mempertahankan prasarana publik dan berbagai lembaga publik yang ada, bukan hanya bagi kepentingan orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu…

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 47: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

Ketiga, intervensi pemerintah yang bersifat negatif, artinya kebijakan-

kebijakannya cenderung negatif karena sifat intervensi mengarah kepada

keuntungan kelompok tertentu.

Negara yang menganut intervensi negatif disebut negara eksplotatif

(exploitative state). Salah satu kegiatan ekonomi yang sering menjadi sasaran

intervensi pemerintah adalah sektor pertanian pangan. Pemerintahan di negara

manapun, akan menempatakan kebijakan pengadaan pangan sebagai prioritas

utama pembangunannya. Hal ini disebabkan kebutuhan pangan merupakan

kebutuhan fisik setiap manusia., sehingga apabila kecukupan pangan

masyarakat tidak terpenuhi, maka berpotensi kepada kekacauan dan

menghilangnya kepercayaan publik terhadap pemimpin negaranya.63

Penjelasan lain mengenai konsep negara kesejahteraan (welfare state)

dikemukakan oleh Burhan D Magenda, bahwa :

Tujuan dari welfare state (negara kesejahteraan) adalah menghapuskan absolute poverty (kemiskinan absolut) dengan memberikan jaminan-jaminan minimum untuk kehidupan bagi setiap warganegara. Prinsip welfare state ini dianut oleh negara-negara liberal yang memakai sistem free market economy yang sampai batas waktu tertentu disertai dengan campur tangan pemerintah atau state (state intervention). Dalam menghapuskan kemiskinan absolut itu tadi, campur negara atau pemerintah diantaranya mengatur kebijakan-kebijakan pangan dan nutrisi, pendidikan, kesehatan, dan perumahan.64

Tetapi sebenarnya menurut Burhan D Magenda di banyak negara liberal,

termasuk Amerika Serikat, Eropa Barat dan negara-negara Skandinavia,

pemerintah sudah lama melakukan campur tangan dalam ekonomi pasar untuk

menjamin kesejahteraan minimal penduduk lapisan bawah.

63 Sjahrir, op.cit., h. 90, menurutnya Indonesia pun kini cenderung makin mengarah ke

dalam kelompok yang ketiga, di mana dirasakan banyak intervensi pemerintah tidak tepat. Menurut Sjahrir, semakin banyak jenis kegiatan ekonomi tertentu yang melindungi public interest yang dilepaskan kepada sektor swasta tertentu yang pada dasarnya bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan bagi kelempok tersebut, tetapi banyak pula kegitan swasta yang diambil oleh pemerintah yang notabene hanya untuk menyelamatkan kelompok swasta ini, bukan melindungi public interest. Ditambahkan contoh riil kebijakan pemerintah yang bersifat eksploitatif adalah penujukkan secara eksklusif Bogasari Flour Mills sebagai produsen penggiling tepung terigu oleh BULOG pda masa Orde Baru di bawah Soeharto.

64 Lihat tulisan Burhan D Magenda dalam Pembangunan Politik, Situasi Global, dan HAM di Indonesia, Penyunting Haris Munandar, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994, h. 136.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 48: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

Sementara menurut Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, intervensi negara dalam

perekonomian ditujukan dalam rangka memperbaiki kegagalan pasar (market

failure). Selengkapnya menurut Dorodjatun mengungkapkan bahwa:

Mekanisme pasar, bila tidak diintervensi pemerintah bisa menimbulkan pola alokasi sumberdaya ekonomi yang tidak memenuhi, bahkan mungkin bertentangan dengan tujuan atau kepentingan masyarakat luas, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.65

3. Hakikat Ilmu Ekonomi Politik Dalam mengkaji pengaruh kekuatan-kekutan elit ekonomi dan politik pada

proses pembuatan kebijakan, seperti pengaruh kekuatan-kekuatan elit ekonomi

dan politik dalam proses pembuatan undang-undang persaingan usaha, maka

pemahaman mengenai ilmu ekonomi politik (political economy), penting untuk

difahami dengan benar.

Menurut Michael P. Todaro, seorang ahli ekonomi politik dan

pembangunan dari New York University mengemukakan:

Political economy goes beyond traditional economics to study, among other things, the social and institutional process through which certain groups of economics and political elites influence the allocation of scarce productive resources now and future, either own benefit or for that of the larger population well. Political economy is therefore concerned with the relationship between politics and economics, with a special emphasis on the role of power in economic decision making.66

Cakupan ilmu ekonomi politik lebih luas dari jangkauan ilmu ekonomi tradisional. Fokous khususnya antara lain menyangkut proses-proses sosial dan kelembagaan yang memungkinkan kelompok-kelompok elit ekonomi dan politik mempengaruhi alokasi sumberdaya-sumberdaya produktif yang persediaannya terbatas (langka), sekarang atau di masa yang akan datang, baik secara khusus untuk keuntungan diri atau kelompok mereka sendiri, maupun secara umum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang lebih luas. Dengan demikian ilmu ekonomi politik itu pada intinya membahas kaitan antara ilmu politik dan ilmu

65 Lihat tulisan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, dalam Coralie B & Louise G White, Manajemen

Pembangunan untuk Negara Berkebang, Jakarta: LP3ES, 1987. h. xiv. 66 Michael P. Todaro, Economic Development, seventh edition, New York: Addison

Wesley, 2000. p. 8.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 49: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

ekonomi, dengan perhatian utama pada peranan kekuasaan dalam pembuatan keputusan-keputusan ekonomi.

4. Pengertian Konsep Pembuatan Kebijakan Menurut Michael Hill :

Policy is a course of action adopted and pursued by government, party, ruler, statesman etc.; any course of action adopted as advantageous or expedient…

Kebijakan merupakan suatu arah dari tindakan yang diputuskan dan dijalankan oleh suatu pemerintahan, partai, lembaga regulasi, atau oleh ahli tata negara Setiap arah tindakan tersebut harus memberikan manfaat dan kelayakan...67

Selanjutnya Michael Hill menyatakan bahwa :

Proses pembuatan kebijakan melibatkan tiga aktor utama yakni anggota partai politik (party politicians), kelompok kepentingan (interest group), dan pemerintah (administrators). Menurut Michael Hill, proses pembuatan kebijakan merupakan sebuah proses politik. Menurutnya, terdapat potensi konflik antar aktor utama untuk memperoleh arah kebijakan yang terbaik dalam proses pembuatan kebijakan.68

Menurut Horld D. Lasswell:

Policy analysis is the avtivity of creating knowledge of and in the policy making process.

Analisis kebijakan adalah aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan.69

67 Michael Hill , The Policy Process in the Modern State, Third Edition, London: Prentice

Hall. 1997. h. 6. 68 Ibid., p.99. 69 Harold D. Lasswell, A Preview of Policy Sciences, New York: American Elsevier

Publishing Co., 1971, h. 1. Lasswell menggunakan istilah ilmu kebijakan (policy sciences) daripada analisis kebijakan (policy analysis). Tentang ringkasan kontribusi yang menjajikan terhadap analisis kebijakan dan ilmu kebijakan, lihat Gary D. Brewer dan Peter de Leon, Foundation of Policy Analysis (Homewood, The Dorsey Press, 1983).; dan Ronald D. Bruner, “The Policy Movement as a policy Problem” dalam Advances in Policy Study Sinces 1950, Vol. 10 of Policy Studies Review Annual, ed. William N. Dunn dan Rita Mae Kelly ( New Brunswick, NJ: Transaction Books, 1992), h. 155-197.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 50: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

Selanjutnya menurut Lasswell:

In creating knowledge of policy-making processes, policy anlysts investigate the causes, consequences, and performance of public policies and programes. Such knowledge remains incomple, however, unless it is made available to policymakers and the public they are obligated to serve. Only when knowledge of is linked to knowledge in can members of executive, legislative, and judicial bodies along citizens who have a stake in a public decisions, use the results of policy analysis to improve the policy-making process and its performances. Because the effectiveness of policy making depends on access to the stock of available knowledge, the communication and use policy analysis are central to practice and theory of public policy making.

Dalam menciptakan pengetahuan tentang proses pembuatan kebijakan, analis kebijakan meneliti sebab, akibat, dan kinerja kebijakan dan program publik. Pengetahuan tersebut menjadi tidak lengkap kecuali jika hal tersebut diserahkan kepada pengambil kebijakan dan mereka yang berkewajiban melayaninya. Ketika pengetahuan tentang dikaitkan dengan pengetahuan dalam proses pembuatan kebijakan, anggota-anggota badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, bersama dengan warga negara yang memiliki peranan dalam keputusan-keputusan publik, dapat menggunakan hasil-hasil analisis kebijakannya yang digunakan untuk memperbaiki proses pembuatan kebijakan dan kinerjanya. Karena efektivitas pembuatan kebijakan tergantung kepada akses terhadap keluasan pengetahuan yang tersedia, komunikasi dan penggunaan analisis kebijakan menjadi sangat penting dalam praktek maupun teori pembuatan kebijakan publik. 70

Menurut Wiiliam N Dunn, Analisis proses kebijakan merupakan sebuah

rangkaian aktivitas intelektual yang terdiri dari berbagai aktivitas yang beresensi

politik. Aktivitas politik tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan

dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang

diatur menurut urutan waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi

kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. 71

70 Ibid, A Preview of Policy Sciences. Pernyataan klasik mengenai masalah ini adalah

Charles E. Lindblom dan David K. Cohen, Usable Knowledge; Social Science and Social Problem Solving (New Haven, CT: Yale University Press, 1979); dan Carol H Weiss, Social Science Research and Decision Making (New York: Columbia University Press, 1980). Untuk pernyataan mutakhir, lihat David J Webber, “The Distribution and Use of Policy Knowledge in The Policy Process”, dalam Dunn dan Kelly, Advances in Policy Studies Since 1950, hal. 415-41; dan Duncan MacRae, Jr., “Policy Anaysis and Knowledge Use”, Knowledge and Policy:The International Journal of KnowledgeTransferand Utilization, 4, No.3 (Fall 1991), 36-50.

71 William N Dunn, Public Policy Analysis :, An Introduction, New Jersey : Prentice Hall. 1994. h. 15.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 51: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

Menurut Richard Rose analisis kebijakan adalah salah satu diantara

sejumlah banyak aktor lainnya di dalam sistem kebijakan. Suatu sistem kebijakan

(policy system) atau seluruh pola institusional, mencakup hubungan timbal balik

diantara tiga unsur, yaitu: kebijakan publik, pelaku kebijakan, dan lingkungan

kebijakan.

Rose menyatakan :

Public policies, which are long series of more or less related choices (including decisions not to act) made by governmental bodies and officials, are formulated in issue areas which range from defense, energy, and health to education, welfare, and crime.

Kebijakan publik merupakan rangkaian pilihan yang kurang lebih saling berhubungan (termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak) yang dibuat oleh badan dan pejabat pemerintah, dan diformulasikan di dalam bidang-bidang isu mulai dari pertahanan, energi, dan kesehatan sampai pendidikan, kesejahteraan dan kejahatan. 72

5. Konsep Kebijakan Persaingan (Competition Policy) Menurut Massimo Motta definisi kebijakan persaingan adalah

seperangkat kebijakan dan perundang-undangan yang menjamin bahwa

persaingan dalam setiap pasar tidak dibatasi oleh kekuatan perusahaan tertentu

yang dapat merugikan masyarakat. Selanjutnya Motta menyimpulkan bahwa :

Competition policy is the set of policies and laws which ensure that competition in the marketplace is not restricted in such a way as to reduce economic welfare.

Kebijakan persaingan usaha merupakan seperangkat kebijakan dan perundang-undangan yang menjamin bahwa persaingan dalam setiap pasar tidak dibatasi, sehingga dengan demikian persaingan merupakan jalan menuju kesejahteraan ekonomi.73

Kebijakan persaingan yang dibuat oleh pemerintah melalui perangkat

perundang-undangan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan konsumen.

72 Lihat Richard Rose, dalam The Dynamics of Public Policy: A Comparative Analysis

(London and Beverly Hills:Sage Publications, 1976) h. 9-10. 73 Massimo Motta, Competition Policy: Theory and Practice, Cambridge: Cambridge

University Press, 2004, p. 30.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 52: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

Kebijakan persaingan usaha yang ditetapkan pemerintah melalui perangkat

perundang-undangan berikut penetapan sanksi bagi yang melanggarnya,

diharapkan dapat meminimalisasi monopoli dan berbagai bentuk pelanggaran

persaingan usaha lainnya.

Para ahli ekonomi organisasi industri dari Universitas Harvard, pada

tahun 1930-an dan 1940-an, menggunakan sebuah pendekatan metodologi

umum untuk menganalisis pasar yang didasarkan kepada tiga konsep kunci yaitu

(1) Structure, (2) Conduct, (3) Performance atau konsep Structure-Conduct-

Performance (SCP).

Hipotesa hubungan diantara ketiga konsep kunci SCP adalah bahwa

struktur pasar (jumlah penjual, kemudahan akses masuk dan sebagainya) dari

sebuah pasar akan menjelaskan atau mendeterminasikan pada sebuah ukuran

derajat tingkah laku (kebijakan penetapan harga, penetapan iklan, dan

sebagainya) dari pelaku pasar, selanjutnya akan berpengaruh terhadap performa

atau keputusan (efisiensi, maupun teknis kemajuan perusahaan) dari pelaku

pasar yang semata-mata dijadikan sebagai bahan evaluasi atas hasil tingkah

laku atau kebijakan-kebijakan yang telah diambil perusahaan.

Di bawah ini adalah representasi skema Structure-Conduct-Performance :

Tanda panah yang terputus diantara dua blok tingkah laku (conduct) dan struktur

pasar (strcture) mengindikasikan bahwa tingkah laku perusahaan, suatu waktu

dapat menjadi umpan balik “feedback” terhadap perubahan struktur pasar. Di

sana terdapat sejumlah kesempatan bagi perusahaan yang ada untuk

mempengaruhi struktur pasar. Kemudian kegiatan investasi perusahaan dalam

riset dan pengembangan produk dapat menekan biaya produksi dan

melemahkan pesaing perusahaan untuk keluar dari persaingan.74

Gambar 1.2. The Structure-Conduct-Performance Model of Industrial Organization

74 W. Kip Viscuisi, John M. Vernon and Joseph E, op.cit, p. 57.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 53: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

PERMORMANCE Efficiency, Technical progress

STRUCTURE Concentration Product differrentiation, Entry barriers

GOVERNMENT POLICY

Antitrust, Regulation

CONDUCT Pricing, Advertising, Research and Development

Source : Economics of Regulation and Antitrust, The MIT Press, 1995. p. 58.

Menurut Alan Roger Boner dan Reinald Kruger, kebijakan persaingan

mencakup semua kebijakan pemerintah yang dijalankan untuk mempertahankan

dan melindungi persaingan di antara pembeli dan penjual di pasar bebas yang

relatif tidak dikendalikan. 75 Sementara menurut Bloch, tujuan kebijakan

persaingan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan konsumen dengan

mendorong alokasi sumber-sumber masyarakat secara efisien, yang didasarkan

atas prinsip fundamental bahwa dalam kondisi kompetitif perusahaan memberi

konsumen harga dan mutu yang baik.76

Menurut Khemani R Shyam, kebijakan persaingan mencakup kebijakan

membuka pasar (market-opening policy), yang mendorong persaingan di pasar

lokal dan nasional, khususnya lewat tindakan seperti liberalisasi perdagangan,

swastanisasi perusahaan negara, liberalisasi kebijakan investasi asing, maupun

undang-undang persaingan (undang-undang antitrust atau antimonopoli) yang

75 Alan Roger Boner and Reinald Kruger, “The Basic of Anti-Trust Policy : A Review of Ten

Nations and the European Comunity“, World Bank Technical Paper No. 160, Washington DC, The World Bank. 1991, p. 1. dalam Thee Kian Wie, Pembangunan, Kebebasan dan Mukjizat Orde Baru, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004, h. 176.

76 Bloch, “Anti-Trust Laws, Enforcement and Lessons from the U.S. Experience”, Anti-Trust Division, U.S. Deapartement of Justice, March, 1992, p. 3. dalam Thee Kian Wie, Pembangunan, Kebebasan dan Mukjizat Orde Baru, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004, h. 177.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 54: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

dirancang untuk mencegah praktek bisnis anti persaingan.77 Menurut Thee Kian

Wie, kebijakan persaingan termasuk juga di dalamnya larangan bagi pemerintah

untuk mengintervensi pasar, terutama dengan memberlakukan berbagai

hambatan terhadap persaingan.78

Menurut Hill, selama Orde Baru ancaman terbesar terhadap persaingan

bebas dan terbuka adalah pemerintah itu sendiri, yang memberlakukan berbagai

peraturan dan rintangan terhadap persaingan. Barangkali dengan mengingat hal

ini, Hal Hill mempertanyakan perlunya memberlakukan satu undang-undang

persaingan di Indonesia pada tingkat perkembangan sekarang ini. 79

Menurut Boner dan Krueger, seperti kebijakan persaingan pada

umumnya, undang-undang persaingan harus memiliki tujuan utama, yaitu

mempertahankan dan melindungi persaingan pasar bebas dan terbuka. Hal ini

mencakup pencegahan praktek bisnis antipersaingan dan pemberlakuan

rintangan terhadap persaingan yang merugikan kesejahteraan konsumen. Fokus

utama undang-undang persaingan ditujukan kepada perilaku bisnis perusahaan

yang secara nyata atau berpotensi antipersaingan, bukan kepada struktur pasar

atau ukuran perusahaan.

Prioritas badan antitrust atau antimonopoli adalah pengaturan perilaku

perusahaan yang dominan.80 Menurut Khemani, dalam hal ini diperlukan badan

antimonopoli yang bertindak terhadap perusahaan atau kelompok perusahaan

yang bertindak restriktif atau antipersaingan. Menurut Khemani badan

77 Khemani, R. Shyam, “The Importance of Competition Law Policy in Fostering Economic

Growth”, paper presented at the World Bank/ADB/USAID/AusAid International Conference on Competition Policy and Economic Adjustment, Jakarta, 22 May 2000.

78 Pemerintah terkadang memberlakukan kebijakan antipersaingan dengan membuat aturan hambatan masuk (barrier to entry) secara legal kepada perusahaan-perusahaan yang ingin bersaing dalam pasar/industri tertentu dalam rangka melindungi perusahaan monopolis.

79 Lihat Hal Hill, “Indonesia’s Microeconomics Policy Challenges: Industri Policy, Competititon Policy and Small-Medium Enterprises”, Indonesian Quarterly, XXVII (1), 1999.

80 Lihat kembali Boner, Roger and Reinald Kruger. The Basic of Anti-Trust Policy : A Review of Ten Nations and the European Comunity, World Bank Technical Paper No. 160, Washington DC, The World Bank. 1991. p. 21.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 55: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

antimonopoli tidak bertindak hanya karena perusahaan itu besar atau bergerak

pada industri yang tinggi konsentrasinya.81

Menurut Gary Goodpaster, ada dua tipe perilaku bisnis yang dapat

mengancam persaingan sehingga memerlukan pengawasan badan antimonopoli.

Pertama adalah pembentukan kartel atau pembentukan kelompok perusahaan

yang bertujuan mengurangi persaingan di pasar, dimana mereka beroperasi.

Kartel bisa menentukan harga, mengalokasikan pasar, mencurangi penawaran

harga, dan dalam beberapa hal memboikot pesaing non-anggota yang dapat

memenuhi permintaan harga lebih rendah dari pembeli. Kedua, adalah

pemblokingan pasar, artinya perusahaan pemegang monopoli menghambat

masuknya pesaing potensial ke dalam pasar.82

Implementasi kebijakan Pemerintah Orde Baru yang prokapitalis, tampak

pada gaya kebijakannya yang klientelistik yaitu gaya kebijakan yang ditujukan

untuk membina kekuatan pribadi antara Soeharto dan pengusaha klien.

Pengusaha klien etnis Tionghoa era Orde Baru seperti Lim Sioe Liong

mendapatkan fasilitas eksklusif dari negara dalam membangun industri yang

direncanakan pemerintah, diantaranya pembangunan industri tepung terigu

dalam skala raksasa yang pada awalnya untuk mengantisipasi kelangkaan

beras. Sejalan dengan pemikiran Arief Budiman, dalam sistem ekonomi

kapitalisme seperti yang dijalankan pemerintah rezim Orde Baru, sejujurnya aktor

yang paling utama dalam pembangunan industri adalah kaum pemilik modal

yang dekat dengan elit penguasa.

Salah satu permasalahan politik dalam hal pembuatan kebijakan publik di

Indonesia adalah munculnya ketidakseimbangan peranan antarlembaga negara,

khususnya ketidakseimbangan kekuasaan antara lembaga eksekutif dan legislatif

yang terjadi pada masa rezim Orde Baru berkuasa. Seperti yang telah

dikemukakan oleh Harold D. Lasswell, permasalahan utama ketidakseimbangan

81 Khemani, R. Shyam, “The Importance of Competition Law Policy in Fostering Economic

Growth”, paper presented at the World Bank/ADB/USAID/AusAid International Conference on Competition Policy and Economic Adjustment, Jakarta, 22 May 2000. p. 6.

82 Goodpaster, Gary, The Concept of Competitive Law, unpublished paper, Jakarta, 1998, p.2-3.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 56: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

peranan dalam proses pembuatan kebijakan terletak pada rendahnya

pengetahuan anggota legislatif dalam memecahkan persoalan-persoalan yang

sedang dihadapi masyarakat.

Kelemahan rendahnya pengetahuan anggota DPR ini dimanfaatkan oleh

presiden dan para menteri Orde Baru maupun era reformasi untuk

mempengaruhi dan menekan para anggota DPR untuk memenuhi keinginan

mereka. Oleh karena itu, produk-produk perundang-undangan di masa Orde

Baru dan beberapa produk perundang-undangan pada masa reformasi seringkali

tidak efektif, karena akses pengetahuan dan komunikasi para anggota DPR

dengan masyarakat tidak memenuhi harapan masyarakat itu sendiri.

Negara Birokratik Otoriter atau Negara BO muncul akibat terjadinya krisis

ekonomi. Pada masa melakukan Industrialisasi Substitusi Impor (ISI), negara

bekerja sama dengan pengusaha-pengusaha dalam negeri dan berusaha

meningkatkan daya beli masyarakat dengan melaksanakan kebijakan

pemerataan pendapatan.

Model ”Korporatisme-Negara” oleh Philippe Schmitter dapat melengkapi

model Negara BO O’Donnell. Menurut Schmitter, korporatisme adalah suatu

sistem perwakilan kepentingan di mana unit-unit yang membentuknya diatur

dalam organisasi-organisasi yang jumlahnya terbatas dan bersifat tunggal,

mewajibkan (keanggotaan), tidak saling bersaing, diatur secara hirarkis; yang

diakui atau diberi izin oleh negara dan diberi hak monopoli untuk mewakili

kepentingan dalam bidangnnya masing-masing sebagai imbalan atas kesediaan

mematuhi pengendalian-pengendalian tertentu dalam pemilihan pemimpin

mereka dan dalam artikulasi tuntutan dan dukungan.

Menjelaskan aplikasi teori dalam penelitian yang menjelaskan hubungan

negara, borjuasi nasional dan modal asing, kasus industri tepung terigu di

Indonesia menjadi menarik untuk diteliti. Kebijakan impor gandum pada awalnya

dimaksudkan untuk mengatasi krisis perberasan nasional di awal rezim Orde

Baru berkuasa yakni sekitar tahun 1970. Keterlibatan negara melalui Bulog pada

awal kekuasaan Orde Baru nampak dominan. Bulog sebagai representasi

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 57: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

kekuasaan pemerintah Orde Baru dalam hal penyediaan pangan memiliki hak

prerogatif dalam pengadaan tepung terigu sebagai substitusi beras.

Namun karena keterbatasan pemerintah akan barang modal (capital

goods) berupa mesin-mesin produksi tepung terigu dan alat-alat bantu produksi,

maka pemerintah melibatkan Liem Sioe Liong sebagai borjuasi nasional atau

pengusaha klien untuk membantu program diversifikasi pangan pemerintah

dengan membuat pabrik tepung terigu. Penunjukkan secara eksklusif ini menjadi

titik awal permasalahan monopoli dalam industri tepung terigu di Indonesia oleh

Bogasari Flour Mills.

Menurut Richard Robison dalam bukunya yang berjudul Indonesia: The

Rise of Capital, kekuatan ekonomi Bulog dan sifat hubungannya dengan militer

dalam hal ini Kostrad, kaum kapitalis swasta lokal dan perusahaan negara,

tercermin dalam pendirian P.T. Bogasari sebagai produsen tepung terigu

pertama di Indonesia. Keputusan pemerintah rezim Orde Baru untuk

membangun sebuah industri tepung terigu di Indonesia pada akhirnya tercapai

pada tahun 1970. Indonesia memiliki pabrik tepung terigu pertama yaitu P.T.

Bogasari yang dimiliki oleh Lim Sioe Liong dan bekerjasama dengan kalangan

keluarga Soeharto yaitu Sudwikatmono yang duduk menjabat sebagai Presiden

Direktur P.T. Bogasari.83

Selanjutnya Richard Robison menyatakan bahwa hubungan antara Bulog,

militer (Kostrad) dan P.T. Bogasari terus berlanjut seiring dengan perjalanan

bisnis tepung terigu yang dimiliki oleh kelompok usaha Liem Sioe Liong. Bahkan

menurutnya setiap laba yang diperoleh dari usaha tepung terigu yang dijalankan

oleh P.T. Bogasari, sebesar 26% dari total laba P.T. Bogasari tersebut disalurkan

ke Yayasan Harapan Kita milik Ibu Tien Soeharto dan Yayasan Dharma Putra

milik Kostrad.84 Menurut Ricahrd Robison, selama rezim Orde Baru berkuasa,

83 Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital, North Sydney: Allen&Unwin Pty Ltd, 1986, p. 232. 84 Lihat laporan BNPT (Berita Negara Tambahan Persaeroan Terbatas) h. 258, dimana

BNPT melaporkan temuan mengenai pembagian 26% dari total laba P.T. Bogasari yang harus disalurkan kepada yayasan milik Ibu Tien Soeharto dan yayasan milik Kostrad tersebut.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 58: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

Bulog dan P.T. Bogasari keduanya menjalankan bisnis tepung terigu di bawah

satu payung politik.85

Menurut Andrew Macintyre, dalam bukunya yang berjudul Business and

Politics in Indonesia, bahwa pada masa Orde Baru ternyata tiga kekuatan partai

politik yaitu GOLKAR, PPP dan PDI memiliki pengaruh yang lemah dalam

perumusan sistem pembuatan kebijakan di Indonesia. Kebijakan-kebijakan publik

termasuk kebijakan persaingan yang terjadi pada rezim Orde Baru banyak

dipengaruhi oleh kekuatan pemerintah. Menurut Macintyre, pada kenyataanya

bahwa GOLKAR dan kedua parpol kecil lainnya semuanya dikendalikan oleh

kekuatan pemerintah rezim Orde Baru.86

Selanjutnya Macintyre menjelaskan bahwa kekuatan setiap sektor bisnis

dan sub-sektor bisnis pada rezim Orde Baru lebih didukung oleh kekuatan

asosiasi-asosiasi perusahaan yang mereka bentuk sendiri, seperti Asosiasi

Eksportir Kopi, Asosiasi Real Estat, Asosisiasi Perusahaan Ban Mobil, Asosiasi

Produsen Pestisida, Asosiasi Produsen Pasta Gigi dan lain-lain. Asosiasi-

asosiasi perusahaan tersebut berpusat pada KADIN (Kamar Dagang dan

Industri) yang berdiri pada tahun 1968. Menurut Macintyre, berbagai jenis

asosiasi di Indonesia dikendalikan KADIN. Sehingga KADIN menjadi alat

kepentingan bisnis dan politik di Indonesia.87

Menurut Muhammad Chatib Basri, pemberian monopoli yang dinikmati

beberapa perusahaan monopoli di Indonesia termasuk lisensi produksi tepung

terigu secara eksklusif oleh Bulog kepada Bogasari/Indofood Sukses Makmur

terkesan bermuatan politik, karena pemberian lisensi produksi tepung terigu ini

merupakan hasil interaksi kelompok kepentingan dengan Pemerintah.

Selanjutnya Muhammad Chatib Basri menjelaskan persoalan monopoli tepung

terigu oleh Bogasari/Indofood Sukses Makmur ataupun monopoli lain bukan

85 Bulog dan P.T. Bogasari sebagai mitra utama dalam bisnis tepung terigu pada masa Orde Baru diharuskan memiliki visi yang sama dalam hal pengadaan dan pendistribusian tepung terigu di Indonesia. Tata niaga tepung terigu ini menjadikan Bulog dan P.T. Bogasari menjadi institusi yang sama-sama memiliki kekuatan monopoli. Bulog memonopoli impor gandum, sedangkan P.T. Bogasari memonopoli penggilingan tepung terigu.

86 Adrew Macintyre, Business and Politics in Indonesia, North Sydney: National Library of Australia, 1991, p. 40.

87 Ibid, p. 41.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 59: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

terletak pada argumentasi kestabilan harga, tetapi cenderung pada argumentasi

kestabilan interaksi kelompok kepentingan dan Pemerintah.88

Menurut Gordon Tullock, tokoh yang memperkenalkan konsep biaya

monopoli, paling tidak ada dua hal yang harus diperhatikan dalam struktur pasar

monopoli, Pertama, pasar monopoli mengambil surplus konsumen. Kedua,

menimbulkan inefisiensi dalam alokasi sumber daya sehingga ada bagian dari

sumber daya yang hilang, yang tidak dapat dinikmati baik oleh konsumen mupun

produsen (dead weight loss).89

Studi lebih jauh dilakukan oleh Posner, yang menjelaskan bahwa biaya

monopoli terhadap masyarakat sebenarnya melebihi dari dead weigth loss,

karena secara tidak langsung, monopoli akan membawa aktivitas ekonomi rente

atau rent seeking. Dalam aktivitas ekonomi rente, perusahaan akan

mengeluarkan biaya untuk mempertahankan monopolinya melalui lobi dan

aktivitas lain. Dengan demikian, dalam kasus ekonomi rente, biaya monopoli

pada akhirnya dapat menghilangkan suplus produsen untuk demi melakukan

lobi.90

Menurut Stephen Magee dari University of Texas, aktivitas untuk

mengakumulasi kekayaan perusahaan disamping melalui aktivitas produksi, juga

melalui transfer kekayaan atau predation. Aktivitas predation dapat dilakukan

melalui lobi politik. Lobi politik pada dasarnya merupakan upaya untuk

mempertahankan monopoli, diantaranya dengan menyediakan dana untuk

mendukung pemerintah agar mereka dapat memaksimumkan keuntungan

88 Lihat tulisan Muhammad Chatib Basri dalam “Indofood, Monopoli, dan Ekonomi Rente”

15 Agustus 1997. http://members.tripod.com/~Dewata/kolom3.htm, p.1-3. Menurut Chatib Basri, aktivitas rent seeking akan muncul dalam bentuk upaya memperoleh lisensi melalui lobi kepada politisi atau pejabat pemerintah. Selain itu, aktivitas ekonomi rente juga dapat membawa implikasi overinvestment dalam modal fisik untuk menjustifikai lisensi yang diberikan oleh pejabat pemerintah.

89 Ibid, h.1 90 Dalam teori organisasi industri, surplus produsen didefinisikan sebagai kelebihan yang

diperoleh produsen sebagai akibat dari kemampuan daya beli pasar di atas harga jual yang ditawarkan oleh produsen.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 60: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

ekonominya dalam sistem politik yang ada. Dalam teori ekonomi politik, lobi

untuk mempertahankan monopoli disebut endogeneous protection.91

Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, lobi-lobi politik yang

dilakukan oleh pengusaha besar untuk mempengaruhi pengambil kebijakan

pemerintah, di pemerintah pusat maupun di daerah supaya pelaku usaha

mendapatkan akses bisnis yang menguntungkan disebabkan oleh buruknya

kualitas SDM birokrasi. Buruknya kualitas SDM birokrat disebabkan oleh sistem

rekrutmen dan pengupahan yang buruk, sehingga korupsi, kolusi, nepotisme

merupakan cara yang paling cpat untuk memperoleh kekayaan materi. Buruknya

sistem birokrasi di Indonesia semakin diperparah oleh tidak adanya penegakan

hukum (law enforcement) oleh aparat yang berwenang.

Pemerintah era reformasi menyadari bahwa untuk memperbaiki dunia

usaha yang tidak mandiri yang banyak menimbulkan kerugian bagi masyarakat,

perlu dibantu dengan kebijakan persaingan usaha yang akan menjadi payung

hukum implementasi persaingan usaha di Indonesia. Kehadiran pengusaha klien

merupakan hasil pembangunan politik Indonesia yang meniru liberalisme negara-

negara Barat yang kapitalistik.

Sejarah membuktikan bahwa sistem politik liberalisme yang dianut oleh

negara-negara dunia ketiga tidak cocok dengan karakter budaya dan tata nilai

yang berlaku pada masyarakat Indonesia. Selain itu, gaya kebijakan

pemerintahan Orde Baru yang klientelistik bertolak belakang dengan prinsip-

prinsip mekanisme pasar yang terkandung dalam sistem ekonomi pasar bebas

yang tidak membolehkan campur tangan negara dalam perekonomian.

Transformasi kebijakan kapitalistik Orde Baru berubah kepada konsep

kebijakan Neo-Liberal Orde Reformasi mencoba memasukkan campur tangan

negara dalam upaya menghentikan praktek-praktek monopoli dan penguasaan

perusahaan-perusahaan raksasa yang dapat merugikan masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu, pemerintah Orde Reformasi menetapkan Undang-undang No. 5

91 Lihat kembali cuplikan Muhammad Chatib Basri, yang memuat cuplikan pendapat

Stephen Magee dalam http://www.members.tripod.com/~dewata/kolom3.htm. p.1-3.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 61: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat sebagai bentuk tanggungjawab negara dalam melindungi masyarakat

Indonesia dari penguasaan perusahaan-perusahaan raksasa di dalam negeri.

Koreksi pemerintah Orde Reformasi dalam pengelolaan pengadaan

tepung terigu nasional adalah melalui kebijakan liberalisasi pangan. Dimana

pemerintah menghapus monopoli Bulog dalam pengadaan gandum dan tepung

terigu. Deregulasi sektor pangan ditetapkan melalui Keppres RI No. 19 Tahun

1998. Selama rezim Orde Baru berkuasa, pasokan tepung terigu domonopoli

oleh Bogasari Flour Mills, dengan Bulog sebagai importer tunggalnya. Sementara

di Era Reformasi semua pihak boleh mengimpor gandum dan tepung terigu

secara bebas, tanpa harus meminta izin ke Bulog.

E. Alur Berfikir Menurut Guillermo O’Donnel, kebijakan pemerintah Negara Birokratik

Otoriter yang sedang menjalankan program industrialisasi biasanya didukung

oleh entrepreneur atau pengusaha oligopolistik, dan berkolaborasi dengan

masyarakat bisnis internasional.92 Kebijakan pemerintah pada Negara Birokratik

Otoriter tersebut memiliki kemiripan dengan kebijakan pemerintah rezim Orde

Baru yang menjalin kerjasama dengan konglomerat etnik Tionghoa dan negara-

negara Barat sebagai negara pengekspor gandum pada saat membangun

industri tepung terigu nasional di awal tahun 1970-an.93

Hubungan negara dan pengusaha pada era reformasi dalam bisnis

tepung terigu di Indonesia seiring ditetapkannya Undang-Undang No. 5 Tahun

1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

membawa perubahan baru dalam interaksi antarkekuatan politik dalam

hubungan dunia bisnis di Indonesia.

92 O’Donnell dalam Mohtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru, 1966-1971,

Jakarta : LP3ES, 1989, h. 10. 93 Gandum merupakan bahan baku untuk membuat tepung terigu, yang tumbuh dengan

baik di daerah-daerah bersuhu rendah seperti di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Pemerintah Orde Baru melalui Bulog mengimpor gandum dari negara-negara Barat, khususnya dari Amerika Serikat dan Eropa Barat sebelum diproses menjadi tepung terigu oleh P.T. Bogasari pada awal-awal pembangunan industri tepung terigu di Indonesia.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 62: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

Aktivitas-aktivitas politik yang mempengaruhi hubungan negara dan

pengusaha dalam bisnis tepung terigu pada era reformasi di Indonesia melalui

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai payung hukum kebijakan persaingan

usaha yang mengatur hubungan antara negara dan pengusaha dalam bisnis

tepung terigu di Indonesia merupakan variabel terikat atau dependent variable.

Hubungan negara dan produsen tepung terigu nasional yang mengacu

kepada Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 setidak-tidaknya dipengaruhi oleh 4

(empat) faktor, yaitu:

Pertama, kekuatan politik antarfraksi yang ada di DPR yaitu FKP, FPPP,

FPDI dan FABRI yang terhimpundalam Pansus RUU Persaingan Usaha. Kedua,

kekuatan politik pemerintah yang diwakili oleh Menteri Perindustrian dan

Perdagangan dalam mengatur atau mempengaruhi pengusaha (produsen)

tepung terigu supaya patuh terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan.

Ketiga, kekuatan politik dan hukum KPPU sebagai lembaga mengawasi jalannya

persaingan usaha yang dalam bisnis tepung terigu di Indonesia.

Keempat, pengaruh kekuatan politik Bogasari Flour Mills sebagai

perusahaan dominan dalam industri tepung terigu di Indonesia. Keempat variabel

ini terangkum ke dalam variabel bebas atau independent variable yang akan

mempengaruhi hubungan antara negara dan pengusaha dalam bisnis tepung

terigu pada era reformasi di Indonesia.

Signifikansi keempat variabel bebas, mempengaruhi hubungan antara

negara dan pengusaha dalam bisnis tepung terigu di Indonesia pascareformasi.

Hal ini tercermin dari dukungan seluruh fraksi yang terhimpun dalam Pansus

RUU Persaingan Usaha DPR RI yang mendesak untuk segera ditetapkannya

UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat di Indonesia. Tujuan Pansus RUU Persaingan Usaha adalah

untuk memeperbaiki iklim usaha di Indonesia menuju persaingan usaha yang

lebih adil dan merata.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 63: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

Hubungan antara negara dan pengusaha dalam bisnis tepung terigu di

Indonesia mempertaruhkan dua kekuatan negara dan pengusaha. Era liberalisasi

pangan yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1998 sesuai dengan Keppres No.

19 Tahun 1998 secara tidak langsung melegalkan penguasaan komoditas tepung

terigu dari negara kepada Bogasari Flour Mills. Hanya saja, penguasaan pangsa

pasar yang dimiliki oleh Bogasari Flour Mills tidak disalahgunakan untuk

melakukan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.

Pergeseran kekuatan pengelolaan tepung terigu dari negara kepada

swasta merupakan sustu keniscayaan. Dalam kasus industri tepung terigu

nasional, negara tidak dapat menekan Bogasari Flour Mills untuk menurunkan

pangsa pasarnya, sepanjang Bogasari Flour Mills tidak melakukan tindakan

melawan hukum persaingan usaha, karena perusahaan tersebut efisien dan

profesional. Negara tidak mungkin memaksakan Bogasari Flour Mills untuk

mengurangi tingkat pangsa pasarnya ke level yang diinginkan pemerintah.

Kebijakan pengelolaan bisnis industri tepung terigu di Indonesia tidak

terlepas dari pengaruh konflik kekuatan kelompok-kelompok kepentingan

(interests groups). Konflik kepentingan antara produsen yang sudah eksis

tergabung dalam Asosiasi Produsen Tepung Terigu (APTINDO) yang

dikendalikan Bogasari Flour Mills dengan produsen-produsen tepung terigu baru.

Apakah negara akan bersikap netral terhadap semua pelaku usaha industri

tepung terigu, atau sebaliknya negara akan bersikap memihak kepada salah satu

kelompok kepentingan tertentu.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 64: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

Gambar 1.3. Alur Pemikiran Studi

Kekuatan Politik Pemerintah dalam Mempengaruhi Produsen Tepung Terigu

Power Interplay antarfraksi dalam Proses RUU Persaingan Usaha

Kekuatan KPPU Sebagai Pengawas Persaingan Usaha dalam Bisnis Tepung Terigu di Indonesia

Kekuatan Negara dan Pengusaha dalam Industri Tepung Terigu Pada Era Reformasi di Indonesia

Kekuatan Bogasari Flour Mills Sebagai Perusahaan Dominan dalam Bisnis Tepung Terigu di Indonesia

Kehadiran kelompok-kelompok kepentingan (interest group) dalam

mempengaruhi hubungan negara dan pengusaha dalam bisnis tepung terigu

muncul sebagai reaksi terhdap kebijakan liberalisai pangan tepung terigu yang

ditetapkan oleh pemerintah. Kelompok-kelompok kepentingan ini berasal dari

Bogasari Flour Mills dan Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (APTINDO)

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 65: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

yang bertujuan untuk melindungi produsen tepung terigu nasional dari tekanan

produsen baru maupun produk tepung terigu impor.

Salah satu reaksi Bogasari Flour Mills sebagai posisi dominan dalam

industri tepung terigu nasional atas liberalisasi pangan tepung terigu adalah sikap

keberatan Bogasari Flour Mills dan APTINDO terhadap kebijakan Badan

Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), yang memberikan izin pabrik baru tepung

terigu, dan sikap penyesalan APTINDO atas kebijakan Menteri Perindustrian

yang mencabut penerapan SNI secara wajib bagi tepung terigu di awal tahun

2008.

Reaksi lain dari APTINDO adalah mendesak Menperindag dan Menkes

untuk mengeluarkan Peraturan atau Surat Keputusan (SK) tentang SNI Wajib

Tepung Terigu dan Wajib Fortifikasi Tepung Terigu. Selain itu, APTINDO pun

berusaha mempengaruhi Depkeu untuk menaikkan bea masuk antidumping dan

penghapusan PPN atas impor gandum dan tepung terigu. Desakan-desakan

kelompok kepentingan dengan mempengaruhi pemerintah supaya melakukan

berbagai hambatan masuk (barriers to entry), baik melalui tarif maupun non tarif

ini, pada dasarnya merupakan bentuk reaksi Bogasari Flour Mills dalam

memperthankan kekuatan bisnisnya.

Negara sebagai regulator harus bersikap adil dan tegas dalam

mengawasi pelaku usaha, tanpa memberikan hak-hak istimewa kepada salah

satu kelompok pengusaha tertentu dalam bisnis tepung terigu di Indonesia.

Seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945 dan GBHN 1993, negara menolak

pemusatan kekuatan ekonomi oleh kelompok masyarakat, karena hal itu

bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial. Demokrasi ekonomi secara tegas

menolak segala bentuk konsentrasi kekuatan dan kekuasaan ekonomi.

Demokrasi ekonomi tidak menghendaki konglomerasi kekuasaan dan kekuatan

ekonomi. Negara berkewajiban menjamin demokrasi ekonomi yang ditujukan

untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Oleh karena itu, untuk menciptakan kondisi persaingan usaha yang sehat,

negara harus kuat atau mandiri terhadap kepentingan-kepentingan segelintir

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 66: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

pengusaha maupun desakan-desakan lembaga-lembaga keuangan asing

dengan cara menegakkan kebijakan persaingan usaha secara konsisten yang

telah menjadi konsensus politik bersama seluruh bangsa Indonesia.

Salah satu peranan penting negara dalam menciptakan persaingan usaha

yang sehat adalah memberikan keleluasaan (independensi) secara penuh

kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU dalam melakukan

tugas-tugasnya, karena KPPU dibentuk untuk menciptakan persaingan usaha

yang sehat demi kepentingan seluruh pelaku usaha dan masyrakat umum.

Salah satu unsur penting lainnya yang dapat menghapuskan praktek

monopoli adalah kekuatan politik pemerintah dalam menghentikan pengaruh-

pengaruh pengusaha dominan terhadap pemerintah yang mencoba mendesak

pemerintah untuk menetapkan berbagai regulasi yang menciptakan barriers to

entry, baik dalam bentuk tarif maupun non tarif. Sudah saatnya pemerintah

menghentikan pemberian hak-hak monopoli kepada perusahaan-perusahaan

domestik, supaya perusahaan domestik menjadi mandiri dan mampu bersaing di

tingkat internasional. Pemberian hak monopoli seharusnya hanya diberikan

negara kepada perusahaan-perusahaan publik (BUMN) yang bertugas

menyediakan kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat seperti pendidikan,

kesehatan, pangan dan infrastruktur.

G. Signifikansi Studi Secara teoritik, hasil studi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

pemikiran teoritik bagi ilmu politik terutama dalam kajian hubungan negara

dengan pengusaha pada masa reformasi di Indonesia. Lebih fokus lagi, studi ini

dimaksudkan untuk memberikan kontribusi pemikiran tentang peran negara

dalam mengatur dan mengawasi pelaku usaha, khususnya perusahaan dominan

seperti Bogasari Flour Mills dalam industri tepung terigu nasional sebagai industri

startegis. Hasil studi ini diharapkan dapat menjadi bahan perbandingan bagi

peneliti selanjutnya.

Secara praktis, hasil studi ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi

pembuat kebijakan publik di tingkat pusat maupun daerah. Hasil studi ini

diharapkan dapat berimplikasi pada perbaikan perumusan, penetapan dan

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 67: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

pengawasan undang-undang yang memayungi kebijakan publik khususnya

kebijakan persaingan usaha dalam industri startegis di Indonesia.

G. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Dalam metode kualitatif

fokus perhatian ditujukan pada realitas sosial yang berubah dan merupakan hasil

konstruksi sosial yang berlangsung antara para pelaku dan institusi sosial. 94

Pendekatan kualitatif juga diarahkan pada latar dan individu secara utuh (holistic)

dan karenanya individu atau organisasi tidak diisolasikan ke dalam variabel atau

hipotesis namun perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu kekuatan.95

2. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat studi kasus (case study), yakni hanya meneliti kasus

yang berhubungan dengan kekuatan negara dalam mengendalikan aktivitas

usaha pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha pada industri tepung terigu

pada era reformasi di Indonesia. Dalam hal ini penelitian difokuskan untuk

mempelajari dampak ekonomi politik kebijakan pesaingan usaha terhadap pelaku

usaha industri tepung terigu nasional pascareformasi.

Dalam penelitian ini akan dibahas lembaga-lembaga yang terlibat dalam

pengaturan usaha tepung terigu seperti KPPU, Departemen Perindustrian

(Depperin), Departemen Perdagangan (Depdag), Departemen Keuangan

(Depkeu), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Departemen

Kesehatan (Depkes), Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), dalam rangka

mengatur pelaku usaha pada industri tepung terigu nasional. Dan reaksi pelaku

usaha khususnya Bogasari Flour Mills pascapencabutan monopoli Bulog dalam

pengadan tepung terigu.

Menurut Robert K. Yin, ada tiga pertimbangan penting digunakannya

studi kasus. Pertama, tipe pertanyaan penelitian yang diajukan. Kedua, luas

94 Dedi Nur Hidayat, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif , Jakarta: Pascasarjana

UI, 2005, h. 60. 95 Bogdan dan Taylor sebagaimana dikutif Lexi J. Moleung, Metode Penelitian Kualitatif,

Bandung: Remaja karya, 1989, h. 3.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 68: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

kontrol yang dimiliki peneliti atas peristiwa perilaku yang akan diteliti. Ketiga,

tingkat fokusnya terhadap peristiwa kontemporer sebagai kebalikan dari peristiwa

historis.96

Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status

sekelompok manusia, objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran atau

peristiwa. Menurut Denzin Guba, studi kasus adalah suatu pendekatan untuk

mempelajari, menerangkan, atau menginterpretasikan suatu kasus.

Kecenderungan utama diantara semua studi kasus adalah bahwa studi ini

berusaha untuk menyoroti suatu keputusan tentang kebijakan persangan usaha:

mengapa keputusan itu diambil, bagaimana dan apa hasilnya97.

Dengan menggunakan metode deskriptis analitis diharapkan dapat

memberikan gambaran dan analisis yang lebih komprehensif tentang dampak

ekonomi politik dari kebijakan persaingan usaha terhadap industri tepung terigu

nasional, khususnya terhadap Bogasari Flour Mills. Diharapkan penelitian ini

dapat menghasilkan suatu analisis yang kritis terhadap keberhasilan

implementasi undang-undang persaingan usaha yang melibatkan DPR RI dan

Pemerintah. Disamping itu penelitian ini diharapkan dapat menganalisis

independensi KPPU dalam mengawasai implementasi kebijakan persaingan

usaha yang mengarah kepada liberalisasi pangan di Indonesia, termasuk

mengawasi dominasi Bogasari Flour Mills dalam industri tepung terigu nasional.

3. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan 2 (dua) metode. Pertama, riset kepustakaan

(library research) yang meliputi penelusuran kumpulan peraturan perundang-

undangan, dokumen/risalah resmi maupun dokumen-dokumen press release

Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat, berbagai Peraturan Pemerintah (PP), berbagai

Keppres RI, berbagai Peraturan Menperindag, Peraturan Menkes, Peraturan

Menteri Perindustrian dan Peraturan Menteri Keuangan, dokumen hasil

96 Robert K. Yin, Studi Kasus: Desain dan Metode, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996,

h. 7-8. 97 Agus Salim (Penyunting), Teori dan Paradigma Penelitian Sosial Dari Denzin Guba dan

Penerapanya, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2001, h. 418.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 69: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

investigasi/monitoring KPPU, dokumen-dokumen press release KADI, APTINDO

dan P.T. ISM Bogasari Flour Mills, klipping koran, jurnal-jurnal, majalah, dan

berbagai sumber tertulis yang relevan dengan masalah penelitian.98

Kedua, wawancara mendalam (indepth interview) terhadap informan

terpilih dengan menggunakan pedoman wawancara. Metode ini dimaksudkan

untuk mengumpulkan informasi lengkap dan akurat yang berkaitan dengan

kebijakan persaingan usaha di Indonesia.

Pemilihan informan didasarkan atas kriteria jabatan, posisi dan

kekuasaan informan, data yang dimiliki, dan pengetahuan tentang masalah yang

diteliti. Peneliti berupaya secara cermat dan selektif dalam menentukan informan

yang dianggap representatif dan memahami masalah yang berhubungan

langsung dengan kebijakan persaingan usaha di Indonesia

Dalam penelitian ini wawancara mendalam dapat dilakukan terhadap

pengamat politik dan pengamat ekonomi yang memahami konsekuensi

implementasi kebijakan persaingan usaha di Indonesia baik dari internal

Universitas Indonesia maupun dari luar Universitas Indonesia, Anggota atau

mantan anggota KPPU, Pejabat struktural Direktorat Kebijakan Persaingan

Usaha dan Direktorat Monitoring KPPU, Pejabat di lingkungan Bulog, Pejabat di

lingkungan Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Direktorat

KADI, Direktur Eksekutif APTINDO, dan Direksi P.T. Indofood Sukses Makmur,

Tbk. Divisi Bogasari Flour Mills yang terlibat langsung dalam proses penyusunan

RUU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

4. Analisis Data Analisis data yang akan digunakan adalah analisis kualitatif. Jenis analisis

kualitatif digunakan karena dua pertimbangan utama. Pertama, metode ini

menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan informan.

Kedua, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak

penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.99

98 Uraian lebih jelas dapat dilihat dalam Catherine Marshal dan Gretchen B Rosman,

Desgning Qualitative Research, Second edition, Thousand Oaks: Sage Publication, p. 79. 99 Lexi J. Moleung, Op Cit, h. 4.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 70: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

Analisis kualitatif dapat digunakan pada data kuantitatif maupun kualitatif.

Data kualitatif merupakan sumber data yang luas dan berlandaskan kokoh, serta

memuat penjelasan tentang proses-proses yang terjadi dalam lingkup setempat.

Penggunaan data kualitatif diharapkan dapat mengikuti dan memahami alur

peristiwa secara kronologis, menilai sebab-akibat dalam lingkup pikiran orang-

orang setempat, dan memperoleh penjelasan yang banyak dan bermanfaat.

Sedangkan data kuantitatif dimaksudkan untuk memperkuat analisis kualitatif.100

Analisis kualitatif digunakan untuk menganalisis dampak kebijakan-

kebijakan negara dalam mengatur perusahaan di Indonesia. Dengan mengacu

kepada substansi yang ada pada Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Keppres RI No.

19 Tahun 1998 tentang Liberalisasi Pangan, yang melepas monopoli Bulog

dalam beberapa komoditas pangan di luar beras, Peraturan Menperindag No.

153 Tahun 2001 tentang SNI Wajib Tepung Terigu, Peraturan Menkes No. 962

Tahun 2003 tentang Kewajiban Fortifikasi Tepung Terigu, Peraturan Menteri

Perindustian No. 2 Tahun 2008 tentang Pencabutan SNI Secara Wajib Tepung

Terigu, regulasi-regulasi tersebut menjadi sebagai bahan analisis dalam melihat

pesaingan bisnis industri tepung terigu pada era reformsi di Indonesia.

Dalam menjelaskan penelitian tentang transformasi kebijakan hubungan

negara dan pengusaha pada dua masa yang berbeda yaitu pada masa Orde

Baru dan era reformasi, maka untuk memahami studi kasus dampak kebijakan

persiangan usaha terhadap monopoli P.T. Indofood Sukses Makmur, Tbk. Divisi

Bogasari Flour Mills, diperlukan dua pendekatan teori, yaitu teori menjelaskan

ketika negara memposisikan diri sebagai entitas yang memihak kepada kaum

kapitalis dalam negeri atau pengusaha klien (client businessment) untuk

mendukung industri monopoli yang terjadi pada masa Orde Baru.

Pendekatan teori yang kedua adalah memasukkan teori-teori negara dan

kebijakan yang memposisikan negara sebagai entitas yang mandiri dan kuat

100 Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, Jakarta: UI Press,

1992, h. 1-2.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 71: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

yang memberlakukan berbagai regulasi yang mengikat dan mengontrol

pengusaha dalam rangka mempertahankan mekanisme pasar yang terjadi pada

era reformasi.

H. Sistematika Penulisan Penelitian ini direncankan terdiri dari 6 (enam) bab, yaitu:

Bab I : ”Pendahuluan”. Bab ini akan menjelaskan latar belakang, pokok

permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, alur berpikir,

signifikansi studi, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : ”Negara dan Kapitalisme Dalam Kebijakan Industrialisasi di

Indonesia”. Bab ini akan menguraikan sejarah perkembangan kapitalisme dan

industri di Indonesia, khususnya perkembangan akumulasi modal (capital

accumulation) yang dilakukan oleh negara dalam upaya meningkatkan

pertumbuhan ekonomi Indonesia..

Subbab pertama yang akan dibahas adalah Perkembangan Kapitalisme

Politik di Indonesia. Subbab ini akan membahas karakteristik pelaku usaha di

Indonesia yang cenderung dibangun berdasarkan kekuatan perlindungan politik

(patronage) birokrat-penguasa.

Subbab kedua akan membahas Hubungan Birokrasi Orde Baru dan

Kapitalis Politik Keturunan Tionghoa Subbab kedua ini juga akan membahas

pergeseran kebijakan negara dalam memandang kaum kapitalis di Indonesia.

Pergeseran ini dipicu oleh persekongkolan pemerintah Orde Baru dengan

pengusaha keturunan Tionghoa, dan perubahan struktur perekonomian yang

lebih menekankan kepada pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM).

Dengan dukungan asosiasi-asosiasi industri dan kelompok-kelompok pengusaha

lokal-pribumi yang terhimpun dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin),

Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), dan Himpunan Pengusaha

Pribumi Indonesia (HIPPI), negara dipaksa untuk bersikap lebih adil terhadap

kelompok pengusaha skala kecil dan menengah yang didominasi oleh kalangan

pengusaha pribumi.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 72: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

Subbab ketiga akan membahas Kekuatan Bisnis Indofood Sukses

Makmur Dalam Industri Pangan Nasional. Besarnya modal usaha dan dukungan

kekuatan birokrasi yang diwarisi oleh rezim Orde Baru, sehingga perusahaan ini

mempu menguasai industri pangan dari hulu sampai hilir.

Subbab Keempat akan membahas Krisis Eksistensi Kapitalis Politik Orde

Baru. Krisis eksistensi kapitalis politik Orde Baru ini disebabkan oleh faktor

kejenuhan pembangunan industri nasional yang terlalu bertumpu kepada pasar

dalam negeri atau industri substitusi impor (import substitution industry). Selain

itu faktor permasalahan kaum kapitalis lokal yang dihadapkan kepada

ketidakpastian mengenai arah masa depan penguasa Orde Baru, yang selama

tigapuluh tahun dikuasai oleh pejabat negara, baik sipil mupun militer tidak

mampu lagi mengendalikan keterpurukan kondisi ekonomi.

Bab III : ”Perkembangan Industri Tepung Terigu di Indonesia”. Bab ini

akan menjelaskan mengenai latar belakang pembangunan industri tepung terigu

di Indonesia dan berbagai regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah yang

ditujukan untuk mengatur atau mengawasi hubungan antara negara dan

pengusaha dalam industri tepung terigu di Indonesia pada era reformasi. Subbab

yang akan dibahas adalah Politik Intervensi Bulog Dalam Penyediaan Tepung

Terigu, Peranan Tepung Terigu Dalam Kebijakan Pangan (food policy).

Regulasi yang akan dibahas sebagai landasan hukum pengelolaan

industri tepung terigu antara lain: Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Keppres No. 19

tahun 1998 tentang Liberalisasi Pangan, PP No. 102 Tahun 2000 tentang

Standarisasi Nasional Indonesia, Peraturan Menperindag No. 153 Tahun 2001

tentang SNI Wajib Tepung Terigu, Peraturan Menkes No. 962 Tahun 2003

tentang Fortifikasi Tepung Terigu, Peraturan Menteri Perindustrian No. 2 Tahun

2008 tentang Pencabutan Penerapan SNI Wajib Tepung Terigu, dan Peraturan

Menteri Keuangan No. 10 Tahun 2008 tentang PPN Ditanggung Pemerintah Atas

Impor dan/atau Penyerahan Gandum dan Tepung Gandum/Terigu.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 73: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

Bab IV : ”Kekuatan-Kekuatan Politik dalam Proses Perumusan Undang-

Undang Persaingan Usaha”. Bab ini akan menguraikan power interplay atau

pengaruh kekuatan-kekuatan politik, khususnya kekuatan politik fraksi-fraksi

yang terhimpun dalam Pansus RUU ada di DPR RI yaitu kekuatan yang pro dan

kontra antara Fraksi Karya Pembangunan (Golkar), Fraksi Persatuan

Pembangunan (PPP), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Fraksi ABRI

dalam proses penyusunan Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, atau disingkat Undang-

Undang Persaingan Usaha. Disamping itu akan dibahas pengaruh kekuatan

politik P.T. ISM Bogasari Flour Mills sebagai perusahaan dominan dalam industri

tepung terigu di Indonesia yang berusaha mempengaruhi substansi Undang-

Undang Persaingan Usaha di Indonesia.

Dalam bab ini akan dibahas secara mendalam mengenai kekuatan

mempengaruhi (power of interplay) dalam mencapai kepentingan dalam proses

perumusan RUU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat. Disamping itu dalam bab ini akan membahas konflik-konflik yang terjadi

dalam proses perumusan RUU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat. Secara rinci subbab yang akan dibahas dalam bab tiga ini

adalah Kekuatan-Kekuatan Politik Dalam Proses RUU Persaingan Usaha, Konflik

Kepentingan Antara Pansus RUU Persaingan Usaha dengan Direksi P.T. ISM

Bogasari Flour Mills, dan Konflik Kepentingan Antara Pansus RUU Persaingan

Usaha dengan Pemerintah, Pengaruh Kekuatan APTINDO Terhadap Penerapan

SNI Wajib dan Fortifikasi Tepung Terigu.

Bab V: ”Efektivitas dan Dampak Kebijakan Persaingan Usaha Dalam

Mengatur Industri Tepung Terigu Nasional”. Bab ini akan menjelaskan mengenai

efektivitas dan dampak penerapan kebijakan persaingan usaha yang dijalankan

pemerintah terhadap industri tepung terigu, khususnya terhadap Bogasari Flour

Mills sebagai perusahaan dominan. Reaksi-reaksi kongkrit apa yang dilakukan

Bogasari Flour Mills dalam mengantisipasi masuknya produsen baru dan importir

tepung terigu pascaliberalisasi pangan bebas tepung terigu ini. Lobi-lobi politik

apa yang dilakukan APTINDO dan Bogasari Flour Mills dalam mengantisipasi era

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 74: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

perdagangan bebas tepung terigu di Indonesia guna mempertahankan kekuatan

bisnis mereka.

Bab ini secara khusus akan menjelaskan konflik-konflik yang terjadi

dalam bisnis tepung terigu pascaimplementasi kebijakan persaingan usaha di

Indonesia. Konflik yang terjadi antara Asosiasi Produsen Tepung Terigu

Indonesia (APTINDO) yang dikendalikan oleh Bogasari Flour Mills dengan

produsen baru tepung terigu atau dengan importir tepung terigu merupakan

dampak yang terjadi pasca ditetapkannya persaingan usaha. APTINDO

berusaha mempengaruhi pemerintah supaya membuat sejumlah regulasi yang

sifatnya melindungi produsen tepung terigu Indonesia. Diantaranya dengan

mempengaruhi Departemen Perdagangan, Departemen Keuangan, Departemen

Perindustrian dan Departemen Kesehatan untuk membuat sejumlah kebijakan

hambatan masuk (Barriers to entry), baik berupa hambatan tarif maupun non

tarif. Sementara produsen tepung terigu baru berusaha meyakinkan Badan

Koordinasi Penanaman Modal untuk mencabut Daftar Negatif Investasi (DNI)

industri tepung terigu di Indonesia, demi memenuhi kebutuhan tepung terigu

yang semakin penting sebagai bahan pangan kedua setelah beras.

Kenaikan harga gandum dan tepung terigu di tingkat internasional, pada

akhirnya pemerintah melakukan berbagai intervensi dalam upaya menekan

gejolak kenaikan harga tepung terigu di pasar domestik. Namun intervensi yang

dilakukan oleh Menteri Perindustrian tentang pencabutan peneraparan SNI wajib

bagi tepung terigu menimbulkan reaksi keras dari APTINDO.

Alasan APTINDO untuk tidak menghiraukan kebijakan pencabutan

penerapan SNI adalah dalam upaya melaksanakan tanggungjawab sosial

produsen, khususnya dalam menjamin mutu produk tepung terigu yang akan

dikonsumsi oleh masyarakat. Sub-sub bab yang akan dibahas dalam bab empat

ini adalah Dampak Kebijakan Persaingan Usaha Terhadap Industri Tepung

Terigu Nasional, Konflik-Konflik Antarlembaga Negara Pascakebijakan

Persaingan Usaha, Konflik Kepentingan Antara APTINDO dan Departemen

Perindustrian, Kekuatan Politik APTINDO dalam Penanggungan PPN Impor

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.

Page 75: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa transisi demokrasi di

Gandum oleh Pemerintah, dan Reaksi Bogasari Flour Mills Atas Tuduhan

Monopoli.

Bab VI : ”Penutup”. Bab ini berisi kesimpulan dan implikasi teoritis dari

penelitian tentang hubungan negara dan pengusaha pada era reformasi. Apakah

pada era reformasi ini negara merupakan institusi yang mandiri dan kuat, yang

mampu bersikap konsisten dalam menjalankan kebijakan persaingan usaha yang

ditetapkannya demi kepentingan seluruh masyarakat. Atau sebaliknya negara

merupakan institusi yang lemah di hadapan pengusaha atau pemilik modal,

karena negara berperan sekunder dengan melaksanakan kehendak pemilik

modal. Negara disebut hanya berperan sekunder, karena negara hanya berperan

sebagai ”pegawai” dari kelas pemilik modal yang berkuasa.

Neagra dan pengusaha..., Muhammad Findi Alexandi, FISIP UI, 2008.